kinetika fermentasi dalam produksi minuman vinegar_Lukas Terry Boedianto_12.70.0044.F1

27
1. HASIL PENGAMATAN 1.1. Kinetika Fermentasi Hasil pengamatan kinetika fermentasi pada produksi minuman vinegar dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kinetika Fermentasi. Ke l Perlakuan Waktu Σ MO tiap petak Ratarata! Σ MO tiap petak Ratarata! Σ MO tiap "" O# $nm% pH Total &sam $mg!ml% 1 ' ( ) F1 *ari &pel Malang + S. cerevisiae , - 1 ) / 0 ' 1- / -2(13' (2 ' 132(' , ') 0- )/ 00 )0 )42'0 142/ 1- / 12(00 (2') 142'- , )3 (4 )- (3 )1 (4 1023 1- / 120 4- (2(0 1)2)- , /' )0 3' 03 34 0 '(2' 1- / 123'(( (2(/ 1)204 , 43 3- /' /3 ( /'2/0 '421 1- / 12 (/ (2)- 1)2-' F' *ari &pel Malang + S. cerevisiae , - 1' 1( 11 11 112/0 )2/ 1- / -2'/'1 (2') 13201 , ') 1 1-1 4' 4( 412/0 (32/ 1- / 12-441 (2'' 1/2' , )3 134 1'( 10/ 1/4 10/ 3'21- / 121-( (2(( 1)2)- , /' / /' 1-1 1' 4)2/0 (/24 1- / -24-3- (2)' 1(2 ' , 43 (-- (-- (-- (-- (-- 1'- 1- / '21)'0 (2)( 1(23( F( *ari &pel Malang + S. cerevisiae , - ' 10 '' 13 '-2'0 211- / -2(14' (2'/ 1/2-4 , ') 0) 3' 3- 03 0 '(2' 1- / 12')0 (2'' 1/2' , )3 1'- ' 1 ( 4120 (323 1- / 12)41/ (2(( 132(' , /' 1'( 1-( 1- 1-4 11-2/0 ))2( 1- / 123)10 (2() 10200 , 43 )) (4 )1 (/ )-2'0 1321 1- / 12'4(' (2)' 1)2-' F) *ari &pel Malang + S. cerevisiae , - '3 1/ 11 '4 '-2/0 2(1- / -2)- ) (2(- 132(' , ') 1-1 4- 1-/ 1') 1-020 )'2' 1- / 1201'- (2'0 142'- , )3 1 4- 4/ 4 (023 1- / 1200 ( (21( 1)2)- , /' ( /3 40 /0 '2'0 ('24 1- / -2/) / (2() 1)204 1

description

Pada praktikum ini digunakan apel malang sebagai substrat pembuatan vinegar.

Transcript of kinetika fermentasi dalam produksi minuman vinegar_Lukas Terry Boedianto_12.70.0044.F1

1. HASIL PENGAMATAN

1.1. Kinetika FermentasiHasil pengamatan kinetika fermentasi pada produksi minuman vinegar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kinetika Fermentasi.KelPerlakuanWaktu MO tiap petakRata-rata/ MO tiap petakRata-rata/ MO tiap ccOD (nm)pHTotal Asam (mg/ml)

1234

F1Sari Apel Malang + S. cerevisiaeN0148752 x 1070,31623,8216,32

N245047554549,2519,7 x 1071,35583,2419,20

N46394036413915,6 x 1071,58903,3514,40

N72456256695823,2 x 1071,62333,3714,59

N966072768372,7529,1 x 1071,83783,4014,02

F2Sari Apel Malang + S. cerevisiaeN01213111111,754,7 x 1070,27213,2416,51

N2481101929391,7536,7 x 1071,09913,2217,28

N4616912315717915762,8 x 1071,10383,3314,40

N72787210112894,7537,9 x 1070,90603,4213,82

N96300300300300300120 x 1072,14253,4313,63

F3Sari Apel Malang + S. cerevisiaeN02815221620,258,1 x 1070,31923,2717,09

N24546260565823,2 x 1071,24583,2217,28

N4612082818391,536,6 x 1071,49173,3316,32

N72123103108109110,7544,3 x 1071,64153,3415,55

N964439413740,2516,1 x 1071,29323,4214,02

F4Sari Apel Malang + S. cerevisiaeN02617112920,758,3 x 1070,40843,3016,32

N2410190107124105,542,2 x 1071,51203,2519,20

N46819088978935,6 x 1071,55833,1314,40

N728376957582,2532,9 x 1070,74873,3414,59

N968276838681,7532,7 x 1070,78453,4813,82

1

F5Sari Apel Malang + S. cerevisiaeN011272319208 x 1070,33523,3215,74

N2419218712475144,557,8 x 1071,29113,2317,28

N461151061199210843,2 x 1071,38603,3514,40

N721007569527429,6 x 1071,69583,5415,17

N9613589144167133,7553,4 x 1071,40693,4612,86

Berdasarkan Tabel 1., dapat dilihat bahwa fermentasi dilakukan selama 5 hari dengan data rata-rata per jumlah mikroorganisme tiap cc didapati berbeda tiap kelompoknya. Dapat dilihat bahwa data OD kelompok F1 terus meningkat seiiring berjalannya waktu fermentasi, sedangkan kelompok lain mengalami kenaikan dan penurunan (fluktuatif). Pada data pH, dapat dilihat bahwa pH sampel berkisar antara 3,13-3,82. Total asam yang dihasilkan berkisar antara 12,86-19,20. Hubungan antara pH dan total asam tidak dapat dibandingkan karena data yang didapatkan sangat flutktuatif dan tidak beraturan.

8

1.2. Hubungan Absorbansi dengan Waktu FermentasiHubungan absorbansi dengan waktu fermentasi dapat dilihat pada Grafik 1..

Grafik 1. Hubungan Antara Absorbansi dengan Waktu Fermentasi

Berdasarkan pada Grafik 1. di atas, dapat dilihat bahwa pada kelompok F1 nilai absorbansinya selalu mengalami peningkatan seiring dengan berjalannya waktu fermentasi. Pada kelompok F2 nilai absorbansinya meningkat seiring dengan berjalannya waktu, namun pada N96 mengalami peningkatan yang ekstrim. Pada kelompok F3 dan F5 nilai absorbansinya selalu mengalami peningkatan seiring dengan berjalannya waktu, namun pada N96 mengalami penurunan. Pada kelompok F4, nilai absorbansinya mengalami peningkatan, namun mengalami penurunan yang drastis setelah N72.

1.3. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Waktu FermentasiHubungan jumlah sel mikroorganisme dengan waktu fermentasi dapat dilihat pada Grafik 2.

Grafik 2. Hubungan Antara Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Waktu Fermentasi

Berdasarkan pada Grafik 2. di atas, dapat dilihat bahwa jumlah mikroorganisme pada masing-masing kelompok berbeda satu sama lain. Pada kelompok F1, jumlah mikroorganismenya senantiasa meningkat seiring dengan berjalannya waktu fermentasi. Pada kelompok F2, jumlah mikroorganismenya meningkat pada awal fermentasi dan mengalami penurunan pada N72, namun mengalami peningkatan yang sangat drastis pada N96. Data ini tergolong sebagai data ekstrim. Pada kelompok F3 dan F5, jumlah mikroorganismenya selalu mengalami peningkatan seiring dengan berjalannya waktu, namun pada N96 mengalami penurunan. Pada kelompok F4, jumlah mikroorganismenya mengalami peningkatan, namun mengalami penurunan yang drastis setelah N72.1.4. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan pHHubungan jumlah sel mikroorganisme dengan pH dapat dilihat pada Grafik 3.

Grafik 3. Hubungan Antara Jumlah Sel Mikroorganisme dengan pH

Berdasarkan Grafik 3., dapat dilihat bahwa hubungan antara jumlah sel mikroorganisme dengan pH pada seluruh kelompok tidak seragam dan berbeda satu sama lain. Pada pH yang asam, jumlah sel mikroorganismenya semakin sedikit pada seluruh kelompok. Terjadi penyimpangan data pada kelompok F1 bahwa pengukuran pH mendapatkan data pH 3,8. Terjadi penyimpangan data pula pada kelompok F2 bahwa jumlah mikroorganisme pada pH 3,4 memiliki jumlah tertinggi di antara yang lain.

1.5. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan AbsorbansiHubungan jumlah sel mikroorganisme dengan absorbansi dapat dilihat pada Grafik 4.

Grafik 4. Hubungan Antara Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Absorbansi

Berdasarkan pada Grafik 4. di atas, dapat dilihat bahwa hubungan antara jumlah sel mikroorganisme dengan absorbansi pada seluruh kelompok berbeda-beda. Secara umum, dapat dilihat bahwa semakin tinggi jumlah sel mikroorganisme, maka semakin tinggi pula absorbansinya. Terdapat data ekstrim pada kelompok F1, F4 dan F5 dimana jumlah sel mikroorganisme yang menurun diikuti dengan peningkatan nilai OD.

1.6. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Total AsamHubungan jumlah sel mikroorganisme dengan total asam dapat dilihat pada Grafik 5.

Grafik 5. Hubungan Antara Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Total Asam

Berdasarkan Grafik 5. di atas, dapat dilihat bahwa semakin tinggi jumlah sel mikroorganismenya, maka total asam akan semakin rendah. Didapatkan data ekstrim pada kelompok F3 bahwa jumlah sel mikroorganisme mengalami peningkatan drastis, sedangkan total asamnya semakin meningkat. Data ekstrim juga didapatkan pada kelompok F4 dan F5 bahwa jumlah sel mikroorganisme lebih tinggi pada total asam yang tinggi pula.

2. PEMBAHASAN

2.1. Cara KerjaPada praktikum ini, pembuatan vinegar dilakukan dengan metode fermentasi. Vinegar adalah salah satu bahan tambahan yang mengandung pati yang terfermentasi menjadi alkohol dan asam asetat. Bahan baku pembuatan vinegar adalah sari buah yang memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi sehingga dapat dijadikan substrat untuk fermentasi (Tan, 2005). Proses fermentasi yang dilakukan hanya sebanyak 1 kali, oleh karena itu produk ini lebih tepat disebut sebagai cider. Vinegar sendiri adalah suatu produk yang melalui 2 tahap fermentasi, yaitu fermentasi alkohol dan asam asetat (Saha & Banerjee, 2013; Ranganna, 1978). Kinetika adalah suatu dispilin ilmu yang mempelajari mengenai pola pertumbuhan dan perkembangan suatu mikroorganisme dalam proses fermentasi. Pengetahuan mengenai kinetika sangat penting untuk menentukan sejauh mana mikroorganisme tersebut dapat berkembang, apakah substrat dan lingkungan yang disediakan sudah sesuai dengan karakteristik perkembangan mikroorganisme tersebut dan digunakan untuk mengetahui optimalisasi dalam proses fermentasi. Pada prinsipnya, fermentasi dapat berjalan apabila terdapat sumber karbon berupa karbohidrat atau pati pada substrat. Sumber karbon bisa terdapat secara alami pada bahan pangan ataupun juga dapat ditambahkan secara sengaja. Pengayaan sumber karbon pada substrat dapat dilakukan dengan panambahan gula pada substrat (Winarno et al., 1980).

Dalam praktikum ini, substrat yang digunakan adalah sari buah apel Malang, sedangkan mikroorganisme yang digunakan adalah Saccharomyces cereviceae. Pemilihan buah apel malang sebagai substrat dalam produksi vinegar sudah sesuai karena buah apel malang memiliki rasa yang manis dan hal tersebut menunjukkan bahwa apel malang memiliki kadar gula yang tinggi. Kadar gula pada apel malang digunakan sebagai sumber karbon selama proses fermentasi berlangsung. Dalam jurnal Santi (2008) pembuatan vinegar juga dapat dilakukan dengan menggunakan sari jambu mete karena memiliki kandungan gula sekitar 9,67% dan ketika difermentasi selama 60 jam dengan inokulum sebesar 6% akan menghasilkan kadar alkohol yang terbaik yaitu 14,98%. Dalam jurnal Bhusnan dan Joshi (2006), pembuatan vinegar dapat dilakukan dengan menggunakan apel pomace dan ternyata substrat yang berasal dari buah apel dapat memberikan yield terbaik dibandingkan dengan substrat lainnya. Dengan demikian maka pemilihan apel sebagai substrat sudah sesuai dalam praktikum ini.

Gambar 1. Sari Buah Apel Malang

Sari buah apel malang didapatkan dengan menggunakan perlakuan mekanis atau penghancuran dengan mesin juicer. Sari apel yang didapatkan lalu disaring menggunakan kain saring dan sebanyak 250 ml sari apel dimasukkan ke dalam botol kaca yang sudah dicuci bersih dan ditutup dengan plastik. Sari apel kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Sterilisasi bertujuan untuk mengeliminasi seluruh mikroorganisme yang terdapat pada sari buah yang dapat mengganggu jalannya proses fermentasi nantinya. Apabila tidak dilakukan sterilisasi, maka akan timbul aroma tidak sedap (asam, busuk, belerang) dan larutan terlihat keruh (Fardiaz, 1992).

Gambar 2. Proses Penyaringan dan Sterilisasi Sari Buah Apel Malang

Setelah proses sterilisasi telah selesai, sari buah apel didiamkan pada suhu ruang sambil direndam dalam baskom berisi air dingin. Setelah suhunya menurun, dilakukan penginokulasian kultur yeast sebanyak 30 ml secara aseptis. Penerapan kaidah-kaidah aseptis sangat diperlukan untuk mencegah adanya kontaminasi, yaitu dengan cara penyemprotan alkohol, menggunakan bunsen yang menyala, mengenakan sarung tangan dan masker, mengenakan jas laboratorium yang bersih, mensterilkan seluruh peralatan yang digunakan dan tidak berbicara sewaktu mengkulturkan starter (Hadioetomo, 1981). Penggunaan inokulum dalam proses fermentasi vinegar adalah 6%, namun dalam praktikum ini adalah 12% (Sevda & Rodrigues, 2011). Kadar yang berbeda ini disebabkan karena adanya perbedaan konsentrasi dan jumlah mikroorganisme pada starter yang digunakan. Starter yang digunakan adalah Saccharomyces cerevicaea yang dapat mengubah glukosa dalam substrat menjadi alkohol dan CO2. Berjalannya proses fermentasi ditandai dengan adanya perubahan warna pada substrat menjadi keruh dan bergelembung atau berbuih karena adanya gas CO2 yang dihasilkan (Rahman, 1992).

Gambar 3. Inokulasi Saccharomyces cereviceae

Sari apel yang sudah diinokulasi lalu digojog menggunakan incubator shaker untuk menghomogenkan inokulum agar terdistribusikan secara merata dalam sari apel. Incubator shaker memiliki fungsi untuk mensuplai oksigen dalam media pertumbuhan dan menyediakan sumber karbon bagi yeast yang bersifat aerobik. Dengan adanya proses ini, maka pertumbuhan yeast akan lebih optimal (Said, 1987). Sebanyak 25 ml sampel sari apel diambil dan diuji total asam, pH, jumlah mikroorganisme dan absorbansinya (nilai OD). Sisa sari apel kemudian diinkubasi selama 5 hari pada suhu ruang. Empat pengujian tersebut di atas dilakukan berturut-turut selama 5 hari pada jam dan waktu yang sama.

Gambar 4. Incubator Shaker

Pengukuran jumlah sel mikroorganisme pada vinegar dilakukan dengan 2 cara, yaitu penghitungan menggunakan haemocytometer dan spektrofotometer. Haemocytometer adalah suatu alat yang digunakan untuk menghitung jumlah sel dalam sampel secara cepat dengan jumlah sel yang rendah. Pengukuran didasarkan pada penghitungan jumlah mikroorganisme pada petak-petak haemocytometer melalui perbesaran mikroskop (Chen, 2011). Penentuan jumlah sel selanjutnya dilakukan menggunakan spektrofotometer. Dari pengujian tersebut akan didapatkan data absorbansi yang menunjukkan seberapa banyak intensitas cahaya yang diserap oleh media pada panjang gelombang tertentu. Panjang gelombang yang digunakan adalah 660 nm dengan warna merah tua. Apabila warna pada sampel memiliki kesamaan dengan panjang gelombang 660 nm, maka nilai absorbansinya akan besar, begitu sebaliknya. Warna merah tua digunakan karena warna tersebut menunjukkan adanya kekeruhan pada sampel dan sesuai dengan hukum Lambert-Beer (Rahman, 1992).

Gambar 5. Penghitungan Jumlah Sel dengan Haemocytometer dan Spektrofotometer

Gambar 6. Hasil Penghitungan Jumlah Sel dengan Haemocytometer

Pengujian total asam pada sampel dilakukan dengan metode titrasi dengan larutan titran NaOH 0,1N dan indikator yang digunakan adalah PP. Penggunaan indikator PP dikarenakan larutan titran yang digunakan bersifat basa, yaitu NaOH. Indikator PP yang berwarna putih akan berubah warna menjadi merah muda ketika bereaksi dengan larutan basa. Indikator PP yang diteteskan pada sampel yang bersifat asam tidak akan mengalami perubahan warna, lalu ketika ditambahkan NaOH secara berlebihan, maka indikator PP akan mengubah warna larutan menjadi merah muda. Namun dalam praktikum ini, perubahan warna yang dihasilkan bukanlah merah muda, namun coklat tua. Hal ini disebabkan karena warna sampel awal sudah coklat, sehingga ketika titik akhir titrasi akan berwarna coklat tua (Chang, 1991; Petrucci & Suminar, 1987).

Gambar 7. Uji Total Asam Gambar 8. Uji pH

Pengujian sifat asam pada sampel juga dilakukan dengan uji pH menggunakan pH meter. pH meter yang akan digunakan sebelumnya dikalibrasi terlebih dahulu menggunakan aquades hingga pH nya 6-7, lalu dibilas dengan air mengalir dan dibersihkan dengan tisu. Kalibrasi pH meter perlu dilakukan untuk mengetahui apakah alat tersebut masih akurat atau tidak. Setelah itu, elektroda dicelupkan ke dalam sampel dan ditunggu hingga pengukuran pH stabil. pH asam berkisar antara 1-6,5 sedangkan pH basa berkisar antara 7,5-12. Larutan dapat dikatakan netral apabila pH nya berkisar antara 6,5-7,5 (Tranggono et al., 1989).

2.2. Hasil Pengamatan2.2.1. Hubungan Absorbansi dengan Waktu FermentasiSaccharomyces cereviceae mengubah gula dalam substrat menjadi alkohol dan CO2 yang mengakibatkan warna larutan menjadi keruh. Semakin keruh larutan tersebut, maka %transmitansinya (jumlah cahaya yang diteruskan; %T) akan semakin kecil. Hal ini disebabkan karena sebagian besar gelombang cahaya yang dipancarkan akan terserap dan cahaya yang diteruskan sedikit. Sesuai dengan hukum Lambert-Beer apabila %T rendah, maka absorbansi larutan tersebut tinggi. Banyaknya jumlah sel dalam larutan juga menyebabkan semakin banyak gelombang cahaya yang diserap, sehingga meningkatkan nilai absorbansi. Dengan demikian, maka seharusnya semakin lama proses fermentasi, maka nilai absorbansi semakin tinggi karena jumlah Saccharomyces cereviceae juga semakin tinggi (Rahman, 1992; Fardiaz, 1992; Pelezar & Chan, 1976).

Berdasarkan hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa pada kelompok F1 nilai absorbansinya selalu mengalami peningkatan seiring dengan berjalannya waktu fermentasi. Pada kelompok F2 nilai absorbansinya meningkat seiring dengan berjalannya waktu, namun pada N96 mengalami peningkatan yang ekstrim. Pada kelompok F3 dan F5 nilai absorbansinya selalu mengalami peningkatan seiring dengan berjalannya waktu, namun pada N96 mengalami penurunan. Pada kelompok F4, nilai absorbansinya mengalami peningkatan, namun mengalami penurunan yang drastis setelah N72. Data yang diperoleh beberapa sudah sesuai dengan teori Fardiaz (1992), yaitu semakin tinggi nilai absorbansi, maka semakin tinggi pula jumlah sel mikroorganisme dalam media. Semakin lama waktu fermentasi, maka semakin tinggi nilai absorbansi pada sampel. Meningkat atau tidaknya nilai absorbansi didasarkan pada pola pertumbuhan mikroorganisme. Menurut Fardiaz (1992), pola pertumbuhan mikroorganisme adalah fase adaptasi, fase pertumbuhan, fase stasioner dan fase kematian. Nilai absorbansi rendah menunjukkan sel masih beradaptasi, sedangkan nilai absorbansi yang meningkat mengindikasikan adanya pertumbuhan sel secara pesat, dan menurunnya nilai absorbansi menunjukkan adanya fase kematian.

2.2.2. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan waktu FermentasiBerdasarkan hasil pengamatan yang ada, dapat dilihat bahwa jumlah mikroorganisme pada kelompok F1 senantiasa meningkat seiring dengan berjalannya waktu fermentasi. Pada kelompok F2 dan F5, jumlah mikroorganismenya meningkat pada awal fermentasi dan mengalami penurunan pada N72, namun mengalami peningkatan yang sangat drastis pada N96. Pada kelompok F3, jumlah mikroorganismenya selalu mengalami peningkat seiring dengan berjalannya waktu, namun pada N96 mengalami penurunan. Pada kelompok F4, jumlah mikroorganismenya mengalami peningkatan, namun mengalami penurunan yang drastis setelah N72.

Gambar 9. Kurva Perumbuhan Mikroorganisme(Sumber: Fardiaz, 1992)

Menurut Fardiaz (1992), pertumbuhan mikroorganisme terdiri dari 4 fase, yaitu fase lag, fase log, fase stasioner dan fase kematian. Berdasar pada teori tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pola pertumbuhan yang dihasilkan pada praktikum ini sudah sesuai, yaitu jumlah mikroorganisme mula-mula rendah yang menandakan adanya fase adaptasi, lalu pada N24 jumlah sel bertambah dengan pesatnya yang menandakan adanya fase log (pertumbuhan cepat), pada N72 mulai menurun jumlah mikroorganismenya yang menandakan mulai adanya fase kematian. Meskipun fase-fase tersebut telah sesuai, namun hasil pada masing-masing kelompok berbeda-beda karena pada kelompok F1 jumlah mikroorganisme selalu meningkat, sedangkan pada kelompok lainnya mengalami fluktuasi. Adanya fluktuasi pada fase pertumbuhan dapat disebabkan karena habisnya nutrisi pada substrat sehingga menyebabkan kematian mikroorganisme pada sampel (Fardiaz, 1992). Dimungkinkan pada N72 nutrisi pada substrat mulai habis, sehingga jumlah mikroorganismenya semakin rendah. Bila hal ini memang terjadi, maka data yang didapatkan oleh kelompok F3 dan F5 sudah sesuai dengan teori tersebut. Selain itu, adanya kontaminasi pada sampel juga dapat mengganggu hasil karena keberadaan mikroorganisme kontaminan juga dapat menggunakan energi pada substrat. Perbedaan hasil juga dapat disebabkan karena jumlah mikroorganisme yang diambil tidak seragam akibat proses homogenisasi yang kurang optimal serta penggunaan alat haemocytometer yang tidak akurat karena garis petak pada alat sudah hilang. Hal ini menyulitkan praktikan dalam menghitung jumlah mikroorganisme pada haemocytometer. Jumlah mikroorganisme pada media sangat dipengaruhi suhu inkubasi sampel. Berdasarkan penelitian Canbas et al., (2007) waktu hidup yeast akan lebih panjang bila dikulturkan pada suhu 25oC dibandingkan dengan suhu 18oC. Namun ketika dikulturkan pada suhu 27oC, maka yeast tidak dapat hidup dengan optimal.

2.2.3. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan pHBerdasarkan hasil pengamatan, dapat dikatakan bahwa data yang didapat sangat tidak teratur karena tidak dapat ditemukan adanya korelasi antara pH dan jumlah sel mikroorganisme. Pada beberapa data ditemukan bahwa semakin rendah pH maka jumlah sel akan semakin tinggi, namun juga ditemukan hal yang sebaliknya. Menurut Kartohardjono et al., (2007) fermentasi vinegar seharusnya dilakukan menggunakan dua jenis mikroorganisme, yaitu Saccharomyces cereviceae dan Acetobacter aceti yang dapat menghasilkan asam laktat. Meski demikian, pada praktikum ini hanya digunakan yeast saja. Menurut Azizah et al., (2012), Saccharomyes cereviceae merupakan khamir homofermentatif yang dapat memproduksi alkohol yang memiliki sifat asam. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa kondisi asam merupakan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhan yeast, sehingga semakin rendah pH maka seharusnya jumlah sel semakin tinggi. Bila disesuaikan dengan teori tersebut, maka dapat dikatakan bahwa hasil praktikum ini kurang sesuai. Hal ini dikarenakan sebagian besar data yang dihasilkan adalah semakin rendah pH maka jumlah mikroorganisme semakin rendah. Hal ini dapat disebabkan karena adanya kesalahan penghitungan sel mikroorganisme pada haemocytometer dan dapat pula disebabkan oleh pertumbuhan yeast yang tidak stabil karena kondisi temperatur inkubator yang tidak optimal bagi pertumbuhan yeast.

2.2.4. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan AbsorbansiBerdasarkan hasil pengamatan, dapat dikatakan bahwa data yang didapat tidak bisa ditemukan adanya korelasi antara nilai absorbansi dan jumlah sel mikroorganisme. Pada beberapa data ditemukan bahwa semakin rendah nilai absorbansi maka jumlah sel akan semakin tinggi, namun juga ditemukan hal yang sebaliknya. Menurut Rahman (1992), Fardiaz (1992) dan Pelezar & Chan (1976) jumlah sel mikroorganisme berbanding lurus dengan nilai absorbansi. Dengan demikian, maka semakin tinggi jumlah sel mikroorganisme, maka nilai absorbansi juga semakin meningkat karena tingginya jumlah mikroorganisme menyebabkan kekeruhan pada media dan kekeruhan tersebut menyebabkan penyerapan gelombang cahaya yang dipancarkan semakin tinggi. Berdasarkan teori tersebut, maka dapat dikatakan bahwa hasil praktikum ini kurang sesuai. Hal ini dikarenakan semakin tinggi nilai absorbansi justru menghasilkan jumlah mikroorganisme yang rendah, begitu sebaliknya. Menurut Pomeranz & Meloan (1994), hal ini dapat disebabkan karena penggunaan spektrofotometer yang kurang tepat, yaitu cuvet tergores, kotor atau ukurannya tidak seragam. Selain itu, penempatan cuvet tidak sesuai, terdapat gelembung gas pada larutan sampel. Selain itu, proses pengukuran absorbansi pada sampel hanya dilakukan 1x, seharusnya pengukuran absorbansi dilakukan minimal 3x agar data yang dihasilkan lebih akurat.

2.2.5. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Total AsamMenurut Susanto & Setyohadi (2011) dalam proses fermentasi menggunakan Saccharomyces cerevicaea akan dihasilkan alkohol dan CO2. Alkohol tergolong sebagai larutan asam yang keberadaannya dapat diindikasikan dengan aroma yang menyengat dan khas. Selain itu, dalam fermentasinya yeast juga menghasilkan asam tartarat, asam sitrat, asam propionat dan asam butirat sebagai metabolit sampingan. Asam-asam tersebut turut berkontribusi dalam meningkatkan keasaman dalam media. Berdasarkan teori tersebut, maka seharusnya semakin tinggi total asam pada media, maka jumlah sel mikroorganisme akan semakin tinggi. Jika dibandingkan dengan data yang didapatkan, maka teori tersebut kurang sesuai dengan data yang ada. Hal ini disebabkan karena data yang didapat tidak memiliki korelasi yang jelas diakibatkan oleh data yang tidak teratur. Sebagian besar data menunjukkan bahwa semakin tinggi total asam, maka jumlah mikroorganisme semakin sedikit. Kesalahan ini dapat disebabkan karena proses titrasi yang tidak akurat karena buret yang digunakan bocor, sehingga terjadi kesalahan paralax (pembacaan skala pada buret). Selain itu, penentuan titik akhir titrasi antar kelompok juga tidak seragam karena perubahan warna yang ada tidak begitu mencolok. Namun, menurut Krusong & Vichitraka (2009), kematian yeast dalam proses fermentasi dapat disebabkan karena media yang terlalu asam, sehingga yeast tidak dapat bertahan hidup. Bila hal ini yang terjadi dalam praktikum ini, maka data yang didapatkan berkemungkinan sesuai dengan teori tersebut karena tidak adanya uji optimalisasi yeast terhadap media yang asam. Seharusnya uji ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana yeast dapat hidup pada media yang asam.

3. KESIMPULAN

Dalam proses fermentasi oleh Saccharomyces cereviceae akan dihasilkan alkohol yang bersifat asam dan gas CO2 sebagai metabolit primer. Metabolit sekunder yang dihasilkan adalah asam-asam organik seperti asam propionat dan asam sitrat. Pada fermentasi vinegar digunakan apel malang sebagai substrat dan Saccharomyces cereviceae sebagai inokulum. Apel malang digunakan karena memiliki sumber karbon yang cukup tinggi. Pola pertumbuhan mikroorganisme yaitu fase adaptasi (lag), fase pertumbuhan (log), fase stasioner dan fase kematian. Semakin lama waktu fermentasi, maka jumlah sel mikroorganisme akan semakin tinggi, namun ketika energi pada substrat habis maka akan mengalami penurunan. Semakin lama waktu fermentasi, maka nilai absorbansi akan semakin meningkat yang diakibatkan oleh semakin banyaknya jumlah mikroorganisme pada sampel. Semakin banyak biomassa sel yang terbentuk, maka pH dan total asam sampel akan semakin sedikit karena semakin banyak asam-asam organik yang dihasilkan. Kondisi yang terlalu asam dapat mengganggu pertumbuhan yeast.

Semarang, 10 Juli 2015Praktikan,Asisten Praktikum Bernardus Daniel H. Chaterine Meilani Metta MelianiLukas Terry Boedianto12.70.0044

4. DAFTAR PUSTAKA

Azizah, N.; N. Al-Baarri, dan S. Mulyani. (2012). Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol, pH, dan Produksi Gas Pada Proses Fermentasi Bioetanol dari Whey dengan Substrat Kulit Nanas. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 1 (2): 72-77.

Bhusnan, Shashi dan V.K. Joshi. (2006). Baker's Yeast Production Under Fed Batch Culture from Apple Pomace. Journal of Scientific & Industrial Research. Vol 65: 72-76

Canbas, A; A. Sener and M.U. Unal. (2007). The Effect of Fermentation Temperature on the Growth Kinetics of Wine Yeast Species. Turk J Agric for 31, 349-354.

Chang, R. (1991). Chemistry. MC Graw Hill. USA.

Chen, Yu-wei. (2011). Automatic Cell Counting for Haemocytometers Through Image Processing. Taiwan: National Chung Cheng University.

Fardiaz, S. (1992). Mikroorganisme Pangan 1. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Hadioetomo, R. S., (1993). Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. PT Gramedia Pustaka. Jakarta.

Kartohardjono, S.; Anggara; Subihi; dan Yuliusman. (2007). Absorbsi CO2 dari campurannya dengan CH4 atau N2 melalui kontaktor membran serat berongga menggunakan pelarut air. Jurnal Teknologi 11 (2): 97-102.

Krusong W., & A. Vichitraka. (2009). An investigation of simultaneous pineapple vinegar fermentation interaction between acetic acid bacteria and yeast. Asian Journal on Food& Agriculture-Ind. 2010, 3(01), 192-203

Pelezar, M. J. & Chan. E. C. S. (1976). Turbidimetric Measurement of Plant Cell Culture Growth. Massachussets : MIT

Petrucci, R.H. dan Suminar. (1987). Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern Edisi Keempat Jilid 1. Erlangga. Jakarta.

Pomeranz,Y. & C. E. Meloan. (1994). Food Analysis Theory and Practice. John Wiley and Sons, Inc. New York.

Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. Penerbit Arcan. Jakarta. 23

Ranganna. (1978). Analysis of Fruit and Vegetable Product. The AVI Publ. Co. Inc. Realita, Tita dan M. Sumanti, Debby. (2010). Teknologi Fermentasi. Penerbit : Widya Padjajaran. Bandung.

Saha, P & Banerjee, S. (2013). Optimization Of Process Parameters For Vinegar Production Using Banana Fermentation. IJRET: International Journal of Research in Engineering and Technology. Volume: 02 Issue: 09 | Sep-2013.

Said, E. G. (1987). Bioindustri: Penerapan Teknologi Fermentasi. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.

Santi, Sintha Soraya. (2008). Pembuatan Alkohol dengan Proses Fermentasi Buah Jambu Mete oleh Khamir Saccharomyces Cerevesiae. Jurnal Penelitian Ilmu Teknik. Vol 8.No 2: 104-111.

Sevda SB, Rodrigues L. (2011) Fermentative Behavior of Saccharomyces Strains During Guava (Psidium Guajava L) Must Fermentation and Optimization of Guava Wine Production. J Food Process Technol 2:118.

Susanto W.H. & B.R. Setyohadi. (2012). Pengaruh Varietas Apel (Malus sylvestris) Dan Lama Fermentasi Oleh Khamir Saccharomyces cerivisiae Sebagai Perlakuan Pra-Pengolahan Terhadap Karakteristik Sirup. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 12 No. 3 :135-142.

Tan San Chiang. (2005). Vinegar Fermentation. Thesis. University of Louisiana. Lafayette.

Tranggono; B. Setiaji; Suhardi; Sudarmanto; Y. Marsono; A. Murdiati; I. S. Utami & Suparmo. (1989). Petunjuk Laboratorium Biokimia Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Winarno, F.G ; S. Fardiaz & D. Fardiaz. (1980). Pengantar Teknologi Pertanian. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

5. LAMPIRAN

5.1. Perhitungan5.1.1. Perhitungan Jumlah Biomassa dengan HaemocytometerRumus :

Kelompok F1 N0 N24 = N48 N72= N96Kelompok F2 N0= N24 N48 N72 N96

Kelompok F3 N0 N24 N48 N72 N96Kelompok F4 N0 N24 N48 N72 N96

Kelompok F5 N0 N24 N48 N72 N96

5.1.2. Perhitungan Total Asam Selama FermentasiRumus perhitungan Total Asam

Kelompok F1 N0Volume titrasi = 8,5 ml

N24Volume titrasi = 10 ml

N48Volume titrasi = 7,5 ml

N72Volume titrasi = 7,6 ml

N96Volume titrasi = 7,3 ml

Kelompok F2 N0Volume titrasi = 8,6 ml

N24Volume titrasi = 9 ml

N48Volume titrasi = 7,5 ml

N72Volume titrasi = 7,6 ml

N96Volume titrasi = 7,1 ml

Kelompok F3 N0Volume titrasi = 8,9 ml

N24Volume titrasi = 9 ml

N48Volume titrasi = 8,5 ml

N72Volume titrasi = 8,1 ml

N96Volume titrasi = 7,3 ml

Kelompok F4 N0Volume titrasi = 8,5 ml

N24Volume titrasi = 10 ml

N48Volume titrasi = 7,5 ml

N72Volume titrasi = 7,6 ml

N96Volume titrasi = 7,2 ml

Kelompok F5 N0Volume titrasi = 8,2 ml

N24Volume titrasi = 9 ml

N48Volume titrasi = 7,5 ml

N72Volume titrasi = 7,9 ml

N96Volume titrasi = 6,7 ml

5.2. Laporan Sementara

5.3. Jurnal