PENGARUH TERAPI SARI TEMPE KEDELAI HITAMrepository.ub.ac.id/3777/1/Eki%C2%A0Bahtiar.pdfii LEMBAR...
Transcript of PENGARUH TERAPI SARI TEMPE KEDELAI HITAMrepository.ub.ac.id/3777/1/Eki%C2%A0Bahtiar.pdfii LEMBAR...
i
PENGARUH TERAPI SARI TEMPE KEDELAI HITAM
(Glycine max (L.) Merr.) HASIL FERMENTASI Rhizopus
oligosporus PADA TIKUS (Rattus norvegicus) MODEL
FIBROSIS HEPAR HASIL INDUKSI CCL4
TERHADAP EKSPRESI IL-1β DAN
HISTOPATOLOGI
HEPAR
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
Oleh:
EKI BAHTIAR
135130107111021
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
ii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
PENGARUH TERAPI SARI TEMPE KEDELAI HITAM (Glycine max (L.)
Merr.) HASIL FERMENTASI Rhizopus Oligosporus PADA TIKUS
(Ratus norvegicus) MODEL FIBROSIS HEPAR HASIL INDUKSI
CCL4 TERHADAP EKSPRESI IL-1β DAN
HISTOPATOLOGI HEPAR
Oleh:
EKI BAHTIAR
NIM. 135130101111066
Setelah dipertahankan di depan Majelis Penguji
pada tanggal
dan dinyatakan memenuhi syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Kedokteran Hewan
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Dra. Herawati, MP
NIP. 19580127 198503 2 001
drh. Dyah Ayu Oktavianie A. P., M.Biotech
NIP. 19841026 200812 2 004
Mengetahui,
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya
Prof. Dr. Aulanni´am, drh., DES
NIP. 19600903 198802 2 001
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Eki Bahtiar
NIM : 135130107111021
Program Studi : Pendidikan Dokter Hewan
Penulis Skripsi berjudul:
Pengaruh Terapi Sari Tempe Kedelai Hitam (Glycine max (L.) Merr.) Hasil
Fermentasi Rhizopus oligosporus Pada Tikus (Rattus Norvegicus) Model
Fibrosis Hepar Hasil Induksi CCL4 Terhadap Ekspresi IL-1β dan
Histopatologi Hepar
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Isi dari skripsi yang saya buat adalah benar-benar karya saya sendiri dan tidak
menjiplak karya orang lain, selain nama-nama yang termaktub di isi dan tertulis
di daftar pustaka dalam skripsi ini.
2. Apabila dikemudian hari ternyata skripsi yang saya tulis terbukti hasil jiplakan,
makasaya akan bersedia menanggung segala resiko yang akan saya terima.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala kesadaran.
Malang,
Yang menyatakan,
(Eki Bahtiar)
NIM. 135130107111021
iv
PENGARUH TERAPI SARI TEMPE KEDELAI HITAM (Glycine max (L.)
Merr.) HASIL FERMENTASI Rhizopus oligosporus PADA TIKUS
(Rattus norvegicus) MODEL FIBROSIS HASIL INDUKSI CCL4
TERHADAP EKSPRESI IL-1β DAN
HISTOPATOLOGI HEPAR
ABSTRAK
Fibrosis hepar merupakan kerusakan hepar kronis yang ditandai dengan
akumulasi ECM termasuk kolagen. Carbon tetrachloride (CCl4) merupakan
senyawa xenobiotic yang dapat menyebabkan fibrosis hepar, ditandai dengan
peningkatan ekspresi sitokin IL-1β dan perubahan histopatologi hepar. Tempe
kedelai hitam (Glycine max (L.) Merr.) yang difermentasi Rhizopus oligosporus
memiliki kandungan isoflavon dan menghasilkan enzim fibrinolitik. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi sari tempe kedelai hitam terhadap
ekspresi IL-1β dan perubahan histopatologi hepar pada Tikus (Rattus norvegicus)
model fibrosis hepar. Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak
Lengkap, terdiri dari lima kelompok yaitu kelompok kontrol negatif, kelompok
kontrol positif yang diinduksi CCl4 20% selama dua minggu pertama dan diinduksi
CCl4 25% selama empat minggu berikutnya dengan dosis 0,2 mL/100g BB,
kelompok terapi 1, terapi 2 dan terapi 3 yaitu tikus model fibrosis hepar dengan
terapi sari tempe kedelai hitam masing-masing dengan dosis sebesar 200 mg/kg BB,
400 mg/kg BB, dan 800 mg/kg BB selama 2 minggu. Parameter yang diamati
adalah ekspresi IL-1β menggunakan metode Imunohistokimia dan histopatologi
hepar menggunakan pewarnaan Masson’s Trichrome. Analisa data ekspresi IL-1β
dilakukan secara statistik kuantitatif dengan metode ANOVA dilanjutkan dengan
BNJ (α=0,05), sedangkan gambaran histopatologi hepar dianalisa secara deskriptif
kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian terapi sari tempe kedelai
hitam secara signifikan mampu menurunkan ekspresi IL-1β dan dapat
memperbaiki gambaran histopatologi hepar yang ditandai dengan berkurangnya
akumulasi kolagen dan sel radang. Terapi dosis 800 mg/kgBB merupakan dosis
terbaik yang mampu menunjukkan hasil mendekati kelompok Kontrol Negatif.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah sari tempe kedelai hitam (Glycine max (L.)
Merr.) dapat digunakan sebagai terapi fibrosis hepar.
Kata kunci: Fibrosis hepar, Tempe kedelai hitam (Glycine max (L.) Merr.),
Rhizopus oligosporus, eksprsesi IL-1β, histopatologi hepar
v
Keywords: hepatic fibrosis, black soybean (Glycine max (L.) Merr.), Rhizopus
oligoporus, expression of IL-1β, liver histopathology
THERAPY EFFECTS OF BLACK SOYBEAN (Glycine max (L.) Merr.) EXTRACT
FERMENTED WITH Rhizopus oligoporus ON RATS (Rattus norvegicus)
HEPATIC FIBROSIS MODEL INDUCED BY CCL4
TO THE EXPRESSION OF IL-1β AND LIVER
HISTOPATHOLOGY
ABSTRACT
Hepatic fibrosis is a liver chronic injury marked with the accumulation of
ECM including collagen. Carbon tetrachloride (CCl4) is xenobiotic compound
causing hepatic fibrosis, marked with the increasing of IL-1β cytokines expression
and changes in liver histopathology. Black soybean (Glycine max (L.) Merr.)
fermented with Rhizopus oligoporus contains isoflavon and produce fibrinolytic
enzime. This research was aimed to know the therapy effects of the extract of black
soybean fermented with Rhizopus oligoporus to the expression of IL-1β and
changes in liver histopathology on Rats (Rattus norvegicus) as hepatic fibrosis
model. This research was used Completely Randomized Design method, consists
five groups, they are negatif control group, positif control group which induced by
CCl4 20% for the first two weeks and induced by CCl4 25% with doseF 0,2 mL/100
g body weight for the next four weeks, group therapy 1, therapy 2 and therapy 3
that were Rats hepatic fibrosis model treated with the extract of black soybean
fermented with Rhizopus oligoporus, with dose 200 mg/kg body weight, 400 mg/kg
body weight and 800 mg/kg body weight for two weeks. The parameter that were
observed are the expression of IL-1β used immunohistochemistry method and liver
histopathology used Masson’s Trichrome stain. Data analysis of the expression of
IL-1β used quantitatively with ANOVA method then followed by HSD (α=0.05),
while the liver histopathology analysis used descriptively qualitative. The results
showed that administration of black soybean extract fermented with Rhizopus
oligoporus significantly decreased the expression of IL-1β and can improve the
liver histopathology characterized by reduced accumulation of collagen and
inflammatory cells. Therapy dose 800 mg/kg body weight is the best dose that can
show the results approaching the Negative Control group. The conclusion of this
study is black soybean (Glycine max (L.) Merr.) extract fermented with Rhizopus
oligoporus can be used as a hepatic fibrosis therapy.
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ PENGARUH
TERAPI SARI TEMPE KEDELAI HITAM (Glycine max (L.) Merr.) HASIL
FERMENTASI Rhizopus oligosporus PADA TIKUS (Ratus novergicus)
MODEL FIBROSIS HEPAR HASIL INDUKSI CCL4 TERHADAP
EKSPRESI IL-1β DAN HISTOPATOLOGI HEPAR ”. Penyusun menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, secara khusus
penyusun menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr. Dra. Herawati, MP yang telah menyempatkan dan menyisihkan waktunya
untuk membimbing penulis pada saat penulisan skripsi ini.
2. Drh. Dyah Ayu Oktavianie A.P., M.Biotech yang telah menyempatkan dan
menyisihkan waktunya untuk membimbing penulis pada saat penulisan skripsi
ini.
3. Drh. Aulia Firmawati, M.Vet selaku dosen penguji skripsi atas segala kritik,
saran dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.
4. Drh. Citra Sari selaku dosen penguji skripsi atas segala kritik, saran dan
bimbingan dalam penulisan skripsi ini.
5. Prof. Dr. Aulanni’am, drh., DES selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya.
6. Orang tua tercinta yang selalu memberikan motivasi, saran dan semangat
kepada penulis
7. Seluruh dosen yang telah membimbing dan memberikan ilmu selama
menjalankan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya.
8. Kawan-kawan tim penelitian fibrosis hepar.
9. Seluruh kolega di Program Studi Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya.
Penulis sadar bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Penulis berharap skripsi
ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca untuk itu
saran yang membangun sangat penulis harapkan.
Malang, Maret 2017
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
ABSTRACT .................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xii
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ................................................ xiii
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 4
1.3 Batasan Masalah ............................................................................. 4
1.4 Tujuan Penelitian ............................................................................ 6
1.5 Manfaat Penelitian .......................................................................... 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 7
2.1 Hepar............................................................................................... 7
2.1.1 Anatomi Hepar ................................................................... 7
2.1.2 Fisiologi Hepar ................................................................... 8
2.1.3 Histologi Hepar .................................................................. 10
2.2 Fibrosis Hepar ................................................................................. 11
2.2.1 Etiologi ............................................................................... 12
2.2.2 Patogenesa .......................................................................... 12
2.2.3 Gejala Klinis ....................................................................... 17
2.2.4 Perubahan Anatomi ............................................................ 17
2.2.5 Diagnosa ............................................................................. 19
2.3 Senyawa Carbon Tetrachoride (CCL4) ........................................... 20
2.4 Patomekanisme Fibrosis oleh Senyawa CCL4 ................................ 22
2.5 Interleukin-1 ................................................................................... 23
2.6 Kedelai Hitam (Glycine max (L.) Merr.) ........................................ 26
2.7 Bahan Aktif Sari Tempe Kedelai Hitam (Glycine max (L.)
Merr.) Hasil Fermentasi Rhizopus oligosporus .............................. 28
2.8 Hewan Coba Tikus (Rattus novergicus) Fibrosis Hepar ................ 31
viii
BAB III. KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESA
PENELITIAN ................................................................................. 32
3.1 Kerangka Konsep............................................................................ 32
3.2 Hipotesa Penelitian ......................................................................... 35
BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN ................................................... 36
4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ......................................................... 36
4.2 Alat dan Bahan Penelitian .............................................................. 37
4.2.1 Alat Penelitian .................................................................... 37
4.2.2 Bahan Penelitian ................................................................. 37
4.3 Tahapan Penelitian.......................................................................... 37
4.3.1 Sampel Penelitian ............................................................... 37
4.3.2 Rancangan Penelitian ......................................................... 38
4.3.3 Variabel Penelitian ............................................................. 39
4.4 Prosedur Kerja ................................................................................ 39
4.4.1 Persiapan Hewan Coba....................................................... 39
4.4.2 Pembuatan Hewan Model Fibrosis Hepar .......................... 40
4.4.3 Penyiapan Inokulum ........................................................... 40
4.4.4 Pembuatan Media Biji Kedelai Hitam ............................... 40
4.4.5 Proses Fermentasi Tempe .................................................. 41
4.4.6 Pembuatan Sari Tempe Kedelai Hitam (Glycine max
(L.) Merr.) Hasil Fermentasi Rhizopus oligosporus ........... 41
4.4.7 Uji Aktifitas Fibrinolitik dengan Metode Cakram Fibrin .. 41
4.4.8 Identifikasi Profil Isoflavon ............................................... 42
4.4.9 Pemeriksaan Keberhasilan Induksi Fibrosis Hepar .............. .. 42
4.4.10 Pemberian Sari Tempe Kedelai Hitam (Glycine max
(L.) Merr.) Hasil Fermentasi Rhizopus oligosporus ........... 43
4.4.11 Pengambilan Semepel Organ Hati ..................................... 44
4.4.12 Pembuatan Preparat Histopatogi dengan Pewarnaan
Masson’s Trichrome ........................................................... 44
4.4.13 Pengukuran Kadar IL-1 dengan Imonuhistokimia ............. 47
4.5 Analisa Data.................................................................................... 48
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 49
5.1 Keberhasilan Induksi CCL4 dalam Pembuatan Tikus Model
Fibrosis Hepar ............................................................................... 49
5.1.1 Pengaruh Induksi CCL4 terhadap Kadar SGOT dan
SGPT pada Serum .............................................................. 49
5.1.2 Pengaruh Induksi CCL4 terhadap Gambaran
Histopatologi Hepar ........................................................... 51
ix
5.2 Pengaruh Pemberian Sari Tempe Kedelai Hitam (Glycine
max (L.) Merr.) Hasil Fermentasi Rhizopus oligosporus pada
Tikus (Rattus noevergicus) Model Fibrosis Hepar yang
diinduksi CCL4 Terhadap Perbaikan Histopatologi Hepar ........... 53
5.3 Pengaruh Pemberian Sari Tempe Kedelai Hitam (Glycine
max (L.) Merr.) Hasil Fermentasi Rhizopus oligosporus pada
Tikus (Rattus noevergicus) Model Fibrosis Hepar yang
diinduksi CCL4 Terhadap Perbaikan Ekspresi IL-1β .................... 60
BAB VI. PENUTUP ....................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 70
x
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1 Sistem Skoring untuk Tahap Histologi Fibrosis ...................................... 19
3.1 Rancangan penelitian dengan 5 Kelompok Perlakuan ............................. 38
5.1 Hasil Pengukuran Kadar SGOT dan SGPT Kontrol Positif..................... 50
5.2 Ekspresi IL-1β Hepar Tikus ..................................................................... 63
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Gambaran histologi hepar normal dengan pewarnaan HE ....................... 10
2.2 Histologi lobulus hepatik ........................................................................ 11
2.3 Histopatologi fibrosis hepar dengan pewarnaan trichrome strain ........... 18
2.4 Tanaman kedelai hitam ........................................................................... 26
3.1 Kerangka konseptual ............................................................................... 32
5.1 Histopatologi Hepar Tikus dengan Pewarnaan HE .................................. 53
5.2 Histopatologi Hepar Tikus dengan Kontrol Positif .................................. 55
5.3 Histopatologi Hepar Tikus dengan Kontrol Negatif ................................ 56
5.4 Histopatologi Hepar Tikus dengan Terapi 1 ............................................ 58
5.5 Histopatologi Hepar Tikus dengan Terapi 2 ............................................ 58
5.6 Histopatologi Hepar Tikus dengan Terapi 3 ............................................ 59
5.7 Ekspresi Interleukin 1 Beta (IL-1β) ......................................................... 61
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 Keterangan Kelaiakan Etik Penelitian ................................................. 78
2 Varietas Biji Kedelai Hitam ................................................................. 79
3 Determinasi .......................................................................................... 80
4 Komposisi Pakan Standar AIN-93 ....................................................... 81
5 Perhitungan Dosis CCL4 ...................................................................... 82
6 Perhitungan Dosis Terapi ..................................................................... 83
7 Kerangka Operasional .......................................................................... 84
8 Skema Kerja ......................................................................................... 85
9 Volume Induksi CCL4 Pada Hewan Coba ........................................... 90
10 Hasil Pengukuran Kadar SGOT dan SGPT .......................................... 91
11 Hasil Uji Cakram Fibrin ....................................................................... 92
12 Data Ekspresi IL-1β.............................................................................. 93
13 Presentase Penurunan dan Peningkatan IL-1β ..................................... 94
14 Hasil Uji Statistik IL-1β ....................................................................... 95
15 Hasil Uji LC-MS .................................................................................. 97
15 Dokumentasi ......................................................................................... 98
xiii
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
% : Persen
µl : microliter
ALT : Alanine Transaminas
ANOVA : analysis of variance
b/v : berat per volume
BB : Berat Badan
BNJ : Beda Nyata Jujur
BSA : Bovine Serum Albumin
C : Celcius
C3H4O2 : Malondialdehid
Cat : Katalase
CCl3- : Triklorometri
CCl3O2- : Triklorometilperoxi
CCl4 : Karbon Triklorida
COX : Cyclooxygenase
DAB : Diamino Benzidine
ECM : extracellular matrix
EDTA : ethylene diamine tetra acetic acid
GSH : glutathione
H2O2 : Hidrogen
H2O2 : Hidrogen Peroksida
HCl : Hidro Klorida
HE : Hematoksilin Eosin
HSC : Hepatic Stellete Cells
IgG : Immunoglobulin G
IkB : Inhibitor Kappa B
IL-1 : Interleukin-1
IL-6 : Interleukin-6
LGL : Large granular lymphocyte
MCP-1 : Monocyte chemoattractant protein-1
mL : Mililiter
mL/100gBB : milliliter per 100 gram berat badan
mL/kgBB : milliliter per kilo gram berat badan
MMP : matrix of metalloproteinase
NaCl : Natrium klorida
Na-Thio : Natrium Thiosulfat
NBT : nitro blue tetrazolium chloride
NF-kB : Nuclear Factor Kappa B
NK Cell : Natural Killer Cell
nm : nanometer
Nrf2 : Nuclear Factor 2
O2 : Oksigen
xiv
O2- : anion superoksida
O2 : oksigen
P-450 : Porphyrin-450
PBS : Phosphate Buffered Saline
PDGF : Platelet-Derived Growth Factor
PTK : Protein Tyrosin Kinase
PUFA : Poly-Unsaturated Fatty Acid
PUFAs : polyunsaturated fatty acid
ROS : Reactive Oxygen Species
rpm : rotation per minutes
SAHRP : Strep-Avidin Horseradish Peroxidase
SPSS : Statistical Package for the Social Sciences
TBARS : Thiobarbituric Acid Reactive Substance
TCA : Trichloroacetic Acid
TGF-β : Transforming Growth Factor beta
TIMPs : Tissue inhibitor of metalloproteinases
TNF-α : Tumor Necrosis Factor alfa
U/L : Unit per Liter
β-glukosidase : beta-glukosidase
γ-glutamil : gamma-glutamil ο : Derajat
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hepar merupakan pusat dari metabolisme tubuh yang berperan dalam
proses detoksifikasi, metabolisme senyawa endogen, serta sekresi empedu
(Pearce, 2012). Metabolisme senyawa xenobiotik atau senyawa toksik dapat
mengakibatkan kerusakan hepar. Kerusakan hepar ditandai dengan adanya
respon inflamasi serta aktivasi dan proliferasi populasi sel mesenkim di dalam
hepar yang akan me-remodelling extracellular matrix (ECM) sebagai bagian
respon penyembuhan luka (Friedman et al., 2007). Fibrosis hepar merupakan
bentuk kerusakan hepar yang ditandai dengan akumulasi berlebihan protein
matriks ekstraselular termasuk kolagen yang terjadi pada sebagian besar jenis
penyakit hepar kronis (Bataller dan Brenner, 2005). Akumulasi kolagen secara
terus menerus menyebabkan disfungsi hepatoseluler dan peningkatan tekanan
intrahepatic sehingga menyebabkan hipertensi portal hepatica dan sirosis hepar
(Lestari , 2008). Fibrosis hepar dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti
virus, bakteri, parasit, fungi, dan obat-obatan serta senyawa toksik (Mormone
et al., 2011).
Menurut Williams (2005) Prevalensi dari penyakit hepar pada hewan
kecil termasuk fibrosis hepar mencapai 10% dari keseluruhan kejadian penyakit
sistemik pada hewan kecil di Amerika Serikat. Fibrosis hepar jarang terjadi
pada kucing, sebaliknya tingkat kejadian fibrosis hepar lebih tinggi pada anjing.
Peningkatan radikal bebas secara signifikan akan berdampak pada
hepar. Hal ini ditandai dengan peningkatan produksi sitokin proinflamasi, salah
2
satunya ialah IL-1β sehingga menyebabkan perubahan pada histopatogi hepar
(Liedtke et al., 2013).
Karbon tetraklorida (CCl4) merupakan salah satu senyawa xenobiotik
yang dapat menyebabkan kerusakan pada hepar. Dalam retikulum endoplasmik
hepar, CCl4 dimetabolisme oleh sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) menjadi radikal
bebas triklorometil (CCl3). Ikatan triklorometil dengan oksigen akan
membentuk radikal triklorometilperoxi yang dapat menyerang membran lipid
retikulum endoplasmik dengan kecepatan yang melebihi radikal bebas
triklorometil. Selanjutnya triklorometilperoxi menyebabkan peroksidasi lipid
sehingga mengganggu homeostasis Ca2+, dan akhirnya menyebabkan kematian
sel (Ganda, 2007). Peningkatan radikal bebas secara signifikan akan berdampak
pada hepar. Hal ini ditandai dengan peningkatan kadar reactive oxygen species
(ROS) dan produksi sitokin proinflamasi, salah satunya ialah IL-1β dan
perubahan pada pengamatan histopatogi hepar (Liedtke et al., 2013).
Menurut Hubscher (2006), peluang pemulihan hepar ditentukan oleh
derajat kerusakannya, yaitu fatty liver dengan peluang pemulihan sebesar 50%-
90%, liver fibrosis peluang pemulihan sebesar 20%- 30%, dan cirrhosis peluang
pemulihan sebesar 2%-5%. Minimnya angka peluang pemulihan fibrosis pada
hepar karena belum ditemukan metode terapi efektif untuk penyakit tersebut,
terutama pada hewan. Sejauh ini terapi yang diberikan pada hewan kecil
merupakan derivat dari senyawa terapi yang diberikan kepada manusia hal ini
disebabkan karena kurangnya penelitian mengenai penyakit hepar pada hewan
kecil (Ijzer, 2008).
3
Kedelai merupakan salah satu bahan pangan yang penting bagi
masyarakat Indonesia, khususnya ekonomi menengah ke bawah dengan tujuan
sebagai lauk dan camilan (Rahma, 2010). Kedelai hitam mempunyai kandungan
senyawa fenolik, tanin, antosianin dan isoflavon serta aktivitas antioksidan
lebih tinggi dibanding kedelai kuning dengan kandungan flavonoidnya 6 kali
lebih banyak dibanding kedelai kuning (kandungan total flavonoid kedelai
kuning dan hitam berturut-turut 0,41 dan 2,57 mg ekuivalen dengan katekin per
gram) dan aktivitas antioksidan 15 kali lebih tinggi (DPPH scavenging capacity
kedelai kuning dan hitam berturut-turut 1,40 dan 17,58 µmol ekuivalen Trolox
per gram) (Xu dan Chang, 2007).
Teknik fermentasi kedelai hitam dengan jamur Rhizopus oligosporus
dapat digunakan sebagai upaya dalam meningkatkan kandungan isoflavon,
karena enzim-enzim yang dihasilkan oleh jamur Rhizopus oligosporus dapat
mengubah senyawa flavonoid menjadi isoflavonoid (Atun, 2009). Selain
meningkatkan kandungan antioksidan, fermentasi kedelai hitam juga akan
menghasilkan enzim fibrinolitik, yang merupakan agen trombolitik yang
mampu mendegradasi fibrin, suatu bekuan darah yang terbentuk dari fibrinogen
melalui proteolisis oleh trombin (Poernomo, dkk. 2016). Hal tersebut
menjadikan tempe kedelai hitam berpotensi sebagai kandidat sumber
antioksidan dan agen fibrinolitik yang baik.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penelitian ini
bertujuan untuk menemukan alternatif terapi fibrosis hepar dengan
memanfaatkan sari tempe kedelai hitam (Glycine max (L.) Merr.) hasil
4
fermentasi Rhizopus oligosporus. Uji efek sari tempe kedelai hitam (Glycine
max (L.) Merr.) hasil fermentasi Rhizopus oligosporus perlu dilakukan untuk
membuktikan aktivitas antioksidan dan fibrinolitik melalui ekspresi IL-1β dan
gambaran histopatologi hepar pada tikus (Rattus norvegicus) model fibrosis
hepar yang diinduksi Carbon Tetrachloride (CCl4).
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah terapi sari tempe kedelai hitam (Glycine max (L.) Merr.) hasil
fermentasi Rhizopus oligosporus dapat mengurangi ekspresi IL-1β
(Interleukin-1beta) pada tikus (Rattus norvegicus) model fibrosis hepar hasil
induksi CCl4?
2. Apakah terapi sari tempe kedelai hitam (Glycine soja Sieb et Zucc) hasil
fermentasi Rhizopus oligosporus dapat memperbaiki kerusakan histopatologi
hepar pada tikus (Rattus norvegicus) model fibrosis hepar hasil induksi CCl4?
1.3 Batasan Masalah
Beberapa batasan masalah pada penelitian ini adalah:
1. Hewan coba yang digunakan adalah tikus (Rattus norvegicus) jantan strain
Wistar umur 2 bulan dengan berat 150-200 gram yang diperoleh dari Unit
Pengembangan Hewan Percobaan (UPHP) Universitas Gajah Mada
Yogyakarta. Penggunaan hewan coba telah mendapatkan sertifikasi Laik
5
Etik dari Komisi Etik Penelitian (KEP) Universitas Brawijaya No : 745-
KEP-UB (Lampiran 1)
2. Induksi fibrosis hepar dilakukan dengan pemberian CCl4 konsentrasi 20%
yang diencerkan dengan olive oil, dengan dosis 0,2 mL/100g BB sebanyak
dua kali per minggu selama dua minggu pertama. Selanjutnya pada empat
minggu selanjutnya dilakukan induksi CCl4 25 % menggunakan dosis 0,2
mL/100g BB (Modifikasi Costandinou et al., 2005). Induksi CCl4 dilakukan
secara Intraperitoneal.
3. Biji kedelai hitam (Glycine max (L.) Merr.) varietas DETAM-1 yang
digunakan berasal dari Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi,
Malang (Lampiran 2) dan telah mendapat keterangan determinasi dari Unit
Pelaksana Teknis Materia Medica, Batu (Lampiran 3).
4. Fermentasi kedelai hitam menjadi tempe dilakukan dengan menggunakan
Rhizopus oligosporus FNCC 6000, biji kedelai hitam sebanyak 100 gram
difermentasi dengan 10 mL suspensi spora 10% (Poernomo, dkk., 2016)
5. Pembuatan sari tempe kedelai hitam dilakukan dengan metode maserasi
menggunakan aquades. Proses fermentasi hingga pembuatan sari tempe
kedelai hitam dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi, Fakultas Farmasi,
Universitas Airlangga.
6. Terapi sari tempe kedelai hitam diberikan pada hewan coba dengan dosis
pemberian 200 mg/kgBB, 400 mg/kgBB, dan 800 mg/kgBB dengan volume
2 ml secara per oral selama 14 hari (Yusof et al., 2013)
6
7. Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah ekspresi IL-1β pada
jaringan hepar menggunakan metode Imunohistokimia (Kusumadewy,
2012) dan gambaran histopatologi hepar berupa akumulasi kolagen
menggunakan pewarnaan Masson’s Trichrome (Anderson, 2013).
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasar latar belakang yang telah diuraikan, maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh terapi sari tempe kedelai hitam (Glycine soja Sieb et
Zucc) hasil fermentasi Rhizopus oligosporus terhadap ekspresi IL-1β
(Interleukin-1) pada jaringan hepar tikus (Rattus norvegicus) model fibrosis
hepar yang diinduksi CCl4.
2. Mengetahui pengaruh terapi sari tempe kedelai hitam (Glycine max (L.)
Merr.) hasil fermentasi Rhizopus oligosporus terhadap perubahan
histopatologi hepar pada tikus (Rattus norvegicus) model fibrosis hepar yang
diinduksi CCl4.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dalam kajian ilmiah
tentang manfaat dari sari tempe kedelai hitam (Glycine max (L.) Merr.) hasil
fermentasi Rhizopus oligosporus sebagai terapi fibrosis hepar terhadap
ekspresi IL-1β dan perubahan histopatologi hepar pada hewan model tikus
(Rattus norvegicus) yang diinduksi CCl4.
7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hepar
Hepar adalah organ metabolik terbesar dan terpenting. Organ ini
penting bagi sistem pencernaan untuk sekresi empedu. Hepar menghasilkan
empedu sekitar satu liter per hari, yang diekskresi melalui duktus hepatikus
kanan dan kiri yang kemudian bergabung membentuk duktus hepatikus
komunis (Amirudin, 2009).
2.1.1 Anatomi Hepar
Hepar adalah organ terbesar yang terletak di sebelah kanan atas
rongga abdomen. Pada kondisi hidup hepar berwarna merah tua karena kaya
akan persediaan darah (Sloane, 2004). Permukaan atas terletak bersentuhan
dibawah diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan diatas organ-
organ abdomen, Batas atas dan bawah dengan ruang interkoste, Permukaan
posterior hepar berbentuk cekung dan terdapat celah transversal dari sistem
porta hepatis (Amirudin, 2009).
Hepar terbagi menjadi empat lobus yaitu lobus kiri, lobus median,
lobus kanan, dan lobus caudatus (Boorman, 2006). Dalam hepar terdapat
tiga jenis jaringan yang penting yaitu sel parenkim hepar, susunan pembuluh
darah dan susunan saluran empedu (Darmawan, 2009). Secara mikroskopis,
setiap lobus hepar terbagi menjadi struktur-struktur yang disebut sebagai
lobulus, yang merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ. Setiap
lobulus merupakan badan heksagonal yang terdiri atas lempeng-lempeng sel
hepar berbentuk kubus, tersusun radial mengelilingi vena sentralis yang
8
mengalirkan darah dari lobulus. Diantara sel hepar terdapat kapiler-kapiler
yang disebut sebagai sinusoid. Sinusoid dibatasi oleh sel fagositik atau sel
kupffer yang fungsi utamanya adalah menelan bakteri dan benda asing
dalam darah. Selain cabang-cabang vena porta dan arteri hepatica, juga
terdapat saluran empedu. Saluran empedu interlobular membentuk kapiler
empedu yang sangat kecil yang disebut sebagai kanalikuli yang bersatu
membentuk saluran empedu yang makin lama makin besar hingga menjadi
duktus koledokus (Price and Lorraine, 2006)
Hepar disuplai oleh dua pembuluh darah, yaitu: vena porta hepatika
yang berasal dari lambung dan usus yang kaya akan nutrien seperti asam
amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam air dan mineral dan arteri
hepatika, cabang dari arteri koliaka yang kaya akan oksigen. Pembuluh
darah tersebut masuk hepar melalui porta hepatis, vena porta dan arteri
hepatika bercabang menjadi dua yakni kelobus kiri dan ke lobus kanan
(Hadi, 2002). Darah dari cabang-cabang arteri hepatika dan vena porta
mengalir dari perifer lobulus ke dalam ruang kapiler yang melebar yang
disebut sinusoid. Sinusoid ini terdapat diantara barisan sel-sel hepar ke vena
sentral. Vena central dari semua lobulus hepar menyatu untuk membentuk
vena hepatika (Sherwood, 2001).
2.1.2 Fisiologi Hepar
Hepar memiliki berbagai fungsi dibandingkan organ lain dalam
tubuh. Fungsi utama hepar yaitu metabolisme karbohidrat, metabolisme
lipid, metabolisme protein, penyimpanan glikogen,vitamin A, D, dan B12,
9
zat besi dan darah, detoksifikasi dan sekresi empedu (Junqueira, 2007).
Hepar memproduksi asam empedu yang membantu pencernaan lemak dan
hepar sendiri memproses asam amino, glukosa, asam lemak, serta gliserol
(Jeharatman dan Koh, 2005). Kerusakan pada hepar menyebabkan
terganggunya metabolisme di dalam tubuh, sehingga terjadilah gangguan
homeostasis (Price, 2005).
Menurut Price and Lorraine (2006) fungsi hepar adalah sebagai
berikut:
1. Sekresi, hepar memproduksi asam empedu yang berguna dalam
emulsifikasi dan absorbsi lemak.
2. Metabolisme, hepar memiliki peranan penting dalam metabolisme
protein, lemak dan karbohidrat.
3. Penyimpanan, hepar menyimpan beberapa mineral, seperti besi dan
tembaga, serta vitamin yang larut dalam lemak, yaitu vitamin A, D, E, dan
K. Hepar juga menyimpan toksin dan obat-obatan yang tidak dapat
dipecahkan atau diekskresi oleh tubuh.
4. Detoksifikasi, hepar dapat mendetoksifikasi toksin dan berbagai obat-
obatan. Proses ini dilakukan melalui oksidasi, metilasi dan konjugasi.
5. Produksi panas, banyaknya aktivitas kimiawi dalam hepar membuatnya
berperan sebagai sumber utama panas tubuh, terutama ketika tubuh dalam
keadaan istirahat atau tidur.
6. Penyimpanan darah, hepar adalah reservoir darah yang dihasilkan dari
jantung dan limpa serta volume darah yang diperlukan oleh tubuh.
10
2.1.3 Histologi Hepar
Sel–sel yang terdapat di hepar antara lain: hepatosit, sel endotel, dan
sel makrofag yang disebut sebagai sel kuppfer, dan sel ito (sel penimbun lemak).
Sel hepatosit berderet secara radier dalam lobulus hepar dan membentuk lapisan
sebesar 1-2 sel serupa dengan susunan bata (Gibson, 2003). Pada pewarnaan
HE gambaran melintang histologi Hepar normal (Gambar 2.1) ditandai dengan
adanya vena sentral (nomor 1) dan vena perifer yang disebut dengan vena porta
(nomor 5). Hepatosit atau sel lempeng Hepar (nomor 2) memiliki inti yang
berwarna ungu gelap dan bagian sitoplasma yang lebih muda. Terdapat sinusoid
(nomor 3) yang merupakan rongga diantara sel endotel (nomor 4) (Arora, 2012).
Gambar 2.1 Gambaran histologi Hepar normal dengan pewarnaan HE
(Arora, 2012)
Traktus portal terletak di sudut-sudut heksagonal (Gambar 2.2) . Pada
traktus portal, darah yang berasal dari vena portal dan arteri hepatik dialirkan
ke vena sentralis. Traktus portal terdiri dari 3 struktur utama yang disebut trias
portal. Struktur yang paling besar adalah venula portal terminal yang dibatasi
11
oleh sel endotel pipih. Kemudian terdapat arteriola dengan dinding yang tebal
yang merupakan cabang terminal dari arteri hepatik. Dan yang ketiga adalah
duktus biliaris yang mengalirkan empedu. Selain ketiga struktur itu, ditemukan
juga limfatik (Junqueira, 2007).
Gambar 2.2 Histologi lobulus Hepatik (Junqueira, 2007)
2.2 Fibrosis Hepar
Fibrosis hepar merupakan akumulasi berlebihan matriks ekstraseluler
(ECM) yang terjadi akibat respon terhadap penyakit hepar yang bersifat kronis.
Kegagalan hepar dalam mengeluarkan antigen berbahaya seperti virus, zat
toksik dan agen lainnya akan menyebabkan inflamasi kronik disertai dengan
infiltrasi leukosit. Akumulasi protein ECM mengakibatkan kerusakan struktur
hepar dengan membentuk jaringan ikat yang selanjutnya berkembang menjadi
sirosis. Fibrosis menyebabkan disfungsi hepatoseluler dan tekanan intrahepatik
meningkat sehingga menyebabkan hipertensi portal hepatica dan gagal hepar
(Bataller and Brenner, 2005).
12
2.2.1 Etiologi
Penyakit hepar kronis dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti
virus, bakteri, parasit, fungi dan juga obat-obatan. Pengaruh dari agen
penyebab penyakit hepar kronis bergantung pada imunitas setiap spesies.
Terdapat beberapa spesies anjing yang peka terhadap paparan dari agen
penyakit hepar seperti Doberman pinchers, Labrador retriever dan Bedlington
terriers (Ijzer, 2008). Infeksi virus sering dicurigai sebagai penyebab fibrosis
hepar pada anjing seperti canine adenovirus-1 sebagai agen penyebab
infectious canine hepatitis (ICH) serta rubarth virus dan herpes virus sebagai
agen penyebab feline infectious peritonitis (Rothuizen, 2006). Bakteri yang
diduga dapat menyebabkan fibrosis hepar meliputi Clostridium piliformis dan
Bacillus piliformis sebagai agen penyebab penyakit Tyzzer (Rothuizen, 2006).
Infeksi oleh protozoa yang berpengaruh terhadap fibrosis hepar dari spesies
Toxoplasma gondii, Neospora, Leishmania chagasi (Ijzer, 2008). Fungi spesies
Histoplasma capsulatum dapat menyebabkan penyakit hepar kronis pada
anjing (Rothuizen, 2006). Obat-obatan dan senyawa toksik yang menimbulkan
nekrosis hepar berat, misalnya benzodiazepine, acetaminophen, sulfonamide
trimetoprim, karprofen, amiodaron dan Carbon tetrachloride (CCl4) (Haki,
2009).
2.2.2 Patogenesa
Fibrosis hepar adalah akibat dari respon penyembuhan luka pada hepar
terhadap cedera berulang. Setelah cedera hepar akut (seperti hepatitis), sel
parenkim beregenerasi dan menggantikan sel yang nekrosis atau apoptosis
13
(Istri, 2010). Diawali dengan aktivasi HSC (hepatic stellate cell) sampai
terjadinya fibrosis hepar. Patogenesa fibrosis hepar melibatkan sel stellata
hepar (HSC) sebagai sel utama, sel kupffer, leukosit, berbagai mediator,
sitokin, growth factors dan inhibitor, serta berbagai jenis kolagen. Fibrosis
hepar berkaitan dengan gangguan utama pada kuantitas dan komposisi ECM.
Pada tahap lanjut, hepar mengandung sekitar 6 kali lebih banyak ECM dari
pada hepar normal, meliputi kolagen tipe I, kolagen tipe III, kolagen tipe IV,
fibronektin, undulin, elastin, laminin, hyaluronan dan proteoglikan. Penurunan
aktivitas matrix of metalloproteinase (MMP) dalam menghilangkan ECM
terutama akibat overekspresi inhibitor spesifik MMP, yaitu tissue inhibitor of
metalloproteinase (TIMP) dapat menyebabkan akumulasi ECM karena
pengurangan degradasi kolagen oleh MMP (Friedman et al., 2007).
Aktivasi HSC menimbulkan reaksi lanjutan yakni proses inisiasi, fase
penetapan, fibrogenesis dan resolusi dari fibrosis hepar (Rockey, 2006):
a) Inisiasi
Merupakan fase aktivasi HSC menjadi miofibroblas yang bersifat
proliferatif, fibrogenik dan kontraktil. Terjadi induksi cepat terhadap gen HSC
akibat rangsangan dari parakrin yang berasal dari sel-sel inflamasi, hepatosit
yang rusak, sel-sel duktus biliaris serta perubahan awal komposisi ECM.
Perubahan- perubahan tersebut menyebabkan HSC responsif terhadap
berbagai sitokin dan stimulasi lokal lainnya. Pada fase inisiasi ini, setelah
cedera pada sel hepar, terjadi stimulasi parakrin terhadap HSC oleh sel-sel
yang berdekatan dengan HSC seperti sel endotelial dan hepatosit serta sel
14
kupffer, platelet dan lekosit yang menginfiltrasi lokal cedera hepar. Stimulasi
parakrin berupa:
1. Inflamasi akibat pelepasan berbagai sitokin seperti TNF-α, IL-1, IL-6
pelepasan berbagai sitokin, faktor-faktor nekrosis dan IFN-γ yang
dihasilkan oleh sel kupffer.
2. Oksidasi oleh ROS dan peroksida lipid yang dihasilkan oleh netrofil dan sel
kupffer. Oksidan-oksidan tersebut meningkatkan sintesis kolagen oleh
HSC.
3. Pelepasan dan aktivitas berbagai growth factors yang dihasilkan oleh sel
kupffer yang teraktivasi oleh sel endotelial.
4. Pengeluaran proteinase.
5. Gangguan reseptor HSC yakni peroxisome proliferator activated reseptor
yang terdapat pada reseptor HSC.
b) Fase penetapan
Terjadi respon selular akibat proses inisiasi. Pada fase ini terjadi
berbagai reaksi yang menguatkan fenotip sel aktif melalui peningkatan
ekspresi berbagai faktor pertumbuhan dan responnya yang merupakan hasil
rangsangan autokrin dan parakrin, serta akselerasi remodelling ECM. Fase ini
sangat dinamis dan berkesinambungan. Fase penetapan ini merupakan hasil
stimulasi parakrin dan autokrin, meliputi tahap proliferasi, fibrogenesis,
peningkatan kontraktilitas, pelepasan sitokin proinflamasi, kemotaksis,
hilangnya retinoid dan degradasi matriks. Tahap akhir dari fase penetapan
adalah degradasi matriks, yang diatur oleh keseimbangan antara matrix
15
metalloproteinase (MMP) dan antagonisnya yaitu tissue inhibitor
metalloproteinase (TIMP). Degradasi ECM terdiri dari degradasi yang
menghancurkan kolagen berlebih, dan yang menyebabkan degradasi patologik
adalah MMP-2 dan MMP-9 dimana kedua enzim ini merusak kolagen tipe IV,
serta membran tipe metalloproteinase 1 dan 2 ( aktivator MMP-2).
c) Fibrogenesis
Pada tahap fibrogenesis TGF-β1 merupakan faktor yang berperan dalam
pembentukan jaringan ikat, selain itu faktor yang turut berperan antara lain
TNF, peroksidase lipid, acetaldehyde, dan beberapa sitokin lainnya seperti IL-
13. Peran sitokin dalam mekanisme ini yakni peningkatan regulasi, aktivasi
fibroblast growth factor, peningkatan reseptor sitokin dan peningkatan
komponen signaling (Gressner et al., 2002). Pada jaringan hepar normal
terdapat ECM yang merupakan kompleks yang terdiri dari tiga group
makromolekul yakni kolagen, glikoprotein dan proteoglikan. Makromolekul
utama adalah group kolagen yang paling dikenal pada fibrosis hepar, terdiri
dari kolagen interstisial (kolagen tipe I dan III) yang memiliki densitas tinggi
dan kolagen membran basal (kolagen tipe IV) yang memiliki densitas rendah
di dalam disse space. Kolagen dengan jumlah terbanyak pada jaringan hepar
normal ialah kolagen tipe IV. Pada fibrogenesis terjadi peningkatan jumlah
ECM mencapai tiga sampai delapan kali lipat, dimana kolagen tipe I dan tipe
III menggantikan kedudukan dari kolagen tipe IV. Glikoprotein adhesif yang
dominan adalah laminin yang membentuk membran basal dan fibronektin yang
berperan dalam proses perlekatan, diferensiasi dan migrasi sel. Proteoglikan
16
merupakan protein yang berperan penting pada ECM dalam ikatannya dengan
glikosaminoglikan. Pada fibrogenesis terjadi peningkatan fibronektin, asam
hialuronat, proteoglikan dan berbagai glikokonjugat. Pembentukan jaringan
fibrotik terjadi karena sintesis matriks yang berlebihan dan penurunan
penguraian matriks. Penguraian matriks tergantung kepada keseimbangan
antara enzim-enzim yang melakukan degradasi matriks dan inhibitor enzim-
enzim tersebut. Akumulasi ECM berawal pada disse space perisinusoid
terutama pada zona metabolik tiga di asinus hepar menuju fibrosis perisentral.
d) Kematian Sel
Mekanisme apoptosis merupakan respon tubuh untuk menyingkirkan
sel yang rusak, berlebihan dan sel yang sudah tua. Struktur dan fungsi hepar
yang normal tergantung pada keseimbangan antara kematian sel dan regenerasi
sel. Kematian sel hepar dapat terjadi melalui dua proses, yakni nekrosis dan
apoptosis. Pada nekrosis yang merupakan keadaan yang diawali oleh kerusakan
sel, terjadi gangguan integritas membran plasma, keluarnya isi sel dan
timbulnya respon inflamasi. Respon ini meningkatkan proses penyakit dan
mengakibatkan bertambahnya jumlah sel yang mati. Perubahan ECM
menyebabkan sel-sel hepatosit mengalami apoptosis. Regulasi sel didalam
jaringan hepar mengalami gangguan karena adanya perubahan susunan ECM.
Kerapatan sel yang padat menyebabkan distribusi dari kebutuhan sel tidak
tercukupi sehingga terjadilah apoptosis (Juniarto dan Juwono, 2003).
17
e) Resolusi
Pada fase ini jumlah HSC yang aktif berkurang dan integritas jaringan
kembali normal. Terjadi dua keadaan pada fase ini yaitu reversi, dimana terjadi
perubahan HSC aktif menjadi inaktif dan apoptosis. Pada cedera hepar,
apoptosis dihambat oleh berbagai faktor dan komponen matriks yang terlihat
dalam proses inflamasi, dimana yang berperan penting dalam menghambat
apoptosis adalah IGF-1 dan TNF-γ (Rockey, 2006).
2.2.3 Gejala Klinis
Gejala klinis pada fibrosis hepar meliputi melena dan hematochezia
yang disebabkan adanya ulserasi gastrointestinal, yang dipicu oleh
hyperfibrinolysis. Penderita penyakit hepar kronis dan fibrosis menyebabkan
penurunan produksi trombin activatable fibrinolisis inhibitor. Gejala klinis lain
yang dapat terjadi pada penderita fibrosis hepar yakni anemia dan juga ascites.
Anemia disebabkan oleh perlambatan waktu transit eritrosit melalui limpa
akibat berkurangnya aliran darah pada vena porta hepatica dan kerapuhan sel
darah merah karena tingkat asam empedu yang tinggi (Elhiblu, 2015). Ascites
dapat disebabkan oleh hipertensi portal, yang mengarah pada peningkatan
tekanan di dalam cabang-cabang vena porta yang melalui hepar. Darah yang
tidak dapat mengalir melalui hepar karena terjadi peningkatan tekanan
akhirnya akan bocor ke rongga perut dan menyebabkan ascites (Kahn, 2010).
2.2.4 Perubahan Anatomi
Perubahan anatomi pada fibrosis hepar antara lain: ukuran hepar
cenderung lebih besar apabila dibandingkan dengan ukuran hepar normal,
18
terdapat bentukan nodul berukuran kecil (± 1 mm) pada permukaan hepar,
konsistensi organ lebih padat dibandingkan dengan konsistensi pada hepar
normal. Selain itu, pada penderita fibrosis, warna permukaan hepar termasuk
dalam faktor pembeda. Warna hepar pada penderita fibrosis cenderung lebih
pucat sedangkan pada keadaan hepar normal, hepar berwarna merah bata (Fuiji
et al., 2010).
Kerusakan sel hepar menimbulkan berbagai perubahan patologi hepar
secara mikroskopis fibrosis hepar ditandai perubahan struktur hepar secara
keseluruhan. Hasil pewarnaan trichrome stain menunjukkan kolagen berwarna
biru, sitoplasma berwarna merah, eritrosit berwarna kuning atau merah. Pada
kondisi fibrosis, terjadi penyempitan vena sentral (a) dan vena porta (c). Sel
hepatosit mengalami perubahan dan kehilangan nukleus (d). Bentuk sinusoid
tidak beraturan (b) dan terdapat akumulasi kolagen berlebih yang mendesak
vena porta dan vena sentra (e) (Gambar 2.3) (Anderson, 2013).
Gambar 2.3 Histopatologi fibrosis hepar dengan pewarnaan trichrome
stain: (a) Vena sentra, (b) Sinusoid, (c) Vena porta, (d)
hepatosit, (e) kolagen (Anderson, 2013)
19
Penilaian derajat keparahan fibrosis hepar berdasarkan gambaran
histopatologi dengan pewarnaan trichrome strain dilakukan sistem skoring
berdasarkan persebaran kolagen (Ghany, 2009). Penilaian (skoring) keparahan
fibrosis hepar berdasarkan International Association for Study of the Liver
(IASL) dan Metavir dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Sistem skoring untuk tahap histologi fibrosis
Skor IASL Metavir
0 Tidak Fibrosis Tidak Fibrosis
1 Fibrosis Ringan Fibrosis pada portal triad
2 Fibrosis Moderat Septa kolagen pada portal triad (> 1 Septa)
3 Fibrosis Berat Septa kolagen pada central porta
4 Sirosis Sirosis
(Ghany, 2009)
2.2.5 Diagnosa
Diagnosa dilakukan dengan uji fungsi hepar dilakukan untuk
mengetahui fungsi hepar secara keseluruhan. Riwayat penderita, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan darah dan urinalisis merupakan tes utama yang dilakukan
untuk mengetahui apakah hepar berfungsi dengan baik ataukah mengalami
suatu gangguan. Abnormalitas pada hepar dapat ditandai dengan adanya
perubahan kadar ALT, SGPT, SGOT serta bilirubin pada urin. Penyakit yang
menyangkut hepar seperti fibrosis hepar, pasti akan berpengaruh secara nyata
pada kadar ALT, SGPT serta SGOT (Williams, 2005).
20
Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT) atau disebut juga
Alanine Aminotransferase (ALT) merupakan enzim yang mengkatalis
pemendahan gugus amino antara lain alanin dan asam alfa-ketoglutarat, yang
terdapat banyak dihepatosit dan konsentrasi lebih rendah dijaringan lain
(Amirudin, 2006). Kadar normal SGPT pada tikus adalah 17,5-30,2 U/L (Iriani,
2016). Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT) merupakan enzim
yang berfungsi sebagai katalisator reaksi antara asam aspartat dan asam alfa-
ketoglutarat, yang banyak terdapat dijantung dibandingkan hepar (Gaze, 2007).
Kadar normal SGOT pada tikus adalah 45,7-80,8 U/L (Azizah, 2015). Pada
kondisi progresivitas fibrosis hepar, kadar SGPT dan SGOT mengalami
peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan kadar normal yang
disebabkan karena adanya mitochondrial injury pada sel (Aleya, 2014).
Peningkatan kadar SGPT/SGOT secara signifikan dibandingkan dengan kadar
normal dalam kondisi fibrosis hepar dapat dihitung menggunakan rasio de ritis,
yang merupakan hasil pembagian antara kadar SGOT dengan kadar SGPT
(Botros, 2013). Pada kondisi fibrosis hepar, rasio de ritis antara 1,5 sampai <2
(Mera, 2008).
2.3 Senyawa Carbon Tetrachloride (CCl4)
Senyawa Carbon Tetrachloride (CC14) adalah zat hepatotoksik yang
paling sering digunakan dalam penelitian yang berkaitan dengan
hepatotoksisitas. CCl4 dapat menyebabkan kerusakan pada hepar yang
disebabkan oleh radikal bebas, CC14 memerlukan aktivasi metabolisme
21
terutama oleh enzim sitokrom P450 di hepar. Aktivasi tersebut akan mengubah
CC14 menjadi metabolit yang lebih toksik, sehingga dapat menyebabkan
kerusakan hepar pada hewan coba dan manusia (Sari, 2013). CCl4 merupakan
representatif zat racun yang dapat menyebabkan terjadinya perlemakan hepar
(steatosis), fibrosis hepar hingga sirosis hepar (Klaassen, 2008).
Karbon tetraklorida adalah senyawa yang berbentuk cair, jernih, tidak
berwarna dan mudah menguap. Dapat larut dalam alkohol, benzen, kloform,
eter, karbon disulfida, petroleum eter, naphta, aseton, fixed dan volatile oils.
Manifestasi kerusakan hepar yang disebabkan oleh karbon tetraklorida terlihat
berupa infiltrasi lemak, nekrosis sentrolobular dan akhirnya sirosis (Sari,
2013). Studi mengenai hewan model fibrosis hepar menggunakan mencit
sebagai hewan coba dan diinduksi oleh CCl4, thioacetamide (TAA) serta
dimethylnitrosamine (DMN). Berdasarkan ketiga senyawa toksik tersebut,
CCl4 lebih unggul dibandingkan dengan dua senyawa lainnya. Carbon
tetrachloride tidak bersifat mutagenik ataupun karsinogenik, menimbulkan
efek fibrosis cepat dan efektif. Karbon tetraklorida dapat menyebabkan
kematian pada pemberian secara peroral karena berpengaruh langsung
terhadap fungsi organ pencernaan. Pemberian melalui intravena dapat
menyebabkan kematian karena senyawa tersebut akan disirkulasikan secara
langsung ke seluruh bagian tubuh. Pemberian yang efektif ialah secara
peritoneal, karena pembuluh darah yang berada pada rongga abdomen tidak
begitu banyak sehingga zat toksik yang terkandung dalam CCl4 diserap secara
perlahan oleh tubuh (Liedtke et al., 2013).
22
2.4 Patomekanisme Fibrosis oleh Senyawa CCl4
Kerusakan yang timbul karena toksisitas CCl4 diakibatkan oleh zat
reaktifnya, yaitu triklorometil (CCl3) yang dihasilkan dari pembelahan
homolitik CCl4 melalui reaksi antara CCl3 dan O2. Biotransformasi ini
dikatalisis oleh enzim sitokrom P450. Triklorometil (CCl3) dan
triklorometilperoksi (Cl3COO) merupakan radikal bebas yang akan
berinteraksi dengan lipid dan protein pada hepatosit, radikal bebas akan
memicu reaksi peroksidasi dari asam polienoat yang terdapat pada retikulum
endoplasma, reaksi ini akan menghasilkan radikal bebas baru yang akan
memicu reaksi berantai. Peroksidasi lipid ini menyebabkan kerusakan struktur
dan gangguan fungsi membran sel. Apabila jumlah CCl4 yang terkonsumsi
cukup banyak, maka akan terjadi peningkatan Ca2+ intraseluler yang
berdampak pada kematian sel (Klaasen, 2001). Triklorometilperoxi lebih aktif
melepaskan hidrogen dari asam lemak rantai panjang tak jenuh (PUFAs) yang
menyebabkan peroksidasi lipid dan terjadi kerusakan pada membran lipid dan
protein serta menyebabkan penurunan antioksidan. Reaksi berantai oleh radikal
bebas ini akan menimbulkan peningkatan stres peroksidatif yang
mengakibatkan kerusakan sel. Kerusakan ini dapat dinetralisir oleh antioksidan
dari luar (Kumar et al., 2007).
Induksi CCl4 pada dalam tubuh hewan coba menyebabkan terjadinya
reaksi inflamasi dan stress oksidatif yang selanjutnya akan mempengaruhi
keadaan hepar normal. Sebagai respon dari penyakit hepar yang sedang
berlangsung, terjadi peningkatan total kolagen dan komponen non-kolagen
23
pada ECM. Pada jaringan subendotelial terjadi perubahan komposisi dasar, dari
membran dengan densitas rendah menjadi matriks interstisial. Perubahan ini
menyebabkan hilangnya microvilli pada hepatosit dan hilangnya fenestra (pori-
pori) pada lapisan endotel. Peningkatan matriks interstitial pada lapisan
subendotelial merupakan faktor yang mengaktivasi HSC (Rockey, 2006).
Fibrosis hepar selain berkaitan deposisi ECM juga dengan respon
inflamasi (Istri, 2010). Ketika terjadi cedera pada hepar sistem imun non
spesifik akan merespon reaksi tersebut. Sel epitel memproduksi peptida seperti
defensins dan cathelicidin yang akan bereaksi dengan mikroba yang memasuki
epitel. Sel-sel imun memiliki Reseptor yang disebut dengan pattern recognitio
receptors yang berfungsi dalam mengenali substansi patogen yang disebut
patoghen associated molecular pattern (PAMPs). Pada peredaran darah,
mikroba patogen serta zat toksik penyebab fibrosis hepar dikenali oleh sel
leukosit melalui reseptor binding site. Selanjutnya leukosit yang teraktivasi
akan memproduksi sitokin-sitokin proinflamasi dan akan beregresi pada
jaringan hepar. Pada regulasi normal, sel leukosit berada pada jaringan darah
dan ketika terjadi inflamasi atau cidera, sel tersebut akan berkembang didalam
jaringan. Sitokin yang berperan pada proses inflamasi pertama kali ialah TNF-
α dan IL-1 (Abbas et al. , 2007).
2.5 Interleukin-1 (IL-1)
Sitokin adalah mediator (berupa protein atau glikoprotein dengan berat
molekul 8-80kDa) yang dihasilkan oleh sel dalam reaksi radang atau
24
imunologik yang berfungsi sebagai isyarat antara sel-sel untuk membentuk
jaringan komunikasi dalam respon imun. Yang termasuk dalam sitokin adalah
berbagai interleukin (IL-1, IL-2, IL-4, IL-10, IL-13), interferon (IFN α, β, dan
γ), faktor nekrosis tumor (tumour necrosis factor, TNF), faktor perangsang
koloni (colony stimulating factor, CSF), faktor pertumbuhan (growth factor),
dan khemokin (sitokin khemotaktik) (Ishartadiati, 2008). Sitokin yang
berperan pada proses inflamasi pertama kali ialah TNF-α dan IL-1 (Abbas et
al., 2007).
Interleukin-1 merupakan mediator kunci dari respon tubuh terhadap
invasi mikroba, reaksi imunologi dan cedera jaringan. Interleukin-1 terdiri dari
2 peptida yaitu α dan β yang memiliki aktivitas yang identik. Interleukin-1α
terikat di membran sedangkan interleukin-1β (IL-1β) yang disekresikan dan
ditemukan di dalam sirkulasi merupakan bentuk IL-1 terbanyak. IL-1β
merupakan gene family dari IL-1 yang bersifat agonis dengan IL-1 alfa dalam
reaksi menimbulkan radang (Iryandi, 2008). Sebagian besar IL-1β disekresikan
oleh monosit dan sebagian oleh makrofag, sel endotelial, fibroblas, dan sel
epidermal yang diaktivasi oleh beberapa stimulus (Kaya, 2010). Keseimbangan
IL-1β sebagai sitokin proinflamasi sangat penting dalam proses peradangan
pada hepar. Peningkatan sitokin IL-1β akan menyebabkan proses peradangan
yang akan berlanjut menjadi kronis sehingga dapat menyebabkan fibrosis pada
hepar (Iryandi, 2008).
IL-1 selain diproduksi dari monosit atau makrofag, juga terdapat di
dalam sel lain seperti pada corneal epithelium, sel mukosa mulut, sel
25
langerhans, neutrofil, fibroblas, sel endotelial, sel B, sel T, hepatosit (sel hepar)
dan keratinosit (sel utama dalam kulit). Mononuclear phagocytes dapat
distimulasi oleh berbagai stimulus untuk dapat menghasilkan IL-1 dalam
jumlah yang besar, antara lain: mikroba, produk mikrobial, agen inflamasi dan
antigen (Kusumadewy, 2012)
Terdapat 2 reseptor untuk IL-1, yaitu tipe I dan tipe II. Sebagian besar
aktivitas IL-1 diperantarai melalui reseptor tipe I (IL-1RI) yang terdapat di
dalam sebagian besar sel terutama di dalam sel endotelial, hepatosit,
keratinosit, T limfosit, dan fibroblas. Reseptor tipe II memiliki aktivitas yang
lebih sedikit, merupakan reseptor yang dapat menghambat ikatan IL-1 dengan
reseptor tipe I (decoy receptor) dan terutama terdapat di dalam B limfosit,
monosit, dan neutrofil. Inhibitor IL-1 alami yaitu IL-1 receptor antagonist (IL-
1 ra), analog dengan IL-1 yang berikatan namun tidak mengaktifkan reseptor
IL-1. IL-1ra menghambat kemampuan IL-1 untuk menstimulasi resorbsi dan
produksi PGE2 (Kusumadewy, 2012).
Interleukin-1 memiliki berbagai macam fungsi pada berbagai macam
tipe sel dan organ tubuh disebut juga sebagai sitokin pleiotropik. Efek lokal
yang dimediasi oleh IL-1 antara lain: menstimulasi monosit dan makrofag
untuk memproduksi (lebih banyak) IL-1 dan sitokin lainnya seperti tumor
necroting factor (TNF) dan IL-6; menstimulasi proliferasi sel B dan
meningkatkan sintesis imunoglobulin; serta menstimulasi sel T untuk
memproduksi sitokin (Kusumadewy, 2012).
26
2.6 Kedelai Hitam (Glycine max (L.) Merr.)
Tanaman kedelai (Gambar 2.4) termasuk keluarga kacang-kacangan
yang berasal dari asia. Kedelai ditanam menyebar ke Cina dan eropa. Amerika,
Brazil, Cina dan Argentina adalah negara terbesar di dunia penghasil kedelai.
Indonesia sudah melakukan penanaman kedelai sejak tahun 1750 terutama di
pulau Jawa dan Bali (Rahma, 2010). Pada umumnya, kedelai yang lebih
banyak digunakan dalam produk pangan adalah kedelai kuning misalnya diolah
menjadi tahu, tempe, kecap dan susu kedelai. Pemanfaatan kedelai hitam
(Glycine max (L.) Merr.) kurang mendapat perhatian dan tidak sepopuler
kedelai kuning dikarenakan warnanya yang kurang menarik (Noer, 2009).
Gambar 2.4 Tanaman Kedelai Hitam (Rahma, 2010)
Menurut Rukmana dan Yuniarsih (1996), taksonomi kedelai adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub-divisi : Angiospermae
27
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Polypetales
Famili : Legumenosae (Papilioneceae)
Sub-famili : Papilionoideae
Genus : Glycine
Spesies : Glycine max (L), Merill, Glycine soja (L.)
Kedelai hitam banyak dikembangkan untuk mengatasi berbagai macam
penyakit karena memiliki kandungan asam amino esensial, vitamin E, saponin
dan kaya akan antioksidan misalnya dengan flavonoid, isoflavon dan
antosianin (Krisna, 2014). Antioksidan isoflavon dalam kedelai terdapat dalam
empat bentuk, yaitu bentuk malonil-glikosida, asetil-glikosida, glikosida, dan
aglikon (bebas). Di antara keempat bentuk isoflavon, aktivitas antioksidatif
tertinggi ditunjukkan oleh isoflavon aglikon, terutama genistein (Purwoko,
2004).
Kedelai hitam sendiri menempati daftar teratas dengan aktivitas
antioksidan tertinggi, dibandingkan jenis kedelai lainnya (kedelai merah,
cokelat, kuning dan putih) (Beninger, 2003). Kedelai hitam memiliki
kandungan genistein dengan kadar 0,65 ± 0,07 mg/g yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kadar genistein kedelai kuning yaitu 0,40 ± 0,01 mg/g
(Nurrahman, 2015). Genistein merupakan phytoestrogen yang mempunyai sifat
estrogenik, antikarsinogenik, antifungal dan antioksidan (Fitzpatrick, 2003).
28
2.7 Bahan Aktif Sari Tempe Kedelai Hitam (Glycine max (L.) Merr.)
Hasil Fermentasi Rhizopus oligosporus
Tempe kedelai merupakan salah satu makanan yang populer di
Indonesia. Tempe dapat dibuat dengan bahan dasar kedelai ataupun jenis
tanaman kacang-kacangan yang lain melalui proses fermentasi menggunakan
Rhizopus oryzae dan Rhizopus oligosporus (Sulistyowati, 2004). Kedua jamur
tersebut mempunyai aktivitas enzim β-glukosidase yang berbeda. Aktivitas
enzim β-glukosidase R. oligosporus lebih besar dari pada R. oryzae. Hidrolisis
dengan asam atau enzim β-glukosidase dapat mengubah isoflavon glikosida
menjadi isoflavon aglikon dan glukosa (Purwoko dkk., 2001).
Tempe kaya akan protein, lemak, serat, kalsium, enzim, vitamin B dan
zat besi. Berbagai macam kandungan dalam tempe mempunyai nilai obat, seperti
antibiotika untuk menyembuhkan infeksi dan antioksidan pencegah penyakit
degenerative (Dewi, 2007). Komponen antibiotik dan zat antioksidan yang
berkhasiat sebagai obat, diantaranya genestein, daidzein, fitosterol, asam fitat,
asam fenolat, lesitin dan inhibitor protease (Cahyadi, 2006).
Isoflavon yang ada pada tempe telah banyak diteliti karena potensinya
dalam pencegahan penuaan dini sel dan penyakit degeneratif (Ren et al., 2001).
Teknik fermentasi merupakan upaya untuk meningkatkan kandungan isoflavon
karena enzim-enzim yang dihasilkan oleh bakteri Rhizopus sp yang terdapat
dalam ragi tempe dapat mengubah senyawa flavanon menjadi isoflavon selama
proses fermentasi. Proses ferrmentasi dapat menghidrolisis senyawa-senyawa
flavon glikosida menjadi aglikonnya, yang menunjukkan aktivitas antioksidan
yang lebih tinggi. Senyawa isoflavon merupakan salah satu komponen yang juga
29
mengalami metabolisme. Senyawa isoflavon ini pada kedelai berbentuk
senyawa konjugat dengan senyawa gula melalui ikatan -O- glikosidik. Selama
proses fermentasi, ikatan -0- glikosidik terhidrolisa dengan enzim β-glucosidase
dari mikroba dengan mengkatalisis hidrolisis ikatan glikosida di gugus alkyl dan
aryl β-D-glucosides serta glikosida., sehingga dibebaskan senyawa gula dan
isoflavon aglikon yang bebas. Senyawa isoflavon aglikon ini dapat mengalami
transformasi lebih lanjut membentuk senyawa transforman baru. Hasil
transformasi lebih lanjut dari senyawa aglikon ini justru menghasilkan senyawa-
senyawa yang mempunyai aktivitas biologi lebih tinggi (Atun, 2009; Vattern dan
Shetty, 2003 ). Total kandungan aktivitas antioksidan yang berupa aglikan dari
kedelai hitam meningkat setelah difermentasi oleh jamur (Lee et al., 2008).
Senyawa aglikon tersebut adalah genistein, glisitein, dan daidzein (Atun, 2009).
Genistein merupakan inhibitor protein tyrosine kinase yang mampu melemahkan
faktor pertumbuhan dan proliferasi yang distimulasi sitokin baik pada sel normal
maupun sel kanker (Salas, et al., 2007).
Menurut Sugimoto et al. (2007), tempe juga memiliki kandungan
enzim fibrinolitik protease. Enzim fibrinolitik protease adalah salah satu jenis
enzim protease yang sering digolongkan sebagai salah satu jenis protease serin
yang dikenal memiliki kemampuan untuk mendegradasi benang-benang fibrin
(Dewi, 2006). Enzim fibrinolitik bekerja dengan mekanisme mendegradai fibrin
secara langsung (Peng et al., 2005). Enzim fibrinolitik adalah protease yang
mampu mendegradasi fibrin (Poernomo, dkk. 2016).
30
Proses degradasi fibrin oleh enzim fibrinolitik disebut fibrinolisis.
Komponen penting dalam proses fibrinolisis ini adalah plasmin. Plasmin dalam
darah berada dalam bentuk zimogen inaktif, yaitu plasminogen. Plasmin yang
terbentuk pada kondisi fisiologis akan dihilangkan aktivitasnya dengan cepat
oleh inhibitor plasmin, yaitu α2-antiplasmin. Pada kondisi fibrosis, plasminogen
terikat dengan fibrin, maka akan mengaktifasi alteplase (t-PA) yang dapat
memutuskan ikatan Arg-Val dalam plasminogen untuk menghasilkan protease
serin dua rantai yaitu plasmin. sehingga akan terbentuk plasmin yang dapat
terlindungi dari inhibitornya. Selanjutnya plasmin mencerna fibrin hingga
terbentuk produk degradasi yang dapat larut. Tidak satu pun dari plasmin,
plasminogen, dan aktivator plasminogen yang dapat tetap terikat dengan produk
penguraian ini sehingga semuanya akan dilepas ke dalam media cair yang
kemudian dihilangkan aktivitasnya, sehingga kadar fibrin dalam ECM dapat
terdegradasi (Dewi, 2006).
Fibrosis hepar mengakibatkan menurunnya fungsi hepar dan rusaknya
arsitektur hepar. Genistein sebagai agen antifibrosis bekerja dengan
memperbaiki homeostasis hepar dengan meregulasi serum bilirubin dan enzim.
Mekanisme antifibrosis oleh genistein adalah dengan menurunkan produksi
bilirubin dan enzim atau mengeliminasi bilirubin dan enzim melalui jalur
antioksidan (Salas et al., 2007).
31
2.8 Hewan Coba Tikus Model (Rattus norvegicus)
Hewan coba adalah hewan yang dapat digunakan untuk tujuan suatu
penelitian. Pemakaian hewan coba dilakukan dalam berbagai penelitian
biomedikal seperti penelitian toksikologi, mikrobiologi, imunologi,
pengembangan obat-obatan dan vaksin (Lammert et al., 2002). Tikus Rattus
norvegicus merupakan hewan yang umum digunakan dalam penelitian, karena
mudah dipelihara, secara garis besar fungsi dan bentuk organ serta proses
biokimia antara tikus dan manusia memiliki banyak kesamaan (Suckow et al.,
2006). Klasifikasi tikus yang digunakan dalam penelitian menurut Armitage
(2004), adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
Tikus Rattus norvegicus memiliki waktu hidup 2,5-3,5 tahun, berat
badan jantan 300-500 gram dan betina 250-300 gram, denyut jantung 330-480
kali per menit, frekuensi respirasi 85 kali per menit dan memasuki masa dewasa
pada usia 40-60 hari.
32
BAB 3. KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep
Gambar 3.1 Kerangka konseptual
Metabolisme CCl4 di hepar
FGF
Tikus
Akivasi oleh enzim sitokrom P-450
Radikal bebas CCl3O2
Stress oksidatif
Respon imunitas terhadap adanya kerusakan sel
MMP
Kerusakan Jaringan
Sintesis kolagen
11111111111111
CCl4 Sari tempe kedelai
hitam
Deposit ECM
111
Isoflavon
Peroksidasi lipid membran hepatosit
Growth Factor
Sitokin (IL-1β) oleh sel Kupffer
Fibrinolitik
Fibrosis hepar
111
TGF
IL-13
Gambaran Histopatologi
33
Keterangan:
= Pengaruh induksi CCl4
= Pengaruh sari tempe kedelai hitam
= Penghambatan oleh sari tempe kedelai hitam
= Perlakuan
= Variabel yang diamati
= Variabel bebas
Induksi CCl4 pada hewan coba dapat mengakibatkan kerusakan hepar
karena merupakan salah satu sumber radikal bebas. CCl4 akan mengalami reaksi
oksidasi yang dikatalisis oleh sitokrom P450 (CYP) 2E1 di retikulum endoplasma
menjadi triklorometilperoxide (CCl3OO-) dan menjadi sumber radikal bebas dalam
hepar. Pemberian CCl4 dapat merangsang peningkatan ROS (Reactive Oxygen
Spesies) yang dapat melebihi jumlah antioksidan endogen sehingga akan
menimbulkan terjadinya stress oksidatif dan mengakibatkan kerusakan sel.
Radikal bebas yang berlebihan di dalam tubuh juga dapat menyebabkan
peroksidasi lipid, yaitu ikatan radikal bebas dengan lipid yang terdapat pada
membran fosfolipid bilayer. Peroksidasi lipid tersebut akan mengakibatkan
perubahan struktur dari membran hepatosit, menonaktifkan ikatan membran dengan
reseptor atau enzim yang dapat mengganggu fungsi normal sel dan mengakibatkan
kerusakan sel.
Kerusakan hepatosit memicu terjadinya aktivasi sel inflamasi, sehingga
mengakibatkan pelepasan mediator inflamasi. Aktivitas inflamasi dan kondisi stres
oksidatif secara progresif akan mengaktivasi sel kupfer yang berada jaringan
34
subendotel hepar dan HSC pada disse space hepar. Keadaan tersebut berdampak
pada aktivitas matrix metalloproteinase (MMP). Apabila produksi dari sel-sel imun
tersebut terjadi secara terus menerus hal ini akan menyebabkan kerusakan jaringan.
Sitokin IL-13 dan TGF-β berperan dalam proses fibrogenesis yakni fungsi dalam
peningkatan regulasi, aktivasi fibroblast growth factor, dan peningkatan reseptor
sitokin (termasuk IL-1β). Selanjutnya keadaan ini akan menyebabkan produksi
kolagen berlebih pada jaringan hepar sehingga terjadi akumulasi protein matriks
ekstraseluler yang disebut dengan fibrosis hepar.
Perbaikan kerusakan hepar akibat radikal bebas dalam tubuh dapat
dilakukan dengan menggunakan antioksidan eksogen. Sari tempe kedelai hitam
(Glycine max (L.) Merr.) hasil fermentasi Rhizopus oligosporus sebagai terapi
fibrosis hepar memiliki kandungan antioksidan berupa isoflavon. Isoflavon dapat
membantu kerja superoksida dismutase dalam menstabilkan radikal bebas.
Isoflavon bekerja dengan cara menyumbangkan satu elektronnya kepada senyawa
radikal sehingga senyawa radikal berubah menjadi senyawa tidak radikal atau
senyawa yang tidak berbahaya bagi sel. Oleh karena itu, isoflavon membantu kerja
superoksida dismutase sehingga aktivitas enzim superoksida dismutase di dalam sel
dapat dipertahankan. Sari tempe juga memiliki kandungan enzim fibrinolitik
protease jenis protease serin yang dikenal memiliki kemampuan untuk
mendegradasi benang-benang fibrin. Fibrin merupakan protein ECM yang dibentuk
oleh fibrinogen.
Tidak adanya peroksidasi membrane lipid yang diakibatkan oleh
dihambatnya stress oksidatif dapat mengurangi kerusakan sel, sehingga
35
menurunkan sitokin (IL-1 β) sebagai respon proinflamasi. Dengan berkurangnya
kerusakan hepar, maka HSC tidak teraktifasi secara berlebihan dan tidak
mengalami peningkatan ECM. Adanya enzim fibrinolitik pada sari tempe kedelai
hitam dapat mendegradasi fibrin melalui proteolysis oleh thrombin sehingga dapat
memperbaiki gambaran histopatologi hepar.
3.2 Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pemberian sari tempe kedelai hitam (Glycine max (L.) Merr.) hasil
fermentasi Rhizopus oligosporus dapat menurunkan ekspresi IL-1β
(Interleukin-1 beta) pada tikus (Rattus norvegicus) model fibrosis hepar
hasil induksi CCl4.
2. Pemberian sari tempe kedelai hitam (Glycine max (L.) Merr.) hasil
fermentasi Rhizopus oligosporus dapat memperbaiki kerusakan
histopatologi hepar.
36
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2017 hingga Juni 2017.
Pelaksanaan penelitian terdiri atas beberapa tahapan meliputi tahapan
pembuatan tempe kedelai hitam (Glycine max (L.) Merr.) hasil fermentasi
Rhizopus oligosporus sampai dengan Pembuatan sari tempe kedelai hitam
dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Hewan,
Universitas Brawijaya. Tahapan perawatan, perlakuan dan pembedahan hewan
coba dilaksanakan di Laboratorium Farmakologi, Fakultas Kedokteran,
Universitas Brawijaya. Tahapan pembuatan preparat histopatologi hepar dengan
pewarnaan Masson’s Trichome dilakukan di Patologi Anatomi, Fakultas
Kedokteran, Universitas Airlangga. Tahapan uji enzim fibrinolitik dilaksanakan
di Laboratorium Kimia Organik, Fakultas Farmasi, Universitas Airlangga.
Tahapan uji kandungan isoflavon dilaksanakan di Laboratorium Kimia Dasar,
Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Malang. Pembuatan preparat
histopatologi hepar dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga, dan pengamatan gambaran histopatologi
hepar dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya. Tahapan pengukuran ekspresi IL-1β dengan metode
imunohistokimia dilaksanakan di Laboratorium Biomedik, Fakultas
Kedokteran, Universitas Brawijaya.
37
4.2 Alat dan Bahan Penelitian
4.2.1 Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah inkubator, tabung
falcon, sentrifugator, vortex mixer, panci, cawan petri, blender, kertas saring,
pengaduk magnetic, evaporator, refrigerator, erlenmeyer, gelas ukur, pipet,
disposable syringe, pot, object glass, cover glass, mikroskop, kandang tikus,
dissecting set, alumunium foil, vacutainer, microtube, dehydaratus
autotechnicon, freeze drying, LC-MS, Object glass, mikroskop.
4.2.2 Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kedelai hitam
(Glycine max (L.) Merr.), Rhizopus oligosporus, Tikus (Ratus novergicus),
Pakan standar AIN-93, NaCl 0,9%, aquadest, CCl4 20%, olive oil, phospat
buffer saline, NaCl 0,9 %, NaCl Fisiologi, Aquadest, Fibrin bovine blood, HCl,
PBS, Formalin 10%, Alkohol (70%, 80%, 90%, 95%), Asetonitril, Ammonia
format, Alkohol-Xylol, Pewarnaan Masson’s Trichome, Antibodi primer rat
anti-IL1β, Rabbit anti-mouse IgG berlabel biotin, SA-HRP, Diamanobenzdine,
mayer hematoxylin.
4.3 Tahapan Penelitian
4.3.1 Sampel Penelitian
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih
(Rattus norvegicus) jantan galur Wistar umur 2 bulan dengan berat 150-200
38
gram (Costandinou et al., 2005). Hewan coba diadaptasikan selama tujuh hari
untuk menyesuaikan dengan kondisi di laboratorium. Estimasi besar sampel
dihitung berdasar rumus (Kusriningrum, 2008):
t (n-1) ≥ 15
5 (n-1) ≥ 15
5n-5 ≥ 15
5n ≥ 20
n ≥ 20/5
n ≥ 4
Berdasarkan perhitungan diatas, maka untuk 5 macam kelompok
perlakuan diperlukan jumlah ulangan paling sedikit 4 kali dalam setiap
kelompok sehingga dibutuhkan 20 ekor hewan coba.
4.3.2 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan post-test control design only.
Rancangan penelitian ditunjukkan Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Rancangan penelitian dengan 5 kelompok perlakuan:
Kelompok Keterangan Perlakuan
Kelompok negatif Tikus tidak diberikan sari tempe kedelai hitam
(Glycine max (L.) Merr.) hasil fermentasi Rhizopus
oligosporus dan tidak induksi CCl4.
Kelompok positif Tikus diinduksi CCl4 20% yang diencerkan dengan
olive oil, dengan dosis 0,2 mL/100g BB sebanyak dua
kali per minggu selama dua minggu pertama.
Keterangan:
t: jumlah kelompok perlakuan
n: jumlah ulangan yang diperlukan
39
Selanjutnya pada empat minggu selanjutnya
dilakukan induksi CCl4 25% menggunakan dosis 0,2
mL/100g BB sebanyak dua kali per minggu.
Kelompok terapi 1 Tikus model fibrosis Hepar dengan terapi sari tempe
kedelai hitam masing-masing sebanyak 200 mg/kgBB
selama 2 minggu dengan volume 2 ml.
Kelompok terapi 2 Tikus model fibrosis Hepar dengan terapi sari tempe
kedelai hitam masing-masing sebanyak 400 mg/kgBB
selama 2 minggu dengan volume 2 ml.
Kelompok terapi 3 Tikus fibrosis Hepar dengan terapi sari tempe kedelai
hitam masing-masing sebanyak 800 mg/kgBB selama
2 minggu dengan volume 2 ml.
4.3.3 Variabel Penelitian
Adapun variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah:
a. Variabel bebas : Dosis sari tempe biji kedelai hitam (Glycine
max (L.) Merr.) hasil fermentasi Rhizopus oligosporus dan dosis induksi
CCl4.
b. Variabel tergantung : Histopatologi hepar dan ekspresi IL-1β
c. Variabel kendali : Tikus, jenis kelamin, berat badan, umur,
pakan dan kondisi pemeliharaan.
40
4.4 Prosedur Kerja
4.4.1 Persiapan Hewan Coba
Hewan coba pada semua kelompok perlakuan dikandangkan secara
terpisah dan diadaptasikan selama lebih kurang 7 hari. Selama penelitian tikus
diberikan pakan standar AIN-93 dengan komposisi pada Lampiran 4 dan
minum secara ad libitum.
4.4.2 Pembuatan Hewan Model Fibrosis Hepar
Induksi fibrosis hepar dilakukan dengan pemberian CCl4 konsentrasi
20% yang diencerkan dengan olive oil, dengan dosis 0,2 mL/100g BB sebanyak
dua kali per minggu selama dua minggu pertama. Selanjutnya pada empat
minggu selanjutnya dilakukan induksi CCl4 25% menggunakan dosis 0,2
mL/100g BB pada hewan coba (Modifikasi Costandinou et al., 2005). Induksi
CCl4 dilakukan secara intraperitoneal. Perhitungan pengenceran CCl4 dan olive
oil dapat dilihat di Lampiran 5.
4.4.3 Penyiapan Inokulum
Dilakukan pembuatan suspensi spora Rhizopus oligosporus dengan
cara menambahkan 10 mL NaCl 0,9% steril ke dalam tabung inokulum yang
telah diinkubasi selama 72 jam, divortex sampai spora jamur terlepas dari
medianya (± 15 menit) (Poernomo, dkk. 2016).
4.4.4 Pembuatan Media Biji Kedelai Hitam
Sebanyak 500 gram masing-masing biji kedelai hitam dicuci dengan
aquadest, kemudian direbus selama 15 menit. Setelah direbus, dilakukan
41
pengelupasan dan dipotong menjadi ukuran yang lebih kecil, direndam dalam
aquadest (1:3, b/v) selama 24 jam. Setelah perendaman 24 jam, dicuci dan
direbus kembali dengan aquadest (1:4, b/v) selama 15 menit dan ditiriskan
selama 30 menit (Poernomo, dkk. 2016).
4.4.5 Proses Fermentasi Tempe
Fermentasi biji kedelai hitam oleh Rhizopus oligosporus dilakukan
dalam cawan petri streril. Tiap cawan berisi 100 gram biji dan difermentasi
dengan 10 mL suspensi spora 10% dan dicampur sampai homogen. Seluruh
cawan petri dimasukkan inkubator pada suhu 30oC ± 2oC selama 43 jam
(Poernomo, dkk. 2016).
4.4.6 Pembuatan sari Tempe Kedelai Hitam (Glycine max (L.) Merr.)
Hasil Fermentasi Rhizopus oligosporus
Pembuatan sari dilakukan dengan menghaluskan sebanyak 500 g tempe
kedelai hitam di-blender dengan 1 L larutan aquadest dan menghasilkan bubur
encer. Bubur encer selanjutnya disaring menggunakan kertas saring hingga
diperoleh ampas dan filtrat berupa sari tempe. Filtrat yang diperoleh
dikeringkan dengan proses freeze drying pada suhu -15˚ (Surya, 2011).
4.4.7 Uji Aktivitas Fibrinolitik dengan Metode Cakram Fibrin
Fibrin bovine blood sebanyak 0,3% dalam 100 mL dapar borat pH 7,8
dicampur dengan agarosa sebanyak 1,7%, kemudian dipanaskan. Dalam
keadaan masih panas, dituang media fibrin plate sebanyak 20 mL ke dalam
cawan petri. Ditambahkan methylen blue sebanyak 400 μL pada plate agar zona
jernih fibrinolitik terlihat dengan jelas. Setelah beberapa menit media akan
memadat, dibuat satu lubang dan diinokulasikan sari tempe sebanyak 60 μL.
Seluruh cawan diinkubasi pada suhu 37˚ C selama 20 jam dan aktivitas
42
fibrinolitik dapat diukur. Zona jernih transparan mengindikasikan hasil
degradasi fibrin dan diameter zona sebanding dengan potensi aktivitas
fibrinolitik (Poernomo, dkk. 2016).
4.4.8 Identifikasi Profil Isoflavon
Uji LC-MS dengan metode Electrospray Ion (ESI) dengan hasil
saringan tempe kedelai hitam sebanyak 100 µl ditambah dengan larutan
asetonitril hingga 1000 µl kemudian ditambah dengan larutan ammonia format
20 mMol sebanyak 500 µl. Tahap selanjutnya adalah filterisasi dan
dimasukkan ke dalam botol vial. Sampel di injeksikan ke dalam alat LC-MS
yang terdiri dari fase gerak larutan A (0,1% asam format dalam H2O) dan
larutan B (0,1% asam format dalam asetonitril), dan fase diam atau kolom
Hypersilgold. Laju alir fase gerak 300 µl/min (Firmansyah, dkk. 2015).
4.4.9 Pemeriksaan Keberhasilan Induksi Fibrosis Hepar
Pemeriksaan keberhasilan Induksi CCL4 pada hewan model fibrosis
hepar, dilakukan pengukuran kadar SGPT dan SGOT untuk mendiagnosa
terjadinya kerusakan pada hepar baik akut maupun kronis (Amirudin, 2009).
Pemeriksaan kadar SGPT dan SGOT pada kontrol positif, dilakukan sebelum
induksi CCL4 dan setiap 2 minggu selama induksi CCL4. Pengamatan
perubahan secara langsung keberhasilan Induksi CCL4 dilakukan dengan
pemeriksaan histopatologi (Shaker, 2011). Pemeriksaan histopatogi untuk
kontrol positif dan kontrol negatif dilakukan dengan pewarnaan Hematoxylin-
Eosin (HE).
43
a. Pengukuran Kadar SGPT-SGOT
Sebelum dilakukan pengukuran kadar SGPT-SGOT, dilakukan
pengambilan sampel darah (serum) melalui sinus orbitalis pada hewan coba,
kemudian dikoleksi dalam tabung venoject tanpa EDTA, serta disentrifugasi
selama 10 menit pada 3000 rpm (Laili, 2013). Penetapan reaksi SGPT/SGOT
menggunakan Reagen SGOT dan SGPT yang digunakan adalah kit reagen
SGOT-SGPT (Diasys), Serum darah dan reagen SGOT/SGPT dicampur pada
temperatur ruangan (15-30°C). Serum darah diambil sebanyak 100 μl,
kemudian ditambahkan kit reagen SGOT-SGPT (Diasys) sebanyak 1000 μl dan
diinkubasi pada suhu 37°C selama 60 detik (Indarto, 2013). Kemudian sampel
dibaca absorbansinya menggunakan metode spektofotometer pada panjang
gelombang 405 nm (Laili, 2013).
b. Pemeriksaan Histopatologi Hepar dengan Pewarnaan HE
Pembuatan preparat histopatologi melalui proses fiksasi, dehidrasi,
cleaning, embedding, sectioning dan penempelan pada objek glass, kemudian
diwarnai dengan pewarna Hematoxylin-Eosin (HE) yang akan dianalisis dan
disajikan secara deskriptif untuk melihat histopatologi hepar menggunakan
mikroskop Olympus BX51 dengan perbesaran 400x (Arauna, 2013).
4.4.10 Pemberian Terapi Sari Tempe Kedelai Hitam (Glycine max (L.)
Merr.) Hasil Fermentasi Rhizopus oligosporus
Pemberian terapi sari tempe kedelai hitam masing-masing pada
kelompok T1 dengan dosis sebesar 200 mg/kgBB selama 2 minggu, kelompok
T2 dosis 400 mg/kgBB selama 2 minggu dan T3 dosis sebesar 800 mg/kgBB
44
selama 2 minggu (Yusof et al., 2013). Pemberian terapi sari tempe kedelai
hitam diberikan secara peroral, sebanyak 2 ml yang diencerkan dengan akuades
Perhitungan dosis dan pengenceran dapat dilihat pada Lampiran 6.
4.4.11 Pengambilan Organ Hepar
Euthanasi tikus dilakukan dengan dislokasi pada bagian leher,
kemudian dilakukan pembedahan. Tikus diposisikan pada posisi rebah dorsal
kemudian dilakukan nekropsi. Dibuat insisi pada ventral midline abdomen,
kemudian insisi kulit dan subkutan ke arah kranial lalu insisi musculus daerah
abdomen kearah kranial. Prosesus xhipoideus diangkat kemudian dipotong
beserta sternum hingga cavum thoraks terbuka. Organ Hepar diisolasi dari
cavum abdomen kemudian dicuci dengan NaCl fisiologis 0,9% dan direndam
pada larutan Phosfat Buffer Saline (PBS) dengan pH 7,4 dalam pot, diberi label
lalu disimpan pada lemari pendingin.
4.4.12 Pembuatan Preparat Histopatologi dengan Masson’s Trichrome
Pembuatan preparat histopatologi hepar terdiri dari beberapa proses
menurut Ashari (2013) yaitu;
a. Fiksasi
Jaringan hepar dimasukkan dalam larutan formalin 10% selama 18-
24 jam. Setelah proses fiksasi, jaringan dimasukkan kedalam larutan aquades
selama 1 jam yang berfungsi menghilangkan larutan fiksasi. Proses ini
berfungsi sebagai pengawetan jaringan dan mempertahankan sel atau jaringan
agar tidak mengalami perubahan bentuk ataupun ukuran.
45
b. Dehidrasi
Jaringan dimasukkan kedalam alkohol dengan konsentrasi bertingkat
(70%, 80%, 90%, 95%) dengan menggunakan alat dehydarator autotechnicon
selama 2 jam. Dehidrasi merupakan proses penarikan molekul air dari dalam
jaringan dengan tujuan agar seluruh ruang antar sel dalam jaringan dapat diisi
molekul parafin.
c. Clearing
Jaringan dimasukkan kedalam larutan alkohol-xylol selama 1 jam,
kemudian larutan xylol murni selama 4 jam. Proses ini berfungsi menarik
alkohol atau dehidran yang lain dari dalam jaringan agar dapat digantikan
dengan molekul parafin. Clearing merupakan proses mentransparankan
jaringan.
d. Impregnasi
Potongan jaringan dimasukkan kedalam parafin cair yang ditempatkan
dalam inkubator bersuhu 58-60oC selama 2-3 jam. Proses ini merupakan
pengeluaran xylol dari dalam jaringan yang akan digantikan parafin cair.
e. Embedding
Proses ini merupakan penanaman jaringan ke media parafin yang
berfungsi untuk mempermudah melakukan proses pengirisan sampel.
Potongan jaringan dalam parafin yang telah memadat kemudian dilakukan
pemotongan dengan ketebalan 4 mikron dan ditempelkan pada object glass.
46
Setelah itu dipanaskan dalam inkubator dengan suhu 60 oC hingga parafin
mencair.
f. Pewarnaan Masson’s Trichome
Pewarnaan Masson’s Trichome merupakan pewarnaan khusus untuk
serat elastin dan retikulin. Serat retikulin adalah serat kolagen yang kaya akan
selubung glikoprotein yang akan terlihat berwarna biru dalam pewarnaan ini
(Cotran, 2003).
Preparat difiksasi kembali dengan menggunakan formalin 10% yang
selanjutnya dilakukan deparafinisasi dengan aquades. Dilakukan perendaman
kedalam larutan boin’s selama 1 jam dengan suhu 56 oC, setelah itu
didinginkan dan dicuci menggunakan aquades. Preparat dimasukkan kedalam
larutan weigert’s iron hematoxylin selama 10 menit yang kemudian dicuci
dengan air mengalir dan dibilas aquades. Dilakukan perendaman preparat
kembali ke dalam larutan biebrich scarlet acid fuchsin selama 2 menit yang
kemudian dicuci dengan air mengalir dan dibilas aquades. Dimasukkan
preparat ke dalam larutan asam phosphomolybdic-phosphotungistic selama 10
menit, lalu larutan aniline blue selama 5 menit yang selanjutnya dibilas dengan
aquades. Dilakukan perendaman preparat selama 3 menit ke dalam larutan
asam glasial asetat yang selanjutnya didehidrasi menggunakan alkohol 95%
dan 100%. Dibersihkan menggunakan xylene sebanyak dua kali yang
selanjutnya dilakukan mounting dengan balsam kanada dan diutup dengan
cover glass (Ashari, 2013).
g. Pengamatan histopatologi hepar pewarnaan Masson’s Trichome
47
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop dengan
perbesaran (100x) dan (400x). Hasil pewarnaan trichrome stain menunjukkan
kolagen berwarna biru, sitoplasma berwarna merah, eritrosit berwarna kuning
atau merah. Dianalisa secara deskriptif (Ashari, 2013). Selanjutnya dilakukan
sistem skoring berdasarkan persebaran kolagen pada pewarnaan trichrome
strain (Ghany, 2009).
4.4.13 Pengukuran Ekspresi IL-1β dengan Metode Imunohistokimia
Tahapan pewarnaan imunohistokimia diawali dengan perendaman slide
preparat pada xylol I, xylol II, dan alkohol bertingkat (70%,80%,90%). Slide
preparat kemudian dicuci dengan PBS pH 7,4 selama 1x15 menit selanjutnya
ditetesi dengan H2O2 selama 20 menit. Setelah itu dicuci kembali dengan PBS
pH 7,4 selama 5 menit sebanyak 3 kali dan dibloking dengan 5% FBS (Fetal
Bovine Serum) selama 1 jam. Kemudian, slide preparat dicuci kembali dengan
PBS pH 7,4 selama 5 menit sebanyak 3 kali dan selanjutnya diinkubasi dengan
antibodi primer anti- mouse IL-1β semalam pada suhu 40C. Setelah inkubasi
dengan antibodi primer dicuci dengan PBS Ph 7,4 selama 5 menit sebanyak 3
kali. Selanjutnya ditambahkan dengan antibodi sekunder Rabbit anti-mouse
IgG berlabel biotin dan diinkubasi selama 1 jam dengan suhu ruang.
Slide preparat ditetesi dengan Strep Avidin Horse Radish peroxidine
(SA-HRP) selama 40 menit. Kemudian dicuci kembali dengan PBS pH 7,4
selama 5 menit sebanyak 3 kali. Ditetesi dengan Diamanobenzidine (DAB)
selama 10 menit. Dicuci kembali dengan PBS pH 7,4 selama 5 menit 3 kali.
Selanjutnya counterstaining menggunakan Mayer Hematoxylen selama 10
48
menit. Dicuci dengan air mengalir. Dibilas dengan aquades dan dikeringkan,
lalu slide dimounting dengan entellan dan ditutup dengan cover glass.
Pengamatan ekspresi IL-1β dilakukan dengan mikroskop perbesaran
100x dengan lima bidang pandang pengamatan. Setelah itu hasil pengamatan
difoto dan dianalisa menggunakan software immuno ratio untuk mengamati
ekspresi IL-1β melalui pengukuran presentase area yang terwarnai (Ramos-
Vara, 2005).
4.5 Analisa Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan
analisa statistik kuantitatif untuk data persentase rata-rata eksprsesi IL-1 β.
Sedangkan data gambaran histopatologi hepar dianalisa secara deskriptif
kualitatif. Data ekspresi IL-1 ditabulasi menggunakan Microsoft Office Excel
kemudian dianalisa menggunakan analysis of variance (ANOVA) dengan
software SPSS 16 for Windows. Analisa one-way ANOVA didahului dengan uji
distribusi data, selanjutnya dilakukan uji homogenitas untuk mengetahui data
tersebut memiliki varian yang sama atau tidak. Apabila data terdistribusi
normal dan homogen maka dilanjutkan dengan uji one-way ANOVA untuk
mengetahui perbedaan rata-rata antar kelompok perlakuan atau perbedaan
secara keseluruhan atau kelompok perlakuan. Apabila hasil uji one-way
ANOVA menunjukkan hasil yang signifikan (p<0,05), maka dapat dilakukan
uji lanjutan menggunakan uji Tukey (Beda Nyata Jujur) dengan α 5%
(Kusriningrum, 2008).
49
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Keberhasilan Induksi CCL4 dalam Pembuatan Tikus Model Fibrosis
Hepar
5.1.1 Pengaruh Induksi CCL4 terhadap Kadar SGOT dan SGPT pada
Serum
Carbon Tetrachloride (CCL4) adalah zat hepatotoksik yang paling sering
digunakan dalam penelitian yang berkaitan dengan hepatotoksisitas yang dapat
menyebabkan fibrosis pada hepar yang disebabkan oleh radikal bebas (Sari,
2013). Pemberian CCL4 pada hewan coba dengan konsentrasi bertingkat
disesuaikan dengan berat badan (Lampiran 9) dengan tujuan mengakibatkan
kerusakan hepar lebih besar. Hepar rentan terkena bahan-bahan toksik,
mikroba dan terhadap gangguan metabolik. Karbon tetraklorida merupakan
salah satu zat toksik yang bisa menyebabkan kerusakan hepar. Meskipun
setelah cedera, hepar dapat pulih kembali dalam rentan waktu 14 hari oleh
proses regenerasi secara fisiologis (Tatukude, 2014). Pemberian senyawa
hepatotoksik dengan konsentrasi yang lebih tinggi mengakibatkan tingkat
kerusakan hepar tikus yang lebih besar serta membuktikan bahwa
terdapat hubungan antara pemberian dosis bertingkat terhadap tingkat
kerusakan hepar tikus (Ganda, 2007).
Keberhasilan induksi CCl4 dalam menyebabkan fibrosis hepar diamati
melalui beberapa parameter. Pengamatan keberhasilan induksi fibrosis hepar
sebelum dilakukan nekropsi pada hewan coba dilakukan dengan pengukuran
kadar SGOT dan SGPT setiap 2 minggu, dengan menggunakan serum yang
diperoleh dari darah hewan coba melalui sinus orbitalis dengan tujuan untuk
50
mengetahui tingkat kerusakan pada hepar. Menurut Aleya (2014) terbentuknya
fibrosis hepar pada tikus yang diinduksi CCL4 dapat diamati dengan
peningkatan SGOT dan SGPT. Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase
merupakan enzim yang dijumpai dalam otot jantung dan Hepar, sementara
dalam konsentrasi sedang dijumpai pada otot rangka, ginjal dan pancreas,
sedangkan SGPT merupakan enzim yang banyak ditemukan pada sel hepar
serta efektif untuk mendiagnosis kerusakan hepatoseluler (Potter and Perry,
2006).
Penentuan diagnosis penyebab kerusakan hepar pada kasus hepatotoksisitas
umumnya dilakukan dengan menghitung Rasio De Ritis, yaitu perbandingan
antara AST (SGOT) dan ALT (SGPT) dalam darah manusia atau hewan.
Perhitungan Rasio De Ritis merupakan metode yang paling akurat dalam
menentukan etiologi hepatitis (Sikaris and Botros, 2013).
Hasil pengukuran kadar SGOT dan SGPT pada kelompok kontrol positif
pada Lampiran 10. Rata-rata hasil pengukuran kadar SGOT dan SGPT dapat
dilihat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Hasil rata-rata pengukuran kadar SGOT dan SGPT kontrol positif
pada tikus (Rattus norvegicus) model fibrosis hepar yang diinduksi
CCl4
Pemeriksaan Sampel Rata-
rata
Kadar
SGOT
(U/L)
Rata-
rata
Kadar
SGPT
(U/L)
Keterangan
Perubahan
kadar
Rata-rata
Rasio De Ritis
SGOT:SGPT
Sebelum Induksi K(+) 51,5 25,25 Normal -
Induksi Minggu ke-2 K(+) 208,5 161,25 Meningkat 1,283938
Induksi Minggu ke-4 K(+) 239,25 165,75 Meningkat 1,430395
Induksi Minggu ke-6 K(+) 271,75 176,5 Meningkat 1,538500
Keterangan : Standar SGOT (45,7-80,8 U/L) dan SGPT (17,5-30,2 U/L)
(Azizah, 2015; Iriani, 2016).
51
Setelah dilakukan induksi CCl4 hewan coba mengalami peningkatan kadar
SGOT dan SGPT, jika dibandingkan dengan standar. Hal ini menunjukkan
induksi CCl4 dapat menyebabkan kerusakan pada hepatosit sehingga dapat
dianalisa menggunakan ratio de ritis yang merupakan hasil pembagian SGOT
dengan SGPT untuk menentukan kondisi fibrosis. Ratio de ritis pada kelompok
kontrol positif pada pemeriksaan terakhir sebelum dilakukan nekropsi
menunjukan rata-rata rasio 1,538500, rasio ini menunjukkan bahwa hewan
coba dalam kondisi fibrosis. Hal ini sesuai dengan Botros (2013) rasio de ritis
merupakan pembagian antara kadar Serum Glutamic Oxaloacetic
Transaminase (SGOT) dengan kadar Serum Glutamic Piruvic Transaminase
(SGPT) yang digunakan sebagai diagnosa untuk kelainan pada hepar, rasio ini
dapat mewakili agresivitas penyakit hepar. Berdasarkan ketentuan klinis
penyakit hepar yang dapat diaplikasikan pada rasio de ritis penyakit hepar
kronis pada rasio 1,5 sampai <2 dapat dinyatakan hepar dalam kondisi fibrosis
(Mera, 2008).
5.1.2 Pengaruh Induksi CCL4 terhadap Gambaran Histopatologi Hepar
Terbentuknya fibrosis hepar pada tikus (Rattus norvegicus) yang diinduksi
dengan CCL4 juga dibuktikan dengan pengamatan histopatologi hepar
menggunaan pewarnaan HE dan Masson Trichome. Pewarnaan hematoxylin
eosin dilakukan pada kelompok kontrol positif dan kontrol negatif dengan
tujuan sebagai konfirmasi dari keberhasilan induksi dan pembanding untuk
pewarnaan Masson trichrome.
52
Pengamatan terhadap gambaran histopatologi hepar tikus menggunakan
pewarnaan Hemtoxylin Eosin dan Massson Trichrome menunjukkan bahwa
pemberian sari tempe kedelai hitam (Glycine max (L.) Merr) hasil fermentasi
Rhizopus oligosporus pada tikus model fibrosis hepar yang diinduksi CCl4
mampu memperbaiki kerusakan jaringan hepar. Pengamatan menggunakan
mikroskop Olimpus BX53 dengan perbesaran 400x, dengan melihat perubahan
struktur hepar secara keseluruhan pada kelompok kontrol negative dan
kelompok kontrol positif.
Hasil pengamatan histologi hepar dengan pewarnaan HE pada kelompok
Kontrol Negatif (Gambar 5.1 A) menunjukkan hepar masih dalam keadaan
normal yang ditandai dengan hepatosit memiliki inti yang jelas dan tersusun
radier, pada vena sentralis tidak ditemukan desakan dari serabut kolagen dan
sedikit ditemukannya sel radang. Hal ini sesuai dengan Junqueira and Carneiro
(2007), dimana secara histologi hepar memiliki parenkim yang tampak seperti
spons dengan sel-sel yang tersusun secara radier yang didalamnya terdapat
sistem pembuluh kapiler yang disebut sinusoid. Parenkim tersusun di dalam
lobuli lobuli, dan ditengah-tengah lobuli terdapat 1 vena sentralis.
Pengamatan histopatologi hepar pada kelompok Kontrol Positif
menunjukan keadaan abnormalitas meliputi sel hepatosit mengalami nekrosis
yang ditandai dengan adanya inti yang piknotik dan beberapa tidak memiliki
inti (karyolisis), vena porta menyempit dikarenakan desakan dari serabut
kolagen dan ditemukannya sel radang (Gambar 5.1 B). Hal ini sesuai dengan
Anderson (2013) yang menyatakan bahwa pada kondisi fibrosis, terjadi
53
penyempitan vena sentral dan vena porta, sel hepatosit mengalami perubahan
dan kehilangan nukleus dan bentuk sinusoid tidak beraturan.
Gambar 5.1 Histopatologi hepar tikus dengan pewarnaan HE, (A) Kontrol
negatif dengan perbesaran 40x10, (B) Kontrol Positif dengan
perbesaran 40x10.
Keterangan : : Inti sel piknotik
: Inti sel karyolisis
: Sel radang
5.2 Pengaruh Terapi Sari Tempe Kedelai Hitam (Glycine max (L.) Merr.) Hasil
Fermentasi Rhizopus oligosporus pada Tikus (Rattus noevergicus) Model
Fibrosis Hepar yang diinduksi CCL4 Terhadap Perbaikan Histopatologi
Hepar
Pemeriksaan histopatologi pada jaringan merupakan gold standard untuk
melihat secara langsung perubahan pada hepar, untuk mengetahui perubahan
patologi hepar dalam menentukan tahap fibrosis dilakukan pengamatan
histopatologi dengan pewarnaan Masson trichrome menggunakan tiga
pewarna sehingga dapat digunakan untuk menentukan kolagen dengan warna
biru, sitoplasma dengan warna merah dan nukleus dengan warna merah tua
hingga hitam (Shaker, 2011).
54
Pengamatan histopatologi hepar dengan pewarnaan Masson Tricrome
dilakukan menggunakan mikroskop binokuler BX53 dengan perbesaran 100x
dan 400x. Gambaran histopatologi tikus yang diinduksi CCl4 yang diberikan
terapi berupa sari tempe kedelai hitam dengan membandingkan kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan yang dianalisa secara deskriptif dengan
parameter skoring terhadap kondisi fibrosis hepar menggunakan pewarnaan
Masson Trichrome. Penilaian skoring berdasarkan standar yang ditetapkan
oleh International Association for Study of the Liver (IASL) dan Metavir
(Tabel 2.1).
Hasil pengamatan histopatologi hepar menggunakan pewarna Masson
Trichrome menunjukkan adanya perbandingan kondisi hepar yang ditandai
dengan serabut kolagen yang tumbuh disekitar portal triad dan vena central
pada masing-masing kelompok perlakuan. Pada kelompok Kontrol Negatif
menunjukkan keadaan normal dan tidak ditemukan fibrosis karena serabut
kolagen yang ditemukan di daerah vena central dan triad portal merupakan
serabut kolagen yang tipis sehingga dapat diberikan skor 0, pada skor ini dapat
dinyatakan tidak terjadi fibrosis hepar pada kelompok Kontrol Negatif
(Gambar 5.2).
55
Gambar 5.2 (A) Histopatologi hepar tikus kontrol negatif dengan perbesaran
10x10, (B) Histopatologi vena centralis hepar tikus kontrol
negatif dengan perbesaran 10x40, pewarnaan Masson
Trichrome.
Pengamatan histopatologi hepar dengan pewarnaan masson trichrome pada
kelompok Kontrol Positif menunjukkan adanya serabut kolagen di sekitar area
vena centralis dan portal triad, serta ditemukan adanya sel radang yang dapat
diamati secara lebih jelas pada pewarnaan HE (Gambar 5.1). Berdasarkan
persebaran kolagen pada kelompok Kontrol Positif, maka mengacu pada sistem
skoring berdasarkan standar IASL dan Metavir dapat diberikan skor 3 yang
dikategorikan sebagai fibrosis berat (Gambar 5.3). Serabut retikuler tumbuh
diawali oleh cedera hepar kronis dengan ditandai aktivasi mediator inflamasi
dan kondisi stress oksidatif secara progresif sehingga mengakibatkan
pelepasan mediator inflamasi seperti TNFα, IL-1β. Produksi mediator
inflamasi yang berlebihan akan menyebabkan kerusakan struktur dan membran
sel hepar, jika struktur dan membran sel rusak maka sel stela yang yang semula
56
pasif menjadi aktif keadaan tersebut menstimulus ekstraseluler matriks (ECM)
yang berlebih sehingga terjadi pertumbuhan dan penumpukan serabut kolagen
(Robbins, 2007). Fibrosis muncul di dalam serta sekitar portal triad dan vena
sentralis atau mengendap di dalam sinusoid dapat dinyatakan severe fibrosis.
Lambat laun jaringan ikat menghubungkan regio hepar dari porta-ke porta,
porta-ke-sentral, atau sentral-ke-sentral (Kumar, 2007).
Gambar 5.3 (A) Histopatologi hepar tikus kontrol positif dengan perbesaran
10x10, (B) Histopatologi vena centralis hepar tikus kontrol positif
dengan perbesaran 10x40, (C) Histopatologi triad porta hepar
tikus kontrol positif dengan perbesaran 10x40, pewarnaan
Massson Trichrome.
Kelompok Terapi 1, Terapi 2, dan Terapi 3 dengan pemberian sari tempe
kedelai hitam dosis 200 mg/kg BB, 400 mg/kg BB, dan 800 mg/kg BB
menunjukkan hasil yang berbeda dibanding gambar kontrol positif.
Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi hepar dengan pewarnaan Masson
Trichrome menunjukkan pemberian sari tempe kedelai hitam mampu
mengurangi deposisi serabut kolagen. Pada kelompok Terapi 1 didapatkan
serabut kolagen tersebar di daerah vena porta dan portal triad tetapi hanya pada
57
area dalam dan disertai adanya sel radang sehingga dapat diberikan skor 3,
berdasarkan sistem skoring dapat dikatagorikan sebagai fibrosis berat
(Gambar 5.4).
Gambar 5.4 (A) Histopatologi hepar tikus Terapi 1 dengan perbesaran 10x10,
(B) Histopatologi vena centralis hepar tikus Terapi 1 dengan
perbesaran 10x40, (C) Histopatologi triad porta hepar tikus
Terapi 1 dengan perbesaran 10x40, pewarnaan Massson
Trichrome.
Kelompok Terapi 2 menunjukkan adanya serabut kolagen yang tersebar di
daerah portal triad saja dan ditemukan adanya sel radang, sehingga dapat
diberikan skor 2, pada sistem skoring dapat dikatagorikan sebagai fibrosis
moderat (Gambar 5.5).
58
Gambar 5.5 (A) Histopatologi hepar tikus Terapi 2 dengan perbesaran 10x10,
(B) Histopatologi vena centralis hepar tikus Terapi 2 dengan
perbesaran 10x40, (C) Histopatologi triad porta hepar tikus
Terapi 2 dengan perbesaran 10x40, pewarnaan Massson
Trichrome.
Kelompok Terapi 3 didapatkan serabut kolagen yang lebih tipis sehingga
portal triad tampak lebih lebar dan sel radang lebih berkurang dibanding
Kelompok Terapi 1 dan Terapi 2, sehingga dapat diberikan skor 1, dan dapat
dikatagorikan sebagai fibrosis ringan (Gambar 5.6). Penurunan ketebalan
serabut kolagen dan komponen ECM lainnya pada area portal triad diakibatkan
kandungan enzim fibrinolitik yang terdapat pada sari tempe kedelai hitam,
sehingga dapat merubah fibrin di dalam ECM menjadi fase cair (Wibawa,
2010). Hasil tersebut membuktikan sari tempe kedelai hitam dapat digunakan
sebagai terapi fibrosis hepar. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa
dosis pemberian sari tempe kedelai hitam sebesar 800 mg/kgBB merupakan
dosis terbaik sebagai terapi fibrosis hepar hasil induksi CCl4.
59
Gambar 5.6 (A) Histopatologi hepar tikus Terapi 2 dengan perbesaran 10x10,
(B) Histopatologi vena centralis hepar tikus Terapi 2 dengan
perbesaran 10x40, (C) Histopatologi triad porta hepar tikus
Terapi 2 dengan perbesaran 10x40, pewarnaan Massson
Trichrome.
Sari Tempe kedelai hitam (Glycine max (L.) Merr) hasil fermentasi
Rhizopus oligosporus mengandung enzim fibrinolitik yang telah di uji
menggunakan Uji Cakram Fibrin. Pada uji cakram fibrin, kemampuan
fibrinolitik ditunjukkan dengan terbentuknya zona jernih yang semakin lebar
yang menandakan semakin banyak fibrin yang terhidrolisis oleh enzim
fibrinolitik (Lampiran 11). Enzim fibrinolitik protease adalah salah satu jenis
enzim protease yang sering digolongkan sebagai salah satu jenis protease serin
yang dikenal memiliki kemampuan untuk mendegradasi benang-benang fibrin
(Dewi, 2006).
Enzim Fibrinolitik berperan dalam proses fibrinolisis yang dapat
mendegradasi fibrin dengan komponen utama plasmin yang berada dalam
bentuk zimogen inaktif berupa plasminogen. Pada kondisi fibrosis maka
plasminogen akan teraktifasi oleh alteplase menjadi plasmin yang dapat
60
mendegradasi fibrin yang dilepaskan dalam media cair dan dihilangkan
aktivasinya. Menurut Dewi (2006) Plasmin dalam darah berada dalam bentuk
zimogen inaktif, yaitu plasminogen. Plasmin yang terbentuk pada kondisi
fisiologis akan dihilangkan aktivitasnya dengan cepat oleh inhibitor plasmin,
yaitu α2-antiplasmin. Pada kondisi fibrosis, plasminogen terikat dengan fibrin,
maka akan mengaktifasi alteplase (t-PA) yang dapat memutuskan ikatan Arg-
Val dalam plasminogen untuk menghasilkan plasmin. sehingga akan terbentuk
plasmin yang dapat terlindungi dari inhibitornya. Selanjutnya plasmin
mencerna fibrin hingga terbentuk produk degradasi yang dapat larut. Tidak satu
pun dari plasmin, plasminogen, dan aktivator plasminogen yang dapat tetap
terikat dengan produk penguraian ini sehingga semuanya akan dilepas ke
dalam media cair yang kemudian dihilangkan aktivitasnya (Dewi, 2006).
5.3 Pengaruh Terapi Sari Tempe Kedelai Hitam (Glycine max (L.) Merr.) Hasil
Fermentasi Rhizopus oligosporus pada Tikus (Rattus noevergicus) Model
Fibrosis Hepar yang diinduksi CCL4 Terhadap Perbaikan Ekspresi IL-1β
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh terapi sari tempe
kedelai hitam (Glycine max (L.) Merr) hasil fermentasi Rhizopus oligosporus
pada tikus model fibrosis hepar yang diinduksi CCl4 dalam menurunkan
ekspresi IL-1β. Pengukuran Ekspresi IL-1β dilakukan menggunakan metode
imunohistokimia yang ditandai dengan adanya warna kecoklatan. Ekspresi IL-
1β pada Gambar 5.7 merupakan hasil interaksi antara IL-1β pada jaringan
dengan antibodi yang ditambahkan (antibodi primer mouse anti-IL-1β dan
antibodi sekunder Rabbit anti-mouse IgG berlabel biotin) sehingga
61
mengakibatkan pengikatan kompleks antigen-antibodi yang dikenali SA-HRP
yang mengikat H2O2 yang teroksidasi menjadi O2 dan H2O, kemudian O2 akan
berikatan dengan substrat kromagen DAB sehingga memunculkan warna
kecoklatan.
Gambar 5.7 Ekspresi Interleukin 1 Beta (IL-1β) pada organ hepar dengan
metode imunohistokimia (400x)
Keterangan : : Ekspresi IL-1β
(A) Kontrol Negatif; (B) Kontrol Positif; (C) Kelompok
Terapi 1 (Dosis 200 mg/kgBB); (D) Kelompok Terapi 2
(Dosis 400 mg/kgBB); (E) Kelompok Terapi 3 (Dosis 800
mg/kgBB).
Pada kelompok Kontrol Positif dapat dilihat adanya ekspresi IL-1β yang
lebih tinggi dibandingkan kelompok Kontrol Negatif, yang ditandai dengan
intensitas warna coklat yang lebih tinggi dari pada kontrol negatif. Ekspresi IL-
1β pada Kelompok Terapi tampak mengalami penurunan dibandingkan
kelompok Kontrol Positif, yang ditunjukkan dengan intensitas warna coklat
yang lebih rendah. Intensitas warna pada kelompok terapi semakin menurun
IL-1β
62
seiring dengan peningkatan dosis terapi yang diberikan. Terapi 1 (Dosis 200
mg/kgBB) memiliki intesitas warna coklat yang lebih tinggi dibandingkan
terapi 2 (Dosis 400 mg/kgBB), sedangkan terapi 2 memiliki intensitas warna
coklat lebih tinggi dibandingkan terapi 3 (Dosis 800 mg/kgBB). Terapi 3
memiliki intensitas warna coklat mendekati kontrol negatif dibandingkan
kelompok terapi lainnya.
Ekspresi IL-1β tertinggi berdasarkan warna coklat ditunjukan pada
kelompok positif yang induksi CCl4. Karbon tetraklorida menyebabkan
akumulasi radikal bebas di hepar, radikal bebas memicu aktivitas dari sel
inflamasi. IL-1β terdapat pada bagian dinding sinusoid, dinding pembuluh
darah dan sitoplasma sel hepatosit karena IL-1β pada hepar diproduksi oleh sel
kupffer, sel endotel, dan hepatosit.
Peningkatan Ekspresi IL-1β diukur dengan mengunakan software
immunoratio, kemudian hasilnya diolah menggunakan software SPSS 21.0.
Hasil uji normalitas data dan uji homogenitas varian menunjukkan nilai
signifikansi (p<0,01), sehingga dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan
mempunyai distribusi dan homogenitas yang normal, sehingga dilanjutkan
dengan uji one way ANOVA. Uji one way ANOVA menunjukkan bahwa
(p<0,01), berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antar perlakuan dan
terapi sari tempe kedelai hitam (Glycine max (L.) Merr) hasil fermentasi
Rhizopus oligosporus pada tikus model fibrosis hepar yang diinduksi CCl4
mampu menurunkan ekspresi IL-1β secara signifikan (Lampiran 14). Hasil uji
post hoc Tukey (Lampiran 14) menunjukkan kelompok terapi sari tempe
63
kedelai hitam memiliki perbedaan yang nyata dengan kontrol negatif maupun
kontrol positif, yang ditandai dengan notasi yang berbeda (Tabel 5.2).
Tabel 5.2 Ekspresi IL-1β hepar tikus (Rattus norvegicus) yang mendapat
perlakuan terapi sari tempe kedelai hitam (Glycine max (L.) Merr)
hasil fermentasi Rhizopus oligosporus pada tikus model fibrosis
hepar yang diinduksi CCl4
Perlakuan
Rata-rata ekspresi
IL-1β (%) ± Std.
Deviation (%)
Peningkatan
terhadap K (-)
(%)
Penurunan
terhadap K (+)
(%)
Kontrol Negatif 8,9900 ± 1,90344a - -
Kontrol Positif 54,5900 ± 5,41579d 83,53% -
Kelompok Terapi 1
(Dosis 200 mg/kgBB) 36,8400 ± 4,85032c - 32,51%
Kelompok Terapi 2
(Dosis 400mg/kgBB) 20,8750 ± 5,95905b - 61,76%
Kelompok Terapi 3
(Dosis 800mg/kgBB) 19,0425 ± 5,24373ab - 65,11%
Keterangan : Perbedaan notasi a,b,c dan d menunjukkan adanya perbedaan
yang signifikan (p<0,05) antara kelompok perlakuan.
Hasil ANOVA ekspresi IL-1β pada hewan coba menunjukkan adanya
perbedaan yang sangat nyata (p<0,01). Data pada Tabel 5.2 menunjukkan
bahwa ekspresi IL-1β meningkat pada kelompok kontrol positif jika
dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif.
Kelompok kontrol negatif memiliki ekspresi IL-1β paling rendah jika
dibandingkan dengan kelompok lainnya, ditandai dengan sedikitnya area
berwarna cokelat. Pada Tabel 5.2, kontrol negatif menunjukkan rata-rata
ekspresi IL-1β sebesar 8,9900 ± 1,90344, nilai rata-rata produksi IL-1β pada
kontrol negatif digunakan sebagai standart untuk mengetahui adanya
peningkatan produksi IL-1β. Hal ini dikarenakan tikus kontrol negatif
merupakan tikus sehat tanpa diinduksi CCl4, sehingga paparan radikal bebas
64
didalam tubuh hewan coba tidak melebihi kapasitas sehingga minim terjadinya
peroxidasi lipid pada membran sel, yang dalam keadaan fisiologis sedikit
terdapat sel inflamasi. Pada keadaaan sehat IL-1 diekspresikan dalam jumlah
sedikit oleh sel endotel, dan sel epitel hepar (Arend, 2002). Interleukin 1 beta
dalam keadaan normal memiliki fungsi untuk menstimulasi monosit dan
makrofag untuk memproduksi (lebih banyak) IL-1 dan sitokin lainnya seperti
tumor necroting factor (TNF) dan IL-6, menstimulasi proliferasi sel B untuk
meningkatkan sintesis imunoglobulin, serta menstimulasi sel T untuk
memproduksi sitokin (Kusumadewy, 2012).
Pada kelompok kontrol positif menunjukan peningkatan rata-rata ekspresi
IL-1β sebesar 83,53% dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif.
Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan Uji Tukey, kelompok kontrol
positif menunjukan hasil yang berbeda signifikan dengan kelompok kontrol
negatif, yang ditandai dengan perbedaan notasi. Kelompok kontrol positif
memiliki ekspresi IL-1β paling tinggi jika dibandingkan dengan kelompok
lainnya, ditandai dengan banyaknya area berwarna cokelat. Pada Tabel 5.2
kontrol positif menunjukkan ekspresi IL-1β sebesar 54,5900 ± 5,41579, nilai
rata-rata produksi IL-1β pada kontrol positif digunakan sebagai standart untuk
mengetahui adanya penurunan produksi IL-1β pada Kelompok Terapi.
Tingginya ekspresi IL-1β karena tikus kelompok kontrol positif merupakan
hewan model fibrosis hepar yang diinduksi CCl4. Karbon tetraklorida
diinduksikan kedalam tubuh tikus akan mengalami reaksi oksidasi yang
dikatalis oleh enzim P450 (CYP) 2E1 di retikulum endoplasma menjadi
65
triklorometilperoxide (CCl3OO-) yang merupakan radikal bebas dalam hepar.
Radikal bebas yang berlebihan di dalam tubuh juga dapat menyebabkan
peroksidasi lipid, yaitu ikatan radikal bebas dengan lipid yang terdapat pada
membran fosfolipid bilayer. Peroksidasi lipid tersebut akan mengakibatkan
perubahan struktur dari membran hepatosit, menonaktifkan ikatan membran
dengan reseptor atau enzim yang dapat mengganggu fungsi normal sel dan
mengakibatkan kerusakan sel. Kerusakan hepatosit mengakibatkan pelepasan
mediator inflamasi, sehingga produksi IL-1β meningkat. Senyawa Carbon
Tetrachloride (CC14) merupakan senyawa yang paling sering digunakan
dalam penelitian yang berkaitan dengan hepatotoksisitas. CCl4 dapat
menyebabkan kerusakan pada hepar yang disebabkan oleh radikal bebas, CC14
memerlukan aktivasi metabolisme terutama oleh enzim sitokrom P450 di
hepar. Aktivasi tersebut akan mengubah CC14 menjadi metabolit yang lebih
toksik, sehingga dapat menyebabkan kerusakan hepar pada hewan coba (Sari,
2013). Kerusakan membran sel mengakibatkan hepar mengalami inflamasi
yang mengakibatkan diekspresikannya sitokin proinflamasi dalam hal ini ialah
IL-1β (Hadiwijaya, 2006).
Pada kelompok terapi memiliki ekspresi IL-1β berbeda nyata jika
dibandingkan dengan kontrol positif, ditunjukan dengan adanya penurunan
seiring dengan peningkatan dosis pemberian sari tempe kedelai hitam.
Berdasarkan Tabel 5.2 dapat dilihat kelompok terapi 1 dengan dosis 200
mg/kgBB menunjukan rata-rata ekspresi IL-1β sebesar 36,8400 ± 4,85032 serta
dapat menurunkan ekspresi IL-1β sebesar 32,51%. Berdasarkan hasil uji Tukey
66
menunjukkan berbedaan yang signifikan dengan kontrol negatif dan kelompok
kontrol positif. Kelompok terapi 2 (Dosis 400 mg/kgBB) menunjukan rata-rata
ekspresi IL-1β sebesar 20,8750 ± 5,95905 serta dapat menurunkan ekspresi IL-
1β sebesar 61,76%, dan berdasarkan notasi pada uji Tukey memiliki perbedaan
yang signifikan dibandingkan kelompok kontrol negatif dan kelompok kontrol
positif. Kelompok terapi 3 (Dosis 800 mg/kgBB) menunjukan rata-rata
ekspresi IL-1β sebesar 19,0425 ± 5,24373 serta dapat menurunkan ekspresi IL-
1β sebesar 65,11%, dan berdasarkan notasi uji Tukey menunjukan perbedaan
yang signifikan dengan kontrol positif dan mampu mendekati notasi pada
kelompok kontrol negatif. Berdasarkan hasil uji Tukey dapat diketahui bahwa
dosis pemberian sari tempe kedelai hitam sebesar 800 mg/kgBB merupakan
dosis terbaik sebagai terapi fibrosis hepar hasil induksi CCl4 dalam
menurunkan ekspresi IL-1β karena hasil penelitian hampir menyamai
kelompok kontrol negatif.
Penurunan ekspresi IL-1β pada Kelompok Terapi disebabkan karena
pemberian terapi sari tempe kedelai hitam (Glycine max (L.) Merr) hasil
fermentasi Rhizopus oligosporus memiliki kandungan antioksidan berupa
isoflavon yang dapat membantu kerja superoksida dismutase dalam
memusahkan radikal bebas sehingga dapat meminimalisir peroxidasi lipid pada
membran sel, sehingga menurunkan respon dari sel inflamasi. Kedelai hitam
memiliki kandungan antioksidan berupa isoflavon yang paling tinggi jika
dibandingkan dengan kedelai lainnya (Beninger, 2003). Antioksidan beruapa
isoflavon dapat digunakan sebagai upaya preventif dari penyakit degeneratif
67
seperti fibrosis hepar (Dewi, 2007). Proses fermentasi merupakan upaya untuk
meningkatkan kandungan isoflavon oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh
bakteri Rhizopus sp yang terdapat dalam ragi tempe (Atun, 2009). Hal tersebut
membuktikan sari tempe kedelai hitam dapat digunakan sebagai terapi fibrosis
hepar.
Sari Tempe kedelai hitam (Glycine max (L.) Merr) hasil fermentasi
Rhizopus oligosporus mengandung isoflavon yang telah di uji menggunakan
Uji LC-MS. Pada Uji Liquid Chromatography dengan Mass Spectrometer
teridentifikasi bahwa sari tempe kedelai hitam (Glycine max (L.) Merr) hasil
fermentasi Rhizopus oligosporus yang digunakan sebagai terapi memliki
kandungan isoflavon berupa genistein dengan berat molekul 223 g/mol dan
daidzein dengan berat molekul 151 g/mol (Lampiran 15). Kedelai hitam
memiliki kandungan antioksidan yang berupa aglikan meliputi genistein,
glisitein, dan daidzein (Atun, 2009). Isoflavon aglikan terutama genistein
memiliki aktivitas antioksidan yang paling tinggi diantara keempat isoflavon
lainnya (Purwoko, 2004). Isoflavon merupakan antioksidan yang membantu
dalam mengeliminasi radikal bebas (Fitzpatrick, 2003).
Isoflavon dalam mengeliminasi radikal bebas bekerja dengan cara
membantu kerja superoksida dismutase yang merupakan antioksidan
intraseluler. Isoflavon mampu mempertahankan kinerja enzim SOD karena
peran genistein yang mampu meningkatkan regulasi ekspresi gen yang
mengakibatkan terjadinya fosforilasi pada extracellular-signal regulated
kinase dan nuclear factor кB yang dapat mengakibatkan teraktivasi ekspresi
68
MnSOD, Hal ini dapat meminimalisir peroxidasi lipid sehingga dapat
menurunkan respon inflamasi untuk memproduksi sitokin (IL-1β). Isoflavon
mampu mempertahankan aktivitas enzim SOD diduga karena peran
isoflavon genistein menginduksi gen yang bertanggung jawab pada sintesis
enzim SOD. Genistein meningkatkan regulasi ekspresi gen antioksidan
dengan melibatkan reseptor estrogen, ERK1/2 (extracellular-signal
regulated kinase), dan NFкB (nuclear factor кB). Genistein berikatan
dengan reseptor estrogen mengakibatkan terjadinya fosforilasi secara cepat
pada ERK1/2 dan IкB mengakibatkan translokasi subunit P50 dari NFкB
menuju inti dan mengakibatkan teraktivasi ekspresi MnSOD (Borra ́S et al.,
2006). Isoflavon juga bekerja dengan cara menyumbangkan satu elektronnya
kepada senyawa radikal sehingga senyawa radikal berubah menjadi senyawa
tidak radikal atau senyawa yang tidak berbahaya bagi sel. Struktur meta 5,7-
dihidroksil pada cincin A menunjukkan kemampuan isoflavon untuk berperan
sebagai donor ion hidrogen sehingga terbentuk senyawa yang lebih stabil dan
terbentuk radikal fenoksil yang kurang reaktif (Oteiza et al., 2005).
69
BAB 6 PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan
bahwa:
1. Pemberian sari tempe kedelai hitam (Glycine max (L.) Merr.) hasil
fermentasi Rhizopus oligosporus dapat digunakan sebagai terapi pada
tikus (Rattus norvegicus) model fibrosis hepar hasil induksi CCl4, yang
ditandai dengan berkurangnya deposisi serabut kolagen pada vena porta
dan portal triad, serta dapat menurunkan ekspresi IL-1β secara
signifikan.
2. Dosis 800 mg/kg BB merupakan dosis terbaik yang dapat memperbaiki
histopatologi hepar tikus dan dapat menurunkan ekspresi IL-1β
mendekati kelompok kontrol negatif.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait isolasi fibronolitik secara
kuantitatif untuk mengetahui derajat kemampuan dalam mendegradasi fibrin,
yang terkandung dalam sari tempe kedelai hitam sebagai terapi fibrosis hepar
dan dapat dilakukan peningkatan dosis terapi untuk mendapatkan dosis optimum
pada hasil penelitian.
70
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A.K., Licthman, A.H., Pillai, S. 2007. Cellular And Mollecular
Immunology. International Edition, 6th Edition. Saunders Elsevier,
USA. 19-39, 262.
Aleya. 2014. Korelasi Pemeriksaan Laboratorium SGOT/SGPT dengan Kadar
Bilirubin pada Pasien Hepatitis C di Ruang Penyakit Dalam RSUD Dr.
H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung pada Bulan Januari - Desember
2014. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
Amirudin, Rifai. 2009. Fibrosis Hepar dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Hepar
Ed 1. Jakarta: Jayabadi. h: 329-332.
Anderson, P. 2013. PIER Pathology and Histology. //http://peir.path.uab.edu/
library/picture.php ?/11363/categories&metadata [21 Januari 2017].
Armitage, D. 2004. Rattus norvegicus. Animal Diversity Web Online. at:
//animaldiversity.ummz.umich.edu/accounts/Rattus_norvegicus/.[06
Januari 2017].
Ashari, Yonarodin. 2013. Pemberian Salep Sari Daun Mengkudu (Marinda
cirtifolia L.) terhadap Peningkatan Kepadatan Serabut Kolagen pada
Mukosa Oral Mulut. [Skripsi] Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Airlangga
Arend, W.P. 2002. The Balance Between IL-1 and IL-1Ra In Disease. Cytokine
Growth Factor Rev
Arora, K.M.D. 2012. Liver and Intrahepatic Bile Ducts - Non Tumor Normal
Histology. //http://PathologyOutlines.com, Inc. [1 Maret 2017].
Atun, S. 2009. Potensi Senyawa Isoflavon Dan Derivatnya Dari
Kedelai (Glycine Max. L) Serta Manfaatnya Untuk
Kesehatan. Prosiding Seminir Nasional Penelitian, Pendidikan dan
Penerapan MIPA. Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta.
Arauna, Yosia; Aulanni’am; dan Dyah Ayu Oktavianie. 2012. Studi Kadar
Trigliserida dan Gambaran Histopatologi Hepar Hewan Model Tikus
(Rattus norvegicus) Hiperkolesterolemia yang diterapi Dengan Ekstrak
Air Benalu Mangga (Dendrophthoe petandra) [Skripsi]. Program Studi
Pendidikan Dokter Hewan Universitas Brawijaya. Malang.
Azizah, S.Tanti. 2015. Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Meniran
(Phyllanthus niruri L) Selama 90 Hari Terhadap Fungsi Hepar Tikus.
Surakarta : Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah
71
Bataller, R and D. A., Brenner. 2005. The Liver Fibrosis. Journal of Clinical
Investigation: 115(2): 179-183.
Beninger, C. W and L. H. George. 2003. Antioxidant Activity of Extract,
Condensed Tannin fraction, and Pure Flavonoids from lxx Phaseolus
vulgaris L. Seed Coat Color Genotypes. J. Agric. Food Chem. 51: 7879
– 7883.
Boorman, P., K. Sebekova and T. Ostendorf. 2006. Treatment Targets in Renal
Fibrosis. Nephrol. Dial. Transplant.22 (12): 3391-3407.
Borra´S.C, Gambini J, Go´Mez-Cabrera MC, SastrE J, Pallardo FV, Mann GE,
et al. 2006. Genistein, a soy isoflavone, up-regulates expression of
antioxidant genes: involvement of estrogen receptors, ERK1/2, and
NFкB. FASEB J. 20:1476-1481.
Botros, M. The De Ritis Ratio : The Test of Time. Clin Biochem Rev. 2013
Nov;34 (3):177-30
Cahyadi, W. 2006. Kedelai Khasiat dan Teknologi. Bumi Aksara. Bandung.
Constandinou, C., N. Henderson, J. P. Iredale. 2005. Modeling Liver Fibrosis in
Rodents. Methods in Molecular Medicine, Vol. 117:237-250
Darmawan, Rino A. 2009. Hepatitis C. In : Sudoyo, Aru W., Setiyohadi,
Bambang., Alwi, Idrus., Simadibrata, Marcellus., Setiati, Siti. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing,
662-664.
Dewi, W. K. 2006. Pemurnian dan Pencirian Protease dari Isolat Bakteri W-1
yang Dihasilkan oleh Tauco Hitam [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor:
Bogor.
Dewi, N.Sartika. 2007. Studi pendahuluan daya antioksidan sari metanol tempe
segar dan tempe "Busuk" Kota Malang terhadap radikal bebas DPPH
(1,1 -difenil-2-pikrilhidrazil) [Skripsi]. Universitas Negeri Malang
Elhiblu, M.A., Dua, K., Mohindroo, J., Mahajan, S.K., Sood, N.K., Dhaliwal,
P.S. 2015. Clinico Hemato Biochemical Profile of Dog With Liver
Cirrhosis. //www.veterinaryworld.org/Vol.8/April-2015/10.pdf [19
Januari 2017].
72
Firmansyah, R., Hakim, R. Damayanti, D. 2015. Efek Antihipertensi Dekokta
Daun Sambung Nyawa (Gynura procumbens) Melalui Penghambatan
ACE (Studi In Silico). Jurnal Kedokteran Komunitas Vol 3(1): 200-
208
Fitzpatrick, L. A. 2003. Reprint Of Soy Isoflavones: Hope Or Hype. Mat., 6(1-
2): 132-140.
Friedman, S. L; Rockey, D. C; Bissell, D. M. 2007. Hepatic Fibrosis 2006:
Report of The Third AASLD Single Topic Conference. J Hepatology
45; 242-249.
Fuiji, T., Fuchs, B.C., Yamada, S., Lauwers, G., Kulu, Y., Goodwin, J.M.,
Lanuti, M., Tanabe, K. 2010. BMC Gastroenterology: Mouse Model
Of Carbon Tetrachloride Induced Liver Fibrosis: Histopathological
Changes And Expression Of CD133 And Epidermal Growth Factor.
10(79):458-459.
Ganda,R.P. 2007. Pengaruh Pemberian Karbon Tetraclorida Trerhadap Fungsi
Hepar dan Ginjal Tikus. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor. Kesehatan, VOL. 11, NO. 1, JUNI 2007: 11-16
Gaze, D.C. 2007. The role of existing and novel cardiac biomarkers for
cardioprotection. Curr. Opin. Invest. Drugs. 8 (9):711-7
Ghany, M.G, Strader, D.B, Thomas D.L, Seelf L.B. American Association for
The Study of Liver Disease. Diagnosis, management and treatment of
hepatitis C:an Update. Hepatology.2009;49:1335-74
Gressner, A.M., Weiskirchen, R., Breitkopf, K., Dooley, S. 2002. Front Biosci:
Roles od TGF-β in Hepatic Fibrosis. 7:D793-807.
Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung. PT. Alumni, 402-403, 613-
647.
Hadiwijaya, S. 2006. Ekspresi Interleukin-1 dan Tumor Nekrosis Faktor - Α Pada
Cerebral Palsy Tipe Spastik. Jurnal kedokteran yarsi
Haki, M. 2009. Efek Sari Daun Talok (Muntingia Calabuara) Terhadap
Aktivitas Enzim SGPT Pada Mencit Yang Diinduksi Karbon
Tetraklorida [Skripsi]. Fakultas Kedokteran. Universitas Sebelas
Maret.
Hubscher, S. G. 2006. Histological Assessment Of Non-Alcoholic Fatty Liver
Disease. Histopathology. 49:450-456. doi:10.1111/j.1365-2559-2006.
0241.6.x.
73
Ijzer, J. 2008. Jurnal of Veterinary Sciences Tommorrow: Liver Fibrosis and
Regeneration in Dog and Cat: An Immunohistochemical Approach.
The Netherlands, Uthrecht University.
Indarto, M.Deny. 2013. Aktivitas Enzim Transaminase dan Gambaran Histologi
Hepar Tikus (Rattus norvegicus) Wistar Jantan yang Diberikan Fraksi
N Heksan Daun Kesum (Polygonum minus Huds.) Pasca Induksi
Sisplatin [Skripsi]. Pontianak : Fakultas Kedokteran Universitas
Tanjungpura
Iriani, P.Radhesia.2016. Pengaruh Pemberian Kombinasi Minyak Rami dengan
Minyak Wijen Terhadap Kadar SGPT pada Tikus Sprague Dawley
Dislipidemia [Skripsi]. Semarang : Program Studi Gizi Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro
Irsyandi, Y. 2008. The Effect Of Caterpillar Fungus (Cordyceps sinensis [Berk.]
Sacc.) Toward interleukin 2 Level In Paracetamol-Induced Mice (Mus
musculus L.). Pusat Penelitian Ilmu Kedokteran (PPIK). Fakultas
Kedokteran Universitas Kristen Maranatha.
Ishartadiati, K. 2008. Peranan TNF, IL-1, dan IL-6 Pada Respon Imun Terhadap
Protozoa. Surabaya : Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma
Istri, T.A. 2010. Pendekatan Diagnosa Dan Terapi Fibrosis Hepar. Denpasar :
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Jeharatnam, David koh. 2005. Bahan Ajar Praktik Kedokteran Kerja ed 1.
Jakarta: EGC
Junquiera, L.C., and J. Carneiro. 2007. Basic Histology. The McGraw-Hill
Companies.
Juniarto, Z.J., dan Juwono. 2003. Biologi Sel. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Kahn, C.M. 2010. The Merck Veterinary Manual, Edisi ke-10. Elsevier Health
Sciences. London, United Kingdom.
Kaya, F.A. 2010. IL-1 Level in Tooth Early Levelling Movement Orthodontic
Treatment. J Int Dent Med Res 2010; 3 : 116-21
Klaassen, C. D. 2008. Casarett & Doull’s Toxicology: The Basic Science of
Poisons. New York: McGrow-Hill. Hlm. 557-562.
74
Krisna, A.W. 2014. Eksplorasi Potensi Kedelai Hitam Untuk Produksi Minuman
Fungsional Sebagai Upaya Mengkatkan Kesehatan Masyarakat.
Malang : Fakultas Teknologi Pertanian. Jurnal Pangan dan
Agroindustri Vol. 2 No 4 p.58-67
Kumar, Abbas, Fausto, Mitchell. 2007. Basic Pathology 8th Edition. Jakarta:
EGC. p.595-97
Kusriningrum. 2008. Dasar Perancangan Percobaan dan Rancangan Acak
Lengkap. Surabaya: Airlangga University Press.
Kusumadewi, W. 2012. Perbandingan Kadar Interleukin-1 beta (IL-1B) dalam
cairan Krevikular Gingiva Anterior Mandibula Pasien pada Tahap
Awal Perawatan Ortodorti Menggunakan Braket Selft-Ligating Pasif
dengan Braket Konvensional Pre-Adjurted MBT [Tesis]. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
Lee, I. H., Y. H. Hung, C. C. Chou. 2008. Solid-State Fermentation With Fungi
To Enhance The Antioxidative Activity, Total Phenolic And
Anthocyanin Contents Of Black Bean. International Journal of Food
Microbiology, 121(2), 150–156.
Lestari D., 2008. Efek Protektif dari Lecitin Terhadap Hepatotoksisitas Akibat
Induksi Karbon Tertraklorida pada Tikus Putih (Rattus norvegicus)
[Tesis]. GDLHUB.
Liedtke, C., Leudde, T., Tacke, F., Streetz, K., Trebicka, J., and Tolba, R. 2013.
Experimental Liver Fibrosis Research: Update on Animal Models,
Legal Tissue and Translational Aspects: Fibrogenesis and Tissue
Repair. Biomed Central, 6:19.
Mera JR, Dickson B, Feldman M. Influence of gender on the ratio of serum
aspartate aminotransferase (AST) to alanine aminotransferase (ALT)
in patients with and without hyperbilirubinemia. Dig Dis Sci.
2008;53:799–802.
Mormone, E., J. George, N. Nieto. 2011. Molecular Pathogenesis of Hepatic
Fibrotic and Current Therapeutic Approaches. ELSEVIER Journal of
Chemico-Biological Interaction 193 : 225-231
Noer, M. R. 2007. Kandungan Tanin Terkondensasi dan Laju Dekomposisi pada
Serasah Daun Rhizospora mucronata lamk pada Ekosistem Tambak
Tumpangsari, Purwakarta, Jawa Barat. Skripsi. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
75
Oteiza, P.I., A.G. Erlejman, S.V. Verstraeten, C.L. Keen, and C.G. Fraga. 2005.
Flavonoid-membrane interactions : A protective role of flavonoids at
the membrane surface. Clin. & Dev. Immunol. 12(1): 19-25.
Pearce, E, Laureure. 2006. Anatomi dan Fisiologi Hewan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Pearce, E. C. 2012. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Peng, Y., X. Yang, Y. Zhang. 2005. Microbial Fibrinolytic Enzymes: An
Overview Of Source, Production, Properties, And Thrombolytic
Activity In Vivo. Microbiology Biotechnology 69 (2) : 126-132.
Poernomo, A., Isnaeni, Purwanto. 2015. Aktivitas Invitro Enzim Fibrinolitik
Fermentasi Rhizopus oligosporus ATCC 6010 Pada Substrat Kedelai
Hitam. Berkala Ilmiah Kimia Farmasi, Vol.4 No. 2 November 2015.
Potter dan Perry. 2006. Buku ajar fundamental keperawatan volume 2. Edisi 4.
Jakarta : EGC
Price, S. A. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume
1. Jakarta: EGC.
Purwoko, T. 2001. Biotransformasi Isoflavon oleh Rhizopus oryzae UICC 524
dan Rhisopus microsporus var. chinensis UICC 521 pada Fermentasi
Tempe dan Aktivitas Antioksidan Isoflavon Aglikon terhadap Oksidasi
Minyak Kedelai. [Tesis]. Depok: Universitas Indonesia.
Purwoko, T. 2004. Kandungan Isoflavon Aglikon pada Tempe Hasil Fermentasi
Rhizopus microsporus var. oligosporus: Pengaruh Perendaman.
BioSMART Vol. 6 (2): 85-85
Rahma, Heny.S. 2010. Karakterisasi Senyawa Bioaktif Isovlavon dan Uji
Aktivitas Antioksidan dari Sari Etanol Tempe Berbahan Baku Kedelai
Hitam (Glycine soja), Koro Hitam (Lablab purpureus. L.), dan Koro
Kratok (Phaseolus lunatus. L.) [Tesis]. Surakarta : Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
Ramos-Vara, J.A. 2005. Technical Aspects of Immunology. Vet Pathol, 42,
pp.405-26.
Ren M. Q., G. Kuhn, J. Wegner J. Chen. 2001. Isoflavones, Substance With
Multibiological And Clinical Properties. Eur J Nutr. 40:135-146.
Rockey, D. 2006. Hepatic Fibrosis and Cirrhosis. Hepatology 43: S113-S120.
76
Rukmana, S. K. dan Y. Yuniarsih. 1996. Kedelai, Budidaya Pasca Panen.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Salas, A. L., G. Ocampo, G. G. Farina, J. Reyes L. R. Fragoso. 2007. Genistein
Decreases Liver Fibrosis And Cholestasis Induced By Prolonged
Biliary Obstruction In The Rat. Annals of Hepatology, 6 (1), 41-47
Sari, W. 2013. Care your self : hepatitis. Jakarta : penebar plus, 12, 27-28.
Shaker CC, Girao MJ, Satori MG, Castro RA, Arruda RM, Simoes MJ,
dkk. Analysis of collagen in hepar . Int Dysfunct. 2011; 13(6):342–
5.
Sherwood, L. 2001. Human Physiology: From Cells To System 7th Edition.
Belmont: Brooks/Cole.
Sloane, Ethel. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta. EGC, 291.
Suckow, M.A., H. Steven, C. L. Frangklin. 2006. The Laboratory Rat Second
Edtion. A volume in American Coolege of Laboratory Animal
Medicine. Academic Press.
Sugimoto. 2007. The Fibrinolytic Activity Of A Novel Protease Derived From
Tempeh Producing Fungus, Fusarium Sp. BLB. Jurnal Biosci
Biotechnol Biochem Japan 71 (9): 2184-2189
Sulystiowati, I. 2004. Pengaruh Lama Perendaman Kedelai dan Jenis Zat
Penggumpal Terhadap Mutu Tahu. USU Digital Library. Universitas
Sumatra Utara.
Surya, R. 2011. Produksi Sari Tempe dalam Kaleng Sebagai Upaya Diversifikasi
Pangan Berbasis Tempe [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Tatukude, Patricia. 2014. Gambaran Histopatologi Hepar Mencit Swiss yang
diberi Air Rebusan Sarang Semut (Mymercodia pendans) Paska
Induksi dengan Carbon Tetracholorida (CCl4). Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi Manado.
Vattem, D. A and Shetty, K. 2003. Ellagic Acid Production And Phenolic
Antioxidant Activity In Cranberry Pomace (Vaccinium Macrocarpon)
Mediated By Lentinus Edodes Using A Solid-State System. Process
Biochemistry, 39(3), 367–379.
Williams, D.A., Center S., Nicola, D., and Poteet, B. 2005. Roundtable
Discussion: Diagnosing Liver Disease. IDEXX Laboratories.
77
Xu, B. J and S. K. S. Chang. 2007. A Comparative Study On Phenolic Profils
And Antioxidant Of Legums As Affected By Extraction Solvents. J.
Food Sci., 72(2):159-166.
Yusof, M. H., A. Norlaily, S. Keong, W. Yong, B. Kee, S. Peng, K. Long, S.
Abdul, N. Banu. 2013. Hepatoprotective Effect of Fermented Soybean
(Nutrient Enriched Soybean Tempeh) against Alcohol-Induced Liver
Damage in Mice. Evidence-Based Complementary and Alternative
Medicine Volume 2013
Zhen, G. 2003. The Toxicology of Carbon Tetrachloride. Free Radical and
Radiation Biology Program The University of Iowa. Iowa City.