Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan ... · Gambar 7 Profil vertikal suhu potensial...

16
6 4. Parameter Stabilitas Statis lokal (s) Parameter stabilitas statis merupakan nilai yang digunakan untuk mengidentifikasi ketidakstabilan atmosfer. Tetapi penggunaan parameter ini sudah tidak relevan lagi, sehingga untuk mengidentifikasi ketidakstabilan atmosfer digunakan parameter stabilitas statis non- lokal (θ) (Arya 2001). Untuk menentukan parameter stabilitas statis lokal digunakan persamaan: = .........................................(7) (Arya P 2001) 5. Richardson Number (Ri) Richardson Number merupakan ratio antara gaya bouyance (faktor konveksi) dengan shear angin. Nilai Ri digunakan untuk mengidentifikasi terjadinya turbulensi (Holton 2004). = . . . 2 +2 ........................(8) (Arya P 2001) 3.3.2 Mengkonversi data Data yang telah diolah dalam perangkat lunak Ms. Excel yang ber-ekstensi .xls dikonversi ke dalam bentuk .mat (matlab) agar lebih mudah dalam pembuatan profil vertikal variabel-variabel ABL. 3.3.3 Membuat profil vertikal variabel- variabel ABL Nilai-nilai variabel ABL yang telah ber- ekstensi .mat diplotkan dalam plot tiga dimensi menggunakan syntax dalam software matlab dan disimpan dalam bentuk .fig (Away 2006). 3.3.4 Menentukan ketebalan ABL Berdasarkan pola profil suhu potensial virtual secara diurnal, ditentukan ketebalan ABL dengan terlebih dahulu menentukan ketebalan Mixing Layer (ML), Stable Boundary Layer (SBL), dan Residual Layer (RL) dengan menggunakan prinsip stabilitas statis non-lokal. Gambar 7 Profil vertikal suhu potensial virtual sebagai parameter stabilitas statis non- lokal (sumber: Stull, 1999). IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Teori Meteorologi Atmospheric Boundary Layer 4.1.1 Konsep Atmospheric Boundary Layer (ABL) Konsep ABL dalam aliran fluida pertama kali ditemukan oleh Froud yang melakukan penelitian tentang tahanan gaya gesek dari lempengan tipis ketika diseret di dalam air pada tahun 1870an. Sedangkan pemahaman tentang ABL sendiri pertama kali dipublikasikan dalam sebuah literatur oleh Prandtl tahun 1905 yang bekerja di bidang aerodinamik yang fokus pada aliran fluida dengan viskositas rendah hingga tinggi. Dalam penelitiannya ia memperkenalkan transisi dan kekasapan sebuah lapisan aerodinamik yang tipis (Garrat 1992). Dalam konteks atmospheric, para ahli meteorologi cukup sulit untuk mendefinisikan ABL. Dengan usaha yang cukup keras akhirnya ABL didefinisikan sebagai lapisan udara yang berhubungan langsung dengan permukaan bumi yang memberikan pengaruh langsung pada permukaan (gaya gesek, pemanasan, dan pendinginan) dalam rentang waktu yang relatif singkat (kurang dari satu hari) (Garrat 1992). 4.1.1.1 Definisi Atmospheric Boundary Layer (ABL) Matahari terbit, matahari terbenam, dan terbit lagi, terus berulang membentuk siklus harian. Siklus harian dari pemanasan radiasi matahari menyebabkan siklus fluks panas

Transcript of Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan ... · Gambar 7 Profil vertikal suhu potensial...

Page 1: Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan ... · Gambar 7 Profil vertikal suhu potensial virtual sebagai parameter stabilitas statis non-lokal (sumber: Stull, 1999). IV.

6

4. Parameter Stabilitas Statis lokal (s)

Parameter stabilitas statis merupakan nilai

yang digunakan untuk mengidentifikasi

ketidakstabilan atmosfer. Tetapi

penggunaan parameter ini sudah tidak

relevan lagi, sehingga untuk

mengidentifikasi ketidakstabilan atmosfer

digunakan parameter stabilitas statis non-

lokal (θ) (Arya 2001). Untuk menentukan

parameter stabilitas statis lokal digunakan

persamaan:

𝑠 =𝑔

𝑇𝑣 𝑥

𝜕𝜃

𝜕𝑍.........................................(7)

(Arya P 2001)

5. Richardson Number (Ri)

Richardson Number merupakan ratio

antara gaya bouyance (faktor konveksi)

dengan shear angin. Nilai Ri digunakan

untuk mengidentifikasi terjadinya

turbulensi (Holton 2004).

𝑅𝑖 = 𝑔 . ∆𝜃𝑣 . ∆𝑍

𝑇𝑣 . ∆𝑈 2+ ∆𝑉 2 ........................(8)

(Arya P 2001)

3.3.2 Mengkonversi data

Data yang telah diolah dalam perangkat

lunak Ms. Excel yang ber-ekstensi .xls

dikonversi ke dalam bentuk .mat (matlab) agar

lebih mudah dalam pembuatan profil vertikal

variabel-variabel ABL.

3.3.3 Membuat profil vertikal variabel-

variabel ABL

Nilai-nilai variabel ABL yang telah ber-

ekstensi .mat diplotkan dalam plot tiga

dimensi menggunakan syntax dalam software

matlab dan disimpan dalam bentuk .fig (Away

2006).

3.3.4 Menentukan ketebalan ABL

Berdasarkan pola profil suhu potensial

virtual secara diurnal, ditentukan ketebalan

ABL dengan terlebih dahulu menentukan

ketebalan Mixing Layer (ML), Stable

Boundary Layer (SBL), dan Residual Layer

(RL) dengan menggunakan prinsip stabilitas

statis non-lokal.

Gambar 7 Profil vertikal suhu potensial virtual sebagai parameter stabilitas statis non-lokal (sumber: Stull, 1999).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Teori Meteorologi Atmospheric

Boundary Layer

4.1.1 Konsep Atmospheric Boundary Layer

(ABL)

Konsep ABL dalam aliran fluida pertama

kali ditemukan oleh Froud yang melakukan

penelitian tentang tahanan gaya gesek dari

lempengan tipis ketika diseret di dalam air

pada tahun 1870an. Sedangkan pemahaman

tentang ABL sendiri pertama kali

dipublikasikan dalam sebuah literatur oleh

Prandtl tahun 1905 yang bekerja di bidang

aerodinamik yang fokus pada aliran fluida

dengan viskositas rendah hingga tinggi. Dalam penelitiannya ia memperkenalkan

transisi dan kekasapan sebuah lapisan

aerodinamik yang tipis (Garrat 1992).

Dalam konteks atmospheric, para ahli

meteorologi cukup sulit untuk mendefinisikan

ABL. Dengan usaha yang cukup keras

akhirnya ABL didefinisikan sebagai lapisan

udara yang berhubungan langsung dengan

permukaan bumi yang memberikan pengaruh

langsung pada permukaan (gaya gesek,

pemanasan, dan pendinginan) dalam rentang waktu yang relatif singkat (kurang dari satu

hari) (Garrat 1992).

4.1.1.1 Definisi Atmospheric Boundary Layer

(ABL)

Matahari terbit, matahari terbenam, dan

terbit lagi, terus berulang membentuk siklus

harian. Siklus harian dari pemanasan radiasi

matahari menyebabkan siklus fluks panas

Page 2: Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan ... · Gambar 7 Profil vertikal suhu potensial virtual sebagai parameter stabilitas statis non-lokal (sumber: Stull, 1999). IV.

7

laten dan panas terasa diantara permukaan

bumi dan udara. Bagaimanapun, fluks tidak

dapat secara langsung mencapai keseluruhan

atmosfer. Fluks-fluks tersebut dihasilkan oleh

troposfer pada lapisan yang dangkal dekat

permukaan bumi yang disebut Atmospheric

Boundary Layer (ABL). Kondisi di dalam

lapisan ABL tersebut menyebabkan siklus

diurnal (harian) beberapa unsur-unsur

meteorologi (suhu, kelembaban, dan angin)

dan variasi polusi udara. Turbulensi intensif juga terjadi di dalam lapisan ABL, inilah salah

satu karakter alami yang menyebabkan ABL

begitu unik (Stull 2000).

ABL didefinisikan Stull (1999) sebagai

bagian dari troposfer yang dipengaruhi

langsung oleh pemukaan bumi dan

merespon karakter-karakter permukaan

dalam rentang waktu satu jam atau

kurang. Karakter permukaan yang

mempengaruhi ABL yaitu gaya gesek antar

lapisan udara, evaporasi dan transpirasi, transfer panas, emisi polutan, dan tanah

lapang yang menyebabkan modifikasi aliran.

Secara langsung, keseluruhan troposfer dapat

berubah dengan merespon karakter-karakter

permukaan, tetapi respon ini relatif lemah di

luar batas ABL. Dengan demikian, kalimat

merespon karakter permukaan dalam rentang

waktu satu jam atau kurang bukan berarti

bahwa ABL mencapai keseimbangannya

dalam waktu tersebut, hanya saja perubahan

paling kecil dimulai dalam rentang waktu tersebut (Stull 1999).

4.1.1.2 Formasi Atmospheric Boundary

Layer (ABL)

ABL yang sering turbulen menyebabkan

percampuran sehingga bagian bawah atmosfer

menjadi homogen, daerah ini dinamakan

sebagai daerah turbulensi. Suhu potensial

udara dari atmosfer standar yang lebih hangat

di bagian atas bercampur dengan suhu

potensial udara di bagian bawah yang lebih

dingin menghasilkan suhu potensial udara campuran yang sedang dan seragam dengan

naiknya ketinggian. Kondisi ABL yang sangat

turbulen ini menyebabkan ABL disebut

sebagai Mixed Layer (ML). Di atas ML udara

tidak dimodifikasi oleh turbulen sehingga

profil suhu udara sama dengan skenario

standar atmosfer, lapisan ini disebut sebagai

Free Atmosphere (FA).

Adanya turbulen di ML menyebabkan

terjadinya lapisan campuran, sedangkan pada

lapisan di atasnya yaitu FA yang tidak tercampur terjadi kenaikan suhu. Daerah ini

disebut sebagai daerah inversi, ketinggian

inversi disimbolkan dengan zi dan daerah ini

digunakan sebagai ukuran dalam menentukan

ketebalan ABL. Inversi pada lapisan FA

berperan seperti cap (penutup) bagi ABL. Jika

turbulen memaksa keluar dari ABL, maka

udara akan lebih dingin dari lingkungan

sekitarnya, sehingga Bouyance Force (gaya

apung) yang kuat akan menekan kembali ke

lapisan campuran. Batas inversi pada lapisan

atas ABL menyebabkan troposfer terbagi

menjadi dua bagian yaitu ABL yang sangat turbulen (ML) dan FA yang lebih laminar

(Gambar 8).

Gambar 8 Troposfer dibagi menjadi dua bagian yaitu Boundary Layer dan free atmosfer

(modifikasi dari: Stull 1999)

Ketebalan ABL sangat di pengaruhi oleh faktor lokasi dan waktu. Turbulen

menyebabkan ABL merasakan langsung

pengaruh permukaan bumi (Stull 2000).

Gambar 9 Variasi suhu potensial di dalam Atmospheric Boundary Layer dan Free Atmosfer. Siklus harian pemanasan dan pendinginan yang kita kenal di dekat permukaan tidak terjadi di atas Boundary Layer (modifikasi dari: Stull 2000)

4.1.1.3 Evolusi dan Struktur Atmospheric

Boundary Layer (ABL)

ABL dibagi ke dalam tiga komponen, yaitu Mixed Layer (ML) atau Convective

Boundary Layer (CBL) yang terjadi pada

siang hari saat kondisi atmosfer unstable,

FA

ABL

Troposfer

Tropopause

Bumi

Page 3: Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan ... · Gambar 7 Profil vertikal suhu potensial virtual sebagai parameter stabilitas statis non-lokal (sumber: Stull, 1999). IV.

8

Stable Boundary Layer (SBL) yang terbentuk

saat kondisi atmosfer stable terbentuk di

bawah Residual Layer (RL) yaitu lapisan

atmosfer yang netral, kedua lapisan ini

terbentuk pada malam hari (Gambar 10).

Gambar 10 ABL di bagi menjadi tiga bagian mixed

layer (ML), stable boundary layer (SBL), dan residual layer (RL) (modifikasi dari: Stull 1999)

Surface Layer (SL) disebut juga sebagai

Prandtl Layer, lapisan ini ketebalannya antara

20-100 m. Pada lapisan ini turbulen relatif

konstan terhadap ketinggian. Pengaruh gaya

koriolis dapat diabaikan dekat permukaan,

jadi pembentukan angin di dalam Prandtl

Layer dapat diabaikan. Kecepatan angin

meningkat dengan kuat pada lapisan ini,

kecepatannya bahkat lebih kuat setengah kali

lipat dari kecepatan angin pada puncak ABL

(Zdunkowski dan Bott 2003). Di atas lapisan Prandtl yang merupakan

ML disebut juga sebagai Ekman Layer,

ketebalannya mencapai 1000 m tergantung

pada stabilitas atmosfer. Turbulensi pada

lapisan ini menurun hingga nol pada puncak

ekman layer. Di atas Ekman Layer aliran

udara relatif tidak turbulen (turbulensi sangat

lemah). Pengaruh gaya koriolis pada lapisan

ini menyebabkan pembentukan vektor angin.

Daerah antara permukaan bumi hingga puncak

Ekaman Layer di sebut Planetary Boundary Layer (Atmospheric Boundary Layer)

(Zdunkowski dan Bott 2003).

Dalam siklus ABL di daratan, transisi

terjadi di antara dua model dasar yang

mendekati kondisi netral. Seperti siklus

diurnal yang menunjukkan dua tahapan

utama, pertama model unstable, pada model

ini lapisan campuran terjadi setelah matahari

terbit dan berlangsung sampai sore hari atau

ketika evening trantition terjadi. Kedua,

model stable yang terbentuk setelah matahari

terbenam dan mulai menghilang ketika pagi hari menjelang matahari terbit, memberikan

sedikit jeda hingga lapisan campuran terjadi

lagi (Columbie 2008).

ABL secara kontinyu merespon

pemanasan dan pendinginan permukaan bumi,

yang menyebabkan ABL memiliki kondisi

yang berbeda yang digambarkan dalam bentuk

yang sederhana. Bentuknya mengikuti

pergerakan matahari, ketika matahari terbit

sebuah CBL terbentuk di dekat permukaan

kemudian sinar matahari memanaskan

permukaan. CBL tumbuh pada pagi hari hingga mencapai ketebalan 1-2 km pada siang

hari. Inversi permukaan umumnya ada

sebelum matahari terbit yang menjadi lapisan

penutup, lapisan ini terus naik seiring dengan

naiknya CBL (Kaimal dan Finnigan 1994).

Gambar 11 Evolusi CBL dan SBL dalam merespon

pemanasan dan pendinginan permukaan

(modifikasi dari: Garrat 1992)

4.1.2 Parameter Karakter Atmospheric

Boundary Layer (ABL)

ABL adalah lapisan yang sangat

dipengaruhi oleh permukaan bumi. Interaksi

antara ABL dan permukaan bumi

menyebabkan terjadinya proses-proses unik

yang menjadi karakter ABL. Karakter-

karakter ABL tersebut dapat diidentifikasi

oleh beberapa parameter/variabel meteorologi

seperti suhu udara, kelembaban, dan

kecepatan angin. Selain variabel-variabel

meteorologi tersebut, faktor stabilitas atmosfer juga menjadi hal yang penting dalam

menentukan karakter ABL.

4.1.2.1 Stabilitas Atmosfer

Dalam menentukan stabiltas atmosfer

dilakukan dengan dua pendekatan yaitu

stabilitas statis dan stabilitas dinamis. Pada

stabilitas statis penentuan stabilitas atmosfer

didasarkan pada gaya apung (Bouyance

Force) dan tidak mempertimbangkan shear

Page 4: Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan ... · Gambar 7 Profil vertikal suhu potensial virtual sebagai parameter stabilitas statis non-lokal (sumber: Stull, 1999). IV.

9

angin. Sedangkan pada stabilitas dinamis

mempertimbangkan gaya apung dan shear

angin.

Stabilitas Statis

Stabilitas statis membagi kondisi atmosfer

menjadi tiga yaitu kondisi unstable, neutral,

dan stable. Ketiga kondisi tersebut didasarkan

pada laju penurunan suhu terhadap ketinggian

(lapse rate). Ahrens (2002) membagi laju

penurunan suhu ke dalam tiga kategori yaitu SALR (Saturated Adiabatic Lapse Rate),

DALR (Dry Adiabatic Lapse Rate), dan ELR

(Environmental Lapse Rate). Berdasarkan

data radisonede nilai lapse rate tersebut

adalah:

SALR = 6˚C/1000 m

ELR = 4˚C/1000 m, stable

DALR = 10˚C/1000 m

ELR = 11˚C/1000 m, unstable

a) Unstable

Kondisi unstable terjadi ketika ELR lebih

besar dari DALR. Kondisi ketidakstabilan

(conditional instability) terjadi ketika ELR berada diantara SALR dan DALR. Rata-rata

ELR di tropsfer adalah 6.5˚C/1000m. Nilai ini

berada diantara DALR dan rata-rata SALR,

dengan demikian kondisi atmosfer di troposfer

cenderung dalam kondisi ketidakstabilan

(Ahrens 2002).

Penyebab ketidakstabilan adalah suhu

udara lebih dingin dibandingkan dengan suhu

permukaan. Penyebab suhu udara menjadi

dingin adalah:

1. Angin yang membawa udara dingin

(adveksi dingin)

2. Perawanan yang mengemisikan radiasi

infra merah ke atmosfer.

Penyebab suhu permukaan menjadi lebih

hangat adalah:

1. Pemanasan matahari pada siang hari

2. Aliran udara hangat yang dibawa oleh

angin

3. Pergerakan udara yang melalui permukaan

yang hangat

Jika gaya apung memindahkan parsel

udara ke bagian yang lebih atas dari titik

mula-mula, maka udara diantara ketinggian

titik mula-mula dengan ketinggian parsel saat

berpindah menjadi tidak stabil. Karena

ketidakstabilan ini persel udara akan terus

bergerak ke atas menghasilkan srkulasi

konvektif bahkan awan konvektif.

Untuk menentukan daerah tidak stabil

menggunakan perpindahan parsel udara secara stabilitas statis non-lokal. Parsel udara yang

memiliki suhu potensial relatif maksimum

berdasarkan konsep akan naik secara

adiabatik. Begitu pula sebaliknya, parsel udara

yang memiliki suhu potensial yang relatif

minimum akan turun secara adiabatik pula

hingga menyentuh sounding atau permukaan

tanah. Daerah tempat pergerakan persel

tersebut disebut sebagai daerah statically

unstable. Suhu potensial relatif maksimum

adalah suhu parsel udara yang lebih hangat

dari suhu lingkungan, sedangkan suhu potensial relatif minimum adalah suhu parsel

udara yang lebih rendah dari suhu lingkungan

(Stull 2000).

(a)

(b)

Gambar 12 Kondisi atmosfer unstable pada parsel udara kering (a); Kondisi atmosfer unstable pada parsel udara jenuh (b) (modifikasi dari: Ahrens 2002)

b) Neutral

Bagian dari sounding dimana ELR sama

dengan Adiabatic Lapse Rate (ALR), tetapi

kondisinya berbeda dengan nonlocally unstable, kondisi seperti ini disebut statically

neutral. Parsel udara yang bergerak dalam

lingkungan ini tidak akan merasakan gaya

apung.

Page 5: Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan ... · Gambar 7 Profil vertikal suhu potensial virtual sebagai parameter stabilitas statis non-lokal (sumber: Stull, 1999). IV.

10

∆𝑇

∆𝑍≈ −

г𝑑г𝑠

atau ∆𝜃

∆𝑍≈

0г𝑑 − г𝑠

(Stull 2000).

c) Stable

Kondisi stable adalah suatu kondisi

dimana ELR selalu lebih kecil dari SALR.

Pada kondisi stabil, ELR 4˚C/1000 m

sehingga nilai ELR selalu lebih kecil dari

SALR dan DALR pada semua level. Pada

kondisi stable, atmosfer menahan gerakan

vertikal parsel udara menyebabkan parsel

udara cenderung bergerak secara horizontal. Pada kondisi ini akan terbentuk awan secara

horizontal seperti awan cirrostratus,

altostratus, nimbostratus, atau stratus.

Kondisi stable terjadi ketika laju suhu

lingkungan sangat kecil dan ketika perbedaan

suhu udara dan suhu udara permukaan relatif

kecil. Kondisi stabil juga terjadi apabila suhu

permukaan lebih dingin dibandingkan dengan

suhu udara di atasnya. Suhu lingkungan dapat

menjadi dingin disebabkan oleh beberapa

faktor:

1. Pendinginan permukaan pada malam hari

2. Aliran udara permukaan dingin yang

dibawa oleh angin (cold advection)

3. Pergerakan udara yang melalui permukaan

yang dingin

Bagian dari sounding dimana penurunan

suhu terhadap ketinggian lebih kecil dari

adiabatik, dan kondisinya berbeda dengan

nonlocally unstable, kondisi ini disebut

statically stable. Parsel udara yang bergerak di

daerah ini akan mengalami gaya apung yang

berlawanan arah dengan perpindahannya. ∆𝑇

∆𝑍> −

г𝑑г𝑠

atau ∆𝜃

∆𝑍>

0г𝑑 − г𝑠

Dalam kondisi tidak jenuh parsel udara

akan statically stable jika suhu potensial

bertambah terhadap ketinggian (Stull 2000).

(a)

(b)

Gambar 13 Kondisi atmosfer stable pada

parsel udara kering (a); kondisi

stable pada parsel udara jenuh

(b). (modifikasi dari: Ahrens,

2002)

Stabilitas statis non-lokal

Stabilitas statis non-lokal merupakan

pembaharuan dari stabilitas statis lokal.

Karena stabilitas statis lokal dianggap sudah

tidak relevan dalam menggambarkan stabilitas

atmosfer. Pada stabilitas statis lokal stabilitas

atmosfer digambarkan menggunakan

parameter stabilitas statis (s) yang

dirumuskan:

𝑠 = 𝑔/𝑇𝑣 𝜕𝜃𝑣/𝜕𝑧 Tetapi parameter ini kurang relevan untuk

menggambarkan seluruh kondisi stabilitas

atmosfer di dalam ABL karena pada Surface

Layer (SL) kondisi atmosfer superadiabatik

menyebabkan parsel udara mengalami

perpindahan yang signifikan sebelum parsel

udara mencapai ML. Oleh sebab itu stabilitas

statis lokal diubah menjadi stabilitas statis non-lokal yang menggunakan parameter suhu

potensial virtual (θv).

Dalam menentukan stabiltas atmosfer

untuk tiap-tiap lapisan, parsel udara akan

bergerak naik atau turun dari semua titik asal

yang memungkinkan untuk mulai. Dalam

praktek, perhatikan titik maksimum atau titik

minimum suhu potensial virtual parsel udara.

Parsel udara bergerak naik atau turun

tergantung pada gaya apung parsel bukan

pada Lapse Rate lokal. Gaya apung parsel

udara hangat untuk naik dan gaya apung parsel udara dingin untuk turun. Dengan

demikian stabilitas statis non-lokal dapat

dibagi menjadi empat kategori yaitu unstable,

stable, neutral, dan unknown (Arya 2001).

Page 6: Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan ... · Gambar 7 Profil vertikal suhu potensial virtual sebagai parameter stabilitas statis non-lokal (sumber: Stull, 1999). IV.

11

Gambar 14 Karakteristik stabilitas statis nonlokal

berdasarkan suhu potensial virtual (sumber: Arya P 2001)

Stabilitas Dinamis

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam

penentuan stabilitas atmosfer dengan

menggunakan pendekatan stabilitas dinamik

tidak hanya memperhatikan faktor gaya apung

tetapi shear angin juga memiliki peran penting. Dalam stabilitas aliran angin dapat

menjadi turbulen dalam statically stable jika

shear angin cukup kuat. Dalam menentukan

stabilitas atmosfer dan turbulensi pada

stabilitas dinamis digunakan parameter

Richadson number yang tidak berdimensi.

𝑅𝑖 = 𝑔 . ∆𝑇𝑣+Г 𝑑 . ∆𝑍

𝑇𝑣 . ∆𝑈 2+ ∆𝑉 2

atau

𝑅𝑖 = 𝑔 . ∆𝜃𝑣 . ∆𝑍

𝑇𝑣 . ∆𝑈 2+ ∆𝑉 2

atau

𝑅𝑖 =𝑁𝐵𝑉

2 . ∆𝑍 2

∆𝑈 2+ ∆𝑉 2

Dimana ∆𝑇𝑣 , ∆𝑈, dan ∆𝑉 adalah suhu

virtual dan kecepatan angin yang pada

ketinggian ∆𝑍 = 𝑍2 − 𝑍1. Lapse rate

adiabatik kering Гd = 9.8 K/km. Suhu udara

dalam Kelvin. Pada udara yang relatif kering Tv ≡ T dan θv ≡ θ.

Dalam pendekatannya, untuk menentukan

Dynamic Unstable dan turbulensi digunakan

Richardson Number. Suatu kondisi atmosfer

dikatan tidak stabil dan turbulen apabila Ri <

Ric. Ric adalah Critical Richardson Number

yang bernilai 0.25. Untuk Richardson Number

yang bernilai lebih besar dari 0.25

menunjukkan bahwa kondisi atmosfer

Statically Stable. Sedangkan kondisi atmosfer

yang tidak stabil menghasilkan Richardson Number yang bernilai lebih kecil dari 0.25

bahkan bernilai negatif, yang dinamakan

Dynamical Instability. Udara yang menjadi

Dynamical Instability sering disebut sebagai

gelombang kevin-helmholtz.

Baik stabilitas dinamis maupun stabilitas

statis belum memberikan pengukuran yang

tepat tentang eksistensi turbulensi. Dalam

stabilitas statis tidak memasukkan pengaruh

shear angin dalam menghasilkan turbulensi.

Sedangkan dalam stbilitas dinamis tidak

memasukkan proses-proses non-lokal yang

dapat menghasilkan turbulensi. Sehingga dalam menentukan turbulensi diperlukan

kedua pendekatan tersebut (Stull 2000).

4.1.2.2 Profil Vertikal Suhu dan

Kelembaban

Pemanasan permukaan menyebabkan

lapisan thermal naik dari permukaan yang

menghasilkan turbulensi. Gaya gesek

permukaan yang menyebabkan angin dekat

permukaan lebih lambat daripada angin pada

lapisan yang lebih atas, juga menghasilkan turbulensi. Turbulensi dihasilkan oleh proses

percampuran suhu potensial dekat permukaan

yang nilainya relatif lebih rendah dengan suhu

potensial dari ketinggian tertentu yang

nialinya lebih tinggi. Dengan demikian profil

suhu potensial dapat digunakan untuk

menentukan ketebalan ABL.

Capping Inversion (CI) adalah batas atas

ABL yang dicirikan dengan stabilitas statis,

yang menekan turbulen di dalamnya.

Turbulen dari bawah sulit menembus CI dan tetap berada di dalam ABL. Dengan demikian

turbulensi membantu pembentukan CI dan CI

memerangkap turbulen di dalam ABL

(Wallace dan Hobbs 2006).

Stable Boundary Layer (SBL) atau

Nocturnal Boundary Layer (NBL) terbentuk

di dekat permukaan pada malam hari, proses

pembentukannya dengan cara merespon

pendinginginan dari permukaan. Di bagian

atas, CI yang terbentuk pada siang hari masih

tetap ada. SBL dekat permukaan

menghasilkan turbulensi yang lemah. Diantara dua SBL terdapat Residual Layer (RL) dengan

turbulensi sama dengan nol, merupakan

residual panas, kelembaban, dan polutan, dan

tempat terjadinya Mixed Layer (ML) pada

siang hari (Wallace dan Hobbs 2006).

Gambar 15 juga menunjukkan profil

kelembaban spesifik, μ. Evaporasi dari

permukaan pada siang hari menambah

kelembaban pada ABL. Kelembaban spesifik

menurun terhadap ketinggian di dalam SL,

kemudian ketika kelembaban masuk ke dalam lapisan ML menyebabakan lapisan ML lebih

lembab dan pada lapisan yang lebih atas yaitu

Page 7: Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan ... · Gambar 7 Profil vertikal suhu potensial virtual sebagai parameter stabilitas statis non-lokal (sumber: Stull, 1999). IV.

12

FA kelembaban menurun drastis melalui CI

(Wallace dan Hobbs 2006).

Gambar 15 Sketsa profil vertikal suhu (T), suhu

potensial (θ), kelembaban spesifik (μ), dan kecepatan angin (V) pada siang hari dan malam hari. FA=Free Atmosfer, EZ=Entrainment Zone, ML=Mixed Layer, SL=Surface Layer, CI=Capping Inversion, RL=Residual Layer, SBL=Stable Boundary Layer, zi= ketinggian capping inversion,

Vg=angin geostrofik (modifikasi dari: Wallace dan Hobbs 2006)

Pada malam hari, udara lembab sebagian

besar berada di tengah dan di bagian atas

ABL. Pendinginan permukaan dapat menyebabkan pembentukan embun dan forst

yang mengurangi kelembaban di lapisan

bawah ABL. Pada kondisi lain, ketika tidak

terjadi embun dan forst, kelembaban relatif

homogen pada bagian tengah dan bawah ABL

(Wallace dan Hobbs 2006).

Profil vertikal suhu dan kelembaban udara

di lautan secara diurnal memiliki variasi yang

kecil (perubahannya sedikit), ini disebabkan

suhu permukaan laut yang sedikit sekali

berubah. Perbedaan suhu permukaan laut pada

siang hari dan malam hari kurang dari 0.5˚C. (Arya 1988).

4.1.2.3 Profil Verikal Kecepatan

Angin

Besar dan arah angin dekat permukaan

serta variasinya terhadap ketinggian di ABL

memiliki karakter yang unik yaitu turbulensi

yang tidak terdapat pada lapisan-lapisan

atmosfer lainnya (Arya 2001).

Gambar 16 Evolusi profil angin di dalam ABL

selama cuaca cerah di dartan (sumber: Stull 2000)

Di daratan selama cuaca cerah angin

mengalami siklus diurnal seperti pada gambar

16. Beberapa jam ssetelah matahari terbit

(pukul 09.00 WS) dimana ketebalan ABL

masih dangkal (300 m) kecepatan angin relatif

homogen terhadap ketinggian dan mendekati

nol di dekat permukaan. Pada siang hari, saat ABL lebih tebal, kecepatan angin tetap

moderate dekat permukaan dan terus

meningkat lebih cepat dengan bertambahnya

ketinggian. Setelah matahari terbenam,

intensitas turbulensi biasanya berkurang, dan

gaya gesek permukaan menghasilkan angin di

lapisan bawah. Bagaimanapun, tanpa

turbulensi, udara di tengah ABL tidak akan

merasakan gaya gesek permukaan dan tidak

akan mengalami percepatan. Pada pukul 03.00

WS kecepatan angin di beberapa ratus meter di atas permukaan mendekati kecepatan angin

geostrofik, walapun kecepatan angin di

permukaan relatif kecil (Stull 2000).

4.1.3 Atmospheric Boundary Layer (ABL)

di Wilayah Lautan

Penutupan awan pada ABL di atas lautan

berbeda dengan di daratan, hal ini di sebabkan

oleh beberapa faktor yaitu:

Kelembaban relatif udara permukaan yang

cenderung lebih tinggi (> 75%).

Karena RH udara yang lebih tinggi pembentukan awan lebih intensif.

Dengan penutupan awan yang tersebar

luas, transfer radiatif memerankan peran

yang lebih penting dan lebih kompleks

dalam keseimbangan panas di dalam ABL.

Page 8: Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan ... · Gambar 7 Profil vertikal suhu potensial virtual sebagai parameter stabilitas statis non-lokal (sumber: Stull, 1999). IV.

13

Di beberapa daerah, drizzle memiliki

peran yang penting dalam keseimbangan

panas dan air di ABL.

Siklus diurnal tidak terlalu penting, dan

siklus tersebut di atur oleh faktor fisik

yang berbeda .

(Wallace dan Hobbs 2006).

Di daerah daratan tropis yang merupakan

dasar inversi angin pasat (~1.500 m) memiliki

vertikal transfer yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah Midlatitudes

termasuk konveksi awan cumulus. Ketika

awan terbentuk, Subcloud Layer berperan

sebagai CI dan dasar dari Subcloud Layer

dimana θv mulai meningkat terhadap

ketinggian adalah nilai dasar awan, yang

menjadi batas atas ABL dan digunakan untuk

menentukan ketinggian proses-proses

konveksi dibawahnya (LeMone 1978 dalam

Kaimal dan Finnigan 1994). Sedangkan untuk

wilayah lautan di daerah tropis, gradien suhu

cenderung mendekati nilai adiabatik, dan konveksi dibangkitkan oleh panas laten dari

fluks kelembaban di permukaan. Namun

demikian, CBL di lautan mrnunjukkan

kesamaan dengan CBL di daratan pada daerah

tropis (LeMone 1978 dalam Kaimal dan

Finnigan 1994).

4.2 Profil Vertikal Diurnal Variabel-

Variabel ABL di Tiga Wilayah

Kajian pada Tanggal 02 Februari

2010

4.2.1 Bogor

Bogor terletak di antara 106°43’ BT -

106°51’ BT dan 6°30’ LS - 6°41’ LS serta

mempunyai ketinggian rata-rata minimal 190

m, maksimal 350 m, dan pada stasiun

pengamatan di Kota Bogor ketinggiannya

terletak pada 248 m dpl. Dalam menetukan

karakter ABL digunakan profil vertikal

variabel-variabel ABL yaitu suhu potensial

virtual (θv), kecepatan angin (M), kecepatan

angin meridional (U), kecepatan angin zonal (V), suhu virtual (Tv), mixing ratio (r), dan

parameter stabilitas statis lokal (s) yang

digunakan sebagai pembanding parameter

stabilitas statis non-lokal (θ).

Profil vertikal variabel-variabel ABL

digunakan untuk menganalisa karakter ABL.

Ketebalan merupakan salah satu dari karakter

ABL, dalam menentukan ketebalan ABL,

profil vertikal variabel yang digunakan adalah

suhu potensial virtual dan Mixing Ratio.

Karakter suhu potensial virtual di Wilayah Bogor pada siang hari lebih homogen pada

lapisan ML dan titik CI lebih tinggi

dibandingkan dengan malam hari, pagi hari,

atau sore hari. Pola tersebut mengindikasikan

bahwa ketebalan ABL paling besar terjadi

pada siang hari dan akan menyusut pada

waktu peralihan yaitu pagi dan sore hari dan

ketebalan ABL paling kecil terjadi pada

malam hari. Siang hari suhu udara dekat

permukaan mencapai suhu maksimumnya

sehingga gaya apung yang terjadi pada siang

hari maksimum (konveksi maksimum), selain

karena gaya apung faktor lain yang dapat mempengaruhi kehomogenan suhu potensial

virtual adalah angin yang membawa udara

lebih dingin. Ketika aliran angin yang

membawa udara dingin melalui daratan yang

lebih panas, menyebabkan terjadinya kondisi

unstable, kondisi unstable ini menyebabkan

parsel udara terekspansi secara adiabatik

sehingga suhu potensial virtual senantiasa

konstan hingga titik jenuhnya. Semakin tinggi

suhu permukaan semakin kuat gaya apung

yang menyebabkan semakin tebal ABL. Hal ini mendukung pernyataan Garrat (1992)

tentang ketebalan ABL pada siang hari di

musim panas yang mencapai 5.000 m di

daerah lintang menengah.

Variabel Mixing Ratio yang merupakan

ratio antara massa udara lembab terhadap

massa udara kering menunjukkan kandungan

uap air dalam parsel-parsel udara yang

menyebabkan variabel ini hanya dapat

bergerak hingga titik jenuhnya (lapisan

Capping Inversion) (Wallace dan Hobbs

2006). Berdasarkan profil vertikal Mixing

Ratio, kelembaban siang hari akan

maksimum pada permukaan dan terus

menurun pada lapisan SL, ketika memasuki

lapisan ML, Mixing Ratio menjadi homogen

karena pengaruh turbulensi, dan ketika

mencapai CI, Mixing Ratio akan turun secara

tajam mendekati nol hingga memasuki lapisan

FA. Dan pada malam hari profil Mixing Ratio

pada lapisan SL lebih rendah dibandingkan

dengan lapisan di atasnya, tetapi terus

meningkat pada lapisan ML tengah dan atas

hingga mencapai CI, karena pada malam hari

tidak terjadi evaporasi dan transpirasi

sehingga tidak terjadi penambahan uap air.

Massa uap air yang lebih ringan dibandingkan

dengan massa udara kering sehingga massa

udara yang mengandung uap air akan berada

pada lapisan ML atas dan tengah.

Page 9: Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan ... · Gambar 7 Profil vertikal suhu potensial virtual sebagai parameter stabilitas statis non-lokal (sumber: Stull, 1999). IV.

14

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f) Gambar 17 Profil vertikal diurnal parameter-parameter ABL Wilayah Bogor. Suhu potensial virtual (a);

mixing ratio (b); suhu virtual (c); kecepatan angin rata-rata (d); kecepatan angin meridional (e); kecepatan angin zonal (f).

Berdasarkan profil vertikal variabel suhu

potensial virtual dan Mixing Ratio di Daerah

Bogor, ketebalan ABL di Daerah Bogor rata-

rata pada malam hari 165 m, nilai ini lebih

besar pada siang hari yang mencapai lebih

dari 1450 m. Jika dibandingkan dengan

ketebalan ABL di daratan pedalaman pada

lintang menengah yang berkisar antara 1100-

1200 m (Wallace dan Hobbs 2006), ketebalan

ABL di Daerah Bogor lebih besar, ini

disebabkan letak topografis dan lama

penyinaran matahari.

Profil vertikal kecepatan angin terdiri dari

kecepatan angin rata-rata, kecepatan angin

zonal, dan kecepatan angin meridional. Untuk

Wilayah Bogor, secara vertikal arah angin

menyebar secara merata sepanjang hari, tidak

ada arah angin dominan, namun pola

kecepatan angin naik secara tajam

(logaritmik) pada lapisan SL dan turun

mendekati kecepatan angin geostrofik seiring

dengan meningkatnya profil angin terhadap

298 300 302 304 306 308 310 312200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1800

2000

2200

suhu potensial virtual (K)

keti

ng

gia

n (

m)

pukul 01.00

pukul 04.00

pukul 07.00

pukul 10.00

pukul 13.00

pukul 16.00

pukul 19.00

pukul 22.00

290 292 294 296 298 300 302 304 306 308200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1800

2000

2200

suhu virtual (K)

keti

ng

gia

n (

m)

pukul 01.00

pukul 04.00

pukul 07.00

pukul 10.00

pukul 13.00

pukul 16.00

pukul 19.00

pukul 22.00

-8 -6 -4 -2 0 2 4200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1800

2000

2200

kecepatan angin zonal (m/s)

keti

ng

gia

n (

m)

pukul 01.00

pukul 04.00

pukul 07.00

pukul 10.00

pukul 13.00

pukul 16.00

pukul 19.00

pukul 22.00

0.01 0.011 0.012 0.013 0.014 0.015 0.016 0.017 0.018 0.019 0.02200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1800

2000

2200

mixing ratio

keti

ng

gia

n (

m)

pukul 01.00

pukul 04.00

pukul 07.00

pukul 10.00

pukul 13.00

pukul 16.00

pukul 19.00

pukul 22.00

0 1 2 3 4 5 6 7 8200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1800

2000

2200

kecepatan angin (m/s)

keti

ng

gia

n (

m)

pukul 01.00

pukul 04.00

pukul 07.00

pukul 10.00

pukul 13.00

pukul 16.00

pukul 19.00

pukul 22.00

-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1800

2000

2200

kecepatan angin meridional (m/s)

keti

ng

gia

n (

m)

pukul 01.00

pukul 04.00

pukul 07.00

pukul 10.00

pukul 13.00

pukul 16.00

pukul 19.00

pukul 22.00

Page 10: Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan ... · Gambar 7 Profil vertikal suhu potensial virtual sebagai parameter stabilitas statis non-lokal (sumber: Stull, 1999). IV.

15

ketinggian, hingga mencapai CI. Kecepatan

angin di Wilayah Bogor pada malam hari

lebih besar dibandingkan pada siang hari, hal

ini karena ada pengaruh turbulensi yang kuat

pada siang hari, sedangkan pada malam hari

pengaruh turbulensi akan menghilang,

sehingga aliran angin cenderung laminar

dengan kecepatan angin yang relatif lebih kuat

dibandingkan siang hari.

Variabel Richardson Number (Ri) yang

merupakan rasio antara faktor konveksi

(Bouyance Force) dan faktor shear angin

menjadi parameter penentu terjadinya

turbulensi. Jika ABL dalam kondisi unstable

dan Ri < 0, turbulensi sangat kuat. Untuk

kondisi stable dan nilai Ri > 0, turbulensi akan

menghilang. Berdasarkan penelitian untuk

nilai Ri kurang dari 0.25 (faktor shear angin

melebihi faktor konveksi) turbulensi cukup

intensif di dalam stable layer (Holton 2004).

4.2.2 Karawang

Karawang terletak di bagian Utara

Provinsi Jawa Barat dan berbatasan langsung

dengan Laut Jawa. Secara geografis

Kabupaten Karawang terletak antara 107º02`–

107º40` BT dan 5º56’–6º34` LS dengan luas

wilayah 1.737,30 km2. Daerah Karawang

sebagian besar merupakan daerah dataran

rendah, dan hanya sebagian kecil dataran

tinggi yang terletak di bagian selatan. Pada

stasiun pengamatan di Kabupaten Karawang

ketinggiannya adalah 53 m dpl. Daerah

Karawang berbatasan langsung dengan laut

(daerah pantai). Pada dasarnya Daerah

Karawang adalah daratan, tetapi mendapat

pengaruh angin dan konduksi panas dari

lautan.

Daerah Karawang adalah daerah dataran

rendah yang berbatasan lansung dengan lautan

(pantai). Berdasarkan profil vertikal variabel

suhu potensial virtual dan mixing ratio di

Daerah Karawang, di dapatkan ketebalan

ABL di Daerah Karwang rata-rata pada siang

hari 1150 m dan pada malam hari 246 m.

Garrat (1992) menjelaskan bahwa daerah

pantai memilki ketebalan ABL yang lebih

kecil dibandingkan dengan ketebalan daratan

pada umumnya, kondisi ini disebabkan oleh

perbedaan suhu udara dan suhu permukaan

daratan dan lautan. perbedaan suhu udara dan

suhu permukaan pada daerah ini tergantung

pada arah angin bertiup. Perbedaannya besar

bila angin bertiup dari arah daratan dan

sebaliknya.

Untuk profil vertikal variabel kecepatan

angin karakternya sama dengan Daerah

Bogor, yaitu memilki kecepatan tinggi dan

alirannya relatif laminar pada malam hari dan

pada siang hari terjadi turbulensi dengan

kecepatan angin relatif kecil dibandingkan

malam hari. Walaupun memiliki karakter

yang sama dengan daratan, kekuatan

kecepatan angin di Daerah Karawang lebih

besar dibandingkan dengan Daerah Bogor.

Secara diurnal kecepatan angin di Daerah

Karawang lebih kuat pada siang hari di

bandingkan pada malam hari, ini

menunjukkan pengaruh angin laut lebih kuat

dibandingkan pengaruh angin darat.

(a) (b)

298 300 302 304 306 308 310 3120

500

1000

1500

2000

2500

suhu potensial virtual (K)

keti

ng

gia

n (

m)

pukul 01.00

pukul 04.00

pukul 07.00

pukul 10.00

pukul 13.00

pukul 16.00

pukul 19.00

pukul 22.00

0.01 0.012 0.014 0.016 0.018 0.02 0.0220

500

1000

1500

2000

2500

mixiing ratio

keti

ng

gia

n (

m)

pukul 01.00

pukul 04.00

pukul 07.00

pukul 10.00

pukul 13.00

pukul 16.00

pukul 19.00

pukul 22.00

Page 11: Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan ... · Gambar 7 Profil vertikal suhu potensial virtual sebagai parameter stabilitas statis non-lokal (sumber: Stull, 1999). IV.

16

(c) (d)

(e) (f) Gambar 18 Profil vertikal diurnal parameter-parameter ABL Wilayah Karawang. Suhu potensial virtual (a);

mixing ratio (b); suhu virtual (c); kecepatan angin rata-rata (d); kecepatan angin meridional (e); kecepatan angin zonal (f).

4.2.3 Pulau Pramuka

Pulau Pramuka merupakan salah satu dari

gugusan Kepulauan Seribu yang terletak di

Bagian Timur, yang dikelilingi oleh Laut

Jawa. Secara geografis Pulau Pramuka

terletak antara 5°44’-5°45’ LS dan 106°36’–

106°37’ BT serta memiliki luas 30,08 ha

dengan ketinggian 1 m dpl. Berdasarkan letak

geografisnya tersebut, dapat diasumsikan

bahwa karakter ABL di Pulau Pramuka dapat

menginterpretasikan karakter ABL untuk

wilayah lautan karena kondisi atmosfer Pulau Pramuka mendapat pengaruh yang sangat

besar dari lautan. Profil vertikal suhu

potensial virtual di Pulau Pramuka pada siang

hari mirip dengan profil vertikal suhu

potensial di Daerah Bogor dan Karawang

pada siang hari. Dari hasil penggambaran

profil vertikal suhu potensial di Pulau

Pramuka pada siang hari terlihat adanya ML

atau stabilitas atmosfer yang

merepresentasikan kondisi unstable, tetapi

ketebalannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan ketebalan ABL di Daerah Bogor dan

Karawang. Ketebalan ABL di Pulau Pramuka

ini rata-rata siang hari 433 m dan pada malam

hari 40 m. Berdasarkan penelitian JASIN oleh

Businger dan Charnock tahun 1983 di Laut

Atlantik Timur Laut batas lapisan

stratocumulus yang digunakan sebagai

parameter ketebalan ABL adalah 500 m

(Garrat 1992). Dengan demikian variabel

ABL di Pulau Pramuka dapat mewakili

karakter ABL untuk wilayah lautan. Wallace

dan Hobbs (2006) menyatakan bahwa karakter

ABL di lautan pada siang hari sama dengan

karakter ABL pada malam hari di daratan, tetapi ada suatu kondisi khusus dimana

karakter di lautan pada siang hari sama

dengan daratan pada siang hari. Kondisi

tersebut terjadi Bulan Januari dimana pada

bulan-bulan tersebut terjadi arus panas di

lautan (Kurosio dan Gulf-Stream ) yang

meng-ekspansi hingga perairan Indonesia

yang menyebabkan perairan di Indonesia lebih

hangat, di tambah dengan terjadinya angin

pasat yang menuju ekuator dan barat yang

membawa udara dingin sehingga menyebabkan perpindahan transport panas

antara permukaan laut dan udara yang

mengakibatkan kondisi atmosfer menjadi

unstable walaupun lemah, sehingga pada

kondisi-kondisi seperti ini karakter ABL di

lautan sedikit berubah, mengikuti karakter

0 1 2 3 4 5 6 7 8 90

500

1000

1500

2000

2500

kecepatan angin (m/s)

keti

ng

gia

n (

m)

pukul 01.00

pukul 04.00

pukul 07.00

pukul 10.00

pukul 13.00

pukul 16.00

pukul 19.00

pukul 22.00

290 292 294 296 298 300 302 304 306 308 3100

500

1000

1500

2000

2500

suhu virtual (K)

keti

ng

gia

n (

m)

pukul 01.00

pukul 04.00

pukul 07.00

pukul 10.00

pukul 13.00

pukul 16.00

pukul 19.00

pukul 22.00

-4 -2 0 2 4 6 8 100

500

1000

1500

2000

2500

kecepatan angin (m/s)

keti

ng

gia

n (

m)

pukul 01.00

pukul 04.00

pukul 07.00

pukul 10.00

pukul 13.00

pukul 16.00

pukul 19.00

pukul 22.00

-4 -2 0 2 4 6 8 100

500

1000

1500

2000

2500

kecepatan angin (m/s)

keti

ng

gia

n (

m)

pukul 01.00

pukul 04.00

pukul 07.00

pukul 10.00

pukul 13.00

pukul 16.00

pukul 19.00

pukul 22.00

Page 12: Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan ... · Gambar 7 Profil vertikal suhu potensial virtual sebagai parameter stabilitas statis non-lokal (sumber: Stull, 1999). IV.

17

ABL di daratan tetapi dengan kondisi yang

lebih lemah. Di lautan turbulensi terjadi pada

siang hari seperti di daratan, tetapi faktor yang

membangkitkan turbulensi di wilayah lautan

adalah pemanasan dari bawah awan

(konveksi) dan pendinginan dari puncak awan

yang bergerak ke bawah (emisi gelombang

panjang pada puncak awan), namun kekuatan

turbulensi di lautan lebih lemah dibandingkan

dengan daratan.

Profil vertikal variabel Mixing Ratio juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi

ketebalan ABL, kondisi Mixing Ratio di Pulau

Pramuka berbeda dengan daerah Bogor dan

Karawang. Kelembabannya sangat tinggi di

dekat permukaan, menyebabkan ketinggian CI

lebih rendah dibandingkan dengn Daerah

Bogor dan Karawang. Kondisi ini sangat

memungkinkan terbentuknya awan yang

intensif di Pulau Pramuka. Wallace dan Hobbs

(2006) menyatakan bahwa kelembaban di

lautan sangat tinggi bahkan lebih dari 75%, kondisi ini menyebabkan pembentukan awan

diatas lautan lebih intensif dibandingkan

dengan di daratan. Karena kelembaban yang

tinggi menyebabkan sebagian besar wilayah

lautan di naungi oleh awan terutama awan

stratus dan awan stratocumulus. Seperti

halnya suhu potensial virtual, ketebalan

mixing ratio di Pulau Pramuka lebih kecil

dibandingkan dengan daerah Bogor dan

Karawang.

Variabel lainnya yang juga mempengaruhi

karakter ABL di Pulau Pramuka adalah

kecepatan angin. Kecepatan angin di Pulau

Pramuka lebih besar dibandingkan dengan

Daerah Bogor dan Karawang, karena di Pulau

Pramuka penghalang aliran angin lebih sedikit

(gaya gesek permukaan lebih kecil) menyebabkan alirannya relatif lebih laminar.

Kecepatan angin yang cukup tinggi secara

horizontal dan aliran yang relatif laminar

dapat membantu distribusi panas pada

permukaan lautan. Profil vertikal kecepatan

angin di Pulau Pramuka mengalami kenaikan

yang tajam pada daerah SL kemudian turun

mendekati kecepatan angin geostrofik pada

daerah CI. Secara umum semua karakter

variabel-variabel ABL di Pulau Pramuka tidak

berubah terlalu besar secara diurnal, gaya apung yang lemah menyebabkan ketebalan

ABL di Pulau Pramuka lebih kecil

dibandingkan Daerah Bogor dan Karawang

dan sedikitnya penghalang dalam aliran angin

menyebabkan kecepatan angin relatif lebih

kuat di Pulau Pramuka.

(a) (b)

(c) (d)

(a) (b)

(c) (d) Gambar 19 Profil vertikal diurnal parameter-parameter ABL Wilayah Pulau Pramuka. Suhu potensial virtual

(a); mixing ratio (b); suhu virtual (c); kecepatan angin rata-rata (d)

302 303 304 305 306 307 3080

200

400

600

800

1000

1200

suhu potensial virtual (K)

ketin

gg

ian

(m

)

data1

data2

data3

data4

data5

data6

data7

data8

0.012 0.013 0.014 0.015 0.016 0.017 0.018 0.019 0.02 0.021 0.0220

200

400

600

800

1000

1200

mixing ratio

keti

ng

gia

n (

m)

pukul 01.00

pukul 04.00

pukul 07.00

pukul 10.00

pukul 13.00

pukul 16.00

pukul 19.00

pukul 22.00

294 296 298 300 302 304 306 3080

200

400

600

800

1000

1200

suhu virtual (K)

keti

ng

gia

n (

m)

pukul 01.00

pukul 04.00

pukul 07.00

pukul 10.00

pukul 13.00

pukul 16.00

pukul 19.00

pukul 22.00

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 100

200

400

600

800

1000

1200

kecepatan angin (m/s)

keti

ng

gia

n (

m)

pukul 01.00

pukul 04.00

pukul 07.00

pukul 10.00

pukul 13.00

pukul 16.00

pukul 19.00

pukul 22.00

Page 13: Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan ... · Gambar 7 Profil vertikal suhu potensial virtual sebagai parameter stabilitas statis non-lokal (sumber: Stull, 1999). IV.

18

Walaupun karakter ABL di Pulau Pramuka

dapat menggambarkan karakter ABL untuk

wilayah lautan, tetapi dalam pengambilan data

yang dilakukan di Pulau Pramuka tetap di

daratan, sehingga karakter permukaan profil

ABL untuk wilayah ini menunjukkan karakter

daratan dengan kekuatan yang lebih lemah.

Secara umum karakter ABL untuk lautan

secara diurnal tidak jauh berbeda. Hal ini

disebabkan oleh sifat air yang memiliki

kapasitas panas yang besar mampu menyimpan panas dalam jangka waktu yang

lebih lama. Pada siang hari suhu permukaan

lautan relatif lebih dingin dibandingkan

dengan suhu udara dekat permukaan lautan,

tetapi perbedaan suhu permukaan lautan

dengan suhu udara dekat permukaan laut tidak

terlalu besar hanya berkisar 1-2 ˚C, yang

menyebabkan dinamika atmosfer diatas

permukaan laut tidak terlalu didominasi oleh

Radiation Budget tetapi dinamika atmosfer di

atas permukaan laut lebih didominasi oleh shear angin. Transport fluks panas dan fluks

panas terasa yang lemah menyebabkan

ketebalan ABL di wilayah lautan lebih kecil

dibandingkan dengan wilayah daratan (Garrat

1992).

4.3 Perbandingan karakter ABL di Tiga

Wilayah Kajian

Profil vertikal variabel-variabel ABL di

Daerah Bogor, Karawang, dan Pulau Pramuka

digunakan untuk menganalisa perbedaan

karakter ABL untuk wilayah daratan

pedalaman, pantai, dan lautan. Untuk lebih

mudah memahami karakter-karakter ABL

secara spasial, dapat dilihat dalam Tabel 1

yang menunjukkan perbedaan-perbedaan karakter ABL secara spasial dan temporal

yang sangat kontras. Dalam tabel tersebut

disebutkan beberapa parameter yang dapat

menggambarkan karakter ABL di tiga wilayah

kajian.

Variabel utama yang menjadi karakter

ABL adalah ketebalan ABL. Pada siang hari

lapisan ABL lebih tebal dibandingkan pada

malam hari, hal ini karena pada siang hari

penyinaran radiasi matahari yang intensif

menyebabkan pemanasan yang maksimum terjadi di daratan dan di lautan, namun sifat

daratan yang cepat menerima panas membuat

daratan lebih cepat panas daripada lautan.

Kondisi ini menyebabkan ketebalan ABL di

daratan pada siang hari di daratan lebih besar

daripada lautan. Penyebab besar kecilnya

ketebalan ABL adalah gaya apung (faktor

konveksi). Besarnya gaya apung yang terjadi

pada lapisan ABL bukan terletak pada

besarnya energi yang terkandung dalam parsel

udara atau permukaan tetapi pada delta/selisih

energi antara permukaan dan udara di atasnya.

Semakin besar selisihnya (suhu permukaan

semakin tinggi) maka semakin besar

gradiennya, mengakibatkan besarnya gaya

apung yang terbentuk, dan berakibat pada

semakin tebalnya ABL yang menyelimuti

suatu permukaan. Karena pada siang hari suhu

permukaan daratan lebih panas dari suhu

udara di atasnya menyebabkan terjadinya gaya apung yang besar (kondisi unstable kuat),

sedangkan pada lautan yang perbedaan suhu

udaranya relatif kecil bahkan hampir sama

dengan suhu permukaan laut menyebabkan

gaya apung yang terbentuk di lautan lemah.

Pada malam hari di daratan dimana tidak ada

pemanasan dan suhu permukaan bumi relatif

dingin dibandingkan dengan suhu udara di

atasnya menyebabkan terjadinya inversi pada

lapisan SL dan kondisi atmosfer menjadi

stable, begitu pula pada daerah pantai dan lautan. Namun kondisi stable di lautan juga

relatif lemah dibandingkan dengan daratan.

Pada kondisi ABL yang stable gaya apung

tidak terjadi, sehingga ketebalan ABL

menurun tajam.

Variabel lain yang penting dalam

penentuan karakter ABL adalah kecepatan

angin dan kelembaban udara. Pada wilayah

daratan di siang hari untuk wilayah Indonesia

kelembabannya cukup tinggi karena pengaruh

evapotranspirasi yang tinggi, tetapi evaporasi yang terjadi di lautan jauh lebih tinggi dan

lebih intensif dibandingkan daratan

menyebabkan kelembaban di atas permukaan

laut pada siang hari mencapai lebih dari 75%

dan sebagian besar laut ditutupi oleh awan.

Tetapi pada malam hari dimana tidak terjadi

evaporasi ataupun evapotranspirasi udara

lembab sebagian besar berada pada lapisan

ABL tengah dan atas menyebabkan lapisan

ABL bawah dan SL menjadi lebih kering.

Karena kondisi ini titik dasar awan dan daerah

Entrainment Zone lebih mudah diidentifikasi pada siang hari. Titik dasar awan yang paling

mudah diamati adalah di wilayah lautan pada

siang hari, karena letak titik dasar awan ini

relatif rendah dan daerah Entrainment Zone

yang terbentuk di lautan lebih tebal.

Sedangkan untuk wilayah daratan dengan

kelembaban yang relatif rendah dibandingkan

dengan lautan titik dasar awannya lebih tinggi

yang disebabkan ekspansi oleh gaya apung

yang besar dan daerah Entrainment Zone pada

daerah daratan relatif lebih kecil dibandingkan dengan lautan ataupun daerah pantai.

Page 14: Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan ... · Gambar 7 Profil vertikal suhu potensial virtual sebagai parameter stabilitas statis non-lokal (sumber: Stull, 1999). IV.

19

Tabel 1 Perbandingan karakter ABL secara spasial dan temporal

Waktu Variabel Karakter

Bogor (daratan) Karawang (pantai) Pulau Pramuka (lautan)

Siang

ketebalan ABL ± 1500 m ± 1200 m ± 450 m

stabilitas statis non-lokal unstable kuat unstable sedang unstable lemah

kecepatan angin (m/s) 0-4 0-4 0-7

kelembaban udara (%) 60-80 60-80 >75

Turbulensi Intensif Intensif Kurang intensif

Profil suhu udara SL lapse rate lapse rate Inversi

ML lapse rate lapse rate Lapserate

titik dasar awan Tinggi Tinggi Rendah

entrainment zone ±330 m ±370 m ±440 m

waktu transisi

Malam

ketebalan ABL ± 1450 m ± 1300 m ± 650 m

stabilitas statis non-lokal Stable Stable stable lemah

kecepatan angin (m/s) 0-4 0-8 0-4

kelembaban udara 80-90 70-90 >75

Turbulensi lemah/hilang lemah/hilang lemah/hilang

Profil suhu udara SL Inversi Inversi Lapserate

SBL lapse rate lapse rate Lapserate

titik dasar awan tidak ada tidak ada Rendah

entrainment zone - - ±175 m

Untuk variabel kecepatan angin secara

vertikal antara daratan, pantai, dan wilayah

lautan tidak terlalu berbeda jauh. Namun yang

membedakan karakter angin antara daratan

dan lautan adalah turbulensi. Di wilayah

daratan, terutama siang hari, turbulensi sangat

intensif shingga profil angin secara vertikal

menjadi Chaotic, hal ini di sebabkan oleh

kekasapan permukaan daratan, sehingga gaya

gesek udara di lapisan udara besar menyebabkan aliran angin menjadi Chaotic.

Sedangkan pada wilayah lautan profil vertikal

kecepatan angin relatif lebih stabil (bersifat

laminar), karena pada lautan kekasapan

permukaannya relatif kecil.

Dari karakter-karakr variabel ABL di atas

dapat disimpulkan bahwa ABL bervariasi

secara temporal (diurnal) dan spasial. Dalam

jangka waktu yang panjang karakter-karakter

ABL ini dapat membentuk suatu pola tertentu.

Sehingga dengan memahami salah satu atau beberapa karakter ABL tersebut dalam jangka

waktu yang panjang, Analisis tentang ABL ini

dapat digunakan sebagai acuan dalam

pemodelan atau dapat digunakan untuk

memprediksi fenomena cuaca tertentu.

4.4 Ketebalan ABL Sebagai Fungsi Spasial

dan Temporal

Karakter ABL yang paling penting untuk

diamati adalah ketebalan ABL itu sendiri.

Berdasarkan profil vertikal suhu potensial

virtual di tiga wilayah kajian secara diurnal

didapatkan ketebalan ABL. Ketebalan tersebut

diperoleh dengan menggunakan prinsip

keridakstabilan statis non-lokal. Nilai yang

diperoleh berdasarkan analisa tersebut

dicantumkan dalam Tabel 2.

Kajian mengenai karakter ABL di Wilayah

Bogor, Karawang, dan Pulau Pramuka,

parameter utama dalam penentuan karakter

ABL adalah ketebalan ABL. Untuk Daerah

Bogor ketebalannya rata-rata 1450 m pada

siang hari dengan ketebalan stable boundary

layer (SBL) pada malam hari rata-rata 165 m.

Kondisi ini terjadi karena Wilayah Indonesia yang merupakan daerah tropis dengan

penyinaran matahari maksimum menyebabkan

pemanasan yang terjadi di Daerah Bogor juga

maksimum terutama pada siang hari. Karakter

daratan yang mudah menyerap panas dan

mudah melepaskannya menyebabkan

permukaan Wilayah Bogor pada siang hari

lebih panas dibandingkan udara di atasnya,

sehingga kondisi stabilitas atmosfer di

Wilayah Bogor pada siang hari cenderung

unstable dan mudah mengembang sehingga ketebalan ABL pada siang hari di Daerah

Bogor lebih besar dibandingkan dengan lautan

ataupun daerah pantai.

Wilayah Pulau Pramuka ketebalan ABL

cenderung lebih kecil, rata-rata pada siang

hari hanya sekitar 433 m, begitu pula

ketebalan SBL pada ABL di lautan

ketebalnnya relatif lebih kecil dibandingkan

dengan di daratan, yaitu hanya sekitar 40 m.

Kondisi ini disebabkan karena perbedaan

antara suhu udara diatas laut dan permukaan

laut relatif kecil sehingga gaya apung di atas permukaan relatif lemah. Tetapi kandungan

uap air di atas permukaan laut sangat tinggi

terutama untuk daerah tropis dengan intensitas

Page 15: Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan ... · Gambar 7 Profil vertikal suhu potensial virtual sebagai parameter stabilitas statis non-lokal (sumber: Stull, 1999). IV.

20

Tabel 2 Rata-Rata Nilai Ketebalan ABL di Tiga Wilayah Kajian.

Pukul Stasiun

Pengamatan

Ketebalan

ABL (m)

Ketebalan Jenis Wilayah

ML (m) SBL (m) RL (m)

1:00

Pulau Pramuka

46.6

46.6 610.5

Lautan

4:00 46.6

46.6 698.2

7:00 42.5

42.5 610.1

10:00 435.3 435.3

13:00 449.6 449.6

16:00 414.7 414.7

19:00 33.6

33.6 390.6

22:00 33.4

33.4 601.6

rata-rata ketebalan ABL

(m)

siang 433.2

malam 40.54

1:00

Karawang

240.1

240.1 1013

Daerah pantai (daratan yang

berbatasan langsung dengan

laut)

4:00 187.3

187.3 1293.4

7:00 245.2

245.2 1104.9

10:00 1407 493.9 330.9 582.3

13:00 916.2 916.2

16:00 986 986

19:00 1325.2 598 270.3 456.8

22:00 311.25

311.25 906

rata-rata ketebalan ABL

(m)

siang 1158.6

malam 246.0

1:00

Bogor

138.4

138.4 1302.1

Daratan pedalaman

4:00 27.9

27.9 1459.6

7:00 95.4

95.4 1197.4

10:00 1490.8 756.2 286.2 448.5

13:00 1538.6 1538.6

16:00 1322 1322

19:00 234.5

234.5 1302.5

22:00 329.7

392.7 1137

rata-rata ketebalan ABL

(m)

siang 1450.5

malam 165.18

radiasi matahari yang tinggi menyebabkan

intensif-nya pembentukan awan di atas

permukaan laut. Lemahnya gaya apung dan

tingginya kelembaban menyebabkan

rendahnya titik dasar awan di wilayah lautan. Titik dasar awan yang merupakan daerah

batas ABL di lautan relatif rendah dan

intensifitas pembentukan awan yang tinggi,

menyebabkan wilayah lautan sebagian besar

tertutupi oleh awan, terutama awan stratus dan

stratocumulus.

Dan pada daerah Karawang yang

merupakan daerah pantai, ketebalan ABLnya

lebih kecil dari Daerah Bogor namun lebih

besar dari Pulau Pramuka. Ketebalan ABL

untuk daerah ini pada siang hari berkisar

sekitar 1150 m, dengan ketebalan SBL yang lebih besar dari Daerah Bogor yaitu sekitar

246 m. Pada dasarnya wilayah ini merupakan

daratan namun memiliki pengaruh laut yang

kuat, terutama pengaruh angin. Perbedaan

gradien yang besar antara daratan dan lautan

menyebabkan adanya aliran udara antara

daratan dan lautan secara diurnal yang

berpengaruh pada karakter ABL di atasnya.

4.5 Variasi Diurnal Suhu Potensial

Virtual, Mixing Ratio, dan Kecepatan

Angin pada Lapisan SL, ML, dan FA (

Tanggal 02 Februari 2010)

Variasi diurnal suhu udara tergantung pada

vegetasi dan evaporasi. Sedangkan variasi

diurnal kelembaban spesifik tergantung pada

evaporasi diurnal dan kondensasi, suhu

permukaan, kecepatan angin rata-rata,

turbulensi, dan ketebalan ABL. Perubahan

suhu temperatur yang besar secara diurnal

menyebabkan variasi yang besar kelambaban

spesifik, yang menunjukkan hubungan antara

tekanan uap jenuh dan suhu.

Gambar 20 Variasi diurnal potensial virtual dan

mixing ratio Bogor

Page 16: Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan ... · Gambar 7 Profil vertikal suhu potensial virtual sebagai parameter stabilitas statis non-lokal (sumber: Stull, 1999). IV.

21

Gambar 21 Variasi diurnal kecepatan angin Bogor

Variasi diurnal suhu potensial virtual,

mixing ratio, dan kecepatan angin di kota

Bogor di amati pada ketinggian 50 m yang mewakili SL, 100 m yang mewakili ML, dan

1800 m yang mewakili FA. Dari ketiga variasi

tersebut variasi suhu potensial virtual di

daerah SL mengikuti pergerakan sinar

matahari, sedangkan pada daerah ML dan FA

variasi suhu potensial virtual relatif stabil atau

cenderung homogen sepanjang waktu.

Sedangkan mixing ratio di Wilayah Bogor

memiliki nilai yang besar pada daerah dekat

permukaan, dan semakin ke atas nilai mixing

ratio semakin berkurang, di daerah SL nilai mixing ratio relatif homogen, namun

mengalami sedikit penurunan pada siang hari.

Sedangkan pada daerah ML nilai mixing ratio

mengikiuti pergerakan sinar matahari,

semakin meningkat saat siang hari dan

berkurang saat malam hari.

Variasi diurnal kecepatan angin untuk

Wilayah bogor pada tiga daerah yang berbeda

cenderung memiliki pola dengan kecepatan

yang berbeda. Semakin tinggi lapisan

kecepatan angin semakin besar. Pada pagi hari

kecepatan angin relatif lemah/lambat dan terus meningkat menjelang siang hari hingga

mencapai punacaknya sekitar sore hari. Dan

mulai turun kembali menjelang malam hari.

Gambar 22 Variasi diurnal potensial virtual dan

mixing ratio Karawang

Gambar 23 Variasi diurnal kecepatan angin

Karawang

Wilayah Karawang yang merupakan

daerah dataran rendah dekat pantai memilki

variasi suhu potensial dan mixing ratio yang

hampir sama dengan Wilayah Bogor. variasi

suhu potensial di lapisan SL bervariasi mengikuti pergerakan sinar matahari,

sedangkan pada lapisan ML dan FA relatif

homogen sepanjang waktu. Semakin tinggi

lapisan, nilai suhu potensial virtual semakin

besar, ini menunjukkan pola troposfer yang

cenderung inversi. Berbanding terbalik

dengan nilai suhu potensial virtual, nilai

mixing ratio semakin kecil seiring dengan

bertambahnya ketinggian. Nilai mixing ratio

pada lapisan SL relatif homogen, sedangkan

pada lapisan ML nilainya mengikuti

pergerakan sinar matahari, dan pada lapisan FA nilainya juga relatif homogen.

Kecepatan angin pada Wilayah Karawang

lebih tinggi dibandingkan dengan Wilayah

Bogor. kecepatan angin terbesar terjadi pada

malam hari, mengalamai penurunan

menjelang pagi dan mencapai nilai

minimumnya pada pagi hari, menjelang siang

hari kecepatan angin mulai naik lagi hingga

sore hari dan kembali turun setelah matahari

terbenam. Pada ketiga lapisan pola kecepatan

angin hampir sama.

Gambar 24 Variasi diurnal potensial virtual dan

mixing ratio Pulau Pramuka