PENGARUH N-ASETIL SISTEIN ORAL TERHADAP …/Pengaruh... · KRONIS STADIUM V YANG MENJALANI CAPD DI...
Transcript of PENGARUH N-ASETIL SISTEIN ORAL TERHADAP …/Pengaruh... · KRONIS STADIUM V YANG MENJALANI CAPD DI...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user i
PENGARUH N-ASETIL SISTEIN ORAL TERHADAP PENURUNAN
KADAR TNF-α DAN PROKALSITONIN PADA PASIEN PENYAKIT
GINJAL KRONIS STADIUM V YANG MENJALANI CAPD
DI RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
TESIS
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Mencapai Derajat Magister Kesehatan
Program Studi Magister Kedokteran Keluarga
Minat Utama Ilmu Biomedik
Oleh :
Sri Marwanta
S 500 708025
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ii
PENGARUH N-ASETIL SISTEIN ORAL TERHADAP PENURUNAN
KADAR TNF-α DAN PROKALSITONIN PADA PASIEN PENYAKIT
GINJAL KRONIS STADIUM V YANG MENJALANI CAPD
DI RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
TESIS
Oleh
Sri marwanta
S 500 708025
Komisi
Pembimbing Nama Tanda tangan Tanggal
Pembimbing I Dr. H.M Bambang Purwanto,dr. SpPD
KGH FINASIM
NIP. 194807191976091001
…………..
……….
Pembimbing II Prof. Dr. HA Guntur Hermawan,dr.
Sp.PD KPTI FINASIM
NIP. 19490506 19731010 001
…………..
……….
Telah dinyatakan memenuhi syarat
Pada tanggal,…September 2012
Ketua Program Studi
Magister Kedokteran Keluarga
Dr. Hari Wujoso, dr. Sp F, M.M
NIP.196210221995031001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user iii
PENGARUH N-ASETIL SISTEIN ORAL TERHADAP PENURUNAN
KADAR TNF-α DAN PROKALSITONIN PADA PASIEN PENYAKIT
GINJAL KRONIS STADIUM V YANG MENJALANI CAPD
DI RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
TESIS
Oleh
Sri marwanta
S 500 708025
Tim Penguji
Jabatan Nama Tanda Tangan
Ketua Dr. Hari Wujoso, dr. SpF, M.M
NIP. 196210221995031001
……………
Sekretaris Prof. Dr. Harsono Salimo, dr. SpA(K)
NIP. 19483131976101001
……………
Anggota Penguji 1. Dr. H.M Bambang Purwanto, dr.
SpPD KGH FINASIM
NIP. 194807191976091001
2. Prof. Dr. HA Guntur Hermawan,dr.
Sp.PD KPTI FINASIM
NIP. 19490506 19731010 001
……………
……………
Mengetahui,
Direktur Program Pasca sarjana Ketua Program studi Magister
Kedokteran Keluarga
Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS
NIP.196107171986011
Dr. Hari Wujoso, dr. SpF, M.M
NIP. 196210221995031001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user iv
PERNYATAAN
Nama : Sri Marwanta
NIM : S500708025
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul Pengaruh N- Asetil Sistein
Oral Terhadap Penurunan Kadar TNF-α dan Prokalsitonin Pada Pasien Penyakit
Ginjal Kronis Stadium V yang Menjalani CAPD di RSUD DR. Moewardi adalah
betul-betul karya sendiri. Hal hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut diberi
tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari
tesis tersebut.
Surakarta, September 2012
Yang membuat pernyataan
Sri Marwanta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user v
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillahirabbil’alamin penulis panjatkan ke hadirat Allah
SWT atas limpahan kasih sayang, rahmat dan hidayahNya sehingga penyusunanTesis
yang berjudul Pengaruh N- Asetil Sistein Oral Terhadap Penurunan Kadar TNF-α
dan Prokalsitonin Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis Stadium V yang Menjalani
CAPD di RSUD Dr. Moewardi Surakarta ini dapat terselesaikan. Penelitian ini untuk
Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Kesehatan Program
Studi Magister Kedokteran Keluarga (MKK) minat utama Ilmu Biomedik.
Pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih yang tulus dan
penghargaan yang tinggi kepada:
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan kemudahan penulis dalam melaksanakan
pendidikan Pasca Sarjana Program studi Magister Kedokteran Keluarga minat
utama Biomedik.
2. R. Basoeki Soetardjo drg. MMR sebagai Direktur RSUD Dr. Moewardi beserta
seluruh staf direksi yang telah berkenan dan mengijinkan menjalani pendidikan
PPDS interna.
3. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS sebagai Direktur Program Pasca Sarjana UNS
beserta staf atas kebijakannya yang telah mendukung dalam penulisan penelitian
tesis ini.
4. Dr. Hari Wujoso, dr. SpF, M.M sebagai Ketua Program Studi Magister
Kedokteran Keluarga yang telah memberikan dorongan dan arahan kepada
penulis untuk pelaksanaan dan penulisan tesis ini.
5. Prof. Dr. Harsono Salimo, dr. Sp.A (K) sebagai Sekretatis Program Studi
Magister Kedokteran Keluarga minat utama Ilmu Biomedik yang telah
memberikan dorongan kepada penulis untuk pelaksanaan dan penulisan
penelitian tesis ini.
6. Prof. Dr. H. Zainal Arifin Adnan, dr. SpPD KR, FINASIM selaku Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, yang telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user vi
memberikan kemudahan dan dukungan kepada penulis selama menjalani
pendidikan PPDS Ilmu Penyakit Dalam.
7. Prof. Dr. HA. Guntur Hermawan, dr. SpPD KPTI, FINASIM selaku Kepala
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNS/ RSUD Dr Moewardi dan sebagai
pembimbing II, yang telah memberikan ijin dan bimbingan sehingga tugas
penulisan tesis ini terwujud.
8. Dr. H.M. Bambang Purwanto, dr. SpPD KGH, FINASIM selaku Ketua Program
Studi PPDS I Interna dan sebagai pembimbing I, yang telah membimbing dan
memberikan pengarahan dalam penyusunan tesis ini, serta memberikan
kemudahan penulis dalam melaksanakan pendidikan PPDS I Ilmu Penyakit
Dalam.
9. Drs. Sumardi, MM selaku pembimbing statistik penelitian, yang dengan
kesabaran telah membimbing dan memberikan pengarahan dalam penyusunan
tesis.
10. Segenap dosen Program Magister Kedokteran Keluarga Universitas Sebelas
Maret Surakarta yang telah membekali ilmu pengetahuan yang sangat berarti
bagi peneliti.
11. Seluruh Staf Pengajar Ilmu Penyakit Dalam FK UNS/ RSUD Dr Moewardi
Surakarta. Prof. Dr. H A Guntur Hermawan dr. SpPD KPTI FINASIM, Prof. Dr.
Zainal Arifin Adnan, dr. SpPD KR FINASIM, Prof. Dr. Djoko Hardiman, dr.
SpPD KEMD FINASIM, Dr. Bambang Purwanto, dr. SpPD KGH FINASIM,
Suradi Maryono, dr. SpPD KHOM FINASIM, Sumarmi Soewoto dr. SpPD
KGER FINASIM, Tatar Sumandjar, dr. SpPD KPTI FINASIM, Tantoro
Harmono, dr. SpPD KGEH FINASIM, Trianta Yuli Pramana, dr. SpPD KGEH
FINASIM, P Kusnanto, dr. SpPD KGEH FINASIM, Dr. Sugiarto, dr. SpPD
FINASIM, Supriyanto Kartodarsono, dr. SpPD FINASIM, Supriyanto
Muktiatmojo, dr. SpPD FINASIM, Dhani Redhono, dr. SpPD KPTI FINASIM,
Wachid Putranto, dr. SpPD FINASIM, Arifin, dr. SpPD FINASIM, Fatichati
Budiningsih, dr. SpPD, Agung Susanto, dr. SpPD, Arief Nurudin, dr. SpPD,
Agus Joko Susanto, dr. SpPD dan Yulyani Werdiningsih, dr. SpPD yang telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user vii
memberi dorongan, bimbingan dan bantuan dalam segala bentuk sehingga
penulis bisa menyelesaikan penyusunan tesis.
12. Seluruh teman sejawat Residen Penyakit Dalam yang telah memberikan
dukungan dan bantuan kepada penulis baik dalam penelitian ini maupun selama
menjalani pendidikan.
13. Istri, anak-anak, serta orang tua dan mertua, saudara, ipar maupun keponakan
penulis yang telah memberikan dorongan baik moril maupun materil dalam
menjalani pendidikan di Pasca Sarjana maupun PPDS I Interna.
14. Keluarga besar Bapak Rochmadi yang ikut serta menjaga dan mendidik anak
anak selama ini.
15. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah
membantu penulis baik dalam menjalani pendidikan maupun dalam penelitian
ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan tesis ini masih
banyak terdapat kekurangan, untuk itu penyusun mohon maaf dan sangat
mengharapkan saran serta kritik yang membangun dalam rangka perbaikan penulisan
penelitian tesis ini.
Surakarta, September 2012
Penyusun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING............ ........................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI TESIS............................................ ......... iii
PERNYATAAN......... .............................................................................................. iv
KATA PENGANTAR....................................................... ...................................... v
DAFTAR ISI ........................................................ ................................................... viii
DAFTAR GAMBAR......... ...................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ........................................................ ........................................... xii
DAFTAR SINGKATAN ........................................................ ................................ xiii
ABSTRAK........................................................ ....................................................... xv
BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................... ............. 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................ ............ 3
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................. ............ 4
1.3.1. Tujuan umum ............................................................................ .................... 4
1.3.2. Tujuan khusus ........................................................................... .................... 4
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................... ............ 5
1.4.1. Manfaat teoritis ........................................................................ ..................... 5
1.4.2. Manfaat terapan ........................................................................ ..................... 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 6
2.1. Penyakit Ginjal Kronik .................................................................................... 6
2.2. Etiologi Penyakit Ginjal Kronis ....................................................................... 8
2.3. Pendekatan Diagnostik Penyakit Ginjal Kronis ................ ............................... 8
2.4. Uremia ........................... ................................................................................... 10
2.5. Program Terapi PGK......................................................................................... 12
2.6. Risiko Kardiovaskuler pada Penyakit Ginjal Kronis ........................................ 13
2.7. Inflamasi pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis ................................................ 16
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ix
2.8. Stres Oksidatif pada Penyakit Ginjal Kronis ...................................... ............ 17
2.9. Continous Ambulatory Perotoneal Dialysis Dialisis ( CAPD) ........................ 19
2.10. Faktor Terkait Dialisis Peritoneal yang Mempengaruhi Inflamasi ................. 28
2.11. Glutation .............................................................................................. ........... 29
2.12. N-Asetil Sistein (NAS) ........................................................................ .......... 31
2.13. Tumor Necrosis Factor Alpha ............................................................. ........... 43
2.14. Prokalsitonin ........................................................................................ .......... 45
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS .................................... 51
3.1. Kerangka Konseptual .......................................................................... ............. 51
3.2. Hipotesis Penelitian ............................................................................ .............. 54
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN .................................................................. 55
4.1. Jenis dan Rancangan Penelitian ...................................................................... . 55
4.1. Tempat Penelitian ............................................................................................. 55
4.3. Populasi Sampel .................................................................................. ............. 55
4.3.1. Populasi sasaran ........................................................................ .................... 55
4.3.2. Populasi sumber ........................................................................ .................... 55
4.3.3. Populasi sampel ......................................................................... .................... 55
4.4. Besar Sampel ....................................................................................... ............. 55
4.5. Identifikasi Variabel ............................................................................ ............. 57
4.5.1. Variabel tergantung ................................................................... .................... 57
4.5.2 . Variabel bebas ........................................................................... ................... 57
4.6. Definisi operasional .......................................................................................... 57
4.7. Waktu .......................................................................................................... 63
4.8. Biaya .................................................................................................... ........... 63
4.9. Cara Kerja ............................................................................................ ............ 64
4.10. Analisa Stastitik ................................................................................... .......... 66
4.11. Alur Penelitian ..................................................................................... .......... 67
BAB 5 HASIL PENELITIAN.................................... ............................................. 68
5.1. Proses Analisis Penelitian..................................................... ............................ 68
5.2. Deskripsi Karakteristik Demografis dan Klinis............................... ................ 70
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user x
5.3. Analis Pengaruh NAS oral terhadap kadar TNF-α dan PCT ............................ 76
BAB 6 PEMBAHASAN .......................................................................................... 89
6.1. Hasil Utama ....................................................................................................... 89
6.2. Keterbatasan Penelitian ..................................................................................... 95
BAB 7 KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ............................................ 96
7.1. Kesimpulan.. ..................................................................................................... 96
7.2. Implikasi.. .......................................................................................................... 96
7.3. Saran ....... .......................................................................................................... 96
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ ................. 97
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Algoritme Program Terapi PGK ......................................... ............ 12
Gambar 2.2. Faktor risiko aterosklerosis pada uremia ......................................... 14
Gambar 2.3. Menjelaskan pathogenesis PJV pada pasien PGK ......................... 15
Gambar 2.4. Representasi sederhana pembentukan superoksida dan hidrogen
peroksida ......................................................................................... 19
Gambar 2.5. Struktur molekul glutation .............................................................. 30
Gambar 2.6. Dalam kondisi normal, ROS dari dalam sel dibersihkan oleh
superoksida dismutase (SOD), katalase, atau glutathion (GSH)
peroksidase....................................................................................... 31
Gambar 2.7. Struktur molekul N-asetilsistein …………...................................... 33
Gambar 2.8. Dua langkah transfer elektron pada komplek II Q sitokrom c
oksidoreduktase ................................ ............................................... 34
Gambar 2.9. Metabolisme Sistein................................... ...................................... 35
Gambar 2.10. Reaksi redoks GSH................................. ......................................... 36
Gambar 2.11. Jalur terbentuknya sitokin proinflamasi...................................... ..... 44
Gambar 2.12. Jalur ekspresi sitokin dan inhibisi NFκB......................................... 45
Gambar 2.13. Struktur dari Prokalsitonin …………………..............………........ 49
Gambar 2.14. Jalur sintesa PCT............................................................. ................. 50
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian ........................................................... 53
Gambar 4.1. Diagram alur pemeriksaan TNF-α dan PCT .................................. 65
Gambar 4.2. Alur Penelitian . ............................................................................... 67
Gambar 5.1. Perubahan Kadar TNF-α Sebelum dan Sesudah Perlakuan pada
Kelompok Kontrol dan Perlakuan .................................................... 81
Gambar 5.2. Perubahan Kadar PCT Sebelum dan Sesudah Perlakuan pada
Kelompok Kontrol dan Perlakuan .................................................... 82
Gambar 5.3. Mean Delta TNF-α dan Delta PCT Sebelum dan Sesudah Perlakuan
pada Kelompok Kontrol dan Perlakuan ........................................... 86
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Kriteria PGK .................................................................................... 6
Tabel 2.2. Klasifikasi PGK atas dasar derajat penyakit ................................ ... 7
Tabel 2.3. Faktor risiko PGK ............................................................................ 13
Tabel 2.4. Susunan Cairan Dialisat ................................................................... 22
Tabel 2.5. Cairan dan Solut yang diambil saat CAPD............................. ......... 24
Tabel 5.1. Keluhan pasien setelah mendapatkan NAS oral dan Plasebo .......... 72
Tabel 5.2. Deskripsi dan Uji Homogenitas Variabel Karakteristik Demografis
dan Klinis Kuantitatif Subyek Penelitian ................................ ........ 74
Tabel 5.3. Deskripsi dan Uji Data Variabel Karakteristik Demografis dan Klinis
Kuanlitatif Subyek Penelitian : Jenis Kelamin ................................ 76
Tabel 5.4. Deskripsi dan Uji Normalitas Data Variabel utama kadar TNF-α dan
PCT berdasarkan kelompok penelitian sebelum dan sesudah
mendapatkan perlakuan. ................................................................... 77
Tabel 5.5. Perbedaan Kadar TNF-α dan PCT sebelum dan sesudah perberian
plasebo pada kelompok kontrol. ...................................................... 79
Tabel 5.6. Perbedaan Kadar TNF-α dan PCT sebelum dan sesudah pemberian
NAS oral pada kelompok perlakuan.................. .............................. 80
Tabel 5.7. Uji Mann Whitney beda 2 mean kadar TNF-α dan PCT berdasarkan
Kelompok Sampel Sebelum Mendapatkan Perlakuan ..................... 84
Tabel 5.8. Uji Mann Whitney beda 2 mean kadar TNF-α dan PCT berdasarkan
Kelompok Sampel Sesudah Mendapatkan Perlakuan ...................... 84
Tabel 5.9. Uji Beda 2 Mean Variabel Delta TNF-α dan Delta PCT Berdasarkan
Kelompok Penelitian ........................................................................ 85
Tabel 5.10. Korelasi Kadar TNF-α dan PCT sebelum dan sesudah mendapatkan
perlakuan untuk Semua Kelompok Penelitian ................................. 87
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xiii
DAFTAR SINGKATAN
ADMA : Asimetric Dimethylarginine
AGE : Advanced Glycosylation End Products
ATP : Adenosin Triposphate
cAMP : cyclic Adenosine Monophosphat
CAPD : Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
CCPD : Continous Cyclic Perotoneal dialysis
CRP : C- Reactive Protein
DP : Dialisis Peritoneal
EC : Endothelial Cell
ELFA : Enzyme Linked Fluorecence Assay
GSG-S : glutahione synthetase
GCS : Glutamylcysteine synthetase
GGT : Gagal Ginjal Terminal
GSHP : Glutathioneperoxidase
Hb : Hemoglobin
HD : Hemodialisis
Ht : Hematokrit
Hs-CRP : High sensitivity-C- Reactive Protein
ICAM - 1 : Inter Cellulare Adhession Molecule-1
IFN – γ : Interferon Gamma
IL - 1ß : Interleukin- 1ß
IL – 6 : Interleukin-6
IL – 8 : Interleukin – 8
IL-12 : Interleukin-12
IPD : Intermittent Peritoneal Dialysis
kDA : Kilo Dalton
LFA : Leucocyte Functioning Antigen
LFG : Laju Filtrasi Glomerulus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xiv
LT : Leukotrien
MCP - 1 : Monocyte Chemoattractant Protein
MPO : Myeloperoxidase
NAS : N-asetil sistein
NFκβ : Nuclear Factor Kappa Beta
NO : Nitrite Oxyde
OAPP : Oxidation Advance Protein Plasma
PAM : Peptidyl Amidating Mono-oxygenase
PBMC : Peripheral Blood Mononuclear Cell
PCT : Prokalsitonin
PG : Prostaglandin
PGI : Prostasiklin
PGE2 : Prostaglandin E2
PGES : Prostaglandin Synthase
PGK : Penyakit Ginjal Kronis
PJK : Penyakit Jantung Vaskuler
PKV : Penyakit Kardio Vaskuler
RCT : Randomized Contro l Trial
ROS : Reactive Oksigen Species
SAMe : S-Adenosyl Methionine
SOD : Superoxide Dismutase
TLR : Toll-like Receptor
TNF– α : Tumor Necrosis Factor – Alpha
TXA2 : Tromboxane A2
VEGF : Vascular Endothel Growth Factor
VICAM -1 : Vasculare Inter Cellulare Adhession Molecule-1
VSMC : Vascular Smooth Muscle Cell
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xv
Sri Marwanta. 2012. Pengaruh N- Asetil Sistein Oral Terhadap Penurunan Kadar
TNF-α dan Procalsitonin Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis Stadium V yang
Menjalani CAPD di RSUD DR. Moewardi. TESIS. Pembimbing I : Dr. H.M.
Bambang Purwanto, dr. SpPD KGH FINASIM, II : Prof. Dr. HA Guntur Hermawan,
dr. SpPD KPTI FINASIM. Program Studi Kedokteran Keluarga, Program
Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
ABSTRAK
Latar Belakang
Penanda inflamasi seperti Tumor Necrosis Factor – Alpha (TNF-α) dan C reactive
protein (CRP) meningkat seiring dengan penurunan fungsi ginjal menunjukkan
bahwa Penyakit Ginjal Kronis (PGK) merupakan proses inflamasi kronis. Faktor
terlibat dalam memicu proses inflamasi termasuk stres oksidatif. Proses inflamasi
juga memicu pembentukan reactive oxygen species (ROS). N-asetilsistein
merupakan senyawa yang mengandung tiol dengan efek antioksidan dan
antiinflamasi.
Tujuan Penelitian
Untuk membuktikan pengaruh NAS oral terhadap penurunan TNF-α dan PCT pada
pasien PGK stadium V yang menjalani CAPD, sehingga dapat menurunkan
morbiditas dan mortalitas pasien.
Metode Penelitian
Jenis penelitian experimental dengan Randomized Control Trial (RCT), melibatkan
34 pasien PGK dengan CAPD dan memenuhi criteria inklusi dan eksklusi. Terbagi
17 pasien sebagai kelompok control (Plasebo) dan 17 pasien sebagai kelompok NAS
oral. Dilakukan pemeriksaan data variabel – variabel penelitian sebelum dan sesudah
perlakuan. Analisa statistic dengan SPSS.15 for windows .
Hasil Penelitian
Pada kelompok Kontrol didapatkan selisih TNF-α post dan pre - 0,14 ± 0,80,
sedangkan pada kelompok NAS oral didapatkan selisih TNF-α post dan pre 0,56 ±
0,54, secara statistic bermakna dengan p=0,006.
Pada kelompok Kontrol didapatkan selisih PCT post dan pre - 0,095 ± 0,22
sedangkan pada kelompok NAS oral didapatkan selisih PCT post dan pre 0,50 ± 0,82
secara statistik bermakna dengan p<0,01. Korelasi Kadar TNF-α dan PCT sebelum
perlakuan p= 0,016 dan sesudah mendapatkan perlakuan p= 0,002 untuk semua
kelompok sampel.
Kesimpulan
NAS oral secara bermakna menurunkan kadar TNF-α dan PCT dibandingkan
kontrol, dan ada korelasi antara kadar TNF-α dengan PCT pada pasien PGK stadium
V yang menjalani CAPD.
Kata kunci : Penyakit Ginjal Kronis, Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis,
TNF-α, PCT, N- Asetil Sistein oral
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xvi
Sri Marwanta. 2012. Effect of oral N- Asetil Cystein to decreased the level of TNF-α
and Procalsitonin in stage V Chronic Kidney Disease patients with CAPD in Dr.
Moewardi Hospital Surakarta. DISSERTATION. Supervisor I : Dr. H.M. Bambang
Purwanto, dr. SpPD KGH FINASIM, II : Prof. Dr. HA Guntur Hermawan, dr. SpPD
KPTI FINASIM. Program Study of Medical Family, Post-graduate Program of
Sebelas Maret University Surakarta
ABSTRACT
Background Inflammatory markers such as Tumor Necrosis Factor - Alpha (TNF-α) and C
reactive protein (CRP) increases along with the decreased of renal function has
shown that chronic kidney disease (CKD) is a chronic inflammatory process. Many
factors involved in triggering inflammatory processes including oxidative stress.
Inflammatory process also triggers the formation of reactive oxygen species (ROS).
N-acetylcysteine is a compounds containing thiol with antioxidant and anti-
inflammatory effects.
Objectives To examine the effect of oral NAS in the decline of TNF-α and PCT in stage V CKD
patients with CAPD, so that decrease the morbidity and mortality of the patients
Methods Type of experimental research with Randomized Control Trial (RCT), involving 34
patients CKD with CAPD and complete inclusion and exclusion criteria. Divided 17
patients as a control group (Placebo) and 17 patients as a group of oral NAS.
Examined the Variable data- research variables before and after treatment. Statistical
analysis with SPSS.15 for windows.
Result In the control group obtained the difference in TNF-α post and pre - 0.14 ± 0.80,
whereas in group of oral NAS obtained the difference in TNF-α post and pre 0.56 ±
0.54, a statistically significant with p = 0.006. In the control group obtained the
difference in PCT post and pre - 0.095 ± 0.22, while in group oral NAS obtained the
difference in PCT post and pre 0.50 ± 0.82 was statistically significant with p<0,01.
Correlation levels between TNF-α and PCT before treatment p = 0.016 and after
getting treatment p = 0.002 for all sample groups.
Conclusion Oral NAC significantly decrease the levels of TNF-α and PCT compared with
controls, and there are correlation between levels of TNF-α with PCT in stage V
CKD patients with CAPD.
Keywords: Chronic Kidney Disease, Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis,
TNF-α, PCT, oral N-Acetyl Cystein
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peningkatan stres oksidatif dan inflamasi kronis pada pasien penyakit
ginjal kronis (PGK) dan dialisis telah banyak didokumentasikan (Oberg dkk.,
2004; Silverstein, 2009; Nanayakkara dan Gaillard, 2010; Fontanet dkk.,
2011). Kedua kondisi tersebut telah diketahui terkait dengan peningkatan
morbiditas maupun mortalitas akibat penyakit kardiovaskuler pada pasien
PGK dan dialisis melalui keterlibatannya dalam inisiasi dan progresi proses
aterogenesis (Fortes dkk, 2007; Silverstein, 2009 ; Nanayakkara dan Gaillard,
2010).
Penanda inflamasi seperti Tumor Necrosis Factor – Alpha (TNF-α)
dan C reactive protein (CRP) meningkat seiring dengan penurunan fungsi
ginjal menunjukkan bahwa PGK merupakan proses inflamasi kronis.
Beberapa faktor dapat terlibat dalam memicu proses inflamasi termasuk stres
oksidatif (Cachofeiro, 2008). Proses inflamasi sendiri juga dapat memicu
pembentukan reactive oxygen species (ROS) terutama melalui
myeloperoxidase (Himmelfarb dkk., 2005).
Akumulasi toksin uremia, sitokin proinflamasi, asymmetric
dimethylarginine, homocysteine, dan protein yang termodifikasi oleh glikasi
non-enzimatik terkait dengan inflamasi vaskuler, disfungsi endotel, dan
induksi stres oksidatif vaskuler. Penggunaan dialisis peritoneal sebagai salah
satu terapi pengganti ginjal menambah faktor yang menginduksi inflamasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
dan stres oksidatif seperti infeksi kronis dan faktor-faktor terkait cairan
dialisat (Fortes dkk., 2007).
Tumor Necrosis Factor – Alpha adalah suatu sitokin yang bersifat
pleiotropik yang mempunyai kemampuan besar terhadap efek proinflamasi
pada aterosklerosis. Keterlibatan TNF-α dalam patogenesis aterosklerosis
didukung oleh adanya plak aterosklerosis pada manusia. Selain itu, kadar
TNF-α dalam sirkulasi berhubungan dengan peningkatan risiko infark
miokardium yang berulang (Malaponte, 2002).
Akhir-akhir ini, prokalsitonin (PCT) telah dipertimbangkan sebagai
penanda yang berguna untuk evaluasi mikro-inflamasi dan biokompabilitas
membran dialisis pada pasien dialisis tanpa infeksi. Endotoksin dan sitokin
proinflamasi seperti TNF-α dan interleukin-1β (IL-1β) menginduksi ekspresi
PCT mRNA pada leukosit mononuklear manusia. Pasien tanpa infeksi pada
dialisis menunjukkan peningkatan sekresi PCT dari sel polimorfonuklear
dibandingkan kontrol sehat ( Akbulut, 2005; Conti dkk., 2005).
Pasien uremia, pada PGK ( penyakit ginjal kronis) terutama mereka
yang menjalani dialisis, berada pada risiko tinggi untuk mengalami kerusakan
akibat stres oksidatif (Alhamdani dan Mohamed-Saiel, 2005).
Ketidakseimbangan antara produksi ROS dan pertahanan antioksidan
menghasilkan kondisi stres oksidatif, yang dapat muncul baik dari defisiensi
antioksidan (seperti glutation, askorbat, atau α-tokoferol) atau peningkatan
pembentukan ROS seperti peroksinitrit (OONO-), asam hipoklorin (HOCL),
atau anion superoksida (Nanayakkara dan Gaillard, 2010).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Banyaknya data yang mendukung konsep bahwa peningkatan stres
oksidatif berkontribusi dalam komplikasi kardiovaskuler pada PGK, maka
dapat dihipotesiskan bahwa terapi antioksidan dapat bermanfaat dalam
menurunkan komplikasi kardiovaskuler. Dalam suatu penelitian random,
terapi pasien dialisis peritoneal dengan antioksidan N-asetil-L-sistein (NAS)
dapat menurunkan kejadian kardiovaskuler pada kelompok terapi
dibandingkan dengan plasebo. Di samping itu, NAS juga diketahui dapat
menurunkan penanda inflamasi pada sebuah penelitian terkontrol plasebo
(Nascimento dkk., 2010).
N-asetilsistein merupakan suatu senyawa yang mengandung tiol
dengan efek antioksidan dan antiinflamasi (Cuzzocrea dkk., 2001;
Nascimento dkk., 2010). Efek antioksidan NAS dapat terjadi secara langsung
melalui interaksi dengan ROS elektrofilik maupun sebagai prekusor glutation
(Dekhuijzen, 2004), suatu antioksidan vital yang melindungi sel dari stres
oksidatif yang diketahui menurun pada PGK (Santangelo dkk., 2004).
Dalam penelitian ini penulis ingin meneliti pengaruh suplementasi
NAS oral terhadap penanda inflamasi yaitu TNF-α dan prokalsitonin (PCT)
pada pasien PGK yang menjalani Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD).
B. Rumusan Masalah
1. Adakah pengaruh pemberian NAS oral terhadap penurunan kadar TNF-α
pada pasien PGK stadium V yang menjalani CAPD ?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
2. Adakah pengaruh pemberian NAS oral terhadap penurunan kadar PCT
pada pasien PGK stadium V yang menjalani CAPD ?
3. Adakah korelasi antara kadar TNF-α dengan PCT pada pasien PGK
stadium V yang menjalani CAPD ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh NAS oral
terhadap penurunan kadar TNF-α dan PCT pada pasien PGK stadium V
yang menjalani CAPD.
2. Tujuan khusus
a. Membuktikan adanya pengaruh NAS oral terhadap penurunan kadar
TNF-α pada pasien PGK stadium V yang menjalani CAPD.
b. Membuktikan adanya pengaruh NAS oral terhadap penurunan kadar
PCT pada pasien PGK stadium V yang menjalani CAPD.
c. Membuktikan adanya korelasi kadar TNF-α dengan PCT pada pasien
PGK stadium V yang menjalani CAPD.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Memberikan bukti empiris terhadap teori bahwa NAS oral
berpengaruh terhadap penurunan kadar TNF- α dan PCT, dan adanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
korelasi kadar TNF-α dengan PCT pada pasien PGK stadium V yang
menjalani CAPD.
2. Manfaat Terapan
a. Efek NAS oral terhadap penurunan proses inflamasi pada pasien PGK
stadium V yang menjalani CAPD.
b. Menurunkan angka kesakitan dan kematian pasien PGK stadium V
yang menjalani CAPD di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Ginjal Kronis
Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah suatu proses patofisiologis
dengan etiologi yang beragam yang dapat mengakibatkan penurunan fungsi
ginjal secara progresif dan pada umumnya akan berakhir dengan gagal ginjal.
Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang ireversibel, dimana pada suatu derajat sehingga
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, baik berupa dialisis atau
transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
Batasan PGK pada pedoman K/DOQI adalah kerusakan ginjal yang
terjadi selama atau lebih dari tiga bulan, berdasarkan kelainan patologik atau
petanda kerusakan ginjal seperti kelainan pada urinalisis. Selain itu, batasan
ini juga memperhatikan derajat fungsi ginjal atau laju filtrasi glomerulus
(LFG), seperti terlihat pada Tabel 2.1. (Suwitra, 2006).
Tabel 2.1. Kriteria PGK (Suwitra, 2006).
Kriteria PGK
1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan,
berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi :
Kelainan patologis
Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam
komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam test pencitraan
(imaging test)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2
selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Klasifikasi stadium pada individu dengan PGK ditentukan oleh nilai
laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju
filtrasi glomerulus yang lebih rendah (Tabel 2.2.) (Suwitra, 2006).
Tabel 2.2. Klasifikasi PGK atas dasar derajat penyakit dan rencana
penatalaksanaannya (Suwitra, 2006).
Derajat Penjelasan LFG Rencana tatalaksana
1
Kerusakan ginjal
dengan LFG normal
atau meningkat
≥ 90
Terapi penyakit dasar,
kondisi komorbid, evaluasi
pemburukan (progresi)
fungsi ginjal, memperkecil
risiko kardiovaskuler
2
Kerusakan ginjal
dengan LFG turun
ringan
60 – 89
Menghambat pemburukan
(progresi) fungsi ginjal
3
Kerusakan ginjal
dengan LFG turun
sedang
30 – 59
Evaluasi dan terapi
komplikasi
4
Kerusakan ginjal
dengan LFG turun
berat
15 – 29
Persiapan untuk terapi
pengganti ginjal
5
Gagal ginjal < 15 /
dialisa
Terapi pengganti ginjal
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG, yang
dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut
(Suwitra, 2006) :
LFG (60 ml/menit/1,73m2) =
*) pada perempuan dikalikan 0,85
72 x kreatinin
plasma(mg/dl)
(140-umur) x berat
badan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
B. Etiologi Penyakit Ginjal Kronis
Beberapa etiologi PGK yang sering kita jumpai, diantaranya adalah :
glomerulonefritis baik primer maupun sekunder, penyakit ginjal herediter,
hipertensi esensial, uropati obstruktif, infeksi saluran kemih dan ginjal
(pielonefritis), nefritis interstisial (Sukandar, 2006).
C. Pendekatan Diagnostik Penyakit Ginjal Kronis
1. Gambaran klinis
Gambaran klinis pasien PGK meliputi (Suwitra, 2006):
a. Sesuai penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi
traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurisemia,
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) dan lain sebagainya.
b. Sindroma uremia, terdiri dari : lemah, letargia, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload),
neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang
sampai koma.
c. Gejala komplikasi : hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit.
Uremia adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan kadar
nitrogen urea dalam serum (azotemia) yang terjadi pada pasien gagal
ginjal. Gejala uremia muncul ketika LFG turun sampai kurang lebih 20%
dari normal. Uremia pada pasien PGK yang menjalani dialisis, diduga
menyebabkan peningkatan kadar sitokin, disamping itu proses dialisis itu
sendiri turut memberikan kontribusi terhadap peningkatan sekresi sitokin.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Tetapi dengan dialisis yang rutin dan jangka panjang akan terjadi
penurunan jumlah sitokin secara bermakna bila dibanding dengan pasien
PGK yang hanya diterapi konservatif (Malaponte, 2002; Sukandar, 2006).
2. Gambaran laboratoris
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi (Suwitra, 2006):
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya. Penurunan fungsi ginjal
berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, penurunan LFG
yang dihitung menggunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin
serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi
ginjal.
b. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia,
hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis
metabolik.
c. Kelainan urinalisis meliputi, proteinuria, hematuria, leukosuria, cast,
dan isostenuria.
3. Gambaran radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronis meliputi (Suwitra, 2006):
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.
b. Pielografi intra-vena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak
bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi.
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, kalsifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada
indikasi.
4. Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien
dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, di mana diagnosis
secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini
bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan
mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi-
kontra dilakukan pada keadaan di mana ukuran ginjal yang sudah
mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak
terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas,
dan obesitas (Suwitra, 2006).
D. Uremia
Uremia adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan kadar
nitrogen urea dalam serum (azotemia) yang terjadi pada pasien gagal ginjal.
Gejala uremia muncul ketika LFG turun sampai kurang lebih 20% dari
normal. Uremia juga merupakan suatu tanda proinflamasi kronik seperti C-
Reactive Protein (CRP) dan meningkatnya kadar sitokin proinflamasi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
berhubungan dengan peningkatan angka kematian. Sitokin ini serta
rangsangan inflamasi diduga mempunyai peran yang penting terhadap
progresifitas terjadinya proses aterosklerosis (Nolan, 2005). Sampai saat ini
donor ginjal masih sedikit, sehingga terapi uremia didominasi oleh dialisis
(Sukandar, 2006; Meyer dan Hostetter, 2007).
Pasien yang menjalani dialisis, mikroinflamasi menjadi proses
predisposisi dari cepatnya proses aterosklerosis dan komplikasi Penyakit
Jantung Vaskuler (PJV). Mikroinflamasi ini akan meningkatkan proses
aterosklerosis pada pasien yang menjalani dialisis kronik serta berhubungan
dengan suatu keadaan inflamasi dan kalsifikasi arteri koroner (Kras’niak dkk.,
2007).
Saat ini dapat dipahami bahwa ada hubungan antara milieu uremia
yang merupakan suatu keadaan inflamasi ringan berjalan kronik. Dari
beberapa data menunjukkan bahwa fungsi ginjal memegang peranan yang
penting pada proses inflamasi, serta fungsi ginjal yang menurun ini
berhubungan dengan meningkatnya respon inflamasi (Suliman dan Stenvikel,
2008).
Uremia pada pasien PGK yang menjalani dialisis, diduga
menyebabkan peningkatan kadar sitokin, disamping itu proses dialisis itu
sendiri turut memberikan kontribusi terhadap peningkatan sekresi sitokin.
Dalam hal ini, membran dialisis (peritoneum) dapat merangsang
meningkatnya pelepasan sitokin saat kontak dengan cairan dialisat. Tetapi
dengan dialisis yang rutin dan jangka panjang akan terjadi penurunan jumlah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
sitokin secara bermakna bila dibanding dengan pasien PGK yang hanya
diterapi konservatif (Malaponte, 2002; Sukandar, 2006).
E. Program Terapi PGK
Pada pasien PGK, kematian tersering diakibatkan oleh penyakit jantung
vaskuler dengan mortalitas antara 40% hingga 50% jika disertai gangguan
serebrovaskuler pada pasien yang dilakukan dialisis reguler (Amaresan, 2005;
Sukandar, 2006).
Perubahan - perubahan faal ginjal /LFG, bersifat individual untuk setiap
pasien gagal ginjal kronis, lama terapi konservatif bervariasi, dari bulan sampai
tahun. Pada gambar 2.1., akan terungkap algoritme program terapi PGK
(Sukandar, 2006).
Gambar 2.1. Algoritme Program Terapi PGK (Sukandar, 2006).
PGK
KK
KK
Penyakit Ginjal Terminal
Dialisis Hemodialisa
CAPD
Meninggal
Transplantasi
Gagal
Berhasil
Dialisis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Sebelum dilakukan dialisis pada pasien dengan uremia, telah terjadi
inflamasi kronis. Uremia yang berkaitan dengan inflamasi, menjadi penentu yang
menjelaskan tetap tingginya kematian akibat penyakit jantung vaskuler pada
PGK. Aterosklerosis merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pasien PGK (Papagiani dkk.,2003 ; Massy dkk., 2005).
Tiga faktor penting yang berperan pada kerusakan vaskuler pada PGK
yaitu :
Tabel 2.3. Faktor risiko PGK.
Faktor risiko
1. Faktor risiko klasik (framingham)
- Hipertensi
- Dislipidemia
- Merokok
- Diabetes melitus
2. Kelainanan yang terjadi pada PGK
- Uremia
- Sekunder hiperparatiroid
- Paparan pada bioinkompabilitas membran dialisis
- Cairan dialisat tidak steril
3. Lain-lain
- Hiperhomosisteinemia
- Aktifitas simpatik meningkat
- Akumulasi inhibisi endogen : NO, ADMA (Asimetric Di Metil Arginin)
(Tripepi, Zoccali dan Mallamaci, 2003)
F. Risiko Kardiovaskuler pada Penyakit Ginjal Kronis
Pasien PGK memiliki risiko tradisional dan non tradisional yang besar
untuk penyakit jantung vaskuler (PJV), tetapi mekanisme spesifik yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
memediasi meningkatnya PJV belum diketahui secara pasti. Proses utama
penyebab aterosklerosis telah memasukkan inflamasi sebagai faktor yang
memperberat aterosklerosis (Stinghen dan Pecoits-Filho, 2007).
Pasien dengan hiperuremia kronis yang disebabkan baik oleh faktor-faktor
renal maupun non renal, faktor-faktor risiko penyakit jantung dan aterosklerosis
saling mempengaruhi sebagai komorbiditas, seperti terlihat pada Gambar 2.2
(Santoro dan Mancini, 2002).
Gambar 2.2. Faktor risiko aterosklerosis pada uremia (Santoro dan Mancini,
2002).
Sedangkan Gambar 2.3. menjelaskan bahwa PGK menstimulasi akumulasi
toksin ureum, produksi ROS serta gangguan metabolisme mineral. Akibatnya,
akan menstimulasi sitokin pro inflamasi sistemik seperti TNF-α dan IL-1
merangsang pembentukan CRP dan fibrinogen serta respon vaskuler (MCP-1, IL-
1β, ICAM-1 dan VCAM-1), yang nantinya akan menyebabkan stimulasi disfungsi
KLASIK
Hipertensi
Hiperlipidemia
Diabetes
Merokok
TERKAIT-UREMIA
↑ LDL teroksidasi
Radikal bebas
Hiperhomosisteinemia
Infeksi: herpes, klamidia
Asidosis
Toksin
TERKAIT-DIALISIS
Bioinkompatibilitas
Infeksi
Endotoksin
DISFUNGSI
ENDOTEL
PELEPASAN SITOKIN
PROINFLAMASI
PROTEIN REAKTAN FASE AKUT
↑(CPR, SAA, FIBRINOGEN)
↓
RESPON INFLAMASI SISTEMIK
↓
PERCEPATAN ATEROSKLEROSIS
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
endotel, memudahkan terjadinya pembentukan plak dan proses terjadinya
aterosklerosis (Stinghen dan Pecoits-Filho, 2007).
Gambar 2.3. Menjelaskan pathogenesis PJV pada pasien PGK (Stinghen dan
Pecoits-Filho, 2007).
Selama berlangsungnya PGK akumulasi ureum akan meningkatkan
toksiksitas ureum yang dapat dihubungkan dengan meningkatnya perburukan
PJV. Toksin ureum terdiri dari kelompok zat yang heterogen seperti zat organik
dan peptida yang pada kondisi normal diekskresikan lewat ginjal yang sehat dan
ditahan jika didapatkan gangguan fungsi ginjal. Secara teori pada PGK toksin
ureum dapat menyebabkan perubahan fenotip sel-sel endotel dimana lebih mudah
mensintesa dan mengekspresikan molekul adesi seperti: Vasculer Adhesion
Molecule -1 (VCAM-1), Intercelluler Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
kemokin seperti monocyte chemoattractant protein - 1 (MCP - 1) dan interleukin-
8 (IL-8) (Stinghen dan Pecoits-Filho,2007).
Penderita PGK dengan uremia terjadi peningkatan kadar atau sintesa IL-
1β dan TNF-α. IL-1β akan merangsang endotel mengekspresikan ICAM-1.
ICAM-1 akan berikatan dengan Leucocyte Functioning Antigen (LFA) sehingga
monosit akan terikat pada permukaan endotel dan dimasukan ke subendotel (per-
diapedesis) akibatnya monosit berubah menjadi makrofag. Makrofag akan
memakan LDL (vLDL dan LDL yang telah diopsonifikasi oleh ROS), sehingga
makrofag terus memakan LDL dan vLDL tersebut menjadi foam cell. Foam cell
akan mengekspresikan growth factor dan sitokin yang lain sehingga membentuk
plak aterosklerosis (Guntur, 2001; Purwanto, 2008).
G. Inflamasi pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis
Inflamasi kronis terdapat pada penyakit ginjal kronis tanpa adanya infeksi
akut atau penyakit sistemik aktif. Telah dibuktikan bahwa peningkatan CRP
serum terdapat pada 30-60% pasien dialisis dan berkorelasi dengan prevalensi
penyakit kardiovaskuler (PJV) yang tinggi pada populasi tersebut. Hal tersebut
tidak terbatas pada pasien dengan PGK tahap akhir yang telah menjalani dialisis,
bahkan pasien dengan gangguan fungsi ginjal yang ringan menunjukkan tanda-
tanda mikro-inflamasi (Sarnak, 2003). Tampaknya bahwa peningkatan klirens
sitokin proinflamasi yang bersirkulasi, endotoksemia akibat volume overload, dan
stres oksidatif berkontribusi pada fenomena tersebut. Saat dialisis diperlukan,
faktor tambahan juga perlu dipertimbangkan (Alscher dan Thomas, 2005).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Faktor terkait metode dialisis yang berkontribusi terhadap inflamasi antara
lain penggunaan cairan yang bioincompatible dan episode infeksi terkait dialisis
peritoneal, yang dapat berakibat pada peningkatan sitokin proinflamasi(Alscher
dan Thomas, 2005).
H. Stres Oksidatif pada Penyakit Ginjal Kronis
Ketidakseimbangan antara produksi ROS dan pertahanan antioksidan
menghasilkan kondisi stres oksidatif, yang dapat muncul baik dari defisiensi
antioksidan (seperti glutation, askorbat, atau α-tokoferol) atau peningkatan
pembentukan ROS seperti peroksinitrit (OONO-), asam hipoklorin (HOCL), atau
anion superoksida (Nanayakkara, 2010; Sigma, 2011). Oksidasi low-density
lipoprotein (ox-LDL) diyakini sebagai langkah kunci dalam inisiasi
aterosklerosis. Sehingga, stres oksidatif juga diyakini sebagai salah satu
mekanisme peningkatan risiko kardiovaskuler pada PGK (Himmelfarb dkk.,
2002).
Ketersediaan NO pada disfungsi ginjal telah terganggu oleh peningkatan
kadar ADMA. Angiotensin II (Ang II) menstimulasi pembentukan ROS
intraseluler seperti anion superoksida dan hidrogen peroksida. Ang II
mengaktifkan beberapa subunit NADPH oksidase dan juga meningkatkan
pembentukan ROS di dalam mitokondria. Peningkatan O2-, yang dibentuk oleh
NADPH oksidase dan xanthin oxidase yang akan menurunkan ketersediaan NO,
menginduksi disfungsi sel endotel dan sel otot polos vaskuler. Superoksida juga
bereaksi dengan NO untuk membentuk peroksinitrit ONOO- yang merusak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
jaringan dan menginduksi disfungsi mitokondria (Oikawa, 2005; Nanayakkara
dan Gaillard, 2010).
Superoksida dismutase (SOD) mengubah superoksida menjadi H2O2 yang
dapat memasuki sel dengan mudah. Oksidan hidrogen peroksida (H2O2) yang
kurang reaktif kemudian direduksi menjadi air dan oksigen oleh katalase dan
glutation peroksidase. Sistem glutation sangat penting untuk perlindungan
melawan stres oksidatif. Selain itu, H2O2 dapat dikonversi menjadi radikal
hidroksil (OH--), ROS yang paling reaktif dan toksik, melalui reaksi Harber-Weiss
atau Fenton. Dengan adanya myeloperoxidase (MPO) dari neutrofil, H2O2
membentuk oksidan tambahan (Gambar 2.4.) (Nanayakkara dan Gaillard, 2010).
Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa PGK menginduksi kondisi
stres oksidatif yang dapat dideteksi jauh sebelum menjalani terapi dialisis dan
memburuk seiring dengan progresi gagal ginjal. Stres oksidatif pada PGK dengan
CAPD dapat terjadi melalui mekanisme berikut: (1) Aktivasi komplemen saat
membran peritoneum kontak dengan cairan dialisat, memicu aktifasi fagosit
neutrofil polimorfonuklear dan monosit. (2) Stimulasi pelepasan NADPH -
oksidase fagosit menyebabkan reduksi molekul oksigen pada anion superoksida,
yang setelah aksi superoksida dismutase, meningkatkan hidrogen peroksida dan
kaskade ROS. (3) Myeloperoxidase yang dilepaskan dari degranulasi neutrofil
memicu pembentukan oksidasi klorinasi jangka panjang melalui reaksi katalisasi
antara hidrogen peroksida dan klorida, dan (4) Sitokin pro-inflamasi yang
dilepaskan oleh monosit juga berkontribusi memperkuat pelepasan ROS
(Santangelo dkk., 2004).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Gambar 2.4. Representasi sederhana pembentukan superoksida dan hidrogen
peroksida. ADMA = asymmetric dimethylarginine; ROS = reactive
oxigen species; SOD = superoxide dismutase; EC = endothelial
cell; VSMC = vascular smooth muscle cell; GSHP =
glutathioneperoxidase; MPO = myeloperoxidase; NF-kB = nuclear
factor kB; AGE = advanced glycosylation end products
(Nanayakkara dan Gaillard, 2010).
I. Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis ( CAPD )
Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) adalah salah satu
bentuk Dialisis Peritoneal (DP) kronis untuk pasien dengan gagal ginjal
terminal (GGT). GGT adalah merupakan stadium akhir PGK saat pasien
sudah tidak dapat lagi dipertahankan secara konservatif dan memerlukan
terapi pengganti (renal replacement terapi). Terapi pengganti dapat berupa
dialisis kronis atau transplantasi ginjal. Dialisis kronik dapat berupa
Hemodialisis (HD) dan DP. Dialisis Peritoneal dapat berupa (Sukandar,
2006; Parsudi dan Roesli, 2009) :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
a. Intermittent Peritoneal Dialysis (IPD). IPD dilakukan 3-4 kali perminggu
dan setiap kali dialysis selama 8-14 jam. Jadi pada prinsipnya sama seperti
HD kronis hanya waktu yang diperlukan setiap kali dialisis lebih lama
karena efisiensinya jauh dibawah HD.
b. Continous Cyclic Perotoneal dialysis (CCPD). CCPD dilakukan tiap hari
dan dilakukan waktu malam hari, penggantian cairan dialisis sebanyak 3-4
kali. Cairan dialisis terakhir dibiarkan dalam kavum peritoneum selama
12-14 jam. Pada waktu malam cairan dialisis dibiarkan dalam kavum
peritoneum selama 21/2- 3 jam.
c. Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). CAPD dilakukan 3-5
kali per hari, tujuh hari perminggu dengan setiap kali cairan dialisis dalam
kavum peritoneum (dwell-time) lebih dari empat jam. Pada umumnya
dwell time pada waktu siang 4-6 jam, sedangkan waktu malam delapan
jam. CAPD memberikan klirens ureum sama dengan yang dicapai HD 15
jam per minggu, namun klirens solute dengan Berat Molekul antara 1.000-
5.000 Dalton ( middle molecule) 4-8 kali lebih besar dari HD. Middle
molecule dianggap sebagai bahan toksin uremia. CAPD terbukti dapat
mengendalikan keluh kesah dan gejala uremia dengan baik, namun
penurunan konsentrasi toksin metabolik uremia tidak cepat, sehingga
CAPD sebaiknya dimulai setelah dicapai pengendalian adekuat intoksikasi
metabolik akut dengan teknik dialisis lain yang lebih efisien (HD atau
IPD).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Saat ini CAPD dianggap sebagai salah satu bentuk dialisis yang sudah
mantap dan merupakan dialisis pilihan bagi pasien yang amat muda, usia
lanjut dan penyandang diabetes mellitus. Sisanya pemilihan antara CAPD dan
HD tergantung dari fasilitas dialisis, kecocokan serta pilihan pasien.
Kesederhanaan, keamanan dan kenyamanan hidup tanpa mesin, keadaan klinis
yang baik, kebebasan pasien merupakan daya tarik CAPD bagi dokter maupun
pasien (Sukandar, 2006; Parsudi dan Roesli, 2009) .
Problem utama sampai saat ini yang masih memerlukan perhatian
adalah komplikasi peritonitis, meskipun saat ini dengan kemajuan teknologi
angka kejadian peritonitis sudah dapat ditekan sekecil mungkin. Pasien
survival CAPD 1-5 tahun berturut – turut 99%, 77%, 67%, 60% dan 42%,
sedangkan teknikal survival berturut – turut 77%, 58%, 46%, 40% dan 21 %
(Suwitra, 2006; Parsudi dan Roesli, 2009).
1. Prosedur CAPD dan Dialisat
Prosedur CAPD adalah suatu teknik dialisis konik dengan efisiensi
rendah sehingga bila tidak dilakukan 24 jam per hari dan tujuh hari
perminggu tidak adekuat untuk mempertahankan pasien GGK stadium
akhir. Kebanyakan pasien memerlukan rata-rata empat kali pergantian per
hari. Saat pergantian disesuaikan dengan waktu yang paling enak bagi
pasien dengan syarat dwell time tidak boleh kurang dari 4 jam karena
dalam waktu empat jam baru akan terjadi keseimbangan kadar ureum
antara plasma darah dan cairan dialisat. Ultrafiltrasi diperlukan untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
mengeluarkan cairan dari badan dan dapat dicapai dengan cairan dialisat
hipertonik. Ultrafiltrasi sebanyak 2.000 ml dapat dicapai dengan dua kali
pergantian dengan cairan dialisat 4,25%. Bila ultrafiltrasi kita lakukan
terlalu cepat dapat terjadi kram, mual, muntah dan hipotensi ortostatik
(Sukandar, 2006; Parsudi dan Roesli, 2009).
2. Cairan Dialisat
Cairan dialisat yang ada pada saat ini di Indonesia terdiri atas tiga
macam cairan yaitu dengan kadar dekstrosa 1,5 %, 2,5% dan 4,25% dalam
kantong plastik dua liter. Susunan cairan dialisat sama dengan susunan
elektrolit plasma darah normal tanpa kalium dengan osmolalitas lebih
tinggi dari plasma (osmolalitas plasma 280 mOsm/L) dan ditambah
laktat(Tabel 2.4.). Bila pasien normokalemia atau hipokalemia, perlu
penambahan Kcl sampai konsentrasi 4 mEq/L untuk mencegah
hipokalemia berat. Heparin perlu ditambahkan bila ada peritonitis atau
cairan dialisat mengandung fibrin atau protein terlalu banyak untuk
mencegah tersumbatnya kateter dengan dosis 1.000-2.000 USP unit per
liter cairan dialisat (Suwitra, 2006; Parsudi dan Roesli, 2009).
Tabel 2.4. Susunan Cairan Dialisat ( Travenol)
Konsentrasi
Dekstrosa
Osmolalitas
(mOsM/L)
PH Na Ca Mg Cl Laktat
1,5%
2,5%
4,25%
347
398
486
5,5
5,5
5,5
132
132
132
3,5
3,5
3,5
1,5
1,5
1,5
102
102
102
35
35
35
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
3. Kontraindikasi CAPD
Kontraindikasi CAPD adalah penyakit diskus lumbalis, hernia pada
dinding abdomen ( perlu perbaikan dulu) dan pasien yang tidak bisa
bekerjasama. Hati hati melakukan CAPD bila ada perlengketan yang luas,
distensi usus, kelainan abdomen yang belum terdiagnosis dan luka bakar
(Parsudi dan Roesli, 2009).
4. Hasil Pengendalian CAPD (Sukandar, 2006; Parsudi dan Roesli, 2009).
a. BUN dan Kreatinin. Pasien dengan klirens kreatinin 2-5 cc/menit
dengan CAPD selama 2-3 minggu, BUN=50+5 mg% dan kreatinin
plasma kurang dari 12 mg%. CAPD mempertahankan kedua parameter
tersebut lebih rendah dari pada IPD.
b. Air, Elektrolit dan Bikarbonat.
Air dan Natrium. Ultrafiltrasi sebanyak dua liter per hari dapat dicapai
dengan menggunakan 3 kali pergantian dengan dekstrose 1,5% dan
dua kali pergantian dengan deksrose 4,25%. Setiap hari dapat
dikeluarkan 3-4 gram Natrium sehingga keseimbangan Na dapat
dicapai dengan mudah. Kebanyakan pasien dengan CAPD tidak
membutuhkan pembatasan air dan garam. Elektrolit dengan cepat
mencapai normal dan sesudah dua minggu CAPD dicapai kadar
Na=138 mEq, cl+ 100 mEq/L, K= 4,1 mEq/L dan HCO3= 25mEq/L.
Pada beberapa pasien terjadi hipokalemia ringan dan memerlukan
penambahan kalium peroral. Pengambilan solute tergantung dari
konsentrasi dekstrosa dalam cairan dialisat. Kenaikan pengambilan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
solute oleh cairan hipertonik tidak hanya karena volume yang
dikeluarkan lebih banyak tetapi juga oleh pengaruh solvent drag (Tabel
2.5.). Meskipun relative hanya sedikit kalium yang diambil waktu
CAPD (18 mEq/L) perhari, sedangkan pasien tanpa pembatasan
pemasukan kalium (50-80 mEq/L) per hari, kadar kalium plasma darah
tetap normal. Hal ini diduga karena kenaikan ekskresi kalium melalui
tinja. Kalium menunjukkan balans positif dan setelah enam bulan
dengan CAPD terlihat menurunnya hormon paratiroid. CAPD tidak
dapat mengeluarkan fosfat yang ada dalam makanan sehingga masih
memerlukan obat pengikat fosfat dengan dosis kecil. Bikarbonat
dengan konsentrasi laktat dalam cairan dialisat 35 mEq/L akan
menyebabkan serum bikarbonat naik dari rata-rata 18 mEq/L menjadi
22,23 mEq/L (Sukandar, 2006; Parsudi dan Roesli, 2009).
Tabel 2.5. Cairan dan Solut yang Diambil pada saat CAPD
Per kantong
Per hari Dekstrosa 0,5% 1,5% 4,25%
Air (mL)
Natrium (mEq)
Kalium (mEq)
Kreatinin (mg)
Protein (g)
Calsium (mg)
Fosfor (mg)
Magnesium (mg)
734
129
20
803
7,1
23
313
37
+158
+13
7
164
2,2
5
67
3
92
16
7
190
1,7
1
75
8
819
94
8
270
1,8
35
107
21
c. Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht).
Selama kurang lebih tiga bulan setelah CAPD terjadi kenaikan Hb dan
ini akan terus naik sampai mencapai nilai tertentu setelah bulan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
kesepuluh dan akhirnya diikuti penurunan dan pada umumnya stabil
pada kadar 8 g/dl. Ini disebabkan kemungkinan karena pengambilan
bahan toksik metabolic sehingga memungkinkan sumsum tulang
bereaksi terhadap kenaikan eritropoietin yang biasa terjadi pada pasien
uremia dan ini akan memyebabkan kenaikan Hb dan Ht. Akan tetapi
stelah Hb naik pacuan pada sistim eritropoietin menurun dan bila
perbandingan antara eritropoietin dan zat toksik metabolik kembali ke
nilai semula, Hb dan Ht akan kembali turun.
d. Protein plasma dan hilangnya protein. Serum protein pada umumnya
stabil pada nilai rendah normal dengan kadar albumin rata-rata 3,5 +-
0,8 mg%. Ini disebabkan karena hilangnya protein melalui membran
peritoneum selama CAPD dan 75% dari protein yang hilang adalah
albumin. Disamping protein (5-15 per hari) pasien CAPD juga akan
kehilangan asam amino sebanyak 2-3 gram per hari. Kehilangan
protein tergantung antara lain dari kadar dekstrosa cairan dialisat dan
pernah tidaknya menderita peritonitis sebelumnya.
e. Glukosa darah. Glukosa darah yang masuk ke dalam plasma selama
CAPD antara 150-200 g dan ini lebih kecil dari pada IPD. Pada pasien
tanpa DM pada umumnya tidak menyebabkan hiperglikemia.
Banyaknya glukosa yang masuk daalam darah ini yang sering
dikaitkan dengan terjadinya kenaikan berat badan dan kolesterol serta
trigliserida darah. Pada penyandang DM kadar glukosa darah dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
dikendalikan dengan pemberian insulin intraperitoneal atau kombinasi
intraperitoneal dan subkutan.
f. Kolesteral dan Trigliserida pasien dengan CAPD menunjukkan
kenaikan kedua parameter tersebut dan diduga berkaitan dengan
penyerapan glukosa ke dalam plasma. Dianjurkan sedapat mungkin
tidak menggunakan cairan dialisat hipertonik.
g. Tekanan Darah. Pengendalian edema akan berhubungan dengan
penurunan tekanan darah dan ini terjadi bila digunakan cairan dialisat
hipertonik.
5. Efek Psikososial pasien dengan CAPD
Keuntungan yang paling utama pasien GGK stadium akhir dengan
CAPD adalah hidup tanpa mesin yang memberikan kebebasan yang lebih
dari pada terapi lain. Kesederhanan, keamanan, hidup tanpa mesin,
perasaan nyaman, keadaan klinis yang baik, kebebasan, pasien biaya yang
relative murah merupakan daya tarik CAPD baik bagi dokter maupun
pasien (Sukandar, 2006: Parsudi dan Roesli, 2009).
Rehabilitasi pasien dengan CAPD sama saja dengan pasien dengan
teknik lain. Telah dilaporkan beberapa perubahan fisik kearah perbaikan
antara lain menstruasi dapat teratur, nafsu seks kembali, gatal-gatal
menghilang, tumbuhnya rambut pada ketiak dan dada, perubahan warna
dan kekeringan kulit dan lain sebagainya. Pada pasien dengan umur
dibawah 50 tahun terjadi penurunan aktivitas seks mungkin karena
penyakit kroniknya(Suwitra, 2006; Parsudi dan Roesli, 2009).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
6. Diet Pasien dengan CAPD
Tidak ada pembatasan ketat yang harus dilakukan terhadap pasien
dengan CAPD namun perlu ditekankan pentingnya pengertian
keseimbangan antara intake dan output, keseimbangan cairan dan
elektrolit dan pengambilan produk metabolik oleh dialisis. Untuk
menghindari keseimbangan nitrogen negatif, diet dianjurkan dengan
protein tinggi (minimal 1,2 gram/kgBB/hari) dan energi tinggi.
Keseimbangan negatif pada pasien CAPD disebabkan karena hilangnya
protein (6-8g/hari) dan asupan protein dan kalori yang menurun setelah
CAPD berlangsung satu tahun dan adanya katabolisme protein kronis
(Sukandar, 2006; Parsudi dan Roesli, 2009).
7. Komplikasi
Komplikasi CAPD dapat kita bagi menjadi komplikasi teknis dan
komplikasi medis. Komplikasi teknis pada umumnya bukan merupakan
komplikasi serius dan mudah diatasi, terdiri antara lain bocornya cairan
dialisat, sumbatan pada saat masuk atau keluarnya cairan dialisat dan
kesalahan letak kateter. Komplikasi medis pada umumnya dapat diatasi
dengan mudah. Komplikasi ini antara lain hipotensi, keluhan
gastrointestinal ( mual, mutah, hilangnya nafsu makan), sakit sendi dan
sakit tulang punggung, kram, perasaan lelah, infeksi kulit sekitar tempat
masuknya kateter, perasaan sakit diabdomen dan peritonitis (Suwitra,
2006; Parsudi dan Roesli, 2009).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Peritonitis adalah komplikasi yang sering dijumpai meskipun saat
ini dibeberapa pusat ginjal angka kejadian peritonitis menurun sampai
serendah satu dalam empat pasien per tahun. Penurunan ini terutama
karena lebih baiknya seleksi, latihan pasien dan kemajuan teknologi
seperti connector, in line filters dan y tubing. Keluh kesah pasien
terbanyak adalah keruhnya cairan dialisat serta sakit abdomen. Keluhan
lain mual, muntah, panas, menggigil maupun diare. Gejala fisik yang dapat
dijumpai adalah ketegangan dinding perut, kenaikan tempratur dan
leukositosis. Kuman Staphylococus aureus dan epidermidis (40-60%)
merupakan gram positif, 20-40% disebabkan gram negatif dan sisanya
karena fungi/ jamur dan aseptik. Bila ada gejala-gejala peritonitis, segera
dibuat kultur dan uji kepekaan. Sementara menunggu hasil
laboratorium,dapat diberikan kombinasi sefalosporin (untuk gram positif)
dan tobramisin (untuk gram negatif) intraperitoneal dan diberikan setiap
pergantian cairan dialisat. Dosis antibiotik untuk mengatasi peritonitis
yang diberikan intraperitoneal adalah sebagai berikut : (mg/L cairan
dialisat), metisilin (200), karbenisilin (200), sefalotin (200), sefoksitin
(100), Vankomisin (20), Kanamisin (20), Gentamisin (10), Tobramisin
(10), Amikasin (20), Klindamisin (20), Klorampenikol (20), dan
amfoterisin (20) (Sukandar, 2006; Parsudi dan Roesli, 2009).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
J. Faktor Terkait Dialisis Peritoneal yang Mempengaruhi Inflamasi
Banyak faktor yang memicu inflamasi jauh sebelum dialisis peritoneal
dimulai. Toksin uremia, akumulasi protein termodifikasi (seperti advanced
glycation end-products), retensi sitokin, stres mekanik pada dinding vaskuler
akibat hipertensi hanya sebagian kecil contoh faktor-faktor yang tidak terkait
dengan dialisis yang berpotensi memicu respon inflamasi. Pengenalan
terhadap dialisis peritoneal membawa faktor-faktor lain yang dapat
menginduksi inflamasi dan stres oksidatif. Faktor-faktor tersebut antara lain
infeksi terkait dengan dialisis peritoneal, absorbsi produk degradasi glukosa
yang terdapat pada dialisat, asidosis intraperitoneal sementara, dan inflamasi
serta stres oksidatif intraperitoneal. Selama dialisis peritoneal dengan solusio
berbasis glukosa, absorbsi glukosa yang konstan dari dialisat terkait dengan
semakin memburuknya gangguan metabolisme karbohidrat, peningkatan
akumulasi lemak sentral, menginduksi perburukan resistensi insulin, steatosis
hepatis, dan disfungsi endotel, serta berakibat pada peningkatan konsentrasi
molekul adesi plasma, kemokin, dan penanda inflamasi (Fortes dkk., 2007).
K. Glutation
Pasien uremia, pasien yang menjalani dialisis teratur, berada pada
risiko tinggi untuk kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas.
Telah dinyatakan bahwa berbagai gangguan sistem antioksidan intra dan
ekstraseluler, yang melindungi terhadap efek berbahaya radikal bebas,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
berperan penting dalam perkembangan dan eksaserbasi kerusakan oksidatif
pada uremia dan dialisis (Nanayakkara dan Gaillard, 2010).
Sistem antioksidan glutation merupakan salah satu sistem antioksidan
yang banyak diteliti pada uremia. Glutation merupakan suatu sulfohidril
tripeptida (γ-glutamyl-cysteinyl-glysine) yang bertindak sebagai antioksidan,
antitoksin, dan kofaktor enzim. Glutation terdapat di dalam sel sebagai
glutation terreduksi (GSH), bentuk predominan, dan sebagai glutation
teroksidasi (GSSG), di mana keduanya mencapai konsentrasi milimolar di
dalam sel, menjadikan peptida ini sebagai salah satu antioksidan dengan
konsentrasi tertinggi intraseluler (Kidd, 1997; Borras dkk.,2004).
Kadar GSH dikontrol secara homeostasis, terus-menerus
menyesuaikan diri terhadap keseimbangan antara sintesis GSH (dikontrol oleh
enzim pensintesis GSH γ-glutamylcysteine synthetase (γ-GCS) dan glutahione
synthetase (GSG-S), daur ulang dari GSSG (oleh glutation reduktase), dan
penggunaannya (oleh peroksidase, transferase, transhidrogenase, dan
transpeptidase). GSH ditranspor dari sel-sel tertentu, seperti eritrosit, baik
dalam konjugat GSSG maupun GSH dan transpor tersebut paling banyak
berkontribusi dalam pergantian GSH dalam sel tersebut (Kidd, 1997; Griffith,
1999).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Gambar 2.5. Struktur molekul glutation (Kidd, 1997)
Sintesis GSH de novo dikontrol oleh dua tahap yang berurutan yang
keduanya menggunakan ATP. Pertama, sistein dan glutamat dikombinasikan
untuk memproduksi γ-glutamyl-cysteine oleh aksi enzim γ-GCS. Kedua, γ-
glutamylcysteine dikombinasikan dengan glisin untuk membentuk GSH oleh
aksi enzim GSH-S. Reaksi pertama, yang dikatalisis oleh γ-GCS, merupakan
langkah yang membatasi tingkat sintesis GSH dan di bawah umpan balik oleh
GSH (Griffith, 1999).
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa pasien uremia dan
dialisis mengalami penurunan yang signifikan kadar GSH total, juga gangguan
enzim metabolisme GSH. Penurunan kadar GSH dapat dijelaskan dengan
peningkatan tingkat pergantian GSH. Aktivitas enzim pensintesis GSH juga
diketahui menurun pada pasien uremia (Alhamdani dan Mohamed-Saiel,
2005).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Gambar 2.6. Dalam kondisi normal, ROS dari dalam sel dibersihkan oleh
superoksida dismutase (SOD), katalase, atau glutathion (GSH)
peroksidase (Sigma-Aldrich, 2011).
L. N-Asetil Sistein (NAS)
1. Senyawa N-Asetil Sistein (NAS)
N-Asetil Sistein merupakan suatu senyawa yang mengandung tiol
dengan efek antioksidan dan antiinflamasi (Nascimento dkk., 2010). Efek
antioksidan NAS dapat terjadi secara langsung melalui interaksi dengan
ROS elektrofilik maupun sebagai prekusor glutation (GSH), suatu
antioksidan vital yang melindungi sel dari stres oksidatif yang diketahui
menurun pada PGK (Dekhuijzen, 2004). N-Asetil sistein mengurangi
iskemia dan cedera reperfusi secara signifikan sehingga kerusakan sel
endotel berkurang. NAS juga menghambat ekspresi molekul adesi endotel
dan kerusakan radikal bebas yang berhubungan dengan iskemia/reperfusi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
kardiovaskular (Cuzzocrea dkk., 2001). NAS dapat mengurangi gejala
inflamasi dengan menghambat aktivasi NFκB (Paterson, Galley dan
Webster, 2003).
N- Asetil Sistein oral mempunyai aktivitas fluidikasi atau
pencairan yang kuat terhadap sekresi mukus dan mukopurulen dengan
jalan depolimerisasi dari kompleks asam mukoprotein dan asam nukleat
penyebab viskositas dari komponen-komponen mukoid dan purulenta dari
sputum dan sekresi-sekresi lainnya, tambahan pula obat ini berefek
sebagai anti flogistik dan mempercepat regulasi mukosa.
Ketersediaan asam amino untuk sistesis GSH merupakan faktor
yang fundamental dalam regulasinya. Kadar asam glutamat dan glisin
intraseluler sangat melimpah, namun tidak dengan sistein. Sebagai
konsekuensinya, sintesis GSH tergantung pada ketersediaan sistein. Dalam
kasus penurunan (relatif) kadar GSH atau peningkatan kebutuhan, kadar
GSH dapat ditingkatkan dengan memberikan sistein tambahan melalui
NAS oral. Namun, pemberian bentuk aktif sistein, L-sistein, tidak
dimungkinkan karena absorbsi intestinalnya yang rendah, kelarutan dalam
air yang rendah, dan metabolisme hepatik yang cepat (Dekhuijzen, 2004).
Suplementasi dengan NAS oral menyediakan sarana alternatif
untuk meningkatkan glutation intraseluler melalui peningkatan sistein
intraselular. NAS oral mencapai tingkat plasma maksimum dalam 2-3 jam,
dengan waktu paruh sekitar enam jam. NAS mudah masuk sel dan
dihidrolisis untuk sistein (Aguiar-Souto, 2008).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Gambar 2.7. Struktur molekul N-asetilsistein (Heloisa, Shimizu dan
Coimbra, 2005).
NF-kB terikat dengan IκB protein dalam sitoplasma, pada saat
terjadi stres oksidatif ikatan tersebut dilepaskan sehingga
menyebabkan degradasi ubiquitination dan selanjutnya terjadi
protease dari IκB. NF-kB meningkatkan transkripsi gen coding TNF-α dan
IL-1, yang dapat menghasilkan umpan balik positif. Pemberian NAS akan
menyebabkan blok TNF-α, aktivasi NF-kB independen, aktivitas
antioksidan akan menyebabkan perubahan struktrural pada afinitas
reseptor TNF-α menjadi lebih rendah (Hayakawa, Ishibashi dan Sekiguchi,
2003).
2. Biopatogenesis
Atom hidrogen dalam gugus (-SH) sulfhidril mengandung banyak
oksidan yang mengandung molekul anti sulfur (tiol), berfungsi sebagai
donor elektron untuk menetralisir radikal bebas. Asam lipoat, glutathione
tripeptide, asam amino sistein & metionin dan senyawa organosulfur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
adalah senyawa yang mengandung anti-oksidan molekul tiol (Bjelakovic,
2007).
Reduksi glutation (GSH, L-gamma-glutamil-L-cysteinylglycine,
glutation yang memiliki atom hidrogen) adalah anti-oksidan dominan di
sitoplasma sel. Sel membutuhkan glutation untuk fungsi kelangsungan
hidup. Glutation adalah sintesa dari ketiga asam amino dalam proses dua
langkah, dimulai dengan kombinasi asam glutamat dan sistein dan
berakhir dengan penambahan glisin (Kleinman dkk., 2003).
Gambar 2.8. Dua langkah transfer elektron pada kompleks II Q sitokrom
c oksidoreduktase (Bjelakovic, 2007).
Hati dan paru-paru adalah tempat utama sintesis glutation. Glisin
dan asam glutamat berlimpah dalam sel, sehingga ketersediaan sistein
yang mengendalikan laju dari reaksi sintesis glutation. Overekspresi
neuronal dari enzim akan membatasi sintesis glutation (Kleinman dkk,
2003).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Gambar 2.9. Metabolisme Sistein (Kleinman dkk., 2003).
3. Peran NAS pada pasien PGK stadium V
L-Sistein tidak larut dalam air tidak diserap dengan baik oleh
usus. Diet sistein terutama sebagai produk pemecahan protein dan
peptida. Protein adalah sumber makanan yang kaya sistein. Karena sistein
sangat tidak stabil, sumber ekstraseluler utama sistein intraselular
adalah sistein dipeptida (dua sistein terkonjugasi). Sistein bersaing dengan
glutamat untuk transportasi ke dalam sel sehingga kondisi ekstraseluler
glutamat tinggi dapat mengakibatkan deplesi glutation, memperburuk stres
oksidatif dan mengakibatkan kematian sel (Efrati dkk., 2003).
S-AdenosylMethionine (SAMe) dapat meningkatkan sintesis
glutation. Suplementasi dengan NAS oral menyediakan sarana alternatif
untuk meningkatkan glutation intraseluler melalui peningkatan sistein
intraselular. NAS mencapai tingkat plasma maksimum dalam 2-3 jam,
dengan waktu paruh sekitar enam jam. NAS mudah masuk sel dan
dihidrolisis untuk sistein (Aguiar-Souto, 2008).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Gambar 2.10. Reaksi redoks GSH (Kleinman dkk., 2003).
Reaksi reduksi glutathione (GSH) dan hidroksil radikal
peroxynitrite akan mengkonversi hidrogen peroksida air. Meskipun radikal
glutation sudah dibentuk, obat ini dapat dinetralisir dengan cara
menggabungkan radikal glutation dengan yang lain untuk menghasilkan
GSSG. GSSG dapat dikonversi kembali ke GSH oleh enzim NADPH
reduktase, proses ini tergantung pada produksi molekul NADPH sebagai
tempat penyimpanan energi. Sistein residu glutation telah terbukti penting
untuk telomerase aktivitas di sel fibroblast (Jane dkk., 2005).
N-Asetil sistein mengurangi iskemia dan cedera reperfusi secara
signifikan sehingga kerusakan sel endotel berkurang. NAS juga
menghambat ekspresi molekul adesi endotel dan kerusakan radikal bebas
peroxynitite yang berhubungan dengan iskemia/ reperfusi kardiovaskular
(Cuzzocrea dkk., 2000). NAS dapat mengurangi gejala inflamasi dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
menghambat langsung dari inflamasi pro-faktor transkripsi NF-kB (Jyothi
KA, 2009).
NF-kB terikat dengan IκB protein dalam sitoplasma, tetapi ketika
terjadi stres oksidatif ikatan tersebut dilepaskan sehingga
menyebabkan degradasi ubiquitination dan selanjutnya terjadi
protease dari IκB. NF-kB meningkatkan transkripsi gen coding TNF-α dan
IL-1, yang dapat menghasilkan umpan balik positif. Pemberian NAS akan
menyebabkan blok TNF-α, aktivasi NF-kB independen, aktivitas
antioksidan akan menyebabkan perubahan struktrural pada afinitas
reseptor TNF-α menjadi lebih rendah (Hayakawa, Ishibashi dan
Sekiguchi, 2003).
N-Asetil sistein telah digunakan untuk meregenerasi kompleks
fosforilasi oksidatif dalam mitokondria yang berhubungan dengan
penurunan fungsi tubuh dan NAS melindungi terhadap kerusakan oleh
tindakan radikal scavenger langsung dengan cara mengkonversi glutation
(Kleinman dkk., 2003).
4. Antioksidan NAS
Sistem imun bertanggung jawab untuk proteksi infeksi patogen.
Kondisi yang menekan/ mendepresi fungsi imun seperti PGK
menyebabkan kenaikan risiko infeksi dan perburukan penyakit (Barry,
IIgor dan Mark, 1999). Suplementasi antioksidan dapat memperbaiki imun
respon (Borras dkk., 2004).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Antioksidan melindungi DNA di dalam gen dari serangan radikal
bebas. Pertahanan antioksidan yang kuat dapat menghentikan radikal
bebas sebelum mereka dapat menyerang DNA. Antioksidan dapat
meningkatkan kemampuan sistem imun memusnahkan sel yang rusak,
dengan memperkuat fungsi imun pasien PGK berarti proteksi yang lebih
baik (Hayakawa, Ishibashi dan Sekiguchi, 2003).
5. NAS atasi inflamasi sistemik PGK
Inflamasi berperan penting dalam patogenesis penyakit seperti
PGK. Reaksi inflamasi adalah reaksi fisiologis dari sel, jaringan atau
tubuh terhadap noxious (bakteri, oksidan, polutan, virus, zat kimia, radiasi,
trauma) yang berasal dari luar dan dalam tubuh sendiri dengan tujuan
melindungi dan menyembuhkan luka akibat inflamasi tersebut. Proses
inflamasi dicirikan dengan pelepasan pro-inflamasi kemokin (misal
histamin, serotonin, kinin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT),
prostasiklin (PGI), tromboksan (TXA), sistem komplemen, koagulasi,
CRP (C-Reaktif Protein), MDA, fibrinogen dan banyak lagi mediator lain)
dan sitokin seperti TNF-α (Tumor Necrosis Factor Alfa), IL (interleukin),
dan IFN (interferon) ke dalam sirkulasi. Mediator–mediator ini
menstimulasi berbagai macam end organs seperti ginjal, hati, jaringan
adipose, sumsum tulang untuk melepaskan kelebihan protein fase akut,
sel-sel inflamasi dan sitokin sekunder ke dalam sirkulasi yang
mengakibatkan keadaan inflamasi sistemik tingkat rendah yang persisten/
menetap. Inflamasi sistemik ini menimbulkan dampak negatif pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
jaringan pembuluh darah, mengkontribusi pembentukan plak
aterosklerosis pada pembuluh darah dimana pada beberapa kasus plak
tersebut tidak stabil dan mudah ruptur (Pahan dkk., 1998).
6. NAS prekursor glutation
Glutation (GSH) adalah nature master antioxidant yang paling
kuat/ powerful, sebagai immune booster (meningkatkan imunitas) dan
merupakan detoksifikan. Glutation dapat menurunkan respon inflamasi
agar inflamasi pada PGK tidak semakin menjadi kronik dengan
meningkatkan fungsi imun dan sebagai detoxifier tubuh (Kleinman dkk.,
2003).
Glutation tidak bisa diberikan secara oral karena akan mengalami
degradasi dan rusak oleh asam lambung dan ensim oleh karena itu harus
dibentuk didalam tubuh dengan memberikan NAS sebagai prekursor
glutation. Sintesis glutation terutama di dalam hati (yang mana berfungsi
sebagai cadangan), paru dan ginjal. Sintesis terjadi di dalam sitoplasma
seluler dalam dua tingkat ensimatik yang terpisah. Pertama, asam amino
asam glutamat dan sistein diikat oleh gama glutamilsistein sintetase dan
yang kedua glutation sintetase menambah glisin menjadi dipeptid gama
glutamil sistein untuk membentuk glutatión (Kleinman dkk., 2003)
N-Asetil sistein bekerja diluar sel untuk mengurangi sistin (cystine)
menjadi sistein (cysteine) dimana dapat ditranspor kedalam sel 10 kali
lebih cepat dibandingkan sistin dan selanjutnya digunakan untuk
biosíntesis glutatión (GSH). Dengan memfasilitasi biosíntesis glutation,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
NAS berperan sebagai indirect antioxidant dimana akan meningkatkan
aktivitas enzim glutation-S-transferase, mensuplai glutation untuk
glutation peroksidase, mengkatalisasi detoksifikasi peroksid. NAS juga
bekerja secara langsung pada radikal bebas sebagai direct antioxidant
karena memiliki gugus tiol (SH) bebas yang dapat berinteraksi langsung
dengan elektron dari ROS atau RNS. Interaksi dengan ROS menyebabkan
pembentukan radikal NAS tiol dan NAS disulfid sebagai produk akhir
utama. NAS adalah powerful free radical scavenger dan dapat mengurangi
radikal bebas HO dan H2O2. NAS juga sebagai obat yang dapat
mengembalikan keadaan redox-equilibrium sel sehingga menjadi obat
yang sangat baik untuk mengontrol inflamasi sistemik seperti pada pasien
PGK (Hansen, Watson dan Jones, 2004).
7. Farmakodinamik NAS
a. N-Asetil sistein sebagai pre-cursor Glutation (GSH) atau indirect
antoxidant, direct antioxidant menetralisir oksidan (ROS dan RNS)
menghilangkan keadaan stres oksidatif dan membaiki disfungsi sel
(Oikawa, 2005)
b. N-Asetil sistein mengontrol pelepasan mediator pro-inflamasi sistemik
seperti kemokin, sitokin (TNF, interleukin, interferon) agar bekerja
tidak berlebihan sehingga menyebabkan inflamasi kronik (Borras dkk.,
2004)
c. N-Asetil sistein bekerja sebagai immune-booster (meningkatkan sistem
imunitas) dengan meningkatkan aktivitas sel imunitas (T-limfosit,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
makrofag, neutrofil) untuk memfagositosis dan melisis bakteri atau
benda asing, sehingga memperbaiki daya tahan terhadap infeksi,
meningkatkan kemampuan antioksidan, mengembalikan keseimbangan
redox (reduced and oxidized) glutathione selular. Mengembalikan
keseimbangan redox ini sangat penting dalam mengatur respon
terhadap inflamasi (Hansen, Watson dan Jones, 2004).
d. N-Asetil sistein mencegah kerusakan membran sel dan lipid
peroksidasi sehingga tidak terjadi dampak berlebihan dari leukotrein
seperti vasokontriksi dan bronkokontriksi. Sebagai hasil akhir kerja
NAS sebagai immune booster dapat mengurangi frekuensi dan
keparahan infeksi (Voghel dkk., 2008).
e. N-Asetil sistein memperbaiki struktur, bentuk dan fungsi sel darah
merah sebagai pembawa oksigen sehingga memperbaiki keadaan
hypoxemia (Voghel dkk., 2008).
f. N-Asetil sistein bekerja sebagai true-mucolytic pada bronkhitis dan
penyakit paru sudah banyak digunakan (Cuzzocrea dkk., 2001).
g. N-Asetil sistein mempunyai aktivitas fluidikasi atau pencairan yang
kuat terhadap sekresi mucus dan mukopurulen dengan jalan
depolimerisasi dari kompleks asam mukoprotein dan asam nukleat
penyebab viskositas dari komponen-komponen mukoid dan purulenta
dari sputum dan sekresi-sekresi lainnya, tambahan pula obat ini
berefek sebagai anti flogistik dan mempercepat regulasi mukosa
(Cuzzocrea dkk., 2001).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
h. Keracunan paracetamol aksidental atau sengaja. Dosis awal secara oral
140 mg/kg berat badan diberikan secepatnya 10 jam setelah
masuknyabahan beracun, diikuti denagn 70 mg/kg berat badan yang
diberikan setiap 4 jam selama 1-3 hari (Cuzzocrea dkk., 2001).
i. Uropathy dari iso dan cyclophosphamide. Pada siklus kemoterapi
tertentu dengan iso dan cyclophosphamide sebanyak 1200 mg/m3
pemukaan tubuh selama 5 hari setiap 28 hari, acetylcysteine dapat
diberikan secara oral dengan dosis masing masing 1 gram. Larutkan
tablet ke dalam gelas yang berisi air (Cuzzocrea dkk., 2001).
8. Keamanan dan Dosis N-Asetil Sistein
Pada penderita dengan riwayat gastritis, sebaiknya diberikan
setelah makan. Karena mengandung sucrose, tidak dianjurkan untuk
penderita diabetes mellitus atau dapat diberikan bila kadar glukosenya
terkontrol dalam batas normal. Pada beberapa penelitian baik pada hewan
maupun manusia menunjukkan pemberian Acetylcysteine pada kehamilan
dan ibu menyusui tidak menimbulkan efek teratogenik maupun efek
samping berbahaya akan tetapi seperti obat-obatan lainnya pemberiannya
hanya pada kasus yang benar-benar dibutuhkan dan selalu dibawah
pengawasan dokter langsung (Borras dkk., 2007; Aguiar-Souto, 2008).
Tidak adanya efek samping yang bermakna selama periode
puluhan tahun (> 45 tahun) membuktikan keamanan NAS dalam
penggunaan terapetiknya. Tambahan pula banyak uji klinik kontrol
internasional yang telah dilakukan pada lebih dari 3000 pasien, tidak ada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
reaksi efek samping bermakna secara statistik. Banyak uji klinik NAS
dengan indikasi khusus menggunakan dosis tinggi atau dalam pengobatan
jangka panjang telah memperlihatkan bahwa obat NAS ditoleransi dengan
sangat baik bila diberikan secara oral atau parenteral. Pada laporan selama
lebih dari 2 tahun pada 5 negara Eropa dimana NAS dipasarkan, dijumpai
kadang-kadang kelainan gastro-intestinal ( nausea, vomitus, dispepsia),
jarang berupa urtikaria, anoreksia, vomitus, meteorisme. Dapat digunakan
pada dosis lebih tinggi NAS untuk kasus berat, karena batas keamanan
(safety margin) NAS sangat luas dan LD 50 adalah 7.888 mg/ kg berat
badan (Heloisa, 2005; Borras dkk., 2007; Aguiar-Souto, 2008).
M. Tumor Necrosis Factor Alpha
Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-α) dibentuk atas 212 asam amino
diatur pada homotrimers yang stabil dengan berat molekul 17 kDa. TNF-α
adalah suatu sitokin yang bersifat pleiotropik yang mempunyai kemampuan
besar terhadap efek proinflamasi pada aterosklerosis dan metabolik lain serta
kelainan inflamasi seperti obesitas dan resistensi insulin yang juga merupakan
faktor risiko terhadap PJV. TNF-α diproduksi oleh monosit dan makrofag.
Keterlibatan TNF-α dalam patogenesis aterosklerosis didukung oleh adanya
plak aterosklerosis pada manusia. Selain itu, kadar TNF-α dalam sirkulasi
berhubungan dengan peningkatan risiko infark miokardium yang berulang
(Kleemann, 2008). TNF-α yang aktif dihasilkan oleh makrofag, sel NK, T-
limfosit dan B-limfosit (Malaponte, 2002).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Penyakit Ginjal Kronis merupakan suatu penyakit inflamasi, dimana
stimulus inflamasi yang banyak terdapat pada pasien PGK menyebabkan
dilepaskannya sitokin termasuk interleukin (IL-1, IL-6 dan TNF-α).
Meningkatnya kadar TNF-α terdapat pada keadaan inflamasi akut dan kronik
(Guntur, 2000 ; Malaponte, 2002).
LPS bp
CD 14
IL 6
TNF -
IL -1
IL 8
APC
CD 4+TCR
IFN -
SUPER ANTIGEN
IL - 10
IL - 4
IL - 5
IL - 6
Ig
NO ICAM -1
a
g
IMUNOPATOGENESIS
TH - 2TH - 1B cell
CD 8+
LPSIMUNO.COM
SEPSIS
MOD
SHOCK
SEPTIC
IL-2
CSF
Compl.
N
NK
(Guntur, 2000)
C3a, C5a
PGE 2
TLR 4
TLR2
C7a
TF-VIIA ↑PaI-1↑
2
Gambar 2.11. Jalur terbentuknya sitokin proinflamasi (Guntur, 2000)
Ikatan antara Toll-like Receptor (TLR) dengan produk mikroba
mengawali aktivasi jalur sinyal transduksi intraseluler yang multipel. Di antara
jalur yang telah dikarakterisasi adalah aktivasi NFκB. NFκB yang
menginduksi kinase mengaktivasi kompleks kinase penghambat κB yang
secara langsung mengawali fosforilasi IκBα pada translokasi nukleus dari
NFκB dan memulai transkripsi gen. Aktivasi disregulasi NFκB akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
mengawali terjadinya produksi mediator pro-inflamasi yang berlebihan
(Gambar 2.12.) (Guntur, 2008).
MD-2CD14
LPS bp
TLR4
My D88
TRAF6IRAK
NF-KB
ENDOTOKSIN
M
NIK/MKK
IKK
Target Genes
- Insulin Treatment
Guntur, 2008, Bambang P modified, 2010
- Metformin
- Statin
- ACE Inhibitor
- AG II Blocker
- Anti ROS
- NO
- Bradikinin
- Oestrogen
TNF-a
IL-6 IL-12
IL-1
IL-8
TGFβ-1
CYTOKINES
7
Gambar 2.12. Jalur ekspresi sitokin dan inhibisi NFκB (Guntur, 2008 ;
modified Bambang, 2010)
N. Prokalsitonin
Prokalsitonin (PCT), adalah suatu prekusor dari hormon kalsitonin,
yang merupakan suatu polipeptida dengan 116 rangkaian asam amino. Untuk
pertama kali ditemukan pada tahun 1993, dimana PCT secara bermakna
meningkat sangat tinggi pada pasien yang menderita sepsis yang disebabkan
oleh bakteri. Kadar prokalsitonin meningkat terutama sejak dua jam setelah
infeksi bakteri. Saat sepsis pulih, kadar serum PCT kembali ke batas normal.
Pada orang normal kadar PCT adalah < 0.5 ng/mL yang akan meningkat pada
keadaan inflamasi atau infeksi (Akbulut, 2005).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Tabel 2.6. Range dari prokalsitonin.
No. Range Interprestasi
1. ≤ 0.5 ng/ mL Kemungkinan sudah terjadi infeksi yang bersifat local
2. 0.5-2 ng/ mL Kemungkinan sudah terjadi infeksi yang bersifat sistemik
3. 2-10 ng/ mL Sudah terjadi keadaan sepsis
4. ≥ 10 ng/ mL Keadaan sepsis berat yang mengarah ke syok sepsis
(Guntur, 2008: Brahms, 2009)
Prokalsitonin adalah salah satu petanda adanya infeksi yang akurat,
meningkat ringan pada PGK, peritoneal dialisis dan hemodialisis. Pada keadaan
tanpa infeksi, PCT dapat meningkat disebabkan oleh menurunnya eliminasi oleh
ginjal dan peningkatan sintesa oleh Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC).
Selain itu, PCT dapat sebagai suatu keadaan inflamasi dengan derajat yang ringan
dan PJV, dapat meningkatkan kematian pada pasien PGK yang menjalani
hemodialisis (Rosenthal dkk., 2001).
Penelitian terbaru membuktikan bahwa PCT bukan hanya sebagai petanda
adanya suatu keadaan inflamasi tetapi juga sebagai mediator proinflamasi.
Peningkatan PCT terlihat pada pasien PGK dengan ataupun tanpa terapi pengganti
ginjal tanpa tanda-tanda infeksi (Herget-Rosenthal dkk., 2005).
1. Kegunaan Pemeriksaan Prokalsitonin (Guntur, 2008; Brahms, 2009):
a. Mendiagnosis sepsis lebih dini karena seringkali diagnosis sulit ditetapkan
karena tanda-tanda awal sulit dikenali dan serupa dengan berbagai proses
non infeksi. Sulitnya penegakan diagnosis menyebabkan diagnosis
menjadi terlambat, pemberian antibiotic menjadi tidak efektif, angka
mortalitas dan kebutuhan biaya perawatan tetap tinggi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
b. Pengamatan kadar Prokalsitonin bermanfaat untuk menilai perlu tidaknya
biakan darah dilakukan serta penetapan penggunaan antibiotik.
c. Mengetahui beratnya infeksi dan mengevaluasi hasil pengobatan.
d. Pemeriksaan Prokalsitonin meningkatkan sensitivitas dan spesivitas dalam
mendiagnosis sepsis akibat bakteri. Prokalsitonin lebih bermanfaat
dibandingkan CRP dalam membedakan antara inflamasi yang bersifat
infeksius, serta lebih lanjut membedakan antara infeksi bakteri dan infeksi
non bakteri.
e. Bila terjadi sepsis dan rejatan sepsis, kinetika kadar Prokalsitonin dapat
digunakan sebagai petunjuk mengenai prognosis pasien.
2. Waktu Pemeriksaan Prokalsitonin
Pemeriksaan Prokalsitonin direkomendasikan sesegera mungkin dilakukan
untuk semua pasien dengan dugaan SIRS atau sepsis (Guntur, 2008).
3. Indiksi Pemeriksaan Procalcitonin (Guntur, 2008; Brahms, 2009):
a. Pasien di rumah sakit baik di UGD, ICU maupun di ruangan dengan
kecurigaan SIRS atau sepsis.
b. Pasien sepsis yang diterapi antibiotik, untuk mengevaluasi hasil
pengobatan dan juga mengetahui prognosis penyakit.
Prokalsitonin (PCT) akhir-akhir ini, telah dipertimbangkan sebagai
penanda yang berguna untuk evaluasi mikro-inflamasi dan biokompabilitas
membran dialisis pada pasien dialisis tanpa infeksi (Conti dkk., 2005). Endotoksin
dan sitokin proinflamasi seperti TNF-α dan IL-1β menginduksi ekspresi PCT
mRNA pada leukosit mononuklear manusia. Pasien tanpa infeksi pada dialisis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
menunjukkan peningkatan sekresi PCT dari sel polimorfonuklear dibandingkan
kontrol sehat. Pada seting klinis, waktu paruh PCT yang singkat dan sensitivitas
yang tinggi terhadap diagnosis infeksi menjadi keunggulan deteksi PCT
dibandingkan CRP. Pada pasien dialisis, potensi untuk membedakan inflamasi
bakteri dan inflamasi sub-klinis non-bakterial tergantung pada nilai cutoff.
Meskipun demikian, hubungan antara kadar TNF-α/IL-1β dan PCT dapat
memberikan peluang untuk mendeteksi inflamasi subklinis pada kondisi mikro-
inflamasi kronis seperti gagal ginjal (Alscher dan Thomas, 2005).
4. Struktur Prokalsitonin
Struktur dari Prokalsitonin diterangkan pada Gambar 2.9. PCT mempunyai
struktur molekul yang terdiri dari 116 molekul dengan berat molekul 13 kDa. PCT
terdiri atas 3 peptida, yaitu 57 asam amino di ujung gugus amino (N ProCT), 32
asam amino CT immature yang mengandung glisin, dan 21 asam amino CT di
ujung gugus karboksil (CCP-1) (Conti dkk., 2005).
Gambar 2.13. Struktur dari Prokalsitonin (Conti dkk., 2005).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Sintesis PCT dapat dijelaskan melalui Gambar 2.14. Baik mediator pro-
inflamasi maupun toksin bakteri, pada sepsis dan inflamasi, menginduksi CT
mRNA, yang dapat dilemahkan oleh interferon-γ. Berlawanan dengan sel tiroid,
sel parenkim (misal hepar, ren, adiposit, dan otot) kekurangan granula sekretoris,
sehingga ProCT yang tidak terproses dilepaskan tanpa kendali (Christ-Crain dan
Muller, 2005).
Gambar 2.14. Jalur sintesa PCT (Christ-Crain dan Muller, 2005).
5. Teknik Pemeriksaan (Christ-Crain dan Muller, 2005).
a. Nama Pemeriksaan : Prokalsitonin
b. Metode Pemeriksaan : Enzyme Linked Fluorecence Assay ( ELFA)
c. Jenis Sampel : Serum atau plasma ( Li -Heparin)
d. Stabilitas : 48 jam pada 2-8 ºC atau 6 bulan pada -25 ± 6 ºC
e. Nilai Rujukan : < 0,05 ng/ml
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Konseptual
Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, pada suatu derajat memerlukan
terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal
(Suwitra, 2006). Terdapat peningkatan stres oksidatif dan inflamasi kronis
pada pasien penyakit ginjal kronis (PGK) dan dialisis (Oberg dkk., 2004;
Silverstein, 2009; Nanayakkara dan Gaillard, 2010; Fontanet dkk., 2011).
Penanda inflamasi seperti TNF-α dan PCT meningkat seiring dengan
penurunan fungsi ginjal menunjukkan bahwa PGK merupakan proses
inflamasi kronis. Beberapa faktor dapat terlibat dalam memicu proses
inflamasi termasuk stres oksidatif (Cachofeiro, 2008). Di samping itu, proses
inflamasi sendiri juga dapat memicu pembentukan ROS terutama melalui
myeloperoxidase (Himmelfarb, 2005).
Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) merupakan salah
satu terapi pengganti ginjal buatan dengan tujuan mengeliminasi sisa produk
metabolisme, koreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit antara
kompartemen darah dan dialisat melalui selaput membran peritoneum yang
berperan sebagai ginjal (Suwitra, 2006). Uremia pada pasien PGK yang
menjalani dialisis peritoneal, diduga menyebabkan peningkatan kadar sitokin
proinflamasi, disamping itu proses dialisis peritoneal itu sendiri turut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
memberikan kontribusi terhadap peningkatan sekresi sitokin proinflamasi
(Malaponte, 2002; Sukandar, 2006).
Penyakit Ginjal Kronis menginduksi kondisi stres oksidatif yang dapat
dideteksi jauh sebelum menjalani terapi hemodialisis dan memburuk seiring
dengan progresi gagal ginjal (Santangelo dkk., 2004). Pasien uremia, terutama
mereka yang menjalani dialisis teratur, berada pada risiko tinggi untuk
kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas (Nanayakkara dan
Gaillard, 2010). Sistem antioksidan glutation (GSH) merupakan salah satu
sistem antioksidan yang banyak diteliti pada uremia. GSH merupakan salah
satu antioksidan dengan konsentrasi tertinggi intraseluler (Kidd, 1997).
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa pasien uremia dan dialisis
mengalami penurunan yang signifikan kadar GSH total, juga gangguan enzim
metabolisme GSH (Alhamdani dan Mohamed-Saiel, 2005).
Ketersediaan asam amino untuk sistesis GSH merupakan faktor yang
fundamental dalam regulasinya. Kadar asam glutamat dan glisin intraseluler
sangat melimpah, namun tidak dengan sistein. Sebagai konsekuensinya,
sintesis GSH tergantung pada ketersediaan sistein (Dekhuijzen, 2004).
Suplementasi dengan NAS menyediakan sarana alternatif untuk
meningkatkan glutation intraseluler melalui peningkatan sistein
intraselular. NAS mencapai tingkat plasma maksimum dalam 2-3 jam, dengan
waktu paruh sekitar enam jam. NAS mudah masuk sel dan dihidrolisis untuk
sistein (Aguiar-Souto, 2008). Efek antioksidan NAS juga dapat terjadi secara
langsung melalui interaksi dengan ROS elektrofilik (Dekhuijzen, 2004). NAS
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
dapat mengurangi gejala inflamasi dengan menghambat aktivasi
NFκB (Paterson, Galley dan Webster, 2003, Guntur 2008).
PGK STADIUM V
CAPD
PEMBERIAN
NASORAL
STRES OKSIDATIF
TOKSIN UREMI
AKTIFASI
NFKβ
TNF –α
PCT
INFLAMASI
MORBIDITAS DAN
MORTALITAS
KUALITAS HIDUP
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan :
Pada pasien PGK stadium v yang menjalani CAPD terjadi stres
oksidatif dan akumulasi toksin uremia yang menyebabkan terjadinya
aktifasi NKFb sehingga terjadi ekspresi sitokin inflamasi diantaranya
TNF-α. TNF-α akan menginduksi ekspresi PCT. Inflamasi kronis yang
terjadi menyebabkan meningkatkan morbiditas dan mortalitas PGK
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
dengan CAPD. Dengan pemberian NAS Oral dapat menurunkan stres
oksidatif dan inflamasi, sehingga dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas pasien PGK dengan CAPD dan meningkatnya kwalitas hidup.
B. Hipotesis Penelitian
1. Ada pengaruh pemberian NAS oral terhadap penurunan kadar TNF-α
pada pasien PGK stadium V yang menjalani CAPD.
2. Ada pengaruh pemberian NAS oral terhadap penurunan kadar PCT pada
pasien PGK stadium V yang menjalani CAPD.
3. Ada korelasi antara kadar TNF-α dengan PCT pada pasien PGK stadium V
yang menjalani CAPD.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 55
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah eksperimen dengan randomisasi (Randomized
Control Trial/ RCT).
B. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Unit CAPD RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
C. Populasi Sampel
1. Populasi sasaran : Pasien PGK stadium V yang telah menjalani CAPD selama
3 bulan sampai 5 tahun.
2. Populasi sumber : Pasien PGK stadium V yang telah menjalani CAPD selama
3 bulan sampai 5 tahun di unit CAPD RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
3. Populasi sampel : Diambil acak pada semua pasien PGK stadium V yang
telah menjalani CAPD selama 3 bulan sampai 5 tahun di Unit CAPD RSUD
Dr. Moewardi Surakarta, memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dan bersedia
dalam penelitian dengan menandatangani blangko persetujuan.
D. Besar Sampel
Penentuan besar sampel (sample size) melibatkan parameter tingkat
kesalahan (error term) atau α dan tingkat kekuatan pengujian (power test) atau 1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
- β. Formulasi besar sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (Laura
Lee Johnson, 2005)
2
22
β1α1
δ
σ)Z(Zn
��
dimana:
n : besarnya sampel.
Z1-α : nilai standar normal tingkat kesalahan, jika α = 0,05 maka
Z1-α = 1,96.
Z1-β : nilai standar normal power test, jika 1 - β = 0,90 maka:
Z1-β = 1,282.
δ : selisih yang diinginkan (difference of interest)
σ : besarnya penyimpangan (standar deviasi) yang bisa ditolerir.
Karena untuk kelompok sampel berpasangan berlaku: δ2 = σ
2 = 1, sehingga:
2
11 )( ZZn
maka dengan kondisi diatas, penelitian ini menggunakan ukuran sampel minimal
adalah:
n = (1,96 + 1,282)2 = 10,51 dibulatkan menjadi 11.
Dengan demikian sampel minimal dalam penelitian ini adalah 11
responden dalam setiap kelompok, sehingga penggunaan jumlah sampel n = 17
responden dalam penelitian ini sudah cukup memadai dan memenuhi formulasi
besar sampel yang digunakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Pada penelitian ini digunakan jumlah total sampel 34 orang dengan
pembagian 17 orang mendapatkan NAS oral 2 x 600 mg selama delapan minggu
sebagai kelompok perlakuan dan 17 orang mendapatkan plasebo 2x1 selama
delapan minggu sebagai kelompok kontrol.
E. Identifikasi Variabel
1. Variabel tergantung :
a. TNF-α.
b. PCT.
2. Variabel bebas :
NAS oral.
F. Definisi Operasional
1. Penderita PGK stadium V adalah penderita yang memenuhi kriteria seperti di
bawah ini :
a. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari tiga bulan,
berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi :
1) Kelainan patologis.
2) Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi
darah atau urin, atau kelainan dalam test pencitraan (imaging test).
b. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama
tiga bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Stadium V : Bila Laju Filtrasi Glomerulus < 15 mL/ menit,
penderita mengalami PGK tanpa melihat penyebabnya, penderita sudah
menjalani CAPD selama minimal tiga bulan. Sebelum dilakukan CAPD,
pasien PGK stadium V harus memenuhi pra syarat untuk bisa dilakukan
CAPD. Prasyarat ini sekaligus merupakan kriteria inklusi dari sampel
yang diikutkan dalam penelitian.
Kriteria inklusi :
1. Pasien sudah tegak diagnosis PGK stadium V yang dibuktikan dengan
pemeriksaan USG ginjal, laboratorium darah dan pemeriksaan urin
memenuhi kriteria K/ DOQI 2002 dan memenuhi persyaratan untuk
menjalani CAPD.
2. Usia 20-59 tahun.
3. Telah menjalani CAPD selama lebih dari tiga bulan sampai 5 tahun.
Kriteria eksklusi :
1. Pasien PGK dengan nefropati diabetik stadium V.
2. Pasien PGK yang sedang menjalani terapi dengan steroid.
3. Pasien PGK stadium V dengan keganasan.
4. Pasien dalam kondisi infeksi/ sepsis.
5. Pasien menderita hepatitis B dan atau C.
6. Pasien peminum alkohol, perokok, obesitas dan dalam terapi asam folat.
Keterangan tambahan definisi kriteria eksklusi:
1. Nefropati diabetik stadium V
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Nefropati diabetik merupakan salah satu komplikasi
mikroangiopati diabetik pada ginjal, yang dapat berakhir pada penyakit
ginjal kronik. Nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis
pada pasien diabetes melitus yang ditandai dengan albuminuria menetap
(>300 mg/24 jam atau 200 µg/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan
dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan (Hendromartono, 2006).
Pada pasien PGK, penanda biologis inflamasi tidak hanya
berkorelasi dengan fungsi ginjal namun juga dengan albuminuria. TNF-α,
IL-6, TNFR2, ICAM-1, dan protegerin meningkat seiring dengan
meningkatnya rasio albumin/kreatinin urin (Upadhyay dkk., 2011).
2. Terapi steroid
Glukokortikoid memiliki efek anti inflamasi dan imunomodulator.
Kortisol menghambat transkripsi pengkodean gen sitokin pro inflamasi
dengan cara menurunkan aktivitas nuclear factor kappa (NF-кB) sebagai
hasilnya, kortikosteroid akan menghambat sintesis atau aksi sebagian
besar sitokin pro inflamasi (Rhen dan Cidlowski, 2005).
Meskipun efek anti inflamasi kortikosteroid terutama disebabkan
oleh penekanan sintesis sitokin pro inflamasi (TNF-α, IL-1β, IL-6),
sebagian efek juga disebabkan peningkatan produksi sitokin anti inflamasi
seperti IL-10. Glukokortikoid menyebabkan pergeseran dari respon Th1
ke respon Th2, di mana akan terjadi peningkatan produksi IL-4, IL-10 dan
IL-13 (Ramizem, 1996).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Kortikosteroid mampu memblok jalur inflamasi melalui sejumlah
jalur. Antara lain kortikosteroid mampu menghambat produksi
prostaglandin melalui (i) induksi dan aktivasi annexin-1, (ii) induksi
MAPK fosfatase-1, dan (iii) menekan transkipsi cyclooksigenase-2.
Kortikostreroid juga dapat menghambat produksi sitokin-sitokin pro
inflamasi melalui penghambatan aktivasi NF-kB (Rhen dan Cidlowski,
2005; Guntur, 2010).
3. Keganasan
Inflamasi kronis telah dikaitkan dengan beberapa keganasan solid,
antara lain kanker oesofagus, gaster, hepar, pankreas, ginjal, dan prostat.
Mekanisme yang mungkin di mana inflamasi dapat berkontribusi terhadap
karsinogenesis antara lain: (i) interaksi sitokin dan faktor pertumbuhan
yang memicu pertumbuhan sel tumor, (ii) induksi cyclo-oxygenase-2 pada
makrofag dan sel epitel; dan (iii) pembentukan spesies oksigen dan
nitrogen reaktif mutagenik.
C-reactive protein merupakan penanda inflamasi general yang
kadarnya meningkat oleh sitokin pro-inflamasi antara lain IL-6, IL-8, dan
TNF-α. Kadar CRP diketahui meningkat pada keganasan (Mazhar, 2006).
4. Infeksi dan sepsis
Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai
kuman yang masuk ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang
biak dan menyebabkan kerusakan jaringan disebut penyakit infeksi. Pada
penyakit infeksi terjadi jejas sehingga timbullah reaksi inflamasi. Pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
reaksi inflamasi berbagai jenis sel akan teraktivasi dan memproduksi
berbagai jenis mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Termasuk
sitokin pro-inflamasi adalah TNF-α, IL-1, INF-γ.
Systemic inflammatory response syndrome adalah sindroma yang
ditandai oleh dua atau lebih kriteria sebagai berikut:
a. Suhu > 38 C atau < 36 C
b. Denyut jantung > 90 kali / menit
c. Respirasi > 20 kali / menit atau Pa CO2 < 32 mmHg
d. Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau > 10 % sel immatur
Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui
(ditentukan dengan biakan positif terhadap organisme dari tempat
tersebut). Berdasarkan konferensi internasional pada tahun 2001 terdapat
tambahan terhadap kriteria sebelumnya. Dimana pada konferensi tersebut
menambahkan beberapa kriteria baru untuk sepsis. Bagian yang
terpenting adalah dengan memasukkan petanda biomolekuler yaitu
procalcitonin (PCT) dan C reactive protein (CRP) sebagai langkah awal
dalam diagnosa sepsis (Guntur, 2008).
5. Hepatitis viral B dan C
Pada hepar, TNF-α terlibat dalam patofisiologi hepatitis virus (Schwabe,
2006).
6. Merokok
Merokok berhubungan dengan inflamasi saluran nafas dan
sistemik. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa perokok mengalami
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
peningkatan kadar sitokin pro-inflamasi antara lain CRP, TNF-α, dan IL-6
(Tanni, 2010).
7. Konsumsi alkohol
Keterkaitan pola-U telah dilaporkan antara asupan alkohol dan
tingkat kesehatan, yang menunjukkan bahwa asupan alkohol dapat
mempengaruhi kadar acute-phase reactant (Wang, 2008).
8. Obesitas
Obesitas didefinisikan dengan IMT ≥ 30 kg/m2. Pada sebagian
besar pasien obes, obesitas terkait dengan inflamasi dalam derajat rendah
pada jaringan lemak putih akibat aktivasi kronis sistem imun innate. Pada
obesitas, inflamasi jaringan lemak putih ditandai oleh peningkatan
produksi dan sekresi sejumlah molkeul inflamasi antara lain TNF-α dan
IL-6 (Bastard, 2006).
Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi selanjutnya
dilakukan randomisasi.
2. Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis adalah salah satu bentuk DP
kronik untuk pasien dengan gagal ginjal terminal (GGT). GGT adalah
merupakan stadium akhir PGK saat pasien sudah tidak dapat lagi
dipertahankan secara konservatif dan memerlukan terapi pengganti (renal
replacement terapi). Terapi pengganti dapat berupa dialisis kronik atau
transplantasi ginjal. Dialisis kronik dapat berupa HD dan DP. Continuous
Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) dilakukan 3-4 kali sehari @ 2 liter
dan tujuh hari seminggu. Pergantian cairan dilakukan setiap 4 – 6 jam pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
siang hari dan saat sebelum tidur dengan dwelling time 10 jam malam hari
ketika pasien tidur.
3. Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-α) dibentuk atas 212 asam amino diatur
pada homotrimer yang stabil dengan berat molekul 17 kDa. TNF-α adalah
suatu sitokin yang bersifat pleiotropik yang mempunyai kemampuan besar
terhadap efek proinflamasi pada aterosklerosis dan metabolik lain serta
kelainan inflamasi seperti obesitas dan resistensi insulin yang juga merupakan
faktor risiko terhadap PJV. TNF-α diproduksi oleh monosit dan makrofag.
Kadar TNF-α diukur dari darah sampel yang diambil dari darah vena sebesar
5 cc, sebelum dan delapan minggu setelah pemberian plasebo pada kelompok
kontrol, dan sebelum dan delapan minggu setelah pemberian NAS oral pada
kelompok perlakuan. Kemudian disentrifuge untuk selanjutnya serum diukur
kadar TNF-α secara quantitative dengan metode Human TNF-α/ TNF-SF 1A
Immunoassay di laboratorium Prodia Surakarta. Reagen kit yang digunakan
untuk pemeriksaan Human TNF-alfa HS Elisa adalah produk R & D System.
Minneapolis. MN. USA, Cat : HSTAOOD, Lot : 289275. Kadar TNF-α
normal adalah 0,550 – 2,816 pq/mL.
4. Dengan metode pengambilan yang sama kadar PCT serum diperiksa secara
kuantitatif melalui Electrochemiluminescence dengan metode ELFA (Enzyme
Linked Fluorescent Assay) dengan alat Elecsys di laboratorium PRODIA.
Kadar PCT normal adalah < 0.5 ng/mL.
5. N-Asetil Sistein oral merupakan suatu senyawa yang mengandung tiol
dengan efek antioksidan dan antiinflamasi (Nascimento dkk., 2010). N-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
acetylcysteine (NAS) yang digunakan Fluimucil ZAMBON 600 mg tablet
effervescent yang mengandung N-Acetylcysteine 600 mg, yang diberikan
2x600 mg selama delapan minggu pada kelompok perlakuan. Dos berisi 2
kantong @ 5 strip @ 2 tablet effevercent. No. Reg. DKL 0632208811A1.
Hindarkan dari jangkauan anak anak. Simpan pada suhu kamar ( 25 0C – 30
0C). Dibuat oleh : PT MUGI Laboratories Bekasi- Indonesia. Dibawah
pengawasan : Zambon S.p.a., Vicenza-Italy
G. Waktu
Waktu yang diperlukan dalam penelitian ini adalah delapan minggu.
H. Biaya
Biaya penelitian diperkirakan lebih kurang Rp.20.000.000,-
I. Cara Kerja
Subyek penelitian diberikan informed consent. Subyek dibagi dua
kelompok dengan cara diundi memakai gulungan kertas bertuliskan angka 1-34.
Satu kelompok (yang berangka genap) mendapatkan perlakuan dengan NAS oral,
dan kelompok yang lain (berangka ganjil) mendapatkan perlakuan dengan
plasebo. Kelompok yang mendapat perlakuan NAS oral sebelum perlakuan
diambil sampel darahnya, kemudian diperiksa Variabel utama kadar TNF-α dan
PCT dan variabel-variabel lainya. Kemudian setelah selama delapan minggu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
diberikan NAS oral 2 x 600 mg, diambil kembali sampel darahnya dan dilakukan
pemeriksaan ulang.
Demikian juga dengan kelompok kontrol dengan pemberian plasebo 2 x 1
selama delapan minggu dan dilakukan pemeriksaan seperti pada kelompok
perlakuan. Prinsip pemeriksaan TNF-α (Metode Sandwich Enzym Imunoassay).
Dalam penelitian ini kadar PCT serum diperiksa secara kuantitatif melalui
Electrochemiluminescence dengan metode ELFA (Enzyme Linked Fluorescent
Assay) dengan alat Elecsys di laboratorium PRODIA.
Prinsip pemeriksaan TNF-α (Metode sandwich enzym imunoassay) :
Suatu monoklonal antibodi yang spesifik untuk TNF-α diteteskan/precoated pada
microplate. Standar dan sampel diteteskan pada cekungan microplate yang
sudah dilapis antibodi anti TNF-α tersebut. TNF-α yang ada akan terikat pada
antibodi tersebut. Sesudah dilakukan pencucian untuk membuang substansi yang
tidak terikat, suatu enzyme-linked policlonal antibodi spesifik untuk TNF-α
dimasukkan pada cekungan tersebut. Kemudian dilakukan pencucian lagi.
Diberikan larutan substrat pada cekungan tersebut. Sesudah diinkubasi, diberikan
cairan amplifier dan akan timbul warna sesuai dengan proporsi kadar TNF-α
yang terikat pada antibodi. Perubahan warna yang timbul ditunggu sampai
berhenti dan kemudian dilakukan pengukuran.
Penelitian ini kadar PCT dalam serum diperiksa secara kuantitatif
melalui Electrochemiluminescence dengan metode ELFA (Enzyme Linked
Fluorescent Assay) dengan alat Elecsys di laboratorium PRODIA.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Gambar 4.1. Diagram alur pemeriksaan TNF-α dan PCT
J. Analisis Statistik
Data yang diperoleh kemudian dilakukan analisis statistik menggunakan
SPSS.15 for windows
1. Uji beda mean (dengan Uji t jika distribusi data variabel normal, jika
distribusi variabel tidak normal dengan uji statistik non parametrik Mann
Kirim ke Prodia sebelum 1jam
Beserta Lembar Permintaan Pemeriksaan
Ambil darah (Tb ± 5 cc)
Diamkan 30 menit sampai beku
Inkubasi semalam pada suhu 2-8º C sebelum disentrifuge
(simpan di pintu almari es/ kulkas)
Putar 3000 rpm dengan Centri labofuge selama 15 menit
Pisahkan Serumnya : 500 µL untuk cadangan
Aliquot disimpan pada suhu < - 20º C selama 1 minggu
Kirim setiap kali ada sampel (tidak perlu kolektif)
Kirim seperti perlakuan rujukan biasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Whitney untuk sampel independen dan Willcoxon untuk sampel
berhubungan) untuk menilai kemaknaan perbedaan rerata antara kadar
TNF-α dan PCT pada pasien PGK stadium V yang menjalani CAPD,
setelah delapan minggu pemberian NAS oral 2X600 mg dibandingkan
kadar TNF-α dan PCT pada pasien PGK stadium V yang menjalani
CAPD setelah pemberian plasebo 2x1 selama delapan minggu.
2. Uji korelasi (Product Moment Pearson jika distibusi data variabel normal
dan analisis korelasi jenjang Spearman / Rank Spearman jika distribusi
data variabel tidak normal) untuk menilai kemaknaan korelasi kadar TNF-
α dengan PCT pada pasien PGK stadium V yang menjalani CAPD.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
K. Alur Penelitian
Gambar 4.2. Alur Penelitian
Penderita PGK stadium V dengan CAPD
Randomisasi
Kelompok kontrol
Sampel darah Pre Test
TNF-α dan PCT
NAS 2X600 mg selama 8
minggu
Sampel darah Pre Test
TNF-α dan PCT
Plasebo 2x1 selama 8 minggu
Sampel darah Post Test
TNF-α dan PCT Sampel darah Post Test
TNF-α dan PCT
Analisis Statistik
Kriteria inklusi eksklusi
Kelompok perlakuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Proses Analisis Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh N-Asetil Sistein
(NAS ) oral terhadap kadar TNF-α dan Prokalsitonin (PCT) pada pasien
Penyakit Ginjal Kronis (PKG) stadium V yang menjalani Continuous
Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). Sebelum pengujian hipotesis
penelitian dilakukan penjelasan deskripsi karakteristik demografis sampel
penelitian yaitu umur dan jenis kelamin serta karakteristik klinis yaitu tekanan
darah (sistole dan diastole), BMI (Body Mass Indeks), Hemoglobin (Hb),
Leukosit (Al), Trombosit (At), Albumin (Alb), ureum, creatinin, kalium yang
masing-masing diukur sebelum dan sesudah perberian plasebo dan treatment/
NAS oral dan lama menjalani CAPD. Disamping variabel karakteristik
demografis dan klinis, juga dilakukan penjelasan deskriptif tentang variabel
utama penelitian yaitu kadar TNF-α dan PCT baik sebelum maupun sesudah
perlakuan serta delta TNF-α (selisih TNF-α sebelum dan sesudah perlakuan),
dan delta PCT (selisih PCT sebelum dan sesudah pemberian perlakuan).
Penjelasan deskriptif karakteristik obyek penelitian bertujuan untuk
mendapatkan gambaran yang lebih lengkap berkenaan dengan karakteristik
subyek yang diteliti. Penelitian ini dilakukan terhadap 34 pasien PKG stadium
V yang menjalani CAPD dan dikelompokkan menjadi dua kelompok masing-
masing 17 pasien sebagai subyek penelitian. Kelompok pertama adalah
kelompok kontrol yaitu kelompok penelitian yang hanya diberikan plasebo
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
atau tidak dilakukan perlakuan (treatment) kepada yang bersangkutan.
Kelompok kedua adalah kelompok perlakuan yaitu kelompok penelitian yang
diberikan perlakuan /treatment dengan diberikan NAS oral.
Subyek penelitian untuk masing-masing kelompok setelah dijelaskan
secara deskriptif, selanjutnya dilakukan pengujian normalitas atas data-data
variabel penelitian itu baik variabel karakteristik demografis dan klinis
maupun variabel utama yang menjadi fokus penelitian. Pengujian normalitas
data variabel ini penting untuk menentukan analisis lanjutan atas variabel-
variabel penelitian utama yaitu kadar TNF-α dan PCT. Uji Normalitas data
variable dapat dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov atau
uji Shapiro-Wilk.
Analisis penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi terjadinya
perbedaan dua mean kadar TNF-α dan PCT yaitu mean kadar TNF-α dan PCT
pada kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Selain itu penelitian ini
juga menganalisis terjadinya perubahan variabel kadar TNF-α dan PCT untuk
masing-masing kelompok sampel antara sebelum (pre) dan sesudah (post)
mendapatkan perlakuan. Dengan demikian penelitian ini juga menggunakan
analisis beda dua mean untuk sampel berpasangan. Selain itu penelitian ini
juga akan mengidentifikasi apakah ada korelasi atau hubungan antar variabel
kadar TNF-α dengan PCT secara umum (semua kelompok) baik sebelum
maupun sesudah perlakuan pada pasien PGK yang menjalani CAPD.
Apabila hasil uji normalitas data variabel mendapatkan bahwa
distribusi data variabel untuk masing-masing kelompok sampel adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
berdistribusi normal, maka uji perbedaan dua mean dapat menggunakan alat
uji statistik Uji t untuk uji beda dua Mean Sampel Independent maupun
sampel Berpasangan. Pengujian korelasi pada data variabel yang berdistribusi
normal dapat menggunakan analisis korelasi product moment Pearson.
Namun apabila hasil uji normalitas data variabel menunjukkan bahwa
distribusi data untuk masing-masing kelompok sampel berdistribusi tidak
normal maka uji perbedaan dua mean dapat menggunakan uji statistik non
parametrik Mann Whitney untuk uji beda dua mean sampel independent dan
uji statistik non parametrik Willcoxon untuk uji beda dua mean sampel
berhubungan. Sementara itu pengujian korelasi pada data variabel yang
berdistribusi tidak normal dapat menggunakan analisis korelasi jenjang
Spearman (Rank Spearman).
Variabel-variabel karakteristik demografis dan klinis yang
kemungkinan ikut berpengaruh terhadap perubahan variabel kadar TNF-α dan
PCT perlu dilakukan uji homogenitas. Uji homogenitas itu bertujuan untuk
meyakinkan bahwa variabel-variabel demografis dan klinis itu homogen untuk
kedua kelompok penelitian itu (kontrol dan perlakuan) adalah homogen,
sehingga apabila terjadi perubahan penurunan terhadap variabel yang diteliti
itu diakibatkan benar-benar hanya oleh perlakuan yang diberikan kepada
pasien.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
B. Deskripsi Karakteristik Demografis dan Klinis
Penelitian ini pada 34 pasien PGK stadium V yang menjalani CAPD
yang tergabung dalan Unit CAPD RSDM Dr. Moewardi Surakarta. Terdiri
dari 17 pasien (10 laki-laki dan 7 perempuan) yang mendapatkan NAS oral
(yang selanjutnya disebut kelompok perlakuan) dan 17 pasien (10 laki-laki
dan 7 perempuan) yang mendapatkan plasebo (yang selanjutnya disebut
kelompok kontrol ), yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Pada kelompok perlakuan yang mendapatkan NAS oral dan pada
kelompok kontrol yang mendapatkan Plasebo selama delapan minggu,
dilakukan anamnesa keluhan yang muncul. Keluhan perut perih, mual,
muntah, kembung, sering buang angin, diare, badan panas, pusing, nafsu
makan berkurang, frekuensi/ jumlah kencing berkurang, gangguan BAB,
ataupun kondisi umum badan yang memburuk, tidak dikeluhkan pada kedua
kelompok (Tabel 5.1).
Sebanyak 88% pada kelompok perlakuan merasakan kondisi badan
membaik dan 12% menyatakan kondisi badan tidak terjadi perubahan, setelah
mendapatkan perlakuan NAS oral selama delapan minggu. Sedangkan pada
kelompok kontrol, 18% merakan kondisi badan yang membaik dan 82%
menyatakan kondisi badan tidak mengalami perubahan, selama mendapatkan
plasebo delapan minggu (Tabel 5.1.)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Tabel 5.1. Keluhan Subyek Penelitian setelah mendapatkan obat NAS oral dan
Plasebo.
No Jenis Keluhan NAS % Plasebo %
1 Perut perih 0 0% 0 0%
2 Mual 0 0% 0 0%
3 Muntah 0 0% 0 0%
4 Kembung 0 0% 0 0%
5 Sering buang angin 0 0% 0 0%
6 Diare 0 0% 0 0%
7 Badan panas 0 0% 0 0%
8 Pusing 0 0% 0 0%
9 Nafsu makan berkurang 0 0% 0 0%
10 Nafsu makan sama 11 65% 14 82%
11 Nafsu makan bertambah 6 35% 3 18%
12 Frekuensi /jumlah kencing berkurang 0 0% 0 0%
13 Frekuensi/ jumlah kencing sama 14 82 % 16 94%
14 Frekuensi/jumlah kencing bertambah 3 18 % 1 6%
15 Frekuensi/jumlah BAB berkurang 0 0% 0 0%
16 Frekuensi/ jumlah BAB sama 17 100% 17 100%
17 Frekuensi/jumlah BAB bertambah 0 0% 0 0%
18 Hasil cairan CAPD berkurang dari
biasanya
0 0% 0 0%
19 Hasil cairan CAPD sama dari biasanya 13 76% 15 88%
20 Hasil cairan CAPD bertambah dari
biasanya
4 24% 2 12%
21 Selama minum obat kondisi badan
memburuk
0 0% 0 0%
22 Selama minum obat kondisi badan
sama
2 12% 14 82%
23 Selama minum obat kondisi badan
membaik
15 88% 3 18%
24 Merasakan kerugian setelah minum
obat
0 0% 0 0%
25 Tidak merasakan kemanfaatan obat/
sama saja
2 12% 14 82%
26 Merasakan kemanfaatan obat yang
diminum
15 88% 3 18%
Variabel penelitian terdiri dari variabel kuantitatif dan variabel kualitatif.
Deskripsi variabel kuantitatif penelitian baik variabel karakteristik demografis dan
klinis maupun variabel yang diteliti dibatasi pada pengungkapan nilai statistik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
rata-rata (mean) dan standar deviasi. Sedangkan deskripsi variabel kualitatif
sebatas proporsi masing-masing kategori variabel kualitatif tersebut.
Karakteristik demografis dan klinis yang bersifat kuantitatif meliputi
umur, tekanan darah (sistole dan diastole), BMI, Hb, Al, At, Albumin, ureum,
creatinin, kalium dimana masing-masing diukur sebelum maupun sesudah
perlakuan dan lama menjalani CAPD. Adapun variabel karakteristik demografis
yang bersifat kualitatif dalam penelitian ini adalah jenis kelamin. Kemudian
variabel utama yang menjadi fokus penelitian ini yaitu kadar TNF-α dan PCT
berupa variabel kuantitatif yang diukur baik sebelum maupun sesudah
mendapatkan perlakuan.
Deskripsi demografis dan klinis yang bersifat kuantitatif pada pasien yang
menjadi responden penelitian dan pengujian homogenitas atas variabel-variabel
karakteristik demografis dan klinis tersebut adalah sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Tabel 5.2. Deskripsi dan Uji Homogenitas Variabel Karakteristik Demografis
dan Klinis Kuantitatif Subyek Penelitian
Variabel Kelompok Sampel Uji Homogenitas
Kontrol Perlakuan Uji P
1. Umur 44 ± 6,70 44 ± 8,25 t = 0,068 0,946
2. BMI Pre 21,02 ± 1,44 21,41 ± 1,48 t = -0,767 0,449
3. BMI Post 21,01 ± 1,47 21,36 ± 1,41 t = - 0,718 0,478
4. Lama CAPD 26 ± 12,54 26 ± 11,53 t = -0,071 0,944
5. Sistole pre 143,82 ± 14,74 141,76 ± 12,74 Z = - 0,563 0,574
6. Diastole pre 89,12 ± 8,15 88,82 ± 9,11 t = 0,099 0,922
7. Sistole post 143,82 ± 13,64 142,06 ± 11,46 t = 0,408 0,686
8. Diastole post 89,41 ± 7,26 89,12 ± 7,55 t = 0,116 0,909
9. HB pre 10,46 ± 1,32 10,39 ± 1,51 t = 0,133 0,895
10.HB post 10,31 ± 0,99 10,48 ± 1,75 t = - 0,349 0,729
11. Al pre 7,65 ± 1,30 7,82 ± 2,00 t = - 0,295 0,770
12. Al post 8,61 ± 1,32 7,66 ± 1,90 t = 1,699 0,099
13. At pre 330,82±87,63 280,00±96,00 t = 1,612 0,117
14. At post 292,94±67,99 251,59±84,60 t = 1,571 0,126
15. Albumin pre 3,87 ± 0,49 3,88 ± 0,38 t = - 0,039 0,969
16. Albumin post 3,50 ± 0,34 3,42 ± 0,36 t = 0,667 0,497
17. Ureum pre 101,18±22,20 114,35±33,65 t = - 1,347 0,187
18. Ureum post 117,41±33,90 119,71±28,24 t = -0,214 0,832
19. Creatinin pre 12,58 ± 3,14 13,34 ± 4,17 t = - 0,604 0,550
20. Creatinin post 13,41 ± 2,71 13,75 ± 4,34 t = -0,280 0,781
21. Kalium pre 3,75 ± 0,56 3,52 ± 0,48 t = 1,312 0,199
22. Kalium post 3,85 ± 0,48 3,75 ± 0,58 t = 0,584 0,563
Sumber: Data Primer 2012, diolah.
Keterangan : * Signifikan pada derajat signifikansi 5%.
Untuk mengetahui bahwa karakteristik demografis dan klinis tersebut
diatas bersifat homogen sehingga perubahan variabel utama yang diteliti kadar
TNF-α dan PCT bukan karena adanya perbedaan karakteristik demografis dan
klinis subyek penelitian, maka dilakukan uji homogenitas. Uji homogenitas
variabel kuantitatif itu menggunakan analisis beda dua mean mengingat penelitian
ini dibagi menjadi 2 kelompok penelitian. Penentuan jenis uji statistik beda dua
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
mean tergantung dari distribusi data variabel itu, jika distribusinya normal
menggunakan uji t atau jika distribusinya tidak normal menggunakan uji Mann
Whitney.
Nampak bahwa hampir semua variabel kuantitaif karakteristik demografis
dan klinis memiliki distribusi normal kecuali satu variabel yaitu sistole pre yang
memiliki distribusi tidak normal. Maka uji homogenitas untuk variabel umur,
BMI pre, BMI post, lama menjalani CAPD, diastole pre, sistole post, diastole
post, HB pre, HB post, Al pre, Al post, At pre, At post, Albumin pre, Albumin
post, Ureum pre, Ureum post, Creatinin pre, Creatinin post, kalium pre dan
Kalium post menggunakan uji t untuk uji beda 2 mean sampel independen serta
untuk variabel sistole pre menggunakan analisis Mann Whitney dengan statistik Z.
Hasil pengujian homogenitas menunjukkan bahwa semua karakteristik
demografis dan klinis responden bersifat homogen. Hal itu dapat diartikan bahwa
karakteristik demografis dan klinis masing-masing subyek penelitian pada
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan tidak ada perbedaan yang
meyakinkan. Sehingga jika nanti terjadi perubahan penurunan variabel utama
yang diteliti yaitu kadar TNF-α dan PCT diharapkan benar-benar karena pengaruh
perlakuan yang diberikan yaitu pemberian NAS oral. Selanjutnya ada satu
variabel karakteristik demografis dan klinis yang bersifat kualitatif dalam
penelitian ini yaitu jenis kelamin yang gambaran analisis homogenitasnya adalah
sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
Tabel 5.3. Deskripsi Data Variabel Karakteristik Demografis dan Klinis
Kualitatif Subyek Penelitian : Jenis Kelamin.
Sumber: Data Primer 2012, diolah.
Uji homogenitas variabel kualitatif jenis kelamin tersebut diatas
menggunakan analisis Chi Kwadrat (χ2). Nampak dalam tabel diatas, pada
kelompok kontrol terdapat 10 orang laki-laki dan 7 orang perempuan,
demikian proporsi jenis kelamin itu sama pada kelompok perlakuan.
Pengujian homogenitas variabel jenis kelamin dengan menggunakan
Chi Kwadrat mendapatkan bahwa proporsi jenis kelamin antar kelompok
sampel kontrol dan perlakuan tidak berbeda atau sama. Nilai chi kwadrat
adalah 0,000 dengan probabilitas sebesar p = 0,636 (p > 5%) menunjukkan
bahwa uji homogenitas itu tidak signifikan pada derajat signifikansi 5 persen.
Dengan demikian semua variabel demografis dan klinis sudah
dideskripsikan secara ringkas dan sudah dilakukan pengujian homogenitas
terhadap variabel-variabel itu dan hasilnya variabel karakteristik demografis
dan klinis homogen.
C. Analisis Pengaruh NAS Oral terhadap Kadar TNF-α dan PCT
Variabel utama yang diteliti yaitu variabel kadar TNF-α dan PCT
bersifat kuantitatif, diukur sebelum dan sesudah mendapatkan perlakuan,
sehingga berdasarkan dua hasil pengukuran itu dapat disusun variabel baru
Variabel
Uji Homogenitas
Laki-laki Perempuan
N % N % Uji P
Kontrol 10 29,4 7 20,6
χ2 = 0,000 0,636 Perlakuan 10 29,4 7 20,6
Jumlah 20 13,3 2 6,7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
yang menunjukkan perubahan yaitu Delta TNF-α dan Delta PCT. Sebelum
dilakukan analisis perubahan sebelum dan sesudah mendapatkan perlakuan,
akan dijelaskan dahulu deskripsi variabel yang diteliti dan uji normalitas atas
data variabel sehingga dapat ditentukan uji statistik yang tepat.
Deskripsi dan uji normalitas data untuk variabel utama yang diteliti
kadar TNF-α dan PCT pada masing-masing kelompok penelitian sebelum dan
sesudah mendapatkan perlakuan adalah sebagai berikut:
Tabel 5.4. Deskripsi dan Uji Normalitas Data Variabel kadar TNF-α dan PCT
berdasarkan kelompok penelitian sebelum dan sesudah mendapatkan
perlakuan.
Variabel Kelompok penelitian Uji Normalitas
Kontrol Perlakuan Uji K-S P
1. TNF-α_Pre 5,36 ± 1,54 5,10 ± 1,25 Z = 0,987 0,285
2. TNF-α_Post 5,50 ± 1,28 4,54 ± 1,11 Z = 1,032 0,237
3. PCT_Pre 0,64± 0,56 0,83 ±0,90 Z = 1,247 0,089
4. PCT_Post 0,74 ± 0,61 0,33 ± 0,30 Z = 1,284 0,074
5. Delta TNF-α - 0,14 ± 0,80 0,56 ± 0,54 Z = 0,852 0,462
6. Delta PCT - 0,095 ± 0,22 0,50 ± 0,82 Z = 1,763 0,004
Sumber: Data Primer 2012, diolah
Pengujian data keseluruhan untuk masing-masing variabel
menunjukkan bahwa distribusi data variabel kadar TNF-α pre, TNF-α post,
PCT pre, PCT post dan Delta TNF-α semuanya normal, dan hanya variabel
Delta PCT yang berdistribusi tidak normal. Namun demikian apabila
dilakukan pengujian normalitas data untuk masing-masing kelompok sampel,
pada kelompok kontrol variabel yang berdistribusi normal hanya TNF-α post
sedangkan variabel-variabel TNF-α pre, PCT pre, PCT post dan Delta TNF-α
serta Delta PCT berdistribusi tidak normal. Sementara itu pada kelompok
perlakuan variabel-variabel yang berdistribusi normal hanyalah variabel PCT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
post dan Delta TNF-α, sedangkan variabel-variabel lain yaitu TNF-α pre,
TNF-α post, PCT pre dan Delta PCT berdistribusi tidak normal. Pengujian
selanjutnya terhadap variabel-variabel penelitian yang berdistribusi normal,
dapat menggunakan statistik parametrik dimana untuk menguji beda dua mean
digunakan Uji t untuk 2 sampel independent maupun sampel berpasangan,
sedangkan variabel-variabel yang berdistribusi tidak normal dapat
menggunakan statistik non parametrik dimana pengujian beda 2 mean dapat
dilakukan dengan Uji Mann Whitney untuk sampel independent dan Uji
Willcoxon untuk sampel berhubungan.
Pengujian beda 2 mean sampel berpasangan digunakan untuk
membuktikan apakah terdapat pengaruh treatment yaitu pemberian NAS oral
pada pasien terhadap penurunan kadar TNF-α dan PCT pada pasien PGK
stadium V yang menjalani CAPD. Adapun langkah-langkah pengujian disusun
sebagai berikut:
1. Menguji perbedaan kadar TNF-α dan PCT sebelum dan sesudah
mendapatkan perlakuan pada kelompok kontrol (plasebo) dengan
menggunakan Uji Willcoxon untuk uji beda 2 mean sampel berhubungan
yaitu antara TNF-α pre dengan TNF-α post, dan PCT pre dengan PCT
post.
2. Menguji perbedaan kadar TNF-α dan PCT sebelum dan sesudah
mendapatkan perlakuan pada kelompok perlakuan (NAS oral) dengan
menggunakan Uji Willcoxon untuk uji beda 2 mean sampel berhubungan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
yaitu antara TNF-α pre dengan TNF-α post, dan PCT pre dengan PCT
post.
Langkah pertama diharapkan pengujian itu tidak signifikan yang
berarti variabel utama kadar TNF-α dan PCT pada kelompok kontrol tidak
berubah sebelum maupun sesudah mendapatkan plasebo. Langkah kedua
diharapkan pengujian itu signifikan yang berarti dengan adanya perlakuan
yaitu pemberian NAS oral pada pasien dapat menurunkan kadar TNF-α dan
PCT. Hasil langkah pertama uji Willcoxon untuk uji beda 2 mean sampel
berhubungan sebelum dan sesudah mendapatkan perlakuan plasebo pada
kelompok kontrol adalah sebagai berikut:
Tabel 5.5. Perbedaan Kadar TNF-α dan PCT sebelum dan sesudah pemberian
plasebo pada kelompok kontrol.
Variabel
Sebelum Sesudah Uji Beda 2 Mean
Rata-
rata
Std
Dev
Rata-
rata
Std
Dev
Nilai
Statistik P
1. Kadar TNF-α 5,36 1,54 5,50 1,28 Z = - 1,113 0,266
2. Kadar PCT 0,64 0,56 0,74 0,61 Z = - 1,819 0,069
Sumber: Data Primer 2012, diolah.
Tampak dalam tabel diatas bahwa rata-rata kadar TNF-α sebelum
perlakuan pada kelompok kontrol (plasebo) bernilai 5,36 pq/mL dan sesudah
perlakuan meningkat menjadi 5,50 pq/mL. Adapun rata-rata kadar PCT
sebelum perlakuan mencapai 0,64 ng/mL dan sesudah perlakuan meningkat
menjadi 0,74 ng/mL. Hasil analisis Willcoxon untuk uji beda 2 mean sampel
berhubungan diatas menunjukkan bahwa uji terhadap variabel utama kadar
TNF-α dan PCT itu keduanya tidak signifikan pada derajat signifikansi 5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
persen, sehingga dapat disimpulkan bahwa kadar TNF-α dan PCT pada
kelompok kontrol itu tidak mengalami perubahan.
Langkah kedua uji Willcoxon untuk uji beda 2 mean sampel
berhubungan sebelum dan sesudah mendapatkan perlakuan pada kelompok
perlakuan ( NAS oral ) hasilnya adalah sebagai berikut:
Tabel 5.6. Perbedaan Kadar TNF-α dan PCT sebelum dan sesudah pemberian
NAS oral pada kelompok perlakuan.
Variabel
Sebelum Sesudah Uji Beda 2 Mean
Rata-
rata
Std
Dev Rata-rata Std Dev
Nilai
Statistik P
1. Kadar TNF-α 5,10 1,25 4,54 1,11 Z = - 3,385 0,001**
2. Kadar PCT 0,83 0,90 0,33 0,30 Z = - 2,936 0,003**
Sumber: Data Primer 2012, diolah.
Keterangan: ** Signifikan pada derajat signifikansi 5 persen.
Tampak dalam tabel diatas bahwa rata-rata kadar TNF-α sebelum
perlakuan pada kelompok perlakuan (NAS oral) mencapai 5,10 pq/mL dan
sesudah perlakuan menurun menjadi 4,54 pq/mL. Sedangkan rata-rata kadar
PCT sebelum perlakuan bernilai sebesar 0,83 ng/mL dan sesudah perlakuan
menurun menjadi 0,33 ng/mL. Hasil analisis beda 2 mean sampel berpasangan
dengan uji Willcoxon diatas menunjukkan bahwa uji terhadap variabel kadar
TNF-α dan PCT itu keduanya signifikan pada derajat signifikansi 5 persen (p
< 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa kadar TNF-α dan PCT pada
kelompok perlakuan itu benar-benar mengalami perubahan penurunan yang
meyakinkan setelah subyek penelitian mendapatkan perlakuan (NAS oral).
Hal itu dapat diartikan bahwa dengan pemberian NAS oral berpengaruh secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
meyakinkan terhadap penurunan kadar TNF-α dan PCT. Dengan demikian
hipotesis penelitian pertama dan kedua dapat dibuktikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
Persandingan perubahan kadar TNF-α sebelum dan sesudah perlakuan berdasarkan kelompok penelitian adalah sebagai berikut:
(a) (b)
Gambar 5.1. Perubahan Kadar TNF-α Sebelum (Pre) dan Sesudah (Post) Perlakuan Berdasarkan Kelompok Penelitian
Nampak bahwa pada kelompok kontrol kecenderungan kadar TNF-α tetap atau meningkat walaupun ada sedikit
yang menurun, namun pada kelompok perlakuan kadar TNF-α semua cenderung mengalami penurunan setelah
mendapatkan perlakuan (treatment), yaitu pemberian NAS oral pada pasien kelompok perlakuan ini.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pre Post
PERUBAHAN TNF-α PADA KLP KONTROL
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
10.00
Pre Post
PERUBAHAN TNF-αPADA KELOMPOK PERLAKUAN
82
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Persandingan perubahan kadar PCT sebelum dan sesudah perlakuan berdasarkan kelompok penelitian adalah sebagai berikut:
(a) (b)
Gambar 5.2. Perubahan Kadar PCT Sebelum (Pre) dan Sesudah (Post) Perlakuan Berdasarkan Kelompok Penelitian
Nampak bahwa pada kelompok kontrol kecenderungan kadar PCT tetap atau meningkat walaupun ada sedikit
yang menurun, namun pada kelompok perlakuan kadar PCT semua cenderung mengalami penurunan setelah
mendapatkan perlakuan (treatment) NAS oral.
0
0.5
1
1.5
2
2.5
Pre Post
PERUBAHAN PCT PADA KELOMPOK KONTROL
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
Pre Post
PERUBAHAN PCT PADA KELOMPOK PERLAKUAN
83
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
Bukti untuk menguatkan bahwa secara umum pemberian NAS oral itu
mempengaruhi penurunan kadar TNF-α dan PCT juga dapat dilakukan langkah-
langkah pengujian sebagai berikut:
1. Menguji perbedaan 2 mean variabel kadar TNF-α dan PCT pada masing-
masing kelompok penelitian sebelum mendapatkan perlakuan dengan
menggunakan Uji Mann Whitney untuk uji beda 2 mean sampel independen
yaitu TNF-α pre kelompok kontrol dengan perlakuan, dan PCT pre kelompok
kontrol dengan perlakuan.
2. Menguji perbedaan pada 2 mean variabel kadar TNF-α dan PCT pada
masing-masing kelompok penelitian sesudah mendapatkan perlakuan dengan
menggunakan uji Mann Whitney untuk uji beda 2 mean sampel independen
yaitu TNF-α post kelompok kontrol dengan perlakuan, dan PCT post
kelompok kontrol dengan perlakuan.
3. Menguji perbedaan 2 mean variabel Delta TNF-α pada masing-masing
kelompok penelitian dengan menggunakan Uji t untuk uji beda 2 mean
sampel independen yaitu Delta TNF-α kelompok kontrol dengan kelompok
perlakuan, serta menguji perbedaan 2 mean variabel Delta PCT pada masing-
masing kelompok sampel dengan menggunakan uji Mann Whitney untuk uji
beda 2 mean sampel independen yaitu Delta PCT kelompok kontrol dengan
kelompok perlakuan.
Hasil pengolahan langkah pertama yaitu Uji Mann Whitney atas
variabel kadar TNF-α dan PCT sebelum mendapatkan perlakuan adalah:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
Tabel 5.7. Uji Mann Whitney beda 2 mean kadar TNF-α dan PCT berdasarkan
Kelompok Penelitian Sebelum Mendapatkan Perlakuan.
Variabel Kelompok penelitian Uji Beda 2 Mean
Kontrol Perlakuan Nilai Statistik P
1. TNF-α_pre 5,36 ± 1,54 5,10 ± 1,25 Z = - 0,637 0,524
2. PCT_pre 0,64 ± 0,56 0,83 ± 0,90 Z = - 0,310 0,756
Sumber: Data Primer 2012, diolah.
Hasil Uji Mann Whitney atas variabel TNF-α dan PCT sebelum
perlakuan menunjukkan bahwa pengujian itu tidak signifikan pada derajat
signifikansi 5 persen (p > 0,05). Hal itu dapat diartikan bahwa rata-rata
variabel TNF-α dan PCT pada kedua kelompok sampel yaitu kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan tidak bervariasi secara meyakinkan atau
homogen.
Langkah kedua adalah menguji uji beda 2 mean antar kelompok
penelitian sesudah mendapatkan perlakuan dengan harapan setelah diberikan
perlakuan pemberian NAS oral akan terjadi perbedaan dua mean antar
kelompok kontrol dan perlakuan. Hasil pengolahan Uji Mann Whitney atas
variabel kadar TNF-α dan PCT sesudah mendapatkan perlakuan adalah
sebagai berikut:
Tabel 5.8. Uji Mann Whitney Kadar TNF-α dan PCT Berdasarkan Kelompok
Penelitian Sesudah Mendapatkan Perlakuan.
Variabel Kelompok penelitian Uji Beda 2 Mean
Kontrol Perlakuan Nilai Statistik P
1. TNF-α_post 5,50 ± 1,28 4,54 ± 1,11 Z = - 2,842 0,004**
2. PCT_post 0,74 ± 0,61 0,33 ± 0,30 Z = - 2,360 0,000**
Sumber: Data Primer 2012, diolah.
Keterangan: ** Signifikan pada derajat signifikansi 5 persen.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
Berdasarkan hasil analisis diatas dapat dijelaskan bahwa setelah
mendapatkan perlakuan ternyata terjadi perbedaan 2 mean antar kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan yang signifikan. Pengujian beda 2 mean
setelah mendapatkan perlakuan signifikan pada derajat signifikasi 5 persen
baik untuk variabel utama TNF-α post maupun variabel PCT post. Dengan
demikian dapat dinyatakan bahwa setelah dilakukan pemberian NAS oral
maka kadar TNF-α dan PCT menurun.
Langkah ketiga menguji variasi mean antar kelompok penelitian
variabel Delta TNF-α dan Delta PCT untuk mendapatkan pembuktian bahwa
dengan adanya perlakuan pemberian NAS oral terjadi perubahan penurunan
yang meyakinkan pada variabel TNF-α dan PCT. Pengujian beda 2 mean
Delta TNF-α antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan menggunakan
Uji t untuk uji beda 2 mean sampel independen, sedangkan pengujian beda 2
mean Delta PCT antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan
menggunajan Uji Mann-Whitney untuk uji beda 2 mean sampel independen.
Hasil pengolahan uji beda 2 mean sampel independen atas variabel Delta
TNF-α dan Delta PCT adalah sebagai berikut:
Tabel 5.9. Uji Beda 2 Mean Variabel Delta TNF-α dan Delta PCT Berdasarkan
Kelompok Penelitian.
Variabel Kelompok Sampel Uji Beda 2 Mean
Kontrol NAS Nilai Statistik P
1. Delta TNF-α - 0,14 ± 0,80 0,56 ± 0,54 t = - 2,976 0,006**
2. Delta PCT - 0,095 ± 0,22 0,50 ± 0,82 Z = - 3,464 0,000**
Sumber: Data Primer 2012, diolah.
Keterangan: ** Signifikan pada derajat signifikansi 5 persen.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Berdasarkan hasil analisis beda 2 mean variabel Delta TNF-α dan
Delta PCT itu dengan Uji t dan Uji Mann-Whitney didapatkan hasil bahwa
pengujian atas variabel Delta TNF-α dan Delta PCT signifikan pada derajat
signifikansi 5 persen (p < 0,05). Hal itu berarti terdapat perbedaan yang
meyakinkan variabel Delta TNF-α dan Delta PCT berdasarkan kelompok
sampel penelitian yaitu antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
Perbedaan rata-rata variabel Delta TNF-α dan Delta PCT pada kelompok
kontrol dan perlakuan dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 5.3. Mean Delta TNF-α dan Delta PCT Sesudah dan Sebelum
Perlakuan Berdasarkan Kelompok Penelitian
Delta TNF-α adalah selisih antara TNF-α pre dengan TNF-α post,
dan Delta PCT adalah selisih PCT pre dengan PCT post. Maka jika Delta
TNF-α dan Delta PCT bernilai negatif berarti variabel TNF-α dan PCT itu
Delta TNF Delta PCT
-0.1372 -0.0953
0.5636
0.5006
Kontrol Perlakuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
mengalami kenaikan setelah dilakukan perlakuan, sebaliknya jika Delta TNF-
α dan Delta PCT bernilai positif berarti variabel TNF-α dan PCT itu
mengalami penurunan setelah dilakukan perlakuan.
Berdasarkan grafik diatas ditunjukkan bahwa pada kelompok kontrol
nilai rata-rata Delta TNF-α dan Delta PCT adalah negatif berarti pada
kelompok kontrol nilai variabel TNF-α dan PCT cenderung meningkat
setelah dilakukan perlakuan plasebo karena tidak diberikan treatment. Namun
pada kelompok perlakuan, nilai rata-rata Delta TNF-α dan Delta PCT adalah
positif berarti pada kelompok perlakuan ini variabel TNF-α dan PCT
cenderung mengalami penurunan akibat adanya treatment pemberian NAS
oral pada pasien kelompok ini. Dengan demikian hal itu menguatkan bukti
hipotesis pertama dan kedua bahwa dengan pemberian NAS terjadi
penurunan kadar TNF-α dan PCT.
Pembuktian hipotesis ketiga berkaitan dengan apakah ada korelasi
antara kadar TNF-α dengan PCT pada pasien PKG Stadium V yang menjalani
CAPD, digunakan analisis korelasi. Sehubungan dengan distribusi variabel
TNF-α dan PCT secara keseluruhan bersifat normal maka analisis korelasi
yang digunakan adalah analisis korelasi product moment Pearson. Hasil
pengolahan analisis korelasi product moment Pearson menghasilkan nilai-
nilai korelasi sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
Tabel 5.10. Korelasi Kadar TNF-α dan PCT sebelum dan sesudah mendapatkan
perlakuan untuk Semua Kelompok Penelitian.
Variabel Semua Sampel (n = 34)
Korelasi P
1. Sebelum Perlakuan 0,409 0,016**
2. Sesudah Perlakuan 0,521 0,002**
Sumber: Data Primer 2012, diolah.
Keterangan: ** Signifikan pada derajat signifikansi 5 persen.
Berdasarkan hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa secara umum
antara variabel TNF-α dan PCT memiliki hubungan atau korelasi positif kuat.
Korelasi variabel TNF-α dan PCT sebelum dan sesudah dilakukan perlakuan
signifikan pada derajat signifikansi 5 persen. Hal itu dapat dijelaskan bahwa pada
kondisi sebelum dilakukan perlakuan pada pasien PKG stadium V memiliki
kecenderungan kadar TNF-α meningkat, dan peningkatan kadar TNF-α itu
cenderung mendorong terjadinya peningkatan kadar PCT. Setelah dilakukan
perlakuan dengan pemberian NAS ada kecenderungan kadar TNF-α mengalami
penurunan dan penurunan kadar TNF-α itu mendorong terjadinya penurunan pula
pada kadar PCT. Dengan demikian hipotesis ketiga penelitian ini yang
menyatakan bahwa ada korelasi antara kadar TNF-α dengan PCT pada pasien
PKG Stadium V yang menjalani CAPD benar-benar dapat dibuktikan. Korelasi
kadar TNF-α dengan PCT sesudah mendapatkan perlakuan cenderung menguat
dibandingkan sebelum mendapatkan perlakuan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Hasil Utama
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh N-Asetil Sistein
(NAS) oral terhadap kadar TNF-α dan Prokalsitonin (PCT) pada pasien
Penyakit Ginjal Kronis (PKG) stadium V yang menjalani Continuous
Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). Penjelasan deskriptif karakteristik
subyek penelitian dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang lebih
lengkap berkenaan dengan karakteristik subyek yang diteliti.
Penelitian Eksperimen dengan Randomisasi (Randomized Control Trial /
RCT) dipilih karena teknik ini merupakan standar baku penelitian
eksperimen, yang bisa mengeneralisasikan hasil penelitian, sehingga hasil
yang didapat pada penelitian ini bisa dipakai pada semua pasien Penyakit
Ginjal Kronik (PGK) stadium V yang menjalani CAPD. Selain itu, dengan
teknik ini bisa mengabaikan faktor - faktor perancu baik yang diketahui
maupun yang tidak diketahui.
Penelitian ini dilakukan terhadap 34 pasien PKG stadium V yang
menjalani CAPD, memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dikelompokkan
menjadi dua kelompok masing-masing 17 pasien sebagai subyek penelitian.
Kelompok pertama adalah kelompok kontrol yaitu kelompok yang hanya
diberikan plasebo atau tidak dilakukan perlakuan (treatment). Kelompok
kedua adalah kelompok perlakuan yaitu kelompok yang diberikan perlakuan
NAS oral (treatment ).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Pada kelompok perlakuan yang mendapatkan NAS oral dan pada
kelompok kontrol yang mendapatkan Plasebo selama delapan minggu,
dilakukan anamnesa keluhan yang muncul. Keluhan perut perih, mual,
muntah, kembung, sering buang angin, diare, badan panas, pusing, nafsu
makan berkurang, frekuensi/ jumlah kencing berkurang, gangguan Buang Air
Besar (BAB) , ataupun kondisi umum badan yang memburuk, tidak
dikeluhkan pada kedua kelompok (Tabel 5.1).
Sebanyak 88% pada kelompok perlakuan merasakan kondisi badan
membaik dan 12% menyatakan kondisi badan tidak terjadi perubahan, setelah
mendapatkan perlakuan NAS oral selama delapan minggu. Sedangkan pada
kelompok kontrol, 18% merasakan kondisi badan yang membaik dan 82%
menyatakan kondisi badan tidak mengalami perubahan, selama mendapatkan
plasebo selama delapan minggu (Tabel 5.1.)
Hasil penelitian ini sesuai dengan referensi bahwa tidak ada efek
samping yang bermakna selama penggunaan NAS oral, membuktikan
keamanan NAS oral dalam penggunaan terapetiknya. Banyak uji klinik NAS
oral dengan indikasi khusus menggunakan dosis tinggi atau dalam pengobatan
jangka panjang telah memperlihatkan bahwa obat NAS oral ditoleransi dengan
baik. Pada laporan kadang-kadang keluhan gastro-intestinal (nausea, vomitus,
dispepsia), jarang berupa urtikaria, anoreksia, vomitus, meteorisme (Heloisa,
2005; Borras dkk., 2007; Aguiar-Souto, 2008).
Hasil pengujian homogenitas menunjukkan bahwa semua karakteristik
demografis dan klinis subyek penelitian bersifat homogen (Tabel 5.2. dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
Tabel 5.3.). Hal ini berarti bahwa karakteristik demografis dan klinis masing-
masing subyek penelitian pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan
tidak ada perbedaan yang meyakinkan. Sehingga jika terjadi perubahan
penurunan variabel utama yang diteliti yaitu kadar TNF-α dan PCT
diharapkan benar - benar karena pengaruh perlakuan yang diberikan yaitu
pemberian NAS oral.
Hasil analisis Willcoxon untuk uji beda 2 mean sampel berhubungan
menunjukkan bahwa uji terhadap variabel utama kadar TNF-α dan PCT pada
kelompok kontrol, keduanya tidak signifikan pada derajat signifikansi 5
persen, sehingga dapat disimpulkan bahwa kadar TNF-α dan PCT pada
kelompok kontrol tidak mengalami perubahan setelah mendapatkan plasebo
selama delapan minggu. Bahkan terjadi peningkatan rata – rata kadar TNF-α
dan PCT (Tabel 5.5.).
Hasil ini sesuai dengan referensi yang menyatakan bahwa penanda
inflamasi seperti TNF-α dan PCT meningkat seiring dengan penurunan fungsi
ginjal pada PGK. Beberapa faktor dapat terlibat dalam memicu proses
inflamasi termasuk stres oksidatif (Cachofeiro, 2008). Di samping itu, proses
inflamasi sendiri juga dapat memicu pembentukan ROS (Himmelfarb, 2005).
Penyakit Ginjal Kronis menginduksi kondisi stres oksidatif yang dapat
dideteksi jauh sebelum menjalani terapi dialisis dan memburuk seiring dengan
progresi gagal ginjal. Penyakit Ginjal Kronis merupakan suatu penyakit
inflamasi, menyebabkan dilepaskannya sitokin IL-1ß, IL-6 dan TNF α.
Meningkatnya kadar TNF-α terdapat pada keadaan inflamasi akut dan kronis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
(Guntur, 2001 ; Malaponte, 2002). Peningkatan TNF-α dan IL-1 ß akan
memacu peningkatan sekresi PCT ( Christ-Crain dan Muller, 2005)
Stres oksidatif pada PGK dengan CAPD dapat terjadi melalui
mekanisme berikut: (1) Aktivasi komplemen saat membran peritoneum kontak
dengan cairan dialisat, memicu aktifasi fagosit neutrofil polimorfonuklear dan
monosit. (2) Stimulasi pelepasan NADPH-oksidase fagosit menyebabkan
reduksi molekul oksigen pada anion superoksida setelah aksi superoksida
dismutase, meningkatkan hidrogen peroksida dan kaskade ROS. (3)
Myeloperoxidase yang dilepaskan dari degranulasi neutrofil memicu
pembentukan oksidasi klorinasi jangka panjang melalui reaksi katalisasi antara
hidrogen peroksida dan klorida, dan (4) Sitokin pro-inflamasi yang dilepaskan
oleh monosit juga berkontribusi memperkuat pelepasan ROS (Santangelo
dkk., 2004).
Hasil analisis beda 2 mean sampel berpasangan dengan uji Willcoxon
menunjukkan bahwa uji terhadap variabel utama kadar TNF-α dan PCT pada
kelompok perlakuan keduanya signifikan pada derajat signifikansi 5 persen (p
< 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa kadar TNF-α dan PCT pada
kelompok perlakuan itu benar-benar mengalami perubahan penurunan yang
meyakinkan. Hal itu dapat diartikan bahwa dengan pemberian NAS oral
berpengaruh secara meyakinkan terhadap penurunan kadar TNF-α dan PCT.
Dengan demikian hipotesis penelitian pertama dan kedua dapat dibuktikan
(Tabel 5.6.).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
Hasil penelitian ini sesuai dengan referensi bahwa NAS merupakan
suatu senyawa yang mengandung tiol dengan efek antioksidan dan
antiinflamasi (Nascimento dkk., 2010). Efek antioksidan NAS dapat terjadi
secara langsung melalui interaksi dengan ROS elektrofilik maupun sebagai
prekusor glutation (GSH), suatu antioksidan vital yang melindungi sel dari
stres oksidatif yang diketahui menurun pada PGK (Dekhuijzen, 2004).
Secara farmakodinamik NAS oral berperan pre-cursor Glutation
(GSH) atau indirect antoxidant, direct antioxidant menetralisir oksidan (ROS)
menghilangkan keadaan stres oksidatif dan membaiki disfungsi sel (Oikawa,
2005). N-Asetil sistein mengontrol pelepasan mediator pro-inflamasi sistemik
seperti kemokin, sitokin (TNF, interleukin, interferon) agar bekerja tidak
berlebihan sehingga menyebabkan inflamasi kronik (Borras dkk., 2004). N-
Asetil sistein bekerja sebagai immune-booster (meningkatkan sistem imunitas)
dengan meningkatkan aktivitas sel imunitas (T-limfosit, makrofag, neutrofil)
untuk memfagositosis dan melisis bakteri atau benda asing, sehingga
memperbaiki daya tahan terhadap infeksi, meningkatkan kemampuan
antioksidan, mengembalikan keseimbangan redox (reduced and oxidized)
glutathion selular. Mengembalikan keseimbangan redox ini sangat penting
dalam mengatur respon terhadap inflamasi (Hansen, Watson dan Jones, 2004).
Tiga hasil uji statistik pada penelitian yang menguatkan bukti bahwa
pemberian NAS oral menurunkan kadar TNF-α dan PCT pada pasien PGK
sadium V yang menjalani CAPD.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
Pertama, hasil Uji Mann Whitney atas variabel utama TNF-α dan PCT
sebelum perlakuan menunjukkan bahwa pengujian itu tidak signifikan pada
derajat signifikansi 5 persen (p > 0,05). Hal itu dapat diartikan bahwa rata-rata
variabel utama TNF-α dan PCT pada kedua kelompok penelitian yaitu
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan itu tidak bervariasi secara
meyakinkan atau sama untuk 2 kelompok penelitian (Tabel 5.7.).
Kedua, pengujian Uji Mann Whitney beda 2 mean setelah
mendapatkan perlakuan NAS oral 2x600 mg selama delapan minggu,
signifikan pada derajat signifikan 5 persen baik untuk variabel utama TNF-α
post maupun variabel PCT post. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa
setelah dilakukan pemberian NAS oral maka kadar TNF-α dan PCT menurun
(Tabel 5.8.)
Ketiga, berdasarkan hasil analisis beda 2 mean variabel Delta TNF-α
dan Delta PCT itu dengan Uji t dan Uji Mann-Whitney didapatkan hasil bahwa
pengujian atas variabel Delta TNF-α dan Delta PCT signifikan pada derajat
signifikansi 5 persen (p < 0,05). Hal itu berarti terdapat perbedaan yang
meyakinkan variabel Delta TNF-α dan Delta PCT berdasarkan kelompok
penelitian yaitu antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan (Tabel 5.9.)
Korelasi variabel utama TNF-α dan PCT sebelum dan sesudah
dilakukan perlakuan signifikan pada derajat signifikansi 5 persen. Hal itu
dapat dijelaskan bahwa pada kondisi sebelum dilakukan perlakuan pada pasien
PKG stadium V memiliki kecenderungan kadar TNF-α meningkat, dan
peningkatan kadar TNF-α itu cenderung mendorong terjadinya peningkatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
kadar PCT. Setelah dilakukan perlakuan dengan pemberian NAS oral ada
kecenderungan kadar TNF-α mengalami penurunan dan penurunan kadar
TNF-α itu mendorong terjadinya penurunan pula pada kadar PCT. Dengan
demikian hipotesis ketiga penelitian ini yang menyatakan bahwa ada korelasi
antara kadar TNF-α dengan PCT pada pasien PKG Stadium V yang menjalani
CAPD benar-benar dapat dibuktikan. Korelasi kadar TNF-α dengan PCT
sesudah mendapatkan perlakuan cenderung menguat dibandingkan sebelum
mendapatkan perlakuan (Tabel 5.10.)
Hasil penelitian ini sesuai dengan referensi bahwa sitokin proinflamasi
seperti TNF-α dan IL - 1ß menginduksi ekspresi PCT mRNA pada leukosit
mononuklear manusia, sehingga terbentuk PCT. Pasien tanpa infeksi pada
PGK dengan dialisis terjadi peningkatan sekresi PCT dari sel
polimorfonuklear dibandingkan kontrol sehat. Hubungan antara kadar TNF-α
dan PCT dapat memberikan peluang untuk mendeteksi inflamasi subklinis
pada kondisi mikro-inflamasi kronis seperti pada Penyakit Ginjal Kronis
(Alscher dan Thomas, 2005).
B. Keterbatasan penelitian
Pemberian NAS oral belum bisa di berikan kepada semua pasien PGK
stadium V yang menjalani CAPD karena keterbatasan biaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
BAB VII
KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Terdapat penurunan kadar TNF-α akibat pemberian NAS oral pada pasien
PGK stadium V yang menjalani CAPD.
2. Terdapat penurunan kadar PCT akibat pemberian NAS oral pada pasien
PGK stadium V yang menjalani CAPD.
3. Ada korelasi antara kadar TNF-α dengan PCT pada pasien PGK stadium V
yang menjalani CAPD.
B. Implikasi
Pemberian NAS oral pada pasien PGK stadium V yang menjalani
CAPD.
C. Saran
Dilakukan penelitian lanjutan multisenter pada Unit - Unit CAPD
untuk mendapatkan evidence based.