POTENSI FITOESTROGEN KEDELAI (Glycine max SEBAGAI...
Transcript of POTENSI FITOESTROGEN KEDELAI (Glycine max SEBAGAI...
-
i
POTENSI FITOESTROGEN KEDELAI (Glycine max)
SEBAGAI KANDIDAT KONTRASEPSI WANITA
TERHADAP EKSPRESI RESEPTOR ESTROGEN
β DAN HISTOLOGI UTERUS PADA TIKUS
PUTIH BETINA (Rattus norvegicus)
SKRIPSI
Oleh :
ARNES WIDYA ANGGITA
135130101111010
PENDIDIKAN DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
-
ii
POTENSI FITOESTROGEN KEDELAI (Glycine max)
SEBAGAI KANDIDAT KONTRASEPSI WANITA
TERHADAP EKSPRESI RESEPTOR ESTROGEN
β DAN HISTOLOGI UTERUS PADA TIKUS
PUTIH BETINA (Rattus norvegicus)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
Oleh :
ARNES WIDYA ANGGITA
135130101111010
PENDIDIKAN DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
-
iii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
POTENSI FITOESTROGEN KEDELAI (Glycine max)
SEBAGAI KANDIDAT KONTRASEPSI WANITA
TERHADAP EKSPRESI RESEPTOR ESTROGEN
β DAN HISTOLOGI UTERUS PADA TIKUS
PUTIH BETINA (Rattus norvegicus)
Oleh :
ARNES WIDYA ANGGITA
135130101111010
Setelah dipertahankan di depan Majelis Penguji
pada tanggal 18 September 2017
dan dinyatakan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Aulanni’am, drh., DES
NIP. 19600903 198802 2 001 drh. Viski Fitri Hendrawan, M. Vet
NIP. 19880518 201504 1 003
Prof. Dr. Aulanni’am,drh., DES
NIP. 19600903 198802 2 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya
-
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Arnes Widya Anggita
NIM : 135130101111010
Program Studi : Pendidikan Dokter Hewan
Penulis Skripsi berjudul :
Potensi Fitoestrogen Kedelai (Glycine max) sebagai Kandidat
Kontrasepsi Wanita terhadap Ekspresi Reseptor Estrogen β dan
Histologi Uterus pada Tikus Putih Betina (Rattus norvegicus).
Dengan ini menyatakan bahwa :
1. Isi dari skripsi yang saya buat adalah benar-benar karya saya sendiri dan tidak
menjiplak karya orang lain, selain nama- nama yang termaktub di isi dan tertulis
di daftar pustaka dalam skripsi ini.
2. Apabila dikemudian hari ternyata skripsi yang saya tulis terbukti hasil jiplakan,
maka saya akan bersedia menanggung segala resiko yang akan saya terima.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala kesadaran.
Malang, 18 September 2017
Yang menyatakan,
( Arnes Widya Anggita)
NIM. 135130101111010
-
v
Potensi Fitoestrogen Kedelai ( Glycine max ) sebagai Kandidat Kontrasepsi
Wanita terhadap Ekspresi Reseptor Estrogen β dan
Histologi Uterus Pada Tikus Putih Betina
(Rattus norvegicus)
ABSTRAK
Kontrasepsi adalah upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan dengan
menggunakan alat atau obat-obatan. Alat kontrasepsi yang tersedia masih banyak
dilaporkan memiliki efek samping. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini
menggunakan fitoestrogen dalam ekstrak kedelai (Glycine max). Fitoestogen
merupakan senyawa yang memiliki sifat sama dengan hormon estrogen atau dapat
berinteraksi dengan reseptor estrogen. Fitoestrogen akan menyebabkan estrogen
endogen mengalami hambatan ikatan dengan reseptor estrogen. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian fitoestrogen kedelai (Glycine
max) terhadap ekspresi reseptor estrogen β dan gambaran histologi uterus.
Penelitian ini dilakukan dengan dosis kronis 40 hari dengan diberikan ekstrak
ethanol kedelai peroral. Hewan coba tikus dibagi menjadi empat kelompok yaitu
kelompok kontrol (K), kelompok perlakuan dosis 25 mg/ekor (P1), perlakuan
dosis 50 mg/ekor (P2), dan perlakuan dosis 75 mg/ekor (P3). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemberian fitoestrogen kedelai menunjukkan peningkatan
ekspresi ER β pada pemberian dosis 75 mg/ekor secara signifikan (p
-
vi
The Potency of Phytoestrogen (Glycine max) as Women Contraceptive
Candidate towards Expression of Estrogen Receptor β
and Uterine Histology in Female Rats
(Rattus Norvegicus)
ABSTRACT
Contraception is a method used to prevent pregnancy in many ways.
Available contraceptives are considerably reported to have side effects. Based
upon these, this study used extracts of phytoestrogens in soy
(Glycine max). Phytoestrogens is a compound that has similar nature to estrogen
or can interact with the estrogen receptor. Phytoestrogens can lead endogenous
estrogens to have obstruction to bonding with estrogen receptors. This study
investigated the effect of soy phytoestrogens (Glycine max) on the expression of
estrogen receptor β and uterine histology. This research was conducted with
chronic doses within 40 days with ethanol extract of soybean given orally. Rats
were divided into four groups: control group (K), the treatment group with 25
mg/head dose (P1), the treatment group with 50 mg/head dose (P2), and the
treatment group with 75 mg/head dose (P3). The results showed that
administration of soy phytoestrogens significantly (p
-
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
limpahan rahmat dan pertolongan-Nya lah sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Potensi Fitoestrogen Kedelai (Glycine max)
sebagai Kandidat Kontrasepsi Wanita Terhadap Ekspresi Reseptor Estrogen β dan
Histologi Uterus Pada Tikus Putih Betina (Rattus norvegicus)” dengan lancar.
Skripsi ini disusun guna melakukan tugas akhir sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan.
Dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas akan adanya bantuan serta
dukungan moril dari beberapa pihak. Pada kesempatan ini penulis berterima kasih
kepada yang terhormat :
1. Prof. Dr. Aulanni’am, drh., DES selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya serta dosen pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan, saran, fasilitas, kesabaran serta waktu yang telah diberikan selama
ini.
2. drh. Viski Fitri Hendrawan M. Vet selaku dosen pembimbing II atas
bimbingan, saran, kesabaran, fasilitas serta waktu yang telah diberikan selama
ini.
3. drh. Yudit Oktanella, M.Si dan drh. Galuh Chandra Agustina, M.Si selaku
dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang sangat
membangun sehingga menjadikan laporan ini lebih baik lagi.
4. Seluruh jajaran Dekanat, Dosen dan Staf Program Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya atas dorongan semangat dan fasilitas yang diberikan.
5. Ayah Sunaryo dan Ibu Arum Hariyati serta keluarga besar atas doa, cinta,
ilmu,kesabaran dan pengorbanan baik moril dan materi yang telah di berikan
selama ini.
6. Dian Agustiar, Tsani Indah Kusuma dan Ida Sukma Kuswardhani selaku teman
seperjuangan skripsi
-
viii
7. Ade Nura Aulia dan Andrea Puput atas dukungan dan motivasi yang telah di
berikan selama ini.
8. Segenap keluarga kelas CAVITAS 2013 atas dukungan serta semangat yang
tiada henti.
9.Teman-teman seperjuangan mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Brawijaya angkatan 2013 yang telah memberikan semangat dan saran yang
membangun.
10.Serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan dan
penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis berharap skripsi ini dapat diterima sehingga dapat memberikan
pengalaman serta wawasan baru terhadap penulis. Penulis menyadari bahwa
skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak diharapkan demi penyempurnaan selanjutnya.
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT membalas segala kebaikan yang
telah diberikan kepada penulis. Amin.
Malang, September 2017
Penulis
-
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
ABSTRACT ...................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ...................................................................................... vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiii
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ................................................... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2. Rumusan Masalah ............................................................................ 4 1.3. Batasan Masalah ............................................................................... 4 1.4. Tujuan Penelitian.............................................................................. 5 1.5. Manfaat Penelitian............................................................................ 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 6
2.1. Kontrasepsi ........................................................................................ 6
2.2. Kedelai ................................................................................................ 9
2.3. Estrogen ............................................................................................. 11
2.4. Fitoestrogen ....................................................................................... 13
2.5 Reseptor Estrogen α dan β ................................................................ 15
2.6 Mekanisme Kerja Fitoestrogen terhadap Reseptor Estrogen ............ 17
2.7 Hewan Coba Tikus (Rattus norvegicus)............................................ 19
2.8 Uterus ................................................................................................ 21
2.9 Mekanisme Kerja Estrogen pada Uterus ........................................... 23
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESA PENELITIAN ............... 24
3.1. Kerangka Konsep Penelitian ............................................................. 24
3.2. Hipotesa Penelitian ............................................................................ 26
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 27
4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................... 27
4.2 Sampel Penelitian .............................................................................. 27
4.3 Rancangan Penelitian ........................................................................ 28
4.4 Variabel Penelitian ............................................................................ 28
4.5 Materi Penelitian ............................................................................... 29
4.5.1 Alat ............................................................................................. 29
4.5.2 Bahan .......................................................................................... 29
4.6 Tahapan Penelitian ............................................................................ 29
4.6.1 Persiapan Hewan Coba ............................................................... 29
4.6.2 Pembuatan Ekstrak Etanol Kedelai ............................................. 30
4.6.3 Pemberian Perlakuan pada Tikus ................................................ 30
4.6.4 Pembedahan Hewan Coba .......................................................... 31
4.6.5 Pembuatan Preparat Histologi ..................................................... 31
4.6.6 Metode imunohistokimia ............................................................ 32
-
x
4.6.7 Analisis Data ............................................................................... 34
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 35 5.1 Pengaruh Pemberian Fitoestrogen Kedelai (Glycine max)
terhadap Ekspresi Reseptor Estrogen β pada Uterus Tikus Putih
Betina (Rattus norvegicus) ................................................................ 35
5.2 Pengaruh Pemberian Fitoestrogen Kedelai (Glycine max)
Terhadap Histologi Uterus Tikus Putih Betina
(Rattus norvegicus) ........................................................................... 39
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 43
6.1 Kesimpulan........................................................................................ 43
6.2 Saran .................................................................................................. 43
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 44
LAMPIRAN ........................................................................................................ 50
-
xi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1 Kandungan gizi 100 g biji kedelai ................................................................ 11
2.2 Kandungan fitoestrogen pada beberapa tanaman .......................................... 14
4.1 Rancangan Penelitian .................................................................................... 28
5.1 Perbandingan pengaruh Fitoestrogen Kedelai (Glycine max)
terhadap Ekspresi ER β ................................................................................ 35
-
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Kedelai ....................................................................................................... 10
2.2 Mekanisme estrogen reseptor mengaktivasi ekspresi gen .......................... 16
2.3 Perbandingan Struktur Kimia Genistein dan Estradiol .............................. 18
2.4 Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar ............................................. 20
2.5 Lapisan dinding uterus ................................................................................ 22
5.1 Gambaran hasil pewarnaan immunohistokimia pada uterus tikus betina ... 35
5.2 Histologi uterus tikus dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin
(HE) perbesaran 400 X ............................................................................... 39
-
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
Lampiran 1. Surat Laik Etik Penelitian ................................................................ 50
Lampiran 2. Uji Fitokimia Ekstrak Kedelai ......................................................... 51
Lampiran 3. Surat Keterangan Ekstrak Biji Kedelai ............................................ 52
Lampiran 4. Rancangan penelitian ...................................................................... 53
Lampiran 5. Perhitungan Dosis ............................................................................ 54
Lampiran 6. Pembuatan Ekstrak Etanol Kedelai ................................................. 56
Lampiran 7. Metode Immunohistokimia.............................................................. 57
Lampiran 8. Cara Pengambilan Organ ................................................................. 58
Lampiran 9. Pewarnaan Histotologi Uterus ......................................................... 59
Lampiran 10. Analisa Statistik One Way ANOVA Ekspresi ER β ..................... 60
Lampiran 11.Hasil Immunoratio Ekspresi ER β ................................................... 62
Lampiran 12. Foto Kegiatan .................................................................................. 63
-
xiv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
g : gram
mg : miligram
µg : mikrogram
mg : miligram
mL : mililiter
µL : mikroliter
ASEAN : Association of Southeast Asian Nations
BKKBN : Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
ERE : Estrogen Receptor Element
LH : Luteinizing Hormone
FSH : Follicle Stimulating Hormone
ATP : Adenosina trifosfat
cAMP : Cyclic adenosine monophosphate
ERα : estrogen reseptor alpha
Erβ : estrogen reseptor betha
DNA : deoxyribonucleic acid
RNA : ribonucleic acid
H2O2 : hidrogen peroksida
GnRH : Gonadotropin Relasing Hormone
PBS : Phosphate Baffer Saline
PFA : Paraformaldehida
SA-HRP : Strep Avidin Horseradishperoxidase
-
15
-
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Jumlah penduduk dapat menjadi potensi maupun beban bagi suatu negara,
akan menjadi potensi apabila jumlah penduduk seimbang dengan sumber daya
yang tersedia serta mempunyai kualitas hidup yang baik. Penduduk yang banyak
akan menjadi beban apabila melampaui kapasitas wilayah negara tersebut.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi menyebabkan ledakan penduduk, hal ini
sangat mempengaruhi kualitas hidup dan tingkat kesejahteraan penduduk dalam
suatu wilayah tertentu. Kepadatan penduduk sangat berpengaruh terhadap kualitas
hidup masyarakat, karena dapat menimbulkan berbagai masalah kependudukan
misalnya kemiskinan, perumahan, lapangan pekerjaan dan lain-lain (Christiani
dkk, 2014). Menurut World Population Data Sheet 2013, Indonesia merupakan
negara ke-5 di dunia dengan estimasi jumlah penduduk terbanyak, yaitu 249 juta.
Indonesia di antara negara ASEAN memiliki luas wilayah terbesar, tetapi menjadi
negara dengan penduduk terbanyak. Pusat data dan informasi Kementerian
Kesehatan RI, mengestimasi jumlah penduduk Indonesia tahun 2013 sejumlah
248,4 juta orang (Kemenkes, 2014).
Pemerintah Indonesia berupaya menekan laju pertumbuhan penduduk,
dengan program BKKBN ( Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana).
BKKBN bertugas melaksanakan pengendalian penduduk dan menyelenggarakan
keluarga berencana. Salah satu sasaran strategis BKKBN tahun 2015-2019 adalah
meningkatnya pemakaian kontrasepsi. Penggunaan kontrasepsi merupakan upaya
untuk pengendalian fertilitas atau menekan pertumbuhan penduduk yang paling
-
2
efektif. BKKBN dalam pelaksanaannya diupayakan agar semua metode
kontrasepsi yang disediakan dan ditawarkan kepada masyarakat memberikan
manfaat optimal dengan meminimalkan efek samping maupun keluhan yang
ditimbulkan. Alat kontrasepsi yang telah tersedia masih banyak dilaporkan terjadi
kegagalan atau mengalami efek samping (BKKBN, 2015). Dalam dunia
kedokteran hewan usaha untuk mencegah terjadinya kebuntingan sudah banyak
dilakukan khususnya pada hewan anjing dan kucing untuk menekan populasi yang
berlebih. Metode yang sering dilakukan yaitu dengan tindakan operasi, dimana
akan menghilangkan siklus estrus secara irreversibel. Pencegahan kebuntingan
yang bersifat reversibel dapat dilakukan dengan pemanfaatan hormon reproduksi,
tetapi penggunaan hormon sebagai metode kontrasepsi pada hewan masi jarang
dilakukan.
Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki cakupan luas, dimana di
dalamnya hidup flora, fauna dan mikroba yang sangat beranekaragam. Data
IBSAP tahun 2003 memperkirakan terdapat 38.000 jenis tumbuhan (55%
endemik) di Indonesia. Lebih dari 6000 jenis tumbuhan dimanfaatkan untuk
keperluan bahan makanan, pakaian, perlindungan dan obat-obatan (Walujo,
2011). Kedelai adalah salah satu komoditi pangan utama setelah padi dan jagung.
Kedelai merupakan bahan pangan sumber protein nabati utama bagi masyarakat.
Kedelai mengandung protein 35% bahkan pada varitas unggul kadar proteinnya
dapat mencapai 40-43% (Hardi, 2010).
Kacang kedelai dikenal sebagai sumber fitoestrogen yang banyak
dijumpai. Kandungan fitoestrogen dalam biji kedelai memiliki nilai yang tinggi
-
3
yaitu 103.920, jika dibandingkan dengan tanaman lain seperti biji wijen 8.008,1;
kacang kecambah 495,1 dan kacang hijau 105,8. Hasil penelitian Fraser tahun
2006 menyatakan bahwa senyawa fitoestrogen (genistein) yang terkandung dalam
kedelai dapat berdampak negatif terhadap kesuburan karena berpotensi
menggagalkan pembuahan. Senyawa fitoestogen merupakan senyawa yang
memiliki sifat dan khasiat yang sama dengan hormon estrogen atau dapat
berinteraksi dengan reseptor estrogen (Miharja dkk, 2015). Aktivasi fitoestrogen
(isoflavon) dengan reseptor estrogen akan menyebabkan endogenous estrogen
mengalami penghambatan ikatan dengan reseptor estrogen. Penghambatan ikatan
tersebut menyebabkan kadar estrogen dalam darah meningkat. Estrogen dalam
darah yang meningkat dapat menyebabkan proses feed back negative mechanism
terhadap hypothalamus yang mempengaruhi penurunan sekresi FSH dan LH
(Ganong, 1998).
Pada perkembangan uterus secara normal, estrogen akan menyebabkan
proliferasi uterus, terutama proliferasi endometrium. Efek biologis dari estrogen
dimediasi melalui dua jenis reseptor yang dikenal dengan estrogen reseptor alpha
(ERα) dan estrogen reseptor betha (ERβ). ER β memiliki afinitas 20-30 kali lebih
tinggi terhadap fitoestrogen daripada ER α dan sebanding dengan afinitas
estradiol, namun memiliki aktifitas lebih rendah dari estradiol. Tingginya afinitas
ER β dapat menekan tindakan dari ER α. Sifat fitoestrogen sebagai ER antagonis,
maka ikatan dengan protein co-regulator yang diaktifkan adalah co-repressor,
sehingga proses transkripsi terhambat (Khairiah, 2014). Fitoestrogen dalam
kedelai akan menyebabkan proliferasi uterus menurun dan terjadi perubahan
-
4
struktur epitel pada endometrium. Adanya perubahan struktur epitel ini dapat
menyebabkan implantasi tidak melekat erat.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek pemberian fitoestrogen
dalam kedelai (Glycine max) sebagai kandidat kontrasepsi wanita, dengan melihat
ekspresi reseptor estrogen β uterus dan perubahan histologi uterus.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah
dari penelitian ini adalah:
1) Apakah fitoestrogen dalam kedelai (Glycine max) dapat mempengaruhi
ekspresi reseptor estrogen β uterus pada hewan coba tikus (Rattus
norvegicus)?
2) Apakah fitoestrogen dalam kedelai (Glycine max) dapat mempengaruhi
histologi uterus pada hewan coba tikus (Rattus norvegicus)?
1.3 Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penelitian ini
dibatasi pada :
1) Hewan model yang digunakan adalah tikus (Rattus norvegicus) betina strain
Wistar yang sudah pernah partus. Penggunaan hewan coba dalam penelitian
sudah memperoleh persetujuan dari Komisi Etik Penelitian UB dengan
Nomor 715-KEP-UB.
2) Hewan model yang digunakan pada semua fase estrus.
3) Biji keledai yang digunakan adalah jenis Devon 1 yang didapatkan dari
BALITKABI.
-
5
4) Ekstrak diberikan secara peroral melalui sonde selama 40 hari.
5) Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah ekspresi reseptor estrogen β
uterus dan gambaran histologi uterus.
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1) Untuk mengetahui potensi pemberian fitoestrogen dalam kedelai (Glycine
max) terhadap ekspresi reseptor estrogen β uterus pada hewan coba tikus
(Rattus norvegicus).
2) Untuk mengetahui potensi pemberian fitoestrogen dalam kedelai (Glycine
max) terhadap histologi uterus pada hewan coba tikus (Rattus norvegicus).
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Akademis
Dapat dijadikan sebagai dasar teori untuk menambah ilmu pengetahuan
dalam bidang kesehatan, khususnya tentang manfaat fitoestrogen dalam
kedelai sebagai kandidat kontrasepsi.
1.5.2 Manfaat Praktis
1) Dapat dijadikan informasi untuk meningkatkan pengetahuan mengenai
potensi kedelai terhadap ekspresi reseptor estrogen β dan gambaran
histologi uterus.
2) Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan pengembangan penelitian tentang
kontrasepsi wanita yang aman.
-
1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kontrasepsi
Kontrasepsi adalah upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan. Upaya
itu dapat bersifat sementara, dapat pula bersifat permanen. Penggunaan
kontrasepsi merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi fertilitas dengan
menggunakan alat atau obat-obatan. Kontrasepsi adalah menghindari atau
mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur yang
matang dengan sel sperma (Qolbi, 2009). Kontrasepsi adalah alat yang digunakan
untuk menunda, menjarangkan kehamilan, serta menghentikan kesuburan.
Kontrasepsi berasal dari kata kontra berarti mencegah atau melawan, sedangkan
konsepsi berarti pembuahan, sehingga pengertian kontrasepsi adalah mencegah
bertemunya sperma dengan ovum, sehingga tidak terjadi pembuahan yang
mengakibatkan kematian. Kontrasepsi yang baik harus memiliki syarat-syarat
antara lain: aman, dapat diandalkan, sederhana, murah, dapat diterima orang lain
dan dapat dipakai dalam jangka panjang (Sanri, 2016)
Terdapat beberapa metode untuk mencegah terjadinya kebuntingan pada
hewan, diantaranya yaitu :
a. Immunokontrasepsi
Prinsip dari immunokontrasepsi dengan protein zona pellucida ialah
mencegah terjadinya fertilisasi dengan adanya antibodi yang akan mengacaukan
identifikasi antigen determinan sehingga mencegah penetrasi spermatozoa ke
dalam oocyt sehingga tidak terjadi fertilisasi (Ringleb et al., 2004). Antibodi yang
dihasilkan oleh protein imunokontrasepsi dalam tubuh akseptor diharapkan
-
2
berperan mencegah pengenalan antara spermatozoa dengan oosit, sehingga
pembuahan dapat dicegah. Bahan imunokontrasepsi yang potensial adalah zona
pelusida-3 (ZP3), karena ZP3 merupakan protein reseptor pengenalan oosit oleh
spermatozoa (McCartney dan Mate, 1999).
b. Operasi
Pencegahan kebuntingan dapat pula dilakukan dengan metode operasi,
yakni dengan dilakukan ovariohisterectomy. Ovariohisterectomy merupakan
istilah kedokteran yang terdiri dari ovariectomy dan histerectomy. Ovariectomy
adalah tindakan mengamputasi, mengeluarkan dan menghilangkan ovarium dari
rongga abdomen. Sedangkan histerectomy adalah tindakan mengamputasi,
mengeluarkan dan menghilangkan uterus dari rongga abdomen (Denni,2012).
Ovariohysterectomy memiliki banyak nama lain, diantaranya yaitu: spay, femal
neutering, sterilization, fixing, desexing, ovary and uterine ablation, dan
pengangkatan uterus. Operasi ini dilakukan untuk mensterilkan hewan betina
dengan maksud menghilangkan fase estrus atau untuk terapi penyakit yang
terdapat pada uterus, seperti resiko tumor ovarium, serivks, dan uterus. Selain
itu, operasi juga dilakukan untuk memperkecil terjadinya pyometra pada betina
yang tidak steril (Sardjana, 2011).
c. Penggunaan preparat hormonal
- Prostaglandin F2α dan bromocriptine
Prinsip penggunaan kombinasi antara prostaglandin F2α dan
bromokriptin ialah menginduksi terjadinya abortus pada anjing (Palmer dan
Post, 2002). Bromokriptin merupakan alkaloida ergot semi sintesis dari
-
3
kelompok ergotoksin dan memiliki daya stimulasi langsung terhadap reseptor
dopamine di otak. Peningkatan sekresi dopamine ini identik dengan hormone
Prolactin Inhibiting Factor yang menyebabkan berkurangnya sekresi prolaktin
(Tjay dan Rahardja, 2002). Berkurangnya sekresi prolaktin ini juga akan
menurunkan kadar progesterone dalam darah sehingga dapat menyebabkan
abortus. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa kombinasi antara
prostaglandin F2α dan bromocriptine selama 5 hari mampu menyebabkan
terjadinya luteolysis sehingga mencegah kebuntingan (Palmer dan Post,
2002).
- Preparat estrogen
Pemberian preparat estrogen akan menyebabkan kadar estrogen dalam
darah meningkat. Estrogen yang tinggi dapat melabilkan membran lisosom
sehingga diproduksi enzim fosfolipase A yang aktif untuk mengawali
pembentukan prostaglandin dari fosfolipida di mikrosom. Prostaglandin akan
membebaskan ion Ca 2+ di dalam sel otot polos uterus yang kemudian
berikatan dengan aktin dan miosin, untuk memulai proses kontraksi otot.
Kondisi ini yang kemungkinan menjadi penyebab terjadinya kematian embrio
yang baru terimplantasi. Pada rodentia, domba dan kelinci, estrogen yang
terlalu dominan membuat uterus tidak mampu menampung implantasi
blastokista. Kegagalan implantasi sering terjadi akibat kegagalan transpor sel
telur. Pemberian estrogen sebanyak 0,4 µg dapat mempercepat transpor sel
telur dari tuba fallopii ke uterus mencit (Akbar, 2010).
-
4
- Antagonist progesterone anglepristone (alizone)
Progesteron merupakan hormone kebuntingan yang dapat menyebabkan
penebalan endometrium dan perkembangan kelenjar uterin sebelum
terjadinya implantasi dari ovarium yang dibuahi. Selama kebuntingan,
progesterone menahan timbulnya ovulasi melalui inhibisi umpan balik FSH
dan LH dari adenohipofisis (Frandson, 1992). Zat-zat anti progesterone akan
melawan kegiatan progesterone dengan jalan memblok secara kompetitif
reseptornya di organ tujuan. Kebuntingan akan dihentikan akibat efek
progesterone terhadap endometrium dihambat (Tjay dan Rahardja, 2002).
2.2 Kedelai
Tanaman kedelai merupakan salah satu sumber potensi pangan yang
sering dikonsumsi masyarakat Indonesia. Kedelai merupakan sumber protein yang
paling murah karena berbagai varietas kedelai yang ada di Indonesia mempunyai
kadar protein 30,53 - 44 %. Klasifikasi tanaman kedelai yaitu sebagai berikut
(Oktavia, 2012):
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Divisio : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Sub Divisio : Angiospermae (Biji tertutup)
Classis : Dicotyledoneae (Berkeping biji dua / dikotil)
Ordo : Rosales
Famili : Leguminosae (Kacang-kacangan)
Genus : Glycine
Spesies : Glycine max
-
5
Gambar 2.1 Kedelai (Irwan, 2006)
Biji kedelai tersusun atas tiga komponen utama, yaitu kulit biji, daging
(kotiledon), dan hipokotil dengan perbandingan 8:90:2. Komposisi kimia kedelai
adalah 40,5% protein, 20,5% lemak, karbohidrat 22,2%, serat kasar 4,3%, abu
4,5%, dan air 6,6%. Kedelai merupakan sumber gizi yang sangat penting.
Komposisi gizi kedelai bervariasi tergantung varietas yang dikembangkan dan
juga warna kulit maupun kotiledonnya (Oktavia, 2012).
Kedelai adalah tanaman semusim yang diusahakan pada musim kemarau,
karena tidak memerlukan air dalam jumlah besar. Kedelai merupakan sumber
protein, dan lemak, serta sebagai sumber vitamin A, E, K dan beberapa jenis
vitamin B dan mineral K, Fe, Zn dan P. Kadar protein kacang-kacangan berkisar
antara 20-25%, sedangkan pada kedelai mencapai 40%. Kedelai mengandung
delapan asam amino penting yang rata-rata tinggi, kecuali metionin dan
fenilalanin. Kandungan protein kedelai cukup tinggi sehingga kedelai termasuk ke
dalam lima bahan makanan yang mengandung protein tinggi. Berikut kandungan
gizi biji kedelai:
-
6
Tabel 2.1 Kandungan gizi 100 g biji kedelai
(Sukradan dan Yuningsih, 2013)
Salah satu komponen penting atau senyawa bioaktif yang terdapat dalam
kedelai dan bertindak sebagai antioksidan adalah isoflavon. Isoflavon termasuk
dalam golongan flavonoid yang merupakan senyawa polifenolik (Zubik and
Meydani, 2003). Pada tanaman kedelai, kandungan isoflavon yang lebih tinggi
terdapat pada biji kedelai, khususnya pada bagian hipokotil (germ) yang akan
tumbuh menjadi tanaman. Kedelai mengandung 2-4 mg isoflavon dalam satu
gram kedelai (Risfianty, 2016).
2.3 Estrogen
Estrogen adalah senyawa steroid yang berfungsi terutama sebagai hormon
seks wanita Salah satu fungsi hormon estrogen adalah menimbulkan proliferasi sel
dan pertumbuhan jaringan organ-organ kelamin serta jaringan yang berkaitan
dengan reproduksi (Guyton, 2000). Hormon estrogen terdiri dari tiga jenis, yaitu
estradiol, estron dan estriol. Estradiol memiliki kemampuan untuk aktivitas
-
7
biologi yang tinggi bila dibandingkan dengan jenis yang lain. Perbandingan
khasiat biologi dari ketiga hormon tersebut adalah estradiol: estron: estriol=
10:5:1 (Badziad, 2003).
Sintesis hormon estrogen terjadi di dalam sel-sel theka dan sel-sel
granulosa ovarium, dimana kolesterol merupakan zat bakal dari hormon ini, yang
pembentukannya melalui beberapa serangkaian reaksi enzimatik. FSH diketahui
berperan dalam sel theka untuk meningkatkan aktivitas enzim pembelah rantai sisi
kolesterol melalui pengaktifan ATP menjadi cAMP, dan dengan melalui beberapa
proses reaksi enzimatik terbentuklah androstenedion, kemudian androstenedion
akan berfusi ke dalam sel granulose, selanjutnya melakukan aromatisasi
membentuk estron dan estradiol 17β (Badziad, 2003). Estriol adalah estrogen
yang paling lemah yang dihasilkan dari oksidasi estradiol maupun estron (Guyton,
2000).
Efek biologis dari estrogen dimediasi melalui dua jenis reseptor yang
dikenal dengan estrogen reseptor alpha (ERα) dan estrogen reseptor betha (ERβ).
ERα dan ERβ banyak terdapat pada jaringan reproduksi wanita (ovarium,
endometrium, dan payudara), kulit, pembuluh darah tulang dan otak. Susunan
syaraf pusat adalah target lain dari estrogen yang akan memodulasi sekresi LH
dan FSH melalui sistem hipotalamus-hipofisis. Berdasarkan kadarnya dalam
plasma, estrogen dapat berperan sebagai kontrol umpan balik negatif dengan
menurunkan sekresi LH dan FSH, atau sebagai kontrol umpan balik positif
dengan menstimulasi sekresi LH dan FSH (Putra, 2009).
-
8
Reseptor α dan β diaktifkan oleh faktor transkripsi. Mekanisme tindakan
ER melibatkan estrogen yang mengikat reseptor dalam inti, setelah itu reseptor
dimerisasi dan mengikat elemen respon spesifik yang dikenal sebagai elemen
respon estrogen (ERE) yang terletak di promotor gen target ( Bjornstrom and
Sjoberg, 2005).
2.4 Fitoestrogen
Fito artinya tanaman, estrogen artinya hormon pada wanita. Jadi
Fitoestrogen adalah senyawa kimia dari bahan tanaman yang dapat bekerja seperti
estrogen. Fitoestrogen merupakan fitokimia yang memiliki fungsi mirip dengan
hormon estrogen dan merupakan suatu bahan alternatif yang potensial sebagai
pengganti bahan modulator reseptor estrogen selektif sintetik yang banyak
digunakan sebagai terapi sulih hormon ( Prakash and Gupta, 2011). Fitoestrogen
dikelompokkan menjadi 3 kelas yaitu isoflavonoid, coumestans dan lignans.
Subkelompok Isoflavonoid yaitu diadzein, genistein dan glycetein. Subkelompok
coumestans adalah coumestral. Subkelompok lignans yaitu enterolactone dan
enteradione ( Rishi, 2002).
Pada kelompok fitoestrogen tersebut isoflavon merupakan senyawa yang
banyak dimanfaatkan, dikarenakan kandungan fitoestrogen yang cukup tinggi.
Pada tanaman golongan Leguminoceae, khususnya pada tanaman kedelai
mengandung senyawa isoflavon yang cukup tinggi (Hernawati, 2013). Isoflavon
utama pada kedelai terdiri dari genistein dan daidzein. Genistein yaitu senyawa
kimia yang mirip dengan estrogen (fitoestrogen) yang terdapat pada tumbuhan
yang berfungsi sebagai prekursor pada metabolisme tubuh. Fitoestrogen ini secara
-
9
alami akan mengalami interaksi dengan reseptor estrogen dalam tubuh. Interaksi
isoflavon dengan reseptor estrogen mengarah pada aktivasi yang disebut Estrogen
Receptor Element (ERE) yang bertempat disisi bagian dalam dari membran inti.
Aktivasi isoflavon tergantung dari konsentrasi estrogen endogen. Dilingkungan
dengan tinggi kadar estrogen menyebabkan isoflavon bereaksi sebagai estrogen
antagonis (inhibitor aktivitas estrogen), pada keadaan sebaliknya, dimana kadar
estrogen yang rendah, isoflavon dapat bekerja sebagai estrogen agonis
(menyerupai estrogen)( Dinastiti, 2016). Berikut kandungan fitoestrogen pada
beberapa tanaman (Thompson,2006):
Tabel 2.2 Kandungan fitoestrogen pada beberapa tanaman.
Tanaman Kandungan Fitoestrogen (µg/100g)
Biji kedelai 103.920
Biji wijen 8.008,1
Bawang putih 603,6
Kacang kecambah 495,1
Biji bungan matahari 216
Minyak zaitun 180,7
Almond 131,1
Kenari 139,5
Kacang mete 121,9
Kacang hijau 105,8
Fitoestrogen merupakan suatu substrat dari tumbuhan yang memiliki
khasiat mirip estrogen, meskipun rumus bangun kimianya berbeda dengan
estrogen tetapi memiliki inti yang sama persis dengan estrogen. Khasiat
estrogenik terjadi karena fitoestrogen juga memiliki 2 gugus hidroksil (OH) yang
berjarak 11.0-11,5 A0 pada intinya, sama persis dengan inti estrogen sendiri. Para
peneliti sepakat jarak 11 A0 dan gugus -OH inilah yang menjadi struktur pokok
-
10
suatu substrat agar mempunyai efek estrogenik, yakni memiliki afinitas tertentu
untuk dapat menduduki reseptor estrogen (Sitasiwi, 2009).
Afinitas fitoestrogen terhadap reseptor estrogen sangat rendah bila
dibanding estrogen endogen atau dapat dikatakan bahwa diperlukan jumlah yang
sangat besar bagi fitoestrogen untuk memperoleh efek yang memadai seperti
estrogen (Putra, 2009). Paparan fitoestrogen dalam bentuk isoflavon terbukti
mempengaruhi struktur organ reproduksi. Penelitian Awoniyi et al. (1998)
menunjukkan bahwa paparan genistein dosis 50 mg/hari pada tikus sejak hari ke-
17 kebuntingan sampai berakhirnya masa laktasi (21 hari postpartum) dapat
menurunkan berat ovarium dan uterus serta kadar estradiol dalam serum. Hal
tersebut dapat terjadi karena dalam organ reproduksi memiliki reseptor estrogen.
2.5 Reseptor Estrogen α dan β
Reseptor estrogen merupakan salah satu anggota reseptor inti yang
memperantarai aksi hormon estrogen didalam tubuh yang terikat dengan DNA
dan ligan pengikat. Reseptor estrogen berfungsi untuk mengubah transkripsi gen
jika berikatan dengan jaringan spesifik yang bersifat koaktivator atau koreseptor.
Reseptor estrogen terdiri dari dua subtipe yaitu, Reseptor Estrogen α (ER α) dan
Reseptor Estrogen β (ER β). ER α berhubungan dengan efek estrogen terhadap
proliferasi dan sebaliknya ER β menekan aktifitas pertumbuhan. ER β yang
memiliki sifat antiproliferasi dapat menghambat tindakan ER α sebagai aktivator
yang memediasi proliferasi sel dengan membentuk heterodimer. Pengikatan
estrogen yang sama pada ER α dan ER β dapat menimbulkan efek yang
berlawanan dalam transkripsinya. Estradiol dapat menstimuli transkripsi gen
-
11
dengan ER α dan ERE, tetapi pada sistem yang sama estradiol menginhibisi
transkripsi gen bila berikatan dengan ER β (Sulistyowati, 2015).
Reseptor estrogen banyak terdapat pada organ reproduksi wanita
(ovarium, endometrium dan payudara), kulit, pembuluh darah, tulang dan otak.
Pada organ reproduksi laki-laki reseptor ini banyak terdapat pada prostat.
(Dinastiti, 2016). Reseptor tersebut memungkinkan terjadi efek langsung pada
pembuluh darah baik pada sel otot polos maupun pada endotel. ER β lebih banyak
terdapat pada mukosa intestinal, parenchyma paru, sumsung tulang, tulang, otak,
sel endothelial dan kelenjar prostat. Sedangkan ER α lebih banyak pada
endometrium, payudara, jaringan hipotalamus dan stroma ovarium (Gruber et al,
2002). Fitoestrogen merupakan kompetitor aktif untuk reseptor estrogen, terutama
reseptor β (Sitasiwi, 2009). ER β memiliki afinitas 20-30 kali lebih tinggi terhadap
fitoestrogen daripada ER α dan sebanding dengan afinitas estradiol, namun
memiliki aktifitas lebih rendah dari estradiol. Tingginya afinitas ER β dapat
menekan tindakan dari ER α (Khairiah, 2014).
Gambar 2.2 Mekanisme estrogen reseptor mengaktivasi ekspresi gen (Mendelsohn and
Karas, 1999).
Estrogen masuk ke sel target melalui difusi pasif dan mengikat reseptor
intraseluler dengan afinitas yang kuat. Ikatan estrogen- reseptor estrogen komplek
-
12
membentuk dimer dan mengikat ke target gennya (Estrogen Respone Elements,
ERE). Hubungan komplek dengan beberapa protein mampu mengaktifkan
General Transcriptional Apparatus (GTA), yaitu multi protein komplek yang
mengandung RNA polimerase berfungsi untuk mentranskripsi DNA menjadi
RNA. Ikatan estrogen-reseptor-protein merupakan Coactivator (CoAct) dan faktor
integrator transkripsi. Ikatan estrogen- reseptor-protein juga mempunyai aktivitas
histone Acetyltransferase (HAT) yang berfungsi untuk menambah gugus asetil
pada histon, selain itu reseptor estrogen juga dapat bersifat corepresor yaitu
menekan transkripsi gen (Mendelsohn and Karas, 1999).
Ekspresi ER dikontrol oleh hormon. Jumlah ER di uterus berhubungan
dengan kadar estrogen dalam darah. Pada siklus estrus tikus ekspresi ER β di
uterus tertinggi pada saat fase diestrus (estrogen rendah), menurun saat proestrus
awal (estrogen mulai meningkat) dan sebaliknya untuk ER α. Pada endometrium
ekspresi ER α paling tinggi pada pertengahan fase proliferasi sampai sebelum
ovulasi, ekspresi ER β meningkat selama fase sekresi. Pada tikus hilangnya sikus
estrus karena penuaan berada dalam kondisi persisten diestrus dan dapat
menurunkan jumlah dan afinitas reseptor. Pada regulasi reseptor dapat terjadi
penurunan kepekaan yang dikenal dengan desensitisasi atau dapat pula terjadi
penurunan jumlah yang dikenal down regulasi. Keadaan tersebut dapat terjadi
karena adanya rangsangan yang terus menerus oleh agonis (Anita, 2004).
2.6 Mekanisme Kerja Fitoestrogen terhadap Reseptor Estrogen
Mekanisme kerja fitoestrogen terhadap reseptor estrogen (ER) adalah
dengan meniru aktivitas hormon estrogen. Estrogen adalah hormon yang
-
13
berfungsi sebagai molekul sinyal. Prosesnya dimulai dari masuknya molekul
estrogen yang terbawa melalui darah kedalam bermacam- macam jaringan target
estrogen. Proses terjadinya dengan menempel pada reseptor estrogen sehingga
menghambat pengikatan estrogen alami pada reseptor tersebut. Struktur dan
fungsi genistein dan daidzein menyerupai estradiol. Kemiripan estradiol terletak
pada jarak antara 2 gugus hidroksilnya sehingga genistein dapat mengikat reseptor
estrogen. Umumnya estradiol akan berikatan dengan reseptor estrogen kemudian
menyebabkan terjadinya ekspresi gen dan sintesa protein yang spesifik (Pavese et
al, 2010).
Gambar 2.3 Perbandingan Struktur Kimia Genistein dan Estradiol (Pavese et al, 2010).
Afinitas fitoestrogen (genistein) rendah terhadap reseptor alpha 5%
sedangkan terhadap reseptor betha 36% jika dibandingkan dengan estradiol 100%,
walaupun demikian kadar sirkulasi yang berulang dari fitoestrogen mampu
menghasilkan aktivitas biologik yang potensial (Tsourounis, 2004).
Fitoestrogen dapat melewati membran sel serta berinteraksi dengan
reseptor dan enzim, karena fitoestrogen mempunyai berat molekul yang kecil.
Mekanisme genomik yaitu aktivasi langsung melalui reseptor estrogen.
Mekanisme genomik dari fitoestrogen ini melalui dua cara yakni, pertama
fitoestrogen langsung berikatan dengan reseptor estrogen berupa transkripsi gen,
-
14
sehingga dapat menimbulkan efek seperti estrogen (efek estrogenik). Kedua,
fitoestrogen tidak langsung berikatan dengan reseptor estrogen (indirect genomic)
dengan mempengaruhi kadar estrogen endogen dalam sirkulasi (mekanisme
kompetitif inhibitor). Aksi genomik melibatkan reseptor estrogen yang terletak di
nukleus (nuclear receptor) atau inti sel. Estrogen dibawa ke jaringan dalam
bentuk terikat dengan protein dan segera berdifusi ke dalam sel sebagai estrogen
bebas. Estrogen terikat dengan reseptor estrogen di nukleus dan selanjutnya
reseptor estrogen mengalami dimerisasi dan terikat dengan ERE yang terletak
pada promotor gen target dan selanjutnya menginduksi transkripsi gen-gen yang
sehubungan dengan proliferasi sel (Dinastiti, 2016).
2.7 Hewan Coba Tikus (Rattus norvegicus)
Tikus (Rattus norvegicus) merupakan hewan laboratorium yang banyak
digunakan untuk media penelitian medis dan biologis. Tikus memiliki tubuh yang
lebih besar dari mencit, sehingga memudahkan pembedahan dan pengambilan
sampel. Secara garis besar fungsi dan bentuk organ serta proses biokimia antara
tikus dan manusia memiliki banyak kesamaan, selain itu juga mudah dipelihara
(Suckow et al, 2006).
Tikus yang digunakan dalam penelitian ini memiliki klasifikasi sebagai
berikut (Krinke, 2000) :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub Phylum : Vertebrata
Class : Mammalia
-
15
Ordo : Rodentia
Family : Muridae
Genus : Rattus
Species : Rattus norvegicus
Gambar 2.4 Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar
(Dahlia dan Delly, 2014)
Tikus putih (Rattus norvegicus) termasuk ke dalam hewan mamalia yang
memiliki ekor panjang. Ciri-ciri galur ini yaitu bertubuh panjang dengan kepala
sempit. Telinga tikus tebal dan pendek dengan rambut halus (Sirois, 2005).
Tubuh tikus normal 85% tertutup rambut, ekor betina pada umumnya lebih
panjang dibandingkan ekor jantan (Suckow, 2006). Rattus norvegicus memiliki
waktu hidup 2,5 sampai 3 tahun, memiliki temperatur tubuh 37,5ºC, denyut
jantung 330-480 kali permenit, frekuensi respirasi 66-114 kali permenit dan
memasuki masa dewasa pada usia 50-60 hari (Kusumawati, 2004).
Tikus putih (Rattus norvegicus) betina adalah mamalia yang tergolong
ovulator spontan. Tikus termasuk hewan yang bersifat poliestrus, memiliki siklus
reproduksi yang sangat pendek. Siklus estrus lamanya berkisar antara 4-5 hari.
Siklus estrus adalah interval waktu mulai dari permulaan periode estrus yang
pertama sampai periode estrus berikutnya. Siklus estrus pada tikus terbagi
-
16
menjadi beberapa fase yaitu proestrus yang berlangsung 12 jam, estrus yang
berlangsung 12 jam, metestrus I yang berlangsung 15 jam, metestrus II yang
berlangsung 6 jam dan diestrus yang berlangsung 57-60 jam (Anita, 2004).
Ovulasi sendiri berlangsung 8-11 jam sesudah dimulainya tahap estrus. Folikel
yang sudah kehilangan telur akibat ovulasi akan berubah menjadi korpus luteum
(KL), yang akan menghasilkan progesteron atas rangsangan LH. Progesteron
bertanggung jawab dalam menyiapkan endometrium uterus agar reseptif terhadap
implantasi embrio. Lama kebuntingan pada tikus adalah sekitar 21-23 hari (Akbar,
2010).
2.8 Uterus
Uterus merupakan salah satu organ reproduksi betina yang berfungsi
sebagai penerima dan tempat perkembangan ovum yang telah dibuahi. Uterus
pada tikus berupa tabung ganda, disebut tipe dupleks. Dinding uterus secara
histologis terdiri dari tiga lapisan utama, yaitu lapisan endometrium, miometrium
dan perimetrium. Endometrium tikus terdiri dari epitel kolumnar bersilia dan
lapisan basal lamina propria. Lamina propria disusun oleh jaringan ikat longgar,
serabut kolagen, fibroblas dan limposit ditemukan diantara jaringan. Kelenjer
uterus ditemukan pada lamina propria. Miometrium terdiri dari otot polos yang
tersusun sirkular di bagian dalam dan longitudinal di bagian luar. Perimetrium
disusun oleh jaringan pengikat dan sejumlah pembuluh darah (Herlita dkk, 2015).
-
17
Gambar 2.5 Lapisan dinding uterus (Manurung, 2014).
Pada penelitian Haibin et al (2005) menggunakan mencit yang sudah tidak
memiliki ovarium (ovariectomy) kemudian diberi fitoestrogen menunjukkan
aktivitas proliferasi sel-sel endometrium. Penelitian tersebut membuktikan
kemampuan fitoestrogen untuk berikatan dengan reseptor estrogen pada jaringan.
Perubahan struktur histologi uterus disebabkan karena pada lapisan penyusun
dinding uterus memiliki reseptor estrogen, sehingga perubahan struktur lapisan
tersebut berjalan seiring dengan perubahan kandungan hormon reproduksi dalam
plasma (Cooke et al, 1995). Penelitian Herlita tahun 2015 menyebutkan bahwa
histologi uterus tikus yang diberikan agen antifertilitas terlihat lumen yang relatif
sempit, daerah endometium yang relatif tipis, sel-sel penyusunnya tersusun
longgar, serta lapisan epitel yang lebih tipis dari pada uterus tikus normal.
Pada perkembangan uterus secara keseluruhan, estrogen memainkan
peranan penting terhadap proliferasi uterus, terutama proliferasi endometrium.
Salah satu efek estrogen terhadap uterus adalah menyebabkan proliferasi
endometrium yang nyata dan perkembangan kelenjar endometrium yang kelak
akan digunakan untuk membantu nutrisi zigot yang berimplantasi (Agustini,
2007). Dalam keadaan normal, endometrium mengalami penebalan. Perubahan
-
18
ketebalan endometrium dapat terjadi akibat pemakaian obat kontrasepsi. Saat akan
terjadi implantasi, endometrium harus dalam keadaan siap dan matang yang
ditandai suatu keadaan proliferasi dan diferensiatif seperti sekresi kelenjar, edema,
proliferasi vaskuler dan desidualisasi stroma (Utami, 2016)
2.9 Mekanisme Kerja Estrogen pada Uterus
Aksi estrogen sama seperti hormon steroid yang lain, yakni masuk ke
dalam sel melalui proses difusi kemudian berikatan dengan reseptor estrogen yang
terdapat di dalam sitoplasma dan nukleus. Ikatan antara estrogen dan reseptor
akan menyebabkan terjadinya perubahan konformasi yang menghasilkan bentuk
kompleks estrogen reseptor. Kompleks tersebut akan berikatan dengan protein
koaktivator, yang memfasilitasi ekspresi gen dan mempunyai afinitas yang tinggi
terhadap DNA binding site untuk mengaktivasi transkripsi gen. Transkripasi gen
oleh RNA polymerase menghasilkan mRNA. mRNA kemudian ditranslasikan di
robosomal sitoplasma untuk menghasilkan protein yang berkaitan dengan fungsi
pertubuhan endometrium (Dinastiti, 2016). Proliferasi diinisiasi saat pubertas
sebagai respon terhadap siklus estrogen. RE α stroma akan mensekresikan growth
factor yang berfungsi untuk pertumbuhan sel epitel endometrium (Cooke et al,
1995).
-
1
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESA PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep Penelitian
FSH dan LH
Uterus
Ovarium
Estrogen
Hipofisa anterior
Tikus Betina
Hipothalamus
GnRH
Fitoestrogen
kedelai
Feed back
negative
mecanism
ER α ER β
Proliferasi
Histologi
Keterangan :
: Variabel bebas
: Variabel
tergantung
: Induksi terapi
: Efek terapi
-
2
GnRH (Gonadotropin Relasing Hormone) merupakan hormon yang
diproduksi oleh hipotalamus di otak. GnRH akan merangsang pelepasan FSH dan
LH di hipofisa atau pituitari anterior. FSH (Follicle Stimulating Hormone)
menyebabkan sel-sel granulosa yang terdapat didalam folikel akan cepat menjadi
banyak. Kemudian akan terbentuk ruangan dalam folikel. Folikel ini disebut
folikel de Graaf. Pada sel-sel granulosa di dalam folikel de Graaf akan dihasilkan
estrogen. LH (Luteinizing Hormone) menyebabkan folikel de Graaff pecah pada
proses ovulasi dan akan menjadi corpus luteum (CL). Corpus luteum
mensekresikan progesteron.
Fitoestrogen dalam kedelai memiliki peran yang hampir sama dengan
estrogen yaitu dapat berikatan dengan reseptor estrogen. Fitoestrogen akan terikat
dengan reseptor estrogen di nukleus dan selanjutnya reseptor estrogen mengalami
dimerisasi dan terikat menjadi Estrogen Receptor Elements (ERE) yang terletak
pada promotor gen target. Aktivasi fitoestrogen (isoflavon) dengan reseptor
estrogen akan menyebabkan endogenous estrogen mengalami penghambatan
ikatan dengan reseptor estrogen. Penghambatan ikatan tersebut menyebabkan
kadar estrogen dalam darah meningkat. Estrogen dalam darah yang meningkat
dapat menyebabkan proses feed back negative mechanism terhadap hypothalamus
yang mempengaruhi penurunan sekresi FSH dan LH.
Pada perkembangan uterus secara normal, estrogen akan menyebabkan
proliferasi uterus, terutama proliferasi endometrium. Efek biologis dari estrogen
dimediasi melalui dua jenis reseptor yang dikenal dengan estrogen reseptor alpha
(ERα) dan estrogen reseptor betha (ERβ). ER α memediasi efek proliferasi dan
-
3
sebaliknya ER β memiliki sifat antiproliferasi. ER β memiliki afinitas 20-30 kali
lebih tinggi terhadap fitoestrogen daripada ER α dan sebanding dengan afinitas
estradiol, namun memiliki aktifitas lebih rendah dari estradiol. Tingginya afinitas
ER β dapat menekan tindakan dari ER α. Melalui mekanisme tersebut fitoestrogen
dapat bersaing dengan estradiol menempati reseptor estrogen. Sifat fitoestrogen
sebagai ER antagonis, maka ikatan dengan protein co-regulator yang diaktifkan
adalah co-repressor, sehingga proses transkripsi terhambat. Fitoestrogen dalam
kedelai akan menyebabkan proliferasi uterus menurun dan terjadi perubahan
struktur pada endometrium. Adanya perubahan struktur epitel ini dapat
menyebabkan implantasi tidak melekat erat. Perubahan struktur histologi uterus
disebabkan karena pada lapisan penyusun dinding uterus memiliki reseptor
estrogen.
3.2 Hipotesa Penelitian
Dari rumusan permasalahan, maka hipotesa dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Fitoestrogen dari ekstrak keledai (Glycine max) meningkatkan ekspresi
reseptor estrogen β pada uterus tikus (Rattus norvegicus).
2. Fitoestrogen dari ekstrak keledai (Glycine max) menyebabkan perubahan
histologi pada uterus tikus (Rattus norvegicus).
-
1
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Hewan Universitas
Islam Negeri Maliki Malang, Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya dan Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2017
sampai dengan bulan Mei 2017.
4.2 Sampel Penelitian
Hewan model menggunakan tikus (Rattus novergicus) galur Wistar,
berjenis kelamin betina yang sudah pernah melahirkan dengan berat badan rata-
rata 200 gram. Menurut Kusriningrum (2008), estimasi besaran sampel dihitung
berdasarkan rumus dibawah ini.
t (n-1) ≥ 15
t (n-1) ≥ 15
4 (n-1) ≥ 15
4 n- 4 ≥ 15
4 n ≥ 19
n ≥ 19/4
n = 4, 75
n = 5
Dari perhitungan diatas, maka untuk 4 macam kelompok perlakuan
diperlukan jumlah ulangan paling sedikit 5 kali dalam setiap kelompok perlakuan,
sehingga jumlah hewan coba yang dibutuhkan adalah 20 ekor.
Keterangan :
t = jumlah perlakuan
n = jumlah minimal ulangan
yang diperlukan
-
2
4.3 Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik dengan
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Hewan coba dibagi menjadi
empat kelompok perlakuan (Lampiran 4). Semua tikus selain kelompok kontrol
negatif diberikan ekstrak kedelai selama 40 hari, K adalah kelompok kontrol tanpa
diberi ekstrak kedelai, P1 adalah kelompok tikus diberi ektrak kedelai dosis 25
mg/200g BB, P2 adalah kelompok tikus diberi ektrak kedelai dosis 50 mg/200g
BB dan P3 adalah kelompok tikus diberi ektrak kedelai dosis 75 mg/200g BB
(Lampiran 5). Pengukuran ekspresi reseptor estrogen dan pembuatan histologi
uterus dilakukan post test only.
Tabel 4.1 Rancangan Penelitian
Variabel yang diamati Ulangan
Ekspresi Reseptor Estrogen β dan Histologi Uterus 1 2 3 4 5
Kelompok K (kontrol negatif)
Kelompok P1 (ekstrak kedelai dosis 25 mg/200g BB)
Kelompok P2 (ekstrak kedelai dosis 50 mg/200g BB)
Kelompok P3 (ekstrak kedelai dosis 75 mg/200g BB)
4.4 Variabel Penelitian
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
Variabel bebas : Ekstrak kedelai
Variabel tergantung : Ekspresi Reseptor Estrogen β dan Histologi uterus.
Variabel kendali : Tikus Rattus norvegicus, jenis kelamin, berat badan,
strain, status gestasi, pakan, lingkungan dan air minum.
-
3
4.5 Materi Penelitian
4.5.1 Alat
Alat yang digunakan adalah kandang tikus, labu ukur 10 mL, objek
glass, cover glass, cawan petri, mikro pipet, pipet tetes, spuit, disecting set,
sarung tangan, masker, botol kecil, sonde, pot sampel, eppendorf, refrigrator,
inkubator, toples, shaker digital, penyaring kain, erlenmeyer, evaporator,
mikrotom, tabung reaksi, rak tabung reaksi, kertas tissue, automatic tissue
processor Tissue Tek Xpress x50 dan mikroskop.
4.5.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hewan coba tikus
(Rattus norvegicus) betina strain Wistar yang sudah pernah melahirkan dengan
berat 200 gram, kedelai, ethanol 70%, 80%, 90%, 95%, 96% dan ethanol
absolut, pakan tikus, air minum, alkohol 70%, 80%, 96%, 100%, air, NaCl
Fisiologis, Paraformaldehida (PFA) 10%, Phosphate Baffer Saline (PBS),
paraffin, entelan, xylol, H2O2, antibodi primer dan sekunder reseptor estrogen
β, SA-HRP, DAB dan pewarna hematoxylen eosin.
4.6 Tahapan Penelitian
4.6.1 Persiapan Hewan Coba
Hewan model dibagi dalam empat kelompok perlakuan secara acak.
Hewan model diadaptasikan dalam kandang kelompok selama tujuh hari
sebelum perlakuan. Tikus yang digunakan adalah jenis tikus putih (Rattus
norvegicus) strain Wistar betina dengan berat rata-rata 200g yang sudah pernah
-
4
melahirkan. Jumlah keseluruhan yang digunakan 20 ekor dan dibagi menjadi 4
kelompok perlakuan masing-masing 5 ekor tikus.
Tikus dikandangkan dalam kandang berukuran 50 x 40 x 20 cm, jumlah
kandang disesuaikan dengan jumlah tikus yang digunakan. Kandang terbuat
dari bak plastik dengan tutup dari rangka kawat. Kandang tikus berlokasi pada
tempat yang bebas dari suara ribut dan terjaga dari asap serta polutan lainnya.
Suhu optimum ruangan untuk tikus adalah 22-24oC dan kelembaban udara 50-
60% dengan ventilasi yang cukup.
4.6.2 Pembuatan Ekstrak Etanol Kedelai
Sampel berupa biji kedelai (Glycine max) digiling hingga halus. Serbuk
biji kedelai ditimbang sebanyak 2 kg. Kemudian diberi pelarut ethanol 96%
sebanyak 2 L. Serbuk yang telah dibasahi tersebut dimasukkan ke dalam
toples, diratakan dan ditambahkan pelarut etanol 96% sebanyak 5L. Toples
ditutup dengan rapat selama 24 jam dan dishaker di atas shaker digital rpm 50.
Ekstrak cair disaring dengan penyaring kain dan ditampung dalam erlenmeyer.
Ampas dimasukkan lagi kedalam toples dan ditambahkan 5 L pelarut,
dibiarkan selama 24 jam di atas shaker digital rpm 50. Hasil ekstrak cair
pertama dan kedua dijadikan satu dan diuapkan dengan menggunakan rotary
evaporator. Proses evaporasi dilakukan selama 2 jam. Ekstrak yang dihasilkan,
kemudian diuapkan kembali di atas water bath selama 2 jam.
4.6.3 Pemberian Perlakuan pada Tikus
Tikus betina dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu K (kelompok
kontrol tanpa diberi ekstrak kedelai), P1 (Kelompok tikus diberi ektrak kedelai
-
5
dosis 25 mg/200g BB), P2 (Kelompok tikus diberi ektrak kedelai dosis 50
mg/200g BB) dan P3 (Kelompok tikus diberi ektrak kedelai dosis 75 mg/200g
BB). Pemberian ekstrak kedelai dilakukan dengan cara disonde yaitu 2 mL/
ekor/ hari selama 40 hari. Setelah 40 hari tikus dibedah untuk dilakukan
pengamatan terhadap ekspresi ER β dan histologi uterus.
4.6.4 Pembedahan Hewan Coba
Pengambilan organ uterus tikus (Rattus norvegicus) dilakukan dengan
melakukan pembedahan. Sebelum dilakukan pembedahan tikus di euthanasia
dengan cara dislokasi leher. Alat bedah disiapkan untuk pengambilan organ
uterus. Setelah tikus mati, tikus diletakan pada nampan bedah dan diposisikan
pada ventrodorsal. Selanjutnya dibuka pada bagian abdomen dan diambil organ
uterus kemudian dibagi menjadi dua bagian. Satu bagian uterus dicuci dengan
cairan NaCl fisiologis lalu direndam dalam Phosphat Buffer Saline (PBS). Satu
bagian lainnya dimasukkan kedalam formalin 10%.
4.6.5 Pembuatan Preparat Histologi
Organ difiksasi dengan larutan formalin 10% minimal selama 7 jam
sebelum dilakukan proses pengerjaan. Jaringan dipotong kurang lebih
ketebalan 2-3 mm. Jaringan yang telah dipotong dimasukkan ke dalam kaset
dan diberi kode. Jaringan kemudian diproses dengan alat automatic tissue
processor Tissue Tek Xpress x50 selama 90 menit. Setelah itu, kaset diangkat
dari automatic tissue processor. Tahap selanjutnya adalah proses infiltrasi yang
dilakukan dalam parafin cair dan di-embedding ke dalam blok. Jaringan pada
blok parafin dipotong dengan mikrotom setebal 3-5 mikron. Irisan diletakkan
-
6
pada object glass dan dilakukan inkubasi dalam oven selama 30 menit dengan
suhu 70-80oC. Selanjutnya dilakukan proses deparafinasi dengan menggunakan
2 tabung larutan xylol masing-masing selama 20 menit, dilanjutkan dengan
proses rehidrasi menggunakan alkohol absolut 95%, 90%, 80% dan 70% secara
berurutan masing-masing selama 3 menit. Jaringan kemudian dicuci dengan
aquades selama 15 menit. Jaringan kemudian diwarnai dengan Harris
Hematoksilin selama 10-15 menit lalu dicuci dengan aquades selama 15 menit.
Jaringan dicelupkan pada alkohol 1% sebanyak 2-5 celup dan diwarnai dengan
eosin selama 10-15 menit dan dicuci dengan aquades 15 menit. Preparat
dikeringkan dan dilakukan mounting menggunakan entellan kemudian ditutup
dengan cover glass.
4.6.6 Metode Imunohistokimia
Imunohistokimia adalah suatu metode untuk mendeteksi keberadaan
molekul atau berbagai macam komponen yang terdapat di dalam sel atau
jaringan dengan menggunakan prinsip reaksi antara antigen dengan antibodi.
Metode imunohistokimia berdasarkan pada penggunaan suatu antibodi yang
spesifik yang dilabel dengan ikatan kimia pada suatu zat yang dapat dilihat,
tanpa label itu mempengaruhi kemampuan antibodi untuk membentuk suatu
kompleks dengan antigen yang bersangkutan (Sahertian, 2010). Langkah
pertama yang dilakukan yaitu dengan inkubasi slide di inkubator dengan suhu
370 C selama 24 jam. Proses selanjutnya yaitu deparafinisasi dengan
menggunakan xylol I, 2, 3 masing-masing selama 10 menit. Deparafinisasi
bertujuan untuk menghilangkan atau melarutkan parafin yang terdapat pada
-
7
jaringan. Kemudian rehidrasi dengan direndam kedalam alkohol bertingkat
100%, 90%, 80% masing-masing selama 10 menit dan dicuci dengan aquades
selama 10 menit.
Slide dimasukkan ke dalam freezer suhu 40 C selama 24 jam. Slide
dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali masing-masing 5 menit dan diusap
sekeliling jaringan dengan tissue. Kemudian diinkubasi dengan H2O2 selama
40 menit. H2O2 adalah kromogen enzim yaitu suatu gugus fungsi senyawa
kimiawi yang dapat membentuk senyawa berwarna bila bereaksi dengan
senyawa tertentu. Slide dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali masing-masing 5
menit dan diusap sekeliling jaringan dengan tissue. Lalu diinkubasi antibodi
primer selama 24 jam, antibodi yang digunakan adalah antibodi reseptor
estrogen β. Slide dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali masing-masing 5 menit
dan diusap sekeliling jaringan dengan tissue. Selanjutnya diinkubasi antibodi
sekunder selama 2 jam. Slide dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali masing-
masing 5 menit dan diusap sekeliling jaringan dengan tissue. Diinkubasi
dengan SA-HRP (Strep Avidin Horseradishperoxidase) selama 40 menit.
SA-HRP berfungsi untuk memperkuat ikatan antigen dengan antibodi.
Slide dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali masing-masing 5 menit dan diusap
sekeliling jaringan dengan tissue. Slide dicuci dengan aquades mengalir
sebanyak 2 kali. Kemudian diinkubasi dengan DAB selama 40 menit dan
dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali masing-masing 5 menit dan diusap
sekeliling jaringan dengan tissue. Slide dicounterstaining dengan pewarna
hematoksilin mayer selama 3 menit lalu dicuci dengan air sampai pewarna
-
8
hilang dan dikeringkan. Setelah kering slide ditetesi dengan entellan dan
ditutup dengan coverglass. Antibodi primer bertugas mengenali antigen yang
diidentifikasi pada jaringan (first layer), sedangkan antibodi sekunder akan
berikatan dengan antibodi primer (second layer). Antibodi kedua merupakan
anti-antibodi primer. Dalam pewarnaan imunohistokimia, reaksi positif
ditunjukkan dengan munculnya warna coklat pada bagian sel yang mempunyai
spesifisitas dengan antibodi primer yang digunakan (Sahertian, 2010).
4.6.7 Analisis Data
Pada penelitian ini dilakukan analisis data menggunakan analisis
kuantitatif statistik dan kualitatif deskriptif. Analisis kuantitatif dilakukan
untuk melihat ekspresi reseptor estrogen β dengan menggunakan Immunoratio
dan SPSS kemudian dilakukan uji analysis of variance (ANOVA) yang
dilanjutkan dengan uji Tukey dengan α= 5% untuk mengetahui perbedaan
ragam antar kelompok tikus. Sedangkan untuk analisa data dari pengamatan
histologi uterus digunakan analisis kualitatif deskriptif menggunakan
mikroskop dengan perbesaran 400 x. Pengamatan histologi uterus meliputi
epitel endometrium. Hasilnya dibandingkan dengan histologi uterus normal.
-
1
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pengaruh Pemberian Fitoestrogen Kedelai (Glycine max) terhadap
Ekspresi Reseptor Estrogen β pada Uterus Tikus Putih Betina (Rattus
norvegicus)
Hasil pengecatan ER β dengan metode immunohistokimia dan dihitung
dengan menggunakan software immunoratio pada 5 lapang pandang dengan
pembesaran mikroskop perbesaran 1000x. Sampel dapat dilihat sebagai berikut :
(K) (P1)
(P2) (P3)
Gambar 5.1 Gambaran hasil pewarnaan imunohistokimia pada uterus tikus betina
Keterangan : Hasil pemeriksaan ekspresi ER β uterus tikus metode immunohistokimia
dengan skala 3 µm. Pada bagian stroma endometrium sel yang
mengekspresikan ER β ditandai dengan warna coklat ( ). Tampak ada
perbedaan ekspresi ER β pada kelompok K (tanpa perlakuan), P1, P2 dan
P3.
Hasil pengukuran ekspresi reseptor estrogen β organ uterus pada hewan
coba tikus dianalisis statistik menggunakan Statistical Product of Service Solution
-
2
(SPSS) 22 dengan uji ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Tukey. Hasil uji Anova
One Way pada data ekspresi ER β diperoleh ada perbedaan yang bermakna rerata
ekspresi ER β pada keempat kelompok tikus , hal ini ditunjukkan dengan nilai
p
-
3
menunujukkan tidak ada perbedaan yang bermakna. Hasil tersebut dapat diartikan
bahwa perlakuan pemberian fitoestrogen kedelai (Glycine max) dengan kedua
dosis yang berbeda tersebut mempunyai kemampuan yang sama dalam
meningkatkan ekspresi ER β pada tikus betina (Rattus novergicus).
Berdasarkan pada Tabel 5.1 menunjukkan ada perbedaan yang bermakna
rata-rata ekspresi ER β antara kekompok perlakuan 2 dosis 50mg/ekor (36.22 ±
1.41b) dengan kelompok perlakuan 3 dosis 75mg/ekor (55.26 ± 3.24
c). Pada
kelompok perlakuan 3 menunjukkan peningkatan terhadap kontrol lebih besar
yaitu 77 % jika dibandingkan kelompok perlakuan 1 dan 2, hal ini berarti semakin
besar pemberian fitoestrogen kedelai (Glycine max) maka ekspresi ER β akan
semakin besar pula.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian fitoestrogen kedelai
(Glycine max) dapat meningkatkan ekspresi ER β uterus. Hasil ini sesuai dengan
pendapat Biben (2012) yang menyebutkan bahwa fitoestrogen adalah kelompok
tanaman yang berkhasiat menyerupai hormon estrogen atau dapat berinteraksi
dengan reseptor estrogen. Fitoestrogen merupakan kompetitor aktif untuk reseptor
estrogen, terutama reseptor β (Sitasiwi, 2009). ER β memiliki afinitas 20-30 kali
lebih tinggi terhadap fitoestrogen daripada ER α dan sebanding dengan afinitas
estradiol, namun memiliki aktifitas lebih rendah dari estradiol. Tingginya afinitas
ER β dapat menekan tindakan dari ER α (Khairiah, 2014).
ER α dan ER β mempunyai pola ikatan dengan peptide koaktivator dan
korepresor secara berbeda sehingga efek yang ditimbulkan juga berbeda (Rice and
Whitehead, 2006). ER α memediasi efek proliferasi, sedangkan ER β bersifat
-
4
antiproliferasi. ER β dapat menurunkan transkripsi gen yang diregulasi oleh ER α,
sehingga bersifat antagonis ER α. Dalam proses transkripsi sintesis protein,
kompleks estrogen-reseptor estrogen tidak hanya berikatan pada ERE namun juga
berikatan dengan co-regulator. Co- regulator terdiri dari co-activator yang
berfungsi untuk menginduksi terjadinya proses transkripsi gen dari ikatan
komplek estrogen-reseptor estrogen, sehingga dapat diproduksinya suatu
messanger RNA (mRNA) yang mengakibatkan terjadinya sintesis protein sesuai
dengan karakteritsik hormon sedangkan co-represor akan bekerja sebaliknya
yakni menghambat proses transkripsi gen. Ikatan dengan ER β dapat menginhibisi
transkripsi gen, sehingga proliferasi pada organ akan terhambat (Gruber et al,
2002). Fitoestrogen dalam kedelai akan menyebabkan proliferasi pada lamina
propia endometrium menurun. Pada lamina propria terdapat stroma dan glandula
endometrium. Stroma akan mensekresikan growth factor yang akan menyebabkan
pertumbuhan epitel. Glandula endometrium berfungsi menghasilkan nutrisi untuk
perkembangan zigot. Proliferasi lamina propia yang terganggu akan menyebabkan
pertumbuhan endometrium terhambat dan tidak siap untuk implantasi.
Fitoestrogen memiliki mekanisme kerja serupa dengan estradiol. Estradiol
yang disekresikan ke dalam darah akan berikatan dengan globulin dan albumin
atau dalam bentuk yang bebas dan akan berikatan dengan reseptor estrogen.
Fitoestrogen dapat meniru kerja estrogen tetapi disisi lain juga dapat memblok
kerja estrogen. Fitoestrogen mempunyai aktivitas biologi dan struktur molekul
menyerupai estradiol sehingga dapat berikatan langsung dengan reseptor estrogen
dan berkompetisi dengan estrogen endogen, oleh karenanya fitoestrogen dapat
-
5
memberikan efek estrogenik dan antiestrogenik. Efek yang dihasilkan oleh
fitoestrogen tergantung pada dosis, dapat bertindak sebagai estrogenik pada dosis
rendah dan sebagai antiestrogenik pada dosis tinggi ( Wiyasa, 2008; Kariyil,
2010; Sampey et al, 2011).
5.2 Pengaruh Pemberian Fitoestrogen Kedelai (Glycine max) terhadap
Histologi Uterus Tikus Putih Betina (Rattus norvegicus)
Hasil penelitian dari pemberian fitoestrogen dalam ekstrak kedelai
terhadap gambaran histologi uterus tikus sebagai kandidat kontrasepsi dengan
pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE) disajikan pada Gambar 5.2. Gambaran
histologi uterus tikus (Rattus norvegicus) dilihat dengan perbesaran 400x.
Gambar 5.2 Histologi uterus tikus dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE)
perbesaran 400 X skala 30 µm.
C D
A B
-
6
Keterangan:
(A) Uterus tikus kontrol menunjukkan bentuk epitel endometrium normal yaitu epitel silindris ( ).
(B) Uterus tikus perlakuan dosis 25 mg/ekor ekstrak kedelai menunjukkan epitel endometrium tidak normal yaitu pada epitel bagian bawah endometrium menjadi
lebih rendah ( ) sedangkan pada epitel bagian atas tetap memiliki bentuk epitel
silindris.
(C) Uterus tikus perlakuan dosis 50 mg/ekor ekstrak kedelai menunjukkan epitel endometrium tidak normal yaitu adanya perubahan bentuk epitel menjadi lebih
rendah ( ).
(D) Uterus tikus perlakuan dosis 75 mg/ekor ekstrak kedelai menunjukkan epitel endometrium tidak normal yaitu adanya perubahan bentuk epitel menjadi lebih
rendah ( ).
Hasil histologi kelompok perlakuan menunjukkan epitel endometrium tidak
normal yaitu mengalami perubahan bentuk epitel menjadi lebih rendah. Adanya
perubahan epitel ini bisa menyebabkan implantasi zigot tidak melekat erat. Hal ini
sesuai dengan pendapat Patisaul dan Jefferson (2010), fertilitas tikus betina dapat
terganggu setelah paparan isoflavon (fitoestrogen), kegagalan implantasi
dikarenakan uterus tidak mampu mempertahankan blastosit. Darios et al., (2012)
menyatakan, kebuntingan dapat terjadi apabila struktur epitel endometrium dan
otot-otot penyusun endometrium tidak mengalami perubahan.
Pada persiapan hewan bunting, dinding uterus akan menebal secara
perlahan, terjadi vaskularisasi endometrium, kelenjar endometrium lebih banyak
dan kelenjar akan tumbuh panjang berkelok-kelok (Partodihardjo, 1987). Menurut
Greaves (2007) pada saat bunting sel-sel epitel akan mengalami proliferasi dan
differensiasi, endometrium menebal karena adanya proliferasi stroma, terjadi
akumulasi cairan uterus dan terjadi penebalan miometrium. Pemberian
fitoestrogen kedelai (Glycine max) dengan dosis kronis akan bersifat
antiestrogenik yang akan menyebabkan proses proliferasi lamina propia tidak
terjadi. Pada lamina propria terdapat stroma dan glandula endometrium. Stroma
-
7
akan mensekresikan growth factor yang akan menyebabkan pertumbuhan epitel
dan glandula endometrium berfungsi menghasilkan nutrisi untuk perkembangan
zigot. Proliferasi lamina propia yang terganggu maka akan menyebabkan
pertumbuhan endometrium terhambat dan tidak siap untuk implantasi.
Implantasi adalah proses menempelnya embrio (tahap blastosis) pada
endometrium (dinding rahim) sehingga terjadi hubungan antara selaput ekstrak
embrionik dengan selaput lendir rahim. Berdasarkan proses perlekatan trophoblast
dengan sel epitel endometrium, tikus termasuk tipe implantasi invasif. Implantasi
invasif adalah implantasi dengan blastosis segera melakukan perlekatan dengan
dinding endometrium (Yunanda, 2015). Epitel endometrium harus dalam keadaan
normal yaitu berbentuk epitel selapis silindris agar trophoblast dapat menempel
pada epitel endometrium dengan baik.
Perubahan histologi uterus disebabkan karena pada lapisan penyusun
dinding uterus memiliki reseptor estrogen (Hillisch et al, 2004). Reseptor estrogen
juga bisa terstimulasi oleh bahan lain selain estrogen, yakni oleh fitoestrogen.
Salah satu tanaman yang termasuk dalam fitoestrogen adalah kedelai (Glycine
max) (Ascenzi, 2006). Fitoestrogen mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap
ER β. Afinitas ini akan lebih ditingkatkan bila konsentasi fitoestrogennya dalam
jumlah yang tinggi (Kuiper et al, 1998).
Pada perkembangan uterus secara normal, estrogen berfungsi untuk
proliferasi uterus, terutama pertumbuhan sel epitel dan glandula endometrium
(Suhargo, 2005). Stroma akan mensekresikan growth factor yang berfungsi untuk
pertumbuhan sel epitel endometrium (Cooke et al, 1995).Efek biologis dari
-
8
estrogen dimediasi melalui reseptor estrogen α dan β. Reseptor estrogen α dan β
diaktifkan oleh faktor transkripsi. ER dapat bersifat agonis dan antagonis. ER α
yang berikatan dengan TAF-1 menyebabkan efek agonis dan mengaktifkan co-
activator sehingga transkripsi gen terjadi. Sedangkan ER β yang berikatan dengan
TAF-1 akan menyebabkan efek antagonis sehingga mengaktifkan co-repressor
sehingga transkripsi gen tidak terjadi (Riggs and Hartmann, 2003). Proses
transkripsi yang tidak aktif menyebabkan tidak terjadi sintesa protein yang
diperlukan untuk mitosis sel-sel epitel. Mitosis sel epitel yang tidak terjadi
menyebabkan proliferasi sel epitel tidak terjadi dan epitel endometrium menipis
(Kusmana, 2007). Hal tersebut akan menyebabkan implantasi yang terjadi tidak
melekat erat pada dinding endometrium.
-
1
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Pemberian fitoestrogen kedelai (Glycine max) dengan dosis 75
mg/ekor merupakan dosis efektif untuk meningkatkan ekspresi
reseptor estrogen β tikus betina (Rattus norvegicus). Hal ini
dibuktikan dengan peningkatan signifikan ekspresi reseptor estrogen β
pada kelompok terapi sebanyak 77%.
2. Pemberian fitoestrogen kedelai (Glycine max) dapat menyebabkan
endometrium pada tikus mengalami perubahan bentuk epitel menjadi
lebih rendah. Adanya perubahan struktur epitel ini bisa menyebabkan
implantasi zigot tidak melekat erat.
6.2 saran
Pada penelitian berikutnya sebaiknya dilakukan swab vagina untuk
mendapatkan fase estrus yang sama, agar hasil yang didapatkan lebih
akurat.
-
1
DAFTAR PUSTAKA
Agustini, K. S. Wiryowidagdo, dan D. Kusmana. 2007. Pengaruh Pemberian
Ekstrak Biji Klabet (Trigonella Foenum-Graecum L.) terhadap
Perkembangan Uterus Tikus Putih Betina Galur Wistar Prepubertal. Pusat
Pengkajian dan Penerapan Teknologi Farmasi Dan Medika. Universitas
Indonesia.
Akbar, B. 2010. Tumbuhan dengan Kandungan Senyawa Aktif yang Berpotensi
sebagai Bahan Antifertilitas. Adabia Press. Jakarta.
Amin, M.H.F. Mahendra dan Aulanni’am. 2009. Pengaruh Paparan
Lipopolisakarida pada Rongga Mulut dan Assisted Drainage Therapy
(Adt) terhadap Kadar S-Ige dan Profil Radikal Bebas Pada Tikus Asma.
Seminar Nasional Biologi XX dan Kongres PBI XIV. UIN Maliki Malang
24-25 Juli 2009.
Anita, K. W. Kusworini dan A. Hidajat. 2004. Efek Estrogenik Ekstrak Tokbi
(Pueraria lobata, L) pada Sel Endometrium dan Vagina Tikus (Rattus
novergicus) Pasca Ooferektomi. Fakultas Kedokteran. Universitas
Brawijaya Malang.
Ascenzi, P. A. Bocedi, dan M. Marino. 2006. Structure Function Relationship of
Estrogen Receptor Alpha and Beta: Impact on Human Health. National
Institutes of health. 27(4):299-402
Awoniyi, C.A. D. Robert, D.N. Veeramachaeni, B.S. Hurst, K.E. Tucker and
W.D. Schalff. 1998. Reproductive Sequelae in Female Rats after in Utero
and Neonatal Exposure to the Phytoestrogen Genistein. Fertil. Steril. 70
(3).
Badziad, A. 2003. Endokrinologi Ginekologi. Edisi ke-2. Jakarta, 113-122.
Bjornstrom, L and M. Sjoberg. 2005. Mechanisms of Estrogen Receptor
Signaling: Convergence of Genomic and Nongenomic Actions on Target
Genes. Mol Endocrinol. 19(4): 833-842.
BKKBN. 2015. Laporan Kinerja Instansi Pemerintah 2015. Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.
Christiani, C., P. Tedjo, dan B. Martono. 2014. Analisis Dampak Kepadatan
Penduduk Terhadap Kualitas Hidup Masyarakat Provinsi Jawa Tengah.
Serat Acitya Jurnal Ilmiah. Untag Semarang.
-
2
Cooke, P.L. D.L. Buchanan, D.B. Lubchan and G.R. Cunha. 1995. Mechanism of
estrogen action : lessons from the estrogen receptor knockout Mouse. Biol.
Reprod. 59 : 470 – 475.
Dahlia dan Delly. 2014. Pemberian Ekstrak Teh Putih (Cammelia sinensis) Oral
Mencegah Dislipidemia Pada Tikus (Rattus Norvegicus) Jantan Galur
Wistar yang Diberi Diet Tinggi Lemak [Tesis]. Universitas Udayana.
Denpasar.
Darios, E.S. B. Seitz, and S.W Watts. 2012. Smooth Muslce Pharmacology in the
Isolated Virgin and Pregnant Rat Uterus and Cervix. J of Pharmacol and
Therapeu, 341, 587-596.
Denni, 2012. Definition of Castration and Effect of Age Castration on Animal
Performance, Muscle Characteristics and Meat Quality Traits in 26-
month-old Charolais Streers. Livestock Science. Elsevier.
Dinastiti, B.V. 2016. Pengaruh Pemberian Susu Kedelai Terhadap Ekspresi
Reseptor Estrogen β Uterus Dan Ketebalan Endometrium Pada Masa
Reproduksi Tikus Betina (Rattus norvegicus) [Tesis]. Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya Malang.
Ganong, W. F. 1998. Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-16. EGC. Widjajakusuma
Jakarta
Glover A. and S.J. Assinder. 2006. Acute exposure of adult male rats to dietary
phytoestrogen reduces fecundity and alters epididymal steroid hormone
receptor expression. Jour Endoc. 189: 565-573.
Greaves and Peter. 2007. Histopathology of Preclinical Toxicity Studies 3rd ed.
Leicester. UK.
Gruber, C.J. W. Tsuhugguel, C. Schneeberger, and J.C. Huber. 2002. Production
and Actions of Estrogen. N Engl J Med. 346: pp 340-352.
Guyton, A. C. 2000. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta. EGC. 1283-
1300.
Haibin, W. T. Sussane, X. Huirong, H. Gregory, K.D. Sanjoy and K.D. Sudhansu,
2005. Variation in Commercial Rodent Diets Induces Disparate Molecular
and Physiological Changes in The Mouse Uterus. PNAS. 28 (102) : 9960
– 9965.
Hardi, M. 2010. Efektivitas Pemberian Pupuk N Terhadap Kandungan Protein
Biji Kedelai (Glycine max L. Merril). Fakultas Pertanian. Universitas
Sumatera Utara Medan.
-
3
Herlita, R. Probosari, dan J. Ariyanto. 2015. Perubahan Histologis Uterus Tikus
Putih (Rattus Norvegicus) Galur Wistar: Aktifitas Antifertilitas Ekstrak
Kulit Biji Mete (Anacardium Occidentale L.). Biologi PMIPA. FKIP UNS.
Hernawati. 2009. Perbaikan Kinerja Reproduksi Akibat Pemberian Isoflavon Dari
Tanaman Kedelai. Pendidikan Biologi Fakultas MIPA. Universitas
Pendidikan Indonesia.
Hillisch, A. O. Peters, D. Kosemund, G. Muller, A. Walter, B. Schneider, G.
Reddersen, W. Elger, K.H. Fritzemeier. 2004. Dissecting Physiological
Roles of Estrogen Receptor Alpha and Beta with Potent Selective Ligands
from Structure Based Design. National Institutes of health. 18(7):1599-609
Irwan, A.W. 2006. Budidaya Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merill). Jurusan
Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian. Universitas Padjadjaran Bandung.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Situasi dan Analisis Keluarga Berencana.
InfoDANTIN Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Khairiah, R. 2014. Pengaruh Pemberian Genistein terhadap Ekspresi Reseptor
Estrogen α dan β pada Kultur Sel Endometriosis [Tesis]. Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya. Malang
Krinke, G. J. 2000. The Handbook of Experimental Animals The Laboratory Rat.
Academy Press. New York.
Kuiper, G.G. J.G Lemmen, B. Carlssom, J.C Corton, S.H Safe, P.T Saag, B. Burg,
and J.A Gustafsson. 1998. Interaction of Estrogenic Chemicals and
Phytoestrogens with Estrogen Receptor Beta. National Institutes of health.
139(10):4252-63
Kusmana, D. R. Lestari, Setiorini, A. Dewi, P. Ratri dan Soraya RRR. 2007. Efek
estrogenik ekstrak etanol 70% kunyit (Curcuma domestica Val.) terhadap
mencit (Mus musculus L.) betina yang diovariektomi. Makara Sains
11(2):90-97.
Kusriningrum, R.S. 2008. Buku Ajar Perancangan Percobaan. Fakultas
kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Dani Abadi. Surabaya
Kusumawati, D. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta
Manurung, E.S. 2014. Ekspresi Imunohistokimia Aromatase P450 Pada
Endometrium Ektopik Penderita Endometriosis Dibandingkan
-
4
Endometrium Normal [Tesis]. Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera
Utara.
McCartney, C.A, and K.E. Mate, 1999 Cloning and characterisation of a zona
pellucida 3 cDNA from a marsupial. the brushtail possum
Men