Fixxxxxxxxxxxxxxxxxx Print

27
LAPORAN KASUS SEORANG PENDERITA RHEUMATIC HEART DISEASE (RHD) DALAM KEHAMILAN Gusti Ayu Indah Savitri, S.Ked; Stase Ilmu Penyakit Dalam FKIK Universitas Warmadewa / RSUD Sanjiwani Gianyar Pendahuluan Demam reumatik (DR) atau Rheumatic Fever (RF) adalah penyakit inflamasi sistemik oleh karena infeksi Streptokokus β hemolitik grup A yang dapat mengenai banyak organ tubuh terutama jantung, sendi, dan sistem saraf pusat. 1,2 Sedangkan Penyakit Jantung rematik (PJR) atau Rheumatic Heart Disease (RHD) adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari RF, yang terjad berulang kali ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung. 3 RF dapat mengakibatkan gejala sisa (sequele) yang amat penting pada jantung sebagai akibat berat ringannya karditis selama serangan akut RF. Dampak penting oleh RF ini adalah kemampuannya menyebabkan katup-katup jantung menjadi fibrosis yang akan menimbulkan gangguan hemodinamik dengan penyakit jantung yang kronis dan berat, dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian. 1,2 RHD adalah penyakit jantung utama yang merupakan penyakit jantung yang didapat pada anak-anak di banyak negara di dunia, terutama di negara-negara berkembang. 2 Angka kejadian yang tinggi di negara berkembang berhubungan dengan sosial ekonomi yang rendah, pelayanan kesehatan yang kurang memadai, infeksi 1

description

lapsus

Transcript of Fixxxxxxxxxxxxxxxxxx Print

Page 1: Fixxxxxxxxxxxxxxxxxx Print

LAPORAN KASUS

SEORANG PENDERITA RHEUMATIC HEART DISEASE (RHD) DALAM

KEHAMILAN

Gusti Ayu Indah Savitri, S.Ked; Stase Ilmu Penyakit Dalam

FKIK Universitas Warmadewa / RSUD Sanjiwani Gianyar

Pendahuluan

Demam reumatik (DR) atau Rheumatic Fever (RF) adalah penyakit inflamasi sistemik oleh

karena infeksi Streptokokus β hemolitik grup A yang dapat mengenai banyak organ tubuh

terutama jantung, sendi, dan sistem saraf pusat.1,2 Sedangkan Penyakit Jantung rematik (PJR)

atau Rheumatic Heart Disease (RHD) adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa

(sekuele) dari RF, yang terjad berulang kali ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung. 3 RF

dapat mengakibatkan gejala sisa (sequele) yang amat penting pada jantung sebagai akibat berat

ringannya karditis selama serangan akut RF. Dampak penting oleh RF ini adalah kemampuannya

menyebabkan katup-katup jantung menjadi fibrosis yang akan menimbulkan gangguan

hemodinamik dengan penyakit jantung yang kronis dan berat, dan pada akhirnya dapat

menyebabkan kematian.1,2

RHD adalah penyakit jantung utama yang merupakan penyakit jantung yang didapat pada

anak-anak di banyak negara di dunia, terutama di negara-negara berkembang.2 Angka kejadian

yang tinggi di negara berkembang berhubungan dengan sosial ekonomi yang rendah, pelayanan

kesehatan yang kurang memadai, infeksi tenggorokan yang tidak diobati atau penanganan yang

lambat, lingkungan yang padat, industrialisasi, dan urbanisasi.4 Penyakit ini menjadi penyebab

utama morbiditas dan mortalitas penduduk usia muda di negara-negara yang sedang

berkembang. Diperkirakan ada lebih dari 15 juta kasus RHD di seluruh dunia, dengan 282.000

kasus baru dan 233.000 kematian setiap tahunnya.5 Dalam laporan WHO Expert consultation

Geneva, yang diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk RHD 0,5 per 100.000 penduduk di

negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara berkembang dan di daerah Asia

Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000.3 Setidaknya 15,6 juta orang diperkirakan saat terkena

RHD dengan jumlah yang signifikan dari mereka membutuhkan rawat inap berulang dan operasi

1

Page 2: Fixxxxxxxxxxxxxxxxxx Print

jantung dengan biaya yang besar pada lima sampai 20 tahun berikutnya.2 Data terakhir mengenai

prevelensi RF di Indonesia untuk tahun 1081-1990 didapati 0,3-0,8 diantara 1000 anak sekolah

dan jauh lebih rendah disbanding Negara berkembang lainnya.3

RF dan RHD adalah penyebab utama kematian penyakit jantung untuk usia dibawah 45

tahun.1 Dalam kehamilan, Penyakit jantung merupakan penyebab kematian maternal ketiga dan

penyebab utama kematian dalam penyebab kematian maternal non obstetric. Di Negara maju,

kehamilan dengan penyakit jantung katup merupakan penyakit urutan kedua tersering setelah

penyakit jantung bawaan. Menurut statistik yang ditetapkan oleh WHO, India, Bangladesh, Cina,

dan Indonesia menempati urutan teratas dalam jumlah kematian terbanyak akibat penyakit RF

dan penyakit jantung rematik. RHD juga dilaporkan terjadi pada kehamilan, angka kejadiannya

bervariasi di beberapa negara Asia yaitu 0,4-4% dari seluruh kehamilan yang dilaporkan. Insiden

umum RF dan endokarditis selama kehamilan dilaporkan rendah (0,006%). Angka kematian ibu

secara umum setelah komplikasi endokarditis dilaporkan sangat tinggi (33%), terutama terkait

dengan gagal jantung atau peristiwa emboli; sementara mortalitas janin dapat mencapai 29%.

Risiko kematian ibu berhubungan dengan terjadinya stenosis mitral disertai aitrial fibrilasi

sebesar 14-17% terutama meningkat pada trimester ketiga dan setelah melahirkan.6 Berdasarkan

hal tersebut laporan kasus ini diangkat untuk membahas bagaimana RHD yang terjadi pada saat

kehamilan mengingat kasusnya jarang terjadi pada kehamilan namun memberikan dampak yang

membahayakan pada ibu hamil maupun janinnya.

Kasus

Seorang pasien perempuan berinisial NKIW, usia 21 tahun, perawakan pasien kurus dengan

berat badan 45 kg dan tinggi badan 160 cm, datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah

Sakit Umum Daerah Sanjiwani Gianyar pada tanggal 21 Juli 2015 pukul 18.00 WITA dengan

keadaan umum sakit berat dan kesadaran compos mentis (GCS = E4V5M6). Pasien datang

dengan keluhan utama sesak. Sesak dirasakan sejak pagi dan dirasakan memberat ketika sore

hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan sesak hilang timbul sudah dirasakan oleh pasien sejak

kurang lebih 1 hari SMRS. Pasien mengatakan bahwa sesaknya saat ini memberat ketika

kelelahan saat berjalan jauh, dan membaik ketika pasien beristirahat. Untuk memperingan 2

Page 3: Fixxxxxxxxxxxxxxxxxx Print

keluhannya pasien harus duduk bahkan kalau tidur harus menggunakan 3 bantal. Pasien

menyangkal adanya sesak yang muncul ketika perubahan cuaca ataupun emosi. Pasien juga

mengeluhkan panas sejak 1 hari SMRS, dan panas dirasakan hilang timbul. mual sejak keluhan

panas muncul, namun tidak disertai dengan muntah. Pasien merasakan seluruh badan sakit,

terutama pada tulang dan sendi di tangan dan kaki. Makan dan minum pasien masih seperti

biasa. BAB dan BAK dikatakan normal. Pasien mengatakan pernah dirawat di RSUD Sanjiwani

pada bulan Maret 2015 yang lalu selama 4 hari karena mengeluh sesak. Setelah itu pasien dirujuk

ke RSUP Sanglah. Selain itu pasien mengatakan memiliki riwayat penyakit jantung yaitu sejak

kelas 6 SD. Pasien minum 2 obat merah dan putih. Namun pasien lupa nama obat yang pernah

digunakan. Pasien mengaku putus obat setelah mengkonsumsi obat selama 2 tahun. Pasien juga

pernah mengeluhkan hal yang sama pada saat pasien masih SMA dan pada saat anak-anak

pasien sering menderita batuk pilek yang lama. Riwayat penyakit asma, penyakit ginjal,

hipertensi dan kencing manis disangkal oleh pasien. Di keluarga pasien, ayah pasien dikatakan

memiliki riwayat penyakit jantung, namun pasien tidak mengetahui secara spesifik apa penyakit

jantung yang diderita oleh ayah pasien. Riwayat penyakit asma, penyakit ginjal, diabetes, dan

riwayat penyakit kronis lainnya disangkal. Pasien memiliki hubungan baik dengan lingkungan

sekitar, tidak pernah minum alkohol, tidak merokok juga minum kopi. Makan dan minum

dikatakan baik. Pasien mengatakan tidak pernah alergi terhadap obat.

Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik terhadap pasien. Pada vital signs didapatkan

tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 98 kali/menit, nafas 25 kali/menit, dan suhu aksila 37,8 oC.

Kepala dalam keadaan normocephali. Pada mata nampak anemis, tidak terdapat ikterus, dengan

reflek pupil positif isokor. Pada pemeriksaan leher ditemukan JVP = PR +2cm dan tidak ada

pembesaran kelenjar getah bening. Bentuk dada normal, simetris kiri-kanan, iktus kordis terlhat

di ICS 6, 2 jari lateral midclavicula line, serta tidak ada tanda-tanda jejas maupun kelainan pada

kulit. Saat dipalpasi, gerak dada simetris, fremitus vokal normal kiri-kanan, tidak ada nodul atau

benjolan pada kulit, dan iktus kordis dapat diraba pada ICS 6. Batas jantung kiri pada aksilar line

ICS 7, batas kanan pada parasternal line ICS 6, dan batas atas pada midclavicular line ICS 4.

Sedangkan pada auskultasi, didapatkan suara S1 S2 irreguler dan terdengar adanya murmur

diastolik terutama pada daerah apeks. Suara napas utama adalah suara vesikuler, tanpa ronkhi,

dan wheezing.

3

Page 4: Fixxxxxxxxxxxxxxxxxx Print

Pasien mengatakan hamil anak pertama dengan hari pertama haid terakhir tanggal 12

November 2014 dan taksiran persalinan tanggal 19 Agustus 2015. Selama kehamilannya pasien

mengaku sudah rutin memeriksakan diri ke bidan. Saat datang pasien tidak mengeluhkan adanya

sakit perut hilang timbul, mapun keluar air atau darah pervaginam dan gerak anak masih baik.

Pada pemeriksaan abdomen sulit dilakukan karena pasien sedang dalam kondisi hamil, oleh

karena itu pasien dikonsulkan kepada bagian Obgyn. Pada ekstremitas, akral teraba hangat.

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosis dengan G1P0000 35W6D

T/H suspect IUGR + RHD + anemia ringan H-M dengan taksiran berat janin (TBJ) 1888 gram

oleh bidang Obgyn.

Pemeriksaan penunjang laboratorium yang digunakan adalah darah lengkap (DL),

elektrolit, pemeriksaan gula darah sewaktu, dan BUN-SC. Pada DL ditemukan WBC 5,7 103/μL

(N), RBC 3,38.20 106/μL (L), Hb 9,1 g/dL (L), MCV 81,9 fl (L), MCH 26,9 pg (L), dan PLT 171

103/μL (N). Pemeriksaan elektrolit didapatkan Natrium 140 mmol/L (N), Kalium 4,2 mmol/L

(N), Chlorida 97 mmol/L (N). Pemeriksaan gula darah sewaktu 70 mg/dL (N). Pemeriksaan

BUN 18 mg/dL (N), SC 0,7 mg/dL (N). Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan penunjang

radiologi foto torak dikarenakan pasien menolak oleh karena pasien masih hamil.

Dilakukan juga pemeriksaan EKG pada pasien, dimana didapatkan interpretasinya sebagai

berikut:

4

Page 5: Fixxxxxxxxxxxxxxxxxx Print

Irama : Sinus

Laju : 107 kali/menit

Regularity : Reguler

Axis : Normal (Lead I (+), lead aVF (+))

Morfologi

P wave : Normal

PR interval : Normal

QRS kompeks : Normal

ST interval : Normal

T wave : Normal

Kesimpulan : Sinus takikardi

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, hasil laboratorium, EKG, pasien didiagnosis

sebagai Rheumatic Heart Disease (RHD)/ MS / Fc III. Pasien kemudian diberikan terapi yaitu

diet bebas namun rendah garam, posisi ½ duduk selama MRS, dan O2 4 liter/menit IVFD NaCl

10 tpm, dan bed rest total. Serta diberikan terapi dexamethasone 1x12mg IM selama 2 hari, dan

sulfas ferosus 1x300mg p.o. Pasien juga direncanakan pemeriksaan echocardiography dan untuk

persalinan dilakukan di RSUP Sanglah dengan fasilitas yang lebih lengkap.

Selama 1 hari perawatan, pasien divisite oleh dokter penyakit dalam dan terapi dilanjtkan.

Serta dari dokter obgyn menambahkan usulan untuk dilakukan tranfusi PRC hingga hb ≥ 10 dan

diusulkan untuk melakukan pemeriksaan echocardiography. Pada pukul 17.30 WITA pasien

merasakan bahwa keluhan sesak bertambah berat. Pada pemeriksaan vital sign, didapatkan

tekanan darah terkontrol 110/90 mmHg, nadi 108 kali/menit, napas 32 kali/menit, dan suhu

aksila 36oC. Status general lainnya masih sama seperti sebelumnya. Pasien kemudian dirujuk ke

RSUP Sanglah untuk mendapat perawatan lebih lanjut.

PEMBAHASAN

Penyakit Jantung rematik (PJR) atau Rheumatic Heart Disease (RHD) adalah penyakit jantung

sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari RF yang terjadi berulang kali, yang ditandai

5

Page 6: Fixxxxxxxxxxxxxxxxxx Print

dengan terjadinya cacat katup jantung.1,2,3 RHD lebih sering terjadi pada pasien yang

mengalami keterlibatan jantung berat pada serangan RF akut.7 RHD timbul

sebagai akibat peradangan bersifat sistemik yang berlangsung dalam jangka waktu lama dimana

sebelumnya pernah terpapar oleh infeksi Streptokokus β hemolitikus grup A. RF dapat

mengakibatkan gejala sisa (sequele) yang amat penting pada jantung sebagai akibat berat

ringannya karditis selama serangan akut RF. Kerusakan dapat terjadi pada katup, muskulus

papilaris dan korda tendinea dengan hasil akhir terjadi penutupan katup yang tidak sempurna.1

Meskipun sendi-sendi merupakan organ yang paling sering dikenai, tetapi jantung merupakan

organ dengan kerusakan yang terberat.1,7

Streptokokus β hemolitikus grup A adalah kokus gram positif yang sering berkoloni di

kulit dan orofaring. Organisme ini dilindungi oleh surface protein pada dinding selnya yaitu M

protein. Protein ini merupakan faktor virulen yang utama bagi streptokokus jenis ini. Tidak

semua serotipe Streptokokus grup A dapat menimbulkan RF. Serotip tertentu Streptokokus β

hemolitikus grup A, misalnya serotip M tipe 1, 3,5, 6, 18, 24 lebih sering diisolasi dari penderita

dengan RF akut. Organisme ini dapat menyebabkan lesi supuratif seperti faringitis, impetigo,

myositis, pneumonia, dan sepsis puerperalis. Ia juga dapat menyebabkan lesi nonsupuratif seperti

RF dan glomerulonefritis akut poststreptokokus. Organisme ini memiliki toksin hemolitik yaitu

streptolysin S dan O. Hanya streptolysin O yang dapat menimbulkan respon antibodi yang

persisten sebagai salah satu marker dari adanya infeksi streptokokus β hemolitikus grup A.8

Individu-individu segala umur dapat diserang oleh RF akut, tetapi 90% dari serangan

pertama terdapat pada anak-anak dan orang usia muda 5-15 tahun, sedangkan yang terjadi

dibawah umur 5 tahun adalah jarang sekali.1 Terdapat tiga hal yang berperan penting dalam

terjadinya RF, yakni agen penyebab penyakit yaitu Streptokokus β-hemolitikus grup A, host

(manusia), dan faktor lingkungan. Streptokokus akan menyerang sistem pernafasan bagian atas

dan melekat pada jaringan faring. Adanya protein M menyebabkan organisme ini mampu

menghambat fagositosis sehingga bakteri ini dapat bertahan pada faring selama 2 minggu,

sampai antibodi spesifik terhadap Streptokokus selesai dibentuk. Protein M, faktor virulen yang

terdapat pada dinding sel Streptokokus, secara immunologi memiliki kemiripan dengan struktur

protein yang terdapat dalam tubuh manusia seperti miokardium (miosin dan tropomiosin), katup

jantung (laminin), sinovial (vimentin), kulit (keratin) juga subtalamus dan nucleus kaudatus

6

Page 7: Fixxxxxxxxxxxxxxxxxx Print

(lysogangliosides) yang terdapat diotak. Adanya kemiripan pada struktur molekul inilah yang

mendasari terjadinya respon autoimun yang pada RF. Kelainan respon imun ini didasarkan pada

reaktivitas silang antara protein M Streptokokus dengan jaringan manusia yang akan

mengaktivasi sel limfosit B dan T. Sel T yang telah teraktivasi akan menghasilkan sitokin dan

antibodi spesifik yang secara langsung menyerang protein tubuh manusia yang mirip dengan

antigen Streptokokus. Ditemukannya antibodi terhadap katup jantung yang mengalami reaksi

silang dengan N-acetylglucosamine, karbohidrat dari Streptokokus grup A, membuktikan bahwa

antibodi bertanggung jawab terhadap kerusakan katup jantung.8

Genetik juga berperan terhadap kerentanan terjadinya RF, namun mekanisme yang pasti

belum diketahui. Resiko terjadinya RF setelah faringitis oleh Streptokokus, pada mereka yang

mempunyai kerentanan secara genetik, adalah sekitar 50% dibandingkan dengan mereka yang

tidak rentan secara genetik. Telah diidentifikasi suatu alloantigen pada sel B dari 75% penderita

RF, sedangkan hanya didapatkan 16% pada yang bukan penderita. Penelitian lain juga

menyebutkan bahwa antigen HLA-DR merupakan petanda RHD.8

Akhirnya, faktor lingkungan berhubungan erat terhadap perkembangan RF. Kebersihan

lingkungan yang buruk, kepadatan tempat tinggal, sarana kesehatan yang kurang memadai juga

pemberian antibiotik yang tidak adekuat pada pencegahan primer dan sekunder RF,

meningkatkan insidensi penyakit ini.8

Secara klinis artritis merupakan gejala mayor yang sering ditemukan pada RF akut. Sendi

yang biasanya terkena adalah sendi-sendi besar seperti, sendi lutut, pergelangan

kaki, siku, dan pergelangan tangan. Arthritis rematik bersifat asimetris dan

berpindah-pindah (poliarthritis migrans). Peradangan sendi ini dapat sembuh

spontan beberapa jam sesudah serangan namun muncul pada sendi yang

lain. Pada sebagian besar pasien, arthritis sembuh dalam 1 minggu dan

biasanya tidak menetap lebih dari 2 atau 3 minggu.1,7,8

Karditis merupakan kelainan yang paling serius pada RF akut dimana

40-60% pasien berkembang menjadi RHD. Karditis ini mempunyai gejala

yang nonspesifik meliputi mudah lelah, anoreksia, demam ringan, mengeluh

nafas pendek, nyeri dada dan arthalgia. Karena manifestasi yang tidak

spesifik dan lamanya timbul gejala, setiap pasien yang datang dengan

7

Page 8: Fixxxxxxxxxxxxxxxxxx Print

manifestasi lain harus diperiksa dengan teliti untuk menyingkirkan adanya

karditis. Walaupun karditis dapat mengenai perkardium, miokardium dan

endokardium, namun kelainan yang menetap hanya ditemukan pada

endokardium, terutama katup jantung. Katup yang sering terkena adalah

katup mitral dan aorta yang kelainannya dapat berupa insufisiensi atau

regurgitasi tetapi bila penyakit telah berlangsung lama dapat berupa

stenosis.8 Biasanya pada regugitasi mitral disertai juga dengan stenosis

mitral, hanya sekitar 10% kasus regurgitasi mitral tanpa ada stenosis.1

Endokarditis terdeteksi saat adanya bising jantung (murmur). Katup mitral

merupakan katup yang paling banyak terkena dan dapat bersamaan dengan

katup aorta. Katup aorta sendiri jarang dikenai. Pada regurgitasi mitral dapat

ditemukan murmur sistolik yang menjalar ke aksila, sedangkan pada

stenosis mitral dapat ditemukan murmur diastolik. Miokarditis dapat terjadi

bersamaan dengan endokarditis dengan adanya kardiomegali dan gagal

jantung. Sedangkan perikarditis sering dialami dengan adanya nyeri pada

jantung dan nyeri tekan dan pada auskultasi dijumpai adanya bising gesek

yang terjadi akibat peradangan pada perikardium parietal dan viseral.8

Diagnosa karditis ditegakkan dengan menemukan 1 dari 4 kriteria

dibawah ini yaitu: (1) Bising jantung organik. Pemeriksaan ekokardiografi

yang menunjukkan adanya insufisiensi aorta atau insufisiensi mitral saja,

tanpa adanya bising jantung organik tidak dapat disebut sebagai karditis. (2)

Perikarditis (bising gesek, efusi perikardium, nyeri dada, perubahan EKG). (3)

Kardiomegali pada foto toraks, dan (4) Gagal jantung kongestif.8 Dengan

ekokardiografi dua dimensi dapat mengevaluasi kelainan anatomi jantung

sedangkan dengan pemeriksaan Doppler dapat ditentukan fungsi dari

jantung.8

Korea Sydenham terjadi pada 13-34% kasus RF dan dua kali lebih

sering pada perempuan. Manifestasi ini mencerminkan keterlibatan proses

radang pada susunan saraf pusat, ganglia basal, dan nukleus kaudatus otak .

Gejala awal biasanya emosi yang labil dan iritabilitas lalu diikuti dengan

8

Page 9: Fixxxxxxxxxxxxxxxxxx Print

gerakan yang tidak disengaja, tidak bertujuan dan inkoordinasi muskular.

Semua otot dapat terkena, namun otot wajah dan ekstremitas adalah yang

paling mencolok. Gejala ini semakin diperberat dengan adanya stress dan

kelelahan namun menghilang saat pasien beristirahat.7,8

Eritema marginatum merupakan ruam khas pada RF yang terjadi

kurang dari 10% kasus. Ruam ini tidak gatal, makular, berwarna merah

jambu atau kemerahan dengan tepi eritema yang menjalar dari satu bagian

ke bagian lain, mengelilingi kulit yang tampak normal. Eritema biasanya

hanya dijumpai pada pasien karditis, seperti halnya nodulus subkutan.

Sedangkan pada nodulus subkutan lebih jarang dijumpai, yaitu kurang dari

5% kasus. Nodulus terletak pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada

siku, ruas jari, lutut dan persendian kaki. Kadang juga ditemukan di kulit

kepala dan di atas kolumna vertebralis. Ukuran nodul bervariasi antara 0,5 –

2 cm, tidak nyeri, padat dan dapat bebas digerakkan. Kulit yang

menutupinya dapat bebas digerakkan dan pucat, tidak menunjukkan tanda

peradangan. Nodul ini biasanya muncul pada karditis rematik dan

menghilang dalam 1-2 minggu. 7,8

Diagnosis RF ditegakkan berdasarkan kriteria Jones, yang telah direvisi pada tahun 1992

oleh American Heart Association, dibuat dengan maksud untuk mendiagnosis serangan pertama

dari RF akut dan bukan untuk serangan ulangan. Terdapat 5 kriteria mayor dan 4 kriteria minor

dan persyaratan absolut (mikrobiologik atau serologik) dari bukti adanya infeksi

Streptococcus β-hemolyticus Grup A baru- baru ini. Diagnosis dari RF akut akut dapat

ditegakan dari kriteria Jones jika seorang pasien memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 kriteria

mayor dan 2 kriteria minor serta memenuhi persyaratan absolut. Adapun kriteria mayor

tersebut antara lain karditis, polyartritis, chorea, erythema marginatum, dan nodul subkutan.

Sedangkan kriteria minor antara lain: secara klinis ditemukan demam, poliatralgia; dan

pemeriksaan lab ditemukan peningkatan reaksi fase akut seperti yaitu LED meningkat dan hitung

leukosit meningkat. Bukti adanya infeksi Streptococcus β-hemolyticus Grup A dalam 45 hari

terakhir berupa kultur apus tenggorok positif, atau tes antigen streptokokus yang cepat, atau

antistreptolysin-O (ASTO) meningkat, dan pemeriksaan EKG didapat PR interval memanjang.9

9

Page 10: Fixxxxxxxxxxxxxxxxxx Print

Kemudian pada tahun 2003, WHO merekomendasikan untuk melanjutkan penggunaan

kriteria Jones yang diperbaharui (tahun 1992) untuk RF serangan pertama dan serangan rekuren

dengan atau tanpa RHD seperti yang tertera pada tabel berikut.8

Kriteria WHO Tahun 2002-2003 untuk Diagnosis Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik (Berdasarkan Revisi Kriteria Jones)8

Kategori diagnostic Kriteria

Demam rematik serangan pertama Dua mayor atau satu mayor dan dua minorditambah dengan bukti infeksi SGAsebelumnya

Demam rematik serangan rekuren tanpa RHD Dua mayor atau satu mayor dan dua minor ditambah dengan bukti infeksi SGASebelumnya

Demam rematik serangan rekuren

dengan RHD

Dua minor ditambah dengan bukti

infeksi SGA sebelumnya

Korea Sydenham Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya ataubukti infeksi SGA

RHD (stenosis mitral murni atau kombinasi dengan insufisiensi mitral dan/atau gangguan katup aorta)

Tidak diperlukan kriteria lainnya untuk mendiagnosis sebagai RHD

Kehamilan menyebabkan terjadinya sejumlah perubahan fisiologis dari sistem

kardiovaskuler yang akan dapat ditolerir dengan baik oleh wanita yang sehat, namun akan

menjadi ancaman yang berbahaya bagi ibu hamil yang mempunyai kelainan jantung sebelumnya.

Pada minggu ke-5 kehamilan akan terjadi resistensi vaskular sistemik dan tubuh secara fisiologis

menambah cardiac output untuk mengurangi hal tersebut, selain itu juga terjadi peningkatan

denyut jantung. Antara minggu ke-10 dan 20 terjadi peningkatan volume plasma sehingga juga

terjadi peningkatan preload. Kapasitas vaskular juga akan meningkat untuk memenuhi kebutuhan

tubuh. Pada kehamilan umumnya akan terjadi pembesaran ventrikel kiri untuk memfasilitasi

perubahan cardiac output, tetapi kontraktilitasnya tidak berubah. Serta bersamaan dengan

perubahan posisi diafragma akibat tekanan dari organ panggul (rahim) yang membesar, apeks

akan bergerak ke anterior dan ke kiri.10

10

Page 11: Fixxxxxxxxxxxxxxxxxx Print

Pada kasus ini pasien didiagnosis dengan Rheumatic Heart Disease (RHD)/ MS / Fc III

yang ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta penunjang dan setelah

dikonsulkan ke bagian obgyn pasien juga didiagnosis dengan G1P0000 35W6D T/H suspek

IUGR + RHD. Berdasarkan anamnesis diketahui bahwa pasien mengeluh sesak yang hilang

timbul sejak 1 hari SMRS dan dirasakan memberat sejak sore hari sebelum masuk rumah sakit.

Sesak dirasakan memberat ketika pasien berjalan dan membaik setelah beristirahat. Pasien

mengatakan memiliki riwayat penyakit jantung sejak kelas 6 SD serta pada saat anak-anak

pasien sering menderita batuk pilek yang lama. Pasien mengaku putus obat setelah

mengkonsumsi obat selama 2 tahun. Saat masih SMA dan bulan Maret 2015 pasien sempat

diopname karena keluhan sesak. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya peningkatan frekueni

nafas 25x/menit, pembesaran jantung dan terdengar suara murmur diastolik terutama pada daerah

apeks. Serta dari pemeriksaan EKG didapatkan sinus takikardi dengan heart rate 107x/menit.

Kemudian dari pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya penurunan pada kadar hemoglobin,

MCV, dan MCH yaitu Hb 9,1 g/dL (L), MCV 81,9 fl (L), MCH 26,9 pg (L).

Berdasarkan teori disebutkan bahwa RHD adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya

gejala sisa (sekuele) dari RF yang terjadi berulang kali, yang ditandai dengan terjadinya cacat

katup jantung.1,2,3 RHD lebih sering terjadi pada pasien yang mengalami keterlibatan jantung

berat pada serangan RF akut.7 Menurut kriteria Jones yang telah direvisi, diagnosis RHD yang

disertai dengan kelainan katup jantung ditegakkan tanpa memerlukan kriteria lainnya untuk

membantu menegakkan diagnosis. Dari faktor risiko diketahui pula bahwa pasien pernah

mengalami keluhan yang sama sama berulang-ulang dan terdapat faktor genetik serta ketidak

patuhan minum obat saat serangan RF. Hal ini merupakan faktor risiko terjadinya RHD. Gejala

yang paling sering ditemukan pada RHD adalah adanya sesak akibat dari terdapatnya edema

paru dan adanya murmur diastolik akibat stenosis mitral1 dimana hal ini juga ditemukan pada

pasien.

Dari pemeriksaan fisik pada pasien ditemukan adanya murmur diastolik sebagai salah

satu tanda stenosis mitral. Stenosis mitral merupakan kasus yang paling sering disebabkan oleh

RF. Penyebab terseringnya adalah endocarditis reumatik akibat reaksi yang progresif dari RF

oleh infeksi streptokokus. Pada stenosis mitral akan terjadi proses peradangan (valvulitis) dan

pembentukan nodul tipis di sepanjang garis penutupan katup. Proses ini akan menimbulkan

11

Page 12: Fixxxxxxxxxxxxxxxxxx Print

fibrosis dan penebalan daun katup, kalsiikasi, fusi kommisura, fusi serta pemendekan korda atau

kombinasi dari proses tersebut. Pada akhirnya akan terjadi penyempitan lubang katup

mengurangi pergerakan daun katup sehingga menghambat aliran darah dari atrium kiri ke

vantrikel kiri selama fase diastolik ventrikel. Untuk mengisi ventrikel kiri dan mempertahankan

curah jantung, atrium kiri harus menghasilkan tekanan yang lebih besar untuk mendorong darah

melampaui katup yang menyempit. Otot atrium kiri akan mengalami hipertropi untuk

meningkatkan kekuatan pemompaan darah, selain itu terjadi dilatasi atrium karena volume

atrium kiri meningkat akibat ketidakmampuan atrium mengosongkan diri secara normal.

Peningkatan tekanan dan volume atrium kiri dipantulkan ke belakang ke dalam pembuluh darah

paru sehingga terjadi peningkatan tekanan vena dan kapiler pulmonalis yang menyebakan

terjadinya hipertensi pulmonal dan edema paru-paru. Pada stenosis mitralis yang berat, hipertensi

pulmonal dapat memicu gagal jantung kanan oleh karena pembesaran ventrikel kanan.

Kegagalan ventrikel kanan dipantulkan ke belakang ke dalam sirkulasi sistemik, menimbulkan

kongesti pada vena sistemik dan edema perifer.11 Proses perubahan patologi sampai terjadinya

gejala klinis (periode laten) biasanya memakan waktu bertahun-tahun yaitu sekitar 10-20

tahun.1,9

Pada penyakit yang ringan, pasien dapat tidak mengeluh sama sekali (asimtomatik).

Gejala-gejala secara khas belum muncul sebelum lubang katup ini mengecil sampai sekitar 50%,

yaitu dari ukuran normal 4-5 cm2 menjadi kurang dari 2,5 cm2. Rasa lemah dan lelah dapat

merupakan gejala awal yang sering ditemukan akibat curah jantung yang menetap jumlahnya dan

akhirnya berkurang. Pada stenosis mitralis yang berat gejala-gejala pernafasan seperti sesak saat

beraktifitas (exertional dyspnea), orthopnoe, dan paroxysmal nocturnal dyspnea akan semakin

menonjol. Jika seorang wanita dengan stenosis katup mitral yang berat sedang hamil, gagal

jantung akan dapat berkembang dengan cepat.1 Pada awalnya sesak napas akan dirasakan hanya

sewaktu melakukan aktivitas (exertional dyspnea) namun lama-kelamaan sesak akan timbul

dalam keadaan istirahat (orthopnoe). Pada stenosis mitral ringan, gejala yang muncul biasanya

dicetuskan oleh faktor yang meningkatkan kecepatan aliran darah, curah jantung, atau

menurunnya waktu pengisian diastol yang nantinya akan meningkatkan tekanan atrium kiri

secara dramatis. Hal tersebut termasuk latihan, emosi, infeksi respirasi, demam, aktivitas seksual,

kehamilan, serta fibrilasi atrium dengan respon ventrikel cepat.1,7,10 Pada stenosis mitral moderat

12

Page 13: Fixxxxxxxxxxxxxxxxxx Print

dan berat kerap mengalami perburukan hemodinamik pada trimester ketiga dan ketika

persalinan. Perubahan fisiologik terjadinya peningkatan volume darah dan peningkatan frekuensi

denyut jantung menyebabkan peningkatan takanan atrium kiri serta vena pulmonalis yang

mengakibatkan edema paru. Pebesaran atrium kiri dapat mengakibatkan atrial fibrilasi dimana

denyut jantung menjadi cepat dan tidak teratur. Kontraksi uterus meningkatkan aliran balik vena

dan kemudian terjadi kongesti paru. dan peningkatan venous return pada partus kala II juga dapat

meningkatkan beban jantung yang dapat membahayakan nyawa pasien. Selain itu pada saat

persalinan sering terjadi dekompensasi karena nyeri akan menginduksi takikardia.10

Temuan klasik pada stenosis mitral adalah opening snap dan bising/murmur diastol kasar

(diastolic rumble) pada daerah mitral. Opening snap dari katup mitral muncul akibat adanya

tekanan yang mendadak pada daun katup setelah daun katup tebuka. Suara ini paling jelas

terdengar pada apeks jantung dengan diafragma stetoskop.1 Murmur diastolik kasar pada stenosis

mitral terdengar jelas di apeks jantung dengan bell stetoskop. Suara murmur yang keras dapat

menjalar ke axila atau daerah sternal kiri bagian bawah. Berdasarkan pemeriksaan penunjang

pada stenosis mitral dari EKG akan tampak pembesaran atrium kiri (gelombang P melebar dan

beratakik (paling jelas pada sadapan II dikenal sebagai ”P mitral”), bila iramanya sinus normal;

hipertrofi ventrikel kanan; fibrilasi atrium lazim terjadi tetapi tidak spesifik untuk stenosis mitral.

Namun pada pasien ini dari hasil EKG hanya ditemukan adanya sinus takikardi. Dari foto

thoraks dapat ditemukan pembesaran atrium kiri dan ventrikel kanan; kongesti vena pulmonalis;

edema paru interstitialis; dan kalsifikasi katup mitral1, namun pada pada pasien pemeriksaan foto

thorax belum dilakukan oleh karena pasien menolak sebab pasien masih dalam keadaan hamil.

Sedangkan pemeriksaan ekokardiografi perlu dilakukan untuk menentukan derajat stenosis

mitral, pengukuran area katup mitral (mitral valve area / MVA), fungsi pompa ventrikel kiri,

trombus, dan derajat hipertensi pumonal dengan mengukur takanan arteri pulmonal. MVA

merupakan determinan kuat untuk terjadinya edema paru akut. Pada umumnya MVA 1,5 atau 1

cm2/luas permukaan tubuh m2 merupakan batasan Mitral Stenosis berat.10 Pada kasus ini pasien

belum dilakukan pemeriksaan ekokardiografi oleh karena keterbatasan penunjang yang ada

sehingga pasien direncanakan untuk melakukan ekokardiografi di rumah sakit yang memiliki

fasilitas lebih lengkap.

13

Page 14: Fixxxxxxxxxxxxxxxxxx Print

Pasien kemudian diberikan terapi yaitu diet bebas namun rendah garam, posisi ½ duduk

selama MRS, dan O2 4 liter/menit IVFD NaCl 10 tpm, dan bed rest total. Dari bagian obgyn

pasien diberikan terapi dexamethasone 1x12mg IM selama 2 hari untuk mempercepat

pematangan paru janin, sulfas ferosus 1x300mg p.o, dan tranfusi PRC hingga hb ≥ 10 sedangkan

dari bagian interna terapi dilanjutkan. Pasien juga diusulkan untuk melakukan pemeriksaan

echocardiography serta untuk persalinan dilakukan di RSUP Sanglah dengan fasilitas yang lebih

lengkap.. Pada pukul 17.30 WITA pasien merasakan bahwa keluhan sesak bertambah berat. Pada

pemeriksaan vital sign, didapatkan tekanan darah 110/90 mmHg, nadi 108 kali/menit, napas 32

kali/menit, dan suhu aksila 36oC. Status interna masih sama seperti sebelumnya. Pasien

kemudian dirujuk ke RS Sanglah untuk mendapat perawatan lebih lanjut.

Penanganan pasien hamil dengan RHD dibagi menjadi tiga yaitu antepartum,

intrapartum, dan postpartum. Namun pada kehamilan dengan penyakit jantung secara umum

pada functional class I dan II dapat dilanjutkan kehamilannya sedangkan pada functional class

III, dan IV dipertimbangkan untuk dilakukannya abortus provocatus medicinalis karena dapat

mengancam nyawa ibu. Dimana masa antepartum penderita RHD dengan mitral stenosis

penanganan bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara upaya untuk meningkatkan curah

jantung dan keterbatasan aliran darah yang melewati katup yang mengalami stenosis.

Kebanyakan ibu hamil memerlukan diuresis berupa pemberian furosemide. Pemberian -blocker

akan menurunkan denyut jantung, meningkatkan aliran darah yang melewati katup,

menghilangkan kongesti paru, dan mengurangi tekanan pada atrium kiri.10,13 Namun penggunaan

beberapa obat medikamentosa yang diperlukan sewaktu hamil dapat menimbulkan risiko pada

janin bila dikonsumsi selama kehamilan, tetapi bila manfaat untuk ibu lebih besar daripada

risiko, maka obat-obatan tersebut dapat tetap diberikan. Pada kasus ini pada pasien belum

diberikan terapi furosemide maupun -blocker. Berdasarkan Food and Drug Administration

Amerika Serikat, furosemide dan -blocker termasuk ke dalam kategori C yang artinya terdapat

efek samping pada janin dalam penelitian hewan, tetapi belum ada penelitian pada wanita hamil

yang telah dilakukan. Dalam penelitian menggunakan tikus dan kelinci, furosemide

menyebabkan kematian maternal dan abortus tanpa sebab yang dapat dijelaskan. Penelitian lain

juga menunjukkan peningkatan insiden hidronefrosis pada fetus yang mendapat furosemide

14

Page 15: Fixxxxxxxxxxxxxxxxxx Print

disbanding dengan kelompok kontrol. Sedangkan penggunaan -blocker masih diperdebatkan

karena dapat menyebabkan gangguan pada pertumbuhan janin yaitu IUGR. 14

Pada saat intrapartum persalinan pervaginam dapat berjalan dengan aman pada pasien

dengan mitral stenosis yang dapat menoleransi kehamilan dengan baik yaitu pada functional

class I dan II serta apabila tekanan arteri pulmonal kurang dari 50mmHg. Namun pada pasien

dengan functional class III dan IV serta adanya tekanan nadi lebih dari 50mmHg, harus

dilakukan monitoring hemodinamik sentral dengan menggunakan kateter arteri pulmonalis atau

Swan Ganz selama persalinan karena pada saat persalinan sering terjadi dekompensasi yang

disebabkan oleh nyeri akan menginduksi takikardia. Kontraksi uterus meningkatkan aliran balik

vena dan kemudian dapat terjadi kongesti paru.. Pada persalinan kala II sebaiknya dipercepat

dengan metode forcep ekstraksi dengan tambahan anestesi epidural dan apabila dilakukan seksio

sesaria harus dengan indikasi obstetri yang membuat persalinan pervaginam tidak dapat

dilakukan seperti kesempitan panggul. Selama proses persalinan sebaiknya hindari trauma

berlebihan dan infeksi serta didampingi oleh dokter penyakit dalam.10

Fase postpartum atau puerpenium pasien disarankan untuk bedrest dan dirawat selama 5-

10 hari mengingat komplikasi yang dapat terjadi, cegah konstipasi, dan laktasi dibatasi untuk

penyakit jantung dengan functional class III dan IV karena menyusui dapat mengakibatkan

keseimbangan cairan berubah dan menimbulkan dehidrasi, dimana pada pasien dengan penyakit

jantung cairan harus seimbang. Namun tidak ada kontraindikasi spesifik untuk memberi ASI (air

susu ibu) selama hidrasi yang adekuat dapat dipertahankan. Namun demikian ibu dianjurkan

untuk tidak sepenuhnya tergantung pada ASI eksklusif tetapi juga memberikan susu formula

kepada bayinya. Harus diperhatikan bahwa sebagian dari  obat-obat yang diberikan kepada ibu

dalam masa postpartum dapat melewati ASI.9,10

Pada pasien juga ditemukan adanya suspek IUGR pada janin yang dikandungnya. Seperti

penyakit jantung lainnya, RHD tidak hanya memberikan dampak buruk pada ibu tetapi juga pada

janin yang dikandung. Hal ini disebabkan karena jantung tidak mampu memberikan nutrisi dan

oksigenasi pada janin yang sedang tumbuh di dalam kandungan. IUGR (Intrauterine Growth

Restriction) atau pertumbuhan janin dalam kandungan terhambat adalah komplikasi terhadap

janin yang paling sering dijumpai pada pasien hamil dengan kelainan jantung seperti RHD

karena pada pasien dengan penyakit jantung akan mengalami penurunan cardiac output oleh

15

Page 16: Fixxxxxxxxxxxxxxxxxx Print

karena adanya gangguan katup jantung sehingga akan menyebabkan penurunan aliran darah

uteroplacenta yang menurunkan kapasitas oksigen dan nutrisi untuk janin.12

Pasien juga sejak awal direncanakan untuk dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas yang

lebih lengkap. Hal ini sudah sesuai dengan alur penatalaksanaan kehamilan dengan RHD karena

pada saat intrapartum, persalinan pervaginam dengan FC III seperti pada kasus maupun FC IV,

serta adanya tekanan nadi lebih dari 50mmHg, persalinan sebaiknya dilakukan monitoring

hemodinamik sentral dengan menggunakan kateter arteri pulmonalis atau Swan Ganz selama

persalinan karena pada saat persalinan sering terjadi dekompensasi yang disebabkan oleh nyeri

yang akan menginduksi takikardia. Kontraksi uterus juga meningkatkan aliran balik vena dan

kemudian dapat terjadi kongesti paru. Pada persalinan kala II juga sebaiknya dipercepat dengan

metode forcep ekstraksi dengan tambahan anestesi epidural dan apabila dilakukan seksio sesaria

harus dengan indikasi obstetri yang membuat persalinan pervaginam tidak dapat dilakukan

seperti kesempitan panggul. Selama proses persalinan sebaiknya hindari trauma berlebihan dan

infeksi serta didampingi oleh dokter penyakit dalam.10 Fase postpartum pasien disarankan untuk

bedrest dan dirawat selama 5-10 hari mengingat komplikasi yang dapat terjadi, cegah konstipasi,

dan laktasi dibatasi untuk penyakit jantung dengan FC III dan IV. Walaupun masih kontroversi

tentang pemberian ASI yang dapat mengakibatkan dehidrasi, namun pasien dengan FC III dan

IV sebaiknya mengurangi karena memperhatikan juga obat-obat yang diberikan kepada ibu

dalam masa postpartum dapat melewati ASI. 9,10

RINGKASAN

Penyakit Jantung rematik (PJR) atau Rheumatic Heart Disease (RHD) adalah penyakit jantung

sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari RF yang terjadi berulang kali, yang ditandai

dengan terjadinya cacat katup jantung.1,2,3 Kelainan yang paling banyak disebabkan oleh RHD

adalah stenosis mitral oleh karena terjadinya endocarditis reumatik pada episode RF. RHD yang

terjadi dalam kehamilan akan meningkatkan morbiditas maupun mortalitas pada ibu dan janin

oleh karena adanya sejumlah perubahan fisiologis dari sistem kardiovaskuler selama kehamilan

yang diperberat oleh adanya gangguan hemodinamik akibat terjadinya gangguan katup jantung

Berdasarkan temuan-temuan yang didapatkan pada kasus, diaganosis pasien mengarah ke RHD

yang disertai dengan mitral stenosis. Namun pada kasus ini masih diperlukan beberapa

16

Page 17: Fixxxxxxxxxxxxxxxxxx Print

pemeriksan penunjang tambahan lainnya seperti ekokardiografi untuk menegakkan diagnosis

agar dapat ditentukan pemilihan terapi yang paling tepat pada pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Leman S. Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik. Dalam: Sudoyo AW,

Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.

Jilid II. Jakarta: Internal Publishing. 2009. p. 1662-66.

2. World Heart Federation. Rheumatic Heart Disease. 2012

3. Siregar AA. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik Permasalahan di Indonesia.

Universitas Sumatera Utara. 2008

4. Rahmawati NK, et al. Faktor Risiko Serangan Berulang Demam Rematik Penyakit Jantung

Rematik. Sari Pediatri. Vol 14 No 3. 2012

5. Seckeler MD, Hoke TR. The Worlwide Epidemiology of Acute Rheumatic Fever and

Rheumatic Heart Disease. Dove Press Jurnal. 2011

6. Londero AP, et al. A woman presenting rheumatic cardiopathy in pregnancy: a case report.

Journal of Medicine and Medical Sciences 2010; 1(5): 144-147

7. Leman S. Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik. Dalam: Sudoyo AW,

Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam . Edisi VI.

Jilid I. Jakarta: Internal Publishing. 2014. p. 1162-68.

8. Marpaung K. Gambaran Elektrokardiogram pada Anak dengan Penyakit Jantung Rematik di

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. 2013

9. World Heart Organization. Reumatic Fever and Reumatic Heart Disease. 2004

17

Page 18: Fixxxxxxxxxxxxxxxxxx Print

10. Sedyawan JH. Penyakit Jantung Katup.. Dalam: Saifuddin AB, Rachimhadhi T,

Wiknjosastro. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi IV. Jakarta: Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo. 2010. p. 174-7, 766-773

11. Prices SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6,

Volume 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006

12. Suhag A, Berghella V. Intrauterine Growth Restriction (IUGR): Etiology and Diagnosis.

Curr Obstet Gynecol Rep 2013; 2:102–111

13. Prosedur Tetap Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RS Sanglah Denpasar.

Kehamian dengan Penyakit Jantung. 2003. p. 18-20

14. Food and Drug Administration. 2012.

18