Teori Gelombang Chapter 1

12
Teori Gelombang 1 BAB I GELOMBANG SEDERHANA Dalam mendeskripsikan gelombang pertama kita harus memiliki acuhan, dalam buku ini digunakan koordinat Cartesian dimana z menunjukkan arah atas atau vertikal serta x dan y menunjukkan arah horizontal di sisi kanan. Dalam keadaan tenang, permukaan laut memiliki nilai z = 0. Saat terdapat gelombang nilai z = η(x,y,t), dimana t adalah waktu. Dasar lautan dianggap rata dimana nilai z untuk dasar lautan adalah z = -H. BESARAN DAN SATUAN A = Amplitudo Gelombang k = nilai gelombang (2π/L) x = jarak pada arah x η = elevasi permukaan laut ω = frekuensi gelombang dalam radian per detik (2πf) t = waktu g = percepatan gravitasi (9,8 m/s 2 ) H = kedalaman laut e = 2,7183 POSTULAT 1 Jika A|k| << 1, maka persamaan untuk tinggi permukaan adalah : = ∗ ( − ) (1.1) rumus diatas berlaku untuk sebuah gelombang yang merambat searah x, dimana nilai A, k dan ω adalah konstan. Grafik fungsi diatas adalah sebuah hiperbola tangen. Nilai k dan ω berhubungan satu sama lain oleh persamaan berikut: ω = √ ∗ ∗ tanh() (1.2) dan

description

dasar teori gelombang

Transcript of Teori Gelombang Chapter 1

Page 1: Teori Gelombang Chapter 1

Teori Gelombang

1

BAB I

GELOMBANG SEDERHANA

Dalam mendeskripsikan gelombang pertama kita harus memiliki acuhan, dalam buku

ini digunakan koordinat Cartesian dimana z menunjukkan arah atas atau vertikal serta x dan y

menunjukkan arah horizontal di sisi kanan. Dalam keadaan tenang, permukaan laut memiliki

nilai z = 0. Saat terdapat gelombang nilai z = η(x,y,t), dimana t adalah waktu. Dasar lautan

dianggap rata dimana nilai z untuk dasar lautan adalah z = -H.

BESARAN DAN SATUAN

A = Amplitudo Gelombang

k = nilai gelombang (2π/L)

x = jarak pada arah x

η = elevasi permukaan laut

ω = frekuensi gelombang dalam radian per detik (2πf)

t = waktu

g = percepatan gravitasi (9,8 m/s2)

H = kedalaman laut

e = 2,7183

POSTULAT 1

Jika A|k| << 1, maka persamaan untuk tinggi permukaan adalah :

𝜂 = 𝐴 ∗ 𝑐𝑜𝑠(𝑘𝑥 − 𝜔𝑡) (1.1)

rumus diatas berlaku untuk sebuah gelombang yang merambat searah x, dimana nilai

A, k dan ω adalah konstan. Grafik fungsi diatas adalah sebuah hiperbola tangen. Nilai k dan

ω berhubungan satu sama lain oleh persamaan berikut:

ω = √𝑔 ∗ 𝑘 ∗ tanh(𝑘𝐻) (1.2)

dan

Page 2: Teori Gelombang Chapter 1

Teori Gelombang

2

tanh(𝑠) =𝑒𝑠−𝑒−𝑠

𝑒𝑠+𝑒−𝑠 (1.3)

POSTULAT 2

Masih menganggap bahwa nilai A|k|<<1, jika beberapa gelombang yang memenuhi

postulat 1 timbul secara bersamaan, maka hasilnya adalah sebuah gerakan yang bisa dijelaskan

secara fisis. Misalnya ada 2 gelombang, maka :

η = A1 ∗ cos(k1x − ω1t) + A2 ∗ cos(k2x − ω2t) (1.4)

persamaan tersebut bisa dikatakan valid jika pasangan (k1, ω1) dan (k2, ω2) memenuhi

persamaan hubungan ω dan k diatas, yakni jika:

ω1 = √𝑔 ∗ 𝑘1 ∗ tanh(𝑘1 ∗ 𝐻) dan ω2 = √𝑔 ∗ 𝑘2 ∗ tanh(𝑘2 ∗ 𝐻) (1.5)

Hanya dengan menggunakan kedua postulat diatas, kita dapat menjelaskan banyak hal

yang berhubungan dengan gelombang laut.

Persamaan pertama pada postulat 1 menunjukkan sebuah gelombang sederhana tunggal

dengan amplitudo sebesar A, nilai gelombang (wavenumber) k, dan frekuensi ω. Nilai

frekuensi ω selalu positif, nilai gelombang k bisa positif atau negatif. Jika k bernilai positif

maka gelombang merambat kearah x ke kanan dan jika k negatif maka gelombang merambat

Page 3: Teori Gelombang Chapter 1

Teori Gelombang

3

ke arah x ke kiri. Tinggi gelombang adalah jarak antara puncak dan lembah gelombang secara

vertikal atau setara dengan 2A

Pada persamaan (1.1) gelombang merambat pada arah x dengan laju fase (phase speed):

𝑐 =ω

k (1.8)

Persamaan-persamaan diatas hanya berlaku jika A|k|<<1, batasan tersebut sangatlah

penting. Batasan tersebut menyatakan bahwa tinggi gelombang nilainya harus sangat kecil jika

dibandingkan dengan panjang gelombang. Dengan kata lain, gelombang tersebut harus

memiliki kemiringan yang rendah atau landai, hanya dengan itu persamaan (1.1) dan (1.2)

menghasilkan nilai yang akurat. Batasan bahwa Amplitudo harus sangat kecil menunjukkan

bahwa kita sedang membahas gelombang linear. Teori tentang gelombang linear tidak dapat

menjelaskan beberapa hal misalnya gelombang pecah (wave breaking) atau transfer energi

antara satu gelombang dan gelombang lainnya.

Terdapat batasan-batasan lain pada persamaan (1.1) dan (1.2) yang harus dijelaskan.

Persamaan-persamaan ini menggunakan asumsi bahwa tidak ada energi lain yang

mempengaruhi gelombang dan gelombang tidak sedang mengalami disipasi (pengurangan

energi), sehingga persamaan (1.1) dan (1.2) hanya dapat menjelaskan gelombang bebas.

Persamaan tersebut juga terbatas yakni hanya untuk menjelaskan swell yang terdapat diantara

titik dimana gelombang terbentuk dan titik gelombang mengalami disipasi (pengurangan

energi) oleh gelombang pecah.

Persamaan (1.1) dapat dianggap sebagai penjelasan umum kepada hampir semua tipe

gelombang, jika hanya didasarkan kepada interpretasi nilai η. Persamaan (1.2) disebut dengan

Page 4: Teori Gelombang Chapter 1

Teori Gelombang

4

hubungan dispersi (Dispertion Relation) yang merupakan hubungan fisikal, dan menunjukkan

bahwa bahasan dilakukan terhadap gelombang laut bukan gelombang lain. Dispertion relation

adalah hubungan antara frekuensi ω dengan nilai gelombang (wavenumber) k. Atau bisa

dikatakan sebagai hubungan antara laju fase (phase speed) c dengan panjang gelombang λ.

Deskripsi fisis terhadap persamaan (1.1) dan (1.2) belum lengkap. Untuk mendapatkan

penjelasan lengkap, kita harus memeprhatikan lebih lanjut bagaimana kecepatan fluida (fluid

velocity) bergantung pada lokasi dan waktu. Kecepatan fluida (V) adalah sebuah vektor yang

bergantung pada (x, y, z, t). Persamaannya dapat dituliskan sebagi berikut:

𝑉(𝑥, 𝑦, 𝑧, 𝑡) = (𝑢(𝑥, 𝑦, 𝑧, 𝑡), 𝑣(𝑥, 𝑦, 𝑧, 𝑡), 𝑤(𝑥, 𝑦, 𝑧, 𝑡)) (1.9)

Untuk gelombang yang dijelaskan oleh persamaan (1.1) dan (1.2), komponen y pada V

dihilangkan karena pembahasan hanya 2 dimensi yakni x dan z. Sehingga v = 0, dan nilai

komponen u dan komponen w adalah:

𝑢 = 𝐴ω ∗cosh(k(H+z))

sinh(kH)∗ cos(kx − ωt) (1.10)

dan

𝑤 = 𝐴ω ∗sinh(k(H+z))

sinh(kH)∗ sin(kx − ωt) (1.11)

Persamaan (1.10) dan (1.11) adalah persamaan yang rumit. Teteapi 2 batasan kasus akan

mempermudah dan mendapatkan perhatian lebih

Mulai sekarang pembahasan akan berfokus hanya pada k bernilai positif atau

gelombang merambat ke arah x positif (kanan). Batasan masalah yang pertama adalah untuk

Deep Water Wave (gelombang dalam) dimana nilai kH >> 1 dimana kedalaman laut jauh lebih

besar dibandingkan dengan panjang gelombang. Pada batasan kH >> 1 berlaku:

tanh(𝑘𝐻) =𝑒𝑘𝐻−𝑒−𝑘𝐻

𝑒𝑘𝐻+𝑒−𝑘𝐻→

𝑒𝑘𝐻

𝑒𝑘𝐻= 1 (1.12)

cosh(𝑘(𝐻+𝑧))

sinh(𝑘𝐻)=

𝑒𝑘(𝐻+𝑧)+𝑒−(𝑘(𝐻+𝑧))

𝑒𝑘𝐻−𝑒−𝑘𝐻→

𝑒𝑘(𝐻+𝑧)

𝑒𝑘𝐻= 𝑒𝑘𝑧 (1.13)

sinh(𝑘(𝐻+𝑧))

sinh𝑘𝐻=

𝑒𝑘(𝐻+𝑧)−𝑒−(𝑘(𝐻+𝑧))

𝑒𝑘𝐻−𝑒−𝑘𝐻→

𝑒𝑘(𝐻+𝑧)

𝑒𝑘𝐻= 𝑒𝑘𝑧 (1.14)

Sehingga Deep Water Wave dapat dideskripsikan menjadi:

DW 𝜂 = 𝐴cos(𝑘𝑥 − 𝜔𝑡) (1.15a)

Page 5: Teori Gelombang Chapter 1

Teori Gelombang

5

DW 𝜔 = √𝑔𝑘 (1.15b)

DW 𝑢 = 𝐴𝜔𝑒𝑘𝑧cos(𝑘𝑥 − 𝜔𝑡) (1.15c)

DW 𝑤 = 𝐴𝜔𝑒𝑘𝑧sin(𝑘𝑥 − 𝜔𝑡) (1.15d)

DW menunjukkan Deep Water.

Batasan masalah yang kedua adalah untuk kasus yang berlawanan dengan yang

pertama, yakni Shallow Water Wave (Gelombang Laut Dangkal) ketika kH << 1. Pada kondisi

ini kedalaman laut H nilainya sangat kecil dibandingkan dengan panjang gelombang. Pada

batasan ini berlaku:

tan(𝑘𝐻) =𝑒𝑘𝐻 − 𝑒−𝑘𝐻

𝑒𝑘𝐻 + 𝑒−𝑘𝐻=(1 + 𝑘𝐻 +⋯) − (1 − 𝑘𝐻 +⋯)

(1 + 𝑘𝐻 +⋯) + (1 − 𝑘𝐻 +⋯)=2𝑘𝐻

2= 𝑘𝐻

(1.16)

cosh(𝑘(𝐻 + 𝑧))

sinh(𝑘𝐻)=𝑒𝑘(𝐻+𝑧) + 𝑒−(𝑘(𝐻+𝑧))

𝑒𝑘𝐻 − 𝑒−𝑘𝐻

=(1 + 𝑘(𝐻 + 𝑧) + ⋯ ) + (1 − 𝑘(𝐻 + 𝑧) + ⋯)

(1 + 𝑘𝐻 +⋯) − (1 − 𝑘𝐻 +⋯)=

2

2𝑘𝐻=

1

𝑘𝐻

(1.17)

sinh(𝑘(𝐻 + 𝑧))

sinh 𝑘𝐻=𝑒𝑘(𝐻+𝑧) − 𝑒−(𝑘(𝐻+𝑧))

𝑒𝑘𝐻 − 𝑒−𝑘𝐻

=(1 + 𝑘(𝐻 + 𝑧) + ⋯ ) − (1 − 𝑘(𝐻 + 𝑧) + ⋯)

(1 + 𝑘𝐻 +⋯) − (1 − 𝑘𝐻 +⋯)=2𝑘(𝐻 + 𝑧)

2𝑘𝐻

= 1 +𝑧

𝐻

(1.18)

Sehingga Shallow Water Wave dapat dideskripsikan menjadi :

SW 𝜂 = 𝐴cos(𝑘𝑥 − 𝜔𝑡) (1.19a)

SW 𝜔 = √𝑔𝑘2𝐻 (1.19b)

SW 𝑢 =𝐴𝜔

𝑘𝐻cos(𝑘𝑥 − 𝜔𝑡) (1.19c)

SW 𝑤 = 𝐴𝜔(1 +𝑧

𝐻)sin(𝑘𝑥 − 𝜔𝑡) (1.19d)

Page 6: Teori Gelombang Chapter 1

Teori Gelombang

6

Swell yang terbentuk jauh di tengah lautan pasti dikategorikan sebagai DW.

Berdasarkan persamaan (1.15b), laju fase DW, yakni laju puncak gelombang dan lembah

gelombang dinyatakan dalam:

DW 𝑐 =𝜔

𝑘= √

𝑔

𝑘= √

𝑔𝜆

2𝜋 (1.20)

Sehingga gelombang dengan panjang gelombang λ yang lebih tinggi akan bergerak dengan laju

lebih cepat. Laju fase (phase speed) pada persamaan (1.20) tidak bergantung kepada amplitudo

gelombang (A), dan nilainya jauh lebih besar dibandingkan kecepatan fluida (fluid velocity)

(1.15c) dan (1.15d). kecepatan fluida besarnya sebanding dengan amplitudo A dan nilainya

sangat kecil dalam teori linear

Dalam persamaan (1.15c) dan (1.15d) terdapat variabel ekz , sehingga jika nilai z makin

kecil maka kecepatan fluida akan semakin kecil. Z kecil menunjukkan bahwa posisi titik

semakin dalam dibawah permukaan laut. Berdasarkan persamaan (1.15c), kecepatan fluida

adalah searah dengan penjalaran gelombang jika dibawah puncaknya, dan berlawanan arah jika

dibawah lembahnya. Berdasarkan persamaan (1.15d), fluida akan naik jika didepan puncak dan

akan menurun jika dibelakangnya.

Pada batasan shallow water (1.19), kecepatan horizontal u nilainya tidak bergantung

kepada nilai z

Page 7: Teori Gelombang Chapter 1

Teori Gelombang

7

kecepatan vertikal w nilainya berbanding lurus dengan nilai z, tetapi nilainya jauh lebih kecil

daripada u karena adanya faktor kH. Laju fase (phase speed) untuk gelombang shallow water

adalah 𝑐 = √𝑔𝐻, nilainya bergantung pada nilai H tapi tidak bergantung pada panjang

gelombang λ. Pada perairan dangkal (shallow water), gelombang pada panjang gelombang

berapapun bergerak dengan laju yang sama.

Dengan pengamatan secara langsung terhadap swell yang menuju pantai. Karena skala

peluruhan vertikalnya jelas terlihat jika dibandingkan panjang gelombangnya, gelombang akan

memanjang ke bawah dengan jarak yang dapat terlihat jika dibandingkan dengan jarak

antarpuncak. Saat kedalaman laut lebih besar daripada panjang gelombang, kedalamannya bisa

diasumsikan tak terhingga yang akan menyebabkan gelombang tidak akan pernah menyentuh

dasar laut. Tapi jika kedalaman laut menjadi kecil dibandingkan dengan panjang gelombang,

penggunaan rumus-rumus DW menjadi tidak akurat, dan kita harus menggunakan rumus-

rumus umum, yang akan tetap valid berapapun nilai H (1.1, 1.2, 1.10, 1.11). Saat gelombang

sampai di perairan dangkal, dimana kedalamannya lebih kecil daripada panjang gelombangnya,

rumus SW bisa digunakan (1.19).

Pembahasan dibawah ini sudah tidak menggunkan rumus-rumus diatas yang

pembahasannya berfokus dengan anggapan H adalah konstan, perubahan sangat sedikit pada

kedalaman jika dibandingkan dengan panjang gelombang dapat diasumsikan bahwa kedalaman

tersebut adalah konstan, baik untuk DW maupun SW. Jadi pembahasan selanjutnya adalah

tentang gelombang yang bergerak dengan varisai kedalaman.

Anggap x adalah jarak tegak lurus menuju pantai. Anggap rata-rata kedalaman H(x)

turun secara bertahap ke arah x. Jadi gelombang yang datang herus memenuhi hubungan

dispersi slowly varying (slowly varying dispertion relation):

𝜔 = √𝑔 ∗ 𝑘(𝑥) ∗ tanh(𝑘(𝑥) ∗ 𝐻(𝑥)) (1.21)

jika frekuensi ω konstan dan H(x) akan semakin turun saat semakin dekat dengan pantai maka

k(x) akan naik atau panjang gelombangnya akan turun. Untuk membuktikannya bisa dengan

melakukan penurunan persamaan (1.21) untuk mengetahui bahwa dk/dx dan dH/dx memiliki

nilai yang berlawanan. Jika gelombang sudah sampai di perairan yang sangat dangkal maka

persamaan (1.21) menjadi:

SW 𝜔 = √𝑔𝑘2𝐻(𝑥) (1.22)

Page 8: Teori Gelombang Chapter 1

Teori Gelombang

8

dengan laju fase 𝑐 = √𝑔𝐻(𝑥)

Mungkin anda bertanya manakah yang akan terpengaruh oleh perubahan nilai H apakah

ω atau k. Jawabanya akan dibahas di bab 6.

Anggap (xp(t), zp(t)) adalah koordinat dari satu partikel fluida yang dipilih secara acak.

Pencarian gerakan partikel fluida menggunakan coupled ordinary differential equation atau

persamaan diferensial biasa:

𝑑𝑥𝑝

𝑑𝑡= 𝑢(𝑥𝑝(𝑡), 𝑧𝑝(𝑡), 𝑡) (1.23a)

𝑑𝑧𝑝

𝑑𝑡= 𝑤(𝑥𝑝(𝑡), 𝑧𝑝(𝑡), 𝑡) (1.23b)

Untuk DW, kecepatan ditunjukkan oleh persamaan (1.15c-d), jadi akan berubah menjadi:

DW 𝑑𝑥𝑝

𝑑𝑡= 𝐴𝜔𝑒𝑘𝑧𝑝cos(𝑘𝑥𝑝 − 𝜔𝑡) (1.24a)

DW 𝑑𝑧𝑝

𝑑𝑡= 𝐴𝜔𝑒𝑘𝑧𝑝sin(𝑘𝑥𝑝 − 𝜔𝑡) (1.24b)

Solusi eksak dari persamaan (1.24) akan sangat sulit dicari. Tetapi jika A nilainya kecil, partikel

fluida tak akan pernah bergerak jauh. Kita bisa gunakan fakta ini untuk membenarkan

pendekatan yang akan membuatnya lebih mudah untuk diselesaikan (1.24).

Anggap (x0,z0) adalah lokasi rata-rata partikel fluida, maka:

𝑥𝑝 = 𝑥0 + 𝛿𝑥(𝑡) (1.25a)

𝑧𝑝 = 𝑧0 + 𝛿𝑧(𝑡) (1.25b)

Dimana δx(t) dan dz(t) adalah perpindahan yang sangat sedikit dari posisi rata-ratanya.

Substitusi persamaan (1.25) ke persamaan (1.24) menghasilkan :

DW 𝑑𝛿𝑥

𝑑𝑡= 𝐴𝜔𝑒𝑘(𝑧0+𝛿𝑧)cos(𝑘(𝑥0 + 𝛿𝑥) − 𝜔𝑡) (1.26a)

DW 𝑑𝛿𝑧

𝑑𝑡= 𝐴𝜔𝑒𝑘(𝑧0+𝛿𝑧)sin(𝑘(𝑥0 + 𝛿𝑥) − 𝜔𝑡) (1.26b)

Penyelesaian persamaan ini tidak semudah kelihatannya. Untuk memudahkannya digunakan

ekspansi Taylor, mengetahui fakta bahwa δx dan δz nilainya sangat kecil. Hanya ditulis

beberapa bagian awalnya saja secara eksplisit, persamaan (1.26) menjadi:

𝑑𝛿𝑥

𝑑𝑡= 𝐴𝜔[𝑒𝑘𝑧0(1 + k𝛿𝑧 +⋯ )][cos(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡) − 𝑘𝑠𝑖𝑛(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡)𝛿𝑥 +⋯] (1.27a)

Page 9: Teori Gelombang Chapter 1

Teori Gelombang

9

𝑑𝛿𝑧

𝑑𝑡= 𝐴𝜔[𝑒𝑘𝑧0(1 + k𝛿𝑧 +⋯ )][sin(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡) + 𝑘𝑐𝑜𝑠(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡)𝛿𝑥 +⋯] (1.27b)

Jika kita hanya mengambil bagian yang paling besar di sisi kanan grafik, didapatkan:

DW 𝑑𝛿𝑥

𝑑𝑡= 𝐴𝜔𝑒𝑘𝑧0 cos(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡) (1.28a)

DW 𝑑𝛿𝑧

𝑑𝑡= 𝐴𝜔𝑒𝑘𝑧0 sin(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡) (1.28b)

Perlu diingat bahwa persamaan (1.28) juga hasil dari mengganti (x,z) dengan (x0,z0) pada

persamaan (1.15c-d). Penyelesaian persamaan (1.28) dilakukan dengan pengintegrasian

langsung:

DW 𝛿𝑥(𝑡) = −𝐴𝑒𝑘𝑧0 sin(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡) + 𝐶1 (1.29a)

DW 𝛿𝑧(𝑡) = 𝐴𝑒𝑘𝑧0 cos(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡) + 𝐶2 (1.29b)

Dimana C1 dan C2 adalah konstanta pengintegrasian. δx dan δz menyatakan jarak/selisih xp

dan zp dari posisi rata-rata , sehingga C1 dan C2 harus hilang :

DW 𝛿𝑥(𝑡) = −𝐴𝑒𝑘𝑧0 sin(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡) (1.30a)

DW 𝛿𝑧(𝑡) = 𝐴𝑒𝑘𝑧0 cos(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡) (1.30b)

Anggap x0=0. Keadaan ini berakibat pada pemilihan partikel yang terletak lurus dibawah

puncak gelombang pada saat t=0. Karena setiap partikel fluida selalu terletak dibawah puncak

gelombang, ini bukanlah suatu batasan lagi. Pada kasus ini, persamaan (1.30) berubah menjadi:

DW 𝛿𝑥(𝑡) = 𝐴𝑒𝑘𝑧0 sin(𝜔𝑡) (1.31a)

DW 𝛿𝑧(𝑡) = 𝐴𝑒𝑘𝑧0 cos(𝜔𝑡) (1.31b)

Lintasan partikel berhubungan dengan persamaan (1.31) adalah lingkaran dengan jari-jari

Aekz0. Jari-jari ini nilainya paling besar untuk fluida yang posisi rata-ratanya berada di

permukaan laut (z0=0) dan akan semakin berkurang jika z0 berkurang. Untuk gelombang yang

bergerak ke arah kanan, partikel air akan bergerak memutar searah jarum jam, dengan puncak

lingkaran berhubungan dengan lokasinya dibawah puncak gelombang dan bagian bawah dari

lingkaran berhubungan dengan lokasinya dibawah lembah gelombang. Tetapi karena Ak<<1,

perpindahan partikel dari posisi rata-ratnya selalu jauh lebih kecil daripada panjang

gelombangnya. Berdasarkan persamaan (1.31), partikel fluida kembali setiap periode

Page 10: Teori Gelombang Chapter 1

Teori Gelombang

10

gelombang ke posisi awalnya alias tak ada perpindahan sejajar dengan arah penjalaran

gelombang.

Untuk gelombang dangkal, dilihat dari persamaan (1.19c-d) bahwa kecepatan vertikal w jauh

lebih kecil daripada kecepatan horizontal u oleh adanya faktor kH<<1. Sehingga di perairan

dangkal patikel fluida kembali dan bergerak maju dengan arah horizontal dengan perpindahan

vertikal yang dapat diabaikan. Untuk perairan dangkal, dari persamaan (1.27) didapatkan:

SW 𝑑𝛿𝑥

𝑑𝑡=

𝐴𝜔

𝑘𝐻[cos(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡) − 𝑘𝑠𝑖𝑛(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡)𝛿𝑥 +⋯ ] (1.32a)

SW 𝑑𝛿𝑧

𝑑𝑡= 𝐴𝜔 [1 +

z0+𝛿𝑧

𝐻] [sin(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡) + 𝑘𝑐𝑜𝑠(𝑘𝑥0 − 𝜔𝑡)𝛿𝑥 +⋯](1.32b)

lagi, dengan menganggap x0=0, dihasilkan:

SW 𝑑𝛿𝑥

𝑑𝑡=

𝐴𝜔

𝑘𝐻[cos(𝜔𝑡) + 𝑘𝑠𝑖𝑛(𝜔𝑡)𝛿𝑥 + ⋯ ] (1.33a)

SW 𝑑𝛿𝑧

𝑑𝑡= 𝐴𝜔 [1 +

z0+𝛿𝑧

𝐻] [−sin(𝜔𝑡) + 𝑘𝑐𝑜𝑠(𝜔𝑡)𝛿𝑥 + ⋯] (1.33b)

hanya digunakan nilai terbesar pada sisi kanan dari persamaan (1.33), didapatkan pendekatan

pertama:

SW 𝑑𝛿𝑥

𝑑𝑡=

𝐴𝜔

𝑘𝐻cos(𝜔𝑡) (1.34a)

SW 𝑑𝛿𝑧

𝑑𝑡= −𝐴𝜔 (1 +

z0

𝐻)sin(𝜔𝑡) (1.34b)

dengan penyelesaian:

SW 𝛿𝑥(𝑡) =𝐴

𝑘𝐻sin(𝜔𝑡) (1.35a)

SW 𝛿𝑧(𝑡) = 𝐴 (1 +z0

𝐻)cos(𝜔𝑡) (1.35b)

Page 11: Teori Gelombang Chapter 1

Teori Gelombang

11

lintasan pada persamaan (1.35) adalah elips dengan sumbu utama/mayor sepanjang 2A/kH

pada arah horizontal dan sumbu minor dengan panjang 2A(1+z0/H) pada arah vertikal. Pada

dasar samudra (zo=-H), pergerakan fluida sangat horizontal nyata.

Seperti pada kasus perairan dalam DW, partikel fluida tidak mengalami perpindahan lokasi

pada pendekatan ordo pertama ini. Tapi daripada meniadakan δx ke arah kanan pada persamaan

(1.33a), lebih baik mengganti dengan pendekatan pertama (1.35a). Tetapi pendekatan yang

lebih baik dari (1.35a) tetap dibutuhkan. Mensubstitusikan persamaan (1.35a) ke sisi kanan

persamaan (1.33a) dan mengabaikan semua bagian-bagian yang nilainya kecil, didapatkan:

SW 𝑑𝛿𝑥

𝑑𝑡=

𝐴𝜔

𝑘𝐻[cos(𝜔𝑡) +

𝐴

𝐻sin2(𝜔𝑡)] (1.36)

Dengan menggunakan identitas sin2𝜃 =1

2(1 − 𝑐𝑜𝑠2𝜃), persamaan (1.36) diintegralkan

mendapatkan:

SW 𝛿𝑥(𝑡) =𝐴

𝑘𝐻sin(ωt) −

A2

2𝑘𝐻2 sin(2ωt) +A2ω

2𝑘𝐻2 𝑡 (1.37)

Sekali lagi, persamaan (1.37) harusnya menjadi pendekatan yang lebih baik untuk menyatakan

perpindahan partikel daripada persamaan (1.35a). Bagian pertama pada persamaan (1.37)

adalah persamaan (1.35). bagian kedua dari persamaan (1.37) adalah bagian osilasi, sama

seperti bagian pertama. Seperti bagian pertama, bagian kedua tidak menyebabkan perpindahan

lokasi partikel dan nilai osilasinya lebih kecil daripada bagian pertama karena nilainya

sebanding dengan kuadrat amplitudo A dimana nialinya dianggap desimal.

Bagian terakhir pada persamaan (1.37) nilainya sebanding dengan A2, tetapi tidak

seperti 2 bagian sebelumnya, bagian ini tidak menyatakan osilasi. Bagian ini sebanding dengan

waktu t. Bagian ini menyatakan sebuah gerakan keseimbangan kecil (steady drift) yang sering

disebut Stokes drift sebuah partikel dengan laju:

Page 12: Teori Gelombang Chapter 1

Teori Gelombang

12

SW cdrift =A2ω

2𝑘𝐻2 =1

2

𝐴2

𝐻2 𝑐 (1.38)

gerakan partikel searah dengan arah penjalaran gelombang. Karena A nilainya kecil dan

desimal (infinitesimal) maka cdrift nilainya akan lebih kecil dari laju fase c.

Untuk gelombang laut dalam, persamaan yang tepat adalah analog dengan

persamaan (1.36) yakni dengan mensubstitusikan persamaan (1.30) ke persamaan (1.27a)

dengan x0=0 didapat:

DW 𝑑𝛿𝑥

𝑑𝑡= 𝐴𝜔[𝑒𝑘𝑧0(1 + 𝑘𝛿𝑧)][cos(𝜔𝑡) + 𝑘sin(𝜔𝑡)𝛿𝑥]

= 𝐴𝜔[𝑒𝑘𝑧0(1 + 𝐴𝑒𝑘𝑧0𝑘cos(𝜔𝑡))][cos(𝜔𝑡) + 𝐴𝑒𝑘𝑧0𝑘sin2(𝜔𝑡)]

= 𝐴𝜔𝑒𝑘𝑧0[cos(𝜔𝑡) + 𝐴𝑘𝑒𝑘𝑧0(cos2(𝜔𝑡) + sin2(𝜔𝑡))]

= 𝐴𝜔𝑒𝑘𝑧0[cos(𝜔𝑡) + 𝐴𝑘𝑒𝑘𝑧0] (1.39)

pada bagian ke dua-terakhir dari persamaan (1.39), kita harus tetap menjaga persamaan tersebut

proporsional dengan A dan A2, tapi nilai A3 dihilangkan karena nilainya sudah sangat kecil.

Pengintegralan persamaan (1.39) memberi pendekatan pertama (1.30a), ditambah osialsi yang

lebih kecil ditambah drift seperti di persamaan (1.37). untuk mendapatkan drift-nya sendiri,

kita hanya perlu