print anestesi.docasdcasbdckuagcvhjbakugcahsdcgkauhvdckajshgdvckjhgsavdckahgvdcj,hasvdckjsahc

101
Konstanta Waktu Berbeda di Regional Paru Sejauh ini komplians dan resistensi jalan napas pada dada dijelaskan secara terpisah. Pada analisis berikut ini, tekanan dimulut diasumsikan meningkat tiba-tiba menjadi bnilai yang positif (gambar 17-2) yang mengatasi elastisistas dan resistensi jalan napas dan untuk menjaga tetap pada nilai tersebut selama pengembangan paru. ΔP yang diperlukan untuk mengatasi resistensi jalan napas nonelastis yaitu perbedaan antara tekanan tetap di mulut dan tinggi garis yang diarsir pada gambar 17-12 dan proporsional terhadap laju aliran selama sebagian besar siklus pernapasan. Sehingga, ΔP yang diperlukan untuk mengatasi jalan napas nonelastis yang maksimal diawal dan menurun secara eksponen (gambar 17-12A, garis putus-putus). Laju pengisian oleh karena itu juga tidak terjadi secara eksponen. Gradien tekanan yang tersisa mengatasi resistensi elastis (tinggi pada daerah yang diarsir pada gambar 17-12A) dan sesuai dengan perubahan volume paru. Dengan demikian, ΔP yang dibutuhkan untuk mengatasi resistensi elastis yaitu yang minimal diawal tetapi meningkat secara eksponen, juga volume paru. Pengisian alveolus berhenti (volume paru tetap konstan) saat tekanan akibat dari keseimbangan gaya retraktif elastis tekanan yang digunakan (mulut) (lihat gambar 17-12A, garis putus-putus). Karena hanya waktu yang terbatas untuk pengisian alveolus dan karena pengisian alveolus terjadi dengan tahapan eksponen, derajat pengisian tentu saja bergantung pada durasi inspirasi. 1

description

asdcjhgvaskducaskcvkashvcksauhvasdcjhgvaskducaskcvkashvcksauhvasdcjhgvaskducaskcvkashvcksauhvasdcjhgvaskducaskcvkashvcksauhvasdcjhgvaskducaskcvkashvcksauhvasdcjhgvaskducaskcvkashvcksauhvasdcjhgvaskducaskcvkashvcksauhvasdcjhgvaskducaskcvkashvcksauhvasdcjhgvaskducaskcvkashvcksauhvasdcjhgvaskducaskcvkashvcksauhvasdcjhgvaskducaskcvkashvcksauhv

Transcript of print anestesi.docasdcasbdckuagcvhjbakugcahsdcgkauhvdckajshgdvckjhgsavdckahgvdcj,hasvdckjsahc

Konstanta Waktu Berbeda di Regional Paru

Sejauh ini komplians dan resistensi jalan napas pada dada dijelaskan secara terpisah. Pada analisis berikut ini, tekanan dimulut diasumsikan meningkat tiba-tiba menjadi bnilai yang positif (gambar 17-2) yang mengatasi elastisistas dan resistensi jalan napas dan untuk menjaga tetap pada nilai tersebut selama pengembangan paru. P yang diperlukan untuk mengatasi resistensi jalan napas nonelastis yaitu perbedaan antara tekanan tetap di mulut dan tinggi garis yang diarsir pada gambar 17-12 dan proporsional terhadap laju aliran selama sebagian besar siklus pernapasan. Sehingga, P yang diperlukan untuk mengatasi jalan napas nonelastis yang maksimal diawal dan menurun secara eksponen (gambar 17-12A, garis putus-putus). Laju pengisian oleh karena itu juga tidak terjadi secara eksponen. Gradien tekanan yang tersisa mengatasi resistensi elastis (tinggi pada daerah yang diarsir pada gambar 17-12A) dan sesuai dengan perubahan volume paru. Dengan demikian, P yang dibutuhkan untuk mengatasi resistensi elastis yaitu yang minimal diawal tetapi meningkat secara eksponen, juga volume paru. Pengisian alveolus berhenti (volume paru tetap konstan) saat tekanan akibat dari keseimbangan gaya retraktif elastis tekanan yang digunakan (mulut) (lihat gambar 17-12A, garis putus-putus).

Karena hanya waktu yang terbatas untuk pengisian alveolus dan karena pengisian alveolus terjadi dengan tahapan eksponen, derajat pengisian tentu saja bergantung pada durasi inspirasi. Kece[atan perubahan sebuah kurva eksponen dapat dijelaskan dengan konstanta waktunya , yaitu waktu yang diperlukan untuk memenuhi 63% fungsi yang berubah secara eksponen jika total waktu yang diberikan untuk perubahan fungsi tidak terbatas (2 = 87%, 3 = 95%, dan 4 = 98%). Untuk pengembangan paru, = CT x R; normalnya, CT = 0,1 L/cmH2O, R = 2,0 cm H2O/L/detik, = 0m2 detik dan 3 = 0,6 detik.

Saat persamaan tersebut diaplikasikan ke unit alveolus seseorang, waktu yang dibutuhkan untuk mengisi satu unit tentu akan meningkat sama halnya resistensi jalan napas juga meningkat. Waktu pengisian alveolus juga meningkat seperti meningkatnya komplians dikarenakan volume udara yang lebih besar akan dipindahkan ke alveolus yang lebih komplians sebelum gaya retraktif menyamai tekanan yang digunakan. Komplians alveoli seseorang berbeda dari bagian atas ke bagian bawah paru, dan resistensi jalan napas seseorang bervariasi tergantung panjang dan diameter jalan napasnya. Oleh karena itu, berbagai konstanta waktu untuk pengembangan paru ada diseluruh lapangan paru.

Jalur Ventilasi Kolateral

Ventilasi kolateral merupakan determinan nongravitasi dari distribusi ventilasi. Diketahui ada 4 jalur ventilasi kolateral. Pertama, hubungan intraalveolar (pori-pori Kohn) terdapat pada sebagian besar spesies; jumlahnya berkisar antara 8 sampai 50 per alveolus dan meningkat seiring dengan usia dan dengan adanya penyakit paru obstruktif. Peran pastinya masih belum diketahui, tetapi kemungkinan berperan dalam mencegah hipoksia di jaringan sekitar yang merupakan unit obstruksi paru. Kedua, adanya hubungan distal alveolus dan bronkiolus (channel of Lambert), tetapi fungsi in vivonya masih spekulatif (kemungkinan sama dengan pori-pori Kohn). Ketiga, adanya hubungan bronkiolus ke bronkiolus terminal pernapasan pada bagian paru yang berdekatan (channel of Martin) pada anjing yang sehat dan manusia dengan penyakit paru. Keempat, adanya hubungan interlobaris; ciri fungsional ventilasi kolateral interlobaris melalui hubungan tersebut telah diidentifikasi pada anjing, dan juga telah diobservasi pada manusia.

Kerja pernapasanKarakteristik volume-tekanan paru juga menentukan kerja pernapasan. Karena

Kerja = Gaya x Jarak

Gaya = Tekanan x Area

Jarak =Volume/Area

Usaha didefinisikan dengan persamaan berikut

Kerja = (Tekanan x Area) (Volume/Area)

Kerja = Tekanan x Volume

dan kerja ventilator dapat dianalisis dengan menggunakan tekanan terhadap volume. Dalam keadaan meningkatnya resistensi jalan napas atau menurunnya CL, peningkatan tekanan transpulmoner dibutuhkan untuk mencapat VT yang ada dengan peningkatan konsekuen usaha napas. Pemakaian metabolik usaha napas dalam keadaan istirahat yaitu 1% sampai 3% konsumsi oksigen pada manusia sehat, tetapi hal ini meningkat (sampai 50%) pada pasien dengan penyakit paru.

Dua diagram tekanan-volume ditunjukkan dalam gambar 17-3. Selama inspirasi normal (grafik kiri), tekanan transpulmoner meningkat dari 0 sampai 5 cmH2O sementara 500 mL udara dialirkan ke dalam paru. Energi potensial disimpan oleh paru selama inspirasi dan digunakan selama ekspirasi; dengan konsekuensi, seluruh siklus ekspiratori adalah pasif. Hatched area dengan area segitiga ABC menggambarkan kelipatan tekanan oleh volume dan merupakan usaha napas. Garis AB merupakan bagian terendah dari kurva tekanan-volume pada gambar 17-13. Area segitiga ABC merupakan usaha yang diperlukan untuk mengatasi gaya elastis (CT), dimana hatched area merupakan usaha yang diperlukan untuk mengatasi aliran udara atau resistensi gesekan (R). Grafik di sebelah kanan digunakan pada pasien yang dianestesi dengan penyakit obstruksi jalan napas difusa yang diakibatkan oleh akumulasi sekresi mukus. Terdapat peningkatan pada komponen yang memberi hambatan elastisitas (segitiga ABC) dan jalan napas (hatched area) dari usaha pernapasan. Selama ekspirasi, hanya 250 mL udara yang meninggalkan paru selama fase pasif saat tekanan intratorakal mencapai nilai ekuilibrium 0 cmH2O. Upaya aktif memproduksi usaha dibutuhkan untuk memaksa sisa 250 mL udara untuk keluar, dan tekanan intratorakal menjadi positif.

Untuk volume menit yang konstan, usaha yang dilakukan untuk melawan resistensi elastis meningkat saat pernapasan dalam dan lambat. Di sisi lain, usaha yang dilakukan untuk melawan resistensi jalan napas meningkat saat pernapasan cepat dan dangkal. Jika kedua komponen tersebut digabungkan dan usaha total digunakan terhadap frekuensi pernapasan, terdapat frekuensi pernapasan yang optimal dimana total usaha napas menjadi minimal (gambar 17-14). Pada pasien dengan penyakit paru dimana resistensi elastisnya tinggi (fibrosis paru, edema paru, bayi), frekuensi optimum meningkat, dan terjadi pernapasan cepat dan dangkal. Sama seperti otot pada umumnya, otot pernapasan akan menjadi lelah, khususnya pada napas cepat dan dangkal. Saat resistensi jalan napas tinggi (asma, penyakit obstruksi paru), frekuensi optimum menurun, dan terjadi pernapasan dalam dan lambat (menyebabkan perpanjangan fase ekspirasi), Pernapasan cepat dan dangkal juga terjadi pada pasien ini saat kelelahan dan eksaserbasi lebih lanjut dari masalah penyakit (resistensi jalan napas) pokoknya.

Volume Paru, Kapasitas Fungsional Residual, dan Closing Capacity

Volume Paru dan Kapasitas Fungsional Residual

FRC didefinisikan sebagai volume gas di dalam paru pada akhir ekspirasi normal saat tidak ada aliran udara dan PA sama dengan tekanan ambien. Pada kondisi tersebut, gaya elastisitas pengembangan dinding dada akan seimbang dengan gaya elastisitas retraktif jaringan paru (gambar 17-15).

Expiratory reserve volume/ERV (volume cadangan ekspirasi) merupakan bagian dari FRC; yaitu gas tambahan setelah melewati akhir volume tidal yang dapat dikeluarkan secara sadar dan hasilnya menjadi volume minimum paru, yang dikenal dengan nama volume residual. Dengan demikian, FRC sama dengan volume residual ditambah expiratory reserve volume (gambar 17-16). Sehubungan dengan volume paru lain yang terdapat pada gambar 17-16, VT, kapasitas vital, kapasitas inspirasi, inspiratory reserve volume dan expiratory reserve volume semua dapat diukur dengan spirometri sederhana. Kapasitas total paru (TLC), FRC dan volume residual semua memiliki pecahan (volume residual) yang tidak dapat diukur dengan spirometri sederhana. Tetapi, jika satu dari ketiga volume paru tersebut dapat diukur, maka yang lain dapat dengan mudah didapatkan karena volume paru lainnya, yang menghubungkan ketiga volue tersebut satu sama lain, dapat diukur dengan spirometri sederhana.

Volume residual, FRC dan TLC dapat diukur dengan menggunakan 3 teknik: (1) washout nitrogen, (2) dilusi gas inert, dan (3) pletismografi tubuh total. Metode pertama, teknik washout nitrogen, berdasarkan pengukuran konsentrasi nitrogen yang di ekspirasi sebelum dan sesudah bernapas oksigen murni untuk memerapa menit dan dengan demikian dihitung total jumlah nitrogen yang dieliminasi. Sehingga, jika 2 liter nitrogen dieliminasi dan konsentrasi awal nitrogen di alveoli 80%, volume awal paru adalah 2,5 liter. Metode kedua, teknik dilusi gas inert, menggunakan washin gas inert wash-in seperti helium, Jika 50 mL helium dimasukkan ke dalam paru dan, setelah ekuilibrisasi, didapatkan konsentrasi helium 1%, volume paru adalah 50 liter. Metode ketiga, pletismografi tubuh total, menggunakan hukum Boyle (contohnya P1V1=P2V2, dimana P1 = tekanan awal, V1 = volume awal). Subjek dimasukkan dalam gas-tight box (pletismograf) sehingga perubahan volume tubuh selama pernapasan dapat diketahui sebagai perubahan pada kotak yang tertutup. Walaupun setiap teknik memiliki keterbatasan teknis, semuanya berdasarkan prinsip fisik dan fisiologis dan memberikan hasil yang akurat pada pasien normal. Perbedaan antara FRC yang diukur dengan pletismograf tubuh dan dengan metode dilusi helium sering digunakan untuk mendeteksi bleb nonventilasi udara yang terperangkap yang berukuran besar. Jelas sekali bahwa terdapat kesulitan dalam menerapkan pletismograf tubuh pada pasien yang dianestesi.

Penutupan Jalan Napas dan Closing Capacity

Seperti yang telah dibahas sebelumnya pada subbab distribusi ventilasi, Ppl meningkat dari atas ke bawah paru dan menentukan ukuran alveoli regional, komplians dan ventilasi. Bahkan untuk kepentingan yang lebih besar bagi ahli anestesi yaitu mengetahui bahwa gradien Ppl tersebut dapat menyebabkan penutupan jalan napas dan kolapsnya alveoli.

PENUTUPAN JALAN NAPAS PADA PASIEN DENGAN PARU NORMAL. Gambar 17-17A menggambarkan posisi normal FRC kombinasi paru-dinding dada diakhir pernapasan saat istirahat. P transmural saluran udara transpulmoner dan intratorakal yang berdistensi adalah 5 cm H2O, dan jalan napas tetap paten. Selama pertengahan inspirasi normal (gambar 17-17B) terdapat peningkatan P transmural (samapi 6,8 cm H2O) yang merangsang terjadinya distensi saluran udara intratorakal. Selama pertengahan ekspirasi normal (gambar 17-17C), ekspirasi berlangsung pasif; PA digunakan hanya pada penurunan elastisitas paru (2 cm H2O), dan terdapat penurunan (sampai 5,2 cm H2O), tetapi tetap merupakan P transmural intraluminal yang baik. Selama pertengahan ekspirasi paksa berat (gambar 17-17D), Ppl meningkat jauh lebih tinggi dibandingkan tekanan atmosferik dan disampaikan ke alveoli, yang memiliki tekanan yang tetap lebih tinggi dikarenakan penurunan elastisitas septa alveoli (tambahan 2 cm H2O). Pada laju aliran gas yang tinggi, tekanan sampai bagian bawah saluran napas meningkat, akan sampai pada suatu titik dimana tekanan intraluminal sama dengan baik tekanan parenkim disekitarnya ataupun Ppl; keadaan tersebut dinamakan equal pressure point (EPP). Jika EPP terjadi pada saluran udara intratorakal berukuran kecil (distal sampai cabang ke 11, jalan napas tidak memiliki kartilago dan disebut bronkiolus), saluran tersebut mungkin akan tetap terbuka dikarenakan efek mengikat dari penurunan elastisitas di sekitar parenkim paru. Jika EPP terjadi pada saluran udara ekstratorakal ukuran besar (proksimal sampai cabang ke 11, jalan napas memiliki kartilago dan disebut bronkus), kemungkinan akan tetap terbuka pada keadaan ini dikarenakan kartilagonya. Laju penurunan EPP (baik pada jalan napas ukuran besar ataupun kecil), P transmural berkebalikan (-6 cm H2O), terjadi penutupan jalan napas. Sehingga jalan napas paten distal sampai cabang ke 11 merupakan fungsi dari volume paru, dan jalan napas paten proksimal sampai cabang ke 11 merupakan fungsi tekanan intratorakal (pleura). Pada bronkus ekstratorakal dengan kartilago, selubung membran posterior tampak pada awal terjadi incaginasi ke dalam lumen. Jika volume paru turun secara abnormal (contohnya karena terpuntir) dan ekspirasi masih dipaksakan, diameter jalan napas akan turun sepanjang waktu, dimana akan menyebabkan EPP dan titik kolaps untuk berpindah secara progresif dari jalan udara yang lebih besar ke yang lebih kecil.

Pada orang dewasa dengan paru normal, penutupan jalan napas tetap dapat terjadi walaupun ekspirasi tidak dipaksakan, dikarenakan volume residual dicapai cukup dekat. Walaupun pasien dengan paru normal, seiring menurunnya volume paru terhadap volume residual selama ekspirasi, jalan napas kecil (diameter 0,5 sampai 0,9 mm) menunjukkan kecenderungan progresif untuk menutup, dimana jalan napas yang berukuran besar akan tetap paten. Penutupan jalan napas terjadi pertama kali pada regio paru yang dependen (seperti yang telah diobservasi dengan computed tomography) karena tekanan transpulmoner yang berdistensi lebih rendah dan perubahan volume saat ekspirasi lebih besar. Penutupan jalan napas seringnya terjadi pada regio paru yang dependen baik pasien dalam posisi supine atau dekubitus lateral dan baik pada ventilasi spontan atau pub ventilasi tekanan-positif.

PENUTUPAN JALAN NAPAS PADA PASIEN DENGAN PARU ABNORMAL Penutupan jalan napas terjadi pada ekspirasi aktif sedang, laju aliran gas yang lebih rendah, dan volume paru yang lebih tinggi dan terjadi penutupan terhadap alveolus pasien dengan emfisema, bronkitis, asma dan edema paru interstisial. Pada keempat kondisi tersebut, peningkatan resistensi jalan napas menyebabkan penurunan tekanan yang besar dari alveoli ke bronkus yang lebih besar, sehingga menyebabkan kemungkinan untuk P transmural intratorakal negatif dan penyempitan serta kolapsnya jalan napas. Selain itu, kekokohan struktur jalan napas dapat berkurang dikarenakan inflamasi dan scar, sehingga jalan napas tersebut dapat lebih bisa tertutup untuk volume paru atau P transluminal yang terjadi.

Pada emfisema, penurunan elastisitas paru berkurang (sampai 1 cm H2O pada gambar 17-17E), saluran udara kurang didukung oleh parenkim paru, titik resistensi jalan napas dekat dengan alveolus, dan P transmural dapat berubah menjadi negatif dengan cepat. Oleh karena itu, walaupun hanya terjadi ekspirasi paksa sedang pada pasien emfisema, EPP dan tempat kolaps yang mendekati alveolus (lihat gambar 17-17E). Adanya pursed-lip atau grunting pada ekspirasi (sama dengan laring yang tertutup parsial selama ekspirasi), PEEP, dan tekanan positif jalan napas berkelanjutan pada pasien emfisema mengembalikan P transmural udara intratorakal yang baik (distensi) (gambar 17-17F). Pada bronkitis, jalan napas memiliki struktur yang lemak dan mungkin akan tertutup jika terdapat P transmural negatif walaupun hanya sedikit (sama seperti ekspirasi paksa sedang). Pada asma, jalan napas yang berukuran sedang dipersempit karena adanya bronkospasme, dan jika ekspirasi dipaksakan, akan terjadi penyempitan lebih jauh oleh P transmural negatif. Terakhir, pada edema paru interstisial, edema perialveolar interstisial menekan alveoli dan menurunkan FRC secara akut; cairan edema peribronkial cuff (dalam selubung jaringan ikat disekitar arteri besar dan bronkus) menekan bronkus dan meningkatkan closing volume secara akut.

PENGUKURAN CLOSING CAPACITYCC merupakan uji sensitif awal untuk penyakit jalan napas kecil dan dilakukan dengan meminta pasien untuk menghembuskan volume residual (gambar 17-18). Saat inhalasi volume residual terhadap TLC dmulai, tracer gas bolus (xenon 133, helium) diinjeksi ke dalam gas yang diinspirasi. Selama bagian awal inhalasi tersebut sampai volume residual, gas pertama yang masuk ke dalam alveolus adalah gas VD dan pelacak bolus. Tracer gas akan masuk hanya ke alveoli yang sudah terbuka (diperkirakan terdapat di apeks paru) dan tidk memasuki alveoli yang sudah tertutup (diperkirakan terdapat di basal paru). Saat inhalasi berlanjut, apeks alveoli sudah terisi dan alveoli basal mulai membuka dan mengisi, tetapi dengan gas yang tidak mengandung pelacak gas sama sekali.

Konsentrasi gas pelacak yang tidak sama tercapai, dengan gas di bagian apeks memiliki konsentrasi pelacak lebih tinggi (lihat gambar 17-18) dibandingkan yang di basal (lihat gambar 17-18). Saat subjek menghembuskan napas dan diafragma naik, suatu titik dicapai dimana jalan napas kecil yang berada diatas diafragma mulai menutup dan membatasi aliran udara dari area tersebut. Aliran udara sekarang datang lebih banyak dari bagian paru atas, dimana gas alveolus hanya memiliki konsentrasi gas pelacak yang tinggi, yang mengakibatkan peningkatan konsentrasi gas pelacak secara tiba-tiba terhadap akhir ekspirasi (fase IV gambar 17-18).

Closing volume (CV) adalah perbedaan antara onset fase IV dan volume residual; karena hal tersebut mewakili manuver bagian dari kapasitas vital, hal ini digambarkan dalam persentase dari kapasitas vital paru. CV ditambah volume residual disebut CC dan digambarkan dalam persentase TLC. Merokok, obesitas, penuaan dan posisi supine telentang dapat meningkatkan CC. Pada individu yang sehat dengan rerata usia 44 tahun, CC = FRC pada posisi telentang, dan pada rerata usia 66 tahun, CC = FRC pada posisi tengkurap.

HUBUNGAN ANTARA KAPASITAS RESIDUAL FUNGSIONAL DAN CLOSING CAPACITY.Hubungan antara FRC dan CC jauh lebih penting dibandingkan hanya pertimbangan FRC atau CC saja karena hubungan ini yang menentukan apakah unit pernapasan yang ada dalam keadaan normal, atelektasis atau memiliki rasio VA/ yang rendah. Hubungan antara FRC dan CC yaitu sebagai berikut. Saat volume paru dimana beberapa penutupan jalan napas lebih besar daripada keseluruhan VT, volume paru tidak akan pernak cukup meningkat selama inspirasi tidak untuk membuka jalan napas tersebut. Sehingga, jalan napas tersebut akan tetap tertutup selama pernapasan tidal. Jalan napas yang selalu tertutup sama saja dengan atelektasis (gambar 17-19). Jika CV beberapa jalan napas berada bertahan sesuai VT, maka saat volume paru meningkat saat inspirasi, beberapa jalan napas yang tertutup sebelumnya akan terbuka sebentar sampai volume paru menurun sekali lagi dibawah CV jalan napas tersebut. Dikarenakan pembukaan dan penutupan jalan napas hanya terbuka lebih sebentar dibanding jalan napas normal, kemungkinan untuk terjadi pertukaran gas semakin sedikit, keadaan yang sama dengan regio VA/ yang rendah. Jika CC paru dibawah seluruh pernapasan tidal, tidak ada jalan napas yang tertutup selama pernapasan tidal; hal ini adalah keadaan yang normal. Hal apapun yang menurunkan FRC relatif ke CC atau meningkatkan CC relatif ke FRC akan mengubah area normal menjadi area VA/ rendah dan atelektasis, yang akan menyebabkan hipoksemia.

Intermittent positive-pressure breathing (IPPB) mekanik dapat efektif karena dapat menangani pasien yang sebelumnya bernapas spontan dengan hubungan VAQ yang rendah (dimana CC lebih besar dari FRC tetapi masih sesuai dengan Vt, seperti tergambar pada gambar 17-20 kolom kanan) dan meningkatkan jumlah waktu inspirasi yang sebelumnya tertutup (saat akhir ekspirasi) jalan napas mendapat pertukaran gas yang baik dan oleh karena itu akan meningkatkan hubungan VAQ (gambar 17-20, kolom tengah). Tetapi, jika PEEP ditambah pada IPPB, PEEP akan meningkatkan FRC sampai atau melebihi volume paru yang lebih besar dibanding CC, oleh karena itu mengembalikan hubungan FRC-ke-CC yang normal sehingga tidak ada jalan napas yang tertutup kapan pun selama respirasi tidal tergambar pada gambar 17-20 (kolom kiri) (IPPB + PEEP). Sehingga, atelektasi yang diinduksi anestesi (computed tomography menunjukkan densitas berbentuk bulan sabit) pada regio paru dependen pasien belum dikembalikan dengan IPPB saja tetapi telah dikembalikan dengan IPPB ditambah PEEP (5 sampai 10 cm H2O).

Transpor Oksigen dan Karbon Dioksida

Ventilasi Alveoli dan Dead Space dan Tekanan Gas Alveoli

Pada paru normal, sekitar dua pertiga dari setiap napas sampai ke alveoli untuk terjadi pertukaran gas. Hal ini membantu terjadinya ventilasi efektif atau ventilation alveolar (VA). Sisa satu pertiga dari tiap napas yang tidak ikut dalam pertukaran gas dan oleh karena itu disebut ventilasi dead space (VD) total (atau fisiologis). Hubungannya yaitu: ventilasi alveolus (VA) = frekuensi (f) (VT VD). Ventilasi dead space fisiologis (atau total) (VD fisiologis) nantinya akan dibagi menjadi 2 komponen: volume gas yang memventilasi jalan napas, dead space anatomis (VD anatomi), dan volume gas yang memventilasi alveolus yang tidak terperfusi, dead space alveolar (VD alveolar). Contoh klinis dari ventilasi VD alveolar meliputi zona 1, emboli paru, dan septum alveolus yang hancur, dan ventilasi tersebut tidak ikut dalam pertukaran gas. Gambar 17-21 menunjukkan model paru dua-kompartemen dimana kompartemen dead space anatomis dan alveolarnya telah digabung menjadi kompartemen dead space total (fisiologis); kompartemen yang lain adalah kompartemen ventilasi paru, yang menjaga rasio adalah 1,0.

Dead space anatomi bervariasi menurut ukuran paru dan sekitar 2 mL/kg berat badan (150 mL pada orang dewasa dengan berat 70 kg). pada orang dewasa yang sehat berbaring dalam posisi terlentang, dead space anatomi dan total (fisiologis) diperkirakan sama karena dead space alveolar biasanya minimal. Pada posisi tegak, alveoli di bagian paling atas kemungkinan tidak terperfusi (zona 1), dan dead space alveolar dapat meningkat dari jumlah yang kecil sampai 60 80 mL.

Gambar 17-21 menggambarkan bahwa pada keadaan stabil, volume CO2 yang memasuki alveoli (VCO2) sama dengan volume CO2 yang dieliminasi dalam gas yang di ekspirasi (VE)(FECO2). Sehingga VCO2 = (VE)(FECO2). Tetapi, volume gas yang diekspirasi terdiri dari gas alveolar (VA)(FACO2) dan gas VD (VD)(FICO2). Sehingga VCO2 = (VA)(FACO2) + (VD)(FICO2). Persamaan pertama sama dengan persamaan kedua dan dengan adanya hubungan VE = VA + VD+, manipulasi aljabar yang sesuai, termasuk bahwa PACO2 sama dengan PaCO2, menghasilkan persamaan Bohr yang dimodifikasi, yaitu:

Nilai PECO2 dapat diketahui dengan mengukur CO2 yang diekspirasi dengan menggunakan kantong (Douglas) ukuran besar, atau biasanya, dapat menggunakan bantuan PCO2 end-tidal (PETCO2). Pada penyakit paru berat, VD/VT fisiologis memberikan gambaran ventilasi yang tidak efisien. Pada dewasa sehat, rasio tersebut biasanya kurang dari 30%; yaitu, ventilasi lebih efisien 70%. Pada pasien dengan COPD, VD/VT dapat meningkat hingga 60% sampai 70%. Pada keadaan tersebut, jelas sekali bahwa ventilasi tidak efisien. Gambar 17-22 menunjukkan hubungan antara ventilasi menit (VE) dan PaCO2 untuk beberapa nilai VD/VT. Saat VD/VT meningkat, penurunan VE yang terjadi menyebabkan peningkatan PaCO2 yang lebih besar. Jika PaCO2 tetap konstan selama peningkatan VD/VT, VE harus meningkat. Konsentrasi gas alveolar sama dengan perbedaan konsentrasi gas saat inspirasi dengan rasio keluar (atau ambilan) gas ke VA. Sehingga, untung gas X pada kondisi kering, PAX = (Pdry atm) (FIX) VX (keluaran atau ambilan) / VA, dimana PAX = tekanan parsial gas X, Pdry atm = tekanan atmosfer kering = Pwet atm PH2O = 760 47 = 713 mm Hg, VX = keluaran atau ambilan gas X, dan VA = ventilasi alveolar.

Untuk CO2, PACO2 = 713(FICO2 + VCO2/VA). Karena FICO2 = 0 dang menggunakan standar faktor konversi:

Contohnya, 36 mm Hg = (713)(200/4000)

Untuk O2,

PAO2 = 713 [FIO2 VO2 (mL/min)/VA (mL/min)]

(11)

Contohnya, 100 mm Hg = 713(0.21 225/3200)

Gambar 17-23 menunjukkan hubungan hiperbolik yang tergambar dari persamaan 10 dan 11 antara PaCO2 dan VA (lihat gambar 17-22) dan antara PAO2 dan VA pada tingkat VCO2 dan VO2 yang berbeda, secara berurutan. PaCO2 menggantikan PACO2 karena gradien PACO2-ke-PaCO2 kecil (sebaliknya dengan gradien PAO2-ke-PaO2, yang besar). Perhatikan bahwa dengan meningkatnya VA second term dari sisi kanan persamaan 10 dan 11 mencapai nol dan komposisi gas alveolar mendekati gas yang diinspirasi. Selain itu, harus diperhatikan bahwa dari gambar 17-22 ke 17-24 dikarenakan anestesia biasanya diberikan dengan campuran gas oksigen yang diperkaya, hiperkapnia lebih sering disebabkan oleh hipoventilasi dibandingkan hipoksemia.

Transpor Oksigen

Tinjauan Transpor Oksigen

Fungsi dasar jantung dan paru adalah untuk membantu transpor oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari jaringan sesuai dengan kebutuhan metabolik selagi menjaga tekanan parsial oksigen dan karbon dioksida dalam arteri agar tetap pada rentang yang sempit. Sistem pernapasan dan kardiovaskuler merupakan serangkaian sistem yang berhubungan untuk mencapai fungsi tersebut pada rentang kebutuhan metabolik yang luas, yang dapat meningkat 30 kali lipat dari keadaan istirahat ke aktivitas berat. Jalur fungsional dalam rantai transpor oksigen yaitu sebagai berikut: (1) ventilasi dan distribusi ventilasi untuk tujuan perfusi, (2) difusi oksigen kedalam darah, (3) reaksi kimia oksigen dengan Hb, (4) T darah arteri, dan (5) distribusi darah ke jaringan dan pelepasan oksigen (Tabel 17-3). Sistem tersebut jarang tertekan kecuali pada saat aktivitas, dan gejala awal penyakit jantung atau paru sering timbul pada saat beraktivitas.

Kapasitas maksimum fungsional dari setiap jalurdapat ditentukan dengan bebas. Tabel 17-3 mendata kapasitas fungsional yang terukur tersebut pada laki-laki muda yang sehat. Karena secara teori transpor maksimal oksigen pada tingkat ventilasi atau difusi dan tingkat reaksi kimia (sekitar 6L/menit pada manusia sehat sejajar permukaan laut) melebihi oksigen yang dapat ditranspor oleh kakrdiak output maksimal dan tahap penyebaran, batasnya untuk transpor oksigen pada sistem kardiovaskuler. Penyakit pernapasan diperkirakan tidak akan membatasi transpor oksigen maksimal sampai kapasitas fungsionalya menurun sampai mendekati 40% - 50%.

Kurva Disosiatif Oksigen-Hemoglobin

Saat sel darah merah melewati alveolus, oksigen berdifusi ke dalam plasma dan meningkatkan PaO2. Saat PaO2 meningkat, oksigen berdifusi ke dalam RBC dan berikatan dengan Hb. Setiap molekul Hb terdiri dari 4 molekul heme yang terikat dengan molekul globin. Setiap molekul heme mengandung glisin, asam -ketoglutarik, dan besi dalam bentuk ferrous (Fe2+). Setiap ion ferrous memiliki kemampuan untuk mengikat 1 molekul oksigen dalam ikatan yang longgar dan reversibel. Saat ion ferrous mengikat oksigen, molekul Hb mulai terseturasi.

Kurva disosiasi oksi-Hb menghubungkan saturasi Hb (sisi paling kanan aksis y pada gambar 17-25) ke PaO2. Hb akan tersaturasi penuh (100%) saat PO2 sekitar 700 mmHg. Titik normal arteri di sisi kanan dan bagian datar dari kurva oksi-Hb dalam gambar 17-25 95% samapai 98% tersaturasi oleh PaO2 sekitar 90 sampai 100 mmHg. Saat PO2 kurang dari 60 mmHg (saturasi 90%), saturasi turun drastis, dan jumlah Hb yang tidak mengikat oksigen meningkat tinggi dalam keadaan turunnya PO2 tersebut. Campuran darah vena memiliki PO2 (PvO2) sekitar 40 mmHg dan sekitar 75% tersaturasi, seperti yang digambarkan pada bagian tengah dari ketiga titik pada kurva oksi-Hb dalam gambar 17-25.

Kurva oksi-Hb juga berhubungan dengan isi O2 (CO2) (vol %, mL O2/0,1 L darah; sisi kanan aksis y nomor dua pada gambar 17-25) terhadap PO2. Oksigen dibawa dalam larutan di plasma, 0.003 mL dari O2/mmHg PO2/0,1 L dan digabung dengan Hb. 1.39 mL dari O2/g Hb, sampai batas (persentase) Hb telah tersaturasi. Sehingga,

CO2 = (1.39)(Hb)(persentase saturasi) + 0.003(PO2)

(12)

Untuk pasien dengan isi Hb 15 g/0.1 L, PaO2 100 mmHg, dan PVO2 40 mmHg, isi O2 arteri (CaO2) = (1.39)(15)(1) + (0.003)(100) = 20.9 + 0.3 = 21.2 mL O2/0,1 L; isi O2 vena campuran (CVO2) = (1.39)(15)(0.75) + (0.003)(40) = 15,6 + 0.1 = 15.7 mL O2/0.1 L. Sehingga, perbedaan isi O2 normal pada arteriovena yaitu sekitar 5.5 mL/0.1L.

Perhatikan bahwa persamaan 12 memakai konstanta 1.39, yang berarti 1 g Hb dapat membawa 1.39 mL oksigen. Kontroversi terjadi mengenai besarnya angka tersebut. Awalnya, konstanta yang digunakan adalah 1.34, tetapi dengan diketahuinya berat molekul Hb (64,458), nilai teori 1.39 menjadi populer. Setelah studi menyeluruh pada manusia, Gregory mengobservasi pada tahun 1974 bahwa nilai yang dapat diaplikasikan yaitu 1.31 mL O2/g Hb pada manusia dewasa. Alasan mengaka pengukuran klinis CO2 lebih rendah dibanding teori 1.39 kemungkinan dikarenakan sedikitnya jumlah methemoglobin (Met-Hb) dan karboksihemoglobin (CO-Hb) yang normalnya terkandung dalam darah.

Kurva oksi-Hb juga dapat berhubungan dengan transpor O2 (L/menit) ke jaringan perifer (lihat sisi kanan nomor 3 aksis y pada gambar 17-25 ke PO2. Nilai yersebut didapat dengan mengalikan isi O2 dengan QT (transpor O2 = QT x CaO2). Untuk melakukan perkalian ini, salah satu unit konten harus dikonversi dari mL/1 L menjadi mL/L dengan mengalikan konten O2 biasa dengan 10 (hasilnya dalam mL O2/L darah); perkalian berikutnya mL/L dengan QT dalam L/menit menghasilkan mL/menit. Sehingga, jika QT = 5 L/menit dan CaO2 = 20 mL O2/0.1 L, titik arteri disamakan dengan 1000 mL O2/menit ke perifer, dan titik vena disamakan dengan 750 mL O2/menit kembali ke paru dengan VO2 = 250 mL/menit.

Kurva oksi-Hb juga dapat berhubungan dengan ketersediaan O2 dalam jaringan (lihat y aksis paling kiri pada gambar 17-25) sebagai fungsi PO2. Sekitar 1000 mL/menit normalnya ke perifer, 200 mL/menit O2 tidak bisa diekstraksi karena akan menurunkan PO2 di bawah kadar (lihat garis putus-putus bentuk segitiga pada gambar 17-25) dimana organ seperti otak dapat bertahan; ketersediaan O2 ke jaringan oleh karena itu 800 mL/menit. Jumlah tersebut diperkirakan 3 atau 4 kali lipat VO2 normal saat istirahat. Saat QT= 5 L/menit dan saturasi arteri kurang dari 40%, total aliran O2 ke perifer turun menjadi 400 mL/menit; ketersediaan O2 sekarang 200 mL/menit dan suplai sama dengan permintaan O2. Selanjutnya, dengan saturasi arteri yang rendah, permintaan jaringan dapat dipenuhi hanya dengan peningkatan QT atau, dengan kata lain, dengan peningkatan konsentrasi Hb.

Afinitas Hb terhadap O2 dengan baik dijelaskan oleh kadar PO2 dimana Hb tersaturasi 50% (P50) pada kurva oksi-Hb. P50 dewasa normal adalah 26.7 mmHg (lihat titik di sisi kiri dan bagian penurunan kurva oksi-Hb pada gambar 17-24).

Efek perubahan PO2 pada saturasi HB berhubungan dengan P50 dan bagian kurva oksi-Hb yang mengalami perubahan. Pada regio PaO2 normal (75 sampai 100 mmHg), kurva relatif horizontal, sehingga pergeseran kurwa menyebabkan perbedaan saturasi yang besar. P50 dibawah 27 mmHg menggambarkan kurva oksi-Hb bergeser ke kiri, yang berarti bahwa pada keadaan PO2 apapun, Hb memiliki afinitas lebih tinggi terhadap O2 dan oleh karena itu lebih tersaturasi dibanding normal. P50 yang rendah tersebut memerlukan perfusi jaringan yang lebih tinggi dari keadaan normal untuk menghasilkan jumlah normal pelepasan O2. Penyebab kurva oksi-Hb bergeser ke kiri yaitu alkalosis (metabolik dan respiratorik efek Bohr), hipotermia, Hb abnormal dan fetal, karboksihemoglobin, metemoglobin, dan penurunan RBC 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) (yang dapat terjadi dengan transfusi darah penyimpanan-asam-sitrat-dekstrosa yang sudah tua; penyimpanan darah dalam sitrat-fosfat-dekstrosa meminimalisasi perubahan dalam 2,3-DPG seiring waktu).

P50 lebih dari 27 mmHg menggambarkan kurva oksi-Hb bergeser ke kanan, yang berarti pada PO2 apa pun Hb memiliki afinitas rendah terhadap O2 dan lebih kurang tersaturasi dibanding normal, P50 yang lebih tinggi tersebut memungkinkan perfusi jaringan lebih banyak dari normal untuk memproduksi kadar normal pelepasan O2. Penyebab kurva oksi-Hb tergeser ke kanan yaitu asidosis (metabolik dan respiratorik efek Bohr), hipertermia, Hb abnormal, peningkatan isi 2,3-DPG sel darah merah, dan anestesi inhalasi (lihat nanti).

Abnormalitas keseimbangan asam-basa menyebabkan perubahan metabolisme 2,3-DPG menggeser kurva oksi-Hb ke posisi normalnya. Perubahan kompensasi tersebut membutuhkan waktu 24 dan 48 jam. Sehingga, dengan abnormalitas asam-basa akut, afinitas O2 dan posisi kurva oksi-Hb berubah. Tetapi, dengan perubahan asam-basa yang memanjang, perubahan kadar 2,3-DPG menggeser kurva oksi-Hb dan oleh karena itu afinitas O2 kembali normal.

Banyak anestesi inhalasi telah terbukti menggeser kurva disosiasi oksi-Hb ke kanan. Isofluran menggeser P50 ke kanan sebanyak 2.6 0.07 mmHg pada tekanan uap sekitar 1 konsentrasi alveolar minimal (MAC) (1.25%). Di sisi lain, fentanil dosis tinggi, morfin dan meperidin tidak mengubah posisi kurva.

Efek Q s/ QT terhadap PaO2PAO2 secara langsung berhubungan dengan FIO2 pada pasien normal. PAO2 dan FIO2 juga berhubungan dengan PaO2 saat terjadi shunt transpulmoner kanan-ke-kiri kecil atau tidak ada (Qs / QT). Gambar 17-26 menunjukkan hubungan antara FIO2 dan PaO2 terhadap shunt transpulmoner kanan-ke-kiri (Qs/ QT); hasil perhitungan mengasumsikan QT dan PaCO2 konsan dan normal. Dengan tidak adanya Qs/ QT, peningkatan linier FIO2 menyebabkan peningkatan linier PaO2 (garis lurus tegas). Saat shunt meningkat, garis Qs/ QT yang berhubungan dengan FIO2 dengan PaO2 menjadi lebih datar secara progresif. Dengan shunt QT 50%, peningkatan FIO2 menyebabkan hampir tidak adanya peningkatan pada PaO2. Solusi untuk masalah hipoksemia sekunder sampai shunt ukuran besar adalah dengan tidak meningkatkan FIO2, tetapi lebih ke mengurangi shunt tersebut (bronkoskopi fiberoptik, PEEP, posisi pasien, antibiotik, suctioning, diuretik).

Efek QT dan VO2 terhadap CaO2Sebagai tambahan peningkatan Qs / QT, CaO2 menurun dengan menurunnya QT (untuk VO2 konstan) dan dengan peningkatan VO2 (untuk QT konstan). Pada kasus lain (penurunan QT atau peningkatan VO2), bersama dengan shunt kanan-ke-kiri konstan, jaringan harus mengambil oksigen dari darah per unit volume darah, dan oleh karena itu, CVO2 harus diturunkan (gambar 17-27). Saat darah dengan CVO2 yang rendah melewati shunt apapun yang ada di paru dan VO2nya tetap tidak berubah, darah tersebut harus bercampur dengan kapiler darah akhir-paru yang teroksigenasi (cflow) dan secara sekunder menurunkan CaO2 (lihat gambar 17-27).

Jumlah oksigen yang mengalir melalui saluran paru tertentu per menit, seperti yang digambarkan pada gambar 17-27, merupakan hasil aliran darah dikali isi oksigen dalam darah tersebut. Sehingga, dari gambar 17-27, QT x CaO2 = Qc x CcO2 + Qs x CVO2. Dengan Qc= QT - Qs dan manipulasi aljabar,

Semakin besar shunt intrapulmoner, semakin besar penurunan CaO2 karena semakin banyak darah vena dengan CVO2 dapat bercampur dengan darah kapiler akhir-paru (lihat gambar 17-37). Sehingga, P(A a)O2 merupakan fungsi dari kedua ukuran Qs / QT dan apa yang mengalir melewati Qs / QT, yaitu CVO2, dan CVO2 merupakan fungsi primer QT dan VO2.

Gambar 17-28 menunjukkan sirkuit ekuivalen untuk sirkulasi paru pada pasien dengan shunt 50%, CVO2 normal 15 vol% dan CaO2 yang agak rendah 17.5 vol%. Penurunan QT atau peningkatan VO2, atau keduanya, menyebabkan penurunan primer drastis CVO2 sampai 10 vol% dan yang lebih kecil, tetapi tetap signifikan penurunan sekunder CaO2 sampai 15 vol%; perubahan rasio pada CVO2 terhadap CaO2 pada contoh Qs/ QT 50% ini adalah 2:1.

Jika penurunan QT atau peningkatan VO2 disertai dengan penurunan Qs/ QT, mungkin tidak ada perubahan PaO2 (penurunan efek PaO2 mengkompensasi peningkatan efek PaO2) (Tabel 17-4). Perubahan tersebut kadang timbul pada penyakit paru difus. Jika penurunan QT atau peningkatan VO2 disertai dengan peningkatan Qs/ QT, PaO2 kemungkinan akan menurun drastis (efek menurunnya PaO2 dipersulit dengan efek lain penurunan PaO2) (lihat tabel 17-4). Perubahan ini terkadang terjadi pada ADRS reginal dan atelektasis.Gambar 17-28 rangkaian setara sirkulasi paru-paru pada pasien dengan shunt right-left 50%. Kandungan oksigen adalah 100 mL/mL darah (vol %)/ penurunan curah jantung (QT) atau peningkatan konsumsi O2 (VO2) dapat menyebabkan penurunan kadar oksigen vena campuran (15-10 vol % dalam contoh ini), yang kandungan oksigen arteri (17,5-15,0 vol%). Pada contoh shunt 50 % ini, penurunan kandungan oksigen vena campuran dua kali penurunan kandungan oksigen arteri. Prinsip FickPrinsip Fick memungkinakn perhitungan VO2 dan menyatakan bahwa jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh tubuh (VO2) sama dengan jumlah oksigen yang meninggalkan paru (QT)(CaO2) dikurangi jumlah oksigen yang kembali ke paru (QT)(CVO2). Sehingga

Mempersingkat simbol-simbol tersebut menghasilkan gambaran umum dari persamaan Fick:

Persamaan tersebut menyatakan bahwa konsumsi O2 sama dengan QT dikali perbedaan konten oksigen atriovena. Normalnya, (5 L/menit)(5.5 mL)/0.1 L = 0.27 L/menit (lihat subbab Kurva Disosiasi Oksigen-Hemoglobin).

Tidak jauh berbeda, jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh tubuh (VO2) sama dengan jumlah oksigen yang dibawa ke paru melalui ventilasi (VI)(FIO2) dikurangi jumlah oksigen yang meninggalkan paru melalui ventilasi (VE)(FEO2), dimana VE ventilasi ekspirasi menit dan FEO2 adalah fraksi ekspirasi oksigen campuran.

Dengan demikian, VO2 = (VI)(FIO2) (VE)(FEO2). Karena perbedaan antara VI dan VE disebabkan oleh perbedaan antara VO2 (normalnya 250 mL/menit) dan VCO2 (normalnya 200 mL/menit) dan hanya 50 mL/menit (lihat nanti), VI seharusnya sama dengan VE.

Dalam keadaan normal, VO2 = 5.0 L/menit (0.21 0.16) = 0.25 L/menit. Dalam menentukan VO2 melalui cara ini, VE dapat diukur dengan analisa O2 atau dengan fresh gas flows, dan FEO2 dan diukur dengan mengumpulkan gas yang diekspirasi di dalam sebuah kantong selama beberapa menit. Sampel gas ekspirasi campuran digunakan untuk mengukur PEO2. Untuk mengubah PEO2 menjadi FEO2, hanya dengan membagi PE dengan tekanan atmosfer kering: PEO2/713 = FEO2.

Selain itu, persamaan Fick bermanfaat untuk memahami dampak perubahan QT terhadap PaO2 dan PVO2. Jika VO2 tetap konstan (K) dan QT menurun (), perbedaan kandungan oksigen arteriovena harus meningkat ():

Perbedaan C(a-v)O2 meningkat karena penurunan QT menyebabkan penurunan CVO2 primer yang lebih besar terutama dalam CVO2 dibandingkan dengan penurunan yang lebih kecil dan sekunder dalam CaO2 :

Sehingga, CVO2 (dan PVO2) merupakan indicator QT yang jauh lebih sensitif karena akan lebih banyak berubah dengan perubahan QT dibanding CaO2 (atau PaO2) (lihat gambar 17-27 dan 17-37).

Transpor Karbon Dioksida

Jumlah karbon dioksida yang bersirkulasi di dalam tubuh merupakan fungsi dari eliminasi dan produksi karbon dioksida. Eliminasi karbon dioksida bergantung pada aliran darah paru dan ventilasi alveolus. Produksi CO2 (VCO2) sebanding dengan konsumsi O2 (VO2) berdasarkan respiratory quotient (RQ) :

Dalam keadaan istirahat normal, RQ adalah 0,8; yaitu hanya 80% CO2 dihasilkan dan O2 dikonsumsi. Tetapi, nilai tersebut berubah sesuai dengan perubahan substrat metabolik. Jika hanya karbohidrat yang digunakan, nilai pernapasannya 1.0. Sebaliknya, dengan penggunaan lemak, oksigen lebih banyak berikatan dengan hidrogen untuk menghasilkan air (H2O), dan nilai R turun menjadi 0,7.

Karbon dioksida ditranspor dari mitokondria ke alveolus dalam sejumlah bentuk. Dalam plasma, karbon dioksida terdapat dalam larutan fisik, terhidrasi menjadi asam karbonat (H2CO3), dan bikarbonat (HCO3-). Dalam sel darah merah, karbon dioksida berikatan dengan Hb membentuk karbaminohemoglobin (Hb-CO2). Nilai relatif H2CO3 (H2O + CO2), HCO3-, dan Hb-CO2 terhadap total CO2 yang ditransportasikan, secara berurutan, adalah 7%, 80%, dan 13%.

Dalam plasma, CO2 terdapat dalam bentuk larutan fisik dan sebagai H2CO3:

Karbon dioksida dalam larutan dapat berhubungan dengan PCO2 dengan penggunaan hukum Henry:

dimana merupakan koefisien kelarutan CO2 dalam plasma (0.03 mmol/L/mmHg dengan suhu 37oc). Tetapi pecahan utamaproduk CO2 melewati ke sel darah merah. Saat di dalam plasma, CO2 berikatan dengan air dan menghasilkan H2CO3. Tetapi, tidak seperti reaksi yang lambat di dalam plasma, dimana titik ekuilibrium condong ke kiri, reaksi di dalam sel darah merah dikatalisasi oleh enzim karbonik anhidrase. Enzim yang mengandung zinc tersebut menggerakkan reaksi ke kanan dengan laju 1000 kali lebih cepat dibanding di dalam plasma. Lebih lanjut lagi, hampir 99,9% H2CO3 dipecah menjadi HCO3- dan ion hidrogen (H-):

H+ diproduksi dari H2CO3 dalam memproduksi HCO3- disangga oleh Hb . HCO3- diproduksi melewati sel darah merah menuju plasma untuk melakukan perannya sebagai penyangga (buffer). Untuk menjaga kenetralan elektrolit dalam sel darah merah, ion klorida (Cl-) bergerak masuk saat HCO3- bergerak ke luar (Cl- shift). Akhirnya, CO2 dapat berikatan dengan Hb di sel darah merah (untuk menjadi Hb-CO2). Lalu, dengan pelepasan HCO3-, ion H+ dibentuk untuk reaksi CO2 dan Hb. Ion H+ ini juga disangga oleh Hb.

Efek Bahr dan Haldane

Saat persebtase saturasi Hb dengan oksigen berhubungan dengan PO2 (dijelaskan pada kurva oksi-Hb), sama halnya dengan total karbon dioksida di dalam darah berhubungan dengan PCO2. Selain itu, Hb memiliki variabel afinitas terhadap karbon dioksida; yang mengikat lebih kuat dalam keadaan menurun dibandingkan oksi-Hb. Efek Bohr menjelaskan bahwa efek PCO2 dan ion [H+] pada kurva oksi-Hb. Hiperkapnia dan asidosis keduanya menggeser kurva ke kanan (mengurangi afinitas pengikatan-oksigen pada hemoglobin), dan hiperkapnia dan alkalosis keduanya menggeser kurva ke kiri. Sebaliknya, efek Haldane menjelaskan pergeseran karbon dioksida pada kurva disosiasi disebabkan oleh oksigenisasi Hb. Rendahnya pergeseran PO2 menggeser kurva disosiasi karbon dioksida ke kiri sehingga darah dapat mengangkut lebih banyak CO2 (yang terjadi pada kapiler jaringan yang memetabolisme dengan cepat). Sebaliknya, oksigenasi Hb untuk CO2, dan kurva disosiasi CO2 bergeser ke kanan, oleh karena itu terjadi peningkatan perpindahan CO2.

Mikrosirkulasi Paru, Ruang Interstisial Paru, dan Kinetik Cairan Interstisial Paru (Edema Paru)

Penampakan ultrastruktural septum alveolar secara skematis digambarkan pada gambar 17-29. Kapiler darah terpisah dari gas alveolar dengan beberapa lapis anatomis: endotel kapiler, endotel membran basal, ruang insterstisial, membran epitel basal, dan epitel alveolus (dari pneumosit tipe I).

Sisi berlawanan dari septum alveolar (tipis, dibawah [lihat gambar 17-29], sisi pertukaran gas saja) hanya terdiri fusi epitel dan membran basal endotel. Ruang interstisial dengan demikian sangat dibatasi pada satu sisi dikarenakan fusi membran basal. Cairan interstisial tidak dapat memisahkan sel endotel dan sel epitel satu sama lain, dan akibatnya, ruang dan jarak barrier untuk pergerakan cairan dari kapiler ke kompartemen alveolar menurun dan hanya terdiri oleh dua baris sel dengan membran basal yang berhubungan.Pada satu sisi septum alveolar (tebal, diatas [lihat gambar 17-29], sisi pertukaran cairan dan gas), membran basal epitel dan endoter dipisahkan oleh ruang yang memiliki ketebalan bervariasi yang mengandung fibril jaringan ikat, setar elastis, fibroblas dan makrofag. Jaringan ikat ini merupakan tulang punggung parenkim paru; yang membentuk kelanjutan dengan selubung jaringan ikat disekitar jalan napas dan pembuluh darah. Sehingga, ruang interstisial perikapiler perialveolar yang menyelubungi bronkiolus terminalis dan pembuluh darah, dan kedua ruang tersebut membentuk ruang jaringan ikat di paru. Tidak terdapat simtem limfatik di ruang interstisial septum alveolar. Tetapi, pembuluh limfe pertama muncul di ruang interstisial mengelilingi bronkiolus terminalis, arteri dan vena kecil.

Diantara sel endotel dan epitel terdapat lubang atau persimpangan yang menyediakan jalur potensial untuk cairan agar dapat berpindah dari ruang intravaskuler ke ruang interstisial dan nantinya dari ruang interstisial ke ruang alveolar. Hubungan antara sel endotel relatif besar dan oleh karena itu disebut longgar; hubungan antara sel epitel relatif kecil dan oleh karena itu disebut rapat. Permeabilitas kapiler paru (K) merupakan fungsi langsun dan ekuivalen terhadap ukuran lubang pada barisan endotel dan epitel.

Untuk memahami bagaimana cairan interstisial dapat terbentuk, tersimpan dan dibersihkan, perlu untuk pertama-tama mengembangkan konsep bahwa (1) ruang interstisial paru merupakan ruang yang berkelanjutan antara selubung jaringan ikat periarteriolar dan peribronkial dan ruang antara membran basal endotel dan epitel pada septum alveolar dan (2) ruang tersebut memiliki P yang secara progresif negatif dari distal-ke-proksimal.

Konsep selubung jaringan ikat- septum alveolar ruang interstisial yang berkelanjutan dan P ruang interstisial yang negatif merupakan syarat untuk memahami kinetik cairan interstisial (gambar 17-30). Setelah memasuki parenkim paru, baik bronkus dan arteri berjalan dalam selubung jaringan ikat yang dibentuk oleh invaginasi pleura pada hilum dan bagian akhir bronkiolus (gambar 17-30 A). Sehingga terdapat ruang potensial perivaskuler dan peribronkial, secara berurutan, diantara arteri dan bronkus dan selubung jaringan ikat. Tekanan negatif pada jaringan paru di sekitar selubung jaringan ikat perivaskuler menyebabkan gaya tarik radial keluar pada selubung. Reaksi radial tersebut menciptakan tekanan negatif di dalam selubung yang ditransmisikan ke bronkus dan arteri dan cenderung untuk tetap membiarkannya terbuka dan meningatkan diameternya (lihat gambar 17-30). Ruang interstisial septum alveolar merupakan ruang antara kapiler dan alveoli (atau lebih tepatnya, ruang antara membran basal endotel dan epitel) dan dilanjutkan dengan ruang jaringan interstisial yang berada disekitar arteri besar dan bronkus (lihat gambar 17-30A). Studi mengindikasikan bahwa tekanan interstisial alveolar secara unik adalah negatif, tetapi tidak sama negatifnya dengan tekanan ruang interstisial disekitar arteri besar dan bronkus.

Gaya yang mengatur perpindahan cairan ruang transkapiler-interstisial adalah sebagai berikut. Aliran cairan transkapiler (F) keluar dari kapiler paru (melalui endotel dan menuju ruang interstisial) sama dengan perbedaan antara tekanan hidrostatik kapiler paru (Pmasuk) dan tekanan hidrostatik cairan interstisial (Pkeluar) dan perbedaan antara tekanan onkotik koloid kapiler (masuk) dan tekanan onkotik koloid interstisial (keluar). Keempat gaya tersebut menghasilkan aliran cairan yang stabil (F) selama permeabilitas kapiler (K) konstan seperti yang diprediksi oleh persamaan Starling:

K adalah koefisien filtrasi kapiler yang dinyatakan dengan mL/menit/mmHg/100g. Koefisien filtrasi merupakan hasil dari permukaan kapiler yang efektif pada massa jaringan yang ada dan permukaan area permeabilitas per unit dari dinding kapiler untuk menyaring cairan. Pada keadaan normal dan dengan ketinggian vertikal paru yaitu persimpangan zona 2 dan 3, tekanan onkotik koloid intravaskuler (= 26 mmHg) bertindak untuk menjaga air tetap dalam lumen kapiler, dan yang bekerja melawan hal tersebut, tekanan hidrostatik kapiler paru (= 10 mmHg) bertindak mendorong air menyebrangi persimpangan endotel longgar ke ruang interstisial. Jika hal tersebut hanya merupakan gaya operatif, ruang interstisial dan, selanjutnya, permukaan alveolar akan kering secara konstan, dan tidak akan ada aliran limfe. Pada kenyatannya, permukaan alveolar lembab, dan aliran limfe dari kompartemen interstisial konstan (= 500 mL/hari). Hal ini dapat dijelaskan oleh keluar (= 8 mmHg) dan oleh Pkeluar yang negatif (-8 mmHg). Tekanan negatif ruang interstisial (subatmosferik) akan menyebabkan, dengan suction, kehilangan cairan ke lubang endotel dengan lambat. Tentunya, tekanan pleura (dan hidrostatik perivaskuler) yang sangat negatif, seperti yang dapat terjadi pada pasien yang bugar dan memaksa bernapas spontan dengan obstruksi jalan napas dapat menyebabkan edema paru interstisial (Tabel 17-5). Relatif dengan hubungan tingkat vertikal zona 2 dan 3, saat ketinggian paru menurun (dependensi paru), Pmasuk absolut meningkat, dan cairan memiliki kecenderungan untuk bertransudasi; saat ketinggian paru meningkat (nondependensi paru), Pmasuk absolut menurun, dan cairan memiliki kecenderungan untuk direabsorpsi. Tetapi, transudasi cairan yang dirangsang oleh peningkatan Pmasuk terbatas pada dilusi protein konkomitan di ruang interstisial dan oleh karena itu terdapat penurunan keluar. Perubahan apapun pada ukuran persimpangan endotel, bahkan jika keempat gaya tersebut tetap dalam keadaan konstan, merubah besarnya dan mungkin bahkan arah pergerakan cairan; peningkatan ukuran endotel junction (peningkatan permeabilitas) menyebabkan transudasi, dimana penurunan ukuran endotel junction (penurunan permeabilitas) menyebabkan reasorpsi.

Tidak terdapat aliran limfe pada ruang interstisial di septum alveolar. Sirkulasi limfe dimulai sebagai kapiler limfe blind-ended, mula-mula muncul di selubung ruang interstisial disekitar bronkiolus terminalis dan arteri kecil, dan berakhir di vena subclavia. Cairan interstisial normalnya berpindah dari ruang interstisial alveolar ke dalam limfe melalui mekanisme sump (gradien tekanan), yang menyebabkan adanya tekanan negative yang lebih besar disekitar arteri besar dan bronkus. Mekanisme sump disebabkan oleh adanya katup pada pembuluh darah limfe. Selain itu, karena limfe berjalan pada selubung yang sama dengan aretri pulmoner, telah terjadi massaging action dari pulsasi arteri. Perbedaan tekanan negatif, katup limfe, dan pulsasi arteri seluruhnya membantu mendorong limfe secara proksimal menuju hilum melalui nodus limfatikus (paru ke bronkopulmoner ke trakeobronkial ke paratrakeal ke sisi lain yang berbeda dan nodus servikal) ke penyimpanan sirkulasi venus sentral (gambar 17-30B). Peningkatan tekanan vena sentral, yang akan menjadi tekanan berbalik untuk limfe sehingga mengalir keluar paru, akan menurunkan aliran limfe paru dan dapat menyebabkan edema paru interstisial.

Jika laju masuknya cairan ke ruang interstisial melebihi kemampuan ruang interstisial paru untuk membersihkan cairan tersebut, ruang interstisial paru akan terisi oleh cairan; cairan tersebut, sekarang dibawah peningkatan dan gaya driving positive (PISF), akan menyeberangi lubang dinding epitel yang relatif permeabel dan mengisi ruang alveolar. Edema cairan intra-alveolar akan menyebabkan kolaps alveoli dan ateletaksis, oleh karena itu akan menambah akumulasi cairan lebih lanjut.

FUNGSI RESPIRASI SELAMA ANESTESI

Oksigenisasi arteri terganggu pada sebagian besar penderita saat dianestesi dengan baik ventilasi spontan ataupun terkontrol. Dengan kata lain pada pasien normal, umumnya gangguan oksigenasi arteri selama anestesi lebih berat terjadi pada manula, pasien dengan obesitas dan perokok. Dalam berbagai studi pasien muda sampai paruh-baya dengan anestesi umum, pencampuran vena (shunt) telah ditemukan pada sekitar 10%, dan gangguan rasio VA/ Q ringan sampai sedang, dimana pasien dengan perburukan pada fungsi paru preoperatif, anestesi umum menyebabkan pelebaran distribusi VA/ Q dan peningkatan yang tinggi baik pada area VA/ Q rendah (0.005 < VA/ Q < 0.1) (kurang terventilasi) dan terjadi shunt. Besarnya shunt berkorelasi dengan derajat ateletaksis.

Sebagai tambahan generalisasi lanjut mengenai fungsi pernapasan selama anestesi, efek anestetik yang diberikan terhadap fungsi pernapasan bergantung pada kedalaman anestesi umum, kondisi pernapasan pasien preoperatif, dan adanya anestesi khusus intraoperatif dan kondisi pembedahan.

Efek Kedalaman Anestesi Terhadap Pola Pernapasan

Pola pernapasan diubah oleh induksi dan kedalaman anestesi. Saat kedalaman anestesi tidak adekuat (kurang dari MAC), pola pernapasan dapat bervariasi dari hiperventilisasi berlebih dan vokalisasi sampai menahan napas. Saat kedalaman anestesi mencapai atau sama dengan MAC (anestesi ringan), pernapasan ireguler berubah menjadi pola yang lebih reguler yang berhubungan dengan VT lebih besar dari normal. Tetapi, selama anestesi ringan tetapi dalam, pencapaian ke pola pernapasan yang lebih teratur dapat diganggu oleh istirahat di akhir inspirasi (inspirasi dengan sentakan), diikuti dengan ekspirasi yang relatif memanjang dan aktif dimana pasien tampak membuang napas secara paksa dibanding secara pasif. Saat anestesi diperdalam sampai tingkat sedang, pernapasan menjadi lebih cepat dan teratur, tetapi lebih dangkal. Pola inspirasi merupakan gelombang sinus dengan hilangnya sentakan inspirasi dan istirahat ekspirasi yang memanjang, dan periode inspirasi dan ekspirasi sama. Aktivitas otot intercosta masih ada, dan terdapat gerakan dinding dada yang normal dengan dada terangkat pada saat inspirasi. Laju pernapasan secara umum akan lebih lambat dan VT lebih besar dengan anestesi narkotik-nitrat oksida dibanding dengan anestesi menggunakan obat halogenasi. Selama anestesi dalam dengan obat halogenasi, peningkatan depresi pernapasan bermanifestasi dengan meningkatnya pernapasan cepat dan dangkal (terengah-engah). Disisi lain, dengan anestesi narkotik-nitrat oksida yang dalam, pernapasan menjadi lebih lambat tetapi mungkin tetap dalam. Pada kasus dengan anestesi sangat dalam menggunakan seluruh obat inhalasi, pernapasan sering menjadi tersentak-sentak atau terengah-engah dan polanya tidak teratur. Situasi ini disebabkan oleh hilangnya kontribusi aktif otot intercosta untuk inspirasi. Akibatnya, pergerakan seperti kapal terombang-ambing terjadi dimana terdapat depresi dinding dada diluar-fase, selama inspirasi, pencupingan batas bawah dada, dan merendahkan abdomen. Alasan dari tipe pergerakan ini yaitu karena inspirasi sangat bergantung pada kekuatan diafragma. Kedalaman anestesi independen, gerakan dada yang sama kemungkinan dapat distimulasi oleh obstruksi jalan napas atas atau bawah dan oleh paralisis parsial.

Efek Kedalaman Anestesi pada Ventilasi Menit Spontan

Walaupun terjadi perubahan variabel pada pola pernapasan dan laju saat anestesi diperdalam, VE spontan keseluruhan menurun secara progresif. Respon bangun normal untuk bernapas CO2 (aksis x pada gambar 17-31) menunjukkan peningkatan konsentrasi CO2 akhir-tidal) menyebabkan peningkatan linier VE (lihat aksis y pada gambar 17-31). Pada gambar 17-31 kemiringan garis berhubungan dengan VE dengan konsentrasi CO2 akhir-tidal pada pasien yang terbangun adalah 2 L/menit/mmHg (pada individu sehat, variasi kemiringan respon ini sangat luas). Gambar 17-31 juga menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi halotan menggantikan kurva ventilasi CO2 akhir-tidal respon secara prograsif ke kanan (yang berarti pada konsentrasi CO2 apapun, ventilasi akan lebih kurang dari sebelumnya), penurunan kemiringan kurva, dan pergeseran ambang apneu ke kadar konsentrasi CO2 akhir-tidal yang lebih tinggi. Perubahan yang sama diobservasi dengan narkotik dan anestesi halogen lainnya. Gambar 17-22 sampai 17-24 menunjukkan bahwa turunnya VE menyebabkan peningkatan PaCO2 dan penurunan PaO2. Peningkatan relatif PaCO2 disebabkan oleh depresi VE ( desfluran = isofluran > sevofluran > halotan. Pada konsentrasi yang lebih tinggi, desfluran menyebabkan peningkatan depresi ventilasi dan menjadi sama dengan enfluran, dan sevofluran menjadi sama dengan isofluran (lihat bab 6 untuk studi tambahan lebih jauh).

Efek Preexisting Disfungtion Respiratory terhadap Efek Pernapasan Anestesi

Ahli anestesi sering diminta untuk merawat (1) pasien dengan penyakit paru akut (infeksi paru, atelektasis) atau penyakit sistemik (sepsis, gagal jantung dan gagal ginjal, trauma multipel) yang memerlukan operasi emergency, (2) perokok berat dengan gangguan patologis jalan napas dan parenkim dan jalan napas hipereaktif, (3) pasien dengan masalah klasik emfisema dan bronkitis, (4) pasien obesitas yang rentan untuk terjadi penurunan FRC selama anestesi, (5) pasien dengan deformitas dada dan (6) pasien dengan usia sangat tua.

Sifat dan besarnya kondisi pernapasan menentukan, dalam bagian, efek anestesi standar yang diberikan terhadap fungsi pernapasan. Contohnya, pada gambar 17-32, hubungan FRC-CC digambarkan pada pasien normal, obesitas, bronkitis dan emfisema. Pada pasien sehat, FRC melebihi CC sekitar 1 L. Pada tiga kondisi pernapasan lainnya, CC 0.5 sampai 0.75 lebih sedikit dibanding FRC. Jika anestesi menyebabkan penurunan FRC 1-L, pasien sehat tidak akan mengalami perubahan hubungan kulitatif antara FRC dan CC. Pada pasien dengan keadaan pernapasan yang khusus, penurunan FRC 1-L akan menyebabkan CC melebihi FRC dan merubah batas hubungan FRC-CC yang tadinya normal menjadi VA/ Q yang rendah atau hubungan FRC-CC atelektasis. Hal yang sama, pasien dengan bronkitis kronik, yang memiliki sekresi jalan napas berlebihan, dapat lebih menderita oleh karena penurunan kecepatan aliran mukus yang diinduksi anestesi dibanding pasien lain. Terakhir, jika suatu anestesi menghambat HPV, obat tersebut dapat meningkatkan shunt lebih pada pasien dengan HPV sebelumnya dibanding pasien tanpa adanya HPV sebelumnya. Sehingga, efek anestesi standar dapat diperkirakan menghasilkan perubahan pernapasan dalam derajat yang bervariasi pada pasien dengan disfungsi pernapasan dengan derajat yang berbeda.

Efek Kondisi Khusus Intraoperatif pada Efek Pernapasan Anestesi

Beberapa kondisi intraoperatif khusus (seperti posisi pembedahan, kehilangan darah yang masif, dan retraksi pembedahan pada paru), dapat menyebabkan gangguan pertukaran gas. Contihnya, beberapa posisi pembedahan (seperti litotomi, jackknife dan kidney rest position) dan kebutuhan paparan pembedahan dapat menurunkan QT, dapat menyebabkan hipoventilasi pada pasien yang bernapas spontan, dan dapat mengurangi FRC. Tipe dan tingkat keparahan disfungsi respirasi yang sudah ada sebelumnya, sama juga dengan jumlah dan tingkat keparahan kondisi khusus intraoperatif yang dapat mengganggu fungsi pernapasan, akan memperparah efek depresi pernapasan dari anestesi apapun.

Mekanisme Hipoksemia Selama Anestesi

Malfungsi Peralatan

Kegagalan Mekanis Aparatus Anestesi untuk Memberikan Oksigen kepada Pasien

Hipoksemia yang diakibatkan oleh kegagalan mekanik sistem suplai oksigen (lihat juga bab 9) atau mesin anestesi yang diketahui hazard anesthesi. Diskoneksi pasien dari sistem suplai O2 (biasanya pada persimpangan pipa endotrakeal dan penghubung di bahu) sejauh ini merupakan penyebab kegagalan mekanik paling sering dalam memberikan oksigen kepada pasien. Penyebab kegagalan suplai O2 lain yang dilaporkan yaitu sebagai berikut: tabung oksigen yang kososng atau habis, penggantian tabung nonoksigen pada pemasangan O2 dikarenakan tidak adanya atau gagalnya pin index, tabung berisi O2 yang eror, bukaan tabung oksigen yang tidak cukup (yang menghambat aliran gas bebas saat tekanan menurun), kegagalan tekanan gas pada pipa sistem O2, kesalahan mengunci sitem oksigen pada mesin anestesi, pemindahan penyesuaian Schrader pada jalur pipa yang tidak hati-hati, persilangan jalur pipa saat konstruksi, gagal mengurangi katup atau jenis gas, gangguan pengaturan flow meter oksigen, penggunaan flow meter oksigen yang baik dibanding flow meter yang kasar, patah atau menempel, transposisi tabung rotameter, kesalahan pengisian cairan reservoir O2 dengan nitrogen, dan diskoneksi jalur udara segar dari mesin ke jalur pipa. Memonitor konsentrasi O2 yang diinspirasi dengan jalur analisa FIO2 dan memonitor tekanan jalan napas harus dideteksi sebagian besar penyebab kegagalan pemberian oksigen pada pasien yang sudah disebutkan diatas.Kegagalan Mekanik Pipa Endotrakeal: Intubasi Bronkus Utama

Intubasi esofagus mengakibatkan hampir tidak adanya ventilasi. Secara virtual, masalah mekanik lainnya (seperti diskoneksi) dengan pipa endotrakeal (seperti bengkok, blokade sekresi dan herniasi atau ruptur cuff) menyebabkan peningkatan resistensi jalan napas yang akan mengakibatkan hipoventilasi. Intubasi bronkus utama (lihat juga bab 42) mengakibatkan tidak terjadinya ventilasi pada paru kontralateral. Walaupun secara potensial diminimalisasi oleh HPV, beberapa perfusi ke paru kontralateral selalu ada, dan shunt meningkat dan PaO2 menurun. Pipa yang sebelumnya diposisikan dengan baik pada trakea, dapat masuk ke bronkus setelah pasien atau kepala pasien diputar atau dipindahkan ke posisi baru. Fleksi kepala menyebabkan pipa masuk lebih dalam (caudad) ke trakea, sedangkan ekstensi kepala menyebabkan posisi pipa endotrakeal cephalad (kearah luar). Telah dilaporkan tingginya angka kejadian intubasi bronkus utama setelah dilakukan posisi Tradelenburg 30o. Pergeseran karina dan mediastinum ke arah luar saat posisi Tradelenburg menyebabkan pipa endotrakeal yang tadinya terfiksasi berpindah ke bronkus utama. Intubasi bronkus utama dapat mengobstruksi lobus atas ipsilateral selain terhadap paru kontralateral. Jarang terjadi, bronkus kanan atas atau salah satu bronkus segmental bercabang dari dinding lateral trakea, dan dapat teroklusi dengan pipa endotrakeal yang diposisikan sesuai.

Hipoventilasi (Penurunan Volume Tidal)

Pasien dengan anestesi umum dapat mengalami penurunan VT untuk 2 alasan. Pertama, peningkatan kerja napas dapat terjadi selama anestesi umum sebagai akibat dari peningkatan resistensi jalan napas dan penurunan CL. Resistensi jalan napas dapat meningkat dikarenakan menurunnya FRC, intubasi endotrakeal, adanya alat dan sirkuit pernapasan eksternal, dan kemungkinan obstruksi jalan napas pada pasien yang tidak dilakukan intubasi trakea. CL menurun dikarenakan akibat dari beberapa (atau semua) faktor yang dapat menurunkan FRC. Kedua, pasien dapat mengalami penurunan gerakan untuk bernapas spontan selama anestesi umum (penurunan kontrol kimiawi pernapasan) (lihat gambar 17-31).

Penurunan VT dapat menyebabkan hipoksemia melalui 2 cara. Pertama, pernapasan yang dangkal dapat menyebabkan atelektasis dan mengakibatkan terjadi penurunan FRC (lihat subbab Pola Ventilasi). Kedua, turunnya VE menurunkan rasio VA/ Q keseluruhan, yang akan menurunkan PaO2 (lihat gambar 17-23 dan 17-24). Hal ini cenderung terjadi dengan ventilasi spontan selama anestesi sedang sampai dalam, dimana kontrol kimiawi pernapasannya terganggu secara signifikan.

Hiperventilasi

Alkalosis hipokapnia (hiperventilasi) dapat disebabkan oleh penurunan PaO2 oleh beberapa mekanisme: penurunan QT dan peningkatan VO2 (lihat subbab Penurunan Kardiak Output dan Peningkatan Konsumsi Oksigen), kurva oksi-Hb yang bergeser ke kiri (lihat subbab Kurva Disosiasi Oksigen-Hemoglobin), penurunan HPV (lihat subbab Penghambatan Vasokontriksi Hipoksik Paru), dan peningkatan resistensi jalan napas dan penurunan komplians (lihat subbab Peningkatan Resistensi Jalan Napas).

Penurunan Kapasitas Fungsional Residu (FRC)

Induksi anestesi umum secara konsisten disertai dengan penurunan signifikan (15% sampai 20%) FRC, yang biasanya menyebabkan turunnya komplians. Penurunan maksimum FRC tampaknya terjadi dalam beberapa menit pertama anestesi dan, dengan tidak adanya faktor komplikasi lain, tampaknya tidak menurun secara progresif selama anestesi. Selama anestesi, penurunan FRC sama besarnya pada ventilasi spontan ataupun dikontrol. Sebaliknya, pada pasien yang sadar, FRC hanya menurun sedikit selama ventilasi dikontrol. Pada pasien obesitas, penurunan FRC jauh lebih banyak dibanding pasien normal, dan penurunan secara berbanding terbalik berhubungan dengan indeks massa tubuh (IMT). Penurunan FRC berlanjut pada masa postoperasi. Untuk pasien secara individu, penurunan FRC sangat berhubungan dengan peningkatan gradien PO2 alveolar-arterial selama anestesi dengan pernapasan spontan, selama anestesi dengan ventilasi atrifisial, dan pada periode postoperasi. Penurunan FRC dapat kembali normal atau diatas normal dengan penggunaan PEEP. Pembahasan selanjutnya menjelaskan tentang seluruh penyebab yang mungkin mengakibatkan penurunan FRC

Posisi SupineAnestesi dan pembedahan biasanya dilakukan dengan pasien dalam posisi supinasi (lihat bab 28). Dalam perubahan posisi dari tegak menjadi terlentang, terjadi penurunan FRC sebanyak 0.5 sampai 1.0 L dikarenakan perpindahan cephalad 4 cm pada diafragma oleh organ abdomen (gambar 17-33). Kongesti vaskkular paru juga dapat menyebabkan penurunan FRC pada posisi terlentang, khususnya pada pasien yang mengalami orthopnea secara progresif saat operasi. Perubahan FRC tersebut terjadi lebih besar pada pasien obesitas, dengan pengurangan yang langsung berhubungan dengan IMT.

Induksi Anestesi Umum: Perubahan Tonus Otot Dinding Dada

Pada akhir ekshalasi normal (sadar), terdapat sedikit tekanan pada otot inspirasi dan tidak ada tekanan pada otot ekspirasi. Sehingga pada akhir ekspirasi, terdapat gaya untuk menjaga volume paru dan tidak ada gaya penurunan volume paru. Setelah induksi anestesi umum, terdapat kehilangan tonus inspirasi dan adanya tonus akhir-ekspirasi pada abdomen. Tonus akhir-ekspirasi pada otot napas abdomen meningkatkan tekanan intra-abdominal, memaksa difragma cephalad, dan menurunkan FRC (lihat gambar 17-33). Sehingga, setelah induksi anestesi umum, terdapat hilangnya gaya untuk menjaga volume paru dan mengumpulkan gaya untuk menurunkan volume paru. Bahkan, Innovar (droperidol dan fentanil sitrat) dapat meningkatkan tonus otot ekspirasi sampai batas penurunan FRC yang bahkan dengan anestesi Innovar sendiri lebih besar dibanding dengan Innovar ditambah paralisis yang diinduksi oleh suksinilkolin.

Dengan emfisema, ekspirasi dapat disertai dengan pursed lips atau mendengkur (penutupan parsial laring). Pasien emfisema ekspirasi dengan cara tersebut dikarenakan kedua manuver tersebut menyebabkan kemunduran pernapasan yang mengakibatkan PEEP pada jalan udara intratorakal dan penurunan kemungkinan penutupan jalan napas dan penurunan FRC (lihat gambar 17-17F). Intubasi endotrakeal memotong jalur bibir dan glotis dan dapat menghapuskan ekspirasi pursed lips atau mendengkur yang normalnya terjadi dan dengan begitu menyebabkan penutupan jalan napas dan hilangnya FRC pada beberapa pasien dengan napas spontan.

Paralisis

Pada subjek dengan posisi tegak, FRC dan posisi diafragma ditentukan dengan keseimbangan antara elastisitas paru menarik diaframa cephalad dan berat dari isi abdomen yang menariknya ke arah caudal. Tidak terdapat gradien tekanan transdiafragma.

Situasinya lebih rumit pada posisi terlentang. Diafragma memisahkan 2 kompartemen dengan gradien hidrostatik yang sangat berbeda. Pada sisi torakal, tekanan meningkat sekitar 0.25 cm H2O/cm dari tinggi paru, dan pada sisi abdominal, meningkat sekitar 1.0 cm H2O/cm tinggi abdomen, yang berarti pada postur horizontal, tekanan transdiafragma secara progresif lebih tinggi harus didapatkan pada bagian dependen diafragma untuk menjaga isi abdomen diluar thoraks. Pada pasien yang tidak diparalisasi, tekanan ini didapat dari regangan pasif dan perubahan bentuk diafragma (menyebabkan peningkatan gaya kontraktilitas) atau tekanan aktif yang dimediasi oleh saraf. Dengan paralisis otot akut, antara 2 mekanisme tersebut dapat bekerja, dan pergeseran diafragma menjadi lebih ke posisi cephalad terjadi (lihat gambar 17-33). Posisi tadi harus menampakkan keseimbangan gaya diafragma yang sebenarnya, tidak dimodifikasi oleh aktivitas otot pasif atau aktif.

Pergeseran cephalad pada FRC posisi diafragma merupakan akibat dari tonus otot ekspirasi selama anestesi umum yaitu sama dengan pergeseran yang diobservasi selama paralisis (pasien sadar atau dianestesi). Pergeseran yang sama tersebut menggambarkan bahwa tekanan pada diafragma disebabkan oleh peningkatan tonus otot ekspirasi selama anestesi umum sama dengan takanan diafragma yang disebabkan oleh berat isi abdomen saat paralisis. Masih mungkin bahwa besarnya perubahan pada FRC ini dikarenakan paralisis juga bergantung pada habitus tubuh.Anestesia Ringan atau Tidak Adekuat dan Ekspirasi Aktif

Induksi anestesi umum dapat menyebabkan meningkatknya tonus otot ekspirasi, tetapi peningkatan tonus otot ekspirasi yang terjadi tidak dikoordinasi dan tidak berkontribusi terhadap volume gas yang diekspirasi. Sebaliknya, ventilasi spontan selama anestesi umum ringan biasanya menyebabkan ekspirasi aktif yang terkoordinasi dan cukup kuat dan volume ekspirasi yang lebih besar. Anestesi tidak adekuat yang berlebihan (relatif terhadap stimulus yang diberikan) menghasilkan ekspirasi aktif yang sangat kuat, yang dapat menghasilkan volume gas ekspirasi sama dengan kapasitas vital ekspirasi pada pasien yang sadar.

Saat pada manuver kapasitas ekspirasi vital sadar, ekspirasi kuat selama anestesi meningkatkan tekanan intratorakal dan alveolar diperkirakan diatas tekanan atmosfer (lihat gambar 17-17). Peningkatan tekanan tersebut menyebabkan aliran gas keluar yang cepat, dan karena bagian dari resistensi ekspirasi terdapat di jalan udara yang lebih kecil, penurunan tekanan terjadi diantara alveoli dan bronkus utama. Pada kondisi seperti itu, tekanan intratorakal meningkat diatas tekanan dalam bronkus utama. Kolaps akan terjadi jika gradien tekanan terbalik ini cukup tinggi untuk mengatasi efek penarikan dari parenkim sekitar pada bronkiolus kecil intratorakal atau kekakuan struktur kartilago pada bronkus besar ekstratorakal. Kolaps tersebut terjadi pada subjek normal saat ekspirasi paksa maksimal dan berperan dalam wheeze baik pada pasien yang sadar maupun dianestesi.

Pada pasien anestesi yang paralisis, penggunaan fase ekspirasi tekanan subatmosferik analog terhadap ekspirasi paksa pada subjek yang sadar; fase negatif tersebut dapat mengatur P yang berlawanan, yang akan menyebabkan penutupan jalan napas, gas trapping dan penurunan FRC. Penurunan yang cepat dan berlebihan dari suatu ventilator selama ekspirasi telah menyebabkan tekanan ekspirasi subatmosfer dan terjadilah wheezing.

Peningkatan Resistensi Jalan Napas

Reduksi keseluruhan dari seluruh komponen volume paru selama anestesi mengakibatkan penurunan kaliber jalan napas, yang meningkatkan resistensi jalan napas dan kecenderungan terjadinya kolaps jalan napas (gambar 17-34). Hubungan antara resistensi jalan napas dengan volume paru telah didapat dengan baik (gambar 17-35). Penurunan FRC disebabkan posisi terlentang (= 0.8L) dan induksi anestesi (= 0.4L) sudah cukup menjelaskan peningkatan resistensi pada pasien sehat yang dianestesi.

Diharapkan peningkatan resistensi jalan napas pada pasien yang dianenstesi, terdapat sejumlah tempat potensial yang khusus terjadi peningkatan resistensi jalan napas, termasuk pipa endotrakeal (jika ada), jalan napas bagian atas dan bawah, dan peralatan anestesi eksternal. Intubasi endotrakea mengurangi ukuran trakea, biasanya sebanyak 30% sampai 50% (lihat gambar 17-34). Obstruksi faring, yang dapat dipertimbangkan sebagai gambaran normal pada keadaan tidak sadar, sering terjadi. Obstruksi derajat ringan jenis ini terjadi pada pasien yang mendengkur. Laringospasme dan obstruksi pipa endotrakeal (sekresi, bengkok, herniasi cuff) tidak jarang terjadi dan dapat mengancam jiwa.

Peralatan pernapasan sering menyebabkan resistensi yang lebih tinggi dibanding resistensi normal pada traktur respirasi manusia (lihat gambar 17-34). Saat resistor tertentu seperti yang ditunjukkan pada gambar 17-34 tergabung dalam seri untuk membentuk sirkuit gas anestesi, hal tersebut secara umum akan menambahkan terjadinya resistensi yang lebih besar (sama seperti resistensi pada seri sirkuit elektik). Peningkatan resistensi berhubungan dengan sirkuit pernapasan yang biasa digunakan dan pipa endotrakeal dapat memperberat kerja pernapasan dua sampai tiga kali normal.

Posisi Terlentang, Imobilitas dan Pemberian Cairan Intravena Berlebihan

Pasien yang menjalani pembedahan dan anestesi sering berada dalam posisi terlentang dan terimobilisasi untuk jangka waktu yang lama. Sehingga, beberapa paru dapat menjadi dependen secara berkelanjutan dan dibawah atrium kiri dan pada kondisi zona 3 dan 4. Berada dalam posisi dependen, paru cenderung terjadi akumulasi cairan. Ditambah dengan adanya pemberian cairan berlebihan, kondisi ini cukup untuk mengakibatkan terjadinya transudasi cairan ke dalam paru dan menyebabkan edema paru dan penurunan FRC. Saat anjing Mongrel diletakkan dalam posisi dekubitus dan dianestesi untuk beberapa jam (gambar 17-36, aksis horizontal bawah), ekspansi ruang ekstraseluler oleh cairan (aksis horizontal atas) menyebabkan PO2 (aksis sebelah kiri) aliran darah paru dependen (lingkaran tertutup) menurun secara drastis untuk bercampur dengan vena (tidak ada ambilan oksigen). Aliran darah paru nondependen menjaga PO2 untuk beberapa saat, tetapi dalam menghadapi ekspansi cairan ekstraseluler, hal ini juga mengalami penurunan PO2 setelah 5 jam. Shunt transpulmoner (aksis sebelah kanan) meningkat secara prograsif. Jika hewan tersebut dibalik posisinya setiap jam (dan mendapat jumlah ciran yang sama), hanya paru dependen, pada tiap akhir periode jam, mengalami penurunan oksigenasi. Jika hewan tersebut dibalik setiap setengah jam dan menerima jumlah cairan yang sama, paru tidak mengalami penurunan oksigenisasi. Pada pasien yang menjalani pembedahan dalam posisi dekubitus lateral (contohnya reseksi paru, dimana akan terjadi restriksi ujung vaskuler paru) dan mendapat cairan intravena berlebih, resiko paru dependen menjadi edema pemingkat. Pertimbangan tersebut juga menjelaskan, dalam bagian, dampak manfaat rotasi posisi berkelanjutan (dari sisi-ke-sisi) pada angka kejadian komplikasi paru pada pasien yang sakit kritis.

Konsentrasi Inspirasi Oksigen yang Tinggi dan Penyerapan Ateletaksis

Anestesi umum biasanya diberikan dengan peningkatan FIO2. Pada pasien yang memiliki area rasio VA/Q yang agak rendah (0.1 sampai 0.01), pemberian FIO2 lebih dari 0.3 cukup menambah oksigen ke dalam ruang alveolar pada area tersebut untuk mengeliminasi efek seperti-shunt yang dimiliki, dan pengukuran total shunt kanan-ke-kiri menurun. Tetapi, saat pasien dengan jumlah perfusi unit paru dengan sejumlah aliran darah yang signifikan dengan rasio VA/ Q yang sangat rendah (0.01 sampai 0.0001) telah mengubah FIO2 dari udara ruangan menjadi 1.0, unit dengan rasio VA/Q yang sangat rendah tersebut akan menghilang dan terjadi shunt kanan-ke-kiri yang cukup besar. Pada studi tersebut, peningkatan shunt sama dengan jumlah aliran darah yang sebelumnya memperfusi area dengan rasio VA/Q yang rendah saat bernapas dalam udara. Sehingga, dalam studi tersebut efek dari bernapas O2 adalah untuk mengubah unit yang memiliki rasio VA/Q rendah menjadi unit shunt. Dasar patologi dari data tersebut adalah konversi dari unit dengan VA/ Q rendah menjadi unit atelektasis.

Penyebab shunt atelektasis saat bernapas O2 yaitu diperkirakan peningkatan pengambilan O2 yang tinggi oleh unit paru dengan rasio VA/Q yang rendah. Sebuah unit yang memiliki rasio VA/Q yang rendah selama bernapas udara akan memiliki PAO2 yang rendah. Saat mencapai campuran kaya O2 diinspirasi, PAO2 meningkat, laju pergerakan O2 dari gas alveolar ke kapiler darah sangat meningkat. Aliran O2 dapat meningkat sehingga aliran gas ke dalam darah melebihi aliran gas yang diinspirasi, dan unit paru akan mengecil secara progresif. Kolaps akan terjadi jika FIO2 tinggi, rasio VA/ Q rendah, waktu paparan terhadap unit yang memiliki VA/ Q rendah dengan FIO2 yang tinggi dalam waktu yang lama dan CVO2 yang rendah memberikan VA/Q yang benar dan waktu pemberian FIO2 paling rendah 50% dapat mengakibatkan absorpsi atelektasis. Fenomena ini diperkirakan signifikan pada situasi klinis karena 2 alasan. Pertama, campuran yang kaya O2 sering digunakan untuk terapi, dan penting untuk mengetahui apakah terapi tersebut dapat menyebabkan ateletaksis. Kedua, jumlah shunt sering diperkirakan terjadi saat bernapas O2 100%, dan jika manuver ini menyebabkan adanya shunt tambahan, pengukuran akan sulit untuk diinterpretasikan.

Posisi Pembedahan

Pada posisi terlentang, isi abdomen mendesak diafragma cephalad dan menurunkan FRC (lihat bab 28). Posisi Tradelenburg memungkinkan isi abdomen untuk menekan diafragma lebih cephalad sehingga diafragma tidak hanya memventilasi paru tapi juga mengangkat isi abdomen keluar thoraks. Akibatnya adalah predisposisi untuk menurunkan FRC dan atelektasis. Penurunan FRC yang berhubungan dengan posisi Tradelenberg mengalami eksaserbasi pada pasien obesitas. Peningkatan volume darah paru dan gaya gravitasi pada struktur mediastinal merupakan faktor tambahan yang dapat menurunkan komplians paru dan FRC. Pada posisi Tradelenburg yang curam, sebagian besar paru mungkin berada di bawah atrium kiri dan oleh karena itu berada pada zona 3 dan 4. Pada keadaan tersebut, paru dapat rentan untuk terjadi edema paru interstisial. Sehingga pasien dengan Ppa yang meningkat, seperti pada pasien dengan mitral stenosis, tidak dapat mentoleransi posisi Tradelenburg dengan baik.

Pada posisi dekubitus lateral, paru dependen mengalami penurunan sedang FRC dan merupakan predisposisi terjadinya ateletaksis, dimana paru nondependen dapat terjadi peningkatan FRC. Posisi ginjal dan litotomi juga menyebabkan sedikit penurunan FRC diatas yang disebabkan oleh posisi terlentang. Pada posisi prone dapat meningkatkan FRC secara sedang.

Pola Ventilasi (Pernapasan Cepat dan Dangkal)

Pernapasan cepat dan dangkal merupakan gambaran yang sering terjadi pada anestesi. Pernapasan dangkal yang monoton dapat menyebabkan penurunan FRC, terjadinya ateletaksis dan menurunkan komplians. Hal tersebut berubah dengan pernapasan cepat dan dangkal mungkin dikarenakan peningkatan progresif tegangan permukaan. Awalnya, perubahan ini dapat menyebabkan hipoksemia dengan normokapnia dan dapat dicegah atau dibalik (atau keduanya) oleh inspirasi mekanik besar periodik, spontaneous sighs, PEEP atau kombinasi dari teknik tersebut.

Penurunan Pengeluaran Sekresi (Penurunan Aliran Mukosilier)

Kelenjar glandula mukus trakeobronkial dan sel goblet menghasilkan mukus, yang disapu oleh silia sampai ke laring, lalu akan ditelan atau dikeluarkan. Proses ini membersihkan organisme yang diinhalasi dan partikel dari paru. Mukus yang disekresikan mengandung lapisan permukaan jel yang berada diatas lapisan sol yang lebih banyak cairan tempat silia. Ujung silia mendorong lapisan jel ke laring (ke atas) selama pergerakan ke depan. Saat mukus bergerak ke depan dan area cross-sectional total jalan napas berkurang, absorpsi terjadi dari lapisan sol untuk menjaga kedalaman konstan 5 mm.

Hidrasi sitemik yang buruk dan kelembaban inspirasi yang rendah mengurangi aliran mukosilier dengan meningkatkan viskositas sekresi dan memperlambat pergerakan silier. Aliran mukosilier bervariasi bergantung suhu tubuh atau mukosa (suhu inspirasi rendah) dengan rentang 32oC sampai 42oC. FIO2 yang tinggi menurunkan aliran mukosilier. Inflasi cuff pipa endotrakeal menekan kecepatan mukus, efek yang terjadi dalam 1 jam, dan tampaknya tidak dipengaruhi oleh besar kecilnya komplians cuff yang dipakai. Jalan pipa yang tidak memiliki cuff melalui pita suara dan menjaganya tetap in situ untuk beberapa jam tidak mempengaruhi kecepatan mukus trakea.

Mekanisme supresi pembersihan mukosilier oleh cuff pipa endotrakeal masih spekulatif. Dalam laporan Sackner dan koleganyam kecepatan mukus menurun pada bagian distal trakea, tetapi cuff dikembangkan di bagian aproksimal. Sehingga fenomena ini tidak dapat dipakai semata-mata membendung mukus pada lokasi cuff. Satu kemungkinan yaitu bahwa cuff pipa endotrakeal dapat menyebabkan peningkatan ketebalan lapisan mukus di bagian distal dari cuff. Kemungkinan lain yaitu peregangan mekanis trakea karena cuff pipa endotrakeal yang diinisiasi oleh refleks neurogenik yang merubah sekresi mukus atau frekuensi pergerakan siliar.

Investigasi lain menunjukkan bahwa seluruh faktor yang terjadi dikontrol, halotan reversibel dan menurun secara progresif, tetapi tidak menghentikan aliran mukus pada konsentrasi inspirasi 1 sampai 3 MAC. Depresi yang diinduksi halotan terhadap pembersihan mukosilier mungkin dikarenakan depresi pergerakan silier, efek yang menyebabkan pembersihan mukus yang lambat dari jalan napas distal dan perifer. Untuk mendukung hipotesis ini yaitu temuan bahwa silia secara morfologi sama pada seluruh kingdom animalia, dan pada dosis klinis, anestesi inhalasi, termasuk halotan, telah ditemukan dapat menyebabkan depresi reversibel pergerakan silier pada protozoa.Penurunan Kardiak Output dan Peningkatan Konsumsi Oksigen

Penurunan Q/T pada keadaan konsumsi oksigen konstan (VO2), meningkatkan VO2 pada Q/ T konstan, atau menurunkan Q/ T dan meningkatkan VO2 harus terjadi semua pada CVO2 yang rendah. Darah vena dengan CVO2 yang lebih rendah lalu mengalir melalui jalur shunt manapun yang ada, bercampur dengan kapiler darah akhir-paru yang teroksigenasi, dan rendahnya CaO2 (lihat gambar 17-27 dan 17-28). Gambar 17-37 menunjukkan hubungan tersebut secara kuantitatif untuk beberapa shunt intrapulmoner yang berbeda. Semakin besar shunt intrapulmoner, semakin besar penurunan CaO2 karena lebih banyak darah vena dengan CVO2 yang rendah dapat bercampur dengan kapiler darah akhir-paru. Turunnya Q/ T dapat terjadi dengan gagal miokard dan hipovolemia; penyebab spesifik 2 kondisi ini diluar cakupan bab ini. Peningkatan VO2 dapat terjadi dengan stimulasi sistem saraf simpatis yang berlebihan, hipertermia, atau menggigil dan lebih lanjut dapat menyebabkan gangguan oksigenasi darah arteri.

Inhibition of hypoxic pulmonary vasocontrictionPenurunan PAO2 regional menyebabkan vasokontriksi regional paru, yang membagi aliran darah menjauhi bagian paru yang hipoksik untuk memventilasi bagian yang normosik. Pembagian aliran darah meminimalisasi campuran vena dari bagian paru yang kurang diventilasi atau tidak terventilasi. Hambatan HPV regional dapat merusak oksigenasi arteri dengan memungkinkan peningkatan pencampuran vena dari area paru yang hipoksik atau area paru yang atelektasis (lihat gambar 17-9)

Karena sirkulasi paru kurang dilengkapi dengan otot polos, kondisi apapun yang meningkatkan tekanan melawan pembuluh darah yang konstriksi (contohnya, Ppa) akan menurunkan HPV. Berbagai kondisi klinis dapat meningkatkan Ppa dan oleh karena itu menurunkan HPV. Stenosis mitral, volume overload, yang rendah (tapi lebih tinggi pada udara ruangan) FIO2 pada paru sehat, peningkatan progresif penyakit paru, tromboemboli, hipotermia dan obat vasoaktif, seluruhnya dapat meningkatkan Ppa. Obat vasodilator langsung (seperti isoproterenol, nitrogliserin, dan sodium nitroprusside), anestesi inhalasi, dan hipokapnia secara langsung dapat menurunkan HPV. Pemakaian selektif PEEP hanya untuk paru sehat dapat secara selektif meningkatkan PVR pada paru sehat dan membagi aliran darah kembali ke paru yang memiliki penyakit.

Paralisis

Pada posisi supine, berat isi abdomen menekan diafragma lebih besar pada bagian dependen atau posterior diafragma dan paling sedikit pada bagian nondependen atau anterior diafragma. Pada pasien yang sadar dan bernapas secara spontan, tekanan aktif pada diafragma dapat mengatasi berat dari isi abdomen, dan diafragma paling banyak bergerak di bagian posterior (karena diafragma posterior merenggang lebih tinggi menuju dada, memiliki radius kurvatura terkecil dan oleh karena itu dapat berkontraksi paling efektif) dan paling sedikit pada bagian anterior. Keadaan tersebut merupakan keadaan sehat karena sejumlah besar ventilasi terjadi pada area dengan perfusi paling banyak (posterior atau dependen), dan jumlah paling sedikit terjadi di area dengan perfusi paling sedikit (anterior atau nondependen). Selama paralisis dan positive-pressure breathing, diafragma pasif digantikan oleh tekanan positif biasanya di bagian nondependen anterior (dimana hanya terdapat sedikit resistensi terhadap pergerakan diafragma). Hal tersebut tidak sehat karena ventilasi dalam jumlah besar terjadi pada area dengan perfusi lebih sedikit, dan sedikit terjadi di area dengan perfusi lebih banyak. Tetapi, besarnya perubahan pada gerakan diafragma bergantung dengan paralisis yang bervariasi dengan posisi tubuh.

Right-to-Left Interatrial ShuntingHipoksemia arterial akut dari shunt transien kanan-ke-kiri melalui foramen ovale paten (PFO) telah dijelaskan sebelumnya, khususnya selama adanya anestesi. Tetapi, jika teknik pencitraan ruang jantung tidak digunakan (contohnya, TEE dengan aliran warna pencitraan Doppler), sulit untuk melihat shunt intrakardiak akut dan transien kanan-ke-kiri sebagai penyebab hipoksemia arteri. Meskipun begitu, shunt kanan-ke-kiri melalui PFO telah dijelaskan secara sebenarnya lpada setiap situasi klinis yang terjadi bahwa afterload sisi kanan jantung dan meningkatkan tekanan atrium kanan. Saat shunt kanan-ke-kiri melalui PFO ditemukan, pemberian NO inhalasi dapat menurunkan PVR dan menutup PFO.

Keterlibatan Mekanisme Hipoksemia pada Penyakit Spesifik

Pada setiap penyakit paru, banyak mekanisme hipoksemia disebutkan sebelumnya dapat terjadi. Emboli paru (udara, lemak, trombus) (gambar 17-38) (lihat bab 53) dan perubahan ARDS (lihat bab 75) (gambar 17-39) akan digunakan untuk menggambarkan hal ini. Emboli paru yang signifikan dapat menyebabkan peningkatan tekanan arteri paru berat, dan peningkatan tersebut dapat menyebabkan shunt transpulmoner kanan-ke-kiri melalui anastomosis atriovena terbuka dan foramen ovale (kemungkinan pada 20% pasien), edema paru pada regio nonemboli paru, dan menghambat HPV. Emboli dapat menyebabkan hipoventilasi melalui peningkatan dead space. Jika emboli mengandung trombosit, serotonin dapat dilepaskan, dan pelepasan tersebut dapat menyebabkan hipoventilasi sebagai akibat dari bronkokonstriksi dan edema pulmoner sebagai akibat dari peningkatan permeabilitas kapiler paru. Dan terakhir, emboli paru dapat meningkatkan PVR (dengan pelepasan serotonin yang diinduksi trombosit, diantara etiologi lain) dan penurunan kardiak output.

Setelah hipotensi berat, syok, kehilangan darah, sepsis dan kondisi lainnya, edema paru nonkardiogenik dapat terjadi dan menyebabkan gagal napas akut atau ARDS (dijelaskan lebih lanjut di bab 74 dan 75). Sindrom ini dapat berubah selama dan setelah anestesi dan memiliki ciri utama penurunan FRC dan komplians dan hipoksemia. Setelah syok dan trauma, kadar serotonin, histamin, kinin, lisozim, spesies oksigen reaktif, produk degradasi fibrin, produk metabolisme komplemen, dan asam lemak di dalam plasma meningkat. Sepsis dan endotoksemia mungkin dapat terjadi. Peningkatan kadar komplemen aktif mengaktivasi neutrofil menjadi kemotaksis pada pasien trauma dan pankreatitis; neutrofil yang teraktivasi dapat merusak sel endotel. Faktor tersebut, bersama kontusi paru (jika terjadi), secara individual atau kolektif dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah paru. Setelah syok, asidosis, peningkatan katekolamin dalam sirkulasi dan aktivitas sistem saraf simpatis, pelepasan leukotrin dan prostaglandin, pelepasan histamin, mikroemboli (dengan pelepasan serotonin), peningkatan tekanan intrakranial (dengan cedera kepala), dan hipoksia alveolar dapat terjadi dan secara individual atau kolektif, khususnya setelah resusitasi, menyebabkan peningkatan Ppa sedang. Setelah syok, respon kompensasi normal terhadap hipovolemia adalah pergerakan cairan bebas-protein dari ruang interstisial ke pembuluh darah untuk mengembalikan volume pembuluh darah. Dilusi protein vaskuler oleh cairan interstisial bebas-protein dapat menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid kapiler. Peningkatan permeabilitas kapiler paru dan Ppa bersama dengan penurunan tekanan onkotik koloid kapiler akan menyebabkan transudasi cairan dan edema paru. Selain itu, penurunan QT, inhibisi HPV, imobilitas, posisi supine, pemberian cairan berlebihan, dan FIO2 yang terlalu tinggi dapat berperan dalam menyebabkan ARDS.

Mekanisme Hiperkapnia dan Hipokapnia Selama Anestesi

Hiperkapnia

Hipoventilasi, peningkatan ventilasi dead space, peningkatan produksi CO2, dan mematikan penyerap CO2 dengan tidak hati-hati semuanya dapat menyebabkan hiperkapnia (gambar 17-40).

Hipoventilasi

Pasien secara spontan berhipoventilasi selama dianestesi karena lebih sulit untuk bernapas (posisi pembedahan abnormal, peningkatan resistensi jalan napas, penurunan komplians) dan keinginan untuk bernapas akan berkurang (penurunan penggerak pernapasan karena anestesi). Hipoventilasi menyebabkan hiperkapnia.

Peningkatan Ventilasi Dead Space

Penurunan Ppa, saat hipotensi tenang, dapat menyebabkan peningkatan zona 1 dan ventilasi dead space alveolar. Peningkatan tekanan jalan napas (sama seperti dengan PEEP) juga menyebabkan peningkatan di zona 1 dan ventilasi dead space alveolar. Emboli paru, trombosis, dan gangguan vaskuler (pembengkokan, perlengketan, penyumbatan arteri paru selama operasi) dapat meningkatkan sejumlah paru yang diventilasi tetapi tidak diperfusi. Gangguan pembuluh darah dapat menjadi penyebab peningkatan ventilasi dead space dengan umur (VD/VT% = 33 + age/3). Inspirasi cepat dan pendek dapat didistribusi ke non-komplians (waktu pendek yang konstan untuk pengembangan) dan alveoli dengan perfusi buruk, dimana inspirasi lambat memberikan waktu untuk distribusi ke alveoli yang lebih komplians (konstan dalam waktu lama untuk inflasi) dan lebih terperfusi. Sehingga, inspirasi cepat dan pendek dapat menyebabkan efek ventilasi dead space.

Perlengkapan anestesi meningkatkan dead space total (VD/VT) untuk 2 alasan. Pertama, peralatan tersebut meningkatkan dead space anatomis. Termasuk dead space aparatus normal meningkatkan rasio VD/VT total dari 33% menjadi sekitar 46% pada pasien yang diintubasi dan sampai 64% pada pasien yang bernapas dengan sungkup. Kedua, sirkuit anestesi menyebabkan rebreathing gas yang diekspirasi, yang sama dengan vent