Post on 15-Jan-2016
description
Teori Gelombang
1
BAB I
GELOMBANG SEDERHANA
Dalam mendeskripsikan gelombang pertama kita harus memiliki acuhan, dalam buku
ini digunakan koordinat Cartesian dimana z menunjukkan arah atas atau vertikal serta x dan y
menunjukkan arah horizontal di sisi kanan. Dalam keadaan tenang, permukaan laut memiliki
nilai z = 0. Saat terdapat gelombang nilai z = η(x,y,t), dimana t adalah waktu. Dasar lautan
dianggap rata dimana nilai z untuk dasar lautan adalah z = -H.
BESARAN DAN SATUAN
A = Amplitudo Gelombang
k = nilai gelombang (2π/L)
x = jarak pada arah x
η = elevasi permukaan laut
ω = frekuensi gelombang dalam radian per detik (2πf)
t = waktu
g = percepatan gravitasi (9,8 m/s2)
H = kedalaman laut
e = 2,7183
POSTULAT 1
Jika A|k| << 1, maka persamaan untuk tinggi permukaan adalah :
𝜂 = 𝐴 ∗ 𝑐𝑜𝑠(𝑘𝑥 − 𝜔𝑡) (1.1)
rumus diatas berlaku untuk sebuah gelombang yang merambat searah x, dimana nilai
A, k dan ω adalah konstan. Grafik fungsi diatas adalah sebuah hiperbola tangen. Nilai k dan
ω berhubungan satu sama lain oleh persamaan berikut:
ω = √𝑔 ∗ 𝑘 ∗ tanh(𝑘𝐻) (1.2)
dan
Teori Gelombang
2
tanh(𝑠) =𝑒𝑠−𝑒−𝑠
𝑒𝑠+𝑒−𝑠 (1.3)
POSTULAT 2
Masih menganggap bahwa nilai A|k|<<1, jika beberapa gelombang yang memenuhi
postulat 1 timbul secara bersamaan, maka hasilnya adalah sebuah gerakan yang bisa dijelaskan
secara fisis. Misalnya ada 2 gelombang, maka :
η = A1 ∗ cos(k1x − ω1t) + A2 ∗ cos(k2x − ω2t) (1.4)
persamaan tersebut bisa dikatakan valid jika pasangan (k1, ω1) dan (k2, ω2) memenuhi
persamaan hubungan ω dan k diatas, yakni jika:
ω1 = √𝑔 ∗ 𝑘1 ∗ tanh(𝑘1 ∗ 𝐻) dan ω2 = √𝑔 ∗ 𝑘2 ∗ tanh(𝑘2 ∗ 𝐻) (1.5)
Hanya dengan menggunakan kedua postulat diatas, kita dapat menjelaskan banyak hal
yang berhubungan dengan gelombang laut.
Persamaan pertama pada postulat 1 menunjukkan sebuah gelombang sederhana tunggal
dengan amplitudo sebesar A, nilai gelombang (wavenumber) k, dan frekuensi ω. Nilai
frekuensi ω selalu positif, nilai gelombang k bisa positif atau negatif. Jika k bernilai positif
maka gelombang merambat kearah x ke kanan dan jika k negatif maka gelombang merambat
Teori Gelombang
3
ke arah x ke kiri. Tinggi gelombang adalah jarak antara puncak dan lembah gelombang secara
vertikal atau setara dengan 2A
Pada persamaan (1.1) gelombang merambat pada arah x dengan laju fase (phase speed):
𝑐 =ω
k (1.8)
Persamaan-persamaan diatas hanya berlaku jika A|k|<<1, batasan tersebut sangatlah
penting. Batasan tersebut menyatakan bahwa tinggi gelombang nilainya harus sangat kecil jika
dibandingkan dengan panjang gelombang. Dengan kata lain, gelombang tersebut harus
memiliki kemiringan yang rendah atau landai, hanya dengan itu persamaan (1.1) dan (1.2)
menghasilkan nilai yang akurat. Batasan bahwa Amplitudo harus sangat kecil menunjukkan
bahwa kita sedang membahas gelombang linear. Teori tentang gelombang linear tidak dapat
menjelaskan beberapa hal misalnya gelombang pecah (wave breaking) atau transfer energi
antara satu gelombang dan gelombang lainnya.
Terdapat batasan-batasan lain pada persamaan (1.1) dan (1.2) yang harus dijelaskan.
Persamaan-persamaan ini menggunakan asumsi bahwa tidak ada energi lain yang
mempengaruhi gelombang dan gelombang tidak sedang mengalami disipasi (pengurangan
energi), sehingga persamaan (1.1) dan (1.2) hanya dapat menjelaskan gelombang bebas.
Persamaan tersebut juga terbatas yakni hanya untuk menjelaskan swell yang terdapat diantara
titik dimana gelombang terbentuk dan titik gelombang mengalami disipasi (pengurangan
energi) oleh gelombang pecah.
Persamaan (1.1) dapat dianggap sebagai penjelasan umum kepada hampir semua tipe
gelombang, jika hanya didasarkan kepada interpretasi nilai η. Persamaan (1.2) disebut dengan
Teori Gelombang
4
hubungan dispersi (Dispertion Relation) yang merupakan hubungan fisikal, dan menunjukkan
bahwa bahasan dilakukan terhadap gelombang laut bukan gelombang lain. Dispertion relation
adalah hubungan antara frekuensi ω dengan nilai gelombang (wavenumber) k. Atau bisa
dikatakan sebagai hubungan antara laju fase (phase speed) c dengan panjang gelombang λ.
Deskripsi fisis terhadap persamaan (1.1) dan (1.2) belum lengkap. Untuk mendapatkan
penjelasan lengkap, kita harus memeprhatikan lebih lanjut bagaimana kecepatan fluida (fluid
velocity) bergantung pada lokasi dan waktu. Kecepatan fluida (V) adalah sebuah vektor yang
bergantung pada (x, y, z, t). Persamaannya dapat dituliskan sebagi berikut:
𝑉(𝑥, 𝑦, 𝑧, 𝑡) = (𝑢(𝑥, 𝑦, 𝑧, 𝑡), 𝑣(𝑥, 𝑦, 𝑧, 𝑡), 𝑤(𝑥, 𝑦, 𝑧, 𝑡)) (1.9)
Untuk gelombang yang dijelaskan oleh persamaan (1.1) dan (1.2), komponen y pada V
dihilangkan karena pembahasan hanya 2 dimensi yakni x dan z. Sehingga v = 0, dan nilai
komponen u dan komponen w adalah:
𝑢 = 𝐴ω ∗cosh(k(H+z))
sinh(kH)∗ cos(kx − ωt) (1.10)
dan
𝑤 = 𝐴ω ∗sinh(k(H+z))
sinh(kH)∗ sin(kx − ωt) (1.11)
Persamaan (1.10) dan (1.11) adalah persamaan yang rumit. Teteapi 2 batasan kasus akan
mempermudah dan mendapatkan perhatian lebih
Mulai sekarang pembahasan akan berfokus hanya pada k bernilai positif atau
gelombang merambat ke arah x positif (kanan). Batasan masalah yang pertama adalah untuk
Deep Water Wave (gelombang dalam) dimana nilai kH >> 1 dimana kedalaman laut jauh lebih
besar dibandingkan dengan panjang gelombang. Pada batasan kH >> 1 berlaku:
tanh(𝑘𝐻) =𝑒𝑘𝐻−𝑒−𝑘𝐻
𝑒𝑘𝐻+𝑒−𝑘𝐻→
𝑒𝑘𝐻
𝑒𝑘𝐻= 1 (1.12)
cosh(𝑘(𝐻+𝑧))
sinh(𝑘𝐻)=
𝑒𝑘(𝐻+𝑧)+𝑒−(𝑘(𝐻+𝑧))
𝑒𝑘𝐻−𝑒−𝑘𝐻→
𝑒𝑘(𝐻+𝑧)
𝑒𝑘𝐻= 𝑒𝑘𝑧 (1.13)
sinh(𝑘(𝐻+𝑧))
sinh𝑘𝐻=
𝑒𝑘(𝐻+𝑧)−𝑒−(𝑘(𝐻+𝑧))
𝑒𝑘𝐻−𝑒−𝑘𝐻→
𝑒𝑘(𝐻+𝑧)
𝑒𝑘𝐻= 𝑒𝑘𝑧 (1.14)
Sehingga Deep Water Wave dapat dideskripsikan menjadi:
DW 𝜂 = 𝐴cos(𝑘𝑥 − 𝜔𝑡) (1.15a)
Teori Gelombang
5
DW 𝜔 = √𝑔𝑘 (1.15b)
DW 𝑢 = 𝐴𝜔𝑒𝑘𝑧cos(𝑘𝑥 − 𝜔𝑡) (1.15c)
DW 𝑤 = 𝐴𝜔𝑒𝑘𝑧sin(𝑘𝑥 − 𝜔𝑡) (1.15d)
DW menunjukkan Deep Water.
Batasan masalah yang kedua adalah untuk kasus yang berlawanan dengan yang
pertama, yakni Shallow Water Wave (Gelombang Laut Dangkal) ketika kH << 1. Pada kondisi
ini kedalaman laut H nilainya sangat kecil dibandingkan dengan panjang gelombang. Pada
batasan ini berlaku:
tan(𝑘𝐻) =𝑒𝑘𝐻 − 𝑒−𝑘𝐻
𝑒𝑘𝐻 + 𝑒−𝑘𝐻=(1 + 𝑘𝐻 +⋯) − (1 − 𝑘𝐻 +⋯)
(1 + 𝑘𝐻 +⋯) + (1 − 𝑘𝐻 +⋯)=2𝑘𝐻
2= 𝑘𝐻
(1.16)
cosh(𝑘(𝐻 + 𝑧))
sinh(𝑘𝐻)=𝑒𝑘(𝐻+𝑧) + 𝑒−(𝑘(𝐻+𝑧))
𝑒𝑘𝐻 − 𝑒−𝑘𝐻
=(1 + 𝑘(𝐻 + 𝑧) + ⋯ ) + (1 − 𝑘(𝐻 + 𝑧) + ⋯)
(1 + 𝑘𝐻 +⋯) − (1 − 𝑘𝐻 +⋯)=
2
2𝑘𝐻=
1
𝑘𝐻
(1.17)
sinh(𝑘(𝐻 + 𝑧))
sinh 𝑘𝐻=𝑒𝑘(𝐻+𝑧) − 𝑒−(𝑘(𝐻+𝑧))
𝑒𝑘𝐻 − 𝑒−𝑘𝐻
=(1 + 𝑘(𝐻 + 𝑧) + ⋯ ) − (1 − 𝑘(𝐻 + 𝑧) + ⋯)
(1 + 𝑘𝐻 +⋯) − (1 − 𝑘𝐻 +⋯)=2𝑘(𝐻 + 𝑧)
2𝑘𝐻
= 1 +𝑧
𝐻
(1.18)
Sehingga Shallow Water Wave dapat dideskripsikan menjadi :
SW 𝜂 = 𝐴cos(𝑘𝑥 − 𝜔𝑡) (1.19a)
SW 𝜔 = √𝑔𝑘2𝐻 (1.19b)
SW 𝑢 =𝐴𝜔
𝑘𝐻cos(𝑘𝑥 − 𝜔𝑡) (1.19c)
SW 𝑤 = 𝐴𝜔(1 +𝑧
𝐻)sin(𝑘𝑥 − 𝜔𝑡) (1.19d)
Teori Gelombang
6
Swell yang terbentuk jauh di tengah lautan pasti dikategorikan sebagai DW.
Berdasarkan persamaan (1.15b), laju fase DW, yakni laju puncak gelombang dan lembah
gelombang dinyatakan dalam:
DW 𝑐 =𝜔
𝑘= √
𝑔
𝑘= √
𝑔𝜆
2𝜋 (1.20)
Sehingga gelombang dengan panjang gelombang λ yang lebih tinggi akan bergerak dengan laju
lebih cepat. Laju fase (phase speed) pada persamaan (1.20) tidak bergantung kepada amplitudo
gelombang (A), dan nilainya jauh lebih besar dibandingkan kecepatan fluida (fluid velocity)
(1.15c) dan (1.15d). kecepatan fluida besarnya sebanding dengan amplitudo A dan nilainya
sangat kecil dalam teori linear
Dalam persamaan (1.15c) dan (1.15d) terdapat variabel ekz , sehingga jika nilai z makin
kecil maka kecepatan fluida akan semakin kecil. Z kecil menunjukkan bahwa posisi titik
semakin dalam dibawah permukaan laut. Berdasarkan persamaan (1.15c), kecepatan fluida
adalah searah dengan penjalaran gelombang jika dibawah puncaknya, dan berlawanan arah jika
dibawah lembahnya. Berdasarkan persamaan (1.15d), fluida akan naik jika didepan puncak dan
akan menurun jika dibelakangnya.
Pada batasan shallow water (1.19), kecepatan horizontal u nilainya tidak bergantung
kepada nilai z
Teori Gelombang
7
kecepatan vertikal w nilainya berbanding lurus dengan nilai z, tetapi nilainya jauh lebih kecil
daripada u karena adanya faktor kH. Laju fase (phase speed) untuk gelombang shallow water
adalah 𝑐 = √𝑔𝐻, nilainya bergantung pada nilai H tapi tidak bergantung pada panjang
gelombang λ. Pada perairan dangkal (shallow water), gelombang pada panjang gelombang
berapapun bergerak dengan laju yang sama.
Dengan pengamatan secara langsung terhadap swell yang menuju pantai. Karena skala
peluruhan vertikalnya jelas terlihat jika dibandingkan panjang gelombangnya, gelombang akan
memanjang ke bawah dengan jarak yang dapat terlihat jika dibandingkan dengan jarak
antarpuncak. Saat kedalaman laut lebih besar daripada panjang gelombang, kedalamannya bisa
diasumsikan tak terhingga yang akan menyebabkan gelombang tidak akan pernah menyentuh
dasar laut. Tapi jika kedalaman laut menjadi kecil dibandingkan dengan panjang gelombang,
penggunaan rumus-rumus DW menjadi tidak akurat, dan kita harus menggunakan rumus-
rumus umum, yang akan tetap valid berapapun nilai H (1.1, 1.2, 1.10, 1.11). Saat gelombang
sampai di perairan dangkal, dimana kedalamannya lebih kecil daripada panjang gelombangnya,
rumus SW bisa digunakan (1.19).
Pembahasan dibawah ini sudah tidak menggunkan rumus-rumus diatas yang
pembahasannya berfokus dengan anggapan H adalah konstan, perubahan sangat sedikit pada
kedalaman jika dibandingkan dengan panjang gelombang dapat diasumsikan bahwa kedalaman
tersebut adalah konstan, baik untuk DW maupun SW. Jadi pembahasan selanjutnya adalah
tentang gelombang yang bergerak dengan varisai kedalaman.
Anggap x adalah jarak tegak lurus menuju pantai. Anggap rata-rata kedalaman H(x)
turun secara bertahap ke arah x. Jadi gelombang yang datang herus memenuhi hubungan
dispersi slowly varying (slowly varying dispertion relation):
𝜔 = √𝑔 ∗ 𝑘(𝑥) ∗ tanh(𝑘(𝑥) ∗ 𝐻(𝑥)) (1.21)
jika frekuensi ω konstan dan H(x) akan semakin turun saat semakin dekat dengan pantai maka
k(x) akan naik atau panjang gelombangnya akan turun. Untuk membuktikannya bisa dengan
melakukan penurunan persamaan (1.21) untuk mengetahui bahwa dk/dx dan dH/dx memiliki
nilai yang berlawanan. Jika gelombang sudah sampai di perairan yang sangat dangkal maka
persamaan (1.21) menjadi:
SW 𝜔 = √𝑔𝑘2𝐻(𝑥) (1.22)
Teori Gelombang
8
dengan laju fase 𝑐 = √𝑔𝐻(𝑥)
Mungkin anda bertanya manakah yang akan terpengaruh oleh perubahan nilai H apakah
ω atau k. Jawabanya akan dibahas di bab 6.
Anggap (xp(t), zp(t)) adalah koordinat dari satu partikel fluida yang dipilih secara acak.
Pencarian gerakan partikel fluida menggunakan coupled ordinary differential equation atau
persamaan diferensial biasa:
𝑑𝑥𝑝
𝑑𝑡= 𝑢(𝑥𝑝(𝑡), 𝑧𝑝(𝑡), 𝑡) (1.23a)
𝑑𝑧𝑝
𝑑𝑡= 𝑤(𝑥𝑝(𝑡), 𝑧𝑝(𝑡), 𝑡) (1.23b)
Untuk DW, kecepatan ditunjukkan oleh persamaan (1.15c-d), jadi akan berubah menjadi:
DW 𝑑𝑥𝑝
𝑑𝑡= 𝐴𝜔𝑒𝑘𝑧𝑝cos(𝑘𝑥𝑝 − 𝜔𝑡) (1.24a)
DW 𝑑𝑧𝑝
𝑑𝑡= 𝐴𝜔𝑒𝑘𝑧𝑝sin(𝑘𝑥𝑝 − 𝜔𝑡) (1.24b)
Solusi eksak dari persamaan (1.24) akan sangat sulit dicari. Tetapi jika A nilainya kecil, partikel
fluida tak akan pernah bergerak jauh. Kita bisa gunakan fakta ini untuk membenarkan
pendekatan yang akan membuatnya lebih mudah untuk diselesaikan (1.24).
Anggap (x0,z0) adalah lokasi rata-rata partikel fluida, maka:
𝑥𝑝 = 𝑥0 + 𝛿𝑥(𝑡) (1.25a)
𝑧𝑝 = 𝑧0 + 𝛿𝑧(𝑡) (1.25b)
Dimana δx(t) dan dz(t) adalah perpindahan yang sangat sedikit dari posisi rata-ratanya.
Substitusi persamaan (1.25) ke persamaan (1.24) menghasilkan :
DW 𝑑𝛿𝑥
𝑑𝑡= 𝐴𝜔𝑒𝑘(𝑧0+𝛿𝑧)cos(𝑘(𝑥0 + 𝛿𝑥) − 𝜔𝑡) (1.26a)
DW 𝑑𝛿𝑧
𝑑𝑡= 𝐴𝜔𝑒𝑘(𝑧0+𝛿𝑧)sin(𝑘(𝑥0 + 𝛿𝑥) − 𝜔𝑡) (1.26b)
Penyelesaian persamaan ini tidak semudah kelihatannya. Untuk memudahkannya digunakan
ekspansi Taylor, mengetahui fakta bahwa δx dan δz nilainya sangat kecil. Hanya ditulis
beberapa bagian awalnya saja secara eksplisit, persamaan (1.26) menjadi:
𝑑𝛿𝑥
𝑑𝑡= 𝐴𝜔[𝑒𝑘𝑧0(1 + k𝛿𝑧 +⋯ )][cos(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡) − 𝑘𝑠𝑖𝑛(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡)𝛿𝑥 +⋯] (1.27a)
Teori Gelombang
9
𝑑𝛿𝑧
𝑑𝑡= 𝐴𝜔[𝑒𝑘𝑧0(1 + k𝛿𝑧 +⋯ )][sin(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡) + 𝑘𝑐𝑜𝑠(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡)𝛿𝑥 +⋯] (1.27b)
Jika kita hanya mengambil bagian yang paling besar di sisi kanan grafik, didapatkan:
DW 𝑑𝛿𝑥
𝑑𝑡= 𝐴𝜔𝑒𝑘𝑧0 cos(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡) (1.28a)
DW 𝑑𝛿𝑧
𝑑𝑡= 𝐴𝜔𝑒𝑘𝑧0 sin(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡) (1.28b)
Perlu diingat bahwa persamaan (1.28) juga hasil dari mengganti (x,z) dengan (x0,z0) pada
persamaan (1.15c-d). Penyelesaian persamaan (1.28) dilakukan dengan pengintegrasian
langsung:
DW 𝛿𝑥(𝑡) = −𝐴𝑒𝑘𝑧0 sin(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡) + 𝐶1 (1.29a)
DW 𝛿𝑧(𝑡) = 𝐴𝑒𝑘𝑧0 cos(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡) + 𝐶2 (1.29b)
Dimana C1 dan C2 adalah konstanta pengintegrasian. δx dan δz menyatakan jarak/selisih xp
dan zp dari posisi rata-rata , sehingga C1 dan C2 harus hilang :
DW 𝛿𝑥(𝑡) = −𝐴𝑒𝑘𝑧0 sin(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡) (1.30a)
DW 𝛿𝑧(𝑡) = 𝐴𝑒𝑘𝑧0 cos(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡) (1.30b)
Anggap x0=0. Keadaan ini berakibat pada pemilihan partikel yang terletak lurus dibawah
puncak gelombang pada saat t=0. Karena setiap partikel fluida selalu terletak dibawah puncak
gelombang, ini bukanlah suatu batasan lagi. Pada kasus ini, persamaan (1.30) berubah menjadi:
DW 𝛿𝑥(𝑡) = 𝐴𝑒𝑘𝑧0 sin(𝜔𝑡) (1.31a)
DW 𝛿𝑧(𝑡) = 𝐴𝑒𝑘𝑧0 cos(𝜔𝑡) (1.31b)
Lintasan partikel berhubungan dengan persamaan (1.31) adalah lingkaran dengan jari-jari
Aekz0. Jari-jari ini nilainya paling besar untuk fluida yang posisi rata-ratanya berada di
permukaan laut (z0=0) dan akan semakin berkurang jika z0 berkurang. Untuk gelombang yang
bergerak ke arah kanan, partikel air akan bergerak memutar searah jarum jam, dengan puncak
lingkaran berhubungan dengan lokasinya dibawah puncak gelombang dan bagian bawah dari
lingkaran berhubungan dengan lokasinya dibawah lembah gelombang. Tetapi karena Ak<<1,
perpindahan partikel dari posisi rata-ratnya selalu jauh lebih kecil daripada panjang
gelombangnya. Berdasarkan persamaan (1.31), partikel fluida kembali setiap periode
Teori Gelombang
10
gelombang ke posisi awalnya alias tak ada perpindahan sejajar dengan arah penjalaran
gelombang.
Untuk gelombang dangkal, dilihat dari persamaan (1.19c-d) bahwa kecepatan vertikal w jauh
lebih kecil daripada kecepatan horizontal u oleh adanya faktor kH<<1. Sehingga di perairan
dangkal patikel fluida kembali dan bergerak maju dengan arah horizontal dengan perpindahan
vertikal yang dapat diabaikan. Untuk perairan dangkal, dari persamaan (1.27) didapatkan:
SW 𝑑𝛿𝑥
𝑑𝑡=
𝐴𝜔
𝑘𝐻[cos(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡) − 𝑘𝑠𝑖𝑛(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡)𝛿𝑥 +⋯ ] (1.32a)
SW 𝑑𝛿𝑧
𝑑𝑡= 𝐴𝜔 [1 +
z0+𝛿𝑧
𝐻] [sin(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡) + 𝑘𝑐𝑜𝑠(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡)𝛿𝑥 +⋯](1.32b)
lagi, dengan menganggap x0=0, dihasilkan:
SW 𝑑𝛿𝑥
𝑑𝑡=
𝐴𝜔
𝑘𝐻[cos(𝜔𝑡) + 𝑘𝑠𝑖𝑛(𝜔𝑡)𝛿𝑥 + ⋯ ] (1.33a)
SW 𝑑𝛿𝑧
𝑑𝑡= 𝐴𝜔 [1 +
z0+𝛿𝑧
𝐻] [−sin(𝜔𝑡) + 𝑘𝑐𝑜𝑠(𝜔𝑡)𝛿𝑥 + ⋯] (1.33b)
hanya digunakan nilai terbesar pada sisi kanan dari persamaan (1.33), didapatkan pendekatan
pertama:
SW 𝑑𝛿𝑥
𝑑𝑡=
𝐴𝜔
𝑘𝐻cos(𝜔𝑡) (1.34a)
SW 𝑑𝛿𝑧
𝑑𝑡= −𝐴𝜔 (1 +
z0
𝐻)sin(𝜔𝑡) (1.34b)
dengan penyelesaian:
SW 𝛿𝑥(𝑡) =𝐴
𝑘𝐻sin(𝜔𝑡) (1.35a)
SW 𝛿𝑧(𝑡) = 𝐴 (1 +z0
𝐻)cos(𝜔𝑡) (1.35b)
Teori Gelombang
11
lintasan pada persamaan (1.35) adalah elips dengan sumbu utama/mayor sepanjang 2A/kH
pada arah horizontal dan sumbu minor dengan panjang 2A(1+z0/H) pada arah vertikal. Pada
dasar samudra (zo=-H), pergerakan fluida sangat horizontal nyata.
Seperti pada kasus perairan dalam DW, partikel fluida tidak mengalami perpindahan lokasi
pada pendekatan ordo pertama ini. Tapi daripada meniadakan δx ke arah kanan pada persamaan
(1.33a), lebih baik mengganti dengan pendekatan pertama (1.35a). Tetapi pendekatan yang
lebih baik dari (1.35a) tetap dibutuhkan. Mensubstitusikan persamaan (1.35a) ke sisi kanan
persamaan (1.33a) dan mengabaikan semua bagian-bagian yang nilainya kecil, didapatkan:
SW 𝑑𝛿𝑥
𝑑𝑡=
𝐴𝜔
𝑘𝐻[cos(𝜔𝑡) +
𝐴
𝐻sin2(𝜔𝑡)] (1.36)
Dengan menggunakan identitas sin2𝜃 =1
2(1 − 𝑐𝑜𝑠2𝜃), persamaan (1.36) diintegralkan
mendapatkan:
SW 𝛿𝑥(𝑡) =𝐴
𝑘𝐻sin(ωt) −
A2
2𝑘𝐻2 sin(2ωt) +A2ω
2𝑘𝐻2 𝑡 (1.37)
Sekali lagi, persamaan (1.37) harusnya menjadi pendekatan yang lebih baik untuk menyatakan
perpindahan partikel daripada persamaan (1.35a). Bagian pertama pada persamaan (1.37)
adalah persamaan (1.35). bagian kedua dari persamaan (1.37) adalah bagian osilasi, sama
seperti bagian pertama. Seperti bagian pertama, bagian kedua tidak menyebabkan perpindahan
lokasi partikel dan nilai osilasinya lebih kecil daripada bagian pertama karena nilainya
sebanding dengan kuadrat amplitudo A dimana nialinya dianggap desimal.
Bagian terakhir pada persamaan (1.37) nilainya sebanding dengan A2, tetapi tidak
seperti 2 bagian sebelumnya, bagian ini tidak menyatakan osilasi. Bagian ini sebanding dengan
waktu t. Bagian ini menyatakan sebuah gerakan keseimbangan kecil (steady drift) yang sering
disebut Stokes drift sebuah partikel dengan laju:
Teori Gelombang
12
SW cdrift =A2ω
2𝑘𝐻2 =1
2
𝐴2
𝐻2 𝑐 (1.38)
gerakan partikel searah dengan arah penjalaran gelombang. Karena A nilainya kecil dan
desimal (infinitesimal) maka cdrift nilainya akan lebih kecil dari laju fase c.
Untuk gelombang laut dalam, persamaan yang tepat adalah analog dengan
persamaan (1.36) yakni dengan mensubstitusikan persamaan (1.30) ke persamaan (1.27a)
dengan x0=0 didapat:
DW 𝑑𝛿𝑥
𝑑𝑡= 𝐴𝜔[𝑒𝑘𝑧0(1 + 𝑘𝛿𝑧)][cos(𝜔𝑡) + 𝑘sin(𝜔𝑡)𝛿𝑥]
= 𝐴𝜔[𝑒𝑘𝑧0(1 + 𝐴𝑒𝑘𝑧0𝑘cos(𝜔𝑡))][cos(𝜔𝑡) + 𝐴𝑒𝑘𝑧0𝑘sin2(𝜔𝑡)]
= 𝐴𝜔𝑒𝑘𝑧0[cos(𝜔𝑡) + 𝐴𝑘𝑒𝑘𝑧0(cos2(𝜔𝑡) + sin2(𝜔𝑡))]
= 𝐴𝜔𝑒𝑘𝑧0[cos(𝜔𝑡) + 𝐴𝑘𝑒𝑘𝑧0] (1.39)
pada bagian ke dua-terakhir dari persamaan (1.39), kita harus tetap menjaga persamaan tersebut
proporsional dengan A dan A2, tapi nilai A3 dihilangkan karena nilainya sudah sangat kecil.
Pengintegralan persamaan (1.39) memberi pendekatan pertama (1.30a), ditambah osialsi yang
lebih kecil ditambah drift seperti di persamaan (1.37). untuk mendapatkan drift-nya sendiri,
kita hanya perlu