Teori Dasar Kromatografi

Post on 05-Aug-2015

348 views 33 download

Transcript of Teori Dasar Kromatografi

The Plate Theory (Martin & Synge, 1941) Kolom terdiri dari irisan/lempeng tipis yg dikenal sebagai

HETP (Height Equivalent to Theorytical Plate) disingkat sebagai H (tinggi kolom teoritis)

H = L/N τ = σ L/tR H = σ2/L, dimana L= panjang kolom, N = jumlah lempeng pd kolom (diadopsi dari teori kolom

distilasi)

N = ( tR/ σ )2 , karena W = 4 σ , maka :

N = 16 (tR/Wb)2 = 5,54 (tR/ W1/2 )2………(14)

tR

tmW1/2

tR > → N > , H <

Wb < → N > , H <

N >> sangat efisien dan kromatogram akan ramping dan tidak melebar (kolom efisien)H = L Wb2 / 16 tR

2

Pemisahan terjadi dari lempeng ke lempeng dalam kolom, semakin banyak N maka pemisahan semakin baik

W = 4 σ

Kromatogram diasumsikan sbg kurva Gaussian , pd daerah 96% : μ±2σ, W=4τ,

τ = σ L/tR

Neff = N ( -------- )2

k’ = ----------- = ------

k’

k’ + 1

tR - tm

tM

tR’

tM

Saat maksimum dicapai pada kurva elusi Gaussian, akan berlaku

VR = VM + KVS

di mana VR = Volume retensi, VM = Volume mati (the volume of chromatographic column that is not occupied by the solid support and stationary phase), VS = volume total fase diam dalam kolom,

K = koefisien partisi solut dalam sistem kromatografi.

Tiga asumsi yang harus dipenuhi dalam teori lempeng ini:

a. Keadaan kesetimbangan tercapai dalam sistem yang berkesinambungan.

b. Semua solut dalam sampel berada pada lempeng pertama (N = 0) pada saat awal pengembangan/elusi

c. Partisi isoterm bersifat linier dimana K harus konstan.

Menggambarkan proses perebakan zona (zone broadening process) dimana lebar kromatogram dianggap sama dg 4 σ dan σ akan meningkat dengan meningkatnya akar dua dari jarak migrasi.

Persamaan Van Deemter :

H=A+B/μ +C μ …… (15)

dimana H = tinggi lempeng dan μ = laju fase gerak dalam kolom, A,B dan C = tetapan-tetapan yang akan mempengaruhi H

Teori ini dikembangkan dari random-walk model dari Gidding H = σ2/L

Teori ini mengidentifikasi faktor yg berpengaruh pada pelebaran kromatogram :

Faktor pertama A disebabkan oleh difusi Eddy atau pencampuran konvektif yang dipengaruhi oleh neka alur. Hed = σ2

ed/L = 2 λ dp.L/L= 2 λ dp

dimana dp = diameter partikel fase padat dalam kolom, λ = faktor pengepakan (tergantung pada rentang ukuran partikel pada saat pengepakan, 1 (partikel kecil <50), dst.

A = 2 λ dp

Faktor B dipengaruhi oleh difusi molekul longitudinal:Hlmd = σ2

lmd/L = 2γDMtM/L =2 γ DM/µ dimana µ = kecepatan linier rata-rata

aliran fase gerak, DM = koefisien difusi solut dalam fase gerak, dan γ = faktor obstruksi kolom terhadap difusi bebas, 0,7 untuk partikel kaca, dst.

B = 2 γ DM Faktor C dipengaruhi oleh tahanan

terhadap alih massa pada fase diam dan fase gerak. Hmts = σ2

mts/L + σ2mtm/L = 1/6 dp µ/DM

C = 1/6 dp /DM

H

Hmin

μops

H=A + B/μ + C.μ

C.μ

B/μA

μ

Hmin = A + 2 √ BC

μops = √ B/C

A = 2λ dp , B = 2γ DM , C = 1/6 dp/DM

Jika H dirajah terhadap μ maka C = Cm+Cs

Hasil diferensial pers.Van Deemter :dH/dμ = - B/μ2 + C ……(16)

Pers (2) hrs = 0 utk mencapai μ optimal sehingga 0 = - B/μ2 + C,

maka μops = √B/C ….(17) Utk menghitung Hmin , pers (3)

dimasukkan ke pers (1) sehingga : Hmin = A + 2 √B/C ……(18)

Buat kromatogram utk suatu puncak yg menggunakan 3 laju fase gerak yg berbeda. Diperoleh H1 utk μ1, H2 utk μ2 dan H3 utk μ3, yg ditentukan dari rumus

H = L/N = L/{16 (W/tR)2 } , L=panjang kolom Buat 3 pers.van Deemter utk ketiga H tadi, dgn μ yg

telah diketahui (ditentukan dari awal)H1 = A+B/μ1+C.μ1 ,

H2 = A+B/μ2+C.μ2

H3 = A+B/μ3+C.μ3 Hitunglah harga A,B dan C dari ketiga pers.tsbCatatan : Perhitungan ini hanya untuk berlaku utk

KG

Rajah persamaan Van Deemter utk kromatografi gas dan cair :

H (mm)Krom Gas

Krom Cair

μ = cm . S-1

Pada KG dan KC keduanya menunjukkan harga Hmin pada μops

Dibawah μops harga H sngt bergantung pada efek difusi (suku B) , sedangkan diatas μops , H dipengaruhi oleh tahanan alih masa (suku C)

Pada KC kenaikan H oleh pengaruh μ tidak sedrastis KG. Efisiensi kolom (Hmin) terlihat pada laju fase gerak yg rendah, jadi KC membutuhkan wkt pemisahan yg lebih lama dibandingkan KG.

Laju fase gerak (laju alir) tdk penting dlm menentukan Hmin atau efisiensi kolom N

Laju fase gerak yg tinggi tdk banyak mempengaruhi H

WT 2 =WB 2 + WA 2

dimana

WT adalah lebar puncak yg teramati (dinatakan sebagai volume)

WB = pelebaran puncak oleh kolom

WA = pelebaran ekstra kolom

Sehingga WT > WB

Migrasi solut melalui kolom dipengaruhi oleh distribusi spesi solut dlm fase diam dan fase gerak

Retensi dikendalikan oleh faktor yang mempengaruhi distribusi :› Komposisi fase gerak› Sifat alami fase diam› Suhu› Tekanan (secara teori tekanan mempengaruhi

distribusi solut dalam KG)

Pada KG fase gerak tdk turut dlm pemisahan, hanya sbg pembawa solut berbentuk gas melalui kolom

Pada KC komposisi dan sifat fase geraklah yg mengendalikan pemisahan

Faktor yg mempengaruhi retensi dapat dipelajari melalui interaksi yg terlibat antara solut dengan fase diam dan fase gerak selama pemisahan

KROMATOGRAFI

Fase gerak hanya pembawa saja, maka retensi/migrasi dikendalikan oleh interaksi antara solut dgn fase diam

Prinsip “like has an affinity for like” Utk Fase diam tidak polar : interaksi

yg terjadi adalah jenis “daya dispersi London”, atau gaya van der Waals, tidak ada interaksi coulombik (ionik), dipolar atau dipolar terinduksi

Utk Fase diam polar : interaksi dipol-dipol

Molekul solut yg tidak polar akan ditahan secara kuat dibandingkan dengan mol solut yg polar. Molekul polar akan terelusi lebih awal (migrasinya cepat). Solut tidak polar akan terelusi lambat karena diretensi secara kuat

Perbedaan dlm daya dispersi terlihat pada titik didih (tekanan uap) komponen campuran yg akan dipisahkan. Dua jenis solut (polar dan tidak polar) akan terpisahkan dimana yg titik didih rendah (tek.uap tinggi) akan terelusi lebih awal dibandingkan solut yg titik didihnya lebih tinggi

Urutan elusi : retensi lemah – retensi sedang – retensi kuat

Afinitas yg sangat besar akan diperlihatkan oleh molekul solut yg polar karena interaksi dipol-dipol, oleh karena itu molekul yg polar akan terelusi lambat (retensi kuat) dan molekul yg tidak polar akan terelusi lebih cepat

Molekul yg dapat terpolarisasi dpt memunculkan intraksi dipol-dipol terinduksi dan retensinya akan tergantung pada derajat interaksi yg muncul

titik didih kurang berpengaruh thp retensi dibandingkan dgn interaksi polar-polar

Misalnya : metanol (lebih polar), dietileter (kurang polar) dan metil asetat (tidak polar) disuntikkan ke dalam sistem KG dengan fase diam skualan (tidak polar, hidrokarbon), maka hasilnya sbb:

1

2

3

1. Metanol

2. Dietileter

3. Metil asetatresp

on

Waktu (menit)

KROMATOGRAFI

Skualan bersifat non-polar maka urutan elusi : metanol – dietileter – metil asetat

Metanol bersifat polar walaupun td=65º C (paling tinggi) tidak ditahan krn afinitasnya kecil thp skualan, jadi terelusi lebih awal

Dietileter td=36ºC dan kurang polar terelusi kemudian, dan metil asetat td=57ºC terelusi terakhir karena dietil eter lebih mudah volatil

KROMATOGRAFI

Bila kolom yg digunakan adalah PEG (polar) maka urutan elusinya adalah : (1) dietileter – (2) metilasetat – (3) metanol

1

23

menit

resp

on

Volatilitas adalah ratio antara fraksi mol komponen dalam bentuk uap terhadap fraksi mol dalam bentuk cairannya.

volatilitas A = [XA]vap/[XA]liq = pA/[XA]liq = poA

dimana poA adalah tekanan uap dari A murni

Volatilitas relatif campuran biner A dan B: volatilitas relatif = volatilitas A/volatilitas B α = po

A/poB

Persamaan Clausius-Clapeyron merupakan persamaan dasar Kromatografi Gas:

log [poA/po

B] = -[∆Hvap/2,3R][(1/TA) – (1/TB)]

Ada 3 jenis interaksi :

Agar terpisah dgn baik, ketiga jenis interaksi tsb harus dioptimasi

Suatu solut dpt melewati kolom (fase diam) bila larut dlm fase gerak. Bila interaksi solut dgn fase gerak sangat kuat maka akan sedikit atau tdk ada yg diretensi oleh fase diam. Demikian sebaliknya

Solut

Fase diam Fase gerak

Interaksi fase diam dan fase gerak umumnya tdk kuat. Jika fase diam melarut dalam fase gerak akan menimbulkan masalah. Cara mengatasinya : fase diam dibuat terikat secara kimia (BPC)

Interaksi fase diam-gerak diperlukan jika fase gerak mengandung molekul atau ion yg akan ditahan oleh fase diam, dgn cara membentuk fase diam sekunder yg selektif dalam pemisahan, misalnya pada krom.pas ion dan krom.kompleks liganda

Utk mengendalikan interaksi fase diam-gerak, perlu pengaturan komposisi fase gerak daripada mengubah sifat alamiah fase diam melalui elusi isokratik atau landaian

KROMATOGRAFI

Utk suatu analit :

Log k’2/k’1 = ½ (P’1 – P’2)

Fase Normal

Fase Balik

Fase diam: polar

Fase gerak: kurang polar

Fase diam:kurang polar

Fase gerak: polar

Utk suatu analit :

Log k’2/k’1 = ½ (P’2 – P’1)

k’B < k’A, tRB < tRA

k’A > k’B, tRA > tRB

Faktor retensi (k’) didefinisikan sebagai: k’ = (tR – tM)/tM dan tR = (k’ + 1)tM

Indeks polaritas campuran pelarut (P’AB) didefinisikan sebagai:

P’AB = φAP’A + φBP’B

Perubahan polaritas fase gerak terhadap faktor retensi adalah:

1. KFN log (k’2/k’1) = ½( P’1 – P’2)

2. KFB log (k’2/k’1) = ½( P’2 – P’1)

Pengaruh pH fase gerak terhadap k’:1. Senyawa Asam (ionisable): k’app = k’/(1 + 10(pH - pKa))

2. Senyawa Basa (ionisable): k’app = k’/(1 + 10(pKa – pH))

dimana k’app adalah faktor retensi k’ pada pH yang dimaksud.

Pemisahan yg bermutu baik berkaitan dgn kompromi antara daya pisah kromatografi (resolusi), waktu pemisahan dari banyaknya sampel yg akan dianalisis

Jenis profil kromatogram ada beberapa macam :› Simetris, dasar puncak sempit› Simetris, dasar puncak lebar› Tidak simetris

W

Simetris, dasar puncak sempit

Simetris, dasar puncak lebar

Tidak simetris

12

W1

W2

Gambar/profil kromatogram tergantung pada : › Kualitas fase diam› Komposisi dan polaritas fase gerak› Suhu› Solut (konsentrasi, kasaman/kebasaan)

Kualitas kromatogram tergantung pada : › Tinggi puncak› Lebar dasar puncak (diameter bercak)› Kesimetrisan

Resolusi = daya pisah dua puncak/bercak dapat diukur secara kuantitatif dari kromatogram yang diperoleh

Wa Wb

A B

Rs = tRB – tRA / ½ (WB+WA)

= 2 (tRB – tRA ) /(WB+WA)

tRA

tRB

tm

Rs > 1 jika 2(Δ tR) > (WA + WB)……(a)

Rs < 1 jika 2(ΔtR) < (WA + WB)…….(b)

ΔtR

WA WB

….(a)

…(b)

Rs dipengaruhi oleh jarak antara kedua pusat bercak dan diameter bercak

Rs = 2(Zi-Zii)/(bi+bii)

= 2ΔZ /(bi+bii)

Pada sistem A :

Rs>1 karena 2ΔZ > (bi+bii)

Pada sistem B :

Rs<1 karena 2ΔZ < (bi+bii)

Selektifitas (daya pilih kolom) merupakan fungsi termodinamika proses pemisahan, yang dapat diukur dengan waktu retensi relatif :

α = tR2 – tm / tR1 – tm = t’R2 / t’R1 = k’2/k’1

Disebut juga ratio antara waktu retensi terkoreksi solut 1 dan 2, atau ratio koefisien distribusi solut 1 dan 2 (k’ juga dapat sebagai koefisien partisi, koefisien permeasi, koefisien adsorpsi, dll)

Selektifitas sangat ditentukan oleh harga k’ masing-masing solut yang akan dipisahkan. Harga k’ dpt dipengaruhi oleh komposisi fase gerak, sifat alami fase diam dan suhu serta sifat alami solut

A B

tRB

tRA

WA WB

Jika WA=WB=W

Dengan perhitungan N, k’ maka

Rs = 0,25 √N (α-1/α) ( k’B/1+k’B)

Efisiensi Selektifitas Retensi

Untuk menghitung N dari Rs yang diinginkan adalah :

N = 16 Rs2 (α/α-1)2 (1+k’B / k’B)2

Untuk menghitung waktu retensi dari Rs adalah :

tRB = (16 Rs2 H / μB) (α/α-1)2 (1+k’B)3 / (kB)2

Jika Rs=1,5 dan k’2 = 2 maka

(α-1) . √N = 10

Untuk solut yang migrasinya lambat dan k’nya besar maka tRB dpt dihitung sbb:

tRB = L / μB = L / μm (1+k’B)

dimana L=panjang kolom, μB = laju alir solut dan μm = laju alir fase gerak

Karena L=NH, maka

tRB = NH (1+k’B) / μm

Jika digabung dengan persamaan N maka :

tRB = (16 Rs2 H / μm) (α/α-1)2 (1+k’B)3 / (k’B)2

Dari persamaan ini dpt dilihat bahwa jika α dan k’B

tetap, maka tR berbanding lurus dengan Rs2 dan H

tR1/tR2 = (Rs21)/(Rs

22) . H1/H2

Harga k’2 perlu ditentukan utk memperoleh waktu pemisahan yg singkat dengan resolusi yg baik

Rs = 0,25 √N (α-1/α) ( k’2/(1+k’2))

Q

Dan

tRB = (16 Rs2 H / μm) (α/α-1)2 (1+k’B)3 / (k’B)2

Jika Q dan Q’ dipertahankan tidak berubah, maka rajah antara Rs/Q dan tR(B) /Q’ terhadap k’2 dpt digambarkan

sbb:

Q’

Rs/

Q a

tau

tR/Q

k’20 1 2 5 10

k’2 > 10 harus dihindari karena peningkatan Rs sangat kecil tetapi waktu pemisahan bertambah lama.

Waktu optimum diberikan pada k’2 = 2, tetapi utk analisis biasanya k’2 optimum diberikan antara 1 – 5 .

Dengan demikian k’2 optimum adalah :

1 ≤ k’B ≤ 5

Rs berbanding lurus dengan k’/(1+k’), maka Rs dapat ditingkatkan dengan membuat k’ menjadi besar

k’ k’/(1+k’)

0 0

1 0,5

2 0,67

3 0,75

4 0,80

5 0,83

10 0,91

~ 1,00

Asumsi : jika α dan k’ tidak berubah maka Rs berbanding lurus dengan √N.

Karena N berbanding lurus dengan L, maka Rs berbanding lurus dengan √L.

Jadi jika L diperpanjang 2x maka N dapat menjadi 2xlipat lebih banyak, maka Resolusinya hanya meningkat hanya 1,4x dan waktu pemisahan meningkat 2x :

Rs1/Rs2 = √N /√2N = √L /√2L = 1/√2 = 1/1,4 Rs2 = 1,4 . Rs1

PEMISAHAN KROMATOGRAFI

FASE DIAM

FASE GERAK

TEKNIK ELUSI

SUHU

MODIFIER

pH

tR, Rf

W, Zb

k’, α

Rs

N

Koef variasi

Faktor yang harus dijaga/dikendalikan

Parameter pemisahan/kualitas kromatografi

Φp=fraksi vol.pelarut utama

Φm=fraksi vol.pelarut modifier

T=suhu

μ=aliran pelarut (mL/menit)

d=ukuran partikel fase diam

L=panjang kolom

C=kepolaran kolom/fase diam

α=aktivitas adsorben

k’=faktor kapasitas

N=jumlah lempeng teoritis

η=viskositas fase gerak

Terima kasih