Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar...

70
Laporan Penelitian Kadar Hemoglobin, Jumlah Perdarahan dan Transfusi pada Pasien yang Menjalani Operasi Tumor Otak di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2015–2016 Diana Fitria Ningsih, Suwarman, Tatang Bisri .................................................................................... 71–9 Perbandingan antara Fentanil 2 μg/kgBB/jam dan Scalp Block Terhadap Peningkatan Hemodinamik dan Kadar Glukosa Darah Sewaktu saat Pemasangan Pin Kepala pada Kraniotomi Robert Sihombing, Dewi Yulianti Bisri, Ruli Herman S ...................................................................... 80–7 Laporan Kasus Fast-Track Anesthesia untuk Prosedur Kraniotomi Evakuasi Hematom karena Stroke Hemoragik Bona Akhmad Fitrah, Bambang Suryono, Siti Chasnak Saleh, Himendra Wargahadibrata .................. 88–95 Dexmedetomidine dan Natrium Laktat Hipertonik pada Bedah Transfenoid Makroadenoma Hipofisis dengan Hiponatremia MM. Rudi Prihatno Agus Budi Setyawan ............................................................................................ 96–102 Penanganan Cedera Kepala Berat disertai Intoksikasi Alkohol Akut dengan Panduan Transcranial Doppler Pascaoperasi Ida Bagus Krisna J. Sutawan, Syafruddin Gaus, Bambang J. Oetoro .................................................. 103–09 Ventilasi Mekanik yang Memanjang pada Pasien Cedera Otak Traumatik Berat dengan Kejang Pascatrauma Sinta Irina, Bambang J. Oetoro, Syafruddin Gaus ................................................................................ 110–16 Tinjauan Pustaka Trombosis Vena Otak Kenanga Marwan, Zafrullah Kany Jasa, Nazaruddin Umar ................................................................. 117–25 Pengelolaan Hipertensi Intrakranial yang Membandel pada Cedera Otak Traumatik Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri .......................................................................................................... 126–33 Daftar Isi

Transcript of Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar...

Page 1: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

Laporan Penelitian

Kadar Hemoglobin, Jumlah Perdarahan dan Transfusi pada Pasien yang Menjalani Operasi Tumor Otak di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2015–2016Diana Fitria Ningsih, Suwarman, Tatang Bisri .................................................................................... 71–9

Perbandingan antara Fentanil 2 μg/kgBB/jam dan Scalp Block Terhadap Peningkatan Hemodinamik dan Kadar Glukosa Darah Sewaktu saat Pemasangan Pin Kepala pada Kraniotomi Robert Sihombing, Dewi Yulianti Bisri, Ruli Herman S ...................................................................... 80–7

Laporan Kasus

Fast-Track Anesthesia untuk Prosedur Kraniotomi Evakuasi Hematom karena Stroke HemoragikBona Akhmad Fitrah, Bambang Suryono, Siti Chasnak Saleh, Himendra Wargahadibrata .................. 88–95

Dexmedetomidine dan Natrium Laktat Hipertonik pada Bedah Transfenoid Makroadenoma Hipofisis dengan HiponatremiaMM. Rudi Prihatno Agus Budi Setyawan ............................................................................................ 96–102

Penanganan Cedera Kepala Berat disertai Intoksikasi Alkohol Akut dengan Panduan Transcranial Doppler PascaoperasiIda Bagus Krisna J. Sutawan, Syafruddin Gaus, Bambang J. Oetoro .................................................. 103–09

Ventilasi Mekanik yang Memanjang pada Pasien Cedera Otak Traumatik Berat dengan Kejang Pascatrauma Sinta Irina, Bambang J. Oetoro, Syafruddin Gaus ................................................................................ 110–16

Tinjauan Pustaka

Trombosis Vena OtakKenanga Marwan, Zafrullah Kany Jasa, Nazaruddin Umar ................................................................. 117–25

Pengelolaan Hipertensi Intrakranial yang Membandel pada Cedera Otak TraumatikDewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri .......................................................................................................... 126–33

Daftar Isi

Page 2: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

71

Kadar Hemoglobin, Jumlah Perdarahan dan Transfusi pada Pasien yang Menjalani Operasi Tumor Otak di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun

2015–2016

Diana Fitria Ningsih, Suwarman, Tatang BisriDepartemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran–RSUP Dr. Hasan

Sadikin Bandung

Abstrak

Latar Belakang dan Tujuan: Operasi tumor otak berhubungan erat dengan risiko perdarahan dalam jumlah besar dan menyebabkan anemia. Efek klinis anemia dapat diperbaiki dengan pemberian transfusi darah. Transfusi diberikan dengan target level Hemoglobin (Hb) antara 9 sampai 10 gr/dL. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kadar Hb, jumlah perdarahan serta pemberian transfusi darah pada pasien yang menjalani operasi tumor otak.Subjek dan Metode: Penelitian observasional yang dilakukan secara retrospektif terhadap 126 objek penelitian yang diambil dari rekam medis. Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah <9 gr/dL sebanyak 15 pasien, Hb 9–10 gr/dL sebanyak 6 pasien dan Hb >10 gr/dL sebanyak 105 pasien. Jumlah perdarahan rata-rata sebesar 1159±1032,66cc. Jumlah rata-rata transfusi yang diterima tiap pasien terdiri atas PRC 365,81±258,70cc, FFP 425,45±274,78cc dan satu pasien mendapat WB 250cc. Terdapat hubungan antara perdarahan dengan jenis tumor dan jenis operasi (p<0,05). Terdapat hubungan antara kadar Hb pascabedah dengan perdarahan dan tranfusi (p<0,05). Simpulan: Tidak ditemukan pasien dengan anemia berat sebelum operasi. Pemberian transfusi pada pasien yang menjalani operasi tumor otak masih berlebihan. Jumlah perdarahan berhubungan dengan jenis tumor dan jenis operasi. Kadar Hb pascabedah lebih ditentukan oleh perdarahan daripada transfusi.

Kata kunci: Hemoglobin, operasi tumor otak, perdarahan, transfusiJNI 2018;7 (2): 71‒9

Hemoglobin Levels, Blood Loss and Transfusion in Patients Underwent Brain Tumor Surgery at Dr. Hasan Sadikin Bandung General Hospital During 2015–2016

Abstract

Background and Objective: Brain tumor surgery is closely related to the risk of numerous bleeding that can cause the patient to be in an anemic condition. The clinical effects of anemia can be improved by administered blood transfusions. Transfusion can be administered with target Hemoglobin (Hb) level between 9 to 10 gr/dL. The purpose of this study was to describe levels of Hb, blood loss and how blood transfusion administered in patients undergoing brain tumor surgery.Subject and Method: Observational study with retrospective approach to 126 objects taken from medical records. Result: The average of preoperative Hb level was 13,23±1,350 gr/dL. Number of patients with postoperative Hb level <9 gr/dL were 15 patients, Hb 9–10 gr/dL were 6 patients and Hb >10 gr/dL were 105 patients. The rate of blood loss was 1159±1032,66cc. Average amount of transfusion received by each patients were PRC 365,81±258,70cc, FFP 425,45±274,78cc and one patient received WB 250cc. There was a relationship between blood loss with tumor type and type of surgery (p<0,05). There was a relationship between postoperative Hb level with blood loss and transfusion (p<0,05). Conclusion: No patients with severe preoperative anemia were found in this study. Transfusion administration of brain tumor surgery is still excessive. The rate of blood loss was associated with the type of tumor and surgical access. Postoperative Hb level is more determined by blood loss than tranfusion.

Key words: Hemoglobin, brain tumor surgery, blood loss, transfusions.

JNI 2018;7 (2): 71‒9

Page 3: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

72 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan

Operasi bedah saraf umumnya berhubungan dengan kehilangan darah dalam jumlah besar dan cepat. Pasien dapat berada pada kondisi anemia intrabedah dan tidak stabil yang akhirnya dapat mengakibatkan morbiditas serius bahkan mortalitas.1 Kebutuhan transfusi untuk memperbaiki kondisi anemia ini bergantung pada usia, jenis tumor dan teknik pembedahan.2,3

Oksigen harus diangkut secara efektif dari atmosfer ke jaringan guna mempertahankan metabolisme normal.4 Hemoglobin (Hb) adalah pengangkut utama dari oksigen dalam pemenuhan kebutuhan jaringan (oxygen transport). Hb memiliki kemampuan untuk melepaskan lebih banyak oksigen saat pasokan tidak memadai atau kebutuhan seluler meningkat.5 Anemia didefinisikan sebagai suatu kondisi tubuh dengan penurunan jumlah sel darah merah yang beredar.6,7 Anemia merupakan salah satu faktor penyebab cedera sekunder pada otak.8,9 Bila terjadi anemia yang dapat membahayakan jiwa maka diperlukan transfusi darah ataupun produk darah untuk mempertahankan konsentrasi Hb atau hematokrit (Ht).10

Transfusi sendiri telah dikaitkan dengan peningkatan kejadian infeksi, multiple organ failure (MOF) termasuk gagal napas, peningkatan kejadian tromboembolik dan kematian.8 Tidak ada aturan baku tentang saat harus dilakukan transfusi. Pasien dengan Ht normal umumnya akan mendapat transfusi setelah kehilangan darah lebih besar dari 10–20% dari volume darah mereka. Transfusi tidak direkomendasikan sampai Ht turun menjadi 24% atau lebih rendah (Hb <8 gr/dL), namun perlu diperhitungkan tingkat kehilangan darah dan kondisi komorbid pasien.10 Penggunaan transfusi yang bebas dengan sasaran mempertahankan konsentrasi Hb yang asal-asalan, bukan saja tidak efektif dalam memperbaiki luaran, tapi juga kemungkinan membahayakan. Pasokan oksigen adalah faktor penting pada cedera otak sekunder, klinisi memberikan target level Hb minimum antara 9 sampai 10 gr/dL.8,11

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

gambaran kadar Hb dan Ht prabedah dan pascabedah, jumlah perdarahan dan pemberian tranfusi pada pasien yang menjalani operasi tumor otak di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Juni 2015 sampai dengan Juni 2016.

II. Subjek dan Metode

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional yang dilakukan secara retrospektif mengenai gambaran kadar Hb dan Ht prabedah dan pascabedah, jumlah perdarahan dan pemberian tranfusi pada pasien yang menjalani operasi tumor otak di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung periode Juni 2015 sampai Juni 2016. Subjek penelitian ini adalah rekam medis pasien yang menjalani operasi tumor otak di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk kriteria eksklusi. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien yang menjalani operasi tumor otak di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Juni 2015 sampai Juni 2016 yang berusia 18 sampai 60 tahun. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah rekam medis pasien tidak lengkap.

Pengumpulan data secara keseluruhan dilakukan sejak disetujui oleh Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSHS pada bulan Desember 2016 menggunakan data rekam medis pasien yang menjalani operasi tumor otak pada periode Juni 2015 sampai dengan Juni 2016. Data yang diambil adalah usia, jenis kelamin, jenis tumor otak, kadar Hb dan Ht prabedah dan pascabedah, jumlah perdarahan dan jumlah transfusi dan cairan. Data kategorik dideskripsikan dengan distribusi frekuensi dan proporsi. Sedangkan untuk data numerik sepertia usia dideskripsikan dalam bentuk ukuran pemusatan dan penyebaran data numerik.

Analisis data digunakan untuk mengetahui karakteristik pasien yang menjalani operasi tumor otak. Deskripsi karakteristik dan status pasien ditampilkan dalam bentuk tabel. Data kategorik dideskripsikan dengan jumlah (n) dan persentase (%). Data numerik dideskripsikan

Page 4: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

73 Kadar Hemoglobin, Jumlah Perdarahan dan Transfusi pada Pasien yang Menjalani Operasi Tumor Otak di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2015–2016

dalam bentuk rata-rata, standar deviasi (SD), median, dan rentang (minimal−maksimal). Untuk data kategorik nilai p dihitung berdasarkan uji Chi Square dengan alternatif uji Exact Fisher/Kolmogorov Smirnov dan Exact Fisher apabila syarat dari Chi Square tidak terpenuhi. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05. Nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik.

III. Hasil

Total terdapat 126 pasien yang dioperasi selama

Tabel 1. Karakteristik Umum Variabel n = 126Usia (tahun)Mean ± SD 42,16±9,23Median 43,00Range (min-max) 18,00–60,00Jenis kelamin, n (%)Laki-laki 26(20,6)Perempuan 100(79,4)Jumlah pasien, n (%)Mendapat transfusi 56 (44,8)Tidak Mendapat Transfusi 70 (55,6)Hemoglobin prabedah (gr/dL)Mean ± SD 13,23±1,35Median 13,40Range (min-max) 9,80–16,40Hematokrit prabedah (%)Mean ± SD 39,19±3,54Median 40,00Range (min-max) 29,00–47,00Hematokrit pascabedah (%)Mean ± SD 34,03±6,03Median 35,00Range (min-max) 15,00–49,00Jumlah perdarahan (cc)Mean ± SD 1159±1032,66Median 900,00Range (min-max) 10,00–8000,00

Jenis tumor (n, %)MeningiomaAstrocytoma 87(69,0%)Makroadenoma 6(4,8%)Glioma 4(3,2%)Oligodendroglioma 4(3,2%)Cranipharyngioma 3(2,4%)Schwannoma 3(2,4%)Metastasis Carcinoma 3(2,4%)Osteoma 2(1,6%)Rhabdomyosarcoma 2(1,6%)Kista 2(1,6%)Neurofibroma 1(0,8%)Papilloma 1(0,8%)Hemangiopericytoma 1(0,8%)Osseous Plaques 1(0,8%)

Keterangan: data kategorik disajikan dengan jumlah/frekuensi dan persentase sedangkan data numerik disajikan dengan rata-rata, standar deviasi dan range.

Variabel n (%)Hematokrit prabedah (%)30 – <38 32(25,3)26 – <30 1(0,7)<26 –

Tabel 3. Gambaran Kelompok Hematokrit Prabedah

Keterangan: data kategorik disajikan dengan jumlah/frekuensi dan persentase

penelitian ini. Pasien yang diteliti memiliki usia antara 18–60 tahun dengan rata-rata usia sebesar 42,16±9,23 tahun. Jenis kelamin pasien sebagian besar adalah perempuan sebanyak 100 pasien (79,4%). Jumlah pasien yang mendapat transfusi sebanyak 56 pasien (44,8%). Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL, Ht prabedah rata-rata sebesar 39,19±3,54% dan Ht pascabedah rata-rata sebesar 34,03±6,03%. Jenis tumor paling banyak adalah meningioma yaitu 87 pasien (69%). Jumlah perdarahan selama operasi mempunyai median sebesar 900cc dengan rentang antara 10–8000cc (Tabel 1).

Anemia dibagi menjadi tiga kategori, yaitu severe

Tabel 2. Jenis Tumor (n=126)

Page 5: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

74 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Tabel 4. Gambaran Transfusi dan Jenis Tumor yang Mendapat TransfusiVariabel n = 56Packed red cell (cc)Mean ± SD 365,81±258,70Median 220,00Range (min-max) 150,00–1490,00Fresh frozen plasma (cc)Mean ± SD 425,45±274,78Median 400,00Range (min-max) 150,00–1140,00Whole blood (cc) 250,00Jenis tumor yang mendapat transfusi, n (%)Meningioma 49 (87,5)Rhabdomyosarcoma 2 (3,57)Glioma 1 (1,78)Metastatic Carcinoma 1 (1,78)Schwannoma 1 (1,78)Oligodendroglioma 1 (1,78)Neurofibroma 1 (1,78)

Keterangan: data kategorik disajikan dengan jumlah/frekuensi dan persentase sedangkan data numerik disajikan dengan rata-rata, standar deviasi dan range.

(Ht <26%), moderate (Ht 26% sampai <30%) dan mild (Ht 30% sampai <38%). Tidak ditemukan pasien dengan anemia berat pada penelitian ini (Tabel 2). Jumlah pasien yang mendapat tranfusi selama operasi sebanyak 56 pasien. Pemberian tranfusi PRC rata-rata sebesar 365,81±258,70cc, FFP rata-rata sebesar 425,45±274,78cc sedangkan untuk transfusi whole blood (WB) hanya diberikan pada satu pasien yaitu sebanyak 250cc. Terdapat tujuh jenis tumor otak yang teridentifikasi pada 56 pasien yang mendapat transfusi. Jenis tumor otak paling banyak yang mendapat transfusi yaitu meningioma sebanyak 49 pasien (87,5%; Tabel 3).

Jumlah perdarahan terbanyak terdapat pada kelompok Hb <9 gr/dL dengan median sebesar 2500cc dan rentang antara 1200–8000cc. Pemberian transfusi maupun cairan paling banyak diberikan pada kelompok Hb pascabedah <9 gr/dL yaitu PRC dengan median sebesar 600cc dan

rentang antara 190–1490cc, FFP dengan median 280cc dan rentang 0–1140cc, kristaloid dengan median 4000cc dan rentang antara 500–6000cc, koloid dengan median 1500cc dan rentang antara 500–6000cc. Transfusi WB hanya diberikan pada kelompok Hb pascabedah >10 gr/dL Kadar Ht saat mulai transfusi intrabedah tertinggi terdapat pada kelompok Hb pascabedah >10 gr/dL yaitu rata-rata pada Ht 29,65±4,90% (Tabel 4). Perdarahan terbanyak berasal dari tumor ekstrinsik dan pada pasien dengan tindakan operasi craniotomy tumor removal. Hasil uji statistik diperoleh informasi nilai P pada variabel jenis tumor otak dan jenis operasi lebih kecil dari 0,05 (nilai P<0,05) yang berarti bermakna secara statistik dengan demikian dapat dijelaskan bahwa terdapat perbedaan persentase yang signifikan secara statistik antara variabel jenis tumor otak dan jenis operasi pada kelompok perdarahan ≤1000cc dan perdarahan >1000cc (Tabel 5).

Hb pascabedah dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Sebagian besar pasien mempunyai Hb pascabedah >10 gr/dL. Hasil uji statistik pada kelompok penelitian diperoleh nilai p pada variabel perdarahan dan transfusi lebih kecil dari 0,05 (nilai p<0,05) yang berarti bermakna secara statistik dengan demikian dapat dijelaskan bahwa terdapat perbedaan persentase yang signifikan secara statistik antara variabel perdarahan dan transfusi pada kelompok Hb pascabedah <9 gr/dL, 9–10 gr/dL dan >10 gr/dL (Tabel 6).

IV. Pembahasan

Perdarahan yang terjadi pada operasi bedah saraf pada umumnya besar dan dapat berlangsung cepat. Pasien dapat berada pada kondisi anemia intrabedah maupun pascabedah sehingga memerlukan transfusi darah atau produk darah dengan volume besar pula. Pemberian transfusi untuk mempertahankan kadar Hb dalam darah harus sesuai indikasi, tidak boleh kurang atau berlebih. Dari penelitian ini didapatkan pasien dengan anemia prabedah ringan sebanyak 25,3% dan anemia prabedah sedang sebanyak 0,7%. Tidak didapatkan pasien dengan anemia berat. Hal ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian di Ohio yang menyebutkan bahwa pada 6576 pasien

Page 6: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

75

Tabel 5. Gambaran Kelompok Hb Pascabedah pada Pasien yang Mendapat Transfusi Berdasarkan Kadar Hb dan Ht saat Mulai Transfusi, Jumlah Perdarahan, Transfusi dan Cairan

Variabel Kadar Hemoglobin Pascabedah (gr/dL)<9 9–10 >10n=13 n=3 n=40

Perdarahan (cc)Mean±SD 2915,38±1695,99 2833,33±763,76 1341,25±617,46Median 2500,00 3000,00 1150,00Range (min-max) 1200,00–8000,00 2000,00–3500,00 500,00–3200,00Kadar Hb saa awal transfusi (gr/dL)Mean±SD 8,30±2,28 7,53±0,66 9,36±1,71Median 8,90 7,70 9,40Range (min–max) 4,20–11,50 6,80–8,10 4,20–13,90Kadar Ht saat awal transfusi (%)Mean±SD 26,53±6,00 26,00±1,00 29,65±4,90Median 27,00 26,00 30,00Range (min-max) 16,00–36,00 25,00–27,00 17,00–42,00Transfusi PRC (cc)Mean ± SD 642,30±341,03 493,33±215,71Median 600,00 400,00Range (min-max) 190,00–1490,00 340,00–740,00Transfusi FFP (cc)Mean ± SD 283,84±343,06 93,33±161,65Median 280,00 0,00Range (min-max) 0,00–1140,00 0,00–280,00Transfusi WB (cc) – –Cairan kristaloidMean ± SD 3769,23±1423,25 3333,33±763,76 3058,75±1085,26Median 4000,00 3500,00 3000,00Range (min-max) 500,00–6000,00 – 0,00–1500,00Cairan koloid (cc)Mean ± SD 1846,15±1344,50 – 333,75±384,87Median 1500,00 – 300,00Range (min-max) 500,006000,00 – 0,00–1500,00

Keterangan: data numerik disajikan dengan rata-rata, standar deviasi dan range

Kadar Hemoglobin, Jumlah Perdarahan dan Transfusi pada Pasien yang Menjalani Operasi Tumor Otak di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2015–2016

yang menjalani operasi bedah kepala elektif, didapatkan 2,7% pasien dengan anemia prabedah sedang-berat dan 28,4% dengan anemia prabedah ringan.7 Penelitan lain di Ohio tahun 2015 menyebutkan juga bahwa dari 668 pasien yang menjalani operasi aneurisma kepala didapatkan 30% pasien dengan anemia prabedah.13 Hal ini dapat disebabkan operasi yang dijalani adalah

operasi elektif sehingga masih cukup waktu dilakukan perbaikan kondisi anemia sebelum operasi. Terdapat peningkatan angka kematian pada pasien dengan tingkat Hb <7 gr/dL sebelum operasi.6 Pada penelitian ini tidak didapatkan pasien yang mempunyai Hb <7 gr/dL sebelum operasi. Penelitan di Ohio tahun 2015 juga menyebutkan bahwa 28% pasien dari 30% pasien

Page 7: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

76 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

yang menjalani operasi aneurisma dengan anemia prabedah mendapatkan transfusi perioperatif.13 Pada penelitian ini didapatkan jumlah perdarahan pada keseluruhan operasi berkisar antara 10–8000cc. Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara jumlah perdarahan dengan jenis tumor dan jenis operasi (p<0,05). Diantara jenis tumor dan jenis operasi, yang paling berhubungan dengan perdarahan adalah jenis tumor otak terutama tumor ekstrinsik. Tumor ekstrinsik yang paling banyak ditemukan pada penelitian ini adalah meningioma yaitu 87 pasien (69%). Permasalahan utama saat eksisi meningioma intrakranial adalah perdarahan dan prosedur operasi yang dapat memanjang karena meningioma mempunyai vaskularisasi yang tinggi dan ditambah dengan penanganan

hemostasis yang terkadang sangat sulit.12 Prosedur operasi yang paling mempengaruhi perdarahan adalah craniotomy tumor removal. Perdarahan paling sedikit yang ditemukan pada penelitian ini berjumlah 10cc, berasal dari operasi transphenoid tumor removal. Hal ini membuktikan bahwa kemajuan dalam teknik operasi bedah saraf seperti penggunaan teknik microsurgical secara signifikan membantu mengurangi perdarahan sekaligus kebutuhan transfusi intraoperatif.

Penelitian ini mendapatkan hasil pasien yang mendapat transfusi sebanyak 44,8% dari 126 pasien yang menjalani operasi tumor kepala, dengan rata-rata pemberian PRC sebesar 365,81±258,70cc, FFP sebesar 425,45±274,78cc dan terdapat satu pasien yang mendapat WB

Variabel Kadar Hemoglobin Pascabedah (gr/dL)<9 9–10 >10 Nilai P

n=15 n=6 n=105Perdarahan (n, %) 0,000**≤1000 cc 2(13,3) 2(33,3) 74(70,5)>1000 cc 13(86,7) 4(66,7) 31(29,5)Jumlah pasien (n, %) 0,002**Mendapat transfusi 13(86,7) 3(50,0) 40(38,1)Tidak mendapat transfusi 2(13,3) 3(50,0) 65(61,9)

Tabel 7. Hubungan antara Perdarahan dan Transfusi pada Kelompok Kadar Hb Pascabedah <9 gr/dl, 9–10 gr/dl dan >10 gr/dl

Keterangan: data kategorik nilai p dihitung berdasarkan uji Chi-Square dengan alternatif uji Exact Fisher/Kolmogorov Smirnov dan Exact Fisher apabila syarat dari Chi-Square tidak terpenuhi. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05. Tanda* menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik.

Tabel 6. Hubungan antara Tumor Otak dan Jenis Operasi pada Kelompok Perdarahan ≤1000cc dan Perdarahan >1000cc

Keterangan: data kategorik nilai p dihitung berdasarkan uji Chi-Square dengan alternatif uji Exact Fisher/Kolmogorov Smirnov dan Exact Fisher apabila syarat dari Chi-Square tidak terpenuhi. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05. Tanda* menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik.

Variabel Perdarahan (cc)≤1000 >1000 Nilai Pn=78 n=48

Tumor otak (n,%) 0,011**Intrinsik 16(20,5 2(4,2)Ekstrinsik 62(79,5) 46(95,8)Jenis operasi (n,%) 0,024**Transphenoid tumor removal 8(10,3) 0(0,0)Craniotomy tumor removal 70(89,7) 48(100,0)

Page 8: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

77

sebanyak 250cc. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di Jerman menyebutkan bahwa hanya 1,4% dari 718 pasien yang menjalani operasi tumor kepala membutuhkan transfusi darah. Beberapa strategi baru yang telah terbukti efektif mengurangi transfusi perioperatif produk darah yang dapat diimplementasikan seperti tranfusi secara restriktif, hemodilusi normovolemik akut dan autotranfusi.14

Banyaknya kebutuhan transfusi tergantung pada usia, jenis tumor dan teknik pembedahan. Low grade glioma, reseksi transsphenoidal tumor hipofisis atau astrocytoma biasanya tidak memerlukan transfusi darah. Kebutuhan transfusi dapat meningkat pada bayi dan tumor dengan vaskularisasi yang tinggi seperti pada meningioma dan tumor cerebellopontine.2,3 Dari penelitian ini juga didapatkan satu pasien yang menjalani operasi transphenoid tumor removal mendapat transfusi PRC 200cc dengan perdarahan 700cc dan Hb pascabedah sebesar 11,1 gr/dL. Jenis tumor otak paling banyak yang mendapat transfusi adalah meningioma yaitu sebanyak 49 pasien (87,5%). Penggunaan transfusi yang bebas dengan sasaran mempertahankan konsentrasi Hb yang asal-asalan (10 gr/dl) bukan saja tidak efektif dalam memperbaiki luaran, tapi juga kemungkinan membahayakan.8,11 Keputusan pemberian transfusi sebagian besar dinilai secara subjektif oleh dokter anestesi (residen/PPDS) dengan panduan perhitungan perdarahan, kadar perkiraan Hb intrabedah yang dihitung secara manual, trend hemodinamik arteri atau central venous pressure (bila dipasang) yang memungkinkan terjadinya transfusi yang tidak tepat (overtranfuse/undertransfuse). Salah satu tugas anestesi yang paling penting dan sulit adalah memonitor dan memperkirakan perdarahan. Meskipun perkiraan diperumit oleh pendarahan yang tersembunyi dalam luka atau di bawah surgical drapes, ketepatan perhitungan sangatlah penting untuk memandu pemberian terapi cairan dan transfusi. Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan perdarahan adalah dengan pengukuran darah pada wadah hisap dan perkiraan perdarahan secara visual pada spons bedah. Operasi yang dilakukan sebagian besar dikerjakan oleh operator yang

sedang belajar (residen) yang dapat membuat perdarahan lebih banyak serta waktu operasi yang lebih panjang dibanding dengan operator yang sudah berpengalaman (konsulen). Namun hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut.Idealnya, kehilangan darah harus diganti dengan kristaloid atau larutan koloid untuk menjaga volume intravaskular (normovolemia) sampai pada titik dimana pasien harus menerima transfusi. Klinisi memberikan larutan Ringer laktat atau plasmalyte kira-kira tiga sampai empat kali volume darah yang hilang atau koloid dalam rasio 1:1.10 Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemberian cairan selama operasi pada kelompok Hb pascabedah <9 gr/dL memiliki rata-rata yang lebih besar daripada kelompok Hb pascabedah lainnya dengan perkiraan rasio 1:4. Hb pascabedah <9 gr/dL ini dapat disebabkan oleh pemberian tranfusi belum mencukupi atau karena proses hemodilusi, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk dapat membuktikannya.

Pasokan oksigen adalah faktor penting pada cedera otak sekunder, oleh karena itu banyak klinisi yang memberikan target level Hb antara 9 sampai 10 gr/dL.8,11 Penelitian di Canada menyebutkan bahwa Hb >9 gr/dL berhubungan dengan peningkatan luaran fungsi neurologik dalam 6 bulan.18 Studi mikrodialysis yang dilakukan di Pennsylvania menyebutkan bahwa konsentrasi Hb <9 gr/dL berhubungan dengan peningkatan kejadian hipoksia otak dan disfungsi energi sel pada pasien dengan SAH.19 Penelitian di Canada menyebutkan bahwa rata-rata Hb <9 gr/dL dalam 7 hari berhubungan dengan peningkatan tiga kali lipat kejadian mortalitas pada pasien dengan cedera kepala berat di ICU.20 Penelitian lain yang dilakukan di Texas terhadap 200 pasien dengan trauma kepala menyebutkan bahwa mempertahankan konsentrasi Hb >10 gr/dL tidak memberikan keuntungan jangka panjang pada luaran neurologik bahkan kejadian efek samping tranfusi cenderung lebih besar.9

Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara kadar Hb pascabedah dengan jumlah perdarahan dan tranfusi yang diberikan (p<0,05). Diantara jumlah perdarahan dan tranfusi, yang paling berhubungan dengan kadar Hb pascabedah adalah jumlah perdarahan. Dari penelitian ini

Kadar Hemoglobin, Jumlah Perdarahan dan Transfusi pada Pasien yang Menjalani Operasi Tumor Otak di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2015–2016

Page 9: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

78 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

didapatkan pasien yang mendapat tranfusi dengan Hb pascabedah >10 gr/dL berjumlah 40 pasien (71,42%). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian transfusi pada operasi tumor otak di RS Dr. Hasan Sadikin masih berlebihan. Transfusi yang berlebihan mungkin juga dapat disebabkan karena sebagian besar permintaan transfusi di Rumah Sakit Hasan Sadikin bukan dengan jumlah tetapi dengan unit/labu. Sebab lainnya bisa karena residen/PPDS anestesi terlalu cepat dalam memulai transfusi karena dari data didapatkan bahwa pada kelompok Hb pascabedah >10 gr/dL, kadar Ht rata-rata saat transfusi pertama kali intrabedah yaitu pada Ht 29,65±4,907% (Hb 9,36±1,71 gr/dL). Beberapa literatur memberikan saran kapan kita harus melakukan transfusi. Transfusi dapat dilakukan pada pasien dengan Ht normal bila kehilangan darah telah mencapai 10–20% dari estimated blood volume (EBV) atau transfusi saat Ht 24%.10 Literatur lain menyebutkan bahwa transfusi diberikaan saat perdarahan telah mencapai dua liter dan perdarahan masih berlangsung.15 Penelitian lain di Spanyol menyarankan agar dilakukan transfusi pada kadar Hb <7 dan pada kadar Hb 7–10 gr/dL bila PbtO2 <20 mmHg atau rSO2 <60% atau terdapat penurunan fungsi kardiopulmonal.16 Sedangkan penelitian di Belgia menyimpulkan bahwa transfusi PRC dapat diberikan pada pasien dengan anemia (Hb <9–10 gr/dL) yang disertai hipoksia jaringan (PbtO2 <15–20 mmHg, SvjO2 <55%).17

Sinyal transfusi untuk pasien neurocritical yang berdasar pada kadar Hb kurang tepat karena dapat mengakibatkan transfusi darah yang kurang dari seharusnya atau malah berlebihan. Lebih fisiologis bila sinyal transfusi datang langsung dari otak menggunakan metode invasif seperti probe intrakranial yang langsung mengukur PbtO2, dan metode noninvasif seperti spektroskopi inframerah yang secara tidak langsung mengukur saturasi oksigen serebral (rSO2).

16 Namun karena di RS Dr. Hasan Sadikin tidak rutin menggunakan metode invasif ini, maka sinyal transfusi berdasar pada kadar Hb atau Ht yang didapat menggunakan perhitungan manual.

V. Simpulan

Gambaran kadar hemoglobin dan hematokrit prabedah adalah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL dan 39,19±3,54%. Kadar Hb pascabedah didapatkan Hb <9 gr/dL sebanyak lima belas pasien, Hb 9–10 gr/dL sebanyak enam pasien dan Hb >10 gr/dL sebanyak 105 pasien. Gambaran Ht pascabedah rata-rata sebesar 34,03±6,03%. Jumlah perdarahan rata-rata sebesar 1159±1032,66cc. Jumlah transfusi yang diterima tiap pasien adalah PRC rata-rata sebesar 365,81±258,70cc, FFP rata-rata sebesar 425,45±274,78cc dan WB 250cc. Jumlah perdarahan berhubungan dengan jenis tumor dan jenis operasi. Kadar Hb pascabedah lebih ditentukan oleh jumlah perdarahan daripada pemberian transfusi. Pemberian transfusi pada pasien yang menjalani operasi tumor otak di RS Dr. Hasan Sadikin masih berlebihan.

Daftar Pustaka

1. Crawford-Sykes A, Ehikhametalor K, Tennant I, Scarlett M, Augier R, Williamson L, Wharfe G, dkk. Blood use in neurosurgical cases at the University Hospital of the West Indies. West Indian Med J.2014;63(1):54–8.

2. Ali Z, Hassan N, Syed S. Blood transfusion practices in neuroanaesthesia. Indian J Anaesth.2014;58:622–8.

3. Bhatnagar S, Udaya IB, Rao U. An audit of blood transfusion in elective neurosurgery. Indian J Anaesth.2007;51(3):200–4.

4. Diringer MN. Hyperoxia: good or bad for the injured brain?. Curr Opinion Crit Care.2008;14:167–71.

5. Dries DJ, Paul S. Fundamental critical care support. Edisi ke-5. Minnesota: Society of critical care medicine; 2012.

6. Kansagra AJ, Stefan MS. Preoperative anemia: evaluation and treatment. Anesthesiol Clin.2016;34:127–41.

Page 10: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

79

7. Alan N, Seicean A, Seicean S, Neuhauser D, Weil RJ. Impact of preoperative anemia on outcomes in patients undergoing elective cranial surgery. J Neurosurg.2014;120:764–72.

8. Bisri DY, Bisri T. Ambang hemoglobin pada cedera otak traumatik. JNI 2016;5(3):210–17.

9. Robertson CS, Hannay J, Yamal JM, Gopinath S, Goodman JC, Tilley BC. The EPO severe TBI trial investigators. Effect of erythropoietin and transfusion threshold on neurological recovery after traumatic brain injury: a randomized clinical trial. JAMA. 2014;312(1):36–47.

10. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Fluid management and blood component therapy. Dalam: Morgan and Mikhail’s Clinical Anesthesiology. Edisi ke-5. United state: McGraw-Hill; 2013, 1161–81.

11. Kramer AH, Zygun DA. Anemia and red blood cell transfusion in neurocritical care. Crit Care.2009;13:R89.

12. Naqash IA, Draboo MA, Lone AQ, Nengroo SH, Kirmani A, Bhat AR. Evaluation of acute normovolemic hemodilution and autotransfusion in neurosurgical patients underdoing excision of intracranial meningioma. J Anaesth Clin Pharmacol.2011;27(1):54–8.

13. Seicean A, Alan N, Seicean S, Neuhauser D, Selman WR, Bambakidis NC. Risks associated with preoperative anemia and perioperative blood transfusion in open surgery for intracranial aneurysms. J Neurosurg. 2015;123:91–100.

14. Linsler S, Ketter R, Eichler H, Karsten S, Steudel W, Oertel J. Red blood cell transfusion in neurosurgery. 2012;154:1303–8.

15. Bisri YB, Bisri T. Anestesi untuk operasi tumor otak supratentorial infratentorial. Edisi Pertama. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; 2016.

16. Leal-Noval SR, Gomez M, Murillo-Cabezas F. Optimal hemoglobin concentration in patients with subarachnoid hemorrhage, acute ischemic stroke and traumatic brain injury. Curr Opinion Crit Care.2008;14:156–62.

17. Lelubre C, Bouzat P, Crippa IA, Taccone FS. Anemia management after acute brain injury. Crit Care.2016;20(152):1–11.

18. Griesdale DE, Sekhon MS, Menon DK, Lavinio A, Donnelly J, Robba C, Sekhon IS. Hemoglobin area and time index above 90 g/L are associated with improved 6-month functional outcomes in patients with severe traumatic brain Injury. Neurocrit Care.2015;23:78–84.

19. Oddo M, Milby A, Chen I, Frangos S, MacMurtrie E, Maloney-Wilensky E, Stiefel M, dkk. Hemoglobin concentration and cerebral metabolism in patients with aneurysmal subarachnoid hemorrhage. Stroke. 2009;40:1275–81.

20. Sekhon MS, McLean N, Henderson WR, Chittock DR, Griesdale D. Association of hemoglobin concentration and mortality in critically ill patients with severe traumatic brain injury. Crit Care.2012;16:R.128

Kadar Hemoglobin, Jumlah Perdarahan dan Transfusi pada Pasien yang Menjalani Operasi Tumor Otak di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2015–2016

Page 11: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

80

Perbandingan antara Fentanil 2 μg/kg/jam dan Scalp Block terhadap Peningkatan Hemodinamik dan Kadar Glukosa Darah Sewaktu saat Pemasangan Pin Kepala pada

Kraniotomi

Robert Sihombing, Dewi Yulianti Bisri, Ruli Herman S.Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan

Sadikin Bandung

Abstrak

Latar Belakang dan Tujuan: Opioid dosis tinggi efektif memblokade nyeri pada operasi kraniotomi namun memiliki efek yang tidak diinginkan. Alternatif lain menggunakan teknik scalp block dikombinasikan dengan anestesi umum. Tujuan penelitian ini untuk membandingkan hemodinamik dan kadar glukosa darah sewaktu (GDS) antara fentanil 2 μg/kgBB/jam dan scalp block saat pemasangan pin kepala pada kraniotomi pengangkatan tumor elektif dengan anestesi umum. Subjek dan Metode: Penelitian ini dilakukan pada 28 pasien yang direncanakan pembedahan tumor otak elektif. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok: scalp block dan kelompok fentanil 2 μg/kgBB/jam. Tekanan arteri rerata, laju nadi dan kadar GDS intraoperatif dinilai dan dianalisis menggunakan uji-t berpasangan dan Chi-square. Hasil: MAP dan laju nadi antara kedua grup memiliki perbedaan signifikan (p<0,05). Kelompok fentanil memiliki MAP dan laju nadi lebih tinggi dibanding dengan kelompok scalp block. Namun perbandingan kadar GDS antara kedua kelompok tidak menunjukkan hasil yang signifikan (p>0,05). Simpulan: Scalp block lebih efektif dalam mengurangi peningkatan hemodinamik namun sama efektif dengan fentanil 2 μg/kgBB/jam dalam mengurangi peningkatan kadar GDS pada pasien yang menjalani operasi kraniotomi pengangkatan tumor elektif.

Kata kunci: Fentanil, glukosa darah sewaktu, laju nadi, scalp block, tekanan arteri rerata

JNI 2018;7 (2): 80‒7

Comparison Between Fentanyl 2 μg/kg/hr and Scalp Block of Hemodynamic Improvement and Blood Glucose Levels During Head Pin Installment

in Craniotomy

Background and Objective: High dose opioids is one of the most effective techniques for blocking pain in craniotomy surgery but it has undesirable effect. Other alternative to overcome pain in craniotomy is using a scalp block technique in combination with general anesthesia. The aim of this study was to compare the increase of hemodynamic and blood glucose levels (BGL) between fentanyl 2 μg/kgBW/hr and scalp block during head pin installment in craniotomy surgery. Subject and Method: Twenty eight patients undergoing elective craniotomy tumor removal surgery were enrolled in the study. The patients were divided into two groups: scalp block and fentanyl 2 μg/kgBW/hr. Intraoperative mean arterial pressure (MAP), heart rate (HR) and BGL were recorded, and analyzed by paired t-test and Chi-square.Result: MAP and HR showed significant differences between groups (p<0,05), wherein fentanyl group had higher MAP and HR than scalp block group. However, BGL during head pin installment did not show significant results between the two groups (p> 0,05). Conclusion: Scalp block is more effective than fentanyl 2 μg/kgBW/hr in reducing increased of hemodynamic but equally effective with fentanyl in reducing increased of BGL during head pin installment in craniotomy tumor removal.

Key words: Blood glucose levels, fentanyl, heart rate, mean arterial pressure, scalp block

JNI 2018;7 (2): 80‒7

Page 12: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

81

I. Pendahuluan

Anestesi untuk kraniotomi pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) merupakan tantangan bagi dokter anestesi. Menjaga stabilitas hemodinamik dan perfusi otak perioperatif secara optimal merupakan hal yang sangat penting dalam prosedur operasi bedah otak elektif. Meskipun saat ini telah dilakukan berbagai teknik anestesi untuk operasi bedah otak, namun angka kejadian ketidakstabilan hemodinamik pada awal prosedur pembedahan bedah otak saat dilakukan pemasangan pin kepala, insisi kulit kepala, pembukaan periosteum, dan insisi duramater menunjukkan angka kejadian yang cukup tinggi.1-2 Pin kepala merupakan salah satu alat yang digunakan untuk memfiksasi kepala saat kraniotomi. Pemasangan pin kepala pada scalp akan memicu respons stres yang berpotensi menyebabkan gangguan hemodinamik.3 Teknik anestesi pada kraniotomi harus mampu mereduksi respons stres terhadap nyeri selama intubasi dan manipulasi pembedahan karena berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas pascaoperasi.4 Salah satu solusi untuk mencegah dampak negatif peningkatan tekanan darah dan laju nadi pada operasi bedah saraf adalah penggunaan opioid dosis tinggi. Penggunaan opioid dapat mencegah stres anestesi, tetapi memiliki efek samping memperpanjang waktu ekstubasi, dan memengaruhi penilaian fungsi neurologis pascaoperasi.5 Saat ini telah ditemukan teknik blokade saraf tepi dengan cara memblokade saraf daerah kepala yang dinamakan teknik scalp block. Teknik ini merupakan alternatif penggunaan opioid dosis tinggi dalam menurunkan angka kejadian hipertensi, takikardia, serta stres neuroendokrin.6-7

Sekresi hormon adrenokortikotropik (ACTH) akibat stimulasi respons stres operasi bermanifestasi terhadap peningkatan sekresi katekolamin dan kortisol oleh glandula adrenal. Stimulasi kedua hormon tersebut mengganggu kerja insulin dan meningkatkan glikogenolisis sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa darah. Peningkatan kadar glukosa dapat menyebabkan kerusakan neurologis akibat metabolisme anaerob dan berhubungan dengan luaran yang buruk pada

pasien kraniotomi. Mekanisme neurohormonal akibat respons stres ini dipengaruhi oleh jenis pembedahan dan teknik anestesi yang dilakukan.8

Teknik anestesi scalp block dapat menjadi pilihan terbaik untuk meningkatkan ambang nyeri tanpa risiko gangguan hemodinamik. Scalp block menurunkan kebutuhan opioid dan menurunkan kejadian hipertensi, takikardia, dan stres neuroendokrin.1-2,9 Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hemodinamik dan kadar glukosa darah sewaktu (GDS) antara fentanil 2 μg/kgBB/jam dan scalp block saat pemasangan pin kepala pada kraniotomi pengangkatan tumor elektif dengan anestesi umum.

III. Subjek dan Metode

Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis acak tersamar tunggal. Subjek penelitian adalah pasien yang menjalani operasi elektif kraniotomi di Central Operating Theatre (COT) lantai 3 RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dari bulan April-Juli 2017. Pasien yang menjadi subjek penelitian harus memenuhi kriteria inklusi dan tanpa memenuhi kriteria eksklusi yang diajukan peneliti. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien yang menjalani operasi kraniotomi elektif yang menggunakan pin kepala dalam anestesi umum, status fisik menurut American Society of Anesthesiology (ASA) I‒II, usia 18‒64 tahun, serta bersedia mengikuti penelitian dan mengisi informed consent. Kriteria eksklusi, yaitu pasien yang memiliki gangguan pembekuan darah, infeksi pada daerah yang akan dilakukan scalp block, riwayat hipersensitivitas terhadap obat anestetik lokal, riwayat hipertensi, dan diabetes mellitus. Kriteria pengeluaran, yaitu scalp block tidak bekerja yang ditandai dengan peningkatan hemodinamik saat dilakukan pemasangan pin kepala. Penentuan besar sampel disesuaikan dengan tujuan penelitian dan tipe penelitian, dengan taraf kepercayaan 95% dan power test 80%. Jumlah sampel untuk seluruh kelompok adalah 28. Pemilihan subjek penelitian berdasarkan consecutive sampling, yaitu mengambil setiap subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi berdasarkan urutan kedatangan pasien. Subjek penelitian sebanyak 28 subjek dibagi menjadi dua kelompok yang dilakukan

Perbandingan antara Fentanil 2 μg/kg/jam dan Scalp Block terhadap Peningkatan Hemodinamik dan Kadar Glukosa Darah Sewaktu saat Pemasangan Pin Kepala

pada Kraniotomi

Page 13: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

82 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

randomisasi, yaitu kelompok scalp block (SB) diberikan bupivakain 0,25%; dan kelompok fentanil (F) diberikan Fentanil 2 μg/kgBB/jam. Penelitian dilakukan setelah mendapat persetujuan Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSHS. Pasien yang sesuai kriteria inklusi, dipasang alat monitor elektrokardiografi, tekanan darah, dan pulse oksimetri setelah pasien masuk ke dalam ruang operasi. Pasien tidak diberikan premedikasi sedasi atau opioid sebelum operasi. Dilakukan pencatatan data hemodinamik mean arterial pressure (MAP), laju nadi, dan kadar glukosa darah sewaktu sebagai data dasar (T0) dan intraoperasi yang dilakukan oleh tim anestesi. Induksi anestesi dengan menggunakan lidokain 1,5 mg/kgBB, propofol 2 mg/kgBB, fentanil 2 μg/kgBB, dan rocuronium 1 mg/kgBB. Dipasang pipa endotrakeal spiral dengan ukuran yang disesuaikan pasien. Pemeliharaan anestesi dilakukan dengan pemberian rocuronium 0,15 mg/kgBB/jam, propofol kontinu dengan dosis 50-200 ug/kg/menit. Nilai end tidal CO2 (EtCO2) dijaga pada nilai 30-35 mmHg. Kelompok SB dilakukan scalp block dengan bupivakain 0,25% dan untuk kelompok F diberikan dosis rumatan anestesi fentanil 2 μg/kgBB/jam. Pada kelompok scalp block, pasien dilakukan asepsis pada daerah yang akan dilakukan penyuntikan pada area supraorbita 2 mL, supratroklear 2 mL, zygomatikotemporal 2 mL, aurikotemporal 2 mL, saraf oksipital mayor 2 mL, dan saraf oksipital minor 2 mL. Penyuntikkan dilakukan di kanan dan kiri bagian kepala. Pengukuran MAP dan laju nadi, kembali dilakukan satu menit, tiga menit dan 60 menit pascapemasangan pin kepala. Pengukuran kadar GDS kembali dilakukan pada saat dua menit dan satu jam setelah pemasangan pin kepala. Analisis data meliputi analisis deskriptif dan uji hipotesis. Data disajikan dalam bentuk persentase (%) untuk variabel kategorik, median dan range untuk variabel numerik. Dilakukan uji statistika dengan uji-t tidak berpasangan apabila data berdistribusi normal dan alternatif Uji Mann Whitney bila data tidak berdistribusi normal. Uji statistika untuk mencari hubungan antara kategorik dan kategorik menggunakan Chi-Square dengan alternatif uji Exact Fisher dan Kolmogorov Smirnov. Data diolah dengan program statistical product and

Glukosa Darah Sewaktu

Kelompok Perlakuan

Scalp BlockN=14

FentanilN=14

Nilai P

Preinduksi (T0) 0,573Median 98,00 92,00Range (min‒max)

82‒108 84‒108

∆T1‒T0 (2 menit)

0,104

Median 3,50 12,00Range (min‒max)

1‒25 1‒28

∆T2‒T0 (60 menit)

0,125

Median 9,50 18,00Range (min‒max)

4‒28 3‒46

Tabel 1. Karakteristik Umum Subjek Penelitian pada Kelompok Scalp Block dan Kelompok Fentanil 2 μg/kgBB/jam

service solution (SPSS) versi 21.0 for Windows.

II. Hasil

Penelitian dilakukan pada 28 pasien di Central Operating Theatre (COT) lantai III RSUP Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa karakteristik umum pasien pada kedua kelompok baik untuk usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan dan body mass index (BMI) tidak bermakna secara statistik (p>0,05; Tabel 1). Perbandingan MAP, nadi, dan glukosa darah sewaktu sebelum induksi menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna di antara kedua kelompok (p>0,05; Tabel 2).

Keterangan: Untuk data numerik nilai p diuji dengan uji-t tidak berpasangan apabila data berdistribusi normal dengan alternatif uji Mann Whitney apabila data tidak berdistribusi normal. Data kategorik nilai p dihitung berdasarkan uji Chi-Square dengan alternatif uji Kolmogorov Smirnov dan Exact Fisher apabila syarat dari Chi-Square tidak terpenuhi. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05.

Peningkatan nilai MAP pada kelompok fentanil lebih besar dibanding dengan kelompok scalp

Page 14: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

83

Variabel Kelompok PerlakuanScalp BlockN=14

FentanilN=14

Nilai P

MAP (mmHg) 0,874Median 96,00 95,35Range (min‒max) 88‒103 70‒104Laju Nadi (x/menit) 0,227Median 89 90Range (min‒max) 60‒92 84‒98Kadar Glukosa Darah Sewaktu (mg/dl) 0,573Median 98,00 92,00Range (min‒max) 82‒108 84‒108

Tabel 2. Karakteristik Subjek Penelitian berdasarkan MAP, Laju Nadi dan Kadar Glukosa Darah sewaktu Preinduksi pada Kelompok Scalp Block dan Fentanil 2 μg/kgBB/jam

Keterangan: Untuk data numerik nilai p diuji dengan uji-t tidak berpasangan apabila data berdistribusi normal dengan alternatif uji Mann Whitney apabila data tidak berdistribusi normal. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05

Tabel 3. Perbandingan MAP antara Kelompok Scalp Block dan Kelompok Fentanil 2 μg/kgBB/jam MAP Kelompok Perlakuan

Scalp BlockN=14

FentanilN=14

Nilai P

Sebelum Perlakuan (T0) 0,115Median 81,65 84,35Range (min‒max) 70,7‒94,7 75,0‒97,3∆T1‒T0 (1 menit setelah pemasangan pin kepala)

0,004**

Median 6,05* 90Range (min‒max) 5,60‒18,0 7,70‒19,70∆T2‒T0 (3 menit setelah pemasangan pin kepala)

0,000**

Median 5,50* 4,25Range (min‒max) 0,70‒18,70 5,40‒6,60∆T3-T0 (60 menit setelah pemasangan pin kepala)

0,031**

Median 5,00* 0,00Range (min-max) 2,60‒12,00 10,6‒27,0

Keterangan : Untuk data numerik nilai p diuji dengan uji-t tidak berpasangan apabila data berdistribusi normal dengan alternatif uji Mann Whitney apabila data tidak berdistribusi normal. Tanda* menunjukkan adanya penurunan. Tanda** menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifikan atau bermakna secara statistik

Perbandingan antara Fentanil 2 μg/kg/jam dan Scalp Block terhadap Peningkatan Hemodinamik dan Kadar Glukosa Darah Sewaktu saat Pemasangan Pin Kepala

pada Kraniotomi

Page 15: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

84 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Laju Nadi Kelompok PerlakuanScalp BlockN=14

FentanilN=14

Nilai P

Sebelum Perlakuan (T0) 0,424Median 79 80Range (min‒max) 68‒85 68‒88∆T1‒T0 (1 menit) 0,000**Median 5* 9Range (min‒max) 2‒16 8‒36∆T2-T0 (3 menit) 0,025**Median 5* 4Range (min‒max) 0‒20 13‒28∆T3‒T0 (60 menit) 0,014**

Median 5* 4Range (min-max) 1‒12 21‒29

Keterangan : Untuk data numerik nilai p diuji dengan uji-t tidak berpasangan apabila data berdistribusi normal dengan alternatif uji Mann Whitney apabila data tidak berdistribusi normal. Tanda* menunjukkan adanya penurunan. Tanda** menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifikan atau bermakna secara statistik.

Tabel 4. Perbandingan Laju Nadi antara Kelompok Scalp Block dan Kelompok Fentanil 2 μg/kgBB/jam

Glukosa Darah Sewaktu

Kelompok PerlakuanScalp BlockN=14

FentanilN=14

Nilai P

Preinduksi (T0) 0,573Median 98,00 92,00Range (min‒max) 82‒108 84‒108∆T1‒T0 (2 menit) 0,104Median 3,50 12,00Range (min‒max) 1‒25 1‒28∆T2‒T0 (60 menit) 0,125Median 9,50 18,00Range (min‒max) 4‒28 3‒46

Keterangan: Untuk data numerik nilai p diuji dengan uji-t tidak berpasangan apabila data berdistribusi normal dengan alternatif uji Mann Whitney apabila data tidak berdistribusi normal. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05.

Tabel 5. Perbandingan Glukosa Darah Sewaktu antara Kelompok Scalp Block dan Kelompok Fentanil 2 μg/kgBB/jam

block (p<0,05; Tabel 3). Peningkatan laju nadi pada kelompok fentanil lebih besar dibanding dengan kelompok scalp block (p<0,05; Tabel 4).

Peningkatan kadar GDS pada kelompok fentanil lebih besar dibanding dengan kelompok scalp block (p> 0,05; Tabel 5).

IV. Pembahasan

Prosedur intrakranial seperti pemasangan pin kepala, insisi kulit, pembukaan periosteum, dan insisi duramater merupakan suatu manipulasi yang dapat menyebabkan stimulus nyeri nosiseptif.1,9 Penelitian di Thailand mengungkapkan bahwa saat pemasangan pin kepala merupakan waktu terjadi respons hemodinamik terhadap stimulus nosiseptif paling tinggi dibanding dengan saat insisi kulit, pembukaan periosteum, dan insisi duramater.1 Oleh karena itu, teknik anestesi pada kraniotomi harus mampu mereduksi respons stres terhadap nyeri selama manipulasi pembedahan.4

Solusi mengatasi nyeri pada prosedur kraniotomi selain penggunaan opiod adalah menggunakan teknik scalp block dikombinasikan dengan anestesi umum.5,6 Penelitian ini dilakukan pada dua kelompok yaitu fentanil 2 μg/kgBB/jam dan scalp block dengan bupivakain 0,25%. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Abbas

Page 16: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

85

membandingkan konsentrasi bupivakain (0,25 dan 0,5%) untuk scalp block. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bupivakain 0,25% sudah mampu menumpulkan respons simpatis. Bupivakain 0,25% dan 0,5% tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam mencegah peningkatan hemodinamik intraoperatif.1

Data karakteristik subjek penelitian diantara kedua kelompok tidak berbeda bermakna pada usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, dan BMI (Tabel 1). Perbandingan MAP, laju nadi, dan glukosa darah sewaktu sebelum induksi menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna di antara kedua kelompok (Tabel 2). Hal ini menunjukkan kedua kelompok homogen, yang artinya layak untuk diperbandingkan dan dilakukan uji hipotesis statistik lebih lanjut. Stimulus nyeri merupakan salah satu kondisi stresor biogenik yang dapat menyebabkan teraktifasinya respons stres melalui suatu mekanisme interpretasi kognitif pada neokorteks atau integrasi afektif pada sistem limbik. Respons stres akan mengaktifasi 3 aksis, diantaranya adalah aksis neural melalui inervasi organ target, aksis neuroendokrin, dan aksis endokrin.10

Stimulus nyeri akan menyebabkan teraktivasinya aksis neuroendokrin. Medula adrenal yang merupakan pusat aktivasi aksis neuroendokrin, terdiri dari sel kromafin yang terletak di bagian tengah kelenjar adrenal. Sel kromafin berfungsi mensintesis dan mensekresi katekolamin medula adrenal. Pelepasan katekolamin melalui aksis HPA yang diperantarai ACTH dan aktivasi RAAS sehingga terjadi aktivitas simpatis dan vasokonstriksi melalui sistem simpatis-adrenal medula sehingga terjadi peningkatan tekanan darah dan laju nadi intraoperatif.11,12 Teknik blokade regional (scalp block) dapat mencegah respons adenocorticotropin hormone (ACTH) dengan memblokade transmisi nyeri. Infiltrasi obat anestetik lokal pada saraf yang menginervasi daerah yang dilakukannya manipulasi operasi akan menghambat impuls nyeri melalui mekanisme penghambatan kanal listrik natrium, hal tersebut akan mencegah masuknya natrium masuk kedalam sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi dan penghantaran impuls nyeri. Opiod memiliki efek supresi terhadap aksis HPA pada manusia melalui jalur modulasi dan persepsi

di medula spinalis. Mekanisme obat golongan opiod dalam menurunkan intensitas nyeri adalah saat obat berikatan dengan reseptor opiod, maka akan mencegah terjadinya influks kalsium ke dalam sel, sehingga neurotransmiter nyeri yang dikeluarkan pada ujung sel terminal menjadi berkurang dan menyebabkan menurunnya impuls nyeri yang dihantarkan.Pada penelitian ini menunjukkan bahwa pada kelompok scalp block terlihat MAP dan laju nadi bermakna secara statistik (p<0,05; Tabel 3 ; Tabel 4). Namun, diantara kedua kelompok tidak ada subjek penelitian yang mengalami peningkatan hemodinamik lebih dari 20% saat dilakukan pemasangan pin kepala. Hal ini menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna secara klinis. Scalp block dan fentanil sama baiknya dalam mencegah respons simpatis saat dilakukan pemasangan pin kepala karena baik scalp block maupun fentanil memiliki jalur tersendiri dalam mencegah respons simpatis.Pada penelitian ini dibandingkan juga perubahan kadar glukosa darah sewaktu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok scalp block terlihat bahwa rata-rata kadar GDS diantara kedua kelompok tidak bermakna secara signifikan (p>0,05). Meskipun rata-rata kadar glukosa darah sewaktu kelompok scalp block lebih baik dari pada kelompok fentanil, namun kadar GDS di antara kedua kelompok masih menunjukkan normoglikemi (GDS tidak melebihi 150 mg/dl). Penggunaan kortikosteroid merupakan variabel perancu dalam penelitian ini. Hormon adrenokortikal steroid dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid.Glukokortikoid mempengaruhi hampir setiap jaringan tubuh. Glukokortikoid mempengaruhi intermediary metabolism, imunitas, dan inflamasi.Glukokortikoid meningkatkan glukoneogenesis dan menjaga glukosa untuk digunakan oleh jaringan esensial seperti otak dan sel darah merah.13 Pada penelitian ini pada kelompok scalp block terdapat 12 subjek yang mendapatkan steroid, sedangkan pada kelompok fentanil terdapat 13 subjek yang mendapatkan steroid. Keterbatasan penelitian ini adalah kadar GDS hanya diukur pada saat preinduksi, dua menit dan 60 menit dikarenakan belum adanya penelitian

Perbandingan antara Fentanil 2 μg/kg/jam dan Scalp Block terhadap Peningkatan Hemodinamik dan Kadar Glukosa Darah Sewaktu saat Pemasangan Pin Kepala

pada Kraniotomi

Page 17: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

86 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

yang menerangkan kapan glukosa darah meningkat setelah adanya stres karena operasi. Kortisol meningkat dalam beberapa menit setelah operasi dimulai, namun belum ada literatur yang menjelaskan waktu glukoneogenesis yang menyebabkan glukosa darah meningkat.

V. Simpulan

MAP dan laju nadi pada scalp block secara statistik lebih rendah dari kelompok fentanil, namun secara klinis kedua kelompok tidak berbeda bermakna. Scalp block dan fentanil 2 μg/kgBB/jam sama baiknya dalam mengurangi peningkatan kadar GDS pada pasien yang menjalani operasi kraniotomi pengangkatan tumor elektif dengan anestesi umum. Perlu adanya penelitian lanjutan yang menerangkan kapan glukosa darah meningkat secara signifikan. Penelitian lanjutan juga perlu dilakukan dengan metode yang sama untuk menilai pada saat insisi kulit, pembukaan periosteum, insisi duramater, penutupan durameter, penutupan periosteum, penutupan kulit serta lama bangun antara kedua kelompok fentanil dan scalp block.

Daftar Pustaka

1. Tuchinda L, Somboonviboon W, Supbornsug K, Worathongchai S, Limutaitip S. Bupivacaine scalp nerve block: hemodynamic response during craniotomy, intraoperative and post-operative analgesia. Asian Biomed. 2010;4(2):243–51.

2. Abbass O, Hussein G, Aboeldahab H, Othman S, Fareed M. Does scalp block with general anesthesia in craniotomy affect the intraoperative course and outcome in geriatric patients? Ain-Shams J Anesthesiol. 2015;8(1):25–30.

3. Rozet I, Vavilala MS. Risks and benefits of patient positioning during neurosurgical care. Anesthesiol Clin. 2007;25(3):1–31.

4. Markovic BJ, Karpe B, Potocnik I, Jerin A, Vranic A, Novak-Jankovic V. Effect of propofol and sevoflurane on the inflammatory

response of patients undergoing craniotomy. BMC Anesthesiology. 2016;16(18):1–8.

5. Tonkovic D, Stambolija V, Lozic M, Martinovic P, Pavlovic D, Sekulic A, dkk. Scalp block for hemodynamic stability during neurosurgery. Periodicum Biologorum. 2015;117(2):247–50.

6. Wajekar AS, Oak SP, Shetty AN, Jain RA. A prospective, comparative, randomized, double blind study on the efficacy of adition of clonidine to 0,25% bupivacaine in scalp block for supratentorial craniotomies. Indian J Anesth. 2016;60(1):39–43.

7. Kerfeld MJ, Hambsch ZJ, Mcentire DM, Kirkpatrick DR, Cai J, Youngblood CF,dkk. Physiologic advantages of peripheral nerve blockade translate to decreased length of stay and improved patient satisfaction. Anesthesiol Open J. 2016;1(1):4–14.

8. Cok OY, Ozkose Z, Pasaoglu H, Yardim S. Glucose response during craniotomy: propofol-remifentanil versus isoflurane-remifentanil. Minerva Anestesiol. 2011;77(1):1141–8.

9. Gohary M, Gamil M, Girgis K, Nabil S. Scalp nerve block in children undergoing a supratentorial craniotomy: a randomized controlled study. Asian J Sci Res. 2009;2(2):1–8.

10. Boyle R. The anatomy and physiology of the human stress response. Dalam: Everly G, Lating J, penyunting. A Clinical Guide to the Treatment of the Human Stress Response. New York: Springer Science & Business Media; 2013. 17–51.

11. Ayrian E, Kaye A, Varner C, Guerra C, Vadivelu N, Urman R, dkk. Effects of anestetic management on early postoperative recovery, hemodynamics and pain after supratentorial craniotomy. J Clin Med Res. 2015;7(10):731–41.

Page 18: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

87

12. Shinoura N, Yamada R, Hatori K, Sato H, Kimura K. Stress hormone levels in awake craniotomy and craniotomy under general anesthesia. J Neurol Neurophysiol. 2014;5(6):1–5.

13. Gupta P, Bhatia V. Corticosteroid physiology and principles of therapy. Indian J Pediatr. 2008;75(10):1039–44.

Perbandingan antara Fentanil 2 μg/kg/jam dan Scalp Block terhadap Peningkatan Hemodinamik dan Kadar Glukosa Darah Sewaktu saat Pemasangan Pin Kepala

pada Kraniotomi

Page 19: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

88

Fast-Track Anesthesia untuk Prosedur Kraniotomi Evakuasi Hematom karena Stroke Hemoragik

Bona Akhmad Fitrah*), Bambang Suryono**), Siti Chasnak Saleh***), Himendra Wargahadibrata****)

*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Mayapada Lebak Bulus, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada–RSUD Dr. Sardjito Yogyakarta, ***)Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Kedokteran Universitas Airlangga–RSUD. Dr. Soetomo, ****)Departemen

Anestesiologi dan Terapi Intensif Kedokteran Universitas Padjadjaran–RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Fast-track anesthesia pertama kali dikenalkan pada periode 1990 dengan maksud untuk untuk mencegah kerusakan multi organ, komplikasi dan pemulihan yang cepat. Dengan pemulihan yang cepat diharapkan akan mengurangi penggunaan ruang rawat intensif dan masa tinggal di rumah sakit yang lebih pendek. Prosedur ini bukan sekedar ekstubasi cepat tapi juga bagaimana mengelola secara efektif dan efisien obat obat anestesi di perioperatif. Kondisi preoperatif yang baik, penggunaan obat obatan kerja pendek-menengah dan prosedur yang singkat sangat menentukan kesuksesan fast-track anesthesia. Kami laporkan suatu kasus perdarahan intrakranial, laki-laki 60 th masuk ke IGD dengan keluhan sakit kepala berat, pasien dengan riwayat hipertensi tidak terkontrol, diabetes mellitus dan stroke non hemoragik sebelumnya tahun 2013. GCS E3M6Vafasia. Tekanan darah 180/110 mmHg saat masuk IGD. Dari CT scan kepala didapatkan perdarahan intracerebri pada lokasi temporoparietal kiri. Dilakukan prosedur evakuasi hematom segera. Saat intraoperatif dilakukan teknik balans anestesi antara intravenous anestesi, gas anestesi, analgetik diberikan secara intermiten dan pelumpuh otot diberikan secara kontinyu selama operasi. MAP dipertahankan sekitar 90-110 mmHg. Hemodinamik intraoperatif relatif stabil. Prosedur evakuasi hematom dilakukan selama tiga jam. Dengan pertimbangan kesadaran preoperatif yang baik, prosedur yang tidak terlalu lama, hemodinamik stabil selama operasi, udem jaringan otak yang minimal tidak ada kerusakan jaringan yang berat maka dilakukan ekstubasi dan pasca operasi pasien dirawat di HCU. Kata kunci: efektif dan efisien anesthesia, fast-tract anesthesia, perdarahan intracerebral

JNI 2018;7 (2): 88‒95

Fast-Track Anesthesia for Craniotomy Evacution Hemmatoma due to Hemmorhagic Stroke

Fast-track anesthesia first time introduced in early 1990 with aim to prevent multi organ failure, complication and speedy recovery. With a quick recovery will reduce intensive care unit usage and reduce length of stay in the hospital. It is not just early extubation but also how to manage with effective and efficient anesthesia during perioperative. Good preoperative condition, using short acting drug and short procedure will determinate the successful of fast-track anesthesia. Here we report an intracerebral hemorrhage with fast-track anesthesia. Men, 60 yo attended to the ER with complaining severe headache. Patient with uncontrolled hypertension, diabetes mellitus and stroke non hemorhagic in 2013. GCS when admission E3M6Vaphasia and blood pressure 180/110 mmHg. CT scan showed intracerebral hemmorhage at left temporoparietal. Hematoma evacuation performed urgently. Anesthesia performed with balance anesthesia using intravenous, inhaled anesthesia intermitten intravenous analgetic and muscle relaxant given continuosly during the procedure. MAP controlled between 90–110 mmHG. During operation hemodynamic relatively stable. Procedure completed after three hours. Considering preoperative awareness still good, not too long procedur, hemodynamic stable, and minimal brain edema or other brain tissue damaged patient extubated and transport to high care unit.

Key words: effective and efficient anesthesia, Fast tract anesthesia, intracerebral haemorrhage

JNI 2018;7 (2): 88‒95

Page 20: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

89 Fast-Track Anesthesia untuk Prosedur Kraniotomi Evakuasi Hematom karena Stroke Hemoragik

I. Pendahuluan

Fast-tract anesthesia setelah operasi kepala memiliki beberapa keuntungan termasuk salah satunya adalah mengetahui komplikasi pasca operasi, kurangnya pelepasan katekolamin dan yang pasti mengurangi biaya untuk ICU. Namun peningkatan tekanan darah saat ekstubasi merupakan hambatan yang tidak dapat dihindari yang dapat menyebabkan komplikasi intrakranial seperti perdarahan berulang dan edema serebri. Lebih jauh lagi kondisi hiperkarbia dan hipoksia dapat terjadi pada kondisi hipoventilasi yang terjadi akibat obat anestesi yang digunakan dan terjadi pada periode awal setelah ekstubasi. Karena itu keputusan untuk ekstubasi segera harus bersifat individual dan sudah dipersiapkan dan direncanakan sejak preoperatif.1-3

Proses fast-track anestesi dikenalkan pertama kali oleh Professor Hendrik Kehlet di Denmark pada pasien yang menjalani operasi Colon pada awal periode 1990 an dengan tujuan agar pasien dapat mengurangi komplikasi yang terjadi, penggunaan ruang rawat intensif dan pasien dapat segera kembali ke rumah dan kembali dalam kehidupannya setelah melalui proses pembedahan.4 Pada fast-track anestesi digunakan berbagai teknik anestesi atau multi modal anestesi dan obat-obat anestesi kerja pendek dan menengah yang bertujuan mempercepat pemulihan pasca bedah. Rumah sakit yang memulai fast-track ini telah menunjukkan angka yang fantastis dalam menurunkan lama tinggal di rumah sakit.1,4

Pada fast-track anestesi ini seorang anestesiolog bertambah perannya tidak lagi terbatas hanya memberikan ruang kerja yang baik pada ahli bedah tetapi berperan penuh mengendalikan kondisi pasien selama perioperatif hingga seluruh kondisinya akan terkendali yang akan berujung pada waktu pulang yang lebih cepat dan mengurangi penggunaan ruang rawat intensif.4 Stroke hemoragik atau stroke perdarahan atau intracerebral hemorrhage adalah perdarahan spontan non trauma yang terjadi di dalam parenkim otak. Intracerebral hemorrhagic (ICH) terjadi pada sekitar 20 dari 100.000 penduduk setiap tahunnya. Merupakan gambaran 10-15% dari seluruh stroke dan memiliki mortalitas dan

morbiditas lebih tinggi dari pada subarachnoid hemorrhage dan infark cerebri.5 Tipikal stroke hemoragik adalah sepuluh tahun lebih muda dari pasien stroke iskemik. Kebanyakan perdarahan pada ICH adalah subkortikal dan lebih dari 50% dari perdarahan ICH spontan terjadi di ganglia basalis. Penderita dengan risiko tertinggi terjadinya ICH adalah laki-laki, usia lanjut, ras Afrika, Amerika, dan Asia. Hal ini berkaitan dengan perubahan pembuluh darah serebral sesuai dengan perubahan usia pada usia lanjut ras Afrika, Amerika, dan Asia. Perubahan pembuluh darah serebral seiring dengan bertambahnya usia menyebabkan semakin lanjut usia semakin besar risiko terjadinya perdarahan intraserebral.5

Umumnya fast-track anestesi dikerjakan pada operasi elektif dan teknik pembedahan yang tidak rumit, beberapa tulisan menekankan pada operasi reseksi tumor supratentorial dan dengan berbagai intervensi yang dikerjakan pada periode preoperasi, intraoperasi dan pascaoperasi.4 Pada kasus ini akan diangkat sebuah kasus fast-tract anestesi yang dikerjakan pada operasi emergensi dan merupakan kasus perdarahan intraserebral.

II. Kasus

AnamnesisPasien datang ke rumah sakit dengan keluhan sakit kepala berat sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluh mau muntah. Sebelumnya pasien memang sudah pernah stroke tahun 2013 dan hanya merasa kelemahan di bagian tubuh sebelah kiri yang seiring dengan waktu kelemahan nya hilang sendiri. Pasien menderita kencing manis dan hipertensi sudah lama dan minum obat secara tidak teratur. Terakhir rutin minum obat setelah stroke selanjutnya tidak minum obat lagi. Pemeriksaan FisikKeadaan umum tampak sakit berat, gelisah tampak pasien memejamkan mata dan menggerak-gerakkan kepalanya terus menerus, GCS E3 M6V apasia, tekanan darah 180/100 mmHg, frekuensi nadi 90–100x/m, frekuensi napas 14x/m, saturasi oksigen 97–99% dengan sungkup muka 8 liter/menit. Mallampati sulit dinilai, jantung paru kesan baik

Page 21: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

90 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Status neurologi: Kesadaran E3M6Vapasia, pupil anisokor, kanan lebih besar dari kiri, refleks cahaya. Sensorik motorik baik, kiri lebih lemah dari yang kanan

Gambar 1. Gambar CT-scan Kepala Preoperasi

1111 5555

1111 5555

Sistim saraf pusat kesan klinis normal

Pemeriksaan PenunjangFoto thoraks kesan bronkopneumonia dd/ proses spesifik. CT-Scan tampak lesi berdensitas darah berbentuk bulat estimasi berukuran 5x5x4cm dengan perkiraan volume 52 cc, disertai perifokal edema yang mengakibatkan penyempitan sulci dan sisterna disekitarnya pada lobus temporoparietal kanan serta pergeseran midline sejauh 0,5 cm ke kiri dan penyempitan ventrikel lateralis kanan.

Gambar 2. Gambar area operasi

Kesan: perdarahan intraparenkimal estimasi volume 52 cc disertai perifokal edema di temporoparietal kanan dengan herniasi subfalcin ringan ke kiri. Saat di IGD pasien diberikan terapi Manitol 4x100cc, Fenitoin 3x100mg, Nicardipin 5 mg/jam dan dihentikan bila tekanan darah turun hingga 140/90 mmHg. Pasien direncanakan operasi kraniotomi evakuasi hematom cito.

Pengelolaan AnestesiPasien tidak sempat dilakukan kunjungan pre anestesi. Pasien sudah ada di ruang persiapan operasi saat ahli anestesi datang. Dilakukan anamnesis singkat dan pemeriksaan fisik didapatkan kesan pasien ASA 3 dengan hipertensi tidak terkontrol, DM dengan gula darah sewaktu terakhir 178 dan riwayat stroke tahun 2013.Sebelum dilakukan koinduksi tekanan darah menunjukkan 180/110 mmHg, laju nadi 105x/m, saturasi 97% dengan sungkup muka 8 l/m. Diberikan premedikasi dengan ondasentron 4 mg dan lidokain intravena 60mg. Koinduksi dilakukan dengan midazolam 2 mg dan fentanyl 75 mcg dilanjutkan dengan induksi dengan propofol 60 mg, setelah pasien tidak sadar dilakukan penyungkupan. Dilanjutkan dengan pemberian pelumpuh otot vecuronium 6 mg, diberikan fentanyl kembali sebesar 75 mikro dan ditambah propofol ulangan 30 mg. Laringoskopi langsung dilakukan saat tekanan darah 140/90 mmHg, frekuensi nadi 90x/m. Tidak didapatkan peningkatan tekanan darah maupun frekuensi nadi yang bermakna. Pasien disambungkan dengan mesin anestesi dengan awitan fresh gas

Page 22: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

91

flow 1,6 l/m FIO2 60%, sevofluran 1% vol. Untuk relaksan pasien dikontinyu dengan vecuronium 0,08 mg/kg bb/jam dan kontinyu propofol 2mg/kgbb/jam. Dilanjutkan dengan pemasangan akses vena besar dan arteri line. Termometer dipasang intraoral terlihat suhu sekitar 36.5C. Saat akaninsisi diberikan bolus fentanyil 50 mcg. Operasi berlangsung selama dua setengah jam. Selama intraoperatif hemodinamik relatif stabil. Hanya suhu tubuh yang terlihat terlalu rendah. Berdasarkan termometer intraoral suhu badan tercatat di 35,8 derajat C.

Selama prosedur berlangsung fentanyl diberikan intermitten dan propofol disesuaikan dengan tingkat tekanan darah sistoliknya. Tekanan darah sistolik saat induksi masih sekitar 180 mmHg dan sistolik terrendah dipertahankan 140 mmHg. Selama prosedur drip nicardipin tidak dilanjutkan. Gula darah intraoperatif dikontrol perjam saat mulai gula darah sewaktu diperiksakan sebesar 230 mg/dL, diberikan drip insulin sebesar 2 unit/jam jam pertama dilakukan pemeriksaan kembali didapat gula darah sewaktu sebesar 200 mg/dL, insulin drip dipertahankan dengan 2 unit/jam. Satu jam berikutnya dilakukan pemeriksaan kembali didapat hasil 180 mg/dL. Satu jam kemudian dilakukan pemeriksaan kembali dan didapat gula darah sewaktu sebesar 180 mg/dL. Setelah ekstubasi gula darah diperiksa kembali dan didapatkan hasil sebesar 190 mg/dL. Drip

Grafik 1. Hemodinamik Pasien selama Operasi

Nilai ICHTemuan Nilai

GCS 3-4 25-12 13-15 0

Usia ≥80 1<80 0

Lokasi Infratentorial 1Supratentorial 0

Volume ≥30 1<30 0

I n t r a v e n t r i c u l a r Blood

yes 1

no 0Total 0-6

Nilai ICH 30 hari mortalitas0 0%1 13%2 26%3 72%4 97%5 100%6 100%

Tabel 1. ICH dan Prediksi Mortalitasnya.5

Kondisi sistemik Kondisi otakNormotermi Normal CMRO2 dan

CBFN o r m o v o l u m , normotensi

Normal ICP saat akhir prosedur

Normokarbi Antiepilepsi telah diberikan

Tidak ada hipoosmolalitas

Adekuat posisi head up

Hematokrit >25% Persyarafan jalan napas utuh

Tidak ada gangguan pembekuan darah

Tabel 3. Kondisi untuk Dilakukan Ekstubasi segera.7

Fast-Track Anesthesia untuk Prosedur Kraniotomi Evakuasi Hematom karena Stroke Hemoragik

Page 23: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

92 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

insulin 2 unit/jam dipertahankan hingga pasien dipindahkan ke perawatan intensif. Weaning dilakukan setelah prosedur selesai. Propofol di stop hanya disisakan sevofluran 1%vol total pemberian fentanyl 300 mcg selama prosedur operasi. Setelah spontan diberikan reversal dengan sulphas atropin dan neostigmin. Untuk mencegah gejolak hemodinamik saat ekstubasi diberikan kembali lidokan 60 mg. Tekanan darah relatif stabil selama proses ekstubasi sedikit naik hingga 150/100 mmHg. Pasien dipindahkan ke ruang perawatan intensif. Untuk analgetik

Cek list sebelum ekstubasi

Saran proses membangunkan pasien

Kesadaran preoperatif baik

Siapkan untuk ekstubasi

Stop opioid jangka panjang atau menengah 60 menit sebelum extubasiObat obat anestesi sudah minimal atau di stop saat tutup kulitPelumpuh otot sudah turun hingga 2/4 atau antagonis diberikan saat akan ekstubasiPa co2 dinaikkan hingga normo karbi

Operasi terbatas dan tidak ada kerusakan jaringan yang hebat

Hindarkan rangsang nyeri yang tidak perlu.(head pin dilepas segera sebelum extubasi)

Tidak ada pembedahan fossa posterior yang luas dan berdampak pada saraf cranial 9-12

Hindarkan lonjakan tekanan darah

Tidak ada reseksi AV shunt yang luas, atau minimal edema jaringan otak.

Observasi pasien

Suhu tubuh yang normal, oksigenasi baik dan cardiovaskular stabil

Transport ke ICU atau PACU

Tabel 4. Prosedur untuk Ekstubasi segera Pasca Kraniotomi.7

pascaoperasi diberikan Paracetamol 3x1000mg dan parecoxib 1x40 mg intravena.

Pengelolaan di Ruang Rawat IntensifPasien masuk ruang rawat intensif dengan mengantuk, kontak baik. Tekanan darah 160/100 mmHg, frekuensi nadi 85x/m, frekuensi napas 14x/m, saturasi oksigen 100% dengan nasl kanul 4 l/m. Pasien mendapat terapi manitol 4x150cc, fenitoin 3x100mg, meropenem 3x1g, ranitidine 3x1amp, asam traneksamat 3x500mg, canderin 2x16mg, amlodipine 1x10mg. Tekanan darah setelah beberapa jam pascaoperasi melonjak hingga 200/120 mmHg, frekuensi nadi 80x/m, frekuensi napas 14x/m, saturasi oksigen 100% pasien tidak gelisah. Obat-obat tekanan darah oral belum diberikan pasien juga terlihat masih ngantuk akhirnya dijalankan nicardipin 5 mg/jam dengan target sistolik 140–150 mmHg. Nicardipin terus dijalankan hingga obat hipertensi oral dapat diberikan. Hari ketiga pascaoperasi pasien dipindahkan ke ruang rawat masih dengan terapi anti hipertensi dan pada hari ke delapan pascaoperasi pasien pulang ke rumah dengan keluhan tidak bisa tidur dan sakit kepala yang masih terus dirasakan. III. Pembahasan

Angka extubasi di dalam kamar operasi pasca craniotomy masih sangat rendah (35%) sebagian besar masih dilakukan extubasi di ICU (56%) dan umumnya masih menunggu hasil CT scan kontrol yang biasanya dilakukan 24 jam setelah operasi selesai. Disisi lain penundaan extubasi ini akan memperbesar biaya perawatan dan menimbulkan masalah baru pada pasien seperti tertundanya evaluasi neurologis dan resiko stroke berulang.8 Pasien datang ke IGD dengan keluhan sakit kepala dan peningkatan tekanan darah. Disamping pasien memang memiliki tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol pasien ini mengalami peningkatan tekanan intrakranial. Pasien ini tidak buru buru diturunkan tekanan darah nya dengan obat anti hipertensi tapi dilakukan terlebih dulu CT-scan kepala hingga didapatkan efek desak ruang akibat penambahan volume darah di kepalanya. Penambahan volume mencapai 52 cc. Berdasarkan hasil CT brain ini lah diputuskan

Page 24: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

93

untuk dilakukan evakuasi hematom. Intracerebral hematom (ICH) skor dari pasien ini adalah dengan komponen GCS 1(GCS 5–12), komponen volume ICH 1 (> 30 cc), komponen lokasi supratentorial (0), komponen usia 0 (dibawah 80 tahun) komponen perdarahan intraventrikuler tidak ada(0) berarti angka kematian 30 hari nya adalah 26 %. Pasien ini memiliki prognosis yang cukup baik. Pada pasien ini ditegakkan dengan status asa 3 berdasarkan hipertensi tidak terkontrol, diabetes mellitus dan riwayat stroke iskemik tahun 2013. Dua komorbid ini memiliki potensi untuk terjadi morbiditas dan mortalitas yang besar. Satu satunya cara agar dua komorbid ini tidak membahayakan adalah dengan memastikan dua komorbid ini dalam keadaan stabil.

Pasien ini diberikan terapi nicardipin 5 mg/jam dengan catatan bila tekanan sistolik 140 mmHg maka nicardipin akan di stop. Ini dilakukan agar cerebral perfusion pressure (CPP) tetap terjaga dan tidak menyebabkan terjadinya hipoperfusi pada sel sel otak. CPP =MAP–ICP. Twekanan intrakranial walaupun tidak bisa diperkirakan kenaikannya secara pasti tapi dengan melihat klinis pasien pasti telah terjadi peningkatan tekanan intrakranial. CPP normal 50–70 mmHg, ICP normal sekitar 5–15 mmHg. Maka untuk mempertahankan agar CPP tetap dalam rentang normal aman untuk pasien ini diusahakan MAP sekitar 90–110 mmHg. Pasien ini masuk ke kamar operasi dengan GDS 178 mg/dL ini sesuai dengan target dibawah 200 mg/dL tetapi untuk tekanan darah masih 180/110 mmHg, ini memiliki potensi untuk terjadi komplikasi seperti terjadi stroke hemoragik berulang ataupun perubahan tekanan darah yang tidak stabil. Untuk menurunkan tekanan darah ini coba diberikan premedikasi dengan midazolam 2 mg saat di ruangan persiapan. Pemberian ini ditujukan agar pasien tenang hingga terjadi penurunan tekanan darah. Selama menunggu penurunana tekanan darah diberikan loading cepat cairan ringer fundin dengan maksud agar mencukupi kebutuhan cairan pasien sebelum dilakukan induksi. Penurunan tekanan darah tidak terjadi hingga koinduksi tetap dilakukan dengan tekanan darah masih sekitar 180/110 mmHg. Pasien dilakukan laringoskopi langsung saat tekanan darah sistolik 140 mmHg

dan untuk mencegah terjadi lonjakan simpatis maka diberikan lidokain intravena 1 mg/kgbb. Banyak cara untuk mencegah kenaikan tekanan darah akibat stimulasi simpatik seperti dengan spray lidokain, dengan preparat beta-2 agonis, dengan fentanyil dosis tinggi atau pun dengan beta blocker. Pada pasien ini dipilih dengan pemberian lidokain intravena karena lidokain intravena yang paling sering dilakukan. Sedangan preparat beta-2 agonis atau beta bloker tidak dimiliki oleh rumah sakit. Untuk menggunakan fentanil dosis tinggi tidak saya berikan karena direncanakan untuk ekstubasi di akhir prosedur. Intraoperatif tekanan darah sistolik diusahakan dipertahankan sekitar 140–150 mmHg. Dipertahankan dengan drip propofol 2 mg/kgbb/jam dan sevofluran 1%vol, sedangkan fentanyl diberikan secara intermitten. Pelumpuh otot diberikan secara kontinyu dengan vecuronium 0,08 mg/kgbb/jam. Target sejak awal sejak pembiusan dimulai adalah pasien extubasi dan dirawat di HCU. Untuk obat obat yang digunakan dipilih yang kerja menengah atau pendek. Seperti pemilihan fentanyl karena memang kerja pendek dan tidak diberikan secara kontinyu, untuk relaksan juga pilihannya adalah vecuronium, pelumpuh otot kerja menengah dan tidak mengganggu hemodinamik pasien. Untuk sedasi digunakan propofol dan gas sevofluran, digunakan sevofluran agar pasien dapat dibangunkan dalam tujuh menit setelah gas anestesi dihentikan. Midazolam diberikan sebesar 2 mg dengan maksud sebagai anxiolitik. Untuk sedasi tidak menggunakan preparat barbiturat karena direncanakan untuk ekstubasi, pada beberapa kepustakaan barbiturat dapat menghambat ekstubasi, kecuali memang telah direncanakan untuk dilakukan barbiturat koma.

Setelah dua setengah jam operasi berakhir dan dilakukan persiapan untuk ekstubasi. Pelumpuh otot telah dihentikan sejak operator menutup duramater. Hingga diperkirakan durasi pelumpuh otot telah habis saat akan ekstubasi. Propofol juga di stop setelah menutup kulit dan untuk sedasinya dipertahankan dari sevofluran saja. Dilakukan weaning pasien dan setelah spontan diberikan reversal dengan sulfas atropine dan neostigmine. Setelah napas spontan pasien baik, diberikan bolus lidokain 1mg/kgbb. Pemberian ini dimaksudkan

Fast-Track Anesthesia untuk Prosedur Kraniotomi Evakuasi Hematom karena Stroke Hemoragik

Page 25: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

94 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

untuk menekan lonjakan simpatik yang akan terjadi saat dilakukan ekstubasi. Banyak cara untuk menekan reflex simpatik akibat ekstubasi ini tapi yang paling memungkinkan adalah dengan penggunaan lidokain. Tidak ada beda antara balans anestesia dengan total intravenous anesthesia untuk waktu ekstubasi cepat.6 Bahkan penggunaan opioid (remifentanil, fentanyl dan sulfentanil) juga tidak berbeda dalam waktu ekstubasi.6

Penelitian multi variat yang dilakukan di Thailand menyatakan penggunaan balance anesthesia lebih cepat dalam ekstubasi dibandingkan dengan TIVA.8 Pertimbangan kenapa dilakukan ekstubasi pada pasien ini adalah kondisi preoperatif pasien baik, kesadaran dan hemodinamik masih baik, normotensif, normovolemia, normoglikemia, operasi tidak lama, perdarahan relatif sedikit dan tidak ada kerusakan pada saraf kranial.1 Dari penelitian yang multi variat yang dikerjakan di Thailand didapatkan bahwa faktor yang mempengaruhi untuk dilakukan ekstubasi di dalam kamar operasi hanya ada/tidaknya edema cerebri, tingkat GCS dan ASA pasien.8 Pascaoperasi pasien dirawat di ruang HCU dengan target untuk pengawasan hemodinamik. Harapannya dalam 1–2 hari pasien dapat pindah ke ruangan asalkan tekanan darah stabil, diabetes mellitus terkontrol dan perdarahan ulang tidak terjadi.

Pada pasien ini tidak menggunakan tekhnik regional apapun karena kesempatan yang tidak ada tetapi sebenarnya teknik regional anaestesi akan sangat berguna pada fast-track anesthesia. Tehnik scalp block dapat menjadi pilihan untuk sebuah prosedur kraniotomi.9,10 Scalp block dengan menggunakan bupivacain 0,25–0,5% terbukti lebih superior dari tekhnik infiltrasi yang sering dilakukan oleh operator bedah saraf.9 Penggunaan fentanyl intraoperatif akan jauh berkurang. Tetapi penggunaan scalp block untuk pain management pascaoperasi masih harus diteliti lagi karena pada beberapa jurnal disebutkan penggunaan scalp block tidak mengurangi penggunaan morphin untuk mengurangi nyeri pasca operasi kraniotomi.10

IV. Simpulan

Prosedur fast-track anestesi ini sangat menguntungkan karena mengurangi morbiditas dan mortalitas dan mengurangi penggunaan ICU yang berujung pada lama tinggal di rumah sakit dapat dikurangi. Untuk dapat melakukan fast-track anestesi maka penggunaan obat-obatan dan teknik anestesi harus efektif dan efisien. Obat-obat anestesi seperti analgetik dan pelumpuh otot kerja pendek dan menengah sangat membantu untuk dilakukan fast-track anestesi ini. Disamping penggunaan teknik anestesi yang efektif dan efisien. Kondisi preoperatif dan intraoperatif dari pasien akan sangat menentukan apakah fast-tract anestesi dapat dilakukan atau tidak. Fast-track anestesi dapat dilakukan pada semua jenis pembedahan kepala dan tidak terbatas pada operasi tertentu saja asalkan syarat syaratnya terpenuhi.

Daftar Pustaka

1. Nivatpunim P, Srisuriyarungrueng S, Saimuey P, Srirojanakul W. Factors affecting delayed extubation after intracranial Surgery in Siriraj Hospital. SMJ 2010 ; 62 (2): 119–23

2. Bhagat H, Dash HH, Bithal PK, Chouhan RS, Pandia MP. Planning for early emmergence in neurosurgical patients:a randomized prospective trial of low dose anesthetics.Anesth analg. 2008.Oct ;107(4):1348–55

3. Bruder NJ. Awakening management after neurosurgery for intracranial tumors. Current Opinion Anesthesiology.2002 Oct;15(5):477–82

4. White PF, Kehlet H, Neal JM, Schricker T, Carr DB, Carli F. The role of the anesthesiologist in fast track surgery: from multi modal analgesia to perioperative medical care. Anesth Analg. 2007;104:1380–96.

5. Hemphill JC, Bonovich DC, Besmertis L, Manley GT, Johnston SC. The ICH score a simple, reliable grading scale for intracerebral

Page 26: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

95

hemorrhage. Stroke 2001;32: 891–97.

6. Ayrian E, Kaye AD, Varner CL, Guerra C, Vadivelu N, Urman RD, Zelman V, Lumb PD, Rosa G, Bilotta F. Effect of anesthetic management on early postoperative recovery, hemodynamic and pain after supratentorial craniotomy. J Clin Med Res. 2015;7(10):731–41.

7. Bruder N, Ravussin P. Recovery from anesthesia and postoperative extubation of neurosurgical patients:a review. J Neurosurg anesthesiol 1999; 11 (4): 282–93.

8. Saringcarmkul A, Suwannachit S,

Punjasawodwang Y. Factors associated with

operating room extubation after emergency craniotomy. Jmed. Assoc Thai 2016;99(8): 933–9.

9. Geze S, Yilmaz AA, Tuzuner F. The effect of scalp block and local infiltration on hemodynamic and stress response to skull pin placement for craniotomy. Eur J anesthesiol 2009:26 : 298-303.

10. Tuchinda L, Somboonviboon W, Supbornsing K, Worathongchai S, Limutaitip S. Bupivacain scalp nerve block: hemodynamic response during craniotomy, intraoperative and post operative analgesia. Asian Biomed. 2010; 4 (2):243–251.

Fast-Track Anesthesia untuk Prosedur Kraniotomi Evakuasi Hematom karena Stroke Hemoragik

Page 27: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

96

Dexmedetomidine dan Natrium Laktat Hipertonik pada Bedah Transfenoid Makroadenoma Hipofisis dengan Hiponatremia

MM. Rudi Prihatno, Agus Budi Setyawan**)

*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Soedirman–Rumah Sakit Margono Purwokerto, **)Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Soedirman–Rumah Sakit

Margono Purwokerto

Abstrak

Makroadenoma hipofisis merupakan salah satu tumor sellar yang banyak ditemukan di Indonesia. Tumor Sellar memiliki variabilitas histologis yang besar dan mewakili sekitar 10 - 15% dari semua neoplasma intrakranial, dari adenoma hipofisis yang ada mewakili 95% lesi dan merupakan penyebab sekitar 25% dari semua reseksi bedah untuk tumor susunan saraf pusat (SSP). Salah satu tatalaksana makroadenoma hipofisis adalah dengan melakukan upaya intervensi melalui pendekatan transsfenoid. Seorang laki-laki berusia 64 tahun yang mengalami kecelakaan dan menjalani tindakan pembedahan ortopedi. Pasca dilakukan prosedur bedah ortopedi, pasien dirawat di ruang rawat intensif selama 16 hari karena mengalami gangguan ketidakseimbangan elektrolit berkepanjangan, serta didiagnosa menderita tumor di area hipofisisis setelah menjalani pemeriksaan CT-scan. Pasien kemudian direncanakan dilakukan pembedahan melalui pendekatan transphenoid. Pembedahan berlangsung selama 360 menit. Selama pembedahan kondisi hemodinamik stabil, penggunaan opioid minimal dan pasien pulih sadar dengan cepat. Pasien di rawat di ruang perawatan intensif selama 24 jam dan dipindahkan ke ruang perawatan umum. Keluhan yang menyertai pasien pascaoperasi adalah gangguan bernafas melalui hidung kanan dan pusing. Tidak ada gangguan keseimbangan elektrolit yang berlebihan pasca operasi. Penggunaan dexmedetomidine sebagai ajuvan anestesi inhalasi akan mengurangi penggunaan opioid, sedangkan cairan natrium laktat hipertonik pada kasus ini sebagai upaya untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit serta membantu dalam proses pembedahan.

Kata kunci: dexmedetomidine, makroadenoma hipofisis, natrium laktat hipertonikJNI 2018;7 (2): 96‒102

Dexmedetomidine and Hypertonic Sodium Lactate in Surgical Transphenoid Macroadenoma Hypophyse with Hyponatremia

Abstract

Macroadenoma pituitary is one of the most common sellar tumors found in Indonesia. Sellar tumors have great histologic variability and represent about 10-15% of all intracranial neoplasms, of existing pituitary adenomas representing 95% of lesions and account for about 25% of all surgical resections for CNS tumors. One of the management of pituitary macroadenoma is by making intervention through transsphenoid approach. A 64-year-old man who had an accident and underwent orthopedic surgery. After orthopedic surgery, the patient was admitted to the intensive care unit for 16 days due to prolonged electrolyte imbalance, and was diagnosed with a tumor in the pituitary area after undergoing a CT scan. The patient then planned surgery through a transphenoid approach. Surgery procedure lasted for 360 minutes. During surgicall, patient in stable hemodynamic conditions, minimal opioid use and the patient recovers consciously quickly. The patient was admitted to the intensive care unit for 24 hours and transferred to the general ward. Complaints that accompany the patient are breathing problems through the right nose and dizziness. There is no electrolyte excessive imbalance postoperative. The use of dexmedetomidine as an adjuvant of inhaled anesthesia will reduce the opioids requirement, while hypertonic lactic sodium liquid in this case as an attempt to maintain electrolyte balance and assist in the process of surgery.

Key words: dexmedetomidine, pituitary macroadenoma, hypertonic sodium lactateJNI 2018;7 (2): 96‒102

Page 28: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

97 Dexmedetomidine dan Natrium Laktat Hipertonik pada Bedah Transfenoid Makroadenoma Hipofisis dengan Hiponatremia

I. Pendahuluan

Makroadenoma hipofisis merupakan salah satu tumor sellar yang banyak ditemukan di Indonesia. Tumor Sellar memiliki variabilitas histologis yang besar dan mewakili sekitar 10–15% dari semua neoplasma intrakranial, dari adenoma hipofisis yang ada mewakili 95% lesi dan merupakan penyebab sekitar 25% dari semua reseksi bedah untuk tumor susunan saraf pusat.1,2 Adenoma hipofisis dapat diklasifikasikan menurut ukurannya yaitu adenoma mikro (<10mm), adenoma makro (>10mm) dan adenoma raksasa (>40mm). Permasalahan yang sering timbul pada pasien dengan tumor hipofisis seringkali akibat gangguan hormonal yang mempengaruhi kerja ginjal, sehingga mempengaruhi diuresis dan osmolaritas tubuh akibat adanya ketidakseimbangan elektrolit. Teknik pembedahan makroadenoma hipofisis ada 2 cara, yaitu melalui pendekatan kraniotomi dan melalui nasal. Berdasarkan status fungsionalnya adenoma pituitari diklasifikasikan sebagai non-secreting adenoma pituitary (NSPA) atau sebagai secreting adenoma pituitary (SPA) dengan subtipe yang berbeda tergantung pada hormon yang disekresikan (hormon prolaktin/ pertumbuhan dan lain sebagainya).1-3

Indikasi pembedahan mikroskopis atau endoskopik transphenoid pada dasarnya hampir sama. Pasien dengan adenoma nonfungsional menjalani pembedahan saat adenoma mulai memberikan efek pada struktur massa disekitarnya yang ditandai dengan sakit kepala, atau disebabkan oleh hipopituitarisme. Sebaliknya, pasien yang mengalami sindrom hormonal, seperti akromegali atau penyakit Cushing dapat langsung dilakukan reseksi bedah transsphenoid.2 Terkecuali pada kasus prolaktinoma, di mana pasien menjalani reseksi bedah jika mengalami kegagalan merespon pengobatan dopaminergik, memiliki riwayat efek samping yang berat atau mengalami efek massa. Pasien dengan ekstensi suprasellar adalah kandidat yang baik untuk pendekatan pembedahan transsphenoid karena visualisasi yang dihasilkan lebih baik jika dibandingkan dengan bedah mikroskopik. Indikasi pendekatan transkranial terutama untuk

pasien yang memiliki adenoma dengan ekstensi ekstrasel yang menonjol, adenoma dengan fibrosis yang luas, gagal operasi transsphenoid, dekompresi yang tidak memadai dan diagnosis yang tidak pasti. Selain itu, adanya arteri karotid ektatik, infeksi sinus berat, atau aneurisma memerlukan kraniotomi terbuka.2 Teknik anestesi yang digunakan hanya satu, yaitu anestesi umum. Berbagai jenis obat dan anestetika inhalasi dapat digunakan untuk pembedahan makroadenoma hipofisis, tetapi sebaiknya ahli anestesi menggunakannya secara efektif dan efisien. Pada masa lalu preparat sodium thiopental dan propofol serta anestetika inhalasi digunakan untuk rumatan anestesi pada kasus bedah saraf. Perkembangan anestesi untuk kasus bedah saraf mengalami kemajuan dengan ditemukannya dexmedetomidine.

Preparat dexmedetomidine ini ditemukan sekitar 25 tahun yang lalu dan mulai mendapatkan persetujuan untuk digunakan secara luas hampir 20 tahun yang lalu. Dexmedetomidine bekerja sebagai agonis adrenoseptor α2, yang reseptornya berada pada susunan saraf pusat (locus ceruleus dan ujung dorsal tulang belakang), pembuluh darah otak, pembuluh darah perifer, dan sel – sel otot polos.4 Efek sedasi dexmedetomidine sangat mirip dengan klonidin, namun perbedaannya adalah pada afinitas reseptor. Klonidin memiliki rasio α2:α1 sebesar 200:1, sedangkan rasio untuk dexmedetomidine adalah 1.620:1. Bekerja karena adanya stimulasi umpan balik negatif. Dexmedetomidine berikatan pada reseptor neuron postganglionik simpatis reseptor α2 presinaptik, merangsang umpan balik negatif dan menghambat pelepasan norepinefrin endogen, karena efek simpatolitiknya. Dexmedetomidine juga menghambat arus yang keluar dari sistem saraf simpatis dengan merangsang reseptor α2 pascasinap yang terletak di sistem saraf pusat.4 Dexmedetomidine tidak hanya menghasilkan sedasi tetapi juga memberikan stabilitas pernapasan dan hemodinamik serta mengurangi penggunaan opioid dan gas–gas volatil. Sebagaimana obat lainnya, dexmedetomidine memiliki keterbatasan. Hal yang perlu diperhatikan adalah resiko terjadinya bradikardia, xerostomia, hipotensi, hipertensi, demam,

Page 29: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

98 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

mual, dan muntah.4 Laporan studi kasus ini menjelaskan bagaimana dexmedetomidine dapat digunakan pada orang dewasa yang menjalani reseksi makroadenoma hipofise. Penggunaan natrium laktat hipertonik di Indonesia sudah mulai dikenal luas oleh para dokter ahli anestesi. Cairan ini pada awalnya lebih banyak digunakan pada kasus – kasus operasi bedah jantung.

II. Kasus

AnamnesaPasien laki – laki berusia 64 tahun, berat badan 60 kg, dan tinggi badan 165 cm. Pasien ini memiliki indeks masa tubuh 22,04 yang tergolong ideal dengan riwayat trauma akibat kecelakaan tunggal dan mengalami robekan pada sendi ikat klavikula. Pasien menjalani tindakan pembedahan ortopedi 20 hari sebelumnya (22 Februari 2018). Pasien dirawat di ruang rawat intensif selama 16 hari karena mengalami gangguan ketidakseimbangan elektrolit berkepanjangan, hari ke-17 pasien

dirawat di ruang perawatan umum selama 2 hari. Pada hari ke-20 pasien menjalani pembedahan reseksi makroadenoma hipofise melalui pendekatan transsphenoid.

Pemeriksaan FisikPasien dengan kondisi umum baik, compos mentis, dan letargik. Memiliki keluhan nyeri kepala pasca kecelakaan dan nyeri pada area bekas operasi ortopedi. Jalan nafas bebas, spontan dengan SpO2 99– 100%. Pasien bisa membuka mulut 3 jari dengan Mallampati –1, tidak ada gigi goyang, tidak menggunakan gigi palsu. Auskultasi paru, ronkhi (–), wheezing (–). Pemeriksaan jantung tidaka ada bising dan irama tambahan. Suhu rerata harian pasien 37,2 ºC. Rerata tekanan darah selama dirawat di ICU dan bangsal perawatan sebelum operasi 160/90 mmHg dengan nadi berkisar antara 70 – 100x/ menit.

Pemeriksaan PenunjangHasil pemeriksaan CT-scan memberikan gambaran adanya massa berbentuk bulat, berbatas tegas di area hipofise dengan ukuran 3x3,3x2,6 cm, serta adanya gambaran perdarahan intraserebral sub-kronik. Kesimpulan dari pemeriksaan tersebut adalah makroadenoma hipofisis. Selama pasien di rawat di ruang rawat intensif, kadar natrium pasien cenderung mengalami naik dan turun dan tidak pernah mencapai kadar yang optimal untuk pembedahan. Terapi yang sudah dilakukan, termasuk koreksi natrium dengan infus NaCl 3% serta pemberian vasopressin tidaklah banyak membantu. Pasien akhirnya disiapkan untuk menjalani prosedur pembedahan reseksi tumor melalui pendekatan transfenoid dengan kadar natrium tertinggi adalah 128 mmol/L.

Manajemen AnestesiPasien diberikan premedikasi dengan fentanyl 4 mcg/Kg (240 mcg). Satu menit kemudian, dimulai dilakukan induksi dengan menggunakan sodium thiopental 3 mg/Kg (180 mg) dan diberikan relaksan otot rocuronium 0,5 mg/Kg (30 mg). Obat-obatan kontinyu yang diberikan dengan menggunakan syringe pump adalah rocuronium 2 mg/ml dan dexmedetomidine 4 mcg/ml yang

Page 30: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

99

dimulai dengan kecepatan awal 0,7 mcg/Kg/jam selama 240 menit, kemudian diturunkan menjadi 0,5 mcg/Kg/jam hingga operasi berakhir.Dilakukan pemasangan akses intravena menggunakan venocath Cavafix Certo 375 melalui akses vena femoralis dan abbocath 18G pada vena basilica. Selain itu dilakukan pemasangan akses arteri melalui arteri radialis dengan menggunakan abbocath 20G 52 mm, serta dipasang elektroda jantung. Pemantauan yang dilakukan selama tindakan operasi adalah monitoring terhadap hemodinamik, jantung, dan diuresis. Monitoring lainnya yang digunakan lebih terkait dengan penggunaan gas anestesi dan efisiensinya, serta monitoring ventilasi mekanik.Tindakan anestesi dimulai pada 09.30 WIB,

sedangkan tindakan pembedahan dimulai pada 10.15 WIB yang berlangsung hingga 15.15 WIB, kemudian pasien ditranspor ke ruang rawat intensif pada pukul 15.30. Tindakan anestesi berlangsung selama 360 menit, sedangkan tindakan dan prosedur pembedahan berlangsung selama 300 menit.

Obat–obatan dan cairan yang diberikan adalah metilprednisolon 500 mg, natrium laktat hipertonik (Totilac) 250 ml, HES (Terastarch) 500 ml, dan kristaloid (RL 1.000 ml dan NaCl 2.500 ml). Pada menit ke 300, dilakukan transfusi packed red cell (PRC) 200 ml. Pasien dirawat di ruang rawat intensif dan tetap terpasang infus kontinyu dexmedetomidine dengan kecepatan

Dexmedetomidine dan Natrium Laktat Hipertonik pada Bedah Transfenoid Makroadenoma Hipofisis dengan Hiponatremia

Page 31: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

100 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

0,2 mcg/Kg (3 ml per jam) hingga 24 jam pasca bedah. Pasien dirawat di ruang perawatan intensif selama 24 jam. Ekstubasi dilakukan 18 jam semenjak dirawat di ruang perawatan intensif Pasien tidak mendapatkan obat – obat hormonal anti-diuretik (vasopressin) intrakutan/ muskular.24 jam pertama di ruang perawatan intensif, pasien hanya mendapatkan cairan krsitaloid dan belum diberikan nutrisi parenteral, serta tidak dilakukan pemasangan pipa nasogastrik.

III. Pembahasan

Manifestasi klinis makroadenoma hipofisis dibedakan atas 3 keluhan utama: 1) gejala yang disebabkan oleh dimensi tumor dengan kompresi pada struktur yang berdekatan (chiasma nervus opticus/diencephalon/ sinus kavernosa); 2) gejala yang dihasilkan oleh abnormalitas sekresi insufisiensi hormon/ hipersekresi (akromegali/Penyakit Cushing); 3) temuan insidentil - pasien yang dieksplorasi untuk kepentingan patologi yang lain. Gambaran klinis tertentu ditunjukkan dengan adanya apopleksi pituitari dengan tingkat kesadaran yang berubah, tanda–tanda hipertensi intrakranial, kebutaan yang disebabkan oleh perluasan volume tumor sekunder secara mendadak akibat perdarahan/infark intratumoral dan dengan indikasi pembedahan yang jelas. Manajemen tumor berdasarkan data perawatan medis sebenarnya bervariasi, pembedahan atau pendekatan gabungan. Namun pembedahan tetap menjadi metode terapeutik utama.1

Studi otopsi memperlihatkan angka kejadian neoplasma pituitari sekitar 1–35% populasi umum. Berdasarkan data tinjauan sistematis, untuk mengevaluasi prevalensi tumor hipofisis dengan menggunakan studi pencitraan dan penentuan prevalensi menjadi 22,5%, dengan kisaran antara 1 dan 40% pada studi radiografi. Selain itu, perkiraan keseluruhan prevalensi adenoma hipofisis sebagaimana hasil dari penelitian pencitraan dan otopsi ditemukan sebesar 16,7%. Neoplasma hipofisis simtomatik dapat terjadi antara 1 dari 1.064 orang, dengan prevalensi populasi keseluruhan sekitar 80–90 per 100.000.2 Insidensi meningkat seiring bertambahnya usia karena kira-kira 3,5–8,5%

tumor hipofisis didiagnosis sebelum usia 20 tahun, sementara sekitar 30% individu berusia antara 50 sampai 60 kejadian insidental. Prolaktinoma merupakan adenoma sekresi yang paling sering didiagnosis (35%) bersamaan dengan adenoma gonadotrofik (35%) diikuti oleh adenoma kortikotrofik dan somatotrofik (masing-masing 10–15%), dan adenoma tirotrofik (2%). Neoplasma hipofisis sebenarnya dapat mewakili sejumlah besar neoplasma intrakranial karena diagnostik yang ditingkatkan terus memberikan kemampuan untuk mendeteksi neoplasma pada tahap perkembangan awal.2

Pasien selama menjalani pembiusan, rumatan anestesi yang digunakan adalah isofluran dengan konsentrasi 0,8 vol %. Pemberian isoflurane 1,2 vol % hanya dilakukan selama proses induksi hingga 15 menit pasca intubasi. Natrium laktat hipertonik diberikan 250 ml dalam 60 menit. Terastarch diberikan pada menit ke 120, dengan pertimbangan mulai banyaknya perdarahan yang keluar akibat tindakan operasi yang dilakukan.Urin tampung selama 360 menit prosedur anestesi, sebanyak 1.200 ml. Urin yang dihasilkan jernih dengan warna urin normal. Tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium urin selama prosedur anestesi berlangsung. Pasca bedah dilakukan pemeriksaan laboratorium ulang untuk membandingkan status fisik dan kondisi pasien sebelum dan sesudah pembedahan dengan tujuan untuk memastikan tindakan yang harus dilakukan untuk pasien tersebut pascabedah.

Penggunaan cairan natrium laktat hipertonik pada kasus bedah saraf ditujukan untuk mengurangi resiko edema serebri yang lebih luas akibat tindakan pembedahan. Cara kerja dari natrium laktat hipertonik pada dasarnya adalah untuk menarik atau mengurangi cairan dari parenkim otak, selain itu juga memiliki efek tambahan yaitu relaksasi dari otak.5,6 Kondisi ketidakseimbangan elektrolit yang lama dari pasien sebelum dilakukannya operasi bedah saraf (Natrium 112–128 mEq/L), juga menjadi salah satu pertimbangan penggunaan natrium laktat hipertonik sebagai upaya koreksi hiponatremia selama prosedur pembedahan berlangsung.7 Pasien ini pada pre bedah dalam keadaan hiponatremi dengan kadar natrium plasma 112–128 meq/L (nilai normal

Page 32: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

101

135–145 meq/L). Penggunaan dexmedetomidine pada kasus pembedahan transsphenoid memiliki banyak keuntungan. Beberapa keuntungan yang didapatkan antara lain adalah: 1) mengurangi perdarahan selama tindakan pembedahan melalui pendekatan transsfenoid 8, 2) melindungi jantung dan ginjal 9, 3) tidak mempengaruhi fungsi ginjal secara signifikan 10, 4) penggunaan dexmedetomidine perioperatif sebagai ajuvan anestesi umum dapat menurunkan kadar interleukin-6 (IL-6), interleukin-8 (IL-8), dan TNF-α dalam jangka waktu 24 jam pascabedah secara signifikan.11

Efek agonis a2-adrenergik terhadap ginjal dalam praktik klinis belum sepenuhnya dipelajari sampai sekarang. Pemberian awal dengan klonidin telah menunjukkan efek perlindungan terhadap fungsi ginjal yang terlihat pada creatinine clearance setelah bedah jantung. Namun, klonidin adalah agonis a2-adrenergik yang kurang selektif daripada dexmedetomidine dan memiliki profil farmakodinamik yang berbeda.10 Respon diuretik dexmedetomidine yang juga terbukti konsisten dengan reabsorbsi natrium simpatolisis-dilemahkan pada sel tubular melalui aksi adrenergik.10 Pasien yang mendapatkan dexmedetomidine menunjukkan hemodinamik yang lebih stabil secara intraoperatif, yang menggambarkan sifat proteksi secara tidak langsung terhadap miokard melalui mekanisme sentral simpatolitik dalam mengurangi detak jantung dan konsumsi oksigen miokard.10

Penggunaan cairan natrium laktat hipertonik pada pasien bedah makroadenoma hipofisis dengan ketidakseimbangan elektrolit, memiliki beberapa keuntungan antara lain: 1) membantu dalam tatalaksana hiponatremi7, 2) sebagai substrat energi yang lebih baik dibandingkan glukosa pada keadaan pasca-iskemia, karena siap pakai dan mudah dimetabolisme.7

Berdasarkan hasil laboratorium tersebut, kadar hemoglobin pasien masih dalam kondisi terkontrol hingga pasien ekstubasi 18 jam pasca bedah. Obat-obatan dari kamar operasi yang tetap dilanjutkan adalah dexmedetomidine dengan kecepatan 0,2 mcg/Kg (3 ml/ jam) hingga 24 jam pasca operasi. Selama dirawat di ruang

perawatan intensif, rerata urin tampung setiap 6 jam sebanyak 600 ml atau 100 ml/ jam. Selama perawatan di bangsal perawatan umum, pasien hanya mengeluh pusing, hidung kanan tersumbat dan selalu kehausan. Pusing dimungkinkan karena prosedur tindakan operasi yang dilakukan. Hidung kanan tersumbat dikarenakan prosedur tindakan transsfenoid melalui lubang hidung bagian kanan. Rasa haus yang dimunculkan dikarenakan respon hormonal yang diakibatkan diuresis berlebihan pada kasus tumor hipofisis. Berdasarkan keluhan tersebut, maka dilakukan tatalaksana, antara lain diberikan obat – obatan pereda nyeri oral dan evaluasi terhadap kadar elektrolit hingga 72 jam pasca operasi. Pasien mobilisasi dengan jalan-jalan pada hari ke-4, dan dipulangkan pada hari kelima pasca operasi.

IV. Simpulan

Telah dilaporkan kasus makroadenoma hipofisis yang dilakukan tindakan reseksi tumor melalui pendekatan transphenoid. Penggunaan dexmedetomidine, memberikan hasil yang baik berupa stabilitas hemodinamik dan mengurangi penggunaan opioid. Cairan natrium laktat hipertonik pada kasus makroadenoma hipofisis sangat menguntungkan digunakan, karena membantu memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit, khususnya natrium yang rendah, mengingat tumor jenis ini akan sangat mempengaruhi hormon yang berkaitan erat dengan diuresis dan keseimbangan elektrolit.

Daftar Pustaka

1. Rotariu D, Gaivas S, Faiyad Z, Iencean AS, Poeata I. Pituitary adenoma, therapeutic approach and surgical results. Romanian Neurosurgery. 2011;18(4):465–75.

2. Theodros D, Patel M, Ruzevick J, Lim M, Bettegowda C. Pituitary adenomas-historical perspective, surgical management and future directions. CNS oncol. 2015;4(6):411–29.

3. Wang S, Lin S, Lin Z, Wei L, Huang Y. Analysis of operative efficacy for

Dexmedetomidine dan Natrium Laktat Hipertonik pada Bedah Transfenoid Makroadenoma Hipofisis dengan Hiponatremia

Page 33: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

102 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

giant pituitary adenoma. BMC surgery. 2014;14(59):1–7.

4. Brady T. Anesthetic management of a pituitary tumor resection with dexmedetomidine. AANA Journal. 2010;78(2):125–28.

5. Ahmad MR, Hanna. Effect of equiosmolar solutions of hypertonic sodium lactate versus mannitol in craniectomy patients with moderate traumatic brain injury. Med J Ind. 2014;23(1):30–35

6. Hinson HE, Stein D, Sheth KN. Hypertonic saline and mannitol therapy in critical care neurology. JICM. 2010;28(1):3–11.

7. Leksana E. Larutan natrium laktat hipertonik. CDK. 2012;39(3):228–31.

8. Salimi A, Sharifi G, Bahrani H, Mohajerani A, Jafari A, Safari F, dkk. Dexmedetomidine could enhance surgical satisfaction in trans-sphenoidal resection of pituitary adenoma. J

Neurosurg Sci,Teheran. 2017;61(1):46–52.

9. Ammar AS, Mahmoud KM, Kasemy ZA. Cardiac and renal protective effects of dexmedetomidine in cardiac surgeries-a randomized controlled trial. Saud JA. 2016;10(4):395–4101.

10. Salah M, Tawil T, Nasr S, Nosser T. Does dexmedetomidine affect renal outcome in patients with renal impairment undergoing CABG. EGCA. 2013;7:7–12.

11. Li B, Li Y, Tian S, Wang H, Wu H, Zhang A, dkk. Anti-inflammatory effects of perioperative dexmedetomidine administered as an adjunct to general anesthesia-a meta analysis. 2015 [Diunduh : 15 Maret 2018]. Tersedia dari URL : https://www.nature.com/articles/srep12342.pdf.

Page 34: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

103

Penanganan Cedera Kepala Berat disertai Intoksikasi Alkohol Akut dengan Panduan Transcranial Doppler Pascaoperasi

Ida Bagus Krisna J. Sutawan*), Syafruddin Gaus**), Bambang J. Oetoro***)

*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RSUP Sanglah, **)

Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran-Universitas Hasanudin-RSP Dr. Wahidin Makassar, ***)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Mayapada Jakarta

Abstrak

Cedera kepala yang disertai dengan intoksikasi alkohol akut memerlukan suatu perhatian khusus selain karena nilai GCS yang digunakan untuk menggolongkan derajat beratny cedera kepala penilaiannya dipengaruhi oleh intoksikasi alkohol, juga karena pengaruh alkohol pada susunan saraf pusat. Transcranial doppler (TCD) dapat digunakan secara noninvasif untuk mengevaluasi aliran darah ke otak, tekanan intrakranial dan tekanan perfusi serebri. Panduan TCD membantu dalam pengambilan keputusan pada perawatan pascaoperasi. Seorang laki-laki 23 tahun dengan GCS E1V2M4, dari foto CT-scan didapatkan subdural hematoma lobustemporoparietal kanan yang menyempitkan sisterna ventrikel lateralis kanan dan deviasi midline sejauh 0,54 cm ke kiri. Pasien ditangani sesuai dengan standar prosedure operasional cedera kepala berat, operasi evakuasi hematoma dan kranietomi berjalan dengan lancar. Dua belas jam pascaoperasi pada pemeriksaan TCD didapatkan aliran darah dan tekanan intrakranial normal, sehingga pasien diextubasi dengan GCS 15 hanya dalam waktu 18 jam pascaoperasi.

Kata kunci: Cedera kepala, intoksikasi alkohol akut, transcranial Doppler

JNI 2018;7 (1): 103–9

Management of Severe Head Injuri with Alcohol Intoxication guided by Pascaoperatif Transcranial Doppler

Abstract

Head injury associated with alcholol intoxication needs special concideration, not only because GCS which is used to classifying the severity of head injury is affected by alcohol intoxication, but also because of the effect of alcohol to the central nervous system. Transcranial doppler (TCD) can be used noninvasifly to evaluate cerebral blood flow, intracranial pressure and cerebral perfusion pressure. TCD guidance helps in decision making on postoperative management. Twenty three years old male, GCS E1V2M4 , on a CT-scan image there is a subdural right lobustemporoparietal hematoma constricting the right ventricular lateral system and a midline deviation of 0.54 cm to the left. Patient was managed according to standart operational procedure for severe head injury, hematoma evacuation and craniectomy procedures went smoothly. Twelve hours postoperative, from TCD examination obtained normal blood flow and intracranial pressure, so patients were extubated with GCS 15 in just 18 hours postoperatively.

Key word: Head injury, acute alcohol intoxication, Transcranial Doppler

JNI 2018;7 (1): 103–9

Page 35: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

104 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan

Intoksikasi alkohol meningkatkan angka kejadian cedera kepala akibat kecelakaan di jalan raya, lebih dari 40 persen pasien yang mengalami kecelakaan sepeda motor yang fatal di USA mengalami intoksikasi alkohol pada saat kejadian. Selain itu adanya intoksikasi alkohol juga meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas dari cedera kepala yang dialami oleh pasien.1 Intoksikasi alkohol menyebabkan depresi susunan saraf pusat (SSP) yang ditandai dengan penurunan kesadaran yang jika dinilai dengan GCS maka akan ada penurunan dari GCS yang sebanding dengan beratnya intoksikasi alkohol tersebut. Oleh karena itu, pasien trauma kepala yang disertai dengan intoksikasi alkohol biasanya dinilai dengan skor GCS yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien tanpa intoksikasi alkohol.2

Transcranial doppler (TCD) adalah salah satu alat non invasif yang dapat digunakan untuk membantu memonitoring pasien-pasien yang mengalami cedera kepala, terutama pada pasien yang tidak dipasang monitoring tekanan intrakranial. Informasi mengenai keadaan pasien yang dapat diketahui dari pemeriksaan TCD diantaranya adalah evaluasi aliran darah ke otak yang dapat dilihat dari mean velocity (mFV), tekanan intrakranial yang dapat dilihat dari nilai pulsatif index (PI), non invasif cerebral perfusion pressure (nCPP) yang didapatkan dari rumus yang melibatkan tekanan darah rerata, mFV dan diastolik FV. Selanjutnya pada neurointensive care unit, juga dengan TCD juga dapat dibedakan apakah peningkatan tekanan intrakranial disebabkan oleh aliran darah otak yang kurang atau aliran darah otak yang berlebihan (hyperemia). Selain itu jika diperlukan maka dengan TCD juga dapat dilakukan beberapa test untuk melihat keutuhan dari autoregulasi.3 Namun demikian penemuan-penemuan yang didapatkan melalui TCD tetap harus diselaraskan pemeriksaan-pemeriksaan lainnya utnuk mendapatkan penatalaksanaan yang terbaik bagi pasien.4

Pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai seorang pasien yang mengalami cedera kepala

dengan intoksikasi alkohol. Pasien masuk rumah sakit dengan GCS 6 dan dinilai sebagai cedera kepala berat, sehingga langsung dilakukan resusitasi serta intubasi untuk menjaga jalan nafas di UGD. Selanjutnya dilakukan tindakan craniotomi evakuasi clot dan dekompresi karena pada CT scan ditemukan adanya subdural hematoma (SDH) dengan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Pascaoperasi pasien dirawat di ICU, yang selanjutnya di extubasi 18 jam kemudian dengan GCS 15, setelah pada pemeriksaan TCD didapatkan aliran darah dan tekanan intrakranialnya normal. Selanjutnya pasien pindah ke ruangan pada hari yang ke-2.

II. Kasus

Seorang laki-laki umur 23 tahun, datang diantar polisi setelah mengalami kecelakaan lalu lintas kurang lebih 1 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien pengendara sepeda motor, menggunakan helm dan jatuh sendiri menabrak tembok dan kepala terbentur tembok, pasien langsung tidak sadar dengan riwayat muntah tiga kali dan keluar darah dari telinga kiri, sedangkan riwayat kejang tidak ada. Pada saat tiba di UGD pasien berbau alkohol yang sangat menyengat dari mulutnya dengan GCS E1V2 M4. Selanjutnya secara stimultan dilakukan primary survey, dipasang monitor dan diambil sampel darah. Pada monitor didapatkan tekanan darah 100/80 mmHg, nadi 72 x/mnt dan saturasi O2 98%A (airway): pasien mengalami sumbatan jalan nafas partial dengan adanya suara mengorok, kemudian dilakukan in line intubasi dengan obat-obatan fentanyl 100 µg, rocuronium 50 mg dan menggunakan target control infused (TCI) propofol model Schnider dengan target effect 1 µg/ml, selanjutnya dikontinyu 0,5 µg/ml. Selanjutnya dipasang collar brace.B (breathing): Pernafasan adekuat vesicular, ronchi dan wheezing negatif pada kedua lapangan paru, laju nafas 10 kali/menit dengan bagging. C (circulation): tekanan darah 97–112/73–82, Nadi 72–85 kali/mnt dengan saturasi 96–98%, dilakukan pemasangan infus NaCl 0,9% 65cc/jam. D (Disability): merespon dengan nyeri

Page 36: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

105

E (Exposure dan Environment): pasien dilakukan pemeriksan pada seluruh tubuh, ada beberepa jejas di tungkai atas dan bawah, tetapi tidak ada yang bermakna, kemudian pasien diselimuti kembali, suhu 37 derajat celcius. Pada secondary survey didapatkan, berat badan: ± 70 kg; Tinggi badan 170 cm; IMT 23.87 kg/m2; temperature axilla 37,3 oC.Sistem saraf pusat: GCS E1VxM1 on sedasi, pupil bulat isokor 2mm/2mm, reflex cahaya +/+Respirasi: on portable ventilator mode CMV, TV 500 ml, RR 10 X/menit, tidak ada rhonki dan wheezing, saturasi oksigen perifer 99% Kardiovaskuler: tekanan darah 110/70 mmHg; nadi 72 kali permenit, Bunyi jantung 1 dan 2 tunggal, reguler, tidak ada murmurAbdomen: Tidak ada distensi, bising usus normal.Urogenital: terpasang kateter urine dengan

Gambar 1. MSCT menunjukan adanya SDH dan Midline Shift

residual urine 200 cc, warna kuning jernih.Muskuloskeletal: gigi geligi utuh, akral hangat, tidak ada fraktur pada tungkai atas maupun bawah.

Pemeriksaan Penunjang Darah lengkap: dalam batas normal (dbn), Kimia Klinik: SGOT/SGPT, BUN/SC: dbn, Na & K: dbn, BSA 194 mg/dL, AGD: pH 7.27; pCO2 42,8 mmHg; PO2 264.80 mmol/L; HCO3- 19,40 mmol.L; TCO2 20,70 mmol; SaO2 99.5 %; Beecf -7.4 mmol/L (-2-2); Na 143 mmol/L (136-145); Cl 92 mmol/L (96-108); K 3.19 mmol/L (3.50-5.10). MSCT scan: Subdural Hematome lobustemporoparietal kanan yang menyempitkan Sisterna ventrikel lateralis kanan dan deviasi midline sejauh 0,54 cm ke kiri. Foto Thorax AP: cor dan pulmo tak tampak kelainan, tak tampak fraktur dan dislokasi, Foto Pelvis AP : Tak tampak fraktur maupun dislokasi pada tulang-tulang pelvis, Foto cervical AP/Lateral: Paracervikal muscle spasm. Selanjutnya oleh sejawat bedah saraf, pasien diputuskan untuk dilakukan kraniektomi evakuasi klot dan dekompresi di ruang operasi dengan persiapan pra operasi: informed consent, surat izin operasi, puasa, STATICS, obat anestesi dan emergensi, infus warmer, blood warmer, komponen darah, IV line bore besar, paska operasi ICU+ Ventilator. Pasien saat masuk ke ruang OK IGD sudah terintubasi dari Triage bedah, pipa endotrakeal langsung dihubungkan

Gambar 2. Grafik Hemodinamik selama 18 jam Perawatan di ICU

Penanganan Cedera Kepala Berat disertai Intoksikasi Alkohol Akut dengan Panduan Transcranial Doppler Pascaoperasi

Page 37: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

106 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

ke mesin anastesi dengan volume kontrol, VT 560 ml, RR 12 x/menit, dengan FGF 2 L/menit, FiO2 50%. Pemeliharaan dengan sevoflurane 0,4 vol%; Propofol TCI model schnider dengan target effect 2–3 µg/ml; fentanyl total 250 µg; rocuronium intermittent 0,1 mg/kgBB tiap 30 menit. Paracetamol 1 gr iv, As Tranexamat 1 gr dan manitol 0,75 gr/kgbb. Durante operasi. Fluktuasi tekanan darah 101–124/58-67 mmHg; HR 62–80 kali/menit, SpO2 98–100%, cairan kristaloid 1500 mL, koloid 500 mL, perdarahan ± 600 ml, urin 600 ml. Lama operasi 2 jam 15 menit. Hasil operasi: Dilakukan trepanasi pada daerah regio Fronto temporo parietal dextra perdarahan dan dilakukan evakuasi klot, kemudian dilakukan kraniectomi dan di evaluasi otak edema. Dilakukan buka dura, evaluasi SDH

Gambar 3. Hasil Pemeriksaan TCD Pasien setelah 12 jam dirawat di ICU

dan rawat aktif perdarahan dengan surgical dan spongestan. Pasca operatif pasien dirawat di ICU diposisikan head up 300, dihubungkan dengan ventilator mode PC BIPAP dengan Pinsp 11, PEEP 5, RR 12 x/mnt, FiO2 40% didapatkan volume tidal 540-580 ml, dengan saturasi O2 99–100%. Pemeliharaan cairan diberikan balance solution 2100 ml dalam 24 jam. Pasien disedasi dengan TCI propofol target effect 1 µg/ml, analgetik diberikan fentanyl 10 µg/jam dengan omeprazol 40 mg, cetriaxone 2 gram tiap 24 jam dan citicolin dan phenitoin 100 mg tiap 8 jam. AGD 2 jam pasca pemasangan ventilator adalah: PH 7,41; pO2 189 mmHg ; pCO2 43,6 mmHg; HCO3- 26,90 mmol/L; BE 2,2 mmol/L; SO2c 98,4 %. Hemodinamik selama 18 jam pascaoperasi di ICU sesuai dengan grafik di gambar 2. Setelah dirawat selama 12 jam di ICU, pernapasan pasien mulai pulih kemudian mode ventilator dirubah menjadi CPAP dengan PEEP 5 dan FiO2 40% tekanan darah saat itu 124/87 mmHg dengan nadi 69x/menit. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan dengan TCD melalui temporal accoustic window kiri didapatkan hasil PS (peak sistolik) 139.28 cm/mnt, ED (end diastolik) 50,96 cm/menit dengan PI 1,12. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan doppler pada carotis interna kiri didapatkan PS 99,02 cm/menit, ED 44,65 cm/menit. Berdasarkan hasil tersebut maka sedasi TCI propofol dihentikan, 2 jam setelah sedasi dihentikan pasien membuka mata, selanjutnya dipasang T-pies selama 1 jam dan dilakukan extubasi dengan GCS 15. Dua

Gambar 4. Pasien Paska Extubasi di ICU

Page 38: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

107

jam paska extubasi dilakukan pemeriksaan AGD dengan hasil: PH 7,41; pO2 150,20 mmHg ; pCO2 38,6 mmHg; HCO3- 23,40 mmol/L; BE 0,7 mmol/L; SO2c 98,8 %. Pasien dipindahkan ke ruang rawat biasa setelah diobservasi selama 24 jam paska extubasi. III. Pembahasan

Sampai saat ini penilaian GCS masih tetap digunakan untuk menilai keparahan dari cedera kepala. Dimana cedera kepala diklasifikasikan menjadi tiga group yaitu cedera kepala ringan dengan GCS 14–15, cedera kepala sedang dengan GCS 9–13, dan cedera kepala berat dengan GCS 3-8, dimana masing-masing group memerlukan tindakan dan keputusan medis yang berbeda. Seperti yang sudah disebutkan dipendahuluan hampir 50% kecelakaan lalu lintas disertai dengan intoksikasi alkohol yang memiliki efek penekanan susunan saraf pusat yang selanjutnya mempengaruhi penilaian GCS tersebut5 sehingga ada kemungkinan terjadinya overtreatment ataupun undertreatment. Seseorang dikatakan mengalami intoksikasi alkohol akut yang extreme jika kadar alkohol didalam darahnya lebih dari 300 mg/100 ml, dan biasanya diikuti dengan gejala penurunan kesadaran sampai koma, reflex tendon yang menurun, hipotensi, hipotermia, dan penafasan yang melambat.6 Gejala yang ditimbulkan oleh intoksikasi alkohol sangat tergantung dari kadar alkohol didalam darah, oleh karena itu setiap negara memiliki kadar batas minimal alkohol didalam darah untuk mengemudikan kendaraan, sebagai contoh di kanada batasannya 50–80 mg/100 ml. Di Indonesia menurut Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 106 UU ayat (1) menyebutkan: Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi. Selanjutnya penjelasan pasal dan ayat ini menyebutkan: Yang dimaksud dengan ”penuh konsentrasi” adalah setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan penuh perhatian dan tidak terganggu perhatiannya karena sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon atau menonton televisi atau video yang terpasang di Kendaraan,

atau meminum minuman yang mengandung alkohol atau obat-obatan sehingga memengaruhi kemampuan dalam mengemudikan Kendaraan. Oleh karena itu batas bawah atau minimal dari kadar alkohol di Indonesia untuk mengemudi adalah 0 mg/100 ml. Pasien ini secara undang-undang sudah jelas melanggar aturan lalu lintas, karena walaupun masih bisa mengendarai sepeda motor, tetapi konsentrasinya pasti sudah terganggu karena adanya pengaruh alkohol.

Alkohol pada tingkat neurotransmiter bekerja pada banyak tempat di susunan saraf pusat yang melibatkan sistem excitatory dan inhibitory. Neurotransminer dan proses yang dipengaruhi diantaranya adalah Dopamine, Noradrenaline, Endogenous opioids, GABA, glutamate, L-type calcium channels, seretonin dan yang lainnya.6,7

Alkohol dapat mempotensiasikan aktivitas dari GABA melalui reseptor subunit GABA tertentu yang selanjutnya menyebabkan munculnya efek ansiolitik, amnesia, sedasi, kehilangan kesadaran yang tentunya mengganggu konsentrasi sesorang dalam mengemudikan kendaraan. Selanjutnya alkohol juga memblok reseptor exitatory NMDA, sehingga bekerja secara berlawanan dengan glutamate. Hal ini memberikan efek amnesia, penurunan perhatian dan kesadaran yang juga dapat mengganggu proses mengemudi.6, 7 Selain itu alkohol juga menghambat pembukaan dari L-type calcium channels pada cerebellum yang selanjutnya menyebabkan efek motor incoordination seperti unsteady gait, penurunan konsentrasi dan gangguan regulasi tidur-bangun.7 Efek penurunan GCS akibat alkohol disebabkan juga oleh kerja alkohol pada neurotransmiter-neurotrasmiter diatas. Namun demikian pada penelitian deskriptif yang dilakukan pada 108,929 kasus kecelakaan yang melibatkan alkohol dengan kadar alkohol rata-rata 165 mg/dl dari tahun 1994–2003. Didapatkan bahwa intoksikasi alkohol tidak menurunkan GCS secara signifikan pada pasien cedera kepala dengan usia muda. Disebutkan pada penelitian tersebut bahwa setelah distratifikasikan berdasarkan keparahan dari cedera kepalanya maka penurunan GCS yang diakibatkan oleh intoksikasi alkohol hanya sedikit lebih dari 1 point. Oleh karena itu disarankan untuk tidak memperhitungkan

Penanganan Cedera Kepala Berat disertai Intoksikasi Alkohol Akut dengan Panduan Transcranial Doppler Pascaoperasi

Page 39: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

108 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

kadar alkohol didalam darah dalam mengambil keputusan untuk melakukan tindakan diagnostik maupun terapiutik seperti misalnya CT-scan ataupun ICP-monitoring.5

Pada Kasus ini keputusan medis yang diambil tidaklah mempertimbangkan kadar alkohol pasien didalam darah, penanganan medis yang dilakukan pada pasien ini seusai dengan guideline untuk cedera kepala berat, karena GCS pasien saat masuk adalah 7 sehingga diklasifikasikan sebagai cedera kepala berat. Namun demikian karena karena keterbatasan sarana maka tidak dilakukan pemasangan ICP monitoring. Pada pasien ini, juga diputuskan untuk dilakukan decompressive craniectomy (DC). DC termasuk dalam second tier therapies untuk penanganan peningkatan TIK pada guideline untuk cedera kepala berat (CKB). Pada pasien ini diputuskan untuk dilakukan DC karena pada pasien ini tidak dipasang monitoring ICP dan intraoperatif juga didapatkan otak pasien tegang dan edema. Selain itu menurut Brain Trauma Foundation, juga menyebutkan bahwa DC juga dapat menurunkan ICP dan meminimalkan perawatan di ICU.

Dua belas jam setelah dirawat di ICU pernapasan pasien mulai membaik sehingga mode ventilator dirubah menjadi CPAP, namun demikian saat itu pasien masih dibawah sedasi TCI propofol dengan target effect 1 µg/ml. Sebelum memutuskan untuk menghentikan sedasinya maka dilakukan pemeriksaan TCD. TCD pertama kali digunakan pada tahun 1982 oleh Aaslid dkk sebagai teknik non invasif untuk memonitoring velocity aliran darah di basal cerebral arteri.8 TCD pada awalnya sering digunakan untuk mendiagnosa dan memonitoring vasospasme pada pasien dengan SAH. Dengan berjalannya waktu mulai ada banyak parameter-parameter tambahan yang didapatkan dari pemeriksaan TCD. Pada cedera kepala parameter-parameter yang dapat dinilai dengan TCD diantaranya aliran darah ke otak dengan menilai mFV nya; kemungkinan adanya hiperemia atau vasospasme dengan membandingkan mFV Middle Cerebral Arterie (MCA) dan internal carotid arterie (ICA); tekanan intrakranial yang dapat dinilai dari rumus yang melibatkan nilai PI, terutama pada

rumah sakit-rumah sakit yang tidak memasang monitoring tekanan intrakranial dengan alasan apapun; noninvasif cerebral perfusion pressure (nCPP) menggunakan rumus yang melibatkan tekanan darah rata-rata, ED, dan mFV . Selain itu dengan TCD juga dapat dilakukan pemeriksaan untuk menilai keutuhan autoregulasi dari pembuluh darah otak.

Pada pasien ini, dari pemeriksaan TCD yang dilakukan pada temporal accoustic window kiri pada MCA didapatkan PS 139,28 cm/menit, ED 50,96 cm/mnt dengan PI 1,12. Dari data diatas maka mFV dapat dihitung dengan rumus mFV = (PS + (2xED))/3 maka didapatkan mFV adalah 80,4 cm/menit. Nilai normal untuk mFV pada MCA adalah 55±12 cm/menit.9 mFV pada pasien ini sedikit lebih besar dari pada normal, namun tidak mengarah ke vasospasme karena nilainya masih kurang dari 120 cm/menit. Selain itu jika nilai mFV ini dibandingkan dengan nilai mFV yang didapatkan dari pemeriksaan doppler pada extracranial ICA yaitu 62,77 cm/mnt, maka Lindegaard ratio nya (mFV MCA/ mFV extracranial ICA) adalah 1,2; yang mana untuk vasospasme LR nya bisanya > 3. Jadi peningkatan dari mFV pada pasien ini kemungkinan diakibatkan karena pasien berada pada fase ke 2 dari cedera kepala yaitu fase hiperemia (1–2 hari setelah kejadian). Dari PI juga dapat dilihat perkiraan tekanan intrakranial pasien, dengan rumus9, 10

(11,1 x PI) -1,43 maka didapatkan estimasi TIK pasien ini adalah 11,00±4,2 mmHg. Selanjutnya pada saat dilakukan pemeriksaan didapatkan tekanan darah rata-rata 99 mmHg, oleh karena itu untuk mendapatkan estimasi CPP nya maka dimasukan ke dalam rumus eCPP = (meanABP X (ED/mFV)) + 14 mmHg9; di dapatkan hasil 76,30 mmHg. Berdasarkan parameter-parameter diatas, pasien diputuskan untuk coba dibangunkan dan selanjutnya diextubasi dengan GCS 15.

Suatu hal yang menarik dari kasus ini adalah perbaikan yang cukup cepat pada pasien ini. Pasien masuk rumah sakit dengan GCS 7 dan didiagnosa dengan cedera kepala berat dan pasien diextubasi dengan GCS 15 kurang lebih hanya 18 jam setelah masuk ICU. Ada beberapa kemungkinan yang melatarbelakangi hal ini;

Page 40: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

109

kemungkinan besar pasien ini memang benar bukan seorang alkoholik, sehingga kemungkinan pada saat pertama kali masuk rumah sakit, pengaruh intoksikasi alkohol akut pada kesadaran pasien sangatlah besar, sehingga penilaian GCS yang dilakukan kurang akurat. Karena alkohol bekerja pada reseptor GABA yang menyebabkan penurunan kesadaran. Hal ini didukung oleh pemeriksaan CT-scannya dimana, walaupun didapatkan peningkatan tekanaan intrakranial, tetapi SDHnya ukurannya tidaklah terlalu besar. Selanjutnya seperti yang telah disebutkan diatas, salah satu kerja dari ethanol adalah dengan memblok reseptor NMDA, sehingga dapat mengurangi terjadinya exocitasi glutamat, dan menguntungkan bagi pasien ini.

IV. Simpulan

Penanganan pasien dengan cedera kepala berat yang disertai dengan intoksikasi alkohol, sebaiknya tetap disesuikan dengan GCS masuknya, namun demikian pemantuaun lebih ketat sebaiknya dilakukan di ruang intensif, karena jika ternyata GCS tersebut dipengaruhi secara bermakna oleh alkohol, maka kemungkinan pasien akan mengalami perbaikan yang jauh lebih cepat dari biasanya. TCD dapat digunakan sebagai alat noninvasif untuk mengevaluasi aliran darah ke otak, tekanan intrakranial dan tekanan perfusi serebri.

Daftar Pustaka

1. Cunningham RM, Maio RF, Hill EM, Zink BJ. The effects of alcohol on head injury in the motor vehicle crash victim. Alcohol and alcoholism. 2002;37(3):236–40.

2. Scheenen ME, de Koning ME, van der Horn HJ, Roks G, Yilmaz T, van der Naalt J, dkk. Acute alcohol intoxication in patients with mild traumatic brain injury: characteristics,

recovery, and outcome. Journal of neurotrauma. 2016;33(4):339–45.

3. Matta B, Czosnyka M. Transcranial doppler ultrasonography in anesthesia and neurosurgery. Dalam: Cottrell JE, Patel P, penyunting. Neuroanesthesia. edisi 6. United States of America: Elsevier. 2017; 131–42.

4. Bouzat P, Oddo M, Payen J-F. Transcranial doppler after traumatic brain injury: is there a role? Current opinion in critical care. 2014;20(2):153-60.

5. Stuke L, Diaz-Arrastia R, Gentilello LM, Shafi S. Effect of alcohol on Glasgow Coma Scale in head-injured patients. Annals of surgery. 2007;245(4):651.

6. McIntosh C, Chick J. Alcohol and the nervous system. Journal of Neurology, Neurosurgery & Psychiatry. 2004;75(suppl 3):iii16-iii21.

7. Costardi JVV, Nampo RAT, Silva GL, Ribeiro MAF, Stella HJ, Stella MB, dkk. A review on alcohol: from the central action mechanism to chemical dependency. Revista da Associação Médica Brasileira. 2015;61(4):381–7.

8. Moppett I, Mahajan R. Transcranial Doppler ultrasonography in anaesthesia and intensive care. Br. J. Anaesth. 2004;93(5):710–24.

9. Naqvi J, Yap KH, Ahmad G, Ghosh J. Transcranial doppler ultrasound: a review of the physical principles and major applications in critical care. International journal of vascular medicine. 2013;2013.

10. Bellner J, Romner B, Reinstrup P, Kristiansson K-A, Ryding E, Brandt L. Transcranial doppler sonography pulsatility index (PI) reflects intracranial pressure (ICP). Surgical neurology. 2004;62(1):45–51.

Penanganan Cedera Kepala Berat disertai Intoksikasi Alkohol Akut dengan Panduan Transcranial Doppler Pascaoperasi

Page 41: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

110

Ventilasi Mekanik yang Memanjang pada Pasien Cedera Otak Traumatik Berat dengan Kejang Pascatrauma

Sinta Irina*), Bambang J. Oetoro**), Syafruddin Gaus***)

*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H. Adam Malik Medan, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Khatolik Atmajaya-Rumah Sakit Mayapada-Tangerang, ***)Departemen Anestesiologi,Terapi Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin-Makassar

Abstrak

Cedera otak traumatik (COT) masih menjadi masalah di dunia dan merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak dan orang dewasa. Cedera otak primer dapat mengakibatkan cedera otak sekunder yang akan mempengaruhi hasil luaran. Komplikasi dari COT berat dapat berupa kejang, demam, infeksi paru sebagai cedera sekunder yang akan memperburuk luaran. Seorang laki-laki, 24 tahun, BB 50 kg dirujuk dari RSUD dengan penurunan kesadaran GCS E1M2V1, hasil CT scan kepala memperlihatkan adanya perdarahan intraserebral di frontal kanan/kiri dan parietal kanan, perdarahan subdural, perdarahan subarachnoid dan edema otak. Pasien segera diintubasi di UGD dan direncanakan dekompresi kraniektomi untuk evakuasi perdarahan. Pada perawatan hari ke 2, pasien sering mengalami kejang dengan durasi yang lama, sehingga penggunaan ventilasi mekanik memanjang dan pasien tidak dapat disapih dari ventilator. Salah satu komplikasi pemakaian ventilator >48-72 jam adalah ventilator associated pneumonia (VAP). Diberikan terapi antibiotik sesuai kultur dan penanganan bagi pemulihan paru. Dilakukan tindakan trakeostomi dan pasien dapat disapih dari ventilator pada hari ke-15.

Kata kunci: cedera otak traumatik, VAP cedera otak traumatik, ventilasi mekanik memanjang, VAP

JNI 2018;7 (1): 110–16

Prolonged of Mechanical Ventilation in Patients with Severe Traumatic Head Injury with Post Traumatic Seizures

Abstract

Traumatic head injury is still a worldwide problem and it's one of the leading causes of death and disability in children and adults. Secondary head injury is a result of primary head injury, which affect the outcome. Complications of severe head injury are seizure, fever, lung infection which ussually makes worst the outcome. In this case report: a man, 24 years old, 50 kgbb in weight was referred from the RSUD with decreased conciousness with score GCS E1M2V1, head CT-scan showed intracerebral hemorrhage on the right and left frontal lobes and right parietal lobe , subdural, subarachnoid hemorrhage and cerebral edema. Patients was immediately intubated in the ER and planned craniectomy decompression for bleeding evacuation. Second day in the ICU, the patient had frequent and long duration of seizures which postponed the weaning from mechanical ventilation. Using mechanical ventilation more than 48-72 hours could developed ventilator associated pneumonia (VAP). Antibiotics given based from the culture results and the lung being treatment. Weaning from ventilator on 15th day achived after tracheostomy procedure

Key words: severe traumatic head injury, prolonge mechanical ventilation, VAP

JNI 2018;7 (1): 110–16

Page 42: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

111

I. Pendahuluan

Cedera kepala masih menjadi masalah utama di dunia dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi.1 Cedera sekunder pasca cedera kepala berat dapat mempengaruhi tekanan perfusi otak. Di mana diketahui bahwa CPP = MAP- ICP. Maka bila cedera sekunder bertambah maka ICP akan meningkat dan CPP akan menurun.2

Kejang dapat terjadi pasca cedera kepala dan pada pasien yang mengalami kejang seringkali memperlambat penyapihan dari penggunaan ventilasi mekanik. Salah satu komplikasi dari pemasangan ventilasi mekanik lebih dari 48 jam adalah terjadinya Ventilator Associated Pneumonia (VAP). Infeksi ini merupakan komplikasi paling serius di rumah sakit, angka kejadiannya hanya di bawah infeksi saluran kencing terutama di Neurointensive Care. Diagnosa VAP ditegakkan berdasarkan klinis, pemeriksaan foto thoraks, adanya leukositosis dan sekreta trakeobronkial yang purulen.3

II. Laporan Kasus

AnamnesisSeorang laki-laki umur 24 tahun, berat badan 50 kg, dirujuk dari RSUD dengan penurunan kesadaran akibat kecelakaan lalu lintas beberapa jam sebelum masuk rumah sakit. Mekanisme trauma tidak diketahui. Pasien dibawa dengan ambulan didampingi paramedis dan menggunakan O2 masker 5 liter/menit dimana lama perjalanan sekitar 3 jam. Telah terpasang nasogastic tube (NGT) dan kateter urine. Hemodinamik dilaporkan dalam keadaan stabil.

Pemeriksaan FisikJalan nafas potensial obstruksi, terpasang guedel (oropharyngeal airway). Pasien dengan pernafasan 24x/menit dengan suara nafas normal pada paru kanan dan kiri dan tidak ada ditemui tanda-tanda hematopneumothorax. Tekanan darah 130/80 mmHg dengan nadi 95x/menit, perfusi akral hangat, kering dan merah. Pada pemeriksaan neurologis didapatkan GCS E1M3V1 pupil anisokor 2/3 dengan reflek cahaya positip normal. Tidak ditemukan adanya racoon eyes, battle sign atau pun fraktur basis cranii lainnya.

Penatalaksanaan di Unit Gawat Darurat (UGD)Setibanya di UGD, langsung dilakukan tindakan intubasi dengan pipa endotrakeal no 7,5 menggunakan teknik inline position karena adanya kecurigaan cedera servikal dan penekanan krikoid untuk pencegahan aspirasi. Obat diberikan secara titrasi dengan mengawasi parameter hemodinamik secara ketat, dan berurutan fentanyl 100 mcg iv, propofol 80 mg iv, rocuronium 50 mg iv, lidokain 60 mg iv dan tambahan propofol 20 mg iv sebelum dilakukan intubasi. Selama periode induksi dan intubasi tekanan darah berkisar 90–130/60–90 mmHg, laju nadi 65–80x/menit. Dilanjutkan dengan propofol kontinyu 30 mg/jam dan rocuronium 20 mg/jam untuk rumatan, paracetamol 1 gram drip, ranitidin 40 mg iv dan mannitol 150 ml. Pasca intubasi keadaan hemodinamik pasien stabil dan pasien dibawa ke ruangan radiologi untuk pemeriksaan CT scan kepala dan penunjang lainnya. Selama di IGD dilakukan kontrol ventilasi secara manual dan monitoring tanda vital. Posisi kepala pasien lebih tinggi 30o tanpa bendungan vena di leher. Pemberian cairan NaCl 0,9% diberikan ekstra 500 ml di ruang UGD untuk mencukupi volumenya dan rumatan 2 ml/kg/jam.

Pemeriksaan PenunjangHasil pemeriksaan CT-scan kepaka memperlihatkan adanya ICH pada regio frontal kanan dan kiri, ICH di regio parietal kanan, SDH, SAH disertai edema otak dan gambaran hernia subfalcin ke arah kiri. Pemeriksaan laboratorium

Gambar 1. Scan Kepala Pre op

Ventilasi Mekanik yang Memanjang pada Pasien Cedera Otak Traumatik Berat dengan Kejang Pascatrauma

Page 43: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

112 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

tekanan darah, denyut jantung, EKG, SpO2. Pemeliharaan anestesi digunakan sevoflurane 1–1,5% – O2 – udara, propofol kontinyu 4–6 mg/kg/jam, rocuronium 20 mg/jam, fentanyl 1–2 mcg/kg/jam. Operasi berlangsung 2,5 jam, perdarahan ±1700 ml, produksi urine 200 ml selama 2,5 jam. Cairan rumatan Ringer solution 1500 ml, HES 500 ml, PRC 500 ml. Hemodinamik selama operasi relatif stabil, tekanan darah sistolik berkisar antara 100–130 mmHg, diastolik 70 – 90 x/menit dengan mean arterial pressure (MAP) rerata 75–95 mmHg, laju nadi 60–70x/menit, Saturasi Oksigen 98–99%. Perawatan PascabedahPascabedah pasien tidak diekstubasi dan pernafasan dikontrol dengan ventilasi mekanik, dengan TV 400 ml frekuensi nafas 14x/menit PEEP 5 FiO2 50%. Dilakukan pemeriksaan analisa gas darah setelah 1 jam pemasangan ventilasi mekanik didapatkan hasil pH 7,40 pCO2 38 pO2 150 total CO2 24,5 BE -1,0, saturasi O2 99%. Setelah efek relaksan habis dan pasien mulai bernapas spontan, modus ventilator diubah menjadi SIMV RR 12x/menit TV 400 ml PEEP 5 FiO2 0%. Pasien disedasi analgesi dengan dexmedetomidine 1-2 ml/jam. Analgetik paracetamol 1 gram/8 jam, ranitidin 2 x 50 mg, ceftriaxone 1 gram/12 jam. Cairan rumatan diberikan Ringerfundin 2000 ml/24 jam, mannitol 125 ml / 4 jam, phenytoin 1 amp/8jam. Hasil laboratorium pasca operasi Hb 8,8 gr/dL,

Gambar 2. Foto Thoraks Pre op

didapatkan Hb 11,9 g/dL, leukosit 23.07 ribu/uL, hematokrit 35,8%, 235 ribu/uL, trombosit 250 ribu/mm3, PT 10,5 detik INR 0,89, aPTT 28,5 detik, SGOT 76 U/L, SGPT 65 U/L, ureum 30 mg/dL, kreatinin 0,7 mg/dL, gds 120 mg/dL, Natrium 138 mmol/L, Kalium 3,9 mmol/L, klorida 98 mmol/L. Pasien segera disiapkan untuk operasi dekompresi kraniotomi dan evakuasi perdarahan.

Pengelolaan AnestesiPasien dilakukan tindakan evakuasi perdarahan intraserebral dan dekompresi kraniektomi. Pasien dipindahkan ke meja operasi dalam keadaan tersedasi dan terintubasi. Posisi kepala head up 15–300. Dipasang alat-alat monitor non invasif

Gambar 3. Hemodinamik selama Pembedahan Gambar 4. MAP selama Pembedahan

Page 44: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

113

leukosit 19.900/mm3, trombosit 258.000/mm3, hematokrit 26.8%, gula darah sewaktu 110 mg/dL.

Perawatan pada hari pertamaPasien masih dalam support ventilasi dengan alat bantu nafas mekanik modus SIMV RR 12x/menit, PEEP 5 FiO2 40% didapatkan SpO2 98–99%. Hemodinamik stabil dengan MAP rerata 80-100 mm Hg, laju nadi 60–65x/menit. Proses penyapihan dari ventilasi mekanik sudah mulai dilakukan. Kesadaran pasien masih belum ada perbaikan.

Perawatan hari kedua Pasien mengalami kejang, dan takikardi dengan laju nadi 120–140x/menit. Diberikan terapi diazepam bila kejang dan sedasi dinaikkan dosisnya. Obat sedasi analgesi diberikan fentanyl 0,2 mikro/kg/jam dan midazolam 0,01 mg/kgBB/jam. Kejang terjadi beberapa kali dalam sehari. Kejang bersifat seluruh tubuh. Oleh karena sering terjadi kejang maka pasien diberi relaksan rocuronium 20 mg/jam dan pernapasan kembali dikontrol. Pasien dibawa untuk pemeriksaan ulang CT scan kepala dan pemeriksaan AGD ulang. Didapatkan hasil pH 7,39 pCO2 36,0 pO2155 total CO2 23,6 BE -1,5 saturasi oksigen 99% dan dilakukan cek ulang elektrolit. Hasil Na 140 mmol/L K 3,6 mmol/L Cl 100 mmol/L.

Perawatan Hari ketigaPasien mulai demam temperatur 38–40oC

Gambar 5. Head Scan Kontrol

walaupun rutin diberikan obat penurun panas paracetamol 1 gr/8jam. Dosis paracetamol dinaikkan menjadi 1 gr/6jam, dan pasien diberikan cool blanket. Hemodinamik dalam keadaan stabil. Kesadaran masih belum ada perbaikan. GCS E3M2Vtube, kejang masih tetap ada. Antibiotik diganti menjadi Meropenem 1 gr/8jam. Diambil kultur darah dan sputum

Gambar 6. Foto Thorax hari ke-4

Perawatan hari keempat sd ketujuhPasien mulai dilakukan penyapihan ventilasi mekanik. Kesadaran pasien meningkat, mulai buka mata namun belum ada kontak. Kejang masih ada terus, demam temperatur berkisar 37–39oC. Dari hasil kultur sputum didapatkan Staphylococcus aureus dan antibiotik meropenem masih tetap sensitif dengan kultur kumannya. Selama perawatan ICU tetap diberikan dukungan nutrisi yang adekuat 1500 kkal + 60 gr protein. Balans cairan diawasi ketat. Dilakukan cek laboratorium ulang semua dalam batas normal.

Perawatan minggu ke-2.Pasien masih dalam bantuan ventilasi mekanik dengan SIMV rate 12x/menit PEEP 5 FiO2 40%. Keadaan hemodinamik stabil. Kesadaran belum ada perbaikan dengan GCS E3M2Vtube. Kejang juga tetap masih ada tetapi frekuensi dan durasinya berkurang. Dari hasil pengamatan keadaan pasien dan diskusi dengan tim yang merawat maka diputuskan untuk dilakukan trakeostomi. Dan hari ke-10 pasien dilakukan trakeostomi. Dan

Ventilasi Mekanik yang Memanjang pada Pasien Cedera Otak Traumatik Berat dengan Kejang Pascatrauma

Page 45: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

114 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

juga dilakukan bronkoskopi untuk endobronkial toilet. Fisioterapi napas juga tetap dilakukan. Suhu tubuh pasien mulai berangsur turun pada hari ke-10 dengan sejalan menurunnya suhu tubuh maka frekuensi dan lamanya kejang juga berkurang. Pasien lepas dari ventilator hari ke-15 namun tetap dengan O2 dan masih dalam perawatan ICU karena masih terjadi kejang. Pada hari ke-25 pasien dilakukan pemeriksaan EEG oleh neurologist. Kesadaran pasien GCS E4M3Vt

III. Pembahasan

Patofisiologi trauma kepala melibatkan cedera primer dan sekunder. Beratnya cedera primer akan menentukan luaran pasien dimana adanya cedera primer akan mengawali terjadinya proses inflamasi, terbentuknya edema dan eksotoksisitas yang akan meningkatkan TIK dan menurunkan ADO.1 Pada kasus ini, pasien mengalami trauma kepala yang tidak diketahui pasti waktu kejadiannya dan dibawa ke RSUD setempat serta dirujuk ke RS kota dengan waktu perjalanan 4 jam dengan peralatan minimal. Selama 4 jam tersebut dapat terjadi kenaikan TIK akibat hipotensi, hipoksemia, hipokapnia, hiperkapnia, hipertensi yang akan memperberat hasil luaran. Setelah sampai di UGD segera dilakukan intubasi untuk proteksi jalan napas agar jalan napas tetap bebas dan mencegah aspirasi paru, diberikan oksigenasi dan kontrol ventilasi untuk mencegah hipoksia dan hiperkapnea, menjaga status hemodinamik tetap stabil dengan menghindari hipertensi berlebih dan hipotensi yang membahayakan, posisi kepala netral dan head up untuk memastikan aliran darah balik serebral tidak mengalami gangguan, diberikan obat sedasi dan analgesi serta relaksan untuk memfasilitasi penggunaan ventilasi mekanik dan pemberian mannitol dosis 0,5 gr/kgBB diberikan sebagai usaha untuk mengendalikan tekanan intrakranial.1-2,5,7,8

Penatalaksanaan cedera kepala pada saat ini menitikberatkan pada pencegahan dan pengelolaan cedera sekunder. Hal ini dimulai pada awal resusitasi dan stabilisasi, baik pra rumah sakit, unit gawat darurat, proses pemindahan pasien sampai pada evakuasi pembedahan dengan menjaga TIK, menjaga ADO, dan

monitoring tanda vital. Minimnya peralatan yang tersedia selama proses transportasi membuat penanganan awal pasien ini tidak maksimal. 1,2,5 Salah satu komplikasi dari trauma kepala adalah kejang. Walaupun hampir kebanyakan penderita trauma kepala tidak pernah mengalami kejang.6 Kebanyakan kejang terjadi pada hari pertama hingga beberapa hari pasca cedera kepala. Namun ada yang mengami kejang berbulan-bulan hingga bertahun-tahun pasca terjadinya trauma kepala. Sebanyak 70–80% penderita yang mengalami kejang dibantu dengan obat-obatan. Fenitoin adalah obat yang diberikan untuk pencegahan dan pengobatan kejang. Kejang setelah cedera kepala trauma dapat diklasifikasikan sebagai yang terjadi pada awal 7 hari atau lambat terjadi yaitu setelah 7 hari.6 Pada kasus ini penderita mengalami kejang pada 2 hari pascabedah. Telah diberikan fenitoin sebelum dan setelah pembedahan. Tidak ada data apakah pasien ini ada riwayat kejang di tempat kejadian sebelum dirujuk ke RS kota.

Kejang pascatrauma kepala dapat muncul secara cepat (early) dan lambat (late). Kejang yang cepat muncul pada minggu pertama dan kejang yang munculnya lambat timbul lebih dari 7 hari pascatrauma kepala. Hampir 80% penderita menderita kejang yang timbul setelah lebih dari seminggu.6,11 Pada pasien ini kejang timbul dalam minggu pertama yaitu mulai pada hari kedua pascabedah, dan semakin bertambah frekuensi dan lamanya kejang dengan adanya demam akibat infeksi paru yang didapat. Dengan adanya demam maka kebutuhan konsumsi oksigen otak (CMRO2) semakin meningkat dimana tekanan intrakranial juga akan meningkat sehingga terjadi kejang yang lebih sering dan lebih lama. Adanya kejang dan demam akan memperpanjang penggunaan ventilasi mekanik. Ada beberapa faktor resiko terjadinya kejang pascatrauma kepala yaitu adanya hematoma intraserebral akut, hematoma subdural akut, umur yang muda, beratnya cedera, pengguna alkohol yang lama. Pada pasien ini ada beberapa faktor resiko yang didapat yaitu adanya perdarahan intraserebral, umur muda yaitu 24 tahun, dan mengalami trauma kepala berat dengan skor GCS 5.Kejang pascatrauma kepala dapat menjadi kompikasi serius. Kejang ini dapat menjadi

Page 46: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

115 Ventilasi Mekanik yang Memanjang pada Pasien Cedera Otak Traumatik Berat dengan Kejang Pascatrauma

penyebab kerusakan otak dengan meningkatkan kebutuhan metabolik, kenaikan TIK, hipoksia otak, dan lepasnya neurotransmitter. Penanganan kejang bisa dengan obat benzodiazepine yang merupakan pilihan obat pertama, kemudian fenitoin. Pemberian diberi fenitoin akan maksimum secara parenteral 50 mg/menit.6 Pada pasien ini pada awalnya diberikan sedasi dengan dexmedetomidine, namun setelah terjadi kejang obat sedasi analgesi diganti dengan fentanyl dan midazolam. Dan juga telah diberikan phenytoin dari sebelum perawatan di ICU untuk mencegah terjadi kejang.

Trauma kepala berat disertai kejang dengan frekuensi sering dan durasi lama maka penyapihan dari alat ventilasi mekanik pun tidak bisa berlangsung cepat. Pemakaian ventilasi mekanik lebih dari 48 jam akan mengakibatkan ventilator associated pneumonia (VAP). Setelah dicurigai terjadinya VAP maka segera dilakukan foto thoraks ulang, kultur sputum dan penggantian antibiotik sesuai dengan peta kuman pada ICU tersebut. Dan dilakukan perawatan paru dengan bronkoskopi untuk endobronkial toilet dan fisioterapi nafas. Ventilator associated pneumonia merupakan pneumonia yang terjadi setelah 48–72 jam dilakukan intubasi ditandai dengan adanya infiltrat secara progresif, tanda dan gejala klinis infeksi (demam, kenaikan leukosit), perubahan sputum. Ventilator associated pneumonia berkontribusi hampir 50% dari semua penyebab hospital acquired pneumonia. Angka VAP paling besar pada lima hari pertama. Dan resiko menurun 2% per hari pada 5–10 hari perawatan ventilasi mekanik dan 1% per hari setelahnya. Angka mortalitas pada VAP 33–50%, namun angka ini bervariasi sesuai dengan penyakit yang mendasarinya. Hampir 50% antibiotik yang diberikan di ICU digunakan untuk mengobati VAP.9,10,12 Pada pasien ini semua gejala klinis menunjukkan arah ke VAP. Adanya demam, sekret purulen, leukositosis dan terjadi pada hari ke-4 dan gambaran foto thoraks infiltrat. Trakeostomi dilakukan pada hari ke-10 mengingat kesadaran pasien tidak terlalu baik untuk melindungi jalan napas dan mempercepat proses penyapihan dari ventilator. Bronkoskopi sebagai endobronkial toilet dilakukan untuk mengeluarkan sumbatan sekret

jalan nafas dan memperbaiki proses oksigenasi.Kuman patogen penyebab VAP berdasarkan frekuensi serta kemungkinan terjadinya multi drug resistance (MDR) adalah: Pseudomonas (24,4%), S. Aureus (20,4%), Enterobacteriaceace (14,1%), Streptococcus species (12,1%), Haemophilus sp (9,8%). Pada kultur sputum pasien ini didapatkan Staphylococcus aureus,dan dilakukan penghitungan The Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) adalah 8. Namun dengan penggantian antibiotik meropenem 1 gram/8jam sesuai dengan kultur didapatkan hasil yang membaik.9 IV. Simpulan

Penanganan trauma kepala berat perlu dilakukan secara optimal sejak dari awal kejadian dan untuk mencegah terjadi cedera otak sekunder yang akan memperberat luaran. Kejang dan demam merupakan cedera sekunder yang mempengaruhi hasil luaran. Penanganan yang dilakukan pada kasus ini meliputi tatalaksana jalan nafas dan sistem respirasi, optimalisasi hemodinamik, pengendalian TIK dan tindakan lain yang diperlukan untuk menjaga perfusi dan oksigenasi serebral. Daftar Pustaka

1. Curry P, Viernes D, Sharma D. Perioperative management of traumatic brain injury. Int J Crit Illn Inj Sci. 2011.

2. D Judith. Traumatic brain injury an evidence-based review of management. Cont Educ in Anesth Crit Pain. 2013; 13: 6.

3. Koenig S, Truwit J. Ventilator-associated pneumonia: diagnosis, treatment, and prevention. Clinical Micro Rev.2006: 637–57

4. Minei P, Nathers B. Guidelines for prevention, diagnosis and treatment of ventilator associated pneumonia in the trauma patient. J Trauma. 2006; 60: 1106–13

5. Haddad S, Arabi YM. Critical care management of severe traumatic brain injury in adults. SJTREM. 2012; 20: 12.

Page 47: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

116 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

6. Gilmore R. Seizure. Dalam: Layon A, Gabrielli A, eds. Textbook of neurointensive care 2004: 733–43.

7. Gopinath SP, Robertson CS. Management of severe head injury, Dalam: Cotrell JE, Smith DS, eds Anesthesia and Neurosurgery, USA: Mosby Inc, 2001: 663–85.

8. Bendo A. Perioperative management of adult patients with severe head injury, Dalam: Cotrell JE, Young WL, eds Cotrell and Young’s Neuroanesthesia, USA: Mosby Inc, 2010: 317–28.

9. Kalanuria A, Zai W. Ventilator-associated pneumonia in the ICU. Biomed Central 2014: 2–7.

10. DA Zygun, DJ Zuege. Ventilator-associated pneumonia in severe traumatic brain injury, Neurocrit care 2006;5(2):108–14.

11. Englander J, Cifu D. Seizures after traumatic brain injury. Arch Phys Med Rehabil. 2014; 95(6): 1223–7.

12. Murthy TVSP, Bhatta P. Secondary brain injury: prevention and intensive care management, IJNT 2005; 2(1): 7–12.

Page 48: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

117

Trombosis Vena Otak

Kenanga M Sikumbang*), Zafrullah K Jasa**), Nazaruddin Umar***)

*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intesif Fakultas Universitas. Lambung Mangkurat - RSUD Ulin Banjarmasin, **)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Syiahkuala-Rumah Sakit Dr. Zainal Abidin Aceh, ***)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara-RSUP H. Adam Malik Medan

Abstrak

Trombosis vena otak (TVO) adalah trombosis pada vena otak dan sinus mayor duramater. Faktor resiko terjadinya TVO meliputi faktor genetik trombofilia dan penggunaan kontrasepsi hormonal. Manifestasi klinis TVO sangat bervariasi. Timbulnya gejala dan tanda bersifat akut, subakut, atau kronis. Empat sindrom utama yang muncul: hipertensi intrakranial terisolasi, kelainan neurologis fokal, kejang, dan ensefalopati. Sindrom ini dapat muncul dalam kombinasi atau terisolasi tergantung pada luas dan lokasi TVO. Tatalaksana fase akut dari TVO berfokus pada antikoagulan, manajemen dari sekuele seperti kejang, peningkatan tekanan intrakranial, dan infark vena. Penyebab utama kematian pasien TVO selama fase akut adalah herniasi transtentorial yang kebanyakan disebabkan karena perdarahan vena. Mayoritas pasien mengalami penyembuhan parsial dan sekitar 10% mengalami defisit neurologis permanen hingga 12 bulan. Rekanalisasi terjadi pada 1 bulan pertama setelah TVO (84% pasien terjadi pada bulan ketiga) dan akan terbatas setelahnya. Rekurensi dari TVO termasuk jarang (2,8%).

Kata kunci: faktor resiko, prognosis, terapi, trombrosis vena otak

JNI 2018;7 (2): 117‒25

Cerebral Venous Thrombosis

Abstract

Cerebral venous thrombosis is a condition of thrombosis in cerebral veins and major sinus duramater. Risk factor of cerebral venous thrombosis include genetic factor like thrombophylia and hormonal contraception. There are variations in clinical manifestation of cerebral venous thrombosis. The sign and symptom could be divided into acute, subacute or chronic onset. There are 4 syndroms of clinical manifestations of cerebral venous thrombosis: isolated intracranial hypertension, focal neurologic deficits, seizure, and encephalopathy. The focus of treatment in cerebral venous thrombosis is anticoagulant therapy, sequele of seizure, to treat intracranial hypertension and venous infarct. The main cause of death patient with acute onset cerebral venous thrombosis is transtentorial herniation due to venous bleeding. Partial recovery happens in mostly patient with cerebral venous thrombosis anda about 10% had permanent neurologic deficits untill 12 moths. Recanalisation occurs in the first month after cerebral venous thrmbosis (84% patient in the third month) and limited after that. Cerebral venous thrombosis recurrency is rare (2,8%).

Key words: risk factor, prognosis, treatment, cerebral venous thrombosisJNI 2018;7 (2): 117‒25

Page 49: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

118 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan

Trombosis vena otak (TVO), yaitu trombosis pada vena otak dan sinus mayor duramater, merupakan gangguan yang jarang terjadi pada populasi umum. Kejadian TVO lebih banyak didapatkan pada pasien berumur <40 tahun, dan 3 kali lebih sering pada wanita hamil dan pada wanita dengan terapi kontrasepsi hormonal.1 Angka kejadian pertahun diperkirakan sekitar 3–4 kasus per sejuta dan meningkat menjadi 7 kasus pada anak-anak.2 Selama trimester terakhir kehamilan dan setelah melahirkan, risiko trombosis sinus meningkat.2 Frekuensi trombosis sinus peripartum dan postpartum adalah sekitar 12 kasus per 100.000 kelahiran.2,3

II. Faktor Resiko dan Etiologi

Setidaknya terdapat satu faktor resiko yang dapat diidentifikasi dari 85% pasien dengan TVO.4 Studi kohort mengenai trombosis vena otak dan sinus duramater, mendapatkan sekitar 34% ditemukan trombofilia pada pasien TVO, dan 22% dideteksi sebagai trombofilia herediter.4 Pewarisan trombofilia yang terkait dengan TVO meliputi defisiensi antitrombin, protein C, protein S, mutasi faktor V Leiden, dan mutasi gen protrombik 20210. Antibodi antifosfolipid dan hiperhomosisteinemia juga muncul dalam keadaan protrombik yang terkait TVO.1 Selain masalah genetik yang menjadi faktor resiko munculnya TVO, penggunaan kontrasepsi oral juga merupakan salah satu pemicu. Berdasarkan dua studi kasus-kontrol terlihat peningkatan risiko trombosis sinus pada penggunaan kontrasepsi oral, terutama kontrasepsi generasi ketiga yang mengandung gestoden atau degostrel.2 Temuan laboratorium mendukung bukti bahwa kontrasepsi oral memiliki efek protrombik.5

III. Trauma dan Lumbal Punksi

Penyebab mekanis dari trombosis yang berkaitan dengan trauma adalah cedera kepala, berupa cedera langsung ke sinus atau vena jugularis, misalnya pada trauma akibat keteterisasi jugularis dan prosedur bedah saraf. Prosedur lumbal punksi juga dapat menyebabkan trombosis pada

Kondisi Genetik ProtrombotikDefisiensi antitrombinDefisiensi protein C dan protein SMutasi faktor V LeidenMutasi protrombin (substitusi A dengan G pada posisi 20210)Homocysteinemia yang disebabkan oleh mutasi gen dalam methylenetetrahydro-folat reduktaseKeadaan protrombotik yang didapatSindrom nefrotikAntibodi AntifosfolipidHomosistenemiaKehamilanPuerperiumInfeksiOtitis, mastoiditis, sinusitisMeningitisPenyakit infeksi sistemikPenyakit inflamasiSystemic lupus erythematosusWegener’s granulomatosisSarcoidosisInflammatory bowel diseaseBehcet’s syndromeKondisi hematologiPolisitemia, primer dan sekunderTrombositopeniaLeukemiaAnemia, termasuk paroksismal nokturnal hemoglobinuriaObat-obatanKontrasepsi oralAsparaginasePenyebab Mekanis, TraumaCedera kepalaCedera pada sinus atau vena jugularisProsedur bedah sarafPungsi lumbalLain-lainDehidrasi, terutama pada anak-anakKanker

Tabel 1. Etiologi dan Faktor Resiko Trombosis Vena Otak

Dikutip dari: Stam J.2

Page 50: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

119 Trombosis Vena otak

sinus.2 Setelah lumbal punksi diperkirakan terjadi pergeseran otak ke bawah karena rendahnya tekanan cairan serebrospinal sehingga terjadi tarikan pada vena dan sinus kortikal. Deformitas dinding vena juga dapat menyebabkan trombosis.2 Penegakkan diagnosis trombosis sinus setelah lumbal pukgsi sulit dilakukan, karena sakit kepala yang segera muncul merupakan sakit yang muncul karena lumbal punksi itu sendiri dan bukan karena thrombosis sinus.2 Sakit kepala akibat lumbal pungsi biasanya menghilang setelah pasien berbaring, dan hilang total dalam beberapa hari. Sedangkan sakit kepala yang disebabkan oleh trombosis sinus tidak menghilang dengan perubahan posisi pasien, dan memburuk selama tahap pertama dari penyakit tersebut.2

InfeksiOtitis dan mastoiditis dapat menyebabkan komplikasi trombosis pada sinus sigmoid dan sinus tranversus yang berdekatan dengan tempat infeksi. Jika sinus transversus kontralateral mengalami hipoplasia (variasi anatomi yang sering muncul), absorpsi cairan serebrospinal menjadi terganggu. Hasil dari hipertensi intrakranial disertai papil edem sebelumnya dikenal dengan hidrosefalus otitis.2

Manifestasi KlinisManifestasi klinis TVO sangat bervariasi.

Timbulnya gejala dan tanda bersifat akut, subakut, atau kronis. Empat sindrom utama yang muncul: hipertensi intrakranial terisolasi, kelainan neurologis fokal, kejang, dan ensefalopati. Sindrom ini dapat muncul dalam kombinasi atau terisolasi tergantung pada luas dan lokasi TVO.1 Hipertensi intrakranial akibat TVO paling sering muncul sebagai sakit kepala. Sakit kepala merupakan keluhan yang muncul pada 90% pasien dengan TVO, dan 64% muncul sebagai gejala sub akut.4,6 Namun, beberapa pasien mengeluhkan sakit kepala berat sebagai gejala akut seperti pada perdarahan subaraknoid. Sakit kepala dapat lokal atau umum dan bisa memburuk dengan manuver Valsalva atau perubahan posisi.7 Temuan lain dari hipertensi intrakranial meliputi papil edem dan keluhan visual. Sakit kepala yang disebabkan TVO awalnya sering didiagnosis sebagai migren. Defisit neurologis fokal muncul pada 44% pasien TVO.6 Kelemahan motorik berpa hemiparesis adalah gejala yang paling umum dan dapat muncul pada 40% pasien.4 Afasia dapat muncul akibat dari trombosis sinus tranversus kiri. Defisit sensorik jarang ditemukan.1 Kejang fokal maupun umum, termasuk status epileptikus, didapatkan pada 30%–40% pasien dengan TVO.6,8 Karena kejang jarang muncul sebagai manifestasi klinis pada stroke dengan tipe lain, TVO dapat dipertimbangkan sebagai penyebab pada pasien

Page 51: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

120 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

dengan kejang dan disertai gejala lain yang berhubungan dengan stroke. Gejala kejang ini sering ditemui pada trombosis di sinus sagitalis dan vena kortikal.8 Ensefalopati dapat muncul apabila trombosis terjadi di sinus dalam yang lurus dan percabangannya. Pada kasus TVO yang berat dengan edema otak luas, infark vena besar, ataupun perdarahan parenkim bisa memicu munculnya herniasi.2 Perubahan status mental lebih sering terjadi pada pasien lansia.9

DiagnosaTrombosis vena otak harus dipertimbangkan sebagai penyebab pada pasien berumur dibawah 50 tahun yang memiliki gejala sakit kepala baik akut, subakut, maupun kronis dengan gejala tambahan yang tidak biasa, seperti adanya tanda hipertensi intrakranial, kelainan neurologis fokal karena gangguan vaskular, gangguan kejang yang baru muncul, infark hemoragik terutama jika multiple atau tidak berada di daerah pendarahan arteri. Karena manifestasi klinis yang bervariasi inilah keterlambatan diagnosis biasa terjadi pada TVO.1

Pemeriksaan LaboratoriumMeskipun adanya peningkatan D-dimer membantu diagnosis dari TVO, pemeriksaan D-dimer yang normal tidak serta merta menyingkirkan diagnosis pada pasien yang menunjukkan manifestasi klinis yang sesuai.7,13,16

Dalam penelitian pada 239 pasien diduga TVO, pemeriksaan D-dimer dilakukan pada 98 pasien, test D-dimer dikaitkan dengan 9% positif palsu, dan 24% negatif palsu.6

PencitraanAmerican Heart Association (AHA)/American Stroke Association 2011 dalam pernyataan ilmiahnya mengenai diagnosa dan manajemen TVO merekomendasikan pencitraan dari sistem vena otak pada pasien yang diduga menderita TVO.11 CT Scan kepala adalah pencitraan yang paling sering dilakukan untuk evaluasi pasien dengan sakit kepala baru, kelainan neurologis fokal, kejang, atau perubahan status mental. Meskipun CT Scan kepala dengan nonkontras dapat mendeteksi diagnosis alternatif atau menunjukkan infark vena atau perdarahan, CT

Scan kepala memiliki sensitivitas yang rendah dan menunjukkan tanda-tanda langsung TVO hanya pada sepertiga pasien.11 Dalam studi yang ditingkatkan kontrasnya, tanda-tanda dari trombosis vena dalam CT-Scan dapat berupa hiperdensitas di daerah sinus atau vena kortikal (cord sign) dan pengisian defek, terutama di sinus sagitalis superior (empty sign).2,11

Venografi CT menyediakan metode cepat dan terpercaya untuk deteksi TVO, terutama pada pasien dengan kontraindikasi MRI.11 Venografi CT dapat menyediakan diagnosis subakut atau kronik pada TVO karena dapat mendeteksi trombus dengan densitas yang heterogen. Venografi CT sebanding dengan MR venografi untuk diagnosis trombosis vena otak.12,13 Kekhawatiran pada paparan radiasi, alergi kontras, dan kontras nefropati mengurangi batasan untuk melakukan venografi CT pada beberapa pasien.1 MRI kepala digabungkan dengan venografi MR adalah studi deteksi TVO yang paling sensitif untuk kasus akut, subakut, dan kronik.14 Secara akut, TVO tampil dengan intensitas sama pada jaringan otak pada gambar T1 dan intensitas yang lebih rendah pada gambar T2.14 Dalam fase subakut, trombus tampil dalam intensitas yang lebih pada T1 dan T2. Pada fase kronik, trombus bisa heterogen dengan intensitas bervariasi tergantung jaringan otak di sekitar. Pada T2, trombus bisa dilihat secara langsung di vena otak dan sunus dural dan tampil sebagai area hipointens. Lesi parenkimal yang berkaitan dengan TVO seperti infark dan hemoragi kadang lebih baik dicitrakan dengan MRI. Penambahan kontras bisa dilakukan di venografi MR untuk membantu membedakan variasi anatomik seperti sinus hipoplastik dari TVO. AHA dan ASA 2011 menyatakan pernyataan ilmiah yang merekomendasikan MR dengan penitikberatan di gambaran T2 dan venografi MR sebagai tes pencitraan pilihan untuk evaluasi pasien diduga TVO.11 MRI dengan venografi MR lebih intensif dari venografi CT dan memiliki kekurangan dalam penggunaan pasien dengan gagal ginjal karena pemakaian kontras gadolinium berkaitan dengan resiko fibrosis nefrogenik sistemik.1 Angiografi intaarterial otak dengan fase pencitraan vena adalah teknik diagnostik yang invasif yang jarang digunakan

Page 52: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

121

dan hanya digunakan dalam kesempatan jarang seperti pada dugaan tinggi kasus klinis trombosis vena otak, tetapi hasil MR atau venografi CT inkonklusif atau jika ada prosedur endovaskular yang akan dilaksanakan.11

Pemeriksaan TrombofiliaDikarenakan tingginya frekuensi trombofilia diantara pasien TVO, skrening untuk kondisi hiperkoagulasi sebaiknya dilakukan.11 Pemeriksaan trombofilia sebaiknya termasuk dilakukan evaluasi untuk mutasi faktor V Leiden, mutasi gen protrombin 20210, lupus antikoagulan, antibodi antikardiolipin, hiperhomosisteinemia, dan defisiensi protein C, S, dan antitrombin. Tingkat protein C, S, dan antitrombin mungkin tidak normal pada trombosis akut, antikoagulasi, penggunaan kontrasepsi, atau kehamilan.1

PatofisiologiTerdapat dua perbedaan mekanisme munculnya TVO yang harus dibedakan: trombosis dari vena otak, dengan efek lokal yang disebabkan oleh obstruksi vena, dan trombosis pada sinus mayor yang menyebabkan hipertensi intrakranial. Pada

sebagian besar pasien, kedua proses ini terjadi bersamaan.2

Mekanisme pertama, oklusi dari vena otak, dapat menyebabkan edema lokal pada otak, dan pembentukan infark vena. Pemeriksaan patologis menunjukkan pembesaran, pembengkakan vena, edem, kerusakan saraf secara iskemik, dan perdarahan berupa ptekie. Ptekie ini nantinya bisa bergabung dan membentuk hematoma besar, yang pada CT-scan memiliki penampakan khas. Terdapat dua jenis edema otak yang berkembang, Pertama, edema sitotoksik yang disebabkan oleh iskemia, yang merusak pompa-pompa membran sel, sehingga memicu pembengkakan intraseluler. Tipe kedua, edema vasogenik, akibat gangguan sawar darah otak, dan kebocoran plasma darah ke dalam ruang interstitial. Edema vasogenik ini dapat pulih kembali apabila penyebab yang mendasarinya ditangani dengan baik. Pada pemeriksaan MRI menunjukkan bahwa baik edema sitotoksik dan vasogenik terjadi pada trombosis vena otak.2,15

Mekanisme kedua yaitu perkembangan dari

Trombosis Vena otak

Gambar 1. Frekuensi dari trombosis yang terjadi pada sinus dan vena mayor otakFrekuensi trombosis diberbagai sinus dalam persen yang didasarkan pada data studi internasional tentang trombosis vena otak dan sinus duramater. Kebanyakan pasien, trombosis muncul pada lebih dari satu sinus. Dikutip dari: Stam J.2

Page 53: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

122 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

hipertensi intrakranial yang disebabkan oklusi sinus vena mayor. Normalnya, cairan serebrospinal berpindah dari ventrikel otak melalui ruang subaraknoid di dasar dan permukaan otak ke vili araknoid, kemudian diteruskan ke dalam sinus sagitalis superior. Trombosis dari sinus memicu peningkatan tekanan vena, terganggunya absorpsi cairan serebrospinal, dan konsekuensinya berupa peningkatan tekanan intrakranial. Obstruksi drainase cairan serebrospinal ini terletak di akhir jalur transpornya, dan tidak terdapat perkembangan gradien diantara ruang subaraknoid di permukaan otak dan ventrikel, sehingga ventrikel tidak melebar dan hidrosepalus biasanya tidak menjadi penyulit trombosis vena. Sekitar seperlima dari pasien dengan trombosis sinus memiliki hipertensi intrakranial saja, tanpa tanda-tanda trombosis vena kortikal.4

PenatalaksanaanTatalaksana fase akut dari TVO berfokus pada antikoagulan, manajemen dari sekuele seperti kejang, peningkatan tekanan intrakranial, dan infark vena.2 Penatalaksanaan kejang dan peningkatan tekanan intrakranial pada pasien TVO memerlukan sebuah tim yang komprehensif, termasuk didalamnya konsultasi

dibidang neurologi dan bedah saraf.1

Antikoagulan Antikoagulan digunakan untuk mencegah propagasi trombus, rekanalisasi sinus dan vena otak yang tersumbat, serta mencegah komplikasi trombosis vena yang dalam dan emboli paru.11 Pemberian antikoagulan sebenarnya masih menjadi sebuah kontroversi spada TVO karena kecenderungan berkembangnya infark vena menjadi perdarahan bahkan sebelum antikoagulan diberikan.2 Hasil dari 2 uji klinis secara acak perbandingan antara antikoagulan dengan plasebo mendukung pemberian antikoagulan sebagai penatalaksanaan TVO.1 Satu penelitian yang membandingkan unfractionated-heparin intravena yang dititrasikan hingga nilai aPTT duakali di atas normal, dengan plasebo akhirnya dihentikan setelah 20 dari 60 pasien TVO akan diteliti memperlihatkan efek yang menguntungkan di awal penelitian.1 Dari 10 pasien pada kelompok plasebo, 1 sembuh, 6 mengalami defisit neurologis ringan, dan 3 orang meninggal pada bulan ketiga. Pada 10 orang di kelompok heparin, 8 orang benar-benar pulih, 2 orang mengalami defisit ringan pada bulan ke 3. Terkait perdarahan intrakranial, 2 orang pada

Trombosis vena serebral Trombosis sinus serebral

Tekanan venula dan kapiler

Peningkatan tekanan vena

absopsi cairan serebrospinal

tekanan intrakranial

perfusi kapiler

gangguan sawar darah

otak

gangguan sawar darah

otak

perfusi otak

Cedera iskemik

Edema sitotoksik

Edema vasogenik

Perdarahan parenkim

Sakit kepala, kelainan neurologis fokal, kejang, perubahan status mental.

Gambar 4.Patofisiologi trombosis vena serebral (1). Gambar 3. Patofisiologi Trombosis Vena OtakDikutip dari: Piazza G.1

Page 54: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

123

kelompok plasebo mengalaminya, sedangkan tidak ada satupun pada kelompok heparin.12

Pada uji klinis lainnya dengan 59 pasien TVO, heparin molekular rendah, nadroparin, dibandingkan dengan plasebo selama 3 minggu dan diikuti dengan pemberian antikoagulan selama 3 bulan,1 dalam 3 bulan, 13% pasien pada kelompok nadroparin dan 21% pada kelompok plasebo memiliki hasil yang buruk. Tidak muncul gejala perdarahan intrakranial pada kedua kelompok, Meta-analisis dari 2 percobaan tersebut menunjukkan perbedaan resiko kematian dan cacat yang muncul untuk mendukung pemberian antikoagulasi (13%, menggunakan tingkat kepercayaan 95% dengan interval 30%–3%).16 Antikoagulan telah menimbulkan banyak perhatian khusus pada pasien TVO yang mengalami infark hemoragik. Pada 2 randomisasi uji terkontrol tersebut, tidak terobservasi perdarahan otak baru, ataupun perpanjangan dari perdarahan yang telah terjadi sebelum terapi.1 Observasi ini mendukung hipotesis bahwa aliran keluar vena yang tersumbat akan meningkat dengan pemberian antikoagulan karena tekanan venular dan kapiler menurun sehingga mengurangi resiko perdarahan lebih lanjut.1Berdasarkan data dari randomisasi, uji terkontrol dan studi observasional, antikoagulan direkomendasikan sebagai penatalaksanaan TVO yang aman dan efektif.11,13 Antikoagulan segera diberikan baik dengan unfractionated-heparin intravena ataupun dengan heparin berat molekul rendah secara subkutan sebagai jembatan untuk antikoagulan oral dengan antagonis vitamin K.1

FibrinolisisMeskipun sebagian besar pasien sembuh dengan terapi antikoagulan, sebagian pasien yang lain memiliki hasil yang buruk walaupun telah terjadi antikoagulasi. Terapi fibrinolitik dengan kateter langsung, dengan ataupun tanpa gangguan trombus mekanik, telah dipertimbangkan untuk diberikan pada pasien yang memiliki TVO yang besar dan luas atau pada pasien yang secara klinis memburuk walaupun telah diberikan terapi antikoagulan.1 Sebuah peninjauan sistematis dari 49 pasien dengan TVO menyarankan sebuah kemungkinan manfaat klinis dengan pemberian fibrinolisis pada

pasien dengan sebuah presentasi yang buruk.17 Namun, perdarahan intrakranial terjadi pada 17% pasien setelah pemberian fibrinolisis, dan 5% dikaitkan dengan perburukan klinis.17 Tinjauan sistematis lainnya dari 156 pasien dengan TVO mencatat terdapat 12 kematian setelah pemberian fibrinolisis, 15 komplikasi berupa perdarahan mayor, termasuk didalamnya 12 perdarahan intrakranial.18 Berdasarkan data terbatas yang tersedia, kateter langsung fibrinolisis, hanya dipertimbangkan untuk digunakan pada pusat-pusat medis yang berpengalaman untuk pasien yang memburuk meskipun sudah dilakukan pemberian antikoagulan yang intensif.11

Intervensi BedahThrombektomi bisa dijadikan cadangan penatalaksanaan pada situasi yang jarang terjadi dimana kerusakan klinis parah muncul walupun telah dilakukan terapi yang maksimal.11 Pada pasien dengan TVO dan lesi parenkim besar yang menimbulkan herniasi, dekompresif bedah, seperti kraniektomi atau evakuasi hematoma, menunjukkan perbaikan hasil klinis.19

Penatalaksanaan Jangka PanjangDikarenakan tidak adanya penelitian uji klinis secara acak yang menilai durasi optimal dari antikoagulasi pada trombosis vena otak, pedoman bergantung pada bukti dan rekomendasi untuk trombosis vena dalam (deep vein thrombosis) dan emboli paru. Pernyataan ilmiah dari AHA/ASA 2011 merekomendasikan antikoagulan dengan antagonis vitamin K oral dan sebuah target normalisasi internasional dari 2.0 sampai 3.0 selama 3 sampai 6 bulan pada pasien dengan kecenderungan TVO dan 6 sampai 12 bulan pada pasien yang terkena TVO.11 Pasien dengan TVO berulang, trombosis pembuluh darah dalam, atau emboli paru (pulmonary embolism) komplikasi TVO atau TVO pertama dengan pemberat trombofilia (homozigositas untuk mutasi gen protrombin 20210 atau faktor V Leiden; terkombinasi trombofilia; defisiensi antitrombin, protein C, atau protein S; atau antibodi antifosfolipid) harus dipertimbangkan untuk durasi antikoagulasi tidak terbatas dengan rasio target normalisasi internasional dari 2.0 sampai 3.0.1

Trombosis Vena otak

Page 55: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

124 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Wanita yang menderita TVO karena pemakaian terapi kontrasepsi hormonal sebaiknya dicarikan alternatif alat kontrasepsi lain yang tidak berbasis pada estrogen. Pil progestinoli, alat kontrasepsi dalam rahim berupa levonorgestrel, dan alat kontrasepsi tembaga dalam rahim (lebih dikenal IUD) bisa dijadikan alternatif. Wanita dengan riwayat TVO yang muncul pada saat pemakaian alat kontrasepsi hormonal, selama kehamilan, atau selama periode postpartum memiliki peningkatan resiko kemunculan TVO pada kehamilan selanjutnya. Sering direkomendasikan profilaksis berupa heparin berat molekul rendah selama kehamilan di masa akan datang dan pada periode post partum.11 Selain tindak lanjut klinis, pernyataan ilmiah dari AHA/ASA 20011 merekomendasikan tindak lanjut berupa pencitraan untuk menilai rekanalisasi 3–6 bulan setelah diagnosis.11

PrognosisPada meta analisis 1180 pasien dengan TVO, rata-rata taraf mortalitas 30 hari adalah 5,6%. Penyebab utama kematian selama fase akut adalah herniasi transtentorial yang kebanyakan disebabkan karena perdarahan vena. Walau mayoritas pasien memiliki penyembuhan yang parsial, 10% mengalami defisit neurologis permanen hingga 12 bulan. Rekanalisasi terjadi saat beberapa bulan pertama setelah trombosis vena otak (84% pasien terjadi pada bulan ketiga) dan akan terbatas setelahnya. Rekurensi dari TVO termasuk jarang (2,8%).20

IV. Simpulan

Trombosis vena otak merupakan suatu kondisi yang jarang terjadi, ditandai dengan gejala sakit kepala akut, subakut, ataupun kronis dengan gejala tambahan yang tidak biasa, seperti hipertensi intrakranial, kelainan neurologis fokal karena gangguan vaskular, kejang, infark hemoragik terutama jika multiple atau tidak berada di daerah pendarahan arteri. Tatalaksana fase akut TVO berfokus pada penggunaan antikoagulan, manajemen kejang, peningkatan tekanan intrakranial, dan infark vena. Prognosis pada TVO bervariasi dari kematian hingga defisit neurologis permanen. Karena kondisi ini sukar

dideteksi secara dini, perlu dilakukan dipahami lebih lanjut mengenai TVO.

Daftar Pustaka

1. Piazza G. Cerebral venous thrombosis. Circulation. 2012;125:1704–9.

2. Stam J. Current concept: thrombosis of the cerebral veins and sinuses. N Engl J Med. 2005;352:1791–8.

3. Lanska DJ, Kryscio RJ. Risk factors for peripartum and postpartum stroke and intracranial venous thrombosis. Stroke 2000; 31:1274–82.

4. Ferro JM, Canhao P, Stam J, Bousser MG, Barinagarrementeria F. Prognosis of cerebral vein and dural sinus thrombosis: results of the International Study on Cerebral Vein and Dural Sinus Thrombosis (ISCVT). Stroke. 2004;35:664–70.

5. Vandenbroucke JP, Rosing J, Bloemenkamp KW, Middeldorp S, Helmerhost FM, Bouma BN, et al. Oral contraceptives and the risk of venous thrombosis. N Engl J Med 2001;344:1527–35.

6. Tanislav C, Siekmann R, Sieweke N, Allendorfer J, Pabst W, Kaps M, et al. Cerebral vein thrombosis: clinical manifestation and diagnosis. BMC Neurol. 2011;11:69.

7. Agostoni E. Headache in cerebral venous thrombosis. Neurol Sci. 2004;25(Suppl 3):206 –10.

8. Ferro JM, Canhao P, Bousser MG, Stam J, Barinagarrementeria F. Early seizures in cerebral vein and dural sinus thrombosis: risk factors and role of antiepileptics. Stroke. 2008;39:1152–8.

9. Ferro JM, Canhao P, Bousser MG, Stam J, Barinagarrementeria F. Cerebral vein and dural sinus thrombosis in elderly patients. Stroke. 2005;36:1927–32.

Page 56: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

125

10. Kosinski CM, Mull M, Schwarz M, Koch B, Biniek R, Schlafer J, et al. Do normal D-dimer levels reliably exclude cerebral sinus thrombosis? Stroke. 2004;35:2820–25.

11. Saposnik G, Barinagarrementeria F, Brown RD Jr, Bushnell CD, Cucchiara B, Cushman M, et al. Diagnosis and management of cerebral venous thrombosis: a statement for healthcare professionals from the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke. 2011;42:1158–92.

12. Khandelwal N, Agarwal A, Kochhar R, Bapuraj JR, Singh P, Prabhakar S, et al. Comparison of CT venography with MR venography in cerebral sinovenous thrombosis. AJR Am J Roentgenol. 2006; 187:437–43.

13. Linn J, ErtlWagner B, Seelos KC, Strupp M, Reiser M, Bruckmann H, et al. Diagnostic value of multidetector-row CT angiography in the evaluation of thrombosis of the cerebral venous sinuses. AJNR Am J Neuroradiol. 2007;28:946–52.

14. Bousser MG, Ferro JM. Cerebral venous thrombosis: an update. Lancet Neurol. 2007; 6:42–70.

15. Yoshikawa T, Abe O, Tsuchiya K, Okubo

T, Tobe K, Masumoto T, et al. Diffusion weighted magnetic resonance imaging of dural sinus thrombosis. Neuroradiology 2002;44:481–8.

16. Stam J, De Bruijn SF, DeVeber G. Anticoagulation for cerebral sinus thrombosis. Cochrane Database Syst Rev. 2002: CD002005.

17. Canhao P, Falcao F, Ferro JM. Thrombolytics for cerebral sinus thrombosis: a systematic review. Cerebrovasc Dis. 2003;15: 159–66.

18. Dentali F, Squizzato A, Gianni M, De Lodovici ML, Venco A, Paciaroni M, et al.. Safety of thrombolysis in cerebral venous thrombosis: a systematic review of the literature. Thromb Haemost. 2010;104:1055–62.

19. Ferro JM, Crassard I, Coutinho JM, Canhao P, Barinagarrementeria F, Cucchiara B, et al. Decompressive surgery in cerebrovenous thrombosis: a multicenter registry and a systematic review of individual patient data. Stroke. 2011;42:2825–31.

20. Dentali F, Gianni M, Crowther MA, Ageno W. Natural history of cerebral vein thrombosis: a systematic review. Blood. 2006;108: 1129 –34.

Trombosis Vena otak

Page 57: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

126

Pengelolaan Hipertensi Intrakranial yang Membandel pada Cedera Otak Traumatik

Dewi Yulianti Bisri, Tatang BisriDepartemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas KedokteranUniversitas Padjadjaran–Rumah Sakit Dr. Hasan

Sadikin Bandung

Abstrak

Hipertensi intrakranial yang membandel (intractable/refracter/malignant intracranial hypertension) didefinisikan sebagai peningkatan tekanan intrakranial (intracranial pressure/ICP) lebih dari 25 mmHg selama 30 menit, 30 mmHg selama 15 menit, atau 40 mmHg selama 1 menit, atau peningkatan spontan ICP >20 mmHg selama 15 menit dalam periode 1 jam meskipun telah dilakukan intervensi first-tier secara optimal atau ICP >25 mmHg untuk 1–12 jam. Mortalitas tertinggi dari hipertensi intrakranial terlihat pada pasien dengan cedera kepala berat, yang mana peningkatan ICP sangat ekstrim dan sering membandel terhadap terapi. Masalah utama peningkatan ICP adalah iskemia dan herniasi. Tindakan untuk terapi hipertensi intrakranial adalah pasang monitor ICP, pertahankan cerebral perfusion pressure (CPP) 50–70 mmHg, first-tier therapy dan second-tier therapy. Indikasi pemasangan monitor ICP adalah 1) abnormal CT-scan dan skor GCS 3–8 setelah dilakukan resusitasi yang adekuat untuk syok dan hipoksia, 2) normal CT-scan dan skor GCS 3–8 disertai dengan 2 atau lebih hal-hal berikut: umur >40 tahun, posturing, atau tekanan darah sistolik <90 mmHg. Terapi untuk menurunkan ICP dimulai pada level ICP 20–25 mmHg. First-tier therapy untuk terapi peningkatan tekanan intrakranial adalah: 1) CSF drainase melalui kateter intraventricular, 2) diuresis dengan mannitol, 0,25–1,5 g/kg berikan lebih 10 menit, 3) moderate hiperventilasi. Bila tekanan intrakranial membandel terhadap first-tier therapy (intractable) lakukan second-tier therapy yaitu hiperventilasi untuk mencapai PaCO2 <30 mmHg (dianjurkan memasang monitor SJO2, AVDO2, dan/atau CBF), dosis tinggi terapi barbiturat, hipotermia, terapi hipertensif, dekompresif kraniektomi.

Kata kunci: Cedera otak traumatik, hipertensi intrakranial membandel, first-tier therapy, second-tier therapy

JNI 2018;7 (2): 126‒33

The Management of Intractable Intracranial Hypertension in Traumatic Brain Injury

Abstract

Intractable intracranial hypertension (refractory/malignant intracranial hypertension) defined as intracranial pressure (ICP) that exceed 25 mmHg for 30 minutes, 30 mmHg for 15 minutes, or 40 mmHg for 1 minute or refractory elevation in ICP as a spontaneous increase ICP >20 mmHg during 15 minutes within a 1 hour period despite optimized first-tier intervention or ICP >25 mmHg for 1–12 hour. The highest mortality from intracranial hypertension is seen in patient with severe head injury, in whom elevations in intracranial pressure are extreme and frequency resistant to treatment. Main problem of increased intracranial pressure (ICP) are ischemia and herniation. Treatment of intracranial hypertension includes insert ICP monitor, maintenance CPP 50–70 mmHg, first-tier therapy and second-tier therapy. Indication for insertion of an ICP monitor include 1) an abnormal CT scan and a GCS score of 3 to 8 after adequate resuscitation of shock and hypoxia, 2) normal CT scan and a GCS of 3 to 8 accompanied by two or more the following at admitted hospital: age > 40 years, posturing, or systolic blood pressure of < 90 mmHg. Treatment to decrease ICP usually initated at ICP level of 20–25 mmHg. The aim is to maintain CPP 50–70 mmHg. First-tier therapy involves the following: 1) incremental CSF drainage via an intraventricular catheter, 2) diuresis with mannitol, 0.25–1.5 g/kg over 10 minutes, 3) moderate hyperventilation. If intracranial hypertension intractable to first-tier therapy, do second-tier therapy: hyperventilation to achieved PaCO2 < 30 mmHg (SJO2, AVDO2, and/or CBF monitoring is recommended), high dose barbiturate therapy, consider hypothermia, consider hypertensive therapy, consider decompressive craniectomy.

Key word: Traumatic brain injury, intractable intracranial hypertension, first-tier therapy, second-tier therapy

JNI 2018;7 (2): 126‒33

Page 58: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

127

I. Pendahuluan

Hipertensi intrakranial yang membandel (intractable/refracter/malignant intracranial hypertension) didefinisikan sebagai peningkatan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg selama 30 menit, 30 mmHg selama 15 menit, atau 40 mmHg selama 1 menit.1 Ada yang mendefinisikan peningkatan tekanan intrakranial refrakter bila ada peningkatan tekanan intrakranial >20 mmHg lebih dari 15 menit dalam periode 1 jam, meskipun telah dilakukan intervensi terapi first-tier secara optimal atau bila ICP >25 mmHg untuk 1–12 jam.2-5 Intractable intracranial hypertension terjadi sekitar 15% pasien cedera otak traumatik berat.3 Hipertensi intrakranial adalah kelainan yang dapat berakibat fatal. Mortalitas tertinggi dari hipertensi intrakranial terlihat pada pasien dengan cedera kepala berat, yang mana peningkatan tekanan intrakranial sangat ekstrim dan sering membandel terhadap terapi. Masalah utama peningkatan tekanan intrakranial adalah iskemia dan herniasi.6 Dalam keadaan intractable intracranial hypertension masih ada pertanyaan yang mana yang lebih baik outcomenya antara dosis tinggi terapi barbiturat (barbiturate coma) atau craniectomy decompression atau tindakan lain dari second-tier therapy. Tekanan intrakranial (intracranial pressure/ICP) normal adalah 5–15 mmHg dan nilai diatas 20 mmHg harus diterapi. Karena tekanan perfusi otak (cerebral perfusion pressure/CPP) adalah tekanan arteri rerata (mean arterial pressure/MAP) dikurangi ICP (CPP = MAP-ICP), maka peningkatan ICP akan menyebabkan terjadinya penurunan CPP dan terjadi iskemia otak serta infark otak. Tekanan yang meningkat juga dapat menyebabkan terjadinya herniasi otak.6,7 Penyebab peningkatan tekanan intrakranial (intracranial hypertension) antara lain cedera otak traumatik, tumor otak, perdarahan subarachnoid (subarachnoid hemorrhage/SAH), pembengkakkan otak akibat infark serebral, hematoma intraserebral, hematoma extraserebral, hidrocephalus akut, trombosis vena serebral, encephalopati anoxic-iskhemik, infark otak setelah sumbatan akut midle cerebral artery (MCA), abses, meningitis, hipertensi encephalopati.8.9

Hipertensi intrakranial sekunder terhadap cedera

otak traumatik adalah akibat adanya massa akibat trauma: epidural hematoma (EDH), subdural hematoma (SDH), kontusio perdarahan, benda asing, fraktur depres skull. Juga akibat lain seperti edema serebral, hiperemia, hipoventilasi yang menyebabkan hiperkarbia dengan efek vasodilatasi serebral, hidrocephalus, peningkatan tekanan intratorakal atau intra-abdominal.10

II. Terapi Hipertensi Intrakranial pada COT BeratTerapi hipertensi intrakranial berdasarkan panduan dari Brain Trauma Foundation TBI guideline sebagai berikut: Pasang monitor ICP, pertahankan CPP 50-70 mmHg. First-tier therapy: drainase ventrikular (bila tersedia), mannitol 0,25–1 g/kg iv (bisa diulang bila osmolaritas serum <320 mOsm/L dan pasien euvolemi), hiperventilasi untuk mencapai nilai PaCO2 30–35 mmHg. Second-tier therapy: Hiperventilasi untuk mencapai PaCO2 < 30 mmHg, dosis tinggi terapi barbiturat, pertimbangkan hipotermia, pertimbangkan terapi hipertensif, pertimbangkan kraniektomi dekompresif. Bila tidak ada respons ICP terhadap first-tier therapy, yang artinya ICP refracter/intractable, maka lakukan second-tier therapy.2,6

Pasang Monitor ICP Indikasi pemasangan ICP monitor adalah cedera kepala berat, CT-scan abnormal (hematoma, kontusio, pembengkakkan otak, herniasi, penekanan sisterna basalis), cedera kepala berat dengan CT-scan normal bila ada 2 atau lebih keadaan ini pada saat masuk rumah sakit: umur lebih 40 tahun, unilateral atau bilateral motor posturing, atau tekanan darah sistolik < 90 mmHg. Terapi harus dimulai bila ambang ICP diatas 20 mmHg.11 Pada BTF guideline 2016 terapi dimulai bila ICP ≥22 mmHg. Pemasangan kateter intraserebral relatif kontraindikasi pada pasien dengan koagulopati (misalnya peningkatan prothrombin time, partial thromboplastin time, atau jumlah platelet <100.000 per microliter).9

Penggunaan monitoring ICP dianjurkan karena pengelolaan cedera kepala berat dengan menggunakan informasi dari pemantauan ICP dapat mengurangi lama perawatan di rumah sakit dan mortalitas 2 minggu setelah cedera.Tekanan

Pengelolaan Hipertensi Intrakranial yang Membandel pada Cedera Otak Traumatik

Page 59: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

128 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

intrakranial harus dipantau pada semua pasien cedera kepala berat (GCS 3–8 setelah resusitasi) dan pada pasien dengan CT-scan abnormal. CT scan kepala abnormal adalah bila ada hematoma, kontusio, pembengkakkan (swelling), herniasi, atau penekanan sisterna basalis. Pemantauan ICP juga indikasi pada pasien dengan cedera kepala berat dengan CT-scan normal bila ≥2 hal-hal tersebut terdapat pada saat pasien masuk ke rumah sakit: umur >40 tahun, unilateral atau bilateral motor posturing, atau tekanan darah sistolik <90 mmHg.2 Rekomendasi ambang ICP: dianjurkan mulai terapi bila ICP >22 mmHg karena diatas level ini dihubungkan dengan peningkatan mortalitas. Kombinasi nilai ICP, gejala klinis dan penemuan CT scan otak digunakan untuk menentukan keputusan penanganan pasien.2

Pertahankan CPP 50-70 mmHgTindakan agresif untuk menaikkan CPP >70 mmHg harus dihindari disebabkan berisiko terjadinya acute respiratory distress syndrome (ARDS), sebaliknya CPP <50 mmHg juga harus dihindari sebab risiko terjadinya iskemia.6,11

Rekomendasi ambang CPP: target nilai CPP yang direkomendasikan untuk survival pasien dan outcome yang baik adalah antara 60 dan 70 mmHg. Apakah 60 atau 70 mmHg adalah ambang optimal CPP minimum tidak jelas dan mungkin bergantung pada status autoregulasi pasien. Hindari usaha agresif untuk mempertahankan CPP >70 mmHg dengan cairan dan pressor disebabkan karena risiko terjadinya ARDS.2 Rekomendasi Ambang Tekanan Darah: mempertahankan tekanan darah sistolik pada ≥100 mmHg untuk pasien umur 50 sampai 69 tahun atau ≥ 110 mmHg untuk pasien umur 15 sampai 49 tahun atau >70 tahun bisa dipertimbangkan untuk menurunkan mortalitas dan memperbaiki outcome.2 Rekommendasi monitoring CPP: pengelolaan pasien COT berat menggunakan guideline berdasarkan rekomendasi monitoring CPP dianjurkan untuk menurunkan mortalitas 2 minggu.2

Second-Tier TherapySecond-tier therapy dilakukan bila peningkatan ICP refracter terhadap first-tier therapy. Peningkatan ICP refrater adalah peningkatan

ICP secara spontan >15 menit dalam periode 1 jam, walaupun telah dilakukan intervensi first-tier secara optimum. Tindakan second-tier terapi adalah hiperventilasi untuk mencapai PaCO2 < 30 mmHg (dianjurkan memasang monitor SJO2, AVDO2, dan atau CBF monitoring), dosis tinggi terapi barbiturat, hipotermia, terapi hipertensif dekompresif kraniektomi. 2,5,11

Terapi Ventilasi Pasien dengan COT berat memerlukan proteksi jalan napas definitif disebabkan risiko terjadinya aspirasi pulmonari atau membahayakan respiratory drive dan fungsi. Mungkin memerlukan hiperventilasi selintas untuk mengobati herniasi otak. Ventilasi normal adalah target pada cedera kepala berat tanpa ada herniasi otak dengan target normal PaCO2 pada rentang 35–45 mmHg. Pada kondisi normal, PaCO2 adalah pengatur aliran darah otak (cerebral blood flow/CBF) yang paling utama, dan dalam rentang antara 20 mmHg sampai 80 mmHg, CBF linier dengan PaCO2. Bila PaCO2 rendah, maka CBF akan menurun dan menimbulkan terjadinya serebral iskemia, sebaliknya PaCO2 tinggi menyebabkan hiperemia dan peningkatan ICP. Oleh karena itu, CBF yang optimal adalah penting dalam keadaan kondisi normal dan abnormal. Pada pasien cedera otak traumatik berat dilakukan ventilasi mekanik yang secara ketat mengatur kadar PaCO2 melalui pengaturan laju napas dan volume tidal. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa serebral hiperemia lebih sering terjadi daripada serebral iskemia, dan direkomendasikan melakukan hiperventilasi pada pasien COT. Akan tetapi, penelitian yang baru telah menunjukkan bahwa setelah COT, CMRO2 tidak selalu rendah dan dapat bervariasi. Pada kenyataannya, serebral iskemia telah didokumentasikan pada sejumlah penelitian setelah COT berat, dan hal itu mengubah rekomendasi cara melakukan ventilasi yang telah berlangsung lama. Karena ada prevalensi iskemia serebral yang tinggi, maka lebih aman bila dilakukan normoventilasi untuk mencegah terjadnya iskemia serebral dan infark serebral.2 Hiperventilasi profilaksis jangka lama dengan PaCO2 ≤25 mmHg tidak dianjurkan. Hiperventilasi dianjurkan sebagai tindakan sementara untuk mengurangi peningkatan ICP,

Page 60: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

129

dan hiperventilasi harus dihindari selama 24 jam pertama setelah COT karena CBF sering berkurang secara kritis. Bila hiperventilasi dilakukan untuk mencapai PaCO2 <30 mmHg yang merupakan tindakan second-tier therapy, dianjurkan dilakukan pemantauan SJO2, AVDO2, dan/atau CBF.2 Istilah hiperventilasi pada BTF guideline edisi 3 tahun 2007 telah diganti menjadi terapi ventilasi pada BTF guideline edisi 4 tahun 2014. Dalam terapi ventilasi harus diingat: 1) hiperventilasi dianjurkan sebagai tindakan sementara untuk menurunkan peningkatan ICP, 2) hiperventilasi harus dicegah selama 24 jam pertama setelah COT yang mana umumnya CBF berkurang ke titik kritis, 3) Bila digunakan hiperventilasi, dianjurkan pemasangan jugular venous oxygen saturation (SJO2) atau brain tissue oxygen partial pressure (BtpO2) untuk memantau pasokan oksigen.2

Second-tier Therapy: Hipotermia Hipotermia telah diingat dengan baik untuk memelihara sel dan jaringan dari metabolit. Bukti-bukti mendukung bahwa hipotermia merupakan standar terapi untuk proteksi otak setelah henti jantung akibat sindroma koronari akut. Ada ketertarikan yang lama dalam penerapan hipotermia untuk mengurangi kerusakan jaringan akibat trauma susunan sarap pusat (SSP), akan tetapi, keuntungannya tidak dapat diduga. Dalam tambahan untuk mendukung efek neuroproteksi, hipotermi diketahui mampu menurunkan ICP. Akan tetapi, hipotermia mempunyai risiko koagulopati dan imunosupresi dan hipotermi berat berisiko terjadi aritmia jantung dan kematian.11,12

Kemampuan hipotermia menurunkan ICP adalah karena hipotermia menurunkan CMRO2, akibat penurunan metabolisme otak (cerebral metabolic rate for oxygen/CMRO2) maka CBF dan volume darah otak (cerebral blood volume/CBV) turun, dan ICP turun sedangkan efek neuroprotektif hipotermia karena memperlambat iskemik (menghambat pelepasan mediator) dan mencegah kaskade kerusakan blood-brain-barrier.2,12

Hipotermia dapat diberikan segera setelah cedera dan sebelum ICP meningkat, yang disebut sebagai profilaksis hipotermia, atau sebagai terapi untuk peningkatan ICP yang refrakter dan disebut sebagai therapeutic hypothermia.11 Hipotermia

profilaksis telah menjadi subjek penelitian yang melaporkan hasil yang masih bertentangan. Hipotermi ringan jangka lama (33–35oC) secara nyata memperbaiki outcome pasien cedera kepala berat dengan kontusio serebral dan hipertensi intrakranial tanpa komplikasi yang nyata. Pendinginan selama 5 hari lebih menguntungkan daripada pendinginan selama 2 hari.13 Satu penelitian systematic review pada 18 penelitian, dengan 13 RCT, 5 penelitian observasional, menyimpulkan bahwa terapeutik hipotermia 32–34oC, efektif dalam mengendalikan hipertensi intrakranial. Akan tetapi sebagai kesimpulannya, menunggu hasil dari penelitian multisenter yang lebih besar yang mengevaluasi efek terapeutik hipotermia pada hipertensi intrakranial dan outcome. Terapeutik hipotermia harus termasuk dalam opsi terapi untuk mengendalikan ICP pada pasien dengan cedera kepala berat.14 Hipotermia profilaksis: Early (dalam 2,5 jam), short-term (48 jam pascacedera) hipotermia profilaksis tidak dianjurkan untuk memperbaiki outcome pada pasien dengan cedera otak difus.2 Pada pasien dengan COT, hipotermia dapat mengurangi hipertensi intrakranial. Keuntungan hipotermia pada outcome fungsional belum jelas. Penelitian European Society of Intensive Care Medicine tentang terapeutik hipotermia (32–35°C) untuk menurunkan ICP setelah COT (the Eurotherm3235Trial), suatu penelitian pragmatik, multi-centre RCT yang menguji efek hipotermia 32–35°C, dititrasi untuk menurunkan ICP <20 mmHg, pada morbiditas dan mortalitas 6 bulan setelah COT. Penelitian pada 387 pasien pada 47 center di 18 negara dari November 2009 sampai Oktober 2014. Kesimpulan penelitian ini, pada pasien dengan ICP >20 mmHg setelah COT, terapi hipotermi disertai terapi standar berhasil menurunkan ICP, akan tetapi, tidak memperbaiki pemulihan fungsional dibandingkan dengan terapi standar.5

Second-tier Therapy: Dosis Tinggi Terapi Bbarbiturat Anestetik, analgesik, dan sedatif adalah terapi yang penting dan umum digunakan pada COT akut untuk berbagai alasan, termasuk profilaksis dan kontrol ICP dan seizure. Barbiturat mempunyai sejarah yang panjang dalam penggunaannya

Pengelolaan Hipertensi Intrakranial yang Membandel pada Cedera Otak Traumatik

Page 61: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

130 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

untuk mengendalikan ICP, barangkali dengan mencegah pergerakan yang tidak diperlukan, batuk, dan mengedan (straining) melawan pipa endotrakhea, juga menekan metabolisme dan perubahan tonus pembuluh darah serebral. Penekanan metabolisme serebral dan konsumsi oksigen adalah suatu proteksi otak.2

Anestetik dan sedatif misalnya barbiturat, dapat memperbaiki hubungan regional CBF kepada kebutuhan metabolik menghasilkan lebih tingginya oksigenasi otak dengan lebih rendahnya CBF, dan penurunan ICP dari penurunan CBV. Mekanisme proteksi otak lainnya adalah menghambat radikal oksigen yang dimediasi oleh lipid peroksidasi.2 Efek samping anestetik, analgesik, sedatif adalah hipotensi dan penurunan curah jantung, meningkatkan shunting intrapulmonary, yang akan membawa kearah terjadinya hipoksia. Hal ini mungkin memberikan peningkatan pada suatu penurunan paradok dari CPP, yang bisa meniadakan keuntungan penurunan ICP. Pemberian dosis tinggi barbiturat dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:Eisenberg Pentobarbital Protocol: dosis bolus pentobarbital 10 mg dalam 10 menit atau 5 mg/kg/jam selama 3 jam, dan dosis rumatan 1 mg/kg/jam. Tiopental: dosis bolus 10–20 mg/selama 30 menit, dilanjutkan 3–5 mg/kg/jam atau tiopental dengan dosis bolus 5–11 mg/kg dilanjutkan 4–6 mg/kg/jam. Propofol: dosis bolus 1–2 mg/kg dilanjutkan 2–10 mg/kg/jam.

Walaupun propofol dianjurkan untuk mengendalikan ICP, tapi tidak dianjurkan untuk memperbaiki mortalitas atau outcome 6 bulan. Diperlukan kehati-hatian karena dosis tinggi propofol dapat menimbulkan morbiditas yang nyata. Ingat adanya propofol infuse syndrome (PRIS) dengan gejala hiperkalemia, lipemia, asidosis metabolik berat, gagal ginjal, gagal jantung, rabdomiolisis, dan kematian. Untuk memperbaiki outcome, ingat adanya PRIS dan hentikan pemberian propofol.15 Pemberian barbiturat untuk burst supresi yang diukur dengan EEG, dengan tujuan untuk profilaksis terjadinya peningkatan ICP tidak direkomendasikan. Dosis tinggi barbiturat hanya untuk mengendalikan peningkatan ICP yang refrakter terhadap

maksium terapi surgikal dan medikal standar. Stabilitas hemodinamik sangat penting sebelum dan selama terapi barbiturat.16

Second-tier Therapy: Decompressive Craniectomy (DC)Edema serebral dapat diakibatkan oleh kombinasi beberapa mekanisme patologik yang dihubungkan dengan cedera otak primer dan cedera otak sekunder pada cedera otak traumatik. Dengan meningkatnya tekanan dalam rongga kepala, terjadi pergeseran jaringan otak yang dapat membawa kearah terjadinya herniasi otak, menyebabkan kemungkinan terjadinya kematian. Pengambilan sebagian dari tulang tengkorak (skull) yang disebut sebagai decompressive craniectomy (DC), telah dilakukan dengan tujuan menghilangkan peningkatan tekanan intrakranial dan perbaikan outcome. Kebanyakan perdebatan sekitar peranan DC dalam pengelolaan COT berat adalah akibat dari kekurangan data dari penelitian RCT. Ada berbagai variasi teknik pembedahan, saat dilakukan pembedahan, dan populasi pasien dari penelitian observasional yang telah dipublikasikan dalam 2 dekade terakhir ini.2 Bifrontal DC tidak dianjurkan untuk memperbaiki outcome yang dinilai dengan skor GOSE pada 6 bulan pascacedera pada pasien dengan COT berat dengan cedera difus (tanpa lesi massa), dan dengan peningkatan ICP >20 mmHg selama lebih dari 15 menit dalam periode waktu 1 jam yang refrakter terhadap first-tier therapy. Akan tetapi, prosedur ini telah ditunjukkan dapat

Gambar 1: Bifrontal dan Unilateral Frontotemporoparietal CraniectomyDikutip dari: Moon JW. 17

Page 62: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

131

terapi medikal. Laju moderate disability dan good recovery sama antara 2 kelompok.4 Skor GOSE terlihat pada gambar 2. Second-tier Therapy: Terapi Hipertensif Alasan dilakukannya terapi hipertensif adalah seperti terlihat pada hipotesis dibawah ini. Penurunan CPP dapat menimbulkan serebral vasodilatasi dan selanjutnya peningkatan CBV dan ICP, sebaliknya, vasokonstriksi menunjukkan bahwa peningkatan CPP dapat menurunkan CBV dan akan menurunkan ICP. 18

Kalau pada Second-tier Therapy pertimbangkan Terapi Hipertensi, bagaimana dengan Lund Therapy ?Konsep dari Lund untuk terapi edema otak telah diperkenalkan pada pada praktek klinis di Swedia. Pada pasien dengan cedera kepala berat tidak ada terapi farmakologik untuk memperbaiki barier darah-otak yang rusak atau memperbaiki autoregulasi yang terganggu. Terapi ini berdasarkan pada perkiraan bahwa edema otak ektraseluler yang disebabkan karena gangguan autoregulasi dan rusaknya barier darah-otak, merupakan suatu komponen penting pada pembengkakan otak pascatrauma dan lebih mudah dilakukan terapi daripada edema intraseluler. Tujuan terapi adalah untuk mempertahankam tekanan intrakranial pada tingkatan yang aman

Gambar 2. Skor GOSE.4

mengurangi ICP dan lama tinggal di ICU.2 Dianjurkan dilakukan frontotemporoparietal DC yang besar (tidak kurang dari 12 x 15 cm atau 15 cm diameter) daripada frontotemporoparietal DC yang kecil untuk mengurangi mortalitas dan meningkatkan outcome neurologik pada pasien COT berat.2

Penelitian Early Decompressive Craniectomy in Patients with Severe Traumatic Brain Injury (DECRA), dilakukan penelitian random pada 155 pasien dewasa dengan COT difus berat dan hipertensi intrakranial, yang refractory terhadap first-tier therapy. Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan ICP rata-rata dan lama mendapatkan bantuan ventilasi di ICU tapi dihubungkan dengan lebih buruknya outcome secara nyata pada 6 bulan pascacedera yang diukur dengan Extended Glasgow Outcome Scale (GOSE).3,17 RESCUEicp: Penelitian Randomized Evaluation of Surgery with Craniectomy for Uncontrollable Elevation of Intracranial Pressure (RESCUEicp), dilakukan pada 408 pasien dengan refractory ICP (>25 mmHg). Penelitian ini membandingkan dengan pengelolaan refrakter ICP setelah COT yang memakai terapi medical secara kontinyu. Hasil pada 6 bulan setelah dekompresif kraniektomi menunjukkan lebih rendahnya mortalitas tapi lebih tinggi laju vegetative state, lower severe disability dan upper severe disability daripada

Gambar 3: Vasoconstrictive Cascade: Alasan Terapi Hipertensif. 18

Pengelolaan Hipertensi Intrakranial yang Membandel pada Cedera Otak Traumatik

Page 63: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

132 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

sampai tercapainya perbaikan autoregulasi dan barier darah-otak untuk mencegah herniasi otak dan untuk mengurangi iskemia akibat cedera sekunder. Walaupun komponen Lund terapi adalah tindakan standar (menurunkan metabolisme otak, pengaturan glukosa dan suhu, penurunan volume darah otak dengan hiperventilasi atau barbiturat koma, mempertahankan tekanan koloid osmotik), penggunaan teknik hipotensi untuk menurunkan tekanan hidrostatik kapiler dengan tujuan untuk menurunkan edema serebral merupakan hal yang berlawanan dengan cara-cara konvensional dalam mempertahan tekanan perfusi otak. Konsep Lund tidak memperhatikan hipotesis vasokonstriksi dan vasodilatasi seperti pada gambar 3, oleh karena itu perlu penelitian klinis lebih lanjut untuk menangani pasien dengan COT.19

III. Simpulan

Harus mengerti tentang patofisiologi hipertensi intrakranial. Gunakan Brain Trauma Foundation Guideline (lakukan penanganan hipertensi intrakranial dengan first-tier dan untuk hipertensi intrakranial yang intractable lakukan second-tier therapy).

Daftar Pustaka

1. Eisenberg HM, Frankowski RF, Contant CF, Marshal LF, Walker MD. High-dose barbiturate control of elevated intracranial pressure in patient with severe head injury. J Neurosurg 1988;69(1):15–23.

2. Carney N, Totten AM, O’Reilly C, Ullman JS, Hawryluk GWJ, Bell MJ, et al. Guideline for the management of severe traumatic brain injury 4th ed. Brain Trauma Foundation; September 2016.

3. Cooper DJ, Rosenfeld DJ, Murray L, Arabi YM, Davies AR, D’Urso P, et al. Decompressive craniectomy in diffuse traumatic brain injury. N Engl J Med 2011;364(16):1493–502.

4. Hutchinson PJ, Kolias AG, Timofeev IS, Corteen EA, Czosnyka M, Timothy Y, et

al. Trial of decompressive craniectomy for traumatic intracranial hypertension. N Engl J Med 2016;375 (12):1119–30.

5. Andrew PJD, Sinclair R, Rodriguez A, Harris BA, Battison CG, Rhodes JKJ, Murray GD. Hypothermia for intracranial hypertension after traumatic brain injury. N Engl J Med 2015;373: 2403–12.

6. Phan AD, Bendo AA. Perioperative management of adult patients with severe head injury. Dalam: Cottrell JE, Patel P, eds. Cottrell and Patel’s Neuroanesthesia, 6th ed. Edinburg: Elsevier; 2017;326–36.

7. Bisri T. Penanganan Neuroanestesi dan

Critical Care: Cedera Otak Traumatik. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; 2012.

8. Ropper AH. Management of raised intracranial pressure and hyperosmolar therapy. Pract Neurol 2014;14:152–8.

9. Stocchetti N, Zanaboni C, Colombo A, Citerio G, Beretta L, Ghisoni L, et al. Refractory intracranial hypertension and “second-tier” therapies in traumatic brain injury. Intensive Care Med 2008;34:461–67.

10. Ranger-Castillo L, Gopinath S, Robertson CS. Management of intracranial hypertension. Neurol Clin 2008;26(2):521–41.

11. Bratton S, Bullock MR, Carney N, Chesnut RM, Coplin W, Ghajar J, et al. Guidelines for the management of severe traumatic brain injury 3rd ed. Brain Trauma Foundation. J Neurotrauma 2007;24 Supp 1: S1–106.

12. Bisri DY, Bisri T. Hypothermia therapy after traumatic brain injury. JNI 2014;3(3):189–98.

13. Jiang JY, Xu W, Li WP, Gao GY, Bau YH, Lian YM, et al. Effect of long-term mild hypothermia on outcome of patients with severe traumatic brain injury. Journal of Cerebral Blood Flow & Metabolism 2006;26:771–6

Page 64: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

133

14. Sadaka F, Veremakis C. Therapeutic hypothermia for the management of intracranial hypertension in severe traumatic brain injury: a systematic review. Brain injury 2012;26(7–8):899–908.

15. Robert I, Sydenham E. Barbiturate for acute traumatic brain injury (review). The Cochrane Collaboration; 2012.

16. Bassin SL, BlackTP. Barbiturates for the treatment of intracranial hypertension after traumatic brain injury. Critical Care. 2008; 12:185.

17. Moon JW, Hyun DK. Decompressive caniectomy in traumatic brain injury: a review article. Korean J Neurotrauma 2017;13(1):1–8.

18. Bruder NJ, Ravussin P, Schoettker P. Supratentorial masses: ansthetic consederation. Dalam: Cottrell JE, Patel P, eds. Cottrell and Patel’s Neuroanesthesia, 6th ed. Edinburg: Elsevier; 2017, 189–206.

19. Sharma D, Vavilala M. Lund concept for the management of traumatic brain injury: a physiological principle awaiting stonger evidence. J Neurosurg Anesthesiol 2011;23(4):363–7.

Pengelolaan Hipertensi Intrakranial yang Membandel pada Cedera Otak Traumatik

Page 65: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

AAgus Budi Setyawan, 96

BBambang J. Oetoro, 103, 110Bambang Suryono, 88Bona Akhmad Fitrah, 88

DDewi Yulianti Bisri, 80, 126Diana Fitria Ningsih, 71

HHimendra Wargahadibrata, 88

IIda Bagus Krisna Jaya Sutawan, 103

KKenanga Marwan, 117

MMM. Rudi Prihatno, 96

NNazaruddin Umar, 117

RRobert Sihombing, 80Ruli Herman S, 80

SSinta Irina, 110Siti Chasnak Saleh, 88Suwarman, 71Syafruddin Gaus, 103, 110

TTatang Bisri, 71, 126

ZZafrullah Kany Jaza, 117

Indeks Penulis

Page 66: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

C Cedera otak traumatik, 110, 126

DDexmedetomidine, 103

EEfektif dan efisien anesthesia, 88

FFentanil, 80Fast-tract anesthesia, 88Faktor resiko, 117

GGlukosa darah sewaktu, 80

HHipertensi intrakranial membandel, 126Hemoglobin, 71

ILaju nadi, 80

MMakroadenoma hipofisis, 103

NNatrium laktat hipertonik, 103

OOperasi tumor otak, 71

PPerdarahan, 71Perdarahan intracerebral, 88Prognosis, 117

SFirst-tier therapy, 126Scalp block, 80Second-tier therap, 126

TTekanan arteri rerata, 80Terapi, 117Transfusi, 71Trombrosis vena otak, 117

VVentilasi mekanik memanjang, 110VAP cedera otak traumatik, 110VAP, 110

Indeks Subjek

Page 67: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

Pedoman Bagi Penulis

1. Ketentuan Umum

Redaksi majalah Jurnal Neuroanestesia Indonesia menerima tulisan Neurosains dalam bentuk Laporan Penelitian, Laporan Kasus, Tinjauan Pustaka, serta surat ke editor. Naskah yang dipertimbangkan dapat dimuat adalah naskah lengkap yang belum dipublikasikan dalam majalah nasional lainnya. Naskah yang telah dimuat dalam proceeding pertemuan ilmiah masih dapat diterima asalkan mendapat izin tertulis dari panitia penyelenggara.

2. Judul

Bahasa Indonesia tidak melebihi 12 kata, judul bahasa Inggris tidak melebihi10 kata.

3. Abstrak

Ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia serta tidak boleh lebih dari 250 kata.

Abstrak Penelitian:

Terdiri dari IMRAD (Introduction, Method, Result, and Discussion). Dalam introduction mengandung latar belakang dan tujuan penelitian. Dalam Discussion diakhiri oleh Simpulan.

Contoh Penulisan Abstrak Penelitian:

Latar Belakang dan Tujuan: Disfungsi kognitif pascaoperasi (DKPO) sering terjadi dan menjadi masalah serius karena dapat menurunkan kualitas hidup pasien yang menjalani pembedahan dan meningkatkan beban pembiayaan kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka kejadian DKPO pada pasien yang menjalani operasi elektif di GBPT RSU dr. Sutomo dan menganalisa faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya.Subjek dan Metode: Penelitian ini melibatkan 50 orang sampel berusia 40 tahun atau lebih yang menjalani pembedahan lebih dari dua jam. Dilakukan serangkaian pemeriksaan fungsi kognitif praoperasi dan tujuh hari pascaoperasi.

Domain kognitif yang diukur adalah atensi dan memori. Faktor yang diduga mempengaruhi kejadian DKPO dalam penelitian ini adalah usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi.Hasil: Tujuh hari pascaoperasi 30% sampel mengalami gangguan atensi, 36% sampel mengalami gangguan memori dan 52% sampel mengalami disfungsi kognitif pascaoperasi. Pemeriksaan kognitif yang mengalami penurunan bermakna adalah digit repetition test, immediate recall, dan paired associate learning. Analisa logistik regresi variabel usia (p=0,798), tingkat pendidikan (p=0,921) dan durasi operasi (p=0,811) terhadap kejadian DKPO menunjukkan hubungan yang tidak bermakna. Namun bila dianalisa pada masing masing kelompok usia tampak bahwa persentase pasien yang mengalami DKPO konsisten lebih tinggi pada usia ≥50 tahun, tingkat pendidikan ≤6 tahun dan durasi operasi ≥180 menitSimpulan: Kejadian disfungsi kognitif pada pasien yang menjalani operasi elektif di GBPT RSU dr. Sutomo cukup tinggi. Faktor usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi tampaknya mempengaruhi kejadian DKPO meskipun secara statistik tidak signifikan.

Kata kunci: anestesi umum, atensi, kognitif pascaoperasi, memori

Abstrak Laporan Kasus:

Terdiri dari Pendahuluan, Kasus, Pembahasan, simpulan

Contoh Penulisan Abstrak Laporan Kasus:

Abstrack

Meningoencephaloceles are very rare congenital malformations in the world that have a high incidence in the population of Southeast Asia, include in Indonesia. Children with anterior meningoencephaloceles should have surgical correction as early as possible because of the facial dysmorphia, impairment of binocular vision,

Page 68: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

increasing size of the meningoencephalocele caused by increasing brainprolapse, and risk of infection of the central nervous system. In the report, we presented a case of a 9 months-old baby girl with naso-frontal encephalocele and hydrocepahalus non communicant, posted for VP shunt (ventriculo-peritoneal shunt) and cele excision. Becaused of the mass, nasofrontal or frontoethmoidal and occipital meningoencephalocele leads the anaesthetist to problems since the anaesthesia during the operation until post operative care. Anaesthetic challenges in management of meningoencephalocele, which most of the patients are children, include securing the airway with intubation with the mass in nasofrontal or nasoethmoidal with its associated complications and accurate assessment of blood loss and prevention of hypothermia

Key words: Anaesthesia, difficult ventilation, difficult intubation, naso-frontal, meningoencephalocele, padiatrics

Abstrak Tinjauan Pustaka:

Terdiri dari Pendahuluan, Isi, dan Simpulan

Abstrak

Stroke hemoragik merupakan penyakit yang mengerikan dan hanya 30% pasien bertahan hidup dalam 6 bulan setelah kejadian. Penyebab umum dari perdarahan intrakranial adalah subarachnoid haemorrhage (SAH) dari aneurisma, perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM), atau perdarahan intraserebral. Perdarahan intraserebral sering dihubungkan dengan hipertensi, terapi antikoagulan atau koagulopati lainnya, kecanduan obat dan alcohol, neoplasma, atau angiopati amyloid. Mortalitas dalam 30 hari sebesar 50%. Outcome untuk stroke hemoragik lebih buruk bila dibandingkan dengan stroke iskemik dimana mortalitas hanya sekitar 10-30%. Stroke hemoragik khas dengan danya sakit kepala, mual muntah, kejang dan defisit neurologic fokal yang lebih besar. Hematoma dapat menyebabkan letargi, stupor dan koma. Disfungsi neurologik dapat terjadi dari rentang sakit kepala sampai koma. Pengelolaan dini difokuskan pada: 1)

pengelolaan hemodinamik dan jantung, 2) jalan nafas dan ventilasi, 3) evaluasi fungsi neurologik dan kebutuhan pemantauan tekanan intrakranial atau drainase ventrikel atau keduanya.

Kata kunci: perdarahan intrakranial, stroke perdarahan

Diakhir abstrak dibuat kata kunci yang ditulis berurutan secara alphabet, 3–5 buah.

4. Cara Penulisan Makalah Penulisan Daftar Pustaka:

• Nomor Kepustakaan berdasarkan urutan datang” di dalam teks, Vancouver style.

• Jumlah kepustakaan minimal 8 dan maksimal 20 buah.

Contoh cara penulisannya:

Dari Jurnal:

1. Powers WJ. Intracerebral haemorrhage and head trauma. Common effect and common mechanism of injury. Stroke 2010;41(suppl 1):S107–S110.

2. Qureshi A, Tuhrim S, Broderick JP, Batjer HH, Hondo H, Hanley DF. Spontaneus intracerebral haemorrhage. N Engl J Med 2001,344(19):1450–58.

Dari Buku:

1. Ryan S, Kopelnik A, Zaroff J. Intracranial hemorrhage: Intensive care management. Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials of Neuroanesthesia and Neurointensive Care. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008, 229–36.

2. Rost N, Rosand J. Intracerebral Hemorrhage. Dalam: Torbey MT, ed. Neuro Critical Care. New York: Cambridge University Press;2010,143–56.

Materi Elektronik

Artikel Jurnal dalam Format Elektronik Lipton B, Fosha D. Attachment as a transformative process in AEDP: operationalizing the intersection of

Page 69: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

Penanggungjawab, pemimpin, dan segenap redaksi Jurnal Neuroanestesi Indonesia menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya serta ucapan terima kasih yang tulus

kepada mitra bebestari:

Prof. Siti Chasnak Saleh, dr., SpAnKIC,KNA(Universitas Airlangga ‒ Surabaya)

Dr. Sri Rahardjo, dr., SpAnKNA, KAO(Universitas Gadjah Mada – Yogyakarta)Dr. Bambang J. Oetoro, dr., SpAnKNA

(Universitas Atmajaya Khatolik ‒ Jakarta)Dr. M. Sofyan Harahap, dr., SpAnKNA(Universitas Diponegoro ‒ Semarang)

Dr. Sudadi, dr., SpAnKNA(Universitas Gadjah Mada –Yogyakarta)

Dr. I Putu Pramana Suarjaya, dr., SpAnKNA, KMA, M.Kes(Universitas Udayana – Bali)

Dr. Zafrullah Kany Jasa, dr., SpAnKNA(Universitas Syiah Kuala – Banda Aceh)

Dr. Iwan Fuadi, dr., SpAnKNA(Universitas Padjadjaran – Bandung)

Dr. M.M. Rudi Prihatno, dr., SpAnKNA, M.SiUniversitas Jenderal Soedirman – Purwokerto)

Dr. Kenanga Marwan, dr., SpAnKNA(Universitas Lambunga Mangkurat – Banjarmasin)

Atas kerjasama yang terjalin selama ini, dalam membantu kelancaran penerbitan Jurnal Neuroanestesi Indonesia, semoga kerjasama ini dapat berjalan lebih baik untuk masa yang akan

datang

Redaksi

Page 70: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.org · Hasil: Kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL. Kadar Hb pascabedah

FORMULIR PESANAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:Nama Lengkap : ………………………………………………………………...Alamat Rumah : ………………………………………………………………... ………………………………………………………………... ……………….. Kode pos…………………………................. Telepon …………………………Faks …………………......... HP ………………………………E-mail…………...................Alamat Praktik : ………………………………………………………………... Telepon …………………………Faks ……………….............Alamat Kantor : ………………………………………………………................ ……………………….. Kode pos…………………………….. Telepon …………………………Faks ……………………......Mulai berlangganan : ………………………………. s.d ……………………………...

Saya bermaksud untuk berlangganan JNI secara teratur dengan mengirimkan biaya berlangganan sebesar Rp. 250.000,00 per tahun**

Pembayaran melalui : □ Langsung ke Sekretariat Redaksi Jl. Prof. Dr. Eijkman No. 38 – Bandung 40161 Mobile : 087722631615

JNI dikirimkan ke* : □ Alamat Rumah □ Alamat praktik □ Alamat Kantor

Bandung, ………………………………… Hormat Saya

( )

* pilih salah satu** foto kopi bukti transfer mohon segera dikirimkan/faks ke Sekretariat Redaksi*** termasuk ongkos kirim untuk wilayah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten