TESIS ANALISIS β-TRACE PROTEIN SERUM PADA HIPERTENSI ...

54
i TESIS ANALISIS β-TRACE PROTEIN SERUM PADA HIPERTENSI ANALYSIS OF SERUM β-TRACE PROTEIN IN HYPERTENSION Disusun dan diajukan oleh: R A C H M A P062171307 PROGRAM STUDI BIOMEDIK KONSENTRASI KIMIA KLINIK SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2019

Transcript of TESIS ANALISIS β-TRACE PROTEIN SERUM PADA HIPERTENSI ...

i

TESIS

ANALISIS β-TRACE PROTEIN SERUM PADA HIPERTENSI

ANALYSIS OF SERUM β-TRACE PROTEIN IN HYPERTENSION

Disusun dan diajukan oleh:

R A C H M A P062171307

PROGRAM STUDI BIOMEDIK KONSENTRASI KIMIA KLINIK SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2019

ii

Tesis

ANALISIS β-TRACE PROTEIN SERUM PADA HIPERTENSI

Disusun dan diajukan oleh

R A C H M A P062171307

PROGRAM STUDI BIOMEDIK KONSENTRASI KIMIA KLINIK SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2019

i

PRAKATA

Bismillahirrahmanirrahim

Salam Sejahtera

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis

panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul: “Analisis β-Trace

Protein Serum pada Hipertensi”. Shalawat serta salam senantiasa

tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, kepada

keluarganya, sahabatnya, kepada kita semua, serta kepada seluruh

umatnya hingga akhir zaman.

Dalam pelaksanaan penelitian serta penyusunan tesis ini terdapat

banyak hambatan serta kesulitan yang penulis hadapi. Untuk itu, dengan

penuh kerendahan serta ketulusan hati penulis mengucapkan banyak

terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Yth. Rektor Universitas Hasanuddin Makassar; Prof. Dr. Dwia Aries

Tina Pulubuhu, M.A., Yth Dekan Sekolah Pascasarjana Universitas

Hasanuddin; Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc, Yth Ketua

Program Studi Ilmu Biomedik Sekolah Pascasarjana Universitas

Hasanuddin Makassar; Dr. dr. Ika Yustisia, M.Sc.

2. Yth Dr. dr. Yuyun Widaningsih, M.Kes.,Sp.PK selaku Ketua Komisi

Penasehat , dr. Uleng Bahrun, Ph.D.,SpPK(K) selaku Anggota

Komisi Penasehat, yang dengan penuh keikhlasan dan ketulusan

ii

telah memberikan waktu, tenaga, serta pemikiran dalam membimbing

penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan denga baik.

3. Yth Dr. Burhanuddin Bahar, MS., Yth Dr. dr. Nurahmi,M.kes.,Sp.PK

dan Yth Dr. dr. Hasyim Kasim, Sp.PD.,K-GH, selaku penguji yang

telah memberikan bimbingan dan masukan dalam penyelesaian tesis.

4. Kepala Instalasi Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit DR.

Wahidin Sudirohusodo Makassar beserta seluruh staf laboratorium.

5. Kepala Ruangan Laboratorium Penelitian Rumah Sakit Pendidikan

Tinggi Negeri Universitas Hasanuddin (RSPTN) Makassar beserta

seluruh staf laboratorium.

6. Seluruh dosen konsentrasi Kimia Klinik yang telah mendidik,

membagikan ilmu dan arahan serta pengalaman selama penulis

menempuh Pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas

Hasanuddin

7. Teman seperjuangan “Kimia Klinik Angkatan 2017” atas

kebersamaan, kekompakan, serta dorongan semangat kepada penulis

selama menempuh Pendidikan.

8. Tak lupa untaian terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan,

cinta, kasih sayang serta pengorbanan waktu maupun materi untuk

orang tuaku yang tercinta Baharuddin Daeng Beta dan Herlina,

suami Andi Ichsan Akbar yang selalu mendampingi Penulis dalam

suka maupun duka, memberikan semangat, dukungan moril dan

materi serta doa, saudara-saudaraku Amirullah, Wahyudi, Nasrul

iii

atas dukungannya, keponakan tersayang Muhammad Khaisan

Kholish atas semangat dan hiburan yang selalu membuat Penulis

senang.

9. Penanggungjawab laboratorium RS Hikmah Makassar dr. Rostina

Saddu, M.Kes., Sp.PK atas semangat dan dukungannya sehingga

Penulis dapat menyelesaikan pendidikan

10. Rekan kerja Arni Herawati, Sri Supriatini, Rosmawati, Arfina

Samir, dan Dwi Sartika atas semangat dan dukungan sehingga

Penulis dapat melaksanakan tanggungjawab dan tugas di tempat

kerja sambil menyelesaikan pendidikan.

11. Sahabatku Ayu Wahyuni Wahab atas semangat dan dukungannya.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini

masih terdapat banyak kesalahan. Untuk itu, kritik dan saran yang

membangun senantiasa penulis harapkan demi kemajuan penulisan pada

masa selanjutnya. Semoga tesis sebagai tugas akhir ini dapat

memberikan manfaat bagi kita semua.

Semoga Rahmat dan hidayah-Nya senantiasa tercurah kepada kita

semua.

Makassar, 28 Desember 2019

R a c h m a

i

ABSTRAK

Rachma. Analisis B-Trace Protein Serum pada Hipertensi (dibimbing oleh

Yuyun Widaningsih dan Uleng Bahrun).

Protein β-trace serum sebagai biomarker kerusakan pembuluh darah dan organ pada hipertensi.

Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan protein β-trace serum dengan hipertensi. Desain penelitian adalah cross sectional dengan jumlah sampel 44 yang terdiri dari 35 pasien hipertensif dan 9 normotensif dipilih secara unrandom sampling. Data dikumpulkan oleh peneliti meliputi usia, jenis kelamin, derajat dan lama hipertensi.

Analisis bivariat digunakan untuk melihat perbandingan konsentrasi protein β-trace serum pada hipertensi dan normotensi, derajat dan lama hipertensi. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar subjek hipertensi berusia lebih dari 60 tahun sebesar 45,7%, subjek hipertensi berjenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada perempuan yaitu sebesar 65,7%, subjek mengetahui menderita hipertensi sejak 1-5 tahun paling banyak yaitu 40%, subjek penderita hipertensi derajat 1, 2, hipertensi sistolik terisolasi (HST) tidak berbeda jauh, 57,1% subjek dengan konsentrasi protein β-trace serum melebihi nilai kontrol. Analisis data menunjukkan konsentrasi protein β-trace serum pada hipertensi berbeda signifikan dengan normotensi (p<0,005), tidak ada perbedaan signifikan antara konsentrasi protein β-trace serum pada kelompok derajat dan lama hipertensi.

Kata kunci : Protein β-trace, hipertensi

ii

ABSTRACT

Rachma. Analysis of serum β-trace protein on hypertension (supervised by Yuyun Widaningsih and Uleng Bahrun)

β-trace protein (BTP) as a biomarker of blood vessels and organs

damage on hypertension. Research aims to assess BTP relationships with hypertension.

Research design is cross sectional with a sample number 0f 44 consisting of 35 hypertensive patients and 9 normotension were selected unrandom sampling. Data collected by researcher includes age, sex, degrees and length of hypertension.

Bivariate analysis to be used to see concentration in hypertension and normotension, degress dan length of hypertension. Studies show that most of the hypertensive subjects are over 60 years old, which is 45,7%, the male sex is larger than the female subjects, which is 65,7%, the subjects have known their selves to hypertension since 1 to 5 years at the most, which is 40%. Sucjects with hypertension degrees 1, 2 and isolated systolic hypertension (ISH) are not significantly different, 57,1%% of subjects with serum BTP concentrations are way beyond their control value. Data analysis indicates the serum BTP concentration in hypertension is significantly different from normotension (p<0,005), there is no meaningfull difference between serum BTP concentration in the group of degree and length of hypertension. Keywords : β-trace protein, hypertension

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitan

Sampai saat ini hipertensi masih merupakan tantangan besar

yang sering ditemukan pada pelayanan kesehatan di Indonesia.

Hipertensi adalah tekanan darah abnormal dengan angka sistolik lebih

dari 140 mmHg dan diastolik lebih dari 90 mmHg pada kondisi tenang

saat pengukuran dilakukan (Kemenkes, 2014). Hipertensi sering

disebut pembunuh gelap (silent killer) karena seringkali

keberadaannya disadari setelah menimbulkan komplikasi.

Prevalensi global hipertensi diperkirakan 1,13 miliar pada 2015.

prevalensi keseluruhan hipertensi pada orang dewasa adalah sekitar

30-45% dan semakin meningkat pada usia di atas 60 tahun.

Prevalensi yang tinggi tersebut konsisten di seluruh dunia, terlepas

dari status pendapatan suatu negara baik rendah, menengah dan

tinggi. Kemajuan diagnosa dan perawatan hipertensi meningkat

selama 30 tahun terakhir namun kecacatan hidup yang disebabkan

oleh hipertensi telah meningkat sebesar 40% sejak tahun 1990. Setiap

kenaikan tekanan darah meningkatkan resiko kematian (European

Society of Hypertension/ European Society of cardiology (ESH/ESC)

2018).

2

Berdasarkan Riskesdas 2018, 8,8% individu mengalami

hipertensi, 32,3% penderita tidak meminum obat dengan rutin dan

13,3% sebaliknya atau bahkan tidak meminum obat. Hal ini

menunjukkan bahwa sebagian besar penderita hipertensi tidak

melakukan penatalaksanaan yang baik. Peningkatan tekanan darah

terus menerus dan berlangsung lama tanpa penanganan yang baik

menyebabkan kerusakan berbagai organ baik secara langsung

maupun tidak langsung.

Untuk itu pentingnya diagnosis dini serta penatalaksanaan yang

tepat untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas yang akan terjadi

atau mencegah kerusakan lebih lanjut yang sedang terjadi. Biomarker

sangat penting sebagai acuan diagnosis dini pada penderita hipertensi

agar penatalaksanaan yang tepat dapat dilakukan.

β-Trace Protein (BTP) telah diusulkan sebagai biomarker

alternatif Cystatin C untuk mengukur fungsi ginjal dan risiko

kardiovaskular (Orenes, 2013). β-Trace Protein dapat menjadi

biomarker yang lebih baik daripada kreatinin serum pada pasien

cedera ginjal (Bhavzar et al, 2011).

Berbagai studi telah mengklarifikasi peran protektif β-Trace

Protein pada jantung dengan hipoksia dan iskemia, stabilisasi plak

aterosklerosis, angina pektoris, gagal jantung dekompensasi akut,

hipertensi, dll ( Han F et al, 2009; Eguchi et al, 1997; Tokudome et al,

2009; Tanaka et al, 2009; Cipollone et al, 2004; Inoue et al, 2008;

3

Hirawa et al, 2002; Januzzi et al, 2011 dalam Orenes-Pinero dan januzzi,

2013 ).

Hirawa et al, 2002 melaporkan nilai β-Trace Protein serum dan

ekskresi β-Trace Protein dalam urin jauh lebih tinggi pada pasien

dengan hipertensi esensial (EHT) dibandingkan pasien dengan subjek

normotensif, bahkan ketika pasien dengan hipertensi esensial

menunjukkan fungsi ginjal yang tampaknya normal. Hipertensi dengan

cedera ginjal dikaitkan dengan peningkatan konsentrasi β-Trace

Protein lebih lanjut dalam serum dan urin.

Hal itu menjadi dasar penelitian ini untuk mengetahui hubungan

β-Trace Protein serum pada hipertensi. Penggunaan sampel serum

dalam penelitian ini efesien untuk menghindari pengambilan sampel

berulang yang akan menyakiti pasien.

1.2. Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang penelitian di atas, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

1. Apakah terdapat hubungan antara konsentrasi β-Trace Protein

serum dengan berbagai derajat hipertensi?

2. Apakah terdapat hubungan antara konsentrasi β-Trace Protein

serum dengan lamanya hipertensi?

4

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan umum

Tujuan umum dalam penelitian ini yaitu:

1. Mengukur konsentrasi β-Trace Protein serum pada pasien

dengan berbagai derajat hipertensi.

2. Mengukur konsentrasi β-Trace Protein serum pada pasien

dengan lama hipertensi yang berbeda.

1.3.2. Tujuan khusus

Tujuan khusus dalam penelitian ini yaitu:

1. Membandingkan konsentrasi β-Trace Protein serum pada

berbagai kelompok derajat hipertensi.

2. Membandingkan konsentrasi β-Trace Protein serum pada

berbagai kelompok lamanya hipertensi.

1.4. Hipotesis

Hipotesa dalam peneltian ini adalah:

1. Ada perbedaan antara konsentrasi β-Trace Protein serum dengan

derajat hipertensi.

2. Ada hubungan antara konsentrasi β-Trace Protein serum dengan

lamanya hipertensi.

5

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Memberikan informasi ilmiah tentang hubungan antara

konsentrasi β-Trace Protein serum dengan berbagai derajat

hipertensi.

2. Memberikan informasi ilmiah tentang hubungan antara

konsentrasi β-Trace Protein serum dengan lamanya hipertensi.

3. Dapat dijadikan referensi penelitian lebih lanjut untuk menyelidiki

diagnostik β-Trace Protein serum pada hipertensi dan cedera

organ terkait

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hipertensi

2.1.1. Pengertian

Hipertensi berasal dari bahasa latin yaitu hyper yang berarti

super atau luar biasa dan tensio yang berarti tegangan atau

tekanan sehingga diartikan tekanan yang luar biasa atau dikenal

dengan nama tekanan darah tinggi atau hipertensi.

Kontraksi jantung untuk memenuhi kebutuhan jaringan dan

organ menimbulkan tekanan pada dinding pembuluh darah.

Tekanan tersebut menyebabkan darah mengalir ke jaringan

melewati pembuluh-pembuluh sehingga perfusi atau pertukaran zat

dapat dipertahankan. Tekanan dan aliran darah tersebut

membentuk hemodinamika (Muttaqin, 2012).

Pengukuran tekanan darah menghasilkan dua angka dalam

satuan milimeter merkury yaitu angka sistolik yang menunjukkan

tekanan darah saat jantung memompa darah dan diastolik yang

menunjukkan tekanan darah saat jantung relaksasi. Tekanan

maksimal darah terhadap dinding arteri ketika jantung berkontraksi

menyemprotkan darah ke dalam pembuluh disebut tekanan sistol

dengan rerata 120 mmHg. Tekanan minimal darah terhadap arteri

ketika darah keluar menuju ke pembuluh yang lebih kecil di hilir

7

selama jantung berelaksasi disebut tekanan diastol dengan rerata

80 mmHg (Corwin, 2000).

Hipertensi adalah penyakit tekanan darah melebihi normal

yaitu tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan

darah diastolik lebih dari 90 mmHg (Kemenkes RI, 2015). Menurut

WHO, penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan sistolik

lebih besar atau sama dengan 160 mmHg dan atau tekanan

diastolik sama atau lebih besar 95 mmHg.

Diagnosis hipertensi ditegakkan bila tekanan darah sistolik

≥140 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg pada

pengukuran di klinik atau fasilitas layanan kesehatan (Konsensus

Penatalaksaan Hipertensi 2019).

Penyakit hipertensi memiliki pengaruh yang sangat besar

terhadap perkembangan Penyakit jantung dan pembuluh darah.

Hipertensi adalah penyakit kronis dan tidak memiliki gejala khas

sehingga penderita sering tidak menyadari menderita hipertensi

sampai gangguan organ timbul. Gejala yang timbul sebenarnya

adalah akibat dari kerusakan organ yang diseabkan oleh hipertensi

seperti gangguan fungsi jantung, ginjal, atau stroke (Kemenkes,

2013).

8

2.1.2. Klasifikasi hipertensi

Berdasarkan etiologi, hipertensi ada dua yaitu:

a. Hipertensi esensial.

Hipertensi esensial atau hipertensi primer adalah hipertensi yang

penyebabnya masih belum teridentifikasi. 90% penderita hipertensi

termasuk hipertensi esensial (Kemenkes, 2014).

Secara fundamental, hipertensi esensial terjadi karena eksresi

natrium berkurang sehingga menyebabkan volume darah

bertambah, total resistensi perifer meningkat yang disebabkan oleh

tingginya jumlah zat-zat vasokonstriktor, hipersensitivitas sel otot

polos vaskular, maupun faktor neurogenik. Pada ginjal dapat terjadi

gangguan regulasi tekanan darah melalui:

1. Sistem renin-angiotensin (misalnya hipertensi pada individu

dengan varian genetik angiotensinogen yang spesifik;

angiotensinogen merupakan substrat fisiologik untuk renin).

2. Homeostasis natrium.

Kelainan gen yang mempengaruhi tekanan darah disertai lebih dari

satu variabel nongenetik seperti stres, asupan garam memberikan

kontribusi pada individu yang secara genetik sudah memiliki

predisposisi (Mitchell, et al. 2006).

b. Hipertensi sekunder atau nonesensial

Hipertensi sekunder atau nonesensial adalah hipertensi yang

diketahui penyebabnya. Hipertensi sekunder akibat adanya suatu

9

penyakit atau kelainan yang mendasari, seperti stenosis arteri

renalis, penyakit 1 parenkim ginjal, feokromositoma,

hiperaldosteronism, dan sebagainya. 5-10% hipertensi terjadi karen

penyakit ginjal, 1-2% karena kelainan hormon atau pemakaian obat

tertentu (kemenkes, 2014). Salah satu contoh hipertensi sekunder

adalah hipertensi vaskuler renal, yang terjadi akibat stenosis arteri

renalis yang dapat bersifat kongenital atau akibat aterosklerosis.

Pada stenosis arteri renalis, aliran darah mengalami penurunan,

baroreseptor ginjal menjadi aktif sehingga renin dilepaskan dan

dengan bantuan enzim angiotensin II terbentuk. Angiotensin II

merupakan vasokonstriktor kuat yang menyebabkan resinstensi

perifer meningkat. Selain itu, secara tidak langsung angiotensin II

meningkatkan sintesis aldosteron dan reabsorpsi natrium. Apabila

dapat dilakukan perbaikan stenosis dengan mengangkat ginjal yang

rusak, tekanan darah akan normal kembali. Penyebab lain dari

hipertensi sekunder yaitu feokromositoma, suatu tumor penghasil

epinefrin di kelenjar adrenal. Epinefrin menyebabkan kardiak output

meningkat. Penyakit chusing menyebabkan peningkatan volume

sekuncup akibat retensi garam dan peningkatan TPR karena

hipersensitivitas sistem saraf simpatis. Aldosteronisme primer dan

hipertesi yang berkaitan dengan kontrasepsi oral juga dianggap

sebagai hipertensi sekunder.

10

Tabel 1. Tipe dan penyebab hipertensi

Tipe hipertensi Penyebab hipertensi

Hipertensi

esensial

Tidak diketahui

Hipertensi

sekunder

Renal:

Glomerulonefritis akut, penyakit ginjal kronik,

penyakit polikistik, Stenosis arteri renalis,

Displasia fibromuskuler arteri renalis,

Vaskulitis renal, Tumor yang memproduksi

renin

Endokrin:

Hiperfungsi korteks adrenal (sindrom chusing,

aldosteronisme primer, hiperplasia adernal

kongenital, konsumsi licorice), Hormon-

hormon eksogen (glukokortikoid, estrogen

(termasuk obat pemicu kehamilan serta

kontrasepsi oral), obat-obat simpatomimetik,

makanan yang mengandung tiramin dan

preparat inhibitor monoamin oksidase

(MAO)), Feokromositoma, Akromegali,

Hipotiroidisme (miksederma), Hipertiroidisme

(tirotoksikosis), Hipertensi yang ditimbulkan

oleh kehamilan

11

Kardiovaskuler:

Koarktasio aorta, Poliarteritis nodosa (atau

vaskulitis lainnya), Peningkatan volume

intravaskuler, Peningkatan curah jantung,

Rigiditas aorta

Neurologik:

Psikogenik, Peningkatan tekanan intrakranial,

Sleep apnea, Stres akut yang meliputi

pembedahan

(Sumber: Mitchell, et al. 2006).

Hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan tinggi rendahnya

tekanan darah sistol (TDS) dan tekanan darah diastol (TDD). The

Seven Of The Joint National Comitte on Prevention, Detection,

Evaluation and Treatment of High Blood Pressure ( JNC 7) ,

hipertensi dibagi dalam empat klasifikasi berdasarkan pada nilai

rerata dari dua atau lebih pengukuran tekanan darah yang

pemeriksaannya dilakukan pada posisi duduk dalam setiap

kunjungan berobat yaitu normal, pre-hipetensi, hipertensi,

hipertensi stage I, dan hipertensi stage II.

ESH/ESC membagi hipertensi dalam tujuh kategori

berdasarkan nilai cut off yaitu optimal, normal, normal

tinggi/prehipertensi, dan hipertensi derajat I,II,III. Nilai cut off

12

digunakan untuk menyederhanakan diagnosis dan keputusan

tentang pengobatan.

Tabel 2. Klasifikasi tekanan darah

JNC VII ESC/ISH (2018)

Klasifikasi

tekanan

darah

TDS

mmHg

TDD

mmHg

Klasifikasi

tekanan

darah

TDS

mmHg

TDD

mmHg

Normal <120 <80 Optimal <120 dan <80

Pre-

hipertensi

120-

139

80-89 Normal 120-

129

dan/

atau

80-84

hipertensi ≥140 ≥90 Tinggi

normal

130-

139

dan/

atau

85-89

Hipertensi

stage I

140-

159

90-99 Hipertensi

grade I

140-

159

dan/

atau

90-99

Hipertensi

stage II

>160 >100 Hipertensi

grade II

160-

179

dan/

atau

100-

109

Hipertensi

grade III

>180 dan/

atau

>110

Hipertensi

sistolik

≥140 dan <90

(Sumber: Chobanian AV, et al.Hypertension.2003;42:1206-1252,

ESH/ESC 2018)

13

Individu dengan pre-hipertensi berisiko besar menjadi hipertensi.

Peningkatan tekanan darah sedikit saja dapat mengubah

prehipertensi menjadi hipertensi sehingga perlu mengatur pola

hidup agar tidak menjadi hipertensi. bahkan jika prehipertensi telah

menunjukkan gejala, obat antihipertensi harus dikonsumsi.

Prehipertensi bukanlah penyakit melainkan sebutan untuk

mengidentifikasi individu yang berisiko lebih besar menderita

hipertensi. umumnya, penderita hipertensi termasuk dalam

hipertensi derajat I. Hipertensi derajat II dan derajat III berrisiko

tinggi terhadap serangan jantung, stroke atau masalah lain yang

berkaitan dengan hipertensi. Bila tekanan darah penderita

hipertensi berbeda dengan klasifikasi, misalnya TDS 170 mmHg

sedangkan TDD 90 mmHg maka derajat hipertensi ditentukan dari

tekanan sistolik (TDS) karena merupakan tekanan yang terjadi

ketika jantung berkontraksi memompakan darah.

Klasifikasi hipertensi hasil konsensus Perhimpunan Dokter

Hipertensi Indonesia ditentukan berdasarkan ukuran tekanan darah

sistolik dan diastolik dengan merujuk pada 2018 ESC/ESH

Hypertension Guidelines. Penentuan stratifikasi resiko hipertensi

dilakukan berdasarkan tingginya tekanan darah, adanya faktor

resiko lain, kerusakan organ target dan penyakit penyerta tertentu.

Menurut bentuknya, hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi

dua yaitu:

14

a. Hipertensi sistolik adalah peningkatan angka sistolik karena

jantung memompa terlalu kuat yang menunjukkan tingginya

tekanan pada arteri bila jantung berkontraksi.

b. Hipertensi diastolik adalah peningkatan angka diastolik pada

saat jantung relaksasi karena penyempitan abnormal pembuluh

darah kecil sehingga darah kesulitan melewatinya dan

menyebabkan besarnya resistensi..

2.1.3. Patogenesis hipertensi

Nilai Tekanan darah ditentukan oleh kecepatan denyut jantung

(heart rate, HR), volume sekuncup (stroke volume, SV), dan total

resistensi perifer (total peripheral resistance, TPR). Peningkatan

salah satu dari ketiga variabel tersebut yang tidak dikompensasi

dapat menyebabkan hipertensi.

Faktor risiko hipertensi menyebabkan perubahan tekanan

darah. Apabila terjadi perubahan tekanan darah, baroreseptor

mengirim informasi ke pusat kardiovaskuler di otak sehingga

menyebabkan perangsangan simpatis. Pengaktifan sistem saraf

simpatis akan mengeluarkan norepinefrin dan epinefrin.

Norepinefrin berikatan dengan reseptor spesifik di sel-sel otot polos

pembuluh yang disebut reseptor α untuk menimbulkan

vasokonstriksi. Vasokonstriksi menyebabkan peningkatan tahanan

perifer. Selain itu, norepinefrin dan epinefrin juga berikatan dengan

15

reseptor β1 pada jantung untuk meningkatkan kecepatan denyut

jantung.

Perubahan tekanan darah juga dirasakan oleh baroreseptor di

ginjal. Apabila tekanan tinggi, maka pelepasan hormon renin

berkurang. Apabila tekanan turun, maka pelepasan renin

meningkat. Renin beredar dalam darah dan bekerja sebagai enzim

yang mengubah protein angiotensinogen yang dihasilkan oleh hati

menjadi angiotensin I. Angiotensin I diuraikan oleh enzim

pengubah-angiotensin (angiotensin-converting enzyme) menjadi

protein 8 asam amino yang disebut angiotensin II. Angiotensin II

adalah suatu vasokonstriktor kuat yang secara langsung

meningkatkan TPR dan sintesis aldosteron. Aldosteron beredar

dalam darah ke ginjal menyebabkan sel-sel tubulus distal

meningkatkan reabsorpsi natrium dan dengan adanya ADH

(antidiuretic hormone) reabsorpsi air juga meningkat sehingga

terjadi peningkatan volume darah, volume sekuncup, dan curah

jantung dan tekanan darah.

Volume sekuncup meningkat apabila volume plasma juga

meningkat. Hal ini dapat disebabkan oleh gangguan penanganan

garam dan air pada ginjal (peningkatan pelepasan renin atau

aldosteron atau penurunan aliran darah ke ginjal atau konsumsi

garam yang berlebihan). Jika volume plasma meningkat maka

16

volume diastolik akhir (preload jantung), volume sekuncup dan juga

meningkat maka terjadi peningkatan tekanan darah.

Rangsangan saraf dan hormon secara abnormal pada arteriol

atau respon arteriol yang berlebihan terhadap rangsangan normal

dapat meningkatkan resistensi perifer. Pada peningkatan TPR,

jantung harus memompa secara kuat agar menghasilkan tekanan

yang lebih besar sehingga darah dapat melintasi pembuluh-

pembuluh yang sempit. Hal ini disebut peningkatan dalam afterload

jantung, dan biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan

diastolik. Apabila peningkatan afterload berlangsung lama, maka

ventrikel kiri mengalami hipertrofi. Serat-serat otot jantung menjadi

regang dan panjang sehingga kebutuhan oksigen meningkat dan

kontraktilitas serta volume sekuncup menurun. Akibatnya, ventrikel

memompa darah lebih keras dengan meningkatkan tekanan darah

(Corwin, 2000).

17

2.

Gambar 1. Patogenesis hipertensi menurut Corwin yang telah

dimodifikasi; BP (Blood Pressure) = HR (Heart Rate) X SV (Stroke

Volume) X TPR (Total Peripheral Resistance).

Hasil kali curah jantung (cardiac output, CO) yang nilainya

bergantung pada kecepatan denyut jantung (Heart Rate, HR, dalam

denyut per menit) dan volume sekuncup (stroke volume, SV, dalam

mililiter darah yang dipompa per denyutan) dan TPR (Total

Peripheral Resistance) merupakan tekanan yang dibutuhkan untuk

mengalirkan darah melalui sistem sirkulasi. Fungsi kerja masing-

masing penentu tekanan darah ini dipengaruhi oleh interaksi dari

Pengaktifan Simpatis Pelepasan renin

HR

TPR vasokonstriksi

Pengaktifan

Parasimpatis

Neurotransmitter

: NE, katekolamin

SV

Volume Diastolik-Akhir

Volume

darah

Pembentukan

urin

Aliran

darah ginjal

Reabsorpsi Na

dan H2O ginjal

ADH

Aldosteron

Angiotensi I

Angiotensi II

TPR

Hipertensi

18

berbagai faktor yang kompleks. Hipertensi merupakan abnormalitas

dari faktor-faktor tersebut yang ditandai dengan peningkatan curah

jantung dan / atau resistensi perifer.

2.1.4. Faktor resiko hipertensi

Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah abnormal.

riwayat keluarga, obesitas sentral, dan merokok merupakan faktor

risiko kejadian hipertensi (Ansar, 2019). Faktor yang berisiko

terhadap kejadian hipertensi dapat dikelompokkan menjadi dua

yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat

dimodifikasi. Karakteristik individu merupakan faktor yang tidak

dapat dimodifikasi seperti umur, jenis kelamin, pendidikan,

pekerjaan, penghasilan, riwayat keluarga, riwayat penyakit, dan tipe

kepribadian. Sedangkan gaya hidup adalah faktor yang dapat

dimodifikasi seperti pola makan, kebiasaan merokok, konsumsi

alkohol, konsumsi lemak, stres serta kurangnya aktifitas olahraga

(Hidayati, 2018).

1. Umur

Pertambahan umur dan hipertensi dikaitkan dengan penurunan

elastisitas arteri sehingga jantung memompa lebih kuat dan

meningkatkan tekanan darah (Chobanian et al, 2003).

2. Jenis kelamin

Pada umumnya, hipertensi lebih banyak diderita oleh kaum pria

dengan rasio sekitar 2,29% untuk peningkatan tekanan darah

19

sistolik. Pria sering mengalami tanda-tanda hipertensi pada usia

akhir tiga puluhan. Pria diduga memiliki gaya hidup yang

cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan

dengan perempuan. Akan tetapi pada masa menopause,

prevalensi hipertensi pada perempuan dapat meningkat karena

kurangnya hormon estrogen.

3. Keturunan (Genetik)

Sebagian besar kasus hipertensi esensial memiliki faktor

keturunan. Faktor keturunan dengan pengaruh faktor

lingkungan menjadikan seseorang rentan menderita hipertensi.

Faktor genetik juga berkaitan dengan gen metabolisme

pengaturan garam dan renin membran sel.

4. Obesitas

Penimbunan lemak berlebih di dalam jaringan menimbulkan

obesitas. Jaringan lemak tidak aktif akan meningkatkan beban

kerja jantung. Selain itu, penimbunan lemak juga dapat

berkaitan dengan aterosklerosis yang dapat meningkatkan

tekanan darah. Seseorang dengan obesitas memiliki risiko

hipertensi 2-6 kali lebih tinggi dibandingkan berat badan

normal.

5. Konsumsi garam

Garam seperti garam dapur (NaCl), soda kue (NaHCO3),

baking powder, natrium benzoat, dan vitsin mempengaruhi

20

patogenesis hipertensi dengan meningkatkan volume plasma.

Garam bersifat mudah mengikat air (Almatsier S, 2010).

6. Stress

Tuntutan emosi, fisik atau lingkungan yang melebihi

kemampuan menimbulkan stres. Mekanisme stres

menimbulkan hipertensi melalui pengaktifan saraf simpatis

secara tidak menentu dan berlangsung lama (Sutanto, 2010).

7. Merokok

Kandungan zat kimia berbahaya dalam rokok menyebabkan

hipertensi melalui pengrusakan lapisan endotel pembuluh

darah. Kerusakan lapisan endotel pembuluh darah memicu

proses aterosklerosis. Aterosklerosis meningkatkan resistensi

perifer dan meningkatkan tekanan darah. Selain itu, kerusakan

lapisan endotel juga menurunkan sejumlah vasodilator. Setiap

konsumsi dua batang rokok meningkatkan tekanan sistolik dan

diastolik hingga 10mmHg dan menetap sampai 30 menit

setelah perokok berhenti menghisap rokok. Sedangkan untuk

perokok berat tekanan darah akan berada pada level tinggi

sepanjang hari (Sheldon G, 2005).

21

2.1.5. Komplikasi hipertensi

Hipertensi yang tidak ditangani dengan baik menimbulkan

penyakit lain, seperti penyakit jantung dan pembuluh darah,

penyakit hipertensi serebrovaskular, hipertensi ensefalopati, dan

hipertensi retinopati (Gumanti, 1999, Corwin, 2000).

a. Penyakit jantung dan pembuluh darah.

Hipertrofi ventrikel kiri yang terjadi pada hipertensi

menimbulkan penyakit jantung baik penyakit jantung koroner

maupun penyakit jantung hipertensi. Penyakit jantung koroner

berupa infark miokardium yang terjadi karena kurangnya suplai

oksigen ke miokardium akibat aterosklerotik pada arteri koroner

atau pembentukan trombus pada pembuluh darah tersebut.

Selain itu, pada hipertrofi ventrikel jumlah darah yang menuju

jaringan tidak adekuat sehingga kebutuhan miokardium akan

oksigen tidak terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung dan

infark, disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan resiko

pembentukan bekuan.

b. Penyakit hipertensi serebrovaskular.

Hipertensi adalah faktor resiko paling penting untuk timbulnya

stroke pendarahan atau ateroemboli. Pendarahan kecil atau

penyumbatandari pembuluh-pembuluh kecil dapat

menyebabkan infark pada daerah-daerah kecil. Stroke dapat

terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang

22

memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan menebal,

sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya

berkurang.

c. Ensefalopati hipertensi

Ensefalopati hipertensi yaitu sindroma yang ditandai dengan

perubahan-perubahan neurologis mendadak atau sub akut

yang timbul akibat tekanan arteri yang meningkat, dan kembali

normal apabila tekanan darah diturunkan. Sindroma ini dapat

timbul pada setiap macam hipertensi, tapi jarang pada

aldosteronisme primer dan koarktasio aorta. Ensefalopati

hipertensi biasanya ditandai oleh sakitkepala hebat, bingung,

sering muntah-muntah, mualdan gangguan penglihatan.

d. Gagal ginjal

Gagal ginjal terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan

tinggi pada kapiler-kapiler ginjal, glomerulus. Dengan rusaknya

glomerulus, darah akan mengalir ke unit-unit fungsional ginjal,

nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksik

dan kematian. Dengan rusaknya membran glomerulus, protein

akan keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik plasma

berkurang dan menyebabkan edema.

e. Kelainan pada mata

Hipertensi juga memiliki komplikasi padamata yaitu:

1. Oklusi vena retina.

23

Penyumbatan suplai darah dalam vena keretina yang dapat

terjadi karena pengerasan pembuluh darah dalam mata.

2. Oklusi arteri retina.

Penyumbatan suplai darah dalam arteri ke retina. Arteri

retina dapat tersumbat oleh gumpalan darah atau zat-zat

(seperti lemak) yang terjebak dalam arteri. Sumbatan ini

dapat terjadi karena pengerasan pembuluh darah dimata.

3. Makroaneurisma arteri retina.

Makroaneurisma pada arteri retina yang merupakan gejala

akibat tekanan daerah disekitarnya.

4. Iskemik neuropati optik anterior.

Defisiensi aliran darah pada bagian saraf optik anterior

sehingga terjadi neuropati padasaraf tersebut.

5. Ocular motor nerve palsy.

Kelumpuhan nervus okulomotor yang mengakibatkan

gerakan bola mata terganggu.

6. Retinopati hipertensi. (Kanski, 2003)

2.1.6. Lama hipertensi

Sebagian besar penderita hipertensi tidak menyadari

menderita hipertensi ataupun mendapatkan pengobatan. Hipertensi

memang disebut sebagai silent killer yaitu pembunuh diam-diam

karena pada sebagian kasus tidak menunjukkan gejala apapun.

Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita

24

hipertensi mungkin tidak menunjukkan gejala selama bertahun-

tahun.

Tubuh melakukan adaptasi terhadap kenaikan tekanan darah

untuk menormalkan kembali tekanan darah dalam waktu yang

cepat. Pada hipertensi, tubuh beradaptasi dengan melakukan

hipertrofi ventrikel kiri yaitu suatu keadaan yang menggambarkan

pertambahan atau penebalan massa pada ventrikel (bilik) kiri

jantung. Hipertrofi ventrikel kiri merupakan remodelling struktur

jantung untuk menormalisasikan regangan dinding agar fungsi

jantung tetap normal. Akan tetapi dengan penambahan beban yang

berlangsung terus akan menjadi proses patologis. Hal ini terjadi bila

telah dilampaui suatu masa kritis ventrikel kiri, sehingga

menurunkan kemampuan jantung dan menurunkan cadangan

pembuluh darah koroner.

Kombinasi faktor herediter dan faktor lingkungan

menyebabkan perubahan homeostasis kardiovaskular

(prehypertension). Meskipun belum cukup meningkatkan tekanan

darah sampai tingkat abnormal, namun cukup untuk memulai

kaskade yang beberapa tahun kemudian menyebabkan

peningkatan tekanan darah sampai kerusakan organ. Sebagian

orang dengan perubahan gaya (pola) hidup dapat menghentikan

kaskade (proses) tersebut dan kembali ke normotensi. Sebagian

lainnya akhirnya berubah menjadi hipertensi menetap. Semakin

25

tinggi tekanan darah dalam waktu lama maka semakin berat

komplikasi yang dapat ditimbulkan (Tessy, 2009).

2.1.7. Manifestasi klinis

Menurut Corwin, sebagian besar manifestasi klinis timbul

setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun, berupa:

a. Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan

muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakarnium.

b. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina karena hipertensi.

c. Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan

saraf pusat.

d. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi

glomerulus.

e. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan

tekanan kapiler.

Anamnesis hipertensi meliputi tingkat hipertensi dan lama

menderitanya, riwayat dan gejala-gejala penyakit yang berkaitan

seperti penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler dan

lainnya. Apakah terdapat riwayat penyakit dalam keluarga, gejala

yang berkaitan dengan penyakit hipertensi, perubahan aktifitas atau

kebiasaan (seperti merokok, konsumsi makanan, riwayat dan faktor

psikososial lingkungan keluarga, pekerjaan, dan lain-lain).

26

2.2. Tegangan Geser

Wall shear stress (WSS) adalah gaya biomekanik lateral yang

ditentukan oleh aliran darah, geometri pembuluh, dan viskositas cairan

() dan berhubungan langsung dengan fungsi vaskular termasuk

regulasi kaliber vaskular dan proliferasi inhibisi, trombosis, dan

peradangan pada dinding pembuluh darah (). Dengan demikian, WSS

bersifat ateroprotektif dan sangat penting dalam remodeling vaskular

dan aterosklerosis. Rasio antara kecepatan maksimum di pusat arteri

dan jari-jari pembuluh adalah perkiraan umum WSS () Asakura et al,

1990; Busse et al, 1998; Hoeks et al, 1995 dalam Yang et al, 2014)

Stres geser merangsang sintesis PGD2 (Prostaglandin D2)

dengan ekspresi BTP dalam sel endotel vaskular sebagai respons

terhadap aliran darah (Taba, et al. 2000).

WSS yang lebih rendah diketahui terkait dengan perkembangan

plak aterosklerotik, seperti yang diamati pada arteri karotid pada

subjek dengan faktor risiko aterosklerosis. Di antara pasien dengan

aterosklerosis karotis unilateral, tegangan geser lebih rendah pada

arteri karotis dengan plak daripada di arteri bebas plak kontralateral

(Gnasso et al. 1997 dalam Yang et al, 2014).

2.3. Fisiologi Endotelium

Hipertensi dapat memiliki efek mekanis pada dinding arteri.

Biasanya, endotelium terpapar dengan tegangan geser laminar, yang

27

penting untuk stimulasi sel endotel dan fungsi vaskular. Lapisan sel

endotel membatasi permukaan dalam pembuluh. Sel-sel endotelial

aktif dan reaktif berpartisipasi dalam hemostasis dan reaksi imun dan

inflamasi, mengatur tonus pembuluh darah melalui produksi oksida

nitrat, endotelin dan prostaglandin dan terlibat dalam manifestasi

aterogenesis, penyakit autoimun, dan proses infeksi. Sel-sel endotel

memproduksi dan bereaksi terhadap berbagai sitokin dan molekul

adhesi, melakukan respons anti-dan pro-inflamasi dan protektif

tergantung pada kondisi lingkungan dan merupakan kunci sel-sel

imunoreaktif. Disfungsi atau aktivasi endotel juga berkontribusi

terhadap berbagai keadaan penyakit (Galley, et al. 2004).

Gambar 2. Sel endotel memiliki fungsi metabolik dan sintetik (Galey

and Webster, 2004).

28

Endotelium menghasilkan sejumlah vasodilator dan zat

vasokonstriktor yang mengatur tonus vasomotor, aktivitas sel-sel

inflamasi, dan mengatur trombosis. Sel endotel memiliki peran utama

dalam regulasi tonus pembuluh darah, melalui produksi beberapa

vasoaktif mediator seperti: Nitric oxide, prostacyclin, endothelin (ET)

dan endothelial-derived hyperpolarizing factor. Nitric oxide

mempertahankan pembuluh darah dalam keadaan vasodilatasi.

Prostacyclin juga disintesis dari asam arakidonat oleh sel-sel endotel.

Prostacyclin adalah vasodilator yang kuat, dan menghambat agregasi

platelet dan trombosis serta dapat bersinergi dengan nitric oxide

dalam hal ini.

2.4. Prostaglandin D2

Prostaglandin disebut prostanoid, terbentuk ketika asam

arakidonat (AA), asam lemak tak jenuh 20-karbon, dimetabolisme oleh

aksi sekuensial prostaglandin G / H sintase, atau siklooksigenase

(COX). Prostaglandin H2 (PGH2) merupakan prekursor Prostaglandin

D2 (PGD2) yang berasal dari asam arakidonat. Setelah PGH2

terbentuk, PGH2 ini akan diproses menjadi prostanoid aktif yang akan

bekerja di jaringan. Ada empat prostaglandin bioaktif utama yang

dihasilkan secara in vivo: prostaglandin (PG) E2 (PGE2), prostacyclin

(PGI2), prostaglandin D2 (PGD2) dan prostaglandin F2α (PGF2α).

Mereka diproduksi di mana-mana, biasanya setiap jenis sel

29

menghasilkan satu atau dua dominan produk dan bertindak sebagai

mediator lipid autacrine dan paracrine untuk mempertahankan

homeostasis lokal dalam tubuh. PGD2 selanjutnya dapat

dimetabolisme menjadi PGF2α, 9α, 11β-PGF2 (stereoisomer PGF2α)

dan seri J dari PG siklopentanon, termasuk PGJ2, Δ12-PGJ2, dan

15d-PGJ2 (Ricciotti dan FitzGerald, 2011).

Prostaglandin (PG) D2 disintesis di pusat sistem saraf dan

jaringan perifer. Di otak, PGD2 terlibat dalam regulasi tidur dan

aktivitas neurologis lainnya, termasuk nyeri persepsi. Di periferal

jaringan, PGD2 diproduksi terutama oleh sel mast dan sel lainnya,

termasuk trombosit, makrofag, dan limfosit, dan di sana memainkan

peran dalam penyakit radang dan atopik, meskipun itu mungkin juga

mengerahkan serangkaian fungsi antiinflamasi yang dimediasi secara

imunologis (Ricciotti dan FitzGerald, 2011). PGD2 memainkan peran

penting dalam pemeliharaan pembuluh darah fungsi (Song, et al.

2018). Dua enzim yang mensintesis PGD2 yang berbeda secara

genetik telah diidentifikasi, yaitu PGD sintase tipe hematopoietik dan

lipokalin (masing-masing H-PGDS dan L-PGDS) (Ricciotti dan

FitzGerald, 2011).

30

Gambar 3. Biosynthetic pathway of prostanoids (Ricciotti dan

FitzGerald, 2011).

2.5. Β-Trace Protein

Β-trace protein juga dikenal sebagai prostaglandin D synthase

tipe Lipocalin adalah glikoprotein massa molekul rendah (antara

23.000 dan 29.000 Da tergantung pada tingkat glikosilasi) yang

mengubah prostaglandin H2 menjadi prostaglandin D2. Β-trace protein

pada awalnya diisolasi dari cairan serebrospinal dan berfungsi

sebagai penanda kebocoran cairan ce-rebrospinal; Namun, cDNA dan

gennya telah diisolasi di banyak jaringan tubuh manusia, termasuk

31

sistem saraf pusat, retina, melanosit, jantung, dan organ genital pria

(Orenes-Pinero dan Januzzi, 2013). BTP dapat dianggap sebagai protein

fungsi ganda. BTP bertindak sebagai enzim penghasil PGD2 di dalam

sel dan berfungsi sebagai protein pengikat ligan lipofilik setelah

sekresi (Orenes-Pinero dan Januzzi, 2013).

BTP berperan dalam menghambat agregasi trombosit dan

induksi vasodilatasi dan bronkokonstriksi, dan bertindak sebagai alergi

dan inflamasi mediator (Matsuoka et al, 2000 dalam Orenes-Pinero dan

Januzzi, 2013). Selain itu, BTP berikatan dengan afinitas tinggi

terhadap berbagai senyawa lipofilik, seperti asam retinoid, bilirubin,

biliverdin, hormon tiroid, sisi ganglio, dan amiloid-b peptida

(Beuckmann et al, 1999 dalam Orenes-Pinero dan Januzzi, 2013 ),

bertindak sebagai pengangkut ekstra seluler dari senyawa ini dan

melayani sebagai pendamping amiloid-b endogen untuk mencegah

deposisi amiloid in vivo.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Song et al,

2018 menunjukkan bahwa Penghapusan L-Pgds, tetapi bukan H-

Pgds, meningkatkan BP dan mempercepat respons oklusif

trombogenik terhadap cedera fotokimia pada arteri karotis. Sedangkan

dampak fungsional dari Penghapusan L-PGDS (Lipocalin type

Prostaglandin D Synthase) pada homeostasis vaskular dapat terjadi

akibat suatu efek autokrin dari PGD2 dependent-L-PGDS pada

32

pembuluh darah dan / atau fungsi L-PGDS sebagai protein pembawa

lipofilik.

L-PGDS diekspresikan terutama di sistem saraf pusat, retina,

organ genital pria dan wanita, jantung, dan pembuluh darah,

sedangkan H-PGDS umumnya terlokalisasi pada sitosol sel imun dan

inflamasi ((Sawyer et al., 2002; Hirai et al., 2003 dalam Song et al,

2018).

β-Trace Protein telah dikaitkan dengan homeostasis tekanan

darah yaitu kadar β-Trace Protein serum dan urin jauh lebih tinggi

pada pasien dengan hipertensi dibandingkan pada subjek normotensi

(Hirawa et al., 2002). Ekspresi L-PGDS diinduksi oleh tegangan geser

laminar melalui aktivator protein 1 dalam sel endotel vaskular (Taba et

al., 2000; Miyagi et al., 2005). Tegangan geser meningkatkan produksi

PGD (2) dengan menstimulasi ekspresi β-Trace Protein (Taba et, al

2000). Waktu paruh β-Trace Protein adalah sekitar 1,2 jam dan

disaring secara bebas melalui membran dasar glomerulus dengan

minimal eliminasi non-ginjal.

β-Trace Protein telah muncul sebagai penanda endogen GFR

novel yang menjanjikan, biomarker disfungsi ginjal yang lebih sensitif

daripada kreatinin serum (Po¨ge U, et al. 2005). Di luar perannya

untuk memperkirakan fungsi ginjal, β-Trace Protein juga muncul

sebagai biomarker baru dalam risiko kardiovaskular. Ini telah dikaitkan

dengan beberapa gangguan kardiovaskular, memainkan peran

33

potensial untuk stratifikasi prognostik pada pasien dengan gagal

jantung dekompensasi akut dan sindrom koroner akut dan sedang

diadvokasi sebagai penanda baru untuk prediksi risiko kardiovaskular

(Orenes-Pinero dan Januzzi, 2013).

2.5.1. Penelitian β-Trace Protein

Hasil penelitian β-Trace Protein yaitu:

1. biomarker serum dari cedera ginjal.

Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa β-Trace Protein

adalah penanda yang lebih cocok untuk deteksi dini gangguan

ginjal. BTP dapat berfungsi sebagai penanda endogen alternatif

untuk GFR, dan telah terbukti menjadi penanda yang lebih

sensitif untuk gangguan ginjal daripada konsentrasi serum

kreatinin, terutama karena BTP dapat mendeteksi penurunan

ringan pada fungsi ginjal. Akurasi dan sensitivitas yang lebih

baik ini mendorong munculnya BTP sebagai pembuat novel

dan menjanjikan untuk fungsi ginjal (Donadio et al, 2016).

Beberapa keuntungan telah dilaporkan tentang β-Trace Protein

dibandingkan dengan Cys C. Tidak seperti Cys C, fungsi tiroid

belum dilaporkan mempengaruhi konsentrasi β-Trace Protein

(Chen, et al. 2011). Keuntungan lain yang mungkin dari β-Trace

Protein ditemukan pada pasien transplantasi ginjal, di mana

pengawasan GFR diperlukan untuk mengidentifikasi fungsi

cangkok yang memburuk (Po¨ge U, et al. 2008). Pasien-pasien

34

ini biasanya menggunakan kortikosteroid. Konsentrasi β-Trace

Protein tidak dipengaruhi oleh kortikosteroid.

Tabel 5. Perbandingan kreatinin, cystatin c, dan β-Trace Protein

Creatinine Cystatine C b-Trace

Protein

Weight 113 Da 13,000 Da

23,000–

29,000 Da

depending on

the degree of

glycosylation

Structure Amino acid

derivative

Nonglycosylated

basic protein

Glycosylated

protein

Synthesis

Muscle mass, age,

sex, diet, and

pathologic factors

can affect the

circulating

concentration of

creatinine; lower in

the elderly, women,

and white people

Constant by all

nucleated cells

Cerebrospin

al fluid,

brain, retina,

melanocyte

s, heart,

endothelial

cells, and

male genital

organs; it is

secreted

into various

body fluids,

such as

cerebrospin

al fluid,

plasma,

seminal

plasma, and

urine

Precense in Increases at Increases at Increases at

35

the serum reduced GFR reduced GFR reduced

GFR

Accuracy

Serum creatinine is

increased only after

a 50% reduction in

GFR

Very accurate Very

accurate

Assay

method

Colorimetric and

enzymatic assays

Immunonephel

ometric assay

Immunonep

helometric

assay

Assay

precision

Very good except

in the presence of

mild renal

impairment

Precise

throughout the

range

Precise

throughout

the range

Advantages Inexpensive and

well characterized

More precise

and accurate

than Creatinine

More

precise and

accurate

than

creatinine

Limitations

Not only filtered at

the glomerulus, but

it is also excreted

in the tubules; low

precision at low

renal impairment

Affected by C-

reactive protein

levels and

thyroid

function, not

precise in the

third trimester

of pregnancy,

and higher

levels in tumor

progression

and

metastasis;

Higher

levels in

meningioma

s and

hemangiope

ricytomas

Sumber: (Orenes-Pinero dan Januzzi, 2013)

36

2. β-Trace Protein sebagai Biomarker Urin dari Disfungsi Ginjal

Hasil penelitian menunjukkan bahwa β-Trace Protein urin dapat

mendeteksi cedera ginjal lebih dini daripada albuminuria karena

massa molekulnya lebih rendah, sifat anioniknya, laju produksi

konstan, dan kestabilannya (Uehara, et al. 2009 dalam Orenes-

Pinero dan Januzzi, 2013). Selain itu telah diamati pula bahwa

ekskresi β-Trace Protein urin pada diabetes awal berkorelasi

baik dengan perubahan integritas glomerulus berikutnya

(Ogawa, et al. 2006 dalam Orenes-Pinero dan Januzzi, 2013).

3. β-Trace Protein dan biologi Penyakit Kardiovaskular

BTP dan metabolitnya (PGD2 dan 15d-PGJ2) telah

diidentifikasi sebagai penanda baru dalam pengembangan dan

pro-depresi beberapa gangguan kardiovaskular, karena kadar

plasma mereka ditemukan meningkat pada pasien dengan

aterosklerosis, angina pektoris, HF , dan ACS antara lain.

Selain itu, mereka telah terbukti mengatur beberapa fungsi

biologis penting melalui efek anti-inflamasi, antiapoptotik,

antitrombotik, dan anti-aterogenik, mempromosikan peran

perlindungan kardiovaskular. Penelitian selanjutnya diperlukan

untuk menjelaskan peran klinis potensial untuk BTP (Donadio et

al, 2016). Secara biologis, β-Trace Protein jelas memiliki peran

dalam sistem kardiovaskular . Pada jantung, β-Trace Protein

terlokalisasi dalam sel miokardial, sel endokardium atrium dan

37

ventrikel, baik arteri koroner, sel otot polos, dan plak

aterosklerotik. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa

tingkat β-Trace Protein meningkat dalam sirkulasi pasien

dengan penyakit jantung koroner yang parah, (Orenes-Pinero dan

Januzzi, 2013 ).

4. Peran β-Trace Protein pada jantung dalam kondisi hipoksia dan

iskemia

Hipertensi paru yang disebabkan oleh hipoksemia kronis

akhirnya dapat menyebabkan gagal jantung karena tekanan

berlebih pada ventrikel kanan. Dalam model tikus hipoksemia

kronis, ekspresi mRNA BTP dan tingkat protein di jantung

berkorelasi dengan kondisi hipoksia, dan nilai BTP cenderung

meningkat di bawah hipoksia, mencapai tingkat tertinggi setelah

14 hari, dibandingkan pada tikus kontrol disimpan di bawah

normoxia (Han, et al. 2009). Overekspresi β-Trace Protein

merangsang sintesis PGD2, sehingga mengurangi cedera

reperfusi iskemia miokard pada jantung per-fusi yang terisolasi.

Selain itu, ketika penghapusan genetik β-Trace Protein atau

knockdown β-Trace Protein dilakukan, efek kardioprotektif yang

diberikan oleh glukokortikoid ke perfusi jantung yang terisolasi

terhapus dibandingkan dengan tikus tipe liar. Selain itu,

ditunjukkan bahwa glukokortikoid, seperti deksametason,

mengurangi ukuran infark dengan cara yang tergantung pada

38

β-Trace Protein setelah cedera iskemia-reperfusi in vivo

(Tokudome, et al 2009).

Gambar 4. Efek β-Trace Protein dan metabolitnya dalam

proses kardiovaskular (Orenes-Pinero, 2013)

5. Peran β-Trace Protein dalam stabilisasi plak aterosklerotik

Penelitian menunjukkan bahwa, di dinding pembuluh darah,

defisiensi β-Trace Protein memfasilitasi aterogenesis yang

disebabkan oleh kurangnya efek anti-inflamasi. Hal itu bisa

menjadi biomarker novel yang potensial dari proses dan evolusi

aterosklerotik. Pada studi multisenter dari 1013 pasien,

39

ditunjukkan bahwa kadar β-Trace Protein serum meningkat

pada pasien dengan penyakit arteri koroner yang stabil dan

bahwa tingkat tersebut meningkat sehubungan dengan jumlah

pembuluh darah yang terkena. Analisis regresi sederhana dan

berganda menunjukkan bahwa tingkat β-Trace Protein dapat

memprediksi keparahan lesi dan tingkat plak untuk seluruh

sistem arteri koroner (Inoue, et al. 2008). Konsentrasi β-Trace

Protein dalam plak aterosklerotik dapat dihubungkan dengan

plak yang lebih difus, tidak stabil, dan aktif; pengamatan ini

meningkatkan kemungkinan stabilisasi farmakologis dari plak

aterosklerotik menggunakan modulator selektif sintesis β-Trace

Protein. β-Trace Protein juga dapat berperan dalam cedera

endotel, langkah penting dalam genesis plak. Stres geser

cairan laminar menghambat apoptosis sel endotel, dan

kurangnya tekanan geser memicu apoptosis. Telah dipastikan

bahwa tegangan geser laminer yang stabil merangsang sel

endotel untuk mengekspresikan β-Trace Protein, sehingga

merangsang produksi PGD2 dan 15d-PGJ2, dan menghambat

apoptosis sel endotel melalui peningkatan ekspresi inhibitor

seluler protein apo-ptosis 1 (Taba, et al. 2000).

6. Peran β-Trace Protein pada hipertensi

Hipertensi dengan juri ginjal dikaitkan dengan peningkatan

konsentrasi β-Trace Protein lebih lanjut dalam serum dan urin.

40

Juga telah diamati bahwa peningkatan BTP serum dikaitkan

dengan ekskresi β-Trace Protein urin, dan konsisten dengan

perannya sebagai penanda fungsi ginjal yang sensitif, β-Trace.

Protein urin mendahului peningkatan dalam ekskresi albumin

urin. Peningkatan ini mungkin mencerminkan cedera pada

tubulus ginjal dan arteriol yang disebabkan oleh hipertensi

(Hirawa, et al. 2002).

7. Peran β-Trace Protein dalam Penyakit Aterosklerotik Stabil dan

Penyakit Vaskular.

Pada pasien dengan angina stabil, kadar β-Trace Protein

plasma secara signifikan lebih tinggi di vena jantung daripada

arteri koroner, menunjukkan produksi melalui struktur jantung.

Konsentrasi β-Trace Protein dalam vena jantung menurun

setelah intervensi koroner perkutan setelahnya dan baik

penurunan pelepasan koroner atau peningkatan iskemia dial-

myocar memicu sekresi β-Trace Protein. Demikian pula, telah

diamati bahwa peningkatan kadar β-Trace Protein serum 48

jam setelah intervensi koroner perkutan berkorelasi dengan

tingkat restenosis.

2.5.2. Pengukuran β-Trace Protein

Pada tahun 2013, tes untuk β-Trace Protein dalam cairan

biologis tersedia secara komersial dari Cayman Chemicals (ELISA

imunometrik menggunakan antibodi monoclonal murine4) dan

41

Siemens (partikel- meningkatkan immunoassay nefelometrik

menggunakan antibodi kelinci poliklonal terhadap BTP5 urin

manusia). Tes menggunakan teknik analitik yang berbeda dan

antibodi yang berbeda.

a. Metode imun nefelometrik

Teknik nefelometri mengukur cahaya yang dipencarkan

(scattered) oleh partikel-partikel kompleks antigen-antibodi yang

ada dalam larutan. Makin banyak partikel yang ada dalam

larutan, makin banyak pula cahaya yang dipencarkan sehingga

intensitas cahaya yang dipencarkan (light scattering intensity)

ini secara tidak langsung merupakan ukuran untuk kadar β-

Trace Protein. Teknik ini lebih sensitif karena kompleks antigen-

antibodi yang haluspun telah dapat memencarkan cahaya

sedangkan absorpsi cahaya oleh partikel halus kurang nyata.

Telah diproduksi alat yang menggunakan sinar laser sebagai

sumber cahaya yang mempunyai energi lebih kuat

dibandingkan lampu halogen biasa, sehingga intensitas

pencaran cahaya pun lebih tinggi dan dengan sendirinya

sensitifitas juga meneningkat. Hal-hal yang perlu diperhatikan

dalam metode ini adalah:

1. Untuk memperoleh hasil yang tepat, maka baik antigen

maupun antiserum tidak boleh menunjukkan intensitas

pencaran cahaya yang tinggi

42

2. Antiserum harus monospesifik dengan titer tinggi dan

mempunyai aviditas yang tinggi terhadap antigen.

3. Perbandingan antigen-antibodi harus sedemikian rupa

sehingga terdapat antinodi berlebihan, supaya kompleks

antigen-antibodi tetap berada dalam larutan dan tidak

terbentuk presipitasi terlalu cepat dan terlalu besar yang

dapat mengganggu pencaran cahaya.

4. Larutan pengencer yang dipakai harus bebas partikel

(particle free atau dust free).

5. Untuk menghindarkan kekeruhan, serum yang diperiksa

sebaiknya sampel puasa. Serum yang keruh harus

dijernihkan terlebih dahulu dengan menggunakan larutan

penjernih (clearing agent) atau disaring dengan filter

millipore.

6. Sebaiknya semua kuvet ditentukan dulu indeks pencaran

cahayanya sebelum dipakai. Hasil pembacaan sampel

dikurangi nilai yang diperoleh dari pembacaan kuvet

merupakan indeks pencaran cahaya sampel yang

sebenarnya.

7. Kadang-kadang serum yang mengandung protein-M

menunjukkan kadar immunoglobulin yang lebih rendah dari

seharusnya, karenanya ada antigen berlebihan. Apalagi

dicurigai adanya para-proteinemia, sebaiknya dilakukan

43

elektroforesis protein untuk konfirmasi, kemudian

pengukuran kadar immunoglobulin diulang dengan

pengenceran yang sesuai (lebih tinggi) (Boedina Kresno,

2013).

b. Metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)

Pada ELISA, Human BTP, standar, kontrol dan sampel

diinkubasi dalam sumur mikrotiter yang telah dilapisi

sebelumnya dengan anti antibodi human BTP poliklonal.

Setelah 60 menit inkubasi dan pencucian, anti antibodi human

BTP poliklonal terkonjugasi dengan Horse Radish Peroxidase

(HRP) yang ditambahkan ke sumur mikotiter. Selanjutnya,

konjugat HRP yang tersisa dibiarkan bereaksi dengan larutan

substrat (TMB). Reaksi dihentikan dengan penambahan larutan

asam dan absorbansi produk kuning yang dihasilkan diukur.

Absorbansi sebanding dengan konsentrasi β-Trace Protein.

Kurva standar dibuat dengan memplot nilai absorbansi

terhadap konsentrasi standar β-Trace Protein, dan konsentrasi

sampel yang tidak diketahui ditentukan menggunakan kurva

standar ini ((Boedina Kresno, 2013).

44

2.6. Kerangka Teori

Keterangan:

HR (Heart Rate)

SV (Stroke Volume)

TPR (Total Peripheral Resistance).

Sistem Renin

Angiotensin

Aldosteron

Baroreseptor

Reabsorpsi Na,

H2O,

Neurotransmitter:

- Epinefrin

- Norepinefri

- Katekolamin

Stimulasi

parasimpati

Stimulasi

simpatis

Tekanan darah

Faktor endotel

HR

TPR

SV - Reseptor α

- Reseptor β

- Vasodilatasi

- vasokonstriksi

- - Endothelin,

Angiotensin II, ET-I,

Thromboxan 2, β-

Trace Protein

- - Nitrit oksida,

bradikinin,

hyperpolarizing

factor Hipertensi

45

2.7. Kerangka Konsep

Keterangan:

= variabel yang diteliti

= variabel yang tidak diteliti

GFR: Glomerular Filtration Rate, PGH: Prostaglandin H, BTP: β Trace

Protein, PGD2: Prostaglandin D2

Hipertensi

Grade hipertensi

Serum

urin

- Infark miokardium

- Stroke

- Gagal ginjal

- ensefalopati

Adaptasi:

1. Hipertrofi

2. Peningkatan GFR

3. Vasodilatasi nefron

4. Stimulasi Endotelium

Lama

Hipertensi

H-PGDS

BTP

PGD2 PGH