EFEK PEMBERIAN GEL EKSTRAK TEH HIJAU (Camellia ...repository.ub.ac.id/3913/1/LOUISE EMY...

61
EFEK PEMBERIAN GEL EKSTRAK TEH HIJAU (Camellia sinensis) PADA TIKUS (Rattus norvegicus) MODEL LUKA TERBUKA DITINJAU DARI EKSPRESI TGF-β1 (TRANSFORMING GROWTH FACTOR-BETA SATU) DAN JUMLAH SEL FIBROBLAS SKRIPSI Oleh : LOUISE EMY VIOLETTA 135130100111014 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017

Transcript of EFEK PEMBERIAN GEL EKSTRAK TEH HIJAU (Camellia ...repository.ub.ac.id/3913/1/LOUISE EMY...

  • EFEK PEMBERIAN GEL EKSTRAK TEH HIJAU (Camellia

    sinensis) PADA TIKUS (Rattus norvegicus) MODEL LUKA

    TERBUKA DITINJAU DARI EKSPRESI TGF-β1

    (TRANSFORMING GROWTH FACTOR-BETA

    SATU) DAN JUMLAH SEL FIBROBLAS

    SKRIPSI

    Oleh :

    LOUISE EMY VIOLETTA

    135130100111014

    PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER HEWAN

    FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

    UNIVERSITAS BRAWIJAYA

    MALANG

    2017

  • i

    EFEK PEMBERIAN GEL EKSTRAK TEH HIJAU (Camellia

    sinensis) PADA TIKUS (Rattus norvegicus) MODEL LUKA

    TERBUKA DITINJAU DARI EKSPRESI TGF-β1

    (TRANSFORMING GROWTH FACTOR-BETA

    SATU) DAN JUMLAH SEL FIBROBLAS

    SKRIPSI

    Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    Sarjana Kedokteran Hewan

    Oleh :

    LOUISE EMY VIOLETTA

    135130100111014

    PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER HEWAN

    FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

    UNIVERSITAS BRAWIJAYA

    MALANG

    2017

  • ii

  • iii

    LEMBAR PERNYATAAN

    Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

    Nama : Louise Emy Violetta

    NIM : 135130100111014

    Program Studi : Pendidikan Dokter Hewan

    Penulis Skripsi berjudul:

    Efek Pemberian Gel Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis) pada

    Tikus (Rattus norvegicus) Model Luka Terbuka Ditinjau dari Ekspresi

    TGF-β1 (Transforming Growth Factor-Beta Satu) dan Jumlah Sel

    Fibroblas

    Dengan ini menyatakan bahwa:

    1. Isi dari skripsi yang saya buat adalah benar-benar karya saya sendiri dan tidak

    menjiplak karya orang lain, selain nama-nama yang termakub di isi dan tertulis

    di daftar pustaka dalam skripsi ini.

    2. Apabila dikemudian hari ternyata skripsi yang saya tulis terbukti hasil jiplakan,

    maka saya akan bersedia menanggung segala resiko yang akan saya terima.

    Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala kesadaran.

    Malang, Agustus 2017

    Yang menyatakan,

    (Louise Emy Violetta)

    NIM. 135130100111014

  • iv

    Efek Pemberian Gel Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis) pada Tikus

    (Rattus norvegicus) Model Luka Terbuka Ditinjau dari Ekspresi

    TGF-β1 (Transforming Growth Factor-Beta Satu)

    dan Jumlah Sel Fibroblas

    ABSTRAK

    Luka adalah terputusnya kontinuitas jaringan karena cedera yang disengaja

    maupun tidak disengaja. Dalam dunia kedokteran hewan, luka merupakan salah

    satu kasus yang banyak ditemukan di lapangan. Saat luka terbentuk maka

    beberapa efek akan muncul seperti perdarahan, kontaminasi bakteri hingga

    kematian sel, oleh sebab itu dibutuhkan penanganan sesegera mungkin dan suatu

    manajemen perawatan luka yang tepat. Teh hijau yang didominasi oleh katekin

    memliki berbagai efek diantaranya efek antiinflamasi dan mampu menstimulus

    aktivasi jalur MAPK/ERK. Kedua efek tersebut membuat fase inflamasi

    berlangsung lebih singkat dan fase proliferasi menjadi lebih optimal. Penelitian ini

    bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian gel ekstrak teh hijau terhadap

    peningkatan ekspresi TGF-β1 dan jumlah fibroblas, dimana keduanya memiliki

    peranan dominan dalam fase proliferasi. Hewan coba yang digunakan adalah tikus

    putih (Rattus norvegicus) Strain Wistar jantan berumur 8–12 minggu dan berat

    badan 150–200 gram yang dibagi menjadi lima kelompok yaitu kelompok kontrol

    negatif, kelompok kontrol positif dan tiga kelompok perlakuan. Kelompok

    perlakuan (P1, P2 dan P3) dilukai dengan luka terbuka tipe full thickness skin

    excisional, kemudian diterapi menggunakan gel ekstrak teh hijau dengan

    konsentrasi masing-masing perlakuan yakni 0,6%, 1,2% dan 1,8%. Ekspresi TGF-

    β1 dan jumlah fibroblas diukur secara kuantitatif dan dianalisis dengan One Way

    ANOVA dan uji lanjutan berupa Uji Tuckey (α=0,05). Hasil penelitian

    menunjukkan bahwa gel ekstrak teh hijau konsentrasi 1,2% merupakan

    konsentrasi yang paling optimal dalam meningkatkan ekspresi TGF-β1 dan

    jumlah fibroblas.

    Kata Kunci : Teh hijau, Luka terbuka, Ekspresi TGF-β1 dan Jumlah fibroblas

  • v

    Administration Effect of Green Tea Extract in Gel (Camellia sinensis) on

    Open Wound Rat Model (Rattus norvegicus) Reviewed from TGF-β1

    Expression (Transforming Growth Factor-Beta One) and Number of

    Fibroblast Cells

    ABSTRACT

    Wound is a break or loss of tissue caused by injury. Wound is one of cases

    that founded so much in veterinary medicine working field. The effects which

    appeared when the wound forms are bleeding, bacterial contamination and cell

    necrosis, therefore wound needs to handling as soon as possible and treated

    appropriately. The green tea dominated by catechin which has many effects

    includes anti-inflammatory effect and potentiality to activate MAPK/ERK

    pathway. Both effects made the inflammatory phase occur more shorter and the

    proliferation phase occur more optimal. The purpose of this study to knew about

    administration effect of green tea extract in gel on increased TGF-β1 expression

    and the number of fibroblast cell which have main role in proliferation phase.

    Animal model that used in this study was white rat (Rattus norvegicus) with

    wistar strain, male, in the age 8-12 weeks and it weighs about 150-200 gram. Rats

    were divided in five groups that are negative control group, positive control group

    and three treatment groups. Treatment group (P1, P2, P3) injured by open wound

    (full thickness skin excisional) then treated with green tea extract in gel each

    concentration are 0,6%, 1,2%, 1,8%. Expression of TGF-β1 and the number of

    fibroblasts measured quantitatively and analyzed using One Way ANOVA and

    followed by Tukey test (α = 0.05). The results of this study showed that green tea

    extract in gel concentration 1,2% was the most optimal concentration to increase

    TGF-β1 expression and the number of fibroblast cell

    Key words : Green tea, Open wound, TGF-β1 expression and The number of

    fibroblast

  • vi

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan penyertaan-Nya

    penulis dapat menyelesaikan Skripsi berjudul “Efek Pemberian Gel Ekstrak

    Teh Hijau (Camellia sinensis) pada Tikus (Rattus norvegicus) Model Luka

    Terbuka Ditinjau dari Ekspresi TGF-β1 (Transforming Growth Factor-Beta

    Satu) dan Jumlah Sel Fibroblas”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu

    syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Program Studi

    Pendidikan Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya.

    Dengan penuh rasa hormat dan ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih

    kepada seluruh pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, secara khusus

    kepada:

    1. Dr. Masdiana Chendrakasih Padaga, drh., M.App.Sc selaku dosen

    pembimbing I atas segala bimbingan, kesabaran, motivasi dan waktu yang

    diberikan kepada penulis.

    2. Wibi Riawan, S.Si., M.Sc selaku dosen pembimbing II atas segala

    bimbingan, kesabaran, motivasi dan waktu yang diberikan kepada penulis.

    3. drh. Ahmad Fauzi, M.Sc dan drh. Desi Wulansari, M.Vet sebagai dosen

    penguji yang telah meluangkan waktu serta berkenan memberikan

    tanggapan, kritik dan saran untuk penyempurnaan penulisan skripsi ini.

    4. Prof. Dr. Aulanni’am, drh., DES selaku Dekan Fakultas Kedokteran

    Hewan Universitas Brawijaya atas motivasi yang diberikan kepada

    penulis dan usaha yang tiada henti untuk kemajuan FKH UB.

    5. Papa Hendrie Gerson, Mama Rusmaida, Kakak Lucia Emy Octavia, serta

    Tante Paulini Wilson atas doa, motivasi, bantuan dan kasih sayang yang

    tiada henti diberikan kepada penulis.

    6. Pihak YBO PGI atas segala dukungan moril maupun materiil yang

    diberikan kepada penulis.

    7. Kelompok penelitian skripsi (Dinda Adinda, Dicky Yoga Prasetia dan

    Rizka Utami Putri) untuk kerjasama, doa, motivasi dan bantuan yang

    diberikan kepada penulis.

  • vii

    8. Sahabat Chocolate (Aghnia, Andrea, Hanny, Joe dan Regi) dan teman-

    teman Kolega FKH UB angkatan 2013 atas segala doa, motivasi dan

    bantuan yang diberikan kepada penulis.

    9. Keluarga PMK Veteriner dan Keluarga GKI Bromo Bajem Dinoyo atas

    doa, motivasi dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis.

    Akhir kata penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa membalas semua

    kebaikan yang telah diberikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum

    sempurna sehingga penulis tetap membuka diri untuk semua kritik dan saran guna

    penulisan yang lebih baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

    Malang, Agustus 2017

    Penulis

  • viii

    DAFTAR ISI

    Halaman

    HALAMAN JUDUL .................................................................................... i

    HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii

    HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... iii

    ABSTRAK .................................................................................................... iv

    ABSTRACT .................................................................................................. v

    KATA PENGANTAR ................................................................................. vi

    DAFTAR ISI ................................................................................................ viii

    DAFTAR TABEL ....................................................................................... x

    DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xi

    DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xii

    DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG .............................................. xiii

    BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................... 1

    1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1

    1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 3

    1.3 Batasan Masalah........................................................................... 3

    1.4 Tujuan Penelitian ......................................................................... 4

    1.5 Manfaat Penelitian ...................................................................... 4

    BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 5 2.1 Luka ............................................................................................. 5

    2.2 Fase Penyembuhan Luka ............................................................. 6

    2.2.1 Fase Hemostasis ................................................................. 6

    2.2.2 Fase Inflamasi .................................................................... 8

    2.2.3 Fase Proliferasi ................................................................... 9

    2.2.4 Fase Maturasi ..................................................................... 10

    2.3 Transforming Growth Factor-Beta (TGF-β1) ............................ 12

    2.4 Fibroblas ...................................................................................... 13

    2.5 Teh Hijau (Camellia sinensis) ..................................................... 14

    2.6 Tikus (Rattus norvegicus) ........................................................... 16

    2.7 Gel ................................................................................................ 17

    BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESA PENELITIAN ......... 19

    3.1 Kerangka Konsep ........................................................................ 19

    3.2 Hipotesis Penelitian ..................................................................... 22

    BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN .................................................... 23

    4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................... 23

    4.2 Alat dan Bahan ............................................................................ 23

    4.3 Sampel Penelitian ......................................................................... 24

    4.4 Rancangan Penelitian .................................................................. 24

    4.5 Variabel Penelitian ...................................................................... 25

    4.6 Tahapan Penelitian ....................................................................... 25

    4.7 Prosedur Kerja ............................................................................. 26

    4.7.1 Persiapan Hewan Coba ...................................................... 26

    4.7.2 Pembuatan Ekstrak Teh Hijau ............................................ 26

  • ix

    4.7.3 Pembuatan Gel Ekstrak Teh Hijau ..................................... 27

    4.7.4 Pembuatan Luka Terbuka pada Hewan Coba dan Terapi .. 27

    4.7.5 Euthanasi dan Isolasi Kulit ................................................. 28

    4.7.6 Perhitungan Jumlah Fibroblas ............................................ 28

    4.7.6.1 Pembuatan Preparat Histologi dan Pewarnaan HE . 28

    4.7.6.2 Tahap Perhitungan Jumlah Fibroblas ..................... 29

    4.7.7 Prosedur IHK dan Perhitungan Ekspresi TGF-β1 ............. 30

    4.7.8 Analisis Data ...................................................................... 30

    BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 32

    5.1 Efek Pemberian Gel Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis)

    pada Tikus (Rattus norvegicus) Model Luka Terbuka terhadap

    Ekspresi TGF-β1 ......................................................................... 32

    5.2 Efek Pemberian Gel Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis)

    pada Tikus (Rattus norvegicus) Model Luka Terbuka terhadap

    Jumlah Sel Fibroblas .................................................................... 37

    BAB 6 PENUTUP ......................................................................................... 42

    6.1 Kesimpulan ................................................................................. 42

    6.2 Saran ............................................................................................ 42

    DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 43

    LAMPIRAN .................................................................................................. 48

  • x

    DAFTAR TABEL

    Tabel Halaman

    2.1 Komposisi kimiawi teh hijau ................................................................... 14

    4.1 Rancangan penelitian ............................................................................... 25

    5.1 Data ekspresi TGF-β1 hari ke-10 ............................................................ 33

    5.2 Data jumlah sel fibroblas hari ke-10 ....................................................... 38

  • xi

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar Halaman

    2.1 Fase proliferasi yang ditandai dengan terbentuknya jaringan granulasi

    dan epitelisasi ....................................................................................... 10

    3.1 Kerangka konseptual ............................................................................ 19

    5.1 Immunohistokimia ekspresi TGF-β1 hari ke-10 (400x) ...................... 32

    5.2 Histologi sel fibroblas hari ke-10 (HE, 400x) ...................................... 37

  • xii

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran Halaman

    1. Sertifikat laik etik ...................................................................................... 48

    2. Determinasi tanaman teh ........................................................................... 49

    3. Surat keterangan proses ekstraksi teh hijau .............................................. 50

    4. Surat keterangan skrinning fitokimia ekstrak teh hijau ............................. 51

    5. Kerangka operasional penelitian ............................................................... 52

    6. Prosedur pembuatan ekstrak teh hijau ...................................................... 53

    7. Prosedur pembuatan gel ekstrak teh hijau ................................................. 54

    8. Formulasi gel teh hijau .............................................................................. 55

    9. Prosedur pembuatan luka tebuka .............................................................. 56

    10. Pengenceran dan perhitungan volume obat anastesi ............................... 57

    11. Prosedur terapi gel ekstrak teh hijau dan normal saline .......................... 58

    12. Data pengamatan luka terbuka secara makroskopis hari ke-10 .............. 59

    13. Prosedur euthanasi dan isolasi kulit ......................................................... 60

    14. Pembuatan preparat histologi dan pewarnaan HE ................................... 61

    15. Prosedur IHK .......................................................................................... 62

    16. Hasil uji statistik ...................................................................................... 63

  • xiii

    DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

    Singkatan/Lambang Keterangan

    ο derajat

    % persen

    Ρ massa jenis ADP adenosin difosfat

    ANOVA analysis of variance

    C celcius

    cm sentimeter

    DAB diaminobenzidine

    ECM extracellular matrix

    EGF epidermal growth factor

    ERK extracellular signal-regulated kinase

    FGF fibroblast growth factor

    GTP guanosin trifosfat

    H2O2 hidrogen peroksida

    HE hematoksilin eosin

    IGF insulin growth factor

    IHK imunohistokimia

    IL interleukin

    K- kontrol negatif

    K+ kontrol positif

    KGF keratinocyte growth factor

    MAPK mitogen-activated protein kinase

    MEK MAP/ERK kinase

    mg/kgBB miligram per kilogram berat badan

    m massa

    mL mililiter

    mm milimeter

    MMP matrix metalloproteinase

    NaOH natrium hidroksida

    P1 perlakuan satu

    P2 perlakuan dua

    P3 perlakuan tiga

    PBS phosfat buffer saline

    PDGF platelet-derived growth factor

    pH power of hydrogen

    rpm rotation per minutes

    SA-HRP strepavidin horseradish peroxidase

    TGF-α transforming growth factor alpha

    TGF-β transforming growth factor-beta

    TNF-α tumor necrosis factor alpha

    VEGF vascular endothelial growth factor

  • 1

    BAB 1 PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Luka ialah terputusnya kontinuitas jaringan karena cedera yang disengaja

    ataupun tidak disengaja (accidental) (Zulfa dkk., 2008). Dalam dunia kedokteran

    hewan, luka merupakan salah satu kasus yang banyak ditemukan di lapangan

    (Doyle, 2012). Saat luka terbentuk maka beberapa efek akan muncul seperti

    hilangnya sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, perdarahan dan

    pembekuan darah, kontaminasi bakteri hingga kematian sel (Pongsipulung dkk.,

    2012). Apapun jenis luka yang terbentuk maka dibutuhkan penanganan sesegera

    mungkin dan diikuti dengan suatu manajemen perawatan yang tepat guna

    meminimalisasi berbagai efek yang tidak dinginkan tersebut. Perawatan luka juga

    bertujuan untuk mempercepat penyembuhan, mencegah kerusakan kulit lebih

    lanjut dan meningkatkan kenyamanan pasien (Zulfa dkk., 2008).

    Prinsip perawatan luka menurut Doyle (2012) ialah meminimalisasi fase

    inflamasi dan merangsang serta memodulasi terjadinya fase proliferasi sehingga

    mempercepat epitelisasi dan kontraksi luka. Pada umumnya perawatan terhadap

    luka berupa irigasi, debridemen, dan pemberian antibiotik atau antiseptik (Sabirin

    dkk., 2013). Irigasi atau mencuci luka bertujuan untuk menurunkan jumlah bakteri

    dan membersihkan sisa balutan lama, sedangkan debridemen bertujuan untuk

    membuang jaringan atau sel nekrotik dari permukaan luka (Kartika, 2015).

    Penelitian lebih lanjut mengemukakan bahwa penggunaan antiseptik dalam

    perawatan luka memiliki beberapa kelemahan bahkan beresiko memperburuk

    kondisi luka. Antiseptik seperti hydrogen peroxide, povidone iodine, acetic acid

  • 2

    dan chlorohexadine tidak hanya membunuh mikroorganisme, tetapi juga dapat

    mematikan leukosit yang berperan membunuh bakteri patogen serta dapat

    mematikan sel-sel fibroblas yang berperan dalam membentuk jaringan baru

    (Rohmayanti dan Kamal, 2015).

    Teh merupakan salah satu tanaman yang dipercaya memiliki khasiat bagi

    kesehatan. Terdapat berbagai jenis teh diantaranya teh putih, teh hijau, oolong dan

    teh hitam. Teh hijau dan teh putih merupakan dua jenis teh yang tidak mengalami

    oksidasi enzimatis sehingga kandungan polifenol keduanya lebih tinggi dibanding

    teh lainnya (Fauzia dan Djajadisastra, 2014). Polifenol dominan yang terkandung

    dalam teh hijau ialah katekin. katekin memiliki berbagai efek seperti

    antiinflamasi, antioksidan, antibakteri, antiviral, antienzymatic effects, dan

    probiotik pada manusia dan hewan maupun studi in vitro (Pradita dkk., 2013).

    Efek antiinflamasi dari katekin membuat migrasi leukosit ke jaringan

    perlukaan dibatasi jumlahnya dan ekspresi dari TGF-β1 tidak terhambat (Kurnia

    dkk., 2015). Katekin juga mampu mengaktivasi jalur MAPK yang terlibat dalam

    proses signaling faktor pertumbuhan tersebut (Neves et al., 2010). Peran TGF-β1

    dalam proses penyembuhan luka mampu menginduksi proliferasi fibroblas,

    dimana fibroblas bertanggung jawab dalam mensintesis kolagen (Klass et al.,

    2010). Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin mengkaji secara lebih mendalam

    tentang efek pemberian teh hijau pada kejadian luka terbuka yang ditinjau dari

    ekspresi TGF-β1 dan jumlah sel fibroblas.

  • 3

    1.2 Rumusan Masalah

    Rumusan masalah dari penulisan skripsi ini adalah:

    1. Apakah gel ekstrak teh hijau (Camellia sinensis) dapat meningkatkan

    ekspresi TGF-β1 pada kulit tikus model luka terbuka?

    2. Apakah gel ekstrak teh hijau (Camellia sinensis) dapat meningkatkan

    jumlah sel fibroblas pada kulit tikus model luka terbuka?

    1.3 Batasan Masalah

    Batasan masalah dari penulisan skripsi ini adalah:

    1. Hewan coba yang digunakan ialah tikus putih (Rattus norvegicus) Strain

    Wistar, berjenis kelamin jantan dengan berat badan 150–200 gram serta

    berumur 8–12 minggu. Penggunaan hewan coba dalam penelitian ini telah

    mendapat sertifikat laik etik No: 739-KEP-UB dari Komisi Etik Penelitian

    Universitas Brawijaya.

    2. Teh hijau diperoleh dari Perkebunan Teh Wonosari, Lawang, Jawa Timur.

    Teh hijau tersebut selanjutnya diekstraksi dengan metode maserasi dan

    dibuat dalam sediaan gel.

    3. Pembuatan luka terbuka tipe full thickness skin excisional dilakukan pada

    dorsal dengan diameter 1,5 cm menggunakan gunting tajam-tajam steril.

    4. Gel ekstrak teh hijau diberikan dengan konsentrasi 0,6%, 1,2% dan 1,8%

    satu kali sehari selama 10 hari pada semua kelompok perlakuan.

    5. Parameter dalam penelitian ini ialah ekspresi TGF-β1 yang diukur melalui

    metode IHK dan jumlah sel fibroblas dengan pembuatan preparat

    histopatologi serta pewarnaan HE.

  • 4

    1.4 Tujuan Penelitian

    Tujuan yang dicapai dari penelitian skripsi ini adalah:

    1. Mengetahui pengaruh gel ekstrak teh hijau (Camellia sinensis) terhadap

    peningkatan ekspresi TGF-β1 pada kulit tikus model luka terbuka.

    2. Mengetahui peranan gel ekstrak teh hijau (Camellia sinensis) terhadap

    peningkatan jumlah sel fibroblas pada kulit tikus model luka terbuka.

    1.5 Manfaat Penelitian

    Manfaat yang diperoleh dari penelitian skripsi ini adalah:

    1. Penelitian ini dapat digunakan sebagai kajian ilmiah pemanfaatan gel

    ekstrak teh hijau (Camellia sinensis) dalam meningkatkan ekspresi TGF-β1.

    2. Penelitian ini dapat digunakan sebagai kajian ilmiah pemanfaatan gel

    ekstrak teh hijau (Camellia sinensis) dalam meningkatkan jumlah sel

    fibroblas.

  • 5

    BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Luka

    Luka merupakan kerusakan anatomi kulit yang disebabkan karena trauma

    atau cedera fisik dan diikuti dengan hilangnya fungsi jaringan tersebut (Pavletic,

    2010). Menurut Hosgood (2009), luka dapat diklasifikasikan menjadi bermacam-

    macam jenis diantaranya, luka terbuka dan tertutup, serta ada pula yang

    membedakan luka berdasarkan jumlah lapisan kulit yang terlibat. Beberapa jenis

    luka terbuka ialah luka insisi (luka dengan kedalaman tertentu yang terbentuk

    akibat sayatan instrumen bedah), luka laserasi (luka tidak disengaja yang

    terbentuk akibat kulit bergesekkan dengan benda tajam seperti pisau, pecahan

    kaca, atau benda tajam lainnya sehingga terbentuk pola acak atau tidak beraturan),

    avulsion (robeknya kulit sehingga potongan kulit tersebut menggantung atau

    terlepas sempurna dari perlekatannya), luka tusukan (luka yang disebabkan karena

    benda tajam yang menusuk kulit sehingga terbentuk lubang), dan luka bakar (luka

    yang disebabkan karena suhu ekstrim, kontak dengan zat kimia, listrik atau

    radiasi). Berbeda dengan luka terbuka, luka tertutup adalah luka yang terbentuk

    tanpa disertai kerusakan kulit terluar misalnya kontusio, hematoma, dan higroma.

    Luka tetutup umumnya disebabkan karena adanya benturan atau pukulan benda

    keras dan tumpul. Kulit tidak mengalami kerusakan namun menimbulkan

    pembengkakan, rasa nyeri serta perubahan warna akibat pecahnya pembuluh

    darah (Pavletic, 2010).

    Klasifikasi luka berdasarkan jumlah lapisan yang terlibat meliputi luka

    superficial, partial thickness dan full thickness. Luka superficial merupakan

  • 6

    kerusakan jaringan dangkal sebatas lapisan epidermis. Luka yang melibatkan

    epidermis dan sebagian dermis maka disebut sebagai luka partial thickness,

    sedangkan jika kerusakan jaringan telah mencapai lemak subkutan atau bahkan

    lebih dalam maka disebut sebagai luka full thickness (Boateng et al., 2007).

    2.2 Fase Penyembuhan Luka

    Serangkaian proses penyembuhan luka sangat kompleks dan saling

    tumpang tindih. Seiring dengan perkembangan teknologi molekuler maka proses

    tersebut dapat dibedakan secara biologis kedalam beberapa fase yakni fase

    hemostasis, inflamasi, proliferasi dan maturasi (Hosgood, 2009).

    2.2.1 Fase Hemostasis

    Pada fase hemostasis terjadi tiga hal penting yakni vasokontriksi,

    pembentukan sumbat trombosit dan koagulasi darah. Vasokontriksi terjadi selama

    5–10 menit, diperkirakan mekanisme tersebut dipicu oleh adanya zat parakrin

    yang dilepaskan secara lokal oleh endotel yang rusak. Vasokontriksi akan

    memperlambat aliran darah dan meminimalisasi hilangnya darah, namun tindakan

    fisik tersebut tidak cukup untuk mencegah secara sempurna perdarahan yang

    terjadi sehingga dibutuhkan tindakan hemostatik lainnya (Sherwood, 2013).

    Trombosit dalam keadaan normal tidak melekat pada permukaan endotel

    yang licin, tetapi saat terjadi kerusakan pembuluh darah maka trombosit menjadi

    aktif oleh kolagen terpajan. Trombosit yang teraktivasi akan segera melekat pada

    kolagen dan membentuk sumbat trombosit. Trombosit-trombosit tersebut akan

    mengeluarkan bahan kimia penting seperti ADP untuk memperbanyak jumlah

  • 7

    trombosit di tempat defek, namun disaat bersamaan sekresi ADP juga memicu

    endotel normal melepaskan protasiklin dan nitrat oksida. Kedua bahan kimia

    tersebut menyebabkan agregasi trombosit terbatas hanya pada defek dan tidak

    menyebar ke jaringan vaskular normal. Sumbat trombosit juga berperan dalam

    beberapa fungsi penting seperti kontraksi kompleks aktin-miosin sehingga sumbat

    yang awalnya longgar dapat dipadatkan, produksi beberapa vasokontriktor

    (serotonin, epinefrin dan tromboksan A2) yang memperkuat vasokontriksi awal

    dan membebaskan bahan lain yang meningkatkan koagulasi darah (Sherwood,

    2013).

    Koagulasi darah adalah mekanisme hemostatik yang paling kuat.

    Koagulasi darah merupakan proses transformasi darah dari cairan menjadi gel

    padat. Langkah terakhir dari koagulasi darah ialah perubahan fibrinogen (protein

    plasma yang dapat larut dan berukuran besar dan dihasilkan oleh hati) menjadi

    fibrin (molekul tak larut berbentuk benang), adapun perubahan tersebut dikatalisis

    oleh enzim trombin. Molekul-molekul fibrin melekat ke permukaan pembuluh

    darah yang rusak, membentuk jala longgar dan menjerat berbagai sel darah

    termasuk agregat trombosit dan eritrosit (Sherwood, 2013). Masa yang terbentuk

    akibat kombinasi dari trombosit, eritrosit, cairan, serta benang-benang fibrin

    tersebut akan membentuk fibrin plug (Hosgood, 2009).

    Pada mulanya untai-untaian fibrin saling menjalin longgar, selanjutnya

    terbentuk ikatan kimia antar untaian fibrin untuk memperkuat dan menstabilkan

    jala bekuan ini. Proses pembentukan ikatan tersebut dikatalisis oleh faktor XIII

  • 8

    (Sherwood, 2013). Faktor XIII juga memicu fibrin berikatan secara kovalen

    dengan trombosit melalui reseptor integrin α11bβ3 sehingga membentuk ECM

    temporer. ECM temporer akan memfasilitasi masuknya sel-sel penting menuju

    kavitas luka melalui molekul adhesi (integrin, selectin) yang diekspresikan

    dipermukaan sel-sel tersebut, selain itu ECM juga berperan sebagai reservoir

    faktor pertumbuhan dan sitokin. (Hosgood, 2009).

    2.2.2 Fase Inflamasi

    Tujuan utama terjadinya fase inflamasi ialah untuk menghilangkan

    jaringan yang mati, mencegah kolonisasi dan infeksi mirobial patogen (Tanggo,

    2013). Trombosit tidak hanya berfungsi membentuk bekuan darah tetapi juga

    mengekspresikan beberapa faktor pertumbuhan seperti PDGF dan TGF-β. Faktor

    pertumbuhan tersebut akan menarik leukosit sehingga menginfiltrasi ECM

    temporer atau matriks fibrin dan mengisi kavitas luka. Migrasi leukosit juga

    didukung dengan adanya mediator inflamasi seperti prostaglandin dan leukotrien.

    Neutrofil merupakan leukosit pertama yang bermigrasi pada luka dan umumnya

    ditemukan pada hari ke-1 hingga hari ke-3 setelah luka tersebut terbentuk.

    Neutrofil berperan dalam fagositosis bakteri, eliminasi debris ekstraseluler, serta

    pelepasan Nitrit Oxide (NO) yang memediasi terjadinya vasodilatasi dan

    peningkatan permeabilitas vaskular pada fase inflamasi. Neutrofil juga merupakan

    sumber sitokin proinflamsi seperti IL-1α, IL-1β, IL-6, IL-8 dan TNF-α (Hosgood,

    2009).

  • 9

    Migrasi neutrofil diikuti dengan migrasi makrofag pada hari ke-2 hingga

    hari ke-3 setelah luka terbentuk dan makrofag akan menjadi sel predominan

    setelah hari ketiga. Makrofag kemudian menjalankan fungsi fagositosis sel debris

    dan bakteri serta melepas beberapa sitokin proinflamasi seperti IL-1α, IL-1β, IL-

    6, IL-8 dan TNF-α. Makrofag juga memiliki peranan penting dalam menstimulasi

    dan memodulasi fase proliferasi melalui ekspresi berbagai faktor pertumbuhan

    seperti TGF-α, TGF-β, FGF,EGF, IGF, PDGF, VEGF dan MMP (Hosgood,

    2009).

    2.2.3 Fase Proliferasi

    Fase proliferasi berlangsung mulai hari ke-4 hingga hari ke-21 setelah luka

    terbentuk. Makrofag akan mengekspresikan beberapa faktor pertumbuhan salah

    satunya ialah TGF-β. TGF-β terlibat dalam beberapa fase penyembuhan luka

    termasuk fase inflamasi dan proliferasi. TGF-β bersama faktor pertumbuhan

    lainnya (FGF, PDGF) akan menginduksi fibroblas untuk berproliferasi,

    mengekspresikan reseptor integrin pada permukaan selnya bermigrasi menuju

    kavitas luka (Hosgood, 2009). Fibroblas berasal dari sel mesenkim yang belum

    terdiferensiasi, menghasilkan bahan dasar serat kolagen (mukopolisakarida, asam

    amino glisin dan prolin) yang berperan untuk mempertautkan tepi luka (Tanggo,

    2013).

    Endotel juga akan bermigrasi menuju kavitas luka melalui ECM temporer,

    adapun migrasi endotel tersebut distimulus oleh aktivasi TGF-β dan beberapa

    faktor pertumbuhan lain seperti VEGF, FGF, serta angiopoietin. Proses

  • 10

    neovaskularisasi yang terjadi bersamaan dengan pergerakan fibroblas bertujuan

    untuk mensuplai kebutuhan metabolisme. Pada fase ini ECM temporer yang

    didominasi oleh trombosit dan makrofag secara gradual digantikan oleh jaringan

    granulasi yang tersusun dari kumpulan fibroblas, makrofag dan sel endotel.

    Jaringan granulasi secara makroskopis terlihat berwarna kemerahan dengan

    permukaan berbenjol halus (Tanggo, 2013).

    Epitel tepi luka yang terdiri atas sel basal terlepas dari dasarnya dan

    berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang

    terbentuk dari proses mitosis. Migrasi dan proliferasi sel epidermal tersebut

    distimulus oleh aktivasi beberapa faktor pertumbuhan seperti EGF, TGF-α dan

    KGF. Proses ini akan berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup

    permukaan luka (Tanggo, 2013).

    Gambar 2.1. Fase Proliferasi yang ditandai dengan terbentuknya jaringan

    granulasi dan epitelisasi (Hosgood, 2009)

    2.2.4 Fase Maturasi

    Fase akhir dari penyembuhan luka ialah fase maturasi. Pada fase ini

    jaringan baru yang terbentuk akan disusun sedemikian rupa menyerupai jaringan

    asal. Fase maturasi berlangsung mulai hari ke-21 hingga sekitar dua tahun. Fase

  • 11

    maturasi dimulai segera setelah kavitas luka terisi oleh jaringan granulasi dan

    proses reepitelialisasi usai (Hidayat, 2013). Aktivitas penting yang terjadi selama

    fase ini berlangsung yakni adanya penurunan jumlah sel-sel penyusun jaringan

    granulasi (terjadi apoptosis fibroblas dan sel endotel), rekonstruksi kolagen

    menjadi lebih tebal dan kolagen saling berikatan silang, serta degradasi kolagen

    yang berlebihan (Hosgood, 2009).

    Pada fase maturasi luka mengalami kontraksi akibat aktivitas miofibroblas.

    Miofibroblas merupakan fibroblas yang mengandung komponen mikrofilamen

    aktin intraselular. Kolagen tipe III kemudian digantikan oleh kolagen tipe I

    sehingga memungkinkan terjadinya tensile strength (Hidayat, 2013). Kolagen

    nonfungsional akan didegradasi oleh enzim protease dengan bantuan MMP yang

    disekresikan oleh makrofag, fibroblas, sel endotel dan sel epidermal. Pada fase ini

    TIMP juga disekresikan untuk menghambat aktivitas MMP, dengan demikian

    proses sintesis dan degradasi kolagen dapat berjalan seimbang (Pavletic, 2010).

    Kolagen awalnya tersusun secara tidak beraturan sehingga membutuhkan

    lysyl hydroxylase untuk mengubah lisin menjadi hidroksilisin yang dianggap

    bertanggung jawab terhadap terjadinya ikatan silang antar kolagen. Ikatan silang

    tersebut juga menyebabkan terjadinya tensile strength sehingga luka tidak mudah

    terkoyak. Tensile strength akan bertambah secara cepat dalam enam minggu

    pertama, kemudian akan bertambah secara perlahan selama 1–2 tahun. Pada

    umumnya tensile strength pada kulit dan fascia tidak akan pernah mencapai

    100%, namun hanya sekitar 80% dari normal. Hasil akhir dari fase maturasi

  • 12

    berupa jaringan parut yang pucat, tipis, lemas dan mudah digerakkan dari

    dasarnya (Hidayat, 2013).

    2.3 Transforming Growth Factor-Beta (TGF-β1)

    TGF-β adalah faktor pertumbuhan yang teraktivasi oleh kondisi-kondisi

    tertentu seperti adanya infeksi, keadaan hipoksia atau iskemia. TGF-β terlibat

    dalam beberapa aktivitas seluler penting berupa regulasi proliferasi, diferensiasi

    dan kematian berbagai jenis sel. Polipeptida multifungsional ini diekspresikan

    oleh beberapa sel seperti trombosit, makrofag, fibroblas, sel endotel dan sel otot

    polos. (Pavletic, 2010). TGF-β terdiri dari tiga isoform yakni TGF-β1, TGF-β2

    dan TGF-β3. TGF- β1 merupakan anggota utama dari kelompok ini dan telah

    banyak diketahui perannya. Ketiga isoform tersebut diekspresikan dalam bentuk

    prekursor laten inaktif sehingga membutuhkan aktivasi terlebih dahulu sebelum

    berikatan dengan reseptor TGF-β. Ketiganya dikodekan oleh gen yang berbeda,

    namun mengalami proses tranduksi sinyal yang sama dan memiliki fungsi

    biologis yang saling tumpang tindih secara in vitro (Penn et al., 2012). Umumnya

    proses tranduksi sinyal dari TGF-β melalui jalur SMAD2/3 dan non-SMAD salah

    satunya jalur Ras/MAPK/ERK (Gilbert et al., 2016).

    Pada proses penyembuhan luka, baik TGF-α maupun TGF-β ikut terlibat

    namun keduanya memiliki fungsi biologis yang berbeda. TGF-α menstimulus

    proliferasi sel epidermal termasuk meregulasi ekspresi EGF. TGF-β didominasi

    oleh peranan TGF-β1 menstimulus terjadinya kemotaksis leukosit pada fase

    inflamasi dan menstimulus pembentukan jaringan granulasi. (Kondo and Ishida,

  • 13

    2010). Dominasi TGF-β1 pada proses penyembuhan luka juga nampak pada

    peranan faktor pertumbuhan tersebut dalam menstimulus proliferasi fibroblas,

    produksi kolagen serta menstimulus diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas

    (Klass et al., 2010), bahkan TGF-β1 juga turut mengatur keseimbangan antara

    sekresi MMP dan TIMP pada fase maturasi (Hosgood, 2009).

    2.4 Fibroblas

    Fibroblas berasal dari jaringan mesenkim. Mesenkim ialah jaringan ikat

    yang berkembang dari jaringan embrional. Fibroblas umumnya tersebar

    disepanjang serat kolagen dan secara mikroskopis nampak berbentuk fusiform.

    Inti fibroblas berbentuk elips dan panjang, memiliki satu atau dua nukleoli serta

    gumpalan kromatin halus berdekatan dengan membran nukleus. Sepasang sentriol

    dan sebuah kompleks golgi terdapat di dekat inti. Fibroblas dapat terlihat dengan

    jelas pada pewarnaan hematoksilin eosin (Kusumawardhani, 2013).

    Fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka menuju kavitas luka

    dan berproliferasi. Fibroblas mampu mensintesis substansi penting seperti kolagen

    yang menambah tegangan serta kekuatan permukaan luka (Febram dkk., 2010).

    Fibroblas juga mampu mensintesis faktor pertumbuhan yang menstimulus

    diferensiasi fibrosit menjadi miofibroblas. Miofibroblas adalah sel khusus yang

    bentuknya menyerupai sel otot polos sehingga banyak mengandung mikrofilamen

    aktin dan miosin. Sel tersebut berperan dalam penutupan luka melalui mekanisme

    kontraksi (Inayah, 2014). Pada fase akhir dari penyembuhan luka, fibroblas juga

  • 14

    bertanggung jawab untuk memproduksi MMP yang berperan dalam rekonstruksi

    ECM (Klass et al., 2010).

    2.5 Teh Hijau (Camellia sinensis)

    Komposisi kimiawi dari teh hijau cukup komplek dan didominasi oleh

    senyawa polifenol, dapat dilihat pada Tabel 2.1 (Chacko et al., 2015). Polifenol

    merupakan komponen teh yang paling relevan secara medis dan salah satu

    turunan dari senyawa ini ialah flavonoid. Flavonoid utama pada teh hijau adalah

    katekin karena dapat mencapai 80–90% dari kandungan flavonoid total (Reygaert,

    2017). Konsentrasi katekin pada teh hijau dapat beragam tergantung oleh umur

    daun, lokasi geografis dan kondisi saat pertumbuhan (iklim, tanah) (Heroniaty,

    2012).

    Tabel 2.1. Komposisi kimiawi teh hijau (Chacko et al., 2015)

    Komponen Teh Hijau

    Protein 15

    Asam Amino 4

    Serat 26

    Karbohidrat 7

    Lipid 7

    Pigemen 2

    Mineral 5

    Komponen fenolik 30

    Keterangan: Data mengacu pada berat kering daun teh.

    Pada kondisi murni, senyawa katekin sangat larut dalam air panas, alkohol

    dan etil asetat. Katekin memiliki ciri fisik diantaranya berbentuk kristal halus,

    tidak berwarna dan memberikan rasa pahit. Katekin juga tergolong asam lemah,

  • 15

    stabil pada kondisi agak asam (pH optimum 4–8) serta sensitif pada oksigen dan

    cahaya (Heroniaty, 2012)

    Katekin mempunyai efek antiinflamasi, antioksidan, antibakteri, antiviral,

    antienzymatic effects dan probiotik pada manusia maupun hewan pada studi in

    vitro. Mekanisme antiinflamasi katekin dicapai melalui hambatan sintesis

    eikosanoid. Penghambatan tersebut akan menyebabkan penurunan kandungan

    asam arakidonat pada jaringan membran fosfolipid sel sehingga pelepasan

    sejumlah mediator inflamasi seperti prostaglandin, leukotrin dan tromboksan turut

    dihambat (Pradita dkk., 2013). Hal tersebut membuat terjadinya pembatasan

    jumlah leukosit yang bermigrasi ke jaringan perlukaan, sehingga reaksi inflamasi

    akan berlangsung lebih singkat dan ekspresi dari TGF-β1 tidak terhambat (Kurnia

    dkk., 2015), bahkan menurut Hajiaghaalipour et al. (2013), katekin yang

    merupakan komponen utama dari teh mampu meningkatkan peranan dan ekspresi

    dari TGF- β1, meskipun mekanisme dari efek biologis tersebut belum dapat

    dijelaskan secara pasti. Mekanisme antiinflamasi lainnya berupa penurunan

    sekresi sitokin seperti IL-1α, IL-1β, IL-6, IL-8 dan TNF-α (Reygaert, 2017).

    Menurut Yu et al. (Naves et al., 2010), katekin dapat menstimulus aktivasi

    jalur MAPK (ERK), dimana aktivasi tersebut bersifat cepat dan sementara.

    MAPK merupakan kelompok dari serin/treonin kinase yang terlibat dalam

    tranduksi sinyal ekstraseluler. ERK merupakan MAPK pertama yang berhasil

    diidentifikasi pada sel mamalia. Aktivasi jalur ini distimulus oleh ikatan antara

    faktor pertumbuhan dan reseptor yang selanjutnya akan memicu Ras berikatan

  • 16

    dengan GTP. Komplek Ras-GTP kemudian berinteraksi dengan Raf, Raf

    terfosforilasi dan mengaktivasi MEK. MEK selanjutnya mengaktivasi ERK,

    aktivasi ERK tersebut akan menstimulus fosforilasi berbagai target termasuk

    faktor transkripsi yang dapat menginduksi terjadinya proliferasi sel (Cooper and

    Hausman, 2004).

    2.6 Tikus (Rattus norvegicus)

    Tikus merupakan salah satu hewan model yang seringkali digunakan pada

    banyak penelitian terutama dalam mengevaluasi aktivitas penyembuhan luka.

    Penggunaan tikus memiliki beberapa keuntungan diantaranya, mudah didapatkan,

    siklus hidup singkat, ukuran kecil sehingga mudah ditangani, perilaku jinak, status

    kesehatan dan genetik terdefinisi serta lebih ekonomis. Strain Wistar merupakan

    strain tikus kedua yang paling populer dipakai dalam penelitian. Strain ini dipilih

    karena karakteristiknya yang jinak dan dianggap ideal untuk berbagai tujuan

    penelitian (Kumar et al., 2013). Penggunaan tikus jantan pada penelitian luka juga

    lebih dominan dibanding tikus betina. Hal tersebut disebabkan karena tikus betina

    lebih peka terhadap rasa sakit, sensitif pada bahan kimiawi, panas dan stimuli

    elektrik (Kandasamya et al., 2016). Beberapa penelitian bahkan menggunakan dua

    jenis kelamin berbeda yakni kombinasi antara tikus jantan dan betina, akan tetapi

    penggunaan satu jenis kelamin lebih direkomendasikan agar mengurangi

    variabilitas dan meminimalisasi jumlah tikus yang dibutuhkan. Beberapa tipe luka

    yang pernah diaplikasikan pada tikus diantaranya, luka eksisi, insisi, luka bakar

    bahkan pembuatan model dead space (Kumar et al., 2013). Sebanyak 80%

  • 17

    peneliti membuat luka eksisi pada bagian dorsal dari regio thorax tikus sebab kulit

    sisi dorsal memiliki kadar air yang tinggi, namun kandungan lipid lebih sedikit

    dibandingkan kulit pada sisi ventral (O'Malley, 2005). Luka eksisi dibuat dengan

    bentuk sirkuler dengan variasi diameter (6 mm, 15 mm, 1,5 cm hingga 2 cm) dan

    kedalaman tertentu misalnya untuk luka tipe full-thickness maka dibuat hingga

    mencapai bagian panniculus carnosus (Kumar et al., 2013).

    2.7 Gel

    Gel dikenal sebagai salah satu obat sediaan topikal. Gel merupakan sediaan

    setengah padat yang terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel organik dan

    anorganik. Gel dikelompokkan kedalam gel fase tunggal dan fase ganda. Gel fase

    tunggal terdiri dari makromolekul organik yang tersebar dalam suatu cairan

    sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan antara molekul besar yang

    terdispersi dan cairan. Gel fase tunggal dapat dibuat dari makromolekul sintetik

    seperti karbomer atau dari gom alam (Yanhendri dan Yenny, 2012).

    Penggunaan sediaan gel memiliki banyak kelebihan diantaranya memiliki

    daya lekat tinggi tanpa menyumbat pori, pelepasan obat dan kemampuan

    penyebarannya baik pada kulit, serta mudah dicuci dengan air (Wardiyah, 2015).

    Gel mampu berpenetrasi lebih jauh dibandingkan krim dan cocok dipakai pada

    lesi di kulit yang berambut (Yanhendri dan Yenny, 2012). Kelebihan lainnya

    yakni gel lebih disukai secara kosmetik karena memiliki kandungan air yang

    bersifat mendinginkan, menyejukkan dan melembabkan (Kusumawati, 2012).

  • 18

    Komposisi sediaan gel umumnya terdiri atas bahan yang dapat

    mengembang dengan adanya air serta beberapa bahan tambahan seperti pengawet,

    humektan dan enhancer. Gelling agent yang seringkali dimanfaatkan dalam

    pembuatan gel ialah karbomer. Karbomer memiliki banyak kelebihan diantaranya

    viskositas tinggi pada konsentrasi rendah sehingga penggunaannya sangat efektif

    dan ekonomis (Wardiyah, 2015), serta membuat tampilan gel menjadi sangat

    jernih dan halus (Yanhendri dan Yenny, 2012). Gel memiliki kandungan air yang

    lebih tinggi dibandingkan salep atau pasta. Hal tersebut menjadikan gel rentan

    terhadap kontaminasi mikroba sehingga perlu ditambahkan bahan pengawet pada

    proses pembuatannya. Pemilihan pengawet harus disesuaikan dengan gelling

    agent yang digunakan, jika gelling agent yang digunakan ialah karbomer maka

    pengawet yang tepat dapat berupa metil paraben atau propil paraben. Metil

    paraben merupakan paraben yang paling aktif dan dapat dimanfaatkan secara

    tunggal atau dikombinasikan dengan zat antimikroba lainnya. Aktivitas metil

    paraben juga dapat ditingkatkan dengan penambahan eksipien lain termasuk

    propilen glikol. Selain sebagai pengawet, propilen glikol juga berperan sebagai

    humektan yang berfungsi menjaga kelembapan kulit karena mampu

    meminimalisasi hilangnya air dan membentuk lapisan film yang tidak berkerak.

    Bahan lain yang juga ditambahkan dalam pembuatan gel ialah air. Air berperan

    sebagai enhancer yang berfungsi untuk meningkatkan daya penetrasi zat aktif

    (Wardiyah, 2015).

  • 19

    BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

    3.1 Kerangka Konseptual

    Keterangan:

    : Pembuatan Luka

    : Variabel Bebas

    : Variabel Tergantung

    : Menstimulus

    : Menghambat

    : Efek Setelah Terapi

    : Aktivasi Tanpa Terapi

    Sumbat trombosit

    Pembentukan fibrin

    Vasokontriksi

    Asam Arakidonat

    Jalur Lipooksigenase Jalur Siklooksigenase

    Prostaglandin Leukotrin

    Tikus Putih (Rattus norvegicus) Luka

    terbuka tipe

    full

    thickness

    skin

    excisional

    Gel Teh Hijau:

    Katekin

    Gambar 3.1. Kerangka Konseptual

    Kerusakan sel

    Ekspresi TGF-β1

    Sel fibroblas Sel endotel

    Ekspresi VEGF

    Migrasi Makrofag

    Migrasi Leukosit Vasodilatasi

    Jaringan granulasi

    Epitelisasi

    Kontraksi

    Sitokin pro

    inflamasi

    IL-1, IL-6, IL-8

    TNf-α

    Ekspresi TGF-β1 Fagositosis

    Aktivasi Jalur MAPK/ERK/SMAD

  • 20

    Luka terbuka tipe eksisi yang dialami oleh tikus akan memicu terjadinya

    kerusakan jaringan perifer yang diawali dengan perdarahan. Tubuh akan

    merespon perdarahan tersebut melalui serangkaian mekanisme hemostasis berupa

    vasokontriksi, pembentukan sumbat trombosit dan pembentukan benang-benang

    fibrin (koagulasi darah). Kerusakan jaringan saat luka terbentuk juga memicu

    aktivasi enzim fosfolipase A2 yang mengubah fosfolipid pada membran sel yang

    mengalami kerusakan menjadi asam arakidonat. Asam arakidonat selanjutnya

    dimetabolisme menjadi dua alur yakni lipooksigenase dan siklooksigenase. Alur

    lipooksigenase menghasilkan leukotrin sementara dari alur siklooksigenase

    dihasilkan beberapa mediator radang salah satunya ialah prostaglandin.

    Kemampuan trombosit dalam mensintesis beberapa faktor pertumbuhan (PDGF

    dan TGF-β1) serta didukung oleh sekresi beberapa mediator radang tersebut akan

    menginisiasi terjadinya fase inflamasi. Inflamasi ditandai dengan terjadinya

    vasodilatasi disekitar jaringan perlukaan dan migrasi leukosit salah satunya

    monosit. Saat bermigrasi menuju kavitas luka, monosit akan bertransformasi

    menjadi makrofag dan melakukan fungsi fagositosis serta melepas beberapa

    sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF-α. Makrofag juga

    mengekspresikan beberapa faktor pertumbuhan (terutama TGF-β1) yang

    menstimulus dan memodulasi fase proliferasi.

    Pada fase proliferasi, sel-sel mesenkim akan terdiferensiasi menjadi

    fibroblas dibawah pengaruh TGF-β1. TGF-β1 juga menstimulus fibroblas

    berproliferasi dan mengekspresikan reseptor integrin α5β3. Reseptor tersebut

    membantu sel-sel fibroblas berikatan dengan ECM temporer dan bermigrasi

  • 21

    menuju kavitas luka. Serangkaian proses yang dialami oleh sel fibroblas tersebut

    kemudian dikenal sebagai fibroplasia. Fibroplasia akan disertai dengan terjadinya

    angiogenesis yakni proliferasi dan migrasi sel endotel menuju kavitas luka melalui

    ikatan dengan ECM temporer. Proses fibroplasia dan angiogenesis yang

    distimulus dan dimodulasi oleh TGF-β1 dan faktor pertumbuhan lainnya akan

    menjadi dasar pembentukan jaringan granulasi, jika jaringan granulasi yang

    terbentuk telah memadai maka proses berlanjut pada epitelisasi dan kontraksi

    permukaan luka.

    Efek antiinflamasi dari katekin memiliki kemampuan dalam menghambat

    sintesis eikosanoid yang kemudian diikuti dengan penurunan produksi asam

    arakidonat. Hal tersebut akan membatasi pelepasan mediator radang seperti

    prostaglandin dan leukotrin sehingga vasodilatasi dihambat serta migrasi berbagai

    sel leukosit termasuk makrofag dapat diminimalisasi jumlahnya. Migrasi

    makrofag dalam jumlah terbatas akan diikuti dengan penurunan sekresi sitokin

    proinflamasi dan penurunan aktivitas fagositosis, namun sebaliknya kemampuan

    makrofag dalam mengekspresikan TGF-β1 tidak terhambat. Katekin juga

    diketahui dapat meningkatkan proses tranduksi sinyal dari TGF-β1 melalui

    aktivasi jalur SMAD maupun non SMAD (terutama jalur MAPK/ERK).

    Peningkatan aktivasi tersebut akan meningkatkan efek proliferatif beberapa sel

    target termasuk sel fibroblas. TGF-β1 tidak hanya diekspresikan oleh makrofag

    tetapi juga oleh sel fibroblas, dengan demikian saat terjadi peningkatan jumlah sel

    fibroblas maka ekspresi TGF-β1 juga turut meningkat. Peningkatan TGF-β1 turut

    mempercepat terjadinya pembentukan jaringan granulasi, epitelisasi serta

  • 22

    kontraksi permukaan luka. Pemberian gel ekstrak teh hijau yang mengandung

    katekin diharapkan dapat membuat fase inflamasi berlangsung lebih singkat dan

    fase proliferasi lebih optimal sehingga mempercepat penyembuhan luka.

    3.2 Hipotesis Penelitian

    Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat, maka hipotesis yang

    dapat diajukan adalah sebagai berikut:

    1. Pemberian gel ekstrak teh hijau dapat meningkatkan ekspresi TGF-β1 pada

    tikus model luka terbuka,

    2. Pemberian gel ekstrak teh hijau dapat meningkatkan jumlah sel fibroblas pada

    tikus model luka terbuka.

  • 23

    BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

    4.1 Waktu dan Tempat Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yang dimulai dari April

    hingga Mei 2017. Penelitian dilakukan dibeberapa tempat diantaranya

    Laboratorium Materia Medika Batu, Laboratorium Farmasi Klinis Fakultas

    Kedokteran Universitas Brawijaya, Laboratorium Biosains Universitas Brawijaya,

    Laboratorium Patologi Anatomi Kessima Medika Malang, Laboratorium

    Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya dan Laboratorium Patologi

    Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

    4.2 Alat dan Bahan

    Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain; kandang tikus,

    toples, timbangan analitik (Ohaus), botol, waterbath, rotary evaporator (Buchi),

    shaker (WiseShake), cawan petri, corong gelas, gelas baker, gelas ukur, gelas

    arloji, mikropipet (Socorex), blue tip, pipet, mortar alu, spatula, pengaduk, sudip,

    pot salep, pH meter , cotton bud, spuit, seperangkat alat bedah, papan bedah, pot

    organ, kaset, wadah cetakan, formika, lempeng besi, mikrotom, waterbath, gelas

    obyek, hot plate, gelas cover, lemari pendingin (LG), oven (Memmert) dan

    mikroskop (BX51).

    Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain; tikus putih (Rattus

    norvegicus), pakan dan minum tikus, under pad, teh hijau, etanol, normal saline,

    aquades, karbomer, metil parabean, propilen glikol, ketamin, xylazin, aqua pro

    injection, alkohol, kasa steril, perban (Hansaplast), formalin 10%, aceton, xilol,

    paraffin cair, pewarna HE, gelatin, alkohol asam 1%, amonia air, PBS, peroxide

  • 24

    block (UltraTek ACA008), protein block (Novocastra), antibodi primer TGF- 1

    poliklonal Rabbit anti-Rat (Sigma SAB4502954), antibodi sekunder anti-

    polyvalent (UltraTek ABN008), SA-HRP (UltraTek ABL008), DAB, counter

    stain mayer hematoxylen dan entellan.

    4.3. Sampel Penelitian

    Sampel penelitian ini menggunakan hewan coba berupa tikus putih (Rattus

    norvegicus) Strain Wistar, berjenis kelamin jantan, berat badan 150–200 gram dan

    berusia 8–12 minggu. Tikus tersebut diperoleh dari Laboratorium Biosains

    Universitas Brawijaya Malang. Estimasi besar sampel dihitung berdasarkan rumus

    berikut (Kusriningrum, 2008):

    t (n-1) ≥ 15

    5 (n-1) ≥ 15

    5n-5 ≥ 15

    5n ≥ 20

    n ≥ 20/5

    n ≥ 4

    Berdasarkan perhitungan diatas maka diperlukan minimal empat kali ulangan

    disetiap kelompok perlakuan sehingga total tikus yang dibutuhkan dalam

    penelitian ini ialah 20 ekor.

    4.4 Rancangan Penelitian

    Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik yang menggunakan

    Rancangan Acak Lengkap (RAL). Tikus dibagi menjadi lima kelompok secara

    acak. Kelompok kontrol negatif terdiri atas tikus yang tidak dilukai, sedangkan

    Keterangan :

    t = jumlah kelompok perlakuan

    n = jumlah ulangan yang diperlukan

  • 25

    kelompok kontrol positif ialah kelompok tikus yang dilukai dan diterapi dengan

    normal saline. Kelompok perlakuan satu, dua dan tiga masing-masing terdiri atas

    tikus yang dilukai dan diterapi dengan gel ekstrak teh hijau konsentrasi 0,6%

    (Asadi et al., 2013), 1,2% dan 1,8%.

    Tabel 4.1. Rancangan penelitian

    Kelompok Keterangan

    K- Tanpa perlakuan

    K+ Luka terbuka tipe eksisi + Normal saline

    P1

    Luka terbuka tipe eksisi + diterapi gel ekstrak teh hijau 0,6%

    P2

    Luka terbuka tipe eksisi + diterapi gel ekstrak teh hijau 1,2%

    P3

    Luka terbuka tipe eksisi + diterapi gel ekstrak teh hijau 1,8%

    4.5 Variabel Penelitian

    Adapun variabel yang diamati dalam penelitian ini ialah:

    Variabel bebas : Konsentrasi gel ekstrak teh hijau.

    Variabel tergantung : Ekspresi TGF-β1 dan jumlah sel fibroblas.

    Variabel kontrol : Tikus putih (Rattus norvegicus), jenis

    kelamin, berat badan, umur, pakan, lingkungan, dan

    luka terbuka.

    4.6 Tahapan Penelitian

    Tahapan penelitian yang dilakukan antara lain:

    1. Persiapan hewan coba

    2. Pembuatan ekstrak teh hijau

  • 26

    3. Pembuatan gel ekstrak teh hijau

    4. Pembuatan luka terbuka pada hewan coba dan terapi

    5. Euthanasi dan isolasi kulit

    6. Pengukuran jumlah fibroblas

    7. Ekspresi TGF-β1 dengan metode IHK

    8. Analisis data

    4.7 Prosedur Kerja

    4.7.1 Persiapan Hewan Coba

    Hewan coba yakni tikus diadaptasi selama tujuh hari dan diberi pakan

    pellet. Kandang yang digunakan berukuran 17,5 x 23,75 x 17,5 cm serta

    terbuat dari plastik. Kandang tersebut dibagi menjadi dua bagian dan setiap

    bagian diisi oleh satu ekor tikus. Kandang dilengkapi dengan fasilitas botol

    air minum, under pad dan kawat penutup.

    4.7.2 Pembuatan Ekstrak Teh Hijau

    Daun teh kering ditimbang sebanyak 750 gram, selanjutnya dilakukan

    pembasahan dengan etanol 70% sebanyak 750 ml. Daun yang telah dibasahi

    tersebut dimasukkan kedalam toples, diratakan dan ditambahkan pelarut

    etanol hingga volume total 7 L (pelarut yang digunakan minimal dua kali

    berat atau lebih). Ditutup toples dengan rapat selama 24 jam dan diaduk

    dengan shaker digital kecepatan 50 rpm. Disaring ekstrak dan ditampung

    pada erlenmeyer untuk diuapkan menggunakan rotary evaporator selama 2

    jam 30 menit. Ekstrak tersebut selanjutnya kembali diuapkan menggunakan

    waterbath selama 2 jam.

  • 27

    4.7.3 Pembuatan Gel Ekstrak Teh Hijau

    Komposisi formulasi gel disusun berdasarkan metode trial-error dan

    persentase setiap bahan penyusun mengacu pada Rowe et al. (2009).

    Karbomer dilarutkan dalam 2 mL aquades 70OC dan didiamkan selama 15

    menit agar mengembang, selanjutnya diaduk hingga homogen dan mengental.

    Metil parabean dicampurkan kedalam propilen glikol lalu diaduk hingga

    homogen. Campuran kedua bahan tersebut kemudian dimasukkan kedalam

    karbomer secara perlahan. Ditambahkan pula ekstrak teh hijau serta sisa

    aquades kedalam campuran karbomer tersebut. Seluruh bahan yang telah

    dicampur diaduk hingga homogen dan didapat konsistensi yang diinginkan.

    Gel yang terbentuk selanjutnya disimpan dalam wadah yang bersih dan tidak

    tembus cahaya (Kuncari, 2014).

    4.7.4 Pembuatan Luka Terbuka pada Hewan Coba dan Terapi

    Setiap hewan coba yakni tikus diberi tanda pada bagian ekornya

    menggunakan spidol tahan air sesuai dengan kelompok masing-masing.

    Tikus terlebih dahulu dianastesi menggunakan kombinasi ketamin (dosis

    30mg/kgBB, konsentrasi 100 mg/mL) dan xylazin (dosis 3mg/kgBB,

    konsentrasi 20 mg/mL) secara intramuskular (Hajiaghaalipour et al., 2013).

    Rambut pada area perlukaan yakni dibagian dorsal dicukur hingga bersih

    kemudian diberi antiseptik alkohol 70%. Pembuatan luka menggunakan tipe

    full thickness skin excisional berdiameter 1,5 cm menggunakan gunting

    tajam-tajam steril.

  • 28

    Tikus P1, P2 dan P3 yang telah dilukai lalu diterapi menggunakan gel

    ekstrak teh hijau sebanyak satu kali sehari selama 10 hari. Gel diambil

    menggunakan cotton bud lalu dioleskan pada permukaan luka, selanjutnya

    ditutup menggunakan kasa steril dan perban. Kontrol negatif tidak mendapat

    perlakuan apapun, sedangkan kontrol positif setelah mendapat perlukaan

    maka diberi perawatan dengan normal saline dan pergantian kasa steril dan

    perban satu kali sehari.

    4.7.5 Euthanasi dan Isolasi Kulit

    Eutanasia dilakukan pada hari ke-18 setelah semua perlakuan selesai

    dengan metode dislokasi cervicalis, sebelumnya tikus diberi ketamin (dosis

    30mg/kgBB, konsentrasi 100 mg/mL, IM). Daerah dorsal yang akan diambil

    kulitnya dibersihkan dari rambut yang mulai tumbuh kembali dan dilakukan

    pengangkatan jaringan pada bagian yang diberi perlukaan sepanjang ± 2 cm.

    Jaringan kulit yang telah diangkat dibilas dengan normal saline dan

    selanjutnya difiksasi dengan formalin l0% untuk selanjutnya dibuat preparat

    histopatologi.

    4.7.6 Perhitungan Jumlah Fibroblas

    4.7.6.1 Pembuatan Preparat Histologi dan Pewarnaan HE

    Pembuatan preparat histologi menurut Banks (1993) terdiri atas

    beberapa tahapan yakni fixation, dehydration, clearing, embedding,

    sectioning, staining dan mounting Fiksasi bertujuan untuk mencegah

    terjadinya proses autolisis postmortem, mengeraskan jaringan

    sehingga mudah dipotong, serta menjaga jaringan agar tetap pada

  • 29

    kondisi aseptis. Formalin 10% merupakan agen fiksasi yang umum

    digunakan. Jaringan kulit yang telah difiksasi selanjutnya didehidrasi

    menggunakan aceton. Dehidrasi bertujuan untuk menghilangkan

    kandungan air yang terdapat pada jaringan tersebut sebelum diinfiltrasi

    dengan paraffin, agar aceton dan paraffin tidak tercampur maka proses

    dehidrasi jaringan diikuti dengan clearing menggunakan xilol. Proses

    selanjutnya ialah embedding yakni jaringan dicelupkan pada paraffin

    cair yang telah dituang kedalam cetakan, setelah parafin memadat

    maka dapat dilakukan proses sectioning. Jaringan yang telah diiris

    dengan ketebalan tertentu selanjutnya dapat diwarnai dengan pewarna

    HE.

    Zat warna hematoksilin berfungsi untuk memberi warna biru

    pada inti sel, sedangkan eosin akan memberi warna merah muda pada

    sitoplasma sel. Proses pewarnaan diawali dengan proses deparafinasi,

    rehidrasi dan clearing. Tahap akhir setelah pewarnaan selesai maka

    dilanjutkan dengan proses mounting menggunakan entellan dan

    kemudian ditutup menggunakan gelas cover (Balqis dkk, 2014).

    4.7.6.2 Tahap Perhitungan Jumlah Fibroblas

    Fibroblas diamati pada lapisan dermis menggunakan mikroskop

    BX51 perbesaran 400x, sel tersebut berbentuk elips dan berinti ungu.

    Jumlah fibroblas dihitung pada lima lapang pandang berbeda dari

    masing-masing preparat dengan bantuan software Imageraster dan

    selanjutnya diambil nilai rata-rata. (Imaniyah dkk., 2013).

  • 30

    4.7.7 Prosedur IHK dan Perhitungan Ekspresi TGF-β1

    Imunohistokimia merupakan suatu teknik yang digunakan untuk

    menentukan keberadaan protein target dalam jaringan atau sel dengan

    memanfaatkan prinsip ikatan antara protein target (antigen) dan antibodi.

    Teknik ini diawali dengan pembuatan preparat histologi (histoteknik) agar

    dapat diamati dibawah mikroskop. Prosedur histoteknik umumnya

    menggunakan fiksatif formalin. Preparat jaringan yang didapat selanjutnya

    memasuki prosedur IHK. Prosedur IHK menggunakan antibodi yang dilabeli

    enzim sehingga ikatan protein dan antibodi dapat divisualisasikan. Enzim

    selanjutnya direaksikan dengan substrat kromogen yang dapat diamati dengan

    mikroskop cahaya (Fatchiyah dkk., 2009).

    Ekspresi TGF-β1 diamati pada bagian sitoplasma sel fibroblas pada

    lapisan dermis yang berwarna kecoklatan menggunakan mikroskop BX51

    perbesaran 400x. Diamati lima bidang pandang berbeda dari masing-masing

    preparat. Hasil pengamatan kemudian difoto dan diproses menggunakan

    software imunoratio.

    4.7.8 Analisis Data

    Parameter yang digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah

    fibroblas dan ekspresi TGF-β1 yang dianalisis secara kuantitatif

    menggunakan Microsoft Excel dan SPSS for windows dengan analisis

    statistik ragam One Way ANOVA untuk mengetahui ada atau tidaknya

    perbedaan antar kelompok penelitian. Jika terdapat perbedaan maka

    dilakukan uji lanjutan yakni Uji Tukey α= 0,05. Uji Tuckey digunakan untuk

  • 31

    mengetahui suatu kelompok dengan kelompok lainnya memiliki pengaruh

    yang sama atau berbeda (Firdaus dkk.,2013).

  • 32

    BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

    5.1 Efek Pemberian Gel Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis) pada Tikus

    (Rattus norvegicus) Model Luka Terbuka terhadap Ekspresi TGF-β1

    Pemberian gel ekstrak teh hijau diketahui memberikan pengaruh signifikan

    terhadap ekspresi TGF-β1 pada tikus model luka terbuka (p

  • 33

    Ekspresi TGF-β1 pada masing-masing kelompok penelitian ditandai dengan

    terbentuknya warna kecoklatan pada sitoplasma sel fibroblas dari lapisan dermis

    kulit (Gambar 5.1). Warna kecoklatan tersebut menggambarkan adanya ikatan

    antigen pada jaringan dengan antibodi TGF-β1 yang digunakan dalam penelitian

    ini.

    Berdasarkan Tabel 5.1, diketahui bahwa rata-rata ekspresi TGF-β1 pada

    tikus kontrol negatif ialah 11.00%. Hal tersebut membuktikan bahwa faktor

    pertumbuhan ini diekspresikan dalam kondisi kulit normal. Menurut Guanqun et

    al. (2005), TGF-β1 berperan penting dalam menjaga homeostasis jaringan dengan

    meregulasi pertumbuhan dan diferensiasi sel serta deposisi ECM. Pada kondisi

    fisiologis terjadi apoptosis atau kematian sel yang terprogram, dengan demikian

    diperlukan peranan faktor pertumbuhan guna meregenerasi sel-sel yang telah mati

    tersebut.

    Tabel 5.1. Data ekspresi TGF-β1 hari ke-10

    Kelompok Rata-rata Ekspresi TGF-β1 (%)

    K- (Kontrol Negatif) 11.00±1.41b

    K+ (Kontrol Positif) 6.00±0.82a

    P1 (Terapi Gel Ekstrak Teh Hijau 0,6%) 14.75±1.71c

    P2 (Terapi Gel Ekstrak Teh Hijau 1,2%) 20.75±1.71d

    P3 (Terapi Gel Ekstrak Teh Hijau 1,8%) 18.25±2.22cd

    Keterangan : Notasi a, b dan c menunjukkan adanya perbedaan antar kelompok

    Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa terjadi penurunan rata-rata

    ekspresi TGF-β1 pada kelompok kontrol positif (6.00%) bila dibandingkan

    dengan kontrol negatif (11.00%). Penurunan tersebut dapat disebabkan karena

    luka masih berada pada fase inflamasi. Menurut Khahesh et al. (2011) adanya

  • 34

    inflamasi atau peradangan menyebabkan peningkatan sekresi sitokin proinflamasi

    seperti IL-6 yang selanjutnya dapat menekan ekspresi dari TGF-β1 bahkan

    reseptor dari faktor pertumbuhan tersebut (TGF receptor 1 dan TGF receptor 2).

    Berdasarkan Tabel 5.1, diketahui bahwa rata-rata ekspresi TGF-β1 dari

    ketiga kelompok perlakuan baik P1 (14,75%), P2 (20,75%) maupun P3 (18,25%)

    mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan kelompok kontrol positif

    (6.00%). Peningkatan persentase tersebut membuktikan bahwa pemberian gel

    ekstrak teh hijau dinilai efektif dalam meningkatkan ekspresi TGF-β1 sehingga

    dapat mengoptimalkan fase proliferasi dan dapat mempercepat penyembuhan

    luka. Menurut Kurnia dkk. (2015), teh hijau mengandung berbagai macam

    komponen kimia salah satunya polifenol. Derivat polifenol adalah flavonoid dan

    flavonoid utama dalam teh hijau ialah katekin. Efek antiinflamasi dari katekin

    membuat terjadinya pembatasan jumlah sel radang yang bermigrasi ke jaringan

    perlukaan sehingga reaksi inflamasi berlangsung lebih singkat namun tidak

    menghambat ekspresi TGF-β1, bahkan menurut Hajiaghaalipour et al. (2013)

    katekin mampu meningkatkan ekspresi dan peranan TGF-β1. Hal tersebut

    didukung dengan pendapat Naves et al. (2010) yang menyatakan bahwa katekin

    dapat menstimulus aktivasi jalur MAPK/ERK sehingga meningkatkan proses

    tranduksi sinyal dari TGF- β1.

    Pada pengamatan hari ke-10, kelompok P1 (14.75%) yang diterapi dengan

    gel ekstrak teh hijau konsentrasi 0,6% diketahui memiliki nilai rata-rata ekspresi

    TGF-β1 yang lebih rendah dibandingkan kelompok P2 (20.75%). Hal tersebut

    berkaitan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Asadi et al. (2013),

  • 35

    dimana salah satu parameter yang diukur ialah ketebalan jaringan granulasi. Hasil

    analisa statistik dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa ketebalan jaringan

    granulasi pada kelompok yang diterapi dengan ekstrak teh hijau konsentrasi 0,6%

    mengalami peningkatan yang signifikan pada pengamatan hari ke-21. Ekspresi

    TGF-β1 sangat berkaitan erat dengan jaringan granulasi, dimana menurut Kondo

    and Ishida (2010) TGF-β1 berperan dalam menstimulus pembentukan jaringan

    granulasi tersebut. Hal ini membuktikan bahwa pemberian gel ekstrak teh hijau

    konsentrasi 0,6% dapat meningkatkan ekspresi TGF-β1 namun diperlukan durasi

    yang lebih lama untuk mendapat hasil optimal.

    Kelompok P2 (20.75%) yang diterapi dengan gel ekstrak teh hijau

    konsentrasi 1,2% diketahui memiliki nilai rata-rata ekspresi TGF-β1 yang lebih

    tinggi dibandingkan kelompok P1 (14.75%) maupun P3 (18.25%). Hal tersebut

    dapat disebabkan karena konsentrasi 1,2% merupakan konsentrasi optimal yang

    paling efektif mengaktivasi jalur SMAD maupun non SMAD (terutama jalur

    MAPK/ERK). Pada hari ke-10 luka telah memasuki fase proliferasi, dimana pada

    fase tersebut TGF-β1 berperan penting dalam menstimulus pembentukan jaringan

    baru melalui proliferasi fibroblas dan pembentukan kolagen, serta menstimulus

    diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas yang bertanggung jawab dalam

    kontraksi luka (Klass et al., 2010). Peningkatan signifikan dari ekspresi TGF-β1

    yang dialami kelompok P2 pada hari ke-10 terbukti berpengaruh positif terhadap

    kondisi luka dan dapat mempercepat penyembuhan luka tersebut. Hal ini

    didukung dengan pengamatan secara makroskopis yang menunjukkan bahwa

  • 36

    diameter luka terbuka pada kelompok P2 lebih kecil bila dibandingkan dengan

    kelompok P1 maupun P3 (Lampiran 12.).

    Kelompok P3 (18.25%) yang diterapi dengan gel ekstrak teh hijau

    konsentrasi 1,8% diketahui memiliki nilai rata-rata ekspresi TGF-β1 yang lebih

    rendah dibandingkan kelompok P2 (20.75%). Hal tersebut berkaitan dengan

    pendapat Rahayu (2016) yang menyatakan bahwa konsentrasi katekin yang terlalu

    pekat/tinggi akan berpengaruh pada distribusi dan absorbsi zat aktif tersebut.

    Konsentrasi yang tinggi pada awalnya dapat mempercepat pengeringan luka,

    namun pengeringan tersebut memicu pembentukan keropeng. Keropeng

    merupakan jaringan mati yang keras dan tebal serta menempel erat pada

    permukaan kulit. Jaringan mati ini kemudian dapat menghambat distribusi dan

    absorbsi zat aktif sehingga efek zat aktif tersebut menjadi tidak optimal.

    Pembentukan keropeng yang dialami oleh kelompok P3 dapat dilihat pada data

    pengamatan luka terbuka secara makroskopis hari ke-10 (Lampiran 12.).

  • 37

    5.2 Efek Pemberian Gel Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis) pada Tikus

    (Rattus norvegicus) Model Luka Terbuka terhadap Jumlah Sel Fibroblas

    Fibroblas merupakan sel yang memiliki inti berbentuk elips dan bewarna

    ungu seperti ditunjukkan oleh panah hijau pada Gambar 5.2.

    Gambar 5.2. Histologi sel fibroblas hari ke-10 (HE, 400x)

    Keterangan : A Tikus kontrol negatif; B tikus kontrol positif; C tikus P1 diterapi

    gel ekstrak teh hijau 0,6%; D tikus P2 diterapi gel ekstrak teh hijau

    1,2%; E tikus P3 diterapi gel ekstrak teh hijau 1,8%; sel fibroblas

    memiliki inti berbentuk elips dan berwarna ungu (sel fibroblas

    ditunjukkan dengan panah hijau)

  • 38

    Berrdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa rata-rata jumlah sel fibroblas pada

    kelompok kontrol negatif (13.75) lebih rendah dibandingkan kontrol positif

    (22.00). Pada hari yang sama yakni pengamatan hari ke-10, rata-rata jumlah sel

    fibroblas pada kelompok kontrol positif lebih rendah bila dibandingkan kelompok

    perlakuan. Rata-rata jumlah sel fibroblas pada masing-masing kelompok

    perlakuan berurutan dari P1, P2, P3 ialah 27.50, 33.25 dan 28.00, dimana P2

    memiliki jumlah terbanyak (Tabel 5.2).

    Tabel 5.2. Data jumlah sel fibroblas hari ke-10

    Kelompok Rata-rata Jumlah Sel Fibroblas

    K- (Kontrol Negatif) 13.75±1.71a

    K+ (Kontrol Positif) 22.00±0.82b

    P1 (Terapi Gel Ekstrak Teh Hijau 0,6%) 27.50±2.08c

    P2 (Terapi Gel Ekstrak Teh Hijau 1,2%) 33.25±3.30d

    P3 (Terapi Gel Ekstrak Teh Hijau 1,8%) 28.00±1.63c

    Keterangan : Notasi a, b, c dan d menunjukkan adanya perbedaan antar kelompok

    Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa rata-rata jumlah sel fibroblas pada

    tikus kontrol negatif ialah 13.75. Menurut Mescher (2010), sel fibroblas pada kulit

    normal berfungsi untuk mensintesis sebagian besar substansi dasar ECM termasuk

    kolagen dan elastin. ECM merupakan jairngan ikat yang berfungsi

    mempertahankan bentuk berbagi organ tubuh termasuk kulit, serta memfasilitasi

    pertukaran nutrisi dan sisa metabolisme antara sel dan pembuluh darah.

    Tabel 5.2 menunjukkan bahwa terdapat peningkatan rata-rata jumlah sel

    fibroblas pada kelompok kontrol positif (22.00) bila dibandingkan kontrol negatif

    (13.75). Peningkatan rata-rata jumlah sel fibroblas tersebut dipicu akibat luka

    terbuka tipe full thickness skin excisional yang dialami oleh tikus kontrol positif

    sebaliknya tikus kontrol negatif tidak dilukai atau dalam keadaan sehat.

    Terbentuknya luka tersebut akan memicu terjadinya kerusakan jaringan perifer

  • 39

    sehingga tubuh tikus akan merespon kerusakan tersebut melalui serangkaian

    proses perbaikan agar kontinuitas jaringan kembali normal. Serangkaian proses

    perbaikan pada kulit meliputi fase hemostasis, inflamasi, proliferasi dan maturasi.

    Menurut Tanggo (2013), pada fase proliferasi terbentuk jaringan granulasi yang

    disusun oleh kumpulan berbagai sel terutama sel fibroblas. Kurnia dkk. (2015)

    menyatakan bahwa sel fibroblas mulai berproliferasi sejak 24 jam setelah luka

    terbentuk dan jumlahnya mulai meningkat pada hari ke-3 yang merupakan akhir

    dari fase inflamasi menuju tahap awal fase proliferasi. Pada masa transisi tersebut,

    makrofag aktif menghasilkan beberapa faktor pertumbuhan termasuk TGF-β1

    yang turut mendukung terjadinya proliferasi fibroblas. Peningkatan fibroblas terus

    terjadi hingga pada puncak fase proliferasi yakni hari ke-7 hingga hari ke-10.

    Pengamatan pada hari ke-10 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah sel

    fibroblas pada kelompok perlakuan baik P1, P2 maupun P3 yang diterapi dengan

    gel ekstrak teh hijau mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan kontrol

    positif (Tabel 5.2). Peningkatan tersebut membuktikan bahwa pemberian gel

    ekstrak teh hijau dinilai efektif dalam meningkatkan jumlah sel fibroblas sehingga

    dapat mengoptimalkan fase proliferasi dan berpotensi untuk menyembuhkan luka.

    Efektifitas gel ekstrak teh hijau disebabkan karena adanya dominasi kandungan

    katekin sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Kombinasi efek katekin

    berupa antiinflamasi (Kurnia dkk., 2015) dan aktivasi jalur MAPK/ERK (Naves et

    al., 2010), membuat fase inflamasi berlangsung lebih singkat dan fase proliferasi

    dapat berlangsung optimal. Efek antiinflamasi dari katekin menyebabkan migrasi

    sel-sel radang diminimalisasi jumlahnya, penurunan aktivitas fagositosis

  • 40

    (proteolitik), penurunan sekresi sitokin proinflamasi, namun tidak menghambat

    ekspresi TGF-β1. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Hajiaghaalipour et al.

    (2013) yang menyatakan bahwa katekin dapat meningkatkan peranan dan ekspresi

    TGF-β1. Peningkatan ekspresi TGF-β1 yang diikuti dengan peningkatan proses

    tranduksi sinyal faktor pertumbuhan tersebut melalui aktivasi jalur MAPK/ERK

    menyebabkan efek TGF-β1 pada beberapa sel target dapat dioptimasi, termasuk

    efek proliferasi terhadap sel fibroblas.

    Pengamatan pada hari ke-10 menunjukkan bahwa kelompok P1 (27.50)

    yang diterapi dengan konsentrasi 0,6% diketahui memiliki nilai rata-rata jumlah

    sel fibroblas yang lebih rendah dibandingkan kelompok P2 (33.25). Hal tersebut

    berkaitan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Asadi et al. (2013), dimana

    salah satu parameter yang diukur ialah ketebalan jaringan granulasi. Hasil dari

    penelitian sebelumnya tersebut menunjukkan bahwa ketebalan jaringan granulasi

    pada kelompok yang diterapi dengan ekstrak teh hijau konsentrasi 0,6%

    mengalami peningkatan yang signifikan pada pengamatan hari ke-21. Jaringan

    granulasi disusun atas kumpulan berbagai sel, termasuk sel fibroblas (Tanggo,

    2013). Hal tersebut membuktikan bahwa pemberian gel ekstrak teh hijau

    konsentrasi 0,6% dapat meningkatkan jumlah sel fibroblas namun diperlukan

    durasi yang lebih lama untuk mendapat hasil optimal.

    Kelompok P2 (33.25) yang diterapi dengan gel ekstrak teh hijau

    konsentrasi 1,2% diketahui memiliki nilai rata-rata jumlah sel fibroblas yang lebih

    tinggi dibandingkan kelompok P1 (27.50) maupun P3 (28.00). Hal tersebut

    membuktikan bahwa konsentrasi 1,2% merupakan konsentrasi optimal yang

  • 41

    paling efektif meningkatkan tranduksi sinyal TGF-β1 baik melalui aktivasi jalur

    umum yakni jalur SMAD maupun non SMAD. Aktivasi jalur tersebut pada

    akhirnya membuat efek TGF-β1 pada beberapa sel dapat dioptimasi, termasuk

    efek proliferatif sel fibroblas. Hari ke-10 menunjukkan bahwa luka memasuki fase

    proliferasi, pada fase ini sel fibroblas aktif memproduksi kolagen. Kolagen

    merupakan substansi protein yang terlibat dalam rekonstruksi jaringan kulit dan

    berperan dalam menambah tegangan dan kekuatan permukaan luka sehingga kecil

    kemungkinan luka kembali terbuka (Febram dkk.,2010). Peningkatan signifikan

    jumlah sel fibroblas yang dialami kelompok P2 pada hari ke-10 memiliki dampak

    positif terhadap kondisi luka sehingga mempercepat kesembuhan luka tersebut.

    Kelompok P3 (28.00) yang diterapi dengan konsentrasi 1,8% diketahui

    memiliki nilai rata-rata jumlah sel fibroblas yang lebih rendah dibandingkan

    kelompok P2 (33.25). Hal tersebut berkaitan dengan pendapat Rahayu (2016)

    seperti yang telah dikemukakan sebelumnya yakni konsentrasi katekin yang

    terlalu pekat/tinggi dapat memicu pembentukan keropeng. Karakteristik keropeng

    yang keras, tebal serta menempel erat pada permukaan kulit dapat dapat

    menghambat distribusi dan absorbsi zat aktif sehingga efek zat aktif tersebut

    menjadi tidak optimal.

  • 42

    BAB 6 PENUTUP

    6.1 Kesimpulan

    Berdasarkan data hasil penelitian maka didapat kesimpulan bahwa:

    1. Gel ekstrak teh hijau dengan konsenrasi 1,2% merupakan konsentrasi paling

    optimal yang mampu meningkatkan ekspresi TGF-β1 sehingga dapat

    mempercepat penyembuhan luka.

    2. Gel ekstrak teh hijau dengan konsenrasi 1,2% merupakan konsentrasi paling

    optimal yang mampu meningkatkan jumlah sel fibroblas sehingga dapat

    mempercepat penyembuhan luka.

    6.2 Saran

    Diharapkan penelitian selanjutnya dapat menjelaskan gambaran histopatologi

    kulit pada setiap fase penyembuhan luka.

  • 43

    DAFTAR PUSTAKA

    Asadi, S.Y, Ms. Karimi, P. Parsaei, S. Ezzati, R.K. Boroujeni, A. Zamiri, and

    M.R. Kopaei. 2013. Effects of Camellia sinensis Ethanolic Extract on

    Histometric and Histopathological Healing Process of Burn Wound in Rat.

    Middle-East. Journal of Scientific Research. 13 (1): 14-19.

    Balqis,U., Rasmaidar, dan Marwiyah. 2014. Gambaran Histopatologi

    Penyembuhan Luka Bakar Menggunakan Daun Kedondong (Spondias dulcis

    F.) dan Minyak Kelapa pada Tikus Putih (Rattus norvegicus). Jurnal Medika

    Veterinaria. 8(1): 31-36.

    Banks, W.J. 1993. Applied Veterinary Histology Third Edition. Mosby Inc. USA.

    5-6.

    Boateng, J.S, H.M. Kerr, N.E.S. Howard, and M.E. Gillian. 2007.Wound Healing

    Dressing and Drug Delivery System: A Review. Journal of Pharmaceutical

    Sciences. 97: 2892-2923.

    Chacko, S.M, P.T. Thambil, R. Kuttan, and I. Nishigaki. 2015. Beneficial effects

    of green tea: A literature review. Chinese Medicine Journal. 5(13): 1-3.

    Cooper, G.M. and R.E. Hausman. The Cell: A Molecular Approach Third Edition.

    ASM Press. Washington, D.C. 565-567

    Doyle, R. 2012. Wound Management and Closure in Dogs and Cats. Hills

    Publisher. UK.

    Fatchiyah, E.L. Arumingtyas, S. Widyarti, dan S. Rahayu. 2009. Dasar-dasar

    Analisis Biologi Molekuler. LSIH Press. Malang. 186-188.

    Fauzia, F.F. dan Djajadisastra, J., 2014. Uji Aktivitas dan Kestabilan Fisik

    Sediaan Krim Ekstrak Daun Teh Hijau dan Krim Ekstrak Daun Teh Putih

    (Camellia sinensis L) [Skripsi]. Fakultas Farmasi. Universitas Indonesia.

    Febram, B., I. Wientarsih, dan B. Pontjo. 2010. Aktivitas Sediaan Salep Ekstrak

    Batang Pohon Pisang Ambon (Musa paradisiaca var sapientum) dalam

    Proses Persembuhan Luka pada Mencit (Mus musculus albinus). Majalah

    Obat Tradisional 15(3): 121 – 137.

    Firdaus, M.F.P, S.P. Madyawati, N.S. Widjaja, M. Lamid, K. Rachmawati, dan

    S.H. Warsito. 2013. Efektivitas Penambahan Kombinasi Tujuh Enzim

    terhadap Estimasi Pertambahan Berat Badan Sapi Potong Peranakan

    Simental. Jurnal Agroveteriner. 2(1): 3.

  • 44

    Gilbert, R.W.D, M.K. Vickaryous, and A.M. Viloria-Petit. 2016. Signalling by

    Transforming Growth Factor Beta Isoform in Wound Healing and Tissue

    Regeneration. 2016. Journal of Developmental Biology. 4(21): 1-3.

    Guanqun, A., S.Lu, G.Han, M.Kulesz-Martin, and X.J.Wang. 2005. Current View

    of the Role of Transforming Growth Factor β1 in Skin Carcinogenesis. J.

    Investig Dermatol Symp Proc. 10 (2): 110.

    Hajiaghaalipour, F., M.S. Kanthimathi, M.A. Abdulla, and J. Sanusi. 2013. The

    Effect of Camellia sinensis on Wound Healing Potential in an Animal Model.

    Research Article Hindawi Publishing Corporation. UK.

    Heroniaty. 2012. Sintesis Senyawa Dimer Katekin dari Ekstrak Teh Hijau dengan

    Menggunakan Katalis Enzim Peroksidase dari Kulit Bwang Bombay (Allium

    cepa L.) [Tesis]. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

    Universitas Indonesia.

    Hidayat, T.S.N. 2013. Peran Topikal Ekstrak Gel Aloe Vera pada Penyembuhan

    Luka Bakar Derajat Dalam pada Tikus [Skripsi]. Fakultas Kedokteran.

    Universitas Airlangga.

    Hosgood, G. 2009. BSAVA Manual of Canine and Feline Wound Management

    and Reconstruction 2nd Edition. Publisher BSAVA. California. 1-21.

    Imaniyah, F., B. Yuwono, dan D.M.C. Robin. 2013. Efek Pemberian Kurkumin

    terhadap Jumlah Sel Fibroblas pada Soket Gigi Tikus Pasca Pencabutan.

    Fakultas Kedokteran Gigi. Universitas Jember.

    Inayah, R. 2014. Kemampuan Ekstrak Etanol Daun Cincau Hijau (Cyclea

    barbata) teerhadap Peningkatan Ekspresi Fibroblast Growth Factor-2

    (FGF-2) pada Jaringan Luka Bakar Derajat IIB Tikus Putih [Skripsi].

    Program Studi Ilmu Keperawatan. Fakultas Kedokteran. Universitas

    Brawijaya.

    Ismail, D.D.S.L, D. Irawaty, dan T.S. Haryati. 2009. Penggunaan Balutan Modern

    Memperbaiki Proses Penyembuhan Luka Diabetik. Jurnal Kedokteran

    Brawijaya. 25(1): 34.

    Kandasamya, R., J.J. Calsbeekb, and M.M. Morgana. 2016. Home Cage Wheel Running is an Objective and Clinically Relevant Method to Assess

    Inflammatory Pain In Male And Female Rats. Journal of Neuroscience

    Methods. 263: 115–116.

    Kartika, R.W. 2015. Perawatan Luka Kronis dengan Modern Dressing. CDK.

    42(7): 546.

  • 45

    Khaheshi, I., S. Keshavarz1, A.A.I. Fooladi, M. Ebrahimi, S.Yazdani, Y. Panahi,

    M. Shohrati, and M.R. N. 2011. Loss of Expression of TGF-Bs and Their

    Receptors in Chronic Skin Lesions Induced by Sulfur Mustard as Compared

    with Chronic Contact Dermatitis Patients. BMC Dermatology. 11(2):8.

    Klass, B.R, O.A. Brandford, A.O. Grobbelaar, and K.J. Rolfe. 2010. The Effect of

    Epigallocatechin-2-gallate, a Constituent of Green Tea, on Transforming

    Growth Factor-β1-stimulated Wound Contraction. Wound Rep Reg. 18:80.

    Kristianto, H. 2010. Perbandingan Perawatan Luka Teknik Modern dan

    Konvesional terhadap Transforming Groth Factor Beta 1 (TGF-β1) dan

    Respon Nyeri pada Luka Diabeter Melitus [Tesis]. Fakultas Ilmu

    Keperawatan. Universitas Indonesia.

    Kondo, T. and Ishida, Y. 2010. Molecular pathology of wound healing. Elsevier

    Publishing. Ireland.

    Kumar, V., A.A. Khan, and K. Nagarajan. 2013. Animal Models for The

    Evaluation of Wound Healing Activity. International Bulletin of Drug

    Research. 3(5): 93-101.

    Kuncari, E.S, Iskandarsyah, dan Praptiwi. 2014. Evaluasi, Uji Stabilitas Fisik dan

    Sineresis Sediaan Gel yang Mengandung Minoksidil, Apigenin dan Perasan

    Herba Seledri (Apium Graveolens L.). Buletin Peneliti Kesehatan. 42 (4):

    213-222.

    Kurnia, P.A, H.B. Ardhiyanto, dan Suhartini. 2015. Potensi Ekstrak Teh Hijau

    (Camellia sinensis) Terhadap Peningkatan Jumlah Sel Fibroblas Soket Pasca

    Pencabutan Gigi pada Tikus Wistar. e-Jurnal Pustaka Kesehatan. 3(1): 122-

    126.

    Kusriningrum. 2008. Dasar Perancangan Percobaan dan Rancangan Acak

    Lengkap. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya.

    Kusumawardhani, A.D. 2013. Pengaruh Sediaan Salep Ekstrak Daun Sirih (Piper

    betle Linn.) terhadap Jumlah Fibroblas Luka Bakar Derajat IIA pada Tikus

    Putih (Rattus norvegicus) Galur Wistar [Skripsi]. Program Studi Ilmu

    Keperawatan. Fakultas Kedokteran. Universitas Brawijaya.

    Kusumawati, G.D. 2012. Formulasi Sediaan Gel Ekstrak Etanol Daun Lidah

    Buaya (Aloe vera (l.) Webb) dengan Gelling Agent Hydroxyprophyl

    Methylcellulose (HPMC) 4000 SM dan Aktivitas Antibakterinya terhadap

    Staphylococcus epidermidis [Skripsi]. Fakultas Farmasi. Universitas

    Muhammadiyah Surakarta.

  • 46

    Mescher. A.L. 20