Neonatal Jaundice

44
NEONATAL JAUNDICE ABSTRAK Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin > 2 mg/dL (> 17 μmol/L, sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin sudah > 5 mg/dL (> 86 μmol/L). Pada sebagian besar neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya (60% pada bayi cukup bulan dan 80% pada bayi kurang bulan). Oleh karenanya harus selalu waspada, khususnya terhadap bilirubin indirek karena sifatnya yang toksik dan merusak jaringan (ensefalopati bilirubin/kernikterus). Serum bilirubin pada ikterus fisiologis berkisar 5-6 mg/dL (86-103 μmol/L), timbul 48-120 jam setelah bayi lahir, dan pada bayi-bayi Asia atau bayi-bayi dengan usia kehamilan 35-37 minggu, level serum bilirubin tidak meningkat sampai bayi berusia 7 hari. Peningkatan level bilirubin indirek yang lebih tinggi lagi tergolong patologis yang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan. Bayi cukup bulan dengan bilirubin total 25-30 mg/dL (428-513 μmol/L) mempunyai risiko tinggi terserang toksisitas bilirubin. Terapi sinar di mana kulit bayi terpapar sinar terbukti aman dan efektif menurunkan toksitas bilirubin dengan cara meningkatkan ekskresi bilirubin. Transfusi tukar ditujukan untuk menghilangkan bilirubin dari sirkulasi, apabila dengan terapi sinar gagal. Beberapa obat-obatan (IVIG 1

description

Neonatal Jaundice

Transcript of Neonatal Jaundice

BAB I

NEONATAL JAUNDICE

ABSTRAKIkterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin > 2 mg/dL (> 17 mol/L, sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin sudah > 5 mg/dL (> 86 mol/L). Pada sebagian besar neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya (60% pada bayi cukup bulan dan 80% pada bayi kurang bulan). Oleh karenanya harus selalu waspada, khususnya terhadap bilirubin indirek karena sifatnya yang toksik dan merusak jaringan (ensefalopati bilirubin/kernikterus). Serum bilirubin pada ikterus fisiologis berkisar 5-6 mg/dL (86-103 mol/L), timbul 48-120 jam setelah bayi lahir, dan pada bayi-bayi Asia atau bayi-bayi dengan usia kehamilan 35-37 minggu, level serum bilirubin tidak meningkat sampai bayi berusia 7 hari. Peningkatan level bilirubin indirek yang lebih tinggi lagi tergolong patologis yang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan. Bayi cukup bulan dengan bilirubin total 25-30 mg/dL (428-513 mol/L) mempunyai risiko tinggi terserang toksisitas bilirubin. Terapi sinar di mana kulit bayi terpapar sinar terbukti aman dan efektif menurunkan toksitas bilirubin dengan cara meningkatkan ekskresi bilirubin. Transfusi tukar ditujukan untuk menghilangkan bilirubin dari sirkulasi, apabila dengan terapi sinar gagal. Beberapa obat-obatan (IVIG = Intra Venous Immuno Globulin, phenobarbital, metalloporphyrins) dipakai untuk menghambat hemolisis, meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin serta menghambat pembentukan bilirubin.

BAB IPENDAHULUAN

Angka kejadian Ikterus pada bayi sangat bervariasi di RSCM persentase ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan sebesar 32,1% dan pada bayi kurang bulan sebesar 42,9%, sedangkan di Amerika Serikat sekitar 60% bayi menderita ikterus baru lahir menderita ikterus, lebih dari 50%. Bayi-bayi yang mengalami ikterus itu mencapai kadar bilirubin yang melebihi 10 mg. Ikterus terjadi apabila terdapat bililirubin dalam darah. Pada sebagian besar neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama dalam kehidupannya. Dikemukakan bahwa kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada bayi 80% bayi kurang bulan. Di Jakarta dilaporkan 32,19 % menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi bersifat patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian. Karena setiap bayi dengan ikterus harus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau bila kadar bilirubuin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam. Proses hemolisis darah, infeksi berat ikterus yang berlangsung lebih dari 1 mg/dl juga merupakan keadaan kemungkinan adanya ikterus patologi. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan.

BAB IIPEMBAHASAN

2.1. DefinisiIkterus NeonatorumYaitu apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah, sehingga kulit (terutama) dan atau sklera bayi (neonatus) tampak kekuningan.

Ikterus fisiologisYaitu ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi kernikterus dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.

Ikterus patologisYaitu ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Kernicterus Suatu sindroma neurologik yang timbul sebagai akibat penimbunan bilirubin tak terkonyugasi dalam sel sel otak.

2.2 Anatomi dan Fisiologi Hepar

Hati adalah organ yang terbesar yang terletak di sebelah kanan atas rongga perut di bawah diafragma. Beratnya 1.500 gr atau 2,5 % dari berat badan orang dewasa normal. Pada kondisi hidup berwarna merah tua karena kaya akan persediaan darah. Hati terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan oleh ligamentum falciforme. Lobus kanan hati lebih besar dari lobus kirinya dan mempunyai 3 bagian utama yaitu : lobus kanan atas, lobus caudatus, dan lobus quadratus.

Hati tertutupi kapsul fibroelastik berupa kapsul glisson. Kapsul glisson berisi pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf. Hati terbagi menjadi lobus kanan dan lobus kiri. Tiap lobus tersusun atas unit-unit kecil yang disebut lobulus. Lobulus terdiri sel-sel hati, disebut hepatosit yang menyatu dalam lempeng. Hepatosit dan jaringan hati mudah mengalami regenerasi.Hati menerima darah dari 2 sumber, yaitu arteri hepatika (banyak mengandung oksigen) yang mengalirkan darah 500 ml/mnt dan vena porta (kurang kandungan oksigen tapi kaya zat gizi, dan mungkin berisi zat toksik dan bakteri) yang menerima darah dari lambung, usus, pankreas dan limpa; mengalirkan darah 1000 ml/mnt. Kedua sumber tersebut mengalir ke kapiler hati yang disebut sinusoid lalu diteruskan ke vena sentralis ditiap lobulus. Dan dari semua lobulus ke vena hepatika berlanjut ke vena kava inferior.Tekanan darah di sistem porta hepatika sangat rendah, 3 mmHg dan di vena kava hampir 0 mmHg. Karena tidak ada resistensi aliran melalui vena porta dan vena kava sehingga darah mudah masuk dan keluar hati.Hati menjalankan berbagai macam fungsi terutama metabolisme, baik anabolisme atau katabolisme molekul-molekul makanan dasar (gula, asam lemak, asam amino) dilakukan oleh sel-sel hati.Fungsi Hati:1. Sel Hati (hepatosit) terdiri 60% massa hati, bertanggung jawab untuk konjugasi bilirubin dan ekskresi kedalam saluran empedu2. Hati merupakan tempat aktivitas metabolik bagi karbohidrat, protein, dan lipid3. Hati mendetoksikasi banyak produk metabolik, obat, toksin sebelum diekskresikan ke dalam urin. Proses detoksikasi melibatkan perubahan kimia, dan atau konjugasi terutama dengan asam glukuronat, glisin, taurin atau sulfat.4. Hati menyimpan berbagai senyawa, termasuk besi, vitamin A, dan vitamin B.5. Sel-sel Kupffer mengambil bagian dalam semua aktivitas sistem retikulo endothelial (RES).

2.2 Metabolisme HemeHeme sebagai metaloporfirin: Heme adalah kompleks senyawa protoporfirin IX dengan logam besi yang merupakan gugus prostetik berbagai protein seperti hemoglobin, mioglobin, katalase, peroksidase, sitokrom c dan triptophan pirolase. Kemampuan hemoglobin dan mioglobin mengikat oksigen tergantung pada gugus prostetik ini yang sekaligus memberi warna khas pada kedua hemeprotein tersebut. Heme terdiri atas bagian organik dan suatu atom besi. Bagian organik protoporfirin tersusun dari empat cincin pirol. Keempat nya terikat satu sama lain melalui jembatan metenil, membentuk cincin tetrapirol. Empat rantai samping metil, dua rantai samping vinil dan dua rantai samping propionil terikat kecincin tetrapirol tersebut. Atom besi didalam heme mengikat keempat atom nitrogen dipusat cincin protoporfirin. Atom besi dapat berbentuk fero (Fe2+) atau feri (Fe3+) sehingga untuk hemoglobin yang bersangkutan disebut juga sebagai ferohemoglobin dan ferihemoglobin atau methemoglobin. Hanya bila besi dalam bentuk fero, senyawa tersebut dapat mengikat oksigen.

Biosintesa Porfirin dan Heme: Langkah awal biosintesa porfirin pada mamalia ialah kondensasi suksinil ko-A yang berasal dari siklus asam sitrat dalam mitokondria dengan asam amino glisin membentuk asam amino ketoadipat, dikatalisis oleh amino levulenat sintase dan memerlukan piridoksal phosfat untuk mengaktifkan glisin. Asam diatas segera mengalami dekarboksilasi membentuk amino levulenat atau sering disingkat ALA. Enzym ALA sintase merupakan enzym pengendali kecepatan reaksi. Didalam sitosol 2 molekul ALA berkondensasi dan mengalami reaksi dehidrasi membentuk porfobilinogen/PBG yang dikatalisis oleh ALA dehidratase. 4 molekul PBG berkondensasi membentuk hidroksi metil bilana, suatu tetrapirol linier oleh enzym uroporfirinogen I sintase atau disebut juga PBG deaminase kemudian terjadi reaksi siklisasi spontan membentuk uroporfirinogen, suatu tetrapirol siklik. Pada keadaan normal uroporfirinogen I sintase adalah kompleks enzym dengan uroporfirinogen III kosintase sehingga kerja kedua kompleks enzym tersebut akan membentuk uroporfirinogen III, yang mempunyai susunan rantai samping asimetris. Bila kompleks enzym abnormal atau hanya terdapat enzym sintase saja, di bentuk uroporfirinogen I yaitu suatu bentuk isomer simetris yang tidak fisiologis. Rangka porfirin sekarang telah terbentuk, uroporfirinogen I atau III mengalami dekarboksilasi membentuk koproporfirinogen I atau III dengan melepas 4 molekul CO2 hingga rantai samping asetat pada uroporfinogen menjadi metil, reaksi ini dikatalisis oleh uroporfirinogen dekarboksilase. Hanya koproporfirinogen III yang dapat kembali masuk kemitokondria, mengalami dekarboksilasi dan oksidasi membentuk protoporfirinogen III oleh enzym koproporfirinogen oksidase, dimana dua rantai samping propionat koproporfirinogen menjadi vinil. Protoporfirinogen III dioksidasi menjadi protoporfirin III oleh protoporfirinogen oksidase yang memerlukan oksigen. Protoporfirin III diidentifikasi sebagai isomer porfirin seri IX dan disebut juga dengan protoporfirin IX. Porfirin tipe I dan III dibedakan berdasar simetris tidaknya gugus substituen seperti asetat, propionat dan metil pada cincin pirol ke IV. Penggabungan besi (Fe 2+) ke protoporfirin IX yang dikatalisa oleh Heme sintase atau Ferro katalase dalam mitokondria akan membentuk heme. Katabolisme Heme: Dalam keadaan fisiologis, masa hidup erytrosit manusia sekitar 120 hari, eritrosit mengalami lisis 1-2108 setiap jamnya pada seorang dewasa dengan berat badan 70 kg, dimana diperhitungkan hemoglobin yang turut lisis sekitar 6 gr per hari. Sel-sel eritrosit tua dikeluarkan dari sirkulasi dan dihancurkan oleh limpa. Apoprotein dari hemoglobin dihidrolisis menjadi komponen asam-asam aminonya. Katabolisme heme dari semua hemeprotein terjadi dalam fraksi mikrosom sel retikuloendotel oleh sistem enzym yang kompleks yaitu heme oksigenase yang merupakan enzym dari keluarga besar sitokrom P450. Langkah awal pemecahan gugus heme ialah pemutusan jembatan metena membentuk biliverdin, suatu tetrapirol linier. Besi mengalami beberapa kali reaksi reduksi dan oksidasi, reaksi-reaksi ini memerlukan oksigen dan NADPH. Pada akhir reaksi dibebaskan Fe3+ yang dapat digunakan kembali, karbon monoksida yang berasal dari atom karbon jembatan metena dan biliverdin. Biliverdin, suatu pigmen berwarna hijau akan direduksi oleh biliverdin reduktase yang menggunakan NADPH sehingga rantai metenil menjadi rantai metilen antara cincin pirol III IV dan membentuk pigmen berwarna kuning yaitu bilirubin. Perubahan warna pada memar merupakan petunjuk reaksi degradasi ini.

Bilirubin bersifat lebih sukar larut dalam air dibandingkan dengan biliverdin. Pada reptil, amfibi dan unggas hasil akhir metabolisme heme ialah biliverdin dan bukan bilirubin seperti pada mamalia. Keuntungannya adalah ternyata bilirubin merupakan suatu anti oksidan yang sangat efektif, sedangkan biliverdin tidak. Efektivitas bilirubin yang terikat pada albumin kira-kira 1/10 kali dibandingkan asam askorbat dalam perlindungan terhadap peroksida yang larut dalam air. Lebih bermakna lagi, bilirubin merupakan anti oksidan yang kuat dalam membran, bersaing dengan vitamin E.

Bilirubin dirubah menjadi bentuk larut: Dalam setiap 1 gr hemoglobin yang lisis akan membentuk 35 mg bilirubin. Perhari bilirubin dibentuk sekitar 250350 mg pada seorang dewasa, berasal dari pemecahan hemoglobin, proses erytropoetik yang tidak efekif dan pemecahan hemprotein lainnya. Bilirubin dari jaringan retikuloendotel adalah bentuk yang sedikit larut dalam plasma dan air. Bilirubin ini akan diikat nonkovalen dan diangkut oleh albumin ke hepar. Dalam 100 ml plasma hanya lebih kurang 25 mg bilirubin yang dapat diikat kuat pada albumin. Bilirubin yang melebihi jumlah ini hanya terikat longgar hingga mudah lepas dan berdiffusi kejaringan. Bilirubin yang sampai dihati akan dilepas dari albumin dan diambil pada permukaan sinusoid hepatosit oleh suatu protein pembawa yaitu ligandin. Sistem transport difasilitasi ini mempunyai kapasitas yang sangat besar tetapi penggambilan bilirubin akan tergantung pada kelancaran proses yang akan dilewati bilirubin berikutnya. Bilirubin nonpolar akan menetap dalam sel jika tidak diubah menjadi bentuk larut. Hepatosit akan mengubah bilirubin menjadi bentuk larut yang dapat diekskresikan dengan mudah kedalam kandung empedu. Proses perubahan tersebut melibatkan asam glukoronat yang dikonjugasikan dengan bilirubin, dikatalisis oleh enzym bilirubin glukoronosiltransferase. Hati mengandung sedikitnya dua isoform enzym glukoronosiltransferase yang terdapat terutama pada retikulum endoplasma. Reaksi konjugasi ini berlangsung dua tahap, memerlukan UDP asam glukoronat sebagai donor glukoronat. Tahap pertama akan membentuk bilirubin monoglukoronida sebagai senyawa antara yang kemudian dikonversi menjadi bilirubin diglukoronida yang larut pada tahap kedua. Ekskresi bilirubin larut kedalam saluran dan kandung empedu berlangsung dengan mekanisme transport aktif yang melawan gradien konsentrasi. Dalam keadaan fisiologis, seluruh bilirubin yang diekskresikan ke kandung empedu berada dalam bentuk terkonjugasi.

Pembentukan Urobilin: Bilirubin terkonjugasi yang mencapai ileum terminal dan kolon dihidrolisa oleh enzym bakteri glukoronidase dan pigmen yang bebas dari glukoronida direduksi oleh bakteri usus menjadi urobilinogen, suatu senyawa tetrapirol tak berwarna. Sejumlah urobilinogen diabsorbsi kembali dari usus ke perdarahan portal dan dibawa keginjal kemudian dioksidasi menjadi urobilin yang memberi warna kuning pada urine. Sebagian besar urobilinogen berada pada feces akan dioksidasi oleh bakteri usus membentuk sterkobilin yang berwarna kuning kecoklatan.

Hiperbilirubinemia: Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana konsentrasi bilirubin darah melebihi 1 mg/dl. Pada konsentrasi lebih dari 2 mg/dl, hiperbilirubinemia akan menyebabkan gejala ikterik atau jaundice. Ikterik atau jaundice adalah keadaan dimana jaringan terutama kulit dan sklera mata menjadi kuning akibat deposisi bilirubin yang berdiffusi dari konsentrasinya yang tinggi didalam darah. Hiperbilirubinemia dikelompokkan dalam dua bentuk berdasarkan penyebabnya yaitu hiperbilirubinemia retensi yang disebabkan oleh produksi yang berlebih dan hiperbilirubinemia regurgitasi yang disebabkan refluks bilirubin kedalam darah karena adanya obstruksi bilier. Hiperbilirubinemia retensi dapat terjadi pada kasus-kasus haemolisis berat dan gangguan konjugasi. Hati mempunyai kapasitas mengkonjugasikan dan mengekskresikan lebih dari 3000 mg bilirubin perharinya sedangkan produksi normal bilirubin hanya 300 mg perhari. Hal ini menunjukkan kapasitas hati yang sangat besar dimana bila pemecahan heme meningkat, hati masih akan mampu meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin larut. Akan tetapi lisisnya eritrosit secara massive misalnya pada kasus sickle cell anemia ataupun malaria akan menyebabkan produksi bilirubin lebih cepat dari kemampuan hati mengkonjugasinya sehingga akan terdapat peningkatan bilirubin tak larut didalam darah. Peninggian kadar bilirubin tak larut dalam darah tidak terdeteksi didalam urine sehingga disebut juga dengan ikterik acholuria. Pada neonatus terutama yang lahir premature peningkatan bilirubin tak larut terjadi biasanya fisiologis dan sementara, dikarenakan haemolisis cepat dalam proses penggantian hemoglobin fetal ke hemoglobin dewasa dan juga oleh karena hepar belum matur, dimana aktivitas glukoronosiltransferase masih rendah. Apabila peningkatan bilirubin tak larut ini melampaui kemampuan albumin mengikat kuat, bilirubin akan berdiffusi ke basal ganglia pada otak dan menyebabkan ensephalopaty toksik yang disebut sebagai kern ikterus.

2.3 Metabolisme bilirubinUntuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus pada neonatus, perlu diketahui tentang metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus. Perbedaan utama metabolisme adalah bahwa pada janin melalui plasenta dalam bentuk bilirubin indirek.

Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai berikut :1. ProduksiSebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi hemoglobin pada sistem retikuloendotelial (RES). Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada neonatus lebih tinggi dari pada bayi yang lebih tua. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek. Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang bereaksi tidak langsung dengan zat warna diazo (reaksi hymans van den bergh), yang bersifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak.

2. Transportasi Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin. sel parenkim hepar mempunyai cara yang selektif dan efektif mengambil bilirubin dari plasma. Bilirubin ditransfer melalui membran sel ke dalam hepatosit sedangkan albumin tidak. Didalam sel bilirubin akan terikat terutama pada ligandin (protein , glutation S-transferase B) dan sebagian kecil pada glutation S-transferase lain dan protein Z. Proses ini merupakan proses dua arah, tergantung dari konsentrasi dan afinitas albumin dalam plasma dan ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit di konjugasi dan di ekskresi ke dalam empedu. Dengan adanya sitosol hepar, ligadin mengikat bilirubin sedangkan albumin tidak Pemberian fenobarbital mempertinggi konsentrasi ligandin dan memberi tempat pengikatan yang lebih banyak untuk bilirubin. 3. KonjugasiDalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronide. Walaupun ada sebagian kecil dalam bentuk monoglukoronide. Glukoronil transferase merubah bentuk monoglukoronide menjadi diglukoronide. Pertama-tama yaitu uridin di fosfat glukoronide transferase (UDPG:T) yang mengkatalisasi pembentukan bilirubin monoglukoronide.

Sintesis dan ekskresi diglokoronode terjadi di membran kanilikulus. Isomer bilirubin yang dapat membentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat diekskresikan langsung kedalam empedu tanpa konjugasi. Misalnya isomer yang terjadi sesudah terapi sinar (isomer foto).

4. EkskresiSesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air dan di ekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Dalam usus bilirubin direk ini tidak diabsorpsi; sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorpsi. Siklus ini disebut siklus enterohepatis.Pada neonatus karena aktivitas enzim B glukoronidase yang meningkat, bilirubin direk banyak yang tidak dirubah menjadi urobilin. Jumlah bilirubin yang terhidrolisa menjadi bilirubin indirek meningkat dan tereabsorpsi sehingga siklus enterohepatis pun meningkat.

5. Metabolisme bilirubin pada janin dan neonatusPada likuor amnion yang normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan 12 minggu, kemudian menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. Pada inkompatibilitas darah Rh, kadar bilirubin dalam cairan amnion dapat dipakai untuk menduga beratnya hemolisis. Peningkatan bilirubin amnion juga terdapat pada obstruksi usus fetus. Bagaimana bilirubin sampai ke likuor amnion belum diketahui dengan jelas, tetapi kemungkinan besar melalui mukosa saluran nafas dan saluran cerna. Produksi bilirubin pada fetus dan neonatus diduga sama besarnya tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat terbatas. Demikian pula kesanggupannya untuk mengkonjugasi. Dengan demikian hampir semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya. Dalam keadaan fisiologis tanpa gejala pada hampir semua neonatus dapat terjadi akumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan fetus mengolah bilirubin berlanjut pada masa neonatus. Pada masa janin hal ini diselesaikan oleh hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini berakibat penumpukan bilirubin dan disertai gejala ikterus. Pada bayi baru lahir karena fungsi hepar belum matang atau bila terdapat gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis atau bila terdapat kekurangan enzim glukoronil transferase atau kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi. Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar albumin dalam serum. Pada bayi kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah sehingga dapat dimengerti bila kadar bilirubin indirek yang bebas itu dapat meningkat dan sangat berbahaya karena bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat melekat pada sel otak. Inilah yang menjadi dasar pencegahan kernicterus dengan pemberian albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin indirek mencapai 20 mg% pada umumnya kapasitas maksimal pengikatan bilirubin oleh neonatus yang mempunyai kadar albumin normal telah tercapai.

Ikterus FisiologisDalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat adalah sebesar 1-3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl/24 jam; dengan demikian ikterus baru terlihat pada hari ke 2-3, biasanya mencapai puncaknya antara hari ke 2-4, dengan kadar 5-6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl antara lain ke 5-7 kehidupan. Ikterus akibat perubahan ini dinamakan ikterus fisiologis dan diduga sebagai akibat hancurnya sel darah merah janin yang disertai pembatasan sementara pada konjugasi dan ekskresi bilirubin oleh hati.Diantara bayi-bayi prematur, kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau sedikit lebih lambat daripada pada bayi aterm, tetapi berlangsung lebih lama, pada umumnya mengakibatkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai antara hari ke 4-7, pola yang akan diperlihatkan bergantung pada waktu yang diperlukan oleh bayi preterm mencapai pematangan mekanisme metabolisme ekskresi bilirubin. Kadar puncak sebesar 8-12 mg/dl tidak dicapai sebelum hari ke 5-7 dan kadang-kadang ikterus ditemukan setelah hari ke-10.Diagnosis ikterus fisiologik pada bayi aterm atau preterm, dapat ditegakkan dengan menyingkirkan penyebab ikterus berdasarkan anamnesis dan penemuan klinik dan laboratorium. Pada umumnya untuk menentukan penyebab ikterus jika : 1. Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.2. Bilirubin serum meningkat dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl/24 jam.3. Kadar bilirubin serum lebih besar dari 12 mg/dl pada bayi aterm dan lebih besar dari 14 mg/dl pada bayi preterm.4. Ikterus persisten sampai melewati minggu pertama kehidupan, atau5. Bilirubin direk lebih besar dari 1 mg/dl.

Ikterus PatologisIkterus patologis mungkin merupakan petunjuk penting untuk diagnosis awal dari banyak penyakit neonatus. Ikterus patologis dalam 36 jam pertama kehidupan biasanya disebabkan oleh kelebihan produksi bilirubin, karena klirens bilirubin yang lambat jarang menyebabkan peningkatan konsentrasi diatas 10 mg/dl pada umur ini. Jadi, ikterus neonatorum dini biasanya disebabkan oleh penyakit hemolitik.

Ikterus Fisiologis vs Ikterus Patologis Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologis tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2 3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5 7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10 14. Kadar bilirubinpun biasanya tidak > 10 mg/dL (171 mol/L) pada bayi kurang bulan dan < 12 mg/dL (205 mol/L) pada bayi cukup bulan. Masalah timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjungasi hepar menurun sehingga terjadi kumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh tertentu, misalnya kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa dikemudian hari, bahkan terjadinya kematian. Karena itu bayi ikterus sebaiknya baru dianggap fisiologis apabila telah dibuktikan bukan suatu keadaan patologis. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada hiperbilirubinemia, pemeriksaan lengkap harus dilakukan untuk mengetahui penyebabnya, sehingga pengobatanpun dapat dilaksanakan dini. Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologis tersebut tidak selalu sama pada tiap bayi. Di RS Dr. Soetomo Surabaya, bayi dinyatakan menderita bilirubinemia apabila kadar bilirubin total > 12 mg/dL (> 205 mol/L) pada bayi cukup bulan, sedangkan pada bayi kurang bulan bila kadarnya > 10 mg/dL (>171 mol/L).

KernicterusBahaya hiperbilirubinemia adalah kernikterus, yaitu suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum, talamus, nukleus subtalamus hipokampus, nukleus merah dan nukleus di dasar ventrikel IV. Secara klinis pada awalnya tidak jelas, dapat berupa mata berputar, letargi, kejang, tak mau menghisap, malas minum, tonus otot meningkat, leher kaku, dan opistotonus. Bila berlanjut dapat terjadi spasme otot, opistotonus, kejang, atetosis yang disertai ketegangan otot. Dapat ditemukan ketulian pada nada tinggi, gangguan bicara dan retardasi mental.

2.4 EtiologiPenyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor.Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi :1. Produksi yang berlebihan Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.2.Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.

3. Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.4. Gangguan dalam ekskresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar. Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

Ikterus yang berhubungan dengan pemberian air susu ibu.Diperkirakan 1 dari setiap 200 bayi aterm, yang menyusu, memperlihatkan peningkatan bilirubin tak terkonjugasi yang cukup berarti antara hari ke 4-7 kehidupan, mencapai konsentrasi maksimal sebesar 10-27 mg/dl, selama minggu ke 3. Jika mereka terus disusui, hiperbilirubinemia secara berangsur-angsur akan menurun dan kemudian akan menetap selama 3-10 minggu dengan kadar yang lebih rendah. Jika mereka dihentikan menyusu, kadar bilirubin serum akan menurun dengan cepat, biasanya kadar normal dicapai dalam beberapa hari.Penghentian menyusu selama 2-4 hari, bilirubin serum akan menurun dengan cepat, setelah itu mereka dapat menyusu kembali, tanpa disertai timbulnya kembali hiperbilirubinemia dengan kadar tinggi, seperti sebelumnya. Bayi ini tidak memperlihatkan tanda kesakitan lain dan kernikterus tidak pernah dilaporkan. Susu yang berasal dari beberapa ibu mengandung 5 -pregnan-3 , 2-diol dan asam lemak rantai panjang, tak-teresterifikasi, yang secara kompetitif menghambat aktivitas konjugasi glukoronil transferase, pada kira-kira 70% bayi yang disusuinya. Pada ibu lainnya, susu yang mereka hasilkan mengandung lipase yang mungkin bertanggung jawab atas terjadinya ikterus. Sindroma ini harus dibedakan dari hubungan yang sering diakui, tetapi kurang didokumentasikan, antara hiperbilirubinemia tak-terkonjugasi, yang diperberat yang terdapat dalam minggu pertama kehidupan dan menyusu pada ibu.

2.5PatofisiologiPeningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang atau pada keadaan proten Y dan protein Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoranil transferase) atau bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik.Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.

2.6 Manifestasi KlinisPengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar matahari. Bayi baru lahir (BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6 mg/dl atau 100 mikro mol/L (1 mg mg/dl = 17,1 mikro mol/L). salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada BBL secara klinis, sederhana dan mudah adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969). Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya.

Tabel 1. Derajat ikterus pada neonatus menurut KramerZona Bagian tubuh yang kuningRata-rata serum bilirubin indirek ( mol/l)

1.Kepala dan leher100

2.Pusat-leher150

3.Pusat-paha200

4.Lengan + tungkai250

5.Tangan + kaki> 250

2.7DiagnosisAnamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu dalam menegakkan diagnosis hiperbilirubinemia pada bayi. Termasuk dalam hal ini anamnesis mengenai riwayat inkompatabilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya. Disamping itu faktor risiko kehamilan dan persalinan juga berperan dalam diagnosis dini ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor risiko tersebut antara lain adalah kehamilan dengan komplikasi, persalinan dengan tindakan/komplikasi, obat yang diberikan pada ibu selama hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes melitus, gawat janin, malnutrisi intrauterin, infeksi intranatal, dan lain-lain.Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari kemudian. Ikterus yang tampak pun sangat tergantung kepada penyebab ikterus itu sendiri. Pada bayi dengan peninggian bilirubin indirek, kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga, sedangkan pada penderita dengan gangguan obstruksi empedu warna kuning kulit terlihat agak kehijauan. Perbedaan ini dapat terlihat pada penderita ikterus berat, tetapi hal ini kadang-kadang sulit dipastikan secara klinis karena sangat dipengaruhi warna kulit. Penilaian akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar. Selain kuning, penderita sering hanya memperlihatkan gejala minimal misalnya tampak lemah dan nafsu minum berkurang. Keadaan lain yang mungkin menyertai ikterus adalah anemia, petekie, pembesaran lien dan hepar, perdarahan tertutup, gangguan nafas, gangguan sirkulasi, atau gangguan syaraf. Keadaan tadi biasanya ditemukan pada ikterus berat atau hiperbilirubinemia berat.Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti yang penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan yang erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut. Ikterus yang timbul hari pertama sesudah lahir, kemungkinan besar disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah (ABO, Rh atau golongan darah lain). Infeksi intra uterin seperti rubela, penyakit sitomegali, toksoplasmosis, atau sepsis bakterial dapat pula memperlihatkan ikterus pada hari pertama. Pada hari kedua dan ketiga ikterus yang terjadi biasanya merupakan ikterus fisiologik, tetapi harus pula dipikirkan penyebab lain seperti inkompatibilitas golongan darah, infeksi kuman, polisitemia, hemolisis karena perdarahan tertutup, kelainan morfologi eritrosit (misalnya sferositosis), sindrom gawat nafas, toksositosis obat, defisiensi G-6-PD, dan lain-lain. Ikterus yang timbul pada hari ke 4 dan ke 5 mungkin merupakan kuning karena ASI atau terjadi pada bayi yang menderita Gilbert, bayi dari ibu penderita diabetes melitus, dan lain-lain. Selanjutnya ikterus setelah minggu pertama biasanya terjadi pada atresia duktus koledokus, hepatitis neonatal, stenosis pilorus, hipotiroidisme, galaktosemia, infeksi post natal, dan lain-lain.

2.8Diagnosis BandingIkterus yang terjadi pada saat lahir atau dalam waktu 24 jam pertama kehidupan mungkin sebagai akibat eritroblastosis foetalis, sepsis, penyakit inklusi sitomegalik, rubela atau toksoplasmosis kongenital. Ikterus pada bayi yang mendapatkan tranfusi selama dalam uterus, mungkin ditandai oleh proporsi bilirubin bereaksi-langsung yang luar biasa tingginya. Ikterus yang baru timbul pada hari ke 2 atau hari ke 3, biasanya bersifat fisiologik, tetapi dapat pula merupakan manifestasi ikterus yang lebih parah yang dinamakan hiperbilirubinemia neonatus. Ikterus nonhemolitik familial (sindroma Criggler-Najjar) pada permulaannya juga terlihat pada hari ke-2 atau hari ke-3. Ikterus yang timbul setelah hari ke 3, dan dalam minggu pertama, harus dipikirkan kemungkinan septikemia sebagai penyebabnya; keadaan ini dapat disebabkan oleh infeksi-infeksi lain terutama sifilis, toksoplasmosis dan penyakit inklusi sitomegalik. Ikterus yang timbul sekunder akibat ekimosis atau hematoma ekstensif dapat terjadi selama hari pertama kelahiran atau sesudahnya, terutama pada bayi prematur. Polisitemia dapat menimbulkan ikterus dini.Ikterus yang permulaannya ditemukan setelah minggu pertama kehidupan, memberi petunjuk adanya, septikemia, atresia kongenital saluran empedu, hepatitis serum homolog, rubela, hepatitis herpetika, pelebaran idiopatik duktus koledoskus, galaktosemia, anemia hemolitik kongenital (sferositosis) atau mungkin krisis anemia hemolitik lain, seperti defisiensi enzim piruvat kinase dan enzim glikolitik lain, talasemia, penyakit sel sabit, anemia non-sperosit herediter), atau anemia hemolitik yang disebabkan oleh obat-obatan (seperti pada defisiensi kongenital enzim-enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase, glutation sintetase, glutation reduktase atau glutation peroksidase) atau akibat terpapar oleh bahan-bahan lain.Ikterus persisten selama bulan pertama kehidupan, memberi petunjuk adanya apa yang dinamakan inspissated bile syndrome (yang terjadi menyertai penyakit hemolitik pada bayi neonatus), hepatitis, penyakit inklusi sitomegalik, sifilis, toksoplasmosis, ikterus nonhemolitik familial, atresia kongenital saluran empedu, pelebaran idiopatik duktus koledoskus atau galaktosemia. Ikterus ini dapat dihubungkan dengan nutrisi perenteral total. Kadang-kadang ikterus fisiologik dapat berlangsung berkepanjangan sampai beberapa minggu, seperti pada bayi yang menderita penyakit hipotiroidisme atau stenosis pilorus.Tanpa mempersoalkan usia kehamilan atau saat timbulnya ikterus, hiperbilirubinemia yang cukup berarti memerlukan penilaian diagnostik yang lengkap, yang mencakup penentuan fraksi bilirubin langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) hemoglobin, hitung leukosit, golongan darah, tes Coombs dan pemeriksaan sediaan apus darah tepi. Bilirubinemia indirek, retikulositosis dan sediaan apus yang memperlihatkan bukti adanya penghancuran eritrosit, memberi petunjuk adanya hemolisis; bila tidak terdapat ketidakcocokan golongan darah, maka harus dipertimbangkan kemungkinan adanya hemolisis akibat nonimunologik. Jika terdapat hiperbilirubinemia direk, adanya hepatitis, kelainan metabolisme bawaan, fibrosis kistik dan sepsis, harus dipikirkan sebagai suatu kemungkinan diagnosis. Jika hitung retikulosit, tes Coombs dan bilirubin direk normal, maka mungkin terdapat hiperbilirubinemia indirek fisiologik atau patologik.

2.9PenatalaksanaanI. Pendekatan menentukan kemungkinan penyebabMenetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan pemeriksaan yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus untuk dapat memperkirakan penyebabnya. Pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan itu yaitu menggunakan saat timbulnya ikterus seperti yang dikemukakan oleh Harper dan Yoon 1974, yaitu :Ikterus yang timbul pada 24 jam pertamaPenyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat disusun sebagai berikut : Inkompatibilitas darah Rh, ABO atau golongan lain. Infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang-kadang bakteri). Kadang-kadang oleh defisiensi G-6-PD.Pemeriksaan yang perlu diperhatikan yaitu :- Kadar bilirubin serum berkala Darah tepi lengkap Golongan darah ibu dan bayi Uji coombs Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G-6-PD, biakan darah atau biopsi hepar bila perlu.Ikterus yang timbul 24- 72 jam sesudah lahir Biasanya ikterus fisiologis Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh atau golongan lain. Hal ini dapat diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg%/24 jam. Defisiensi enzim G-6-PD juga mungkin Polisitemia Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis, perdarahan hepar subkapsuler dan lain-lain). Hipoksia. Sferositosis, eliptositosis dan lain-lain. Dehidrasi asidosis. Defisiensi enzim eritrosit lainnya.Pemeriksaan yang perlu dilakukan :Bila keadaan bayi baik dan peningkatan ikterus tidak cepat, dapat dilakukan pemeriksaan daerah tepi, pemeriksaan kadar bilirubin berkala, pemeriksaan penyaring enzim G-6-PD dan pemeriksaan lainnya bila perlu.A. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama Biasanya karena infeksi (sepsis). Dehidrasi asidosis. Difisiensi enzim G-6-PD. Pengaruh obat. Sindrom Criggler-Najjar. Sindrom Gilbert.Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya Biasanya karena obstruksi. Hipotiroidisme. breast milk jaundice Infeksi. Neonatal hepatitis. Galaktosemia. Lain-lain.Pemeriksaan yang perlu dilakukan : Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek) berkala. Pemeriksaan darah tepi. Pemeriksaan penyaring G-6-PD. Biakan darah, biopsi hepar bila ada indikasi. Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab.Dapat diambil kesimpulan bahwa ikterus baru dapat dikatakan fisiologis sesudah observasi dan pemeriksaan selanjutnya tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi kernicterus.Ikterus yang kemungkinan besar menjadi patologis yaitu :1. Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama.2. Ikterus dengan kadar bilirubin melebihi 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg% pada neonatus kurang bulan.3. Ikterus dengan peningkatan bilirubin-lebih dari 5 mg%/hari.4. Ikterus yang menetap sesudah 2 minggu pertama.5. Ikterus yang mempunyai hubungan dengan proses hemolitik, infeksi atau keadaan patologis lain yang telah diketahui.6. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.

PencegahanIkterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan :1. Pengawasan antenatal yang baik.2. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada masa kehamilan dan kelahiran, misalnya sulfafurazole, novobiosin, oksitosin dan lain-lain.3. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus.4. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus.5. Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir.6. Pemberian makanan yang dini.7. Pencegahan infeksi.

Mengatasi hiperbilirubinemia Fenobarbital Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital. Obat ini bekerja sebagai enzyme inducer sehingga konjugasi dapat dipercepat. Pengobatan dengan cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi penurunan bilirubin yang berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu kira-kira 2 hari sebelum melahirkan. Albumin Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi. Contohnya yaitu pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin dapat diganti dengan plasma dengan dosis 15-20 ml/kgBB. Albumin biasanya diberikan sebelum tranfusi tukar dikerjakan oleh karena albumin akan mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih mudah dikeluarkan dengan tranfusi tukar. Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi hepar sebagai sumber energi.

Fototerapi Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun fototerapi dapat menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan tranfusi tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra dan pasca-tranfusi tukar. Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958. Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus. Di RSU Dr. Soetomo Surabaya terapi sinar dilakukan pada semua penderita dengan kadar bilirubin indirek >12 mg/dL dan pada bayi-bayi dengan proses hemolisis yang ditandai dengan adanya ikterus pada hari pertama kelahiran. Pada penderita yang direncanakan transfusi tukar, terapi sinar dilakukan pula sebelum dan sesudah transfusi dikerjakan. Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah lampu neon yang diletakkan secara pararel dan dipasang dalam kotak yang berfentilasi. Agar bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (380-470 nm) lampu diletakkan pada jarak tertentu dan bagian bawah kotak lampu dipasang pleksiglass biru yang berfungsi untuk menahan sinar ultraviolet yang tidak bermanfaat untuk penyinaran. Gantilah lampu setiap 2000 jam atau setelah penggunaan 3 bulan walau lampu masih menyala. Gunakan kain pada boks bayi atau inkubator dan pasang tirai mengelilingi area sekeliling alat tersebut berada untuk memantulkan kembali sinar sebanyak mungkin ke arah bayi. Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat seluas-luasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 6-8 jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup namun gonad tidak perlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar bilirubin dan hemoglobin bayi di pantau secara berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin