Resistivitas dan Konduktivitas Konduktor dan Semikonduktor Terhadap.docx
Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan ... · Gambar 7 Profil vertikal suhu potensial...
Transcript of Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan ... · Gambar 7 Profil vertikal suhu potensial...
6
4. Parameter Stabilitas Statis lokal (s)
Parameter stabilitas statis merupakan nilai
yang digunakan untuk mengidentifikasi
ketidakstabilan atmosfer. Tetapi
penggunaan parameter ini sudah tidak
relevan lagi, sehingga untuk
mengidentifikasi ketidakstabilan atmosfer
digunakan parameter stabilitas statis non-
lokal (θ) (Arya 2001). Untuk menentukan
parameter stabilitas statis lokal digunakan
persamaan:
𝑠 =𝑔
𝑇𝑣 𝑥
𝜕𝜃
𝜕𝑍.........................................(7)
(Arya P 2001)
5. Richardson Number (Ri)
Richardson Number merupakan ratio
antara gaya bouyance (faktor konveksi)
dengan shear angin. Nilai Ri digunakan
untuk mengidentifikasi terjadinya
turbulensi (Holton 2004).
𝑅𝑖 = 𝑔 . ∆𝜃𝑣 . ∆𝑍
𝑇𝑣 . ∆𝑈 2+ ∆𝑉 2 ........................(8)
(Arya P 2001)
3.3.2 Mengkonversi data
Data yang telah diolah dalam perangkat
lunak Ms. Excel yang ber-ekstensi .xls
dikonversi ke dalam bentuk .mat (matlab) agar
lebih mudah dalam pembuatan profil vertikal
variabel-variabel ABL.
3.3.3 Membuat profil vertikal variabel-
variabel ABL
Nilai-nilai variabel ABL yang telah ber-
ekstensi .mat diplotkan dalam plot tiga
dimensi menggunakan syntax dalam software
matlab dan disimpan dalam bentuk .fig (Away
2006).
3.3.4 Menentukan ketebalan ABL
Berdasarkan pola profil suhu potensial
virtual secara diurnal, ditentukan ketebalan
ABL dengan terlebih dahulu menentukan
ketebalan Mixing Layer (ML), Stable
Boundary Layer (SBL), dan Residual Layer
(RL) dengan menggunakan prinsip stabilitas
statis non-lokal.
Gambar 7 Profil vertikal suhu potensial virtual sebagai parameter stabilitas statis non-lokal (sumber: Stull, 1999).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Teori Meteorologi Atmospheric
Boundary Layer
4.1.1 Konsep Atmospheric Boundary Layer
(ABL)
Konsep ABL dalam aliran fluida pertama
kali ditemukan oleh Froud yang melakukan
penelitian tentang tahanan gaya gesek dari
lempengan tipis ketika diseret di dalam air
pada tahun 1870an. Sedangkan pemahaman
tentang ABL sendiri pertama kali
dipublikasikan dalam sebuah literatur oleh
Prandtl tahun 1905 yang bekerja di bidang
aerodinamik yang fokus pada aliran fluida
dengan viskositas rendah hingga tinggi. Dalam penelitiannya ia memperkenalkan
transisi dan kekasapan sebuah lapisan
aerodinamik yang tipis (Garrat 1992).
Dalam konteks atmospheric, para ahli
meteorologi cukup sulit untuk mendefinisikan
ABL. Dengan usaha yang cukup keras
akhirnya ABL didefinisikan sebagai lapisan
udara yang berhubungan langsung dengan
permukaan bumi yang memberikan pengaruh
langsung pada permukaan (gaya gesek,
pemanasan, dan pendinginan) dalam rentang waktu yang relatif singkat (kurang dari satu
hari) (Garrat 1992).
4.1.1.1 Definisi Atmospheric Boundary Layer
(ABL)
Matahari terbit, matahari terbenam, dan
terbit lagi, terus berulang membentuk siklus
harian. Siklus harian dari pemanasan radiasi
matahari menyebabkan siklus fluks panas
7
laten dan panas terasa diantara permukaan
bumi dan udara. Bagaimanapun, fluks tidak
dapat secara langsung mencapai keseluruhan
atmosfer. Fluks-fluks tersebut dihasilkan oleh
troposfer pada lapisan yang dangkal dekat
permukaan bumi yang disebut Atmospheric
Boundary Layer (ABL). Kondisi di dalam
lapisan ABL tersebut menyebabkan siklus
diurnal (harian) beberapa unsur-unsur
meteorologi (suhu, kelembaban, dan angin)
dan variasi polusi udara. Turbulensi intensif juga terjadi di dalam lapisan ABL, inilah salah
satu karakter alami yang menyebabkan ABL
begitu unik (Stull 2000).
ABL didefinisikan Stull (1999) sebagai
bagian dari troposfer yang dipengaruhi
langsung oleh pemukaan bumi dan
merespon karakter-karakter permukaan
dalam rentang waktu satu jam atau
kurang. Karakter permukaan yang
mempengaruhi ABL yaitu gaya gesek antar
lapisan udara, evaporasi dan transpirasi, transfer panas, emisi polutan, dan tanah
lapang yang menyebabkan modifikasi aliran.
Secara langsung, keseluruhan troposfer dapat
berubah dengan merespon karakter-karakter
permukaan, tetapi respon ini relatif lemah di
luar batas ABL. Dengan demikian, kalimat
merespon karakter permukaan dalam rentang
waktu satu jam atau kurang bukan berarti
bahwa ABL mencapai keseimbangannya
dalam waktu tersebut, hanya saja perubahan
paling kecil dimulai dalam rentang waktu tersebut (Stull 1999).
4.1.1.2 Formasi Atmospheric Boundary
Layer (ABL)
ABL yang sering turbulen menyebabkan
percampuran sehingga bagian bawah atmosfer
menjadi homogen, daerah ini dinamakan
sebagai daerah turbulensi. Suhu potensial
udara dari atmosfer standar yang lebih hangat
di bagian atas bercampur dengan suhu
potensial udara di bagian bawah yang lebih
dingin menghasilkan suhu potensial udara campuran yang sedang dan seragam dengan
naiknya ketinggian. Kondisi ABL yang sangat
turbulen ini menyebabkan ABL disebut
sebagai Mixed Layer (ML). Di atas ML udara
tidak dimodifikasi oleh turbulen sehingga
profil suhu udara sama dengan skenario
standar atmosfer, lapisan ini disebut sebagai
Free Atmosphere (FA).
Adanya turbulen di ML menyebabkan
terjadinya lapisan campuran, sedangkan pada
lapisan di atasnya yaitu FA yang tidak tercampur terjadi kenaikan suhu. Daerah ini
disebut sebagai daerah inversi, ketinggian
inversi disimbolkan dengan zi dan daerah ini
digunakan sebagai ukuran dalam menentukan
ketebalan ABL. Inversi pada lapisan FA
berperan seperti cap (penutup) bagi ABL. Jika
turbulen memaksa keluar dari ABL, maka
udara akan lebih dingin dari lingkungan
sekitarnya, sehingga Bouyance Force (gaya
apung) yang kuat akan menekan kembali ke
lapisan campuran. Batas inversi pada lapisan
atas ABL menyebabkan troposfer terbagi
menjadi dua bagian yaitu ABL yang sangat turbulen (ML) dan FA yang lebih laminar
(Gambar 8).
Gambar 8 Troposfer dibagi menjadi dua bagian yaitu Boundary Layer dan free atmosfer
(modifikasi dari: Stull 1999)
Ketebalan ABL sangat di pengaruhi oleh faktor lokasi dan waktu. Turbulen
menyebabkan ABL merasakan langsung
pengaruh permukaan bumi (Stull 2000).
Gambar 9 Variasi suhu potensial di dalam Atmospheric Boundary Layer dan Free Atmosfer. Siklus harian pemanasan dan pendinginan yang kita kenal di dekat permukaan tidak terjadi di atas Boundary Layer (modifikasi dari: Stull 2000)
4.1.1.3 Evolusi dan Struktur Atmospheric
Boundary Layer (ABL)
ABL dibagi ke dalam tiga komponen, yaitu Mixed Layer (ML) atau Convective
Boundary Layer (CBL) yang terjadi pada
siang hari saat kondisi atmosfer unstable,
FA
ABL
Troposfer
Tropopause
Bumi
8
Stable Boundary Layer (SBL) yang terbentuk
saat kondisi atmosfer stable terbentuk di
bawah Residual Layer (RL) yaitu lapisan
atmosfer yang netral, kedua lapisan ini
terbentuk pada malam hari (Gambar 10).
Gambar 10 ABL di bagi menjadi tiga bagian mixed
layer (ML), stable boundary layer (SBL), dan residual layer (RL) (modifikasi dari: Stull 1999)
Surface Layer (SL) disebut juga sebagai
Prandtl Layer, lapisan ini ketebalannya antara
20-100 m. Pada lapisan ini turbulen relatif
konstan terhadap ketinggian. Pengaruh gaya
koriolis dapat diabaikan dekat permukaan,
jadi pembentukan angin di dalam Prandtl
Layer dapat diabaikan. Kecepatan angin
meningkat dengan kuat pada lapisan ini,
kecepatannya bahkat lebih kuat setengah kali
lipat dari kecepatan angin pada puncak ABL
(Zdunkowski dan Bott 2003). Di atas lapisan Prandtl yang merupakan
ML disebut juga sebagai Ekman Layer,
ketebalannya mencapai 1000 m tergantung
pada stabilitas atmosfer. Turbulensi pada
lapisan ini menurun hingga nol pada puncak
ekman layer. Di atas Ekman Layer aliran
udara relatif tidak turbulen (turbulensi sangat
lemah). Pengaruh gaya koriolis pada lapisan
ini menyebabkan pembentukan vektor angin.
Daerah antara permukaan bumi hingga puncak
Ekaman Layer di sebut Planetary Boundary Layer (Atmospheric Boundary Layer)
(Zdunkowski dan Bott 2003).
Dalam siklus ABL di daratan, transisi
terjadi di antara dua model dasar yang
mendekati kondisi netral. Seperti siklus
diurnal yang menunjukkan dua tahapan
utama, pertama model unstable, pada model
ini lapisan campuran terjadi setelah matahari
terbit dan berlangsung sampai sore hari atau
ketika evening trantition terjadi. Kedua,
model stable yang terbentuk setelah matahari
terbenam dan mulai menghilang ketika pagi hari menjelang matahari terbit, memberikan
sedikit jeda hingga lapisan campuran terjadi
lagi (Columbie 2008).
ABL secara kontinyu merespon
pemanasan dan pendinginan permukaan bumi,
yang menyebabkan ABL memiliki kondisi
yang berbeda yang digambarkan dalam bentuk
yang sederhana. Bentuknya mengikuti
pergerakan matahari, ketika matahari terbit
sebuah CBL terbentuk di dekat permukaan
kemudian sinar matahari memanaskan
permukaan. CBL tumbuh pada pagi hari hingga mencapai ketebalan 1-2 km pada siang
hari. Inversi permukaan umumnya ada
sebelum matahari terbit yang menjadi lapisan
penutup, lapisan ini terus naik seiring dengan
naiknya CBL (Kaimal dan Finnigan 1994).
Gambar 11 Evolusi CBL dan SBL dalam merespon
pemanasan dan pendinginan permukaan
(modifikasi dari: Garrat 1992)
4.1.2 Parameter Karakter Atmospheric
Boundary Layer (ABL)
ABL adalah lapisan yang sangat
dipengaruhi oleh permukaan bumi. Interaksi
antara ABL dan permukaan bumi
menyebabkan terjadinya proses-proses unik
yang menjadi karakter ABL. Karakter-
karakter ABL tersebut dapat diidentifikasi
oleh beberapa parameter/variabel meteorologi
seperti suhu udara, kelembaban, dan
kecepatan angin. Selain variabel-variabel
meteorologi tersebut, faktor stabilitas atmosfer juga menjadi hal yang penting dalam
menentukan karakter ABL.
4.1.2.1 Stabilitas Atmosfer
Dalam menentukan stabiltas atmosfer
dilakukan dengan dua pendekatan yaitu
stabilitas statis dan stabilitas dinamis. Pada
stabilitas statis penentuan stabilitas atmosfer
didasarkan pada gaya apung (Bouyance
Force) dan tidak mempertimbangkan shear
9
angin. Sedangkan pada stabilitas dinamis
mempertimbangkan gaya apung dan shear
angin.
Stabilitas Statis
Stabilitas statis membagi kondisi atmosfer
menjadi tiga yaitu kondisi unstable, neutral,
dan stable. Ketiga kondisi tersebut didasarkan
pada laju penurunan suhu terhadap ketinggian
(lapse rate). Ahrens (2002) membagi laju
penurunan suhu ke dalam tiga kategori yaitu SALR (Saturated Adiabatic Lapse Rate),
DALR (Dry Adiabatic Lapse Rate), dan ELR
(Environmental Lapse Rate). Berdasarkan
data radisonede nilai lapse rate tersebut
adalah:
SALR = 6˚C/1000 m
ELR = 4˚C/1000 m, stable
DALR = 10˚C/1000 m
ELR = 11˚C/1000 m, unstable
a) Unstable
Kondisi unstable terjadi ketika ELR lebih
besar dari DALR. Kondisi ketidakstabilan
(conditional instability) terjadi ketika ELR berada diantara SALR dan DALR. Rata-rata
ELR di tropsfer adalah 6.5˚C/1000m. Nilai ini
berada diantara DALR dan rata-rata SALR,
dengan demikian kondisi atmosfer di troposfer
cenderung dalam kondisi ketidakstabilan
(Ahrens 2002).
Penyebab ketidakstabilan adalah suhu
udara lebih dingin dibandingkan dengan suhu
permukaan. Penyebab suhu udara menjadi
dingin adalah:
1. Angin yang membawa udara dingin
(adveksi dingin)
2. Perawanan yang mengemisikan radiasi
infra merah ke atmosfer.
Penyebab suhu permukaan menjadi lebih
hangat adalah:
1. Pemanasan matahari pada siang hari
2. Aliran udara hangat yang dibawa oleh
angin
3. Pergerakan udara yang melalui permukaan
yang hangat
Jika gaya apung memindahkan parsel
udara ke bagian yang lebih atas dari titik
mula-mula, maka udara diantara ketinggian
titik mula-mula dengan ketinggian parsel saat
berpindah menjadi tidak stabil. Karena
ketidakstabilan ini persel udara akan terus
bergerak ke atas menghasilkan srkulasi
konvektif bahkan awan konvektif.
Untuk menentukan daerah tidak stabil
menggunakan perpindahan parsel udara secara stabilitas statis non-lokal. Parsel udara yang
memiliki suhu potensial relatif maksimum
berdasarkan konsep akan naik secara
adiabatik. Begitu pula sebaliknya, parsel udara
yang memiliki suhu potensial yang relatif
minimum akan turun secara adiabatik pula
hingga menyentuh sounding atau permukaan
tanah. Daerah tempat pergerakan persel
tersebut disebut sebagai daerah statically
unstable. Suhu potensial relatif maksimum
adalah suhu parsel udara yang lebih hangat
dari suhu lingkungan, sedangkan suhu potensial relatif minimum adalah suhu parsel
udara yang lebih rendah dari suhu lingkungan
(Stull 2000).
(a)
(b)
Gambar 12 Kondisi atmosfer unstable pada parsel udara kering (a); Kondisi atmosfer unstable pada parsel udara jenuh (b) (modifikasi dari: Ahrens 2002)
b) Neutral
Bagian dari sounding dimana ELR sama
dengan Adiabatic Lapse Rate (ALR), tetapi
kondisinya berbeda dengan nonlocally unstable, kondisi seperti ini disebut statically
neutral. Parsel udara yang bergerak dalam
lingkungan ini tidak akan merasakan gaya
apung.
10
∆𝑇
∆𝑍≈ −
г𝑑г𝑠
atau ∆𝜃
∆𝑍≈
0г𝑑 − г𝑠
(Stull 2000).
c) Stable
Kondisi stable adalah suatu kondisi
dimana ELR selalu lebih kecil dari SALR.
Pada kondisi stabil, ELR 4˚C/1000 m
sehingga nilai ELR selalu lebih kecil dari
SALR dan DALR pada semua level. Pada
kondisi stable, atmosfer menahan gerakan
vertikal parsel udara menyebabkan parsel
udara cenderung bergerak secara horizontal. Pada kondisi ini akan terbentuk awan secara
horizontal seperti awan cirrostratus,
altostratus, nimbostratus, atau stratus.
Kondisi stable terjadi ketika laju suhu
lingkungan sangat kecil dan ketika perbedaan
suhu udara dan suhu udara permukaan relatif
kecil. Kondisi stabil juga terjadi apabila suhu
permukaan lebih dingin dibandingkan dengan
suhu udara di atasnya. Suhu lingkungan dapat
menjadi dingin disebabkan oleh beberapa
faktor:
1. Pendinginan permukaan pada malam hari
2. Aliran udara permukaan dingin yang
dibawa oleh angin (cold advection)
3. Pergerakan udara yang melalui permukaan
yang dingin
Bagian dari sounding dimana penurunan
suhu terhadap ketinggian lebih kecil dari
adiabatik, dan kondisinya berbeda dengan
nonlocally unstable, kondisi ini disebut
statically stable. Parsel udara yang bergerak di
daerah ini akan mengalami gaya apung yang
berlawanan arah dengan perpindahannya. ∆𝑇
∆𝑍> −
г𝑑г𝑠
atau ∆𝜃
∆𝑍>
0г𝑑 − г𝑠
Dalam kondisi tidak jenuh parsel udara
akan statically stable jika suhu potensial
bertambah terhadap ketinggian (Stull 2000).
(a)
(b)
Gambar 13 Kondisi atmosfer stable pada
parsel udara kering (a); kondisi
stable pada parsel udara jenuh
(b). (modifikasi dari: Ahrens,
2002)
Stabilitas statis non-lokal
Stabilitas statis non-lokal merupakan
pembaharuan dari stabilitas statis lokal.
Karena stabilitas statis lokal dianggap sudah
tidak relevan dalam menggambarkan stabilitas
atmosfer. Pada stabilitas statis lokal stabilitas
atmosfer digambarkan menggunakan
parameter stabilitas statis (s) yang
dirumuskan:
𝑠 = 𝑔/𝑇𝑣 𝜕𝜃𝑣/𝜕𝑧 Tetapi parameter ini kurang relevan untuk
menggambarkan seluruh kondisi stabilitas
atmosfer di dalam ABL karena pada Surface
Layer (SL) kondisi atmosfer superadiabatik
menyebabkan parsel udara mengalami
perpindahan yang signifikan sebelum parsel
udara mencapai ML. Oleh sebab itu stabilitas
statis lokal diubah menjadi stabilitas statis non-lokal yang menggunakan parameter suhu
potensial virtual (θv).
Dalam menentukan stabiltas atmosfer
untuk tiap-tiap lapisan, parsel udara akan
bergerak naik atau turun dari semua titik asal
yang memungkinkan untuk mulai. Dalam
praktek, perhatikan titik maksimum atau titik
minimum suhu potensial virtual parsel udara.
Parsel udara bergerak naik atau turun
tergantung pada gaya apung parsel bukan
pada Lapse Rate lokal. Gaya apung parsel
udara hangat untuk naik dan gaya apung parsel udara dingin untuk turun. Dengan
demikian stabilitas statis non-lokal dapat
dibagi menjadi empat kategori yaitu unstable,
stable, neutral, dan unknown (Arya 2001).
11
Gambar 14 Karakteristik stabilitas statis nonlokal
berdasarkan suhu potensial virtual (sumber: Arya P 2001)
Stabilitas Dinamis
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam
penentuan stabilitas atmosfer dengan
menggunakan pendekatan stabilitas dinamik
tidak hanya memperhatikan faktor gaya apung
tetapi shear angin juga memiliki peran penting. Dalam stabilitas aliran angin dapat
menjadi turbulen dalam statically stable jika
shear angin cukup kuat. Dalam menentukan
stabilitas atmosfer dan turbulensi pada
stabilitas dinamis digunakan parameter
Richadson number yang tidak berdimensi.
𝑅𝑖 = 𝑔 . ∆𝑇𝑣+Г 𝑑 . ∆𝑍
𝑇𝑣 . ∆𝑈 2+ ∆𝑉 2
atau
𝑅𝑖 = 𝑔 . ∆𝜃𝑣 . ∆𝑍
𝑇𝑣 . ∆𝑈 2+ ∆𝑉 2
atau
𝑅𝑖 =𝑁𝐵𝑉
2 . ∆𝑍 2
∆𝑈 2+ ∆𝑉 2
Dimana ∆𝑇𝑣 , ∆𝑈, dan ∆𝑉 adalah suhu
virtual dan kecepatan angin yang pada
ketinggian ∆𝑍 = 𝑍2 − 𝑍1. Lapse rate
adiabatik kering Гd = 9.8 K/km. Suhu udara
dalam Kelvin. Pada udara yang relatif kering Tv ≡ T dan θv ≡ θ.
Dalam pendekatannya, untuk menentukan
Dynamic Unstable dan turbulensi digunakan
Richardson Number. Suatu kondisi atmosfer
dikatan tidak stabil dan turbulen apabila Ri <
Ric. Ric adalah Critical Richardson Number
yang bernilai 0.25. Untuk Richardson Number
yang bernilai lebih besar dari 0.25
menunjukkan bahwa kondisi atmosfer
Statically Stable. Sedangkan kondisi atmosfer
yang tidak stabil menghasilkan Richardson Number yang bernilai lebih kecil dari 0.25
bahkan bernilai negatif, yang dinamakan
Dynamical Instability. Udara yang menjadi
Dynamical Instability sering disebut sebagai
gelombang kevin-helmholtz.
Baik stabilitas dinamis maupun stabilitas
statis belum memberikan pengukuran yang
tepat tentang eksistensi turbulensi. Dalam
stabilitas statis tidak memasukkan pengaruh
shear angin dalam menghasilkan turbulensi.
Sedangkan dalam stbilitas dinamis tidak
memasukkan proses-proses non-lokal yang
dapat menghasilkan turbulensi. Sehingga dalam menentukan turbulensi diperlukan
kedua pendekatan tersebut (Stull 2000).
4.1.2.2 Profil Vertikal Suhu dan
Kelembaban
Pemanasan permukaan menyebabkan
lapisan thermal naik dari permukaan yang
menghasilkan turbulensi. Gaya gesek
permukaan yang menyebabkan angin dekat
permukaan lebih lambat daripada angin pada
lapisan yang lebih atas, juga menghasilkan turbulensi. Turbulensi dihasilkan oleh proses
percampuran suhu potensial dekat permukaan
yang nilainya relatif lebih rendah dengan suhu
potensial dari ketinggian tertentu yang
nialinya lebih tinggi. Dengan demikian profil
suhu potensial dapat digunakan untuk
menentukan ketebalan ABL.
Capping Inversion (CI) adalah batas atas
ABL yang dicirikan dengan stabilitas statis,
yang menekan turbulen di dalamnya.
Turbulen dari bawah sulit menembus CI dan tetap berada di dalam ABL. Dengan demikian
turbulensi membantu pembentukan CI dan CI
memerangkap turbulen di dalam ABL
(Wallace dan Hobbs 2006).
Stable Boundary Layer (SBL) atau
Nocturnal Boundary Layer (NBL) terbentuk
di dekat permukaan pada malam hari, proses
pembentukannya dengan cara merespon
pendinginginan dari permukaan. Di bagian
atas, CI yang terbentuk pada siang hari masih
tetap ada. SBL dekat permukaan
menghasilkan turbulensi yang lemah. Diantara dua SBL terdapat Residual Layer (RL) dengan
turbulensi sama dengan nol, merupakan
residual panas, kelembaban, dan polutan, dan
tempat terjadinya Mixed Layer (ML) pada
siang hari (Wallace dan Hobbs 2006).
Gambar 15 juga menunjukkan profil
kelembaban spesifik, μ. Evaporasi dari
permukaan pada siang hari menambah
kelembaban pada ABL. Kelembaban spesifik
menurun terhadap ketinggian di dalam SL,
kemudian ketika kelembaban masuk ke dalam lapisan ML menyebabakan lapisan ML lebih
lembab dan pada lapisan yang lebih atas yaitu
12
FA kelembaban menurun drastis melalui CI
(Wallace dan Hobbs 2006).
Gambar 15 Sketsa profil vertikal suhu (T), suhu
potensial (θ), kelembaban spesifik (μ), dan kecepatan angin (V) pada siang hari dan malam hari. FA=Free Atmosfer, EZ=Entrainment Zone, ML=Mixed Layer, SL=Surface Layer, CI=Capping Inversion, RL=Residual Layer, SBL=Stable Boundary Layer, zi= ketinggian capping inversion,
Vg=angin geostrofik (modifikasi dari: Wallace dan Hobbs 2006)
Pada malam hari, udara lembab sebagian
besar berada di tengah dan di bagian atas
ABL. Pendinginan permukaan dapat menyebabkan pembentukan embun dan forst
yang mengurangi kelembaban di lapisan
bawah ABL. Pada kondisi lain, ketika tidak
terjadi embun dan forst, kelembaban relatif
homogen pada bagian tengah dan bawah ABL
(Wallace dan Hobbs 2006).
Profil vertikal suhu dan kelembaban udara
di lautan secara diurnal memiliki variasi yang
kecil (perubahannya sedikit), ini disebabkan
suhu permukaan laut yang sedikit sekali
berubah. Perbedaan suhu permukaan laut pada
siang hari dan malam hari kurang dari 0.5˚C. (Arya 1988).
4.1.2.3 Profil Verikal Kecepatan
Angin
Besar dan arah angin dekat permukaan
serta variasinya terhadap ketinggian di ABL
memiliki karakter yang unik yaitu turbulensi
yang tidak terdapat pada lapisan-lapisan
atmosfer lainnya (Arya 2001).
Gambar 16 Evolusi profil angin di dalam ABL
selama cuaca cerah di dartan (sumber: Stull 2000)
Di daratan selama cuaca cerah angin
mengalami siklus diurnal seperti pada gambar
16. Beberapa jam ssetelah matahari terbit
(pukul 09.00 WS) dimana ketebalan ABL
masih dangkal (300 m) kecepatan angin relatif
homogen terhadap ketinggian dan mendekati
nol di dekat permukaan. Pada siang hari, saat ABL lebih tebal, kecepatan angin tetap
moderate dekat permukaan dan terus
meningkat lebih cepat dengan bertambahnya
ketinggian. Setelah matahari terbenam,
intensitas turbulensi biasanya berkurang, dan
gaya gesek permukaan menghasilkan angin di
lapisan bawah. Bagaimanapun, tanpa
turbulensi, udara di tengah ABL tidak akan
merasakan gaya gesek permukaan dan tidak
akan mengalami percepatan. Pada pukul 03.00
WS kecepatan angin di beberapa ratus meter di atas permukaan mendekati kecepatan angin
geostrofik, walapun kecepatan angin di
permukaan relatif kecil (Stull 2000).
4.1.3 Atmospheric Boundary Layer (ABL)
di Wilayah Lautan
Penutupan awan pada ABL di atas lautan
berbeda dengan di daratan, hal ini di sebabkan
oleh beberapa faktor yaitu:
Kelembaban relatif udara permukaan yang
cenderung lebih tinggi (> 75%).
Karena RH udara yang lebih tinggi pembentukan awan lebih intensif.
Dengan penutupan awan yang tersebar
luas, transfer radiatif memerankan peran
yang lebih penting dan lebih kompleks
dalam keseimbangan panas di dalam ABL.
13
Di beberapa daerah, drizzle memiliki
peran yang penting dalam keseimbangan
panas dan air di ABL.
Siklus diurnal tidak terlalu penting, dan
siklus tersebut di atur oleh faktor fisik
yang berbeda .
(Wallace dan Hobbs 2006).
Di daerah daratan tropis yang merupakan
dasar inversi angin pasat (~1.500 m) memiliki
vertikal transfer yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah Midlatitudes
termasuk konveksi awan cumulus. Ketika
awan terbentuk, Subcloud Layer berperan
sebagai CI dan dasar dari Subcloud Layer
dimana θv mulai meningkat terhadap
ketinggian adalah nilai dasar awan, yang
menjadi batas atas ABL dan digunakan untuk
menentukan ketinggian proses-proses
konveksi dibawahnya (LeMone 1978 dalam
Kaimal dan Finnigan 1994). Sedangkan untuk
wilayah lautan di daerah tropis, gradien suhu
cenderung mendekati nilai adiabatik, dan konveksi dibangkitkan oleh panas laten dari
fluks kelembaban di permukaan. Namun
demikian, CBL di lautan mrnunjukkan
kesamaan dengan CBL di daratan pada daerah
tropis (LeMone 1978 dalam Kaimal dan
Finnigan 1994).
4.2 Profil Vertikal Diurnal Variabel-
Variabel ABL di Tiga Wilayah
Kajian pada Tanggal 02 Februari
2010
4.2.1 Bogor
Bogor terletak di antara 106°43’ BT -
106°51’ BT dan 6°30’ LS - 6°41’ LS serta
mempunyai ketinggian rata-rata minimal 190
m, maksimal 350 m, dan pada stasiun
pengamatan di Kota Bogor ketinggiannya
terletak pada 248 m dpl. Dalam menetukan
karakter ABL digunakan profil vertikal
variabel-variabel ABL yaitu suhu potensial
virtual (θv), kecepatan angin (M), kecepatan
angin meridional (U), kecepatan angin zonal (V), suhu virtual (Tv), mixing ratio (r), dan
parameter stabilitas statis lokal (s) yang
digunakan sebagai pembanding parameter
stabilitas statis non-lokal (θ).
Profil vertikal variabel-variabel ABL
digunakan untuk menganalisa karakter ABL.
Ketebalan merupakan salah satu dari karakter
ABL, dalam menentukan ketebalan ABL,
profil vertikal variabel yang digunakan adalah
suhu potensial virtual dan Mixing Ratio.
Karakter suhu potensial virtual di Wilayah Bogor pada siang hari lebih homogen pada
lapisan ML dan titik CI lebih tinggi
dibandingkan dengan malam hari, pagi hari,
atau sore hari. Pola tersebut mengindikasikan
bahwa ketebalan ABL paling besar terjadi
pada siang hari dan akan menyusut pada
waktu peralihan yaitu pagi dan sore hari dan
ketebalan ABL paling kecil terjadi pada
malam hari. Siang hari suhu udara dekat
permukaan mencapai suhu maksimumnya
sehingga gaya apung yang terjadi pada siang
hari maksimum (konveksi maksimum), selain
karena gaya apung faktor lain yang dapat mempengaruhi kehomogenan suhu potensial
virtual adalah angin yang membawa udara
lebih dingin. Ketika aliran angin yang
membawa udara dingin melalui daratan yang
lebih panas, menyebabkan terjadinya kondisi
unstable, kondisi unstable ini menyebabkan
parsel udara terekspansi secara adiabatik
sehingga suhu potensial virtual senantiasa
konstan hingga titik jenuhnya. Semakin tinggi
suhu permukaan semakin kuat gaya apung
yang menyebabkan semakin tebal ABL. Hal ini mendukung pernyataan Garrat (1992)
tentang ketebalan ABL pada siang hari di
musim panas yang mencapai 5.000 m di
daerah lintang menengah.
Variabel Mixing Ratio yang merupakan
ratio antara massa udara lembab terhadap
massa udara kering menunjukkan kandungan
uap air dalam parsel-parsel udara yang
menyebabkan variabel ini hanya dapat
bergerak hingga titik jenuhnya (lapisan
Capping Inversion) (Wallace dan Hobbs
2006). Berdasarkan profil vertikal Mixing
Ratio, kelembaban siang hari akan
maksimum pada permukaan dan terus
menurun pada lapisan SL, ketika memasuki
lapisan ML, Mixing Ratio menjadi homogen
karena pengaruh turbulensi, dan ketika
mencapai CI, Mixing Ratio akan turun secara
tajam mendekati nol hingga memasuki lapisan
FA. Dan pada malam hari profil Mixing Ratio
pada lapisan SL lebih rendah dibandingkan
dengan lapisan di atasnya, tetapi terus
meningkat pada lapisan ML tengah dan atas
hingga mencapai CI, karena pada malam hari
tidak terjadi evaporasi dan transpirasi
sehingga tidak terjadi penambahan uap air.
Massa uap air yang lebih ringan dibandingkan
dengan massa udara kering sehingga massa
udara yang mengandung uap air akan berada
pada lapisan ML atas dan tengah.
14
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f) Gambar 17 Profil vertikal diurnal parameter-parameter ABL Wilayah Bogor. Suhu potensial virtual (a);
mixing ratio (b); suhu virtual (c); kecepatan angin rata-rata (d); kecepatan angin meridional (e); kecepatan angin zonal (f).
Berdasarkan profil vertikal variabel suhu
potensial virtual dan Mixing Ratio di Daerah
Bogor, ketebalan ABL di Daerah Bogor rata-
rata pada malam hari 165 m, nilai ini lebih
besar pada siang hari yang mencapai lebih
dari 1450 m. Jika dibandingkan dengan
ketebalan ABL di daratan pedalaman pada
lintang menengah yang berkisar antara 1100-
1200 m (Wallace dan Hobbs 2006), ketebalan
ABL di Daerah Bogor lebih besar, ini
disebabkan letak topografis dan lama
penyinaran matahari.
Profil vertikal kecepatan angin terdiri dari
kecepatan angin rata-rata, kecepatan angin
zonal, dan kecepatan angin meridional. Untuk
Wilayah Bogor, secara vertikal arah angin
menyebar secara merata sepanjang hari, tidak
ada arah angin dominan, namun pola
kecepatan angin naik secara tajam
(logaritmik) pada lapisan SL dan turun
mendekati kecepatan angin geostrofik seiring
dengan meningkatnya profil angin terhadap
298 300 302 304 306 308 310 312200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
2200
suhu potensial virtual (K)
keti
ng
gia
n (
m)
pukul 01.00
pukul 04.00
pukul 07.00
pukul 10.00
pukul 13.00
pukul 16.00
pukul 19.00
pukul 22.00
290 292 294 296 298 300 302 304 306 308200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
2200
suhu virtual (K)
keti
ng
gia
n (
m)
pukul 01.00
pukul 04.00
pukul 07.00
pukul 10.00
pukul 13.00
pukul 16.00
pukul 19.00
pukul 22.00
-8 -6 -4 -2 0 2 4200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
2200
kecepatan angin zonal (m/s)
keti
ng
gia
n (
m)
pukul 01.00
pukul 04.00
pukul 07.00
pukul 10.00
pukul 13.00
pukul 16.00
pukul 19.00
pukul 22.00
0.01 0.011 0.012 0.013 0.014 0.015 0.016 0.017 0.018 0.019 0.02200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
2200
mixing ratio
keti
ng
gia
n (
m)
pukul 01.00
pukul 04.00
pukul 07.00
pukul 10.00
pukul 13.00
pukul 16.00
pukul 19.00
pukul 22.00
0 1 2 3 4 5 6 7 8200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
2200
kecepatan angin (m/s)
keti
ng
gia
n (
m)
pukul 01.00
pukul 04.00
pukul 07.00
pukul 10.00
pukul 13.00
pukul 16.00
pukul 19.00
pukul 22.00
-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
2200
kecepatan angin meridional (m/s)
keti
ng
gia
n (
m)
pukul 01.00
pukul 04.00
pukul 07.00
pukul 10.00
pukul 13.00
pukul 16.00
pukul 19.00
pukul 22.00
15
ketinggian, hingga mencapai CI. Kecepatan
angin di Wilayah Bogor pada malam hari
lebih besar dibandingkan pada siang hari, hal
ini karena ada pengaruh turbulensi yang kuat
pada siang hari, sedangkan pada malam hari
pengaruh turbulensi akan menghilang,
sehingga aliran angin cenderung laminar
dengan kecepatan angin yang relatif lebih kuat
dibandingkan siang hari.
Variabel Richardson Number (Ri) yang
merupakan rasio antara faktor konveksi
(Bouyance Force) dan faktor shear angin
menjadi parameter penentu terjadinya
turbulensi. Jika ABL dalam kondisi unstable
dan Ri < 0, turbulensi sangat kuat. Untuk
kondisi stable dan nilai Ri > 0, turbulensi akan
menghilang. Berdasarkan penelitian untuk
nilai Ri kurang dari 0.25 (faktor shear angin
melebihi faktor konveksi) turbulensi cukup
intensif di dalam stable layer (Holton 2004).
4.2.2 Karawang
Karawang terletak di bagian Utara
Provinsi Jawa Barat dan berbatasan langsung
dengan Laut Jawa. Secara geografis
Kabupaten Karawang terletak antara 107º02`–
107º40` BT dan 5º56’–6º34` LS dengan luas
wilayah 1.737,30 km2. Daerah Karawang
sebagian besar merupakan daerah dataran
rendah, dan hanya sebagian kecil dataran
tinggi yang terletak di bagian selatan. Pada
stasiun pengamatan di Kabupaten Karawang
ketinggiannya adalah 53 m dpl. Daerah
Karawang berbatasan langsung dengan laut
(daerah pantai). Pada dasarnya Daerah
Karawang adalah daratan, tetapi mendapat
pengaruh angin dan konduksi panas dari
lautan.
Daerah Karawang adalah daerah dataran
rendah yang berbatasan lansung dengan lautan
(pantai). Berdasarkan profil vertikal variabel
suhu potensial virtual dan mixing ratio di
Daerah Karawang, di dapatkan ketebalan
ABL di Daerah Karwang rata-rata pada siang
hari 1150 m dan pada malam hari 246 m.
Garrat (1992) menjelaskan bahwa daerah
pantai memilki ketebalan ABL yang lebih
kecil dibandingkan dengan ketebalan daratan
pada umumnya, kondisi ini disebabkan oleh
perbedaan suhu udara dan suhu permukaan
daratan dan lautan. perbedaan suhu udara dan
suhu permukaan pada daerah ini tergantung
pada arah angin bertiup. Perbedaannya besar
bila angin bertiup dari arah daratan dan
sebaliknya.
Untuk profil vertikal variabel kecepatan
angin karakternya sama dengan Daerah
Bogor, yaitu memilki kecepatan tinggi dan
alirannya relatif laminar pada malam hari dan
pada siang hari terjadi turbulensi dengan
kecepatan angin relatif kecil dibandingkan
malam hari. Walaupun memiliki karakter
yang sama dengan daratan, kekuatan
kecepatan angin di Daerah Karawang lebih
besar dibandingkan dengan Daerah Bogor.
Secara diurnal kecepatan angin di Daerah
Karawang lebih kuat pada siang hari di
bandingkan pada malam hari, ini
menunjukkan pengaruh angin laut lebih kuat
dibandingkan pengaruh angin darat.
(a) (b)
298 300 302 304 306 308 310 3120
500
1000
1500
2000
2500
suhu potensial virtual (K)
keti
ng
gia
n (
m)
pukul 01.00
pukul 04.00
pukul 07.00
pukul 10.00
pukul 13.00
pukul 16.00
pukul 19.00
pukul 22.00
0.01 0.012 0.014 0.016 0.018 0.02 0.0220
500
1000
1500
2000
2500
mixiing ratio
keti
ng
gia
n (
m)
pukul 01.00
pukul 04.00
pukul 07.00
pukul 10.00
pukul 13.00
pukul 16.00
pukul 19.00
pukul 22.00
16
(c) (d)
(e) (f) Gambar 18 Profil vertikal diurnal parameter-parameter ABL Wilayah Karawang. Suhu potensial virtual (a);
mixing ratio (b); suhu virtual (c); kecepatan angin rata-rata (d); kecepatan angin meridional (e); kecepatan angin zonal (f).
4.2.3 Pulau Pramuka
Pulau Pramuka merupakan salah satu dari
gugusan Kepulauan Seribu yang terletak di
Bagian Timur, yang dikelilingi oleh Laut
Jawa. Secara geografis Pulau Pramuka
terletak antara 5°44’-5°45’ LS dan 106°36’–
106°37’ BT serta memiliki luas 30,08 ha
dengan ketinggian 1 m dpl. Berdasarkan letak
geografisnya tersebut, dapat diasumsikan
bahwa karakter ABL di Pulau Pramuka dapat
menginterpretasikan karakter ABL untuk
wilayah lautan karena kondisi atmosfer Pulau Pramuka mendapat pengaruh yang sangat
besar dari lautan. Profil vertikal suhu
potensial virtual di Pulau Pramuka pada siang
hari mirip dengan profil vertikal suhu
potensial di Daerah Bogor dan Karawang
pada siang hari. Dari hasil penggambaran
profil vertikal suhu potensial di Pulau
Pramuka pada siang hari terlihat adanya ML
atau stabilitas atmosfer yang
merepresentasikan kondisi unstable, tetapi
ketebalannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan ketebalan ABL di Daerah Bogor dan
Karawang. Ketebalan ABL di Pulau Pramuka
ini rata-rata siang hari 433 m dan pada malam
hari 40 m. Berdasarkan penelitian JASIN oleh
Businger dan Charnock tahun 1983 di Laut
Atlantik Timur Laut batas lapisan
stratocumulus yang digunakan sebagai
parameter ketebalan ABL adalah 500 m
(Garrat 1992). Dengan demikian variabel
ABL di Pulau Pramuka dapat mewakili
karakter ABL untuk wilayah lautan. Wallace
dan Hobbs (2006) menyatakan bahwa karakter
ABL di lautan pada siang hari sama dengan
karakter ABL pada malam hari di daratan, tetapi ada suatu kondisi khusus dimana
karakter di lautan pada siang hari sama
dengan daratan pada siang hari. Kondisi
tersebut terjadi Bulan Januari dimana pada
bulan-bulan tersebut terjadi arus panas di
lautan (Kurosio dan Gulf-Stream ) yang
meng-ekspansi hingga perairan Indonesia
yang menyebabkan perairan di Indonesia lebih
hangat, di tambah dengan terjadinya angin
pasat yang menuju ekuator dan barat yang
membawa udara dingin sehingga menyebabkan perpindahan transport panas
antara permukaan laut dan udara yang
mengakibatkan kondisi atmosfer menjadi
unstable walaupun lemah, sehingga pada
kondisi-kondisi seperti ini karakter ABL di
lautan sedikit berubah, mengikuti karakter
0 1 2 3 4 5 6 7 8 90
500
1000
1500
2000
2500
kecepatan angin (m/s)
keti
ng
gia
n (
m)
pukul 01.00
pukul 04.00
pukul 07.00
pukul 10.00
pukul 13.00
pukul 16.00
pukul 19.00
pukul 22.00
290 292 294 296 298 300 302 304 306 308 3100
500
1000
1500
2000
2500
suhu virtual (K)
keti
ng
gia
n (
m)
pukul 01.00
pukul 04.00
pukul 07.00
pukul 10.00
pukul 13.00
pukul 16.00
pukul 19.00
pukul 22.00
-4 -2 0 2 4 6 8 100
500
1000
1500
2000
2500
kecepatan angin (m/s)
keti
ng
gia
n (
m)
pukul 01.00
pukul 04.00
pukul 07.00
pukul 10.00
pukul 13.00
pukul 16.00
pukul 19.00
pukul 22.00
-4 -2 0 2 4 6 8 100
500
1000
1500
2000
2500
kecepatan angin (m/s)
keti
ng
gia
n (
m)
pukul 01.00
pukul 04.00
pukul 07.00
pukul 10.00
pukul 13.00
pukul 16.00
pukul 19.00
pukul 22.00
17
ABL di daratan tetapi dengan kondisi yang
lebih lemah. Di lautan turbulensi terjadi pada
siang hari seperti di daratan, tetapi faktor yang
membangkitkan turbulensi di wilayah lautan
adalah pemanasan dari bawah awan
(konveksi) dan pendinginan dari puncak awan
yang bergerak ke bawah (emisi gelombang
panjang pada puncak awan), namun kekuatan
turbulensi di lautan lebih lemah dibandingkan
dengan daratan.
Profil vertikal variabel Mixing Ratio juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi
ketebalan ABL, kondisi Mixing Ratio di Pulau
Pramuka berbeda dengan daerah Bogor dan
Karawang. Kelembabannya sangat tinggi di
dekat permukaan, menyebabkan ketinggian CI
lebih rendah dibandingkan dengn Daerah
Bogor dan Karawang. Kondisi ini sangat
memungkinkan terbentuknya awan yang
intensif di Pulau Pramuka. Wallace dan Hobbs
(2006) menyatakan bahwa kelembaban di
lautan sangat tinggi bahkan lebih dari 75%, kondisi ini menyebabkan pembentukan awan
diatas lautan lebih intensif dibandingkan
dengan di daratan. Karena kelembaban yang
tinggi menyebabkan sebagian besar wilayah
lautan di naungi oleh awan terutama awan
stratus dan awan stratocumulus. Seperti
halnya suhu potensial virtual, ketebalan
mixing ratio di Pulau Pramuka lebih kecil
dibandingkan dengan daerah Bogor dan
Karawang.
Variabel lainnya yang juga mempengaruhi
karakter ABL di Pulau Pramuka adalah
kecepatan angin. Kecepatan angin di Pulau
Pramuka lebih besar dibandingkan dengan
Daerah Bogor dan Karawang, karena di Pulau
Pramuka penghalang aliran angin lebih sedikit
(gaya gesek permukaan lebih kecil) menyebabkan alirannya relatif lebih laminar.
Kecepatan angin yang cukup tinggi secara
horizontal dan aliran yang relatif laminar
dapat membantu distribusi panas pada
permukaan lautan. Profil vertikal kecepatan
angin di Pulau Pramuka mengalami kenaikan
yang tajam pada daerah SL kemudian turun
mendekati kecepatan angin geostrofik pada
daerah CI. Secara umum semua karakter
variabel-variabel ABL di Pulau Pramuka tidak
berubah terlalu besar secara diurnal, gaya apung yang lemah menyebabkan ketebalan
ABL di Pulau Pramuka lebih kecil
dibandingkan Daerah Bogor dan Karawang
dan sedikitnya penghalang dalam aliran angin
menyebabkan kecepatan angin relatif lebih
kuat di Pulau Pramuka.
(a) (b)
(c) (d)
(a) (b)
(c) (d) Gambar 19 Profil vertikal diurnal parameter-parameter ABL Wilayah Pulau Pramuka. Suhu potensial virtual
(a); mixing ratio (b); suhu virtual (c); kecepatan angin rata-rata (d)
302 303 304 305 306 307 3080
200
400
600
800
1000
1200
suhu potensial virtual (K)
ketin
gg
ian
(m
)
data1
data2
data3
data4
data5
data6
data7
data8
0.012 0.013 0.014 0.015 0.016 0.017 0.018 0.019 0.02 0.021 0.0220
200
400
600
800
1000
1200
mixing ratio
keti
ng
gia
n (
m)
pukul 01.00
pukul 04.00
pukul 07.00
pukul 10.00
pukul 13.00
pukul 16.00
pukul 19.00
pukul 22.00
294 296 298 300 302 304 306 3080
200
400
600
800
1000
1200
suhu virtual (K)
keti
ng
gia
n (
m)
pukul 01.00
pukul 04.00
pukul 07.00
pukul 10.00
pukul 13.00
pukul 16.00
pukul 19.00
pukul 22.00
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 100
200
400
600
800
1000
1200
kecepatan angin (m/s)
keti
ng
gia
n (
m)
pukul 01.00
pukul 04.00
pukul 07.00
pukul 10.00
pukul 13.00
pukul 16.00
pukul 19.00
pukul 22.00
18
Walaupun karakter ABL di Pulau Pramuka
dapat menggambarkan karakter ABL untuk
wilayah lautan, tetapi dalam pengambilan data
yang dilakukan di Pulau Pramuka tetap di
daratan, sehingga karakter permukaan profil
ABL untuk wilayah ini menunjukkan karakter
daratan dengan kekuatan yang lebih lemah.
Secara umum karakter ABL untuk lautan
secara diurnal tidak jauh berbeda. Hal ini
disebabkan oleh sifat air yang memiliki
kapasitas panas yang besar mampu menyimpan panas dalam jangka waktu yang
lebih lama. Pada siang hari suhu permukaan
lautan relatif lebih dingin dibandingkan
dengan suhu udara dekat permukaan lautan,
tetapi perbedaan suhu permukaan lautan
dengan suhu udara dekat permukaan laut tidak
terlalu besar hanya berkisar 1-2 ˚C, yang
menyebabkan dinamika atmosfer diatas
permukaan laut tidak terlalu didominasi oleh
Radiation Budget tetapi dinamika atmosfer di
atas permukaan laut lebih didominasi oleh shear angin. Transport fluks panas dan fluks
panas terasa yang lemah menyebabkan
ketebalan ABL di wilayah lautan lebih kecil
dibandingkan dengan wilayah daratan (Garrat
1992).
4.3 Perbandingan karakter ABL di Tiga
Wilayah Kajian
Profil vertikal variabel-variabel ABL di
Daerah Bogor, Karawang, dan Pulau Pramuka
digunakan untuk menganalisa perbedaan
karakter ABL untuk wilayah daratan
pedalaman, pantai, dan lautan. Untuk lebih
mudah memahami karakter-karakter ABL
secara spasial, dapat dilihat dalam Tabel 1
yang menunjukkan perbedaan-perbedaan karakter ABL secara spasial dan temporal
yang sangat kontras. Dalam tabel tersebut
disebutkan beberapa parameter yang dapat
menggambarkan karakter ABL di tiga wilayah
kajian.
Variabel utama yang menjadi karakter
ABL adalah ketebalan ABL. Pada siang hari
lapisan ABL lebih tebal dibandingkan pada
malam hari, hal ini karena pada siang hari
penyinaran radiasi matahari yang intensif
menyebabkan pemanasan yang maksimum terjadi di daratan dan di lautan, namun sifat
daratan yang cepat menerima panas membuat
daratan lebih cepat panas daripada lautan.
Kondisi ini menyebabkan ketebalan ABL di
daratan pada siang hari di daratan lebih besar
daripada lautan. Penyebab besar kecilnya
ketebalan ABL adalah gaya apung (faktor
konveksi). Besarnya gaya apung yang terjadi
pada lapisan ABL bukan terletak pada
besarnya energi yang terkandung dalam parsel
udara atau permukaan tetapi pada delta/selisih
energi antara permukaan dan udara di atasnya.
Semakin besar selisihnya (suhu permukaan
semakin tinggi) maka semakin besar
gradiennya, mengakibatkan besarnya gaya
apung yang terbentuk, dan berakibat pada
semakin tebalnya ABL yang menyelimuti
suatu permukaan. Karena pada siang hari suhu
permukaan daratan lebih panas dari suhu
udara di atasnya menyebabkan terjadinya gaya apung yang besar (kondisi unstable kuat),
sedangkan pada lautan yang perbedaan suhu
udaranya relatif kecil bahkan hampir sama
dengan suhu permukaan laut menyebabkan
gaya apung yang terbentuk di lautan lemah.
Pada malam hari di daratan dimana tidak ada
pemanasan dan suhu permukaan bumi relatif
dingin dibandingkan dengan suhu udara di
atasnya menyebabkan terjadinya inversi pada
lapisan SL dan kondisi atmosfer menjadi
stable, begitu pula pada daerah pantai dan lautan. Namun kondisi stable di lautan juga
relatif lemah dibandingkan dengan daratan.
Pada kondisi ABL yang stable gaya apung
tidak terjadi, sehingga ketebalan ABL
menurun tajam.
Variabel lain yang penting dalam
penentuan karakter ABL adalah kecepatan
angin dan kelembaban udara. Pada wilayah
daratan di siang hari untuk wilayah Indonesia
kelembabannya cukup tinggi karena pengaruh
evapotranspirasi yang tinggi, tetapi evaporasi yang terjadi di lautan jauh lebih tinggi dan
lebih intensif dibandingkan daratan
menyebabkan kelembaban di atas permukaan
laut pada siang hari mencapai lebih dari 75%
dan sebagian besar laut ditutupi oleh awan.
Tetapi pada malam hari dimana tidak terjadi
evaporasi ataupun evapotranspirasi udara
lembab sebagian besar berada pada lapisan
ABL tengah dan atas menyebabkan lapisan
ABL bawah dan SL menjadi lebih kering.
Karena kondisi ini titik dasar awan dan daerah
Entrainment Zone lebih mudah diidentifikasi pada siang hari. Titik dasar awan yang paling
mudah diamati adalah di wilayah lautan pada
siang hari, karena letak titik dasar awan ini
relatif rendah dan daerah Entrainment Zone
yang terbentuk di lautan lebih tebal.
Sedangkan untuk wilayah daratan dengan
kelembaban yang relatif rendah dibandingkan
dengan lautan titik dasar awannya lebih tinggi
yang disebabkan ekspansi oleh gaya apung
yang besar dan daerah Entrainment Zone pada
daerah daratan relatif lebih kecil dibandingkan dengan lautan ataupun daerah pantai.
19
Tabel 1 Perbandingan karakter ABL secara spasial dan temporal
Waktu Variabel Karakter
Bogor (daratan) Karawang (pantai) Pulau Pramuka (lautan)
Siang
ketebalan ABL ± 1500 m ± 1200 m ± 450 m
stabilitas statis non-lokal unstable kuat unstable sedang unstable lemah
kecepatan angin (m/s) 0-4 0-4 0-7
kelembaban udara (%) 60-80 60-80 >75
Turbulensi Intensif Intensif Kurang intensif
Profil suhu udara SL lapse rate lapse rate Inversi
ML lapse rate lapse rate Lapserate
titik dasar awan Tinggi Tinggi Rendah
entrainment zone ±330 m ±370 m ±440 m
waktu transisi
Malam
ketebalan ABL ± 1450 m ± 1300 m ± 650 m
stabilitas statis non-lokal Stable Stable stable lemah
kecepatan angin (m/s) 0-4 0-8 0-4
kelembaban udara 80-90 70-90 >75
Turbulensi lemah/hilang lemah/hilang lemah/hilang
Profil suhu udara SL Inversi Inversi Lapserate
SBL lapse rate lapse rate Lapserate
titik dasar awan tidak ada tidak ada Rendah
entrainment zone - - ±175 m
Untuk variabel kecepatan angin secara
vertikal antara daratan, pantai, dan wilayah
lautan tidak terlalu berbeda jauh. Namun yang
membedakan karakter angin antara daratan
dan lautan adalah turbulensi. Di wilayah
daratan, terutama siang hari, turbulensi sangat
intensif shingga profil angin secara vertikal
menjadi Chaotic, hal ini di sebabkan oleh
kekasapan permukaan daratan, sehingga gaya
gesek udara di lapisan udara besar menyebabkan aliran angin menjadi Chaotic.
Sedangkan pada wilayah lautan profil vertikal
kecepatan angin relatif lebih stabil (bersifat
laminar), karena pada lautan kekasapan
permukaannya relatif kecil.
Dari karakter-karakr variabel ABL di atas
dapat disimpulkan bahwa ABL bervariasi
secara temporal (diurnal) dan spasial. Dalam
jangka waktu yang panjang karakter-karakter
ABL ini dapat membentuk suatu pola tertentu.
Sehingga dengan memahami salah satu atau beberapa karakter ABL tersebut dalam jangka
waktu yang panjang, Analisis tentang ABL ini
dapat digunakan sebagai acuan dalam
pemodelan atau dapat digunakan untuk
memprediksi fenomena cuaca tertentu.
4.4 Ketebalan ABL Sebagai Fungsi Spasial
dan Temporal
Karakter ABL yang paling penting untuk
diamati adalah ketebalan ABL itu sendiri.
Berdasarkan profil vertikal suhu potensial
virtual di tiga wilayah kajian secara diurnal
didapatkan ketebalan ABL. Ketebalan tersebut
diperoleh dengan menggunakan prinsip
keridakstabilan statis non-lokal. Nilai yang
diperoleh berdasarkan analisa tersebut
dicantumkan dalam Tabel 2.
Kajian mengenai karakter ABL di Wilayah
Bogor, Karawang, dan Pulau Pramuka,
parameter utama dalam penentuan karakter
ABL adalah ketebalan ABL. Untuk Daerah
Bogor ketebalannya rata-rata 1450 m pada
siang hari dengan ketebalan stable boundary
layer (SBL) pada malam hari rata-rata 165 m.
Kondisi ini terjadi karena Wilayah Indonesia yang merupakan daerah tropis dengan
penyinaran matahari maksimum menyebabkan
pemanasan yang terjadi di Daerah Bogor juga
maksimum terutama pada siang hari. Karakter
daratan yang mudah menyerap panas dan
mudah melepaskannya menyebabkan
permukaan Wilayah Bogor pada siang hari
lebih panas dibandingkan udara di atasnya,
sehingga kondisi stabilitas atmosfer di
Wilayah Bogor pada siang hari cenderung
unstable dan mudah mengembang sehingga ketebalan ABL pada siang hari di Daerah
Bogor lebih besar dibandingkan dengan lautan
ataupun daerah pantai.
Wilayah Pulau Pramuka ketebalan ABL
cenderung lebih kecil, rata-rata pada siang
hari hanya sekitar 433 m, begitu pula
ketebalan SBL pada ABL di lautan
ketebalnnya relatif lebih kecil dibandingkan
dengan di daratan, yaitu hanya sekitar 40 m.
Kondisi ini disebabkan karena perbedaan
antara suhu udara diatas laut dan permukaan
laut relatif kecil sehingga gaya apung di atas permukaan relatif lemah. Tetapi kandungan
uap air di atas permukaan laut sangat tinggi
terutama untuk daerah tropis dengan intensitas
20
Tabel 2 Rata-Rata Nilai Ketebalan ABL di Tiga Wilayah Kajian.
Pukul Stasiun
Pengamatan
Ketebalan
ABL (m)
Ketebalan Jenis Wilayah
ML (m) SBL (m) RL (m)
1:00
Pulau Pramuka
46.6
46.6 610.5
Lautan
4:00 46.6
46.6 698.2
7:00 42.5
42.5 610.1
10:00 435.3 435.3
13:00 449.6 449.6
16:00 414.7 414.7
19:00 33.6
33.6 390.6
22:00 33.4
33.4 601.6
rata-rata ketebalan ABL
(m)
siang 433.2
malam 40.54
1:00
Karawang
240.1
240.1 1013
Daerah pantai (daratan yang
berbatasan langsung dengan
laut)
4:00 187.3
187.3 1293.4
7:00 245.2
245.2 1104.9
10:00 1407 493.9 330.9 582.3
13:00 916.2 916.2
16:00 986 986
19:00 1325.2 598 270.3 456.8
22:00 311.25
311.25 906
rata-rata ketebalan ABL
(m)
siang 1158.6
malam 246.0
1:00
Bogor
138.4
138.4 1302.1
Daratan pedalaman
4:00 27.9
27.9 1459.6
7:00 95.4
95.4 1197.4
10:00 1490.8 756.2 286.2 448.5
13:00 1538.6 1538.6
16:00 1322 1322
19:00 234.5
234.5 1302.5
22:00 329.7
392.7 1137
rata-rata ketebalan ABL
(m)
siang 1450.5
malam 165.18
radiasi matahari yang tinggi menyebabkan
intensif-nya pembentukan awan di atas
permukaan laut. Lemahnya gaya apung dan
tingginya kelembaban menyebabkan
rendahnya titik dasar awan di wilayah lautan. Titik dasar awan yang merupakan daerah
batas ABL di lautan relatif rendah dan
intensifitas pembentukan awan yang tinggi,
menyebabkan wilayah lautan sebagian besar
tertutupi oleh awan, terutama awan stratus dan
stratocumulus.
Dan pada daerah Karawang yang
merupakan daerah pantai, ketebalan ABLnya
lebih kecil dari Daerah Bogor namun lebih
besar dari Pulau Pramuka. Ketebalan ABL
untuk daerah ini pada siang hari berkisar
sekitar 1150 m, dengan ketebalan SBL yang lebih besar dari Daerah Bogor yaitu sekitar
246 m. Pada dasarnya wilayah ini merupakan
daratan namun memiliki pengaruh laut yang
kuat, terutama pengaruh angin. Perbedaan
gradien yang besar antara daratan dan lautan
menyebabkan adanya aliran udara antara
daratan dan lautan secara diurnal yang
berpengaruh pada karakter ABL di atasnya.
4.5 Variasi Diurnal Suhu Potensial
Virtual, Mixing Ratio, dan Kecepatan
Angin pada Lapisan SL, ML, dan FA (
Tanggal 02 Februari 2010)
Variasi diurnal suhu udara tergantung pada
vegetasi dan evaporasi. Sedangkan variasi
diurnal kelembaban spesifik tergantung pada
evaporasi diurnal dan kondensasi, suhu
permukaan, kecepatan angin rata-rata,
turbulensi, dan ketebalan ABL. Perubahan
suhu temperatur yang besar secara diurnal
menyebabkan variasi yang besar kelambaban
spesifik, yang menunjukkan hubungan antara
tekanan uap jenuh dan suhu.
Gambar 20 Variasi diurnal potensial virtual dan
mixing ratio Bogor
21
Gambar 21 Variasi diurnal kecepatan angin Bogor
Variasi diurnal suhu potensial virtual,
mixing ratio, dan kecepatan angin di kota
Bogor di amati pada ketinggian 50 m yang mewakili SL, 100 m yang mewakili ML, dan
1800 m yang mewakili FA. Dari ketiga variasi
tersebut variasi suhu potensial virtual di
daerah SL mengikuti pergerakan sinar
matahari, sedangkan pada daerah ML dan FA
variasi suhu potensial virtual relatif stabil atau
cenderung homogen sepanjang waktu.
Sedangkan mixing ratio di Wilayah Bogor
memiliki nilai yang besar pada daerah dekat
permukaan, dan semakin ke atas nilai mixing
ratio semakin berkurang, di daerah SL nilai mixing ratio relatif homogen, namun
mengalami sedikit penurunan pada siang hari.
Sedangkan pada daerah ML nilai mixing ratio
mengikiuti pergerakan sinar matahari,
semakin meningkat saat siang hari dan
berkurang saat malam hari.
Variasi diurnal kecepatan angin untuk
Wilayah bogor pada tiga daerah yang berbeda
cenderung memiliki pola dengan kecepatan
yang berbeda. Semakin tinggi lapisan
kecepatan angin semakin besar. Pada pagi hari
kecepatan angin relatif lemah/lambat dan terus meningkat menjelang siang hari hingga
mencapai punacaknya sekitar sore hari. Dan
mulai turun kembali menjelang malam hari.
Gambar 22 Variasi diurnal potensial virtual dan
mixing ratio Karawang
Gambar 23 Variasi diurnal kecepatan angin
Karawang
Wilayah Karawang yang merupakan
daerah dataran rendah dekat pantai memilki
variasi suhu potensial dan mixing ratio yang
hampir sama dengan Wilayah Bogor. variasi
suhu potensial di lapisan SL bervariasi mengikuti pergerakan sinar matahari,
sedangkan pada lapisan ML dan FA relatif
homogen sepanjang waktu. Semakin tinggi
lapisan, nilai suhu potensial virtual semakin
besar, ini menunjukkan pola troposfer yang
cenderung inversi. Berbanding terbalik
dengan nilai suhu potensial virtual, nilai
mixing ratio semakin kecil seiring dengan
bertambahnya ketinggian. Nilai mixing ratio
pada lapisan SL relatif homogen, sedangkan
pada lapisan ML nilainya mengikuti
pergerakan sinar matahari, dan pada lapisan FA nilainya juga relatif homogen.
Kecepatan angin pada Wilayah Karawang
lebih tinggi dibandingkan dengan Wilayah
Bogor. kecepatan angin terbesar terjadi pada
malam hari, mengalamai penurunan
menjelang pagi dan mencapai nilai
minimumnya pada pagi hari, menjelang siang
hari kecepatan angin mulai naik lagi hingga
sore hari dan kembali turun setelah matahari
terbenam. Pada ketiga lapisan pola kecepatan
angin hampir sama.
Gambar 24 Variasi diurnal potensial virtual dan
mixing ratio Pulau Pramuka