BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Definisi Diabetes Melitus...2.3.1 Diabetes Melitus Tipe I ... asupan...

28
9 BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Definisi Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah sindrom klinis yang biasanya ditandai dengan hiperglikemia akibat dari defisiensi insulin yang absolut maupun relatif. Kurangnya hormon insulin yang dikeluarkan dari sel β pankreas di dalam tubuh maka akan mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan juga lemak, karena kadar glukosa dalam darah sangat erat diatur oleh insulin sebagai regulator utama perantara metabolisme sehingga hal ini menyebabkan gangguan yang signifikan (Animesh, 2006). Diabetes melitus adalah suatu keadaan hiperglikemik kronik yang disertai dengan berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal. Ketika hormon mengalami gangguan akibat kelainan - kelainan tersebut maka akan menyebabkan berbagai komplikasi pada mata, ginjal, pembuluh darah dan juga saraf (Mansjoer, 2001). American Diabetes Association ADA (2010), menyebutkan diabetes melitus adalah kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang disebabkan karena adanya kelainan sekresi insulin, kerja insulin, maupun kedua - duanya. Hiperglikemia di difinisikan sebagai kadar glukosa puasa yang cenderung lebih tinggi dari 110 mg/dL. Kadar glukosa serum puasa normal adalah 70 sampai 110 mg/dL.

Transcript of BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Definisi Diabetes Melitus...2.3.1 Diabetes Melitus Tipe I ... asupan...

  • 9

    BAB II

    TINJAUAN TEORITIS

    2.1 Definisi Diabetes Melitus

    Diabetes melitus adalah sindrom klinis yang biasanya ditandai dengan

    hiperglikemia akibat dari defisiensi insulin yang absolut maupun relatif.

    Kurangnya hormon insulin yang dikeluarkan dari sel β pankreas di dalam

    tubuh maka akan mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan

    juga lemak, karena kadar glukosa dalam darah sangat erat diatur oleh

    insulin sebagai regulator utama perantara metabolisme sehingga hal ini

    menyebabkan gangguan yang signifikan (Animesh, 2006).

    Diabetes melitus adalah suatu keadaan hiperglikemik kronik yang

    disertai dengan berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal.

    Ketika hormon mengalami gangguan akibat kelainan - kelainan tersebut

    maka akan menyebabkan berbagai komplikasi pada mata, ginjal, pembuluh

    darah dan juga saraf (Mansjoer, 2001).

    American Diabetes Association ADA (2010), menyebutkan diabetes

    melitus adalah kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

    hiperglikemia yang disebabkan karena adanya kelainan sekresi insulin,

    kerja insulin, maupun kedua - duanya. Hiperglikemia di difinisikan sebagai

    kadar glukosa puasa yang cenderung lebih tinggi dari 110 mg/dL. Kadar

    glukosa serum puasa normal adalah 70 sampai 110 mg/dL.

  • 10

    2.2 Epidemiologi Diabetes Melitus

    Diabetes melitus telah di tetapkan oleh WHO sebagai penyakit global

    saat ini. Pada setiap negara terjadi peningkatan jumlah penderita diabetes

    melitus. Berdasarkan data dari WHO (2006), diprediksikan terdapat 171 juta

    jiwa di dunia yang menderita penyakit diabetes pada tahun 2000, dan pada

    tahun 2030, di perkirakan jumlah penderita diabetes melitus akan

    bertambah menjadi 366 juta penderita.

    Diabetes melitus tertinggi di dunia Pada tahun 2000, ditempati oleh

    negara India, Cina, Amerika, Indonesia, Jepang, Pakistan, Rusia, Brazil,

    Italia, dan Bangladesh. Ini merupakan sepuluh besar negara dengan

    prevalensi diabetes melitus tertinggi di dunia. Pada tahun 2030 India, Cina,

    dan Amerika diprediksikan akan tetap menduduki posisi tiga teratas negara

    dengan diabetes melitus tertinggi, dan Indonesia diprediksikan akan tetap

    berada dalam sepuluh besar dan menempati urutan ke 4 terbesar dalam

    jumlah penderita diabetes mellitus di dunia (Wild, dkk., 2004; PERSI, 2008).

    Pada tahun 2000 masyarakat Indonesia yang menderita penyakit

    diabetes melitus adalah sebanyak 8,4 juta jiwa, dan diprediksikan akan

    semakin meningkat di tahun 2030 menjadi sekitar 21,3 juta jiwa. Data ini

    menunjukkan bahwa angka kejadian diabetes melitus tidak hanya tinggi

    presentase di negara maju tetapi juga terjadi di negara - negara

    berkembang, seperti di Indonesia. Data RISKESDAS tahun 2007,

    menunjukkan bahwa secara nasional, prevalensi diabetes melitus

    berdasarkan pada hasil diagnosa dari tenaga kesehatan serta adanya

  • 11

    gejala adalah sebesar 1,1%. Sedangkan prevalensi diabetes melitus

    berdasarkan hasil pengukuran gula darah pada penduduk yang berusia >15

    tahun di daerah perkotaan adalah sebesar 5,7% (Departemen kesehatan,

    2008).

    2.3 Klasifikasi Diabetes Melitus

    2.3.1 Diabetes Melitus Tipe I

    Diabetes tipe 1 adalah tipe yang berkaitan dengan kerusakan

    dan gangguan dari fungsi pankreas dalam menghasilkan

    insulin. Tipe ini hanya sekitar 5 - 10 % dari keseluruhan kasus

    diabetes melitus. Jika tanpa insulin sel tubuh tidak dapat

    menyerap glukosa yang diperlukan tubuh sebagai sumber

    energi untuk dapat menjalankan fungsinya. Diabetes melitus

    tipe 1 juga sering terjadi dan menyerang orang di bawah usia 30

    tahun sehingga sering dijuluki sebagai diabetes anak-anak

    karena kebanyakan penderitanya adalah anak-anak serta

    remaja. Pada diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat

    menghasilkan insulin yang cukup akibat dari kelainan sistem

    imun tubuh yang menghancurkan sel penghasil insulin atau juga

    karena infeksi virus sehingga hormon insulin dalam tubuh

    berkurang dan menyebabkan timbunan gula pada aliran darah.

    Akibat dari kekurangan insulin ini glukosa tidak dapat dipakai

    sebagai energi karena tetap berada di dalam aliran darah.

  • 12

    Ada beberapa kemungkinan yang menjadi penyebab

    pankreas tidak bisa menghasilkan insulin yang cukup pada

    penderita diabetes tipe 1 karena faktor genetik atau faktor

    keturunan. Beberapa penelitian yang telah membuktikan bahwa

    orang dengan riwayat keluarga yang menderita penyakit

    diabetes melitus tipe ini lebih berisiko dari pada orang yang

    tidak memiliki riwayat diabetes melitus. Hal ini menandakan

    bahwa faktor genetik (keturunan) berperan sangat penting. Jika

    kedua orang tua atau salah satu yang menderita diabetes

    melitus, maka anak akan berisiko terkena diabetes melitus juga.

    Tubuh yang kehilangan kemampuan untuk membentuk

    insulin juga dapat menyebabkan diabetes melitus tipe I karena

    sistem kekebalan tubuh menghancurkan sel yang memproduksi

    hormon insulin dan juga virus atau zat kimia yang menyebabkan

    kerusakan pada kelompok - kelompok sel dalam pankreas

    tempat insulin dibuat. Semakin banyak sel yang rusak, maka

    semakin besar seseorang akan menderita diabetes melitus

    (Brunner, 2001).

  • 13

    2.3.2 Diabetes Melitus Tipe II

    Diabetes melitus tipe II berbeda dengan diabetes melitus

    tipe 1. Diabetes melitus tipe II, yang menjadi penyebabnya

    adalah produksi hormon insulin yang dihasilkan tidak cukup.

    Kebanyakan dari hormon insulin yang diproduksi atau

    dihasilakan, dihisap oleh sel lemak akibat dari gaya hidup dan

    pola makan penderita yang tidak baik yang pada akhirnya

    pankreas tidak dapat membuat insulin yang cukup untuk

    mengatasi kekurangannya sehingga kadar gula dalam darah

    akan naik (Brunner, 2001).

    Diabetes melitus tipe II merupakan penyakit yang

    berhubungan dengan pola makan. Pola makan merupakan

    gambaran mengenai komposisi makanan yang dimakan setiap

    hari oleh seseorang. Dengan gaya hidup masyarakat di

    perkotaan dengan pola yang tinggi lemak, garam, dan gula

    secara berlebihan akan mengakibatkan berbagai penyakit

    termasuk diabetes melitus (Suyono, 2007).

    Sekitar 90% sampai dengan 95% orang menderita diabetes

    melitus tipe II sehingga menjadikan diabetes melitus tipe II

    sebagai jenis diabetes melitus yang hampir sebagian besar

    diderita oleh masyarakat. Diabetes ini sering diderita oleh orang

    dewasa yang berusia di atas 30 tahun dan cenderung semakin

    parah secara bertahap. Kurangnya latihan fisik atau olahraga

  • 14

    juga merupakan salah satu faktor terjadinya diabetes melitus

    tipe II. Jika seseorang dalam hidupnya kurang melakukan

    latihan fisik maka cadangan glikogen ataupun lemak akan tetap

    tersimpan di dalam tubuh, inilah yang memicu terjadinya

    berbagai macam penyakit degeneratif salah satu contohnya

    diabetes melitus tipe II (Yunir, Soebardi, Suharko 2008).

    2.4 Etiologi

    2.4.1 Diabetes Melitus Tipe I

    Diabetes tipe I di tandai dengan penghancuran sel-sel beta

    pankreas, kombinasi faktor genetik, imonologi dan (misalnya

    infeksi virus) di perkirakan turut menimbulkan destruksi sel beta.

    2.4.1.1 Faktor-Faktor Genetik

    Penderita diabetes melitus tipe I tidak mewarisi

    diabetes tipe I itu sendiri tetapi mewarisi suatu

    kecenderungan genetik ke arah terjadinya diabetes

    tipe I. Kecendrungan genetik ini di temukan pada

    individu yang memiliki tipe antigen Human Leucocyte

    Antigen (HLA) tertentu. HLA adalah suatu kumpulan

    gen yang bertanggung jawab atas antigen

    transplantasi dan proses imun lainnya. Sebanyak

    95% pasein berkulit putih dengan diabetes tipe I

    memperlihatkan tipe HLA yang spesifik (DR3 atau

  • 15

    DR4). Risiko terjadinya diabetes melitus tipe I

    meningkat tiga sampai lima kali lipat pada setiap

    individu yang memiliki salah satu dari kedua tipe HLA

    ini. Risiko tersebut akan meningkat sepuluh sampai

    dua puluh kali lipat pada individu yang memiliki tipe

    HLA DR3 dan DR4 (jika dibandingkan dengan

    populasi umum) (Brunner, 2001).

    2.4.1.2 Faktor – Faktor Imunologi

    Pada diabetes tipe I terdapat suatu respon

    autoimun. Ini merupakan respon yang abnormal

    dimana antibody mengarah pada jaringan tubuh yang

    normal dengan cara bereaksi terhadap jaringan

    tersebut yang dianggap sebagai jaringan asing.

    Sebuah riset dilakukan untuk mengevaluasi efek

    preparat imunosupresif terhadap perkembangan

    penyakit pada pasien diabetes tipe I yang baru

    terdiagnosis atau pasien dengan antibodi yang

    terdeteksi tetapi tidak memperlihatkan gejala klinis

    diabetes (Brunner, 2001).

    2.4.1.3 Faktor – Faktor Lingkungan

    Banyak penyelidikan yang dilakukan terhadap

    kemungkinan faktor - faktor eksternal yang dapat

    memicu destruksi sel beta. Contoh hasil penyelidikan

  • 16

    yang menyebutkan bahwa racun atau virus dapat

    memicu terjadinya proses autoimun yang dapat

    menimbulkan destruksi pada sel beta. Interaksi antara

    faktor - faktor genetik, imunologi dan lingkungan

    dalam etiologi diabetes tipe I merupakan pokok

    perhatian untuk dilakukan riset lebih lanjut. Meskipun

    kejadian yang menimbulkan destruksi sel beta tidak

    dapat dimengerti sepenuhnya, namun pernyataan

    bahwa kerentanan genetik merupakan faktor dasar

    yang melandasi terjadinya diabetes tipe I adalah hal

    yang secara umum dapat diterima (Brunner, 2001).

    2.4.2 Diabetes Melitus Tipe II

    Diabetes Melitus tipe II adalah tipe diabetes melitus yang

    sering terjadi dibanding dengan diabetes tipe I. Diabetes ini

    biasanya menyerang usia - usia dewasa tetapi tidak menutup

    kemungkina bahwa usia muda atau remaja juga banyak

    terdiagnosa diabetes melitus tipe II. Diabetes melitus tipe II

    terjadi diakibatkan karena insulin yang dihasilkan oleh pankreas

    tidak cukup sehingga menyebabkan kadar gula di dalam darah

    menjadi tidak normal. Diabetes tipe 2 menjadi semakin umum

    oleh karena faktor risikonya yaitu obesitas dan kurangannya

    berolahraga. Diabetes melitus tipe II terjadi karena adanya

  • 17

    resistensi insulin yaitu kurangnya insulin relatif yang didominasi

    oleh adanya gangguan sekresi insulin dengan resistensi insulin

    (ADA, 2012).

    Insiden diabetes melitus tipe II meningkat di seluruh dunia.

    Diabetes melitus tipe II terjadi lebih dikarenakan kecenderungan

    perilaku hidup, faktor lingkungan dan juga genetik. Meskipun

    risiko diabetes melitus tipe II dikarenakan faktor gentetik namun

    belum di dintifikasi sepenuhnya bahwa penyebab utamanya

    adalah faktor genetik. Diabetes tipe II memiliki faktor risiko yang

    besar dan mengarah lebih kepada gaya hidup atau lifestyle

    penderita yang tidak baik misalnya kurangnya aktivitas fisik yang

    jarang dilakukan, asupan gizi yang tidak seimbang, stres, diet

    dan mengkonsumsi minuman yang mengandung pemanis juga

    mempengaruhi dan meningkatkan risiko munculnya penyakit

    diabetes tipe 2 sehingga akan lebih muda terkena diabetes

    melitus tipe ini (Brunner, 2001).

    2.5 Fungsi Gula Dalam Tubuh

    Gula darah mengacu pada kadar atau banyaknya kandungan gula

    dalam sirkulasi darah dalam tubuh. Gula dalam darah biasanya disebut

    sebagai glukosa, yakni bentuk gula yang paling sederhana. Selain

    glukosa, terdapat gula yang disebut sebagai glikogen. Glikogen

    merupakan gula dalam bentuk yang lebih kompleks dan biasa

  • 18

    ditemukan di dalam hati dan juga otot, yang fungsinya adalah sebagai

    cadangan makanan. Sumber utama gula darah manusia berasal dari

    makanan. Pada makanan gula merupakan proses pencernaan dari

    karbohidrat yang banyak ditemukan pada nasi, roti, kentang, dan umbi-

    umbian. Sumber gula lainnya ialah berasal dari dalam tubuh dan dalam

    kondisi puasa lama, gula dihasilkan oleh hati (Brunner, 2001).

    Fungsi utama dari gula dalam tubuh adalah untuk menghasilkan

    energi. Diibaratkan tubuh ini adalah mobil, maka gula darah adalah

    bensinnya. Gula yang berasal dari makanan yang dimakan akan masuk

    ke dalam aliran darah. Kemudian gula - gula tersebut akan masuk ke

    dalam otot dan gula akan diubah menjadi energi. Energi ini yang

    menjamin kelangsungan hidup sel - sel, menghasilkan panas tubuh,

    menghasilkan gerakan tubuh, dan sebagainya.

    2.5.1 Kadar Gula yang rendah

    Darah yang kadar gulanya menurun sampai 50 mg

    glukosa dalam 100 cc tergolong hipoglikemia. Ada dua jenis

    gejala yang timbul secara terpisah atau bersamaan. Pertama

    gejala yang berkaitan dengan saraf akibat dari kekurangan

    glukosa dalam otak untuk mempertahankan aktifitas -

    aktifitas sel otak yang normal. Kedua gejala yang timbul

    akibat tubuh mengimbangi kadar gula dalam darah dengan

    menghasilkan hormon epinephrine secara darurat. Ini akan

    membuat penderita menjadi berkeringat, muka pucat,

  • 19

    gemetar, kedinginan, lapar, lemah, dan jantung berdebar

    (Brunner, 2001).

    2.5.2 Kadar Gula yang tinggi

    Kadar gula darah dikatakan terlalu tinggi jika melebihi

    angka 200 mg/dL. Dalam dunia medis kadar gula darah yang

    terlalu tinggi biasa disebut dengan istiah hiperglikemia.

    Kondisi ini terjadi ketika tubuh tidak memiliki cukup insulin.

    Hormon insulin merupakan hormon yang dilepas oleh

    pankreas. Insulin tersebut berfungsi untuk menyebarkan gula

    dalam darah ke seluruh sel tubuh untuk dapat diproses

    menjadi energi. Kondisi ini biasanya dialami oleh penderita

    diabetes yang tidak bisa menjalani gaya hidup sehat dengan

    baik, misalnya terlalu banyak mengkonsumsi makan, kurang

    berolahraga, dan atau lupa mengonsumsi obat diabetes atau

    insulin. Kondisi lain yang menyebabkan hiperglikemia pada

    penderita diabetes adalah stres, mengkonsumsi obat -

    obatan steroid, sedang menjalani operasi, sedang terinfeksi

    penyakit tertentu.

    Hiperglikemia dapat menyerang siapa saja, terutama jika

    menderita sakit berat. Tanda-tanda seseorang yang memiliki

    kadar gula darah tinggi adalah badan terasa lelah, bobot

    tubuh berkurang, sering buang air kecil dan sering

    merasakan haus. Jika kadar gula darah melebihi 350 mg/dL,

  • 20

    gejala yang mungkin akan dirasakan adalah tingkat

    kesadaran menurun, adanya perasaan muda gelisah,

    penglihatan tidak jelas, dan merasa pusing. Selain itu

    perubahan pada kondisi kulit seperti memerah, kulit kering,

    dan terasa panas. Selain menderita hal-hal tersebut, kadar

    gula darah terlalu tinggi terutama yang tidak pernah

    mendapat pengobatan, dapat menyebabkan bahaya serius

    seperti ketoasidosis diabetikum atau sindrom diabetes

    hyperosmolar (Brunner, 2001).

    2.6 Perawatan Luka

    Perawatan luka menurut Habbs dan Perrin (1985), merupakan

    layanan kesehatan yang dilakukan di rumah pasien (Lerman & Eric,

    1993), sehingga perawatan luka dalam keperawatan merupakan

    layanan keperawatan di rumah pasien yang telah melalui sejarah yang

    panjang. Perawatan luka juga merupakan pelayanan kesehatan yang

    berkesinambungan dan komprehensif yang diberikan kepada seorang

    individu, keluarga, di tempat tinggal mereka yang bertujuan untuk

    meningkatkan, mempertahankan, dan memulihkan kesehatan mereka,

    atau memaksimalkan kemandirian dan meminimalkan kecacatan akibat

    dari penyakit yang mereka derita. Layanan kesehatan diberikan sesuai

    dengan kebutuhan pasien atau keluarga yang sudah direncanakan,

  • 21

    dikoordinir, oleh pemberi pelayanan melalui staf yang sudah diatur

    berdasarkan perjanjian bersama (Depkes RI, 2006).

    2.7 Luka

    Luka merupakan kerusakan dari integritas kulit yang dapat terjadi

    ketika kulit terpapar pada suhu atau pH, zat kimia, gesekan, trauma

    tekanan dan juga radiasi. Penyembuhan luka berarti suatu respon tubuh

    terhadap berbagai cedera dengan proses pemulihan yang kompleks dan

    dinamis yang dapat menghasilkan pemulihan anatomi dan fungsi secara

    terus menerus (Black, 2006). Penyembuhan luka yang terkait dengan

    regenerasi sel sampai kepada fungsi organ tubuh kembali pulih,

    ditunjukkan dengan tanda-tanda atau respon yang berurutan dimana sel

    secara bersama-sama berinteraksi, melakukan tugas dan berfungsi

    secara normal. Idealnya luka yang sudah sembuh dan kembali normal

    secara struktur anatomi, fungsi dan penampilan.

    2.8 Penyembuhan Luka

    Penyembuhan luka didefinisikan sebagai suatu proses yang

    kompleks dan dinamis yang menghasilkan perbaikan terhadap struktur

    anatomis dan fungsi jaringan (Hess, 2002). Batasan waktu penyembuhan

    luka di tentukan oleh tipe luka dan lingkungan ekstrinsik dan intrinsik.

  • 22

    2.8.1 Fase penyembuhan luka

    Penyembuhan luka adalah sesuatu yang kompleks dengan

    melibatkan banyak sel. Proses penyembuhan luka terdiri dari

    beberapa fase yaitu koagulasi, inflamasi, proliferasi,

    remodeling.

    2.8.1.1 Fase Koagulasi dan Inflamasi

    Fase Inflamasi secara klinis di tandai dengan

    tanda - tanda utama yaitu rubor, tumor, kalor, dolor

    dan functio laesa. Proses peradangan atau inflamasi

    terjadi segera setelah injuri, dan secara spontan

    proses koagulasi pembentukan asam arachidonic,

    growth factor bekerja bersamaan dalam proses

    inflamasi. Saat terjadi injuri pada vaskuler, kalsium

    intraseluler di keluarkan dan mengaktivasi faktor dan

    proses koagulasi ekstrinsik. Bersamaan dengan itu

    terjadi reflex vasokonstriksi, ini terjadi untuk

    membantu hemostasis yang bekerja untuk menjaga

    hasil akhir dari koagulasi berupa plug fibrin. Fibrin

    merupakan matrik luka di mana platelet beregregasi

    untuk menghentikan perdarahan. Pada fase inflamasi

    di mulai beberapa menit setelah luka dan

    berlangsung selama 3-4 hari. Segera setelah injuri

    pembuluh darah dan limfatik rusak. lima sampai

  • 23

    sepuluh menit pertama terjadi vasokonstriksi

    selanjutnya diikuti oleh vasodilatasi (Black, 2008).

    2.8.1.2 Fase Proliferasi

    Fase ini dimulai 2-3 hari setelah luka dan ditandai

    dengan pergerakan fibroblast ke area luka. Fibroblast

    berimigrasi melalui fibrin yang terbentuk pada fase

    inflamasi. Pada minggu pertama setelah injuri

    fibroblast dipengaruhi makrofag untuk membentuk

    dan mensintesis glikosamin dan proteoglikan, matrik

    ekstaseluler jaringan granulasi dan kolagen.

    Fibroblast menjadi dominan, pada fase ini terus

    meningkat pada hari ke 7-14 setelah luka. Kemudian

    setelah mensekresikan molekul kolagen, fibroblast

    berperan dan pertugas untuk meletakan serat – serat

    dalam matrik, terutama serat kolagen. Serat ini akan

    membentuk jejaring yang saling berkaitan.

    Peningkatan kolagen pada luka berarti meningkatnya

    kekuatan ikatan jaringan pada luka selama

    pembentukan fibroblast keratinosit dan sel endotelial

    juga terbentuk. Keratinosis dan endotelial juga

    menghasilkan faktor pertumbuhannya sendiri untuk

    melakukan proliferasi (Torre, 2006).

  • 24

    2.8.1.3 Fase Remodeling

    Fase Remodeling berarti kolagen secara acak

    tersimpan pada jaringan granulasi. Remodeling

    kolagen menjadi jaringan yang lebih terstruktur,

    berlangsung pada fase maturasi luka, untuk

    meningkatkan kekuatan regangan luka. Selama

    pembentukan skar kolagen tipe III pada jaringan

    granulasi di ganti dengan kolagen tipe I sampai

    terbentuk kulit normal. selama fase ini sintesis

    kolagen seimbang dengan kolagenesis, ini

    menciptakan kekuatan maksimal 80 % dari jaringan

    aslinya yang berakhir sampai dengan 2 tahun setelah

    luka. Luka akan tertutup oleh migrasi epitel yang

    bergerak dari tepi luka. Sel epitel akan menyebrangi

    luka sampai terbentuk sel epitel lain dan kemudian

    akan di inhibisi untuk menghentikan pergerakan sel

    epitel (Torre, 2006).

    2.8.2 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka

    Luka terjadi karena adanya beberapa faktor yang

    menyebabkan ganguan pada mekanisme penyembuhan

    luka. Ada beberapa faktor yang diadaptasi dari (Hess 2002)

    yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka, antara lain :

  • 25

    2.8.2.1 Tekanan

    Luka atau daerah sekitar luka yang mendapat

    tekanan secara terus menerus akan menghambat

    aliran kapiler sehingga suplai darah ke area luka

    terganggu.

    2.8.2.2 Lingkungan

    Lingkungan yang kering dapat menyebabkan

    dehidrasi sel pada area luka dan dapat terjadi

    kematian sel. Hal ini menyembabkan terbentuknya

    krustae pada area luka yang dapat menghambat

    pertumbuhan jaringan.

    2.8.2.3 Infeksi

    Infeksi lokal maupun sistemik dapat menghalangi

    proses penyembuhan luka. Tanda - tanda seperti

    adanya drainase, eksudat, indurasi. Demam adalah

    indikasi dilakukannya kultur pada luka. Selulitis pada

    jaringan lunak akan memperpanjang fase inflamasi

    dengan menyebabkan protease jaringan dengan

    mendegragasi jaringan granulasi baru dan faktor

    pertumbuhan jaringan dengan menunda deposisi

    kolagen.

  • 26

    2.8.2.4 Pemilihan Balutan

    Pemilihan balutan yang tepat akan

    berpengaruh pada kesembuhan luka yang

    lebih baik. Jika pemilihan balutan salah maka

    akan memperburuk kondisi luka tersebut.

    Tujuan pemilihan balutan yaitu, untuk

    membuang jaringan mati, melindungi luka dari

    trauma, mengontrol kejadian infeksi,

    mempercepat proses penyembuhan luka dan

    kontrol bau (Bryant, 2000).

    2.8.2.5 Wound Bad Preparation

    Persiapan dasar luka menjadi penting dalam

    proses penyembuhan luka, karena dengan kita

    memahami kondisi luka maka akan sangat

    memudahkan kita untuk melakukan suatu tindakan

    pada luka tersebut. Persiapan dasar luka pada

    perawatan luka yaitu dengan mencuci luka. Mencuci

    luka akan meningkatkan, memperbaiki dan

    mempercepat proses penyembuhan luka. selain itu

    juga penting untuk membuang jaringan nekrotik pada

    luka dan pemilihan thopycal terapi yang tepat (Bryant,

    2000).

  • 27

    2.8.2.6 Memahami Warna Pada Luka

    Dua jenis nekrosis yang terdapat pada luka yaitu

    Slough dan Escar. Slough jaringan nekrosis basah,

    mudah lepas dan berwarna kuning, sedangkan Escar

    adalah jaringan nekrosis yang mengalami granulasi,

    tipis, menempel pada luka dan berwarna cokelat

    sampai hitam. Berdasarkan warna pada luka, maka

    dapat ditentukan perawatan yang tepat dan benar.

    2.9 Klasifikasi Grade Luka Diabetes

    Ada beberapa referensi yang yang dapat digunakan dalam

    pengklasifikasian luka diabetes melitus. Berikut ini adalah klasifikasi

    diabetes melitus menurut University of texas diabetic food

    classification (2000) dalam (Hess, 2002).

    9.1 Tabel Klasifikasi Grade Diabetes Melitus

    Stage Grade 0 Grade I Grade II Grade III

    A Sebelum atau

    sesudah terjadi

    ulseratif pada kaki

    yang beresiko

    Luka

    superfisial

    tidak mengenai

    tendon kapsula

    Luka

    mengenai

    tendon atau

    kapsula pada

    Luka

    mengenai

    tulang

  • 28

    terjadi luka atau tulang sendi

    B Terdapat infeksi Terdapat

    infeksi

    Terdapat

    infeksi

    Terdapat

    infeksi

    C Terdapat iskemia Terdapat

    iskemia

    Terdapat

    iskemia

    Terdapat

    iskemia

    D Terdapat infeksi

    dan iskemia

    Terdapat

    infeksi dan

    iskemia

    Terdapat

    infeksi dan

    iskemia

    Terdapat

    infeksi dan

    iskemia

    2.10 Perawatan Luka Diabetes Melitus

    2.10.1 Perawatan Dengan Metode Konvensional

    Fenomena yang masih terjadi di Indonesia sampai saat ini

    yaitu sebagian besar perawat masih percaya bahwa penyembuhan

    luka yang baik adalah dengan membuat lingkungan atau daerah

    sekitar luka tetap kering atau menggunakan cara konvensional

    untuk merawat luka (Junaidi, 2007). Luka yang dirawat dengan

    metode konvensional akan lebih lama dalam proses penyembuhan

    dan akan memakan waktu dalam penanganan luka karena kurang

    adanya pengkajian terhadap riwayat penyakit pasien oleh perawat

    ataupun dokter. Selain beberapa hal yang telah disebutkan di

    atas, perhatian terhadap perawatan luka juga masih sangat

    kurang karena perawat di Indonesia masih menggunakan

  • 29

    perawatan luka konvensional untuk memberikan perawatan

    kepada pasien ulkus diabetikum padahal saat ini sudah mulai

    berkembang perawatan luka yang lebih canggih.

    Sebagian besar rumah sakit di Indonesia masih menerapkan

    prinsip perawatan luka konvensional, metode modern dressing

    masih sangat jarang di lakukan. Di Indonesia dari total 1012 rumah

    sakit hanya 25 rumah sakit atau 2.4 % yang menerapkan metode

    modern dressing (Ismail, 2008). Perawatan konvensional dan

    modern memiliki perbedaan dan ciri khas masing-masing baik

    dalam praktik maupun teori serta kelebihan dan kekurangannya.

    Menurut Singh, dkk., (2011), sebanyak 60 % dari kelompok

    modern dressing dalam merawat luka menunjukkan bersih dari

    organisme secara penuh dalam dua minggu, dan sekitar 90 %

    dalam 4 minggu meskipun ada beberapa luka yang tidak

    menunjukkan bersih dari organisme di akhir minggu keempat. Di

    sisi lain, hanya 42 % dari luka di kelompok konvensional

    ditemukan steril setelah dua minggu perawatan. Setelah empat

    minggu pengobatan konvensional sekitar (20 %) luka masih

    ditemukan sekumpulan organisme patogen.

  • 30

    Ada beberapa material yang sering digunakan dalam

    perawatan konvensional yang dilakukan di rumah sakit, yaitu :

    2.10.1.1 Kasa

    Kasa berperan sebagai bahan penyerap

    produksi eksudasi ulkus, mempertahankan

    suhu, kelembapan, mencegah masuknya

    bakteri dan sebagai penutup luka.

    2.10.1.2 NaCl

    NaCl digunakan untuk membersihkan luka

    karena sifatnya yang isotonis dan tidak iritan

    dapat membantu dalam proses penyembuhan

    luka.

    2.10.1.3 Hidrogen Peroksida

    Digunakan sebagai penghancur jaringan

    nekrotik dan bersifat iritan terhadap jaringan

    granulas, bahan ini sekarang sudah banyak di

    tinggalkan dan hampir tidak digunakan lagi.

    2.10.1.4 Set Steril

    Set steril digunakan selama proses

    perawatan mulai dari bengkok, kom, spuit,

    pinset anatomi, pinset cirugi, klem, gunting

    nekrotomi, dan sarung tangan steril.

  • 31

    2.10.1.5 Under Pad

    Under pad digunakan sebagai alas

    dibawah luka selama prose perawaatan

    berlangsung untuk tetap menjaga kebersihan

    dalam perawatan luka.

    2.10.1.6 Verban dan Sofratule

    Verban digunakan sebagai viksasi kasa

    penutup luka atau bisa juga digunakan plester

    jika ukuran luka tidak terlalu luas dan sofratule

    digunakan sebagai antibiotik topikal dan

    berfungsi memperkecil adanya kontak antara

    luka dengan kasa sehingga mempermudah

    pengangkatan kasa pada saat perawatan.

    Ada beberapa manajemen luka konvensional yang biasa

    dilakukan di rumah sakit diantaranya :

    2.10.1.7 Manajemen luka sebelumnya tidak mengenal

    adanya lingkungan luka yang lembab.

    2.10.1.8 Manajemen perawatan luka yang lama hanya

    membersihkan luka mengunakan cairan normal

    salin atau ditambahkan dengan Iodin Povidine,

    Hidrogen Peroksida. Antiseptik – antiseptik seperti

    itu dapat mengganggu proses penyembuhan dari

    luka, dan tidak hanya membunuh kuman tapi

  • 32

    membunuh leukosit yg bertugas membunuh kuman

    patogen dan kemudian di tutup dengan kasa kering.

    2.10.1.9 Ketika akan merawat luka di hari berikutnya,

    kasa tersebut akan menempel pada luka dan

    menyebabkan rasa sakit, disamping itu sel-sel yang

    baru tumbuh pada luka menjadi rusak.

    2.10.1.10 Luka dalam kondisi kering dapat

    memperlambat proses penyembuhan dan akan

    menimbulkan bekas pada luka.

    2.10.2 Perawatan dengan Metode Modern

    Perkembangan perawatan luka berkembang sangat pesat dan

    cepat dalam dunia kesehatan. Metode perawatan luka yang saat

    ini tengah berkembang adalah perawatan luka dengan

    menggunakan prinsip moisture balance. Dalam beberapa literature

    disebutkan bahwa dengan menggunakan prinsip ini akan lebih

    efektif untuk proses penyembuhan luka bila dibandingkan dengan

    menggunakan metode konvensional. Perkembangan pengetahuan

    tentang cara-cara penyembuhan luka modern menjadi suatu trand

    tersendiri dalam dunia kesehatan yang berdampak pada

    kebutuhan peningkatan kualitas pengetahuan dan ketrampilan

    tenaga kesehatan khususnya bagi perawat yang berkecimpung di

    bidang ini (Bryant, 2000).

  • 33

    Perawatan luka dengan menggunakan prinsip lembab dikenal

    sebagai metode modern dressing dan memakai alat ganti balut

    yang lebih modern. Prinsip moisture balance belum begitu familiar

    bagi perawat di Indonesia. Perawatan luka menggunakan teknik

    modern dressing telah berkembang di Indonesia terutama rumah

    sakit besar di kota - kota besar seperti Bandung, Yogyakarta,

    Surabaya, dan Jakarta sedangkan untuk rumah sakit - rumah sakit

    setingkat Kabupaten, perawatan luka menggunakan teknik modern

    masih belum terlalu berkembang dengan baik bahkan belum ada

    sama sekali. Perawatan luka dengan menggunakan prinsip

    moisture balance atau prinsip lembab dikenal sebagai metode

    modern dressing yang memakai bahan-bahan pembalut yang lebih

    modern dan topical therapy yang mempunyai karakteristik dan

    keunggulan masing-masing sesuai dengan kondisi luka pasien.

    (Sotani, 2009).

    Bersamaan dengan itu biaya pelayanan dalam dunia

    kesehatan saat ini terbilang cukup tinggi namun semua itu tidak

    sesuai dengan apa yang diberikan dan tingkat kesembuhannya

    cukup lama. Hal yang menjadi penghambat saat ini yaitu faktor

    demografi sehingga pelayanan kesehatan keseluruh penjuru

    negeri tidak tersampaikan dengan baik. Banyak masyarakat yang

    tidak dapat menikmati fasilitas kesehatan hanya karena

    penyebaran tenaga kesehatan yang tidak merata. Kalau pun ada,

  • 34

    pengetahuan yang dimilikinya tidak cukup tentang perawatan luka,

    terlebih lagi dengan luka yang memiliki dimensi yang cukup luas

    dan memiliki banyak eksudat. Kurangannya pengetahuan perawat

    tentang perawatan luka yang besar dan memiliki banyak eksudat

    menyebabkan luka yang tidak kunjung sembuh, dan menyebabkan

    klien harus berulang kali mengontrol luka dalam jarak yang cukup

    jauh untuk mengganti balutan dengan dibekali antibiotik. Oleh

    karena itu metode modern dressing diharpakan dapat membantu

    tenaga kesehatan agar mengerti dan memiliki pemahaman yang

    cukup untuk melakukan tindakan pengobatan luka dengan metode

    modern dressing agar tenaga kesehatan yang ada di Indonesia

    dapat disebar secara merata untuk membantu penyembuhan luka

    klien (Gitaraja, 2015).

    Menanggapi hal demikian, para perawat perlu untuk memiliki

    pengetahuan dan keterampilan yang adekuat terkait dengan

    proses perawatan luka, dimulai dari pengkajian yang

    komprehensif, perencanaan intervensi, implementasi tindakan, dan

    evaluasi, serta dokumentasi. Isu lain yang harus benar - benar

    dipahami oleh perawat adalah berkaitan dengan cost

    effectiveness. Manajemen untuk perawatan luka modern sangat

    mengedepankan isu tersebut. Hal ini didukung dengan semakin

    banyaknya inovasi-inovasi terbaru dalam perkembangan produk-

    produk yang dapat dipakai untuk merawat luka. Dalam hal ini,

  • 35

    perawat sangat perlu untuk benar-benar memahami dan

    mempelajari produk-produk tersebut dengan baik sebagai bagian

    dari suatu proses dalam mengambil keputusan yang sesuai

    dengan kebutuhan pasien. Pada umumnya, pemilihan produk yang

    tepat harus berdasarkan pertimbangan biaya (cost), keamanan

    (safety) dan kenyamanan (comfort). Secara umum, perawatan luka

    yang saat ini berkembang lebih ditekankan pada intervensi yang

    melihat sisi klien dari berbagai dimensi, yaitu dimensi psikis, fisik,

    psikis, sosial, dan ekonomi.

    Banyak contoh yang dapat dikemukakan contohnya pada

    kasus klien dengan diabetes melitus banyak dari mereka yang

    beranggapan bahwa luka harus diamputasi. Namun, tindakan

    amputasi tersebut ternyata bisa digagalkan jika luka tersebut

    dirawat dengan saksama dengan metode yang benar dan tentunya

    dilakukan oleh perawat yang berkompeten dalam bidang tersebut.

    Kesembuhan luka pada tingkat tertentu seperti kasus luka akibat

    diabetes tergantung pada kedisiplinan penderita dalam perawatan.

    Ketika luka di rawat dengan benar dan tepat serta menggunakan

    metode yang lebih baik maka luka tersebut akan menjadi lebih

    baik. hal yang harus kita lakukan yaitu memperkenalkan kepada

    masyarakat bahwa ada program perawatan di rumah atau home

    care yang sekarang telah berkembang pesat di Indonesia agar

  • 36

    masyarakat mengerti tentang cara perawatan luka yang tepat dan

    benar itu penting.

    Ada beberapa manajemen luka dengan menggunakan metode

    modern dressing yang biasanya dilakukan di pusat perawatan luka

    modern antara lain :

    2.10.2.1 Moist wound healing (perawatan luka

    lembab) diawali pada tahun 1962 oleh Prof.

    Winter.

    2.10.2.2 Moist wound healing adalah metode

    yang dapat mempertahankan lingkungan

    luka tetap lembab untuk memfasilitasi

    proses penyembuhan luka.

    2.10.2.3 Lingkungan luka yang lembab dapat

    diciptakan dengan occlusive dressing

    (perawatan luka tertutup).