UJI BIOKOMPATIBILITAS RESPON IMUN AKUT KULIT...
Transcript of UJI BIOKOMPATIBILITAS RESPON IMUN AKUT KULIT...
UJI BIOKOMPATIBILITAS RESPON IMUN AKUT KULIT
XENOGRAFT ASELULER YANG DIKOMBINASIKAN
DENGAN PRP TERHADAP GAMBARAN MATRIKS
EKSTRASELULER DAN EKSPRESI IL-1β PADA
DAERAH IMPLAN DI Rattus norvegicus
SKRIPSI
Oleh :
KINANTHI AZ ZAHRA
135130107111036
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
i
UJI BIOKOMPATIBILITAS RESPON IMUN AKUT KULIT
XENOGRAFT ASELULER YANG DIKOMBINASIKAN
DENGAN PRP TERHADAP GAMBARAN MATRIKS
EKSTRASELULER DAN EKSPRESI IL-1β PADA
DAERAH IMPLAN DI Rattus norvegicus
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
Oleh :
KINANTHI AZ ZAHRA
135130107111036
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
ii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
Uji Biokompatibilitas Respon Imun Akut Kulit Xenograft Aseluler yang
Dikombinasikan dengan PRP terhadap Gambaran
Matriks Ekstraseluler dan Ekspresi IL-1β pada
Daerah Implan di Rattus norvegicus
Oleh:
KINANTHI AZ ZAHRA
135130107111036
Setelah dipertahankan di depan Majelis Penguji
pada tanggal 15 Agustus 2017
dan dinyatakan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
Pembimbing I
Dr. Agung P. W. Marhendra, M. Si
NIP. 19650616 199111 1 001
Pembimbing II
drh. Herlina Pratiwi, M. Si
NIP. 19870518 201012 2 010
Mengetahui,
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya
Prof. Dr. Aulanni’am, drh., DES
NIP. 19600903 198802 2 001
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Kinanthi Az Zahra
NIM : 135130107111036
Program Studi : Pendidikan Dokter Hewan
Penulis Skripsi berjudul :
Uji Biokompatibilitas Respon Imun Akut Kulit Xenograft Aseluler yang
Dikombinasikan dengan PRP terhadap Gambaran Matriks Ekstraseluler dan
Ekspresi IL-1β pada Daerah Implan di Rattus norvegicus
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Isi dari skripsi yang saya buat adalah benar-benar karya saya sendiri dan tidak
menjiplak karya orang lain, selain nama-nama yang termaktub di isi dan
tertulis di daftar pustaka dalam skripsi ini.
2. Apabila dikemudian hari ternyata skripsi yang saya tulis terbukti hasil
jiplakan, maka saya bersedia menanggung segala resiko yang akan saya
terima.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala kesadaran.
Malang, 15 Agustus 2017
Yang menyatakan,
(Kinanthi Az Zahra)
NIM. 135130107111036
iv
Uji Biokompatibilitas Respon Imun Akut Kulit Xenograft Aseluler yang
Dikombinasikan dengan terhadap Gambaran Matriks Ekstraseluler
dan Ekspresi IL-1β pada Daerah Implan di Rattus norvegicus
ABSTRAK
Scaffold merupakan komponen penting dalam tissue engineering. Scaffold
dapat diperoleh dari jaringan kulit hewan ternak (xenograft) seperti babi, sapi,
domba, dan kambing. Scaffold ECM kulit kambing dikombinasikan dengan
growth factor, berupa PRP yang mengandung banyak growth factor seperti
VEGF, PDGF, IGF-1, dan TGF-β yang berfungsi dalam perbaikan jaringan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui biokompatibilitas scaffold
yang dikombinasikan dengan PRP terhadap ekspresi IL-1β dan gambaran matriks
ekstraseluler pada daerah implan. Penelitian ini menggunakan 4 kelompok tikus
(Rattus norvegicus) jantan berumur 3 bulan dengan berat 150-200 gram, yaitu
kelompok kontrol negatif, kelompok yang diimplan dengan scaffold tanpa PRP,
kelompok yang diimplan dengan PRP dan kelompok yang diimplan dengan
scaffold yang dikombinasi PRP. Hasil yang diamati berupa ekspresi IL-1β dan
histopatologi matriks ekstraseluler daerah implan. Pengamatan ekspresi IL-1β
dilakukan dengan metode imunohistokimia sedangkan histopatologi matriks
ekstraseluler menggunakan pewarnaan Mallory Azan. Analisa data dilakukan
secara kualitatif untuk preparat histologi dan secara kuantitatif untuk ekspresi IL-
1β dengan analisis ragam ANOVA (Analysis of Variance) dengan signifikansi
α=0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan implantasi scaffold yang
dikombinasikan PRP memberikan pengaruh signifikan (P<0,05) yaitu peningkatan
ekspresi IL-1 β dan mampu menumbuhkan matriks ektraselular baru pada area
insisi. Kesimpulan dari penelitian ini adalah scaffold xenograft yang dikombinasi
PRP yang diimplankan pada subkutan tikus putih meningkatkan ekspresi IL-1 β
dan mampu menimbulkan perbaikan jaringan dengan membentuk matriks
ekstraseluler baru pada area insisi.
Kata kunci : Platelet Rich Plasma, Scaffold, Matriks ekstraseluer, IL-1β.
v
Biocompatibility Test of Skin Xenograft Acellular Combined with PRP in
Acute Immune Response for Expression of IL-1β and Illustration of
Extracellular Matrix in Implant Area of Rattus norvegicus
ABSTRACT
Scaffold is an important component in tissue engineering. The scaffold can
be derived from animal skin tissue (xenograft). Scaffold ECM derived from goat’s
skin that combined with PRP that contain many growth factor such as VEGF,
PDGF, IGF-1 and TGF-β has potential function in tissue repair. The purpose of
this study was to determine the biocompatibility of scaffold derived from goat’s
skin combined with the PRP on the expression of IL-1β and illustration of the
extracellular matrix in the implant area. This study used 4 groups of male rats
Rattus norvegicus 3 month old weighing about 150-200 grams. The results
observed in the form of expression of IL-1β and histopathology of the
extracellular matrix of implant area. Observations of the IL-1β expression by
immunohistochemical methods while the illustration of extracellular matrix
stained with Mallory Azan. The data were analyzed qualitatively for histopatholgy
changes in extracelullar matrix and quantitatively for the expression of IL-1β by
analysis of variance ANOVA (Analysis of Variance) with significance α = 0,05.
The results showed that implantation of scaffold combined with PRP gave
significant effect to the increased expresion of IL-1 β and capable to growth new
extracellular matrix in the area of incision. The conclusion of this study were
implanted of scaffold that combined with PRP in subcutaneos of rats increased
expression of IL-1 β and was able to cause tissue repair by forming new
extracellullar matrix in the area of incision.
Keywords : Platelet Rich Plasma, Scaffold, Extracellular Matrix, IL-1β.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah–Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Uji
Biokompatibilitas Respon Imun Akut Kulit Xenograft Aseluler yang
Dikombinasikan dengan PRP terhadap Gambaran Matriks Ekstraseluler dan
Ekspresi IL-1 β pada Daerah Implan di Rattus norvegicus”.
Penulis mengucapkan terima kasih dengan rasa hormat kepada segenap
pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam
penyusunan Skripsi ini. Ucapan terimakasih terutama penulis sampaikan kepada:
1. Dr. Agung Pramana Warih Marhendra, M. Si, selaku dosen pembimbing 1
atas segala bantuan, kesempatan, bimbingan, arahan serta dukungan yang
diberikan kepada penulis
2. drh. Herlina Pratiwi, M. Si, selaku dosen pembimbing 2 atas segala bantuan,
kesempatan, bimbingan, arahan serta dukungan yang diberikan kepada
penulis.
3. drh. Fajar Shodiq Permata, M. Biotech, selaku dosen penguji atas saran,
masukan, koreksi serta perbaikan yang diberikan kepada penulis.
4. drh. Indah Amalia Amri, M. Si, selaku dosen penguji atas saran, masukan,
koreksi serta perbaikan yang diberikan kepada penulis.
5. Prof. Dr. Aulanni’am, drh., DES selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya atas kepemimpinan dan dukungan demi kemajuan FKH
UB.
6. Secara khusus penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada seluruh
keluarga besar, khususnya kedua orang tua Ayah dan Ibunda yang telah
memberikan dukungan moral maupun materiil, serta doa dan kasih sayang,
serta terimakasih kepada saudara tercinta Mbak Afifah, Luth, Mbak Ida dan
Bani Guritno yang selalu memberikan motivasi, semangat dan inspirasi
kepada penulis selama belajar di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Brawijaya Malang.
vii
7. Nurmaulida Hasanah, Resti Vanda Arantika, dan Dewi Lutfiana rekan
seperjuangan dalam kelompok penelitian atas kerjasama, kebersamaan,
dukungan dan waktunya selama penelitian ini berlangsung.
8. Seluruh teman-teman CAVITAS dan SIXSENSE yang senantiasa memberi
motivasi, semangat, inspirasi, bantuan, kebersamaan, dan keceriaan.
9. Kepada seluruh staf Laboratorium atas segala bantuannya dalam penelitian
ini.
10. Seluruh pihak lain yang telah membantu penulis dalam penyelesaian penulisan
Skripsi ini yang tidak mengkin penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa penulisan Skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak sangat
diharapkan demi penyempurnaan selanjutnya.
Malang, 15 Agustus 2017
Kinanthi Az Zahra
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................... iv
ABSTRACT ................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xii
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ............................................. xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 3
1.3 Batasan Masalah ........................................................................... 4
1.4 Tujuan Penelitian .......................................................................... 4
1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................ 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 6
2.1 Struktur Kulit ................................................................................ 7
2.2 Proses Penyembuhan Luka ............................................................ 7
2.2.1 Fase Hemostasis/ Koagulasi................................................. 7
2.2.2 Fase Inflamasi ...................................................................... 7
2.2.3 Fase Proliferasi ..................................................................... 9
2.2.4 Fase Remodelling ................................................................. 9
2.3 Scaffold Xenograft ........................................................................ 10
2.3.1 Xenograft ............................................................................. 10
2.3.2 Matriks Ekstraseluler ........................................................... 11
2.4 Platelet Rich Plasma Allograft ..................................................... 13
2.5 Respon Imun Penolakan Transplantasi ........................................ 15
2.6 Sitokin Interleukin-1 ..................................................................... 18
2.7 Deselularisasi ................................................................................ 20
2.8 Tikus Putih .................................................................................... 21
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESA PENELITIAN ........ 22
3.1 Kerangka Konsep ......................................................................... 22
3.2 Hipotesa Penelitian ....................................................................... 25
BAB 4 METODE PENELITIAN ................................................................ 26
4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................... 26
4.2 Alat dan Bahan .............................................................................. 26
4.2.1 Alat Penelitian ...................................................................... 26
4.2.2 Bahan Penelitian .................................................................. 27
4.3 Tahapan Penelitian ........................................................................ 27
ix
4.3.1 Penetapan Sampel Penelitian ............................................... 27
4.3.2 Rancangan Penelitian ........................................................... 28
4.3.3 Variabel Penelitian .............................................................. 29
4.4 Prosedur Penelitian ........................................................................ 30
4.4.1 Persiapan Hewan Coba ........................................................ 30
4.4.2 Preparasi dan Koleksi Sampel .............................................. 31
4.4.3 Deselularisasi Kulit Kambing ............................................. 31
4.4.4 Penyiapan Platelet Rich Plasma .......................................... 31
4.4.5 Uji Biokompabilitas in vivo (Implantasi Subkutan Tikus) ... 32
4.4.6 Pembuatan Preparat Histopatologi Metode Paraffin ........... 33
4.4.7 Metode Pewarnaan Mallory Azan ........................................ 34
4.4.8 Deteksi Ekspresi IL-1β dengan Metode Imunohistokimia .. 34
4.5 Analisa Data .................................................................................. 36
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 37
5.1 Ekspresi Interleukin-1 β ................................................................ 39
5.2 Gambaran Matriks Ekstraseluler ................................................... 43
BAB 6 PENUTUP ........................................................................................ 48
6.1 Kesimpulan ................................................................................... 48
6.2 Saran ............................................................................................. 48
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 49
LAMPIRAN .................................................................................................. 54
x
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1 Karakteristik tipe-tipe penolakan jarigan transplan ............................. 16
4.1 Rancangan kelompok penelitian .......................................................... 27
5.1 Ekspresi IL-1 β preparat Histopatologi Kulit Tikus ............................ 41
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Histologi kulit ventral abdomen normal tikus ..................................... 6
2.2 Struktur molekul kolagen tipe I. ........................................................... 13
2.4 Mekanisme pengenalan antigen direct dan indirect ............................. 17
2.5 Mekanisme penolakan jaringan transplan ............................................ 18
3.1 Kerangka konsep penelitian.................................................................. 22
5.1 Gambaran makroskopis kulit kambing ................................................. 37
5.2 Gambaran makroskopik sampel PRP (Platelet Rich Plasma) yang
telah diaktivasi menggunakan kalsium klorida (CaCl2) ...................... 39
5.3 Gambaran histopatologi pewarnaan Imunohistokimia (IHK) IL-1β
pasca implantasi di jaringan kulit tikus Rattus norvegicus dengan
perbesaran lensa objektif 40x ............................................................... 40
5.4 Histologi kulit normal pewarnaan Mallory Azan perbesaran lensa
objektif 4x ............................................................................................. 43
5. 5 Gambaran histopatologi pewarnaan Mallory Azan kulit tikus
kelompok perlakuan implantasi ............................................................ 44
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Sertifikat Keterangan Laik Etik ............................................................ 55
2. Diagram Alir Tahapan Penelitian ......................................................... 56
3. Pembuatan Larutan PBS ....................................................................... 57
4. Pembuatan 1 Liter Larutan Pencucian .................................................. 58
5. Pembuatan Larutan Deselularisasi sebanyak 500 ml ........................... 58
6. Dosis Ketamin dan Xylazine ................................................................. 59
7. Pembuatan Scaffold ............................................................................. 59
8. Gambaran Mikroskopis Kulit Kambing ............................................... 60
9 Penyiapan PRP .................................................................................... 61
10. Aktivasi PRP Menggunakan CaCl2 ...................................................... 61
11. Laparatomi dan Implantasi Scaffold Xenograft dan PRP ..................... 62
12. Gambaran Makroskopis Luka .............................................................. 63
13. Pembuatan Preparat .............................................................................. 63
14. Pembuatan Mallory Azan ..................................................................... 64
15. Pewarnaan IHK .................................................................................... 65
16. Tabel Ekspresi IL-1β ............................................................................ 66
17. Hasil Uji Statitika Ekspresi IL-1β ........................................................ 67
xiii
DAFTAR ISTILAH DAN LAMBANG
Simbol/ Singkatan Keterangan
% persen
µl microliter oC derajat celcius
ANOVA Analysis of Variance
APC Antigen Presenting Cell
bFGF basic Fibroblast Growth factor
CaCl2 Kalsium klorida
cm centimeter
DAB Diaminobenzidine
ECGF Epithelial Cell Growth Factor
ECM Extracellular matrix
EDTA Ethylene Diamine Tetraacetic Acid
Ff Fibrinogen
Fn Fibronectin
HE Hematoxylin-Eosin
HGF Hepatocyte Growth Factor
HLA Human Leucocyte Antigen
HRP Horse Redish Peroxidase
IGF Insulin Like Growth Factor
IHK Imunohistokimia
IL-1β Interleukin-1 beta
kg BB kilogram berat badan
MHC Major Histocompability Complex
MMP Matrix Metalloproteinase
ml mililiter
NF-κB Nuclear Factor kappa-B
Oc Osteocalcin
On Osteonectin
PBS Phosphate Buffer Saline
PDAF Platelet-derived Angiogenesis Factor
PDEGF Platelet-derived Endothelial Growth
PDGF Platelet-Derived Growth Factor
Pen-Strep Penisilin-Streptomisin
PF4 Platelet Factor 4
PRP Platelet Rich Plasma
SDS Sodium Dodecyl Sulfate
TGF-β Transforming Growth Factor-β
TSP-1 Thrombospondin-1
VEGF Vascular Endothelial Growth Factor
Vn Vitronectin
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini penggunaan metode tissue engineering menjadi penting dan
menarik di bidang medis. Pada kasus transplantasi organ atau jaringan, muncul
berbagai masalah seperti terbatasnya kesediaan organ atau jaringan dan terjadinya
imunorejeksi. Tissue engineering sebagai alternatif bertujuan untuk meregenarasi
jaringan yang rusak, justru menggantinya dengan mengembangkan substitusi
biologis yang memulihkan, memelihara atau meningkatkan fungsi jaringan. Sel,
scaffold dan growth-stimulating signals umumnya disebut sebagai triad tissue
engineering, kunci dari komponen tissue engineering. Scaffold biasanya dibuat
dari biomaterial polimer, memberikan dukungan struktural untuk perlekatan sel
dan perkembangan jaringan selanjutnya (Chan dan Leong, 2008).
Penggunaan scaffold biologis semakin meningkat, terutama digunakan
dalam berbagai prosedur operasi antara lain bedah rekonstruksi jaringan
musculotendinous, kulit, kardiovaskular, gastrointestinal, dan saluran kemih
bagian bawah. Hal ini disebabkan karena scaffold sintetik yang banyak digunakan
sebelumnya terbatas dalam hal biokompatibilitas dan memicu induksi respon
inflamasi yang kuat. Scaffold biologis terdiri dari matriks ekstraseluler (ECM)
yang biasanya berasal dari proses yang melibatkan deselularisasi jaringan atau
organ (Badylak dan Gilbert, 2008).
Menurut Badylak dan Gilbert (2008), scaffold biologis berasal dari
spesies babi, sapi, kuda, dan manusia. Kulit hewan ternak yang berasal dari sapi,
2
domba atau kambing merupakan produk limbah ternak yang banyak dan belum
banyak difungsikan sebagai scaffold. Sebelumnya kulit babi aseluler telah
digunakan dalam pengobatan luka bakar pada anak-anak dan menunjukkan
biokompatibilitas yang tinggi. Kelemahan dari produk babi adalah
penggunaannya yang diperdebatkan karena sebagian besar penduduk Indonesia
adalah muslim yang menganggap semua produk dari babi haram. Oleh karena itu,
perlu mencari alternatif hewan lain sebagai sumber biomaterial scaffold. Populasi
hewan ternak kambing di Indonesia tahun 2014-2015 jumlahnya lebih banyak
daripada populasi ternak sapi, domba, dan babi, sehingga scaffold yang berasal
dari kambing di Indonesia ketersediaannya lebih melimpah apabila dibandingkan
dengan scaffold yang bersumber dari hewan ternak lainnya. Selain itu komponen
matriks ekstraseluler kolagen antara spesies mamalia hampir sama (Ikada, 2006),
sehingga kambing berpotensi sebagai sumber scaffold.
Tantangan dalam tissue engineering penggunaan scaffold xenograft yaitu
terjadinya respon imun penolakan yang disebabkan oleh adanya antigen. Antigen
seluler xenogeneic dan allogeneic dikenali sebagai benda asing oleh hospes dan
menghasilkan respon inflamasi yang merugikan atau imunorejeksi (Badylak et al.,
2009). Scaffold xenograft yang akan ditransplantasikan perlu dilakukan
deselularisasi untuk mencegah terjadinya respon imun penolakan dan
menghasilkan jaringan aseluler.
Saat ini dalam ilmu kedokteran telah dikembangkan suatu metode untuk
mempercepat penyembuhan luka pada bidang bedah ortopedi salah satunya yaitu
aplikasi PRP. Platelet Rich Plasma (PRP) merupakan sekumpulan platelet
3
dengan volume kecil plasma yang dipanen dari darah. Platelet rich plasma
mempercepat regenerasi endotelial, epitelial, dan epidermal, menstimulasi
angiogenesis, meningkatkan sintesis kolagen, dan mendorong penyembuhan
jaringan. Platelet Rich Plasma (PRP) memicu perbaikan luka dengan melepas
growth factor bertindak secara lokal melalui pelepasan α-granul. Growth factor
yang terkandung dalam α-granul antara lain PDGF, VEGF, TGF-β, IGF, dan EGF
(Lacci dan Dardik, 2010).
Peran scaffold yang dikombinasikan dengan PRP adalah sebagai
kerangka dan PRP berperan sebagai growth factor yang diharapkan mempercepat
perbaikan jaringan. Penambahan PRP dianggap mampu mempercepat proses
regenerasi jaringan yang lebih cepat apabila dibandingkan tanpa penambahan
PRP, namun belum diketahui efeknya terhadap degradasi scaffold. Kandungan
VEGF dan IGF-1 dalam PRP mempercepat angiogenesis, serta PDGF dan TGF-β
dalam PRP berfungsi sebagai kemoatraktan dan aktivator neutrofil dan makrofag
yang berperan dalam regenerasi jaringan.
Scaffold yang dikombinasikan dengan PRP sebelum diaplikasikan perlu
dilakukan uji biokompatibilitas. Biokompatibilitas merupakan kemampuan suatu
bahan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat bahan tersebut
diletakkan atau ditanamkan, tidak membahayakan tubuh, dan non toksik. Uji
biokompatibilitas dilakukan dengan melihat respon imun akut berupa ekspresi IL-
1β dan gambaran histopatologi matriks ekstraseluler (ECM) di kulit. Interleukin-
1β merupakan merupakan sitokin mediator inflamasi pada hospes yang akan
meyebabkan mobilisasi sel radang ke daerah implantasi untuk proses regenerasi
4
jaringan yang terluka. Ekspresi IL-1β dapat diamati dengan metode
imunohistokimia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh scaffold kulit kambing terdeselularisasi yang
dikombinasikan dengan PRP terhadap ekspresi Interleukin-1 beta (IL-1β)
di kulit tikus pada uji biokompatibilitas akut?
2. Bagaimana pengaruh scaffold kulit kambing terdeselularisasi yang
dikombinasikan dengan PRP terhadap gambaran matriks ekstraseluler di
kulit tikus pada uji biokompatibilitas akut?
1.3 Batasan Masalah
Batasan masalah pada penelitian ini adalah :
1. Hewan coba yang digunakan yaitu tikus putih (Rattus norvegicus) galur
wistar jantan berusia tiga bulan, sehat dengan berat tubuh sekitar 150-200
gram yang telah mendapat sertifikasi laik etik dari Komisi Etik Penelitian
Universitas Brawijaya No: 498-KEP-UB.
2. Jaringan buatan yang digunakan yaitu berupa jaringan kulit kambing yang
telah dideselularisasi menggunakan SDS 1% dan EDTA 0,1% (Permata,
2013).
3. Platelet Rich Plasma (PRP) yang digunakan yaitu PRP allograft.
4. Tikus pada penelitian ini dilakukan implantasi kulit xenograft yang
dikombinasikan dengan PRP pada daerah subkutan bagian abdomen.
5
5. Pengamatan dilakukan dengan melihat ekspresi IL-1β dengan metode
imunohistokimia dan gambaran matriks ekstraseluler di kulit tikus Rattus
norvegicus dengan pewarnaan Mallory Azan.
1.4 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh scaffold kulit kambing terdeselularisasi yang
dikombinasikan dengan PRP terhadap ekspresi Interleukin-1 beta (IL-1β)
di kulit tikus pada uji biokompatibilitas akut.
2. Mengetahui pengaruh scaffold kulit kambing terdeselularisasi yang
dikombinasikan dengan PRP terhadap gambaran matriks ekstraseluler di
kulit tikus pada uji biokompatibilitas akut.
1.5 Manfaat
Uji biokompatibilitas ini dilakukan untuk melihat pengaruh scaffold
xenograft yang dihasilkan dari proses deselularisasi kulit kambing menggunakan
SDS 1% dan EDTA 0,1% yang telah dikombinasikan dengan PRP allograft
terhadap ekspresi IL-1β dan gambaran matriks ekstraseluler di kulit tikus Rattus
norvegicus.
6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Struktur Kulit
Kulit merupakan organ terbesar pada tubuh, yang memiliki fungsi sebagai
proteksi, sensasi, termoregulasi, dan fungsi metabolik. Kulit memiliki tiga lapisan
utama yaitu epidermis, dermis, dan subkutis atau hipodermis (Young et al., 2006).
Epidermis terdiri dari epitel skuamus berlapis berkeratin dan juga terdiri dari 3
tipe sel : melanosit, sel langerhan, dan sel Merkel. Epidermis terdiri atas 5 lapisan
yaitu, stratum basal (stratum germinativum), stratum spinosum, stratum
granulosum, stratum lusidum, dan stratum korneum. Dermis merupakan jaringan
ikat yang menyokong epidermis dan mengikatnya pada jaringan subkutan
(hipodermis). Lapisan jaringan subkutan terdiri dari jaringan ikat longgar.
Gambar 2.1 Histologi kulit ventral abdomen normal tikus (Parker dan Picut,
2016).
Keterangan: E : epidermis, SD : superfisial dermis, DD : deep
dermis, PC : muskulus panniculus carnosus pewarnaan H&E
Batang rambut
Folikel (Fase anagen)
Folikel fase developmental
Glandula sebaseus
7
2.2 Proses Kesembuhan Luka
Luka yang diakibatkan karena trauma akan mengalami proses
peyembuhan yang dibagi menjadi 4 fase, yaitu fase hemostasis atau koagulasi,
fase inflamasi, fase proliferatif, dan fase remodelling atau maturasi jaringan parut.
Keempat fase overlap selama proses penyembuhan.
2.2.1 Fase Hemostasis atau Koagulasi
Segera setelah injury, koagulasi dan hemostasis terjadi pada luka.
Mekanisme ini bertujuan untuk mencegah exanguination. Selain itu
menyediakan matriks untuk invasi sel yang diperlukan untuk fase
penyembuhan selanjutnya (Velnar et al., 2009). Proses koagulasi
megaktifkan trombin yang akan mengubah fibrinogen menjadi fibrin,
kemudian mengalami polimerisasi membentuk gumpalan stabil (fibrin
clot). Fibrin clot menyediakan provisional matriks luka, dimana fibroblas
dan sel vaskular endotelial akan bermigrasi. Platelet yang teragregasi
mengalami degranulasi dan melepas kemoatraktan sel inflamasi serta
sejumlah protein terlarut meliputi PDGF, IGF-1, EGF, FGF, dan TGF-β.
Fungsi growth factor ini adalah untuk menstimulasi pertumbuhan dan
proliferasi sel seperti keratinosit dan fibroblas serta mendorong migrasi sel
ke luka dan sel lain seperti makrofag (Granick dan Leot, 2012).
2.2.2 Fase Inflamasi
Setelah fase hemostasis, diikuti oleh fase inflamasi yang bertujuan
membangun barrier imun terhadap invasi mikroorganisme (Velnar et al.,
2009). Pelepasan growth factor dari platelet bertanggung jawab untuk
8
menimbulkan vasodilatasi dan peningkatan aliran darah pada tempat
injury. Permeabilitas vaskular juga meningkat, sehingga terjadi influks sel
fagosit (makrofag), PMN (neutrofil), sel mast, komplemen dan antibodi.
Neutrofil merupakan sel inflamatori pertama yang merespon. Neutrofil
mulai tertarik ke tempat luka dalam 24-36 jam setelah luka oleh agen
kemoatraktif TGF-β, komplemen seperti C3a dan C5a, dan peptida
formylmethionyl yang dipoduksi bakteri dan produk platelet. Peran utama
neutrofil adalah memfagosit dan membunuh bakteri, dengan menghasilkan
molekul reactive oxygen. Neutrofil juga melepaskan protease yang
mendegradasi dan mencerna komponen yang rusak pada ECM sehingga
molekul ECM yang baru disintesis selama fase perbaikan luka dapat
berinteraksi secara tepat dengan komponen pada tepi luka. Neutrofil juga
melepaskan mediator inflamasi seperti TNF-α dan IL-1, yang merekrut sel
inflamasi lebih lanjut, fibroblas, dan sel epitelial (Granick dan Leot, 2012).
Pada 48-72 jam setelah injury, makrofag muncul pada luka dan
melanjutkan proses fagositosis (Velnar et al., 2009). Makrofag
memediasi transisi fase inflamasi ke fase proliferasi dengan mensekresikan
growth factor dan sitokin tambahan meliputi TNF-α, TGF-α, PDGF, IL-1,
IL-6, IGF-1, HB-EGF, bFGF, dan TGF-β. Fibroblas dan keratinosit ditarik
ke luka oleh growth factor tersebut dan melepaskan sitokin (Granick dan
Leot, 2012).
9
2.2.3 Fase Proliferatif
Fase proliferatif penyembuhan luka biasanya dimulai dalam 2
sampai 3 hari setelah injury dan dapat berlangsung selama 3 minggu.
Pada fase ini fokus pada pembentukan jaringan baru untuk mengisi bagian
luka. Sel fibroblas adalah sel yang berperan penting pada fase ini.
Fibroblas adalah sel jaringan ikat yang mensintesis dan mensekresi
kolagen, proteoglikan, dan glikoprotein yang diperlukan dalam
penyembuhan luka. Fibroblas juga menghasilkan growth factor yang
mendorong angiogenesis dan proliferasi serta migrasi sel endotelial.
Komponen akhir dari fase proliferasi adalah epitelialisasi, yaitu migrasi,
proliferasi, dan diferensiasi sel epitel di tepi luka untuk membentuk lapisan
permukaan baru yang serupa dengan yang hancur akibat injury (Porth,
2011).
2.2.4 Fase Remodelling
Fase remodelling adalah fase akhir dari penyembuhan luka dan fase
ini dapat berlangsung selama 6 bulan atau lebih. Pada awalnya tipe
kolagen III yang melimpah pada jaringan granulasi digantikan oleh
kolagen tipe I yang lebih kuat. Dengan kata lain, terjadi remodelling
jaringan parut terus menerus dengan sintesis kolagen oleh fibroblas dan
lisis oleh enzim kolagenase secara bersamaan. Sebagai hasil dari dua
proses ini, arsitektur bekas luka menjadi reorientasi untuk meningkatkan
kekuatan tarik pada luka (Porth, 2011).
10
2.3 Scaffold Xenograft
Scaffold merupakan komponen penting dalam aplikasi tissue engineering.
Konsep kontemporer scaffold pada tissue engineering adalah untuk meniru fungsi
dari ECM asli paling tidak separuhnya. Kriteria scaffold untuk tissue engineering
adalah scaffold harus biokompatibel. Struktur scaffold biokompatibel
menyediakan lingkungan 3D yang mendukung pelekatan dan proliferasi sel.
Selain itu scaffold harus terbuat dari material biokompatibel, degradable,
nontoksik dan berpori yang memungkinkan difusi nutrisi, oksigen, dan waste
product (Le et al., 2013).
Saat ini scaffold bisa dibuat dari bahan biomaterial sintetis maupun alami,
juga dapat berasal dari jaringan allogeneic atau xenogeneic. Jaringan dari
allogeneic atau xenogeneic kemudian diproses menjadi ECM aseluler melalui
deselularisasi. Kelebihan utama dari pendekatan ini adalah sifat biologi dan
mekanisnya paling mirip dengan ECM alam. Selain itu, memiliki
biokompatibilitas yang baik dan growth factor yang dipertahakan dalam matriks
yang terdeselularisasi selanjutnya dapat memfasilitasi remodelling dan
pertumbuhan sel (Chan dan Leong, 2008).
2.2.1 Xenograft
Xenotransplantation didefinisikan dalam PHS Guideline dan FDA
Guidance sebagai prosedur yang melibatkan transplantasi, implantasi, atau
infusi sel hidup, jaringan, atau organ ke manusia penerima yang bersumber
dari non-human animal atau cairan tubuh, sel, jaringan, atau organ
manusia yang memiliki kontak ex vivo dengan sel, jaringan atau organ
11
hidup non-human animal. Produk xenotransplantation didefinisikan
sebagai sel, jaringan, atau organ hidup yang digunakan dalam
xenotransplantation (Atala et al., 2008). Jaringan xenograft berasal dari
spesies yang berbeda. Kekuatan respon imun resipien terhadap transplantai
sebagian besar bergantung pada derajat kemiripan genetik antara donor
dan penerima (Chandak dan Callaghan, 2014). Hal ini berhubungan
dengan adanya MHC (Major Histocompability Complex). Molekul MHC
memiliki peranan yang penting dalam respon imun normal terhadap
antigen asing (Kresno, 2013). Oleh karena itu dilakukan proses
deselularisasi yang ditujukan utuk menghilangkan respon imun tehadap
jaringan dan organ xenogeneic (Wong dan Griffiths, 2014).
2.2.2 Matriks Ekstraseluler
Matriks ekstraseluler (ECM) merupakan komponen non seluler
yang ada dalam semua jaringan dan organ, dan bukan hanya memberikan
scaffolding fisik tetapi juga menginisiasi sinyal biokimia dan biomekanik
yang diperlukan untuk morfogenesis, diferensiasi dan hemostasis jaringan
(Frantz et al., 2010). Matriks ekstraseluler (ECM) merupakan anyaman
glikoprotein, proteoglikan dan glikosaminoglikan yang memberi dukungan
adhesi dan pertumbuhan sel pada jaringan koheren. Matriks ekstraseluler
merupakan jaringan ikat yang mengisi ruang antar sel, terdiri dari anyaman
serat protein dalam matriks polisakarida. Senyawa yang membentuk ECM
ini terutama disekresikan oleh fibroblas (Schwab, 2011).
12
Matriks ekstraseluler merupakan microenvironment tiga dimensi
natural di mana sel berada. Sel berikatan dengan ECM melalui reseptor
permukaan sel, dimana respon selular seperti migrasi, proliferasi dan
diferensiasi menjadi aktif. Oleh karena komponen-komponen, struktur
organisasi dan biokimia, ECM sangat menarik untuk desain dan
pembuatan biomaterial, terutama ketika bertujuan untuk implan atau uji
sistem regenerasi (Hinderer et al., 2015). Matriks ekstraseluler merupakan
material alam scaffold biologis ideal, membantu sel-sel terus bersama di
jaringan, dan melakukan fungsi protektif dan penyokong (Choi et al.,
2010). Scaffold yang berupa matriks ekstraseluler ini akan digunakan
sebagai tempat PRP.
Biomaterial scaffold yang terbuat dari polimer alami biasanya
didapatkan dari manusia, hewan atau tumbuhan. Kolagen merupakan
protein yang paling banyak dalam ECM jaringan ikat seperti kulit, tulang,
kartilago, dan tendon. Kolagen berperan penting dalam memelihara
integritas struktur dan biologi ECM dan sangat dinamis, mengalami
remodelling yang konstan untuk fungsi fisiologis yang baik. Material dari
alam seperti kolagen yang didapatkan dari jaringan hewan dianggap
menguntungkan karena sifatnya yang biokompatibel. Sumber utama
protein alami berasal dari jaringan ikat babi dan sapi. Akan tetapi bahan
yang bersumber dari hewan tersebut memiliki kelemahan dalam hal
kehalalan (pada babi) dan adanya risiko transmisi BSE (Bovine
Spongioform Enchephalitis). Struktur utama kolagen jaringan mamalia
13
adalah kolagen tipe I (Ikada, 2006), sedangkan kolagen antar spesies
mamalia memiliki kesamaan yang besar dan hanya terdapat sedikit
perbedaan (Permata, 2013) sehingga kulit kambing yang merupakan
hewan mamalia berpotensi sebagai biomaterial tissue engineering. Dalam
penelitian Banarjee et al., (2012) mengungkapkan bahwa hasil
karakterisasi fisikokimia dari kolagen tendon kambing terdiri dari kolagen
tipe I dan dalam studi in vivo menujukkan imunogenitas yang rendah
(Gambar 2.2).
Gambar 2.2 Struktur molekul kolagen tipe I (Pignatello, 2011).
2.4 PRP (Platelet Rich Plasma) Allograft
Platelet Rich Plasma (PRP) adalah konsentrasi plasma dengan jumlah
platelet yang lebih tinggi dari normal (Weglein et al., 2014). Platelet
terkonsentrasi dalam PRP telah dilaporkan berperan penting dalam proses
penyembuhan, agregrasi secara cepat pada tempat yang rusak dan melepaskan
berbagai growth factor dan sitokin yang berhubungan dengan peyembuhan luka,
sehingga mempercepat proses regenerasi jaringan lunak dan tulang (Lee et al.,
2013). Platelet Rich Plasma menginisiasi perbaikan luka dengan melepas growth
factor yang bertindak secara lokal melalui pelepasan α-granul. Sekretori protein
14
yang terkandung dalam platelet meliputi platelet-derived growth factor (PDGf-
AA, BB, dan isomer AB), transforming growth factor β (TGF-β), platelet factor 4
(PF4), interleukin-1 (IL-1), platelet-derived angiogenesis factor (PDAF), vascular
endothelial growth factor (VEGF), epidermal growth factor (EGF), platelet-
derived endothelial growth factor (PDEGF), epithelial cell growth factor (ECGF),
insulin like growth factor (IGF), osteocalcin (Oc), osteonectin (On), fibrinogen
(Ff), vitronectin (Vn), fibronectin (Fn) , dan trombospondin 1 (TSP-1) (Lacci dan
Dardik, 2010). Yudha (2013) menyebutkan bahwa kandungan PDGF dalam PRP
berfungsi sebagai kemotaktor untuk monosit, neutrofil dan fibroblas yang
berperan dalam pertumbuhan sel, selular migrasi, efek metabolik, dan modulasi
reseptor sel membran. Transforming growth factor β (TGF-β) berfungsi sebagai
kemotaktor dan aktivator monosit dan makrofag. Sedangkan IGF-1 memiliki 2
fungsi penting yaitu sebagai kemotaksis untuk sel endotel vaskuler ke dalam luka
yang menyebabkan angiogenesis dan mempromosikan diferensiasi sel.
Salah satu mediator proangiogenik paling penting adalah vascular
endothelial growth factor (VEGF atau VEGF-A), dan kadar VEGF yang cukup
diyakini penting untuk penyembuhan luka (Johnson dan Wilgus, 2014). Salah satu
peran VEGF dalam penyembuhan luka adalah stimulasi angiogenesis. Penelitian
terbaru menunjukkan bahwa IGF-1 memiliki efek yang kuat pada angiogenesis.
Telah dilaporkan bahwa IGF-1 dapat menginduksi angiogenesis pada jaringan
otot rangka dan otak (Dobrucki et al., 2010).
Allograft merupakan transplantasi organ, sel, atau jaringan antar individu
dari spesies yang sama (Schwab, 2001). Dalam Zhang et al., (2013) PRP (Platelet
15
Rich Plasma) allogeneic menjadi alternatif ketika PRP autograft tidak optimal
misalnya pada pasien yang mengalami trauma dan terjadi perdarahan. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Zhang et al., (2013) tentang penggunaan PRP
untuk pengobatan kerusakan tulang pada hewan kelinci menunjukkan bahwa PRP
allogeneic memiliki khasiat yang besar dan imunogenesitasnya tidak berarti.
Pengenalan imun terhadap donor sel asing memerlukan paling sedikit tiga elemen
mendasar : ikatan antigen dengan reseptor antigen, ikatan molekul kostimulatori
yang memediasi kontak sel-sel, dan elaborasi lokal sitokin dan reseptor sitokin
yang sesuai. Dalam whole blood, mayoritas antigen HLA (MHC) kelas I
ditemukan pada permukaan keping darah (70%) (Hillyer, 2007). Platelet/ keping
darah mengekspresikan antigen spesifik platelet dan antigen HLA kelas I.
2.5 Respon Imun Penolakan Transplantasi
Penolakan merupakan proses imunologi yang merusak graft yang dapat
terjadi setelah transplantasi. Reaksi penolakan dapat diklasifikasikan sebagai
penolakan hiperakut, penolakan akut, dan penolakan kronik (Tabel 2.1).
Penolakan akut merupakan kerusakan vaskuler dan parenkim yang disebabkan
oleh sel T, makrofag dan antibodi yang biasanya dimulai setelah minggu pertama
transplantasi. Penolakan vaskuler ditandai dengan nekrosis sel-sel pembuluh
darah jaringan transplantasi, sedangkan penolakan parenkim transplan ditandai
oleh nekrosis sel-sel parenkim yang disebabkan infiltrasi sel T dan makrofag
(Kresno, 2013).
16
Tabel 2.1 Karakteristik tipe-tipe penolakan jaringan transplan
Tipe Penolakan Onset Mekanisme
Penolakan
Hiperakut
menit sampai
jam
Adanya pre-formed antibodi (baik anti-
ABO atau anti-HLA) dalam jumlah tinggi
yang ditujukan terhadap graft
Deposisi cepat dari antibodi pada graft
mengaktifkan kaskade komplemen,
menyebabkan kerusakan sel, trombosis dan
nekrosis graft
Penolakan Akut minggu sampai
bulan
Diperantarai sel : makrofag, sel T CD8 dan
neutrofil dalam graft menyebabkan
kerusakan organ
Diperantarai antibodi : antibodi anti-donor
dihasilkan oleh sel B menyebabkan
deposisi komplemen dll.
Penolakan
Kronis
bulan sampai
tahun Kronis (diperantarai oleh sel atau antibodi)
(Chandak dan Callaghan, 2014).
Antigen yang paling penting pada transplantasi adalah antigen HLA
(antigen MHC kelas I maupunn MHC kelas II), yang apabila tidak sesuai satu
dengan lain akan menimbulkan penolakan jaringan transplantasi dengan tingkat
kekuatan dan kecepatan yang berbeda-beda. Molekul MHC alogenik
dipresentasikan untuk dikenal oleh sel T dengan 2 cara, yaitu : Pertama, melalui
presentasi langsung (direct allorecognition), oleh sel T resipien. Akibat kemiripan
molekul MHC donor dengan molekul MHC resipien, maka terjadi reaksi silang
antara TCR normal yang diprogramkan untuk mengenal self-MHC yang mengikat
peptida asing dengan molekul MHC alogenik yang mengikat peptida. Cara kedua
yaitu melalui presentasi aloantigen secara tidak langsug (indirect allorecognition)
oleh APC resipien. Dalam hal ini molekul MHC dikenal sebagai antigen karena
molekul MHC strukturnya beda dengan self-MHC. (Kresno, 2013). Direct
allorecognition terjadi ketika sel T CD4 resipien bertemu dengan APC donor
yang keluar dari graft, dan HLA donor pada APC dikenali oleh sel T reseptor
17
(TCR). Indirect allorecognition terjadi ketika sel T resipien mengenali peptida
dari molekul non-self HLA donor yang dipresentasikan oleh molekul self-HLA
pada APC resepien. Mekanisme indirect analog dengan mekanisme fisiologis
oleh sel T yang secara normal mengenali antigen protein asing misalnya dari
bakteri (Chandak dan Callaghan, 2014).
Gambar 2.3 Mekanisme pengenalan antigen direct dan indirect (Chandak dan
Callaghan, 2014).
Penolakan jaringan transplan oleh berbagai efektor dapat melalui berbagai
mekanisme, yaitu : 1) Sel T sitotoksik aloreaktif, khususnya sel T C8+, secara
langsung melisiskan sel endotel dan sel parenkim jaringan transplan; 2) Sel Th
aloreaktif, khususnya sel T CD4+ merekrut dan mengaktifkan makrofag, dan
mengawali kerusakan jaringan transplan melalui reaksi DTH; 3) Aloantibodi yang
terikat pada endotel mengaktifkan komplemen dan merusak pembuluh darah
jaringan transplan. Setelah pengenalan antigen oleh APC yang akan mengaktifkan
sel T limfosit, kemudian sel T dapat merusak sel target melalui 2 mekanisme,
18
yaitu lisis sel target oleh sel T dengan perantaraan peforin atau granzym B. Produk
sel-sel APC, seperti IL-1 dapat mengaktivasi limfosit CD4+, selain itu juga
merangsang limfosit CD8 dan limfosit (Kresno, 2013).
Gambar 2.4 Mekanisme penolakan jaringan transplan (Chandak dan Callaghan,
2014).
2.6 Sitokin Interleukin 1β (IL-1β)
Sitokin merupakan protein yang dihasilkan oleh banyak tipe sel yang
berbeda yang memediasi inflamasi dan reaksi imun. Sitokin merupakan mediator
utama komunikasi antar sel sistem imun (Abbas dan Lichtman, 2005). Sumber
utama IL-1 merupakan monosit atau makrofag teraktivasi, baik makrofag yang
disebut sel Kupfer, sel Langerhans, sel dendritik maupun makrofag yang terdapat
pada paru-paru, limpa atau tempat lain. Dampak biologis IL-1 bergantung pada
jumlah yang dilepaskan. Interleukin-1 merupakan sitokin yang dihasilkan
19
terutama oleh mononuklear fagosit yang teraktivasi yang fungsi pokoknya adalah
untuk memediasi respon inflamasi hospes pada innate immunity. Dalam kadar
rendah, fungsi utamanya adalah sebagai mediator inflamasi lokal, misalnya
berinteraksi dengan sel endotel untuk meningkatkan koagulasi dan meningkatkan
ekspresi molekul permukaan yang membantu adhesi leukosit. Dalam kadar tinggi
IL-1 masuk dalam sirkulasi dan melancarkan efek endokrin, misal menyebabkan
demam, menginduksi sintesis protein fase akut oleh hepar dan mengawali
kaheksia (Kresno, 2013).
Interleukin-1 meningkatkan pertumbuhan dan diferensiasi limfosit, selain
itu IL-1 merangsang secara nonspesifik ekspresi berbagai reseptor antigen pada
pemukaan sel sehingga secara tidak langsung meningkatkan respon imun spesifik
(Kresno, 2013). Interleukin-1α dan IL-β berikatan pada reseptor yang sama dan
memiliki efek biologis identik, termasuk menginduksi adhesi molekul sel
endothelial, stimulasi produksi kemokin oleh sel endotelial dan makrofag,
stimulasi sintesis reaktan fase akut oleh hati, dan demam (Abbas dan Lichtman,
2005). Faktor yang meregulasi pelepasan IL-1 belum jelas, diduga salah satu
faktor yang mempengaruhi pelepasan IL-1 adalah sel-sel yang mengalami
keusakan. Interleukin-1 berperan peting dalam regulasi kolagenase, yang
diperlukan untuk remodelling kolagen, produksi dan degradasi komponen matriks
ekstraseluler (Velnar et al., 2009).
20
2.7 Deselularisasi
Deselularisasi adalah proses menghilangkan antigen allogeneic atau
xenogeneic dari jaringan yang akan menginisiasi respon imun dan menghasilkan
ECM utuh yang terdiri dari molekul campuran struktural dan fungsional.
Deselularisasi menghasilkan matriks terdeselularisasi disebut juga sebagai matriks
aselular atau devitalized dalam literatur (Ducheyne et al., 2011). Penggunaan
ECM yang berasal dari deselularisasi jaringan semakin sering pada pengobatan
regeneratif dan strategi tissue engineering, dengan aplikasi terbaru scaffold ECM
tiga dimensi yang disiapkan dengan deselularisasi organ (Crapo et al., 2011).
Secara umum protokol deselularisasi dimulai dengan lisis sel metode
fisik, kimia atau biologi. Teknik umum yang digunakan dalam deselularisasi
melibatkan kombinasi metode fisik dan kimia. Proses deselularisasi paling efektif
meliputi kombinasi agen fisik, kimia, dan enzimatik. Agen deselulerisasi kimiawi
antara lain deterjen ionik. Detergen ionik yang paling umum digunakan adalah
Sodium Dodecyl Sulfate (SDS) (Hrebikova, 2015). Sodium Dodecyl Sulfate
merupakan deterjen ionik yang mampu merusak sel dan membran nukleus dan
mendenaturasi protein. Menurut Crapo et al., (2011) SDS efektif membersihkan
residu sel seperti nukleotida dibandingkan deterjen lainnya. Ethylene Diamine
Tetraacetic Acid (EDTA) dapat digunakan dengan deterjen untuk memastikan
penghilangan inti sel secara komplit dan tetap mempertahankan konstituen utama
dari matiks ekstraseluler (ECM) (Badylak et al., 2015). Agen pengkelat seperti
EDTA efektif menyebabkan lisis sel, tetapi tidak efektif menghilangkan materi
21
biologis sehingga memerlukan asosiasi dengan metode enzimatik lain (Iwatomo et
al., 2016).
2.8 Tikus Putih
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih
(Rattus norvegicus) galur wistar. Tikus putih digunakan sebagai hewan coba
karena memiliki respon cepat serta dapat memberikan gambaran secara ilmiah
yang mungkin terjadi pada manusia maupun hewan lain. Tikus putih memiliki
beberapa sifat yang menguntungkan sebagai hewan coba penelitian diantaranya
adalah perkembangbiakan cepat, mempunyai ukuran yang lebih besar dari mencit,
mudah dipelihara dalam jumlah yang banyak (Akbar, 2010).
Menurut Krinke (2000) klasifikasi tikus putih (Rattus norvegicus) adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Mammalia
Order : Rodentia
Family : Muridae
Genus : Rattus
Species : norvegicus
22
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESA PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep
Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian
Keterangan :
: Menstimuli : Efek PRP
: Variabel bebas : Efek scaffold
: Variabel terikat : Efek scaffold kombinasi PRP
VEGF
Sitokin & growth factor
Luka insisi Tikus putih PRP + Scaffold
Aktivasi platelet
Inflamasi
PDGF,TGF-β,IL-1β,TNF-α
Angiogenesis
Jaringan granulasi
Remodelling
Regenerasi jaringan
Sitokin & growth factor
( TGF-β, FGF)
Proliferasi fibroblas
Sintesis dan deposisi
ECM
Fagositosis Mobilisasi sel radang
(Makrofag, neutrofil)
MMP
23
Adanya luka insisi akan menimbulkan sebuah proses untuk menimbulkan
kesembuhan luka meliputi fase hemostasis, fase inflamasi, fase proliferasi, dan
fase remodelling. Pada kelompok tikus yang diimplantasi dengan scaffold
xenograft kulit kambing yang telah dideselularisasi maka tidak menimbulkan
respon penolakan namun menimbulkan respon inflamasi karena adanya implantasi
dianggap oleh resipien sebagai benda asing. Inflamasi diawali dengan pengenalan
antigen oleh APC dan menghasilkan sitokin proinflamasi berupa IL-1β.
Interleukin-1β akan mengaktivasi makrofag dan neutrofil untuk melakukan
fagositosis. Makrofag dan neutrofil yang teraktivasi kemudian menghasilkan
sitokin dan growth factor. Pada kelompok implantasi scaffold, respon inflamasi
yang terjadi akan diimbangi dengan terbentuknya sitokin antiinflamasi sehingga
pada luka dapat memasuki fase proliferasi. Makrofag kemudian menghasilkan
growth factor seperti TGF-β, FGF, PDGF, dan TNF-α. Peningkatan growth
factor tersebut akan menyebabkan peningkatan migrasi dan proliferasi fibroblas,
sehingga terjadi peningkatan sintesis dan deposisi matriks ekstraseluler.
Sedangkan scaffold berfungsi sebagai tempat sel untuk melekat sehingga sel dapat
berproliferasi.
Pada kelompok tikus yang diimplantasi dengan PRP akan menyebabkan
peningkatan growth factor dalam tubuh resipien. Growth factor VEGF dalam PRP
akan meningkatkan angiogenesis, sedangkan PDGF dan TGF-β berfungsi sebagai
kemoatraktan untuk sel radang. TGF-β juga berfungsi sebagai aktivator monosit
dan makrofag yang berperan dalam proses regenerasi jaingan. Peningkatan sel
radang menyebabkan peningkatan growth factor seperti TGF-β, FGF dan sitokin
24
yang dilepaskan oleh sel radang. Peningkatan growth factor PDGF dan TNF-α
akan menyebabkan peningkatan proliferasi fibroblas, sintesis dan deposisi matriks
ekstraseluler, sehingga meningkatkan regenerasi jaringan. Gambaran histopatologi
pada kulit tikus yang diimplatasi PRP setelah 14 hari akan menunjukkan
terbentuknya matriks ekstraseluler baru dan ekspresi IL-1β dalam jumlah yang
lebih rendah dibandingkan dengan kelompok implantasi scaffold karena tidak
terjadi inflamasi terhadap scaffold.
Pada kelompok tikus yang diimplantasi dengan scaffold yang
dikombinasikan dengan PRP akan menyebabkan proses regenerasi jaringan
berlangsung lebih cepat diiringi dengan degradasi scaffold. Kandungan growth
factor VEGF dalam PRP akan meningkatkan angiogenesis, sedangkan PDGF dan
TGF-β berfungsi sebagai kemoatraktan untuk sel radang. Transforming growth
factor-β juga berfungsi sebagai aktivator monosit dan makrofag yang berperan
dalam proses regenerasi jaringan. Peningkatan sel radang menyebabkan
peningkatan growth factor dan sitokin yang dilepaskan oleh sel radang. Pada
kelompok ini scaffold berfungsi sebagai tempat perlekatan sel dan reservoir dari
growth factor. Peningkatan growth factor PDGF dan TNF-α akan menyebabkan
peningkatan proliferasi fibroblas, sintesis dan deposisi matriks ekstraseluler,
sehingga meningkatkan regenerasi jaringan. Setelah terbentuk matriks
ekstraseluler baru maka terjadi proses degradasi scaffold yaitu setelah memasuki
fase remodelling. Pada fase remodelling akan terjadi degradasi scaffold melalui
fagositosis oleh makrofag dan degradasi oleh enzim MMP yang dihasilkan oleh
makrofag. Gambaran histopatologi pada kulit tikus yang diimplatasi PRP seteleh
25
14 hari akan menunjukkan terbentuknya matriks ekstraseluler baru dan ekspresi
IL-1β tinggi.
3.2 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep di atas, maka hipotesis yang dapat diajukan
adalah implantasi scaffold xenograft kulit kambing yang dikombinasikan dengan
PRP akan menunjukkan peningkatan ekspresi IL-1β dan peningkatkan sintesis
serta deposisis matriks ekstraseluler.
26
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian dilakukan di 5 laboratorium yaitu Laboratorium
Biosains Universitas Brawijaya, Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga, Laboratorium Patologi Anatomi Kessima Medika, Malang,
Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, dan
Laboratorium Histologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Brawijaya. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2016 hingga bulan Juni
2017.
4.2 Alat dan Bahan Penelitian
4.2.1 Alat Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang tikus
berupa kotak beukuran 44x30x12 cm yang disekat menjadi 4 bagian dan masing-
masing bagian berisi 1 ekor tikus, pot sampel, scalpel, pinset, jarum segitiga no.
13, spuit 3cc, 1cc, gloves, mikrohematokrit, vortex, ependorf (micro tube), gelas
beker, tabung vacutainer sodium (natrium) sitrat, spatula, termometer, water bath,
sentrifuge, stirer, pipette tip, micropipette, pH meter, refrigerator, lemari es,
inkubator, timbangan digital, object glass, tissue processor, mikrotom, IHC
chamber, mikroskop cahaya, kamera Optilab Advance Plus, kamera digital.
27
4.2.2 Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus
norvegicus), pakan pelet, air minum, scaffold berasal dari kulit kambing PE, PRP
(Platelet Rich Plasma) allograft, penicillin-streptomycin, aquades, NaCl
fisiologis, Sodium Deodecyl Sulfate (SDS), Ethylene Diamine Tetraacetic Acid
(EDTA), PBS (Phosphat Buffer Saline), ketamin, xylazine, benang plain cutgut
(3.0), CaCl2, amoxilin, iodine 10%, formalin 10%, larutan etanol absolut, etanol
(70%, 80%, 90%, 95%), xylol, paraffin, gelatin coated slide, H2O2 0,3%, IHC kit
terdiri atas: blocking solution, antibodi sekunder polyvalent, HRP (Horse Redish
Peroxidase), DAB (Diaminobenzidine), antibodi primer anti mouse IL-1 β,
hematoxylin, acid fuschin, phosphotungstic acid, orange G, aniline blue.
4.3 Tahapan Penelitian
4.3.1 Penetapan Sampel Penelitian
Sampel penelitian ini menggunakan hewan coba berupa tikus Rattus
norvegicus galur wistar jantan berumur 3 bulan dengan berat badan sekitar 200
gram. Hewan coba diaklimatisasi selama tujuh hari untuk menyesuaikan dengan
kondisi di laboratorium. Hewan coba harus dalam kondisi sehat (berambut cerah,
aktivitas baik, tidak ada abnormalitas anatomis, dan nafsu makan baik),
mendapatkan persetujuan dari Komisi Etik Penelitian UB, dan belum pernah
digunakan penelitian. Sampel berupa kulit kambing PE yang berumur sekitar 1,5
tahun dan dipotong dengan dimensi 1x1 cm.
28
Estimasi besar sampel dihitung berdasarkan rumus (Kusriningrum, 2008):
t (n-1) ≥ 15
4 (n-1) ≥ 15
4n-4 ≥ 15
4n ≥ 19
n ≥ 19/4
n ≥ 5
Berdasarkan perhitungan di atas, maka untuk setiap kelompok perlakuan
diperlukan jumlah tukus wistar minimal sebanyak 5 kali dalam setiap kelompok,
sehingga dibutuhkan total 20 ekor tikus wistar sebagai hewan coba.
4.3.2 Rancangan Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimental (experiment design), yaitu kegiatan
percobaan (experiment) , dengan rancagan acak lengkap (RAL) yang bertujuan
untuk mengetahui pengaruh yang timbul sebagai akibat dari adanya perlakuan
tertentu. Dalam penelitian ini digunakan tikus putih galur wistar sebagai hewan
coba, yang diimplantasi jaringan buatan berupa kulit kambing dengan perlakuan
deselularisasi menggunakan larutan SDS 1% dan EDTA 0,1% selama 22 hari
sehingga menghasilkan kulit kambing aseluler (scaffold) yang kemudian
dikombinasikan dengan PRP (Platelet Rich Plasma) allograft pada subkutan
(hipodermis) tikus bagian abdomen. Pada hari ke 14 setelah implantasi, tikus
dieuthanasi dan dikoleksi sampel kulitnya pada daerah implantasi.
Keterangan :
t = jumlah kelompok perlakuan
n = jumlah ulangan yang diperlukan
29
Kelompok dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (Tabel 4.1) :
Tabel 4.1 Rancangan Kelompok Penelitian
Kelompok Keterangan
P1 (Kelompok kontrol
negatif ) Tikus tanpa perlakuan implantasi
P2 (Kelompok Implantasi
scaffold kulit kambing)
Tikus diimplantasi dengan scaffold di
subkutan
P3 (Kelompok Implantasi
PRP) Tikus diimplantasi PRP di subkutan
P4 (Kelompok Implantasi
scaffold kombinasi PRP)
Tikus diimplantasi dengan scaffold yang
dikombinasikan dengan PRP di subkutan
4.3.3 Variabel Penelitian
Adapun variabel penelitian terdiri dari :
1. Vaiabel bebas
a. Tikus diimplantasi dengan scaffold.
b. Tikus diimplantasi dengan PRP.
c. Tikus diimplantasi degan scaffold yang dikombinasikan dengan PRP.
2. Variabel terikat.
Ekspesi IL-1 β pada subkutan dalam preparat histopatologi kulit.
Matriks ekstraseluler pada preparat histopatologi kulit.
3. Variabel kontrol
Berat badan tikus sekitar 200 gram, umur tikus sekitar 3 bulan,
jenis kelamin tikus jantan, suhu ruangan yaitu 24-32°C,
kelembapan 20-40%, kandang dengan ukuran panjang 44 cm, lebar
30 cm dan tinggi 12 cm yang didalamnya dibagi menjadi 4 bagian
30
kecil kandang yang disekat dengan kawat, sekam kayu serta pakan
yang berupa pelet setiap dua hari sekali.
Adapun tahapan penelitian yang dilakukan antara lain :
1. Persiapan hewan coba
2. Preparasi dan koleksi sampel
3. Deselularisasi kulit kambing
4. Pembagian kelompok
5. Persiapan PRP
6. Uji biokompatibilitas secara in vivo (Implantasi Subkutan Tikus)
7. Pembuatan preparat histopatologi jaringan kulit metode paraffin blok
8. Pewarnaan Mallory Azan
9. Imunohistokimia (IHK) IL-1β dan histopatologi jaringan subkutan
10. Pengamatan histopatologi jaringan kulit
11. Analisa data
4.4 Prosedur Penelitian
4.4.1 Persiapan Hewan Coba
Tikus yang digunakan untuk penelitian diaklimatisasi terhadap lingkungan
selama 7 hari. Tikus ditempatkan pada bak plastik berukuan 44x30x12 cm yang
dilengkapi penutup kawat, lantai kandang yang mudah dibersihkan, berlokasi
pada tempat yang bebas dari suara ribut dan terjaga dari polutan dengan
pemberian pakan berupa pelet yang telah disediakan oleh Laboratorium Biosains,
Universitas Brawijaya.
31
4.4.2 Preparasi dan Koleksi Sampel
Segmen kulit bagian paha dari kambing jantan berumur 1-2 tahun yang
didapat dari rumah penyembelihan kambing Bapak Cholik, Watugede, Singosari,
Malang. Kulit kambing disegmentasi dengan dimensi sampel 1 x 1 cm dan
dilakukan pecukuran rambut. Kemudian dilakukan proses deselularisasi guna
memperoleh kulit aseluler sebagai scaffold.
4.4.3 Deselularisasi Kulit Kambing
Kulit kambing segar selembar diambil dari rumah penyembelihan kambing
Bapak Cholik, Watugede, Singosari, Malang dan segera dibawa ke laboratorium
dalam 0,1% Pen-Strep dalam NS agar terhindar dari kontaminasi. Kulit kambing
dipotong menjadi segmen kulit. Total segmen yang dibutuhkan sebanyak 12,
tetapi dilebihkan menjadi 18. Segmen kulit diberi perlakuan teknik deselularisasi
berdasarkan metode Permata (2013) menggunakan perendaman dalam larutan 1%
Sodium Dodecyl Sulfate (SDS), 0,1% Ethylene Diamine Tetraacetic Acid
(EDTA), dan 0,1% Pen-Strep dalam PBS pH 7,4 selama 22 hari. Larutan tersebut
diganti setiap tiga hari sekali. Sampel post deselularisasi dapat disimpan dan
direndam dalam larutan PBS pH 7,4 dan n- t p ,1 di pot samp l pada suhu
-
4.4.4 Penyiapan Patelet Rich Plasma (PRP)
Penyiapan PRP dilakukan menggunakan metode buffy coat. Langkah
pertama adalah pengambilan darah tikus dilakukan melalui vena retroorbita
32
menggunakan hematokrit dan intracardia meggunakan spuit 3 cc. Kemudian
darah ditampung ke dalam tube Natrium Citrate-containing dan digoyangkan.
Tabung lalu disentrifuge pada suhu 4°C dengan kecepatan 1000G selama 10
menit. Setelah itu pindahkan plasma dan buffy coat serta sedikit lapisan teratas
eritrosit ke tabung ependorf lain. Kemudian disentrifuge kembali pada suhu 4°C
dengan kecepatan 2100G selama 10 menit. Terakhir pindahkan supernatan ke
tabung lain dan simpan pada suhu 4°C (Ardhani, 2013).
4.4.5 Uji Biokompatibilitas in vivo (Implantasi Subkutan Tikus)
Sebanyak 24 ekor tikus jantan umur 3 bulan terlebih dahulu ditimbang dan
dianestesi menggunakan ketamin dengan dosis 0,9ml/kg BB dan xylazine dengan
dosis 0,5ml/kg BB. Pada daerah ventral abdomen diinsisi kulit hingga subkutan.
Scaffold, PRP, dan scaffold yang dikombinasikan dengan PRP kemudian
diimplantasikan ke subkutan tikus pada kelompok yang telah ditentukan.
Kemudian kulit ditutup dengan jahitan benang plain cat gut 3.0 teknik simple
interrupted dilanjutkan dengan bandage menggunakan kasa dan plester.
Treatment post operasi pada tikus adalah dengan pemberian antibiotik amoxilin
500 mg yang dilarutkan dalam 500 ml air. Tikus dieuthanasia dengan cara
dislokasi leher setelah 14 hari dan jaringan kulit sekitar implantasi dikoleksi lalu
direndam dalam formalin 10%.
33
4.4.6 Pembuatan Preparat Histopatologi Metode Paraffin
Pembuatan preparat histopatologi dengan metode paraffin dilakukan
menurut Junquiera dan Carneiro (2007). Jaringan kulit difiksasi dengan formalin
10% selama 18-24 jam. Tujuan dilakukan fiksasi adalah untuk mempertahankan
susunan jaringan kulit agar tidak berubah oleh proses biokimia karena enzim atau
pembusukan oleh bakteri. Kemudian dilakukan proses dehidrasi dengan etanol
bertingkat 70%, 80%, 90%, dan 95%. Proses dehidrasi bertujuan untuk
mengeluarkan seluruh cairan yang terdapat dalam jaringan yang telah difiksasi
sehingga jaringan dapat diisi dengan parafin atau zat lain yang digunakan untuk
blok preparat. Tahap selanjutnya adalah clearing. Jaringan dimasukan dalam
larutan xylol yang berfungsi untuk mengeluarkan alkohol dari jaringan dan
menggantinya dengan suatu larutan yang dapat berikatan dengan parafin. Tahap
berikutnya adalah proses impregnasi yang dilakukan dalam parafin cair dan
embedding ke dalam blok. Pembenaman (impregnasi) adalah proses yang
berfungsi mengeluarkan cairan pembening (clearing agent) dari jaringan
kemudian diganti dengan parafin. Dalam tahap ini jaringan harus benar-benar
bebas dari clearing agent karena sisa cairan tersebut dapat mengkristal dan ketika
dipotong dengan mikrotom akan mengakibatkan jaringan menjadi mudah robek.
Selanjutnya proses blocking, yaitu pembuatan blok preparat agar dapat dipotong
dengan mikrotom.
Jaringan pada blok parafin dipotong dengan mikrotom setebal 5 mikron.
Hasil potongan lalu dipindahkan ke dalam air 38°-40°C mengguakan kuas yang
bertujuan untuk membuka lipatan dan meluruskan kerutan halus pada sampel
34
organ. Potongan yang sudah rata kemudian diambil dan diletakkan pada object
glass, kemudian dikeringan di atas hot plate yang bersuhu 38°-40°C.
Penyimpanan dilakukan di dalam inkubator dengan suhu 38°-40°C dan siap
dilakukan pewarnaan.
4.4.7 Metode Pewarnaan Mallory Azan
Pewarnaan Mallory Azan merupakan suatu metode pewarnaan khusus
untuk mengamati jaringan ikat terutama kolagen. Dalam pewarnaan ini jaringan
kolagen akan tampak berwarna biru karena terwarnai oleh aniline blue, sedangkan
sel akan berwarna merah. Pewarnaan Mallory Azan dimulai dengan melakukan
deparafinisasi dengan xylene sebanyak 2 kali. Kemudian rehidrasi menggunakan
alkohol absolut dan alkohol 95% lalu dimasukkan ke dalam aquades. Preparat
kemudian diwarnai dalam larutan acid fushsion selama 1 sampai 5 menit. Setelah
itu langsung dipindah ke larutan aniline blue-orange G selama 30 sampai 60
menit atau lebih. Kemudian langsung dipindah ke dalam alkohol 95% beberapa
kali. Setelah itu dilakukan dehidrasi dengan alkohol absolut sebanyak dua kali,
clearing dengan xylene 2 sampai 3 kali dan dimounting dengan permount. Larutan
aniline blue-orange G terbuat dari bahan aniline blue, orange G, dan
phosphotungstic acid yang dilarutkan dalam aquades.
4.4.8 Deteksi Ekspesi IL-1β dengan metode Imunohistokimia (IHK)
Pengamatan ekspresi IL-1β d ngan m nggunakan m tod
imunohistokimia indirect. Preparat dilakukan deparafinasi menggunakan xylol I,
35
II, dan III masing-masing selama 5 menit, kemudian rehidrasi menggunakan
etanol absolut dengan 2x pencucian lalu alkohol bertingkat mulai dari etanol
95%, 90%, 80%, 70% dan aquades masing-masing perlakuan selama 5 menit,
dicuci 3x menggunakan PBS lalu diinkubasi dengan H2O2 3% selama 20 menit
lalu dicuci dengan PBS (3 x 5 menit).
Selanjutnya dilakukan blocking background dengan casein (Sniper/protein
blocker) selama 60 menit pada suhu ruang kemudian dicuci dengan PBS (3 x 5
menit) lalu diinkubasi dengan antibodi primer. Slide diinkubasi dengan antibodi
primer anti-mouse IL-1 (No catalog BS-0812R, BIOSS USA) 1:1000 selama 24
jam pada suhu 4°C. Slide lalu diinkubasi dengan antibodi sekunder dengan biotin
conjugate selama 60 menit menit pada suhu ruang. Slide dicuci dengan PBS (3 x
5 menit) lalu diinkubasi dengan Strepavidin Horseradish Peroxidase (SA-HRP)
selama 40 menit. Kemudian dicuci dengan PBS (3 x 5 menit) dan dibilas aquades.
Setelah itu diaplikasikan chromogen DAB selama 1-10 menit hingga meunjukkan
warna coklat yang berarti positif. Slide kemudian dicelup ke dalam hematoxylin
sebagai counterstaining, kemudian dilakukan proses rehidrasi, clearing, dan
mounting.
Hasil pewarnaan diamati di mikroskop dan dilihat apakah ada atau tidak
reaksi positif. Slide kemudian diambil foto sebanyak 5 bidang pandang dengan
perbesaran obyketif 40x, dan dianalisis dengan immunoratio untuk memperoleh
preserntase area ekspresi IL-1β
36
4.5 Analisis Data
Analisa data dalam penelitian ini menggunakan analisa kualitatif dan
kuantitatif. Analisa kualitatif digunakan untuk menganalisa gambaran
histopatologi matriks ekstraseluler pada daerah implan. Analisa kualitatif
dijelaskan secara deskriptif. Analisa kuantitatif digunakan untuk menganalisa
ekspresi IL-1β Parameter yang diukur adalah presentase area ekspresi IL-1β di
jaringan subkutan tikus pasca implantasi kulit aseluler sesuai masing-masing
kelompok. Data kuantitatif dianalisis dengan OneWay ANOVA menggunakan
SPSS 22.0 for Windows, dengan signifikansi α= , 5 Jika terjadi perbedaan yang
signifikan dilanjutkan dengan uji beda nyata jujur (Tukey test).
38
berupa hilangnya sel pada jaringan kulit sehingga hanya menyisakan
matriks ekstraseluler. Pengamatan histopatologi kulit kambing sebelum
dan sesudah deselularisasi yaitu menggunakan pewarnaan HE. Gambaran
histopatologi kulit kambing tanpa perlakuan deselularisasi menunjukkan
masih adanya inti sel yang berwarna keunguan dengan pewarnaan HE.
Sedangkan histopatologi kulit kambing yang dideselularisasi
memperlihatkan tidak adanya inti sel (Lampiran 8). Hal ini terjadi karena
dalam teknik deselularisasi terdapat larutan SDS 1% dan EDTA 0,1%
yang berfungsi menghancurkan sel-sel pada jaringan. Berdasarkan uraian
di atas, hasil dari deselularisasi kulit kambing yang dilakukan telah sesuai
dengan yang diharapkan yaitu hilangnya inti sel dan menyisakan matriks
ekstraseluler.
Platelet rich plasma yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh
dari spesies yang sama, namun dari individu yang berbeda (allograft).
Platelet akan melepaskan growth factor setelah teraktivasi. Platelet Rich
Plasma (PRP) pada penelitian ini diaktivasi secara eksogen menggunakan
CaCl2. Setelah PRP diaktivasi maka akan terlihat struktur seperti gel.
Menurut Dhurat dan Sukesh (2014), ketika PRP teraktivasi, mulai
terbentuk anyaman fibrin, pemadatan plasma dan menciptakan gumpalan
fibrin (fibrin clot). Saat PRP diaktivasi, maka akan melepaskan growth
factor dan substansi lain yang berperan mempercepat proses kesembuhan
luka dengan meningkatkan proliferasi sel, pembentukan matriks, produksi
39
osteoid, penyembuhan jaringan ikat, angiogenesis dan sintesis kolagen
(Smith et al., 2007).
Gambar 5.2 Gambaran makroskopik sampel PRP (Platelet Rich Plasma) yang
telah diaktivasi menggunakan kalsium klorida (CaCl2).
5.1 Ekspresi Interleukin-1 beta (IL-1 β)
Ekspresi IL-1β dapat diketahui dengan melakukan pewarnaan
Imunohistokimia (IHK) pada preparat histopatologi kulit tikus. Pada
gambaran histopatologi imunohistokimia menunjukkan bahwa setiap
kelompok menunjukkan ekspresi IL-1β yang berbeda, yang ditandai
dengan perbedaan penampakan warna coklat yang terbentuk (Gambar
5.3). Pada hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap perlakuan memiliki
efek yang berbeda. Ekspresi IL-1β kelompok 1, yaitu pada kelompok tanpa
perlakuan implantasi berbeda nyata dengan kelompok 2, 3, dan 4,
menunjukkan hasil ekspresi IL-1β yang paling rendah yaitu sebesar
23,34%. Sedangkan ekspresi IL-1β pada kelompok 2, yaitu kelompok
perlakuan implantasi scaffold menunjukkan ekspresi IL-1β paling tinggi
yaitu sebesar 73,86% dan berbeda nyata dengan kelompok 3 dan 4.
Ekspresi IL-1β pada kelompok 3 tidak berbeda nyata dengan kelompok 4
(presentase kelompok 3 33,93%, presentase kelompok 4 42,00%)(Tabel
5.1).
40
(A)
(B)
(C)
(D)
Gambar 5.3 Gambaran histopatologi pewarnaan Imunohistokimia (IHK) IL-
1β ( ) pasca implantasi di jaringan kulit tikus Rattus
norvegicus dengan perbesaran lensa objektif 40x.
Keterangan : (A) Histopatologi pewarnaan IHK IL-1β kulit
tikus Rattus norvegicus tanpa implantasi (kelompok 1); (B)
Histopatologi pewarnaan IHK IL-1β kulit tikus Rattus
norvegicus perlakuan implantasi scaffold (kelompok 2); (C)
Histopatologi pewarnaan IHK IL-1β kulit tikus Rattus
norvegicus perlakuan impantasi PRP (kelompok 3); (D)
Histopatologi pewarnaan IHK IL-1β kulit tikus Rattus
norvegicus perlakuan scaffold yang dikombinasikan PRP
(kelompok 4).
41
Tabel 5.1 Ekspresi IL-1β preparat Histopatologi Kulit Tikus
Kelompok Ekspresi IL-1β
Rata-rata(%)±SD
Kelompok 1 (tanpa
implantasi) 23,34±4,48
a
Kelompok 2 (implantasi
scaffold) 73,86±4,61
c
Kelompok 3 (implantasi
PRP) 33,93±5,67
b
Kelompok 4 (implantasi
scaffold kombinasi PRP) 42,00±5,27
b
Keterangan : Angka dengan superscript (notasi) berbeda menunjukan
adanya perbedaan (p<0,05) signifikasi tiap kelompok
Pada kelompok 1 menunjukkan rata-rata presentase ekspresi IL-1β
yang paling rendah. Hal ini disebabkan karena pada kelompok perlakuan
tanpa implantasi, hewan coba tidak mengalami perlukaan sehingga tidak
terjadi proses inflamasi yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan
sitokin proinflamasi. Telah diketahui bahwa sitokin IL-1β merupakan
sitokin proinflamasi. Meskipun tidak ada respon inflamasi, sitokin IL-1β
tetap terekspresi karena sitokin IL-1β tidak hanya berperan sebagai sitokin
pro inflamasi. IL-1β merupakan sitokin proinflamasi yang juga
berperan
dalam berbagai proses selular normal seperti proliferasi, diferensiasi, dan
apoptosis sel (NCBI, 2017). Dalam kondisi normal, jaringan kulit akan
mengalami proliferasi, diferensiasi, dan apoptosis, sehingga IL-1β tetap
terekspresi dalam jumlah yang rendah.
Peningkatan IL-1β pada kelompok 2, yaitu pada kelompok
perlakuan implantasi scaffold terjadi karena ada respon inflamasi terhadap
adanya luka dan scaffold yang diimplantasi. Meskipun terjadi respon
inflamasi yang ditunjukkan dengan ekspresi IL-1β yang tinggi, namun
42
bukan berarti merupakan respon imun penolakan karena melalui proses
deselularisasi akan menurunkan respon imun penolakan terhadap scaffold.
Hal ini sesuai dengan pendapat Badylak dan Gilbert (2008), bahwa proses
deselularisasi mampu menurukan respon imun penolakan terhadap implan.
Dalam penelitian Permata (2013) menunjukkan bahwa perlakuan
deselularisasi akan meningkatkan respon imun non spesifik (IL-1) dan
meningkatkan respon imun antiinflamasi (IL-10) sehingga sitokin
proinflamasi akan diimbangi dengan sitokin antiinflamasi yang
menyebabkan terjadinya toleransi tehadap implan. Selain itu sitokin IL-1 β
dalam fase inflamasi pada proses kesembuhan luka merupakan
kemoatraktan sel radang, dimana pada fase akhir inflamasi sel radang
akan menghasilkan growth factor yang diperlukan pada fase proliferatif
dalam penyembuhan luka (Velnar et al., 2009).
Pada kelompok 3 terjadi peningkatan IL-1β, namun ekspresinya
lebih rendah daripada kelompok 2. Menurut Lee et al. (2013) PRP
berperan penting dalam proses penyembuhan pada jaringan yang
mengalami kerusakan dengan melepaskan berbagai growth factor dan
sitokin. Zhang et al., (2013) menyatakan bahwa PRP allograft memiliki
imonogenitas yang tidak berarti. Ekspresi IL-1β yang lebih tinggi dari
kelompok 1 terjadi karena adanya inflamasi dalam proses perbaikan
jaringan luka. Interleukin 1 menginduksi proliferasi fibroblas dan sintesis
kolagen (Nieder et al., 2003).
43
Pada kelompok 4 terjadi peningkatan IL-1β, namun ekspresinya lebih
rendah daripada kelompok 2. Perbedaan nyata antara kelompok 2 ini terjadi
karena adanya penambahan PRP. Penambahan PRP akan menimbulkan efek
antiinflamasi. Bendinelli et al., (2010) menyatakan bahwa PRP yang
teraktivasi memiliki efek antiinflamasi karena adanya HGF. Giannopoulou et
al., (2008) melaporkan bahwa HGF meghambat inflamasi ginjal secara in vivo
dengan mengganggu aktivitas NF-κB. Dengan menghambat aktivitas
pengaktifan NF-κB maka akan menghambat transkripsi sitokin IL-1β
sehingga ekspresi IL-1β pada scaffold yang dikombinasikan dengan PRP
jumlahnya lebih rendah dibandingkan dengan kelompok 2. Ekspresi IL-1β
pada kelompok 4 yang lebih tinggi daripada kelompok 1 dan 3 diakibatkan
karena adanya respon imun nonspesifik terhadap implan scaffold.
5.2 Gambaran Matriks Ekstraseluler
Gambar 5.4 Histologi kulit normal pewarnaan Mallory Azan perbesaran
lensa objektif 4x.
Keterangan : (A) epidermis, (B) dermis, (C) hipodermis, (D)
muskulus panniculus carnosus. Jaringan ikat; Folikel rambut; Jaringan lemak
Struktur kulit normal terdiri dari lapisan epidermis, dermis,
hipodermis, dan muskulus panniculus carnosus (Parker dan Picut, 2016).
B
A
C
D
44
Histopatologi kulit tikus kelompok kontrol negatif (Gambar 5.3)
menunjukkan lapisan kulit yang terstruktur yaitu terdiri dari epidermis (A),
dermis (B), hipodermis (C) dan panniculus carnosus (D). Pada bagian
dermis terisi oleh jaringan ikat ( ) , sedangkan pada bagian hipodermis
terdapat folikel rambut ( ) dan jaringan lemak ( ).
(A)
(B)
(C)
Gambar 5.5 Gambaran histopatologi pewarnaan Mallory Azan kulit tikus
kelompok perlakuan implantasi perbesaran lensa objektif 10x..
Keterangan : (A) Histopatologi kulit tikus kelompok 2
(perlakuan implantasi scaffold); (B) Histopatologi kulit tikus
kelompok 3 (perlakuan implantasi PRP); (C) Histopatologi
kulit tikus kelompok 4 (perlakuan implantasi scaffold
kombinasi PRP). Tanda panah menunjukkan matriks
ekstraseluler. E: epidermis; D: dermis; K: keropeng (scab).
E
D D
K
K
D
45
Gambaran histopatologi kulit tikus kelompok 2 yaitu tikus dengan
perlakuan implantasi scaffold menunjukkan bahwa area insisi telah
menutup sempurna. Pada area insisi, yaitu pada bagian dermis
menunjukkan bahwa matriks ekstraseluler sudah mulai terbentuk. Pada
kelompok 2, gambaran histopatologi struktur kulit mendekati kelompok 1.
Pada pewarnaan Mallory Azan jaringan ikat (matriks ekstraseluler) akan
terwarnai biru (Eroschenko, 2008). Gambaran histopatologi matriks
ekstraseluler kelompok 3 yaitu perlakuan implantasi PRP dan kelompok 4
yaitu perlakuan implantasi scaffold kombinasi PRP menunjukkan hasil
yang serupa, yaitu menunjukkan gambaran matriks ekstraseluler yang
terbentuk lebih sedikit daripada kelompok 2 (Gambar 5.5).
Scaffold yang dikombinasikan dengan PRP dapat membantu proses
kesembuhan luka dengan PRP sebagai growth factor dan scaffold yang
berperan sebagai reservoir atau wadah dari growth factor dan tempat
melekat sel sehingga sel dapat berproliferasi. Pada fase penyembuhan
luka, proses pembentukan matriks ekstraseluler terjadi pada fase
proliferasi. Scaffold yang diimplantasi berfungsi sebagai tempat sel
melekat, dan dengan adanya growth factor menyebabkan sel fibroblas
bermigrasi dan berproliferasi, sehingga sel fibroblas dapat mensintesis
matriks ekstraseluler dan terjadi deposisi matriks ektraseluler. Menurut
Badylak et al., (2009), scaffold biologis yang terdiri dari matriks
ekstraseluler telah terbukti mempengaruhi angiogenesis, proliferasi sel,
migasi sel, dan diferensiasi sel. Aktivitas biologi tersebut biasanya
46
disebabkan oleh mekanisme pensinyalan sel yang melibatkan molekul
terlarut. Scaffold yang terdiri dari ECM terbukti kaya akan growth factor,
molekul bifungsional seperti fibronektin dan berbagai tipe kolagen. Gould
(2016) menyatakan bahwa secara in vitro, kolagen tipe 1 (komposisi
scaffold) meningkatkan deposisi matriks ekstraseluler oleh fibroblas
dermal.
Penambahan PRP dimaksudkan untuk mempercepat proses
kesembuhan luka. Hal ini karena PRP mengandung growth factor yang
dapat mempercepat regenerasi jaringan. Pada penelitian yang dilakukan
Chung et al., (2015) penggunaan PRP allogeneic memiliki keampuhan
yang sama untuk penyembuhan luka seperti PRP autolog. Dalam
penelitian Zhang et al., (2013) tentang penggunaan PRP untuk pengobatan
kerusakan tulang pada hewan kelinci menunjukkan bahwa PRP allogeneic
memiliki khasiat yang besar dan imunogenesitasnya tidak berarti. Growth
factor dalam PRP yang beperan dalam sintesis matriks ekstraseluler antara
lain PDGF, IGF, FGF dan TGF-β yang menyebabkan sel fibroblas
bermigrasi dan berproliferasi sehingga kemudian dapat mensintesis
matriks ekstraseluler (Bryant dan Nix, 2016).
Pada kelompok perlakuan implantasi PRP maupun implantasi
scaffold yang dikombinasikan dengan PRP, menunjukkan hasil
pembentukan matriks ekstrasluler yang lebih sedikit daripada kelompok
implantasi scaffold. Hal ini terjadi karena implantasi dengan PRP
menyebabkan banyak terbentuknya fibrin clot yang kemudian akan
47
mengering dan membentuk keropeng (scab). Fibrin clot terbentuk ketika
terjadi aktivasi platelet melalui jalur intrinsik dan ekstrinsik yang bertujuan
untuk menyediakan matriks provisional. Secara normal fibrin clot akan
digantikan oleh terbentuknya jaringan granulasi. Pada semua kelompok
perlakuan implantasi, dilakukan penutupan luka dengan bandage yang
ditujukan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Namun penutupan
luka menggunakan bandage tersebut menyebabkan lingkungan luka
menjadi kurang lembab sehingga menyebabkan fibrin clot tersebut
mengering dan menjadi keropeng (scab). Adanya bandage juga
menyebabkan keropeng tidak mudah lepas dan menyebabkan area luka
menjadi tertekan sehingga dapat mengganggu pembentukan matriks
ekstraseluler baru dan juga lapisan epidermis kulit (epitelialisasi).
Keropeng pada permukaan luka menghambat epitelialisasi (Katsambas et
al., 2015). Gambaran histopatologi secara umum pada kelompok 3 dan 4
menunjukkan terbentuknya jaringan granulasi yang ditunjukkan dengan
banyaknya angiogenesis serta sel radang dan matriks ekstraseluler.
Terbentuknya jaringan granulasi ini menunjukkan bahwa terjadi proses
kesembuhan luka.
Berdasarkan uraian di atas perlakuan implantasi scaffold yang
dikombinasikan dengan PRP menyebabkan peningkatan ekspresi IL-1β
yang berhubungan dengan inflamasi dalam proses perbaikan jaringan yang
menyebabkan sel radang teraktivasi dan melepaskan growth factor yang
menginduksi sintesis matriks ekstraseluler baru.
48
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik
kesimpulan bahwa :
1. Kombinasi scaffold xenograft dan PRP allograft yang diimplantasikan
pada subkutan kulit tikus putih dapat meningkatkan ekspresi IL-1β
karena terjadi proses regenerasi dan remodelling jaringan pada uji
biokompatibilitas respon imun akut.
2. Kombinasi scaffold xenograft dan PRP allograft yang diimplantasikan
pada subkutan kulit tikus putih mampu mendorong perbaikan jaringan
dengan terbentuknya matriks ekstraseluler baru di area insisi pada uji
biokompatibilitas respon imun akut.
6.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait respon imun kronis
pada bahan implantasi berupa scaffold xenograft acellular kulit kambing
dan platelet rich plasma allograft untuk melihat efek bahan implan pada
tubuh dalam jangka waktu yang lama.
49
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A. K. dan A.H. Lichtman. 2005. Cellular and Molecular Immunology.
Fifth Edition. Elsevier Saunders.
Akbar, Budhi. 2010. Tumbuhan dengan Kandungan Senyawa Aktif yang
Berpotensi Sebagai Bahan Antifertilitas. Jakarta : Adabia Press.
Ardhani, R. 2013. Menyiapkan Platelet Rich Plasma dari Darah Tikus. Standard
Operating Procedure (SOP). Laboratorium Histologi dan Biologi Sel
Fakultas Kedoteran. Universitas Gadjah Mada.
Atala, Anthony, R. Lanza. J. A. Thomson. 2009. Principles of Regenerative
Medicine. Elsevier : USA.
Badylak, Stephen F., Freytes, Donald O., Gilbert, Thomas W. 2009. Extracellular
Matrix as a Biological Scaffold Material: Structure and Function. Acta
Biomaterialia 5: 1–13.
Badylak, Stephen F., Gilbert, Thomas W. 2008. Immune Response to Biologic
Scaffold Materials. Seminars in Immunology 20: 109–116.
Badylak, Stephen F., Swinehart, Ilea T., Keane, Timothy J. 2015. Methods of
Tissue Decellularization Used for Preparation of Biologic Scaffolds and In
Vivo Relevance. Methods 84: 25 – 34.
Banerjee, Indranil, D. Mishra, T. Das, S. Maiti, T.K Maiti. 2012. Caprine (Goat)
Collagen: A Potential Biomaterial for Skin Tissue Engineering. Journal of
Biomaterial Science, Polymer Edition, Volume 23: 355-373.
Baranoski, Sharon, E. A. Ayello, 2008. Wound Care Essentials: Practice
Principles. 2nd Edition. Wolters Kluwer. Lippincott Williams & Wilkins.
Bendinelli, Paola, E. Matteucci, G. Dogliotti, M. M. Corsi, G. Banfi, P. Maroni,
M. A. Desiderio. 2010. Molecular Basis of Anti-Inflammatory Action of
Platelet-Rich Plasma on Human Chondrocytes: Mechanisms of NF-kB
Inhibition Via HGF. Journal of Cellular Physiology.225(3): 757-766.
Bryant, Ruth, D. Nix. 2016. Acute and Chronic Wounds: Current Management
Concepts, 5th Edition. Elsevier.
Chan, B. P. and Leong, K. W. 2008. Scaffolding in Tissue Engineering: General
Approaches and Tissue-Specific Considerations. European Spine Journal
17 (4): 467–479.
50
Choi, J. S., H. J. Yang, B. S. Kim, J. D. Kim, S. H. Lee, E. K. Lee, K. Park, Y. W.
Cho, H. Y. Lee. 2010. Fabrication of Porous Extracellular Matrix Scaffolds
from Human Adipose Tissue. Tissue Engineering: Part C.Volume 16 (3):
387-396.
Chung, Tae-ho, D.S. Baek, N. Kim. J.H. Park. C. Park. 2015. Topical allogeneic
platelet-rich plasma treatment for a massive cutaneous lesion induced by
disseminated intravascular coagulation in a toy breed dog. Irish Veterinary
Journal. 68 (1): 4.
Crapo, P. M., T. W. Gilbert, S. F. Badylak. 2011. An Overview of Tissue and
Whole Organ Decellularization Process. Biomaterial 32: 3233-3243.
Dhurat, Racita, MS. Sukesh. 2014. Principles and Methods of Preparation of
Platelet-Rich Plasma: A Review and Author’s Perspective. Journal of
Cutaneous and Aesthetic Surgery, 7 (4): 189-197.
Dobrucki, L. W. Y. Tsutsumi, L. Klinowski, J. Dean, M. Gavin. 2010. Analysis of
Angiogenesis Induced by local IGF-1 Expression After Myocardial
Infarction Using microSPECT-CT Imaging. Journal of Molecular and
Cellular Cardiology 48 : 1071-1079.
Ducheyne, Paul, K. Healy, D. E. Hutmacher, D. W. Grainger, C. J. Kirkpatrick.
2011. Comprehensive Biomaterials. Springer.
Eroschenko, Victor P. 2008. DiFiore's Atlas of Histology with Functional
Correlations. Philadelphia: Wolters Kluwer.
Frantz C., K. M. Stewart, V. M. Weaver. 2010. The Extracellular Matrix at A
Glance. Journal of Cell Science. 123 (24): 4195-4200
Giannopoulou M., C. Dai, X. Tan, W. Wen, G.K. Michalopoulos, L. Youhua.
2008. Hepatocyte Growth Factor Exerts Its Anti-Inflammatory Action by
Disrupting Nuclear Factor-κB Signaling. The American Journal of
Pathology. 173(1): 30–41.
Gould, Lisa J. 2016. Topical Collagen-Based Biomaterials for Chronic Wounds:
Rationale and Clinical Application. Advances in Wound Care. 5 (1): 19-31.
Granick, M. S., L. Teot. 2012. Surgical Wound Healing and Management second
edition. CRC Press.
Hillyer, Cchristoper D. 2007. Blood Banking and Transfusion Medicine: Basic
Principles & Practice. Philadelphia : Elsevier
51
Hinderer S., S. L. Layland, K. C. Layland. 2015. ECM and ECM like materials
Biomaterials for applications in regenerative medicine and cancer therapy.
Advanced Drug Delivery Reviews 97: 260-269.
Hrebikova, Hana, Diaz, Daniel, Mokry, Jaroslav. 2015. Chemical
Decellularization: a Promising Approach for Preparation of Extracellular
Matrix. Biomedical papers of the Medical Faculty of Palacký University,
Olomouc, Czech Republic 159 (1): 12-17.
Ikada, T. 2006. Tissue Engineering: Fundamental and Applications, Chapter 1.
Elsevier : Amsterdam: 1-3.
Iwamoto, de Sousa Iwamoto, Duailibi, Juliano. 2016. Tooth Tissue Engineering:
Tooth Decellularization for Natural Scaffold. Future Science OA 2 (2),
FSO121.
Johson, K. E. and T. A. Wilgus. 2014. Vascular Endothelial Growth factor and
Angiogenesis in the Regulation of Cutaneous Wound Repair. Advance in
Wound Care 3 (10): 647-661.
Junqueira, Luiz C. U., J. Carneiro, 2005. Basic Histology : Text & Atlas.
McGraw-Hill.
Katsambas, Andreas D., T. M. Lotti, C. Dessinioti, A. M. D E’rme. 2015.
European Handbook of Dermatological Treatments, Third Edition. Berlin:
Springer-Verlag.
Kresno, S. B. 2013. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi
Kelima. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Krinke, G. J. 2000. The Laboratory Rat. San Diego, CA : Academic Press.
Lacci, K.M., A. Dardik. 2010. Platelet-Rich Plasma: Support For Its Use In
Wound Healing. Yale Journal Of Biology And Medicine 83: 1-9.
Le, Xuan, G.E.J. Poinern, N. Ali, C.M. Berry, D. Fawcett. 2013. Engineering a
Biocompatible Scaffold with Either Micrometre or Nanometre Scale
Surface Topography for Promoting Protein Adsorption and Cellular
Response. International Journal of Biomaterial. Volume 2013: 1-16.
Lee, Jeong Woo, O H. Kwon, T. K. Kim, Y.K. Choo, K. Y. Choi, H. Y. Chung, B.
C. Cho, J. D. Yang, J. H. Shin. 2013. Platelet-Rich Plasma: Quantitative
Assessment of Growth Factor Levels and Comparative Analysis of
Activated and Inactivated Groups. Archives of Plastic Surgery. 40 (5): 530-
535.
52
Lin, Yunfeng. 2017. Stem Cell Biology and Regenerative Medicine: Cartilage
Regeneration. Springer.
NCBI. 2017. IL1B interleukin 1 beta [Homo sapiens (human) ]. //http.www.ncbi.nlm.nih.gov/.[20 Juli 2017].
Nieder, C., L. Milas, K. K. Ang. 2003. Modification of Radiation Response:
Cytokines, Growth Factors, and Other Biological Targets. Springer-Verlag:
Berlin.
Parker, G. A. and C. A. Picut. 2016. Atlas of Histology of Juvenile Rat. Springer.
Permata, F. S. 2015. Laporan Penelitian : Peningkatan Biokompabilitas Dinding
Jantung Acellular Melalui Teknik Antigen Removal dan Antigen Masking.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Jakarta dan Program
Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya Malang.
Permata, F.S. 2013. Karakterisasi Makroskopik, Mikrostruktur, dan Kekuata
Mekanis Saraf Tepi Domba dan Babi Kondisi Segar dan Pasca
Deselularisasi. Naskah Publikasi. Rekayasa Biomedis. Universitas Gadjah
Mada.
Pignatello, Rosario. 2011. Biomaterials Applications for Nanomedicine. InTech.
Porth, Caroll Mattson. 2011. Essential of Pathophysiology: Concept of Altered
Health. Wolters Kluwer Health: China.
Schwab, Manfred. 2001. Encyclopedic Reference of Cancer. Springer.
Schwab, Manfred. 2011. Encyclopedia of Cancer: 3rd Edition. Springer.
Smith, Rick G., C. J Gassmann, M. S. Campbell. 2007. Platelet-rich Plasma:
Properties and Clinical Applications. The Journal of Lancaster General
Hospital 2 (2): 73-78.
Sondell, M., G. Lundborgand and M. Kanje. 1998, Regeneration of the rat sciatic
nerve into allografts made acellular through chemical extraction, Brain Res.
795: 44-54.
Velnar, T., T. Bailey, V. Smrkolj. 2009. The Wound Healing Process: an
Overview of the Cellular and Molecular Mechanism. The journal of
International Medical Research. 37: 1528-1542.
Weglein, A., S. Sampson, D. Aufeiro. 2014. Platelet Rich Plasma Practical Use in
Non-Surgical Musculoskeletal Pathology dalam Platelet Rich Plasma
Regenerative Medicine : Sports Medicine, Orthopedic, and Recovery of
Musculoskeletal Injuries edited by Lana et al. Springer.
53
Widyawati, Tri. 2014. Pengaruh Induksi Lipolisakarida terhadap Profil Protein
dan Aktivitas Enzim Protease Otak Tikus Putih (Rattus norvegicus)
[Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Brawijaya.
Yang, Jinjiang, Y. Lu, A. Guo. 2016. Platelet Rich Plasma Protects Rat
Chondrocytes from Interleukin 1 β induced apoptosis. Molecular Medicine
Reports 14 (5): 4075-4082.
Ye, Qingsong. 2013. Molecullar and Cellular Mechanism of Collagen
Degradation in the Foreign Body Reaction. University of Gronigen.
Zheijang. China.
Young, Barbara, J. S. Lowe, A. Stevens, J. W. Heath. 2006. Wheater's Functional
Histology: A Text and Colour Atlas. Elsevier.
Yudha, G.C.P. 2013. Pengaruh Kombinasi Bovine Kolafen Tipe I dan PRP
terhadap Penyembuhan Fraktur Femur Tikus Putih (Rattus novergicus strain
wistar) dalam kondisi Hiperglikemi [Thesis]. Fakultas Kedokteran.
Universitas Brawijaya.
Yulian, B.D. 2017. Pengaruh Aplikasi Antigen Removal (AR) pada Uji
Biokompabilitas Akut Jantung Aseluler dengan Melihat Gambaran Jaringan
Baru dan Ekspresi IL-10 pada Kulit Mencit [Skripsi]. Fakultas Kedokteran
Hewan. Universitas Brawijaya.
Zhang, Z. Y. A.W. Huang, J. J. Fan. K. Wei. D, Jin. B. Chen. D. Li. L. Bi. J.
Wang. G. Pei. 2013. The Potential Use of Allogeneic Platelet-Rich Plasma
for Large Bone Deffect Treatment : Immunogenicity and Defect Healing
Efficacy. Cell Transplantation 22: 175-187.