A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

50
LAPORAN KEGIATAN SEMINAR MANDIRI PENGUKURAN EKSPRESI INTERFERON-TAU (IFN-τ) STIMULATED GENE DALAM LEUKOSIT DARAH UNTUK DIAGNOSA KEBUNTINGAN 18-20 HARI SETELAH INSEMINASI PADA SAPI PERAH Judul asli: Measurement of interferon-tau (IFN-τ) stimulated gene expression in blood leukocytes for pregnancy diagnosis within 18-20 d after insemination in dairy cattle J. C. Green, C. S. Okamura, S. E. Poock, M. C. Lucy Animal Reproduction Science 121 (2010) 24-33 Oleh: Dinda Ayu Irani, S.K.H 14/374342/KH/8299 Dosen Pembimbing Dr. drh. Surya Agus Prihatno, M.P.

description

Korep

Transcript of A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

Page 1: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

LAPORAN KEGIATAN SEMINAR MANDIRI

PENGUKURAN EKSPRESI INTERFERON-TAU (IFN-τ) STIMULATED GENE DALAM LEUKOSIT DARAH UNTUK DIAGNOSA

KEBUNTINGAN 18-20 HARI SETELAH INSEMINASI PADA SAPI PERAH

Judul asli:

Measurement of interferon-tau (IFN-τ) stimulated gene expression in blood leukocytes for pregnancy diagnosis within 18-20 d after insemination in dairy

cattleJ. C. Green, C. S. Okamura, S. E. Poock, M. C. Lucy

Animal Reproduction Science 121 (2010) 24-33

Oleh: Dinda Ayu Irani, S.K.H

14/374342/KH/8299

Dosen PembimbingDr. drh. Surya Agus Prihatno, M.P.

BAGIAN REPRODUKSI DAN KEBIDANANFAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA2015

Page 2: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

ii

ii

Page 3: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

INTISARI

PENGUKURAN EKSPRESI INTERFERON-TAU (IFN-τ) STIMULATED GENE DALAM LEUKOSIT DARAH UNTUK DIAGNOSA

KEBUNTINGAN 18-20 HARI SETELAH INSEMINASI PADA SAPI PERAH

J. C. Green, C. S. Okamura, S. E. Poock, M. C. Lucy

Diterjemahkan oleh: Dinda Ayu Irani, S.K.H

14/374342/KH/8299

Tujuan penelitian ini untuk mendiagnosa kebuntingan pada 18 hari setelah inseminasi dengan mengukur ekspresi ISG (Interferon-tau Stimulated Gene) dalam sirkulasi leukosit.Berdasarkan hasil microarray, tiga gen terpilih yaitu (Oas1), (Mx2), dan (Isg15). Masing-masing gen diuji denganreal time RTPCR (Reverse Trancriptase Polymerase Chain Reaction).Percobaan pertama, RNA diisolasi dari sapi perah bunting (n=5) dan sapi perah tidak bunting (n=15) masing-masing pada hari ke 14, 16, 18, dan 20 setelah inseminasi. Ekspresi ISG (Mx2 dan Isg15) lebih tinggi pada sapi bunting pada hari ke 18 dan 20. Percobaan kedua dilakukan dengan mengukur ISG pada hari ke 17 (Percobaan 2A) dan hari ke 18 (Percobaan 2B).Percobaan 2A, darah dikoleksi dari sapi bunting (n=16) dan sapi tidak bunting (n=16) pada hari ke 17 setelah inseminasi. Hasilnya, sapi bunting memiliki Mx2 dan Oas1 lebih tinggi tetapi kurva ROC (Receiver Operator Characteristic) menunjukkan hasil bahwa tes kebuntingan tersebut tidak valid untuk digunakan. Percobaan 2B, darah dikoleksi dari sapi bunting (n=21) dan tidak bunting (n=21) pada hari ke 18 setelah inseminasi. Hasilnya, Mx2 dan Oas1 lebih tinggi pada sapi primipara bunting daripada sapi primipara tidak bunting pada hari ke 18. Sapi multipara, bunting maupun tidak bunting memiliki ekspresi ISG yang sama pada hari ke 18.

Koreksi terhadap kemungkinan ekspresi ISG pre-inseminasi diuji pada percobaan terakhir. Sampel pertama, darah dikoleksi dari sapi (n=54) dan sapi dara (n=24) selama fase luteal dari inseminasi sebelumnya. Sampel kedua, darah dikoleksi dari sapi dan sapi dara yang samapada hari ke 18 setelah inseminasi. Perbandingan sampel kedua (setelah inseminasi) dengan sampel pertama (sebelum inseminasi) memiliki tingkat sensivitas yang rendah terhadap ISG untuk deteksi kebuntingan. Terdapat peningkatan ekspresi ISG yang tinggi di hari ke 18 kebuntingan pada sapi dara (lebih dari 1 tahun) yang dapat diukur untuk uji kebuntingan yang valid.

Kesimpulan dari penelitian ini bahwa metode berdasarkan ekspresi ISG yang valid untuk deteksi kebuntingan dapat diterapkan sedini mungkin pada hari 18 tetapi hanya pada sapi dara. Pada sapi yang lebih tua memliki respon lebih rendah sehingga mungurangi tingkat sensitivitas uji ISG pada maupun sebelum hari ke 18.

Kata kunci :ISG, deteksi kebuntingan, sapi.

iii

Page 4: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat, kasih dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah

yang berjudul “Pengukuran Ekspresi Interferon-tau (IFN-τ) Stimulated Gene

pada Leukosit Darah untuk Diagnosa Kebuntingan 18-20 Hari Setelah

Inseminasi pada Sapi Perah ”, sebagai salah satu persyaratan mencapai derajat

Dokter Hewan pada Koasistensi Reproduksi dan Kebidanan Fakultas Kedokteran

Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.Makalah ini tidak terlepas dari

bantuan berbagai pihak, maka dengan segala kerendahan hati penyusun

menyampaikan rasa hormat dan ucapan terimakasih kepada :

1. Koordinator Koasistensi Reproduksi dan Kebidanan di Fakultas Kedokteran

Hewan Universitas Gadjah Mada

2. Dr. drh. Surya Agus Prihatno, M.P.selaku dosen pembimbing dan penguji

3. Staf Laboratorium Reproduksi dan Kebidanan Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Gadjah Mada

4. Teman-teman kelompok A.2014.02 dan semua pihak yang telah banyak

membantu penulis.

Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan

manfaat bagi para pembaca dan perkembangan ilmu pengetahuan terutama

tentang pengukuran ekspresi Interferon-tau (IFN-τ) Stimulated Gene pada leukosit

darah untuk diagnosa kebuntingan 18-20 hari setelah inseminasi pada sapi perah.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh

karena itu saran dan kritik sangat penulis harapkan sebagai koreksi.

Yogyakarta, Maret 2015

Penulis

iv

Page 5: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ii

INTISARI iii

KATA PENGANTAR iv

DAFTAR ISI v

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR TABEL vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 2

MATERI DAN METODE 3

AnalisaMicroarray 3

Percobaan 1 4

Percobaan 2 5

Percobaan 3 6

HASIL 8

AnalisaMicroarray 8

Percobaan 1 9

Percobaan 2A 11

Percobaan 2B 13

Percobaan 3A 14

Percobaan 3B 15

PEMBAHASAN 17

KESIMPULAN 22

DAFTAR PUSTAKA 23

v

Page 6: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.Rasio fold change antara Mx2 dengan cyclophilin (Mx2_ratio; A), Isg15 dengan cyclophilin (Isg_ratio; B), dan konsentrasi plasma progesteron (C) pada hari ke 14-20 setelah inseminasi pada sapi perah yang terdiagnosa bunting atau tidak bunting setelah inseminasi (P<0,005) 9

Gambar 2.Kurva ROC (Receiver Operator Characteristic) untuk Oas1 dan Mx2 pada hari 17 dan 18 (A, Oas1_ratio. B, Mx2_ratio; Percobaan. 2) dan untuk perbedaan paritas pada hari 18 setelah inseminasi (C, Oas1_ratio. D, Mx2_ratio; Percobaan. 2) 12

Gambar 3.Kurva ROC untuk Oas1, Mx2, Cyclophilin, dan progesteron hari 18 setelah IB pada sapi primipara (A) dan sapi dara nulipara (C), dan kurva ROC untuk rasio antara sampel 2 dengan sampel 1 untuk Mx2, Oas1, dan Cyclophilin pada sapi primipara (B) dan sapi dara nulipara (D) 14

vi

Page 7: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Gen, GenBank number,primer sequence (forward and reverse primer; 5' to 3') dan lokasi dari primer didalam GenBank sequence untuk gen-gen yang dijelaskan selama proses RTPCR 4

Tabel 2. Affymetrix probe ID, GenBank number, Fold Change pada ekspresi gen [up (naik) atau down (turun)], nilai P, dan nama gen yang mempunyai ekspresi tinggi (level ekspresi > 100) pada RNA yang diisolasi dari leukosit dan ekspresi gen yang regulasinya naik atau turun setidaknya 2 fold dalam sampel darah yang dikoleksi pada hari 15 (sesuai referensi) dan hari ke 18 kebuntingan 8

Tabel 3. Ekspresi gen relative (Ismean ± SEM) untuk ISG dan konsentrasi progesteron darah (mg/ml) pada hari ke 17 atau 18 setelah inseminasi pada sapi (Percobaan 2A, 2B , dan 3A ) atau sapi dara nulipara (Percobaan 3B) 10

Tabel 4. Rasio ekspresi gen untuk Mx2, Oas1, dan Cyclophilin antara sampel 1 (dikoleksi selama fase luteal dari siklus estrus sebelum IB) dengan sampel 2 (dikoleksi pada hari 18 setelah IB) pada sapi (Percb. 3A) dan sapi dara (Percb. 3B) 13

vii

Page 8: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pelaksanaan pengendalian program manajemen reproduksi diantaranya

sinkronisasi estrus atau waktu inseminasi buatan dapat menurunkan days open

dengan pengendalian terhadap jarak waktu dari beranak sampai dilakukannya

inseminasi (Tenhagen et al., 2004). Metode re-sinkronisasi estrus secara khusus

digunakan pada kelompok sapi sehingga inseminasi kedua dapat dilakukan secara

serempak pada sapi-sapi yang tidak bunting setelah inseminasi pertama. Program

re-sinkronisasi estrus secara umum dilaksanakan agar inseminasi yang kedua

dapat dilakukan pada 28-56 hari setelah inseminasi pertama (interval 4-8 minggu).

Tanpa memperhatikan interval, sapi-sapi tersebut harus dilakukan diagnosa

kebuntingan karena program re-sinkronisasi estrus yang menggunakan injeksi

PGF2α akan menyebabkan abortus jika sapi dalam keadaan bunting. Sapi yang

tidak bunting dapat diinseminasi ulang pada interval terpendek (misal 3 minggu

setelah inseminasi pertama) jika diagnosa kebuntingan dapat dilakukan lebih awal

setelah inseminasi. Contohsistem 3 minggu yang dikemukakan oleh Lucy et al.

(2004). Sistem ini membutuhkan metode deteksi kebuntingan yang akurat pada

atau sebelum hari ke 18 setelah inseminasi pertama. Sebab pada saat itu deteksi

kebuntingan dengan USG (ultrasonograpgy) belum bisa dilakukan sehingga

deteksi kebuntingan dengan metode kimiawi dibutuhkan.

Salah satu cara untuk deteksi kebuntingan secara kimiawi pada hari ke 18

setelah inseminasi adalah interferon-tau (IFN-τ), sebuah protein yang

dikarakteristikkan sebagai protein yang diproduksi oleh tropoblas pada hari ke 14

kebuntingan (Thatcher et al., 1995). Sejumlah IFN-τ keluar dari uterus dan dapat

terdeteksi di dalam darah (Oliveira et al., 2008; Bott et al., 2010). Konsentrasi

IFN-τ dalam sirkulasi darah sangat rendah. Walaupun demikian faktanya IFN-τ

dapat digunakan sebagai tes kebuntingan. Sebagai alternatifnya adalah dengan

mengukur respon dari leukosit darah terhadap IFN-τ. Leukosit merespon IFN-τ

1

Page 9: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

2

dengan pengeskpresian ISG (IFN-τ Stimulated Gene). Fungsi ISG untuk tujuan

deteksi kebuntingan pada sapi perah telah diperkenalkan baru-baru ini (Han et

al.,2006; Gifford et al., 2007; Stevenson et al., 2007). Han et al.(2006)

menemukan bahwa progesteron darah dan Isg15 dapat diterima sebagai metode

diagnosa kebuntingan jika sampel dikoleksi pada usia (hari) kebuntingan yang

beragam. Gifford et al. (2007) mengemukakan bahwa regulasi ISG meningkat

dalam leukosit darah perifer dari sapi bunting pada hari ke 18 dan 20 setelah

inseminasi buatan (IB) dibandingkan pada hari ke 0 (saat IB). Walaupun

demikian, Stevenson et al. (2007) mengemukakan bahwa Mx2 bukan merupakan

penanda aktif untuk diagnosa kebuntingan pada sapi dara.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan fungsi ISG untuk

diagnosa kebuntingan pada 18 hari setelah inseminasi. Oleh karena itu diakukan

identifikasi terhadap ISG dengan percobaan microarray dan kemudian dilakukan

serangkaian percobaan secara in vivo untuk menentukan kegunaan ISG dalam

deteksi kebuntingan awal pada sapi perah laktasi dan sapi dara perah non laktasi.

2

Page 10: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

MATERI DAN METODE

AnalisaMicroarray

Tiga sapi Holstein primipara yang sedang laktasi dari Universitas

Missouri Foremost Dairy Farm dilakukan sinkronisasi estrus dan inseminasi

menggunakan program Presynch-Ovsynch (Moreira et al., 2001). Darah dikoleksi

dari vena atau arteri caudal bagian median kedalam tube yang berisi 100 µl

larutan EDTA (K3) 15% pada hari ke 15 dan 18 setelah IB. Darah diletakkan

dalam es dan isolasi RNA dilakukan dari leukosit dimulai dalam dua jam setelah

pengambilan darah. Selanjutnya dilakukan ekstraksi dan pemurnian RNA

menggunakan QIAamp® RNAblood kit dan diberikan perlakuan DNase sesuai

dengan instruksi pabrik. RNA yang dimurnikan kemudian direndam kedalam air

steril dengan konsentrasi yang ditentukan dengan pengukuran daya serap pada

260 nm. Pemurnian RNA ditentukan oleh penghitungan rasio daya serap pada 260

nm dan 280 nm menggunakan ND-1000 UV-visSpectrophotometer. RNA

sebanyak 1 µg dielektroforasis melalui 1% agarose gel dalam buffer EDTA

(0,09M Tris-borate dan 0,002M EDTA) dengan ethidium bromide (0,5 µg/ml)

untuk membuktikan keutuhan dari masing-masing sampel. RNA yang diisolasi

disimpan pada suhu -18oC. Sapi kemudian diperiksa menggunakan USG untuk

memastikan bahwa sapi-sapi ini dalam keadaan bunting pada saat dilakukan

pengabilan darah.

Selanjutnya dilakukan analisamicroarray. Sebanyak 0,5 µg RNA

digunakan untuk membuat biotin-labeled target antisense RNA (aRNA)

menggunakan MessageAmpTM Premier RNA amplification kit dengan mengikuti

prosedur pabrik. Singkatnya, total RNA dilakukan reverse transcribe untuk

untaian pertama cDNA dengan oligo (dT) primer pembawa promoter 5 ’-T7

menggunakan ArrayScript reverse transcriptase (Ambion). Untaian pertama

cDNA kemudian mengalami sintesis untaian kedua sehingga mengubahnya

menjadi untaian ganda cDNA untuk transkripsi in vitro. Biotin-labeled aRNA

disintesis menggunakan T7 RNA Transcriptase dengan Biotin-NTP mix. Setelah

3

Page 11: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

4

pemurnian, aRNA difragmentasi dalam buffer fragmentasi pada 94oC selama 35

menit. Sebanyak 130 µl larutan hibridisasi yang mengandung 50ng/µl dari

fragmentasi aRNA yang dihibridisasi dengan Bovine Genome Array Genechip

(Affymetrix, Santa Clara, CA) pada 45oC selama 20 jam. Setelah hibridisasi, chips

dicuci dan dicat dengan R-phycoerythrin-sterptavidin dalam Affymetrix fluidics

station 450 menggunakan fluidics protocol Midi_euk2v3-450. Data gambar

didapat dari Affymetrix Genechip scanner 3000. Data dianalisa menggunakan

ArrayStar 2.0 Software (DNASTAR Inc., Madison, WI).

Tabel 1. Gen, GenBank number,primer sequence (forward and reverse primer; 5' to 3') dan lokasi dari primer didalam GenBank sequence untuk gen-gen yang dijelaskan selama proses RTPCR.

Gen GenBank Primer Primer sequence Lokasi primerIsg15 NM_174366 Forward 5'-CAGCCAACCAGTGTCTGCAGAGA-3' 14-36

Reverse 5'-CCAGGATGGAGATGCAGTTCTGC-3' 284-306Mx2 NM_173941 Forwar 5'-CTTCAGAGACGCCTCAGTCG-3' 2071-2090

Reverse 5'-TGAAGCAGCCAGGAATAGTG-3' 2283-2302Oas1 NM_001040606 Forward 5'-ACCCTCTCCAGGAATCCAGT-3' 1157-1176

Reverse 5'-GATTCTGGTCCCAGGTCTGA-3' 1336-1355Cyclophilin NM_178320 Forward 5'-CACCGTGTTCTTCGACACTG-3' 23-42

Reverse 5'-ACAGCTCAAAAGAGACGCGG-3' 65-84

Percobaan 1

Percobaan 1 dilakukan untuk mengetahui ekspresi ISG dari hari ke 14

sampai 20 setelah inseminasi. Sapi Holstein yang sedang laktasi (n=20) di

Universitas Missouri Foremost Dairy Farmdigunakan. Sapi-sapi ini disinkronisasi

pada saat IB menggunakan Ovsynch (Pursley et al., 1997). Sampel darah dikoleksi

pada 14, 16,18 dan 20 hari setelah IB menggunakan metode yang dijelaskan pada

percobaan microarray. RNA diekstraksi dari leukosit dan dilakukan DNase-treat

sesuai dengan prosedur yang digunakan untuk microarray. Sebagian dari sampel

darah,bagian plasma dikoleksi untuk menganalisa progesteron dengan

radioimmunoassay (Kirby et al., 1997; single assay dengan intar-assay CV 7,6%).

Diagnosa kebuntingan dilakukan pada hari ke 30 setelah inseminasi dengan USG.

Lima ekor sapi terdiagnosa bunting dan 15 ekor sapi tidak bunting.

Page 12: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

5

Total RNA dari leukosit ditanskriptasi menjadi cDNA menggunakan

SuperScriptTM First Strand RT-PCR kit. Reaksi RTPCR diinisiasi menggunakan

ekuivalen cDNA 25 ng dari total RNA. Selanjutnya cDNA diperjelas dalam ABI

Prism 7500 thermocycler menggunakan Quanti-Tect Sybr Green PCR kit

(Qiagen) dan spesifik untuk Isg15 dan Mx2 (Tabel 1). Cyclophilin A juga

dianalisa dan digunakan sebagai kontrol internal housekeeping gene. Semua hasil

PCR adalah rangkaian DNA dan lebih dari 98% homolog dengan target gen

mereka. Sampel kemudian diuji rangkap tiga.

Data ekspresi gen diekspresikan sebagai perubahan ikatan yang relatif

terhadap standar sampel kontrol yang ada pada masing-masing cawan uji.

Perubahan ikatan ISG juga diekspresikan sebagai rasio terhadap perubahan ikatan

cyclophilin(Isg15-ratio dan Mx2_ratio). Ekspresi gen dan konsentrasi plasma

progesteron dianalisa menggunakan Proc Mixed.Penghitungan statistik didasarkan

pada status kebuntingan, hari setelah inseminasi dan status kebuntingan yang

dipengaruhi oleh hari.

Percobaan 2

Percobaan 2 dilakukan untuk mengetahui ekspresi ISG pada hari ke 17

(Percobaan 2A) dan pada hari ke 18 (Percobaan 2B) setelah IB. Sapi Holstein

yang sedang laktasi dari Universitas Missouri Foremost Dairy Farm digunakan.

Sampel darah dikoleksi pada hari ke 17 (Percobaan 2A; n=32) atau pada hari ke

18 (Percobaan 2B; n=42) setelah IB dan diproses dengan metode yang sama pada

percobaan pertama. Pada hari ke 32 setelah IB dilakukan diagnosakebuntingan

terhadap sapi-sapi tersebut dengan ultrasonography. Sapi yang terdiagnosa

bunting (n=16) pada percobaan 2A dan (n=21) pada percobaan 2B. Sapi yang

tidak bunting (n=16) pada percobaan 2A dan (n=21) pada percobaan 2B.

Total RNA leukosit ditranskripsi menjadi cDNA menggunakan High

Capacity cDNA Rever Reverse Transcription kit. Reaksi RTPCR membutuhkan

penggunaan cDNA sebanyak 25 ng dari total RNA. Metode RTPCR dilakukan

didalam ABI Prism 7500 thermocycler menggunakan Power SYBR Green PCR

Page 13: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

6

Master Mix dan primer untuk Oas1, Mx2 dan cyclophilin (Tabel 1). Sampel diuji

dalam rangkap dua.

Data ekspresi gen diekspresikan sebagai perubahan lipatan (fold) secara

relatif terhadap standar sampel kontrol yang dapat ditemukan pada masing-masing

cawan sampel. Perubahan lipatan ISG juga diekspresikan sebagai rasio terhadap

perubahan lipatan cyclophilin(Oas1_ratio dan Mx2_ratio). Analisi secara statistik

dilakukan dengan Proc GLM dari SAS. Model statistik terdiri dari status

kebuntingan, paritas(primipara=pertama kali beranak; multipara= beranak kedua

kali atau lebih) dan interaksi antara status dan kebuntingan.

Percobaan 3

Percobaan 3 dilakukan untuk mengetahui ekspresi ISG pada fase luteal

dari siklus sebelumnya dan pada hari ke 18 setelah IB. Sapi Holstein yang sedang

laktasi (n=54; Percobaan 3A) diseleksi dari peternakan sapi perah di Missouri.

Sapi dara Holstein (n=24; Percobaan 3B) dipilih dari Universitas Missouri

Foremost Dairy Farm

Pada sapi-sapi yang sedang laktasi, pengambilan sampel pertama

dilakukan kira-kira 80 hari postpartus segera setelah injeksi akhir PGF2α

terdahulu saat program IB (Moreira et al., 2001). Berdasarkan teori dari program

yang dijalankan, sapi-sapi tersebut berada pada hari ke 18 siklus estrus saat

pengambilan sampel dilakukan. Pengukuran terhadap konsentrasi plasma

progesteron menunjukkan hasil ≥1,0 ng/ml pada pengambilan sampel pertama

sehingga memenuhi syarat untuk pengambilan sampel kedua. Pengambilan

sampel kedua dilakukan pada hari ke 18 setelah inseminasi. Sampel darah

dianalisa seperti yang sudah dilakukan pada percobaan 2. Sampel disimpan

didalam dry ice sampai tiba di laboratorium kemudian dipindahkan kedalam

ruang penyimpanan dengan suhu -80oC sampai proses selanjutnya dilakukan.

Selanjunya dengan USG dilakukan diagnosa kebuntingan terhadap sapi-sapi

Page 14: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

7

tersebut pada hari ke 39 setelah inseminasi. Sebanyak 13 ekor bunting dan 41 ekor

tidak bunting.

Sapi dara yang digunakan untuk percobaan 3B disinkronisasi untuk

inseminasi pertama menggunakan CIDR yang dipasang selama 14 hari dan injeksi

PGF2α (25mg Lutalyse) 16 hari setelah CIDR dilepas. Selanjutnya IB dilakukan

12 jam setelah tanda-tanda estrus teramati. Pengambilan sampel pertama

dilakukan segera sebelum injeksi PGF2α yaitu ketika sapi dara berada pada fase

luteal secara teori (hari ke 13-15 siklus estrus). Pengukuran terhadap konsentrasi

plasma progesteron menunjukkan hasil ≥1 ng/ml pada sampel pertama sehingga

memenuhi syarat untuk dilakukan pengambilan sampel kedua. Sampel kedua

dikoleksi pada hari ke 18 setelah IB. Sampel diproses dan dianalisa seperti yang

telah dilakukan pada percobaan 3A. Sapi dara yang terdiagnosa bunting antara

hari ke 31 sampai 34 sebanyak 17 ekor dan 7 ekor tidak bunting.

Data ekspresi gen dianalisa menggunakan dua metode yang berbeda.

Analisa pertama dilakukan hanya pada data yang berasal dari sampel kedua (hari

ke 18 setelah IB). Sedangkan analisa kedua dilakukan pada kedua data yaitu rasio

dari sampel kedua (hari ke 18 setelah IB) dan sampel pertama (sebelum IB).

Variabel dengan nama “Mx2/Mx2”, “Oas1/Oas1”, dan “cyclo/cyclo” digunakan

untuk menentukan rasio sampel kedua dan sampel pertama. Data dianalisa

menggunakan Proc GLM dalam SAS. Status, paritas, dan status

olehparitas(Percobaan 3A) atau hanya status (Percobaan 3B).

Page 15: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

HASIL

Analisa Microarray

Hasil analisaMicroarray menunjukkan terdapat 17 gen memiliki nilai

fold-changelebih besar atau sama dengan 2-fold change pada ekspresi gen

(meningkat atau menurun; Tabel 2) pada hari ke 18 dibandingkan dengan hari ke

15 kebuntingan. Diantara gen-gen dengan peningkatan ≥2-fold adalah gen yang

ekpsresinya diketahui akibat stimulasi oleh IFN-τ (Oas1 7,5-fold meningkat,Isg15

5,2-fold meningkat, Mx2 3,5-fold meningkat, dan Mx1 2-fold meningkat).

Tabel 2.Affymetrix probe ID, GenBank number, Fold Change pada ekspresi gen [up (naik) atau down (turun)], nilai P, dan nama gen yang mempunyai ekspresi tinggi (level ekspresi > 100) pada RNA yang diisolasi dari leukosit dan ekspresi gen yang regulasinya naik atau turun setidaknya 2 fold dalam sampel darah yang dikoleksi pada hari 15 (sesuai referensi) dan hari ke 18 kebuntingan.

Affymetrix Probe GenBank Fold Change Signifikansi (P) Simbol Nama GenBt.20891.1.S1_at NM_001040606 Naik 7,5 <0,019 OAS1Bt.15788.3.S1_at BC149213 Naik 5,3 <0,029 LOC507402Bt.12304.1.S1_at NM_174366 Naik 5,2 <0,037 ISG15Bt.17729.1.A1_at XM_872122 Naik 4,4 <0,033 IFI44Bt.29258.1.A1_a_at NM_001037821 Naik 3,6 <0,042 MADCAM1Bt.8143.1.S1_at NM_173941 Naik 3,5 <0,009 MX2Bt.8436.1.S1_at NM_001075588 Naik 3,0 <0,020 IFI6Bt.23597.1.S1_at NM_001114515 Naik 2,5 <0,036 NUPR1Bt.4675.1.S1_a_at NM_173940 Naik 2,0 <0,010 MX1Bt.19295.1.S1_at NM_001101180 Naik 2,0 <0,032 APOLD1Bt.5002.1.S1_at NM_001035354 Turun 2,1 <0,041 GPD1Bt.26168.1.A1_at CK775191 Turun 2,1 <0,040 Tidak diketahuiBt.29753.1.S1_x_at XM_001251207 Turun 2,2 <0,024 CTL-F3Bt.24554.1.S1_at XM_583848 Turun 2,2 <0,050 ZNF212Bt.16727.1.S1_at NM_001075941 Turun 2,3 <0,005 CLN8Bt.7072.1.S1_at XM_001256316 Turun 2,3 <0,007 ZNF524Bt.26530.3.S1_a_at XM_001788744 Turun 2,6 <0,020 ACAD10

8

Page 16: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

9

Percobaan 1

Hasil percobaan 1 menunjukkan adanya pengaruh status dengan hari

(P<0,001) untuk Mx2_ratio (Gb. 1A). Rasio Mx2 meningkat dari hari ke 14

sampai hari ke 20 kebuntingan sapi tetapi masih tidak ada perubahan pada sapi

tidak bunting diperiode yang sama. Pola ekspresi gen untuk Isg15_ratio (Gb. 1B)

sama dengan Mx2_ratio (hubungan status dengan hari; P<0,007). Regresi dari

Mx2_ratio terhadap Isg15_ratio adalah signifikan (R2=0,87; P<0,001; Mx2_ratio=

0,36 + 0,51 x Isg15_ratio). Konsentrasi progesteron plasma tidak berbeda antara

sapi bunting dengan sapi tidak bunting (P>0,10; Gb. 1C).

Gambar 1. Rasio fold change antara Mx2 dengan cyclophilin (Mx2_ratio; A), Isg15 dengan cyclophilin (Isg_ratio; B), dan konsentrasi plasma progesteron (C) pada hari ke 14-20 setelah inseminasi pada sapi perah yang terdiagnosa bunting atau tidak bunting setelah inseminasi (P<0,005).

Page 17: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

10

Tabel 3.Ekspresi gen relatif (Ismean ± SEM) untuk ISG dan konsentrasi progesteron darah (mg/ml) pada hari ke 17 atau 18 setelah inseminasi pada sapi (Percobaan 2A, 2B , dan 3A ) atau sapi dara nulipara (Percobaan 3B).

Primipara Multipara Signifikansi (P)

Tidak bunting Bunting Tidak bunting Bunting Status Paritas SxP

Hari 17 (Percb. 2A)N 8 8 8 8Mx2a 2,5±0,7 4,9±1,1 2,1±0,7 2,9±0,7 <0,056 NSb NSOas1 1,6±0,7 3,9±1,0 0,9±0,7 2,4±0,6 <0,018 NS NSCyclophilin 4,8±1,0 5,6±1,5 5,6±1,0 5,8±0,8 NS NS NSMx2_ratioa 0,6±0,2 1,3±0,3 0,5±0,2 0,6±0,2 <0,105 NS NSOas1_ratio 0,4±0,2 0,9±0,3 0,2±0,2 0,5±0,1 <0,045 NS NSProgesteron 3,6±0,7 4,6±1,1 3,2±0,8 4,6±0,6 NS NS NS

Hari 18 (Percb. 2B)N 10 6 11 15Mx2 9,4±4,0 32,2±5,2 5,3±3,8 8,2±3,3 <0,004 <0,002 <0,021Oas1 2,4±1,3 7,5±1,5 1,0±1,1 2,0±0,9 <0,012 <0,005 <0,083Cyclophilin 10,3±2,0 13,1±2,5 9,4±1,9 14,0±1,6 <0,074 NS NSMx2_ratio 0,7±0,2 2,3±0,3 0,6±0,4 0,7±0,2 <0,001 <0,001 <0,005Oas1_ratio 5,9±2,4 19,9±3,1 3,1±2,3 5,1±1,9 <0,003 <0,001 <0,020Progesteron 3,5±0,5 5,0±0,6 2,5±0,5 3,2±0,4 <0,036 <0,009 NS

Hari 18 (Percb. 3A)N 13 11 28 2Mx2 0,6±0,1 1,3±0,1 0,6±0,1 0,3±0,3 NS <0,011 <0,017Oas1 0,7±0,2 1,6±0,2 0,7±0,1 0,3±0,5 NS <0,017 <0,021Cyclophilin 1,4±0,1 1,3±0,1 1,3±0,1 1,5±0,2 NS NS NSMx2_ratio 0,4±0,1 1,0±0,1 0,5±0,1 0,2±0,3 NS <0,026 <0,015Oas1_ratio 0,5±0,2 1,3±0,2 0,6±0,1 0,2±0,5 NS <0,074 <0,037Progesteron 4,6±0,8 6,5±0,9 3,5±0,5 5,6±2,0 NS NS NS

Hari 18 (Percb. 3B) Nulipara Signifikansi (P)

Tidak bunting Bunting StatusN 7

1,0±0,91,9±1,61,0±0,10,9±0,81,7±1,54,7±1,1

174,4±0,69,3±1,11,1±0,14,2±0,58,9±1,010,4±0,7

Mx2 <0,004<0,001NS<0,003<0,001<0,001

Oas1CyclophilinMx2_ratioOas1_ratioProgesteron

aPercobaan 2A: Mx2 dan Mx2 rasio mempunyai pengamatan yang lebih sedikit (N=3) untuk sapi primipara bunting

bNS = not significant. Tidak signifikan (P>0,10)

Page 18: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

11

Percobaan 2A

Percobaan 2A menggunakan sampel darah yang dikoleksi pada hari ke 17

setelah inseminasi. Ekspresi gen Mx2 cenderung lebih tinggi pada sapi bunting

dibandingkan dengan sapi tidak bunting (P<0,056) dan rasio terhadap

cyclophilin(Mx2_ratio; P<0,105; Table 3). Demikian juga, ekspresi Oas1 lebih

tinggi pada sapi bunting dibandingkan pada sapi tidak bunting (Oas1; P<0,018;

Oas1_ratio, P<0,045). Sedangkan untuk cyclophilindan progesteron tidak

dipengaruhi oleh status kebuntingan (P>0,10). Tidak ada pengaruh dari

paritasatau hubungan status oleh paritas untuk Mx2, Oas1, Mx2_ratio, Oas1_ratio,

cyclophilin, atau progesteron. Kurva ROC untuk Oas1_ratio dan Mx2_ratio pada

hari ke 17 (Gb. 2A dan 2B) menunjukkan bahwa hasil tidak valid atau tidak dapat

dibuktikan. Regresi dari Mx2_ratio terhadap Oas1_ratio hasilnya signifikan (R2=

0,82; P<0,001; Mx2_ratio= 0,20 + 1,15 x Oas1_ratio).

Page 19: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

12

Gambar 2. Kurva ROC (Receiver Operator Characteristic) untuk Oas1 dan Mx2 pada hari 17 dan 18 (A, Oas1_ratio. B, Mx2_ratio; Percobaan. 2) dan untuk perbedaan paritas pada hari 18 setelah inseminasi (C, Oas1_ratio. D, Mx2_ratio; Percobaan. 2). Kurva ROC adalah gambaran grafik dari true positive rate dan false positive rate ketika kenaikan cut-off dari sebuah tes diterapkan. Jika keduanya, true positive rate dan false positive rate menurun ketika cut-off dinaikkan kemudian grafik akan membentuk garis diagonal ditengah dan tes tersebut tidak dapat digunakan. Pembelokan garis kearah kiri mengindikasikan bahwa sebuah tes dapat digunakan karena memiliki nilai true positive rate relatif tinggi dan false positive rate relatif rendah. Sebuah tes yang ideal memiliki kurva ROC yang sepenuhnya membelok kearah kiri dengan cut-off mencapai 100% true positive dan 0% false positive.

Page 20: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

13

Percobaan 2B

Percobaan 2B menggunakan sampel darah yang dikoleksi pada hari 18

setelah imseminasi. Hasilnya menunjukkan adanya hubungan antara status dengan

paritas untuk Mx2 (Mx2, P<0,021; Mx2_ratio, P<0,005) dan Oas1 (Oas1,

P<0,083, Oas1_ratio, P<0,020; Tabel 3). Sapi primipara bunting mempunyai

ekspresi ISG yang lebih tinggi daripada sapi primipara yang tidak bunting.

Ekspresi gen pada sapi multipara baik bunting maupun tidak mempunyai level

yang sama. Konsentrasi progesteron plasma lebih tinggi pada sapi primipara

dibandingkan dengan sapi multipara (paritas, P<0,009) dan lebih tinggi pada sapi

bunting daripada sapi tidak bunting (status, P<0,036). Kurva ROC untuk

Oas1_ratio dan Mx2_ratio pada hari ke 18 (Gb. 2A dan 2B) lebih meningkat dari

percobaan 2A tetapi tetap gagal untuk menunjukkan bahwa percobaan ini dapat

digunakan. Sedangkan kurva ROC berdasarkan paritas ditunjukkan pada Gb. 2C

dan 2D. Sapi primipara menunjukkan kurva ROC yang lebih tinggi dibandingkan

sapi multipara. Data yang diperoleh dari sapi primipara adalah mempunyai

tingkat true positif rate 100% dengan false positif rate kurang dari 30% untuk

Oas1_ratio dan Mx2_ratio. Regresi dari Mx2_ratio terhadap Oas1_ratio signifikan

(R2= 0,76; P<0,001; Mx2_ratio= 0,28 + 0,09 x Oas1_ratio).

Tabel 4. Rasio ekspresi gen untuk Mx2, Oas1, dan Cyclophilin antara sampel 1 (dikoleksi selama fase luteal dari siklus estrus sebelum IB) dengan sampel 2 (dikoleksi pada hari 18 setelah IB) pada sapi (Percb. 3A) dan sapi dara (Percb. 3B).

Hari 18 (Percb. 3A) Primipara Multipara PTidak bunting Bunting Tidak bunting Bunting Status Paritas SxP

N 13 11 28 2Mx2/Mx2 1,0±0,5 2,8±0,5 1,8±0,3 0,8±1,2 NSa NS <0,071Oas1/Oas1 0,9±0,8 3,0±0,9 2,3±0,5 0,9±2,6 NS NS NSCyclo/Cyclo 1,0±0,1 1,1±0,1 1,1±0,1 1,1±0,3 NS NS NS

Hari 18 (Percb. 3B) Nulipara PTidak bunting Bunting Status

N 7 17Mx2/Mx2 1,8±1,4 6,1±0,9 <0,015Oas1/Oas1 1,0±1,3 6,3±0,8 <0,003Cyclo/Cyclo 0,9±0,1 0,9±0,1 NS

aNS = not significant. Tidak signifikan (P>0,10)

Page 21: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

14

Gambar 3. Kurva ROC untuk Oas1, Mx2, Cyclophilin, dan progesteron hari 18 setelah IB pada sapi primipara (A) dan sapi dara nulipara (C), dan kurva ROC untuk rasio antara sampel 2 dengan sampel 1 untuk Mx2, Oas1, dan Cyclophilin pada sapi primipara (B) dan sapi dara nulipara (D).

Percobaan 3A

Percobaan 3A menggunakan sampel beragam yang dikoleksi dari sapi-

sapi yang laktasi. Hasilnya menunjukkan tidak adanya efek dari status, paritas,

atau status terhadap paritas untuk Mx2, Mx2_ratio atau Oas1_ratio pada sampel

yang dikoleksi sebelum inseminasi (P<0,045; 0,9±0,1 versus 0,4±0,2 untuk sapi

primipara dan multipara). Sampel yang dikoleksi pada hari ke 18 setelah

inseminasi terdapat hubungan antara status dengan paritas untuk Mx2 (Mx2,

P<0,017; Mx2_ratio, P<0,015) dan Oas1 (Oas1, P<0,021; Oas1_ratio, P<0,037;

Tabel 3). Sapi primipara bunting mempunyai ekspresi ISG yang lebih tinggi

Page 22: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

15

daripada sapi primipara tidak bunting. Sedangkan pada sapi multipara baik

bunting maupun tidak bunting mempunyai ekspresi yang sama untuk kedua gen

tersebut. Konsentrasi progesteron plasma menunjukkan jumlah yang sama antara

sapi primipara dan multipara dan tidak ada pengaruh terhadap status kebuntingan.

Walaupun sapi primipara bunting mempunyai ekspresi ISG yang lebih tinggi,

kurva ROC untuk Mx2_ratio dan Oas1_ratio pada sapi primipara bunting gagal

untuk menunjukkan bahwa percobaan tersebut dapat digunakan (Gb. 3A).

Sebagaimana yang diharapkan, cyclophilin(control housekeeping gene)

menunjukkan sedikit kegunaan dari tes kebuntingan tersebut.

Saat rasio dari ekspresi gen sampel 2 (setelah AI) dibagi oleh sampel 1

(sebelum IB) dianalisa (Tabel 4), ada hubungan antara status dengan paritas untuk

Mx2/Mx2 (P≤0,071) tetapi untuk Oas1/Oas1 tidak signifikan (P=0,156). Untuk

Mx2/Mx2, sapi primipara bunting mempunyai ekspresi Mx2 lebih tinggi ketika

dibandingkan dengan sapi primipara tidak bunting. Pada sapi multipara bunting

maupun tidak bunting memiliki nilai Mx2/Mx2 yang sama. Sehingga diduga tidak

ada efek dari status, paritas, atau hubungan status dengan paritas pada

cyclophilin/cyclophilin(control housekeeping gene). Kurva ROC untuk rasio

sampel 2 dengan sampel 1 pada sapi primipara (Gb. 3B) sama pada percobaan 2

(Gb. 2C dan 2D) ketika hanya ada satu sampel setelah IB yang dianalisa.

Identifikasi terhadap kurva ROC yang terbentuk pada sapi primipara adalah nilai

true positive rate 100% dan nilai false positive rate 54% dan 31% untuk

Oas1/Oas1 dan Mx2/Mx2.

Percobaan 3B

Percobaan 3B menggunakan sapi dara sebagai sampel. Sampel yang

dikoleksi pada hari ke 18 setelah inseminasi, terdapat efek dari status untuk Mx2

(P<0,004), Mx2_ratio (P<0,003), Oas1 (P<0,001), Oas1_ratio (P<0,001), dan

progesteron plasma (P<0,001) (Tabel 3). Pada masing-masing analisa, sapi dara

bunting memiliki ekspresi ISG dan progesteron plasma yang lebih tinggi daripada

sapi dara tidak bunting. Peningkatan kurva ROC dari analisa dengan sampel

tunggal yang dikoleksi pada hari ke 18 setelah IB hasilnya sama untuk

Page 23: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

16

progesteron, Mx2_ratio, Oas1_ratio (Gb. 3C). pada masing-masing kasus,

terdapat 82% true positive rate dan 0% false positive rate. Ketika data dianalisa

sebagai rasio antara sampel 2 (setelah AI) dan sampel1 (sebelum AI) (Tabel 4),

menunjukkan adanya efek dari status untuk Mx2/Mx2 (P<0,015) dan Oas1/Oas1

(P<0,003). Pada masing-masing analisa, sapi dara bunting mempunyai rasio yang

lebih tinggi daripada sapi dara tidak bunting. Jika dibandingkan dengan kurva

ROC pada sampel tunggalyang dikoleksi ada hari ke 18 setelah IB pada sapi dara

(Gb. 3C), kurva ROC untuk rasio sampel 2 dengan sampel 1 (Gb. 3D) sama untuk

Mx2 atau meningkat untuk Oas1. Sedangkan untuk tes kebuntingan pada hari ke

18 dapat ditentukan dengan penggunaaan Oas1/Oas1 karena memiliki nilai true

positive rate 100% dan false positive rate 0% (Gb. 3D).

Page 24: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

PEMBAHASAN

Alasan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengembangkan pengujian

yang dapat digunakan untuk mendeteksi kebuntingan sapi sebelum hari ke 18

sehingga sapi yang tidak bunting dapat disinkronisasi saat IB pada hari ke 21

setelah IB yang terdahulu. Sistem ini diusulkan oleh Lucy et al. (2004). Pada

system ini, sapi dilakukan diagnosa kebuntingan pada hari ke 18 setelah IB dan

sapi tidak bunting diinjeksi PGF2α pada siang harinya (hari ke18) atau pagi hari

pada hari ke 19 untuk meregresi korpus luteum. Setelah 2-2,5 hari (hari ke 21)

sapi diinjeksi dengan GnRH dan dilakukan IB. Sinkronisasi estrus pada sapi pada

akhir masa estrus akan menguntungkan karena korpus luteum telah mengalami

regresi sepenuhnya akibat injeksi PGF2α dan folikel dominan besar terdapat pada

ovarium.

Selama perkembangan kebuntingan pada sapi akan mensintesis dan

mensekresikan IFN-τ selama pengenalan maternal selama kebuntingan. IFN-τ

(Interferon-tau) bekerja pada sirkulasi leukosit darah menyebabkan peningkatan

ekspresi dari pengikut gen. ISG (Interferon-tau Stimulated Gene) dapat dideteksi

ketika RNA diisolasi dari leukosit dan diuji dengan RTPCR untuk tujuan diagnosa

kebuntingan. Pada percobaan ini telah ditemukan ISG baru dari uji microarray

yang dilakukan terhadap leukosit yang dikoleksi dari sapi bunting 15 hari dan 18

hari setelah inseminasi. Hasil uji microarray menunjukkan bahwa kelas utama

dari gen yang mengalami peningkatan regulasi dalam leukosit pada kebuntingan

awal pada sapi adalah ISG (Tabel 2). Selain Isg15 dan Mx2 (gen yang diketahui

meningkat; Han et al., 2006; Gifford et al., 2007), telah berhasil diidentifikasi

gen-gen yang lain. Salah satunya adalah Oas1 yang mana diketahui juga

terstimulasi oleh interferon (Kjaer et al., 2009) tetapi belum pernah digunakan

sebagai tes kebuntingan. Pada penelitian ini digunakan dua penanda lama (Isg15

dan Mx2) dan juga satu penanda baru (Oas1) untuk kebuntingan pada

sapi.Cyclophilin juga dilakukan tes sebagai control housekeeping gene. Pada

percobaan ini terdapat dugaan bahwa tidak ada hubungan antara cyclophilin

dengan status kebuntingan pada hewan. Hubungan dalam ekspresi gen untuk ISG

17

Page 25: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

18

yang berbeda secara khusus sangat tinggi (R2 lebih besar dari 0,75; contohnya

Mx2 dan Isg15 pada percobaan 1 dan Mx2 dan Oas1 pada percobaan 2).

Tingginya hubungan mengindikasikan bahwa ISG merespon sinyal (IFN-τ) yang

sama dan uji dengan ISG yang beragam untuk deteksi kebuntingan tidak

dibutuhkan.

Pada uji yang sekarang dilakukan, Isg15 dan Mx2 dapat dideteksi sedini

mungkin pada hari ke 18 kebuntingan (Percobaan 1; Gb.1). Pada waktu yang lebih

awal (hari ke 14 atau 16), terlihat bahwa ISG mengalami peningkatan tetapi tidak

konsisten dan peningkatan yang signifikan tidak terdeteksi pada sapi bunting.

Perbedaan ekspresi gen ISG pada sapi bunting dan sapi tidak bunting tampak

meningkat seiring dengan bertambahnya waktu agaknya karena pengaruh

pertumbuhan umur kebuntingan. Jumlah ISG terbesar ditemukan pada hari ke 20

setelah inseminasi pada sapi bunting yaitu disaat kebuntingan sedang mensintesis

sejumlah besar IFN-τ (Thatcher et al., 1995).

Pada uji ini, hari ke 17 dipilih sebagai target untuk tes kebuntingan awal.

Jika tes ini dapat dikembangkan pada hari yang dipilih maka sapi yang

diinseminasi dapat dideteksi pada hari ke 17 dan sapi yang tidak bunting dapat

diinjeksi dengan PGF2α pada hari ke 18. Walaupun ISG meningkat secara

signifikan pada hari ke 17 (Tabel 3) tetapi hasil kurva ROC (Gb. 2 dan 3)

menunjukkan bahwa tes ini tidak dapat dibuktikan. Kurva ROC merupakan

gambaran grafik dari nilai true positive rate dan false positive rate ketikacut-off

dari sebuah tes digunakan. Ketika cut-off tes sangat rendah, nilai true positive

rate 100% (optimal) tetapi nilai false positive rate juga 100% karena semua sapi

yang tidak bunting dikatakan bunting. Peningkatan cut-off (grafik bergeser kekiri)

akan menurunkan nilai false positive rate. Pada contoh yang optimal, true positive

rate akan bernilai 100% saat cut-off ditingkatkan dan nilai false positive rate akan

bergeser kearah 0%. Jika keduanya, true positive rate dan false positive rate

menurun ketika cut-off ditingkatkan maka grafik yang terbentuk adalah garis

diagonal ditengah. Hal ini mempunyai arti bahwa sebuah tes tidak dapat

digunakan (contoh garis untuk cyclophilin pada Gb. 3). Garis yang dibelokkan

kekiri dari tengah menggambarkan bahwa sebuah tes mempunyai kegunaan yang

Page 26: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

19

tinggi karena mempunyai nilai true positive rate yang cenderung tinggi dan false

positive rate yang rendah. Penerapan untuk penjelasan diatas terlihat pada kurva

ROC dari percobaan 2 (hari 17, Gb. 2A dan 2B), terlihat jelas bahwa cut-off tidak

dapat dibuktikan ketika tes dilakukan pada hari ke 17 setelah IB.

Pada percobaan selanjutnya (Percobaan 2B), pengembangan tes pada hari

ke 18 setelah inseminasi dilakukan. Pemilihan waktu pada tes ini tidak begitu

diinginkan karena akan ada sedikit waktu untuk melengkapi tes sebelum

dilakukan pemberian PGF2α. Pengamatan lebih ditekankan pada respon ISG pada

hari ke 18 (Tabel 3), tetapi secara tidak terduga hubungan antara status dengan

paritas terdeteksi. Hubungan itu terlihat dengan adanya respon ISG yang lebih

tinggi pada sapi primipara dibandingkan dengan sapi multipara. Peningkatan ISG

hampir tidak terdeteksi pada sapi multipara bunting pada hari ke 18.

Alasan untuk perbedaan respon ISG pada masing-masing

paritas(primipara dan multipara) tidak diketahui. Salah satu kemungkinannya

adalah adanya perbedaan ukuran embrio pada sapi primipara dan multipara.

Perbedaan ukuran inilah yang mempengarui kemampuan dalam memproduksi

IFN-τ oleh embrio. Hipotesis ini didukung oleh penemuan dari Berg et al. (2001),

yang menemukan bahwa sapi dara nulipara mempunyai embrio yang lebih besar

daripada sapi selama periode maternal recognition saat kebuntingan.

Kemungkinan, perbedaan ini berlaku untuk membandingkan antara sapi yang

lebih muda (primipara) dengan sapi yang lebih tua (multipara). Kemungkinan

yang lain adalah adanya perbedaan fungsi imun pada sapi primipara dan sapi

multipara yang memberi kecenderungan bahwa sapi multipara memiliki respon

yang lebih rendah dalam merespon IFN-τ. Sebagai kemungkinan yang lain bahwa

ukuran sapi multipara yang relatif lebih besar dapat mengurangi konsentrasi

sistemik dari IFN-τ dan respon ISG dalam leukosit darah.

Tanpa memperhatikan penyebab, faktanya bahwa sapi multipara gagal

menunjukan respon ISG yang kuat pada hari ke 18 sehingga membatasi kegunaan

tes pada hari ke 18. Sapi primipara mempunyai respon yang lebih tinggi dan kurva

ROC yang terbentuk lebih tinggi pada sapi primipara dibandingkan sapi multipara

(Gb. 2C dan 2D). Bahkan pada sapi primipara walaupun hasil kurva ROC dapat

Page 27: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

20

dibaca tetapi memiliki nilai false positive rate yang tinggi. Asumsinya bahwa

100% true positive rate terjaga (contoh semua sapi yang bunting dikatakan

bunting dan sapi tidak bunting dikatakan tidak bunting) kemudian 20% total sapi

bunting sebenarnya tidak bunting.

Percobaan 2 dan 3 dilakukan pada sapi setelah inseminasi. Satu

penjelasan yang mungkin terhadap ketidakmampuan penelitian ini untuk

dijadikan tes yang terpercaya adalah bahwa beberapa sapi mungkin dapat

mengalami kehilangan embrio sebelum dikategorikan bunting atau tidak bunting

dengan USG (setelah hari ke 30). Sapi-sapi ini mungkin secara tes terdiagnosa

bunting pada hari ke 17 atau 18 tetapi setelah dilakukan USG terdiagnosa tidak

bunting. Tidak ada cara mudah untuk menguji berapa banyak sapi yang

mengalami kehilangan embrio dan pengaruhnya terhadap hasil nilai false positive

rate. Kemungkinan kedua adalah bahwa masing-masing sapi mempunyai dasar

ekspresi ISG yang lebih besar atau lebih kecil di dalam leukosit. Untuk

memeriksa kemungkinan ini, percobaan terakhir dilakukan pada sapi primipara

dan multipara (Percobaan 3A) atau pada sapi dara nulipara (Percobaan 3B)

dimana dilakukan tes ISG pada siklus estrus dari IB sebelumnya dan kemudian

dites kembali pada hari ke 18 setelah IB. Sesuai dengan dugaan, jumlah ekspresi

ISG sama pada sapi bunting dan tidak bunting sebelum inseminasi (sampel 1).

Sedangkan ekspersi ISG setelah inseminasi (sampel 2) meningkat pada sapi

bunting (Tabel 3). Hubungan status dengan paritasterdeteksi kembali karena

peningkatan ISG lebih tinggi pada sapi primipara dibandingkan multipara.

Peningkatan ISG juga lebih tinggi pada sapi dara bunting (Percobaan 3B) ketika

dibandingkan dengan sapi bunting (Percobaan 3A; Tabel 3).

Penggunaan sampel yang dikoleksi setelah IB (sampel 2) dan sampel

kontrol (sampel 1) sedikit meningkat pada keseluruhan tes (Tabel 4). Kurva ROC

juga sedikit mengalami peningkatan pada sapi primipara ketika dua sampel

dianalisa (Gb. 3B dibandingkan dengan Gb. 3A) tetapi secara keseluruhan

peningkatan sedikit lebih besar pada sapi dara (Gb. 3D dibandingkan dengan Gb.

3C). Tes terhadap konsentrasi plasma progesteron pada hari ke 18 setelah IB

merupakan dasar tes untuk deteksi kebuntingan pada sapi dara yang ada pada

Page 28: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

21

penelitian ini (Gb. 3C). Cut-off dengan nilai 8,2 ng/ml memiliki nilai true positive

rate 82% dan false positive rate 0%. Penurunan cut-offakan meningkatkan nilai

true positive rate, menurunkan kemungkinan false negative, dan meningkatkan

false positive rate. Contohnya, cut-off dengan nilai 7,3 ng/ml memiliki true

positive rate 94% (6% false negative) dan false positive rate 14%. Kurva ROC

pada penelitian ini yang ideal yaitu dengan nilai true positive rate 100% dan false

positive rate 0% hanya terdapat pada sapi dara ketika rasio Oas1 dari sampel 2

dan sampel 1 digunakan (Gb. 3D). Nilai cut-off untuk tes ideal ini adalah 1,4 (sapi

dara dengan Oas1/Oas1 lebih besar dari 1,4 memberikan arti bahwa sapi dalam

keadaan benar-benar bunting). Walaupun hasil dari percobaan 3 menunjukkan

bahwa penggunaan rasio sampel 2 dengan sampel 1 meningkatkan keakuratan dari

diagnosa kebuntingan pada sapi dara ini, tetap saja tes ini tidak bisa diterapkan

langsung di lapangan. Jika tes ini digunakan untuk mengidentifikasi sapi bunting

dan tidak bunting setelah inseminasi, tes ini harus mempunyai kemampuan untuk

digunakan pada satu sampel. Tingkat sensitivitasnya yang dicapai mungkin akan

melebihi dari apa yang dicapai dengan tes ISG pada hari ke 18.

Page 29: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

KESIMPULAN

Kesimpulan yang bisa diambil adalah walaupun ekspresi ISG meningkat

secara statistik pada sapi bunting, kurva ROC dari data penelitian menunjukkan

tingginya false positive rate akan ditemukan pada sapi yang sedang laktasi tanpa

memperhatikan penetapan cut-off sebelumnya. Keakuratan diagnosa dengan tes

ISG pada hari ke 18 lebih rendah pada sapi multipara dibandingkan dengan sapi

primipara. Tes paling akurat saat dilakukan pada sapi dara nulipara karena

hasilnya menunjukan respon ISG yang kuat. Sebagai tambahan, tes berdasarkan

Oas1 pada hari ke 18 adalah yang paling akurat. Kesimpulan dari semua

percobaan yang telah dilakukan adalah walaupun tes berdasar ISG mungkin dapat

dilakukan untuk deteksi kebuntingan setelah hari ke 20, kegunaannya dalam

program pelaksanaan IB pada sapi di hari ke 21 dimana diagnosa diperlukan pada

hari ke 18 untuk mencapai nilai sensitivitas yang diinginkan. Alternatif lain untuk

mendiagnosa kebuntingan awal perlu dikembangkan jika waktu re-sinkronisasi

pada hari ke 21 memungkinkan untuk dilakukan. Sehingga hanya akan ada

periode pendek untuk tes ISG ini (setelah hari ke 20) karena tes kebuntingan

dengan PAG (Pregnancy-Associated Glicoprotein) pada kebuntingan sapi

mempunyai efektifitas yang tinggi pada hari ke 25 setelah IB (Green et al., 2009).

22

Page 30: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

DAFTAR PUSTAKA

Berg, D.K., van Leeuwen, J., Beaumont, S., Berg, M., Pfeffer, P.L., 2010.Embryo loss in cattle between days 7 and 16 of pregnancy. Theriogenology 73, 250–260.

Bott, R.C., Ashley, R.L., Henkes, L.E., Antoniazzi, A.Q., Bruemmer, J.E., Niswender, G.D., Bazer, F.W., Spencer, T.E., Smirnova, N.P., Anthony, R.V., Hansen, T.R., 2010. Uterine vein infusion interferon tau (IFNT)

extends luteal life span in ewes. Biol. Reprod. 82, 725–735..Gifford, C.A., Racicot, K., Clark, D.S., Austin, K.J., Hansen, T.R., Lucy, M.C.,

Davies, C.J., Ott, T.L., 2007. Regulation of interferon-stimulated genes in peripheral blood leukocytes in pregnant and bred, nonpregnant dairy cows. J. Dairy Sci. 90, 274–280.

Green, J.C., Volkmann, D.H., Poock, S.E., McGrath, M.F., Ehrhardt, M., Moseley,A.E., Lucy, M.C., 2009. Technical note: a rapid enzyme-linked immunosorbent assay blood test for pregnancy in dairy and beef cattle. J. Dairy Sci. 92, 3819–3824.

Han, H., Austin, K.J., Rempel, L.A., Hansen, T.R., 2006. Low blood Isg15 mRNA and progesteron levels are predictive of non-pregnant dairy cows. J. Endocrinol. 191, 505–512.

Kjaer, K.H., Poulsen, J.B., Reintamm, T., Saby, E., Martensen, P.M., Kelve, M., Justesen, J., 2009. Evolution of the 2_-5_-oligoadenylate synthetase family in eukaryotes and bacteria. J. Mol. Evol. 69, 612–624.

Kirby, C.J., Smith, M.F., Keisler, D.H., Lucy, M.C., 1997. Follicular function in lactating dairy cows treated with sustained-release bovine somatotropin. J. Dairy Sci. 80, 273–285.

Lucy, M.C., McDougall, S., Nation, D.P., 2004. The use of hormonal treatments to improve the reproductive performance of lactating dairy cows in feedlot or pasture-based management systems. Anim. Reprod. Sci. 82-83, 495–512.

Lucy, M.C., 2007. The bovine dominant ovarian follicle. J. Anim. Sci. 85, E89 E99.

Mandrekar, J.N., Mandrekar, S.J., 2005. Statistical Methods in Diagnostic Medicine using SAS Software. Proceedings of the Thirtieth Annual SAS Users Group International Conference. SAS Inst., Cary,NC.

23

Page 31: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

Moreira, F., Orlandi, C., Risco, C.A., Mattos, R., Lopes, F., Thatcher, W.W.,2001. Effects of presynchronization and bovine somatotropin on pregnancy rates to a timed artificial insemination protocol in lactating dairy cows. J. Dairy Sci. 84, 1646–1659.

Oliveira, J.F., Henkes, L.E., Ashley, R.L., Purcell, S.H., Smirnova, N.P., Veeramachaneni, D.N., Anthony, R.V., Hansen, T.R., 2008. Expression of interferon (IFN)-stimulated genes in extrauterine tissues during early pregnancy in sheep is the consequence of endocrine IFN-tau release from the uterine vein. Endocrinology 149, 1252–1259.

Pursley, J.R., Wiltbank, M.C., Stevenson, J.S., Ottobre, J.S., Garverick, H.A., Anderson, L.L., 1997. Pregnancy rates per artificial insemination for cows and heifers inseminated at a synchronized ovulation or synchronized estrus. J. Dairy Sci. 80, 295–300.

Stevenson, J.L., Dalton, J.C., Ott, T.L., Racicot, K.E., Chebel, R.C., 2007. Correlation between reproductive status and steady-state messenger ribonucleic acid levels of the Myxovirus resistance gene, Mx2, in peripheral blood leukocytes of dairy heifers. J. Anim. Sci. 85, 2163–2172.

Tenhagen, B.A., Drillich, M., Surholt, R., Heuwieser, W., 2004. Comparison of timed AI after synchronized ovulation to AI at estrus: reproductive and economic considerations. J. Dairy Sci. 87, 85–94.

Thatcher, W.W.,Meyer, M.D., Danet-Desnoyers, G., 1995. Maternal recognition of pregnancy. J. Reprod. Fertil. Suppl. 49, 15–28.

24

Page 32: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

DISKUSI

1. Pembahas (Bobby Tarigan):

Berdasarkan hasil pembahasan, peningkatan ekspresi ISG pada sapi multipara

bunting dan tidak bunting tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.

Kenapa bisa terjadi hal seperti itu ?

Jawab:

Terdapat 3 alasan yang mungkin bisa menjelaskan kenapa ekspresi ISG pada

sapi multipara bunting dan tidak bunting yaitu :

a. Adanya perbedaan ukuran embrio pada sapi nulipara, primipara, dan

multipara. Perbadaan ukuran inilah yang mempengaruhi kemampuan

embrio dalam memproduksi IFN-τ. Hipotesis ini didukung oleh penemuan

Berg, et al. (2010), bahwa sapi yang belum pernah bunting memiliki

ukuran embrio yang lebih besar daripada sapi yang sudah pernah bunting

saat kebuntingan awal. Oleh karena itu, diduga embrio pada sapi multipara

berukuran kecil menyebabkan produksi IFN-τ rendah sehingga ekspresi

peningkatan saat kebuntingan tidak terlihat perbedaan yang signifikan.

b. adanya perbedaan fungsi imun pada masing-masing sapi. Diduga sapi

multipara mempunyai respon yang rendah dalam merespon IFN-τ. Karena

respon yang rendah ini sehingga ekpresi ISG yang ditunjukkann juga

rendah sehingga tidak terlihat perbedaan yang signifikan pada sapi

multipara bunting dan tidak bunting.

c. adanya kecenderungan ukuran sapi multipara yang lebih besar. Ukuran

sapi yang besar dapat mengurangi konsentrasi sistemik dari IFN-τ dan

menurunkan ekspersi ISG dalam leukosit darah.

25

Page 33: A.2014.02 Dinda Ayu Irani 8299 KH Januari-Februari 2015

2. Pembimbing (drh. Surya Agus):

Apakah dari hasil seminar anda saya bisa mengatakan pada publik bahwa tes

kebuntingan dengan mengukur ISG hanya bisa dilakukan pada sapi yang

belum pernah bunting dan tidak dapat digunakan pada sapi yang sudah pernah

beranak?

Jawab:

Jika harus mengatakan pada publik, sebagai dokter hewan saya belum berani

untuk mengatakan bahwa tes ini hanya bisa digunakan pada sapi belum pernah

bunting. Alasannya, karena sumber yang saya dapat hanya berasal dari satu

jurnal. Sehingga yang dapat saya sampaikan bahwa tes ini efektif dilakukan

pada sapi yang belum pernah bunting.

26