BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf ·...

24
Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini berisikan kerangka pemikiran dan hipotesis penelitian, memaparkan teori-teori dan konsep yang berhubungan dengan tema yang dikaji yaitu mengenai ” Umat muslim di Xinjiang dalam meghadapi kebijakan politik pemerintah komunis Tiongkok 1950-2014 (kajian konflik etnis Uighur)”. Landasan teori tersebut diambil dari berbagai literatur yang relevan, selain itu diperkuat dengan penggunaan pendekatan interdisipliner. Jika dihubungkan dengan penelitian ini, pendekatan yang dimaksud adalah penggunaan disiplin ilmu sosial lain yang secara seimbang untuk membantu dalam menganalisis masalah penelitian yang dikaji sehingga dapat dijadikan fondasi dan pegangan dalam pelaksanaan penelitian. Pembahasan bab ini terbagi kedalam beberapa sub bab. Sub bab ini merupakan konsep-konsep yang diambil dari beberapa ilmu, seperti ilmu Politik dan sosiologi. Konsep pertama, yaitu mengenai Konsep Etnis. Kemudian konsep yang kedua adalah konsep Diskriminsi, ketiga Pembentukan identitas etnik Uighur, dan konsep terakhir adalah Kajian tentang konflik. Selain penggunaan teori-teori dan konsep, peneliti juga menggunakan penelitian- penelitian terdahulu berupa skripsi, tesis dan artikel jurnal yang akan dibahas dalam bab ini. 2.1. Kajian Tentang Etnis. Pembahasan mengenai konflik umat muslim di Xinjiang tidak terlepas dari pembahasan mengenai konsep etnis. Konsep etnis ini digunakan untuk menganalisis latar belakang permasalahan yang terjadi diantara pemerintah Tiongkok dengan umat muslim Uighur yang merupakan etnis minoritas di negara Tiongkok tersebut. Kata etnis sendiri berasal dari kata ethnos dalam bahasa Yunani berarti “masyarakat” (Abdullah, 2005, hlm.193). Etnis adalah golongan masyarakat yang di definisikan secara sosial berdasarkan berbagai macam karakteristik kulturnya. Etnik atau suatu ras sendiri adalah sekelompok orang yang memiliki sejumlah unsur biologis atau fisik khas yang disebabkan oleh faktor hereditas atau keturunan (Oliver, 1964, hlm. 153). Sedangkan etnik menurut Marger (1985)

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf ·...

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf · a. Diskriminasi Etnosentrisme Sikap diskriminasi ras yang pertama adalah etnosentrisme,

Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Pada bab ini berisikan kerangka pemikiran dan hipotesis penelitian,

memaparkan teori-teori dan konsep yang berhubungan dengan tema yang dikaji

yaitu mengenai ” Umat muslim di Xinjiang dalam meghadapi kebijakan politik

pemerintah komunis Tiongkok 1950-2014 (kajian konflik etnis Uighur)”.

Landasan teori tersebut diambil dari berbagai literatur yang relevan, selain itu

diperkuat dengan penggunaan pendekatan interdisipliner. Jika dihubungkan

dengan penelitian ini, pendekatan yang dimaksud adalah penggunaan disiplin ilmu

sosial lain yang secara seimbang untuk membantu dalam menganalisis masalah

penelitian yang dikaji sehingga dapat dijadikan fondasi dan pegangan dalam

pelaksanaan penelitian.

Pembahasan bab ini terbagi kedalam beberapa sub bab. Sub bab ini

merupakan konsep-konsep yang diambil dari beberapa ilmu, seperti ilmu Politik

dan sosiologi. Konsep pertama, yaitu mengenai Konsep Etnis. Kemudian konsep

yang kedua adalah konsep Diskriminsi, ketiga Pembentukan identitas etnik

Uighur, dan konsep terakhir adalah Kajian tentang konflik. Selain penggunaan

teori-teori dan konsep, peneliti juga menggunakan penelitian- penelitian terdahulu

berupa skripsi, tesis dan artikel jurnal yang akan dibahas dalam bab ini.

2.1. Kajian Tentang Etnis.

Pembahasan mengenai konflik umat muslim di Xinjiang tidak terlepas dari

pembahasan mengenai konsep etnis. Konsep etnis ini digunakan untuk

menganalisis latar belakang permasalahan yang terjadi diantara pemerintah

Tiongkok dengan umat muslim Uighur yang merupakan etnis minoritas di negara

Tiongkok tersebut. Kata etnis sendiri berasal dari kata ethnos dalam bahasa

Yunani berarti “masyarakat” (Abdullah, 2005, hlm.193). Etnis adalah golongan

masyarakat yang di definisikan secara sosial berdasarkan berbagai macam

karakteristik kulturnya. Etnik atau suatu ras sendiri adalah sekelompok orang

yang memiliki sejumlah unsur biologis atau fisik khas yang disebabkan oleh

faktor hereditas atau keturunan (Oliver, 1964, hlm. 153). Sedangkan etnik

menurut Marger (1985)

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf · a. Diskriminasi Etnosentrisme Sikap diskriminasi ras yang pertama adalah etnosentrisme,

13

Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu

“....... are groups within a larger society that display a unique set of cultures traits”

(hlm.7).

Jadi, dalam kajian etnik lebih menekankan kelompok sosial bagian dari ras

yang memiliki ciri-ciri budaya yang sifatnya unik. Etnisitas sendiri adalah

kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan sejarah, nenek moyang, asal usul

dan bahasa yang tercermin dalam simbol-simbol yang khas, seperti agama,

pakaian dan tradisi. Secara singkat, etnisitas didefinisikan sebagai kelompok

masyarakat yang secara budaya berbeda dari kelompok masyarakat yang lain.

Suatu bangsa dan negara bisa jadi memiliki beragam etnis yang masing-masing

memiliki ciri yang khas dan menonjol yang dengan mudah dapat dibedakan dari

kelompok etnis yang lain.

pengertian etnisitas atau kesukubangsaan menurut Tumanggor (2010,

hlm.110) selalu muncul dalam konteks interaksi sosial pada masyarakat majemuk.

Dalam proses sosial kelompok etnik akan memanfaatkan atribut-atribut sosial-

budaya yang dimiliki untuk mencapai tujuan tertentu. Manifestasi etnisitas sering

menimbulkan ketegangan dan konflik sosial di antara pihak-pihak yang terlibat

atau yang berkepentingan. Sedangkan menurut Hall, dalam (Barker, 2009, hlm.

258) mengemukakan bahwa istilah etnisitas mengakui peran sejarah, bahasa, dan

budaya dalam penciptaan subjektivitas dan identitas, juga mengakui kenyataan

bahwa semua wacana itu ditempatkan, diposisikan, disituasikan, dan bahwa

semua pengetahuan bersifat kontekstual.

Kelompok etnis sendiri di dalam masyarakat terbagi menjadi dua yaitu

kelompok Etnis Mayoritas dan Etnis Minoritas. Kelompok mayoritas atau

kelompok dominan dalam suatu masyarakat merupakan kelompok yang merasa

memiliki kontrol atau kekuasaan untuk mengontrol. Konsep mayoritas sering

dihubungkan dengan dominant culture. Menurut Liliweri (2005, hlm.102) definisi

mayoritas adalah himpunan bagian dari suatu himpunan yang jumlah elemen di

dalamnya mencapai lebih dari separuh himpunan tersebut. Mayoritas bisa

dibedakan dengan pluralitas, yang berarti himpunan bagian yang lebih besar dari

pada himpunan bagian lainnya. Lebih jelasnya, pluralitas tidak bisa dianggap

mayoritas jika jumlah elemennya lebih sedikit daripada separuh himpunan

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf · a. Diskriminasi Etnosentrisme Sikap diskriminasi ras yang pertama adalah etnosentrisme,

14

Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu

tersebut. Sebagai contohnya Masyarakat China yang bisa kita lihat merupakan

masyarakat Plural didalamnya memiliki banyak etnis baik itu etnis mayoritas dan

minoritas Penulis melihat bahwa pada dasarnya di sini pemerintah China dengan

masyarakatnya yang Pluralnya berusaha untuk menerapkan kesatuan identitas

nasional bangsa China dan integrasi politik terhadap warganya dengan berusaha

menerapkan kebijakan asimilasi kultural (cultural assimilationist policy) terhadap

masyarakat China yang bervariasi etnik serta latar belakang keturunannya

sehingga identitas lokal tersebut dapat “ditenggelamkan” ke dalam identitas China

(Heberer, 1989, hlm.22). Terkadang penenggelaman identitas lokal tersebut dapat

berujung pada punahnya identitas lokal tersebut. Etnis mayoritas sendiri yang

paling besar jumlahnya adalah etnis Han atau Tionghoa. Dalam bahasa Inggris

atau Britania, mayoritas (majority) dan pluralitas (plurality) sering disamakan dan

kata mayoritas juga kadang dipakai untuk menyebut margin kemenangan, yaitu

jumlah suara yang memisahkan pemenang pertama dan pemenang kedua.

Kedua adapun kelompok Minoritas beberapa pengertian kelompok

minoritas menurut Liliweri (2005, hlm.107) yaitu :

a. Kelompok minoritas adalah kelompok yang susunan anggotanya selalu

memiliki karakteristik yang sama, sehingga tetap menampilkan perbedaan

dengan kelompok dominan.

b. Menurut Hebding, kelompok minoritas merupakan kelompok yang berbeda

secara kultural, fisik, kesadaran sosial, ekonomi, sehingga perlu di

diskriminasi oleh segmen masyarakat dominan atau kelompok masyarakat

sekeliling.

c. Kelompok minoritas menurut Louis Wirth (1945) diartikan sebagai kelompok

yang karena memiliki karakteristik fisik dan budaya yang sama, kemudian

ditujukan kepada orang lain dimana mereka hidup dan berada.

Sedangkan kelompok minoritas menurut Suparlan dalam Budiman (2009,

hlm.47). yaitu orang-orang yang karena ciri-ciri fisik tubuh asal-usul

keturunannya atau kebudayaannya dipisahkan dari orang-orang lainnya dan

diperlukan secara tidak sederajat atau tidak adil dalam masyarakat dimana mereka

hidup. Kelompok minoritas ini mengalami eksploitasi dan diskriminasi karena

kelompok minoritas tidak mempunyai kebudayaan yang dominan sehingga

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf · a. Diskriminasi Etnosentrisme Sikap diskriminasi ras yang pertama adalah etnosentrisme,

15

Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu

berkembang persaingan yang ketat antar etnik dan hubungan antar etnik pun

mengalami ketegangan.

Selain itu penulis melihat dari dari kaca mata sosiologi, yang dimaksudkan

dengan minoritas adalah kelompok-kelompok yang paling tidak memenuhi tiga

gambaran berikut: 1) anggotanya sangat tidak diuntungkan, sebagai akibat dari

tindakan diskriminasi orang lain terhadap mereka; 2) anggotanya memiliki

solidaritas kelompok dengan “rasa kepemilikan bersama”, dan mereka

memandang dirinya sebagai “yang lain” sama sekali dari kelompok mayoritas; 3)

biasanya secara fisik dan sosial terisolasi dari komunitas yang lebih besar (Fadhli,

2014,hlm.356).

Kemudia ada sebuah studi minoritas mengajarkan kepada kita bahwa

setiap negara memiliki kelompok kecil yang disebut minoritas. Ciri-ciri kelompok

minoritas yaitu: 1). Kebangsaan yang berbeda; 2).Bahasa yang berbeda; 3).

Agama yang berbeda; 4). Kebiasaan dan sebagainya. Jadi dapat disimpulkan

bahwa kelompok minoritas memiliki perbedaan baik dari segi budaya, fisik, kelas

sosial, ekonomi yang termarginalisasi oleh kelompok mayoritas. Uighur sendiri

merupakan etnis minoritas yang termarginalkan.

2.2. Kajian Tentang Diskriminasi.

Menurut Banton, diskriminasi di definisikan sebagai perlakuan yang

berbeda terhadap orang yang termasuk dalam kategori tertentu menciptakan apa

yang disebut dengan jarak sosial (social distance). Sedangkan Ransford

membedakan antara diskriminasi individu (individual discrimination) dan

diskriminasi institusi (Institutional Discrimination). Diskriminasi individu

merupakan tindakan seorang pelaku yang berprasangka (prejudice). Sedangkan

diskriminasi institusional merupakan tindakan diskriminasi yang tidak ada

kaitannya dengan prasangka individu, melainkan merupakan dampak kebijakan

atau praktik tertentu berbagai institusi dalam masyarakat (Sunarto, 2004, hlm.

146).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diskriminasi adalah pembedaan

perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan,

suku, ekonomi, agama, dan sebagainya). Danandjaja (2003,hlm.5) menyatakan

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf · a. Diskriminasi Etnosentrisme Sikap diskriminasi ras yang pertama adalah etnosentrisme,

16

Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu

bahwa dalam arti tertentu diskriminasi mengandung arti perlakuan tidak seimbang

terhadap sekelompok orang yang pada hakekatnya adalah sama dengan kelompok

pelaku diskriminasi. Obyek diskriminasi tersebut sebenarnya memiliki beberapa

kapasitas dan jasa yang sama, adalah bersifat universal. Apakah diskriminasi

dianggap ilegal, tergantung dari nilai-nilai yang dianut masyarakat bersangkutan,

atau kepangkatan dalam masyarakat dan pelapisan masyarakat yang berlandaskan

pada prinsip diskriminasi. Kriteria masyarakat, untuk apa yang dianggap

perlakuan diskriminasi terhadap seorang maupun kelompok, selalu bergeser,

sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakatnya.

Kemudian penulis mengambil konsep Diskriminasi Rasial untuk melihat

suatu permasalahan dalam skripsi ini, Diskriminasi rasial sendiri adalah ketika

seseorang diperlakukan dengan kurang baik dari pada orang lain dalam situasi

yang sama karena ras, warna kulit, keturunan, status asal etnis atau asal imigran

mereka (Amalia, 2018, hlm.25). Hal yang juga merupakan diskriminasi rasial

adalah apabila ada peraturan atau kebijakan yang sama untuk semua orang namun

memiliki efek tidak adil pada orang-orang dengan ras, warna kulit, keturunan,

status etnis atau asal imigran tertentu atau etnis tertentu, ini disebut sebagai

'diskriminasi tidak langsung'(indirect discrimination).

Konsep diskriminasi rasial kebanyakan orang melibatkan kekerasan

eksplisit dan langsung yang diungkapkan oleh orang kulit putih terhadap anggota

kelompok rasial yang kurang beruntung. Namun, diskriminasi dapat mencakup

lebih dari sekedar perilaku langsung (seperti penolakan kesempatan kerja atau

sewa); Hal itu juga bisa halus dan tidak sadar (seperti permusuhan nonverbal

dalam postur atau nada suara).Selanjutnya, diskriminasi terhadap individu dapat

didasarkan pada asumsi keseluruhan tentang anggota kelompok rasial yang

kurang beruntung yang diasumsikan berlaku untuk orang tersebut (yaitu,

diskriminasi atau pembuatan profil statistik).Diskriminasi juga dapat terjadi

sebagai akibat dari prosedur kelembagaan dan bukan perilaku individu (Amalia,

2018, hlm.26).

Istilah diskriminasi rasial kadang disamakan dengan segregasi rasial atau

ketidakadilan, dan kemudian dipertentangkan dengan istilah keadilan rasial.

Dalam prinsip keadilan rasial, ketidakadilan adalah masalah pengucilan dari

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf · a. Diskriminasi Etnosentrisme Sikap diskriminasi ras yang pertama adalah etnosentrisme,

17

Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu

institusi masyarakat yang dominan dan persamaan adalah persoalan non

diskriminasi serta kesempatan yang sama untuk berperan serta. Dari prinsip ini,

peraturan-perundangan yang memberikan intitusi terpisah bagi minoritas bangsa

tidak berbeda dari segregasi rasial, sehingga perluasan alaminya adalah

melepaskan status terpisah kebudayaan minoritas, dan mendorong partisipasi yang

sama dalam masyarakat yang dominan. Dalam hukum internasional, istilah dan

prinsip ini di Amerika Serikat pernah dimanfaatkan untuk melindungi hak-hak

orang Indian, penduduk asli Hawai, dan hak-hak minoritas bangsa (Augusta dan

Yunanto, 2010, hlm.18-19). Bentuk tindakan diskriminasi rasial ini berbeda-beda,

namun secara umum terdiri dari:

a. Diskriminasi Etnosentrisme Sikap diskriminasi ras yang pertama adalah

etnosentrisme, yaitu pandangan yang merasa bahwa kelompoknya sendiri

adalah pusat segalanya, sehingga semua kelompok yang lainnya selalu

dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelompoknya. Maka dengan

demikian etnosentrisme selalu menganggap kebudayaan kelompoknya sebagai

kebudayaan yang paling baik. Orang yang berprinsip etnosentris cenderung

kurang bergaul karena hanya bergaul dengan kalangannya saja, tidak mau

membuka wawasan, dan fanatik, pemeluk agama yang fanatik (Priandono,

2014, hlm.200).

b. Diskriminasi Xenophobia Kata xenophobia berasal dari kata Yunani, xenos

dan phobos. Xenos artinya orang asing, dan phobos artinya ketakutan (Arge,

2008, hlm.373). Jadi xenophobia adalah ketakutan yang berlebihan terhadap

orang asing, atau segala sesuatu yang berbau asing.

c. Diskriminasi Miscegenation Miscegenation adalah sikap diskriminasi yang

menolak terjadinya hubungan antar ras, termasuk dalam hal kawin campur

antar ras yang berbeda. Sikap ini sangat menjaga kemurnian rasnya dan

berusaha sekuat mungkin agar tidak “terkotori” oleh kawin campur antar ras.

Sejarah mencatat Hitler dengan nazinya adalah kelompok yang sangat

mendukung sikap miscegenation ini. Ia berpandangan bahwa ras arya adalah

ras yang paling unggul di dunia, oleh karena itu harus dijaga kemurnian

rasnya (Downing, 2005, hlm. 9).

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf · a. Diskriminasi Etnosentrisme Sikap diskriminasi ras yang pertama adalah etnosentrisme,

18

Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu

d. Diskriminasi Stereotipe Stereotipe termasuk bentuk dari sikap diskriminasi

ras, sebab menilai seseorang hanya berdasarkan persepsi kepada kelompok

dimana orang tersebut berasal. Stereotipe bisa juga diartikan sebagai sikap

mengeneralisir terhadap suatu kelompok tertentu. Jadi tak penting apa dan

bagaimana sesungguhnya seseorang di mata pengikut sikap diskriminasi ras

ini. Apapun dan bagaimana pun yang dilakukan orang lain, maka tak

mempengaruhi penilaian terhadap orang tersebut, sebab mereka telah

memiliki penilaian tersendiri yang bersifat general (Sochmawardiah, 2013.

hlm.75).

2.3. Pembentukan Identitas Etnik Uighur.

Sebelum menjelaskan secara lebih mendetail mengenai aspek-aspek apa

sajakah yang membentuk identitas etnik Uighur itu sendiri, pertama-tama peneliti

terlebih dahulu menjelaskan apa saja perbedaan-perbedaan perspektif dari pada

akademisi mengenai pembentukan identitas itu sendiri. Berdasarkan tulisan

Abanti Bhattacharya, dijelaskan bahwa ada dua pendekatan yang secara umum

digunakan untuk menjawab pertanyaan ini, yaitu pendekatan primordialis dan

pendekatan konstruktivis (Bhattacharya, 2003, hlm. 358-361).

Pendekatan primoridialis melihat identitas etnik sebagai sesuatu fenomena

yang given atau natural. Perspektif ini melihat bahwa kelompok etnik membentuk

jaringan kinship yang dilahirkan bersama dengan individu-individu tersebut

sehingga individu-individu tadi menjadi bagian darinya. Hal inilah yang membuat

individu-individu tersebut mendapatkan teritorinya dan memiliki atribut-atribut

seperti bahasa, ras, agama, adat, tradisi, makanan, cara berpakaian, dan musik.

Selain penanda-penanda kultural obyektif tersebut, terdapat pula penanda-penanda

subyektif yang termasuk pula aspek-aspek psikologis identitas seperti self dan

group-related feeling. Ini membuktikan bagaimana keterikatan darah memiliki

kekuatan bagi keterikatan etnik primordial serta emosi di dalamnya (Bhattacharya,

2003, hlm. 358).

Pendekatan berikutnya yang sering dipakai ialah pendekatan kontruktivis

di mana dijelaskan bahwa identitas etnik merupakan sebuah konstruksi sosial dan

sebuah produk dari proses yang menyatu dalam tindakan-tindakan maupun

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf · a. Diskriminasi Etnosentrisme Sikap diskriminasi ras yang pertama adalah etnosentrisme,

19

Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu

pilihan-pilihan manusia. Pendekatan konstruktivis percaya bahwa yang paling

penting adalah orang-orang mendefinisikan dirinya secara berbeda baik dari segi

kultural maupun fisik dengan orang-orang lainnya. Ketimbang melihat dari

keturunan yang sama, kontruktivis percaya bahwa tindakan-tindakan politis yang

sesuai dapat memobilisasi faktor-faktor etnik ke dalam sebuah formasi kelompok.

Meskipun begitu, harus ditekankan bahwa kedua pendekatan tersebut

tidaklah sempurna. Masing-masing pendekatan memiliki kelebihan serta

kekurangannya masing-masing. Namun ketika kita mencoba memakai pendekatan

yang seimbang, sebuah kelompok etnik membentuk penanda-penanda kultural

baik subyektif maupun obyektif atau diturunkan dan identitas-identitas etnik

tersebut mengkristalisasi ke dalam sebuah formasi kelompok etnik ketika

berseberangan dengan identitas-identitas lainnya. Ini berarti bahwa kelompok

etnik hanya dapat dikembangkan ketika ada kontak dengan lainnya (Bhattacharya,

2003, hlm. 359).

Kemudian etnis itu sendiri bukan merupakan sesuatu fenomena yang

statis. Batas-batas dari sebuah kelompok etnik terbentuk dan dinegosiasikan

melalui keterkaitannya dengan perubahan- perubahan konteks sosial, politik, dan

ekonomi (Smith, 2002, hlm.155). Pemahaman mengenai etnikitas inilah yang

akan benar-benar berguna ketika kita berusaha untuk memahami kasus identitas

Uighur di Xinjiang. Berdasarkan perspektif baik dari konstruktivis maupun

primordialis, disini Battacharnya pun berpendapat bahwa identitas Uighur pun

secara umum dapat dibagi kedalam tiga bagian, yaitu: 1) identitas agama, 2)

identitas politik- historis, dan 3) identitas regional. Sebelumnya, perlu ditekankan

baik-baik bahwa pada dasarnya ketiga identitas yang akan peneliti tulis dibawah

ini sama seperti pendapat Battacharnya dimana untuk memperjelas mengenai

posisi etnis Uighur di dalam struktur kebangsaan etnis China dapat dilihat dari

beberapa aspek yakni, identitas politik- Historis, Identitas agama, dan identitas

regional. Kemudian dalam menjelaskan aspek-aspek tersebut dalam

pembahasannya tidak berdiri sendiri secara independent melainkan beririsan atau

berkaitan satu sama lain. Oleh karena itu akan terdapat banyak irisan ketika

peneliti membicarakan satu aspek identitas etnik Uighur dengan aspek identitas

lainnya.

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf · a. Diskriminasi Etnosentrisme Sikap diskriminasi ras yang pertama adalah etnosentrisme,

20

Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu

2.3.1 Identitas Politik-Historis.

Identitas pertama yang akan peneliti jelaskan adalah identitas politik-

historis dari etnik Uighur. Peneliti melihat bahwa identitas ini merupakan identitas

yang paling penting. Peneliti melihat bahwa identitas inilah yang kemudian akan

membentuk identitas geografis serta identitas agama etnik Uighur tersebut

sehingga ketiganya saling berkaitan satu dengan yang lain. Peneliti merasa bahwa

kata “politik-historis” memang perlu peneliti cantumkan karena pada dasarnya

faktor historis inilah yang melatarbelakangi identitas politik masyarakat Uighur.

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sejarah Uighur membentuk identitas

politiknya. Untuk menjelaskan secara lebih mendalam, peneliti akan terlebih

dahulu mengutip tulisan Owen Lattimore (1988) di bawah ini

“The record of the Chinese in Central Asia is by no means continuous; in fact,

their effective control has been estimated at only about 425 out of about 2000

years, divided into a number of periods, of which the present Chinese rule in the

province of Sinkiang is the fifth major period”. (hlm.359).

Kutipan kalimat di atas setidaknya memberikan gambaran mengenai

perbandingan pendudukan wilayah Asia Tengah oleh China. Dari kutipan tersebut

dapat kita lihat bahwa China sendiri pun “hanya” menguasai wilayah tersebut

selama kurang-lebih 425 tahun apabila kita mencoba untuk mengambil rentang

waktu 2.000 tahun terakhir. Berdasarkan literatur yang peneliti temukan, tidak

dapat disangkal bahwa wilayah yang saat ini menjadi Xinjiang merupakan

kampung halaman bagi berbagai cabang orang-orang keturunan Bangsa Turkic

seperti contohnya saja Uighur, Kazak, Kyrgyz, Tatar, dan Uzbek (Edikresnha,

2012, hlm.38). Di antara etnik-etnik tersebut, Uighur membentuk kelompok yang

paling besar di Xinjiang. Uighur yang bertempat tinggal di sekitar wilayah Jalan

Suter tersebut memainkan peran yang sangat penting dalam pertukaran budaya

antara Barat dan Timur serta pengembangan budaya dan peradaban mereka

sendiri yang unik.

Peneliti juga mencatat bahwa pada tahun 744 Masehi Uighur berhasil

mendirikan kerajaannya sendiri yang saat ini berada di daerah Mongolia.

Sayangnya kerajaan ini mengalami perpecahan akibat invasi Kyrgiz dan kemudian

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf · a. Diskriminasi Etnosentrisme Sikap diskriminasi ras yang pertama adalah etnosentrisme,

21

Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu

pecah menjadi dua bagian, yaitu Kerajaan Kanchow di bagian timur dan

Kerajaan Karakhoja di bagian Barat. Kedua bagian ini kemudian dapat bertahan

selama kurang lebih empat abad lamanya atau sekitar tahun 850 hingga 1250

masehi (Gladney,1996, hlm. 359).

Kerajaan tersebut kemudian jatuh ke tangan Mongol yang berhasil

menduduki wilayah Asia Tengah pada tahun 1220 Masehi. Wilayah Asia Tengah

pun dibagi ke dalam dua khanate, yaitu Transoxiana atau Turkistan Barat

(Western Turkistan) di bagian barat yang saat ini kurang lebih berlokasi di sekitar

Kyrgiztan dan Tajikistan serta Turkistan Timur di bagian timur yang kurang lebih

saat ini berlokasi di sekitar Xinjiang. Pendudukan Mongol pun akhirnya

mengalami keruntuhan dan Uighur pun pecah ke dalam beberapa wilayah kecil.

Meskipun begitu ternyata Turkistan Timur masih dapat bertahan hingga tahun

1876 ketika akhirnya Manchu berhasil menginvasi Turkistan Timur. Manchu pun

menganeksasi Turkistan Tirmur ke dalam teritorinya dan menyebutnya “Xinjiang”

yang berarti New Territor atau New Frontier pada tanggal 18 November 1884

(Gladney,1996, hlm. 360).

Secara historis, penulis juga mencatat bahwa identitas masyarakat Uighur

juga tidak dapat dilepaskan dari ide pan-Turkisme dan pan-Islamisme. Untuk

lebih memudahkan pemahaman, penulis akan menceritakan selengkapnya pada

periodisasi menjelang abad ke-19 dan pada awal abad ke-20. Pada paruh kedua

abad ke-19, terjadi pergolakan di wilayah Xinjiang dan pergolakan ini pun

berujung pada didirikannya negara teokratis Islam yang bernama Yettishar (yang

dapat diartikan sebagai negara dengan tujuh kota) dengan ibukotanya di Kashgar.

Yettishar pun diterima dengan baik oleh sultan kerajaan Turki Usmani yaitu

Sultan Abdulaziz. Abdulaziz pun kemudian mengakui Yaqub Beg (penguasa

Yettishar saat itu) sebagai pemimpin resmi Yettishar dan membantunya dengan

mengirimkan pejabat-pejabat Abdulaziz untuk membantu mendirikan pasukan-

pasukan militer di wilayah Yettishar. Simbol-simbol dari Yettishar sendiri pun

sangat mirip dengan Kerajaan Usmani dan ini bisa dilihat dari bagaimana

Yettishar mengopi bendera Turki Usmani. Kemudian Yaqub Beg pun meresmikan

status politik Yettishar sebagai protektorat Turki. Meskipun begitu pada akhirnya

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf · a. Diskriminasi Etnosentrisme Sikap diskriminasi ras yang pertama adalah etnosentrisme,

22

Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu

China berhasil menaklukkan wilayah tersebut pada tahun 1878 (Edikresnha, 2012,

hlm. 40).

Meskipun begitu penulis mencatat bahwa penaklukkan dari Yettishar ini

tidak menghentikan penetrasi ide-ide Pan-Turkic dari China. Ide pan-Turkisme

ini kemudian memasuki fase baru di era 1930-an di mana berhasil

diproklamasikannya Turkish Islamic Republic of East Turkestan (TIRET) pada

tanggal 2 November 1933 dengan Kashgar sebagai ibu kotanya. Penulis juga

mencatat bahwa Turki ternyata memiliki peran yang amat penting dibalik

eksistensi TIRET pada masanya. Ini bisa terlihat misalnya saja dari pengiriman

representasi entitas tersebut ke Turki pada awal tahun 1933 oleh para pemimpin

TIRET seperti Sabit Damulla dan Muhammad Bughra (Edikresnha, 2012,

hlm.40). Sebaliknya, Turki pun mengirimkan berbagai kelompok orang yang ahli

dalam hal politik, militer, dan para ahli lainnya ke Kashgar. Penulis mencatat

bahwa representasi yang dikirim Turki tersebut ternyata memberikan dampak

yang begitu besar baik secara organisasional hingga penamaan dari TIRET itu

sendiri. Para pemimpin TIRET pun percaya bahwa pemerintah Turki yang saat itu

dipimpin oleh kabinet Mustafa Kemal Attaturk akan melindungi TIRET dari

segala ancaman eksternal yang mungkin akan dihadapi (David, 2005, hlm.15).

Sayangnya, ideology pan-Turkisme (dan juga pan-Islamisme) yang

dimanifestasikan melalui TIRET pun tidak bertahan lama karena direspon sangat

negatif oleh pemerintah Uni Soviet dan China. TIRET pun berhasil dibubarkan

setelah melalui intervensi pemerintah Uni Soviet.

Usaha terakhir yang sempat dilakukan terkait identitas historis

independensi entitas Uighur di Xinjiang ialah melalui pendirian Republik

Turkestan Timur (East Turkestan Republic) pada akhir Perang Dunia II atau lebih

tepatnya sekitar tahun 1944 – 1949. Republik Turkestan Timur ini sendiri

sebenarnya dahulu merupakan negara dependen Uni Soviet yang saat ini berada di

wilayah Xinjiang. Namun begitu setelah perang saudara berhasil diselesaikan dan

pemerintah komunis berhasil menguasai dataran China, pemerintah Uni Soviet

pun mendukung pemerintahan komunis tersebut dan memastikan bahwa Republik

Turkestan Timur berada di bawah kedaulatan China.

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf · a. Diskriminasi Etnosentrisme Sikap diskriminasi ras yang pertama adalah etnosentrisme,

23

Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu

2.3.2 Identitas Agama.

Tidak dapat disangkal bahwa identitas agama ini bisa jadi merupakan

identitas yang melekat pada etnik Uighur yang membedakan dengan etnik-etnik

lainnya di China. Identitas Islam etnik Uighur dapat ditelusuri ketika masuknya

islam ke wilayah Asia Tengah pada abad ke-8 Masehi oleh bangsa Arab. Isalam

menyediakan kesadaran pemersatu dan muslim Xinjiang mengidentifikasikan diri

mereka sebagai dari Ummah (komunitas dunia masyarakat yang beragama islam)

melalui ibadah-ibadah seperti shalat, membaca Al-quran, memperingati hari-hari

besar keagamaan, memakan makanan yang dianggap halal yang diperbolehkan

dalam islam, serta memakai simbol-simbol ke-islam-an lainnya. Identitas islam

inilah yang kemudian dapat menghubungkan Uighur dengan dunia luar, dalam

artian identitas Islam yang dimiliki Uighur mengoneksi Uighur dengan

masyarakat Islam lainnya di luar Xinjiang sekaligus memberikan batasan identitas

agama Uighur dengan pemeluk agama lainnya (Bhattacharya, 1995, hlm. 361).

Keterkaitan antara etnik Uighur dengan identitas Islam ini pun tidak dapat

terpisahkan sehingga muncullah istilah etnoreligi. Masyarakat Uighur

menganggap bahwa Islam merupakan bagian dari diri mereka untuk melestarikan

tradisi dan budaya mereka.

Lebih spesifik lagi, peneliti juga menemukan literatur yang mengatakan

bahwa agama dari masyarakat Uighur tersebut adalah Muslim Sunni yang

mempraktikkan mazhab Hanafi. Di Xinjiang dan beberapa kawasan di wilayah

Asia Tengah sendiri sebenarnya juga sempat berkembang aliran Sufisme yang

ternyata kurang harmonis. Peneliti mencatat terdapat ketegangan di antara sekte-

sekte Sufi tersebut di Xinjiang dalam kurun waktu abad ke-17 hingga abad ke- 20.

Secara umum kehidupan beragama Islam di oasis-oasis selatan Xinjiang,

terutama Kashgar terlihat cenderung lebih konservatif ketimbang di wilayah

Utara. Praktik-praktik Islam terutama bangkit kembali belum lama dan mengingat

bagaimana sulit dipisahkannya agama dari seluruh aspek kehidupan umat Islam,

termasuk pula politik dan pemerintahan, ini menyebabkan identitas agama Islam

menjadi identitas yang dominan dalam konfrontasi etnik Uighur dengan

pemerintah China. Dengan menggunakan Islam, masyarakat Uighur menolak

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf · a. Diskriminasi Etnosentrisme Sikap diskriminasi ras yang pertama adalah etnosentrisme,

24

Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu

konsep ateisme PKC dan juga tujuan PKC untuk memodernisasi dan

meliberalisasi sosial. Meskipun begitu harus dicampak pula bahwa perasaan

antimodernis tersebut tidaklah dipegang secara menyeluruh di Xinjiang,

mengingat beberapa kelompok dari etnik Uighur sendiri diuntungkan dengan

perkembangan dan pembangunan ekonomi yang diadakan oleh pemerintah China

di wilayah tersebut.

2.3.3. Identitas Regional.

Identitas ketiga yang akan penulis bahas di sini berkaitan dengan lokasi di

mana masyarakat Uighur itu sendiri tinggal, yaitu identitas geografis. Secara

topografi, Xinjiang dikelilingi oleh pegunungan dan terdiri dari kawah sungai,

padang pasir, oasis, dan sungai-sungai. Jarak antara Xinjiang dengan pusat

pemerintahan (Beijing) pun sangat jauh yaitu kurang-lebih berjarak 4.000

kilometer. Kombinasi dari karakteristik geografis Uighur serta jarak antara tempat

Uighur tinggal dengan pemerintahan ini pun memicu terbentuknya keterikatan

Uighur dengan lokasi di mana mereka tinggal. Separatisme yang terjadipun

disebutkan oleh Owen Lattimore (1988, hlm. 360) sebagai fenomena “Stubborn

Separatism”.

Apabila ditelusuri secara historis, penulis menemukan bahwa masyarakat

Uighur yang kini tinggal di Xinjiang merupakan masyarakat yang sangat

bergantung pada oasis. Mereka tinggal di oasis-oasis yang terpencar dan

bergantung pada oasis tersebut untuk kehidupan agraris mereka. Oasis ini rupanya

lebih dari sekedar oasis belaka namun juga menjadi pengidentifikasian diri

masyarakat Uighur. Berdasarkan literatur yang penulis temukan, masyarakat

Uighur mengidentifikasikan diri melalui oasis tempat di mana mereka berasal

misalnya saja Kashgar, Yarkand, Khargalik, Turpan, dan sebagainya (Giglio, TT,

hlm.9). Pengidentifikasikan ini masih terjadi pada akhir abad ke-19 yang

dilakukan oleh Grenard dan kemudian diteliti kembali pada tahun 1980-an oleh

Justin Rudelson. Berdasarkan penelitian tersebut, ditemukan bahwa parokialisme

ditambah dengan isolasi oasis dan pengaruh-pengaruh kultural sejarah Turkistan

Timur masih melekat kuat pada tahun 1980-an tersebut ketika studi dilakukan

(Rudelson, 1997, hlm.68).

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf · a. Diskriminasi Etnosentrisme Sikap diskriminasi ras yang pertama adalah etnosentrisme,

25

Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu

Meskipun begitu tidak semua sepakat dengan penelitian tersebut.

Penelitian lain ternyata menyebutkan bahwa pengidentifikasian masyarakat

Uighur terhadap oasis di mana mereka berasal dan juga parokialisme mulai

memudar pada tahun 1990-an dan ini terutama dikarenakan perkembangan

pendidikan di Xinjiang tersebut. Selain itu penulis juga menemukan bahwa

disebutkan dalam penelitian Joanne Smith di mana fragmentasi identitas Uighur

terkait identitas Oasis mulai memudar dan mulai kurang dianggap penting lagi

mengingat keterikatan antara identitas Uighur pada era tersebut (1990-an) lebih

disebabkan karena oposisi identitas Uighur dengan identitas Han. Pada era 1990-

an ini, rasa keterikatan identitas lebih berskala besar dalam artian mencakup etnik

Uighur terlepas dari asal oasis mereka. Ini terutama terlihat jelas pada generasi

muda Uighur apabila dibandingkan dengan generasi yang lebih tua (Smith, 2006,

hlm. 153-174).

2.4 Kajian Tentang Konflik.

2.4.1 Definisi Konflik.

Konflik merupakan sesuatu yang tidak bisa terhindarkan dalam kehidupan

manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara yang dapat

digunakan untuk mencapai keinginan atau tujuan. Menurut beberapa ahli konflik

diartikan sebagai satu bentuk upaya untuk menampakkan, untuk mengidentifikasi,

dan menjelaskan bahwa diantara setidaknya dua belah pihak memiliki perbedaan

atau pertentangan. Perbedaan atau pertentangan dapat berwujud dalam bentuk

perbedaan tujuan, kepentingan, nilai-nilai, budaya, suku, kelompok, ras dan

agama. Fisher merupakan salah satu ahli yang telah membantu memberikan

definisi tersebut. Fisher (2001, hlm. 6) mengungkapkan bahwa konflik dapat

diartikan sebagai situasi sosial dimana terdapat dua atau lebih kelompok yang

memiliki perbedaan tujuan ataupun perbedaan nilai-nilai.

Kemudian konflik menurut Ramlan Surbakti (1992, hm.149) menyebutkan

konflik yaitu “benturan”, seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan

pertentangan antara individu dan individu, kelompok dan kelompok, indivudu dan

kelompok, dan antara individu atau kelompok dengan pemerintah. Definisi

konflik (dari kata confligere, conflicium=saling berbenturan) ialah semua bentuk

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf · a. Diskriminasi Etnosentrisme Sikap diskriminasi ras yang pertama adalah etnosentrisme,

26

Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu

benturan, tabrakan, ketidakserasian, pertentangan, perkelahian, oposisi dan

interaksi–interaksi yang antagonistis–bertentangan (Kartini Kartono, 1983,

hlm.245). Konflik juga dapat diterjemahkan sebagai oposisi, interaksi yang

antagonistik atau bertentangan, benturan antara macam–macam paham,

perselisihan, kurang mufakat, pergesekan, perkelahian, perlawanan dengan senjata

dan perang. Konflik menjadi fenomena yang paling sering muncul karena konflik

selalu menjadi bagian hidup manusia yang bersosial dan berpolitik dan pendorong

dalam dinamika dan perubahan Sosial politik (Kornblurn, 2003, hlm.294).

Dari beberapa pengertian tersebut, dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa konflik ialah situasi dimana terdapat setidaknya dua belah pihak yang

memiliki perbedaan atau pertentangan baik secara laten maupun manifes.

Kemudian dapat peneliti simpulkan bahwa Konflik dari semenjak dulu telah ada

dalam masyarakat. Konflik dapat diklasifakasikan dalam berbagai tingkatan dan

skala yang berbeda. Jadi menurut peneliti konflik adalah pertikaian sebagai gejala

ketidaksesuaian yang tidak mungkin dihindari dalam kehidupan sosial masyarakat

dilihatnya sebagai gejala yang mencakup berbagai proses yang tidak mungkin

terpisah-pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisis.

2.4.2 Cara-Cara Penanganan konflik.

Terdapat beberapa cara untuk menyelesaikan konflik menurut Soerjono

Soekanto (1990, hlm. 77-78), yaitu:

1. Coercion (Paksaan) Penyelesaiannya dengan cara memaksa dan menekan

pihak lain agar menyerah. Coercion merupakan suatu cara dimana salah satu

pihak berada dalam keadaan yang lemah bila dibandingkan dengan pihak

lawan. Cara ini sering kurang efektif karena salah satu pihak harus mengalah

dan menyerah secara terpaksa.

2. Compromise Suatu cara dimana pihak-pihak yang terlibat saling mengurangi

tuntutannya, agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada.

3. Arbitration Merupakan suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan diantara

kedua belah pihak. Pihak ketiga mendengarkan keluhan kedua pihak dan

berfungsi sebagai “hakim” yang mencari pemecahan mengikat.

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf · a. Diskriminasi Etnosentrisme Sikap diskriminasi ras yang pertama adalah etnosentrisme,

27

Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu

4. Mediation (Penengahan) Menggunakan mediator yang diundang untuk

menengahi sengketa. Mediator dapat membantu mengumpulkan fakta,

menjalin komunikasi yang terputus, menjernihkan dan memperjelas masalah

serta melapangkan jalan untuk pemecahan masalah secara terpadu.

5. Conciliation Merupakan suatu usaha untuk mempertemukan keinginan-

keinginan dari pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan

bersama.

Konsep sentral dari teori konflik adalah wewenang dan posisi yang keduanya

merupakan fakta sosial. Distribusi wewenang dan kekuasaan secara tidak merata

menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara sistematik, karena dalam

masyarakat selalu terdapat golongan yang saling bertentangan yaitu penguasa dan

yang dikuasai (Soetomo, 1995, hlm. 33). Teori konflik melihat apapun keteraturan

yang terdapat dalam masyarakat merupakan pemaksaan terhadap anggotanya oleh

mereka yang berada di atas dan menekankan peran kekuasaan dalam

mempertahankan ketertiban dalam masyarakat (Ritzer dan J.Goodman, 2003,

hlm.153).

Adapun menurut Rahmadi (2011, hlm.12-20) menuliskan beberapa macam

penyelesaian konflik antara lain :

1. Negosiasi Negosiasi adalah penyelesaian konflik melaluli perundingan

langsung antara dua pihak atau lebih yang terlibat dalam konflik tanpa

bantuan pihak lain. Tujannya adalah menghasilkan keputusan yang diterima

dan dipatuhi secara sukarela.

2. Mediasi Mediasi adalah suatu penyelesaian sengketa atau konflik antara dua

pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan meminta

bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus. Mediator

hanya berfungsi memfasilitasi perundingan dan membantu merumuskan

persoalan.

3. Arbitrasi Arbitrasi adalah cara penyelesaian konflik oleh para pihak yang

terlibat dalam konflik dengan meminta bantuan kepada pihak netral yang

memiliki kewenangan memutuskan. Hasil keputusan dalam arbitrasi dapat

bersifat mengikat maupun tidak mengikat. Dalam arbitrasi, pemilihan

arbitrator adalah berdasarkan pilihan oleh pihak yang berkonflik.

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf · a. Diskriminasi Etnosentrisme Sikap diskriminasi ras yang pertama adalah etnosentrisme,

28

Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu

4. Ligitasi Litigasi diartikan sebagai proses penyelesaian konflik melalui

pengadilan. Pihak-pihak yang merasa dirugikan mengadukan gugatan ke

pengadilan terhadap pihak lain yang menyebabkan timbulnya kerugian.

Keputusan dalam ligitasi adalah bersifat mengikat. Sedangkan pihak

berkonflik tidak memiliki wewenang memilih hakim yang akan memimpin

sidang dan memutuskan perkara.

2.4.3. Dampak Adanya Konflik.

Konflik sejatinya menghasilkan dua dampak yaitu dampak positif dan

negatif. Konflik akan menghasilkan dampak negatif jika konflik itu dibiarkan,

tidak dikelola serta telah mengarah pada tindakan destruktif. Sebaliknya, konflik

akan berdampak positif jika konflik itu dapat dikelola sehingga konflik kemudian

bersifat konstruktif. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Coser dalam Susan

(2009, hlm.53-57) yang mengatakan bahwa konflik tidaklah hanya menghasilkan

dampak yang negatif tetapi konflik juga memiliki dampak positif. Hanya saja,

menurut Coser fungsi positif akan diperoleh ketika konflik memang dikelola dan

diekspresikan sewajarnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dampak

dari konflik sangat bergantung apakah konflik itu bersifat destruktif ataukah

bersifat konstruktif.

Carpenter dan Kennedy dalam Susan (2009, hlm.7) mengatakan konflik

yang destruktif senantiasa muncul dalam bentuk kehancuran disemua sisi, seperti

kehancuran tata sosial dan fisik. Konflik destruktif menyertakan cara-cara

kekerasan didalamnya. Dampak dari konflik destruktif menurut penulis

diantaranya : (1) korban luka, (2) korban jiwa, (3) kerusakan sarana dan prasarana

sosial, (4) kerugian materil, (5) keretakan dan kehancuran hubungan sosial.

Carpenter dan Kennedy (Susan, 2009:7) melanjutkan bahwa konflik konstruktif

akan muncul dalam bentuk peningkatan kerjasama atau kesepakatan yang

menguntungkan seluruh pihak berkonflik. Adapun dampak positif dari konflik

sosial menurut Coser diantaranya yaitu mampu menciptakan dan memperkuat

identitas dan kohesi kelompok sosial , meningkatkan partisipasi setiap anggota

terhadap pengorganisasian kelompok serta dapat menjadi alat bagi suatu

kelompok untuk mempertahankan eksistensinya (Susan, 2009, hlm. 55-56)

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf · a. Diskriminasi Etnosentrisme Sikap diskriminasi ras yang pertama adalah etnosentrisme,

29

Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu

2.5 Penelitian Terdahulu.

Penelitian dan penelitian sejarah mengenai Islam di Tiongkok telah

banyak ditulis oleh para sarjana dan sejarawan Indonesia maupun luar negeri.

Akan tetapi, kebanyakan dari mereka menitikberatkan kajiannya pada sejarah

awal masuknya Islam di Tiongkok serta rintangan-rintangan yang dialami oleh

para pemeluk Islam Tiongkok oleh para penyerang Manchu yang tidak menyukai

keIslaman mereka karena dianggap mendukung pemerintahan terdahulu yang pro

Islam. Penelitian ini terdiri dari buku, jurnal, dan Skripsi.

2.5.1. Jurnal.

Pertama, adalah dari artikel yang diterbitkan oleh central asian affairs

Journal Vol 2 hlm. 221-245 ditulis oleh Remi Castets (2015) yang berjudul The

Modern Chinese State and Strategies of Control over Uighur Islam. Dalam artikel

ini dijelaskan mengenai strategi Pemerintah Tiongkok dalam mengkontrol umat

muslim Uighur, dalam artil ini dijelaskan bahwa pemerintah komunis Tiongkok

telah menerapkan berbagai kebijakan yang bertujuan menghilangkan interpretasi

atau instrumentasi Islam yang bertentangan dengan kebijakannya sendiri. Lebih

baru-baru ini, Tiongkok telah menerapkan seperangkat aturan baru melalui

"peradilan" kegiatan keagamaan. Aturan-aturan ini bertujuan memberantas semua

bentuk politisasi Islam di masjid Uighur dan sistem pengajaran Alquran, dan

sampai pada mendefinisikan batas "Islam modern dan patriotik." Fokus penelitian

Jurnal ini lebih terfokus pada Kontrol-kontrol yang dilakukan oleh pemerintah

Tiongkok sebagai proses modernisasi sebagai perwujudan dari negara sosialis

komunis Tiongkok yang baru, harus melegitimasi monopoli kekuasaannya dan

fondasi ideologis dari proyek sosial, ekonomi, dan budaya. Kontrol ini, yang

diberlakukan melalui berbagai sistem sosialisasi, adalah kuncinya untuk proses

homogenisasi representasi dimana politik dan legitimasi ideologis negara baru

dapat dijamin. Artikel ini tidak banyak membahas mengenai kehidupan muslim

Uighur di Xinjiang sehingga ini menjadi pembeda dengan penelitian peneliti.

Kedua Artikel yang diterbitkan oleh Asian Affairs: AnAmerican Review

vol 35 (1), hlm. 15-30 ditulis oleh Elizabeth, V.W.Davis (2008) yang berjudul

“Uighur Muslim Ethnic Separatism in Xinjiang, Tiongkok.” Isi artikel Davis

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf · a. Diskriminasi Etnosentrisme Sikap diskriminasi ras yang pertama adalah etnosentrisme,

30

Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu

adalah sejarah singkat kebijakan Tiongkok terhadap kelompok Muslim di

Tiongkok Barat, dan sebuah analisis tentang bagaimana sejarah tersebut telah

berkontribusi pada politik masa kini. Artikel ini sangat membantu bagi peneliti

karena peneliti tertarik secara khusus dalam hubungan antara Tiongkok dan Asia

Tengah. Selain itu, artikel ini menjelaskan perubahan hubungan antara Tiongkok

dan populasi Muslimnya pasca 9/11. Sementara artikel ini terutama berfokus pada

Tiongkok dan Timur Tengah, artikel ini juga membahas kebijakan luar negeri AS

sehingga memiliki perbedaan dengan penelitian yang akan peneliti tulis.

Ketiga Artikel yang diterbitkan oleh Terrorism and political violence vol

20 (2), halaman. 271-301, ditulis oleh Michael Clarke tahun (2008) yang berjudul

“Tiongkok‟s „War on Terror‟ in Xinjiang: Human Security and the Causes of

Violent Uighur Separatism.” Clarke membahas tentang konsekuensi dari label

"teroris" yang ditempatkan pada orang Uighur di Xinjiang oleh pemerintah

Tiongkok. Clarke menunjukkan bahwa, sepanjang sejarah, pemberontakan

kekerasan utama di Xinjiang telah menjadi respons terhadap perubahan kebijakan

mengenai orang Uighur, baik selama masa Maois Tiongkok atau pemerintahan

saat ini. Kekerasan tersebut bukanlah tindakan terorisme, bertentangan dengan

yang diklaim oleh Tiongkok dan negara-negara lain. Selain itu, label "teroris"

telah berbuat banyak untuk meningkatkan kesadaran akan perjuangan mereka di

dalam masyarakat internasional. Jika ada, label itu telah menghambat

perkembangan yang telah mereka capai selama dua dekade terakhir ini. Artikel ini

menjelaskan bahwa kebijakan politik dan ekonomi Tiongkok membuat sangat

sulit, jika bukan tidak mungkin, bagi orang Uighur untuk mempertahankan

budaya dan identitas mereka sendiri di Tiongkok.

Keempat Artikel yang diterbitkan oleh Media Masyarakat, kebudayaan,

dan politik vol 24 (4), halaman. 1-15, ditulis oleh Baiq L.S.W. Wardhani tahun

(2011) yang berjudul “ Respons Tiongkok atas Gerakan Pan-Uighuris di Provinsi

Xinjiang”. Paper ini berisi tentang upaya-upaya pemerintah Tiongkok untuk

mempertahankan wilayah Xinjiang dan mencegah meluasnya gerakan Pan-

Uighurisme berkembang di Tiongkok bagian barat adalah masalah identitas,

sumber daya alam dan geografi. Dalam Paper ini juga menjelaskan bagaimana

Tiongkok mengambil hati kaum Uighur di Xinjiang dengan cara memberi

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf · a. Diskriminasi Etnosentrisme Sikap diskriminasi ras yang pertama adalah etnosentrisme,

31

Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu

prioritas pembangunan pada provinsi tertinggal itu agar mereka bersedia meredam

keinginannya untuk mendirikan negara merdeka sendiri. Jadi paper ini

menjelaskan bahwa upaya-upaya Pemerintah Tiongkok meredam Gerakan Pan-

Uighuris di Provinsi Xinjiang.

Kelima artikel yang diterbitkan oleh jurnal Sosiologi vol 19 (1), halaman.

41-51, yang ditulis oleh Gita karisma pada tahun (2017) yang berjudul “Konflik

etnis di xinjiang: kebijakan monokultural dan kepentingan negara Tiongkok

terhadap keutuhan wilayah”. Yang terkait dengan bahasan peneliti adalah

Tulisannya mengkaji lebih lanjut perihal konflik internal Xinjiang dan penyebab

konflik internal di wilayah Tiongkok tersebut. Tapi yang membedakan dengan

tulisan saya adalah dalam jurnal ini dia menitikberatkan pada kebijakan

monokultural dan kemudian penelitian ini ditinjau dari segi hubungan

internasional.

Keenam artikel yang diterbitkan oleh The Tiongkok Journal vol 7 (3) hlm.

65-90, yang ditulis oleh Becquelin, N. Pada tahun (2000), yang berjudul “Xinjiang

in the Nineties.” dalam The Tiongkok Journal membahas tentang saat jatuhnya

Uni Soviet pada awal 1990an, pemerintah Tiongkok mengenali volatilitas

kawasan ini dan mencoba untuk memerintah dalam budaya Uighur di provinsi

Xinjiang untuk menyesuaikannya lebih dengan budaya dan politik Tionghoa.

Selain itu, Tiongkok menyesuaikan diri dengan membentuk sebuah aliansi yang

disebut "kelompok lima" dengan negara-negara Asia Tengah lainnya untuk

mengendalikan atmosfir sosiopolitik di wilayah tersebut. Becquelin menulis

sketsa sejarah Xinjiang yang sangat informatif selama tahun 1990an, khususnya

setelah jatuhnya Uni Soviet. Artikel ini akan sangat berguna bagi peneliti yang

ingin mengetahui bagaimana aspek politik, ekonomi, dan sosial masyarakat

Xinjiang berkembang selama akhir. dua dekade.

Ketujuh artikel yang diterbitkan oleh jurnal Independence vol 1 (3) hlm.

165-179, yang ditulis oleh Muhammad Nizar Hidayat. Pada tahun 2013, yang

berjudul Diaspora Uighur dan Hak Sipil di Xinjiang Tiongkok. Jurnal ini

mendeskripsikan menganalisis upaya diaspora Uygur dalam memperjuangkan hak

rakyat Uygur di Tiongkok. Dalam penelitian ini ditunjukkan bahwa diaspora

Uighur berupaya untuk mencapai tujuannya dengan berbagai cara, yang terkadang

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf · a. Diskriminasi Etnosentrisme Sikap diskriminasi ras yang pertama adalah etnosentrisme,

32

Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu

saling melemahkan. Pada tahun 2004 diaspora Uighur di Jerman mencoba untuk

menyatukan gerakan ini dengan membentuk World Uighur Congress (WUC).

Organisasi tersebut kemudian secara aktif memperjuangkan hak rakyat Uighur

melalui advokasi dan propaganda. Walaupun sekilas tampak bahwa perjuangan

WUC ini tidak membuahkan hasil apapun dikarenakan statu quo masih

dipertahankan di Xinjiang, namun jika dianalisis lebih lanjut, maka akan terlihat

bahwa WUC telah membuka jalan bagi tercapainya tujuan yang mereka inginkan.

Mereka berhasil dalam langkah yang paling awal dalam perjuangan mereka, yakni

mengenalkan isu Uighur kepada dunia internasional. Mereka telah mengangkat

isu Uighur ke dunia internasional, meningkatkan awareness diantara para politisi

dan masyarakat di negara-negara tersebut mengenai isu Uighur. Public awareness

yang dihasilkan oleh lobi-lobi dan propaganda WUC ini akan sangat berguna bagi

perjuangan mereka di kemudian hari.

Kedelapan artikel yang diterbitkan oleh Human Right And Human

Walfare vol 4 hlm. 05-29 yang ditulis oleh Katie Corradini pada tahun 2011, yang

berjudul Uighurs under the Chinese State: Religious Policy and Practice in

Tiongkok. Artikel ini Menyebutkan bahwa Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok

(RRC) terkenal karena melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Dengan

berbagai pelanggaran-pelanggara yang dilakukannya antara lain, Pelanggaran

pembunuhan bayi, perdagangan manusia, penegakan kekerasan terhadap

kebijakan satu anak, dan penganiayaan agama. Masyarakat internasional

umumnya mengabaikan penganiayaan agama terhadap orang Uighur, yang

menjadi sasaran dan sering ditindas oleh pemerintah Tiongkok. Tiongkok bisa

dibilang sebagai pusat sistem politik dan ekonomi internasional, namun, karena

diaspora Uighur berkembang ke negara-negara maju, termasuk Amerika Serikat,

seluruh dunia harus memahami isu-isu yang berada di garis depan konflik.

2.5.2. Skripsi.

Peneliti juga menemukan beberapa Skripsi terkai dengan pembahasan

peneliti diantaranya adalah, karya Muhamad izzul mubarak tahun 2018 yang

berjudul Kebijakan pemerintah Tiongkok terhadap muslim uighur perpektif

siyasah syar’iyyah. Skripsi ini menjelaskan mengenai pemerintah Tiongkok

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf · a. Diskriminasi Etnosentrisme Sikap diskriminasi ras yang pertama adalah etnosentrisme,

33

Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu

melanggar Hak-hak anak Adam dalam konsep siyasah syar’iyyah yang dimiliki

oleh muslim Uighur bahwasa-nya di sini peneliti meneliti kebijakan pemerintah

Tiongkok yang di rasa melanggar konsep hukum-hukum dan hak-hak anak Adam

yang dimiliki oleh muslim Uighur, dari segi persesuaian dengan prinsip-prinsip

agama Islam dan merupakan realisasi kemaslahatan manusia yang memenuhi

kebutuhan nya. dan pemerintah Tiongkok melanggar Hak Asasi International

yang tercantum dalam konvensi jenewa 1949 dan statuta Roma. Pemerintah

Tiongkok mengeluarkan kebijakan represif terhadap muslim Uighur dengan

alasan ingin melawan terorisme. Akan tetapi kebijakan pemerintah Tiongkok

tersebut justru dikecam oleh International maupun Islam. Jadi sangat berbeda

dengan fokus penelitian yang akan peneliti tulis.

Kedua skripsi Ika Yogyantari yang berjudul Muslim Uighur di Propinsi

Xinjiang Pada Masa Pemerintahan Komunis Tiongkok Tahun 1949-2008 M. Ika

dalam skripsinya tersebut menjelaskan tentang bagaimana kebijakan pemerintah

komunis Tiongkok terhadap umat Islam suku Uighur, serta respon Uighur

terhadap kebijakan itu. Adapun di dalam pembahasannya, Ika membagi isi

skripsinya menjadi tiga bagian penting, yaitu (1) gambaran umum Propinsi

Xinjiang, (2) Islam di Xinjiang, dan (3) respon muslim Uighur di Xinjiang

terhadap kebijakan Pemerintah Tiongkok. Meskipun skrispi Ika sama-sama

meneliti tentang muslim di Xinjiang tetapi yang membedakan dengan penelitian

saya yang pertama mengenai periode kedua ika hanya membahas mengenai umat

muslim di Xinjiang saja tanpa mengkaji lebih dalam mengenai kebijakann apa

saja yang telah dikeluarkan oleh pemerintah komunis Tiongkok.

Ketiga Amelia, Lidya Elmira pada tahun 2018 yang berjudul Diskriminasi

rasial terhadap minoritas muslim uighur di Tiongkok ditinjau dari hukum islam.

Skripsi ini membahas mengenai salah satu contoh kasus diskriminasi rasial oleh

pemerintah Tiongkok terhadap muslim Uighur. Kasus ini ialah kasus diskriminasi

yang dilakukan pemerintah Tiongkok terhadap etnis minoritas Uighur di

Tiongkok, etnis Uighur merupakan salah satu etnis minoritas di Tiongkok.

mayoritas etnis Uighur tersebut mendiami wilayah Tiongkok yang bernama

Xianjiang dan penelitian ini ditinjau dari hukum islam, Hasil penelitian ini bahwa

diskriminatif yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok tidak bisa dibenarkan

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf · a. Diskriminasi Etnosentrisme Sikap diskriminasi ras yang pertama adalah etnosentrisme,

34

Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu

meskipun dengan alasan sebagai tindakan represif untuk menjaga keamanan dan

kestabilan negara.

Keempat ada skripsi yang berjudul Perkembangan Agama Islam di

Tiongkok Pasca Revolusi Kebudayaan pada Tahun 1976-1999”. Oleh Tony

Setiawan. Skripsi ini membahs mengenai kondisi keagamaan di Xinjiang sebelum

dan pasca Revolusi Budaya, Organisasi internal di Xinjiang maupun internasional,

penentangan kaum Muslim terhadap kebijakan pemerintah Tiongkok,

Sumbangannya di bidang perekonomian, pendidikan. Adanya kekerasan,

penindasan,dan tekanan dari pihak pemerintah serta kelompok-kelompokter tentu

yang tidak menginginkan Islam berkembang di Xinjiang, juga perlawanan

mereka. Skripsi ini bisa menjadi sumber referensi bagi peneliti.

Kelima Skripsi yang bisa dijadikan Referensi oleh peneliti adalah karya

Muhamad Fajrin Saragih, tahun 2015 yang berjudul, Tinjauan Yuridis

Pelanggaran HAM terhadap Muslim Uighur di Tiongkok ditinjau dari hukum

humaniter. Skripsi ini menjelaskan tentang peristiwa kejahatan yang menimpa

Muslim Uighur di Tiongkok telah menjurus kepada Genosida, usaha pembersihan

etnis karena dilakukan secara sistematis, dimulai dengan kebijakan-kebijakan

Pemerintah Tiongkok yang menyudutkan keberadaan Muslim Uighur.Skripsi ini

juga menyebutkan bahwa Pemerintah Tiongkok melakukan pelanggaran HAM di

Xinjiang, diantaranya pelanggaran kebebasan beragama, warga Muslim Uighur

dilarang untuk melakukan ritual keagamaan seperti Sholat dan berpuasa pada saat

bulan Ramadhan, Masjid-Masjid dijaga ketat oleh pasukan keamanan pemerintah

Tiongkok. Jadi menurut penelitian ini Pemerintah Tiongkok telah melanggar Hak

Asasi Manusia terhadap Muslim Uighur di Xinjiang.

Keenam skripsi dari James Senduk, dalam penelitiannya di tahun 2014

yang berjudul “Analisis Yuridis Atas Perlakuan Rasisme Berdasarkan

International Convention on The Elimination of All Forms of Racial

Discrimination 1965 Studi Kasus Diskriminasi Terhadap Etnis Uighur Di

Tiongkok” Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pelanggaran

hak-hak yang seharunya dijamin oleh negara peserta konvensi hak tersebut adalah

hak untuk diperlakukan sama hak sipil dan hak politik serta hak ekonomi, sosial

dan budaya. Sebagai upaya untuk memperjuangkan haknya etnis Uighur

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.upi.edurepository.upi.edu/39564/5/S_SEJ_1506695_Chapter2.pdf · a. Diskriminasi Etnosentrisme Sikap diskriminasi ras yang pertama adalah etnosentrisme,

35

Wulan Safitri, 2019 UMAT MUSLIM DI XINJIANG DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH KOMUNIS TIONGKOK 1950-2014 (Kajian Konflik Etnis Uighur) Universitas Pendidikan Indonesia Ι repository.upi.edu Ι perpustakaan.upi.edu

menempuh dua cara yaitu yang pertama secara damai melalui World Uighur

Congress, yang kedua dengan cara memberikan tekanan kepada pemerintah

Tiongkok melalui aksi-aksi teror yang dilakukan oleh beberapa organisasi serta

kelompok etnis Uighur yang ingin memisahkan diri dari Tiongkok.