PENGARUH EKSTRAK STEROID TERIPANG PASIR …digilib.unila.ac.id/26620/3/TESIS TANPA BAB...
Transcript of PENGARUH EKSTRAK STEROID TERIPANG PASIR …digilib.unila.ac.id/26620/3/TESIS TANPA BAB...
PENGARUH EKSTRAK STEROID TERIPANG PASIR (Holothuria
scabra) DAN 17α METILTESTOSTERON PADA SUHU BERBEDA
TERHADAP PEMBALIKAN KELAMIN JUVENIL LOBSTER
AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus)
(Tesis)
Oleh
Fadhli Dzil Ikrom
PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
ABSTRACT
THE EFFECT OF STEROID EXTRACTS OF SEA CUCUMBER
(Holothuria scabra) AND 17α METHYLTESTOSTERONE AT
DIFFERENT TEMPERATURE ON JUVENIL FRESH
WATER CRAYFISH (Cherax quadricarinatus)
By
Fadhli Dzil Ikrom
Red claw (Cherax quadricarinatus) is one kind of fresh water cray fish with high
economic value which encourages farmers to increase their production. However,
there are several obstacles where the growth of female individuals is faster than
male. To overcome this problem, it is important to undergo a monosex (single
gender) cultivation. The aim of this research is to find out the effect of sea
cucumber's steroid extract and 17α methyltestosterone at different temperature to
sex reversal to males on juvenile freshwater crayfish, Cherax quadricarinatus.
This research was designed using Factorial Complete Random Design Method.
The treatments were observed at temperatures of 27° C and 31ºC as follows: 50
mg/kg of sea cucumber's steroid extracts at temperatures of 27°C and 31ºC, and
50 mg/kg of 17α methyltestosterone at temperatures of 27 ° C and 31 ° C. The
results showed that the most effective use of steroid extracts of sea cucumber and
17α methyltestosterone was at 27°C to increase the male percentage of 75.16%
and 73.79% respectively and gave a significant effect on female genital decrease,
total length, daily weight gain and biomass. While giving the steroid hormone did
not make a significant effect on survival rate, intersex percentage and feed
conversion of juvenile freshwater crayfish.
Keywords: sea cucumber, steroid, freshwater crayfish, 17α methyltestosterone,
temperature
ABSTRAK
PENGARUH EKSTRAK STEROID TERIPANG PASIR (Holothuria
scabra) DAN 17α METILTESTOSTERON PADA SUHU BERBEDA
TERHADAP PEMBALIKAN KELAMIN JUVENIL LOBSTER
AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus)
Oleh
Fadhli Dzil Ikrom
Lobster air tawar jenis red claw (Cherax quadricarinatus) memiliki nilai
ekonomis yang tinggi sehingga mendorong pelaku pembudidaya untuk
meningkatkan hasil produksinya. Namun terdapat kendala dimana pertumbuhan
individu jantan lebih cepat dibandingkan betina. Untuk mengatasi hal ini pada
lobster air tawar perlu dilakukan budidaya monoseks (kelamin tunggal). Penelitian
ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian steroid teripang pasir dan17α
metiltestosteron pada suhu berbeda terhadap pembalikan kelamin (sex reversal)
menuju jantan pada juvenil lobster air tawar, Cherax quadricarinatus. Penelitian
ini disusun dengan menggunakan Metode Rancangan Acak Lengkap Faktorial.
Perlakuan yang diberikan yaitu kontrol suhu 27°C dan 31ºC, 50 mg/kg steroid
teripang pasir dengan suhu 27°C dan 31º C, dan 50 mg/kg 17α metiltestosteron
dengan suhu 27°C dan 31ºC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian
hormon steroid teripang pasir dan 17α metiltestosteron serta suhu 27°C efektif
untuk meningkatkan persentase jantan yaitu sebesar 75,16 % dan 73,79 %, serta
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan persentase kelamin
betina, panjang total, pertambahan bobot harian dan biomassa. Sedangkan
pemberian hormon steroid tersebut tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap kelulushidupan, persentase kelamin interseks dan konversi pakan pada
juvenil lobster air tawar.
Kata kunci: teripang pasir, steroid, lobster air tawar, 17α metiltestosteron, suhu
PENGARUH EKSTRAK STEROID TERIPANG PASIR (Holothuria
scabra) DAN 17α METILTESTOSTERON PADA SUHU BERBEDA
TERHADAP PEMBALIKAN KELAMIN JUVENIL LOBSTER
AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus)
(Tesis)
Oleh
Fadhli Dzil Ikrom
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
MAGISTER SAINS
Pada
Program Studi Magister Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Lampung
PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Bumi, pada tanggal 8 Januari 1992,
sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak
Jaya Rahmat, SKM dan Ibu Komala Sari SE.
Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Al–Kautsar Bandar Lampung
pada tahun 2004. Menyelesaikan pendidikan di SMP Al-Kautsar Bandar Lampung
pada tahun 2007 serta menamatkan pendidikan di SMA Negeri 4 Bandar
Lampung pada tahun 2010. Tahun 2010, penulis mendapatkan kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan S1 di Perguruan Tinggi Universitas Lampung Fakultas
Pertanian, Jurusan Budidaya Perairan. Pada tahun 2015 penulis diterima bekerja
sebagai Dosen di Prodi D3 Akademi Perikanan Bhima Sakti, Prasetya Mandiri
Group Lampung. Tahun 2015 penulis melanjutkan pendidikan sebagai mahasiswa
Magister Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Lampung Bandar Lampung.
MOTTO
Setinggi apapun pangkat yang dimiliki anda tetap seorang pegawai. Sekecil
apapun usaha yang anda punya, anda adalah bosnya.
~ Bob. Sadino ~
Jangan menyerah jatuh bukanlah sesuatu yang memalukan, yang memalukan
adalah kalau aku tak berdiri lagi.
~ Shintaro Midorima ~
Takdir setiap manusia memang telah ditentukan sejak mereka lahir, tetapi
dengan kerja keras kita dapat mengalahkan takdir.
~ Naruto Uzumaki ~
Kalau kita berusaha sebaik mungkin kepada hal yang kita sukai, kita akan
menikmati kemenangan dari lubuk hati kita.
~ Kuruko Tetsuya ~
The only way to do great work is to love what you do.
~ Steve Jobs ~
PERSEMBAHAN
Dengan rasa syukur kepada Allah SWT, ku persembahkan karya yang sederhana
ini untuk orang yang selalu mendo’akan dan menyemangati, terutama bagi:
1. Ayahanda Jaya Rahmat, SKM dan Ibunda Komala Sari, SE yang telah
membesarkanku, membimbing sampai saat ini, selalu menberikan dukungan
dan berdoa untuk keberhasilanku.
2. Kedua kakakku M. Kurnia Wijaya Kusuma, SE., MM dan M. Nurhadi
Wijaya Kesuma, SE yang selalu mendukung dan mendoakan akan
keberhasilanku.
3. Nyai yang selalu mendoakan dengan tulus untuk aku untuk menjadi orang
yang bermanfaat bagi banyak orang.
4. Almamaterku Universitas Lampung
SANWACANA
Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang,
segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan
rahamat dan karunia–Nya yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Magister Sains (M.Si) pada program studi Magister Biologi, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung dengan judul “Pengaruh
Ekstrak Steroid Teripang Pasir (Holothuria scabra) dan 17α Metiltestosteron Pada
Suhu Berbeda Terhadap Pembalikan Kelamin Juvenil Lobster Air Tawar (Cherax
quadricarinatus).
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. G. Nugroho Susanto, M.Sc selaku pembimbing utama dan
pembimbing akademik yang telah banyak meluangkan waktu untuk
memberikan bimbingan, nasihat, ide, saran, dan kritik dalam penulisan tesis
ini.
2. Bapak Dr. Supono, M.Si selaku pembimbing pembantu yang telah banyak
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, nasihat, ide, saran, dan
kritik dalam penulisan tesis ini.
3. Bapak Prof. Dr. Sutyarso, M.Biomed selaku dosen penguji atas kritik dan
saran yang diberikan hingga terselesainya tesis ini.
4. Bapak Dr. Sumardi, M.Si selaku selaku Ketua Program Studi Magister
Biologi FMIPA Unila atas dukungan, kritik dan saran yang telah diberikan.
5. Ibu Dra. Nuning Nurcahyani, M.Sc selaku selaku Ketua Jurusan Biologi
FMIPA Unila atas dukungan, kritik dan saran yang telah diberikan.
6. Bapak Prof. Warsito, S.Si., DEA., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.
7. Bapak dan Ibu Dosen, Staf beserta Laboran Jurusan Biologi, Kimia, Biomas
FMIPA Unila atas ilmu, dukungan dan pengalaman yang telah diberikan
kepada penulis.
8. Gemma Farm Jawa Tengah (Klaten), Bapak akin pegempul teripang yang
turut membantu untuk menyediakan bahan yang dibutuhkan untuk penelitian
ini.
9. Teman-teman Magister Biologi FMIPA Unila angkatan 2015, Bayu Danan
Jaya, M.Si, Asep Yusuf Hamdani, S.Pd., M.Si, Lusiati, S.Si.,M.Si dan Shofi,
S.Si.,M.Si untuk kebersamaannya selama ini.
10. Teman- teman Budidaya Perairan Fakultas Pertanian angkatan 2010, Ahmad
Fauzy, S.Pi, Anggi Trisatria, S.Pi, Andi Bimantara, S.Pi, Windi Pratiwi S.Pi,
Roma Ade Saputra,S.IP, Rudi Irawan, S.Pi, Shoffan Al-Haq, S.Pi, MM,
Winda Rohaila, S.Pi, Vina Olivia, S.Pi, Dio Sandi Kiswara, S.Pi, Assovaria,
S.Pi, Sandi Putra Barlian, S.Pi. Terima kasih selama 7 tahun untuk
kebersamaannya.
11. Semua pihak yang telah membantu dalam proses perkuliahan dari awal
hingga akhir yang tidak dapat dituliskan satu persatu.
12. Almamater tercinta Universitas Lampung.
Hanya dengan Do’a yang dapat penulis berikan untuk membalas budi semuanya.
Semoga Allah SWT memberikan yang terbaik untuk kita semua, dan dengan
segala kerendahan semoga tesis ini dapat diterima dan bermanfaat bagi kita
semua, Amin.
Bandar Lampung, Mei 2017
Penulis
Fadhli Dzil Ikrom
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 5
1.3 Manfaat Penelitian .................................................................................... 6
1.4 Kerangka Pikir ........................................................................................... 6
1.5 Hipotesis .................................................................................................... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Lobster Air Tawar Red Claw (Cherax quadricarinatus) ....... 10
2.2 Morfologi, Anatomi dan Fisiologi Lobster Air Tawar Red Claw (Cherax
quadricarinatus) ....................................................................................... 10
2.3 Pemanfataan Teknologi Sex Reversal pada Budidaya Lobster Air Tawar
(Cherax quadricarinatus) ......................................................................... 12
2.4 Pemanfaatan Ekstrak Steroid Teripang Pasir (Holothuria scabra) .......... 15
2.5 Pemanfaatan Hormon 17α metiltestosteron .............................................. 17
2.6 Metode Sex Reversal Melalu Pemberian Pakan (Oral) ............................. 18
2.7 Metode Sex Reversal Melalui Suhu Air yang Berbeda ............................. 20
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................... 22
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ......................................................................... 22
3.3 Desain Penelitian ....................................................................................... 23
3.4 Prosedur Penelitian .................................................................................... 24
3.4.1 Persiapan wadah pemeliharaan benih .............................................. 24
3.4.2 Pengisian air wadah pemeliharaan ................................................... 24
3.4.3 Pembuatan hormon ekstrak steroid teripang .................................... 25
3.4.4 Pencampuran hormon steroid dalam pakan ................................... 26
3.5 Pelaksanan Penelitian ................................................................................ 27
3.5.1 Persiapan wadah pemeliharaan benih ............................................. 27
3.5.2 Persiapan lobster uji ......................................................................... 27
3.5.3 Pemeliharaan lobster uji ................................................................... 28
3.5.4 Metode pegambilan sampel pertumbuhan panjang dan bobot ......... 28
3.5.5 Manajemen kualitas air .................................................................... 29
3.5.6 Pengukuran kualitas air ................................................................... 29
3.6 Pengambilan Data ..................................................................................... 29
3.6.1 Panjang total .................................................................................... 29
3.6.2 Pertambahan bobot harian ............................................................... 30
3.6.3 Biomassa .......................................................................................... 30
3.6.4 Kelulushidupan ................................................................................ 31
3.6.5 Konversi pakan ............................................................................... 31
3.6.6 Keberhasilan pembentukan jenis kelamin ...................................... 32
3.7 Analisis Data ............................................................................................. 33
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Persentase Lobster Air Tawar (LAT) Jantan ............................................. 34
4.2 Persentase Lobster Air Tawar (LAT) Betina ........................................... 42
4.3 Persentase Lobster Air Tawar (LAT) Interseks ........................................ 46
4.4 Kelulushidupan Lobster Air Tawar (LAT) .............................................. 49
4.5 Panjang Total Juvenil Lobster Air Tawar (LAT) ...................................... 53
4.6 Pertambahan Bobot Harian Juvenil Lobster Air Tawar (LAT) ................. 57
4.7 Biomassa Lobster Air Tawar (LAT) ........................................................ 59
4.8 Konversi Pakan Lobster Air Tawar (LAT) ............................................... 63
4.9 Kualitas Air ............................................................................................... 66
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ................................................................................................ 70
5.2 Saran .......................................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Persentase individu jantan dari juvenil LAT yang diberi perlakuan
hormon steroid teripang dan 17α metiltestosteron pada suhu berbeda
selama 50 hari pemeliharaan .............................................................. 34
Tabel 2. Persentase individu betina dari juvenil LAT yang diberi perlakuan
hormon steroid teripang dan 17α metiltestosteron pada suhu berbeda
selama 50 hari pemeliharaan. ............................................................. 42
Tabel 3. Persentase individu interseks dari juvenil LAT yang diberi perlakuan
hormon steroid teripang dan 17α metiltestosteron pada suhu berbeda
selama 50 hari pemeliharaan. ............................................................. 46
Tabel 4. Kelulushidupan LAT selama 50 hari pemeliharaan ........................... 49
Tabel 5. Biomassa LAT selama 50 hari pemeliharaan .................................... 50
Tabel 6. Konversi pakan LAT selama 50 hari pemeliharaan ........................... 63
Tabel 7. Kualitas air pemeliharaan LAT selama 50 hari pemeliharaan ........... 66
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian .............................................................. 8
Gambar 2. Perbedaan alat reproduksi pada LAT ............................................. 12
Gambar 3. Rumus bangun inti steroid (cyclopentanohydrophenanthrene)
(a) dan testosteron (b) (Kustiariah, 2006) .................................... 15
Gambar 4. Penempatan wadah pemeliharaan selama penelitian. .................... 24
Gambar 5. Persentase juvenil LAT jantan selama 50 hari pemeliharaan ....... 35
Gambar 6. Persentase juvenil LAT betina selama 50 hari pemeliharaan ....... 43
Gambar 7. Persentase juvenil LAT interseks selama 50 hari pemeliharaan ... 47
Gambar 8. Persentase kelulushidupan LAT .................................................... 50
Gambar 9. Panjang rerata LAT pada tiap perlakuan selama 50 hari
pemeliharaan. ................................................................................. 53
Gambar 10. Panjang total LAT selama 50 hari pemeliharaan ....................... 54
Gambar 11. Bobot rerata LAT pada tiap perlakuan selama 50 hari
pemeliharaan. .............................................................................. 56
Gambar 12. Pertambahan bobot harian LAT selama 50 hari pemeliharaan ... 57
Gambar 13. Biomassa LAT selama 50 hari pemeliharaan .............................. 61
Gambar 14. Konversi pakan LAT selama 50 hari pemeliharaan .................... 64
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lobster air tawar red claw (Cherax quadricarinatus) merupakan komoditi
perikanan yang berasal dari Queensland, Australia dan telah diintroduksikan
ke Indonesia sejak 1991. Usaha budidaya lobster ini semakin digemari oleh
para pembudidaya karena memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap
lingkungan sehingga memiliki potensi untuk dibudidaya sepanjang tahun. Di
Indonesia komoditi ini dibudidayakan sebagai produk unggulan karena
morfologinya yaitu bentuk dan corak warna tubuhnya yang unik sehingga
dapat dijadikan sebagai komoditi ikan hias. Disamping itu biota ini memiliki
tekstur daging yang padat, empuk dan cukup gurih rasanya jika dibanding
lobster laut atau jenis udang lainnya, sehingga juga sebagai hewan konsumsi.
Lobster air tawar memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi terutama untuk
memenuhi kebutuhan protein (Iskandar, 2003).
Lobster air tawar ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi sehingga
mendorong pelaku budidaya untuk meningkatkan hasil produksinya. Namun
terdapat kendala dalam pembesaran karena lobster jantan dan betina
pertumbuhannya tidak sama. Lobster jantan dengan waktu pemeliharaan 7-8
bulan pertumbuhannya mencapai bobot rerata 30 gr/ekor, lebih besar
2
dibanding lobster betina yang hanya mencapai bobot ± 20 gr/ ekor (Curtis
dan Jones 1995). Hasil akhir yang didapatkan dari budidaya pertumbuhan
lobster air tawar jantan lebih cepat dibandingkan betina. Hal ini berdampak
pada biaya operasional budidaya yang tinggi karena pakan yang diberikan
untuk pembesaran lobster menjadi kurang optimal.
Seiring perkembangan budidaya perikanan munculah salah satu rekayasa
budidaya dengan teknik sex reversal (pembalikan kelamin). Teknik rekayasa
ini banyak digunakan dalam proses maskulinisasi ikan termasuk lobster air
tawar yang bertujuan untuk meningkatkan persentase jumlah individu jantan.
Sex reversal umumnya dilakukan dengan pemberian hormon yang tidak
berbahaya bagi biota budidaya maupun konsumen. Namun, pada
kenyataannya hormon steroid yang biasa digunakan dalam pembalikan
kelamin umumnya adalah 17α metiltestosteron. Hormon sintetis ini bersifat
menimbulkan residu yang berpotensi buruk terhadap kesehatan manusia,
lingkungan dan organisme budidaya, tetapi tingkat keberhasilan dalam sex
reversal tinggi mencapai 96-100% (Zairin, 2003). Oleh karena itu penelitian
untuk menemukan sumber steroid alami yang aman bagi manusia dan ramah
lingkungan perlu dilakukan guna mengatasi permasalahan yang ada. Salah
satu cara adalah memanfaatkan hormon alami yang diekstraksi dari jeroan
teripang pasir (Holothuria scabra).
Berbagai penelitian menyebutkan bahwa teripang termasuk biota laut yang
memiliki kandungan protein tinggi, berkadar lemak rendah serta dipercaya
3
sebagai aprodisiaka karena mengandung steroid tinggi (Kustiariah, 2006).
Bahkan jeroan teripang diketahui memiliki kandungan steroid tertinggi
dibandingkan bagian tubuh lainnya. Riani et al. (2005) menyatakan bahwa
diantara bagian teripang pasir yang diekstraksi, rendemen terbesar berupa
ekstrak kasar steroid diperoleh dari ekstrak jeroan basah teripang pasir. Riani
et al. (2005) menyatakan bahwa steroid pada hewan banyak dihasilkan oleh
organ reproduksi seperti testis, ovari, korteks dan plasenta. Organ-organ
reproduksi ini dan usus merupakan bagian terbesar dari organ-organ visceral
(jeroan) teripang. Hasil uji Lieberman-Burchard dan bioassay menggunakan
anak ayam menunjukkan bahwa ekstrak teripang terbukti mengandung
steroid. Rendemen terbesar diperoleh dari 1 kg jeroan basah (21,28 g ekstrak
kasar) mengandung steroid 6,124 μg/kg jenis testosteron (Riani et al., 2005.,
Kustiariah, 2006).
Secara fisiologis, jenis kelamin ikan dapat diarahkan dengan menggunakan
hormon steroid. Perlakuan hormon dilakukan pada periode labil yaitu
sebelum gonad berdiferensiasi saat masih sensitif terhadap perlakuan hormon
(Piferrer, 2001). Faktor yang menentukan keberhasilan dalam pembentukan
monoseks jantan, salah satu adalah dosis yang sesuai dan lama waktu
pemberian hormon. Dalam proses pembalikan kelamin (sex reversal) apabila
dosis hormon serta umur larva tidak sesuai maka efektifitas hormon yang
diberikan menjadi kurang optimal (Susanto dan Supono, 2012).
4
Salah satu metode pemberian hormon steroid yang sering digunakan adalah
melalui oral (mulut) dengan mencampurkannya pada pakan buatan (pelet).
Cara ini merupakan paling mudah dan efektif serta tidak memerlukan
keahlian yang khusus (Kuhl dan Brouwer, 2005). Namun metode ini memiliki
beberapa kelemahan, karena pakan tidak langsung termakan yang
menyebabkan hormon yang terkandung dalam pakan akan tercuci dalam
media budidaya. Selain itu dengan metode oral ini memungkinkan terjadinya
degradasi hormon oleh enzim pencernaan, sehingga hormon dapat rusak
sebelum bekerja (Zairin, 2002).
Dari metode pembalikan jenis kelamin (sex reversal) secara oral beberapa
kelemahan dapat diminimalisir dengan memanipulasi lingkungan budidaya
yaitu melalui peningkatan suhu media budidaya. Suhu merupakan faktor yang
dapat mempengaruhi kecepatan reaksi kimia dalam tubuh seperti laju
metabolisme (El-Fotoh et al., 2014). Dengan adanya peningkatan suhu dapat
membantu mempercepat proses metabolisme sehingga nafsu makan lobster
air tawar menjadi meningkat. Hal ini dapat membantu penyerapan hormon
steroid yang terkandung pada pakan supaya tidak rusak dan efektif bekerja
dalam tubuh.
Kondisi suhu air yang optimal akan mempengaruhi laju metabolisme tubuh,
sehingga masa sensitivitas gonad terhadap stimulasi hormon berjalan dengan
baik. Sebaliknya suhu yang terlalu rendah menyebabkan sensitivitas gonad
terhadap stimulasi hormon berjalan lambat. Pada ikan nila, temperatur
5
pemeliharaan 28 °C menghasilkan persentase jantan 52,33% (El-Fotoh et al.,
2014). Pada ikan channel catfish, temperatur pemeliharaan 29 - 30ºC dapat
memberikan efek pada persentase jantan 69,5% (Patino et al., 1996).
Sedangkan pada suhu 36 °C menghasilkan persentase ikan nila jantan 81%
(El-Fotoh et al., 2014). Dari beberapa hasil penelitian ini menunjukkan suhu
juga berpengaruh terhadap proses pembalikan kelamin (sex reversal). Oleh
karena itu perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh penggunaan hormon
steroid ekstrak teripang pasir dan 17α metiltestosteron pada suhu berbeda
terhadap pembalikan kelamin pada juvenil lobster air tawar. Penelitian ini
diharapkan dapat menjawab permasalahan dalam budidaya lobster air tawar
jenis red claw (Cherax quadricarinatus), khususnya memproduksi individu
jantan, dalam upaya meningkatkan produksi dari pembesaran lobster air tawar
secara monoseks.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaruh ekstrak steroid teripang pasir dan 17α
metiltestosteron pada suhu berbeda terhadap peningkatan persentase
pembalikan kelamin (sex reversal) menuju jantan pada juvenil lobster air
tawar (Cherax quadricarinatus).
2. Untuk membandingkan efektifitas hormon ekstrak steroid teripang pasir
dan hormon sintetis 17α metiltestosteron terhadap persentase pembalikan
6
kelamin(sex reversal) menuju jantan pada juvenil lobster air tawar
(Cherax quadricarinatus).
1.3 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dihasilkan dari penelitian ini adalah keberhasilan
dalam produksi masal lobster air tawar jantan dengan menggunakan hormon
alami steroid teripang dan17α metiltestosteron pada suhu berbeda. Hal ini
diharapkan dapat memenuhi kebutuhan akan permintaan pasar lobster air
tawar yang terus meningkat baik secara kualitas maupun kuantitas.
1.4 Kerangka Pikir
Pembalikan kelamin (sex reversal) yaitu cara pembalikan arah perkembangan
kelamin yang seharusnya berkelamin jantan diarahkan perkembangan
gonadnya menjadi betina atau sebaliknya. Teknik ini dilakukan pada saat
sebelum terjadinya diferensiasi gonad secara jelas antara menuju jantan dan
betina pada waktu menetas. Sex reversal merubah fenotip ikan tetapi tidak
merubah genotipnya (Masduki, 2010). Hormon yang umum dipakai untuk sex
reversal jantan adalah 17α metiltestosteron, yang merupakan hormon sintetis
(Barrett et al., 2005). Bioassay yang dilakukan pada ayam, diketahui bahwa
hormon sintetis ini memberikan efek samping bersifat toksik pada hati, limpa
dan bursa fabricius (Riani et al., 2005). Salah satu cara alternatif adalah
menggunakan sumber hormon testosteron alami yang berasal dari ekstrak
steroid teripang pasir.
7
Pemberian hormon steroid dipengaruhi oleh interval waktu perkembangan
gonad, yaitu ketika keadaan gonad sedang labil, sehingga hormon steroid
sebagai pemicu diferensiasi harus diberikan pada saat yang tepat terjadinya
diferensiasi alami. Periode diferensiasi kelamin merupakan fase penentuan
atau pengarahan jenis kelamin. Masa diferensiasi dimulai dari fase larva
menetas, dimana masih terdapat kuning telur sampai larva mulai mencari
makan. Pada fase kritis tersebut adalah fase yang efektif untuk pemberian
hormon steroid (Handajani, 2006).
Selain adanya pengaruh hormon, suhu yang optimal juga dapat
mempengaruhi proses pembalikan kelamin (sex reversal). Adanya suhu yang
tepat dapat mempengaruhi proses pembentukan individu jantan. Pada proses
sex reversal, faktor lingkungan berupa suhu dapat mempengaruhi kecepatan
reaksi kimia dalam tubuh seperti laju metabolisme (El-Fotoh et al., 2014).
Dengan adanya peningkatan suhu dapat membantu mempercepat proses
metabolisme, sehingga meningkatkan nafsu makan. Hal ini tentu dapat
membantu penyerapan hormon steroid yang terkandung pada pakan, sehingga
bekerja secara efektif dalam mengarahkan determinasi seksualnya menuju
jantan. Sedangkan kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1
berikut ini.
8
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian.
1.5 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah:
1. Pemberian ekstrak steroid teripang pasir (Holothuria scabra) dan 17 α
metiltestosteron pada suhu berbeda, berpengaruh terhadap proses
pembalikan kelamin juvenil lobster air tawar (Cherax quadricarinatus).
Permasalahan pembenihan
lobster air tawar :
Pertumbuhan betina lebih
lambat dibandingkan
jantan
Penggunaan bahan kimia
berbahaya untuk
kesehatan dan lingkungan
Produksi rendah dan tidak
dapat memenuhi
permintaan pasar.
Alternatif pemecahan
Masalah:
Meningkatkan
produktifitas
Pemanfaatan bahan
alami yang sehat dan
ramah lingkungan.
Penerapan Aplikasi :
Pemberian hormon
steroid alami berasal dari
jeroan teripang
Manipulasi lingkungan
budidaya dengan suhu
berbeda.
Hasil Penelitian :
Bobot akhir individu
rata-rata meningkat
Jumlah larva lobster
monoseks jantan
meningkat.
Produk aman untuk
dikonsumsi dan ramah
lingkungan.
9
2. Pemberian ekstrak steroid teripang pasir lebih efektif dibanding hormon
sintesis 17α metiltestosteron pada proses pembalikan kelamin juvenil
lobster air tawar (Cherax quadricarinatus).
10
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Lobster Air Tawar Red Claw (Cherax quadricarinatus)
Penelitian ini menggunakan lobster air tawar jenis red claw (Cherax
quadricarinatus). Klasifikasi lobster air tawar jenis Cherax quadricarinatus
menurut Jones (2005) adalah:
Phylum : Arthropoda.
Klas : Crustacea.
Sub klas : Malacostraca.
Ordo : Decapoda.
Famili : Parastacidae.
Genus : Cherax.
Spesies : Cherax quadricarinatus.
2.2 Morfologi, Anatomi dan Fisiologi Lobster Air Tawar Red Claw (Cherax
quadricarinatus)
Cherax quadricarinatus adalah lobster air tawar yang berasal dari Australia,
banyak ditemukan di sungai, rawa dan danau pesisir utara Australia bagian
timur laut dari Queensland. Di Indonesia populasi ini ditemukan di daerah
Papua. Lobster air tawar tidak memiliki tulang dalam (internal skeleton),
seluruh tubuh ditutupi oleh cangkang yang terbuat dari zat tanduk (chitin).
11
Cangkang akan mengelupas secara periodik melalui proses molting
(pergantian kulit) seiring dengan pertumbuhan tubuhnya (Jones, 1995).
Pertumbuhan pada hewan Krustacea ini terjadi pada saat proses pergantian
kulit (molting). Frekuensi pergantian kulit pada krustacea ditentukan oleh
faktor umur dan makanan. Pada krustacea muda lebih sering mengalami
pergantian kulit dan krustacea yang mendapat makanan yang cukup dan baik
akan lebih cepat mengalami pergantian kulit. Selain itu pertumbuhan lobster
jantan lebih cepat dibandingkan dengan yang betina (Jones, 1995).
Lobster air tawar genus Cherax termasuk dalam kelompok udang (Krustacea)
yang secara alami memiliki tubuh relatif besar dan memiliki daur hidup di
lingkungan air tawar. Lobster jenis red claw memiliki kelebihan
dibandingkan jenis lain yaitu mudah dibudidayakan, tidak mudah terserang
penyakit, pemakan tumbuhan dan hewan (omnivora), pertumbuhannya relatif
cepat dan memiliki fekunditas yang tinggi (Jones, 1995).
Perbedaan Cherax jantan dan betina terlihat dari letak alat kelamin. Pada
betina, lubang genital terletak pada dasar kaki jalan ketiga, sedangkan pada
jantan alat kelamin berbentuk tonjolan (kerucut), yang terletak pada dasar
kaki jalan kelima. Bentuk alat kelamin Cherax dapat dilihat berdasarkan
posisi lubang genital karena sifatnya gonokoris. Perbedaan jenis kelamin pada
Cherax jenis red claw dapat juga dilihat dari ada tidaknya garis merah pada
tepi luar dari capit (propodus). Pada red claw jantan yang telah dewasa
ditemukan garis merah pada tepi luar propodusnya (Edgerton, 2005). Untuk
12
pertumbuhan garis merah ini berhubungan dengan panjang karapas orbital,
sedangkan pada saat tahap juvenil garis merah ini belum berkembang.
Biasanya pembentukan garis merah ini setelah jantan memiliki panjang
karapas orbital mencapai 23 mm (Widha, 2003).
♀Pethasma
♂ ♂Thelicium
♀Pethasma
♂Thelicium
1 mm 1 mm
Gambar 2. Perbedaan alat reproduksi pada LAT jantan (kiri) dan betina (kanan)
memiliki tonjolan pada dasar kaki jalan ke-5 yang disebut pethasma, sedangkan
betina memiliki lubang bulat terletak pada dasar kaki jalan ke-3 yang disebut
thelicium.
2.3 Pemanfataan Teknologi Sex Reversal pada Budidaya Lobster Air Tawar
(Cherax quadricarinatus)
Sex reversal dapat diartikan sebagai suatu teknologi yang membalikkan arah
perkembangan kelamin menjadi berlawanan. Dengan penerapan teknologi ini,
13
ikan yang seharusnya berkelamin jantan diarahkan perkembangan gonadnya
menjadi betina dan sebaliknya. Cara ini mungkin dilakukan karena pada
waktu menetas gonad ikan belum terdiferensiasi secara jelas akan menjadi
jantan atau betina (Zairin, 2002).
Menurut Zairin (2002) dengan membudidayakan ikan secara sex reversal
maka didapatkan ikan dengan pertumbuhan yang lebih cepat, mencegah
terjadinya pemijahan liar, mendapatkan ikan dengan penampilan yang
menarik dan menunjang genetika ikan yaitu teknik pemurniaan ras ikan.
Kegiatan budidaya secara monoseks, berkelamin tunggal jantan atau betina
akan bermanfaat dalam peningkatan laju pertumbuhan ikan. Hal ini
dikarenakan adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan antara jenis ikan
jantan dan ikan betina.
Jenis kelamin suatu individu ditentukan bersama oleh faktor genetis dan
lingkungan. Faktor genetis yang menentukan jenis kelamin ikan adalah
kromosom, sedangkan faktor lingkungan adalah suhu, ukuran tubuh, ukuran
populasi, hormon eksogen, dan lain-lain. Kromosom yang berpengaruh
adalah tubuh dan kromosom kelamin (Wichins and Lee, 2002). Menurut
Rougeot et al. (2002) diferensiasi gonad diatur oleh mekanisme genetik
melalui sistem endokrin embrional, tetapi dalam prosesnya faktor lingkungan
dalam dan luar dapat merubah penentuan jenis kelamin embrio.
Peran faktor lingkungan menentukan ekspresi fenotip jenis kelamin ikan dan
udang, memungkinkan terjadinya perubahan kelamin tanpa mengubah
14
genetisnya tetapi melalui pendekatan hormonal. Perubahan genetis dilakukan
melalui persilangan antar spesies atau genus, sedangkan pendekatan hormonal
dilakukan dengan pemberian steroid androgen maupun estrogen, sebelum
terjadinya diferensiasi kelamin (Piferrer, 2001).
Hormon adalah bahan kimia organik dan merupakan senyawa aktif biologis
yang dihasilkan oleh bagian kelenjar, jaringan atau organ tertentu dari hewan
dan manusia. Hormon bekerja pada konsentrasi kecil dan mempunyai cara
kerja yang spesifik. Hormon mempunyai peranan yang sangat penting dalam
pengaturan fisiologi, dan umumnya hormon bekerja sebagai aktivator spesifik
atau inhibitor dari enzim (Robbins, 1996).
Hormon steroid meliputi hormon adrenal kortikal, androgen dan estrogen,
yang dapat larut dalam lemak. Klasifikasi hormon steroid berdasarkan
respons fisiologis adalah sebagai berikut (Murray et al., 2001) :
1. Glucocorticoids, seperti cortical (C21) yang mengatur metabolisme
protein, lemak dan karbohidrat, dan mempengaruhi fungsi-fungsi penting
seperti reaksi inflammatori dan meredakan stres.
2. Aldosterone dan mineralcorticoids lainnya, mengatur pembuangan garam
dan air melalui ginjal.
3. Androgen dan estrogen yang mengatur perkembangan dan fungsi
seksual.
15
Testosteron, komponen C19 merupakan hormon androgen (seks jantan).
Hormon steroid merupakan turunan kolesterol, dengan rumus bangun berupa
cincin siklopentana cyclo pentane perhydrophenanthrene (Kustiariah, 2006).
Gambar 3. Rumus bangun inti steroid (cyclopentanohydrophenanthrene)
(a) dan testosteron (b) (Kustiariah, 2006).
2.4 Pemanfaatan Ekstrak Steroid Teripang Pasir (Holothuria scabra)
Pandian dan Sheela (1995) menyatakan bahwa proses pemberian hormon
steroid sintetis pada metode pembalikan jenis kelamin dapat menimbulkan
stres, sehingga tingkat kelulushidupan benih, baik jantan maupun betina
menjadi rendah. Dosis yang terlalu rendah menyebabkan proses pembalikan
jenis kelamin berlangsung kurang sempurna dan sebaliknya jika terlalu tinggi
ada kecenderungan menjadi steril atau terjadi penyimpangan jenis kelamin,
yaitu yang diberi hormon androgen berubah menjadi betina (Wichins dan Lee
2002).
Berbagai penelitian menyebutkan bahwa teripang termasuk biota laut yang
memiliki kandungan protein tinggi, berkadar lemak rendah serta dipercaya
sebagai aprodisiaka karena mengandung steroid tinggi, bahkan jeroan
16
teripang diketahui memiliki kandungan hormon steroid tertinggi
dibandingkan bagian tubuh lainnya (Kustiariah, 2006).
Hormon ini diduga dapat meningkatkan vitalitas laki-laki, oleh karena itu
banyak diminati sebagai bahan makanan kesehatan. Kustiariah (2006),
berhasil mengidentifikasi steroid dari teripang dan mengaplikasikannya pada
ayam. Pemanfaatan teripang sebagai aprodisiaka pada manusia telah
dilakukan oleh Kustiariah (2006) dan Dewi (2008) dan diuji cobakan pada
mencit (Nurjanah, 2008). Ekstrak steroid teripang yang mengandung
testosteron (Kustiariah, 2006) juga dapat digunakan untuk sex reversal pada
komoditi-komoditi yang jenis kelamin jantannya lebih bernilai ekonomis dari
pada jenis kelamin betina, seperti pada udang galah dan ikan gappy (Riani et
al., 2008).
Pemanfaatan bahan aktif di dalam teripang pasir (Holothuria scabra) yang
merupakan steroid alam sangat diperlukan dalam pengembangan budidaya
perikanan, misalnya budidaya lobster air tawar (Cherax quadricarinatus).
Teripang pasir mengandung steroid yang berpengaruh terhadap aktifitas
metabolisme, sehingga agresifitas/nafsu makan akan meningkat (Huberman,
2000). Peranan hormon ini juga dapat mempengaruhi produksi hewan,
merangsang pertumbuhan dan penentuan jenis kelamin (diferensiasi) serta
tingkah laku ikan (Sarida, 2008).
17
2.5 Pemanfaatan Hormon 17α metiltestosteron
Hormon androgen yang paling umum yang digunakan dalam aplikasi sex
reversal untuk maskulinisasi (pengarahan kelamin menjadi jantan) adalah 17α
metiltestosteron yang diperkirakan efektif digunakan pada lebih dari 25
spesies yang telah diuji. Pada penelitian ini hormon 17α metiltestosteron yang
digunakan berasal dari Biotech argo-laboratorium (Sidoarjo).
Metiltestosteron merupakan androgen yang paling sering dipakai untuk
merubah jenis kelamin dan penggunaan metiltestosteron pada dosis yang
berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda pula. 17α metiltestosteron
merupakan hormon sintetis yang molekulnya sudah dimodifikasi agar tahan
lama di dalam tubuh. Hal ini karena pada karbon ke-17 telah ditempeli gugus
metal agar tahan lama (Homklin et al., 2009). Metiltestosteron dibuat dengan
cara menambahkan satu kelompok α-metil pada atom karbon ke-17 di dalam
gugus testosteron dengan rumus bangun kimia kimia C20H30O2, berbobot
molekul 302,05 (Homklin et al., 2009).
Pemberian hormon androgen jenis 17α metiltestosteron pada larva udang
galah berumur 25 hari melalui perendaman selama 24 jam dengan dosis 25
mg/l menghasilkan 82,02 % jantan (Hadie dan Hadie, 2001) dan pada larva
udang galah berumur 20 hari yang diberi hormon 17α-metiltestosteron
melalui makanan dengan dosis 35 mg/kg pakan selama 30 hari dapat
menghasilkan 80,91 % jantan (Kusmini et al., 2001).
18
Dalam penelitian ini 17α metiltestosteron diberikan secara oral melalui
makanan sebab cara ini merupakan paling mudah dan efektif serta tidak
memerlukan keahlian khusus (Kuhl dan Brouwer, 2005). Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui tingkat dosis pemberian 17α metiltestosteron
yang tepat melalui pakan dalam produksi lobster air tawar (Cherax
quadricarinatus) jantan sebagai upaya efisiensi produksi.
2.6 Metode Sex Reversal Melalui Pemberian Pakan (Oral)
Pada dasarnya dikenal dua metode sex reversal yaitu dengan terapi hormon
(cara langsung) dan rekayasa kromosom. Pada terapi hormon hanya
mempengaruhi fenotip tanpa merubah genotip. Teknik ini bisa dilakukan
pada semua jenis organisme akuatik apapun kromosom seksnya. Teknik ini
memiliki kelemahan yaitu tingkat keberhasilannya bervariasi. Hanya saja
teknik ini lebih mudah untuk dilakukan (Kuhl dan Brouwer, 2005).
Sedangkan rekayasa kromosom adalah suatu teknik untuk mengubah
kromosom ikan normal diploid (2N) dari hasil kontribusi 1N set kromosom
betina dan 1N jantan (Sugama, 2006). Menurut Pifferrer (2001) hormon
steroid akan mempengaruhi target sel seperti gonad dan saluran otak. Diduga
pada saat fertilisasi sudah terbentuk sel kromosom. Apabila diberi hormon
testosteron dari luar, maka hormon ini akan merangsang hormon endogen
mensintesis steroid untuk pertumbuhan dan perkembangan gonad secara
fungsional (Dunham, 2004). Demikian juga otak dipengaruhi oleh hormon
19
eksogen ini, yang memberi perintah kepada poros aksis hipotalo-hipofisa-
gonad (Dunham, 2004).
Aplikasi hormon untuk sex reversal pada organisme akuatik dapat dilakukan
melalui penyuntikan, perendaman dan oral (melalui pakan). Cara pemilihan
harus didasarkan pada efektivitas, efisiensi, palatabilitas, kemungkinan polusi
dan biaya. Pada lobster air tawar, teknik yang sering dipakai adalah oral.
Metode oral dilakukan dengan pemberian hormon melalui pakan. Teknik ini
dilakukan dengan menyemprotkan hormon pada pakan lobster, kemudian
pakan diberikan pada lobster selama waktu tertentu (Zairin, 2002).
Penelitian sebelumnya pemberian 17α metiltestosteron dengan dosis 50
mg/kg pakan efektif untuk meningkatkan persentase jantan pada Cherax
sebesar 59,96 dengan lama perlakuan 30 hari (Carman et al., 2008).
Sedangkan perlakuan pemberian hormon teripang pasir pada perlakuan 400
mg/kg pakan memperoleh persentase jantan yang optimal sebesar 65.13%
yang diberikan pada ikan gappy dengan lama perlakuan 12 hari (Emilda,
2015).
Hormon yang diberikan melalui pakan, diduga banyak hilang karena terlarut
dalam air. Hal ini terjadi karena biasanya tidak semua lobster langsung
memakan pakan yang diberikan. Akibatnya jumlah hormon yang masuk ke
dalam tubuh lobster akan berkurang, sehingga efektifitas hormon dalam
mempengaruhi diferensiasi kelamin menjadi berkurang.
20
Menurut Gale et al. (1999) hormon yang diberikan lewat pakan
membutuhkan waktu dan jumlah yang cukup untuk mempengaruhi
diferensiasi kelamin embrio. Hal serupa dinyatakan oleh Pandian dan Sheela
(1995) bahwa steroid yang diberikan lewat pakan akan banyak terlarut dalam
air dan mengalami degradasi pada saluran pencernaan, sehingga aktifitas
hormon menurun. Fitzpatrick et al. (1996) menyatakan bahwa pemberian
hormon secara oral menyebabkan pengaruh yang berbeda pada setiap ikan,
karena tergantung pada ukuran tubuh dan kebiasaan makan secara alami pada
ikan.
Piferrer (2001) menyatakan bahwa perlakuan dosis hormon sangat terkait
dengan lama perlakuan. Jika menggunakan dosis yang rendah maka lama
perlakuannya diperpanjang untuk menghasilkan sex reversal yang optimal.
Akan tetapi dosis hormon yang terlalu tinggi dan masa perlakuan yang
panjang dapat menyebabkan sterilisasi dan efek paradoks (Chatain et al.,
1999).
2.7 Metode Sex Reversal Melalui Suhu Air yang Berbeda
Salah satu strategi budidaya yang dapat dikembangkan dalam rangka efisiensi
produksi, khususnya untuk jenis ikan hias yang nilai jual jantannya lebih
tinggi dari pada betina adalah dengan mengupayakan pengembangan
teknologi produksi jantan monoseks secara masal. Proses pengarahan jenis
kelamin dapat dilakukan dengan manipulasi suhu lingkungan. Suhu
21
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan reaksi kimia dalam
tubuh seperti laju metabolisme (Liana, 2007).
Arfah et al. (2005) menyatakan bahwa proporsi jantan pada ikan gappy dan
medaka lebih tinggi dibandingkan betina pada musim panas di daerah
temperate (sedang) beriklim empat, sehingga faktor lingkungan (suhu) dapat
mempengaruhi alih kelamin.
Metode dengan peningkatan suhu air (manipulasi lingkungan) memiliki
kekurangan yakni tingkat kelangsungan hidup ikan rendah, apabila suhu air
ditingkatkan sampai suhu mematikan. Kisaran suhu optimal dalam budidaya
lobster air tawar yaitu 20–24 °C (Jones, 1995).
Oleh karena itu perlu dilakukan manipulasi lingkungan dengan pemberian
suhu yang optimal yang dapat mempengaruhi laju metabolisme tubuh lobster
air tawar, sehingga masa sensitivitas gonad terhadap stimulasi hormon
berjalan baik. Sebaliknya apabila suhu terlalu rendah akan menyebabkan
sensitivitas gonad terhadap stimulasi hormon berjalan lambat, sehingga
berdampak pada jumlah individu jantan yang dihasilkan akan menurun.
22
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 50 hari pada bulan Oktober hingga November
2016, bertempat di laboratorium penelitian biologi akuatik, gedung MIPA
Terpadu, Fakultas MIPA Universitas Lampung.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut: akuarium ukuran
50x50x40 cm10 buah, akuarium 20x50x40 cm 12 buah, aerator kapasitas
41/menit 2 buah, shelter pipa paralon 0,5 inch 300 buah, batu aerasi16 buah,
selang aerasi 20 m, heater 75 watt sebanyak 12 buah, selang penyedot kotoran
10 m, test kit (pH, KH, GH), termometer, DO meter, timbangan digital,
penggaris, ember plastik volume 22 liter, semprotan, skop net 2 buah, juvenil
lobster air tawar ukuran panjang 2- 2,5 cm sebanyak 300 ekor, alkohol 70%,
teripang kering (ekstrak) 5x100g, hormon 17α metiltestosteron 100 mg,
pakan lobster tenggelam dengan kandungan protein 39-40%, etanol 2,5 liter,
aquades 1 liter dan dietileter 1 liter.
23
3.3 Desain Penelitian
Penelitian ini disusun dengan menggunakan Metode Rancangan Acak
Lengkap Faktorial, yang terdiri dari faktor suhu 2 taraf (suhu 27°C dan 31°C)
dan faktor hormon 2 taraf (steroid teripang pasir dan 17α metiltestosteron)
dengan masing-masing faktor terdapat kontrol, sehingga terdapat 6 perlakuan
dimana tiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Perlakuan tersebut adalah
sebagai berikut :
a. KT 27. Pemeliharaan lobster air tawar tanpa menggunakan hormon
dengan suhu media pemeliharaan 27ºC (kontrol)
b. KT 31. Pemeliharaan lobster air tawar tanpa menggunakan hormon
dengan suhu media pemeliharaan 31ºC (kontrol)
c. ST 27. Pemeliharaan lobster air tawar menggunakan hormon steroid
teripang pasir 50 mg/kg pakan dengan suhu media pemeliharaan 27ºC
d. ST 31. Pemeliharaan lobster air tawar menggunakan hormon steroid
teripang pasir 50 mg/ kg pakan dengan suhu media pemeliharaan 31ºC
e. MT 27. Pemeliharaan lobster air tawar menggunakan hormon 17α
metiltestosteron 50 mg/ kg pakan dengan suhu media pemeliharaan 27ºC
f. MT 31. Pemeliharaan lobster air tawar menggunakan hormon 17α
metiltestosteron 50 mg/ kg pakan dengan suhu media pemeliharaan 31ºC
24
Tata letak unit penelitian terdapat pada Gambar 4. Penempatan setiap satuan
percobaan dilakukan secara acak.
Gambar 4. Penempatan wadah pemeliharaan selama penelitian.
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Persiapan wadah pemeliharaan benih
Wadah pemeliharaan meliputi bak plastik untuk pemeliharaan benih
bervolume 22 liter yang terlebih dahulu harus disuci hamakan dengan
kaporit (CaOCl) 10 mg/l. Dibilas dengan air steril dan kemudian bak
dijemur hingga kering selama 24 jam dan baru digunakan.
3.4.2 Pengisian air wadah pemeliharaan
Pengisian air bak bervolume 22 liter untuk pemeliharaan benih
dilakukan setelah pengeringan, air yang digunakan berasal dari sumur
bor salinitas 0 ppt. Bak pemeliharaan disi air dengan ketinggian 5-7 cm
dan diendapkan selama 2-3 hari.
MT.27.3
ST.27.1
KT.27.1
ST.27.3 KT.27.2
KT.27.3 MT.27.2
ST.27.2
MT.27.1
KT.31.3 KT.31.3
MT.31.1
ST.31.3 ST.31.1
MT.31.2
KT.31.1
ST.31.2
MT.31.3
25
3.4.3 Pembuatan hormon ekstrak steroid teripang
1. Pengeluaran dan pemisahan jeroan teripang dari daging teripang
diikuti pengawetan sementara dalam freezer suhu 4°C.
2. Ekstraksi lemak teripang dengan maserasi pada jeroan teripang
dengan pelarut etanol menggunakan cara refluks dengan
perbandingan bahan dan pelarut = 1:2 (berat/volume) pada suhu
40°-50° (selama 3-4 jam atau hingga pelarut habis).
3. Sentrifugasi hasil ekstrak pada kecepatan 3000 rpm selama 15
menit (suhu 4°C).
4. Supernatan hasil sentrifugasi dievaporasi dengan rotary vacuum
evaporator hingga seluruh pelarut menguap (suhu 55°C).
5. Supernatan hasil sentrifugasi dicampur dengan 50 ml KOH 1 M
dan direfluks kembali dalam suhu 70°C selama 1 jam, kemudian
campuran hasil refluks didinginkan dengan penambahan akuades
sebanyak 100 ml.
6. Campuran refluks dimasukkan ke dalam tabung pemisah dan
disabunkan dengan dietil eter sebanyak 100 ml, kemudian dikocok
dan diendapkan hingga diperoleh supernatan dan residu. Residu
dipisah dan disabunkan kembali dengan cara yang sama hingga
diperoleh supernatant kedua dan ketiga.
7. Semua supernatan yang diperoleh digabungkan, dimasukkan ke
dalam corong untuk dicuci dengan aquades 40 ml sebanyak 3 kali
26
8. Residu yang diperoleh dipisahkan dan ditambah KOH 0,5 M 40 ml
dan 1 tetes phenol ptalin (pp), kemudian dikocok dan didiamkan
hingga terbentuk dua fasa.
9. Dua fasa yang terbentuk dipisah, kemudian supernatan yang
diperoleh ditambahkan 40 ml aquades, dikocok dan didiamkan
kembali hingga terbentuk dua fasa, lalu dipisahkan kembali.
10. Supernatan ditambah KOH 0,5 M 40 ml, dikocok dan didiamkan
kembali hingga terbentuk dua fasa, lalu dipisahkan kembali
11. Supernatan dicuci dengan aquades hingga tidak terbentuk lagi
warna merah muda jika ditambahkan indikator phenol ptalin (pp).
12. Larutan yang diperoleh kemudian dievaporasi dengan rotary
vacuum evaporator hingga seluruh pelarut menguap (suhu 55° C).
13. Ekstrak steroid asal teripang pasir diperoleh dan siap digunakan.
3.4.4 Pencampuran hormon steroid dalam pakan
Perlakuan dengan pakan berhormon dilakukan dengan mencampurkan
hormon dalam pakan pelet (buatan) berjenis tenggelam yang berasal
dari Gemma Farm (Klaten) dengan kandungan protein 40%, air 12%,
lemak 6% dan serat 3%. Pakan berhormon dibuat dengan dosis 50 mg
/kg pakan steroid ekstrak teripang pasir dan 50 mg /kg pakan hormon
17α-metiltestosteron. Adapun cara pembuatan pakan berhormon
sebagai berikut :
1. Menimbang 50 mg steroid ekstrak teripang pasir dan hormon 17α
metiltestosteron
27
2. Hormon steroid dilarutkan dalam 250 ml alkohol 70% untuk satu
kilogram pakan
3. Memasukkan hormon steroid dalam alat penyemprot
4. Larutan hormon steroid disemprotkan pada pakan secara merata
5. Mengaduk dan kering udarakan selama 24 jam sampai alkohol
menguap
6. Menyimpan pakan dalam wadah tertutup.
3.5 Pelaksanan Penelitian
3.5.1 Persiapan wadah pemeliharaan benih
Wadah pemelihaaraan benih menggunakan bak plastik bervolume 22
liter dengan diameter 50x50x30 cm. Sebelum digunakan bak
dibersihkan dan direndam menggunakan kaporit (CaOCl) 10 mg/l,
untuk mensterilkan. Bak pemeliharaan diberi label sesuai dengan
rancangan penempatan penelitian. Bak pemeliharaan diisi air dengan
ketinggian 5-7 cm dan diberi aerasi pada setiap bak pemeliharaan dan
selanjutnya pengaturan suhu air dengan heater.
3.5.2 Persiapan lobster uji
Juvenil lobster yang akan digunakan pada penelitian berumur ± 2-3
minggu atau berukuran panjang tubuh 2- 2,5 cm sebanyak 300 ekor
yang berasal dari Gemma Farm (Klaten). Juvenil yang digunakan
secara morfologis dalam kondisi sehat serta memiliki kelengkapan
organ tubuh yang sempurna dan diambil dari induk yang telah terseleksi
28
baik. Sebelum dimasukkan ke dalam bak pemeliharaan, juvenil terlebih
dahulu ditimbang untuk mengetahui berat awal (Wo), kemudian benih
diaklimasi sebelum dilepaskan di dalam bak pemeliharaan.
3.5.3 Pemeliharaan lobster uji
Pemeliharaan benih lobster dilakukan selama 50 hari sampai dapat
dibedakan jenis kelaminnya. Benih lobster yang digunakan adalah
benih berukuran 2- 2,5 cm berumur ± 2-3 minggu. Selanjutnya benih
dimasukkan ke dalam bak pemeliharaan berukuran 50x50x30cm
dengan kepadatan 20 ekor/wadah. Perlakuan dilakukan dengan
pemberian pakan yang mengandung hormon dari ekstrak teripang pasir
dan 17α-metiltestosteron dengan dosis 50 mg/ kg pakan diikuti dengan
pengaturan suhu air sebesar 27°C dan 31°C. Pemberian pakan hormon
dilakukan selama 40 hari kemudian 10 hari diberikan pakan tanpa
hormon. Untuk pengaturan pemberian jumlah pakan sebanyak 8% dari
bobot total juvenil lobster. Frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari
yaitu pagi pukul 09.00 dan sore hari pukul 17.00.
3.5.4 Metode pengambilan sampel pertumbuhan panjang dan bobot
Pengambilan sampel pertumbuhan panjang dan bobot lobster dilakukan
setiap 10 hari sebanyak 40% dari 20 ekor dari tiap-tiap perlakuan.
Pengukuran panjang total menggunakan penggaris plastik dan
penimbangan bobot total lobster menggunakan timbangan digital.
29
3.5.5 Manajemen kualitas air
Pergantian air sebanyak 30-40% dilakukan setiap 3 hari dengan
membuang air dasar atau kotoran yang mengendap setelah itu
ditambahkan air baru yang telah diendapkan hingga ketinggian air
seperti semula.
3.5.6 Pengukuran kualitas air
Air merupakan faktor penting dalam keberhasilan pemeliharaan larva
lobster air tawar. Oleh karena itu perlu dilakukan pengumpulan data
kualitas air meliputi suhu, DO, pH dan kesadahan. Pengamatan suhu
media pemeliharaan larva dilakukan setiap hari. Pengamatan DO dan
pH dilakukan setiap 3 hari. Suhu diukur dengan thermometer, DO
diukur dengan DO meter, pH diukur dengan pH meter. Data yang
didapat dibuat grafik dan tabel sebagai data pendukung penelitian.
3.6 Pengambilan Data
3.6.1 Panjang total
Panjang total adalah perubahan panjang rata-rata individu pada tiap
perlakuan dari awal hingga akhir pemeliharaan. Panjang total (cm)
ditentukan berdasarkan selisih panjang akhir (Lt) dengan panjang awal
(Lo) pemeliharaan.
30
Panjang total dihitung berdasarkan rumus Effendi (2004) sebagai
berikut :
Keterangan :
L = Pertumbuhan panjang total (cm)
Lt = Panjang rata-rata akhir (cm)
Lo = Panjang rata-rata awal (cm)
3.6.2 Pertambahan bobot harian
Pertambahan bobot harian dihitung dengan menggunakan rumus
(Effendie, 2004).
Keterangan :
GR : Laju pertumbuhan harian (g/hari)
Wt : Bobot rata-rata ikan pada hari ke-t (g)
Wo : Bobot rata-rata ikan pada hari ke-0 (g)
t : Waktu pemeliharaan (hari)
3.6.3 Biomassa
Pertumbuhan biomassa akhir adalah selisih antara bobot basah pada
akhir penelitian dengan bobot basah pada awal penelitian. Menurut
Effendie (2004) rumus mencari biomassa adalah:
t
WoWtGR
L = Lt - Lo
31
Keterangan :
W = Biomassa (gram)
Wt = Biomassa pada akhir penelitian (gram)
Wo = Biomassa pada awal penelitian (gram)
3.6.4 Kelulushidupan
Tingkat kelulushidupan populasi merupakan nilai persentase jumlah
individu/ lobster yang berpeluang hidup selama masa pemeliharaan
tertentu untuk menentukan produksi yang akan diperoleh (Najayati,
1992).
Kelulushidupan lobster dihitung sesuai Effendie (2004):
Keterangan:
SR = Kelulushidupan lobster uji (%)
Nt = Jumlah lobster uji pada akhir penelitian (ekor).
No = Jumlah lobster uji pada awal penelitian (ekor)
3.6.5 Konversi pakan
Konversi pakan merupakan banyaknya pakan yang harus diberikan
kepada ikan agar menghasilkan pertambahan bobot 1 kg (Effendi,
∆ W = Wt – Wo
Nt
SR = x 100%
No
32
2004). Konversi pakan merupakan indikator untuk menentukan
efektivitas penggunaan pakan dan evaluasi kualitas pakan.
Perbandingan konversi pakan dihitung berdasarkan Effendi (2004):
F
FCR = (Wt+D) – Wo
Keterangan :
FCR = Perbandingan konversi pakan
F = Jumlah pakan yang diberikan selama pemeliharan (kg)
Wt = Bobot ikan saat akhir pemeliharaan (kg)
D = Bobot ikan yang mati selama pemeliharaan (kg)
Wo = Bobot saat awal pemeliharaan (kg)
3.6.6 Keberhasilan pembentukan jenis kelamin
Pengamatan jenis kelamin dilakukan pada akhir penelitian. Nisbah
kelamin dihitung dengan membagi antar jumlah salah satu jenis
kelamin dibagi dengan jumlah total lobster yang hidup hingga akhir
percobaan dikali dengan 100 % diukur dengan menggunakan rumus:
J (%) = Jumlah lobster jantan x 100%
Jumlah lobster sampel
B (%) = Jumlah lobster betina x 100%
Jumlah lobster sampel
I (%) = Jumlah ikan interseks x 100%
Jumlah lobster sampel
33
3.7 Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini antara lain pertumbuhan panjang total,
laju pertumbuhan bobot harian, biomassa, kelulushidupan, konversi pakan
dan keberhasilan pembentukan jenis kelamin. Data yang diperoleh kemudian
dianalisis menggunakan analisis ragam, jika terdapat perbedaan yang nyata
maka dilanjutkan dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) dengan taraf 5%
menggunakan program SPSS 19.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan :
1. Pemberian hormon steroid teripang pasir dan 17α metiltestosteron 50
mg/kg pakan terhadap pembalikan kelamin (sex reversal) menuju individu
jantan pada LAT (Cherax quadricarinatus) memiliki persentase tertinggi
pada suhu 27°C yaitu 75,16% dan 73,79%
2. Pemberian hormon steroid teripang pasir lebih efektif dalam pembalikan
kelamin (sex reversal) menuju individu jantan pada LAT (Cherax
quadricarinatus) jika dibandingkan dengan 17α metiltestosteron baik pada
suhu 27°C maupun 31°C yaitu 75,16% dan 62,5%
5.2 Saran
1. Hormon steroid teripang (Holothuria scabra) terbukt cukup efektif dalam
pembalikan kelamin (sex reversal), sehingga perlu adanya penelitian
mengenai jenis-jenis teripang lain yang berpotensi menghasilkan hormon
steroid untuk pembalikan kelamin (sex reversal).
2. Perlu dilakukan budidaya teripang pasir (Holothuria scabra) untuk
memperoleh sumber hormon steroid yang lebih mudah.
71
DAFTAR PUSTAKA
Anthony JC, Anthony TG, Layman DK. (1999). Leucine supplementation
enchance skeleton muscles recovery in rats following exercise. The Journal
of Nutrition 129: 1102-1106.
Arfah H, Mariam S, Alimuddin. (2005). Pengaruh suhu terhadap reproduksi dan
nisbah kelamin ikan gapi Poecilia reticulata. Jurnal Akuakultur Indonesia
4: 1–4.
Arfah H. (2008). Efektivitas madu terhadap pengarahan kelamin ikan gapi
Poecilia reticulata. Jurnal Akuakultur Indonesia 6: 155-160.
Arifin, M.Z. (1991). Budidaya Lele. Dohara prize. Semarang.
Arisandi. (2007). Efektivitas ekstrak steroid teripang untuk memanipulasi kelamin
udang galah (tesis). Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Ayuningtyas. (2005). Alih kelamin jantan ikan nila menggunakan 17α
metiltestosteron melalui pakan dan peningkatan suhu. Jurnal Akuakultur
Indonesia 14: 159–163.
Barrett, G.M., Bardi, M., Guillen, A.K.Z., Mori, A., and Shimizu, K. (2005).
Regulation of Sexual Behaviour in Male Macaques by Sex Steroid
Modulation of the Serotonergic System. Experimental Physiology 91(2):
445-456.
Brotowijoyo, M. D., Dj. Tribawono., E. Mulbyantoro. (1995).Pengantar
Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Carman O, Jamal MY, Alimuddin. (2008). Pemberian 17α-metiltestosteron
melalui pakan meningkatkan persentase kelamin jantan lobster air tawar
Cherax quadricarinatus. Jurnal Akuakultur Indonesia 7: 25–32.
Chatain B, E Saillant dan S Peruzzi. (1999). Production of monosex male
populations of European seabass, Dicentrarchus labrax L. by use of the
synthetic androgen 17-methyldehydrotestosterone. Aquaculture, 178: 225-
234.
72
Craig CR, Stitzel RE. (1997). Modern pharmacology with clinical application.
Boston: Little Brown and Company.
Curtis M.C. and C.M. Jones. (1995). Observations on monosex culture of redclaw
crayfish Cherax quadricarinatus Von Martens (Decapoda: Parastacidae) in
earthern ponds. J. World Aquaculture Soc. 26: 154-158.
Dewi, K.H. (2008). Kajian ekstraksi steroid teripang pasir (Holothuria scabra J.)
sebagai sumber testosteron alami [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Dharmananda S (2003). Gallnuts and the uses of tannins in Chinese medicine. A
paper Delivered at the Institute for Traditional Medicine, Portland, Oregon.
Donaldson ED, Benfey TJ. (1987). Current status of induced sex manipulation. Di
dalam : Reproductive physiology of fish. Proceeding of Third International
Symposium. St. John's, Newfounland, p. 108-119.
Dunham, R.A. (2004). Aquaculture and Fisheries Biotechnology: Genetic
Approaches. Department of Fisheries and Applied Aquacultures. Auburn
University Alabama. USA. CABI Publishing.
Edgerton, B.F. (2005). Freshwater crayfish production for poverty alleviation.
World Aquaculture 36: 48-64.
Effendi, I. (2004). Pengantar Akuakultur. Jakarta : Penebar Swadaya.
Effendi. (2003). Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
El-Fotoh Abou EM, Ayyat MS, Abd El Rahman GA, Farag ME. (2014). Mono
sex male production in Nile tilapia Oreochromis niloticus using different
water temperatures. Journal of Agricultural Research 41: 1–9.
Emilda. (2015). Pemanfaatan ekstrak steroid asal jeroan teripang untuk sex
reversal pada ikan gapi. Faktor Exacta vol.5. no 4: 336-349.
Fitzpatrick MS, CB Schreck and WL Gale. (1996). Masculinization of tilapia
through immersion in 17α-methyltestosterone or 17α-methyldihydro
testosterone. Aquaculture Collaborative Research Support Program, Oregon
State University, USA.
Fulierton DS. (1980). Steroid dan senyawa terapetik sejenis. Buku teks Wilson
dan Gisvold. Kimia farmasi dan medicinal organik. Editor: Doerge RF.
Edisi VIII, bagian II. J.B. Lippincott Company. Philadelphia-Toronto. USA.
Hal.675-754.
73
Gale WL, MS Fitzpatrick, M Lucero, WMC Sanchez and CB Schreck. (1999).
Masculinization of nile tilapia (Oreochromis niloticus) by immersion in
androgens. Aquaculture, 178: 349-357.
Goddard,S. (1996). Feed Management Intensive Aquaculture. Chapman and Hall.
New York. 194 hlm.
Hadie, W. dan Hadie, L. E. 2001. Tinjauan tingkah laku reproduski udang galah.
Di dalam: Prosiding Workshop Hasil Penelitian Budidaya Udang Galah.
Pusat Riset Perikanan Budidaya hlm 56-53.
Handajani, H. (2006). Pengujian Hormon Metiltestosteron Terhadap Keberhasilan
Monosex Jantan Ikan Gurami (Osphronemus gouramy). Jurnal Protein
Fakultas Peternakan-Perikanan UMM, Vol. 13 No. 1 Malang.
Huberman, A. (2000). Shrimp Endocrinology. A review. Aquaculture. 191 : 191-
208.
Harper, J dan G. Jeffrey. (2008). Morphologic effects of the Stress response in
fish. ILAR Journal 50(4):387-396.
Holdich DM and Lowery RS. (1988). Freshwater crayfish: biology management,
and exploitation. London: Croom Helms
Homklin S, Wattanodorn T, Ong SK, Limpiyakorn T (2009) Biodegradation of
17alpha-methyltestosterone and isolation of MT-degrading bacterium from
sediment of Nile tilapia masculinization pond. Water Sci Technol
59(2):261–265.
Iskandar. (2003). Budidaya Lobster Air Tawar. Jurnal Akuakultur Indonesia 4:1-
4.
Jones, C.M. (1995). Production of juvenile redclaw crayfish, Cherax
quadricarinatus (von Martens) (Decapoda, Parastacidae). I. Development of
hatchery and nursery procedures. Aquaculture 138: 221-238.
Karplus, I., A. Sagi, I. Khalaila & A. Barki. (2003). The soft red patch of the
Australian freshwater crayfish Cherax quadricarinatus (von Martens): a
review and prospects for future research. J. Zool. Lond. 259: 375-379.
Kuhl AJ and Brouwer. (2005). Antiestrogen inhibit xenoestrogen-induced brain
aromatase activity but not prevent xenoestrogen-induced feminization in
Japanese Medaka (Oryzias latipes). Environmental Health Perspectives
Vol. 114/4.
74
Kusmini, I. I., L. E. Hadie, dan N. Rukminasari. (2001). Pengaruh dosis hormon
17α- metiltestosteron dalam pakan terhadap peningkatan proporsi kelamin
jantan larva udang galah (Macrobrachium rosenbergii). Prosiding
workshop hasil penelitian budidaya udang galah. Jakarta. 16 Juli. Hal.: 103
– 106.
Kustiariah. (2006). Isolasi dan Uji Aktivitas Biologis Senyawa Steroid dari
Teripang sebagai Aprodisiaka Alami (Thesis). Bogor : Sekolah
Pascasarjana, IPB.
Law, A.T., Wong, Y.H., and Munafi, A.B.A. (2002). Effect of Hydrogen Ion on
Macrobrachium rosenbergii (de Man) Egg Hatchability in Brackish Water.
Aquaculture 214 : 247 – 251.
Liana YP. (2007). Efektivitas aromatase inhibitor yang diberikan melalui pakan
buatan terhadap sex reversal ikan nila merah Oreochromis sp. Jurnal
Sumberdaya Perairan 2: 1–7.
Masduki, E. (2010). Sex Reversal. SUPM Negeri Bone. Sulawesi Selatan.
Mukti, A.T., Priambodo, B., Rustidja, dan Widodo, M.S., (2002). Optimalisasi
Dosis Hormon Sintetis 17 α-Metiltestosteron dan Lama Perendaman Larva
Ikan Nila (Oreochromis spp.) Terhadap Keberhasilan Perubahan Jenis
Kelamin. http://digilib.brawijaya.ac.id/virtuallibrary/mlgserial/Pdf%
20Material/Biosain%20Edisi%20. diakses pada tanggal 15 April 2005.
Murray, A.P., Muniain, C., Seldes, A.M., and Maier, M. (2001). Patagonicoside A
: a Novel Antifungal Disulfated Triterpene glycoside from the Sea
Cucumber Psolus patagonicus. Tetrahedron 57: 9563-9568.
Najayati http://www.ristek.go.id/ ati, S. (1992). Memelihara Lele Dumbo di
Kolam Taman. Penebar Swadaya. Jakarta.
Nurjanah S. (2008). Identifikasi steroid teripang pasir (Holohturia scabra) dan
Bioassay produk teripang sebagai sumber aprodisiak alami dalam upaya
peningkatan nilai tambah teripang. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Pakarainen, T., Zhang, F.P., Makela, S., Poutanen, M., and Huhtaniemi, I.. (2005).
Testosterone Replacement Therapy Induces Spermatogenesis and Partially
Restores Fertility in Luteinizing Hormone Receptor Knockout Mice.
Endocrinology 146(2): 596-606.
Pandian TJ and SG Sheela. (1995). Hormonal induction of sex reversal in fish.
Aquaculture, 138: 1-22.
75
Pandit NP, and Nakamura M. (2010). Effect of high temperature on survival,
growth, and feed conversion ratio of nile tilapia, Oreochromis niloticus. Our
Nature 8: 219-224.
Patino, R.,K.B. Davis, J. E. Schoore, C. Uguz, C. A. Strussmann, N. C. Parker, B.
A. Simco and C. A Goudie. (1996), Sex differentiation of channel catfish
gonads: Normal development and effects of temperature. Journal of
Experimental Zoology. 276:209–218
Piferrer, F. (2001). Endocrine Sex Control Strategis For Feminization Of Teleosts
Fish. Aquaculture. 197: 229 – 281.
Pranoto, E.N., Widodo, F.M., dan Delianis P. (2012). Kajian Aktivitas Bioaktif
Ekstrak Teripang Pasir (Holothuria scabra) Terhadap Jamur Candida
albicans. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan. 1(1): 1-8.
Quackenbush, L. S. (1991). Regulation of Vitellogenesis in Penaeid Shrimp.
Frontiers of shrimp research. Edited by: DeLoach, P. F, Dougherty, W.J,
Davidson, M.A. Elsevier. USA. Pp. 125 – 140.
Riani, Etty, Khaswar Syamsu dan Kaseno. (2008). Pemanfaatan Steroid Teripang
Sebagai Aprodisiaka Alami dan untuk Pegembangan Budidaya Perikanan.
Laporam Eksekutif Hibah Penelitian Pascasarjana HPTP. ITB.
Riani E, K Syamsu., Kaseno, S Nurjanah dan Kurnia. (2005). Pemanfaatan
Steroid Teripang Sebagai Aprosidiaka Alami. Laporan Hibah Penelitian
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Robbins, A. (1996). Androgens and Male Sexual Behavior. Trends Endoclinol
Metab 7:345-359.
Rougeot, C., Jacobs, B., Kestemont, P., and Melard, C. (2002). Sex Control and
Sex Determinism Study in Eurasian Perch Perca fluviatilis, by Use of
Hormonally Sex-Reversed Male Breeders. Aquaculture 211: 81 – 89
Ridzwan, B.H., Kaswandi, M., Azman, Y., and Fuad, M. (2003). Screening for
antibacterial agents in three species of sea cucumbers from coastal areas of
Sabah. General Farmakology Vol 26. No 7 p.1539–1543.
Sagi, A., E. Snir & I. Khalaila. (1997). Sexual differentiation in decapod
crustaceans: role of the androgenic gland. Invert. Reprod. Develop. 31: 55-
61.
76
Sarida, M. (2008). Efektifitas Ekstrak Steroid Teripang Pasir (Holothuria scabra)
Dalam Produksi Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii De Man)
Jantan. Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan Universitas Lampung.
Prosiding Seminar Nasional Sains Dan Teknologi–II 2008 Universitas
Lampung, 17-18 November 2008. Hlm 197-208.
Setyohadi, D., Wiadnya, G.D.R., dan Soemarno. (2001). Pengaruh Aerasi dan
Resirkulasi Bio – Filter Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Udang Galah,
Macrobrachium rosenbergii (de Man). Biosain, vol.1, No. 1, April 2001.
Hal. 39 – 46.
Shephered CJ dan NJ Bromage. (1988). Intensive fish farming. BPS profesional
books. Oxford London Edinburgh Boston Melbourne.
Sucipto, A., S. Hanif, D. Junaedi, dan T. Yuniarti. (2004). Breeding Program
Produksi Nila Kelamin Jantan di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT)
Sukabumi, Jawa Barat. http://defishery.
files.wordpress.com/2009/11/hibridasi-ikan-nila-bbat-sukabumi.pdf.
Sugama, K. (2006). Perbaikan mutu genetik ikan untuk mendukung
pengembangan perikanan budidaya. Perbaikan pertumbuhan ikan nila
dengan seleksi famili (Rudhy Gustiano) pengukuhan professor riset, bidang
perikanan budidaya, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen
Kelautan dan Perikanan. 77 pp.
Sumantadinata, K dan Carman, O. (1995). Teknologi Ginogenesis dan Seks
Reversal dalam Pemuliaan Ikan. Buletin Ilmiah Gukuryoju, Volume I.
Hal.11-18
Susanto dan Supono, (2012). Efektifitas Penggunaan Ekstrak Steroid Teripang
Dalam Sex Reversal Menuju Produksi Massal Lobster Air Tawar (Cherax
quadricarinatus). Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing 2011-2012,
Kemendiknas.
Triajie H. (2008). Efektifitas ekstrak teripang pasir yang telah diformulasikan
terhadap maskulinisasi udang galah (Macrobrachium rosenbergii) (tesis).
Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Tytler, P. and P. Calow. (1985). Fish Energetics: New Perspetives. Croom Helm
Ltd, Sydney, Australia. 394 p.
Wibowo S, Yunizal, Setiabudi E, Erlina MD, Tazwir. (1997). Teknologi
Penanganan dan Pengolahan Teripang (Holothuridea). Jakarta: IPPL Slipi.
77
Wichins, J.F. and Lee, D.O.C. (2002). Crustacean Farming (Raching and
Culture). Iowa State University Press. Blackwell Science Company. USA.
446 pp.
Widha W. (2003). Beberapa Aspek Biologi Reproduksi Lobster Air Tawar Jenis
Red Claw (Cherax quadricarinatus, Von Martens; Crustacea; Parastacidae).
Tesis. Sekolah Pascasarjana. IPB, Bogor.
Zairin, M. Jr. (2002). Sex Reversal, Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina.
Penebar Swadaya. Jakarta. 88 hal.
Zairin, M. Jr. (2003). Endokrinologi dan Peranannya Bagi Masa Depan
Perikanan Indonesia. Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Tetap Ilmu
Fisiologi Reproduksi dan Endokrinologi Hewan Air. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Zairin, M. Jr. (2004). Sex Reversal : Memproduksi Benih Ikan Jantan Atau Betina.
Penebar Swadaya. Jakarta.