Post on 24-Dec-2020
PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP EKSPRESI TNF-α
DAN APOPTOSIS JARINGAN SERTA STATUS FUNGSIONAL OTAK
TIKUS JANTAN GALUR WISTAR (RATTUS NORVEGICUS) MODEL
CEDERA OTAK TRAUMATIK FOKAL
TESIS
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Biomedik dan Spesialis Saraf
Oleh:
dr.Sartika Dewi Utami 126070100111055
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK MINAT IMUNOLOGI KEDOKTERAN
PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2017
ii
LEMBAR PENGESAHAN
PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP EKSPRESI TNF-α
DAN APOPTOSIS JARINGAN SERTA STATUS FUNGSIONAL OTAK
TIKUS JANTAN GALUR WISTAR (RATTUS NORVEGICUS) MODEL
CEDERA OTAK TRAUMATIK FOKAL
TESIS
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Biomedik dan Spesialis Saraf
Oleh :
dr.Sartika Dewi Utami
Menyetujui Untuk Diuji,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr.dr.Retty Ratnawati,MSc dr.Hari Purnomo Sp.S(K)
iii
DAFTAR NAMA PEMBIMBING DAN PENGUJI
JUDUL TESIS:
PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP EKSPRESI TNF-α
DAN APOPTOSIS JARINGAN SERTA STATUS FUNGSIONAL OTAK
TIKUS JANTAN GALUR WISTAR (RATTUS NORVEGICUS) MODEL
CEDERA OTAK TRAUMATIK FOKAL
Nama Mahasiswa : dr. Sartika Dewi Utami
NIM : 126070100111055
Program Sudi : Ilmu Biomedik
KOMISI PEMBIMBING:
Ketua : Dr. dr. Retty Ratnawati, MSc
Anggota 1 : dr. Hari Purnomo, SpS(K)
TIM DOSEN PENGUJI:
Dosen Penguji 1 : Dr.dr. Setyawati Karyono, M.Kes
Dosen Penguji 2 : Dr.Med.dr. Tommy. A Nazwar Sp.BS
TIM MONITORING DAN EVALUASI UJIAN TESIS:
Tanggal Ujian : 17 Januari 2017
SK Penguji : 133/sk/UN10.7/KP/2016
iv
LEMBAR ORISINILITAS
v
RIWAYAT HIDUP
Sartika Dewi Utami, dr lahir di Pontianak, 15 Maret 1987, anak ke 5 dari Bapak
Bambang Pribadi dan Ibu Rosanah. Menyelesaikan pendidikan di SDN 01 Pagi
Pondok Bambu, Duren Sawit Jakarta Timur pada tahun 1998, SMPN 51 Jakarta
Timur tahun 2001, SMAN 2 Surabaya 2004 dan Fakultas Kedokteran Universitas
YARSI, Jakarta pada tahun 2011. Menyelesaikan Program Pendidikan Dokter
Spesialis Ilmu Penyakit Saraf tahun 2016 dan saat ini sedang menyelesaikan
Program Studi Ilmu Biomedik Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya Malang.
vi
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke kehadirat Allah SWT, atas izin,
petunjuk serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “
Pengaruh Pemberian Catechins Terhadap Ekspresi TNF-α dan Apoptosis
Jaringan Serta Status Fungsional Otak Tikus Jantan Galur Wistar (Rattus
norvegicus) Model Cedera Otak Traumatik Fokal”. Di dalam tulisan ini, disajikan
pokok-pokok bahasan efek patologis yang ditimbulkan akibat adanya cedera
kepala fokal dan pengaruh pemberian catechins dalam menurunkan marker
inflamasi dan apoptosis jaringan serta ditinjau dari status klinis yang timbul.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. dr. Sri Andarini, M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya.
2. Prof. Dr. dr. Sumarno, DMM., Sp.MK selaku Ketua Prodi S2 Ilmu Biomedik
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
3. Dr. dr. Retty Ratnawati, MSc selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, masukan dan saran sehingga tulisan ini dapat
diselesaikan.
4. dr. Hari Purnomo, SpS(K), selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, masukan dan saran sehingga tulisan ini dapat diselesaikan.
5. Dr.dr. Setyawati Karyono, M.Kes selaku dosen penguji yang telah
memberikan koreksi, saran dan masukan bagi tulisan ini.
6. Dr.Med.dr. Tommy. A Nazwar Sp.BS selaku dosen penguji yang telah
memberikan koreksi, saran dan masukan yang membangun bagi tulisan ini.
7. Keluarga dan suami yang selalu mendukung penulis untuk menyelesaikan
tesis ini.
vii
8. Teman-teman satu kelompok penelitian yang selalu bekerja sama dan
mendukung penyelesaian tesis ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis menerima setiap saran dan kritik yang membangun. Semoga tulisan ini
dapat memberi manfaat bagi pembaca serta yang membutuhkan.
Malang, September 2017
Penulis
viii
RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, September 2017. Pengaruh Pemberian Catechins Terhadap Ekspresi TNF-α Dan Apoptosis Jaringan Serta Status Fungsional Otak Tikus Jantan Galur Wistar (Rattus norvegicus) Model Cedera Otak Fokal Traumatik Fokal. Komisi Pembimbing Ketua : Dr. dr. Retty Ratnawati, MSc, Anggota : dr. Hari Purnomo, SpS(K).
Cedera otak traumatik masih merupakan menjadi salah satu penyebab
utama kecacatan, kematian dan beban ekonomi pada masyarakat. Saat ini, telah
diketahui bahwa tidak semua kerusakan otak terjadi saat kejadian trauma,
namun lebih banyak terjadi saat gangguan otak sekunder, yang berlangsung
hingga berhari-hari, dimana proses dasarnya adalah oksidasi dan inflamasi.
Catechins memiliki aktivitas antioksidan dan antiinflamasi Pada penelitian ini
catechins diharapkan mampu menurunkan ekspresi TNF-α dengan menurunkan
ekspresi gen STAT-1 dan melalui hambatan pada NFKβ. Serta menurunkan
apoptosis sel neuron, dengan menghambat pembentukan radikal bebas melalui
hambatan jalur NADPH oksidase, menetralisir radikal bebas yang telah
terbentuk, serta meningkatkan protein antiapoptosis (Bcl-2) dan menurunkan
protein sel proapoptosis (Bax, Bcl-XS), dan memperbaiki status fungsional otak
tikus model cedera otak traumatic. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui pengaruh pemberian catechins terhadap ekspresi TNF-α, sel
apoptosis dan status fungsional otak tikus model cedera otak traumatik.
Penelitian ini menggunakan desain eksperimental sebenarnya (true experimental design) di laboratorium secara in vivo dengan Randomized Post Test Only Controlled Group Design pada hewan model tikus wistar (Rattus novergicus galur wistar). Penelitian ini menggunakan hewan coba sebanyak 40 ekor yang terbagi dalam 2 kelompok waktu pengamatan, masing-masing terdiri dari 5 kelompok perlakuan, tiap kelompok terdiri dari 4 ekor tikus. Kelima kelompok tersebut adalah kelompok A (kontrol negatif) yaitu tikus yang tidak diberikan perlakuan cedera otak traumatik maupun catechins, kelompok B (kontrol positif) yaitu model cedera otak traumatik tanpa diberi catechins, kelompok C, D, dan E yaitu kelompok perlakuan yang menjadi model cedera otak traumatik dan diberi catechins dengan dosis 513, 926, dan 1113 mg/kgbb/hari. Pemberian catechins diberikan secara peroral dan pengamatan ekspresi TNF-α, apoptosis sel dan status fungsional otak tikus dilakukan setelah perlakuan selama tiga dan tujuh hari.
Berdasarkan hasil uji beda ANOVA dan Kruskall wallis yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian catechins terhadap ekspresi TNF-α, apoptosis sel dan status fungsional otak, didapatkan hasil secara berurutan pada hari ketiga (p=0.002, p=0.004, p=0.000; p<0.05) dan pada hari ketujuh (p=0.000, p=0.000, p=0.002; p<0.05) maka terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok pada semua variable dan waktu pengamatan.
Hasil uji korelasi Spearman dan Pearson, menunjukkan nilai r dan p secara berurutan pada hari ketiga (r= -0.838, p=0.000; r= -0.691, p=0.003; R= -0.441, p=0.088) dan pada hari ketujuh (r= -0.921, p=0.000; r=-0.890, p=0.000; r=-0.754, p=0.001) menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara dosis catechins dan sel apoptosis, semakin tinggi dosis catechins makin rendah
ix
sel apoptosis kecuali NSS pada hari 3, terdapat hubungan yang signifikan antara dosis pemberian catechins dengan ekspresi TNF-α, apoptosis sel dan status fungsional otak tikus. Hasil uji perbandingan berpasangan pada NSS, menunjukkan p=0.006 (hari 3) dan p=0.003 (hari 7), menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah pemberian catechins.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemberian catechins dapat menurunkan ekspresi TNF-α dan apoptosis sel serta meningkatkan status fungsional otak tikus, serta terdapat hubungan yang signifikan antara peningkatan dosis catechins dengan penurunan ekspresi ekspresi TNF-α dan apoptosis sel serta meningkatkan status fungsional otak tikus wistar (Rattus norvegicus) model cedera otak traumatik fokal.
.
x
SUMMARY
Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055. Master Program in Biomedical Science, Faculty of Medicine, Brawijaya University Malang, September 2017. The Effect of Catechins Against Expression TNF-α And Apoptosis Cells And Functional Status in Focal Brain traumatic Injury Rattus norvegicus Rats Models. Advisory Comitte Lead: Dr. dr. Retty Ratnawati, MSc, Member: dr. Hari Purnomo, SpS (K). Traumatic brain injury is still one of the major causes of disability, death and economic burden on people. Currently, it is known that not all brain damage occurs during trauma events, but more often occurs during secondary brain disorders, which last for days, where the underlying process is oxidation and inflammation. Catechins have antioxidant and anti-inflammatory activity In this study catechins are expected to decrease TNF-α expression by decreasing STAT-1 gene expression and through resistance to NFKβ. As well as decrease the apoptosis of neuron cells, by inhibiting the formation of free radicals through blockage of NADPH oxidase pathways, neutralizing the free radicals that have been formed, as well as increasing the antiapoptosis protein (Bcl-2) and lowering proapoptotic cell proteins (Bax, Bcl-XS), and improving functional status rat brain traumatic brain injury model. The aim of this study was to investigate the effect of catechins on TNF-α expression, apoptotic cells and functional status of rat brain of traumatic brain injury model. This study used true experimental design in laboratory in vivo with Randomized Post Test Only Controlled Group Design on animal model of wistar rat (Rattus novergicus wistar strain). This study used 40 rats of experimental divided into 2 groups of observation time, each consisting of 5 interventional groups, each group consisting of 4 rats. The five groups were group A (negative control), rat that were not given traumatic brain injury treatment or catechins, group B (positive control), traumatic brain injury model without given catechins, group C, D, and E, traumatic brain injury and given catechins with doses of 513, 926, and 1113 mg / kgbody weight / day. Administering catechins administered peroralally and TNF-α expression observations, cell apoptosis and functional status of rat brain were performed after three and seven days of treatment. Based on the different ANOVA and Kruskall wallis test results to determine the effect of catechins on TNF-α expression, cell apoptosis and functional status of the brain, the results obtained sequentially on the third day (p = 0.002, p = 0.004, p = 0.000; p < 0.05) and on the seventh day (p = 0.000, p = 0.000, p = 0.002; p <0.05), there were significant differences between groups in all variables and observation time. Spearman and Pearson correlation test results show r and p values respectively on the third day (r = -0.838, p = 0.000; r = -0.691, p = 0.003; r = -0.441, p = 0.088) and on the seventh day r = -0.921, p = 0.000, r = -0.890, p = 0.000, r = -0.754, p = 0.001) showed that there was a significant association between dosage of catechins and apoptotic cells, the higher the dosage of catechins the lower the apoptotic cells except NSS on day 3, there was a significant relationship between the dose of administration of catechins with TNF-α expression, cell apoptosis and functional status of rat brain. The result of paired comparison test on NSS, showed p = 0.006 (day 3) and p = 0.003 (day 7), showed significant difference between before and after catechins administration. The present study concluded that administration of catechins decreased TNF-α expression and cell apoptosis and improved functional status of rat brain, and there was a significant relationship between increased doses of catechins with decreased expression of TNF-α expression and cell apoptosis and improved functional status of the brains of wistar rats (Rattus norvegicus) model of focal traumatic brain injury.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................... ii
DAFTAR NAMA PEMBIMBING DAN PENGUJI............................................. iii
PERNYATAAN ORISINALITAS....................................................................... iv
RIWAYAT HIDUP............................................................................................. v
KATA PENGANTAR......................................................................................... vi
RINGKASAN..................................................................................................... viii
SUMMARY........................................................................................................ x
DAFTAR ISI ................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xv
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... . xviii
DAFTAR SINGKATAN................................................................................. . xix
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................. 5
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................. 5
1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................ 5
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................ 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 7
2.1 Traumatic Brain Injury. .......................................................... 7
2.1.1 Definisi ........................................................................ 7
2.1.2 Epidemiologi. .............................................................. 7
2.1.3 Patofisiologi TBI .......................................................... 8
2.1.3.1 Cedera Otak Primer ...................................... 10
2.1.3.2 Cedera Otak Sekunder ................................. 13
2.1.3.3 Patofisiologi Spesifik pada TBI ..................... 15
2.2 Tumor Necrosis Factor- (TNF-) ........................................ 27
2.2.1 Karakteristik Umum ..................................................... 27
xii
2.2.2 Reseptor TNF- .......................................................... 30
2.2.3 Pembentukan Kompleks Awal..................................... 31
2.2.4 Pembentukan NF-B .................................................. 32
2.2.5 Aktivasi kaskade caspase ........................................... 33
2.2.6 Aktivitas Inti ................................................................. 34
2.3 Apoptosis .............................................................................. 35
2.3.1 Karakteristik Umum ..................................................... 35
2.3.2 Mekanisme Apoptosis ................................................ 36
2.3.3 Abnormalitas Signal Sel dan Kematian Neuron pada TBI 42
2.4 Catechins Teh Hijau (Green Tea Catechin, GTC) ................. 45
2.4.1 Jenis Teh .................................................................... 45
2.4.2 Morfologi GTC ............................................................ 47
2.4.3 Sifat catechins ............................................................ 49
2.4.4 Manfaat Catechins ...................................................... 50
2.4.5 Catechins sebagai Antiinflamasi dan Antioksidan ......................... 50
2.4.6 Cathecins sebagai Neuroprotektan ................................................ 51
2.4.7 Farmakologi catechins................................................ . 52
2.4.8 Kelemahan catechins.................................................. . 62
2.4.9 Upaya Untuk Meningkatkan Bioavaibilitas catechins.. . 63
2.5 Metode-Metode Cedera Otak In Vivo .............................................................................. 63
2.5.1 Anatomi Otak Rattus norvegicus galur Wistar............. .................... 65
2.5.2 Model Penjatuhan Beban (Weight-Drop) ..................... 69
2.5.3 Metode Perkusi Fluida (Fluid Percussion Injury) ......... 72
2.5.4 Model Controlled Cortical Impact ................................ 73
2.5.5 Model-Model Lain ....................................................... 74
2.6 MetodeImunohistokimia ...................................................................................................................... 75
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ............ 77
3.1 Kerangka Konsep ................................................................. 77
3.2 Hipotesis Penelitian .............................................................. 80
BAB IV METODE PENELITIAN .............................................................. 81
4.1 Desain Penelitian ................................................................. 81
4.2 Rancangan Penelitian ........................................................... 81
4.3 Populasi dan Sampel ............................................................ 81
xiii
4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................. 83
4.5 Variabel Penelitian ................................................................ 83
4.5.1 Variabel Bebas ......................................................... 83
4.5.2 Variabel Tergantung ................................................. 84
4.6 Definisi Operasional Variabel ................................................ 84
4.7 Bahan dan Alat ..................................................................... 85
4.7.1 Alat dan Bahan untuk Perawatan Hewan Coba ........ 85
4.7.2 Model Cedera Otak Traumatik .................................. 86
4.7.3 Persiapan Hewan Coba.. .......................................... 86
4.7.4 Pembedahan ........................................................... 86
4.7.5 Pembuatan Slide Histopatologi ................................. 87
4.7.6 Pembuatan Sediaan Pemeriksaan Imunohistokimia . 87
4.7.7 Alat Pemeriksaan Status Fungsional NSS ................ 87
4.8 Prosedur Penelitian .............................................................. 88
4.8.1 Pemeliharaan tikus wistar ......................................... 88
4.8.2 Pembuatan Catechins .............................................. 89
4.8.3 Model Cedera Otak Traumatik .................................. 89
4.8.4 Pemberian Terapi Catechins .................................... 89
4.8.5 Pembedahan Tikus ................................................... 90
4.8.6 Pembuatan Slide Histopatologi ................................. 91
4.8.7 Pemeriksaan Imunohistokimia .................................. 91
4.8.7.1 Deparafinisasi ............................................... 91
4.8.7.2 Antigen Retrieval dengan Buffer Sitrat .......... 92
4.8.7.3 Pemeriksaan Imunohistokimia Ekspresi TNF-α
pada Jaringan Otak ....................................... 92
4.8.7.4 Pengamatan sel apoptosis jaringan otak dengan
teknik DNA terfragmentasi (TUNEL) ............ 93
4.9 Penilaian Statys Fungsional Tikus dengan NSS ................... 94
4.10 Alur Penelitian .................................................................... 96
4.11 Analisis Data........................................................................ 96
BAB V HASIL PENELITIAN................................................................... 98
5.1 Deskripsi Penelitian .............................................................. 98
xiv
5.2 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Ekspresi TNF-α Tikus
Model Cedera Otak Traumatik pada Hari Ketiga Hipotesis
Penelitian ............................................................................. 99
5.3 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Ekspresi TNF-α Tikus
Model Cedera Otak Traumatik pada Hari Ketujuh Hipotesis
Penelitian ............................................................................. 103
5.4 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Apoptosis Sel Otak
Tikus Model Cedera Otak Traumatik pada Hari Ketiga Hipotesis
Penelitian ............................................................................. 108
5.5 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Apoptosis Sel Otak
Tikus Model Cedera Otak Traumatik pada Hari Ketujuh Hipotesis
Penelitian ............................................................................. 112
5.6 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Status Fungsional Otak
Tikus Model Cedera Otak Traumatik pada Hari Ketiga Hipotesis
Penelitian ............................................................................. 116
5.7 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Status Fungsional Otak
Tikus Model Cedera Otak Traumatik pada Hari Ketujuh Hipotesis
Penelitian ............................................................................. 120
5.8 Uji Perbandingan 2 Variabel Bebas dan Berpasangan (Uji T-Test
dan Wilcoxon) ...................................................................... 123
5.9 Uji Korelasi antar Variabel Bebas ......................................... 125
BAB VI PEMBAHASAN .......................................................................... 126
6.1 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Ekspresi TNF-α Tikus
Model Cedera Otak Traumatik ............................................. 130
6.2 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Apoptosis Sel Otak
Tikus Model Cedera Otak Traumatik .................................... 131
6.3 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Status Fungsional Otak
Tikus Model Cedera Otak Traumatik .................................... 134
6.4 Hubungan Antara TNF-α, Apoptosis Sel dan Status Fungsional
Otak Tikus Wistar Model Cedera Otak Traumatik ................. 135
6.5 Keterbatasan Penelitian........................................................ . 136
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 138
7.1 Kesimpulan ........................................................................... 138
xv
7.2 Saran .................................................................................... 139
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 140
LAMPIRAN ................................................................................................... 149
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Mekanisme terjadinya cedera otak primer ................................. 11
Gambar 2.2 Mekanisme biokimia, seluler dan molekuler pada cedera
otak sekunder, pada cedera otak traumatika ............................ 15
Gambar 2.3 Proses terjadinya iskemia post TBI ........................................... 16
Gambar 2.4. Mekanisme terjadinya proses eksitotoksisitas .......................... 18
Gambar 2.5 Aktifasi respon imun pada TBI................................................... 23
Gambar 2.6 Respon inflamasi dan imunitas pada TBI .................................. 25
Gambar 2.7 Mekanisme proses dari pembentukan TNF-α ............................ 31
Gambar 2.8 Jalur klasik dan alternatif untuk aktivasi NF-kB ......................... 33
Gambar 2.9 Reseptor dan jalur signaling TNF-α ........................................... 34
Gambar 2.10 Aktivasi apoptosis dari dalam sel (Intrinsic Pathway) .............. 37
Gambar 2.11 Aktivasi apoptosis dari luar sel (Extrinsic Pathway) ................. 40
Gambar 2.12 Jalur apoptosis Intrinsik, Ekstrinsik dan Cross Talk ................. 41
Gambar 2.13 Jaras caspase independent apoptosis .................................... 42
Gambar 2.14 Mekanisme proses kematian sel melalui peranan mitogen-
activated protein kinases (MAPK) dalam mentraduksi
sinyal yang terlibat dalam kematin sel ..................................... 44
Gambar 2.15 Mekanisme peranan kelangsungan hidup sel (survival cell)
melalui aktivasi sinyal kinase .................................................. 44
Gambar 2.16 Struktur Catechins dan turunannya ......................................... 49
Gambar 2.17 Mekanisme Kerja Catechins pada kaskade iskemia pada penyakit
neurogeneratif dan neuroinflamasi........................................... . 62
Gambar 2.18 Anatomi Tulang Kranium Rattus norvegicus Galur Wistar ....... 65
Gambar 2.19 Anatomi otak Rattus norvegicus Galur Wistar ......................... 66
Gambar 2.20 Anatomi otak Rattus norvegicus Galur Wistar.......................... 67
Gambar 2.21 Pemetaan Struktur Fungsional Otak Tikus dilihat dari Vertex.. 67
Gambar 2.22 Anatomi Otak Tikus.................................................................. 68
Gambar 2.23 Anatomi Otak Tikus................................................................. . 68
Gambar 2.24 Marmarou’s Weight-drop Model .............................................. 71
Gambar 2.25 Model Weight-Drop yang diperagakan oleh Koizumi ............... 71
Gambar 2.26 Model Perkusi Fluida ............................................................... 73
Gambar 2.27 Model Controlled Cortical Impact ............................................ 73
Gambar 4.1 Alat Untuk Penjatuhan Beban.................................................... 86
xvii
Gambar 4.2 Alat Pengukuran NSS............................................................. .. 88
Gambar 5.1 Hasil pengecatan Imunohistokimia TNF-α kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan, pada Hari ke tiga ................................... 100
Gambar 5.2 Grafik Histogram Rerata dan Standar deviasi Ekspresi TNF-α Hari
ke-3 ......................................................................................... 101
Gambar 5.3 Hasil pengecatan Imunohistokimia TNF-α kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan pada hari ketujuh. ................................... 104
Gambar 5.4 Grafik Histogram Rerata dan Standar deviasi Ekspresi TNF-α Hari
ke-7 ......................................................................................... 106
Gambar 5.5 Hasil pengecatan Imunohistokimia Sel Apoptosis kelompok kontrol
dan kelompok perlakuan pada hari ketiga. .............................. 108
Gambar 5.6 Grafik Histogram Rerata dan Standar deviasi Sel Apoptosis Hari ke-
3 .............................................................................................. 109
Gambar 5.7 Hasil pengecatan Imunohistokimia Sel Apoptosis kelompok kontrol
dan kelompok perlakuan pada hari ketujuh. ............................ 112
Gambar 5.8 Grafik Histogram Rerata dan Standar deviasi Sel Apoptosis Hari ke-
7 .............................................................................................. 113
Gambar 5.9 Grafik Histogram Rerata dan Standar deviasi NSS Tikus Model
Cedera Otak Traumatik Hari ke-tiga ......................................... 117
Gambar 5.10 Grafik Histogram Rerata dan Standar deviasi NSS Tikus Model
Cedera Otak Traumatik Hari ke-tujuh ....................................... 120
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Protein jalur eksekusi apoptosis ................................................... 41
Tabel 2.2 Sifat Fisika dan Sifat Kimia Senyawa Catechins ........................... 49
Tabel 4.1 Penilaian NSS............................................................................... . 94
Tabel 5.1 Nilai Rerata dan Standar Deviasi Ekspresi TNF-α Jaringan Otak Tikus
Model Cedera Otak Traumatik, pada Hari Ketiga .......................... 101
Tabel 5.2 Hasil Uji Post Hoc pada TNF-α Hari Ketiga ................................... 102
Tabel 5.3 Nilai Rerata dan Standar Deviasi Ekspresi TNF-α Jaringan Otak Tikus
Model Cedera Otak Traumatik, pada Hari Ketujuh ........................ 105
Tabel 5.4 Hasil Uji Post Hoc pada TNF-α Hari Ketujuh ................................. 106
Tabel 5.5 Nilai Rerata dan Standar Deviasi Sel Apoptosis Jaringan Otak Tikus
Model Cedera Otak Traumatik, pada Hari Ketiga .......................... 109
Tabel 5.6 Hasil Uji Post Hoc pada Sel Apoptosis Hari Ketiga........................ 111
Tabel 5.7 Nilai Rerata dan Standar Deviasi Sel Apoptosis Jaringan Otak Tikus
Model Cedera Otak Traumatik, pada Hari Ketujuh ........................ 111
Tabel 5.8 Hasil Uji Post Hoc pada Sel Apoptosis Hari Ketujuh ...................... 115
Tabel 5.9 Nilai Rerata dan Standar Deviasi NSS Tikus Model Cedera Otak
Traumatik, pada Kelompok 3 Hari ................................................. 117
Tabel 5.10 Hasil Uji Post Hoc pada NSS Hari Ketiga .................................... 118
Tabel 5.11 Nilai Rerata dan Standar Deviasi NSS Tikus Model Cedera Otak
Traumatik, pada Kelompok 7 Hari ............................................... 120
Tabel 5.12 Hasil Uji Post Hoc pada NSS Hari Ketujuh .................................. 122
Tabel 5.13 Hasil Subset Homogen untuk TNF-α 3 dan 7 hari, TUNEL 7 hari dan
NSS 3 hari ................................................................................. 123
Tabel 5.14 Hasil Uji 2 (dua) Variabel ............................................................. 124
Tabel 5.15 Hasil Uji Korelasi Antar Variabel .................................................. 125
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Uji Asumsi Data .......................................................................... 149
Lampiran II Uji Beda Interkelompok .............................................................. 152
Lampiran III Uji Korelasi ................................................................................ 169
Lampiran IV Uji Regresi ................................................................................. 172
Lampiran V Uji Perbandingan 2 Variabel ........................................................ 176
Lampiran VI Data Awal .................................................................................. 186
Lampiran VII Dokumentasi Penelitian ............................................................. 187
Lampiran VIII Dokumen Penelitian................................................................. 188
xx
DAFTAR SINGKATAN
AFI : Apoptosis Inducting Factor
AGE : Advanced Glycation Endproducts
Ca : Kalsium
Cu : Tembaga
CBF : Cerebral Blood Flow
cGMP : Cyclic Guanosine Monophosphate
DAI : Diffuse Axonal Injury
DVI : Diffuse Vascular Injury
EDH : Hematoma epidural
Fe : Besi
FAD : Flavin Adenine Dinucleotide
FMN : Flavin Mononucleotide
GCS : Glasgow Coma Scale
H2O : Air
ICP : Intracranial Pressure
iNOS : Inducible Nitric Oxide Synthase
LP : Lipid peroxidation
Mn : Mangan
Mg : Magnesium
MDA : Malondialdehide
MRI : Magnetic Resonance Imaging
Na : Natrium
NO : nitric oxide
NOS : nitric oxide synthase
N2O3 : dinitrogen trioksida
NADPH : nicotinamide adenine dinucleotidephosphate
NF-kB : nuclear factor kappa beta
1O2 : singlet oxygen
3O2 : triplet oksigen
O2- : superoksida
-OH : hydroxyl radical
ONOO- : peroksinitrit
PB : propolis Brasil
xxi
PI : propolis Indonesia
PN : peroksinitrit
PTP : permeability transition pores
PARP : Poly-ADP Ribose Polymerase
P38-MAPK : Mitogen-activated Protein Kinase
RNS : reactive nitrogen species
ROS : Reactive Oxygen Species
RNOS : Reactive Nitrogen Oxide Species
SOD : Superokside Dismutase
SOL : Space Occupying Lesion
TBI : Traumatic brain injury
TNF : Tumor Necrosis Factor
TBARS : Thiobarbiturate Reactive Substance
TRAIL : TNF Receptor Apoptosis Inducing Ligand
Zn : Seng
xxii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera otak traumatik atau Traumatic Brain Injury (TBI) dapat
didefinisikan sebagai benturan, penetrasi atau pergerakan cepat otak di dalam
tulang tengkorak akibat gaya dari luar yang dapat menyebabkan penurunan
kesadaran dan gangguan fungsi otak pada penderitanya (Prinset al., 2013).
Cedera otak traumatik merupakan masalah besar bagi kesehatan dan tantangan
sosioekonomi di seluruh dunia (Brain Trauma Foundation, 2007).
Di Amerika Serikat sekitar 1,5 juta pasien menderita cedera otak setiap
tahun, dan angka kematian pada cedera otak berat berada pada kisaran 35-40%
(Beauchamp et al., 2008). Menurut data Direktorat Keselamatan Transportasi
Darat Departemen Perhubungan (2005), jumlah korban kecelakaan lalu lintas
pada tahun 2003 terdapat 24.692 orang dengan jumlah kematian 9.865 orang
(39,9%), tahun 2004 terdapat 32.271 orang dengan jumlah kematian 11.204
orang (34,7%), dan pada tahun 2005 menjadi 33.827 kasus dengan jumlah
kematian 11.610 orang (34,4%) (DEPHUB, 2005)
Data epidemiologis tentang cedera kepala di Indonesia hingga saat ini
belum banyak tersedia, namun dari data yang ada dikatakan dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan. Angka kejadian cidera kepala di RSUD Dr. Moewardi
dari bulan Januari-Oktober 2012 sebanyak 453 kasus, dan selama bulan Juli
2012 di RSUD Dr.Moewardi Surakarta terdapat 43 kasus cidera kepala ringan
sampai berat (Hariyani, 2012). Pasien dengan cedera kepala ringan (CKR)
sebanyak 21 (48,8%) , cidera kepala sedang (CKS) 8 (18,6%) dan cidera kepala
berat (CKB) 14 (32,5%). Cedera ini mayoritas disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas. Data-data statistik ini menekankan keperluan yang mendesak terhadap
2
modalitas terapi efisien untuk memperbaiki morbiditas dan mortalitas post trauma
(Beauchamp et al., 2008 ). Dari berbagai penelitian dan pengalaman klinis, salah
satu konsep yang menjadi pusat perhatian adalah bahwa tidak semua kerusakan
neurologis pada cedera otak traumatik terjadi pada saat kejadian, namun justru
berkembang setelah beberapa jam dan hari (Brain Trauma Foundation., 2007).
Terapi pada cedera kepala sebagian besar masih merupakan suportif,
langsung mengarah kepada edema otak dan tekanan tinggi intrakranial melalui
tindakan sementara, seperti pemberian obat osmotik, hiperventilasi, dan drainase
ventrikel. Tidak satu pun intervensi ini secara definitif memperlihatkan perbaikan
jangka panjang hasil akhir terapi secara fungsional. Mungkin ini disebabkan oleh
heterogennya patologi cedera kepala yang meliputi : Cedera otak difus,
perdarahan intracerebral, perdarahan subarachnoid, dan lain-lain (Indharty,
2007)
Patofisiologi cedera otak ditinjau dari saat kejadiannya terdiri atas cedera
otak primer yaitu kerusakan jaringan otak langsung akibat trauma dan cedera
otak sekunder yaitu akibat perluasan kerusakan pada jaringan otak melalui
proses patologis yang berlanjut (Kasan, 2006). Cedera otak primer diperburuk
oleh cascade neuroinflamasi sekunder dari hipoperfusi, iskemik, stress oksidatif,
edema otak dan peningkatan tekanan dalam otak. Salah satu faktor yang
merupakan pusat perhatian terhadap cedera kepala adalah faktor-faktor yang
mungkin dapat berperan pada neuroprotektif yang berfungsi secara primer
ataupun secara sekunder terutama yang memengaruhi cedera kepala sekunder
dan berperan dalam perdebatan hasil akhir pengobatan penderita cedera kepala
(Indharty, 2013)
Walaupun demikian, terapi untuk mencegah cedera sekunder atau
mengurangi tingkat keparahan yang diakibatkan oleh cedera sekunder banyak
memiliki kekurangan saat diaplikasikan secara klinis (Marmarou et al., 2007),
3
sedangkan untuk terapi pada anti inflamasi dijelaskan melalui penelitian Figiel
(2008) bahwa TNF-α dapat melindungi neuron dari reaksi eksitotosik, stress
oksidatif dan cedera iskemik, karena Pada kasus cedera otak traumatik,
keberadaan TNF-α yang dapat menyebabkan perburukan kondisi, telah
dikonfirmasi pada berbagai studi klinis. Salah satunya adalah studi kohort pada
1096 pasien cedera otak traumatic, yang dianalisis untuk mengetahui pengaruh
polimorfisme gen sitokin terhadap hasil nilai Glasgow. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa karier homozigot TNF-α308 single nucleotide
polymorphisms (SNP) memiliki outcome cedera otak traumatic yang lebih buruk
secara signifikan dibandingkan dengan kelompok yang lain. SNP sendiri
merupakan promoter TNF-α dan berhubungan dengan peningkatan kadar TNF-α
(Algattas and Huang, 2014). Hipotesis yang ada, bahwa pada banyak kasus,
TNF- α tidak cukup kuat untuk merusak neuron sebagai factor tunggal, namun
bisa jadi berfungsi sinergis dengan agen sitokin dan agen toksik lainnya, seperti
NO, radikal bebas atau glutamate (Figiel, 2008).
Teh yang telah ditanam di Indonesia sejak tahun 1826, merupakan
minuman yang paling banyak dikonsumsi masyarakat setelah air, baik dinikmati
dingin ataupun panas. Konsumsi teh nasional mencapai 350 gram/kapita/ tahun,
diperkirakan konsumsi teh tak kurang dari 120 ml setiap hari. Teh merupakan
tanaman obat yang mempunyai efek farmakologis antara lain menurunkan berat
badan, menurunkan kolesterol, trigliserida, serta glukosa, dapat mencegah karies
pada gigi, antimutagenik, antioksidan, dan antibakteri (Rahayuningsih, 2014)
Teh dikelompokkan berdasarkan cara pengolahannya yang dilakukan
dengan cara oksidasi, yaitu teh hijau, teh oolong, dan teh hitam. Ketiganya
berasal dari daun teh yang sama, namun karena cara pengolahannya berbeda,
maka memiliki komposisi kimia dan rasa yang berbeda (Hartoyo, 2003; Tourle,
2004). Kandungan teh hijau yang paling utama adalah polifenol catechins yaitu
4
epigallocatechin-3-gallate (EGCG), epigallocatechin (EGC), epicatechin-3-gallate
(ECG), dan epicatechin (EC). EGCG merupakan yang terbanyak yaitu 50-80%
dari jumlah total catechins (Hariman, 2010)
Dari penelitian yang dilakukan Kategaris et al., (2015), diketahui bahwa
EGCG murni dan catechins teh hijau dapat mencegah neurodegenerasi dan
berperan sebagai neuroprotektif, karena adanya struktur seperti katekol yang
berpotensi menjadi antioksidan dan menghilangkan radikal bebas. Pada
penelitian lain, telah dibuktikan bahwa penggunaan catechins pada tikus dengan
terapi antineoplasma, dapat mencegah neuroinflamasi dan neurodegenerasi, dan
memiliki peran neuroprotektif dengan menurunkan mediator proinflamasi
neurotoksik TNF α, NF-kB, dan iNOS (Mohamed et al., 2011).
Pada penelitian ini, Catechins diharapkan mampu menurunkan ekspresi
TNF-α dengan menurunkan ekspresi gen STAT-1 dan melalui hambatan pada
NFKβ. Serta menurunkan apoptosis sel neuron, dengan menghambat
pembentukan radikal bebas melalui hambatan jalur NADPH oksidase,
menetralisir radikal bebas yang telah terbentuk, serta meningkatkan protein
antiapoptosis (Bcl-2) dan menurunkan protein sel proapptosis (Bax, Bcl-XS)
(Berridge et al., 2012). Pemilihan waktu evaluasi 3 dan 7 hari berdasarkan pada
teori, bahwa proses kerusakan otak sekunder, dimulai sejak 24 jam pertama
trauma dan mencapai puncaknya pada hari ke-7, walaupun masih akan terus
berlangsung hingga beberapa minggu dan bulan. Karena kemungkinan setelah
24 jam pertama, masih sulit sehingga, perbaikan hasil penelitian antara hari ke-3
dan ke-7, bisa mengindikasikan adanya perbaikan kondisi akibat pemberian
perlakuan pada subyek penelitian, dalam hal ini adalah catechins.
Berdasarkan latar belakang diatas mendorong peneliti mengajukan
penelitian mengenai pengaruh pemberian catechins terhadap ekspresi TNF-α,
apoptosis pada jaringan otak dan status fungsional tikus model traumatic brain
5
injury (TBI) yang diukur dengan NSS (Neurological Severity Score). NSS
merupakan metode evaluasi kerusakan neurologis trauma kepala tertutup pada
hewan coba tikus dan mencit, yang menilai fungsi motoris dan perilaku.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah pemberian total catechins dapat mempengaruhi ekspresi TNF-α, jumlah
sel apoptosis jaringan otak dan status fungsional tikus jantan model Traumatic Brain
Injury (TBI) pada hari ke-3 dan ke-7 setelah perlakuan ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan pangaruh pemberian
catechins terhadap ekspresi TNF-α dan apoptosis jaringan otak serta status
fungsional tikus jantan model Traumatic Brain Injury (TBI) pada hari ke-3 dan ke-
7 setelah perlakuan
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Membuktikan pengaruh pemberian catechins dalam menurunkan
ekspresi TNF-α jaringan otak tikus jantan model Traumatic Brain Injury
(TBI) pada hari ke-3 dan ke-7 setelah perlakuan
2. Membuktikan pengaruh pemberian catechins dalam menurunkan jumlah
sel apoptosis jaringan otak tikus jantan model Traumatic Brain Injury (TBI)
pada hari ke-3 dan ke-7 setelah perlakuan
3. Membuktikan pengaruh pemberian catechins dalam meningkatkan status
fungsional tikus jantan model Traumatic Brain Injury (TBI) pada hari ke-3
dan ke-7 setelah perlakuan
6
4. Membuktikan adanya hubungan antara ekspresi TNF-α dengan jumlah
sel apoptosis jaringan otak tikus jantan model traumatic brain injury (TBI)
5. Membuktikan adanya hubungan antara ekspresi TNF-α dengan status
fungsional tikus jantan model traumatic brain injury (TBI) pada hari ke-3
dan ke-7 setelah perlakuan
1.4. Manfaat Penelitian
1. Manfaat akademis:
a. Penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
praktek klinis penggunaan catechins sebagai terapi alternatif pada TBI
b. Penelitian ini juga dapat menjadi sumber referensi bagi penelitian
lanjutan mengenai pemanfaatan catechins sebagai terapi TBI
2. Manfaat bagi masyarakat secara umum:
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar penggunaan catechins
sebagai terapi alternatif dan ajuvan pada traumatic brain injury (TBI) di
masyarakat sehingga dapat mengurangi jumlah kematian serta kecacatan akibat
TBI.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Traumatic Brain Injury (TBI)
2.1.1 Definisi
Cedera otak traumatik atau Traumatic Brain Injury (TBI) didefinisikan
sebagai benturan, penetrasi atau pergerakan cepat otak di dalam tulang
tengkorak akibat gaya dari luar yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran
dan gangguan fungsi otak pada penderitanya (Prins et al., 2013). TBI sering
didefinisikan sebagai perubahan fungsi otak. yang bermanifestasi sebagai
kebingungan, perubahan tingkat kesadaran yang berubah, kejang, koma, dan
defisit sensoris fokal atau motoris neurologis akibat tekanan benda tumpul atau
penetrasi benda tajam masuk ke dalam kepala (Weissenberg dan Siren., 2010).
2.1.2 Epidemiologi
Traumatic Brain Injury (TBI) menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas
utama pada individu yang berusia dibawah 45 tahun di seluruh dunia (Werner
and Engelhard, 2007). Di Amerika Serikat sekitar 1,5 juta pasien menderita
cedera otak setiap tahun, dan angka kematian pada cedera otak berat berada
pada kisaran 35-40% (Beauchamp et al., 2008 ). Data epidemiologis tentang
cedera kepala di Indonesia hingga saat ini belum banyak tersedia, namun dari
data yang ada dikatakan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Angka
kejadian cedera kepala di RSUD Dr. Moewardi dari bulan Januari-Oktober 2012
sebanyak 453 kasus, dan selama bulan Juli 2012 di RSUD Dr.Moewardi
Surakarta terdapat 43 kasus cedera kepala ringan sampai berat. Pasien dengan
cedera kepala ringan (CKR) sebanyak 21 orang (48,8%) , cedera kepala sedang
(CKS) 8 orang (18,6%) dan cedera kepala berat (CKB) 14 orang (32,5%). Cedera
8
ini mayoritas disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Menurut data Direktorat
Keselamatan Transportasi Darat Departemen Perhubungan (2005), jumlah
korban kecelakaan lalu lintas pada tahun 2003 terdapat 24.692 orang dengan
jumlah kematian 9.865 orang (39,9%), tahun 2004 terdapat 32.271 orang dengan
jumlah kematian 11.204 orang (34,7%), dan pada tahun 2005 menjadi 33.827
kasus dengan jumlah kematian 11.610 orang (34,4%) (Hariyani, 2012).
Angka kematian pada laki-laki tercatat tiga kali lebih tinggi (28,8 tiap
100.000 penduduk) dibandingkan angka kematian pada perempuan (9,1 tiap
100.000 penduduk). Tingginya insiden pada laki-laki disebabkan karena laki-laki
dominan melakukan aktivitas beresiko tinggi, resiko kerja, dan cedera yang
berhubungan dengan kekerasan, jika dibandingkan dengan perempuan.
Perkiraan insiden cedera otak meningkat dua kali lipat pada umur 5 hingga 14
tahun. Puncak insiden pada laki-laki dan perempuan dewasa dan dewasa muda
mencapai 250 kasus tiap 100.000 populasi, 20% diantaranya mengalami cedera
otak sedang hingga berat (CDC, 2011).
.
2.1.3 Patofisiologi TBI
Cedera Otak Traumatik dapat terjadi pada 3 jenis keadaan :
1. Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak.
Kekuatan benda yang bergerak akan menyebabkan deformitas akibat
percepatan, perlambatan dan rotasi yang terjadi secara cepat dan tiba-tiba
terhadap kepala dan jaringan otak. Trauma tersebut bisa menimbulkan
kompresi dan regangan yang bisa menimbulkan robekan jaringan otak dan
pergeseran sebagian jaringan otak terhadap jaringan otak yang lain.
9
2. Kepala yang bergerak membentur benda yang diam.
Kepala yang sedang bergerak kemudian membentur suatu benda
yang keras, maka akan terjadi perlambatan yang tiba-tiba, sehingga
mengakibatkan kerusakan otak di tempat benturan dan pada sisi yang
berlawanan. Pada tempat benturan terdapat tekanan yang paling tinggi,
sedang pada tempat yang berlawanan terdapat tekanan negatif paling
rendah sehingga terjadi rongga dan akibatnya dapat terjadi robekan.
3. Kepala yang tidak dapat bergerak karena menyender pada benda lain
dibentur oleh benda yang bergerak (kepala tergencet). Pada kepala yang
tergencet pada awalnya dapat terjadi retak atau hancurnya tulang
tengkorak. Bila gencetannya hebat tentu saja dapat mengakibatkan
hancurnya otak.
Cedera otak yang terjadi akibat kontak secara langsung pada kepala
yang mengakibatkan kontusio, laserasi dan pendarahan intrakranial, disebut
sebagai cedera otak fokal. Dan cedera yang terjadi akibat akselerasi dan
deselerasi yang menyebabkan komusio serebri, edema otak atau cedera aksonal
difus, disebut cedera otak difus (Werner dan Engelhard, 2007).
Cedera pada otak mempunyai 2 proses yang substansial, yaitu cedera
otak primer yaitu kerusakan jaringan otak langsung akibat trauma dan cedera
otak sekunder yaitu akibat perluasan kerusakan pada jaringan otak melalui
proses patologis yang berkelanjutan. Cedera otak sekunder dideskripsikan
sebagai konsekuensi gangguan fisiologis, seperti iskemia, reperfusi, dan hipoksia
pada area otak yang beresiko, beberapa saat setelah terjadinya cedera awal
(cedera otak primer). Cedera otak sekunder sensitif terhadap terapi dan proses
terjadinya dapat dicegah (Mauritz et al, 2008).
10
2.1.3.1 Cedera Otak Primer
Cedera otak primer merupakan cedera langsung dari kekuatan mekanik
yang merusak jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek, memar, dan
perdarahan). Cedera ini berasal dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan seperti
akselerasi rotasi, kompresi, dan distensi akibat dari akselerasi atau deselerasi.
Tekanan itu mengenai tulang tengkorak, yang dapat memberi efek pada neuron,
glia, dan pembuluh darah, dan dapat mengakibatkan kerusakan lokal, multifokal
ataupun difus (Werner dan Engelhard, 2007; Mauritz et al, 2008).
Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan / atau pembuluh darah.
Cedera parenkim berupa kontusio, laserasi atau Diffuse Axonal Injury (DAI),
sedangkan cedera pembuluh darah berupa perdarahan epidural, subdural,
subarachnoid dan intraserebral (Graham, 2000), yang dapat dilihat Pada CT-
scan. Cedera difus meliputi kontusio serebri, perdarahan subarachnoid traumatik
dan DAI. Sebagai tambahan sering terdapat perfusi iskemik baik fokal maupun
global (Valadka, 1996).
Dikatakan bersifat fokal bila melibatkan bagian bagian tertentu dari otak.
Kerusakan fokal yang timbul dapat berupa :
1. Kontusio Serebri (Memar Otak)
Kontusio serebri merupakan cedera fokal kepala yang paling sering
terjadi. Dilaporkan bahwa 89% mayat yang diperiksa postmortem mengalami
kontusio serebri (Cooper, 1982). Depreitere et al (2007) melaporkan bahwa
kasus kontusio serebri paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, jatuh
dari ketinggian dan cedera olahraga (Depreitere et al., 2007). Kontusio serebri
adalah memar pada jaringan otak yang disebabkan oleh trauma tumpul maupun
cedera akibat akselerasi dan deselerasi yang dapat menyebabkan kerusakan
parenkim otak dan perdarahan mikro di sekitar kapiler pembuluh darah otak.
11
Pada kontusio serebri terjadi perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya
robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami
kerusakan atau terputus. Pada beberapa kasus kontusio serebri dapat
berkembang menjadi perdarahan serebral. Namun pada cedera berat, kontusio
serebri sering disertai dengan perdarahan subdural, perdarahan epidural,
perdarahan serebral ataupun perdarahan subaraknoid (Hardman, 2002).
Freytag dan Lindenberg (1957) mengemukakan, bahwa pada daerah
kontusio serebri terdapat dua komponen, yaitu daerah inti yang mengalami
nekrosis dan daerah perifer yang mengalami pembengkakan seluler yang
diakibatkan oleh edema sitotoksik. Pembengkakan seluler ini sering dikenal
sebagai pericontusional zone yang dapat menyebabkan keadaan lebih iskemik
sehingga terjadi kematian sel yang lebih luas. Hal ini disebabkan oleh kerusakan
autoregulasi pembuluh darah di pericontusional zone sehingga perfusi jaringan
akan berkurang akibat dari penurunan mean arterial pressure (MAP) atau
peningkatan tekanan intrakranial. Proses pembengkakan ini berlangsung antara
2 hingga 7 hari. Penderita yang mengalami kontusio ini memiliki risiko terjadi
kecacatan dan kejang di kemudian hari (Davis G, 2009 ).
Gambar 2.1. Mekanisme Terjadinya Cedera Otak Primer (Mesiano, 2010)
12
Kerusakan otak yang bersifat difus merupakan kondisi patologis penderita
tidak sadar tanpa gambaran space occupying lesion (SOL) pada CT-Scan atau
Magnetic Resonance Imaging (MRI). Berdasarkan gambaran patologi, kerusakan
difus mencakup (Japardi, 2004) :
2. Diffuse Axonal Injury
Pada Diffuse axonal injury cedera yang terjadi lebih dominan pada area
otak tertentu yang mengalami percepatan yang tinggi dan cedera deselerasi
dengan durasi yang panjang. DAI merupakan ciri yang konsisten pada cedera
kepala akibat kecelakaan lalu lintas dan beberapa olahraga tertentu. Gambaran
patologi secara histologi dari DAI pada manusia adalah terdapat kerusakan yang
luas pada akson dari batang otak, parasagittal white matter dari korteks serebri,
korpus kallosum dan gray-white matter junction dari korteks serebri (Johnson et
al., 2013).
Pada DAI ringan dan sedang umumnya tidak terdapat kelainan pada
pemeriksaan radiologi baik CT-scan dan MRI. Namun pada pemeriksaan
mikroskopis akan dijumpai akson-akson yang membengkak dan putus.
Mekanisme utama terjadinya DAI adalah akibat dari pergerakkan rotasional dari
otak saat akselerasi dan deselerasi. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan densitas
dari jaringan otak yaitu jaringan white matter lebih berat dibandingkan grey
matter. Pada saat otak mengalami rotasi akibat kejadian akselerasi-deselerasi,
jaringan dengan densitas lebih rendah bergerak lebih cepat dibandingkan
dengan jaringan dengan densitas lebih besar. Perbedaan kecepatan inilah yang
menyebabkan robekan pada akson neuron yang menghubungkan grey matter
dan white matter (Kasan, 2006).
Terdapat dua fase dari cedera aksonal pada DAI yaitu fase pada cedera
primer dan cedera sekunder atau fase lambat. Pada cedera primer robekkan
akson terjadi akibat regangan saat kejadiaan. Sedangkan pada fase lambat
13
terjadi perubahan biokimia yang mengakibatkan pembengkakan dan putusnya
akson-akson. Perubahan biokimia yang terjadi yaitu peningkatan influks natrium
yang juga memicu influks kalsium. Peningkatan kadar kalsium ini akan
menyebabkan aktifnya calsium-mediated proteolysis. Kerusakan akson
menyebabkan kerusakan dari pengangkutan sehingga terjadi penumpukan di
dalam akson yang membengkak. Kerusakan akson yang luas akan
menyebabkan atrofi otak dengan ventrikulomegali yang dapat menyebabkan
kejang, spastisitas, penurunan fungsi intelektual dan yang paling berat adalah
vegetative state (Park et al., 2008).
2.1.3.2 Cedera Otak Sekunder
Cedera otak sekunder meliputi kerusakan endogen dalam otak dan efek
tambahan sekunder otak, dimana merupakan lanjutan dari cedera otak primer
yang dapat terjadi karena adanya reaksi inflamasi, biokimia, pengaruh
neurotransmitter, gangguan autoregulasi, neuro-apoptosis dan inokulasi bakteri.
Beberapa mekanisme cedera sekunder yang penting meliputi jalur kematian sel
neuronal, aktivasi mikroglia, eksitotoksisitas, kadar Ca++ intrasellular meningkat,
terjadi generasi radikal bebas dan peroxidasi lipid (Hoh, 2008).
Faktor intrakranial (lokal) yang memengaruhi cedera otak sekunder
adalah adanya hematoma intrakranial, iskemia otak akibat penurunan tekanan
perfusi otak, herniasi, penurunan tekanan arterial otak, Tekanan Tinggi
Intrakranial (TTIK), demam, vasospasm, infeksi, dan kejang (Cohadon, 1995).
Sebaliknya faktor ekstrakranial (sistemik) yang dikenal dengan istilah nine
deadly H’s adalah hipoksemia (hipoksia, anemia), hipotensi (hipovolemia,
gangguan jantung, pneumotorak), hiperkapnia (depresi nafas), hipokapnea
(hiperventilasi), hipertermi (hipermetabolisme/respon stres), hiperglikemia,
hipoglikemia, hiponatremia, hipoproteinemia,dan hemostasis (Cohadon, 1995).
14
Beratnya cedera primer karena lokasinya memberi efek terhadap beratnya
mekanisme cedera sekunder (Li, 2004).
Kaskade cedera sekunder diketahui mencapai puncaknya pada hari
ketiga (3) dan tujuh (7) setelah trauma dan dapat bertahan hingga tahunan
(Dardiotis et al., 2012). Beberapa penyebab hal ini adalah akumulasi leukosit pda
daerah otak yang cedera. Leukosit pindah dari pembuluh darah ke parenkim otak
yang cedera melalui ikatan endotel selektin P dan E dan intercellular adhesion
molecules (ICAMs). Kemokin dari jaringan otak yang cedera berpengaruh pada
ekspresi molekul endotel. Interaksi integrin dengan ICAM-1 dan ICAM-2 dalam
endotel menyebabkan perubahan konformasi dan ekstravasasi leukosit.
Akhirnya, leukosit pindah dari gradasi konsentrat kemokin ke area otak yng
cedera. Puncak akumulasi neutrophil terjadi padda hari ketiga setelah trauma
(Rhodes, 2011). Waktu induksi dan durasi aktivasi mikroglia setelah trauma
diketahui memiliki perbedaan dengan kelainan otak lainnya, seperti iskemik otak.
Studi-studi pada manusia dengan cedera otak traumatic menunjukkan bahwa
marker aktivasi dan proliferasi mikroglia muncul pada hari ketiga (3) setelah
trauma.
15
Gambar 2.2. Mekanisme biokimia, seluler dan molekuler pada cedera otak
sekunder, pada cedera otak traumatika (Robert et al., 2015). Tiga kategori mayor
pada mekanisme cedera otak sekunder, meliputi (1) iskemia, eksitotoksisitas, kegagalan
energi, dan kaskade kematian sel; (2) cerebral swelling; dan (3) axonal injury. Kategori
keempat adalah inflamasi dan regenerasi, yang mempengaruhi semuanya.
2.1.3.3 Patofisiologi Spesifik Pada TBI
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ada tiga kategori mayor pada
mekanisme terjadinya cedera otak sekunder, yaitu (1) iskemia, eksitotoksisitas,
kegagalan energi, dan kaskade kematian sel; (2) edema otak dan (3) axonal
injury. Cedera aksonal telah dibahas pada bagian cedera otak primer.
a. Iskemia Post Trauma
Studi klinis pada orang dewasa telah menunjukkan bahwa segera setelah
TBI, Cerebral blood flow (CBF) akan berkurang. Hipoperfusi awal atau iskemia
setelah TBI berat muncul dan berhubungan dengan hasil yang buruk (misalnya,
hipotensi, hipoksemia) karena otak hipoperfusi memiliki efek yang buruk. Banyak
mekanisme mendasari pasca trauma awal hipoperfusi. Armstead melaporkan
penurunan respon vasodilatasi menjadi nitrat oksidasi (NO), cGMP, cAMP, dan
16
prostanoids setelah TBI, bersama dengan rilis anion superoksida, lebih besar rilis
cedera yang disebabkan dari vasokonstriktor poten peptida endotelin-1.
Penelitian lainnya menyebutkan kerugian hipoperfusi baik meningkatnya
produksi NO atau kurangnya respons untuk NO sebagai mediasi hipoperfusi.
Hilangnya vasodilator dan elaborasi vasokonstriktor, atau mekanisme lain,
terlibat pada awal hipoperfusi pasca-trauma (Gambar 3). Peningkatan kebutuhan
metabolik, yang berkaitan dengan rilis glutamat, dapat terlihat dari peningkatan
asam laktat jaringan otak dan CSF awal setelah terjadi TBI (Zasler et al.,2007).
Gambar 2.3. Proses terjadinya iskemia post TBI (Zasler et al.,2007). Setelah terjadi
TBI, akan muncul berbagai mekanisme, salah satunya terjadi hipoferfusi kerusakan vaskuler
secara langsung, hilangnya eNOs dan produksi Endothelin-1).
b. Kaskade kematian sel neuron
Kematian sel neuron setelah cedera traumatik disebabkan karena
gangguan homeostasis ion sebagai konsekuensi dari pelepasan besar ion K+ dari
neuron dan sebagai akibat dari kenaikan [K+]ekstrasel, neuron mengalami
depolarisasi, melepaskan sejumlah glutamat, yang mengaktifkan reseptor
glutamat ionofor-linked sehingga mengakibatkan peningkatan [Ca2+]intrasel,
[Na+]intrasel, dan [K+]ekstrasel, dengan demikian masuknya ion Na+ telah
menyebabkan awal dari pengasaman dan pembengkakan pada berbagai organel
seluler. Normalnya, aliran ion-ion keluar dan masuk sel diatur oleh suatu pompa
ion yang menggunakan energi ATP. Pada trauma otak terjadi gangguan aliran
17
darah sehingga pasokan oksigen berkurang yang pada akhirnya menimbulkan
gangguan metabolisme serebral. Kondisi yang demikian ini memicu sel
melakukan metabolisme secara anaerob, dimana metabolisme anerob ini hanya
mampu memproduksi energi yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan
metabolisme aerob. Karena metabolisme anaerob tidak cukup untuk memelihara
ketersediaan energi seluler, akibatnya cadangan ATP habis serta terjadi
kegagalan pompa ion pada membran sel yang tergantung ATP. Hilangnya
homeostasis ionik inilah yang menjadi awal terjadinya eksitotoksisitas
(Weissenberger dan Siren, 2010).
c. Eksitotoksisitas
Faktor signifikan yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder adalah
eksitotoksisitas yang keluar secara berlebihan. Eksitotoksisitas menggambarkan
proses dari glutamat dan excitatory amino acids (EAAs) yang menyebabkan
kerusakan neuron. Glutamat yang berlebihan dapat berasal dari sel-sel yang
rusak, bocor atau karena gangguan reuptake dari gutamat. Paparan glutamat
yang dihasilkan karena cedera neuron terdiri dari 2 fase. Beberapa saat setelah
paparan Na+, menyebabkan pembengkakan saraf, dimana hal ini diikuti dengan
degenerasi Ca2+. Efek tersebut dimediasi oleh reseptor ionotropik yang bekerja
cepat yaitu N-methyl-D-aspartate [NMDA], kainate dan α-amino-3-hydroxy-5-
methyl- 4-isoxazolepropionic acid (AMPA) dan reseptor metabotropik yang
bekerja lama (Dardiotis et al, 2012).
Aktifasi dari reseptor tersebut diawali oleh influks kalsium melalui kanal
receptor gated atau voltage–gated atau rilis dari kalsium intraseluler.
Peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler merupakan pemicu dari sejumlah
proses yang mengawali terjadinya kerusakan dan kematian sel (gambar 4).
Salah satu mekanisme yang mengikuti yaitu aktivasi sintesa NO, yang
mengawali produksi NO, formasi peroksinitrit dan kerusakaan DNA. Poly (ADP-
18
ribose) polymerase (PARP) merupakan enzim pada perbaikan DNA dan pada
kerusakaan DNA, aktivasi PARP mengawali deplesi ATP, kegagalan metabolik
dan kematian sel (Zasler et al, 2007).
Potasium juga keluar dari sel dan diabsorbsi oleh astrosit. Timbul
gangguan keseimbangan ion yang berakibat depolarisasi membran sel dan influx
cairan yang menyebabkan sel bengkak dan cytotoxic edema yang akhirnya
dapat menyebabkan kematian sel neuron. Glutamat juga toksik terhadap sel-sel
glial, termasuk astrosit dan oligodendroglia. Astrosit mempunyai kapasitas buffer
dan terlibat dalam clearance glutamat dari ruang ekstrasellular. Berkurangnya
energi selama iskemia dapat menyebabkan sistem regulasi glutamat rusak
(Medikians dan Giza, 2006).
Gambar 2.4. Mekanisme terjadinya proses eksitotoksisitas (Zasler et al.,2007).
Glutamat menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler melalui stimulasi (i)
reseptor NMDA dengan pembukaan reseptor terkait kalsium ionofor, (ii) reseptor AMPA
dengan pembukaan kanal kalsium, dan (iii) reseptor metabotropik , dengan merilis
kalsium intraseluler melalui 2nd mesengger inositol trifosfat dan diasilgliserol. Peningkatan
konsentrasi kalsium intraseluler menyebabkan aktivasi protease, lipase dan
endonuklease, bersama dengan NOS rangsangan dan produksi radikal oksigen saraf.
Hal ini menyebabkan pembentukan peroksinitrit, kerusakan mitokondria dan kerusakan
DNA yang berlanjut dengan kematian sel).
19
d. Radikal Bebas
Peningkatan kadar Ca++ sebagai pencetus aktivasi enzim terlibat dalam
produksi radikal bebas. Pada keadaan normal, oxidative mitochondrial
metabolism memproduksi sejumlah kecil radikal bebas. Pada trauma, radikal
bebas yang timbul berlebihan diproduksi oleh enzim nitric oxide synthase yang
timbul akibat trauma (iNOS) ini dibedakan dengan eNOS (endothelial NOS yang
sifatnya protektif) dan nNOS (neuronal NOS yang sifatnya konstitutif).
Phospholipase, dan xanthine oxidase yang aktif bersamaan dengan aktivasi jalur
Ca++ berpengaruh terhadap kerusakan rantai transpor elektron mitokondria.
Timbulnya asidosis menyebabkan lepasnya ferrum dari transferrin dan ferritin.
Radikal bebas menambah permeabilitas sel-sel membran melalui peroksidasi
lipid yang merusak komponen phospholipid membran. Superoksid anion dan
hidroksil anion membentuk peroksinitrit (yang lebih reaktif) dengan NO yang
dibentuk iNOS. Penggabungan dengan ion Fe tadi akan membuat proses
peroksidasi lipid pada membran meluas secara geometris (Hoh, 2008).
Kerusakan DNA akibat radikal bebas akan mengaktivasi Poly ADP Ribose
Polymerase (PARP) suatu enzim untuk perbaikan (repair) kerusakan DNA.
Aktivasi PARP akan memicu enzim perbaikkan DNA. Aktivitas berlebihan dari
PARP akan mengurangi cadangan energi sel yaitu cadangan NAD+ dan ATP.
Kerusakan besar pada DNA akan menguras energi atau ATP sehingga sel yang
dalam proses apoptosis kehabisan energi dan mati melalui proses nekrosis yang
dalam hal ini disebut nekrosis sekunder. Caspase 3 yang menginaktivasi PARP
berperan dalam proses apoptosis (Zhang et al, 2005).
e. Edema Otak
Yaitu terjadi peningkatan kandungan air dalam jaringan otak atau
peningkatan volume darah (intravaskuler) atau kombinasi keduanya.
20
Edema serebri merupakan respon umum untuk berbagai bentuk cedera
otak, dan sesuai penyebabnya dapat dikategorikan sebagai sitotoksik,
vasogenik, interstisial, atau gabungan. Kelainan dapat dicirikan dalam hal lokasi,
pola keterlibatan gray and white matter dan terkait efek massa yang dibuktikan
dengan pergeseran garis tengah, sulcus, ventrikel, penipisan sisternal dan
herniasi otak. Gejala edema serebri tidak spesifik dan berkaitan dengan efek
sekunder massa, keterlibatan vaskular, dan herniasi. Edema serebri dapat
dicegah dengan berbagai cara yaitu hiperventilasi, osmoterapi (manitol dan salin
hipertonik), diuretik loop, hipotermia, sedasi (propofol, barbiturat), dan pelumpuh
neuromuskuler (suksinilkolin). Kortikosteroid dapat digunakan untuk mengontrol
edema vasogenik dengan cara memperbaiki sawar darah otak. Kraniektomi
dekompresi dapat dilakukan pada kasus edema serebri yang berat (Nag et al.,
2009).
f. Peranan proses Inflamasi pada TBI
Mekanisme cedera sekunder terdiri dari beragam proses antara lain
terpicunya proses inflamasi dan munculnya sitokin pro-inflamasi seperti IL-1β, IL-
6, IL-8, ekspresi intercellular adhesion molecules (ICAM), dan vascular adhesion
molecules (VCAM) yang berinteraksi dengan PMN dan dapat menyebabkan
tersumbatnya kapiler (capillary plugging) dan memperberat komponen iskemik
TBI. Aktivasi lipooksigenase dan cyclo-oxygenase oleh Ca2+ menghasilkan
radikal oksigen bebas (ROS) seperti anion superokside dan hidroksil anion dan
senyawa vasoaktif seperti prostaglandin dan thromboxan yang memperburuk
mikrosirkulasi. Karena TBI juga menyebabkan meningkatnya iNOS diikuti
peningkatan ekspresi NO, maka terbentuk juga peroksinitrit yang memperberat
kerusakan peroksidatif pada membran sel, DNA dan makromolekul lain
(Machfoed, 2011).
21
Terdapat aspek inflamasi baik akut dan subakut maupun kronis yang
merugikan dan menguntungkan. Terdapat inflamasi akut yang kuat setelah TBI.
Ini telah ditunjukkan dalam model TBI, dan pada pasien dewasa. NF-kB, TNF-α,
IL-1β, eicosanoid, neutrofil, dan makrofag berhubungan terhadap kerusakan
sekunder dan juga perbaikan. Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Clark et
al, Konsisten dengan peran IL-1 dalam evolusi kerusakan jaringan pada TBI,
melakukan analisis pada sampel otak orang dewasa yang direseksi dengan
hipertensi intrakranial refrakter akibat memar yang parah. Interleukin-1-
converting enzyme (ICE) telah diaktifkan, dimana aktivasi ICE sangat penting
untuk produksi IL-1β, hal ini mendukung produksi IL-1β, mediator pro-inflamasi
yang penting dalam trauma cedera otak pada manusia (Zasler et al, 2007).
Pada penelitian studi LCS lebih mendukung peran inflamasi pada TBI.
Peningkatan IL-1β dalam LCS terlihat setelah TBI berat pada orang dewasa.
Demikian pula, peningkatan jumlah sitokin termasuk IL-6 dan IL-8 dalam LCS
setelah TBI parah. Memar dan nekrosis jaringan lokal juga penting untuk memicu
masuknya neutrofil dengan resultan kerusakan jaringan sekunder. Masuknya
neutrofil disertai peningkatan kadar inducible Nitric oxyde synthase (iNOS) di
otak dan diikuti dengan infiltrasi makrofag, dengan puncak antara 24-72 jam
setelah cedera. Infiltrasi makrofag dan diferensiasi mikroglia endogen menjadi
makrofag residen, mungkin menandakan hubungan antara inflamasi dan
regenerasi, dengan elaborasi dari jumlah faktor trofik (yaitu, Neuronal Growth
factor (NGF), nitrosothiols, Vascular endothel growth factor (VEGF) (Werner dan
Engelhard, 2007).
Dalam penelitian oleh Kossmann dkk dilaporkan adanya hubungan antara
produksi IL-6 dan produksi neurotrophin, seperti NGF. Astrosit yang dikultur dari
yang diobati baik dengan IL-6, IL-8 atau LCS dari otak dewasa yang cedera,
memproduksi NGF. Produksi sitokin setelah TBI mungkin penting untuk
22
plastisitas dan perbaikan saraf. Studi pada model TBI menyatakan bahwa aspek
yang menguntungkan dari inflamasi tampak pada keluaran jangka panjang. Tikus
dengan defisiensi TNF-α menunjukkan peningkatan keluaran fungsional setelah
TBI. Namun, jangka panjang konsekuensi dari kekurangan TNF-α memberikan
keluaran yang merugikan. Demikian pula, meskipun peran merugikan bagi iNOS
dalam 72 jam awal post trauma, defisiensi iNOS pada tikus menunjukkan
gangguan keluaran jangka panjang dibanding kontrol. iNOS penting dalam
penyembuhan luka dan iNOS-derived nitrosylation of protein mungkin berperan.
Tetapi peranan respon inflamasi terhadap TBI masih harus diperjelas. (Namas et
al., 2010).
Sitokin adalah hormon protein dari kelas yang luas yang memediasi
respon inflamasi dan imunitas dengan cara yang kompleks. Tidak seperti syok
septik, dimana kaskade sitokin telah ditentukan dengan baik, peran sitokin dalam
trauma dan syok hemoragik tidak dijelaskan dengan baik. Kadar sitokin dalam
sirkulasi telah terdeteksi pada model hewan dan pada pasien dengan sepsis
berat, dan kadar ini memiliki beberapa korelasi dengan keluaran. Produksi radikal
bebas nitrat oksida (NO), yang diproduksi dalam kondisi inflamasi oleh enzim
inducible NO synthase (iNOS), ditunjukkan menjadi mediator sentral inflamasi
pada tikus post- Traumatic-Haemoragic shock (T/HS) (Dardiotis et al, 2012).
Gambar 2.5 Aktifasi respon imun pada TBI (Namas et al., 2010). Respon inflamasi
terhadap cidera jaringan. Signal cidera traumatik berbagai tipe sel memproduksi sitokin,
kemokin, dan DAMPs. Reaktifasi DAMPs dan selanjutnya mendorong produksi mediator
inflamasi, mendasari putaran feedback positif inflamasi kerusakan inflamasi
23
NO merupakan bagian dari radikal bebas. NO adalah molekul yang terdiri
dari atom N dan O dengan muatan elektron yang berlebih. Kelebihan elektron
tersebut menyebabkan nitric oxide mudah bereaksi dengan molekul yang lain
(Platt, 2007). Sel dapat menghasilkan nitric oxide dari fosforilasi enzim argenin,
yang dinamakan nitric oxide synthase ( NOS ). Terdapat tiga bentuk NOS yaitu
inducible NOS ( iNOS ) yang dihasilkan oleh makrofag, endothelial NOS
(eNOS ) yang dihasilkan endotel pembuluh darah dan neuronal NOS ( eNOS )
yang dihasilkan oleh sel-sel neuron. Pada pasien trauma, hasil reaksi sirkulasi
NO menggambarkan keparahan cedera selama dua jam pertama setelah
dampak trauma dan menunjukkan bahwa produksi NO meningkat memainkan
peran dalam periode sangat awal pasca cedera (Namas et al, 2010). Dalam
keadaan iskemia, iNOS merupakan penghasil NO yang terbanyak serta
merangsang keluarnya beberapa beberapa sitokin yang bertanggung jawab
terhadap proses inflamasi seperti TNFα, IL-1, IL-3 dan IL-6 yang dapat
mengakibatkan apopotosis (Huang, 2004).
Bila nitrit okside bereaksi dengan anion superoksida (O2-) akan terbentuk
peroksinitrit (ONOO-). Pada kondisi pH normal peroksinitrit akan membentuk
asam peroksinitrat, tetapi pada kondisi hipoksia atau asidosis peroksinitrit akan
mengalami dismutasi menjadi dua bentuk oksidan yang poten yaitu radikal
hidroksil (OH-) dan radikal nitrogen hidroksida (NO2-). Hidrogen peroksida
(HOOH) dapat bereaksi dengan peroksinitrit menjadi anion nitrogen dioksida
(ONO-), oksigen (O2-) dan H2O. Peroksinitrit merupakan oksidan yang sangat
kuat dengan waktu paruh yang panjang, lebih toksik dari NO ataupun
superoksida. Semakin besar pembentukan peroksinitrit semakin besar kerusakan
sel yang terjadi (Faul et al, 2010).
Kemokin mewakili kelas cytokine-like immune modulator yang mendapat
perhatian sebagai target terapi yang potensial untuk berbagai penyakit inflamasi
24
(Namas et al, 2010). Kemokin diproduksi oleh berbagai sel imun seperti
makrofag, limfosit, neutrofil dan sel dendritik yang memediasi berbagai fungsi sel.
Interaksi yang kompleks antara sitokin dan kemokin mungkin mendasari peran
penting dari modulator inflamasi dalam proses inflamasi Traumatic/haemoragic
shock (T/HS) dan TBI dan dalam pengaturan penyakit lain seperti tumor, infeksi,
dan penyakit autoimun (Katsanos et al, 2008).
Diantara kemokin, makrofag, inflammatory protein-1 alpha (MIP-1α)
muncul untuk mengatur baik respon inflamasi akut dan kronis host pada tempat
cedera atau infeksi, terutama dengan merekrut sel-sel inflamasi. Selain itu, MIP-
1α menengahi aktivitas pro-inflamasi luas, termasuk merangsang sekresi TNF-α,
IL-1, dan IL-6 oleh makrofag peritoneal. Studi pada tikus telah menunjukkan
bahwa manipulasi MIP-1α jangka pendek T/HS mungkin menguntungkan untuk
mengurangi respon inflamasi dan memperbaiki disfungsi organ vital. Seperti
dalam kebanyakan kasus terapi immunomodulasi, inhibisi MIP-1α adalah pedang
bermata dua, dalam peningkatan risiko infeksi akhir. Monosit chemoattractant
protein (MCP-1), macrophage inflammation Protein-1 beta (MIP-1β), regulated on
activation normal T cell Expressed and secreted (RANTES), Eotaksin, interferon-
inducible Protein 10 (IP-10), Monokine induced by Interferon gamma (MIG), dan
IL-8 adalah kemokin yang mungkin menawarkan sasaran terapi atau diagnostik
baru untuk T / HS (Namas et al, 2010).
25
Gambar 2.6 Respon inflamasi dan imunitas pada TBI (Namas et al., 2010). Spektrum
sitokin, kemokin, dan DAMPs pada traumatic/haemorhagic shock (T/HS) dan TBI.
Respon inflamasi terhadap T/HS atau TBI dinilai dari pengukuran sitokin, kemokin,
DAMPs dan marker terakhir kerusakan organ akhir. Beberapa biomarker ini dapat juga
menjadi kandidat intervensi terapi.
Pathogen-associated molecular pattern (PAMPs), damage-associated
molecular patterns (DAMPs, juga dikenal sebagai alarmins), dan reseptor mereka
(misalnya Toll-like receptor [TLR]-2 dan -4; receptor for Advanced Glycation End
Products [RAGE]) merupakan sistem paralel dan mungkin integratif yang berjalan
selama infeksi serta cedera jaringan, termasuk T/HS dan mungkin juga TBI.
PAMPs mencakup beragam rangkaian molekul mikroba yang berbagi berbagai
fitur biokimia yang dikenali yang waspada terhadap patogen yang mengganggu.
Beberapa PAMPs eksogen seperti yang dikenali oleh sel-sel dari sistem imun
bawaan dan didapat, terutama melalui TLRs, yang mengaktifkan jalur sinyal
beberapa di antaranya NF-kB adalah yang paling khas (Katsanos et al, 2008).
Dalam model analog, DAMPs diproduksi oleh jaringan yang terluka dan
merangsang atau menyebarkan peradangan melalui produksi sitokin; dengan
cara ini, DAMPs memainkan peran penting dalam kaskade pro-inflamasi imunitas
bawaan. Molekul mediator inflamasi pada kelas ini meliputi HMGB1, S100A dan
26
B, asam urat, IL-1β, protein heat shock, dan molekul tambahan lain. HMGB1
diproduksi dalam kondisi beragam seperti infeksi, iskemia trauma, T/HS, dan TBI,
yang dapat berkontribusi pada patogenesis sepsis berat, sitokin proinflamasi
klasik seperti TNF-α dan IL-1β (Perry et al, 2008).
Pada model hewan, IL-1β dan TNF-α telah terlibat sebagai sitokin pro-
inflamasi utama sedangkan yang berpotensi sebagai anti-inflamasi yang
menguntungkan dianggap berasal dari IL-10. Interleukin-1β telah ditandai secara
ekstensif pada hewan model TBI sebagai promotor neuroinflamasi. Kerusakan
saraf yang dihasilkan dari rilis IL-1β tampaknya tidak langsung, akibat aksi
sinergis dengan sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α. Seperti IL-1β, TNF-α telah
dianggap sebagai sitokin pro-inflamasi murni dalam sejarah singkat penelitian
TBI (Werner dan Engelhard, 2007).
. Pada cedera difus, kadar serum TNF-α meningkat dalam 24 jam dengan
tidak adanya ekspresi dalam jaringan otak, menunjukkan bahwa cedera difus
menginduksi respon imun yang berbeda. Mirip dengan TNF-α, IL-6 memiliki
peran dalam neuroinflamasi yang dideteksi dalam 1 jam post cedera pada
hewan, diikuti oleh konsentrasi puncak antara 2 dan 8 jam. Di sisi anti-inflamasi,
penelitian eksperimental telah menunjukkan efek menguntungkan IL-10, dengan
pemberian eksogen dari sitokin ini membantu pemulihan neurologis dan
mengurangi ekspresi sitokin pro-inflamasi (Figiel, 2008).
Pada konsentrasi rendah, sitokin penting untuk respon host terhadap
trauma sedangkan pada konsentrasi yang lebih tinggi mereka merusak. Tanda
terbaik dan tampak paling awal dan paling mendasar dalam kaskade pro
inflamasi yang diinduksi trauma adalah TNF-α. TNF-α memicu produksi sitokin
lainnya, yang memperkuat dan menyebarkan respon inflamasi di mana
peningkatan TNF-α plasma telah ditemukan pada pasien syok hemoragik. TNF-α
juga berpartisipasi dalam generasi radikal bebas seperti NO. Studi klinis telah
27
menunjukkan bahwa kadar beberapa mediator inflamasi, seperti IL-6, IL-8 dan IL-
10, berhubungan erat dengan keparahan cedera dan tingkat komplikasi.
Berbagai faktor intrinsik seperti usia, jenis kelamin, ras, suhu tubuh, resusitasi,
dan periode hipotensi memainkan peran dalam bagaimana tubuh merespon
cedera traumatik akut (Zasler et al.,2007).
2.2 Tumor Necrosis Factor- (TNF-)
2.2.1 Karakteristik Umum
Sitokin pro-inflamasi merupakan molekul yang muncul dan ikut berperan
dalam berkembangnya proses patofisiologi setelah trauma otak. Sitokin
merupakan pedang bermata dua, dimana dapat menguntungkan dan merugikan.
Demikian pula TNF-, terdapat keadaan tertentu sitokin ini dapat bermanfaat,
tetapi dalam keadaan lain dalam konsentrasi tertentu menimbulkan efek yang
merugikan (Dardiotis et al, 2012).
Tumor necrosis factor- (TNF-) merupakan prototipikal sitokin inflamasi
yang awalnya dikenal sebagai faktor serum endotoxin-induced yang disebabkan
oleh nekrosis sel tumor jenis tertentu. Tumor necrosis factor α merupakan suatu
sitokin pleiotropik yang memiliki efek beragam, antara lain proliferasi,
diferensiasi, daya tahan hidup, atau kematian sel, yang melibatkan berbagai
macam proses fisiologis dan patologis. Tumor necrosis factor α berikatan dengan
reseptor spesifik pada permukaan sel target. Pada manusia, cDNA untuk TNF-α
pertama kali diperbanyak pada tahun 1984 dan gen yang mengkode faktor
transkripsi untuk TNF-α telah dipetakan pada kromosom 6, yaitu pada regio MHC
(major histocompatibility) (Perry et al.,2008).
Tumor necrosis factor α, yang disebut juga dengan cachectin, ditemukan
sebagai trimer dan merupakan salah satu produk utama dari makrofag yang
teraktivasi, fibroblas, sel mast, dan beberapa sel T dan sel NK (NK cell). TNF-
28
pada awalnya berbentuk prekursor (pTNF-) dengan berat molekul 27 kD,
melalui pembelahan proteolitik dihasilkanlah bentuk terlarut (soluble) (sTNF-)
dengan berat molekul 17 kD. Terdapat berbagai macam fungsi biologis yang
dimediasi oleh TNF-, diantaranya menjadi tombol pengatur respon kekebalan
serta mampu menimbulkan efek seluler yang beragam, termasuk apoptosis,
nekrosis, efek keradangan, efek proliferasi atau yang mempromosikan
pertumbuhan, dan efek hematopoetik (Keystone dan Ware, 2010).
TNF- yang terdapat pada sistem saraf pusat dapat berasal dari perifer
(di luar sistem saraf pusat) atau dari sentral (dari sistem saraf pusat itu sendiri).
TNF- yang berasal dari perifer bisa masuk ke sistem saraf pusat dan bertindak
langsung pada parenkim otak dengan melintasi sawar darah-otak, melalui
mekanisme transpor aktif difusi pasif dalam beberapa organ circumventricular,
termasuk area hipotalamus, pituitari, dan kelenjar pineal, sementara itu semua
tipe sel saraf diperkirakan mengandung reseptor TNF- dan mampu mensintesis
TNF- di bawah beberapa kondisi (Perry et al, 2002).
Ekspresi protein dan mRNA TNF-α meningkat pada kondisi iskemia otak,
dengan puncak ekspresi protein bisa 6 jam setelah onset iskemia atau segera
setelahnya (Costelli et al., 2003), sedangkan penelitian lain menyebutkan bahwa
TNF- muncul setelah percobaan tikus model cedera sumsum tulang belakang
dan mencapai puncaknya 1 jam setelah cedera. Otak dalam keadaan normal
melepaskan TNF- dalam aktivitas fisiologisnya dalam jumlah tertentu yang
berbeda dengan keadaan patologis. TNF- merupakan pengubah penting
termoregulasi dan hipotalamus-ptuitary-adrenal axis (HPA-axis), TNF- secara
transien muncul dalam konsentrasi tinggi pada astrosit dan neuron embrionik
yang belum matang saat perkembangan otak tikus, juga berguna dalam
29
pengaturan tidur dan makan. Dengan demikian, keberadaan TNF- di otak tidak
selalu dikaitkan dengan keadaan patologis (Figiel, 2008).
Pada keadaan patologis, misalnya cedera traumatis pada sistem saraf
pusat, TNF- dapat diproduksi oleh berbagai sel. Penelitian oleh Yune (2003)
menyatakan bahwa dalam tikus model cedera sumsum tulang belakang, sumber
produksi TNF- memang tidak jelas, namun kemungkinan bahwa mikroglia,
astrosit yang reaktif, neuron, sel-sel endotel, dan makrofag yang berinfiltrasi,
semua dapat menghasilkan sitokin radang seperti TNF- setelah cedera.
Pendapat lain mengatakan bahwa sel-sel glia merupakan sumber utama dan
target banyak sitokin dalam sistem saraf pusat, dan mereka dapat melepaskan
banyak zat neuroaktif dalam menanggapi rangsangan sitokin. TNF- dan IFN-
secara langsung mempunyai efek racun untuk oligodendrosit, dan bersama-
sama dengan sitokin lain, dapat merangsang produksi sitokin keradangan lokal
TNF-, sitokin pro-inflamasi yang dilepaskan oleh sel glia dan sel-sel radang
pada daerah luka setelah cedera otak traumatik, juga ikut berperan dalam
timbulnya eksitotoksisitas. Ditambahkan, TNF- bersifat toksik untuk kultur sel
saraf manusia secara in vitro, menyebabkan kerusakan myelin dan toksistas
untuk oligodendrosit (Park et al.,2008).
Protein TNF- dan mRNA TNF- teridentifikasi 1 jam setelah cedera
mencapai konsentrasi puncak antara 12 – 24 jam kemudian menurun secara
drastis setelah 72 jam. Penelitian lain juga menyatakan bahwa serum TNF-
meningkat kadarnya pada pasien dengan cedera otak traumatika. Dengan
demikian, TNF- merupakan salah satu mediator keradangan yang dilepaskan
segera setelah terjadinya cedera (Huang et al.,2006).
30
2.2.2 Reseptor TNF-
TNF- memiliki dua isotype reseptor, yaitu TNFR1 (p55) dan TNFR2
(p75), dimana kedua reseptor tersebut memiliki profil ekspresi, afinitas ligand,
struktur, dan jalur sinyal aktivasi yang berbeda-beda. Dalam otak, komponen
yang menunjukkan imunoreaktivitas terhadap TNF-α antara lain adalah badan
sel neuron, astrosit, mikroglia, sel polymorphonuclear (PMN) yang menginfiltrasi,
sel endotel vaskuler, dan sel-sel di ruang perivaskuler. Sinyal yang dibawa oleh
TNF-α melalui TNFR, memerlukan pembentukan reseptor tersebut pada
permukaan membran sebagai trimer sebelum terjadi ikatan ligand. Proses
trimerisasi tersebut terjadi melalui ekor reseptor sitoplasmik intraseluler. TNFR1
berpotensi degeneratif, sementara TNFR2 berpotensi protektif (Berridge, 2012).
Kebanyakan efek yang disebabkan oleh TNF-α dimediasi oleh TNFR1, yang
berisi domain kematian (death domain) yang berinteraksi langsung dengan
TNFR1 dan dapat bertindak sebagai titik bifurkasi untuk sinyal yang
berhubungan dengan kematian sel atau kelangsungan hidup sel. Penghantaran
sinyal TNF-α melalui TNFR1 dan TNFR2 hingga mampu mencetuskan berbagai
macam respon seluler, ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya adalah status
metabolik sel dan protein adaptor yang terdapat pada sel. Faktor-faktor tersebut
mempengaruhi kemampuan sinyal yang dibawa TNF-α dalam mengaktivasi
sejumlah jalur penghantaran sinyal intraseluler, termasuk jalur sinyal nuclear
factor kappa B (NF-κB), p38, c-jun N-terminal kinase (JNK), dan jalur
ceramide/sphingomyelinase, yang menghasilkan sejumlah respon seperti
inflamasi, proliferasi, migrasi sel, apoptosis, dan nekrosis (Figiel, 2008).
Sementara Rangamani (2007) menyebutkan bahwa sinyal jalur TNF-
merupakan jalur klasik yang dapat berfungsi baik untuk aktivasi jalur survival
dimana dalam aktivitasnya menggunakan jalur NF-B, maupun jalur apoptosis
31
dimana dalam aktivitasnya menggunakan kaskade caspase. Mekanisme kerja
TNF- pada reseptornya berdasarkan pada pekerjaan yang dilakukan oleh
Rangamani (2007), yang dimodelkan menjadi 4 modul yaitu pembentukan
kompleks awal, pembentukan NF-B, pembentukan kaskade caspase, dan
aktivitas inti.
2.2.3 Pembentukan kompleks awal
Setelah TNF- berikatan dengan TNFR1, dimulailah pemanggilan
terhadap domain-domain kematian. Domain yang pertama kali dipanggil untuk
berikatan yaitu TNF-receptor-associated death domain (TRADD), domain
selanjutnya yang dipanggil yaitu TNF-receptor factor-2 (TRAF-2) dan receptor-
interacting protein (RIP-1) (Keystone dan Ware, 2010).
Gambar 2.7 Mekanisme proses dari pembentukan TNF-α (Shohami et al.,1999).TBI
menginduksi sintesis TNF-peptida prekursor, proTNF-α, mengaktifkan enzim proteolitik
yang menghidrolisis membran pro-TNF-α, dan melepaskan TNF-α ke ruang ekstraselular,
melalui interaksi reseptor R1 (p55) dan R2 (p75). Setelah TNF-α berikatan, sitosol dari
reseptor tersebut merekrut beberapa protein adapter intraseluler (TRADD). TRADD
berinteraksi dengan domain kematian R1 melalui sinyal FADD, FLICE dan TRAF-1.
TRAF2. R2 berinteraksi langsung dengan TRAF2 dan bergabung dengan TRAF1. TRAF2
mengaktifkan NF-kB dengan menghambat protein IkB,p50 dan p65. Aktivasi NF-kB
mempengaruhi ekspresi gen yang dapat berupa pelindung maupun berbahaya.
32
Pada akhirnya, pada tahap ini dihasilkan suatu rangkaian molekul yang
terdiri atas TNF-/TNFR1/TRADD/TRAF-2/RIP-1 yang selanjutnya disebut
“kompleks awal”. “Kompleks awal” inilah yang selanjutnya dapat bereaksi dengan
IKK atau Fas-associated death domain (FADD). Keberadaan TRADD sudah
cukup untuk membangkitkan kaskade apoptosis, FADD-like interleukin-1-
converting enzyme (FLICE alias caspase-8), sedangkan TRAF-2 yang berikatan
dengan RIP-1 berguna untuk induksi NF-B (Perry et al., 2008).
2.2.4 Pembentukan NF-B
Aktivasi NF-kB diregulasi sangat ketat oleh sinyal yang mendegradasi IkB
pada sitoplasma sel. Pada proses signaling NF-kB, protein IkB (IkBα atau p100)
difosforilasi melalui aktivasi kompleks IkB kinase (IKK) pada tempat spesifik
(gambar 5). Fosforilasi protein IkB selanjutnya akan mencetuskan poliubiquitinasi
dari protein IkB, sehingga dimer NF-kB menjadi bebas. Kompleks IKK tersusun
dari subunit katalitik IKKα dan IKKβ, dan subunit regulator IKKγ, yang juga
dikenal sebagai NF-kB essential modulator (NEMO). Protein IKKα dan IKKβ
tersebut memediasi sinyal yang berbeda. Komponen IKKβ penting untuk
signaling aktivasi NF-kB melalui jalur klasik dan memiliki karakteristik diaktifkan
oleh ikatan ligand pada reseptor TNF tipe 1 atau 2 (TNFR1/2), T-cell receptor
(TCR), B-cell receptor (BCR), atau Toll-like receptor (TLR). Komponen IKKα
penting untuk signaling aktivasi NF-kB melalui jalur alternatif dan diaktifkan
melalui aktivasi anggota famili reseptor TNF tertentu, termasuk lymphotoxin β
receptor (LTβR), B-cell activating factor milik TNF family receptor (BAFF-R),
CD40, dan CD30 (Keystone dan Ware, 2010).
33
Gambar 2.8 Jalur klasik dan alternatif untuk aktivasi NF-kB (Nishikori, 2005).
Aktivasi sinyal klasik NF-kB, biasanya dipicu melalui TNFR, IL-1R, atau TLR dan pada
akhirnya sinyal dimediasi oleh MAP / ERK kinase kinase 3 (MEKK3) dan IKKb.
2.2.5 Aktivasi kaskade caspase
Caspase merupakan mesin utama dalam mekanisme apoptosis. Caspase
dalam jalur apoptosis terkait TNF- terdiri atas caspase inisiator (caspase-8),
yang jika dalam bentuk inaktif disebut procaspase-8, dan caspase efektor
(caspase-3) (Sugawara, 2004). “Kompleks awal” yang sudah terbentuk, berikatan
dengan Fas-associated death domain (FADD). Setelah berikatan dengan FADD,
“kompleks awal” melepaskan salah satu anggotanya, yaitu TNFR1. Sehingga
terbentuklah kompleks baru dengan anggota tambahan FADD, tanpa TNFR1.
Kompleks ini mengaktifkan procaspase-8 menjadi caspase-8 teraktivasi. Dengan
teraktivasinya caspase-8, maka kompleks yang baru terbentuk sebelumya,
terurai menjadi molekul yang terpisah-pisah. Caspase-8 sebagai suatu molekul
inisiator mengaktifkan caspase efektor, yaitu caspase-3. Hasil akhir dari tahap ini
34
adalah caspase-3 yang mampu bertranslokasi ke inti untuk memulai apoptosis
(Perry et al.,2008)
Gambar 2.9 Reseptor dan jalur signaling TNF-α (Watters et al, 2011). Setelah
terjadinya TBI, akan memicu terjadinya TNF-α melalui interaksi reseptor R1 (p55) dan R2
(p75). Setelah TNF-α berikatan, sitosol dari reseptor tersebut merekrut beberapa protein
adapter intraseluler (TRADD). TRADD berinteraksi dengan domain kematian R1 melalui
sinyal FADD, FLICE dan TRAF-1, TRAF2. R2 berinteraksi langsung dengan TRAF2
mengaktifkan NF-kB. FADD akan menyebabkan produksi ceramide dan mengaktifkan
caspase sehingga berlanjut menjadi apoptosis. Sedangkan NF-kB dan transkripsi
mengaktifkan calbindin dan MnSOD dan berfungsi sebagai neuroprotektan.
2.2.6 Aktivitas inti
Proses selanjutnya terjadi aktivitas inti yang dilakukan oleh molekul-
molekul akhir yang dihasilkan oleh perikatan TNF- dengan TNFR1. Hasil yang
diperoleh dari serangkaian tahapan sebelumnya yaitu NF-B dan caspase-3
teraktivasi. Kedua molekul ini selanjutnya bertranslokasi ke inti sel untuk
mengadakan aktivitasnya. Caspase-3 teraktivasi sebagai mesin utama apoptosis,
membelah DNA pada daerah linker menggunakan caspase associated DNase
(CAD) dengan terlebih dahulu mendegradasi inhibitornya, inhibitor of CAD
(ICAD). Di lain pihak, NF-B mengadakan penghambatan terhadap proses
apoptosis dengan berikatan dengan DNA untuk mentranskripsi protein
penghambat apoptosis, yang disebut inhibitor of apoptosis protein (IAP) dan juga
35
IB diantaranya. c-IAP bekerja menghambat apoptosis dengan cara mengikat
caspase-3 teraktivasi (Figiel, 2008).
2.3 Apoptosis
2.3.1 Karakteristik Umum
Apoptosis merupakan kematian sel yang digambarkan perubahan pada
sel (menyusut) dan kondensasi nuklear, fragmentasi DNA dan formasi apoptosis
bodies. Apoptosis membutuhkan kaskade intraseluler untuk menyelesaikan
kematian sel, selanjutnya disebut sebagai kematian sel yang terprogram.
Beberapa sel menunjukan fragmentasi yang membentuk pecahan-pecahan sel
atau apoptotic bodies yang berada di sekitar sel tersebut. Fragmen-fragmen sel
tersebut akan cepat difagositosis oleh makrofag sebelum sel pecah dan
menyebabkan kerusakan pada jaringan. Fragmen sel terbungkus oleh membran
sel dan berisi organela yang masih utuh. Sel akan kehilangan kontak interseluler
yang normal. Jadi sel tidak mengalami proses inflamasi karena tidak adanya
bahan-bahan sitosolik yang dilepas ke ruang interseluler. Proses ini memerlukan
energi dalam bentuk ATP (Zhang et al, 2005).
Apoptosis terjadi beberapa jam atau hari setelah cedera primer.
Translokasi phosphatidylserine mengawali pemisahan tetapi disintegrasi
membran secara progresif terjadi bersama-sama dengan lisis membran inti,
kondensasi kromatin, dan fragmentasi DNA. Apoptosis secara umum
memerlukan suplai energi dan keseimbangan antara protein pro dan anti-
apoptosis yang terjadi secara alami. Aktivasi dan deaktivasi yang berurutan dari
caspase, yang merupakan protease spesifik dari interleukin-converting enzyme
family, telah diidentifikasi sebagai mediator paling penting dari kematian sel
terprogram (Werner dan Engelhard, 2007).
36
Karena apoptosis membutuhkan energi, maka bila dijumpai defisit energi
prosesnya akan beralih menjadi nekrosis (secondary necrosis). Sel-sel yang mati
dibuang dari jaringan melalui fagositosis yang terjadi pada jam jam pertama
setelah kematian. Jika kapasitas fagositosis terbatas sehingga sel apoptosis
masih terdapat dalam jaringan selama satu atau dua hari, maka membrannya
akan mengalami disintegrasi dan terjadi nekrosis sekunder (Taylor et al, 2008).
Apoptosis juga berhubungan dengan kadar kalium di dalam sel. Pada
awal proses apoptosis terjadi peningkatan effluks kalium dari dalam sel. Apabila
kadar ion potassium dalam sel lebih rendah dari kadar fisiologis, maka akan
terjadi aktivasi caspase-3 yang akan menyebabkan apoptosis dimana intensitas
transformasi ini bergantung dari pada kadar kalium (Brunelle dan Letai et al,
2009).
2.3.2 Mekanisme Apoptosis
Mekanisme apoptosis terjadi melalui dua jalur, yaitu caspase-dependent
dan caspase-independent. Caspase-dependent pathway dapat melalui jalur
intrinsik yang dipicu oleh kegagalan metabolik mitokondria atau jalur ekstrinsik
yang dipicu oleh “reseptor kematian”, yaitu kelompok TNF reseptor. Caspase-
independent pathway dipicu oleh protein mitokondria seperti Apoptosis Inducing
Factor (AIF) yang keluar dari membran mitokondria akibat depolarisasi membran
luar mitokondria (Berridge, 2012). Sepertiga kematian sel berhubungan dengan
caspase dependent apoptosis, sepertiga yang lain caspase independen, dan
sepertiga sisanya berhubungan dengan nekrosis (Brunelle et al, 2009).
(i) Caspase-Dependent Apoptosis
Capase-Dependent apoptosis ini berjalan melalui jaras intrinsik dan
ekstrinsik. Ada 2 jalur yang terlibat, yaitu
a) Jalur Intrinsik
37
Pemicu apoptosis melalui jalur intrinsik adalah cell-stress yang merusak
fungsi mitokondria dan retikulum endoplasmik. Membran mitokondria mengalami
depolarisasi dan sitokrom c yaitu suatu enzim yang terletak di antara membran
dalam dan luar mitokondria akan keluar ke sitoplasma melalui suatu pori yang
disebut Mitochondrial Permeability Transition Pore (MPTP) (Werner dan
Engelhard, 2007).
Selain cell stres, glucocorticoid, radiasi, kekurangan makanan, infeksi
virus, dan hipoksia juga menjadi faktor pencetus. Pada sel yang sehat dijumpai
ekspresi protein Bcl-2 pada permukaan membran luar mitokondria. Bcl-2
mengelilingi / berbatasan dengan protein Apoptotic Protease Activating Factor-1
(APAF-1). Kerusakan dalam sel menyebabkan Bcl-2 melepaskan Apaf-1 dan
selanjutnya membuka MPTP yang melepaskan sitokrom c ke dalam cytosol.
Sitokrom c dan Apaf-1 akan mengikat molekul caspase-9. Hasil kompleks
sitokrom c, Apaf-1, caspase-9, dan ATP disebut apoptosome (Berridge, 2012).
Gambar 2.10 Aktivasi apoptosis dari dalam sel (Intrinsic Pathway) (Berridge et al.,
2012). Kejadian apoptosis intrinsik pada mitokondria yang berespon terhadap pelepasan
cytochrome c dan bentuk apoptosom. Kejadian kritis dari jalur intrinsik adalah pelepasan
cytochrome (Cyt c) melalui mekanisme yang masih perlu diteliti. Satu hipotesis berdasarkan bahwa
bentukan mitochondrial permeability transition pore (MTP) menyediakan suatu jalan lebar untuk
cytochrome c melalui outer mitochondrial membrane (OMM). Hipotesis yang lain adalah Cyt c
melalui channel bentukan dari polimerisasi factor-faktor apoptosis seperti Bak dan Bax, yang
merupakan anggota superfamily Bcl-2. Baik bukan Bax dan Bak dapat polimerisasi tergantung
jaringan kompleks interaksi dengan anggota yang lain dari superfamily Bcl-2. Bax dipertahankan
38
oleh batasan terhadap faktor anti-apoptosis Bcl-2, tetapi aksi inhibisi dapat ditiadakan oleh faktor
pro-apoptotic Bim. Demikian juga, Bak dihambat oleh Bcl-XL, tetapi inhibisi ini dapat dikembalikan
oleh Bad. Kemampuan Bad untuk menyingkirkan Bcl-XL diatur oleh jalur signaling Ptdlns 3-kinase,
yang aksinya melalui protein kinase B (PKB) yang memfosforilasi bad, yang selanjutnya
dikeluarkan aksinya oleh ikatan dengan protein 14-3-3.
Apoptosome mengaktifkan caspase 3. Rangkaian aktivasi dari caspase
ini akan membuat protein dalam sitoplasma dan DNA kromosom mengalami
degradasi (Berridge et al, 2012).
b) Jalur Ekstrinsik
Jalur ini dipicu oleh ikatan dengan Death Receptor, yaitu reseptor yang
tergolong TNF-receptor family, seperti Fas receptor. Ligand yang dapat memicu
adalah FasL atau Apo-1/CD 95 dan TRAIL. Reseptor tersebut mempunyai bagian
yang disebut:
- Fas Associated Death Domain (FADD),
- TNF-receptor Associated Death Domain (TRADD) atau
- Caspase and RIP-adaptor with Death Domain (CRADD)
- Receptor Interacting Protein (RIP).
Saat diaktivasi, reseptor akan merekrut protein adaptor yang kemudian
merekrut pro-caspase 8 (precursor caspase 8) dan menjadikannya caspase 8
yang aktif. Caspase 8 akan mengaktifkan caspase 3 untuk mengeksekusi proses
selanjutnya. Caspase 8 dan 9 disebut initiator caspases atau upstream caspases
dan caspase 3, 6, dan 7 disebut executioner caspases atau down stream
caspases (Hoh, 2008).
Reseptor Fas berikatan dengan Fas ligand (FasL), yaitu suatu protein
transmembran. Interaksi antara reseptor Fas dan FasL membentuk death-
inducing signaling complex (DISC) yang berisi FADD, caspase-8, dan caspase-
10. Dalam interaksi tersebut terdapat dua tipe aktivasi kaskade caspase, yaitu
tipe I dan tipe II. Tipe I yaitu dengan pengaktifan caspase-8 maka akan terjadi
39
aktivasi anggota lain dari caspase family yang berperan sebagai pencetus
apoptosis. Tipe II, yaitu ikatan Fas-DISC akan membentuk feedback loop untuk
menambah lepasnya faktor pro-apoptosis dari mitokondria dan memperkuat
aktivasi caspase-8. Fas diketahui memunyai dua jaras apoptosis. Daxx adalah
suatu Fas yang mampu menghambat Bcl-2. Jaras Fas yang lain adalah melalui
ikatan FADD, yang tidak menghambat Bcl-2 (Brunelle et al, 2009).
Sinyal faktor ekstrasellular seperti hormon, growth factor, nitric oxide, atau
sitokin mengaktivasi apoptosis melalui jaras ekstrinsik. Sinyal ini bisa menambah
atau menghambat proses apoptosis. TNF adalah suatu sitokin utama yang
diproduksi oleh makrofag aktif dan merupakan mediator ekstrinsik utama dari
apoptosis. Kebanyakan sel-sel dalam tubuh manusia mempunyai dua reseptor
untuk TNF, yaitu TNF-R1 dan TNF-R2. Ikatan terhadap reseptor TNF-R1 secara
tidak langsung dapat mengaktivasi faktor transkripsi yang terlibat dengan cell
survival (Berridge, 2012).
Homodimer pro-apoptosis Bax yang dibentuk pada membran luar
mitokondria diperlukan untuk membentuk saluran yang meningkatkan
permeabilitas membran mitochondria dan melepaskan aktivator caspase, seperti
sitokrom c dan SMAC (Secondary Mitochondrial Activator of Caspase) (Hoh,
2008).
40
Gambar 2.11 Aktivasi apoptosis dari luar sel (Extrinsic Pathway) (Berridge, 2012).
Aktivasi Tumour necrosis factor α (TNF α) jalur apoptosis ekstrinsik. Ikatan apoptosis
seperti TNF α atau Fas ligand (FasL) terikat terhadap anggota family reseptor trimeric
TNF α (TNF αR atau Fas) untuk mengawali kaskade signaling ekstrinsik.
c) Cross-talk
Antara jalur intrinsik dan ekstrinsik bisa timbul kerjasama, misalnya
caspase 8 dapat membelah anggota famili Bcl-2 protein yang pro-apoptotik, yaitu
Bid. Bid yang terbelah ini (truncated Bid) bertranslokasi ke mitokondria dan
menyebabkan pelepasan sitokrom c dari mitokondria serta menimbulkan
perubahan konformasi pada Bax dan Bak (menyebabkan homo atau
heterodimerisasi) yang hasilnya juga dapat membocorkan sitokrom c (Berridge,
2012).
Demikian juga caspase 3 yang aktif dapat mengaktifkan caspase lain
seperti caspase 2, 6, 8, dan 10 dan dapat membelah procaspase 9 menjadi
caspase 9 yang aktif serta menciptakan amplifikasi dari jalur apoptotik melalui
suatu positive feed-back loop (Elmore, 2007).
41
Gambar 2.12 Jalur apoptosis Intrinsik, Ekstrinsik dan Cross Talk (Berridge, 2012).
Antara jalur intrinsik dan ekstrinsik bisa timbul cross-talk, misalnya caspase 8 dapat
membelah Bid. Selanjutnya Bid tersebut bertranslokasi ke mitokondria dan menyebabkan
pelepasan sitokrom c dari mitokondria serta menimbulkan perobahan konformasi pada
Bax dan Bak yang hasilnya juga dapat melepaskan sitokrom c.
Tabel 2.1 Protein jalur eksekusi apoptosis (Elmore, 2007)
(ii) Caspase-Independent Apoptosis
Jalur ini tidak membutuhkan perantara caspase. Jalur ini mempunyai
mekanisme tersendiri menuju kematian sel. Yang berperan di sini adalah molekul
42
protein mitokondria, yaitu apoptosis inducing factor (AIF) dan Endonuclease G
(Hoh, 2008).
Mitokondria masih memiliki beberapa jenis protein lainnya untuk
mencetuskan apoptosis antara lain HtrA2/Omi dan second mitochondrial
activator of caspases (Smac). Mitokondria juga memunyai senjata untuk
mendukung pengaruh faktor survival yang berfungsi menghentikan proses
apoptotik, yaitu inhibitors of Apoptosis Protein (IAP seperti celluar IAP-1, cIAP-2,
X-chromosome-linked IAP (XIAP). HtrA2/Omi dan Smac menghentikan aktifitas
IAP dan mendukung terjadinya apoptosis. Bcl-2 dan Bcl-xL adalah oncoprotein
yang bersifat antiapoptotik. Smac dan Htr2A/Omi memblokir kerja IAP
menghambat kerja XIAP sehingga mendukung terjadinya apoptosis. Hal ini
menunjukkan bahwa mitokondria merupakan salah satu pusat penentu hidup sel
(Berridge, 2012).
Gambar 2.13 Jaras caspase independent apoptosis (Hoh, 2008). Jalur Caspase
Independent Apoptosis. Jalur ini tidak membutuhkan perantara caspase, yang berperan
adalah molekul protein mitokondria, yaitu apoptosis inducing factor (AIF) dan Endonuclease G.
2.3.3 Abnormalitas Signal Sel Dan Kematian Neuron Pada TBI
Kematian neuron terjadi setelah ekperimental dan klinis TBI. Selain area
otak yang kontusio, hipokampus sangat rentan terhadap TBI. Jalur kematian sel
43
diaktifasi oleh TBI termasuk kerusakan mitokondria, rilis sitokrom C dengan
aktifsi kaspase, rilis AIF dan jalur receptor- couple pro-death. Neurotransmiter,
neurotropin, sitokin, growth factor, dan stress oksidatif akan mengaktifasi signal
aktivasi pro-survival dan pro-death. Reseptor berpasangan tersebut untuk signal
jalur tranduksi termasuk interaksi dn cross-talk diantara multiple serin dan
kaskade protein tirosin kinase (Zasler et al.,2007).
Beberapa kinase termasuk proses kematian sel seperti serin atau
threonin protein kinase. Partisipan penting pada kaskade kematian sel yaitu
mitogen activated protein kinase (MAPK). Kaskade MAPKs dimediasi oleh
protein kinase yang berurutan diaktifasi oleh fosforilasi. Komponen yang terlibat
dalam kaskade kematian sel yaitu, jun kinase (JNK) dan 38 MAPK. Jalur JNK
dan p38 mengaktifasi kaspase 3. Aktifasi JNK mengawali induksi dari gen pro
death termasuk PasL. JNK meningkatkan p53 dan Bax dan kematian sel juga
meningkat. Fungsi JNK dan p38 berbeda jalur signalnya dan faktor transkripsi
nuklear diaktifasi oleh stimulasi pro death seperti stress oksidasi (Zalmer et
al.,2007)
Kaskade protein kinase memiliki peranan penting. Phosphoinositide 3
kinase (PI3-K), protein kinase B (PKB) dan protein kinase A (PKA) merupakan
contoh dari protein kinase. PKB disebut juga sebagai akt, suatu nomenklatur
kompleks dari kinase yang berkembang pada beberapa proses penyakit. PKB
diaktivasi oleh respon PI4 pada signal survival, dan pro survival, pertumbuhan,
aksi plastisitas sinaps. PKB mempengaruhi survival dari sejumlah mekanisme
termasuk posforilasi dan inaktivasi dari mediator pro death seperti Bad. Bad
merupakan anggota dariBcl-2 dimana diposporilasi oleh PKB pada ser136 yang
menghasilkan disosiasi Bad dari Bcl-xL dan mengikat protein yang menghambat
kematian sel (Faul et al, 2008).
44
Gambar 2.14 Mekanisme proses kematian sel melalui peranan mitogen-activated
protein kinases (MAPK) dalam mentraduksi sinyal yang terlibat dalam kematin sel.
(Zalmer et al.,2007). Stres oksidatif memicu aktivasi MAPK dengan mengaktifkan jun
kinase (JNK) yang merupakan mediator terjadinya kematian sel dan dimediasi oleh
beberapa mekanisme termasuk reseptor kematian sel (Fas-L, p53 dan Bax).
Gambar 2.15 Mekanisme peranan kelangsungan hidup sel (survival cell) melalui
aktivasi sinyal kinase (Zalmer et al.,2007). Jalur yang terlibat adalah Phosphoinositide
3-kinase (PI3-K), protein kinase B (PKB), dan proteinkinase A (PKA). PKB
mempengaruhi kelangsungan hidup sel melalui beberapa mekanisme termasuk
fosforilasi dan inaktivasi mediator pro-kematian Bad. Fosforilasi Bad menghambat Bcl-xL.
Aktivasi CAMP melalui PKA juga dapat menyebabkan pembentukan faktor transkripsi
cAMP response element binding protein (CREB), yang juga menyebabkan kelangsungan
hidup sel (cell survival).
45
2.4 Catechins Teh Hijau (Green Tea Catechin, GTC)
Catechins adalah senyawa dominan teh hijau yang merupakan senyawa
sukar larut air dingin, tidak berwarna dan memberikan rasa pahit (Alamsyah,
2006). Komponen catechins ini lebih banyak terdapat dalam teh hijau
dibandingkan teh hitam. Dalam teh hitam, sebagian besar catechins dioksidasi
menjadi teaflavin dan tearubigin (Hartoyo, 2009).
Catechins bersifat asam lemah (pKa1 =7.72 dan pKa2=10.22). tidak stabil di
udara terbuka, mudah teroksidasi pada pH mendekati netral dan mudah terurai
oleh cahaya dengan laju reaksi lebih besar pada pH rendah. (Lucida, 2009)
2.4.1 Jenis Teh
Secara umum, terdapat 4 jenis teh, yaitu
a. Teh hijau
Teh Hijau adalah teh yang tidak melewati proses oksidasi enzimatik.
Teh jenis ini paling populer dan dipercaya berkhasiat untuk
kesehatan. Setelah daunnya dipetik, kemudian memasuki tahapan
pelayuan kemudian disangrai untuk mencegah terjadinya proses
oksidasi pada daun. Proses terakhir adalah pengeringan daun, agar
keharuman dan warna hijaunya tetap terjaga.
b. Teh oolong
Teh oolong merupakan teh semioksidasi enzimatis. Proses
pengolahannya setelah dipetik, daun dijemur dibawah sinar matahari
agar layu. Proses ini ditujukan untuk menurunkan kadar air dan
membuat daun lebih lembut. Kemudian daun digiling untuk
mengeluarkan airnya diikuti proses oksidasi enzimatik yang pendek
sebelum dikeringkan di oven. Setelah diproses, warna daunnya
berubah menjadi seperti tembaga dengan citarasa ringan, antara teh
hijau dan teh hitam.
46
c. Teh hitam
Teh hitam merupakan teh yang mengalami proses oksidasi enzimatis
sempurna. Proses pengolahannya dimulai dengan pelayuan selama
12-18 jam. Proses ini untuk mengurangi kadar air dalam daun.
Setelah pelayuan, dilakukan penggilingan. Hancurnya membran daun
saat penggilingan menyebabkan keluarnya sari teh dan minyak
essensial sehingga memunculkan aroma khas
d. Teh Putih
Teh putih adalah teh yang dibuat dari pucuk dain yang tidak
mengalami proses oksidasi dan sebelum dipetik, daun dilindungi dari
sinar matahari untuk menghambat pembentukan klorofil.
(Heroniaty, 2012)
Teh hijau dikelompokkan menjadi tiga tipe berdasarkan perbedaan
derajat fermentasinya, yaitu teh hijau (non fermentasi), oolong (semi fermentasi),
dan teh hitam (fermentasi). Terdapat empat tahap dalam memproses teh. Teh
awalnya dipetik dan dibiarkan sedikit dikeringkan, lalu dipanggang untuk
menginaktivasi enzim enzim polyphenol oxydase dan glycosidase dan
menghentikan proses fermentasi. Kemudian daun teh digulung, dikeringkan dan
dikemas. Pembuatan teh hitam lebih rumit, karena melalui fermentasi berulang
dan kemudian dipanggang hingga berwarna coklat kehitaman. Teh oolong
mengalami fermentasi lebih singkat daripada teh hitam. Proses oksidasi teh
menghasilkan tannins. Tannins terdiri dari fenolic acid, gallic acid, poluols, dan
polimer partikel flavonoid sederhana (Gramza et al., 2005).
Selama fermentasi, catechins mengalami oksidasi oleh enzim polyphenol
oxidase. Akibatnya catechins menjadi quinones dan mengalami polimerisasi
menjadi struktur yang lebih kompleks, yaitu theaflavins, thearubigens, dan
molekul dengan massa yang lebih besar. Theaflavins dan kandungan gallate-nya
47
terjadi karena kondensasi EC dan EGC. Fermentasi menurunkan kadar
catechins dan meningkatkan kadar gallic acid (Gramza et al., 2005).
Catechins diekstrak dengan menggunakan etil asetat (Yashin et al.,
2012). Catechins kualitas terbaik didapatkan dengan mengekstraksi pada suhu
77-800C. Molekul EC dan EGC yang berukuran lebih kecil diekstraksi lebih cepat
dibandingkan dengan EGCG dan ECG. Peningkatan pH juga dapat menurunkan
kadar catechins, namun meningkatkan kadar caffeine. Peningkatan kadar
caffeine disebabkan karena adanya degradasi theaflavins dari agregat caffeine-
theaflavin (Gramza et al., 2005).
2.4.2 Morfologi GTC
Camellia sinensis mengandung catechins sebesar 25-35% (Sutherland et
al., 2006). Klon GMB-4 Camellia sinensis memiliki kadar catechins 14-16%
(Susanti et al., 2015). Komponen lain pada teh adalah protein (15% berat kering),
karbohidrat (5-7% berat kering), mineral (5% berat kering), serta sedikit
komponen lemak, sterol, vitamin, xanthic base (caffein), pigmen, dan bahan
volatil (Chacko et al., 2010).
Catechins adalah derivat dari flavan dan ditandai dengan derajat oksidasi
pada cincin heterosiklik tertinggi dan larut air. Bentuk terbanyak dari catechins
adalah ester gallic acid, yaitu (-)-epigallocatechin-3-gallate (EGCG). Selain itu
juga didapatkan (-)-epigallocatechin (EGC), (-)-epicatechin (EC), (+)-catechin (C),
(-)-gallocatechin (GC), dan (-)-epicatechin-3-gallate (ECG) (Mandel dan Youdin,
2004). Catechins yang termetilasi antara lain (-)-epigallocatechin-3-(3-O-
methylgallate) dan (-)-epigallocatechin-3-(4-O-methylgallate). Teh merupakan
satu-satunya tanaman yang mengandung EGCG (Gramza et al., 2005;
Sutherland et al., 2006).
48
Kandungan EGCG dari minuman teh hijau kemasan bervariasi hingga
50%. Perbedaan kandungan EGCG dapat disebabkan karena perbedaan
komposisi polifenol pada daun teh, maupun proses pembuatan minuman.
Kandungan catechins didapatkan lebih tinggi pada daun teh yang lebih muda
(Gramza et al., 2005).
Ekstrak teh hijau ditargetkan untuk menjadi peluang dalam aktivitas
kardiovaskuer, antikarsinogenik, dan anti inflamasi melalui mekanisme
antioksidan dan aksi iron-chelating, serta dalam modulasi metabolisme endogen
dan enzim antioksidan. Selain mekanisme di atas, catechins juga memiliki sifat
neuroprotektif melalui mekanisme pleiotropik pada intraseluler. Antara lain,
melalui regulasi homeostasis kalsium, aktivasi MAPK, enzim detoksifikasi
antioksidan fase II, serine/threonine protein kinase AKT dan protein kinase C,
serta memodulasi beberapa gen pertahanan sel atau siklus sel. EGCG juga
membantu dalam memetabolisme protein prekursor amiloid melalui jalur α-
secretase sehingga mengurangi pembentukan fibril β-amyloid (Mandel and
Youdim, 2004).Catechins biasanya disebut juga asam catechoat dengan rumus
kimia C15H14O6, tidak berwarna, dan dalam keadaan murni sedikit tidak larut
dalam air dingin tetapi sangat larut dalam air panas, larut dalam alkohol dan etil
asetat, hampir tidak larut dalam kloroform, benzen dan eter. Selain itu, Catechins
berbentuk kristal halus menyerupai jarum, larut dalam air mendidih dan alkohol
dingin (Heroniaty, 2012)
Catechins dalam larutan asam asetat akan membentuk larutan yang
bening, tetapi jika direaksikan dengan besi klorida (FeCl3) akan membentuk
cairan berwarna hijau. Catechins merupakan senyawa fenolik yang komplek
(polifenol). Catechins memiliki dua atom karbon yang simetris yang membuatnya
memiliki 4 isomer, yaitu (+) catechins, (-) catechins, (+) epicatechins dan (-)
epicatechins. (+) catechins dan (-) epicatechins paling banyak terdapat di alam.
49
Catechins dan epicatechins memiliki tiga jenis turunannya, yaitu catechins galat,
galocatechins, galocatechins galat, epicatechins galat dan epigalocatechins
galat. Struktur catechins dan turunannya, sebagai berikut, (Heroniaty, 2012)
Gambar 2.16 Struktur Catechins dan turunannya.
2.4.3 Sifat Catechins
Tabel 2.2 Sifat Fisika dan Sifat Kimia Senyawa Catechins
Sifat Fisika Sifat Kimia
- Warna: putih
- Melting point: 104-106 ºC
- Boiling point: 254 ºC
- Tekanan uap: 1 mm Hg pada 75 ºC
- Densitas uap:3,8 g/m3
- Flash point: 137 ºC
- Eksplosion limit:1,79 %
- Sensitif terhadap oksigen
- Sensitif terhadap cahaya (dapat
mengalami perubahan warna
apabila mengalami kontak
langsung dengan udara terbuka)
- Substansi yang dihindari: unsur
oksidasi, asam klorida, asam
anhidrida, basa, dan asam nitrit.
- Larut dalam air hangat
- Stabil dalam kondisi agak asam
atau netral ( pH optimum 4-8)
Sumber: Micheal dan Irene, 1997 dan Alamsyah, 2006.
50
2.4.4 Manfaat Catechins
Catechins teh hijau memiliki beberapa manfaat, diantaranya adalah
berpotensi sebagai termogenesis sehingga mampu meningkatkan pembakaran
kalori dan lemak dalam tubuh yang berkhasiat terhadap penurunan berat badan
(Nagao et al., 2005), menurunkan kadar kolesterol total, kolesterol LDL,
trigliserida dan berat badan yang bermakna dibandingkan dengan control
perlakuan pada tikus putih jantan (Dirghantara, 1994), menghambat
terbentuknya tumor kelenjar mamma pada tahap promosi (Gunawijaya dkk.,
1999), antiinflamasi dan antioksida (Gu, 2006), antibakteri, antitumor, dan
antivirus (Nakagawa, 2005).
2.4.5 Catechins sebagai Antiinflamasi dan Antioksidan
Arundina (2013), pernah meneliti tentang efek anti inflamasi catechins
pada marmot dengan metode pembentukan oedema yang diinduksi suspensi
karagenik menunjukan hasil pada pemberian catechins dosis 100 dan 200
mg/kgBB mempunyai daya antiinflamasi tetapi efeknya lebih kecil dari aspirin.
Catechins mampu berperan sebagai antiinflamasi dengan menghambat oksidasi
asam arakhidonat menjadi endoperoksida dan menurunkan aktivitas enzim
lipoksigenase. Dengan adanya hambatan pada oksidase asam arakhidonat,
maka mediator proinflamasi tidak terbentuk pros
Potensi antioksidan senyawa catechins secara langsung berhubungan
dengan kombinasi cincin aromatis dan kelompok hidroksil yang membangun
struktur catechins dan sebagai hasilnya adalah mengikat dan menetralkan radikal
bebas oleh grup hidroksil. Sebagai tambahan, polifenol teh hijau mendorong
aktivitas detoksifikasi komponen xenobiotika, dan juga dapat mengikat (kelator)
ion logam seperti besi yang mana dapat mengakibatkan radikal bebas oksigen
(Imannulkhan, 2006).
51
2.4.6 Cathecins sebagai Neuroprotektan
Pada penelitian yang dilakukan oleh Zhang et al., (2015) ditemukan
bahwa EGCG pada CTG menunjukkan fungsi penghambatan yang bermakna
pada pembentukan edema serebri pada cedera otak traumatik dan menurunkan
permeabilitas vaskular. Inflamasi yang diinduksi oleh cedera otak traumatik juga
terbukti dapat dihambat oleh pemberian EGCG. Terlebih lagi, pemberian EGCG
dapat menghambat ekspresi AQP4, protein kanal air yang diekspresikan dengan
kuat di otak, dominan di kaki astrosit di sekitar kapiler, dan GFAP, protein yang
menginduksi astrogliosis, pada jaringan otak yang cedera. Sebagai antioksidan,
EGCG mampu memperbaiki stress oksidatif pada cedera otak traumatika dengan
menghambat translokasi p47 phox dari sitoplasma ke membran plasma.
Patofisiologi khusus pada cedera otak traumatika aadalah disfungsi
metabolik serebri, eksitotoksisitas, stres oksidatif, edema serebri, inflamasi dan
kematian sel. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa EGCG dapat mengurangi
kerusakan BBB dan stres akut pada otak. Terlebih lagi, EGCG telah terbukti
mampu menembus BBB dan mencapai parenkim otak. Data penelitian
menunjukkan bahwa pemberian ECGC sebanyak 100 mg/kgBB dapat
menurunkan kandungan air intrakranial dan juga memperbaiki permeabilitas
vaskular (Zhang et al., 2015).
Selain itu, EGCG juga dilaporkan mampu melindungi neuron dengan
meregulasi glutamat, mediator inflamasi. EGCG, juga terbukti memiliki aktivitas
antioksidan dengan menghambat oskidasi NADPH, yang berperan pada cedera
otak sekunder dengan memediasi stress oksidatif, dengan menghambat
translokasi p47phox (Zhang et al., 2015).
52
2.4.7 Farmakologi Catechins
2.4.7.1 Farmakokinetik Catechins
2.4.7.1.1 Absorbsi Catechins
Tidak semua polifenol diabsorbsi pada efisiensi yang sama. Flavonoid
aglycone (tidak mengandung gula) dapat diabsorbsi pada usus kecil Tetapi,
kebanyakan flavonoid berada dalam bentuk glikosida, ester dan polimer
sehingga tidak dapat diabsorbsi langsung. Untuk dapat dicerna, flavonoid
mengalami hidrolisis oleh enzim lambung atau flora dalam saluran cerna.
Polifenol mengalami konjugasi pertama pada usus kecil dan konjugasi berikutnya
terjadi di liver. Pada saat konjugasi terjadi metilasi, sulfasi, dan glukoronidasi
(Yashin et al., 2012). Galloylasi pada catechins menurunkan absorbsinya
(Manach et al., 2005).
Catechins yang tidak diserap pada usus kecil, mencapai usus besar.
Pada usus besar, catechins didegradasi oleh enzim bakteri menjadi molekul yang
lebih kecil, seperti asam oxiaromatik, sehingga dapat diabsorbsi. Metabolit dari
mikroba antara lain 5-(3’,4’,5’-trihydroxyphenyl) valerolactone, 5-(3’,4’-
dihydroxyphenyl) valerolactone, dan 5-(3’,5’-dihydroxyphenyl) valerolactone
dalam bentuk terkonjugasi. Metabolit ini muncul lebih lambat pada plasma dan
memiliki waktu paruh panjang, sehingga dapat meningkatkan durasi kerja
catechins (Yashin et al., 2012).
2.4.7.1.2 Distribusi Catechins
Catechins memiliki berat molekul yang cukup besar (antara 300-450
g/mol), sehingga memiliki bioavailabilitas yang rendah. Dari 100-200 mg
catechins yang dikonsumsi, kadar yang berada pada plasma tidak melebihi 1 μM.
Konsentrasi total catechins, baik yang bebas maupun terkonjugasi, tidak melebihi
2-3 μM. Pada manusia, hanya 0,2-2% catechins yang dikonsumsi yang
53
terdeteksi pada plasma dengan menggunakan HPLC. Pada penelitan lain,
EGCG terdeteksi sebesar 6 mg di darah pada konsumsi sebanyak 82 mg (kadar
kurang dari 7%) (Yashin et al., 2012).
Karena mengalami biokonversi di usus, catechins pada plasma dan urine
terdapat pada bentuk konjugat. Beberapa konjugat memiliki substituen hidroksil
yang intak. Hidroksil tersebut dapat menangkap radikal bebas superoksida dan
efisiensinya tetap tinggi. Oleh karena itu, meskipun bioavailabilitasnya rendah,
catechins dapat memiliki efek yang luar biasa dalam banyak penyakit (Yashin et
al., 2012).
Jumlah EGCG yang diukur pada organ-organ penting berkisar
sepersepuluh dari kadar EGCG pada darah, termasuk pada otak. Hal itu
menunjukkan bahwa EGCG dapat menembus sawar darah otak (Smith, 2011).
(+)-catechin ditemukan terakumulasi pada korteks serebri dan hipothalamus
pada binatang coba tikus (Huang et al., 2011).
2.4.7.1.2.1 Masuknya Catechins pada Sawar Darah Otak
Salah satu penentu bioavailabilitas flavonoid di otak adalah
kemampuannya menembus sawar darah otak. Catechins dapat menembus blood
brain barrier, terutama yang bersifat non polar dan lipofilik. Namun, terdapat pula
catechins yang mengalami glukoronidasi dan polar yang dapat menembus sawar
darah otak. Masuknya catechins ke dalam otak juga dapat dimodulasi oleh
transporter efluks pada sawar darah otak, misalnya melalui P-glycoprotein
(Farooqui, 2012).
Terdapat beberapa model sel in vitro untuk meneliti transfer flavonoid
melalui sawar darah otak. Beberapa model tersebut antara lain ECV 304
(merepresentasikan sisi perifer sawar darah otak) yang di ko-kultur dengan sel
glioma C6 (merepresentasikan sisi sistem saraf pusat), bEND5, dan RBE4.
54
Berdasarkan model ini flavanoid dapat menembus lapisan sel endotel. Flavanoid
yang termetabolisir, yaitu mengalami glukoronidasi derivat O-metilasi, juga dapat
menembus sel endotel. Tampaknya, sel-sel ini dapat mendekonjugasi derivat
glukoronidasi menjadi bentuk aglikon sehingga dapat memasuki sel glia dan
akhirnya masuk otak. Isomer (+)-catechin dan (-)-epicatechin ditemukan dapat
menembus sawar darah otak dengan perbedaan signifikan. Diduga terdapat
proses stereo-selektif dalam masuknya flavanol ke dalam sawar darah otak
karena perbedaan efluks dari sel. Ditemukan konjugasi asam glukoronat dari (+)-
catechin dan (-)-epicatechin pada sisi basolateral, menunjukkan sel dapat
memetabolisme zat tersebut. hCMEC/D3 cell line, yaitu endotel mikrovesel
serebri imortal pada manusia, juga menunjukkan bahwa flavan-3-ol dapat
menembus sawar darah otak dan memetabolisme glukoronidasi. Flavan-3-ol
yang termetilasi juga dapat menembus sel ini dengan efisien. Karena bentuk
flavan-3-ol dengan termetabolisir O-metilasi terdapat pada in vivo, maka bentuk
ini dapat memasuki otak dan flavonoid dapat berefek pada otak. Bioavailabilitas
epicatechin dalam bentuk metabolit O-metilasi dan glukoronidasi ditemukan pada
otak tikus setelah diberikan peroral. EGCG juga ditemukan di dalam otak setelah
pemberian intravena (Faria et al.,, 2012). Flavonoid rata-rata didapatkan pada
jaringan otak dengan kadar kurang dari 1 nmol/gram jaringan. Flavonoid
didapatkan tersebar pada seluruh jaringan otak dan tidak terakumulasi pada area
tertentu, sehingga flavonoid dapat menjadi kandidat neuroprotektif langsung di
otak (Vauzour, 2012).
2.4.7.1.3 Metabolisme Catechins
Catechins dimetabolisme dengan glukoronidasi, metilasi, dan sulfonasi
menjadi komponen yang lebih hidrofilik. Proses metabolisme tersebut melalui
mekanisme enzimatik (Yashin et al., 2012). Pada manusia, EGCG dimetilasi oleh
55
enzim liver catechol-O-methyltransferase (COMT) dan mengurangi aktivitas
EGCG. EGCG dimetilasi menjadi 4’.4”-di-O-methyl-EGCG, EGC dimetilasi
menjadi 4’-O-methyl-EGC, sedangkan (+)-catechin dimetilasi pada posisi 3’-.
Analisis dari catechins kebanyakan dihitung dari catechins yang tidak berubah,
sedangkan metabolit termetilasi tidak teranalisis (Manach et al., 2005). Akan
tetapi, EGCG lebih banyak ditemukan dalam bentuk bebas (77-90%). Catechins
lainnya berada dalam bentuk konjugat dengan asam glukoronat dan sulfat
(Manach et al., 2005; Yashin et al., 2012).
2.4.7.1.4 Eliminasi Catechins
Catechins mayoritas dieliminasi dari tubuh melalui urin dan sisanya
melalui empedu. Pada urine terdeteksi metabolit flavan-3-ol dan bentuk asam
gallat yang tidak termetabolisme. Urine mengandung 7,2% dari metabolit flavan-
3-ol yang dikonsumsi dan 4,5% asam gallat. Metabolit yang tertinggi antara lain
epicatechins sulfate, methyl-epicatechins sulfate, epicatechin glucuronide,
epigallocatechin glucuronide, dan methyl-epigallocatechin glucuronide (Yashin et
al., 2012). Pada penelitian di tikus, EGCG dieksresikan melalui empedu (Manach
et al., 2005).
2.4.7.2 Waktu Paruh, Onset, Puncak, Durasi Catechins
Catechins terdeteksi pada plasma darah 1-2 jam setelah dikonsumsi.
Waktu paruh rata-rata dari catechins adalah 2-3 jam (Yashin et al., 2012). Waktu
paruh catechins pada tikus lebih singkat, sedangkan waktu paruh pada mencit
sama dengan pada manusia. Pada mencit, sepertiga dari EGCG yang
dikonsumsi dieliminasi melalui feces dalam 24 jam pertama (Smith, 2011).
Metabolit catechins mulai terdeksi pada urine 4 jam setelah konsumsi.
Puncak konsentrasi metabolit epicatechins sulfate dan methyl-epicatechins
56
sulfate terdeteksi setelah 10 jam. Konsentrasi epigallocatechins terus meningkat
hingga lebih dari 24 jam setelah dikonsumsi. Ekskresi EGCG lebih lambat
(Yashin et al., 2012).
2.4.7.3 Farmakodinamik Catechins
Catechins dapat mempengaruhi absorbsi zat besi, terutama pada pasien
dengan risiko defisiensi besi. Efek catechins terhadap ion lainnya tidak diketahui.
Catechins dapat mempengaruhi absorbsi dan metabolisme ion karena flavanoid
berinteraksi dengan ion metal (Chacko et al., 2010).
2.4.7.3.1 Toksisitas Catechins
Konsumsi teh hijau pada manusia dengan dosis tinggi tidak menunjukkan
efek samping (Chacko et al., 2010). Berdasarkan penelitian dari Hsu et al.
(2011), pemberian ekstrak teh hijau hingga 2500 mg/kgBB per hari selama 28
hari tidak menyebabkan timbulnya efek samping pada mencit.
Disebutkan pada penelitian lain bahwa EGCG merupakan zat yang
sitotoksik. Konsumsi EGCG dosis tinggi dapat bersifat sitotoksik pada hepatosit.
EGCG dosis tinggi juga dapat merusak DNA pada pankreas dan liver hamster.
Dosis tinggi ekstrak teh hijau juga dapat menyebabkan pembesaran kelenjar
tiroid (goiter) pada tikus normal (Chacko et al., 2010).
2.4.7.3.2 Aktivitas dan Manfaat Catechins
Efek utama dari polifenol di otak adalah (1) menghambat pelepasan
sitokin pro inflamasi oleh glia teraktivasi, (2) menghabat induksi iNOS dan
produksi NO akibat aktivasi glia, (3) menghambat aktivasi NADPH oksidase dan
pembentukan ROS oleh glia teraktivasi, dan (4) menurunkan aktivitas faktor
transkripsi proinflamasi seperti NFκB oleh glia dan kaskade signaling pathway
57
neuron seperti MAPK. Produksi NO berlebihan, terutama yang diproduksi oleh
mikroglia dan astrosit, dapat menginduksi kematian neuron melalui kerusakan
transpor elektron di mitokondria sehingga terjadi penurunan sintesis ATP dan
peningkatan produksi ROS. Neurotoksisitas dari mikroglia mengaktifkan NADPH
oksidase yang memediasi produksi superoksida dan pelepasan molekul pro
inflamasi, seperti TNFα. NO dan superoksida tersebut dapat bereaksi
membentuk radikal peroksinitrit. Peroksinitrit tersebut menghambat respirasi
mitokondria, menginduksi apoptosis bergantung caspase dan menginduksi
pelepasan glutamat. Akibatnya semakin terjadi eksitotoksisitas dan
menyebabkan kematian neuron. TNFα yang dihasilkan berikatan dengan TNRF1
dan menyebabkan apoptosis neuron melalui jalur ekstrinsik. Jalur lain yang
penting dari efek biologis polifenol adalah penghambatan faktor transkripsi famili
forkhead (FoxO) yang teraktiasi oleh stress oksidatif. Hambatan aktivasi famili
FoxO dapat meregulasi apoptosis dengan mengaktifkan Bcl-2 anti apoptosis
(Vauzour, 2012).
Catechins memiliki peran sebagai antioksidan dan antiinflamasi.
Bioavailabilitas catechins dapat ditentukan melalui beberapa metode, antara lain;
peningkatan aktivitas antioksidan pada plasma darah setelah konsumsi,
penghitungan langsung catechins pada cairan tubuh dan organ-organ tertentu 1-
2 jam setelah konsumsi, dan menentukan efek dari catechins dengan menilai
penanda penurunan stress oksidatif. Penanda yang digunakan antara lain 8-
hydroxydeoxyguanosine (8-OhdG), derivat tirosin, malondialdehyde, F2-
isoprostane, dan phosphatidylcholine hydroperoxide (РСООН). Konsumsi
catechins selama tujuh hari dapat menurunkan konsentrasi 8-OhdG dan
malondialdehyd (MDA) pada urine, F2-isoprostane, dan PCOOH pada plasma
(Yashin et al., 2012).
58
Aktivasi NFkB memediasi protein mediator dalam proses inflamasi.
Catechins diduga mampu menekan aktivasi NFkB, sehingga sitokin sitokin
proinflamasi, seperti TNF-α dan IL-1β, tidak menunjukkan kenaikan ekspresi.
Selain itu, juga terjadi penurunan produksi NO yang diinduksi iNOS, pada tikus
model cedera medula spinalis traumatik yang diberikan ekstrak teh hijau
dibandingkan kelompok yang tidak diberikan ekstrak teh hijau (Paterniti et al.,
2009).
PARP Suicide Hypothesis adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan jalur hubungan ROS merusak DNA, menginduksi mekanisme
perbaikan DNA, mengaktifkan enzim nuklease PARP, yang menyebabkan
deplesi substrat NAD+ dan menurunkan glikolisis. Karena NAD+ berfungsi
sebagai kofaktor glikolisis dan TCA, deplesi NAD+ menyebabkan ATP
intraseluler sangat menurun. Pemberian ekstrak teh hijau yang mengandung
catechins, telah menunjukkan menghilangkan peningkatan aktivitas PARP
(Paterniti et al., 2009).
Anggota flavan-3-ol, memiliki efek berbeda pada otak. Epicatechin (EC)
dan catechins (C) dapat menghambat pelepasan TNFα, tetapi tidak menurunkan
ekspresi iNOS dan produksi NO pada sel glia. Epicatechin (EC) dan catechins
(C) juga tidak dapat menghambat NADPH oksidase (Vauzour, 2012). Pemberian
epicatechins sebelum induksi neurotoksik dapat menghambat produksi TNF dan
NFκB serta menurunkan aktivasi iNOS (Mohamed, Karam and Amer, 2011).
EGCG dapat menghambat pelepasan TNFα, menghambat aktivasi iNOS, serta
menurunkan aktivasi PARP (Khalatbary and Ahmadvand, 2011). EGCG juga
diketahui dapat menurunkan ekspresi aquaporin 4 (kanal air pada sawar darah
otak) sehingga dapat mengurangi edema otak. Selain itu EGCG juga dapat
menurunkan ekspresi GFAP yang menunjukkan penurunan glia yang teraktivasi
(Zhang et al., 2015).
59
Hasil penelitian Kaul dan Khanduja menemukan bahwa polifenol
menghambat produksi superoxide anion radical (SOR) yang diinduksi benzoil
peroxide (BPO). Penghambatan xantin oxidase (XO) juga dapat dilakukan oleh
EGCG. Efek antiinflamasi EGCG dan catechins ditunjukkan dengan hambatan
pada jalur NFκB dan AP-1 (Ekawati et al., 2012). Pemberian EGCG pada cedera
spinalis dapat menurunkan ekspresi Bax dan meningkatkan ekspresi Bcl-2
setelah trauma (Khalatbary, 2014).
EGCG memodulasi jalur apoptosis dengan melindungi dari stress
oksidatif. Beberapa sekuens apoptosis yang dihambat oleh EGCG antara lain
adalah caspase-3, pelepasan sitokrom C, poly(ADP-ribosome) polymerase
cleavage, jalur glycogen kinase synthase kinase-3 pathway, dan memodulasi
sinyal sel melalui jalur phosphatidyl inositol-3 kinase (PI3K/Akt), sehingga sel
tetap hidup. Catechins juga memodulasi apoptosis dengan mempengaruhi gen
pro-apoptosis dan anti-apoptosis. EGCG menghambat ekspresi gen pro-
apoptosis Bax, Bad, dan Mdm2 serta menginduksi ekspresi gen anti-apoptosis,
yaitu Bcl-2, Bcl-w, dan Bcl-xl, sehingga melindungi sel dari apoptosis. EGCG juga
mempromosi kehidupan sel dengan menjaga jalur protein kinase c dan
extracellular signal-related kinase ½ pathway (Sutherland et al., 2006).
Selain sebagai antioksidan dan antiinflamasi seperti tersebut diatas,
catechins juga dapat menurunkan kadar kolesterol, LDL, dan trigliserida.
Mekanisme penurunan tersebut adalah dengan cara meningkatkan aktivitas
lipoprotein lipase, sehingga katabolisme lipoprotein kaya trigliserida seperti VLDL
dan IDL meningkat. Kadar kolesterol HDL meningkat secara tidak langsung
akibat menurunnya kadar trigliserida VLDL atau karena meningkatnya produksi
apo AI dan apo AII. Efek penurunan kolesterol LDL diduga berhubungan dengan
meningkatnya bersihan VLDL dan IDL dalam hati sehingga produksi LDL
menurun (Ekawati et al., 2012). Selain manfaat yang jelaskan di atas, catechins
60
juga dikenal dengan manfaat sebagai antibakteri, antidiabetes, antivirus,
antimalaria, hepatoprotektan, neuroprotektan dan kardioprotektan (Chaturvedi
and Mishra, 2012).
Konsumsi catechins jangka panjang dapat meningkatkan aktivitas UDP-
glucuronosyl transferase pada tikus. Peningkatan aktivitas UDP-glucuronosyl
transferase diduga berperan pada efek antikarsinogenik dari catechins. Terdapat
interaksi antara catechins dengan 2-amino-3-methylimidazol (4,5-f) quinoline
(IQ). IQ merupakan prekarsinogen yang awalnya ditemukan pada daging yang
digoreng. Pada tikus, IQ dimetabolisme di sitokrom P450 diikuti dengan
konjugasi. Catechins memodifikasi metabolisme IQ menjadi IQ glucoronide yang
dapat diekskresikan melalui urine (Chacko et al., 2010). Pemberian catechins
yang bersamaan dengan caffein dapat menurunkan sulfonasi dan glukoronidasi
dari EGCG (Yashin et al., 2012). Pemberian larutan EGCG pada kulit dapat
menurunkan pembentukan cyclobutane pyrimidine dimer (CPD) akibat papatan
radiasi ultraviolet yang bersifat karsinogenesis (Yashin et al., 2012).
2.4.7.3.3 Efek Pemberian Catechins pada Cedera pada Sistem Saraf Pusat
Nutrisi diteliti atas efektivitasnya terhadap terapi cedera otak dan cedera
terkait cedera otak misalnya hipoksia, kejang, dan perdarahan sehingga
merupakan terapi penunjang dalam penatalaksanaan cedera kepala. Nutrisi
dipilih berdasarkan perannya dalam mengembalikan energi seluler, menurunkan
stress oksidatif dan inflamasi, dan perbaikan serta kesembuhan dari cedera.
Nurtrisi yang teridentifikasi antara lain asetil KoA, antioksidan, asam amino rantai
cabang, kolin, kreatin, diet ketogenik, magnesium, nikotinamid adenin
dinukleotida, asam lemak n-3, polifenol, vitamin D dan zink (Erdman et al., 2011).
Pada penelitian yang dilakukan Paterniti et al., (2009) pada tikus model
cedera spinal, catechins terbukti memberikan manfaat pada derajat kerusakan
61
medulla spinalis dan memperbaiki gangguan motoris. Cedera medula spinalis
memicu kejadian yang mengarah pada kerusakan sel neuron sekunder, seperti
halnya cedera otak yang juga melibatkan aktivitas oksidan ROS dan sebagainya.
Sehingga pemberian catechins yang berfungsi sebagai free radical scavanger,
dapat bekerja sebagai antioksidan dan memiliki efek neuroprotektan.
Masih dari penelitian yang sama, cedera medula spinalis traumatis, juga
memicu terjadinya peroksidase lipid. Pada penelitian tersebut kadar
Malondialdehyde (MDA) dievaluasi, dan pada kelompok yang diberikan ekstrak
teh hijau juga ditemukan penurunan kadar MDA yang bermakna, pada kelompok
Sham procedure, tidak ada peningkatan MDA sama sekali (Paterniti et al., 2009).
Peran catechins pada iskemia otak, seperti pada cedera otak traumatik
dijelaskan pada gambar 2.21. Catechins bersifat antioksidan melalui
penghambatan pelepasan 61roteolys, meningkatkan gradien H+ pada
mitokondria, menurunkan produksi enzim-enzim xantin oksidase, fosfolipase,
protein kinase, protease, dan endonuklease. Selain itu, catechins juga
menghambat NOS baik iNOS, nNOS, maupun eNOS yang berlebihan, sehingga
produksi NO tidak berlebihan. Peningkatan eNOS yang berlebihan selain bersifat
protektif karena menyebabkan vasodilatasi di area iskemik, namun juga
meningkatkan risiko perdarahan. Catechins dapat menurunkan apoptosis serta
mengurangi proteolisis sehingga menurunkan kematian sel. Catechins juga
menghambat kematian sel melalui hambatan pada mediator pro inflamasi,
sehingga menurunkan pembentukan radikal bebas melalui jalur inflamasi
(Sutherland et al., 2006).
62
Gambar 2.17 Mekanisme kerja catechins pada kaskade iskemia pada penyakit neurodegeneratif dan neuroinflamasi. Tempat aksi catechins ditandai
dengan logo daun, menunjukkan perannya dalam mencegah kematian sel. Selain itu catechins juga bersifat neuroprotektif dengan menginduksi produksi eNOS. Neuroinflamasi merupakan jalur yang tetap teraktivasi hingga berbulan-bulan, dan catechins juga berperan dalam berbagai mekanisme di dalamnya (Sutherland et al., 2006).
2.4.8 Kelemahan Catechins
Kelemahan catechins yang paling signifikan adalah sifat reaktif dan tidak
stabil dalam kondisi fisiologis dan eksperimen. Catechins merupakan radical
scavenger untuk radikal anion superoksida (O2-) dan radikal hidroksil. Namun,
catechins juga mudah dioksidasi oleh dioksigen sehingga dapat menghasilkan
reactive oxygen species (ROS), antara lain hidrogen peroksida (H2O2) dan O2-.
Ion cuprum (Cu2+) meningkatkan auto-oksidasi dan dapat membentuk produk
samping quinone yang bersifat sitotoksik (Smith, 2011).
EGCG, sebagai komposisi terbesar dari catechins juga ditemukan cepat
dimetabolisme in vivo. Karena kelarutannya tinggi, catechins sedikit diabsorbsi
63
pada pemberian peroral. Selain itu, mikroba pada usus juga dapat menyebabkan
degradasi dari catechins (Smith, 2011).
2.4.9 Upaya untuk Meningkatkan Bioavailabilitas Catechins
Diduga, untuk menghindari auto-oksidasi dan modifikasi catechins in vivo,
dapat dilakukan asetilasi dari alkohol phenolic. Contoh obat lain yang
dimodifikasi dengan asetilasi adalah asam salisilat yang diasetilasi dengan acetic
anhydrate untuk membentuk aspirin. Asetilasi ini menyebabkan bahan menjadi
lebih hidrofobik dan menghambat biotrasformasi fase II maupun degradasi
oksidatif. Pada penelitian yang dilakukan oleh Lambert et al., (2006) didapatkan
bahwa EGCG terasetilasi akan mengalami deasetilasi setelah masuk ke dalam
berbagai sel serta meningkatkan kadarnya hingga 4 kali lipat pada serum serta
meningkatkan waktu paruh hingga 6 kali lipat (Smith, 2011).
Pada penelitian lain dilakukan pemberian catechins dalam bentuk
termetabolisir. Dimerisasi EGCG pada medium alkali menghasilkan bahan baru,
yaitu theasinensins A dan D, yang memiliki aktivitas antioksidan 2-3 kali lebih
besar (Yashin et al., 2012). Sedangkan berdasarkan penelitian Huang et al.
(2011), pemberian liposom bersamaan dengan (+)-catechin per oral
meningkatkan konsentrasinya pada jaringan otak (Faria et al.,, 2012).
2.5 Metode-Metode Cedera Otak In Vivo
Berbagai metode digunakan untuk memodelkan dan menganalisis cedera
otak traumatika pada manusia. Hal ini termasuk percobaan relawan dan mayat,
boneka antropomorfik, model fisik, model komputasi, dan model matematis,
namun diantara beberapa model yang tersedia, tanggapan patofisiologis
terhadap dampak mekanis dari sistem saraf pusat manusia paling realistis
64
dianalisis dengan menggunakan model binatang, yang menyediakan pengganti
terbaik untuk otak manusia (Gilchrist, 2004). Meskipun model hewan besar
mungkin diperlukan untuk menyelidiki aspek tertentu dari trauma otak, binatang
pengerat (mencit dan tikus) telah muncul sebagai spesies yang paling umum
digunakan, karena mereka mudah tersedia untuk banyak peneliti, data normatif
untuk berbagai variabel fisiologis dan perilaku pada hewan pengerat
didokumentasikan dengan baik, serta teknologi transgenik memungkinkan
generasi hewan pengerat dengan perubahan genetik tertentu (Albert-
Weissenberger and Siren, 2010). Cernak (2005) juga menjelaskan bahwa model
awal yang digunakan untuk menggambarkan trauma pada otak secara
eksperimental yaitu model akselerasi dan model perkusi. Model-model inilah
yang menjadi dasar pengembangan model selanjutnya, dengan beberapa
perubahan pada variabel-variabel terkait, dapat menghasilkan cedera otak
terfokus hingga cedera otak diffuse. Efek trauma yang dapat diamati secara
makroskopis diantaranya terbentuknya hematoma, sedangkan pengamatan
secara mikroskopis pada tingkat biomolekuler dan seluler dapat dilakukan
dengan pendeteksian mediator-mediator kimia dan pengecatan imunisitokimia
(Cernak, 2005).
Secara sederhana, model eksperimental trauma pada otak dapat dibagi
menjadi model yang langsung mengenai otak dan model yang langsung
mengenai kepala. Gilchrist (2004) menjelaskan bahwa model trauma yang
langsung mengenai otak (direct brain-impact model) menghasilkan cedera
terfokus pada korteks otak dengan menggunakan penjatuhan beban pada
duramater otak yang terpapar; sedangkan model lain yaitu trauma yang langsung
mengenai kepala (direct head-impact model) menggunakan hewan coba yang
kepalanya tidak ditahan, hanya bertumpu pada lehernya saja, sehingga, pada
65
kenyataannya, trauma yang diberikan menghasilkan percepatan rotasi dan linier
pada kepala(Gilchrist, 2004).
2.5.1 Anatomi Otak Rattus norvegicus galur Wistar
Bregma dan lambda merupakan bagian dari tikus yang penting untuk
menentukan posisi otak pada tikus. Jarak lambda dan bregma pada tikus dengan
berat sekitar 180 gram adalah 7 mm. Posisi mid coronal berada pada 3 mm di
depan lambda. Korteks serebri berada pada bagian superior dari otak. (Paxinos
and Watson, 2006). Pemetaan korteks sensorimotor berada pada bagian depan
otak dengan diameter 7 mm dengan pusat 1 mm anterior dari bregma (Jung et
al., 2013). Korteks motorik primer (M1) tampak paling luas pada potongan
koronal otak tikus 2,2 mm anterior dari bregma (Paxinos and Watson, 2006).
Gambar 2.18 Anatomi tulang kranium Rattus norvegicus galur wistar. Gambar di atas adalah penampang tulang kranium Rattus norvegicus galur wistar dengan berat 290 gram dari superior (atas) dan lateral (bawah). Bregma dan Lambda merupakan struktur penting dalam menentukan posisi otak (Paxinos and Watson, 1997).
66
Gambar 2.19 Anatomi otak Rattus norvegicus galur wistar. Gambar di atas
adalah penampang lateral otak Rattus norvegicus galur wistar dengan berat 290 gram. Cortex cerebri berada pada superior dari otak. Mid coronal berada pada 3 mm anterior dari Lambda (Paxinos and Watson, 2006).
Gambar 2.20 Anatomi otak Rattus norvegicus galur wistar. Penampang koronal otak Rattus norvegicus galur wistar pada potongan 2,2 mm anterior dari bregma. M1 merupakan area motorik primer. (Paxinos dan Watson, 2006)
67
Gambar 2.21 Pemetaan struktur fungsional otak tikus dilihat dari vertex. Lingkaran dengan diameter 7 mm dengan pusat 1 mm anterior dari bregma dan 3,5 mm lateral kanan dari garis tengah merepresentasikan cortex sensorimotor. Titik 0 dari sumbu horizontal menunjukkan posisi bregma dan titik 0 pada sumbu vertikal menunjukkan posisi garis tengah (Jung et al., 2013).
68
Gambar 2.22 Anatomi Otak Tikus (Sidman et al., 2016)
Gambar 2.23 Anatomi Otak Tikus (Sidman et al., 2016)
Sel pada sistem saraf pusat terdiri dari neuron dan glia. Neuron
merupakan sel dengan ukuran yang terbesar dan dapat dibedakan melalui
69
kandungan badan Nissl pada sitoplasmanya. Badan Nissl adalah agregasi dari
retikulum endoplasma kasar yang mengandung ribosom. Neuropil adalah area di
sekitar neuron yang dibentuk oleh prosesus dari dendrit dan akson serta sinaps.
Neuropil tidak tampak pada pewarnaan hematoxylin eosin (HE). Sel glia terdiri
dari oligodendrosit, astrosit dan mikroglia. Sel glia ini berjumlah hingga sepuluh
kali lipat dari jumlah neuron. Pada pewarnaan HE, sel glia ini hanya tampak
nukleusnya saja. Oligodendrosit memiliki inti kecil, bulat, dan hiperkromatin,
serupa dengan limfosit. Prosesus dari oligodendrosit membentuk lapisan myelin.
Lokasi oligodendrosit banyak terdapat pada subkorteks. Astrosit meiliki nukleus
dengan bentuk bulat lonjong dengan ukuran yang lebih besar, lebih ireguler, dan
lebih pucat dibandingkan dengan oligodendrosit. Prosesus astrosit mengisi ruang
di neuropil, serta membentuk lapisan kontinyu pada superfisial piamater (glial
limiting membrane). Mikroglia merupakan sel yang berukuran kecil, tipis, dengan
sel yang elongasi tanpa sitoplasma yang tampak, pada korteks dan subkorteks.
Mikroglia merupakan 15% dari sel glia. Korteks serebri memiliki vaskularisasi
yang tinggi. Pembuluh darah pada korteks dan subkorteks terdiri dari sel endotel
dengan tight junction yang dilapisi oleh membran basalis dan dikelilingi oleh
perisit dan ujung dari prosesus astrosit. Struktur-struktur tersebut disebut dengan
sawar darah otak (blood-brain barrier) (Valdevelde et al., 2012).
2.5.2 Model Penjatuhan Beban (Weight-Drop)
Model weight-drop menggunakan gaya gravitasi dari beban yang
dijatuhkan untuk menghasilkan cedera diffuse dan utamanya cedera terfokus
yang dapat dilakukan dengan menjatuhkan beban pada tengkorak yang terpapar
atau pada duramater yang terpapar (Albert-Weissenberger and Siren, 2010).
Bantalan yang lunak dan fleksibel dapat digunakan untuk memberikan efek
“pantulan” sehingga beban yang dijatuhkan menimbulkan cedera diffuse,
70
sedangkan bantalan keras digunakan untuk mengasilkan cedera terfokus
(Gilchrist, 2004). Marmarou (2007) bersama rekan-rekannya pernah melakukan
percobaan trauma otak eksperimental menggunakan sebatang logam yang
dijatuhkan dalam pleksiglass dengan memanfaatkan gaya gravitasi pada
tengkorak utuh (hanya kulit kepalanya yang dikelupas) menggunakan beban 450
gram dijatuhkan dari 2 meter, dan untuk menghindari dentuman ulang beban
setelah penjatuhan, maka dilakukan pemindahan segera hewan coba dari tempat
penjatuhan, ternyata tingkat mortalitasnya 44% dengan 12,5% retak tulang
tengkorak, mortalitas terutama akibat depresi nafas, ditemukan peningkatan
tekanan intrakranial dan penurunan aliran darah otak, serta defisit motor dan
kognitif pasca-trauma (Marmarou et al., 2007).
Gilchrist (2004) menjelaskan teknik lain pada model weight-drop ini
berdasarkan kerja yang dilakukan oleh Koizumi dkk, menggunakan beban
alumunium seberat 2,75 gram yang dijatuhkan dari ketinggian 90 cm pada
bagian korteks parietal otak sebelah kanan dengan kemiringan 30 ditambah
dengan mikrodialisis seperti pada gambar, dimana ketinggian beban yang
dijatuhkan dapat bervariasi mulai dari 30, 60, dan 90 cm, namun berdasarkan
penelitian pendahuluan mereka, diperoleh bahwa dengan beban seberat 2,75
gram ternyata memberikan efek paling optimal jika dijatuhkan dari ketinggian 90
cm (Gilchrist, 2004).
Percobaan cedera model weight-drop mampu menghasilkan cedera yang
bervariasi tergantung berat beban dan tinggi penjatuhan. Ditambahkan, metode
weight-drop ini ternyata mampu mengaktifkan mediator pro-inflamasi, calapain,
dan caspase, sehingga menunjukkan adanya apoptosis dan nekrosis, serta
mudah dan murah diterapkan (Cernak, 2005; Marmarou et al., 2007).
71
Gambar 2.24 Marmarou’s Weight-drop Model (Marmarou et al., 2007)
Gambar 2.25 Model Weight-Drop yang diperagakan oleh Koizumi (Gilchrist, 2004)
Model lainnya seperti metode perkusi fluida (fluid percussion injury) yang
menghasilkan cedera otak dengan cara menyuntikkan sejumlah cairan dengan
cepat pada permukaan duramater utuh yang dipapar melalui suatu craniotomy,
dimana craniotomy sendiri dapat dilakukan baik secara terpusat, sagital atas
antara bregma dan lambda, atau lateral di atas korteks parietalis (Albert-
Weissenberger and Siren, 2010). Model controlled cortical impact memanfaatkan
pistol pneumatik untuk merusak sisi lateral duramater yang terpapar dan
72
memberikan dampak yang dapat dikendalikan dan diukur berdasarkan parameter
biomekanik yang diadaptasi untuk tikus pada tahun 1991 dan untuk mencit pada
tahun 1995 serta mampu menghasilkan cedera otak yang bergradasi dan dapat
direproduksi (Weissenberger dan Siren, 2010).
Masih ada model lain seperti model cryogenic, model barotrauma, dan
model ledakan. Model cryogenic menggunakan sebuah batang dingin yang
ditempelkan pada duramater yang terpapar pada tikus, misalnya pada korteks
parietal otak menggunakan silinder tembaga diisi dengan campuran aseton dan
es kering (-78° C) atau tengkorak terpapar pada mencit, misalnya pada korteks
parietal otak menggunakan silinder tembaga diisi dengan nitrogen cair (-183° C)
(Albert-Weissenberger, 2010). Keparahan cedera dapat divariasikan dengan
merubah lamanya kontak dengan pelat dingin. Model-model yang sudah pernah
dilakukan oleh para peneliti sebelumnya juga dapat dimodifikasi sesuai dengan
tujuan yang diinginkan (Weissenberger dan Siren, 2010).
2.5.3 Metode Perkusi Fluida (Fluid Percussion Injury)
Model perkusi fluida (fluid percussion injury) menghasilkan cedera otak
dengan cara menyuntikkan sejumlah cairan dengan cepat pada permukaan
duramater utuh yang dipapar melalui suatu craniotomy, dimana craniotomy
sendiri dapat dilakukan baik secara terpusat, sagital atas antara bregma dan
lambda, atau lateral di atas korteks parietalis (Weissenberger, 2010).
73
Gambar 2.26 Model Perkusi Fluida (Gilchrist, 2004)
2.5.4 Model Controlled Cortical Impact
Model controlled cortical impact memanfaatkan pistol pneumatik untuk
merusak sisi lateral duramater yang terpapar dan memberikan dampak yang
dapat dikendalikan dan diukur berdasarkan parameter biomekanik yang
diadaptasi untuk tikus pada tahun 1991 dan untuk mencit pada tahun 1995 serta
mampu menghasilkan cedera otak yang bergradasi dan dapat direproduksi
(Albert-Weissenberger, 2010).
Gambar 2.27 Model Controlled Cortical Impact (Gilchrist, 2004).
74
Tergantung pada beratnya cedera, controlled cortical impact
menghasilkan cedera ipsilateral dengan memar pada korteks otak, perdarahan,
dan gangguan sawar darah-otak, kematian dan degenerasi neuron, astrogliosis,
aktivasi mikroglial, keradangan, kerusakan akson, defisit kognitif, dan
eksitotoksitas dilaporkan terjadi (Albert-Weissenberger, 2010). Albert-
Weissenberger (2010) juga menambahkan sehubungan dengan edema otak,
controlled cortical impact merupakan model yang sesuai karena memiliki
kemampuan untuk menyebabkan edema otak sitotoksik dan vasogenik, sehingga
mencerminkan situasi klinis pembentukan edema otak pasca-trauma.
2.5.5. Model-Model Lain
Model-model lain yang dapat digunakan seperti model cryogenic, model
barotrauma, dan model ledakan. Model cryogenic menggunakan sebuah batang
dingin yang ditempelkan pada duramater yang terpapar pada tikus, misalnya
pada korteks parietal otak menggunakan silinder tembaga diisi dengan campuran
aseton dan es kering (-78° C) atau tengkorak terpapar pada mencit, misalnya
pada korteks parietal otak menggunakan silinder tembaga diisi dengan nitrogen
cair (-183° C) (Albert-Weissenberger, 2010). Keparahan cedera dapat
divariasikan dengan merubah lamanya kontak dengan pelat dingin. Model-model
yang sudah pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya juga dapat
dimodifikasi sesuai dengan tujuan yang diinginkan (Albert-Weissenberger, 2010).
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa masing-masing
model trauma memiliki tujuan, kelebihan, dan kekurangannya masing-masing.
Tidak ada satu model tunggal percobaan in vivo dari cedera otak traumatika yang
menjadi rekomendasi bagi standar baku emas untuk penelitian neurotrauma, hal
ini disebabkan karena tiap-tiap model memiliki keuntungan dan kerugian,
sehingga pemilihan model harus disesuaikan dengan tujuan penelitian (Cernak,
2005).
75
2.6 Metode Imunohistokimia
Imunohistokimia merupakan proses untuk mendeteksi antigen (protein,
karbohidrat, dsb) pada sel dari jaringan dengan prinsip reaksi antibody yang
berikatan terhadap antigen pada jaringan. Nama imunohistokimia diambil dari
nama “immune” yang menunjukkan bahwa prinsip dasar dalam proses ini ialah
penggunaan antibody dan “histo” menunjukkan jaringan secara mikroskopis.
Imunohistokimia seringkali digunakan untuk mengukur dan mengidentifikasi
karakteristik dari even seluler seperti proses proliferasi sel, apoptosis sel.
Imunohistokimia juga sering digunakan untuk penelitian dasar dalam rangka
mengetahui distribusi dan lokasi biomarker ataupun protein terekspresi pada
berbagai macam jaringan pada tubuh. (Ramos-Vara, 2005). Untuk
memvisualisasikan hasil interaksi antara antigen dan antibody dapat dilakukan
dengan berbagai macam cara, dimana cara yang paling sering digunakan ialah
dengan konjugasi antibody dengan enzim seperti peroksidase. Selain itu juga
bias digunakan fluorophore seperi fluorescin atau rhodamin. Untuk mempelajari
morfologi sel, sel dalam jaringan difiksasi kemudian dilokalisasi diantara sel dan
divisualisasikan dengan mikroskop elektron atau mikroskop cahaya (Rantam,
2003)
Secara garis besar, untuk metode imunohistokimia, dapat dilakukan
dengan metode direk maupun indirek. Dimana keduanya ditentukan oleh prinsip
reaksi antibody yang digunakan, yaitu Metode Direct menggunakan antibody
primer yang sudah terlabel dan berikatan langsung dengan antigen target secara
langsung. Dan Metode Indirect menggunakan antibody primer yang tidak ada
labelnya, namun digunakan juga antibody sekunder yang sudah memiliki label
dan akan bereaksi dengan IgG dari antibody primer (Rantam, 2003)
Secara umum, proses pemeriksaan imunohistokimia terdiri dari beberapa
tahapan, yaitu proses fiksasi dengan pembuatan paraffin block, deparafinisasi,
76
proses imunohistokimia yang sesuai dan pengamatan dibawah mikroskop
(Rantam, 2003)
77
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep
Keterangan :
: Variable yang diamati Memicu/berpengaruh terhadap
: Variabel yang tidak diamati Menghambat
Bcl-xS, Bax
Caspase-3
Pelepasan
sitokin
proinflamasi IL-
8,IL1β. TNFα
Depolarisasi membran
Cedera Otak Traumatik
Cedera Primer
Kontusio serebri Asam Arakhidonat
Pelepasan Glutamat
AMPA/NMDA
COX
LOX
Hipoksia-iskemia
Catechins
EGCG
Deplesi ATP Aktivasi
Mikroglia
Edema
serebri
NFKβ
Depolarisasi
neuron
Ca2+ influks
Neurotoksis
(Calpain)
Apoptosis
Kerusakan
membran sel
apoptosis
Fragmentasi DNA
Caspase-9
Pelepasan cyt-C
FADD
Penurunan
fungsi otak
influkspenur
unan
TRADD
TRAIL
Caspase 8
Degradasi iCAD Peningkatan CAD
Prostaglandin
Leukotrien
Radikal bebas
Kerusakan DNA
CEDERA OTAK SEKUNDER
Nekrosis
78
Cedera otak primer menyebabkan kematian sel dan defisit neurologi
melalui gangguan fisik terhadap jaringan secara langsung (cedera primer), juga
melalui mekanisme patofisiologi molekuler dan seluler yang menyebabkan
kerusakan area putih dan abu-abu secara progresif (cedera sekunder). Pada
cedera sekunder terjadi serangkaian proses yang dapat menyebabkan
apoptosis. Akibat dari cedera otak primer dan sekunder tersebut antara lain
terjadinya proses inflamasi secara langsung melalui pelepasan asam
arakhidonat, pembentukan radikal bebas, terjadinya edema vasogenik dan
sitotoksik, peningkatan influks Ca++ dan eksitotoksisitas glutamat. Sekresi
glutamat menginduksi kerusakan membran sel dan inflamasi pada sel neuron.
Hal tersebut pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya nekrosis dari sel-sel
neuron. Proses inflamasi, dari reaksi stres oksidatif, memicu pelepasan asam
arakhidonat, dan menginduksi jalur COX (Cycolooxigenase) dan LOX
(Lipooxigenase), yang selanjutnya menginduksi pelepasan mediator inflamasi
seperti prostaglandin. Selanjutnya, prostaglandin peroksidase G (PGG2)
diturunkan menjadi prostaglandin peroksidase H (PGH2) dan melalui proses
peroksidase lipid dipecah menjadi MDA (malondialdehyde) dan HHT
(hydroxyheptadecatrienoate). Radikal bebas, peningkatan kalsium intraselular
dan peningkatan glutamat dapat mengganggu keseimbangan Bcl-2 family pro-
apoptotik dan anti-apoptotik. Anggota Bcl-2 family yang mendukung program
kematian sel misalnya Bax dan Bcl-xS, sedangkan yang menekan program
kematian sel misalnya Bcl-2 dan Bcl-xL. Pada kondisi tersebut terjadi
peningkatan anggota pro-apoptotik dan penurunan anggota anti-apoptotik. Hal
tersebut menyebabkan gangguan pada membran mitokondria (pembukaan pore
pada membran mitokondria), yang selanjutnya menyebabkan pelepasan
cytochrome c. Cytochrome c akan memicu jalur caspase yang selanjutnya
79
menyebabkan apoptosis melalui DNA fragmentasi. (Park et al., 2008; Machfoed,
2011; Zhang et al, 2005; Zalmer et al.,2007; Berridge, 2012)
Terjadinya hipoksia-iskemia pada cedera sekunder setelah cedera otak
trauma akan menyebabkan deplesi ATP sel-sel otak serta aktivasi mikroglia.
Deplesei ATP akan menyebabkan edema sitotoksik dan vasogenik. Edema
tersebut akan mengakibatkan sel neuron mengalami depolarisasi berlebihan,
sehingga terjadi peningkatan influks kalsium. Aktivasi mikroglia akan
meningkatkan produksi mediator pro-inflamasi utama seperti NFkB, TNF-α, IL-8,
dan IL-1β (Mauritz et al, 2008; Medikians dan Giza, 2006; Berridge, 2012)
TNF alfa merupakan substrat penting dalam jalur apoptosis ekstrinsik.
TNF alfa menginduksi pelepasan TRADD yang mengaktivasi caspase 8 melalui
mediasi FADD, yang pada umumnya dihambat oleh caspase inhibitor. Ekspresi
TNFR-1 dan TRADD mengatur kaskade apoptosis yang berhubungan dengan
reseptor. Akhirnya, peningkatan jumlah TNF alfa, caspase 8 dan FADD,
menyebabkan terjadinya pelepasan asam etakrinik yang dapat menginduksi
apoptosis dengan melakukan fragmentasi DNA. Selain itu, peningkatan caspase
8 juga meningkatkan ekspresi caspase 3. Caspase-3 teraktivasi sebagai mesin
utama apoptosis, membelah DNA pada daerah linker menggunakan caspase
associated DNAse (CAD) dengan terlebih dahulu mendegradasi inhibitornya,
inhibitor of CAD (ICAD). (Perry et al., 2008; Zhang et al., 2005; Figiel, 2008).
Catechins adalah suatu senyawa kimia dalam teh yang merupakan salah
satu kelas flavanol. Catechins memiliki aktivitas antioksidan dan antiinflamasi
yang kuat serta mampu menetralisir berbagai radikal bebas dalam tubuh seperti
seperti reactive oxygen species (ROS) dan peroksinitrit. Pada penelitian ini
catechins diharapkan mampu menurunkan ekspresi TNF-α dengan menurunkan
ekspresi gen STAT-1 dan melalui hambatan pada NFKβ. Serta menurunkan
apoptosis sel neuron, dengan menghambat pembentukan radikal bebas melalui
80
hambatan jalur NADPH oksidase, menetralisir radikal bebas yang telah
terbentuk, serta meningkatkan protein antiapoptosis (Bcl-2) dan menurunkan
protein sel proapptosis (Bax, Bcl-XS) (Lieber and Leo, 1999; Imannulkhan, 2006;
Zhang et al., 2015).
3.2 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka teori dan konsep penelitian diatas, hipotesis
penelitian ini dengan pemberian catechins dapat menurunkan ekspresi TNF-α,
dapat menurunkan jumlah sel apoptosis dan dapat meningkatkan status
fungsional tikus jantan model Traumatic Brain Injury, karena terdapat hubungan
positif ekspresi TNF-α dengan jumlah sel apoptosis, semakin tinggi ekspresi
TNF-α semakin tinggi juga jumlah sel apoptosis begitu pula sebaliknya.
Hubungan negatif ekspresi TNF-α dengan status fungsional, semakin tinggi
ekspresi TNF-α semakin menurun status fungsional pada tikus jantan model
traumatic brain injury (TBI).
81
BAB IV
METODE PENELITIAN
.
4.1. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian berupa penjatuhan beban
pada jaringan otak tikus model cedera otak traumatik sesuai dengan Marmarou
et al (2007), selanjutnya dilakukan pengamatan ekspresi TNF-α dan sel
apoptosis pada jaringan serta status fungsional tikus model cedera otak
traumatik.
4.2. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian sebenarnya (true
experimental design) di laboratorium secara in vivo dengan randomized post test
only controlled group design pada hewan coba tikus (Rattus norvegicus) galur
wistar.
4.3. Populasi dan Sampel
Sampel penelitian adalah tikus yang dipilih memenuhi kriteria berikut:
1. Kriteria Inklusi
Tikus putih Rattus norvegicus galur wistar.
a. Jantan
b. Usia 10-12 minggu, karena pada penelitian ini kami menggunakan tikus
dewasa sesuai dengan epidemiologi TBI lebih banyak terjadi pada dewasa
muda.
c. Berat antara 100-150 gram
82
d. Dalam kondisi sehat dan aktif
2. Kriteria drop out adalah tikus yang mati pada saat penelitian berlangsung.
Besar sampel yang digunakan pada penelitian ini menggunakan rumus
Federer (1963) dalam Tjokronegoro (2001):
(t-1) (n-1) ≥ 15 t = kelompok perlakuan
n = jumlah sampel tiap kelompok
Banyaknya sampel pada penelitian ini adalah:
(10-1)(n-1) ≥ 15
9 (n-1) ≥ 15
9 n ≥ 24
n ≥ 2,6 ~ 3
Dari perhitungan di atas, dibutuhkan jumlah sampel sebanyak 3 ekor tikus
pada tiap perlakuan tetapi peneliti menggunakan 4 ekor tikus, sehingga total
jumlah sampel yang dibutuhkan adalah sebanyak 40 tikus dengan perincian
sebagai berikut:
1. Kelompok kontrol negatif, Sham Procedure
2. Kelompok kontrol positif, cedera otak traumatik yang tidak mendapatkan
catechins untuk dikorbankan hari ke 3 (tiga) dan hari ke 7 (tujuh).
3. Kelompok perlakuan cedera otak traumatik yang mendapatkan catechins
dengan dosis 513 mg/kg/hari untuk dikorbankan hari ke 3 (tiga) dan hari ke 7
(tujuh).
4. Kelompok perlakuan cedera otak traumatik yang mendapatkan catechins
dengan dosis 926 mg/kg/hari untuk dikorbankan hari ke 3 (tiga) dan hari ke 7
(tujuh).
83
5. Kelompok perlakuan cedera otak traumatik yang mendapatkan catechins
dengan dosis 1113 mg/kg/hari untuk dikorbankan hari ke 3 (tiga) dan hari ke
7 (tujuh).
(Suzuki et al., 2004)
4.4. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di beberapa laboratorium, yaitu di: Laboratorium
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang untuk tempat
pemeliharaan hewan coba dan pembedahan, Laboratorium Patologi Anatomi
Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya untuk tempat pembuatan slide
imunohistokimia dan Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya Malang untuk tempat pengecatan imunohistokimia.
4.5. Variabel Penelitian
4.5.1. Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah terapi dengan catechins yang
dibagi dalam kelompok:
- Kelompok A: merupakan kontrol negatif yang tidak dilakukan cedera otak
traumatik dan tidak diberi catechins, Sham Procedure
- Kelompok B: merupakan kelompok kontrol positif cedera otak traumatik yang
tidak mendapatkan catechins.
- Kelompok C: merupakan kelompok perlakuan cedera otak traumatik yang
mendapatkan catechins dengan dosis 513 mg/kg/hari per sonde selama 3 dan
7 hari. (Suzuki et al., 2004)
84
- Kelompok D: merupakan kelompok perlakuan cedera otak traumatik yang
mendapatkan catechins dengan dosis 926 mg/kg/hari per sonde selama 3 dan
7 hari. (Suzuki et al., 2004)
- Kelompok E: merupakan kelompok perlakuan cedera otak traumatik yang
mendapatkan catechins dengan dosis 1113 mg/kg/hari per sonde selama 3
dan 7 hari. (Suzuki et al., 2004)
Penelitian yang dilakukan Suzuki et al (2004) menunjukkan bahwa
peningkatan catechins dalam plasma, mulai ditunjukkan pada kelompok
dengan tingkat konsumsi catechins (50%) 0,77 gr/5 hari kemudian dosis
kedua digunakan 1,39 gr/5 hari serta dosis ketiga 1.67 gr/5 hari untuk tikus
ukuran 200 gr.
4.5.2. Variabel Tergantung
Variabel tergantung terdiri dari ekspresi TNF-α dan sel apoptosis pada
jaringan otak serta status fungsional tikus model cedera otak traumatik.
4.6. Definisi Operasional Variabel
1. Model traumatic brain injury didefinisikan merupakan cedera otak jejas atau
perlukaan jaringan otak bukan karena proses degeneratif atau bawaan lahir,
melainkan akibat penjatuhan beban. Menggunakan model Marmarou et al
(2007) dengan silinder besi seberat 45 gram (diameter 4 mm) dijatuhkan
dengan sudut 90º dari ketinggian 100 cm sebanyak 1 kali. Energi benturan
sebesar 0,45 joule.
2. Catechins yang dipakai pada penelitian ini adalah isolat bahan aktif dari
ekstrak teh hijau (Camelia sinensis) yang didapatkan dari Laboratorium Kimia
Institut Teknologi Bandung, Jawa Barat.
85
3. Terapi catechins diberikan secara oral melalui sonde setiap hari selama 10
hari dengan dosis 513, 926 dan 1113 mg/kgBB dilarutkan sebanyak 3 cc /
ekor.
4. Ekspresi TNF-α adalah pengamatan ekspresi TNF-α dari jaringan otak tikus
yang mengalami TBI diukur dengan metode imunohistokimia menggunakan
antibodi TNF-α (Santa Cruz) dan diamati menggunakan mikroskop binokuler
merk Olympus BxS1 dengan pembesaran 400x.
5. Sel apoptosis adalah pengamatan jumlah sel apoptosis jaringan otak tikus
dengan teknik DNA terfragmentasi (TUNEL) dan diamati menggunakan
mikroskop binokuler merk Olympus BxS1 dengan pembesaran 400x.
6. Status fungsional tikus dinilai dengan NSS (Neurological Severity Score). NSS
merupakan alat yang digunakan untuk mengevaluasi deficit neurologis pada
tikus model cedera kepala tertutup yang menilai status fungsional motoris dan
perilaku. Tikus tanpa defisit neurologis memiliki skor 0 dan makin berat defisit
neurologis, skor semakin meningkat dengan skor maksimal 10. (Wu, et al.,
2010; Albert-Weiβenberger et al., 2012).
4.7. Bahan dan Alat
4.7.1. Alat dan Bahan untuk Perawatan Hewan Coba
Alat yang digunakan adalah kandang berupa baskom dengan ukuran
20x30 cm dengan penutup kandang berupa jaring – jaring kawat sebanyak 30
buah, botol minum tikus 30 buah, timbangan analitik, handscoon dan pembersih
kandang. Bahan yang digunakan berupa sekam padi setebal 1,5-2 cm, makanan
tikus terdiri dari makanan ayam jenis BR 1 lalu dicampur tepung terigu yang
kemudian dibuat pellet dan air minum untuk tikus.
86
4.7.2. Model Cedera Otak Traumatik
Alat yang digunakan adalah alat pengatur ketinggian beban berupa
tabung dengan ketinggian 1 meter, silinder besi seberat 450 gram dengan
diameter 4 mm, lampu senter, benang wol untuk mengikat ekstremitas tikus,
papan untuk memfiksasi tikus, jarum pentul untuk mengaitkan benang wol, dan
fiksasi kepala tikus agar penjatuhan beban tepat pada sasaran.
Gambar 4.1 Alat untuk penjatuhan beban
4.7.3. Persiapan Hewan Coba
Alat yang digunakan adalah gunting bedah 2, pinset 2, jarum pentul 2 set,
steroform 2, penggaris, kertas label, termoses, kapas, wadah plastik + tutup 40
buah, spuit insulin 1 ml 40 buah, dan vacuotainer 45 buah. Bahan yang
digunakan adalah ketamine, xilase, 10% buffer-formalin 200 ml, salep lidocaine
5%, benang chromic catgut 3-0 dengan jarum, povidone iodine, dan alkohol.
4.7.4. Pembedahan
Alat yang digunakan adalah gunting bedah 2, pinset 2, jarum pentul 2 set,
steroform 2, penggaris, kertas label, termoses, kapas, wadah plastik + tutup 25
buah, spuit insulin 1 ml 30 buah, dan vacuotainer 25 buah. Bahan yang
digunakan adalah ketamine, xilase, 10% buffer-formalin 200 ml dan alkohol.
tikus
87
4.7.5. Pembuatan Slide Histopatologi
Alat yang digunakan adalah kaca obyek (object glass), kaca penutup
(cover glass), paraffin block, rotary mikrotom merek Leica. Bahan yang
digunakan adalah jaringan otak tikus wistar.
4.7.6. Pembuatan Sediaan Periksaan Imunohistokimia
Alat yang dibutuhkan untuk pemeriksaan imunohistokimia antara lain
chamber (suatu wadah dari plastik yang tahan panas), waterbath, slide
mikroskop Polysine (Polysine slide), timer, mikroskop dengan pembesaran
1000x. Untuk bahan yang dibutuhkan antara lain immunostaining kit (Dako
LSAB + System-HRP), antibodi primer TNF-α(bs-2081R Bioss USA), antibodi
primer TUNEL(ba-2220R Bioss USA), xilol, etanol absolut, etanol 90 %, etanol
80 %, etanol 70 %, aquades steril, buffer sitrat (Sodium Citrate Buffer 0,01M)
yang dibuat dari Na3C6H5O7 2,94 gram yang dilarutkan dalam aquades 1000 ml
dan diukur pada pH 6,0, PBS (yang dibuat dari NaH2PO4.2H2O 2,4 gram,
Na2HPO4 1,2 gram, KH2PO4 0,7 gram, dan KCl 6,8 gram yang dilarutkan dalam
aquades 1000 ml dan diukur pada pH 7,4), FBS (Fetal Bovine Serum) 5%, Triton
0,25%, dan larutan Mayer’s Hematoxylin dan tap water (air keran) dengan
perbandingan 1:25 (untuk pewarnaan background).
4.7.7. Alat Pemeriksaan Status Fungsional NSS
Peralatan yang dibutuhkan untuk menilai status fungsional dengan NSS
adalah lingkaran papan dengan berdiameter 30 cm, papan observasi berukuran
30 cm x 30 cm, forsep, balok keseimbangan berukuran 7 mm x 7 mm, tongkat
silinder berdiameter 3 mm, balok jalan berukuran panjang 30 cm dan 3 variasi
88
lebar, 3 cm, 2 cm dan 1 cm. Gambar 4.2 a. Tikus dimasukkan ke dalam lingkaran
kemudian diamati sampai tikus keluar dari pintu lingkaran, b. Balok
keseimbangan dipasangkan di tongkatnya kemudian tikus diamati hingga dapat
melewati balok, balok dipasang mulai dari yang paling lebar hingga yang paling
sempit, c.setelah balok keseimbangan kemudian diganti dengan tongkat silinder
kemudian diamati apakah tikus dapat bertahan hingga sisi seberangnya, diamati
pula cara tikus bertahan dengan berpegangan pada tongkat silinder.
Gambar 4.2 Alat pengukuran NSS Keterangan (gambar tampak atas) : (a) lingkaran; (b) balok keseimbangan
berukuran 7 mm x 7 mm; (c) balok panjang berukuran panjang 30 cm dengan variasi
lebar 1 cm (c1), 2 cm (c2), dan 3 cm (c3), (d) tongkat silinder berdiameter 3 mm.
4.8. Prosedur Penelitian
4.8.1. Pemeliharaan tikus wistar
Tikus wistar (Rattus norvegicus galur wistar) jantan sebanyak 20 ekor
dibeli dan dipelihara di Laboratorium Farmakologi FKUB. Tikus dipelihara dalam
kandang ukuran 30x30 cm (satu kandang berisi 4 ekor tikus). Tikus diadaptasi
selama 7 hari agar melakukan penyesuaian dengan lingkungan yang baru.
89
Makan dan minum diberikan dengan jumlah sesuai keinginan tikus untuk setiap
kandangnya. Untuk minum diberikan air matang, yang telah direbus hingga suhu
900 C yang diganti setiap harinya. Selama pelaksanaan penelitian, tikus
diperlakukan dengan hati – hati dan memperhatikan kelayakan etik penelitian
dengan hewan coba.
4.8.2. Pembuatan Catechins
Teh hijau galur GMB-4 didapatkan dari Tea and Quinine Research Center
Gambung. Catechins diisolasi dari teh hijau galur GMB-4 dalam bentuk bubuk.
Prosedur isolasi tersebut dilakukan pada laboratorium kimia fakultas ilmu
pengetahuan, Institut Teknologi Bandung.
4.8.3. Model Cedera Otak Traumatik
Cedera Otak Traumatik sesuai penelitian yang dilakukan oleh Marmarou
(1994). Tikus dianestesi dengan menggunakan ketamin, kemudian bulu kepala
dicukur dan dibersihkan dengan alkohol 70%. Selanjutnya, dilakukan insisi untuk
membuka kulit kepala. Silinder besi seberat 450 gram (diameter 4mm) dijatuhkan
dengan sudut 90º dari ketinggian 100 cm sebanyak 1 kali. Benturan
diestimasikan dengan energi 0,45 joule. Setalah dilakukan prosedur, kulit kepala
dijahit kembali dengan benang kromik sebanyak 3 jahitan dan dilakukan rawat
luka.
4.8.4. Pemberian Terapi Catechins
Catechins dilarutkan dengan pelarut aquades. Terapi catechins diberikan
secara per oral melaui sonde setiap hari selama 7 hari dengan dosis 513, 926 dan
1113 mg/kg BB/hari. Dosis catechins didasarkan pada penelitian yang dilakukan
Suzuki et al (2004) yang menunjukkan bahwa peningkatan catechins dalam plasma,
mulai ditunjukkan pada kelompok dengan tingkat konsumsi catechins (50%) 0,77 gr/5
90
hari kemudian dosis kedua digunakan 1,39 gr/5 hari serta dosis ketiga 1.67
gr/5 hari untuk tikus ukuran 200 gr.
EGCG dan catechins secara umum diserap di dalam usus halus, dengan
jumlah dosis minimal tertentu, seperti yang ditunjukkan pada penelitian diatas,
karena sulitnya masuk catechins ke dalam darah. Puncak konsentrasi plasma
EGCG tercapai setelah 1 hingga 2 jam pada subyek yang sehat. Kadar ini akan
berkurang secara bertahap hingga benar-benar hilang dalam 24 jam. Waktu
paruh EGCG sendiri berada pada sekitar 3.4 ± 0.3 jam (Mereles and Hunstein,
2011).
4.8.5. Pembedahan Tikus
Pembedahan tikus dilakukan dengan memberikan anestesi terlebih
dahulu. Anestesi diberikan dengan injeksi ketamine 44 mg/kg BB secara
intramuskular. Setelah tikus dipastikan tidak sadar (tidak menunjukkan gerakan
spontan), tikus dikorbankan dan dilakukan pembedahan untuk mengambil
jaringan otak tikus. Pembedahan tersebut dilakukan dengan cara menggunting
kranium dengan arah sagital dari kaudal (oksipital) menuju ke rostral (frontal),
tepat diantara kedua hemisfer otak tikus. Selanjutnya dilakukan pembebasan
otak tikus pada regio basal dari jaringan ikat sekitarnya. Bagian otak yang
diambil adalah lobus temporal dan prefrontal karena pada kedua lobus
merupakan lobus motorik pada tikus. Selanjutnya, jaringan otak dimasukkan
kedalam botol yang telah diisi larutan formalin 10%. Botol yang berisi jaringan
otak dan larutan formalin tersebut selanjutnya ditutup rapat. Pengirisan jaringan
otak dan pembuatan slide dengan paraffin block (pengirisan preparat otak dan
pembuatan slide dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi RSUD Dr.
91
Soetomo). Potongan paralel dilakukan untuk analisis imunohistokimia Bcl-2 dan
Bax.
4.8.6. Pembuatan Slide Histopatologi
Jaringan otak tikus yang telah dimasukkan dalam botol berisi formalin
10% harus segera diproses dalam waktu kurang dari 24 jam. Setelah itu jaringan
otak tadi dimasukkan ke Tissue Tex Processor selama 90 menit. Selanjutnya,
pada Tissue Tex Processor dilakukan proses dehidrasi dan clearing jaringan.
Jaringan diambil dari alat tersebut dan dilakukan blok dengan menggunakan
paraffin. Setelah itu, Jaringan otak yang dalam paraffin block tadi dilakukan
pemotongan menggunakan alat microtome dengan ketebalan 2-3 µm. Hasil
irisan dipindahkan dengan kuas kedalam air hangat 38-400C untuk meluruskan
kerutan halus yang ada. Irisan yang terentang sempurna diambil dengan gelas
obyek. Potongan terpilih dikeringkan dan diletakkan diatas hot plate 38-400
sampai kering, selanjutnya preparat dimasukkan dalam inkubator suhu 38-400C
selama 24 jam.
4.8.7. Pembuatan Sediaan Imunohistokimia
4.8.7.1. Deparafinisasi
Sebelum dideparafinasi, slide dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 60C
selama 60 menit. Kemudian ditambah dengan larutan berikut ini secara
berurutan: xilol (2x10 menit), etanol absolut (2x10 menit), etanol 90 % (1x5
menit), etanol 80 % (1x5 menit), etanol 70 % (1x5 menit), aquades steril (3x5
menit).
Prosedur standar fiksasi sediaan untuk pewarnaan imunohistokimia adalh
menggunakan formalin yang kemudian dilakukan parafinisasi. Prosedur fiksasi
92
menggunakan frozen section masih berada pada tahap eksperimental, walaupun
pada beberapa ekspresi protein, ditemukan hasil yang lebih baik, namun
prosedur frozen section masih belum menjadi prosedur standar untuk
pemeriksaan imunohistokimia secara rutin (Chaudary et al., 2014)
4.8.7.2. Antigen Retrieval dengan Buffer Sitrat
Slide direndam dalam chamber berisi buffer sitrat pH 6,0. Chamber
tersebut selanjutnya direndam dalam waterbat
menit. Selanjutnya slide dikeluarkan dari waterbath, ditunggu sampai suhu ruang
± 20 menit. Slide kemudian dicuci dengan PBS (3x5 menit).
4.8.7.3. Pemeriksaan Imunohistokimia Ekspresi TNF-α Jaringan Otak
Pada hari pertama, slide yang siap dilakukan pemeriksaan
imunohistokimia (immunohistochemistry/IHC) ditetesi dengan 3% H2O2 dalam
metanol, dan diinkubasi selama 15 menit. Slide tersebut kemudian dicuci dengan
PBS steril 3x5 menit. Setelah itu dilakukan proses blocking protein yang tidak
spesifik (unspecified protein), yaitu slide ditetesi dengan 0,25% Triton dalam
buffer PBS + 5% FBS selama 60 menit pada suhu ruang dan selanjutnya dicuci
dengan PBS steril 3x5 menit. Setelah itu dilakukan proses inkubasi antibodi
primer, yaitu slide ditetesi dengan antibodi primer TNF-α yang dilarutkan dalam
buffer PBS + 5% FBS, dan diinkubasikan semalam pada suhu 4C.
Keesokan harinya, yaitu pada hari kedua, slide yang diinkubasikan
semalam tersebut dikeluarkan dari 4C dan ditunggu sampai suhu ruang. Slide
tersebut kemudian dicuci dengan PBS steril 3x5 menit. Slide yang telah dicuci
tersebut selanjutnya ditetesi dengan antibodi sekunder berlabel Biotin dan
diinkubasi selama 60 menit pada suhu ruang. Setelah diinkubasikan, slide
tersebut dicuci PBS steril 3x5 menit. Slide tersebut selanjutnya ditetesi dengan
93
SA-HRP (Dako LSAB + System-HRP) dan diinkubasikan selama 60 menit pada
suhu ruang. Setelah diinkubasikan, slide tersebut dicuci dengan PBS steril 3x5
menit.
Slide yang telah mengalami proses inkubasi dengan SA-HRP diatas
selanjutnya ditetesi dengan DAB (DAB chromogen : DAB buffer = 1:50)( Dako
LSAB + System-HRP), diinkubasikan selama 10-20 menit pada suhu ruang,
dicuci dengan PBS steril 3x5 menit, dan selanjutnya dicuci dengan aquades 3x5
menit. Setelah itu, slide ditetesi counterstain dengan Mayer’s Hematoxilen, yaitu
dengan meneteskan Mayer’s Hematoxilen : Tap water dengan perbandingan
1:25, diinkubasikan selama 5-10 menit pada suhu ruang, dan dibilas dengan tap
water. Langkah terakhir dari pewarnaan imunohistokimia adalah proses mounting
dengan Entellan, kemudian slide dikeringanginkan dan dilakukan pengamatan
dibawah mikroskop binokuler merk Olympus BxS1 dengan pembesaran 400x.
Sel yang mengekspresikan TNF-α menunjukkan sitoplasma berwarna coklat.
Pemeriksaan dilakukan oleh peneliti dan peneliti yang lain (2 orang) sebanyak 2
kali pemeriksaan dan juga dikonfirmasi oleh ahli patologi anatomi.
4.8.7.4 Pengamatan sel apoptosis jaringan otak dengan teknik DNA
terfragmentasi (TUNEL)
Slide dicuci menggunakan PBS pH 7,4 dan inkubasi menggunakan
20ug/mL proteinase-K selama 15 menit pada 370C. Cuci menggunakan PBS pH
7,4 tiga kali, masing-masing selama 5 menit. Inkubasi pada 3% H2O2 selama 15
menit dan selanjutnya cuci dengan PBS pH 7,4 tiga kali, masing-masing selama
5 menit. Inkubasi dengan Tunel fragmented DNA labelling selama 60 menit pada
370C. Cuci menggunakan PBS pH 7,4 tiga kali, masing-masing selama 5 menit.
Inkubasi dengan peroksidase solution selama 40 menit pada 370C. Cuci
menggunakan PBS pH 7,4 tiga kali, masing-masing selam 5 menit. Tetesi
menggunakan substrat untuk Peroksidase (DAB – DiaminoBenzidine) selama 20
94
menit pada suhu ruang. Cuci dengan PBS pH 7,4 dan Counterstain dengan
Mayer hematoxilen selama 10 menit, bilas dengan air kran dan cuci dengan
dH2O, keringkan dan tutup cover glass. Kemudian diamati dibawah mikroskop
binokuler merk Olympus BxS1 dengan pembesaran 400x. Sel apoptosis
ditunjukkan dengan warna coklat pada inti sel. Pemeriksaan dilakukan oleh
peneliti dan peneliti yang lain (2 orang) sebanyak 2 kali pemeriksaan dan juga
dikonfirmasi oleh ahli patologi anatomi.
4.9 Penilaian Status Fungsional Tikus dengan NSS (Neurological
Severity Score)
Pemeriksaan NSS dilakukan sebelum perlakuan dan setelah selesai
perlakuan sebelum hewan coba dikorbankan. Penilaian NSS dijelaskan pada
table 4.1 berikut,
Tabel 4.1 Penilaian NSS Parameter Deskripsi Skor
1. Keluar dari lingkaran Tikus diletakkan pada papandan dihitung waktu keluar dari papan dengan diameter 30 cm.
0 = tikus dapat keluar dalam 2 menit 1 = tikus tidak dapat keluar dalam 2 menit
2. Perilaku mencari Tikus diletakkan pada papan dan diamati adanya perilaku eksprorasi dan mengendus pada papan
0 = terdapat perilaku eksprorasi 1 = tidak ada perilaku eksplorasi
3. Monoparesis atau hemiparesis
Terdapat gangguan dalam menggerakkan satu (monoparesis) atau dua anggota gerak (hemiparesis). Pada normalnya, tikus dapat menggenggam forsep yang disentuhkan pada telapak anggota gerak dan memegangnya
0 = tikus dapat menggenggam forsep 1 = tikus tidak dapat menggenggam forsep
4. Berjalan lurus Tikus diletakkan pada permukaan datar dan dinilai kesadaran, inisisasi dan kemampuan motorisnya
0 = tikus berjalan lurus 1 = tikus tidak berjalan lurus akibat kurang inisiasi atau menyeret salah satu atau lebih anggota geraknya
5. Refleks kejut Tikus dikejutkan dengan suara tepukan, dan tampak refleks kejut dengan melompat atau gerakan menggerenyet
0 = terdapat refleks kejut 1 = tidak ada respon
6. Balok keseimbangan Tikus diletakkan pada papan berukuran 7 mm x 7 mm dan diharapkan dapat seimbang pada papan selama 10 detik
0 = tikus dapat seimbang 1 = tikus gagal seimbang
7. Berjalan pada balok Tes ini bertujuan untuk menilai koordinasi motorik dan keseimbangan. Terdiri
0 = tikus dapat melalui 3 balok 1 = tikus dapat melalui balok
95
dari papan sepanjang 30 cm dengan lebar 3 cm, 2 cm, 1 cm
dengan lebar 3 cm dan balok 2 cm 2 = tikus dapat melalui balok dengan lebar 3 cm saja 3 = tikus tidak dapat melalui balok
8. Keseimbangan pada tongkat silinder
Menilai keseimbangan dan kekuatan genggaman dengan menggenggam stik dengan diameter 3mm
0 = tikus dapat bertahan pada stik silinder seridaknya pada 2 anggota gerak 1 = tikus tidak dapat bertahan
(Wu et al., 2010)
Pemeriksaan NSS dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pada awal akan
dilakukan pemilihan tikus, karena tikus yang masuk untuk kriteria inklusi harus
memiliki nilai NSS yang normal, kemudian NSS dilakukan setelah diberikan
perlakuan dan kemudian NSS diperiksa sesuai hari tikus dikorbankan (untuk
kelompok hari ketiga diperiksa pada hari ketiga dan untuk kelompok hari ketujuh
diperiksa pada hari ketujuh).
96
4.10 Alur penelitian
4.11 Analisis Data
Data ekspresi TNF-α, fragmentasi DNA dan status fungsional tikus,
selanjutnya diolah secara analitis dan deksripsi dengan menggunakan alat bantú
software komputer SPSS 22.0. Analisis yang dilakukan adalah uji asumsi,
normalitas dan homogenitas data. Jika uji asumsi terpenuhi, sebaran data normal
Seleksi hewan coba (N= 20) aklimatisasi selama
satu minggu
(A, n=8)
Pemeriksaan ekspresi TNF-α dengan metode imunohitokimia, sel apoptosis dengan metode Tunnel
fragmented DNA labelling
(B, n=8)
(C, n=8)
(D, n=8)
( K+ )
(E, n=8)
( K- )
Pemeriksaan Neurological Severity Score 1 jam post perlakuan
Pemeriksaan Neurological Severity Score pre perlakuan
Pembedahan tikus, diambil kedua hemisphere serebri.
Pemeriksaan Neurological Severity Score sebelum dikorbankan
Kelompok 3 Hari Kelompok 7 Hari
(A, n=4) (B, n=4) (C, n=4) (E, n=4) (D, n=4) (A, n=4) (B, n=4) (C, n=4) (E, n=4) (D, n=4)
Analisa data
Pengumpulan data
97
dan varian data homogen, maka untuk data TNF-α dan sel apoptosis digunakan
uji analisis statistika parametrik, Oneway Anova dan Post Hoc Tuckey. Jika uji
asumsi tidak terpenuhi, digunakan uji alternatif non parametrik Kruskal Wallis dan
Mann Whitney. Dilakukan juga uji korelasi (Korelasi Pearson untuk uji parametrik
dan Korelasi Spearmen untuk uji non parametrik) dan uji regresi (Regresi Theil
untuk uji non parametrik dan uji regresi linier untuk uji parametrik). Sedangkan
untuk data status fungsional tikus, jika uji normalias terpenuhi, digunakan uji
Paired T-Test, jika tidak terpenuhi maka digunakan Uji Wilcoxon Signed Rank
Test. Penelitian ini dinilai dianalisis dengan taraf kepercayaan 95% (α=0,05).
98
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Deskripsi Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian sebenarnya (true experimental
design) di laboratorium secara in vivo dengan randomized post test only controlled
group design pada hewan coba tikus (Rattus norvegicus) galur wistar. Penelitian ini
menggunakan strategi penelitian berupa penjatuhan beban pada jaringan otak tikus
model cedera otak traumatik, selanjutnya dilakukan pengamatan ekspresi TNF-α
dan sel apoptosis pada jaringan serta status fungsional tikus model cedera otak
traumatik. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya Malang untuk tempat pemeliharaan hewan coba dan
pembedahan, Laboratorium Patologi Anatomi Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya
untuk tempat pembuatan slide imunohistokimia dan Laboratorium Biomedik Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya Malang untuk tempat pengecatan
imunohistokimia, pada bulan April hingga Agustus 2016.
Penelitian ini menggunakan 40 ekor hewan coba tikus (Rattus norvegicus)
galur wistar. Yang terbagi menjadi 2 kelompok hari dan 5 kelompok perlakuan,
sehingga total ada 10 kelompok. Kelompok hari terbagi menjadi 2, yaitu kelompok
hari 3 (tiga) dan kelompok hari 7 (tujuh). Masing-masing terdiri dari 5 kelompok
perlakuan, tiap kelompok terdiri dari 4 ekor tikus. Kelima kelompok tersebut adalah
kelompok A atau kelompok kontrol negatif yaitu tikus yang tidak diberikan perlakuan
cedera otak traumatik maupun catechins, kelompok B atau kelompok kontrol positif
yang menjadi model cedera otak traumatik tanpa diberi catechins, kelompok C yaitu
kelompok perlakuan yang menjadi model cedera otak traumatik dan diberi catechins
99
513 mg/kg bb perhari secara peroral selama 3 dan 7 hari, kelompok D yaitu
kelompok perlakuan yang menjadi model cedera otak traumatik dan diberi catechins
926 mg/kg bb perhari secara peroral selama 3 dan 7 hari, kelompok E yaitu
kelompok perlakuan yang menjadi model cedera otak traumatik dan diberi catechins
1113 mg/kg bb perhari secara peroral selama 3 dan 7 hari. Pengamatan ekspresi
TNF-α dan sel apoptosis pada jaringan otak tikus wistar jaringan serta status
fungsional tikus dilakukan setelah perlakuan selama 3 (tiga) dan 7 (tujuh) hari.
Kemudian, setelah didapatkan data pengamatan, dilakukan uji analisa data. Hasil
penelitian ini dianalisa menggunakan program analisis statistik, IBM SPSS
(Statistical Products and Service Solutions) Statistics, version 22.0 for windows.
Dalam perhitungan hasil penelitian ini digunakan taraf kepercayaan 95% (α = 0,05).
5.2 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Ekspresi TNF-α Tikus Model
Cedera Otak Traumatik pada Hari Ketiga
Pemeriksaan ekspresi TNF-α menggunakan metode imunohistokimia, pada
sampel otak tikus wistar menggunakan mikroskop dengan pembesaran 400x dan
tanda sel yang positif terwarnai coklat. Metode pemeriksaan dilakukan dengan
melakukan pengamatan pada 10 lapang pandang dari tiap sampel dan kelompok,
sehingga total dilakukan pengamatan pada 400 lapang pandang (10 x 4 x 10 = 400).
Terdapat 2 (dua) kelompok hari untuk pengamatan ekspresi TNF-α, yaitu pada hari
ketiga dan ketujuh. Pada sub bab ini akan dibahas mengenai kelompok hari ketiga.
Dokumentasi hasil pengamatan dibawah mikroskop dari tiap kelompok perlakuan
ditampilkan sebagai berikut pada gambar 5.1
100
Gambar 5.1 Hasil pengecatan Imunohistokimia TNF-α kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan, pada Hari ke tiga. Tanda panah menunjukkan sel dengan ekspresi TNF-α sitoplasma
sel neuron terwarnai coklat sedangkan inti tetap biru. Dilihat dengan menggunakan mikroskop dengan
pembesaran 400x pada 10 lapang pandang. Pada gambar :
A. Kontrol positif (+) hari ke 3 Terdapat 45 jumlah sel neuron dengan 35 sel neuron positif
B. Kontrol negatif (-) hari ke 3 Terdapat 42 jumlah sel neuron dengan tidak ada sel neuron yang
positif
C. Ekstrak catechins dosis 1 hari ke 3 Terdapat 47 jumlah sel neuron dengan sel neuron positif
32
D. Ekstrak catechins dosis 1 hari ke 3Terdapat 42 jumlah sel neuron dengan sel neuron positif
28
E. Ekstrak catechins dosis 1 hari ke 3 Terdapat 42 jumlah sel neuron dengan sel neuron positif
17
101
Tabel 5.1 Nilai Rerata dan Standar Deviasi Ekspresi TNF-α Jaringan Otak Tikus
Model Cedera Otak Traumatik, pada Hari Ketiga
Kelompok Rerata ± St.Dev Signifikansi (p)
Kontrol Negatif 2.8 ± 0.85
0.002*
Kontrol Positif 26.475 ± 0.88
Catechins 513 mg/kgBB/hari 25 ± 3.31
Catechins 926mg/kgBB/hari 21.775 ± 0.69
Catechins 1113 mg/kgBB/hari 14.475 ± 1.67
2,8
26,47525
21,775
14,475
0
5
10
15
20
25
30
RER
ATA
JU
MLA
H S
EL P
OSI
TIF
Kontrol Negatif
Kontrol Positif
513 mg/KgBB/hari
926 mg/KgBB/hari
1113 mg/KgBB/hari
Gambar 5.2 Grafik Histogram Rerata dan Standar deviasi Ekspresi TNF-α Hari ke-3
Dari tabel dan grafik diatas, dapat diketahui bahwa kelompok kontrol negatif
memiliki ekspresi TNF-α yang paling kecil dan kelompok kontrol positif sebaliknya,
yang paling besar. Sementara, kelompok yang diberikan catechins, menunjukkan
gradasi terbalik, dengan kelompok diberikan catechins dengan dosis terbesar (1113
mg/kgBB/hari) menunjukkan ekspresi TNF-α yang paling kecil.
Selanjutnya, data tersebut dianalisa secara statistik untuk mengetahui
komparasi dan korelasi nya. Sebelum dilakukan uji komparasi dan korelasi statistik,
set data dilakukan uji asumsi data, yaitu uji normalitas dan homogenitas data. Uji
normalitas data menggunakan Saphiro Wilk, karena jumlah data < 50. Hasil uji
102
normalitas data, p = 0.010 (p<0.05), kemudian dilakukan transformasi dengan
metode Log10, akar kuadrat, arsin dan exp, namun tidak merubah nilai p, sehingga
dapat dinyatakan bahwa data tidak terdistribusi normal. Karena uji asumsi data tidak
terpenuhi, maka selanjutnya dilakukan uji non parametrik, Kruskal Wallis, Mann
Whitney, dan Korelasi Spearmen.
Uji Kruskal Wallis dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan antara
kelompok perlakuan yang diamati secara keseluruhan. Hasil uji Krsukal Wallis
menunjukkan nilai p = 0.002 (p<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan yang bermakna (signifikan) antara kelompok perlakuan yang diamati
terhadap TNF-α pada hari ketiga. Untuk mengetahui kelompok yang berbeda
bermakna secara spesifik, dilakukan uji Mann Whitney, dengan hasil berikut
Tabel 5.2 Hasil Uji Mann Whitney pada TNF-α Hari Ketiga
Kelompok
Perlakuan 1
Kelompok
Perlakuan 2
Signifikansi
Kontrol - Kontrol +
513 mg/kgbb
926 mg/kgbb
1113 mg/kgbb
0.021*
0.021*
0.021*
0.020*
Kontrol + 513 mg/kgbb
926 mg/kgbb
1113 mg/kgbb
0.248
0.021*
0.020*
513 mg/kgbb 926 mg/kgbb
1113 mg/kgbb
0.149
0.020*
926 mg/kgbb 1113 mg/kgbb 0.020*
*kelompok yang memiliki perbedaan yang bermakna (signifikan) (p<0.05)
Dari tabel dapat diketahui bahwa Kontrol negatif memiliki perbedaan yang
signifikan dengan semua kelompok perlakuan lainnya. Kontrol positif memiliki
perbedaan yang bermakna dengan kelompok perlakuan dosis 926 dan 1113
103
mg/kgBB/hari. Dan kelompok dosis terbesar, 1113 mg/kgBB/hari memiliki perbedaan
yang bermakna dengan kedua dosis lainnya.
Selanjutnya, dilakukan uji korelasi data Spearmen, untuk mengetahui
hubungan antara dosis pemberian catechins dengan ekspresi TNF-α. Hasil uji
korelasi Spearmen, menunjukkan nilai p =0.000, maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna (signifikan) antara ekspresi TNF-α dengan dosis
pemberian catechins pada tikus model cedera otak traumatik. Besar koefisien
korelasi Pearson, (R) = -0.886, artinya hubungan antara ekspresi TNF-α dengan
dosis pemberian catechins memiliki arah negatif dan kekuatan sebesar 0.886. Arah
negatif berarti, semakin tinggi dosis catechins, maka semakin rendah ekspresi TNF-
α pada tikus model cedera otak traumatik. Besar koefisien korelasi 0.886, berarti
kekuatan korelasi nya sangat kuat.
5.3 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Ekspresi TNF-α Tikus Model
Cedera Otak Traumatik pada Hari Ketujuh
Sub bab ini merupakan lanjutan dari sub bab sebelumnya. Pada sub bab
ini akan dibahas mengenai kelompok hari ketujuh. Dokumentasi hasil
pengamatan dibawah mikroskop dari tiap kelompok perlakuan ditampilkan
sebagai berikut pada gambar 5.3
104
Gambar 5.3 Hasil pengecatan Imunohistokimia TNF-α kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan, pada hari ketiga. Tanda panah menunjukkan sel dengan ekspresi TNF-α sitoplasma
sel neuron terwarnai coklat sedangkan inti tetap biru. Dilihat dengan menggunakan mikroskop dengan
pembesaran 400x pada 10 lapang pandang. Pada gambar :
A. Kontrol positif (+) hari ke 7 Terdapat 46 jumlah sel neuron dengan 38 sel neuron positif
B. Kontrol negatif (-) hari ke 7 Terdapat 37 jumlah sel neuron dengan sel neuron positif 2
C. Ekstrak catechins dosis 1 hari ke 7 Terdapat 45 jumlah sel neuron dengan sel neuron positif
25
D. Ekstrak catechins dosis 1 hari ke 7 Terdapat 36 jumlah sel neuron dengan sel neuron positif
22
E. Ekstrak catechins dosis 1 hari ke 7 Terdapat 38 jumlah sel neuron dengan sel neuron positif
14
105
Tabel 5.3 Nilai Rerata dan Standar Deviasi Ekspresi TNF-α Jaringan Otak Tikus
Model Cedera Otak Traumatik, pada Hari Ketujuh
Kelompok Rerata ± St.Dev Signifikansi (p)
Kontrol Negatif 2.1 ± 0.14
0.000
Kontrol Positif 24.95 ± 2.68
Catechins 513 mg/kgBB/hari 16.025 ± 1
Catechins 926mg/kgBB/hari 13.825 ± 0.85
Catechins 1113 mg/kgBB/hari 9.425 ± 1.53
2,1
24,95
16,02513,825
9,425
0
5
10
15
20
25
30
RER
ATA
JU
MLA
H S
EL P
OSI
TIF
Kontrol Negatif
Kontrol Positif
513 mg/KgBB/hari
926 mg/KgBB/hari
1113 mg/KgBB/hari
Gambar 5.4 Grafik Histogram Rerata dan Standar deviasi Ekspresi TNF-α Hari ke-7
Dari tabel dan grafik diatas, dapat diketahui bahwa kelompok Kontrol negatif
memiliki ekspresi TNF-α yang paling kecil dan kelompok kontrol positif sebaliknya,
yang paling besar. Sementara, kelompok yang diberikan catechins, menunjukkan
gradasi terbalik, dimana kelompok yang diberikan catechins dengan dosis terbesar
(1113 mg/kgBB/hari) memiliki ekspresi TNF-α yang paling kecil. Selain itu, antara
Kelompok Kontrol Positif dan dosis catechins terkecil, 513 mg/kgBB/hari, terlihat
terdapat perbedaan yang sangat besar.
Selanjutnya, data tersebut dianalisa secara statistik untuk mengetahui
komparasi dan korelasi nya. Sebelum dilakukan uji komparasi dan korelasi statistik,
106
set data dilakukan uji asumsi data, yaitu uji normalitas dan homogenitas data. Uji
normalitas data menggunakan Saphiro Wilk, karena jumlah data < 50. Hasil uji
normalitas data, p = 0.301 (p<0.05), sehingga dapat dinyatakan bahwa data
terdistribusi normal. Hasil pengujian homogenitas data Levene menunjukkan nilai p
= 0.187 (p>0.05), maka dapat diinterpretasikan bahwa variansi data homogen.
Karena uji asumsi data telah terpenuhi, maka selanjutnya dilakukan uji parametrik,
one way ANOVA, Post Hoc Tuckey, Korelasi Pearson dan Regresi Linier.
Uji ANOVA dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan antara kelompok
perlakuan yang diamati secara keseluruhan. Hasil uji ANOVA menunjukkan nilai p =
0.000 (p<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna (signifikan) antara kelompok perlakuan yang diamati terhadap TNF-α
pada hari ketujuh. Untuk mengetahui kelompok mana saja yang berbeda bermakna
(spesifik) secara spesifik, dilakukan uji Post Hoc Tukey. Hasil uji Post Hoc Tukey
pada data TNF-α hari ketujuh, ditunjukkan pada tabel berikut
Tabel 5.4 Hasil Uji Post Hoc pada TNF-α Hari Ketujuh
Kelompok
Perlakuan 1
Kelompok
Perlakuan 2
Signifikansi
Kontrol - Kontrol +
513 mg/kgbb
926 mg/kgbb
1113 mg/kgbb
0.000*
0.000*
0.000*
0.003*
Kontrol + 513 mg/kgbb
926 mg/kgbb
1113 mg/kgbb
0.000*
0.000*
0.000*
513 mg/kgbb 926 mg/kgbb
1113 mg/kgbb
0.283
0.000*
926 mg/kgbb 1113 mg/kgbb 0.007*
*kelompok yang memiliki perbedaan yang bermakna (signifikan) (p<0.05)
107
Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa kontrol negatif dan kontrol positif
memiliki perbedaan yang signifikan dengan semua kelompok perlakuan lainnya. Dan
dari kelompok dosis pemberian catechins, hanya antara dosis terkecil (513
mg/kgBB/hari) dan 926 mg/kgBB/hari yang memiliki perbedaan yang tidak bermakna
(signifikan).
Selanjutnya, dilakukan uji korelasi data Pearson, untuk mengetahui
hubungan antara dosis pemberian catechins dengan ekspresi TNF-α.
Hasil uji korelasi Pearson, menunjukkan nilai p = 0.000, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna (signifikan) antara ekspresi
TNF-α dengan dosis pemberian catechins pada tikus model cedera otak traumatik.
Besar koefisien korelasi Pearson, (R) = 0.947, artinya hubungan antara ekspresi
TNF-α dengan dosis pemberian catechins memiliki arah negatif dan kekuatan
sebesar 0.947. Arah negatif berarti, semakin tinggi dosis catechins, maka semakin
rendah ekspresi TNF-α pada tikus model cedera otak traumatik. Besar koefisien
korelasi 0.947, berarti kekuatan korelasinya sangat kuat. Yang terakhir dilakukan uji
regresi linier, dan didapatkan hasil nilai R2 = 0.897 dan persamaan garis
Koefisien determinasi (R2) adalah ukuran ketepatan atau kecocokan garis
regresi. Selain itu, R2 juga dapat digunakan untuk mengukur besar proporsi
keragaman total yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Hasil pengujian nilai R2 =
0.897 menjelaskan bahwa sumbangan atau kontribusi dari variasi dosis catechins
dalam menjelaskan keragaman variabel TNF-α sebesar 89.7%, sedangkan 10.3%
lainnya disumbangkan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan ke dalam
persamaan ini.
TNF-α = -0.013 dosis + 24.312
108
5.4 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Apoptosis Jaringan Otak Tikus
Model Cedera Otak Traumatik, pada Hari Ketiga
Pemeriksaan sel apoptosis jaringan otak tikus, dilakukan dengan teknik DNA
terfragmentasi (TUNEL) dan diamati menggunakan mikroskop binokuler merk
Olympus BxS1 dengan pembesaran 400x. Sel apoptosis ditunjukkan dengan warna
coklat pada inti sel. Metode pemeriksaan yang dilakukan sama dengan sebelumnya,
melakukan pengamatan pada 10 lapang pandang dari tiap sampel dan kelompok,
sehingga total dilakukan pengamatan pada 400 lapang pandang (10 x 4 x 10 = 400).
Terdapat 2 (dua) kelompok hari untuk pengamatan ekspresi TNF-α, yaitu pada hari
ketiga dan ketujuh. Pada sub bab ini akan dibahas mengenai kelompok hari ketiga.
Dokumentasi hasil pengamatan dibawah mikroskop dari tiap kelompok perlakuan
ditampilkan sebagai berikut pada gambar 5.5
109
Gambar 5.5 Hasil pengecatan Imunohistokimia kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan. Tanda panah menunjukkan sel dengan ekspresi DNA yang terfragmentasi dengan inti
terwarnai coklat sitoplasma tetap biru. Dilihat dengan menggunakan mikroskop dengan pembesaran
400x pada 10 lapang pandang. Pada Gambar :
A. Kontrol negatif (-) hari ke 3 Terdapat 45 jumlah sel neuron dengan 4 sel neuron positif
B. Ekstrak catechins dosis 1 hari ke 3 Terdapat 44 jumlah sel neuron dengan sel neuron positif
31
C. Ekstrak catechins dosis 1 hari ke 3 Terdapat 45 jumlah sel neuron dengan sel neuron positif
25
D. Ekstrak catechins dosis 1 hari ke 3 Terdapat 40 jumlah sel neuron dengan sel neuron positif
15
Tabel 5.5 Nilai Rerata dan Standar Deviasi Sel Apoptosis Jaringan Otak Tikus Model Cedera Otak Traumatik
Kelompok Rerata ± St.Dev Signifikansi (p.)
Kontrol Negatif 2.2 ± 0.43
0.004*
Kontrol Positif 28.18 ± 4.61
Catechins 513 mg/kgBB/hari 23.78 ± 0.59
Catechins 926mg/kgBB/hari 25.6 ± 2.53
Catechins 1113 mg/kgBB/hari 17.3 ± 0.96
2,2
28,175
23,77525,6
17,3
0
5
10
15
20
25
30
35
RER
ATA
JU
MLA
H S
EL P
OSI
TIF
Kontrol Negatif
Kontrol Positif
513 mg/KgBB/hari
926 mg/KgBB/hari
1113 mg/KgBB/hari
Gambar 5.6 Grafik Histogram Rerata dan Standar deviasi Sel Apoptosis Jaringan Otak
Tikus Model Cedera Otak Traumatik, Hari ke-3
110
Dari tabel dan grafik diatas, dapat diketahui bahwa pada hari ketiga,
kelompok kontrol negatif memiliki jumlah sel apoptosis yang paling kecil dan
kelompok kontrol positif sebaliknya, yang paling besar. Sementara, kelompok yang
diberikan catechins, menunjukkan bahwa kelompok dosis 1 (513 mg/kgBB/hari) dan
dosis 2 (926 mg/kgBB/hari) tidak memiliki perbedaan yang nyata, walaupun
demikian, rerata jumlah sel apoptosis pada kelompok dosis 2 lebih tinggi daripada
kelompok dosis 1. Penurunan jumlah sel apoptosis terbesar ditunjukkan pada
kelompok yang diberikan catechins dengan dosis terbesar (1113 mg/kgBB/hari).
Selanjutnya, data tersebut dianalisa secara statistik untuk mengetahui
komparasi dan korelasi nya. Sebelum dilakukan uji komparasi dan korelasi statistik,
set data dilakukan uji asumsi data, yaitu uji normalitas dan homogenitas data. Uji
normalitas data menggunakan Saphiro Wilk, karena jumlah data < 50. Hasil uji
normalitas data, p = 0.007 (p>0.05), kemudian dilakukan transformasi dengan
metode Log10, akar kuadrat, arsin dan exp, namun tidak merubah nilai p, sehingga
dapat dinyatakan bahwa data tidak terdistribusi normal. Karena uji asumsi data tidak
terpenuhi, maka selanjutnya dilakukan uji non parametrik, Kruskal Wallis, Mann
Whitney, dan Korelasi Spearmen.
Uji Kruskal Wallis dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan antara
kelompok perlakuan yang diamati secara keseluruhan. Hasil uji Kruskal Wallis
menunjukkan nilai p = 0.004 (p<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan yang bermakna (signifikan) antara kelompok perlakuan yang diamati
terhadap Sel apoptosis (TUNEL) pada hari ketiga. Untuk mengetahui kelompok
mana saja yang berbeda bermakna (spesifik) secara spesifik, dilakukan uji Mann
Whitney. Hasil uji Mann Whitney pada data TUNEL hari ketiga, ditunjukkan pada
tabel 5.6
111
Tabel 5.6 Hasil Uji Mann Whitney pada Sel Apoptosis Hari Ketiga
Kelompok
Perlakuan 1
Kelompok
Perlakuan 2
Signifikansi
Kontrol - Kontrol +
513 mg/kgbb
926 mg/kgbb
1113 mg/kgbb
0.021*
0.021*
0.021*
0.021*
Kontrol + 513 mg/kgbb
926 mg/kgbb
1113 mg/kgbb
0.248
0.248
0.021*
513 mg/kgbb 926 mg/kgbb
1113 mg/kgbb
0.248
0.021*
926 mg/kgbb 1113 mg/kgbb 0.021*
*kelompok yang memiliki perbedaan yang bermakna (signifikan) (p<0.05)
Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa Kontrol negatif memiliki perbedaan
yang signifikan dengan semua kelompok perlakuan lainnya. Kontrol positif hanya
berbeda signifikan dengan kelompok dosis terbesar, 1113 mg/kgBB/hari. Dan dari
kelompok dosis pemberian catechins, hanya perbandingan dengan dosis catechins
terbesar (1113 mg/kgBB/hari) yang memiliki perbedaan yang bermakna.
Selanjutnya, dilakukan uji korelasi data Spearmen, untuk mengetahui
hubungan antara dosis pemberian catechins dengan sel apoptosis. Hasil uji korelasi
Spearmen, menunjukkan nilai p = 0.004, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna (signifikan) antara sel apoptosis dengan dosis pemberian
cathechins pada tikus model cedera otak traumatic. Besar koefisien korelasi
Spearmen, (R) = -0.679, artinya hubungan antara sel apoptosis dengan dosis
pemberian catechins memiliki arah negatif dan kekuatan sebesar 0.679. Arah negatif
berarti, semakin tinggi dosis catechins, maka semakin rendah sel apoptosis pada
112
tikus model cedera otak traumatik. Besar koefisien korelasi 0.679, berarti kekuatan
korelasi nya kuat.
5.5 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Apoptosis Jaringan Otak Tikus
Model Cedera Otak Traumatik pada Hari Ketujuh
Sub bab ini merupakan lanjutan dari sub bab sebelumnya. Pada sub bab
ini akan dibahas mengenai kelompok hari ketujuh. Dokumentasi hasil
pengamatan dibawah mikroskop dari tiap kelompok perlakuan ditampilkan
sebagai berikut pada gambar 5.7
Gambar 5.7 Hasil pengecatan Imunohistokimia kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan Tanda panah menunjukkan sel dengan ekspresi DNA yang terfragmentasi dengan inti
terwarnai coklat sitoplasma tetap biru. Dilihat dengan menggunakan mikroskop dengan pembesaran
400x pada 10 lapang pandang. Pada gambar :
A. Kontrol positif (+) hari ke 7. Terdapat 44 jumlah sel neuron dengan 32 sel neuron positif
B. Kontrol negatif (-) hari ke 7 Terdapat 46 jumlah sel neuron dengan 3 sel neuron positif
C. Ekstrak cathechins dosis 1 hari ke 7 Terdapat 42 jumlah sel neuron dengan 22 sel neuron
positif
113
D. Ekstrak cathechins dosis 1 hari ke 7 Terdapat 42 jumlah sel neuron dengan 21 sel neuron
positif
E. Ekstrak cathechins dosis 1 hari ke 7 Terdapat 44 jumlah sel neuron dengan 16 sel neuron
positif
Tabel 5.7 Nilai Rerata dan Standar Deviasi Sel Apoptosis Jaringan Otak Tikus Model Cedera Otak Traumatik, pada Hari Ketujuh
Kelompok Rerata ± St.Dev Signifikansi (p.)
Kontrol Negatif 2.2 ± 0.64
0.000*
Kontrol Positif 25.7 ± 3.14
Catechins 513 mg/kgBB/hari 19.2 ± 1.61
Catechins 926mg/kgBB/hari 16.575 ± 0.45
Catechins 1113 mg/kgBB/hari 9.1 ± 0.86
2,2
25,7
19,2
16,575
9,1
0
5
10
15
20
25
30
35
RER
ATA
JU
MLA
H S
EL P
OSI
TIF
Kontrol Negatif
Kontrol Positif
513 mg/KgBB/hari
926 mg/KgBB/hari
1113 mg/KgBB/hari
Gambar 5.8 Grafik Histogram Rerata dan Standar deviasi Sel Apoptosis Jaringan Otak
Tikus Model Cedera Otak Traumatik, Hari ke-7
Dari tabel dan grafik diatas, dapat diketahui bahwa kelompok Kontrol negatif
memiliki jumlah sel apoptosis yang paling kecil dan kelompok kontrol positif
sebaliknya, yang paling besar. Sementara, kelompok yang diberikan catechins,
114
menunjukkan gradasi terbalik, dimana kelompok yang diberikan catechins dengan
dosis terbesar (1113 mg/kgBB/hari) memiliki ekspresi TNF-α yang paling kecil.
Selanjutnya, data tersebut dianalisa secara statistik untuk mengetahui
komparasi dan korelasi nya. Sebelum dilakukan uji komparasi dan korelasi statistik,
set data dilakukan uji asumsi data, yaitu uji normalitas dan homogenitas data. Uji
normalitas data menggunakan Saphiro Wilk, karena jumlah data < 50. Hasil uji
normalitas data, p = 0.303 (p<0.05), sehingga dapat dinyatakan bahwa data
terdistribusi normal.
Hasil pengujian homogenitas data Levene menunjukkan nilai p = 0.126
(p>0.05), maka dapat diinterpretasikan bahwa variansi data homogen. Karena uji
asumsi data telah terpenuhi, maka selanjutnya dilakukan uji parametrik, one way
ANOVA, Post Hoc Tuckey, Korelasi Pearson dan Regresi Linier.
Uji ANOVA dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan antara kelompok
perlakuan yang diamati secara keseluruhan. Hasil uji ANOVA menunjukkan nilai p =
0.000 (p<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna (signifikan) antara kelompok perlakuan yang diamati terhadap sel
apoptosis pada hari ketujuh. Untuk mengetahui kelompok mana saja yang berbeda
bermakna (spesifik) secara spesifik, dilakukan uji Post Hoc Tukey. Hasil uji Post Hoc
Tukey pada data TNF-α hari ketujuh, ditunjukkan pada tabel 5.8
115
Tabel 5.8 Hasil Uji Post Hoc pada Sel Apoptosis Hari Ketujuh
Kelompok
Perlakuan 1
Kelompok
Perlakuan 2
Signifikansi
Kontrol - Kontrol +
513 mg/kgbb
926 mg/kgbb
1113 mg/kgbb
0.000*
0.000*
0.000*
0.000*
Kontrol + 513 mg/kgbb
926 mg/kgbb
1113 mg/kgbb
0.000*
0.000*
0.000*
513 mg/kgbb 926 mg/kgbb
1113 mg/kgbb
0.219
0.000*
926 mg/kgbb 1113 mg/kgbb 0.000*
*kelompok yang memiliki perbedaan yang bermakna (signifikan) (p<0.05)
Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa Kontrol negatif dan Kontrol Positif
memiliki perbedaan yang signifikan dengan semua kelompok perlakuan lainnya. Dan
dari kelompok dosis pemberian catechins, hanya antara kelompok dosis 513 dan
926b mg/kgBB/hari yang memiliki perbedaan yang tidak bermakna (signifikan).
Selanjutnya, dilakukan uji korelasi data Pearson, untuk mengetahui
hubungan antara dosis pemberian catechins dengan sel apoptosis. Hasil uji korelasi
Pearson, menunjukkan nilai p = 0.000, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna (signifikan) antara apoptosis sel dengan dosis pemberian
cathechins pada tikus model cedera otak traumatik. Besar koefisien korelasi
Pearson, (R) = -0.922, artinya hubungan antara apoptosis sel dengan dosis
pemberian catechins memiliki arah negatif dan kekuatan sebesar 0.922 arah negatif
berarti, semakin tinggi dosis catechins, maka semakin rendah sel apoptosis pada
tikus model cedera otak traumatik. Besar koefisien korelasi 0.922, berarti kekuatan
116
korelasinya sangat kuat. Yang terakhir dilakukan uji regresi linier, dan didapatkan
hasil nilai R2 = 0.849 dan persamaan garis
Koefisien determinasi (R2) adalah ukuran ketepatan atau kecocokan garis
regresi. Selain itu, R2 juga dapat digunakan untuk mengukur besar proporsi
keragaman total yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Hasil pengujian nilai R2 =
0.849 menjelaskan bahwa sumbangan atau kontribusi dari variasi dosis catechins
dalam menjelaskan keragaman variabel apoptosis sel sebesar 84.9%, sedangkan
15.1% lainnya disumbangkan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan ke dalam
persamaan ini.
5.6 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Status Fungsional Tikus Model
Cedera Otak Traumatik, pada Hari Ketiga
Evaluasi status fungsional otak tikus dilakukan dengn menggunakan metode
NSS (Neurologic Severity Score). Dilakukan evaluasi NSS sebanyak 4 kali, yaitu
pada 1 jam sebelum perlakuan cedera otak traumatic, 1 jam setelah perlakuan, dan
sebelum dikorbankan pada hari ke-3 (tiga) atau hari ke-7 (tujuh). NSS merupakan
skala numerik, dengan 0 adalah nilai terendah (derajat keparahan terkecil) dan 10
adalah nilai tertinggi (derajat keparahan terbesar). Pada sub bab ini akan dibahas
mengenai hasil penelitian pada kelompok hari ketiga. Hasil rerata tiap sampel
ditunjukkan pada tabel 5.9
TUNEL = -0.013 dosis + 26.107
117
Tabel 5.9 Nilai Rerata dan Standar Deviasi NSS Tikus Model Cedera Otak Traumatik, pada Kelompok 3 Hari
Kelompok Hari Ke-0 Hari Ke-3 Sig. (p.)
Kontrol Negatif 0 ± 0 0 ± 0
0.000*
Kontrol Positif 3.25 ± 1.25 4.25 ± 1.25
Catechins 513 mg/kgBB/hari 3 ± 0.82 1.75 ± 0.5
Catechins 926mg/kgBB/hari 4 ± 1.41 3 ± 0.81
Catechins 1113 mg/kgBB/hari 3.25 ± 1.25 2.5 ± 0.57
0 0
3,25
4,25
3
1,75
4
3 3,25
2,5
0
1
2
3
4
5
6
NSS
Gambar 5.9 Grafik Histogram Rerata dan Standar deviasi NSS Tikus Model Cedera
Otak Traumatik, Hari ke-tiga
Dari tabel dan grafik diatas, dapat diketahui bahwa kelompok kontrol negatif
memiliki rerata NSS terkecil, 0 (nol) dan kelompok kontrol positif memiliki rerata nilai
tertinggi. Kontrol positif menunjukkan peningkatan NSS antara hari ke-0 dan hari ke-
3. Sementara, semua kelompok perlakuan yang diberikan catechins, menunjukkan
penurunan nilai NSS.
Selanjutnya, data tersebut dianalisa secara statistic untuk mengetahui
komparasi dan korelasi nya. Sebelum dilakukan uji komparasi dan korelasi statistik,
set data dilakukan uji asumsi data, yaitu uji normalitas dan homogenitas data. Uji
normalitas data menggunakan Saphiro Wilk, karena jumlah data < 50. Hasil uji
118
normalitas data, p = 0.112 (p<0.05), sehingga dapat dinyatakan bahwa data
terdistribusi normal.
Hasil pengujian homogenitas data Levene, nilai p = 0.138 (p>0.05), sehingga
dapat diinterpretasikan bahwa variansi data homogen. Karena uji asumsi data telah
terpenuhi, maka selanjutnya dilakukan uji parametric, one way ANOVA, post Hoc
Tuckey, Korelasi Pearson dan Regresi Linier.
Uji ANOVA dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan antara kelompok
perlakuan yang diamati secara keseluruhan. Hasil uji ANOVA menunjukkan nilai p =
0.000 (p<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna (signifikan) antara kelompok perlakuan yang diamati terhadap NSS pada
hari ketiga. Untuk mengetahui kelompok mana saja yang berbeda bermakna
(spesifik) secara spesifik, dilakukan uji Post Hoc Tukey. Hasil uji Post Hoc Tukey
pada data NSS hari ketiga, ditunjukkan pada tabel berikut
Tabel 5.10 Hasil Uji Post Hoc pada NSS Hari Ketiga
Kelompok
Perlakuan 1
Kelompok
Perlakuan 2
Signifikansi
Kontrol - Kontrol +
513 mg/kgbb
926 mg/kgbb
1113 mg/kgbb
0.000*
0.034*
0.000*
0.002*
Kontrol + 513 mg/kgbb
926 mg/kgbb
1113 mg/kgbb
0.002*
0.184
0.034*
513 mg/kgbb 926 mg/kgbb
1113 mg/kgbb
0.184
0.632
926 mg/kgbb 1113 mg/kgbb 0.877
*kelompok yang memiliki perbedaan yang bermakna (signifikan) (p<0.05)
119
Dari tabel dapat diketahui bahwa Kontrol negatif memiliki perbedaan yang
signifikan dengan semua kelompok perlakuan lainnya. Kontrol positif memiliki
perbedaan yang bermakna dengan kelompok perlakuan dosis 513 dan 1113
mg/kgBB/hari. Dan antar kelompok dosis pemberian catechins, tidak terdapat
perbedaan yang bermakna.
Selanjutnya, dilakukan uji korelasi data Pearson, untuk mengetahui
hubungan antara dosis pemberian catechins dengan NSS. Hasil uji korelasi
Pearson, menunjukkan nilai p =0.088, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang bermakna (signifikan) antara NSS dengan dosis pemberian
cathechins pada tikus model cedera otak traumatik. Besar koefisien korelasi
Pearson, (R) = -0.441, artinya hubungan antara NSS dengan dosis pemberian
catechins memiliki arah negatif dan kekuatan 0.441 arah negatif berarti, semakin
tinggi dosis catechins, maka semakin rendah NSS pada tikus model cedera otak
traumati. Besar koefisien korelasi 0.441, berarti kekuatan korelasi nya moderat.
Yang terakhir dilakukan uji regresi linier, dan didapatkan hasil nilai R2 = 0.194 dan
persamaan garis
Koefisien determinasi (R2) adalah ukuran ketepatan atau kecocokan garis
regresi. Selain itu, R2 juga dapat digunakan untuk mengukur besar proporsi
keragaman total yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Hasil pengujian nilai R2 =
0.194 menjelaskan bahwa sumbangan atau kontribusi dari variasi dosis catechins
dalam menjelaskan keragaman variabel NSS hanya sebesar 19.4%, sedangkan
80.6% lainnya disumbangkan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan ke dalam
persamaan ini.
TNF-α = -0.001 dosis + 3.642
120
5.7 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Status Fungsional Tikus Model
Cedera Otak Traumatik pada Hari Ketujuh
Sub bab ini merupakan lanjutan dari sub bab sebelumnya. Pada sub bab ini
akan dibahas mengenai kelompok hari ketujuh. Hasil rerata tiap sampel ditunjukkan
pada tabel berikut
Tabel 5.11 Nilai Rerata dan Standar Deviasi NSS Tikus Model Cedera Otak Traumatik, pada Kelompok 7 Hari
Kelompok Hari Ke-0 Hari Ke-7 Sig. (p.)
Kontrol Negatif 0 ± 0 0 ± 0
0.002*
Kontrol Positif 3.25 ± 0.5 5 ± 0.82
Catechins 513 mg/kgBB/hari 3.25 ± 0.5 1.75 ± 0.5
Catechins 926mg/kgBB/hari 3.75 ± 0.95 2.25 ± 0.5
Catechins 1113 mg/kgBB/hari 4 ± 1.63 1.25 ± 0.5
0 0
3,25
5
3,25
1,75
3,75
2,25
4
1,25
0
1
2
3
4
5
6
7
NSS
Gambar 5.10 Grafik Histogram Rerata dan Standar deviasi NSS Tikus Model Cedera
Otak Traumatik, Hari ke-tujuh
Dari tabel dan grafik diatas, dapat diketahui bahwa pada hari ketujuh,
kelompok kontrol negatif tetap memiliki status fungsional terbaik, dengan nilai 0
(nol). Pada hari ke-0 setelah dilakukan perlakuan cedera otak traumatic fokal, nilai
NSS terbesar ditunjukkan pada kelompok dengan dosis terbesar, namun hal ini tidak
121
bermakna apapun, karena pemberian dosis catechins belum dimulai. Pada hari
ketujuh, Kontrol negatif menunjukkan peningkatan nilai NSS dan menjadi kelompok
dengan status fungsional terburuk. Semua kelompok perlakuan yang diberikan dosis
catechins, menunjukkan penurunan nilai NSS. Penurunan nilai NSS terbesar
ditunjukkan pada kelompok yang diberikan catechins dengan dosis terbesar (1113
mg/kgBB/hari), dari nilai NSS terbesar pada hari ke-0 menjadi nilai NSS terkecil
(selain kontrol negatif) pada hari ketujuh.
Selanjutnya, data tersebut dianalisa secara statistik untuk mengetahui
komparasi dan korelasi nya. Sebelum dilakukan uji komparasi dan korelasi statistik,
set data dilakukan uji asumsi data, yaitu uji normalitas dan homogenitas data. Uji
normalitas data menggunakan Saphiro Wilk, karena jumlah data < 50. Hasil uji
normalitas data, p = 0.018 (p>0.05), kemudian dilakukan transformasi dengan
metode Log10, akar kuadrat, arsin dan exp, namun tidak merubah nilai p, sehingga
dapat dinyatakan bahwa data tidak terdistribusi normal. Karena uji asumsi data tidak
terpenuhi, maka selanjutnya dilakukan uji non parametrik, Kruskal Wallis, Mann
Whitney, dan Korelasi Spearmen.
Uji Kruskal Wallis dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan antara
kelompok perlakuan yang diamati secara keseluruhan. Hasil uji Kruskal Wallis
menunjukkan nilai p = 0.002 (p<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan yang bermakna (signifikan) antara kelompok perlakuan yang diamati
terhadap NSS pada hari ketujuh. Untuk mengetahui kelompok mana saja yang
berbeda bermakna (spesifik) secara spesifik, dilakukan uji Mann Whitney. Hasil uji
Mann Whitney pada data NSS hari ketujuh, ditunjukkan pada tabel 5.12
122
Tabel 5.12 Hasil Uji Mann Whitney pada NSS Hari Ketujuh
Kelompok
Perlakuan 1
Kelompok
Perlakuan 2
Signifikansi
Kontrol - Kontrol +
513 mg/kgbb
926 mg/kgbb
1113 mg/kgbb
0.013*
0.011*
0.011*
0.011*
Kontrol + 513 mg/kgbb
926 mg/kgbb
1113 mg/kgbb
0.017*
0.017*
0.017*
513 mg/kgbb 926 mg/kgbb
1113 mg/kgbb
0.186
0.186
926 mg/kgbb 1113 mg/kgbb 0.040*
*kelompok yang memiliki perbedaan yang bermakna (signifikan) (p<0.05)
Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa Kontrol negatif dan Kontrol Positif
memiliki perbedaan yang signifikan dengan semua kelompok perlakuan lainnya. Dan
dari kelompok dosis pemberian catechins, hanya perbandingan antara dosis
cathechins terbesar (1113 mg/kgBB/hari) dengan 926 mg/kgBB/hari yang memiliki
perbedaan yang bermakna (signifikan).
Selanjutnya, dilakukan uji korelasi data Spearmen, untuk mengetahui
hubungan antara dosis pemberian catechins dengan sel apoptosis. Hasil uji korelasi
Spearmen, menunjukkan nilai p = 0.001, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna (signifikan) antara NSS dengan dosis pemberian
cathechins pada tikus model cedera otak traumatic. Besar koefisien korelasi
Spearmen, (R) = -0.754, artinya hubungan antara NSS dengan dosis pemberian
cathechins memiliki arah negatif dan kekuatan sebesar 0.754. Arah negatif berarti,
semakin tinggi dosis catechins, maka semakin rendah NSS pada tikus model cedera
123
otak traumatik. Besar koefisien korelasi 0.754, berarti kekuatan korelasi nya sangat
kuat.
Selanjutnya, subset homogen, alternatif output dari Post Hoc Tuckey, Karena
hanya set data yang dianalisis dengan uji parametrik yang bisa dilakukan uji subset
homogen, maka hanya data TNF-α 3 dan 7 hari, TUNEL 7 hari dan NSS 3 hari.
Hasilnya sebagai berikut, dengan interpretasi yang sama dengan Post Hoc Tuckey
sebelumnya.
Tabel 5.13 Hasil Subset Homogen untuk TNF-α 3 dan 7 hari, TUNEL 7 hari dan
NSS 3 hari
Perlakuan Parameter
TNF-α 7 hari TUNEL 7 hari NSS 3 hari
Kontrol - 2.1000 a 2.2000 a 0.000 a
Kontrol + 9.4250 b 9.1000 b 4.25 c
513 mg/kgBB/hari 13.8250 c 16.5750 c 1.75 b
926 mg/kgBB/hari 16.0250 c 19.2000 c 3.00 bc
1113 mg/kgBB/hari 24.9500 d 25.7000 d 2.50 b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji Tukey, sedangkan angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
5.8 Uji Perbandingan 2 Variabel Bebas dan Berpasangan (Uji T-Test dan
Wilcoxon)
Uji T-test merupakan uji parametrik perbandingan antara 2 variabel. Pada
penelitian ini dilakukan uji bebas dan uji berpasangan. Uji independent t-test
merupakan uji bebas perbandingan, dengan alternative uji non parametriknya
adalah Mann Whitney. Dan uji paired t-test merupakan uji berpasangan, dengan
alternative uji non paraetriknya adalah uji Wilcoxon.
Pada penelitian ini, untuk uji bebas dilakukan pada TNF-alpha dan
TUNEL, sedangkan pada NSS dilakukan uji berpasangan. Sebelum dilakukan uji
perbandingan, dilakukan uji normalitas untuk mengetahui penggunaan uji
124
statistik yang sesuai, dan didapatkan semua kelompok data pada TNF-alpha dan
TUNEL memiliki distribusi yang normal (Lampiran V), sedangkan NSS sesuai
dengan bagian yang telah ditulis sebelumnya. Hasil dari uji T-test dan Wilcoxon,
ditunjukkan pada tabel berikut.
Tabel 5.14 Hasil Uji 2 (dua) Variabel
VARIABEL 1 VARIABEL 2 VARIABEL SIGNIFIKANSI UJI
TNF-ALPHA 3 HARI TNF-alpha 7 hari K- 0.156
Independent
T-Test
K+ 0.322
513 mg/kgbb 0.003*
926 mg/kgbb 0.000*
1113 mg/kgbb 0.004*
TUNEL 3 HARI TUNEL 7 hari K- 1.000
Independent
T-Tes
K+ 0.409
513 mg/kgbb 0.002*
926 mg/kgbb 0.000*
1113 mg/kgbb 0.000*
NSS 3 HARI 0 NSS 3 hari 3 0.006* Wilcoxon
NSS 7 HARI 0 NSS 7 HARI 7 0.003* Wilcoxon
Dari tabel tersebut, dapat diketahui bahwa pada set data kelompok TNF
alpha dan TUNNEL antara 2 waktu pengamatan pada hari ketiga dan hari ketujuh
memiliki perbedaan yang signifikan pada semua kelompok perlakuan, kecuali antar
kontrol, baik Kontrol positif maupun Kontrol Negatif. Yang terakhir, pada NSS, yang
dilakukan analisa data uji berpasangan adalah kelompok yang diberikan cathechins.
Hasil uji Wilcoxon, menunjukkan, perbandingan hari ke-0 dan akhir perlakuan (3 dan
7 hari) menunjukkan perbedaan yang bermakna (signifikan).
125
5.9 Uji Korelasi antar Variabel Bebas
Pada bagian ini dilakukan pengujian untuk mengetahui korelasi antara TNF-
α, apoptosis sel (TUNNEL) dan status fungsional otak (NSS) pada tikus model
cedera otak traumatik. Pada uji analisis statistic ini, data yang digunakan adalah
data kontrol positif dan dipisahkan antara kedua waktu pengamatan, untuk
meminimalisir bias sekecil mungkin. Sebelum dilakukan uji korelasi, dilakukan uji
normalitas data dengan Saphiro Wilk, dan didapatkan semua set data memiliki
distribusi yang normal (Lampiran 1), sehingga selanjutnya dilakukan uji korelasi
parametrik, Pearson. Hasil uji Korelasi data antar variable adalah sebagai berikut,
Tabel 5.15 Hasil Uji Korelasi Antar Variabel
VARIABEL 1 VARIABEL 2 HARI 3 HARI 7
P. R P. R
TNF-α TUNNEL 0.020* 0.574 0.000* 0.880
TNF-α NSS 0.317 0.267 0.001* 0.729
TUNNEL NSS 0.206 0.334 0.000* 0.793
Dari table tersebut, dapat diketahui, bahwa pada hari pengamatan ke-7,
semua variable saling berkorelasi signifikan dengan kekuatan “sangat kuat” dana rah
positif. Dan pada hari pengamatan ke-3, hanya TNF-α dan NSS pada hari ketiga
yang berkorelasi signifikan dengan kekuatan korelasi yang juga sangat kuat dan
arah positif, yang berarti semakin tinggi TNF-α, maka NSS akan semakin rendah,
begitu pula sebaliknya.
126
BAB VI
PEMBAHASAN
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental sejati yang dilakukan
untuk membuktikan kemampuan catechins dalam menurunkan respon inflamasi
dan pembentukan radikal bebas yang berlebihan pada jaringan otak akibat
cedera otak traumatik. Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran ekspresi TNF-
α, apoptosis sel otak dan status fungsional otak tikus (NSS) dengan
menggunakan tikus wistar model cedera otak traumatik fokal.
Secara umum, cedera otak primer menyebabkan kematian sel dan
defisit neurologi melalui gangguan fisik terhadap jaringan secara langsung
(cedera primer), juga melalui mekanisme patofisiologi molekuler dan seluler yang
menyebabkan kerusakan area putih dan abu-abu secara progresif (cedera
sekunder). Pada cedera sekunder terjadi serangkaian proses yang dapat
menyebabkan apoptosis. Akibat dari cedera otak primer dan sekunder tersebut
antara lain terjadinya proses inflamasi secara langsung melalui pelepasan asam
arakhidonat, pembentukan radikal bebas, terjadinya edema vasogenik dan
sitotoksik, peningkatan influks Ca++ dan eksitotoksisitas glutamat. Sebagian
besar kerusakan neuron yang terjadi pada cedera otak traumatik diakibatkan
oleh cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder dideskripsikan sebagai
konsekuensi gangguan fisiologis, seperti iskemia, reperfusi, dan hipoksia pada
area otak yang beresiko, beberapa saat setelah terjadinya cedera awal (cedera
otak primer). Cedera otak sekunder sensitif terhadap terapi dan proses terjadinya
dapat dicegah (Mauritz et al, 2008).
127
Selama ini, konsep penatalaksanaan cedera otak traumatik adalah
dengan berbagai macam cara yang kompleks, diantaranya adalah dengan
meningkatkan perfusi serebral, oksigenasi, hipotermia profilaksis, pemberian
antibiotik, anti kejang profilaksis dan atau steroid. Walaupun demikian, belum
ada terapi definitif yang pasti untuk menentukan outcome dari cedera otak
traumatik (Brain Trauma Foundation, 2007).
Catechins adalah suatu senyawa kimia dalam teh yang merupakan
salah satu kelas flavanol. Catechins memiliki aktivitas antioksidan dan
antiinflamasi yang kuat serta mampu menetralisir berbagai radikal bebas dalam
tubuh seperti seperti reactive oxygen species (ROS) dan peroksinitrit. Pada
penelitian ini catechins diharapkan mampu menurunkan ekspresi TNF-α dengan
menurunkan ekspresi gen STAT-1 dan melalui hambatan pada NFKβ. Serta
menurunkan apoptosis sel neuron, dengan menghambat pembentukan radikal
bebas melalui hambatan jalur NADPH oksidase, menetralisir radikal bebas yang
telah terbentuk, serta meningkatkan protein antiapoptosis (Bcl-2) dan
menurunkan protein sel proapoptosis (Bax, Bcl-XS). (Berridge et al., 2012). Dan
selanjutnya, dengan menurunnya apoptosis sel otak dan sitokin pro inflamasi,
diharapkan outcome status fungsional otak tikus akan meningkat.
Model cedera otak traumatik pada tikus wistar dilakukan sesuai dengan
Marmarou (1994). Tikus dianestesi dengan menggunakan ketamin kemudian
bulu kepala dicukur dan dibersihkan dengan alkohol 70%. Kemudian kulit kepala
dibuka. Selanjutnya, dilakukan penjatuhan beban silinder besi seberat 450 gram
(diameter 4mm) dengan sudut 90º dari ketinggian 100 cm sebanyak 1 kali.
Energi benturan adalah sebesar 0,45 joule. Beban tersebut akan mengenai
bagian tengah depan antara kedua hemisfer otak tikus, dan tikus akan
mengalami kontusio serebri dan cedera kepala ringan (Marmorou, 1994).
128
Secara umum, saat terjadi trauma kepala dan trauma otak terjadi 3 zona
kerusakan otak yang terbagi menjadi near (sentral), far (perifer) dan penumbra.
Setelah terjadi trauma, kerusakan neuron yang segera terjadi, dihasilkan akibat
proses tumbukan gaya yang disebut dengan kerusakan primer. Kerusakan
primer memicu gelombang kedua kaskade biokimia yang Bersama dengan
perubahan metabolic dan seluler, menyebabkan kerusakan neuron sekunder.
Daerah kerusakan sekunder inilah yang disebut sebagai penumbra, dan
merupakan target penting dalam intervnsi terapi karena masih bisa diselamatkan
dan diperbaiki (Meireles et al., 2017)
Pada penelitian ini, kelompok perlakuan subyek tikus model cedera otak
traumatik, terbagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu pengamatan setelah 3 hari
dan 7 hari. Dari setiap kelompok besar pengamatan, terdiri dari 5 kelompok
perlakuan, yaitu Kontrol Negatif yang dilakukan sham procedure, Kontrol Positif
yang dilakukan perlakuan cedera otak traumatik, dan 3 kelompok yang dilakukan
perlakuan cedera otak traumatic dan diberikan catechins dengan dosis berbeda,
yaitu 513 mg/kgBB/hari, 926 mg/kgBB/hari dan 1113 mg/kgBB/hari.
Hasil penelitian secara umum adalah sebagai berikut, menunjukkan
bahwa secara umum, hasil penelitian pada hari ke-7 lebih baik daripada hari ke-
3. Secara teori, proses kerusakan otak sekunder mencapai puncaknya pada hari
ke-7, walaupun masih akan terus berlangsung, sehingga, perbaikan hasil
penelitian antara hari ke-3 dan ke-7, bisa mengindikasikan adanya perbaikan
kondisi akibat pemberian perlakuan pada subyek penelitian, dalam hal ini adalah
catechins. Tetapi terdapat kekurangan pada pembuatan preparat otak, karena
kami peneliti tidak memotong preparat sendiri, walaupun kami sudah
menentukan letak dimana preparat otak tikus tersebut dipotong (bagian
penumbra).
129
6.1 Pengaruh Pemberian Catechins terhadap Ekspresi TNF-α pada Jaringan
Otak Tikus Model Cedera Otak Traumatik.
Salah satu tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui
kemampuan catechins dalam menurunkan ekspresi TNF-α pada jaringan otak
tikus model cedera otak traumatik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada
kedua hari pengamatan, hari ketiga dan ketujuh, menunjukkan perbedaan yang
signifikan (bermakna) antar kelompok perlakuan.
Sesaat setelah terjadi cedera otak traumatik, terjadi peningkatan infiltrasi
neutrofil, astrositosis, edema dan sitokin proinflamasi serta sitokin antiinflamasi.
Salah satu sitokin pro inflamasi mayor yang dilepaskan Tumor necrosis Factor
Alpha (TNF-α). TNF-α dapat mulai ditemukan sejak 1 (satu) jam paska kejadian
trauma, dan terus meningkat hingga 3 (tiga) minggu, diiringi dengan astrositosis.
Kadar TNF-α berhubungan dengan kadar MMP-9 dan MMP-8, yang merupakan
marker cedera otak fokal. (Algattas and Huang, 2014)
Pada kasus cedera otak traumatik, keberadaan TNF-α yang dapat
menyebabkan perburukan kondisi, telah dikonfirmasi pada berbagai studi klinis.
Salah satunya adalah studi kohort pada 1096 pasien cedera otak traumatik, yang
dianalisis untuk mengetahui pengaruh polimorfisme gen sitokin terhadap hasil
nilai Glasgow. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karier homozigot TNF-α308
single nucleotide polymorphisms (SNP) memiliki outcome cedera otak traumatic
yang lebih buruk secara signifikan dibandingkan dengan kelompok yang lain.
SNP sendiri merupakan promoter TNF-α dan berhubungan dengan peningkatan
kadar TNF-α (Algattas and Huang, 2014).
Secara teori, catechins telah terbukti memiliki aktivitas anti inflamasi
(Kartegeris et al., 2015). Catechins dapat menurunkan ekspresi sitokin
proinflamasi, pada penelitian ini adalah TNF-α, dengan meningkatkan ekspresi
130
gen STAT-1, sehingga menghambat aktivitas NFKβ. Dari berbagai penelitian,
sel-sel yang mengalami kekurangan STAT-1 menunjukkan peningkatan jumlah
TNF-alpha yang signifikan, akibat adanya pembentukan komplek TRADD-RIP
dan TRADD-TRAF2, sementara kompleks TRADD-FADD tidak menunjukkan
perbedaa. Hal ini bisa terjadi karena STAT-1 bisa berinteraksi langsung dengan
TNFR1 dan TRADD, namun tidak bisa berinteraksi langsung dengan FADD.
Pada sel yang mengalami kekurangan STAT-1, terjadi peningkatan aktivasi NF-
KB dan ekspresi TNF-alpha. Sehingga, STAT-1 beraksi sebagai molekul sinyal
TNFR-1 untuk menekan aktivasi NF-KB dan selanjutnya menurunkan ekspresi
TNF-alpha (Wang et al, 2005)
Pada penelitian ini, terbukti catechins mampu menurunkan ekspresi TNF-
α pada hari pengamatan ketiga dan ketujuh. Diduga hal ini bisa terjadi karena
Catechins mampu menghambat aktivitas pada NFKβ. Seperti yang ditunjukkan
pada penelitian sebelumnya mengenai pengaruh pemberian catechins pada tikus
model cedera hepar akibat endotoksin yang dipicu alcohol. Walaupun pada
organ yang berbeda, namun kaskade yang terjadi, tidak memiliki perbedaan
yang berarti. Pada penelitian tersebut, variable yang diamati adalah aktivitas
NFKβ, ekspresi TNF-α, iNOS dan ROS. Kelompok yang diberikan catechins
menunjukkan penurunan aktivitas NFKβ yang berbeda dibandingkan dengan
kelompok kontrol, diikuti dengan penuruna ekspresi TNF-α, iNOS dan ROS,
sehingga hasil penelitian menyimpulkan bahwa catechins mampu menurunkan
ekspresi TNF-α, iNOS dan ROS, dengan menekan induksi dan menghambat
aktivitas NFKβ (Bharrhan et al., 2011)
Hasil penelitian pada pengamatan hari ketiga menunjukkan, Kontrol
positif berbeda bermakna dengan kelompok dosis 926 mg/kgBB/hari dan 1113
mg/kgBB/hari. Dan pada pengamatan hari ketujuh, kontrol positif menunjukkan
131
perbedaan yang bermakna dengan semua kelompok perlakuan. Hal ini
menunjukkan terjadinya penurunan ekspresi TNF-α terhadap kontrol positif dan
berbasis waktu serta dosis, walaupun jika dibandingkan dengan kontrol negatif
masih berbeda bermakna juga, yang mengindikasikan bahwa pemberian terapi
catechins belum menunjukkan hasil sebaik normal (kontrol negatif) hingga hari
ketujuh pemberian terapi.
Hasil uji korelasi berbasis dosis menunjukkan korelasi dengan kekuatan
sangat kuat (R. 3 hari = -0.866; R. 7 hari = -0.947) dengan arah negatif, yang
berarti semakin tinggi dosis catechins, maka semakin rendah ekspresi TNF-α
pada tikus model cedera otak traumatik. Analisis regresi linier menunjukkan nilai
R2 > 70% untuk kedua hari pengamatan, menunjukkan bahwa variasi dosis
pemberian catechins merupakan faktor dominan dari ekspresi TNF-α pada
penelitian ini.
6.2 Pengaruh Pemberian Catechins terhadap Apoptosis Sel pada Jaringan
Otak Tikus Model Cedera Otak Traumatik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian catechins mampu
menurunkan jumlah apoptosis sel pada jaringan otak tikus model cedera otak
traumatik, pada kedua hari pengamatan. Terdapat perbedaan yang bermakna
(signifikan) antara kelompok kontrol dan perlakuan pada kedua hari pengamatan.
Apoptosis merupakan jenis kematian sel yang berperan penting pada
perkembangan dan pertumbuhan jaringan. Apoptosis diregulasi oleh stimulus
tertentu. Karakteristik utamanya adalah fragmentasi nuclear dan cellular
breakdown di dalam apoptotic vesicles. Apoptosis berbeda dengan nekrosis,
dimana pada penelitian ini tentunya harus dibedakan, karena penggunaan model
cedera otak traumatic. Salah satu cara untuk mendeteksi apoptosis adalah
132
dengan metode TUNEL (Terminal deoxynucleotidyl Transferase BiotindUTP Nick
End Labeling), yang dipakai pada penelitian ini. Salah satu karakteristik utama
apoptosis adalah degradasi DNA setelah aktivasi Ca/Mg dependent
endonucleases. Namun, nekrosis juga dapat menyebabkan celah DNA yang
serupa. metode TUNEL mengidentifikasi pemecahan DNA insitu dengan
menggunakan terminal deoxynucleotidyl transferase (TdT) untuk mentransfer
biotin-dUTP celah DNA. Daerah celah yang dilabeli dengan biotin kemudian
terdeteksi dengan reaksi HRP (horse radish peroxidase) yang berkonjugasi
dengan streptavidin dan divisualisasikan oleh DAB (diaminobenzidine), yang
memberikan warna coklat. Kelebihan teknik ini adalah teknik yang paling sensitif
dan cepat dilakukan. Kekurangannya adalah mahal dan terjadinya kemungkinan
positif palsu pada sel nekrosis, sel yang mengalami repair DNA dan transkripsi
gene. (Elmore, 2007)
Secara teori, EGCG pada catechins menunjukkan fungsi penghambatan
yang bermakna pada pembentukan edema serebri pada cedera otak traumatik
dan menurunkan permeabilitas vaskular. Inflamasi yang diinduksi oleh cedera
otak traumatik juga terbukti dapat dihambat oleh pemberian EGCG. Terlebih lagi,
pemberian EGCG dapat menghambat ekspresi AQP4, protein kanal air yang
diekspresikan dengan kuat di otak, dominan di kaki astrosit di sekitar kapiler, dan
GFAP, protein yang menginduksi astrogliosis, pada jaringan otak yang cedera.
Sebagai antioksidan, EGCG mampu memperbaiki stress oksidatif pada cedera
otak traumatika dengan menghambat translokasi p47 phox dari sitoplasma ke
membran plasma. (Zhang et al., 2015).
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa EGCG dapat mengurangi
kerusakan BBB dan stres akut pada otak. Terlebih lagi, EGCG telah terbukti
mampu menembus BBB dan mencapai parenkim otak. Data penelitian
133
menunjukkan bahwa pemberian ECGC sebanyak 100 mg/kgBB dapat
menurunkan kandungan air intrakranial dan juga memperbaiki permeabilitas
vaskular (Zhang et al., 2015).
Selain itu, EGCG juga dilaporkan mampu melindungi neuron dengan
meregulasi glutamat, mediator inflamasi. EGCG, juga terbukti memiliki aktivitas
antioksidan dengan menghambat oskidasi NADPH, yang berperan pada cedera
otak sekunder dengan memediasi stress oksidatif, dengan menghambat
translokasi p47phox (Zhang et al., 2015).
Catechins juga memodulasi apoptosis dengan mempengaruhi gen pro-
apoptosis dan anti-apoptosis. EGCG menghambat ekspresi gen pro-apoptosis
Bax, Bad, dan Mdm2 serta menginduksi ekspresi gen anti-apoptosis, yaitu Bcl-2,
Bcl-w, dan Bcl-xl, sehingga melindungi sel dari apoptosis. (Sutherland, Rahman,
dan Appleton, 2006). Sehingga, secara teori, catechins diharapkan mampu
menurunkan apoptosis sel neuron, dengan menghambat ekspresi AQP4,
menghambat pembentukan radikal bebas melalui hambatan jalur NADPH
oksidase, menetralisir radikal bebas yang telah terbentuk, memperbaiki BBB,
serta meningkatkan protein antiapoptosis (Bcl-2) dan menurunkan protein sel pro
apoptosis (Bax, Bcl-XS)
Pada penelitian ini catechins terbukti dapat menurunkan sel apoptosis
secara bermakna, diduga hal tersebut terjadi, dengan menghambat
pembentukan radikal bebas melalui hambatan jalur NADPH oksidase,
menetralisir radikal bebas yang telah terbentuk, serta meningkatkan protein
antiapoptosis (Bcl-2) dan menurunkan protein sel proapoptosis (Bax, Bcl-XS)
(Berridge et al., 2012).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontrol negatif berbeda bermakna
dengan semua kelompok perlakuan lainnya, yang mengindikasikan bahwa
134
pemberian terapi catechins belum menunjukkan hasil sebaik normal (kontrol
negatif) hingga hari ketujuh pemberian terapi. Kelompok kontrol positif berbeda
bermakna dengan kelompok dosis terbesar, 1113 mg/kgBB/hari, pada hari ketiga
dan dengan semua kelompok dosis catechins (513 mg/kgBB/hari, 926
mg/kgBB/hari dan 1113 mg/kgBB/hari) pada hari ketujuh. Hal ini menunjukkan
terjadinya penurunan apoptosis sel terhadap kontrol positif dan berbasis waktu
serta dosis pemberian catechins. Hasil uji korelasi berbasis dosis menunjukkan
korelasi dengan kekuatan sangat kuat dengan arah negatif ( R 3 hari = -0.679; R.
7 hari = -0.922), yang berarti semakin tinggi dosis catechins, maka semakin
sedikit jumlah sel apoptosis pada tikus model cedera otak traumatik. Analisis
regresi linier menunjukkan nilai R2 > 70% untuk hari pengamatan ketujuh,
menunjukkan bahwa variasi dosis pemberian catechins merupakan faktor
dominan dari penurunan sel apoptosis.
6.3 Pengaruh Pemberian Catechins terhadap Status Fungsional Otak Tikus
Model Cedera Otak Traumatik
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada terjadi perbaikan NSS yang
bermakna pada semua kelompok perlakuan yang diberikan catechins dengan
dosis tertentu antara hari ke-0 dan di hari akhir pengamatan (3 dan 7 hari).
Kontrol negatif memiliki skor NSS yang tetap (0, tidak ada gangguan status
fungsional) dan Kontrol Positif menunjukkan perburukan antara hari ke-0 dan di
akhir hari pengamatan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa antar kelompok
perlakuan memiliki perbedaan yang bermakna pada kedua hari pengamatan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontrol negatif berbeda bermakna
dengan semua kelompok perlakuan lainnya, yang mengindikasikan bahwa
pemberian terapi catechins belum menunjukkan hasil sebaik normal (kontrol
negative) hingga hari ketujuh pemberian terapi. Kelompok kontrol positif berbeda
135
bermakna dengan kelompok dosis terkecil dan terbesar, 513 mg/kgbb/hari dan
1113 mg/kgBB/hari, pada hari ketiga dan dengan semua kelompok dosis
catechins (513 mg/kgBB/hari, 926 mg/kgBB/hari dan 1113 mg/kgBB/hari) pada
hari ketujuh. Hal ini menunjukkan terjadinya peningkatan status fungsional otak
tikus terhadap kontrol positif dan berbasis waktu serta dosis pemberian
catechins. Hasil uji korelasi berbasis dosis menunjukkan korelasi dengan
kekuatan moderat (R = -0.441) untuk hari ketiga dan sangat kuat untuk hari
ketujuh (R = -0.754), dengan arah negatif, yang berarti semakin tinggi dosis
cathechins, maka semakin baik status fungsional otak tikus model cedera otak
traumatic. Analisis regresi linier menunjukkan nilai R2 = 19.4 % untuk hari
pengamatan ketiga, menunjukkan bahwa variasi dosis pemberian catechins
bukan merupakan factor dominan dari perbaikan status fungsional.
6.4 Hubungan Antara TNF-α, Apoptosis Sel dan Status Fungsional Otak
Tikus Wistar Model Cedera Otak Traumatik
Secara teori, TNF-α dan apoptosis sel, serta TNF-α dan status fungsional
otak memiliki hubungan secara tidak langsung. Sedangkan apoptosis sel dan
status fungsional otak memiliki hubungan secara langsung. TNF alfa
menginduksi pelepasan TRADD yang mengaktivasi caspase 8 melalui mediasi
FADD. Ekspresi TNFR-1 dan TRADD mengatur kaskade apoptosis yang
berhubungan dengan reseptor. Akhirnya, peningkatan jumlah TNF alfa, caspase
8 dan FADD, menyebabkan terjadinya pelepasan asam etakrinik yang dapat
menginduksi apoptosis sel dengan melakukan fragmentasi DNA. Selain itu,
peningkatan caspase 8 juga meningkatkan ekspresi caspase 3. Caspase-3
teraktivasi sebagai mesin utama apoptosis, membelah DNA pada daerah linker
menggunakan caspase associated DNAse (CAD) dengan terlebih dahulu
mendegradasi inhibitornya, inhibitor of CAD (ICAD). Kehilangan sel neuron
136
akibat nekrosis dan apoptosis sel selanjutnya mempengaruhi kemampuan otak
secara umum, dan menurunkan status fungsionalnya.
Pada penelitian ini, dilakukan uji analisis statistika bivariate, Korelasi
Pearson, untuk mengetahui hubungan antara ekspresi TNF-α, apoptosis sel dan
status fungsional otak tikus model cedera otak traumatik. Uji analisis statistik
dilakukan pada masing-masing kelompok Kontrol Negatif dan Hari pengamatan
secara terpisah untuk meminimalisir bias.
Hasil uji Korelasi Pearson, sesuai dengan teori, untuk hubungan antara
NSS dengan TNF-α dan apoptosis sel, menunjukkan arah korelasi yang negatif
(hari 3 : NSS dan TNF-α, p = 0.317; r = 0.267; NSS dan apoptosis sel, p = 0.206,
r = 0.334; hari 7 : NSS dan TNF-α, p = 0.001*; r = 0.729; NSS dan apoptosis sel,
p = 0.000*, r = 0.334793). Dan sebaliknya, sesuai teori pula, hubungan antara
TNF-α dan apoptosis sel menunjukkan arah korelasi yang positif, ( hari 3 : TNF-α
dan apoptosis sel, p = 0.020*, r = 0.567; hari 7 : TNF-α dan apoptosis sel, p =
0.000*, r = 0.880). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi kadar TNF-α
maka jumlah sel apoptosis juga akan semakin meningkat dan status fungsional
otak tikus model cedera otak traumatik juga akan semakin memburuk.
6.5 Keterbatasan Penelitian
Secara umum, ada 4 (empat) keterbatasan pada penelitian ini.
Keterbatasan pertama adalah keterbatasan pada bahan yang digunakan. Proses
ekstraksi dan asal bahan yang digunakan berhubungan dengan kandungan dan
jumlah bahan aktif. Perbedaan metode dan tempat memiliki kandungan dan
jumlah bahan aktif yang berbeda. Bahkan dengan metode dan tempat yang
sama sekalipun, masih ada kemungkinan terjadi perbedaan kandungan dan
jumlah bahan aktif. Pada penelitian ini tidak dilakukan analisis fitokimia terhadap
137
catechins yang digunakan. Sehingga, tidak diketahui dengan pasti kandungan
turunan catechins yang digunakan pada penelitian ini.
Keterbatasan kedua, pada penelitian ini adalah belum dipilihnya variable
penelitian yang memiliki keberuntutan jaras secara teori, sehingga sulit untuk
mengetahui secara pasti cara kerja dan hambatan serta kemungkinan
munculnya variabel -variabel perancu lainnya pada pengaruh catechins terhadap
variabel-variabelnya
Keterbatasan yang ketiga dalam penelitian ini adalah catechins yang
diteliti belum siap diaplikasikan secara langsung, karena belum dilakukan uji
toksisitas secara in vivo, sehingga belum dapat diketahui dosis yang aman
digunakan.
Keterbatasan yang keempat dalam penelitian ini kami peneliti tidak
memotong preparat otak sendiri karena keterbatasan alat, walaupun kami sudah
menginformasikan untuk mengambil potongan di daerah transisional (penumbra)
tetapi kami tidak dapat memastikan apakah potongan preparat otak tikus
tersebut didaerah transisional (penumbra).
138
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Pemberian catechins mampu menurunkan ekspresi TNF-α pada jaringan
otak tikus jantan model Traumatic Brain Injury (TBI), pada hari
pengamatan ketiga dan ketujuh.
2. Semakin tinggi dosis catechins, maka ekspresi TNF-α pada jaringan otak
tikus jantan model Traumatic Brain Injury (TBI), semakin rendah, dengan
kekuatan hubungan yang sangat kuat pada hari pengamatan ketiga dan
ketujuh.
3. Pemberian catechins mampu menurunkan jumlah apoptosis sel pada
jaringan otak tikus jantan model Traumatic Brain Injury (TBI), pada hari
pengamatan ketiga dan ketujuh.
4. Semakin tinggi dosis catechins, maka jumlah apoptosis sel pada jaringan
otak tikus jantan model Traumatic Brain Injury (TBI), semakin rendah,
dengan kekuatan hubungan yang kuat pada hari pengamatan ketiga dan
kekuatan hubungan yang sangat kuat pada hari pengamatan ketujuh.
5. Pemberian catechins mampu meningkatkan status fungsional otak pada
tikus jantan model Traumatic Brain Injury (TBI), setelah 3 dan 7 hari
pengamatan.
6. Semakin tinggi dosis catechins, maka status fungsional otak otak tikus
jantan model Traumatic Brain Injury (TBI), semakin baik, dengan
kekuatan hubungan yang moderate pada hari pengamatan ketiga dan
kekuatan hubungan yang sangat kuat pada hari pengamatan ketujuh.
139
7. Terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi TNF-α dengan
jumlah sel apoptosis jaringan otak tikus jantan model traumatic brain
injury (TBI), dengan kekuatan hubungan kuat pada hari ketiga dan sangat
kuat pada hari ketujuh.
8. Terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi TNF-α dengan status
fungsional tikus jantan model traumatic brain injury (TBI), dengan
kekuatan hubungan kuat pada hari ketujuh.
9. Terdapat hubungan yang bermakna antara sel apoptosis dengan status
fungsional tikus pada hari pengamatan ketujuh, dengan kekuatan
hubungan sangat kuat.
7.2 Saran
Beberapa hal yang perlu dilakukan sebagai tindak lanjut dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui secara pasti cara
kerja catechins dalam menurunkan ekspresi TNF-α dan apoptosis sel.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui potensi terbesar
catechins dalam jaras-jaras kaskade cedera otak traumatik, yang mampu
memperbaiki outcome dengan hasil terbaik, untuk variable TNF-alpha,
dan sel apoptosis, karena adanya korelasi yang sangat kuat dengan
perlakuan.
3. Perlu dilakukan penelitian uji toksisitas, untuk mengetahui dosis yang
berbahaya pada manusia atau makhluk hidup lainnya.
4. Perlu dilakukan pemotongan preparat otak tikus oleh peneliti sendiri agar
sampel yang diambil dapat konsisten pada daerah transisional
(penumbra).
140
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, 2007. Antioksidan dan Peranannya Bagi Kesehatan.
http://www.beritaiptek.com/zberita-beritaiptek-2007-01-23-Antioksidandan-
peranannya-Bagi-Kesehatan.shtml. Diakses tanggal 20 Januari 2016.
Albert-Weiβenberger, Várrallyay C, Raslan F, Kleinschnitz C, Sirén AL. An
experimental protocol for mimicking pathomechanisms of traumatic brain
injury in mice. Exp Transl Stroke Med. 2012;4:1.
Algattas, H and Huang, JH. 2014. Traumatic Brain Injury Pathophysiology and
Treatments: Early, Intermediate, and Late Phases Post-Injury. Int J Mol Sci.
2014 Jan; 15(1): 309–341. doi: 10.3390/ijms15010309. PMCID:
PMC3907812
Arundina, I. 2003. Efek Anti Inflamasi Catechin pada Marmut dengan Metode
Pembentukan Oedem yang Diinduksi Suspensi Karagenik. Fakultas
Kedokteraan Gigi, Universitas Airlangga
Beauchamp, K; Haitham M; Wade R.S; Esther, S; and Philip F.S. 2008
Pharmacology of Traumatic Brain Injury: Where Is the “Golden Bullet”?. Mol
Med.Nov-Dec; 14(11-12): 731–740. doi: 10.2119/2008-00050.
Berridge, MJ. 2012. Cell Stress, Inflammatory Responses and Cell Death. Cell
Signalling Biology.11:1-6
Bharrhan S, Koul A, Chopra K, Rishi P. 2011. Catechin Suppresses an Array of
Signalling Molecules and Modulates Alcohol-Induced Endotoxin Mediated
Liver Injury in a Rat Model. PLoS ONE 6(6): e20635.
doi:10.1371/journal.pone.0020635
Brain Trauma Foundation. 2007. Guidelines for the Management of Severe
Tarumatic Brain Injury 3rd Edition.
Brunelle, JK dan Letai, A. 2009.Control of mitochondrial apoptosis by the Bcl-2
family. Journal of Cell Science. 122: 437-441
Centers for Disease Control and Prevention. Surveilance for Traumatic Brain
Injury-Related Deaths-United States, 1997-2007. Dalam: MMWR 2011.
Vol. 60. United States: CDC; 2011. Hal. 1-36.
141
Chacko, S. M., Thambi, P. T., Kuttan, R. and Nishigaki, I. 2010. Beneficial effects
of green tea: a literature review, Chinnese Medicine, 5 (13).
Chaturvedi, R. and Mishra, V. K. 2012. Studies on nutrient uptake and culture
conditions for synthesis of caffeine, (+)-catechine, (-)-epicatechin and (-)-
epigallocatechin gallate in anther derived haploid cell lines of tea [Camellia
sinensis (L)], J Biotechnol Biomater, 2 (6).
Chaudhary, M;Jai, D; Gawande, M; Patil, M. 2014. A Comparative Study between
IHC in Frozen Sections and Formalin Fixed Sections and their Clinical
Significance-A Retrospective Study. Global Journal of Dentistry and
Otolaryngology
Cohadon, F. (1995). The Concept of secondary Damage in Brain Trauma in
Ischemia in Head Injury, Smith TCG ed. 10th European Congress of
Neurosurgery, Proceeding of a Special Symposium, Berlin
Cooper, PR. (1982). Post-traumatic intracranial mass lesions. Effect of
Intracranial Hypertension on Evolution of Post Traumatic Acute Subdural
Hematoma. Intracranial Pressure VII.
Costelli, P; Aoki, P; Zingaro, B; Carbo, N; Reffo, P; Lopez-Soriano, F.J; Bonelli,
G; Argiles, J.M; Baccino, F.M. Mice lacking TNFalpha receptors 1 and 2
are resistant to death and fulminant liver injury induced by agonistic anti-
Fas antibody. Cell Death Differ. 2003;10:997–1004
Dardiotis, E; Giamouzis, G; Mastrogiannis, D; Vogiatzi, C; Skoularigis, J;
Triposkiadis, F; Hadjigeorgiou, G.M. Cognitive impairment in heart
failure. Cardiol. Res. Pract. 2012
Davis G, Marion D, George B, Hamel O, Turner M, McCrory P. (2009). Clinics in
neurology and neurosurgery of sport: traumatic cerebral contusion. British
Journal of Sports Medicine, 43:451-454
DEPHUB. 2005. Kejadian Kecelakaan Lalulintas Di Indonesia. Laporan
Kecelakaan dan Kejadian Khusus Lalulintas
Depreitere B, Van Lierde C, Vander Sloten J, Van der Perre G, Van Audekercke
R, Plets C, Goffin J. Lateral head impacts and protection of the temporal
area by bicycle safety helmets. J Trauma. 2007 Jun;62(6):1440-5.
142
Ekawati, K., Naniek, W., Mimiek, M. and Syarifatun, K. 2012. Pengaruh
konsentrasi ekstrak etanolik daun teh hijau (Camellia Sinesis L.) dalam
sediaan krim terhadap sifat fisik dan aktivitas antibakteri, Sains Medika
Journal of Health and Medicine, 4 (2).
Elmore S. 2007. Apoptosis: A Review of Programmed Cell Death. Toxicologic
Pathology. 35:495–516
Erdman, J., Oria, M. and Pillsbury, L. (eds). 2011. Nutrition and Traumatic Brain
Injury: Improving Acute and Subacute Health Outcome in Military
Personnel. Washington: The National Academies Press.
Faria, A., Mateus, N. and Calhau, C. 2012. Flavonoid transport across blood-
brain barrier: implication for their direct neuroprotective actions, Nutrition
and Aging. 1: 89–97.
Farooqui, A. A. 2012. Phytochemical, Signal Transduction, and Neurological
Disorder. New York: Springer.
Faul M, Xu L, Wald MM dan Coronado VG. 2010. Traumatic Brain Injury in The
United States: Emergency Department Visits, Hospitalizations and Death
2002-2006.
Figiel. 2008. Pro-inflammatory cytokine TNF-alpha as a neuroprotective agent in
the brain Acta Neurobiol. Exp. (Wars), 68. pp. 526–534
Freytag E, Lindenberg R. 1957. Morphology of cortical contusions. AMA Archives
of Pathology, 63:23-42
Graham, D.& Gennarelli, T. 2000. Pathology of Brain Damage After Head Injury.
In: Cooper, C. & Golfinos, j. (eds.) Head injury. 4 ed. New york: mc graw-
hill inc.
Gramza, A., Korczak, J. and Amarowicz, R. 2005. Tea Polyphenols–Their
Antioxidant Properties and Biological Activity–a Review, Pol. J. Food Nutr.
Sci. 14 (3): 219–235.
Gu, L; House, SE; Wu, X; Ou, B; Prior, RL. 2006. Procyanidin and Catechin
Contents and Antioxidant Capacity of Cocoa and Chocolate Products.
Arkansas Children’s Nutrition Center, ARS-USDA, and Department of
Physiology and Biophysics, University of Arkansas for Medical Sciences,
143
Little Rock, Arkansas 72202; and Brunswick Laboratories, Wareham,
Massachusetts. J. Agric. Food Chem. (54), 4057-4061
Gunawijaya, F. A; Gandasentana, R; Wahyudi, K. 1999. Efek Pemberian Katekin
Teh Hijau pada Pertumbuhan Tumor Kelenjar Susu Mencit Strain GR.
Jakarta: Kedoteran Trisakti Vol.18 No. 2
Hardman JM, Manoukian A. 2002. Pathology of head trauma. Neuroimaging Clin
N Am, 12(2):175-187
Hariman, L. 2010. Pengaruh Epigalokatekin Galat (EGCG) Teh Hijau (Camella
sinensis L. Kuntz) Terhadap Derajat Penurunan Berat Badan Mencit Galur
Swiss Webster Jantan Yang Diinduksi Kolitis Dengan Dextran Sulfate
Sodium (DSS). Thesis, Universitas Kristen Maranatha
Hariyani, Vitri. 2012. Laporan Epidemiologi Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD
Dr. Moewardi Surakarta dalam Cidera Kepala Berat (CKB) Di Instalasi
Gawat Darurat (IGD) RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Thesis, Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Hartoyo, A. 2003. Teh dan Khasiatnya bagi Kesehatan. Penerbit Kanisius.
Hartoyo, Arif. 2003. Teh dan Khasiatnya bagi Kesehatan. Penerbit Kanisius
Head Injury, cooper PR, ed. Lippincott Williams & Wilkins: US
Heroniaty. 2012. Sintesis Senyawa Dimer Katekin dari Ekstrak Teh Hijau Dengan
Menggunakan Katalis Enzim Peroksidase dari Kulit Bawang Bombay
(Allium cepa L.). Thesis. Magister Sains Ilmu Kimia. Fakultas MIPA.
Universitas Indonesia
Hoh NZ. 2008. BCL-2 Genotypes and Outcomes After Traumatic Brain Injury.
University of Pittsburgh.
Huang J, Perez-Burgos L, Placek BJ, Sengupta R, Richter M, Dorsey JA,
Kubicek S, Opravil S, Jenuwein T, Berger SL (2006) Repression of p53
activity by Smyd2-mediated methylation. Nature 444: 629–632
Huang PL. 2004. Nitric oxide and cerebral ischemia preconditioning. Cell
Calcium. 36(3), 333-9.
Imanulkhan, 2006. Karakterisasi “Edibel Film” Beraktivitas dari Pati Ganyong
(Canna Edulis Kerr) dan Ekstrak Teh Hijau (Camellia Sinensis). Thesis
144
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Universitas Brawijaya
Indharty, S. 2007. Hasil Akhir Penderita dengan Diffuse Brain Injury yang Dirawat
di Neurosurgical Critical Care Unit RS Hasan Sadikin, Bandung. Majalah
Kedokteran Nusantara Volume 40. No. 4. Desember.
Indharty, S. 2013. Peran ACTH4-10PRO8-GLY9-PRO10 Dan Inhibitor HMG-
COA Reduktase Dalam Peningkatan BCL-2 Dan BDNF Terhadap Hasil
Akhir Klinis Penderita Kontusio Serebri. Disertasi. Program Doktor (S-3)
Ilmu Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Universitas
Japardi 2004. Cedera Kepala: Memahami Aspek-Aspek Penting Pengelolaan
Cedera Kepala. Jakarta: Buana Ilmu Populer.
Johnson VJ, Stewart JE, Begbie FD, Trojanowski JQ, Smith DH, Stewart W.
2013. Inflammation and white matter degeneration persist for years after a
single traumatic brain injury. Brain. 36: 28–42
Kasan, U. 2006. Cedera Kepala Patofisiologi Penanganan dan Biomolekuler.
Surabaya: Fak.Kedokteran-Unair;2006
Katergaris N, Dufficy L, Roach PD, Naumovski N. 2015. Green tea catechins as
neuroprotective agents: systematic review of the literature in animal pre-
clinical trials. Adv Food Technol Nutr Sci Open J.; 1(2): 48-57. doi:
10.17140/AFTNSOJ-1-108
Katergaris N, Dufficy L, Roach PD, Naumovski N. Green tea catechins as
neuroprotective agents: systematic review of the literature in animal pre-
clinical trials. Adv Food Technol Nutr Sci Open J. 2015; 1(2): 48-57.
Katsanos GS, Anogeianaki A, Orso C, et al. 2008. Mast cells and chemokines. J
Biol Regul Homeost Agents. 22:145-51.
Khalatbary, A. R. 2014. Natural polyphenols and spinal cord injury, Iranian
Biomedical Journal, 18 (3): 120–129.
Khalatbary, A. R. and Ahmadvand, H. 2011. Anti-Inflammatory Effect of the
Epigallocatechin Gallate Following Spinal Cord Trauma in Rat, IBJ. 15
(1&2): 31–37.
145
Lambert JD, Kim DH, Zheng R, Yang CS.J. Transdermal delivery of (-)-
epigallocatechin-3-gallate, a green tea polyphenol, in mice. Pharm
Pharmacol. 2006 May;58(5):599-604.
Li HH, Lee SM, Cai Y, Sutton RL, Hovda DA. (2004). Differential gene expression
in hippocampus following experimental brain trauma reveals distinct
features of moderate and severe injuries. J Neurotrauma, 21(9):1141-
1153
Lucida, H. 2006. Determination of the ionization constants and the stability of
catechin from gambir (uncaria gambir (Hunter) Roxb), ASOPMS 12
International Conference, Padang November 2006
Machfoed M.H. 2011. Neurology update: the neuro-bio-molecular mechanisms
of traumatic brain injury. Pustaka cendekia press.
Madikians A dan Giza CC. 2006. A Clinician’s Guide to the Pathophysiology of
Traumatic Brain Injury. Indian Journal of Neurotrauma.3(1):9-17
Manach, C., Williamson, G., Morand, C., Scalbert, A. and Remesy, C. 2005.
Bioavailability and bioefficacy of polyphenols in human, Am J Clin Nutr. 81
(suppl): 230S–242S.
Mandel, S. and Youdim, M. B. H. 2004. Catechin polyphenols:
Neurodegeneration and neuroprotection in neurodegenerative diseases,
Free Radical Biology and Medicine. 37 (3): 304–317.
Marmarou, A., Signoretti, S., Fatouros, P.P., Portella, G., Aygok, G.A. 2006.
Predominance of Cellular Edema in Traumatic Brain Swelling in Patients
with Severe Head Injuries. J Neu rosurg 104:720–730.
Mauritz W, Wilbacher I, Majdan M, et al. 2008. Epidemiology, Treatment and
Outcome of Patients after Severe Traumatic Brain Injury in European
Regions with Different Economic Status. The European Journal of Public
Health. 18:575-580.
Meireles, Lindolfo da Silva; Simon, Daniel; Regner, Andrea. 2017. Neurotrauma:
The Crosstalk between Neurotrophins and Inflammation in the Acutely
Injured Brain. Int. J. Mol. Sci. 2017, 18(5), 1082
146
Mesiano T, Soertidewi L, Jannis J, Al Rasyid. 2010. Perdarahan Subarakhnoid
Traumatik. Departemen Neurologi. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Mohameda, Rasha H; Rehab A. Karamb, Mona G. 2011. Epicatechin attenuates
doxorubicin-induced brain toxicity: Critical role of TNF-a, iNOS and NF-kB
AmercBrain Research Bulletin 86.22– 28
Nag, N; Jennifer M M; Cassandra G K P; Bonnie C W; Nancy H K; Joanne BS.
2009. Environmental enrichment alters locomotor behaviour and
ventricular volume in Mecp21lox mice. Behav. Brain Res. 196, 44-48
Nakagawa, K; Fujii, S; Ohgi, A; Uesato, S. 2005. Antioxidative Activity of 3-O-
Octanol –(+)-Catechin, a Newly Synthesized Catechin, in Vitro. Department
of Food and Nutrition, Kyoto Women’s University. Japan. Journal of Health
Science, 51(4), 492- 496
Namas R, Ghuma A, Hermus L, Zamora R, Okonkwo DO, Billiar TR, Vodovotz Y.
2010. The acute inflammatory response in trauma/hemorhage and
traumatic brain injury: current state and emerging prospects. LJM: 97-103.
Park E. Bell JD dan Baker AJ. 2008. Traumatic brain injury: Can the
consequences be stopped?. CMAJ. 178(9):1163-70
Paterniti, I., Genovese, T., Crisafulli, C., Mazzon, E., Di Paola, R., Galuppo, M.,
Bramanti, P. and Cuzzocrea, S. 2009. Treatment with green tea extract
attenuates secondary inflammatory response in an experimental model of
spinal cord trauma, Naunyn-Schmiedeberg’s Archives of Pharmacology.
380 (2): 179–192.
Paxinos, G. and Watson, C. 1997. The Rat Brain in Stereotaxic Coordinates. 3rd
edn. San Diego: Academic Press.
Paxinos, G. and Watson, C. 2006. The Rat Brain in Stereotactic Coordinates. 6th
edn. San Diego: Academic Press. Available at: http://labs.gaidi.ca/rat-brain-
atlas.
Prins, M., Greco, T., Alexander, D., Giza, C. 2013. The Pathophysiology of
Traumatic Brain Injury at a Glance. Disease Models & Mechanisms. 6:
1307-1315
147
Rahayuningsih, D. 2014. Pengaruh Suhu Dan Waktu Penyeduhan Teh Celup
Terhadap Kadar Kafein. Thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Robert S.B. C, Larry Je, Hülya B, Patrick M. K. Biochemical, Cellular, and
Molecular Mechanisms of Neuronal Death and Secondary Brain Injury in
Critical Care. Journal of Critical Care Medicine. 2015
Shohami E, Ginis I dan Hallenbeck JM. 1999. Tumor necrosis factor alpha in
brain injury. Cytokine & Growth Factor Reviews.10:119-130.
Smith, T. J. 2011. Green tea polyphenols in drug discovery–a success or failure?,
Expert Opin Drug Discov. 6 (6): 589–595.
Susanti, E., Ciptati, Ratnawati, R., Aulanni’am and Rudijanto, A. 2015. Qualitative
analysis of catechins from green tea GMB-4 clone using HPLC and LC-
MS/MS, Asian Pac J Trop Biomed. 5 (12): 1046–1050.
Sutherland, B. A., Rahman, R. M. A. and Appleton, I. 2006. Mechanism of action
of green tea cathechins, with a focus on ischemia-induced
neurodegeneration, Journal of National Biochemistry. 17: 291–306.
Suzuki, M., Tabuchi, M., Ikeda, M., Umegaki, K. and Tomita, T. 2004. Protective
effects of green tea catechins on cerebral ischemic damage, Med Sci
Monit. 10 (6): 166-174.
Tjokronegoro A, S. 2004. Metodologi penelitian bidang kedokteran. Edisi 5.
Jakarta: FKUI
Tourle, R.. 2004. Camellia Sinensis (Tea). http://www.museums.org.za/iziko. 12
Januari 2016.
Valadka AB, Narayan RK. 1996. Emergency room management of the head-
injured patient. Journal of Neurotrauma, 119-135
Wang Q, Sun AY, Simonyi A. 2005. Neuroprotective mechanisms of curcumin
against cerebral ischemia-induced neuronal apoptosis and behavioral
deficits. J Neurosci Res. 2005; 82(1): 138-148. doi: 10.1002/jnr.20610
Vauzour, D. 2012. Dietary polyphenols as modulators of brain functions:
Biological actions and molecular mechanisms underpinning their beneficial
effects, Oxidative Medicine and Cellular Longevity.
148
Weissenberger CA dan Siren AL. 2010. Experimental traumatic brain injury.
Experimental & Translational Stroke Medicine. 2:16
Werner C dan Engelhard K. 2007. Pathophysiology of traumatic brain injury.
British Journal of Anaesthesia. 99 (1):4–9
Wu, A. G., Z. Ying, and F. Gomez-Pinilla. 2010. Vitamin E protects against
oxidative damage and learning disability after mild traumatic brain injury in
rats. Neurorehabilitation and Neural Repair 24(3):290–298
Xiong, Ye; Asim Mahmood and Michael Chopp. Animal models of traumatic brain
injury. 2013 Macmillan Publishers Limited. VOLUME 14
Yashin, A., Nemzer, B. and Yashin, Y. 2012. Bioavailability of tea components.
Journal of food research, 1 (2): 281–290.
Zasler ND, Katz DL dan Zafonte RD. 2007. Brain Injury Medicine. Principles and
Practice. Demos Medical Publishing. 8 : 81-95.
Zhang X, Chen Y, Jenkins LW, Kochanek PM. Clark RSB. 2005. Bench-to-
bedside review: Apoptosis/programmed cell death triggered by traumatic
brain injury. Critical Care. 9:66-75
Zhang, Bo; Bing Wang, Shuhua Cao, and Yongqiang Wang. Epigallocatechin-3-
Gallate (EGCG) Attenuates Traumatic Brain Injury by Inhibition of Edema
Formation and Oxidative Stress. Korean J Physiol Pharmacol Vol 19:
491•|497,