Bab 2 Revisi Review

52
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Glikohemoglobin (HbA 1c ) 2.1.1 Definisi Hemoglobin A 1c atau glikohemoglobin (HbA 1c ) adalah bentuk glikosilasi pada NH2- terminal valin salah satu atau kedua rantai β- globin HbA (ACB, 2012). HbA 1c , fraksi utama dari hemoglobin terglikosilasi, mulai digunakan dalam klinis sekitar tahun 1980 dan menjadi bagian penting dalam praktek klinis (Haque dan Siddiqui, 2013). Pemeriksaan HbA 1c mengukur jumlah hemoglobin berikatan dengan glukosa dalam sel darah merah dan dinyatakan sebagai persentase (%) hemoglobin terikat glukosa dari total hemoglobin (ACB, 2012). 2.1.2 Biokimiawi dan metabolisme Hemoglobin pada manusia terdiri dari HbA, HbA 2 , HbF (fetus). Hemoglobin A (HbA) mendominasi sebesar 97% dari jumlah hemoglobin

description

eksperimen

Transcript of Bab 2 Revisi Review

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA2.1 Glikohemoglobin (HbA1c)2.1.1 Definisi

Hemoglobin A1c atau glikohemoglobin (HbA1c) adalah bentuk glikosilasi pada NH2-terminal valin salah satu atau kedua rantai -globin HbA (ACB, 2012). HbA1c, fraksi utama dari hemoglobin terglikosilasi, mulai digunakan dalam klinis sekitar tahun 1980 dan menjadi bagian penting dalam praktek klinis (Haque dan Siddiqui, 2013). Pemeriksaan HbA1c mengukur jumlah hemoglobin berikatan dengan glukosa dalam sel darah merah dan dinyatakan sebagai persentase (%) hemoglobin terikat glukosa dari total hemoglobin (ACB, 2012). 2.1.2 Biokimiawi dan metabolismeHemoglobin pada manusia terdiri dari HbA, HbA2, HbF (fetus). Hemoglobin A (HbA) mendominasi sebesar 97% dari jumlah hemoglobin total. Molekul glukosa berikatan dengan HbA1 yang merupakan bagian dari hemoglobin A. Pada proses tersebut terdapat ikatan antara glukosa dan hemoglobin disebut glikosilasi atau hemoglobin terglikosilasi atau hemoglobin A (ACB, 2012). Pembentukan HbA1c terjadi dengan lambat yaitu selama 120 hari, yang merupakan siklus hidup sel darah merah. Pada penyandang DM, glikolisasi hemoglobin meningkat secara proporsional dengan kadar rata-rata glukosa darah selama 120 hari terakhir, bila kadar glukosa darah berada dalam kisaran normal selama 120 hari terakhir, maka hasil hemoglobin A1c akan menunjukkan nilai normal (Yavari, 2011). Hasil pemeriksaan hemoglobin A1c merupakan pemeriksaan tunggal yang sangat akurat untuk menilai status glikemik jangka panjang dan berguna pada semua tipe penyandang DM. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk memonitoring kendali glikemik.

Sekitar 6% dari total jumlah HbA disebut HbA1 yang terdiri atas tiga molekul, HbA1a1, HbA1a2 , HbA1b dan HbA1c (ACB, 2012). Terdapat HbA1c dalam jumlah sekitar 60-80% dari total hemoglobin terglikosilasi. Jumlah hemoglobin yang terglikolisasi bergantung pada jumlah glukosa yang tersedia. Jika kadar glukosa darah meningkat selama waktu yang lama, sel darah merah akan tersaturasi dengan glukosa menghasilkan glikohemoglobin. Sel darah merah sangat permeabel terhadap glukosa sehingga kadar HbA1c mencerminkan keadaan glukosa darah 120 hari sebelumnya karena mengikuti siklus eritrosit. Oleh karena itu, penderita DM direkomendasikan melakukan pemeriksaan setiap 3 bulan (Yavari, 2011). Peningkatan kadar HbA1c >7% mengindikasikan DM yang tidak terkendali dan beresiko tinggi untuk menjadikan komplikasi jangka panjang seperti nefropati, retinopati, atau kardiopati (Bodhe et al., 2012). Setiap peningkatan 1% kadar HbA1c diperkirakan dapat meningkatkan resiko terkena penyakit kardiovaskular sebesar 18% (Ahmed et al., 2013). Penurunan 0,2% dari HbA1c akan menurunkan resiko kematian sebesar 10% (Bodhe et al., 2012). Pemeriksaan HbA1c dianjurkan untuk dilakukan secara rutin pada pasien DM. Pemeriksaan pertama untuk mengetahui keadaan glikemik pada tahap awal penanganan, pemeriksaan selanjutnya merupakan pemantauan terhadap keberhasilan pengendalian (Berg, 2013).2.1.3 Faktor yang mempengaruhi Terdapat beberapa faktor yang dapat menaikkan, menurunkan, maupun memberikan hasil palsu pada pemeriksaan HbA1c di antaranya yaitu (ACB, 2012 ; Kusniyah et al., 2010) : 1. Anemia dapat menyebabkan hasil uji yang rendah

2. Hemolisis spesimen dapat menyebabkan hasil uji yang tidak akurat

3. Terapi heparin dapat menyebabkan temuan palsu hasil pengujian.

4. Setelah transfusi darah hasil pembacaan HbA1c mungkin berubah.

5. Varian hemoglobin (HbF HbS, HbC, HbE, HbD) dilaporkan dapat mempengaruhi analisis HbA1c.

6. Keadaan ikterik atau jaundice dapat memberikan hasil peningkatan palsu nilai HbA17. Keadaan hiperlipidemia juga dapat memberikan hasil peningkatan palsu nilai HbA1 karena elusi lipid pada fraksi pertama HbA1. Terlebih lagi, pemeriksaan menggunakan sampel post-prandial dapat memperbesar terjadinya peningkatan palsu tersebut.

8. Pasien dengan gagal ginjal sering disertai anemia dan penurunan siklus hidup eritrosit sehingga menyebabkan hasil analisis yang rendah.

9. Beberapa obat hipoglikemik oral (OHO) dapat menurunkan kadar HbA1c sebesar 0,52% bergantung cara kerja obat-obatan tersebut, yang sebagian besar akan meningkatkan sekresi dan sensitivitas terhadap insulin.2.1.4 Kelebihan dan kekuranganPemeriksaan HbA1c telah banyak dipakai di negara-negara barat untuk mendiagnosis diabetes pada seseorang. Adapun kelebihannya yaitu (Bonora dan Tuomilehto, 2011 ; Setiawan, 2011) :

1. Lebih baik menggambarkan keadaan hiperglikemia kronis daripada pemeriksaan Gula Darah Puasa (GDP) dan gula darah 2 jam setelah pembebanan glukosa.2. Lebih berhubungan dengan komplikasi kronis dibandingkan dengan Gula Darah Puasa. 3. Pemeriksaan dapat dilakukan kapan saja, tidak harus puasa terlebih dahulu dan tidak dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup jangka pendek.4. Relatif tidak dipengaruhi oleh gangguan akut (stres, diet, latihan fisik).5. Variabel-variabel biologis lebih sedikit daripada pemeriksaan GDP.6. Sekali pemeriksaan HbA1c sudah dapat digunakan sebagai biomarker dalam menegakkan diagnosis DM sehingga dapat lebih awal dilakukan pencegahan yang efektif.7. Lebih direkomendasikan untuk monitoring diabetes.8. Kesalahan karena faktor nonglikemik yang dapat mempengaruhi nilai HbA1c sangat jarang ditemukan dan dapat diminimalisasi dengan melakukan pemeriksaan konfirmasi diagnosis dengan glukosa plasma.Di samping hal tersebut di atas, HbA1c juga memiliki keterbatasan sebagai alat skrining dan diagnosis di antaranya adalah (Bonora dan Tuomilehto, 2011 ; Setiawan, 2011) :1. Seiring bertambah usia, HbA1c juga mengalami peningkatan tetapi besarnya pengaruh usia tersebut belum terlalu jelas untuk mengadopsi age spesific values untuk diagnosis. Diperkirakan juga ada hubungan antara peran etnis dalam mempengaruhi nilai HbA1c.2. Tidak dapat menggambarkan hiperglikemia akut.

3. Nilai HbA1c tidak hanya tergantung glukosa darah tetapi juga keadaan yang mempengaruhi siklus hidup sel darah merah (seperti hemoglobinopati, anemia, malaria, dan perdarahan).

4. HbA1c lebih mahal daripada pemeriksaan gula darah dan tidak tersedia dalam jumlah banyak pada sebagian besar negara.

2.2 Metabolisme glukosa

Glukosa berasal dari pencernaan karbohidrat. Pengaturan metabolisme glukosa oleh insulin melalui berbagai mekanisme kompleks yang dampak akhirnya penurunan kadar glukosa dalam darah. Oleh karena itu, pada penderita diabetes mellitus di mana terjadi penurunan sekresi insulin atau kerja insulin tidak efektif akan mengalami hiperglikemia. Ada beberapa mekanisme yang terlibat yaitu :

a. Meningkatkan difusi glukosa ke dalam sel

Pengangkutan glukosa ke dalam sel melalui proses difusi dengan bantuan protein. Ada 5 jenis protein pengangkut glukosa yang utama yaitu GLUT 1, GLUT 2, GLUT 3, GLUT 4 dan GLUT 5. GLUT 1 merupakan pengangkut glukosa yang ada pada otak, ginjal, kolon, palsenta dan eritrosit. GLUT 2 terdapat pada sel hati, sel beta pankreas, usus halus dan ginjal. GLUT 3 berfungsi pada sel otak, ginjal dan plasenta. GLUT 4 terletak di jaringan adiposa, otot jantung dan otot skeletal. GLUT 5 bertanggung jawab terhadap absorpsi glukosa dari usus halus. Peningkatan jumlah protein pengangkut tersebut terutama GLUT 4 ke permukaan sel (ke tempat yang aktif pada membran plasma) sebagai respon terhadap rangsangan insulin. Kemudian glukosa dalam jumlah signifikan dari darah diserap oleh jaringan yang peka insulin. Namun, ambilan glukosa oleh hati tidak tergantung insulin. Hati memiliki glukokinase sehingga apabila glukosa yang masuk ke hati meningkat, laju sintesis glukosa 6-fosfat juga meningkat. Kelebihan jumlahnya terutama akan dibentuk glikogen (Bender dan Mayes, 2009).b. Peningkatan aktivitas enzim

Pada orang yang normal, sebagian dari glukosa yang dimakan akan diubah menjadi energi melalui glikolisis dan sebagian lagi dibentuk glikogen atau digunakan untuk lipogenesis. Glikolisis merupakan rute utama metabolisme glukosa. Glikolisis akan menurun dalam keadaan tanpa insulin dan proses glikogenesis ataupun lipogenesis akan terhalang. Hormon insulin meningkatkan glikolisis sel-sel hati dengan cara meningkatkan aktivitas enzim-enzim yang berperan termasuk glukokinase, fosfofruktokinase dan piruvat kinase. Fungsi glukokinase di hati untuk mengambil glukosa dari darah setelah makan dan menghasilkan glukosa 6-fosfat untuk glikolisis, sintesis glikogen dan lipogenesis. Bertambahnya glikolisis akan meningkatkan penggunaan glukosa dan secara tidak langsung menurunkan glukosa dalam plasma darah. Glikolisis dapat terjadi secara aerob yang menghasilkan glukosa dan juga anaerob yang menghasilkan laktat. Glikolisis pada erotrosit selalu menghasilkan laktat. Laktat ini nantinya diangkut ke hati dan ginjal untuk diubah kembali menjadi glukosa (Bender dan Mayes, 2009).

Banyak efek metabolik insulin, khususnya yang terjadi dengan cepat dilakukan dengan mempengaruhi reaksi fosforilasi dan defosforilasi protein yang selanjutnya mengubah aktivitas enzimatik enzim tersebut. Kerja insulin dilaksanakan dengan mengaktifkan protein kinase, menghambat protein kinase lain atau merangsang aktivitas fosfoprotein fosfatase. Defosforilasi meningkatkan aktivitas sejumlah enzim penting. Mekanisme defosforilasi enzim dilakukan melalui reaksi kaskade yang dipicu oleh fosforilasi substrat reseptor insulin. Sebagai contoh adalah pengaruh insulin pada enzim glikogen sintase dan glikogen fosforilase (Suriani, 2012).c. Menghambat kerja cAMP

Insulin memiliki peran ganda yakni dapat menghambat atau merangsang kerja suatu enzim. Selain menghambat secara langsung, insulin juga menurunkan kadar cAMP, yang memiliki sifat antagonis terhadap insulin, setelah kadarnya ditingkatkan oleh glukagon atau epinefrin. Penurunan ini dikarenakan insulin merangsang terbentuknya fosfodiesterase-cAMP. Ketika cAMP dihidrolisis, kerja hormon-hormon seperti epinefrin, norepinefrin, dan glukagon terhenti. Hal ini menyebabkan glikogenesis. Sebaliknya, apabila kadar cAMP meningkat, timbul reaksi-reaksi yang menyebabkan glikogenolisis. Dengan demikian, cAMP mengintegrasikan regulasi glikogenolisis dan glikogenesis dengan memacu pengaktifan fossorilase secara bersamaan dan penghambatan glikogen sintase. Insulin secara timbal balik menghambat glikogenolisis dan merangsang glikogenesis (Bender dan Mayes, 2009). d. Mempengaruhi proses glukoneogenesis

Proses glukoneogenesis ini berfungsi memenuhi glukosa dari prekursor non karbohidrat. Selain itu juga membersihkan laktat yang dihasilkan otot dan eritrosit serta gliserol yang dihasilkan dari jaringan adiposa. Enzim fosfoenolpiruvat karboksikinase mengkatalisis tahap yang membatasi kecepatan reaksi dalam glukoneogenesis. Enzim fosfoenolpiruvat karboksikinase menghubungkan aktivitas siklus asam sitrat dengan glukoneogenesis, untuk mencegah pengeluaran berlebihan oksaloasetat yang dapat mengganggu siklus asam sitrat. Sintesis enzim tersebut dikurangi oleh insulin dengan demikian glukoneogenesis akan menurun. Hasil penelitian menunjukkan transkripsi enzim ini menurun dalam beberapa menit setelah penambahan insulin. Penurunan transkripsi tersebut menyebabkan terjadinya penurunan laju sintesis enzim ini (Bender dan Mayes, 2009).

Penderita diabetes mellitus memiliki jumlah protein pengangkut glukosa yang sangat rendah, terutama pada otot jantung, otot rangka dan jaringan adiposa karena insulin yang merangsang protein tersebut ke tempat aktif di membran plasma tidak tersedia. Kondisi ini diperparah dengan pentingnya peranan insulin pada pengaturan metabolisme glukosa. Glikolisis dan glikogenesis akan terhambat karena enzim yang berperan dalam kedua jalur tersebut diinaktivasi tanpa kehadiran insulin. Sedangkan tanpa insulin, jalur metabolisme yang mengarah pada pembentukan glukosa dirangsang terutama oleh glukagon dan epinefrin yang bekerja melalui cAMP yang memiliki sifat antagonis terhadap insulin. Oleh karena itu, penderita diabetes mellitus baik tipe I atau tipe II kurang dapat menggunakan glukosa yang diperolehnya melalui makanan sehingga glukosa akan terakumulasi dalam plasma darah (hiperglikemia) (Bender dan Mayes, 2009).

2.3 Lipid

Di dalam darah kita ditemukan tiga jenis lipid yaitu kolesterol, trigliserida, dan fosfolipid. Oleh karena sifat lipid yang tidak larut dalam air, maka perlu dibuat bentuk yang terlarut. Untuk itu dibutuhkan suatu zat pelarut yaitu suatu protein yang dikenal dengan nama apolipoprotein atau apoprotein. Pada saat ini dikenal sembilan jenis apoprotein yang diberi nama secara alfabetis yaitu Apo A, Apo B, Apo C, dan Apo E. Senyawa lipid dengan apoprotein ini dikenal dengan nama lipoprotein. Setiap jenis lipoprotein mempunyai Apo tersendiri. Sebagai contoh VLDL, IDL, dan LDL mengandung Apo B100, sedang Apo B48 ditemukan di kilomikron. Setiap lipoprotein akan terdiri atas kolesterol (bebas atau ester), trigliserida, fosfolipid, dan apoprotein. Triasilgliserol atau trigliserida adalah lipid utama pada VLDL dan kilomikron, sedangkan kolesterol dan fosfolipid masing-masing adalah lipid utama pada LDL dan HDL. Lipoprotein berbentuk sferik dan mempunyai inti trigleserida dan kolesterol ester dan dikelilingi oleh fosfolipid dan sedikit kolesterol bebas. Apoprotein ditemukan pada permukaan lipoprotein. Setiap lipoprotein berbeda dalam ukuran, densitas, komposisi lemak, dan komposisi apoprotein. Dengan menggunakan ultrasentrifusi, pada manusia dapat dibedakan enam jenis lipoprotein yaitu high density lipoprotein (HDL), low density lipoprotein (LDL), intermediate density lipoprotein (IDL), very low density lipoprotein (VLDL), kilomikron, dan lipoprotein a kecil Lp(a) (Jameson et al., 2010).2.3.1 Kolesterol2.3.1.1 Biosintesis Pembentukan kolesterol terdiri atas lima tahap. Tahap pertama adalah biosintesis mevalonat. Dua molekul asetil Ko-A berkondensasi membentuk asetoasetil KoA yang dikatalisis oleh enzim sitosol tiolase. Asetoasetil KoA berkondensasi dengan molekul asetil KoA lainnya yang dikatalisis oleh enzim HMG-KoA sintase untuk membentuk HMG-KoA. Selanjutnya HMG-KoA direduksi menjadi mevalonat dengan dikatalisis oleh enzim. Ini adalah tahap pengaturan utama di jalur sintesis kolesterol. Insulin atau hormon tiroid meningkatkan aktivitas HMG-KoA reduktase sedangkan glukagon atau glukokortikoid menurunkannya. Tahap kedua yaitu pembentukan unit isoprenoid. Mevalonat mengalami fosforilasi oleh ATP dengan tiga kinase dan kemudian mengalami dekarboksilasi untuk membentuk unit isoprenoid aktif yaitu isopentenil difosfat. Tahap ketiga, 6 unit isoprenoid membentuk skualen. Isopentenil difosfat mengalami kondensasi membentuk farnesil difosfat. Proses ini terjadi dengan terlebih dahulu adanya isomerisasi senyawa isopentenil difosfat yang melibatkan pergeseran ikatan rangkap untuk membentuk dimetilalil difosfat yang berkondensasi dengan isopentenil difosfat lainnya untuk membentuk intermediet dengan sepuluh-karbon geranil difosfat. Dua molekul farnesil difosfat berkondensasi dengan ujung difosfatuntuk membentuk skualen. Tahap keempat yaitu skualen dikonversi menjadi lanosterol melalui proses siklisasi.Tahap terakhir yaitu pembentukan kolesterol dari lanosterol yang berlangsung dalam membran retikulum endoplasma dan melibatkan perubahan pada inti steroid serta rantai samping. Kolesterol dihasilkan saat ikatan rangkap rantai samping direduksi (Botham dan Mayes, 2009).2.3.1.2 Metabolisme Kolesterol dapat berwujud kolesterol bebas yang terdapat di jaringan dan plasma atau disimpan dan berikatan dengan asam lemak rantai panjang sebagai ester kolesteril. Di dalam plasma, kedua bentuk tersebut diangkut dalam lipoprotein. Kolesterol adalah lipid amfipatik dan komponen struktural yang penting pada membran dan lapisan luar lipoprotein plasma. Senyawa ini disintesis di banyak jaringan dengan prekursor adalah asetil-KoA dan untuk sintesis semua steroid yang dibentuk oleh tubuh. LDL plasma adalah pembawa kolesterol dan ester kolesteril ke banyak jaringan. Kolesterol bebas diangkut oleh HDL plasma dan dibawa ke hati, tempat senyawa ini dieliminasi dari tubuh (Botham dan Mayes, 2009). Metabolisme lipoprotein dapat dibagi atas tiga jalur yaitu jalur metabolisme eksogen, jalur metabolism endogen, dan jalur reverse cholesterol transport. Kedua jalur pertama berhubungan dengan metabolisme kolesterolLDL dan trigliserida, sedangkan jalur reverse cholesterol transport khusus mengenai kolesterol-HDL (Jameson et al., 2010). a. Jalur metabolisme eksogen

Makanan berlemak yang kita makan terdiri atas trigliserida dan kolesterol. Selain kolesterol yang berasal dari makanan, dalam usus juga terdapat kolesterol dari hati yang diekskresi bersama empedu ke usus halus. Baik lemak di usus halus yang berasal dari makanan maupun berasal dari hati disebut lemak eksogen. Trigliserida dan kolesterol dalam usus halus akan diserap ke dalam eritrosit mukosa usus halus. Trigliserida akan diserap sebagai asam lemak bebas sedang kolesterol akan mengalami esterifikasi menjadi kolesterol ester dan keduanya bersama dengan fosfolipid dan apolipoprotein akan membentuk lipoprotein yang dikenal dengan nama kilomikron. Kilomikron ini akan masuk ke saluran limfe dan akhirnya melalui duktus torakikus akan masuk ke dalam aliran darah. Trigliserida dalam kilomikron akan mengalami hidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase yang berasal dari endotel menjadi asam lemak bebas (free fatty acid (FFA) = non-esterified fatty acid (NEFA). Asam lemak bebas dapat disimpan sebagai trigliserid kembali di jaringan lemak (adiposa), tetapi bila terdapat dalam jumlah yang banyak sebagian akan diambil oleh hati menjadi bahan untuk pembentukan trigliserida hati. Kilomikron yang sudah kehilangan sebagian besar trigliserida akan menjadi kilomikron remnant yang mengandung kolesterol ester dan akan dibawa ke hati (Jameson et al., 2010).b. Jalur metabolisme endogen

Trigliserida dan kolesterol yang disintesis di hati dan disekresi ke dalam sirkulasi sebagai lipoprotein VLDL. Apolipoprotein yang terkandung dalam VLDL adalah apolipoprotein B100. Dalam sirkulasi, trigliserida di VLDL akan mengalami hidrolisis oleh enzin lipoprotein lipase (LPL), dan VLDL berubah menjadi IDL yang juga akan mengalami hidrolisis dan berubah kembali menjadi LDL. Sebagian dari VLDL, IDL, dan LDL akan mengangkut kolesterol ester kembali ke hati. LDL adalah lipoprotein yang paling banyak mengandung kolesterol. Sebagian dari kolesterol LDL akan dibawa ke hati dan jaringan streroidogenik lainnya seperti adrenal, testis, dan ovarium yang mempunyai reseptor untuk kolesterol-LDL. Sebagian lagi dari kolesterol-LDL akan mengalami oksidasi dan ditangkap oleh reseptor scavenger-A (SR-A) di makrofag dan akan menjadi sel busa (foam cell). Makin banyak kadar kolesterol-LDL dalam plasma makin banyak yang akan mengalami oksidasi dan ditangkap oleh sel makrofag. Jumlah kolesterol yang akan teroksidasi tergantung dari kadar kolesterol yang terkandung di LDL. Beberapa keadaan mempengaruhi tingkat oksidasi seperti meningkatnya jumlah LDL kecil padat (small dense LDL) seperti pada sindrom metabolik dan diabetes melitus serta kadar kolesterol-HDL dimana semakin tinggi kadar kolesterol HDL maka akan bersifat protektif terhadap oksidasi LDL (Jameson et al., 2010).

c. Jalur reverse cholesterol transport

HDL dilepaskan sebagai partikel kecil miskin kolesterol yang mengandung apolipoprotein (apo) A, C, dan E, dan disebut HDL nascent. HDL nascent berasal dari usus halus dan hati, mempunyai bentuk gepeng dan mengandung apolipoprotein A1. HDL nascent akan mendekati makrofag untuk mengambil kolesterol yang tersimpan di makrofag. HDL nascent berubah menjadi HDL dewasa yang berbentuk bulat. Agar dapat diambil oleh HDL nascent, kolesterol (kolesterol bebas) dibagian dalam dari makrofag harus dibawa ke permukaaan membran sel makrofag oleh suatu transporter yang disebut adenosine triphospate-binding cassete transporter-I atau disingkat ABC-1. Setelah mengambil kolesterol bebas dari sel makrofag, kolesterol bebas akan diesterifikasi menjadi kolesterol ester oleh enzim lecithin kolesterol acyltransferase (LCAT). Selanjutnya sebagian kolesterol ester yang dibawa oleh HDL akan mengambil dua jalur. Jalur pertama ialah ke hati dan ditangkap oleh scavenger receptor class B type 1 dikenal dengan SR-B1. Jalur kedua adalah kolesterol ester dalam HDL akan dipertukarkan dengan trigliserid dari VLDL dan IDL dengan bantuan cholesterol ester transfer protein (CETP). Dengan demikian fungsi HDL sebagai penyerap kolesterol dari makrofag mempunyai dua jalur yaitu langsung ke hati dan jalur tidak langsung melalui VLDL dan IDL untuk membawa kolesterol kembali ke hati (Jameson et al., 2010). 2.3.2 Lipid pada penderita diabetesPembentukan berlebihan dari produk glikasi pada tahap awal dapat menimbulkan beberapa efek samping yang tidak diinginkan pada pembuluh darah, metabolisme lipid, bahkan menimbulkan resiko berkembangnya komplikasi diabetes (Haque dan Siddiqui, 2013).

Aktivitas insulin yang utama terjadi pada metabolisme lipoprotein jaringan adiposa. Insulin merangsang lipogenesis dengan cara meningkatkan transport glukosa ke dalam sel sehingga persediaan piruvat meningkat untuk sintesis asam lemak dan gliserol. Adanya insulin juga menghambat lipolisis oleh lipase. Pada keadaan resitensi insulin, hormon sensitive lipase di jaringan adiposa akan menjadi aktif sehingga lipolisis trigliserida di jaringan adiposa semakin meningkat, keadaan ini akan menghasilkan asam lemak bebas yang berlebihan. Peningkatan asam lemak bebas menyebabkan sekresi VLDL oleh hepar juga meningkat yang membawa serta trigliserida dan kolesterol ke dalam sirkulasi (Malloy dan Kane, 2011).

Dislipidemia pada diabetes berhubungan dengan peningkatan trigliserida dan LDL serta penurunan kolesterol HDL. Hipertrigliseridemia adalah perubahan lipoprotein yang paling umum terjadi. Hal tersebut disebabkan oleh hiperglikemia dan resistensi insulin yang bersama-sama dapat menimbulkan kelebihan produksi trigliserida VLDL, defek pengeluaran trigliserida VLDL, penurunan aktivitas lipoprotein lipase, dan penurunan produksi apolipoprotein B. Apabila komposisi dari VLDL ini berubah maka proporsi kolesterol mengalami peningkatan dan dapat mengarahkan pada resiko timbulnya aterosklerosis.

Hiperglikemia sedang menyebakan peningkatan produksi LDL sementara resistensi insulin atau defisiensi insulin relatif menyebabkan defek pengeluaran LDL. Oleh karena itu kadar LDL dalam darah meningkat. Terlebih lagi, komposisi LDL pada penderita DM tipe 2 mengalami perubahan menjadi partikel kecil yang padat. Partikel ini rentan untuk mengalami oksidasi dan memiliki peran utama dalam perkembangan proses aterosklerosis. Begitu juga glikasi non-enzimatik dari LDL pada hiperglikemia sedang meningkatkan resiko aterogenik (Bodhe et al., 2012).Hiperglikemia menyebabkan peningkatan aktivitas lipase hepatik. Hal ini menimbulkan banyak HDL yang berkurang sementara gangguan katabolisme VLDL menyebabkan penurunan pembentukan HDL. Oleh karena itu, kadar HDL yang rendah sering ditemukan pada penyandang DM tipe 2 (Bodhe et al., 2012).2.3.3 Kolesterol total pada diabetesKolesterol total adalah jumlah kolesterol dalam berbagai lipoprotein termasuk HDL, LDL, trigliserida, dan VLDL. Pembentukan kolesterol melalui asetat merupakan proses yang sangat kompleks, diantaranya yang memegang peranan penting adalah enzim reduktase HMG KoA. Kolesterol pada keadaan normal disintesa dalam makanan yang dimakan, diubah menjadi jaringan, hormon-hormon, vitamin yang kemudian beredar di dalam tubuh melalui darah, namun ada juga kolesterol kembali ke dalam hati untuk diubah menjadi asam empedu dan garamnya, hasil sintesa kolesterol disimpan dalam jaringan tubuh (Masharani dan German, 2011).Pada penyandang DM Tipe 2, menunjukkan asam lemak bebas yang berlebihan. Oksidasi asam lemak bebas oleh otot dan jaringan lain dapat menghambat glikolisis dan mengurangi pembuangan glukosa yang distimulasi insulin. Peningkatan simpanan lemak di adiposit dan pelepasan asam lemak bebas menyebabkan peningkatkan uptake lipid dan penyimpanan pada jaringan non-adiposa seperti otot, hati, dan sel beta pankreas. Simpanan lemak ektopik pada jaringan tersebut menyebabkan penurunan dari sensitivitas insulin. Metabolisme asam lemak bebas yang berlebihan juga merupakan petunjuk adanya kerusakan metabolisme lipid. Peningkatan asam lemak bebas menyebabkan sekresi VLDL oleh hepar juga meningkat yang membawa serta trigliserida dan kolesterol ke dalam sirkulasi. Akibatnya, LDL kolesterol meningkat sedangkan HDL menurun. Padahal kolesterol HDL berperan dalam membalikkan transpor kolesterol, yang memungkinkan organ hati untuk membuang kelebihan kolesterol dalam jaringan perifer. Di sisi lain, LDL mengandung paling banyak kolesterol dari semua lipoprotein, dan merupakan pengirim kolesterol utama dalam darah. Oleh karena itu, pengukuran fraksi lipid kolesterol total terlihat meningkat pada penderita DM tipe 2 (Masharani dan German, 2011). 2.4 Diabetes Mellitus2.4.1 Definisi

Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan ditandai oleh kenaikan kadar glukosa plasma. Etiologinya dapat berupa kelainan pada sekresi insulin, kerja insulin ataupun keduanya yang timbul sebagai respon terhadap pengaruh genetik dan lingkungan (Purnamasari et al., 2011 ; Ahmed et al., 2013). Menurut American Diabetes Association (2014), diabetes melibatkan kelainan aspek metabolik dan vaskuler. Oleh karena itu, selain penanganan medis juga diperlukan edukasi tentang self management, dan dukungan yang berkelanjutan guna mencegah komplikasi akut maupun kronis.

Diagnosis DM mulai ditegakkan apabila dari hasil pemeriksaan menunjukkan : 1) Kadar gula darah sewaktu lebih atau sama dengan 200 mg/dl disertai dengan gejala klinis klasik diabetes; atau 2) Kadar gula darah puasa lebih dari atau sama dengan 126 mg/dl; atau 3) Kadar gula darah pada 2 jam setelah beban glukosa 75 gram pada tes toleransi glukosa adalah lebih atau sama dengan 200 mg/dl; atau 4) Nilai A1c lebih dari atau sama dengan 6,5%. Kriteria 2, 3, dan 4 bila tidak disertai gejala klinis diabetes harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan ulangan (ADA, 2014).

2.4.2 Klasifikasi

Berdasarkan etiologinya DM dapat dibagi menjadi DM tipe 1, DM tipe 2, DM dalam kehamilan, dan diabetes tipe lain. DM tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel pankreas (reaksi autoimun) dalam menghasilkan insulin yang berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam tubuh. Perusakan sel ini lebih cepat terjadi pada anak-anak daripada dewasa (ADA, 2014).

DM tipe 2 merupakan tipe DM terbanyak dan paling sering dijumpai, yang dulu dikenal sebagai non insulin dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Bentuk DM ini bervariasi mulai dari gangguan sekresi insulin, kerja insulin maupun kombinasi keduanya. DM tipe 2 umumnya terjadi pada usia > 40 tahun walaupun pada masa sekarang mulai ditemukan di usia muda. Pada diabetes, pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi resistensi insulin karena terjadi penurunan kerja insulin di jaringan perifer (insulin resistance) dan disfungsi sel pankreas. Pada DM tipe 2 terjadi gangguan pengikatan glukosa oleh reseptornya tetapi produksi insulin masih dalam batas normal sehingga penderita tidak tergantung pada pemberian insulin. Seseorang dengan DM tipe 2 tidak mempunyai resiko terkait penyakit autoimun tetapi lebih cenderung disertai kelainan metabolik. Obesitas, hipertensi, dan dislipidemia sering berhubungan dengan kondisi ini. Kelainan metabolik yang menyertai DM tipe 2 sering meningkatkan resiko komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler (Hupfeld et al., 2010 ; Purnamasari dan Poerwantoro, 2011).

Diabetes mellitus gestational adalah kehamilan yang disertai dengan intoleransi glukosa. Subkelas DM lainnya yakni individu mengalami hiperglikemia akibat kelainan spesifik (kelainan genetik fungsi sel beta, endokrinopati, penggunaan obat yang mengganggu fungsi sel beta, penggunaan obat yang mengganggu kerja insulin dan infeksi atau sindroma genetik) (ADA, 2014). Tabel 2.1. Klasifikasi diabetes Klasifikasi

I. Diabetes tipe 1 (destruksi sel , defisiensi insulin absolut)

a. Dimediasi imun

b. Idiopatik

II. Diabetes tipe 2 (predominan resistensi insulin dengan defisiensi insulin relatif sampai predominan defek sekresi dengan resistensi insulin)III. Tipe spesifik lainnya

a. Kelainan genetik fungsi sel betab. Kelainan genetik kerja insulin

c. Penyakit dari eksokrin pankreas

d. Endokrinopati

e. Obat-obatan

f. Bentuk diabetes diperantarai imun yang tidak umum

Lanjutan tabel 2.1. Klasifikasi diabetes g. Sindrom genetik lainnya

IV. Diabetes mellitus gestasional

(ADA, 2014)2.4.3 Prevalensi Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia. Di Amerika, diperkirakan hampir 20 juta orang yang menderita DM tipe 2 (Jameson et al., 2010). Penyandang diabetes akan mengalami peningkatan jumlah yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. Di beberapa negara pada tahun 2010 menunjukkan 6,4% atau 285 juta penduduk usia 20-79 tahun mengalami DM dan akan terus meningkat sebesar 7,7% atau 439 juta penduduk pada tahun 2030. Antara tahun 2010 sampai dengan 2030 di negara berkembang terjadi peningkatan 69% karena adanya perubahan lingkungan dan gaya hidup yang cepat (Shaw et al., 2010). WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009 juga memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Dari laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030. Hasil penelitian pada rentang tahun 19802000 menunjukkan peningkatan prevalensi yang sangat tajam. Sebagai contoh, pada penelitian di Jakarta (daerah urban), prevalensi DM dari 1,7% pada tahun 1982 naik menjadi 5,7% pada tahun 1993 dan meroket lagi menjadi 12,8% pada tahun 2001. Pada tahun 2003 prevalensi DM pada daerah urban (14,7%) lebih besar daripada daerah rural (7,2%), maka diperkirakan terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan diperkirakan terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 oleh Departemen Kesehatan, menunjukkan bahwa prevalensi DM di daerah urban Indonesia untuk usia diatas 15 tahun sebesar 5,7% (PERKENI, 2011). Prevalensi penderita DM (responden dengan riwayat DM) di perkotaan Indonesia meningkat sesuai usia, meningkat tajam pada kelompok usia 35 tahun ke atas, tertinggi pada kelompok 55-64 tahun, yaitu sebesar 28,7%, tetapi mulai usia 65 tahun terlihat mulai menurun drastis (Mihardja, 2009).2.4.4 Patofisiologi

Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu resistensi insulin dan disfungsi sel beta pankreas.

Akhir-akhir ini banyak juga dibahas mengenai peran sel beta pankreas, islet amiloid polipeptida dan sebagainya. Resistensi insulin adalah keadaan metabolik dimana insulin tidak dapat bekerja optimal dibandingkan dengan konsentrasinya dalam darah. Defek kerja insulin pada sel-sel targetnya seperti sel otot, sel lemak dan sel hepar adalah yang paling umum terjadi pada DM tipe 2. Resistensi insulin dan disfungsi sel beta pankreas berkaitan dengan faktor genetik dan lingkungan (hiperglikemia, asam lemak bebas, mekanisme inflamasi, dan lain sebagainya). Keadaan resisten terhadap efek insulin menyebabkan sel beta pankreas mensekresi insulin dalam kuantitas yang lebih besar untuk mempertahankan homeostasis glukosa darah, sehingga terjadi hiperinsulinemia terkompensasi untuk mempertahankan keadaan euglikemia. Pada tahap tertentu dari perjalanan penyakit DM tipe 2, kadar glukosa darah mulai meningkat walaupun dikompensasi dengan hiperinsulinemia. Di sisi lain juga terjadi peningkatan asam lemak bebas dalam darah. Saat ini berbagai pembahasan difokuskan terhadap peran adipokin dalam resistensi insulin. Diketahui bahwa TNF-, leptin, resisten, dan asam lemak bebas bekerja meningkatkan resistensi, tetapi adiponektin dapat memperbaiki resistensi. Adiponektin bertugas menjaga keseimbangan glukosa dalam tubuh melalui peningkatan sensitivitas organ-organ tubuh terhadap insulin (Hupfeld et al., 2010 ; Kaku, 2010).

Keadaan glukolipotoksisitas akibat kekurangan insulin relatif (walaupun telah dikompensasi dengan hiperinsulinemia) mengakibatkan sel beta pankreas mengalami disfungsi dan terjadilah gangguan metabolisme glukosa berupa Glukosa Puasa Terganggu, Gangguan Toleransi Glukosa dan akhirnya DM tipe 2. Akumulasi lipid pada sel beta pankreas tersebut yang dapat mengakibatkan terjadinya proses apoptosis dan perkembangan kegagalan sekresi insulin pada diabetes tipe 2. (Hupfeld et al., 2010 ; Kaku, 2010).2.4.5 Pemeriksaan kadar gula darah

Pemeriksaan kadar glukosa darah untuk diagnosis DM tipe 2 meliputi kadar glukosa darah sewaktu dan GDP. Pemeriksaan tersebut dipengaruhi oleh cara sampling, penyimpanan dan waktu pemrosesan darah, kurang stabil, membutuhkan persiapan khusus, tidak bisa dilakukan setiap waktu, kurang nyaman sehingga sulit dilakukan pemeriksaan ulangan, perubahan diit, stress, aktivitas jangka pendek, variabilitas biologis yang tinggi. Namun, selama ini telah dipakai untuk diagnosis DM, memiliki perbedaan hasil yang kecil antar laboratorium, lebih murah dan dapat diterima pasien (Ginsberg, 2009 ; WHO, 2011).

Glukosa darah sewaktu merupakan tes yang paling tidak sensitif, biasanya pasien sudah menderita komplikasi mikrovaskuler dan atau makrovaskuler saat terdiagnosis tapi memiliki spesifisitas hampir 100%. Glukosa darah puasa juga kurang sensitif dalam mendeteksi diabetes berdasarkan TTGO. Hal ini disebabkan pada TTGO terdapat variasi biologis dan analitik yang lebih tinggi dalam beberapa individu dibandingkan dengan GDP. Beberapa penelitian melaporkan hampir sebagian besar pasien dengan diabetes yang terdiagnosis dengan TTGO akan missed bila menggunakan kriteria GDP. Sementara itu, total koefesien variasi pada HbA1c adalah yang paling rendah di antara GDP dan TTGO yakni sekitar 4%. Hal ini memungkinkan bahwa peningkatan HbA1c lebih memberikan konfirmasi secara tegas dalam mendiagnosis diabetes daripada hasil TTGO yang meningkat (Berg, 2013).

American Association Diabetes (ADA) secara resmi telah mengesahkan penggunaan HbA1c 6,5% sebagai pilihan untuk diagnosis DM tipe 2 pada awal tahun 2010 setelah International Expert Committee merekomendasikan pada tahun 2009 kemudian diikuti oleh WHO pada awal tahun 2011 dimana nilai