EFEK PEMBERIAN GEL EKSTRAK TEH HIJAU (Camellia ...repository.ub.ac.id/3913/1/LOUISE EMY...
Transcript of EFEK PEMBERIAN GEL EKSTRAK TEH HIJAU (Camellia ...repository.ub.ac.id/3913/1/LOUISE EMY...
-
EFEK PEMBERIAN GEL EKSTRAK TEH HIJAU (Camellia
sinensis) PADA TIKUS (Rattus norvegicus) MODEL LUKA
TERBUKA DITINJAU DARI EKSPRESI TGF-β1
(TRANSFORMING GROWTH FACTOR-BETA
SATU) DAN JUMLAH SEL FIBROBLAS
SKRIPSI
Oleh :
LOUISE EMY VIOLETTA
135130100111014
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
-
i
EFEK PEMBERIAN GEL EKSTRAK TEH HIJAU (Camellia
sinensis) PADA TIKUS (Rattus norvegicus) MODEL LUKA
TERBUKA DITINJAU DARI EKSPRESI TGF-β1
(TRANSFORMING GROWTH FACTOR-BETA
SATU) DAN JUMLAH SEL FIBROBLAS
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
Oleh :
LOUISE EMY VIOLETTA
135130100111014
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
-
ii
-
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Louise Emy Violetta
NIM : 135130100111014
Program Studi : Pendidikan Dokter Hewan
Penulis Skripsi berjudul:
Efek Pemberian Gel Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis) pada
Tikus (Rattus norvegicus) Model Luka Terbuka Ditinjau dari Ekspresi
TGF-β1 (Transforming Growth Factor-Beta Satu) dan Jumlah Sel
Fibroblas
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Isi dari skripsi yang saya buat adalah benar-benar karya saya sendiri dan tidak
menjiplak karya orang lain, selain nama-nama yang termakub di isi dan tertulis
di daftar pustaka dalam skripsi ini.
2. Apabila dikemudian hari ternyata skripsi yang saya tulis terbukti hasil jiplakan,
maka saya akan bersedia menanggung segala resiko yang akan saya terima.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala kesadaran.
Malang, Agustus 2017
Yang menyatakan,
(Louise Emy Violetta)
NIM. 135130100111014
-
iv
Efek Pemberian Gel Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis) pada Tikus
(Rattus norvegicus) Model Luka Terbuka Ditinjau dari Ekspresi
TGF-β1 (Transforming Growth Factor-Beta Satu)
dan Jumlah Sel Fibroblas
ABSTRAK
Luka adalah terputusnya kontinuitas jaringan karena cedera yang disengaja
maupun tidak disengaja. Dalam dunia kedokteran hewan, luka merupakan salah
satu kasus yang banyak ditemukan di lapangan. Saat luka terbentuk maka
beberapa efek akan muncul seperti perdarahan, kontaminasi bakteri hingga
kematian sel, oleh sebab itu dibutuhkan penanganan sesegera mungkin dan suatu
manajemen perawatan luka yang tepat. Teh hijau yang didominasi oleh katekin
memliki berbagai efek diantaranya efek antiinflamasi dan mampu menstimulus
aktivasi jalur MAPK/ERK. Kedua efek tersebut membuat fase inflamasi
berlangsung lebih singkat dan fase proliferasi menjadi lebih optimal. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian gel ekstrak teh hijau terhadap
peningkatan ekspresi TGF-β1 dan jumlah fibroblas, dimana keduanya memiliki
peranan dominan dalam fase proliferasi. Hewan coba yang digunakan adalah tikus
putih (Rattus norvegicus) Strain Wistar jantan berumur 8–12 minggu dan berat
badan 150–200 gram yang dibagi menjadi lima kelompok yaitu kelompok kontrol
negatif, kelompok kontrol positif dan tiga kelompok perlakuan. Kelompok
perlakuan (P1, P2 dan P3) dilukai dengan luka terbuka tipe full thickness skin
excisional, kemudian diterapi menggunakan gel ekstrak teh hijau dengan
konsentrasi masing-masing perlakuan yakni 0,6%, 1,2% dan 1,8%. Ekspresi TGF-
β1 dan jumlah fibroblas diukur secara kuantitatif dan dianalisis dengan One Way
ANOVA dan uji lanjutan berupa Uji Tuckey (α=0,05). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa gel ekstrak teh hijau konsentrasi 1,2% merupakan
konsentrasi yang paling optimal dalam meningkatkan ekspresi TGF-β1 dan
jumlah fibroblas.
Kata Kunci : Teh hijau, Luka terbuka, Ekspresi TGF-β1 dan Jumlah fibroblas
-
v
Administration Effect of Green Tea Extract in Gel (Camellia sinensis) on
Open Wound Rat Model (Rattus norvegicus) Reviewed from TGF-β1
Expression (Transforming Growth Factor-Beta One) and Number of
Fibroblast Cells
ABSTRACT
Wound is a break or loss of tissue caused by injury. Wound is one of cases
that founded so much in veterinary medicine working field. The effects which
appeared when the wound forms are bleeding, bacterial contamination and cell
necrosis, therefore wound needs to handling as soon as possible and treated
appropriately. The green tea dominated by catechin which has many effects
includes anti-inflammatory effect and potentiality to activate MAPK/ERK
pathway. Both effects made the inflammatory phase occur more shorter and the
proliferation phase occur more optimal. The purpose of this study to knew about
administration effect of green tea extract in gel on increased TGF-β1 expression
and the number of fibroblast cell which have main role in proliferation phase.
Animal model that used in this study was white rat (Rattus norvegicus) with
wistar strain, male, in the age 8-12 weeks and it weighs about 150-200 gram. Rats
were divided in five groups that are negative control group, positive control group
and three treatment groups. Treatment group (P1, P2, P3) injured by open wound
(full thickness skin excisional) then treated with green tea extract in gel each
concentration are 0,6%, 1,2%, 1,8%. Expression of TGF-β1 and the number of
fibroblasts measured quantitatively and analyzed using One Way ANOVA and
followed by Tukey test (α = 0.05). The results of this study showed that green tea
extract in gel concentration 1,2% was the most optimal concentration to increase
TGF-β1 expression and the number of fibroblast cell
Key words : Green tea, Open wound, TGF-β1 expression and The number of
fibroblast
-
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan penyertaan-Nya
penulis dapat menyelesaikan Skripsi berjudul “Efek Pemberian Gel Ekstrak
Teh Hijau (Camellia sinensis) pada Tikus (Rattus norvegicus) Model Luka
Terbuka Ditinjau dari Ekspresi TGF-β1 (Transforming Growth Factor-Beta
Satu) dan Jumlah Sel Fibroblas”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Program Studi
Pendidikan Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya.
Dengan penuh rasa hormat dan ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih
kepada seluruh pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, secara khusus
kepada:
1. Dr. Masdiana Chendrakasih Padaga, drh., M.App.Sc selaku dosen
pembimbing I atas segala bimbingan, kesabaran, motivasi dan waktu yang
diberikan kepada penulis.
2. Wibi Riawan, S.Si., M.Sc selaku dosen pembimbing II atas segala
bimbingan, kesabaran, motivasi dan waktu yang diberikan kepada penulis.
3. drh. Ahmad Fauzi, M.Sc dan drh. Desi Wulansari, M.Vet sebagai dosen
penguji yang telah meluangkan waktu serta berkenan memberikan
tanggapan, kritik dan saran untuk penyempurnaan penulisan skripsi ini.
4. Prof. Dr. Aulanni’am, drh., DES selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Brawijaya atas motivasi yang diberikan kepada
penulis dan usaha yang tiada henti untuk kemajuan FKH UB.
5. Papa Hendrie Gerson, Mama Rusmaida, Kakak Lucia Emy Octavia, serta
Tante Paulini Wilson atas doa, motivasi, bantuan dan kasih sayang yang
tiada henti diberikan kepada penulis.
6. Pihak YBO PGI atas segala dukungan moril maupun materiil yang
diberikan kepada penulis.
7. Kelompok penelitian skripsi (Dinda Adinda, Dicky Yoga Prasetia dan
Rizka Utami Putri) untuk kerjasama, doa, motivasi dan bantuan yang
diberikan kepada penulis.
-
vii
8. Sahabat Chocolate (Aghnia, Andrea, Hanny, Joe dan Regi) dan teman-
teman Kolega FKH UB angkatan 2013 atas segala doa, motivasi dan
bantuan yang diberikan kepada penulis.
9. Keluarga PMK Veteriner dan Keluarga GKI Bromo Bajem Dinoyo atas
doa, motivasi dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis.
Akhir kata penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa membalas semua
kebaikan yang telah diberikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum
sempurna sehingga penulis tetap membuka diri untuk semua kritik dan saran guna
penulisan yang lebih baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Malang, Agustus 2017
Penulis
-
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... iii
ABSTRAK .................................................................................................... iv
ABSTRACT .................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xii
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG .............................................. xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 3
1.3 Batasan Masalah........................................................................... 3
1.4 Tujuan Penelitian ......................................................................... 4
1.5 Manfaat Penelitian ...................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 5 2.1 Luka ............................................................................................. 5
2.2 Fase Penyembuhan Luka ............................................................. 6
2.2.1 Fase Hemostasis ................................................................. 6
2.2.2 Fase Inflamasi .................................................................... 8
2.2.3 Fase Proliferasi ................................................................... 9
2.2.4 Fase Maturasi ..................................................................... 10
2.3 Transforming Growth Factor-Beta (TGF-β1) ............................ 12
2.4 Fibroblas ...................................................................................... 13
2.5 Teh Hijau (Camellia sinensis) ..................................................... 14
2.6 Tikus (Rattus norvegicus) ........................................................... 16
2.7 Gel ................................................................................................ 17
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESA PENELITIAN ......... 19
3.1 Kerangka Konsep ........................................................................ 19
3.2 Hipotesis Penelitian ..................................................................... 22
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN .................................................... 23
4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................... 23
4.2 Alat dan Bahan ............................................................................ 23
4.3 Sampel Penelitian ......................................................................... 24
4.4 Rancangan Penelitian .................................................................. 24
4.5 Variabel Penelitian ...................................................................... 25
4.6 Tahapan Penelitian ....................................................................... 25
4.7 Prosedur Kerja ............................................................................. 26
4.7.1 Persiapan Hewan Coba ...................................................... 26
4.7.2 Pembuatan Ekstrak Teh Hijau ............................................ 26
-
ix
4.7.3 Pembuatan Gel Ekstrak Teh Hijau ..................................... 27
4.7.4 Pembuatan Luka Terbuka pada Hewan Coba dan Terapi .. 27
4.7.5 Euthanasi dan Isolasi Kulit ................................................. 28
4.7.6 Perhitungan Jumlah Fibroblas ............................................ 28
4.7.6.1 Pembuatan Preparat Histologi dan Pewarnaan HE . 28
4.7.6.2 Tahap Perhitungan Jumlah Fibroblas ..................... 29
4.7.7 Prosedur IHK dan Perhitungan Ekspresi TGF-β1 ............. 30
4.7.8 Analisis Data ...................................................................... 30
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 32
5.1 Efek Pemberian Gel Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis)
pada Tikus (Rattus norvegicus) Model Luka Terbuka terhadap
Ekspresi TGF-β1 ......................................................................... 32
5.2 Efek Pemberian Gel Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis)
pada Tikus (Rattus norvegicus) Model Luka Terbuka terhadap
Jumlah Sel Fibroblas .................................................................... 37
BAB 6 PENUTUP ......................................................................................... 42
6.1 Kesimpulan ................................................................................. 42
6.2 Saran ............................................................................................ 42
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 43
LAMPIRAN .................................................................................................. 48
-
x
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1 Komposisi kimiawi teh hijau ................................................................... 14
4.1 Rancangan penelitian ............................................................................... 25
5.1 Data ekspresi TGF-β1 hari ke-10 ............................................................ 33
5.2 Data jumlah sel fibroblas hari ke-10 ....................................................... 38
-
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Fase proliferasi yang ditandai dengan terbentuknya jaringan granulasi
dan epitelisasi ....................................................................................... 10
3.1 Kerangka konseptual ............................................................................ 19
5.1 Immunohistokimia ekspresi TGF-β1 hari ke-10 (400x) ...................... 32
5.2 Histologi sel fibroblas hari ke-10 (HE, 400x) ...................................... 37
-
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Sertifikat laik etik ...................................................................................... 48
2. Determinasi tanaman teh ........................................................................... 49
3. Surat keterangan proses ekstraksi teh hijau .............................................. 50
4. Surat keterangan skrinning fitokimia ekstrak teh hijau ............................. 51
5. Kerangka operasional penelitian ............................................................... 52
6. Prosedur pembuatan ekstrak teh hijau ...................................................... 53
7. Prosedur pembuatan gel ekstrak teh hijau ................................................. 54
8. Formulasi gel teh hijau .............................................................................. 55
9. Prosedur pembuatan luka tebuka .............................................................. 56
10. Pengenceran dan perhitungan volume obat anastesi ............................... 57
11. Prosedur terapi gel ekstrak teh hijau dan normal saline .......................... 58
12. Data pengamatan luka terbuka secara makroskopis hari ke-10 .............. 59
13. Prosedur euthanasi dan isolasi kulit ......................................................... 60
14. Pembuatan preparat histologi dan pewarnaan HE ................................... 61
15. Prosedur IHK .......................................................................................... 62
16. Hasil uji statistik ...................................................................................... 63
-
xiii
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
Singkatan/Lambang Keterangan
ο derajat
% persen
Ρ massa jenis ADP adenosin difosfat
ANOVA analysis of variance
C celcius
cm sentimeter
DAB diaminobenzidine
ECM extracellular matrix
EGF epidermal growth factor
ERK extracellular signal-regulated kinase
FGF fibroblast growth factor
GTP guanosin trifosfat
H2O2 hidrogen peroksida
HE hematoksilin eosin
IGF insulin growth factor
IHK imunohistokimia
IL interleukin
K- kontrol negatif
K+ kontrol positif
KGF keratinocyte growth factor
MAPK mitogen-activated protein kinase
MEK MAP/ERK kinase
mg/kgBB miligram per kilogram berat badan
m massa
mL mililiter
mm milimeter
MMP matrix metalloproteinase
NaOH natrium hidroksida
P1 perlakuan satu
P2 perlakuan dua
P3 perlakuan tiga
PBS phosfat buffer saline
PDGF platelet-derived growth factor
pH power of hydrogen
rpm rotation per minutes
SA-HRP strepavidin horseradish peroxidase
TGF-α transforming growth factor alpha
TGF-β transforming growth factor-beta
TNF-α tumor necrosis factor alpha
VEGF vascular endothelial growth factor
-
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Luka ialah terputusnya kontinuitas jaringan karena cedera yang disengaja
ataupun tidak disengaja (accidental) (Zulfa dkk., 2008). Dalam dunia kedokteran
hewan, luka merupakan salah satu kasus yang banyak ditemukan di lapangan
(Doyle, 2012). Saat luka terbentuk maka beberapa efek akan muncul seperti
hilangnya sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, perdarahan dan
pembekuan darah, kontaminasi bakteri hingga kematian sel (Pongsipulung dkk.,
2012). Apapun jenis luka yang terbentuk maka dibutuhkan penanganan sesegera
mungkin dan diikuti dengan suatu manajemen perawatan yang tepat guna
meminimalisasi berbagai efek yang tidak dinginkan tersebut. Perawatan luka juga
bertujuan untuk mempercepat penyembuhan, mencegah kerusakan kulit lebih
lanjut dan meningkatkan kenyamanan pasien (Zulfa dkk., 2008).
Prinsip perawatan luka menurut Doyle (2012) ialah meminimalisasi fase
inflamasi dan merangsang serta memodulasi terjadinya fase proliferasi sehingga
mempercepat epitelisasi dan kontraksi luka. Pada umumnya perawatan terhadap
luka berupa irigasi, debridemen, dan pemberian antibiotik atau antiseptik (Sabirin
dkk., 2013). Irigasi atau mencuci luka bertujuan untuk menurunkan jumlah bakteri
dan membersihkan sisa balutan lama, sedangkan debridemen bertujuan untuk
membuang jaringan atau sel nekrotik dari permukaan luka (Kartika, 2015).
Penelitian lebih lanjut mengemukakan bahwa penggunaan antiseptik dalam
perawatan luka memiliki beberapa kelemahan bahkan beresiko memperburuk
kondisi luka. Antiseptik seperti hydrogen peroxide, povidone iodine, acetic acid
-
2
dan chlorohexadine tidak hanya membunuh mikroorganisme, tetapi juga dapat
mematikan leukosit yang berperan membunuh bakteri patogen serta dapat
mematikan sel-sel fibroblas yang berperan dalam membentuk jaringan baru
(Rohmayanti dan Kamal, 2015).
Teh merupakan salah satu tanaman yang dipercaya memiliki khasiat bagi
kesehatan. Terdapat berbagai jenis teh diantaranya teh putih, teh hijau, oolong dan
teh hitam. Teh hijau dan teh putih merupakan dua jenis teh yang tidak mengalami
oksidasi enzimatis sehingga kandungan polifenol keduanya lebih tinggi dibanding
teh lainnya (Fauzia dan Djajadisastra, 2014). Polifenol dominan yang terkandung
dalam teh hijau ialah katekin. katekin memiliki berbagai efek seperti
antiinflamasi, antioksidan, antibakteri, antiviral, antienzymatic effects, dan
probiotik pada manusia dan hewan maupun studi in vitro (Pradita dkk., 2013).
Efek antiinflamasi dari katekin membuat migrasi leukosit ke jaringan
perlukaan dibatasi jumlahnya dan ekspresi dari TGF-β1 tidak terhambat (Kurnia
dkk., 2015). Katekin juga mampu mengaktivasi jalur MAPK yang terlibat dalam
proses signaling faktor pertumbuhan tersebut (Neves et al., 2010). Peran TGF-β1
dalam proses penyembuhan luka mampu menginduksi proliferasi fibroblas,
dimana fibroblas bertanggung jawab dalam mensintesis kolagen (Klass et al.,
2010). Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin mengkaji secara lebih mendalam
tentang efek pemberian teh hijau pada kejadian luka terbuka yang ditinjau dari
ekspresi TGF-β1 dan jumlah sel fibroblas.
-
3
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Apakah gel ekstrak teh hijau (Camellia sinensis) dapat meningkatkan
ekspresi TGF-β1 pada kulit tikus model luka terbuka?
2. Apakah gel ekstrak teh hijau (Camellia sinensis) dapat meningkatkan
jumlah sel fibroblas pada kulit tikus model luka terbuka?
1.3 Batasan Masalah
Batasan masalah dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Hewan coba yang digunakan ialah tikus putih (Rattus norvegicus) Strain
Wistar, berjenis kelamin jantan dengan berat badan 150–200 gram serta
berumur 8–12 minggu. Penggunaan hewan coba dalam penelitian ini telah
mendapat sertifikat laik etik No: 739-KEP-UB dari Komisi Etik Penelitian
Universitas Brawijaya.
2. Teh hijau diperoleh dari Perkebunan Teh Wonosari, Lawang, Jawa Timur.
Teh hijau tersebut selanjutnya diekstraksi dengan metode maserasi dan
dibuat dalam sediaan gel.
3. Pembuatan luka terbuka tipe full thickness skin excisional dilakukan pada
dorsal dengan diameter 1,5 cm menggunakan gunting tajam-tajam steril.
4. Gel ekstrak teh hijau diberikan dengan konsentrasi 0,6%, 1,2% dan 1,8%
satu kali sehari selama 10 hari pada semua kelompok perlakuan.
5. Parameter dalam penelitian ini ialah ekspresi TGF-β1 yang diukur melalui
metode IHK dan jumlah sel fibroblas dengan pembuatan preparat
histopatologi serta pewarnaan HE.
-
4
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan yang dicapai dari penelitian skripsi ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh gel ekstrak teh hijau (Camellia sinensis) terhadap
peningkatan ekspresi TGF-β1 pada kulit tikus model luka terbuka.
2. Mengetahui peranan gel ekstrak teh hijau (Camellia sinensis) terhadap
peningkatan jumlah sel fibroblas pada kulit tikus model luka terbuka.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian skripsi ini adalah:
1. Penelitian ini dapat digunakan sebagai kajian ilmiah pemanfaatan gel
ekstrak teh hijau (Camellia sinensis) dalam meningkatkan ekspresi TGF-β1.
2. Penelitian ini dapat digunakan sebagai kajian ilmiah pemanfaatan gel
ekstrak teh hijau (Camellia sinensis) dalam meningkatkan jumlah sel
fibroblas.
-
5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Luka
Luka merupakan kerusakan anatomi kulit yang disebabkan karena trauma
atau cedera fisik dan diikuti dengan hilangnya fungsi jaringan tersebut (Pavletic,
2010). Menurut Hosgood (2009), luka dapat diklasifikasikan menjadi bermacam-
macam jenis diantaranya, luka terbuka dan tertutup, serta ada pula yang
membedakan luka berdasarkan jumlah lapisan kulit yang terlibat. Beberapa jenis
luka terbuka ialah luka insisi (luka dengan kedalaman tertentu yang terbentuk
akibat sayatan instrumen bedah), luka laserasi (luka tidak disengaja yang
terbentuk akibat kulit bergesekkan dengan benda tajam seperti pisau, pecahan
kaca, atau benda tajam lainnya sehingga terbentuk pola acak atau tidak beraturan),
avulsion (robeknya kulit sehingga potongan kulit tersebut menggantung atau
terlepas sempurna dari perlekatannya), luka tusukan (luka yang disebabkan karena
benda tajam yang menusuk kulit sehingga terbentuk lubang), dan luka bakar (luka
yang disebabkan karena suhu ekstrim, kontak dengan zat kimia, listrik atau
radiasi). Berbeda dengan luka terbuka, luka tertutup adalah luka yang terbentuk
tanpa disertai kerusakan kulit terluar misalnya kontusio, hematoma, dan higroma.
Luka tetutup umumnya disebabkan karena adanya benturan atau pukulan benda
keras dan tumpul. Kulit tidak mengalami kerusakan namun menimbulkan
pembengkakan, rasa nyeri serta perubahan warna akibat pecahnya pembuluh
darah (Pavletic, 2010).
Klasifikasi luka berdasarkan jumlah lapisan yang terlibat meliputi luka
superficial, partial thickness dan full thickness. Luka superficial merupakan
-
6
kerusakan jaringan dangkal sebatas lapisan epidermis. Luka yang melibatkan
epidermis dan sebagian dermis maka disebut sebagai luka partial thickness,
sedangkan jika kerusakan jaringan telah mencapai lemak subkutan atau bahkan
lebih dalam maka disebut sebagai luka full thickness (Boateng et al., 2007).
2.2 Fase Penyembuhan Luka
Serangkaian proses penyembuhan luka sangat kompleks dan saling
tumpang tindih. Seiring dengan perkembangan teknologi molekuler maka proses
tersebut dapat dibedakan secara biologis kedalam beberapa fase yakni fase
hemostasis, inflamasi, proliferasi dan maturasi (Hosgood, 2009).
2.2.1 Fase Hemostasis
Pada fase hemostasis terjadi tiga hal penting yakni vasokontriksi,
pembentukan sumbat trombosit dan koagulasi darah. Vasokontriksi terjadi selama
5–10 menit, diperkirakan mekanisme tersebut dipicu oleh adanya zat parakrin
yang dilepaskan secara lokal oleh endotel yang rusak. Vasokontriksi akan
memperlambat aliran darah dan meminimalisasi hilangnya darah, namun tindakan
fisik tersebut tidak cukup untuk mencegah secara sempurna perdarahan yang
terjadi sehingga dibutuhkan tindakan hemostatik lainnya (Sherwood, 2013).
Trombosit dalam keadaan normal tidak melekat pada permukaan endotel
yang licin, tetapi saat terjadi kerusakan pembuluh darah maka trombosit menjadi
aktif oleh kolagen terpajan. Trombosit yang teraktivasi akan segera melekat pada
kolagen dan membentuk sumbat trombosit. Trombosit-trombosit tersebut akan
mengeluarkan bahan kimia penting seperti ADP untuk memperbanyak jumlah
-
7
trombosit di tempat defek, namun disaat bersamaan sekresi ADP juga memicu
endotel normal melepaskan protasiklin dan nitrat oksida. Kedua bahan kimia
tersebut menyebabkan agregasi trombosit terbatas hanya pada defek dan tidak
menyebar ke jaringan vaskular normal. Sumbat trombosit juga berperan dalam
beberapa fungsi penting seperti kontraksi kompleks aktin-miosin sehingga sumbat
yang awalnya longgar dapat dipadatkan, produksi beberapa vasokontriktor
(serotonin, epinefrin dan tromboksan A2) yang memperkuat vasokontriksi awal
dan membebaskan bahan lain yang meningkatkan koagulasi darah (Sherwood,
2013).
Koagulasi darah adalah mekanisme hemostatik yang paling kuat.
Koagulasi darah merupakan proses transformasi darah dari cairan menjadi gel
padat. Langkah terakhir dari koagulasi darah ialah perubahan fibrinogen (protein
plasma yang dapat larut dan berukuran besar dan dihasilkan oleh hati) menjadi
fibrin (molekul tak larut berbentuk benang), adapun perubahan tersebut dikatalisis
oleh enzim trombin. Molekul-molekul fibrin melekat ke permukaan pembuluh
darah yang rusak, membentuk jala longgar dan menjerat berbagai sel darah
termasuk agregat trombosit dan eritrosit (Sherwood, 2013). Masa yang terbentuk
akibat kombinasi dari trombosit, eritrosit, cairan, serta benang-benang fibrin
tersebut akan membentuk fibrin plug (Hosgood, 2009).
Pada mulanya untai-untaian fibrin saling menjalin longgar, selanjutnya
terbentuk ikatan kimia antar untaian fibrin untuk memperkuat dan menstabilkan
jala bekuan ini. Proses pembentukan ikatan tersebut dikatalisis oleh faktor XIII
-
8
(Sherwood, 2013). Faktor XIII juga memicu fibrin berikatan secara kovalen
dengan trombosit melalui reseptor integrin α11bβ3 sehingga membentuk ECM
temporer. ECM temporer akan memfasilitasi masuknya sel-sel penting menuju
kavitas luka melalui molekul adhesi (integrin, selectin) yang diekspresikan
dipermukaan sel-sel tersebut, selain itu ECM juga berperan sebagai reservoir
faktor pertumbuhan dan sitokin. (Hosgood, 2009).
2.2.2 Fase Inflamasi
Tujuan utama terjadinya fase inflamasi ialah untuk menghilangkan
jaringan yang mati, mencegah kolonisasi dan infeksi mirobial patogen (Tanggo,
2013). Trombosit tidak hanya berfungsi membentuk bekuan darah tetapi juga
mengekspresikan beberapa faktor pertumbuhan seperti PDGF dan TGF-β. Faktor
pertumbuhan tersebut akan menarik leukosit sehingga menginfiltrasi ECM
temporer atau matriks fibrin dan mengisi kavitas luka. Migrasi leukosit juga
didukung dengan adanya mediator inflamasi seperti prostaglandin dan leukotrien.
Neutrofil merupakan leukosit pertama yang bermigrasi pada luka dan umumnya
ditemukan pada hari ke-1 hingga hari ke-3 setelah luka tersebut terbentuk.
Neutrofil berperan dalam fagositosis bakteri, eliminasi debris ekstraseluler, serta
pelepasan Nitrit Oxide (NO) yang memediasi terjadinya vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas vaskular pada fase inflamasi. Neutrofil juga merupakan
sumber sitokin proinflamsi seperti IL-1α, IL-1β, IL-6, IL-8 dan TNF-α (Hosgood,
2009).
-
9
Migrasi neutrofil diikuti dengan migrasi makrofag pada hari ke-2 hingga
hari ke-3 setelah luka terbentuk dan makrofag akan menjadi sel predominan
setelah hari ketiga. Makrofag kemudian menjalankan fungsi fagositosis sel debris
dan bakteri serta melepas beberapa sitokin proinflamasi seperti IL-1α, IL-1β, IL-
6, IL-8 dan TNF-α. Makrofag juga memiliki peranan penting dalam menstimulasi
dan memodulasi fase proliferasi melalui ekspresi berbagai faktor pertumbuhan
seperti TGF-α, TGF-β, FGF,EGF, IGF, PDGF, VEGF dan MMP (Hosgood,
2009).
2.2.3 Fase Proliferasi
Fase proliferasi berlangsung mulai hari ke-4 hingga hari ke-21 setelah luka
terbentuk. Makrofag akan mengekspresikan beberapa faktor pertumbuhan salah
satunya ialah TGF-β. TGF-β terlibat dalam beberapa fase penyembuhan luka
termasuk fase inflamasi dan proliferasi. TGF-β bersama faktor pertumbuhan
lainnya (FGF, PDGF) akan menginduksi fibroblas untuk berproliferasi,
mengekspresikan reseptor integrin pada permukaan selnya bermigrasi menuju
kavitas luka (Hosgood, 2009). Fibroblas berasal dari sel mesenkim yang belum
terdiferensiasi, menghasilkan bahan dasar serat kolagen (mukopolisakarida, asam
amino glisin dan prolin) yang berperan untuk mempertautkan tepi luka (Tanggo,
2013).
Endotel juga akan bermigrasi menuju kavitas luka melalui ECM temporer,
adapun migrasi endotel tersebut distimulus oleh aktivasi TGF-β dan beberapa
faktor pertumbuhan lain seperti VEGF, FGF, serta angiopoietin. Proses
-
10
neovaskularisasi yang terjadi bersamaan dengan pergerakan fibroblas bertujuan
untuk mensuplai kebutuhan metabolisme. Pada fase ini ECM temporer yang
didominasi oleh trombosit dan makrofag secara gradual digantikan oleh jaringan
granulasi yang tersusun dari kumpulan fibroblas, makrofag dan sel endotel.
Jaringan granulasi secara makroskopis terlihat berwarna kemerahan dengan
permukaan berbenjol halus (Tanggo, 2013).
Epitel tepi luka yang terdiri atas sel basal terlepas dari dasarnya dan
berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang
terbentuk dari proses mitosis. Migrasi dan proliferasi sel epidermal tersebut
distimulus oleh aktivasi beberapa faktor pertumbuhan seperti EGF, TGF-α dan
KGF. Proses ini akan berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup
permukaan luka (Tanggo, 2013).
Gambar 2.1. Fase Proliferasi yang ditandai dengan terbentuknya jaringan
granulasi dan epitelisasi (Hosgood, 2009)
2.2.4 Fase Maturasi
Fase akhir dari penyembuhan luka ialah fase maturasi. Pada fase ini
jaringan baru yang terbentuk akan disusun sedemikian rupa menyerupai jaringan
asal. Fase maturasi berlangsung mulai hari ke-21 hingga sekitar dua tahun. Fase
-
11
maturasi dimulai segera setelah kavitas luka terisi oleh jaringan granulasi dan
proses reepitelialisasi usai (Hidayat, 2013). Aktivitas penting yang terjadi selama
fase ini berlangsung yakni adanya penurunan jumlah sel-sel penyusun jaringan
granulasi (terjadi apoptosis fibroblas dan sel endotel), rekonstruksi kolagen
menjadi lebih tebal dan kolagen saling berikatan silang, serta degradasi kolagen
yang berlebihan (Hosgood, 2009).
Pada fase maturasi luka mengalami kontraksi akibat aktivitas miofibroblas.
Miofibroblas merupakan fibroblas yang mengandung komponen mikrofilamen
aktin intraselular. Kolagen tipe III kemudian digantikan oleh kolagen tipe I
sehingga memungkinkan terjadinya tensile strength (Hidayat, 2013). Kolagen
nonfungsional akan didegradasi oleh enzim protease dengan bantuan MMP yang
disekresikan oleh makrofag, fibroblas, sel endotel dan sel epidermal. Pada fase ini
TIMP juga disekresikan untuk menghambat aktivitas MMP, dengan demikian
proses sintesis dan degradasi kolagen dapat berjalan seimbang (Pavletic, 2010).
Kolagen awalnya tersusun secara tidak beraturan sehingga membutuhkan
lysyl hydroxylase untuk mengubah lisin menjadi hidroksilisin yang dianggap
bertanggung jawab terhadap terjadinya ikatan silang antar kolagen. Ikatan silang
tersebut juga menyebabkan terjadinya tensile strength sehingga luka tidak mudah
terkoyak. Tensile strength akan bertambah secara cepat dalam enam minggu
pertama, kemudian akan bertambah secara perlahan selama 1–2 tahun. Pada
umumnya tensile strength pada kulit dan fascia tidak akan pernah mencapai
100%, namun hanya sekitar 80% dari normal. Hasil akhir dari fase maturasi
-
12
berupa jaringan parut yang pucat, tipis, lemas dan mudah digerakkan dari
dasarnya (Hidayat, 2013).
2.3 Transforming Growth Factor-Beta (TGF-β1)
TGF-β adalah faktor pertumbuhan yang teraktivasi oleh kondisi-kondisi
tertentu seperti adanya infeksi, keadaan hipoksia atau iskemia. TGF-β terlibat
dalam beberapa aktivitas seluler penting berupa regulasi proliferasi, diferensiasi
dan kematian berbagai jenis sel. Polipeptida multifungsional ini diekspresikan
oleh beberapa sel seperti trombosit, makrofag, fibroblas, sel endotel dan sel otot
polos. (Pavletic, 2010). TGF-β terdiri dari tiga isoform yakni TGF-β1, TGF-β2
dan TGF-β3. TGF- β1 merupakan anggota utama dari kelompok ini dan telah
banyak diketahui perannya. Ketiga isoform tersebut diekspresikan dalam bentuk
prekursor laten inaktif sehingga membutuhkan aktivasi terlebih dahulu sebelum
berikatan dengan reseptor TGF-β. Ketiganya dikodekan oleh gen yang berbeda,
namun mengalami proses tranduksi sinyal yang sama dan memiliki fungsi
biologis yang saling tumpang tindih secara in vitro (Penn et al., 2012). Umumnya
proses tranduksi sinyal dari TGF-β melalui jalur SMAD2/3 dan non-SMAD salah
satunya jalur Ras/MAPK/ERK (Gilbert et al., 2016).
Pada proses penyembuhan luka, baik TGF-α maupun TGF-β ikut terlibat
namun keduanya memiliki fungsi biologis yang berbeda. TGF-α menstimulus
proliferasi sel epidermal termasuk meregulasi ekspresi EGF. TGF-β didominasi
oleh peranan TGF-β1 menstimulus terjadinya kemotaksis leukosit pada fase
inflamasi dan menstimulus pembentukan jaringan granulasi. (Kondo and Ishida,
-
13
2010). Dominasi TGF-β1 pada proses penyembuhan luka juga nampak pada
peranan faktor pertumbuhan tersebut dalam menstimulus proliferasi fibroblas,
produksi kolagen serta menstimulus diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas
(Klass et al., 2010), bahkan TGF-β1 juga turut mengatur keseimbangan antara
sekresi MMP dan TIMP pada fase maturasi (Hosgood, 2009).
2.4 Fibroblas
Fibroblas berasal dari jaringan mesenkim. Mesenkim ialah jaringan ikat
yang berkembang dari jaringan embrional. Fibroblas umumnya tersebar
disepanjang serat kolagen dan secara mikroskopis nampak berbentuk fusiform.
Inti fibroblas berbentuk elips dan panjang, memiliki satu atau dua nukleoli serta
gumpalan kromatin halus berdekatan dengan membran nukleus. Sepasang sentriol
dan sebuah kompleks golgi terdapat di dekat inti. Fibroblas dapat terlihat dengan
jelas pada pewarnaan hematoksilin eosin (Kusumawardhani, 2013).
Fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka menuju kavitas luka
dan berproliferasi. Fibroblas mampu mensintesis substansi penting seperti kolagen
yang menambah tegangan serta kekuatan permukaan luka (Febram dkk., 2010).
Fibroblas juga mampu mensintesis faktor pertumbuhan yang menstimulus
diferensiasi fibrosit menjadi miofibroblas. Miofibroblas adalah sel khusus yang
bentuknya menyerupai sel otot polos sehingga banyak mengandung mikrofilamen
aktin dan miosin. Sel tersebut berperan dalam penutupan luka melalui mekanisme
kontraksi (Inayah, 2014). Pada fase akhir dari penyembuhan luka, fibroblas juga
-
14
bertanggung jawab untuk memproduksi MMP yang berperan dalam rekonstruksi
ECM (Klass et al., 2010).
2.5 Teh Hijau (Camellia sinensis)
Komposisi kimiawi dari teh hijau cukup komplek dan didominasi oleh
senyawa polifenol, dapat dilihat pada Tabel 2.1 (Chacko et al., 2015). Polifenol
merupakan komponen teh yang paling relevan secara medis dan salah satu
turunan dari senyawa ini ialah flavonoid. Flavonoid utama pada teh hijau adalah
katekin karena dapat mencapai 80–90% dari kandungan flavonoid total (Reygaert,
2017). Konsentrasi katekin pada teh hijau dapat beragam tergantung oleh umur
daun, lokasi geografis dan kondisi saat pertumbuhan (iklim, tanah) (Heroniaty,
2012).
Tabel 2.1. Komposisi kimiawi teh hijau (Chacko et al., 2015)
Komponen Teh Hijau
Protein 15
Asam Amino 4
Serat 26
Karbohidrat 7
Lipid 7
Pigemen 2
Mineral 5
Komponen fenolik 30
Keterangan: Data mengacu pada berat kering daun teh.
Pada kondisi murni, senyawa katekin sangat larut dalam air panas, alkohol
dan etil asetat. Katekin memiliki ciri fisik diantaranya berbentuk kristal halus,
tidak berwarna dan memberikan rasa pahit. Katekin juga tergolong asam lemah,
-
15
stabil pada kondisi agak asam (pH optimum 4–8) serta sensitif pada oksigen dan
cahaya (Heroniaty, 2012)
Katekin mempunyai efek antiinflamasi, antioksidan, antibakteri, antiviral,
antienzymatic effects dan probiotik pada manusia maupun hewan pada studi in
vitro. Mekanisme antiinflamasi katekin dicapai melalui hambatan sintesis
eikosanoid. Penghambatan tersebut akan menyebabkan penurunan kandungan
asam arakidonat pada jaringan membran fosfolipid sel sehingga pelepasan
sejumlah mediator inflamasi seperti prostaglandin, leukotrin dan tromboksan turut
dihambat (Pradita dkk., 2013). Hal tersebut membuat terjadinya pembatasan
jumlah leukosit yang bermigrasi ke jaringan perlukaan, sehingga reaksi inflamasi
akan berlangsung lebih singkat dan ekspresi dari TGF-β1 tidak terhambat (Kurnia
dkk., 2015), bahkan menurut Hajiaghaalipour et al. (2013), katekin yang
merupakan komponen utama dari teh mampu meningkatkan peranan dan ekspresi
dari TGF- β1, meskipun mekanisme dari efek biologis tersebut belum dapat
dijelaskan secara pasti. Mekanisme antiinflamasi lainnya berupa penurunan
sekresi sitokin seperti IL-1α, IL-1β, IL-6, IL-8 dan TNF-α (Reygaert, 2017).
Menurut Yu et al. (Naves et al., 2010), katekin dapat menstimulus aktivasi
jalur MAPK (ERK), dimana aktivasi tersebut bersifat cepat dan sementara.
MAPK merupakan kelompok dari serin/treonin kinase yang terlibat dalam
tranduksi sinyal ekstraseluler. ERK merupakan MAPK pertama yang berhasil
diidentifikasi pada sel mamalia. Aktivasi jalur ini distimulus oleh ikatan antara
faktor pertumbuhan dan reseptor yang selanjutnya akan memicu Ras berikatan
-
16
dengan GTP. Komplek Ras-GTP kemudian berinteraksi dengan Raf, Raf
terfosforilasi dan mengaktivasi MEK. MEK selanjutnya mengaktivasi ERK,
aktivasi ERK tersebut akan menstimulus fosforilasi berbagai target termasuk
faktor transkripsi yang dapat menginduksi terjadinya proliferasi sel (Cooper and
Hausman, 2004).
2.6 Tikus (Rattus norvegicus)
Tikus merupakan salah satu hewan model yang seringkali digunakan pada
banyak penelitian terutama dalam mengevaluasi aktivitas penyembuhan luka.
Penggunaan tikus memiliki beberapa keuntungan diantaranya, mudah didapatkan,
siklus hidup singkat, ukuran kecil sehingga mudah ditangani, perilaku jinak, status
kesehatan dan genetik terdefinisi serta lebih ekonomis. Strain Wistar merupakan
strain tikus kedua yang paling populer dipakai dalam penelitian. Strain ini dipilih
karena karakteristiknya yang jinak dan dianggap ideal untuk berbagai tujuan
penelitian (Kumar et al., 2013). Penggunaan tikus jantan pada penelitian luka juga
lebih dominan dibanding tikus betina. Hal tersebut disebabkan karena tikus betina
lebih peka terhadap rasa sakit, sensitif pada bahan kimiawi, panas dan stimuli
elektrik (Kandasamya et al., 2016). Beberapa penelitian bahkan menggunakan dua
jenis kelamin berbeda yakni kombinasi antara tikus jantan dan betina, akan tetapi
penggunaan satu jenis kelamin lebih direkomendasikan agar mengurangi
variabilitas dan meminimalisasi jumlah tikus yang dibutuhkan. Beberapa tipe luka
yang pernah diaplikasikan pada tikus diantaranya, luka eksisi, insisi, luka bakar
bahkan pembuatan model dead space (Kumar et al., 2013). Sebanyak 80%
-
17
peneliti membuat luka eksisi pada bagian dorsal dari regio thorax tikus sebab kulit
sisi dorsal memiliki kadar air yang tinggi, namun kandungan lipid lebih sedikit
dibandingkan kulit pada sisi ventral (O'Malley, 2005). Luka eksisi dibuat dengan
bentuk sirkuler dengan variasi diameter (6 mm, 15 mm, 1,5 cm hingga 2 cm) dan
kedalaman tertentu misalnya untuk luka tipe full-thickness maka dibuat hingga
mencapai bagian panniculus carnosus (Kumar et al., 2013).
2.7 Gel
Gel dikenal sebagai salah satu obat sediaan topikal. Gel merupakan sediaan
setengah padat yang terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel organik dan
anorganik. Gel dikelompokkan kedalam gel fase tunggal dan fase ganda. Gel fase
tunggal terdiri dari makromolekul organik yang tersebar dalam suatu cairan
sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan antara molekul besar yang
terdispersi dan cairan. Gel fase tunggal dapat dibuat dari makromolekul sintetik
seperti karbomer atau dari gom alam (Yanhendri dan Yenny, 2012).
Penggunaan sediaan gel memiliki banyak kelebihan diantaranya memiliki
daya lekat tinggi tanpa menyumbat pori, pelepasan obat dan kemampuan
penyebarannya baik pada kulit, serta mudah dicuci dengan air (Wardiyah, 2015).
Gel mampu berpenetrasi lebih jauh dibandingkan krim dan cocok dipakai pada
lesi di kulit yang berambut (Yanhendri dan Yenny, 2012). Kelebihan lainnya
yakni gel lebih disukai secara kosmetik karena memiliki kandungan air yang
bersifat mendinginkan, menyejukkan dan melembabkan (Kusumawati, 2012).
-
18
Komposisi sediaan gel umumnya terdiri atas bahan yang dapat
mengembang dengan adanya air serta beberapa bahan tambahan seperti pengawet,
humektan dan enhancer. Gelling agent yang seringkali dimanfaatkan dalam
pembuatan gel ialah karbomer. Karbomer memiliki banyak kelebihan diantaranya
viskositas tinggi pada konsentrasi rendah sehingga penggunaannya sangat efektif
dan ekonomis (Wardiyah, 2015), serta membuat tampilan gel menjadi sangat
jernih dan halus (Yanhendri dan Yenny, 2012). Gel memiliki kandungan air yang
lebih tinggi dibandingkan salep atau pasta. Hal tersebut menjadikan gel rentan
terhadap kontaminasi mikroba sehingga perlu ditambahkan bahan pengawet pada
proses pembuatannya. Pemilihan pengawet harus disesuaikan dengan gelling
agent yang digunakan, jika gelling agent yang digunakan ialah karbomer maka
pengawet yang tepat dapat berupa metil paraben atau propil paraben. Metil
paraben merupakan paraben yang paling aktif dan dapat dimanfaatkan secara
tunggal atau dikombinasikan dengan zat antimikroba lainnya. Aktivitas metil
paraben juga dapat ditingkatkan dengan penambahan eksipien lain termasuk
propilen glikol. Selain sebagai pengawet, propilen glikol juga berperan sebagai
humektan yang berfungsi menjaga kelembapan kulit karena mampu
meminimalisasi hilangnya air dan membentuk lapisan film yang tidak berkerak.
Bahan lain yang juga ditambahkan dalam pembuatan gel ialah air. Air berperan
sebagai enhancer yang berfungsi untuk meningkatkan daya penetrasi zat aktif
(Wardiyah, 2015).
-
19
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konseptual
Keterangan:
: Pembuatan Luka
: Variabel Bebas
: Variabel Tergantung
: Menstimulus
: Menghambat
: Efek Setelah Terapi
: Aktivasi Tanpa Terapi
Sumbat trombosit
Pembentukan fibrin
Vasokontriksi
Asam Arakidonat
Jalur Lipooksigenase Jalur Siklooksigenase
Prostaglandin Leukotrin
Tikus Putih (Rattus norvegicus) Luka
terbuka tipe
full
thickness
skin
excisional
Gel Teh Hijau:
Katekin
Gambar 3.1. Kerangka Konseptual
Kerusakan sel
Ekspresi TGF-β1
Sel fibroblas Sel endotel
Ekspresi VEGF
Migrasi Makrofag
Migrasi Leukosit Vasodilatasi
Jaringan granulasi
Epitelisasi
Kontraksi
Sitokin pro
inflamasi
IL-1, IL-6, IL-8
TNf-α
Ekspresi TGF-β1 Fagositosis
Aktivasi Jalur MAPK/ERK/SMAD
-
20
Luka terbuka tipe eksisi yang dialami oleh tikus akan memicu terjadinya
kerusakan jaringan perifer yang diawali dengan perdarahan. Tubuh akan
merespon perdarahan tersebut melalui serangkaian mekanisme hemostasis berupa
vasokontriksi, pembentukan sumbat trombosit dan pembentukan benang-benang
fibrin (koagulasi darah). Kerusakan jaringan saat luka terbentuk juga memicu
aktivasi enzim fosfolipase A2 yang mengubah fosfolipid pada membran sel yang
mengalami kerusakan menjadi asam arakidonat. Asam arakidonat selanjutnya
dimetabolisme menjadi dua alur yakni lipooksigenase dan siklooksigenase. Alur
lipooksigenase menghasilkan leukotrin sementara dari alur siklooksigenase
dihasilkan beberapa mediator radang salah satunya ialah prostaglandin.
Kemampuan trombosit dalam mensintesis beberapa faktor pertumbuhan (PDGF
dan TGF-β1) serta didukung oleh sekresi beberapa mediator radang tersebut akan
menginisiasi terjadinya fase inflamasi. Inflamasi ditandai dengan terjadinya
vasodilatasi disekitar jaringan perlukaan dan migrasi leukosit salah satunya
monosit. Saat bermigrasi menuju kavitas luka, monosit akan bertransformasi
menjadi makrofag dan melakukan fungsi fagositosis serta melepas beberapa
sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF-α. Makrofag juga
mengekspresikan beberapa faktor pertumbuhan (terutama TGF-β1) yang
menstimulus dan memodulasi fase proliferasi.
Pada fase proliferasi, sel-sel mesenkim akan terdiferensiasi menjadi
fibroblas dibawah pengaruh TGF-β1. TGF-β1 juga menstimulus fibroblas
berproliferasi dan mengekspresikan reseptor integrin α5β3. Reseptor tersebut
membantu sel-sel fibroblas berikatan dengan ECM temporer dan bermigrasi
-
21
menuju kavitas luka. Serangkaian proses yang dialami oleh sel fibroblas tersebut
kemudian dikenal sebagai fibroplasia. Fibroplasia akan disertai dengan terjadinya
angiogenesis yakni proliferasi dan migrasi sel endotel menuju kavitas luka melalui
ikatan dengan ECM temporer. Proses fibroplasia dan angiogenesis yang
distimulus dan dimodulasi oleh TGF-β1 dan faktor pertumbuhan lainnya akan
menjadi dasar pembentukan jaringan granulasi, jika jaringan granulasi yang
terbentuk telah memadai maka proses berlanjut pada epitelisasi dan kontraksi
permukaan luka.
Efek antiinflamasi dari katekin memiliki kemampuan dalam menghambat
sintesis eikosanoid yang kemudian diikuti dengan penurunan produksi asam
arakidonat. Hal tersebut akan membatasi pelepasan mediator radang seperti
prostaglandin dan leukotrin sehingga vasodilatasi dihambat serta migrasi berbagai
sel leukosit termasuk makrofag dapat diminimalisasi jumlahnya. Migrasi
makrofag dalam jumlah terbatas akan diikuti dengan penurunan sekresi sitokin
proinflamasi dan penurunan aktivitas fagositosis, namun sebaliknya kemampuan
makrofag dalam mengekspresikan TGF-β1 tidak terhambat. Katekin juga
diketahui dapat meningkatkan proses tranduksi sinyal dari TGF-β1 melalui
aktivasi jalur SMAD maupun non SMAD (terutama jalur MAPK/ERK).
Peningkatan aktivasi tersebut akan meningkatkan efek proliferatif beberapa sel
target termasuk sel fibroblas. TGF-β1 tidak hanya diekspresikan oleh makrofag
tetapi juga oleh sel fibroblas, dengan demikian saat terjadi peningkatan jumlah sel
fibroblas maka ekspresi TGF-β1 juga turut meningkat. Peningkatan TGF-β1 turut
mempercepat terjadinya pembentukan jaringan granulasi, epitelisasi serta
-
22
kontraksi permukaan luka. Pemberian gel ekstrak teh hijau yang mengandung
katekin diharapkan dapat membuat fase inflamasi berlangsung lebih singkat dan
fase proliferasi lebih optimal sehingga mempercepat penyembuhan luka.
3.2 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat, maka hipotesis yang
dapat diajukan adalah sebagai berikut:
1. Pemberian gel ekstrak teh hijau dapat meningkatkan ekspresi TGF-β1 pada
tikus model luka terbuka,
2. Pemberian gel ekstrak teh hijau dapat meningkatkan jumlah sel fibroblas pada
tikus model luka terbuka.
-
23
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yang dimulai dari April
hingga Mei 2017. Penelitian dilakukan dibeberapa tempat diantaranya
Laboratorium Materia Medika Batu, Laboratorium Farmasi Klinis Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya, Laboratorium Biosains Universitas Brawijaya,
Laboratorium Patologi Anatomi Kessima Medika Malang, Laboratorium
Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya dan Laboratorium Patologi
Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
4.2 Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain; kandang tikus,
toples, timbangan analitik (Ohaus), botol, waterbath, rotary evaporator (Buchi),
shaker (WiseShake), cawan petri, corong gelas, gelas baker, gelas ukur, gelas
arloji, mikropipet (Socorex), blue tip, pipet, mortar alu, spatula, pengaduk, sudip,
pot salep, pH meter , cotton bud, spuit, seperangkat alat bedah, papan bedah, pot
organ, kaset, wadah cetakan, formika, lempeng besi, mikrotom, waterbath, gelas
obyek, hot plate, gelas cover, lemari pendingin (LG), oven (Memmert) dan
mikroskop (BX51).
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain; tikus putih (Rattus
norvegicus), pakan dan minum tikus, under pad, teh hijau, etanol, normal saline,
aquades, karbomer, metil parabean, propilen glikol, ketamin, xylazin, aqua pro
injection, alkohol, kasa steril, perban (Hansaplast), formalin 10%, aceton, xilol,
paraffin cair, pewarna HE, gelatin, alkohol asam 1%, amonia air, PBS, peroxide
-
24
block (UltraTek ACA008), protein block (Novocastra), antibodi primer TGF- 1
poliklonal Rabbit anti-Rat (Sigma SAB4502954), antibodi sekunder anti-
polyvalent (UltraTek ABN008), SA-HRP (UltraTek ABL008), DAB, counter
stain mayer hematoxylen dan entellan.
4.3. Sampel Penelitian
Sampel penelitian ini menggunakan hewan coba berupa tikus putih (Rattus
norvegicus) Strain Wistar, berjenis kelamin jantan, berat badan 150–200 gram dan
berusia 8–12 minggu. Tikus tersebut diperoleh dari Laboratorium Biosains
Universitas Brawijaya Malang. Estimasi besar sampel dihitung berdasarkan rumus
berikut (Kusriningrum, 2008):
t (n-1) ≥ 15
5 (n-1) ≥ 15
5n-5 ≥ 15
5n ≥ 20
n ≥ 20/5
n ≥ 4
Berdasarkan perhitungan diatas maka diperlukan minimal empat kali ulangan
disetiap kelompok perlakuan sehingga total tikus yang dibutuhkan dalam
penelitian ini ialah 20 ekor.
4.4 Rancangan Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik yang menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL). Tikus dibagi menjadi lima kelompok secara
acak. Kelompok kontrol negatif terdiri atas tikus yang tidak dilukai, sedangkan
Keterangan :
t = jumlah kelompok perlakuan
n = jumlah ulangan yang diperlukan
-
25
kelompok kontrol positif ialah kelompok tikus yang dilukai dan diterapi dengan
normal saline. Kelompok perlakuan satu, dua dan tiga masing-masing terdiri atas
tikus yang dilukai dan diterapi dengan gel ekstrak teh hijau konsentrasi 0,6%
(Asadi et al., 2013), 1,2% dan 1,8%.
Tabel 4.1. Rancangan penelitian
Kelompok Keterangan
K- Tanpa perlakuan
K+ Luka terbuka tipe eksisi + Normal saline
P1
Luka terbuka tipe eksisi + diterapi gel ekstrak teh hijau 0,6%
P2
Luka terbuka tipe eksisi + diterapi gel ekstrak teh hijau 1,2%
P3
Luka terbuka tipe eksisi + diterapi gel ekstrak teh hijau 1,8%
4.5 Variabel Penelitian
Adapun variabel yang diamati dalam penelitian ini ialah:
Variabel bebas : Konsentrasi gel ekstrak teh hijau.
Variabel tergantung : Ekspresi TGF-β1 dan jumlah sel fibroblas.
Variabel kontrol : Tikus putih (Rattus norvegicus), jenis
kelamin, berat badan, umur, pakan, lingkungan, dan
luka terbuka.
4.6 Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian yang dilakukan antara lain:
1. Persiapan hewan coba
2. Pembuatan ekstrak teh hijau
-
26
3. Pembuatan gel ekstrak teh hijau
4. Pembuatan luka terbuka pada hewan coba dan terapi
5. Euthanasi dan isolasi kulit
6. Pengukuran jumlah fibroblas
7. Ekspresi TGF-β1 dengan metode IHK
8. Analisis data
4.7 Prosedur Kerja
4.7.1 Persiapan Hewan Coba
Hewan coba yakni tikus diadaptasi selama tujuh hari dan diberi pakan
pellet. Kandang yang digunakan berukuran 17,5 x 23,75 x 17,5 cm serta
terbuat dari plastik. Kandang tersebut dibagi menjadi dua bagian dan setiap
bagian diisi oleh satu ekor tikus. Kandang dilengkapi dengan fasilitas botol
air minum, under pad dan kawat penutup.
4.7.2 Pembuatan Ekstrak Teh Hijau
Daun teh kering ditimbang sebanyak 750 gram, selanjutnya dilakukan
pembasahan dengan etanol 70% sebanyak 750 ml. Daun yang telah dibasahi
tersebut dimasukkan kedalam toples, diratakan dan ditambahkan pelarut
etanol hingga volume total 7 L (pelarut yang digunakan minimal dua kali
berat atau lebih). Ditutup toples dengan rapat selama 24 jam dan diaduk
dengan shaker digital kecepatan 50 rpm. Disaring ekstrak dan ditampung
pada erlenmeyer untuk diuapkan menggunakan rotary evaporator selama 2
jam 30 menit. Ekstrak tersebut selanjutnya kembali diuapkan menggunakan
waterbath selama 2 jam.
-
27
4.7.3 Pembuatan Gel Ekstrak Teh Hijau
Komposisi formulasi gel disusun berdasarkan metode trial-error dan
persentase setiap bahan penyusun mengacu pada Rowe et al. (2009).
Karbomer dilarutkan dalam 2 mL aquades 70OC dan didiamkan selama 15
menit agar mengembang, selanjutnya diaduk hingga homogen dan mengental.
Metil parabean dicampurkan kedalam propilen glikol lalu diaduk hingga
homogen. Campuran kedua bahan tersebut kemudian dimasukkan kedalam
karbomer secara perlahan. Ditambahkan pula ekstrak teh hijau serta sisa
aquades kedalam campuran karbomer tersebut. Seluruh bahan yang telah
dicampur diaduk hingga homogen dan didapat konsistensi yang diinginkan.
Gel yang terbentuk selanjutnya disimpan dalam wadah yang bersih dan tidak
tembus cahaya (Kuncari, 2014).
4.7.4 Pembuatan Luka Terbuka pada Hewan Coba dan Terapi
Setiap hewan coba yakni tikus diberi tanda pada bagian ekornya
menggunakan spidol tahan air sesuai dengan kelompok masing-masing.
Tikus terlebih dahulu dianastesi menggunakan kombinasi ketamin (dosis
30mg/kgBB, konsentrasi 100 mg/mL) dan xylazin (dosis 3mg/kgBB,
konsentrasi 20 mg/mL) secara intramuskular (Hajiaghaalipour et al., 2013).
Rambut pada area perlukaan yakni dibagian dorsal dicukur hingga bersih
kemudian diberi antiseptik alkohol 70%. Pembuatan luka menggunakan tipe
full thickness skin excisional berdiameter 1,5 cm menggunakan gunting
tajam-tajam steril.
-
28
Tikus P1, P2 dan P3 yang telah dilukai lalu diterapi menggunakan gel
ekstrak teh hijau sebanyak satu kali sehari selama 10 hari. Gel diambil
menggunakan cotton bud lalu dioleskan pada permukaan luka, selanjutnya
ditutup menggunakan kasa steril dan perban. Kontrol negatif tidak mendapat
perlakuan apapun, sedangkan kontrol positif setelah mendapat perlukaan
maka diberi perawatan dengan normal saline dan pergantian kasa steril dan
perban satu kali sehari.
4.7.5 Euthanasi dan Isolasi Kulit
Eutanasia dilakukan pada hari ke-18 setelah semua perlakuan selesai
dengan metode dislokasi cervicalis, sebelumnya tikus diberi ketamin (dosis
30mg/kgBB, konsentrasi 100 mg/mL, IM). Daerah dorsal yang akan diambil
kulitnya dibersihkan dari rambut yang mulai tumbuh kembali dan dilakukan
pengangkatan jaringan pada bagian yang diberi perlukaan sepanjang ± 2 cm.
Jaringan kulit yang telah diangkat dibilas dengan normal saline dan
selanjutnya difiksasi dengan formalin l0% untuk selanjutnya dibuat preparat
histopatologi.
4.7.6 Perhitungan Jumlah Fibroblas
4.7.6.1 Pembuatan Preparat Histologi dan Pewarnaan HE
Pembuatan preparat histologi menurut Banks (1993) terdiri atas
beberapa tahapan yakni fixation, dehydration, clearing, embedding,
sectioning, staining dan mounting Fiksasi bertujuan untuk mencegah
terjadinya proses autolisis postmortem, mengeraskan jaringan
sehingga mudah dipotong, serta menjaga jaringan agar tetap pada
-
29
kondisi aseptis. Formalin 10% merupakan agen fiksasi yang umum
digunakan. Jaringan kulit yang telah difiksasi selanjutnya didehidrasi
menggunakan aceton. Dehidrasi bertujuan untuk menghilangkan
kandungan air yang terdapat pada jaringan tersebut sebelum diinfiltrasi
dengan paraffin, agar aceton dan paraffin tidak tercampur maka proses
dehidrasi jaringan diikuti dengan clearing menggunakan xilol. Proses
selanjutnya ialah embedding yakni jaringan dicelupkan pada paraffin
cair yang telah dituang kedalam cetakan, setelah parafin memadat
maka dapat dilakukan proses sectioning. Jaringan yang telah diiris
dengan ketebalan tertentu selanjutnya dapat diwarnai dengan pewarna
HE.
Zat warna hematoksilin berfungsi untuk memberi warna biru
pada inti sel, sedangkan eosin akan memberi warna merah muda pada
sitoplasma sel. Proses pewarnaan diawali dengan proses deparafinasi,
rehidrasi dan clearing. Tahap akhir setelah pewarnaan selesai maka
dilanjutkan dengan proses mounting menggunakan entellan dan
kemudian ditutup menggunakan gelas cover (Balqis dkk, 2014).
4.7.6.2 Tahap Perhitungan Jumlah Fibroblas
Fibroblas diamati pada lapisan dermis menggunakan mikroskop
BX51 perbesaran 400x, sel tersebut berbentuk elips dan berinti ungu.
Jumlah fibroblas dihitung pada lima lapang pandang berbeda dari
masing-masing preparat dengan bantuan software Imageraster dan
selanjutnya diambil nilai rata-rata. (Imaniyah dkk., 2013).
-
30
4.7.7 Prosedur IHK dan Perhitungan Ekspresi TGF-β1
Imunohistokimia merupakan suatu teknik yang digunakan untuk
menentukan keberadaan protein target dalam jaringan atau sel dengan
memanfaatkan prinsip ikatan antara protein target (antigen) dan antibodi.
Teknik ini diawali dengan pembuatan preparat histologi (histoteknik) agar
dapat diamati dibawah mikroskop. Prosedur histoteknik umumnya
menggunakan fiksatif formalin. Preparat jaringan yang didapat selanjutnya
memasuki prosedur IHK. Prosedur IHK menggunakan antibodi yang dilabeli
enzim sehingga ikatan protein dan antibodi dapat divisualisasikan. Enzim
selanjutnya direaksikan dengan substrat kromogen yang dapat diamati dengan
mikroskop cahaya (Fatchiyah dkk., 2009).
Ekspresi TGF-β1 diamati pada bagian sitoplasma sel fibroblas pada
lapisan dermis yang berwarna kecoklatan menggunakan mikroskop BX51
perbesaran 400x. Diamati lima bidang pandang berbeda dari masing-masing
preparat. Hasil pengamatan kemudian difoto dan diproses menggunakan
software imunoratio.
4.7.8 Analisis Data
Parameter yang digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah
fibroblas dan ekspresi TGF-β1 yang dianalisis secara kuantitatif
menggunakan Microsoft Excel dan SPSS for windows dengan analisis
statistik ragam One Way ANOVA untuk mengetahui ada atau tidaknya
perbedaan antar kelompok penelitian. Jika terdapat perbedaan maka
dilakukan uji lanjutan yakni Uji Tukey α= 0,05. Uji Tuckey digunakan untuk
-
31
mengetahui suatu kelompok dengan kelompok lainnya memiliki pengaruh
yang sama atau berbeda (Firdaus dkk.,2013).
-
32
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Efek Pemberian Gel Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis) pada Tikus
(Rattus norvegicus) Model Luka Terbuka terhadap Ekspresi TGF-β1
Pemberian gel ekstrak teh hijau diketahui memberikan pengaruh signifikan
terhadap ekspresi TGF-β1 pada tikus model luka terbuka (p
-
33
Ekspresi TGF-β1 pada masing-masing kelompok penelitian ditandai dengan
terbentuknya warna kecoklatan pada sitoplasma sel fibroblas dari lapisan dermis
kulit (Gambar 5.1). Warna kecoklatan tersebut menggambarkan adanya ikatan
antigen pada jaringan dengan antibodi TGF-β1 yang digunakan dalam penelitian
ini.
Berdasarkan Tabel 5.1, diketahui bahwa rata-rata ekspresi TGF-β1 pada
tikus kontrol negatif ialah 11.00%. Hal tersebut membuktikan bahwa faktor
pertumbuhan ini diekspresikan dalam kondisi kulit normal. Menurut Guanqun et
al. (2005), TGF-β1 berperan penting dalam menjaga homeostasis jaringan dengan
meregulasi pertumbuhan dan diferensiasi sel serta deposisi ECM. Pada kondisi
fisiologis terjadi apoptosis atau kematian sel yang terprogram, dengan demikian
diperlukan peranan faktor pertumbuhan guna meregenerasi sel-sel yang telah mati
tersebut.
Tabel 5.1. Data ekspresi TGF-β1 hari ke-10
Kelompok Rata-rata Ekspresi TGF-β1 (%)
K- (Kontrol Negatif) 11.00±1.41b
K+ (Kontrol Positif) 6.00±0.82a
P1 (Terapi Gel Ekstrak Teh Hijau 0,6%) 14.75±1.71c
P2 (Terapi Gel Ekstrak Teh Hijau 1,2%) 20.75±1.71d
P3 (Terapi Gel Ekstrak Teh Hijau 1,8%) 18.25±2.22cd
Keterangan : Notasi a, b dan c menunjukkan adanya perbedaan antar kelompok
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa terjadi penurunan rata-rata
ekspresi TGF-β1 pada kelompok kontrol positif (6.00%) bila dibandingkan
dengan kontrol negatif (11.00%). Penurunan tersebut dapat disebabkan karena
luka masih berada pada fase inflamasi. Menurut Khahesh et al. (2011) adanya
-
34
inflamasi atau peradangan menyebabkan peningkatan sekresi sitokin proinflamasi
seperti IL-6 yang selanjutnya dapat menekan ekspresi dari TGF-β1 bahkan
reseptor dari faktor pertumbuhan tersebut (TGF receptor 1 dan TGF receptor 2).
Berdasarkan Tabel 5.1, diketahui bahwa rata-rata ekspresi TGF-β1 dari
ketiga kelompok perlakuan baik P1 (14,75%), P2 (20,75%) maupun P3 (18,25%)
mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan kelompok kontrol positif
(6.00%). Peningkatan persentase tersebut membuktikan bahwa pemberian gel
ekstrak teh hijau dinilai efektif dalam meningkatkan ekspresi TGF-β1 sehingga
dapat mengoptimalkan fase proliferasi dan dapat mempercepat penyembuhan
luka. Menurut Kurnia dkk. (2015), teh hijau mengandung berbagai macam
komponen kimia salah satunya polifenol. Derivat polifenol adalah flavonoid dan
flavonoid utama dalam teh hijau ialah katekin. Efek antiinflamasi dari katekin
membuat terjadinya pembatasan jumlah sel radang yang bermigrasi ke jaringan
perlukaan sehingga reaksi inflamasi berlangsung lebih singkat namun tidak
menghambat ekspresi TGF-β1, bahkan menurut Hajiaghaalipour et al. (2013)
katekin mampu meningkatkan ekspresi dan peranan TGF-β1. Hal tersebut
didukung dengan pendapat Naves et al. (2010) yang menyatakan bahwa katekin
dapat menstimulus aktivasi jalur MAPK/ERK sehingga meningkatkan proses
tranduksi sinyal dari TGF- β1.
Pada pengamatan hari ke-10, kelompok P1 (14.75%) yang diterapi dengan
gel ekstrak teh hijau konsentrasi 0,6% diketahui memiliki nilai rata-rata ekspresi
TGF-β1 yang lebih rendah dibandingkan kelompok P2 (20.75%). Hal tersebut
berkaitan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Asadi et al. (2013),
-
35
dimana salah satu parameter yang diukur ialah ketebalan jaringan granulasi. Hasil
analisa statistik dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa ketebalan jaringan
granulasi pada kelompok yang diterapi dengan ekstrak teh hijau konsentrasi 0,6%
mengalami peningkatan yang signifikan pada pengamatan hari ke-21. Ekspresi
TGF-β1 sangat berkaitan erat dengan jaringan granulasi, dimana menurut Kondo
and Ishida (2010) TGF-β1 berperan dalam menstimulus pembentukan jaringan
granulasi tersebut. Hal ini membuktikan bahwa pemberian gel ekstrak teh hijau
konsentrasi 0,6% dapat meningkatkan ekspresi TGF-β1 namun diperlukan durasi
yang lebih lama untuk mendapat hasil optimal.
Kelompok P2 (20.75%) yang diterapi dengan gel ekstrak teh hijau
konsentrasi 1,2% diketahui memiliki nilai rata-rata ekspresi TGF-β1 yang lebih
tinggi dibandingkan kelompok P1 (14.75%) maupun P3 (18.25%). Hal tersebut
dapat disebabkan karena konsentrasi 1,2% merupakan konsentrasi optimal yang
paling efektif mengaktivasi jalur SMAD maupun non SMAD (terutama jalur
MAPK/ERK). Pada hari ke-10 luka telah memasuki fase proliferasi, dimana pada
fase tersebut TGF-β1 berperan penting dalam menstimulus pembentukan jaringan
baru melalui proliferasi fibroblas dan pembentukan kolagen, serta menstimulus
diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas yang bertanggung jawab dalam
kontraksi luka (Klass et al., 2010). Peningkatan signifikan dari ekspresi TGF-β1
yang dialami kelompok P2 pada hari ke-10 terbukti berpengaruh positif terhadap
kondisi luka dan dapat mempercepat penyembuhan luka tersebut. Hal ini
didukung dengan pengamatan secara makroskopis yang menunjukkan bahwa
-
36
diameter luka terbuka pada kelompok P2 lebih kecil bila dibandingkan dengan
kelompok P1 maupun P3 (Lampiran 12.).
Kelompok P3 (18.25%) yang diterapi dengan gel ekstrak teh hijau
konsentrasi 1,8% diketahui memiliki nilai rata-rata ekspresi TGF-β1 yang lebih
rendah dibandingkan kelompok P2 (20.75%). Hal tersebut berkaitan dengan
pendapat Rahayu (2016) yang menyatakan bahwa konsentrasi katekin yang terlalu
pekat/tinggi akan berpengaruh pada distribusi dan absorbsi zat aktif tersebut.
Konsentrasi yang tinggi pada awalnya dapat mempercepat pengeringan luka,
namun pengeringan tersebut memicu pembentukan keropeng. Keropeng
merupakan jaringan mati yang keras dan tebal serta menempel erat pada
permukaan kulit. Jaringan mati ini kemudian dapat menghambat distribusi dan
absorbsi zat aktif sehingga efek zat aktif tersebut menjadi tidak optimal.
Pembentukan keropeng yang dialami oleh kelompok P3 dapat dilihat pada data
pengamatan luka terbuka secara makroskopis hari ke-10 (Lampiran 12.).
-
37
5.2 Efek Pemberian Gel Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis) pada Tikus
(Rattus norvegicus) Model Luka Terbuka terhadap Jumlah Sel Fibroblas
Fibroblas merupakan sel yang memiliki inti berbentuk elips dan bewarna
ungu seperti ditunjukkan oleh panah hijau pada Gambar 5.2.
Gambar 5.2. Histologi sel fibroblas hari ke-10 (HE, 400x)
Keterangan : A Tikus kontrol negatif; B tikus kontrol positif; C tikus P1 diterapi
gel ekstrak teh hijau 0,6%; D tikus P2 diterapi gel ekstrak teh hijau
1,2%; E tikus P3 diterapi gel ekstrak teh hijau 1,8%; sel fibroblas
memiliki inti berbentuk elips dan berwarna ungu (sel fibroblas
ditunjukkan dengan panah hijau)
-
38
Berrdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa rata-rata jumlah sel fibroblas pada
kelompok kontrol negatif (13.75) lebih rendah dibandingkan kontrol positif
(22.00). Pada hari yang sama yakni pengamatan hari ke-10, rata-rata jumlah sel
fibroblas pada kelompok kontrol positif lebih rendah bila dibandingkan kelompok
perlakuan. Rata-rata jumlah sel fibroblas pada masing-masing kelompok
perlakuan berurutan dari P1, P2, P3 ialah 27.50, 33.25 dan 28.00, dimana P2
memiliki jumlah terbanyak (Tabel 5.2).
Tabel 5.2. Data jumlah sel fibroblas hari ke-10
Kelompok Rata-rata Jumlah Sel Fibroblas
K- (Kontrol Negatif) 13.75±1.71a
K+ (Kontrol Positif) 22.00±0.82b
P1 (Terapi Gel Ekstrak Teh Hijau 0,6%) 27.50±2.08c
P2 (Terapi Gel Ekstrak Teh Hijau 1,2%) 33.25±3.30d
P3 (Terapi Gel Ekstrak Teh Hijau 1,8%) 28.00±1.63c
Keterangan : Notasi a, b, c dan d menunjukkan adanya perbedaan antar kelompok
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa rata-rata jumlah sel fibroblas pada
tikus kontrol negatif ialah 13.75. Menurut Mescher (2010), sel fibroblas pada kulit
normal berfungsi untuk mensintesis sebagian besar substansi dasar ECM termasuk
kolagen dan elastin. ECM merupakan jairngan ikat yang berfungsi
mempertahankan bentuk berbagi organ tubuh termasuk kulit, serta memfasilitasi
pertukaran nutrisi dan sisa metabolisme antara sel dan pembuluh darah.
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa terdapat peningkatan rata-rata jumlah sel
fibroblas pada kelompok kontrol positif (22.00) bila dibandingkan kontrol negatif
(13.75). Peningkatan rata-rata jumlah sel fibroblas tersebut dipicu akibat luka
terbuka tipe full thickness skin excisional yang dialami oleh tikus kontrol positif
sebaliknya tikus kontrol negatif tidak dilukai atau dalam keadaan sehat.
Terbentuknya luka tersebut akan memicu terjadinya kerusakan jaringan perifer
-
39
sehingga tubuh tikus akan merespon kerusakan tersebut melalui serangkaian
proses perbaikan agar kontinuitas jaringan kembali normal. Serangkaian proses
perbaikan pada kulit meliputi fase hemostasis, inflamasi, proliferasi dan maturasi.
Menurut Tanggo (2013), pada fase proliferasi terbentuk jaringan granulasi yang
disusun oleh kumpulan berbagai sel terutama sel fibroblas. Kurnia dkk. (2015)
menyatakan bahwa sel fibroblas mulai berproliferasi sejak 24 jam setelah luka
terbentuk dan jumlahnya mulai meningkat pada hari ke-3 yang merupakan akhir
dari fase inflamasi menuju tahap awal fase proliferasi. Pada masa transisi tersebut,
makrofag aktif menghasilkan beberapa faktor pertumbuhan termasuk TGF-β1
yang turut mendukung terjadinya proliferasi fibroblas. Peningkatan fibroblas terus
terjadi hingga pada puncak fase proliferasi yakni hari ke-7 hingga hari ke-10.
Pengamatan pada hari ke-10 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah sel
fibroblas pada kelompok perlakuan baik P1, P2 maupun P3 yang diterapi dengan
gel ekstrak teh hijau mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan kontrol
positif (Tabel 5.2). Peningkatan tersebut membuktikan bahwa pemberian gel
ekstrak teh hijau dinilai efektif dalam meningkatkan jumlah sel fibroblas sehingga
dapat mengoptimalkan fase proliferasi dan berpotensi untuk menyembuhkan luka.
Efektifitas gel ekstrak teh hijau disebabkan karena adanya dominasi kandungan
katekin sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Kombinasi efek katekin
berupa antiinflamasi (Kurnia dkk., 2015) dan aktivasi jalur MAPK/ERK (Naves et
al., 2010), membuat fase inflamasi berlangsung lebih singkat dan fase proliferasi
dapat berlangsung optimal. Efek antiinflamasi dari katekin menyebabkan migrasi
sel-sel radang diminimalisasi jumlahnya, penurunan aktivitas fagositosis
-
40
(proteolitik), penurunan sekresi sitokin proinflamasi, namun tidak menghambat
ekspresi TGF-β1. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Hajiaghaalipour et al.
(2013) yang menyatakan bahwa katekin dapat meningkatkan peranan dan ekspresi
TGF-β1. Peningkatan ekspresi TGF-β1 yang diikuti dengan peningkatan proses
tranduksi sinyal faktor pertumbuhan tersebut melalui aktivasi jalur MAPK/ERK
menyebabkan efek TGF-β1 pada beberapa sel target dapat dioptimasi, termasuk
efek proliferasi terhadap sel fibroblas.
Pengamatan pada hari ke-10 menunjukkan bahwa kelompok P1 (27.50)
yang diterapi dengan konsentrasi 0,6% diketahui memiliki nilai rata-rata jumlah
sel fibroblas yang lebih rendah dibandingkan kelompok P2 (33.25). Hal tersebut
berkaitan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Asadi et al. (2013), dimana
salah satu parameter yang diukur ialah ketebalan jaringan granulasi. Hasil dari
penelitian sebelumnya tersebut menunjukkan bahwa ketebalan jaringan granulasi
pada kelompok yang diterapi dengan ekstrak teh hijau konsentrasi 0,6%
mengalami peningkatan yang signifikan pada pengamatan hari ke-21. Jaringan
granulasi disusun atas kumpulan berbagai sel, termasuk sel fibroblas (Tanggo,
2013). Hal tersebut membuktikan bahwa pemberian gel ekstrak teh hijau
konsentrasi 0,6% dapat meningkatkan jumlah sel fibroblas namun diperlukan
durasi yang lebih lama untuk mendapat hasil optimal.
Kelompok P2 (33.25) yang diterapi dengan gel ekstrak teh hijau
konsentrasi 1,2% diketahui memiliki nilai rata-rata jumlah sel fibroblas yang lebih
tinggi dibandingkan kelompok P1 (27.50) maupun P3 (28.00). Hal tersebut
membuktikan bahwa konsentrasi 1,2% merupakan konsentrasi optimal yang
-
41
paling efektif meningkatkan tranduksi sinyal TGF-β1 baik melalui aktivasi jalur
umum yakni jalur SMAD maupun non SMAD. Aktivasi jalur tersebut pada
akhirnya membuat efek TGF-β1 pada beberapa sel dapat dioptimasi, termasuk
efek proliferatif sel fibroblas. Hari ke-10 menunjukkan bahwa luka memasuki fase
proliferasi, pada fase ini sel fibroblas aktif memproduksi kolagen. Kolagen
merupakan substansi protein yang terlibat dalam rekonstruksi jaringan kulit dan
berperan dalam menambah tegangan dan kekuatan permukaan luka sehingga kecil
kemungkinan luka kembali terbuka (Febram dkk.,2010). Peningkatan signifikan
jumlah sel fibroblas yang dialami kelompok P2 pada hari ke-10 memiliki dampak
positif terhadap kondisi luka sehingga mempercepat kesembuhan luka tersebut.
Kelompok P3 (28.00) yang diterapi dengan konsentrasi 1,8% diketahui
memiliki nilai rata-rata jumlah sel fibroblas yang lebih rendah dibandingkan
kelompok P2 (33.25). Hal tersebut berkaitan dengan pendapat Rahayu (2016)
seperti yang telah dikemukakan sebelumnya yakni konsentrasi katekin yang
terlalu pekat/tinggi dapat memicu pembentukan keropeng. Karakteristik keropeng
yang keras, tebal serta menempel erat pada permukaan kulit dapat dapat
menghambat distribusi dan absorbsi zat aktif sehingga efek zat aktif tersebut
menjadi tidak optimal.
-
42
BAB 6 PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan data hasil penelitian maka didapat kesimpulan bahwa:
1. Gel ekstrak teh hijau dengan konsenrasi 1,2% merupakan konsentrasi paling
optimal yang mampu meningkatkan ekspresi TGF-β1 sehingga dapat
mempercepat penyembuhan luka.
2. Gel ekstrak teh hijau dengan konsenrasi 1,2% merupakan konsentrasi paling
optimal yang mampu meningkatkan jumlah sel fibroblas sehingga dapat
mempercepat penyembuhan luka.
6.2 Saran
Diharapkan penelitian selanjutnya dapat menjelaskan gambaran histopatologi
kulit pada setiap fase penyembuhan luka.
-
43
DAFTAR PUSTAKA
Asadi, S.Y, Ms. Karimi, P. Parsaei, S. Ezzati, R.K. Boroujeni, A. Zamiri, and
M.R. Kopaei. 2013. Effects of Camellia sinensis Ethanolic Extract on
Histometric and Histopathological Healing Process of Burn Wound in Rat.
Middle-East. Journal of Scientific Research. 13 (1): 14-19.
Balqis,U., Rasmaidar, dan Marwiyah. 2014. Gambaran Histopatologi
Penyembuhan Luka Bakar Menggunakan Daun Kedondong (Spondias dulcis
F.) dan Minyak Kelapa pada Tikus Putih (Rattus norvegicus). Jurnal Medika
Veterinaria. 8(1): 31-36.
Banks, W.J. 1993. Applied Veterinary Histology Third Edition. Mosby Inc. USA.
5-6.
Boateng, J.S, H.M. Kerr, N.E.S. Howard, and M.E. Gillian. 2007.Wound Healing
Dressing and Drug Delivery System: A Review. Journal of Pharmaceutical
Sciences. 97: 2892-2923.
Chacko, S.M, P.T. Thambil, R. Kuttan, and I. Nishigaki. 2015. Beneficial effects
of green tea: A literature review. Chinese Medicine Journal. 5(13): 1-3.
Cooper, G.M. and R.E. Hausman. The Cell: A Molecular Approach Third Edition.
ASM Press. Washington, D.C. 565-567
Doyle, R. 2012. Wound Management and Closure in Dogs and Cats. Hills
Publisher. UK.
Fatchiyah, E.L. Arumingtyas, S. Widyarti, dan S. Rahayu. 2009. Dasar-dasar
Analisis Biologi Molekuler. LSIH Press. Malang. 186-188.
Fauzia, F.F. dan Djajadisastra, J., 2014. Uji Aktivitas dan Kestabilan Fisik
Sediaan Krim Ekstrak Daun Teh Hijau dan Krim Ekstrak Daun Teh Putih
(Camellia sinensis L) [Skripsi]. Fakultas Farmasi. Universitas Indonesia.
Febram, B., I. Wientarsih, dan B. Pontjo. 2010. Aktivitas Sediaan Salep Ekstrak
Batang Pohon Pisang Ambon (Musa paradisiaca var sapientum) dalam
Proses Persembuhan Luka pada Mencit (Mus musculus albinus). Majalah
Obat Tradisional 15(3): 121 – 137.
Firdaus, M.F.P, S.P. Madyawati, N.S. Widjaja, M. Lamid, K. Rachmawati, dan
S.H. Warsito. 2013. Efektivitas Penambahan Kombinasi Tujuh Enzim
terhadap Estimasi Pertambahan Berat Badan Sapi Potong Peranakan
Simental. Jurnal Agroveteriner. 2(1): 3.
-
44
Gilbert, R.W.D, M.K. Vickaryous, and A.M. Viloria-Petit. 2016. Signalling by
Transforming Growth Factor Beta Isoform in Wound Healing and Tissue
Regeneration. 2016. Journal of Developmental Biology. 4(21): 1-3.
Guanqun, A., S.Lu, G.Han, M.Kulesz-Martin, and X.J.Wang. 2005. Current View
of the Role of Transforming Growth Factor β1 in Skin Carcinogenesis. J.
Investig Dermatol Symp Proc. 10 (2): 110.
Hajiaghaalipour, F., M.S. Kanthimathi, M.A. Abdulla, and J. Sanusi. 2013. The
Effect of Camellia sinensis on Wound Healing Potential in an Animal Model.
Research Article Hindawi Publishing Corporation. UK.
Heroniaty. 2012. Sintesis Senyawa Dimer Katekin dari Ekstrak Teh Hijau dengan
Menggunakan Katalis Enzim Peroksidase dari Kulit Bwang Bombay (Allium
cepa L.) [Tesis]. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Indonesia.
Hidayat, T.S.N. 2013. Peran Topikal Ekstrak Gel Aloe Vera pada Penyembuhan
Luka Bakar Derajat Dalam pada Tikus [Skripsi]. Fakultas Kedokteran.
Universitas Airlangga.
Hosgood, G. 2009. BSAVA Manual of Canine and Feline Wound Management
and Reconstruction 2nd Edition. Publisher BSAVA. California. 1-21.
Imaniyah, F., B. Yuwono, dan D.M.C. Robin. 2013. Efek Pemberian Kurkumin
terhadap Jumlah Sel Fibroblas pada Soket Gigi Tikus Pasca Pencabutan.
Fakultas Kedokteran Gigi. Universitas Jember.
Inayah, R. 2014. Kemampuan Ekstrak Etanol Daun Cincau Hijau (Cyclea
barbata) teerhadap Peningkatan Ekspresi Fibroblast Growth Factor-2
(FGF-2) pada Jaringan Luka Bakar Derajat IIB Tikus Putih [Skripsi].
Program Studi Ilmu Keperawatan. Fakultas Kedokteran. Universitas
Brawijaya.
Ismail, D.D.S.L, D. Irawaty, dan T.S. Haryati. 2009. Penggunaan Balutan Modern
Memperbaiki Proses Penyembuhan Luka Diabetik. Jurnal Kedokteran
Brawijaya. 25(1): 34.
Kandasamya, R., J.J. Calsbeekb, and M.M. Morgana. 2016. Home Cage Wheel Running is an Objective and Clinically Relevant Method to Assess
Inflammatory Pain In Male And Female Rats. Journal of Neuroscience
Methods. 263: 115–116.
Kartika, R.W. 2015. Perawatan Luka Kronis dengan Modern Dressing. CDK.
42(7): 546.
-
45
Khaheshi, I., S. Keshavarz1, A.A.I. Fooladi, M. Ebrahimi, S.Yazdani, Y. Panahi,
M. Shohrati, and M.R. N. 2011. Loss of Expression of TGF-Bs and Their
Receptors in Chronic Skin Lesions Induced by Sulfur Mustard as Compared
with Chronic Contact Dermatitis Patients. BMC Dermatology. 11(2):8.
Klass, B.R, O.A. Brandford, A.O. Grobbelaar, and K.J. Rolfe. 2010. The Effect of
Epigallocatechin-2-gallate, a Constituent of Green Tea, on Transforming
Growth Factor-β1-stimulated Wound Contraction. Wound Rep Reg. 18:80.
Kristianto, H. 2010. Perbandingan Perawatan Luka Teknik Modern dan
Konvesional terhadap Transforming Groth Factor Beta 1 (TGF-β1) dan
Respon Nyeri pada Luka Diabeter Melitus [Tesis]. Fakultas Ilmu
Keperawatan. Universitas Indonesia.
Kondo, T. and Ishida, Y. 2010. Molecular pathology of wound healing. Elsevier
Publishing. Ireland.
Kumar, V., A.A. Khan, and K. Nagarajan. 2013. Animal Models for The
Evaluation of Wound Healing Activity. International Bulletin of Drug
Research. 3(5): 93-101.
Kuncari, E.S, Iskandarsyah, dan Praptiwi. 2014. Evaluasi, Uji Stabilitas Fisik dan
Sineresis Sediaan Gel yang Mengandung Minoksidil, Apigenin dan Perasan
Herba Seledri (Apium Graveolens L.). Buletin Peneliti Kesehatan. 42 (4):
213-222.
Kurnia, P.A, H.B. Ardhiyanto, dan Suhartini. 2015. Potensi Ekstrak Teh Hijau
(Camellia sinensis) Terhadap Peningkatan Jumlah Sel Fibroblas Soket Pasca
Pencabutan Gigi pada Tikus Wistar. e-Jurnal Pustaka Kesehatan. 3(1): 122-
126.
Kusriningrum. 2008. Dasar Perancangan Percobaan dan Rancangan Acak
Lengkap. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya.
Kusumawardhani, A.D. 2013. Pengaruh Sediaan Salep Ekstrak Daun Sirih (Piper
betle Linn.) terhadap Jumlah Fibroblas Luka Bakar Derajat IIA pada Tikus
Putih (Rattus norvegicus) Galur Wistar [Skripsi]. Program Studi Ilmu
Keperawatan. Fakultas Kedokteran. Universitas Brawijaya.
Kusumawati, G.D. 2012. Formulasi Sediaan Gel Ekstrak Etanol Daun Lidah
Buaya (Aloe vera (l.) Webb) dengan Gelling Agent Hydroxyprophyl
Methylcellulose (HPMC) 4000 SM dan Aktivitas Antibakterinya terhadap
Staphylococcus epidermidis [Skripsi]. Fakultas Farmasi. Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
-
46
Mescher. A.L. 20