PEMBUATAN BIOPLASTIK POLI-β-HIDROKSIALKANOAT
(PHA) YANG DIHASILKAN OLEH Rastonia eutropha PADA
SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU DENGAN
PEMLASTIS ISOPROPIL PALMITAT
Oleh
JUMMI WALDI F34102017
2007
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Hidup akan terasa indah jikalau kita mau menikmati setiap episode-episode yang kita jalani. Hidup bukanlah untuk menyesali kondisi yang ada, sebab kita bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian yang kita rasakan dan alami. Memang hidup itu penuh dengan ‘jalan yang berliku’; selalu dihadapkan dengan masalah, baik besar maupun kecil. Kita perlu menyadari bahwa setiap masalah yang kita hadapi adalah sebuah tahapan untuk menuju kedewasaan dalam menjalani serta mengarungi kehidupan ini.
-Siwal-
JUMMI WALDI. F34102017. Pembuatan Bioplastik Poli-β-Hidroksialkanoat (PHA) yang Dihasilkan oleh Rastonia Eutropha pada Substrat Hidrolisat Pati Sagu dengan Pemlastis Isopropil Palmitat. Dibawah bimbingan Chilwan Pandji dan Khaswar Syamsu. 2007.
RINGKASAN Penggunaan bahan dasar plastik yang dapat didegradasi secara biologis
oleh mikroorganisme alami sebagai substitusi plastik berbasis petrokimia merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang ditimbulkan oleh sampah-sampah non-organik. Salah satu bahan bioplastik yang cukup penting dan masih terus diteliti serta dikembangkan sampai saat ini adalah Poli-β-Hidroksialkanoat (PHA). Poli-β-hidroksialkanoat (PHA) merupakan poliester hidroksialkanoat yang disintesa oleh sejumlah bakteri sebagai komponen simpanan energi dan karbon intraseluler, diakumulasi sebagai granula dalam sitoplasma sel (Lee, 1996). Pada penelitian ini PHA diperoleh dari hasil kultivasi Ralstonia eutropha secara fed-batch selama 96 jam pada substrat hidrolisat pati sagu.
Pemlastis adalah cairan aditif yang digunakan untuk melembutkan polimer plastik sehingga dapat merubah sifat kaku menjadi lebih fleksibel. Berdasarkan komposisi asam lemak minyak sawit yang unik dengan kadungan asam lemak utama, yaitu asam oleat dan palmitat atau fraksi olein dan stearin, kedua fraksi tersebut dapat dikonversi menjadi pemlastis. Salah satu ester asam lemak minyak sawit yang dapat dimanfaatkan sebagai pemlastis adalah isopropil palmitat (Sadi dan Purboyo, 1996). Isopropil palmitat merupakan ester dari isopropil alkohol dan asam palmitat, mempunyai nama resmi 1-metil etil heksadekanoat (Anonim1, 2006). Pembuatan bioplastik dilakukan dengan metode solution casting dan menggunakan klorofom sebagai pelarut. Konsentrasi isopropil palmitat (IPP) yang dipakai adalah 0% (b/b) (kontrol), 10% (b/b), 15% (b/b), dan 20% (b/b). Untuk melihat pengaruh penambahan IPP sebagai pemlastis maka dilakukan karakterisasi sifat mekanis, gugus fungsi, sifat termal, dan derajat kristalinitas dari bioplastik yang dihasilkan.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa kuat tarik bioplastik PHA yang dibuat dengan menggunakan pemlastis IPP semakin turun sejalan dengan peningkatan konsentrasi IPP sebagai pemlastis. Nilai kuat tarik bioplastik dengan konsentrasi IPP 0% (b/b), 10% (b/b), 15% (b/b), dan 20% (b/b) adalah berturut-turut sebesar 10.923 MPa, 6.1371 MPa, 4.6219 MPa, dan 2.6160 MPa. Nilai perpanjangan putus bioplastik dengan konsentrasi IPP 0% (b/b), 10% (b/b), 15% (b/b), dan 20% (b/b) adalah berturut-turut sebesar 2.7262%, 2.8534%, 2.8649%, dan 1.7147%. Dan nilai elastic modulus bioplastik dengan konsentrasi IPP 0% (b/b), 10% (b/b), 15% (b/b), dan 20% (b/b) adalah berturut-turut sebesar 500.99 MPa, 298.18 MPa, 208.81 MPa, dan 182.64 MPa.
Pada pengujian kuat tarik ini, bioplastik dengan konsentrasi IPP 15% (b/b) memiliki titik yield, dimana titik ini menandakan terjadinya proses perpindahan deformasi elastis kepada deformasi plastis yang memungkinkan bioplastik ini untuk memiliki perpanjangan putus lebih besar. Berdasarkan karakteristik
mekanik tersebut dapat dinyatakan bahwa bioplastik yang dibuat dengan konsentrasi IPP 15% (b/b) adalah yang terbaik.
Analisa gugus fungsi bioplastik tanpa pemlastis (Juari, 2006) menunjukkan peak dominan untuk gugus fungsi PHA yaitu adanya gugus C = O ester, gugus C – O – C polimer, gugus OH, gugus CH2, gugus C – C, dan gugus CH3. Sedangkan analisa gugus fungsi untuk bioplastik dengan konsentrasi IPP 15% (b/b) menunjukan C = O ester pada bilangan panjang gelombang 1724.2.
Sifat termal polimer meliputi pengujian suhu peralihan kaca Tg (glass transition) dan suhu pelelehan Tm (melting point). Hasil analisa DSC PHA tanpa pemlastis (Juari, 2006) dan bioplastik dengan konsentrasi IPP 15% (b/b) tidak dapat dibandingkan secara nyata karena terdapat beberapa perbedaan diantaranya kemurnian bahan baku (PHA) yang digunakan dan keakuratan alat pengujian. Tm untuk PHA tanpa pemlastis adalah sebesar 168,72 oC sedangkan Tm untuk bioplastik dengan konsentrasi IPP 15% (b/b) adalah sebesar 168.8 oC.
PHA dengan derajat kristalinitas 100% mempunyai perubahan entalpi sebesar 146 J/g (Hahn et al.,1995). Dengan metode perbandingan langsung antara perubahan entalpi bioplastik sampel dan PHA 100% kristalin, maka dapat diketahui nilai derajat kristalinitas bioplastik PHA tanpa pemlastis adalah sebesar 50,52% dan bioplastik dengan konsentrasi IPP 15% (b/b) adalah sebesar 53.97%.
Hasil pengukuran densitas bioplastik dengan konsentrasi IPP 0% (b/b), 10% (b/b), 15% (b/b), dan 20% (b/b) adalah berturut-turut sebesar 0.891 cm/g3, 0.880 cm/g3, 0.873 cm/g3, dan 0.699 cm/g3. Densitas bioplastik menurun sejalan dengan peningkatan jumlah konsentrasi IPP yang digunakan sebagai pemlastis.
JUMMI WALDI. F34102017. Production of Bioplastic Poly-ß-Hydroxyalkanoate (PHA) Produced by Rastonia eutropha Using Hydrolyzed Sago Starch Substrate with Isopropyl Palmitate as Plasticizer. Supervised by Chilwan Pandji and Khaswar Syamsu. 2007.
SUMMARY
Biodegradable polymer as a substitute for petrochemical based plastics is an alternative in solving environmental problem caused by non-organic wastes. One of the potential biodegradable polymers is Poly-ß-Hydroxyalkanoate (PHA). Poly-ß-Hydroxyalkanoate is polyester synthesized by various types of bacteria and accumulated as reserve energy and carbon in the form of granules in cytoplasm (Lee, 1996). In this research, PHA is produced by Ralstonia eutropha fed batch cultivation for 96 hours using hydrolyzed sago starch substrate.
Plasticizer is a liquid additive which is used to soften a polymer and can change its characteristic into a more flexible shape. Based on an unique fatty acid composition of palm oil with especial content fatty acid, that is oleic acid and palmitate or fraction olein and stearin, both the fraction can be converted into plasticizers. One of fatty acid esters of palm oil that is able to be exploited as plasticizer is isopropyl palmitate (Sadi and Purboyo, 1996). Isopropyl palmitate is ester from isopropyl alcohol and palmitic acid that has the formal name of 1-metyl ethyl hexadecanoate (Anonim1, 2006).
Bioplastic was made by solution casting method and use cloroform as solvent and isopropyl palmitate as plasticizer. The concentration of isopropyl palmitate (IPP) that is used in this research were 0% (w/w) (as control), 10% (w/w), 15% (w/w), and 20% (w/w). Mechanic, functional groups, thermal and crystalline analyses were used to observe the effects of IPP addition as plasticizer.
The research results showed that bioplastic tensile strength progressively decrease with the increasing of IPP concentration. The tensile strength’s values for 0%, 10%, 15%, and 20% (w/w) IPP bioplastics are 10.923 MPa, 6.1371 MPa, 4.6219 MPa, and 2.6160 MPa. The elongation at break’s values for 0%, 10%, 15%, and 20% (w/w) IPP bioplastics are 2.7262%, 2.8534%, 2.8649%, and 1.7147%. And the values of elastic modulus for 0%, 10%, 15%, and 20% (w/w) IPP bioplastics are 500.99 MPa, 298.18 MPa, 208.81 MPa, and 182.84 MPa.
The tensile strength result for 15% (w/w) IPP bioplastic showed a yield point, which means that this bioplastic has a high value of elongation at break. Based on its mechanical characteristics, bioplastic with an addition of 15% (w/w) IPP is the best bioplastic result.
Functional groups analysis of bioplastic without plazticizer addition (Juari, 2006) showed a dominant peak for PHA’s functional groups, which is groups of C=O ester, groups of C–O–C polymer, groups of OH, groups of CH2, groups of C–C, and groups CH3. Functional groups analysis of bioplastic with 15% (w/w) IPP concentration showed a group of C=O ester at wavelength number of 1724.2.
Thermal analysis of polymers includes analysis for glass transition temperature (Tg) and melting temperature (Tm). Results of DSC analysis showed that bioplastic PHA without plasticizer addition and bioplastic with 15% (w/w)
IPP concentration could not be compared directly because there were some differences between those bioplastics, such as the purity level of raw material (PHA) that was used and the accuracy of instrument test. Tm for PHA without plasticizer addition is 168.72 oC, while Tm of bioplastic with 15% (w/w) IPP concentration is 168.8oC.
PHA with 100% crystalinity degree has a changing enthalpy for about 146 J/g (Hahn et al., 1995). By direct comparison method based on the changes of enthalpy bioplastics sample and PHA with 100% crystalinity degree, the crystalinity degree for bioplastic PHA without plasticizer addition is 50.52% and bioplastic PHA with 15% (w/w) IPP concentration is 53.97%.
The results of density measurement of bioplastics by adding 0% (w/w), 10% (w/w), 15% (w/w), and 20% (w/w) IPP concentration is to 0.891 g/cm3, 0.880 g/cm3, 0.873 g/cm3, and 0.699 g/cm3. Bioplastics densities decrease with increasing of concentrations IPP which is used as plasticizer.
PEMBUATAN BIOPLASTIK POLI-β-HIDROKSIALKANOAT (PHA)
YANG DIHASILKAN OLEH Rastonia eutropha PADA SUBSTRAT
HIDROLISAT PATI SAGU DENGAN PEMLASTIS
ISOPROPIL PALMITAT
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN (STP)
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
JUMMI WALDI
F34102017
2007
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PEMBUATAN BIOPLASTIK POLI-β-HIDROKSIALKANOAT (PHA)
YANG DIHASILKAN OLEH Rastonia eutropha PADA SUBSTRAT
HIDROLISAT PATI SAGU DENGAN PEMLASTIS
ISOPROPIL PALMITAT
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN (STP)
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
JUMMI WALDI
F34102017
Dilahirkan di Bukittinggi
Tanggal 4 Mei 1984
Tanggal Lulus : 24 Januari 2007
Disetujui,
Bogor, 29 Januari 2007
Drs. Chilwan Pandji, APT. MSc. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc.St.
Pembimbing I Pembimbing II
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan sebenar-
benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Pembuatan Bioplastik Poli-β-
Hidroksialkanoat (PHA) yang Dihasilkan Oleh Ralstonia eutropha pada
Substrat Hidrolisat Pati Sagu dengan Pemlastis Isopropil Palmitat” adalah
hasil karya sendiri dengan arahan dari dosen pembimbing, kecuali rujukan yang
dengan jelas disebutkan sumbernya.
Bogor, Januari 2007
Yang bertanda tangan
Jummi Waldi
RIWAYAT HIDUP
JUMMI WALDI dilahirkan di Bukittinggi, 04 Mei 1984.
Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara, putra
dari pasangan Hasan Basri dan Rosminar. Penulis
menyelesaikan pendidikan dasar hingga SLTA di kampung
halaman Sumatera Barat. Penulis menyelesaikan sekolah dasar
pada SD Negeri 01 Baso pada tahun 1996 dan melanjutkan ke
SLTP Negeri II IV Angkat Candung pada tahun yang sama. Tahun 1999, Penulis
menyelesaikan pendidikan SLTP dan melanjutkan ke SMU Negeri I IV Angkat
Candung dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2002, Penulis diterima di Institut
Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Penulis diterima pada Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Selama masa kuliah, Penulis aktif dalam berbagai organisasi dan kegiatan
didalam dan luar kampus. Penulis bergabung dalam kepengurusan Himpunan
Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) pada tahun 2003 dan
memprioritaskan diri pada bidang Human Resource Development HIMALOGIN.
Pada tahun yang sama, Penulis juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Pelajar dan
Mahasiswa Minang (IPMM) Bogor. Penulis menjabat sebagai ketua umum IPMM
Bogor selama 2 periode kepengurusan (2003-2004).
Penulis menyelesaikan masa kuliah (insyaallah) pada Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor pada tahun 2007 dengan menyelesaikan tugas akhir / skripsi dengan
berjudul “Pembuatan Bioplastik Poli-β-Hidroksialkanoat (PHA) yang
Dihasilkan oleh Ralstronia eutropha Pada Substrat Hidrolisat Pati Sagu
dengan Pemlastis Isopropil Palmitat”.
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut asma Allah Subhanahuwata’ala, disertai syukur
Alhamdulillah atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini, dengan judul “Pembuatan Bioplastik Poli-β-
Hidroksialkanoat (PHA) yang Dihasilkan oleh Rastonia Eutropha pada
Substrat Hidrolisat Pati Sagu dengan Pemlastis Isopropil Palmitat”. Dalam
menyusun skripsi ini, penulis dibantu oleh banyak pihak. Untuk itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. Chilwan Pandji, Apt, MSc., selaku Pembimbing I, Dr. Ir. Khaswar
Syamsu, MSc. St., selaku Pembimbing II, atas segala bimbingan dan
arahannya, khususnya selama pelaksanaan penelitian dan selama
menyusun skripsi.
2. Ir. Dwi Setyaningsih, MSi., selaku Dosen Penguji Wakil Departemen, atas
segala masukkan, arahan dan perbaikkan yang telah diberikan.
3. Keluarga besar “VG-3 Sandaran” tercinta, Bapak, Mama, Uda Andi, Uni
Tiwi, Uni Emma, dan si bungsu Eka, yang senantiasa memberikan
dukungan dan kasih sayang tulus pada penulis.
4. Bapak Rahmat Satoto, Bapak Anung, dan Ibu Tuti atas semua masukannya
yang sangat berharga bagi penulis.
5. Rekan-rekan bioplastik; Juari, Vico, Dede, Dossi, Eva, Evi, MU, dan
Arban.
6. Mbak Pepi, Mbak Emi, Pak Mulya, serta Bapak, Ibu, Mas dan Mbak yang
ada di Laboratorium Biorin, Genetika, Kultur Jaringan, dan Mikrobiologi
PAU-IPB atas semua bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama
penulis melakukan penelitian.
7. Pak Gun, Bu Ega, Pak Edi, Bu Rini, dan Bu Sri atas bantuan yang telah
diberikan selama penulis melakukan penelitian di laboratorium TIN-IPB.
8. Keluarga besar IPMM Bogor, keluarga besar KEMAWITA Bogor,
keluarga besar IKASMALAM Bogor, atas do’a, semangat dan dukungan
ii
yang telah diberikan kepada penulis selama penulis melakukan penelitian
dan selama penyusunan tulisan ini.
9. Keluarga besar Pondok Islah (Bpk. dan Ibu Inan, Arief, Fitro, Rama, Joko,
Heri, Lenggo, dan Mega), atas do’a, dukungan dan semangat yang telah
diberikan kepada penulis.
10. Keluarga besar Core.net (Mas Puji, D’Zoel, Andra-Ujang, Akhyar-Botak),
atas dukungan dan semangat yang telah diberikan kepada penulis.
11. TIN-ers 39 dan seluruh teman-teman seperjuangan (Ferri, Wahyu,
Thomas, Fifi, Sesar, Gibol, dll.
12. Pihak-pihak yang turut membantu terlaksananya penelitian dan
penyusunan skripsi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Dalam pelaksanaan penelitian maupun penyajian skripsi ini, penulis
menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan. Penulis akan menerima
segala masukan yang bermanfaat untuk penyempurnaan.
Demikianlah skripsi ini penulis susun, semoga bermanfaat, dan dapat
digunakan sebagai mana mestinya. Wabillahi taufiq wal hidayah.
Bogor, Januari 2007
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... vii
I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Tujuan Penelitian .................................................................................... 3
C. Ruang Lingkup Penelitian ....................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 4
A. Ralstonia eutropha .................................................................................. 4
B. Poli-β-Hidroksialkanoat (PHA) .............................................................. 5
C. Isopropil Palmitat .................................................................................... 8
D. Kloroform ................................................................................................ 10
E. Pembuatan Bioplastik ............................................................................. 11
F. Karakteristik Bioplastik .......................................................................... 12
1. Kuat Tarik dan Perpanjangan Putus .................................................. 12
2. Gugus Fungsi .................................................................................... 12
3. Sifat Termal ....................................................................................... 13
4. Derajat Kristalinitas .......................................................................... 14
III. METODOLOGI .......................................................................................... 15
A. Bahan dan Alat ........................................................................................ 15
B. Metode Penelitian ................................................................................... 16
C. Analisis Data ........................................................................................... 21
D. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................. 21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 22
A. Persiapan Bahan Biji Bioplastik ............................................................. 22
1. Kultivasi PHA ................................................................................... 22
2. Proses Hilir PHA ............................................................................... 23
iv
B. Pembuatan dan Karakterisasi Bioplastik ................................................. 26
1. Pembuatan Bioplastik ....................................................................... 26
2. Karakteristik Bioplastik .................................................................... 29
a. Sifat Mekanis .............................................................................. 30
b. Analisa Gugus Fungsi ................................................................. 34
c. Sifat Termal ................................................................................. 37
d. Derajat Kristalinitas .................................................................... 40
e. Densitas ....................................................................................... 41
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 43
A. Kesimpulan ............................................................................................. 43
B. Saran ........................................................................................................ 44
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 45
LAMPIRAN ...................................................................................................... 49
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Perbandingan karakteristik PHB dan PHB/HV dengan plastik konvensional ....................................................................................... 7
Tabel 2. Aplikasi poli-β-hidroksialkanoat ......................................................... 7
Tabel 3. Sifat fisik dan kimia kloroform ........................................................... 10
Tabel 4. Komposisi media propagasi II dan III serta media kultivasi .............. 22
Tabel 5. Formulasi bioplastik pada berbagai konsentrasi pemlastis IPP .......... 27
Tabel 6. Hasil identifikasi spektrum FTIR bioplastik ....................................... 36
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Hasil scanning electron microscope granula PHB pada Ralstonia eutropha .......................................................................................... 5
Gambar 2. Struktur umum poli-β-hidroksialkanoat .......................................... 5
Gambar 3. Struktur molekul poli-β-hidroksibutirat .......................................... 6
Gambar 4. Struktur molekul isopropil palmitat ................................................ 10
Gambar 5. Bioreaktor skala 13 liter dengan kapasitas kerja 10 liter ................ 16
Gambar 6. PHA kering hasil digest dengan NaOCl 0.2% dan sentrifugasi ...... 24
Gambar 7. Proses pemurnian bubuk PHA dengan ekstraksi pelarut (reflux) ... 25
Gambar 8. PHA murni hasil pemurnian dengan kloroform .............................. 25
Gambar 9. (a) Reaksi antara polimer dan pelarut, (b) Reaksi penambahan pemlastis pada polimer .................................................................... 28
Gambar 10. Pendugaan mekanisme ikatan hidrogen yang terjadi antara molekul PHA dengan molekul IPP ............................................................... 28
Gambar 11. Ikatan hidrogen asam etanoat (asam cuka) ..................................... 29
Gambar 12. Lembaran bioplastik yang terbentuk pada semua selang konsentrasi ....................................................................................... 30
Gambar 13. Perbandingan nilai kuat tarik (a), perpanjangan putus (b), dan elastic modulus (c) bioplastik pada berbagai selang konsentrasi .... 31
Gambar 14. Grafik hubungan kuat tarik dengan perpanjangan putus pada konsentrasi IPP 15% ....................................................................... 34
Gambar 15. Hasil spektrum FTIR PHA pati sagu tanpa pemlastis (a), dan bioplastik dengan konsentrasi IPP 15% (b) .................................... 37
Gambar 16. Hasil analisa sifat termal bioplastik PHA tanpa pemlastis (a), bioplastik PHA dengan konsentrasi IPP 15% ................................. 40
Gambar 17. Grafik perbandingan densitas bioplastik pada berbagai selang konsentrasi ....................................................................................... 41
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Diagram alir pembuatan bioplastik ............................................... 49
Lampiran 2. Perhitungan formulasi bioplastik .................................................. 50
Lampiran 3. a. Hasil pengukuran kuat tarik, perpanjangan putus, dan elastic
modulus bioplastik dari PHA pati sagu (konsentrasi IPP 0 %) 51
b. Hasil pengukuran kuat tarik, perpanjangan putus, dan elastic
modulus bioplastik dari PHA pati sagu (konsentrasi IPP 10%) 53
c. Hasil pengukuran kuat tarik, perpanjangan putus, dan elastic
modulus bioplastik dari PHA pati sagu (konsentrasi IPP 15%) 55
d. Hasil pengukuran kuat tarik, perpanjangan putus, dan elastic
modulus bioplastik dari PHA pati sagu (konsentrasi IPP 20%) 57
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penggunaan polimer sebagai material teknik terus meningkat dewasa ini,
salah satu contoh penggunaannya adalah plastik. Ketidakmampuan
mikroorganisme alami untuk menguraikan material ini telah menimbulkan
masalah sampah non-organik, yang jika tidak ditangani dengan baik akan
menimbulkan masalah yang sangat serius di masa yang akan datang. Proses
recycle yang dilakukan guna mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh
sampah non-organik ini pun masih menghasilkan produk baru dengan kualitas
yang rendah.
Penggunaan bahan dasar plastik yang dapat didegradasi secara biologis
oleh mikroorganisme alami terus dikembangkan dalam rangka mengurangi
permasalahan lingkungan yang ditimbulkan oleh sampah-sampah non-organik,
terutama sampah plastik. Keuntungan lain dari penggunaan bahan baku alami
dalam pembuatan plastik adalah sifatnya yang merupakan sumber daya alam yang
dapat diperbaharui, sehingga keberadaannya dapat terus dilestarikan.
Beberapa contoh plastik biodegradable yang telah banyak dikomersilkan
antara lain terdiri dari bahan hasil sintesis kimia seperti poli asam glikolat, poli
asam laktat, poli kaprolakton, dan poli vinil alkohol; hasil kultivasi mikroba
seperti golongan poliester dan polisakarida; dan yang terakhir adalah dari hasil
modifikasi kimia bahan-bahan alami seperti pati, selulosa, kitin, dan protein
kedelai (Huang dan Edelman dalam Scott dan Gilead, 1995)
Salah satu bahan bioplastik yang cukup penting dan masih terus diteliti
serta dikembangkan sampai saat ini adalah Poli-β-Hidroksialkanoat (PHA). Poli-
β-hidroksialkanoat (PHA) merupakan poliester hidroksialkanoat yang disintesa
oleh sejumlah bakteri sebagai komponen simpanan energi dan karbon intraseluler,
diakumulasi sebagai granula dalam sitoplasma sel (Lee, 1996).
Dalam proses pembuatan bioplastik, PHA perlu ditambahkan pemlastis.
Penambahan pemlastis baik sintetis maupun alami bertujuan untuk memperbaiki
sifat bahan selama pembuatan plastik, memperluas atau memodifikasi sifat
2
dasarnya atau dapat memunculkan sifat baru yang tidak ada dalam bahan dasarnya
(Spink dan Waychoff dalam Frados, 1958).
Berdasarkan komposisi asam lemak minyak sawit yang unik dengan
kadungan asam lemak utama, yaitu asam oleat dan palmitat atau fraksi olein dan
stearin, kedua fraksi tersebut dapat dikonversi menjadi pemlastis Salah satu ester
asam lemak minyak sawit yang dapat dimanfaatkan sebagai pemlastis adalah
isopropil palmitat. (Sadi dan Purboyo, 1996).
Isopropil palmitat biasanya digunakan dalam pembuatan kosmetik sebagai
pengental (thickening agent) dan emollient. Isopropil palmitat bersifat edible atau
aman jika dikonsumsi karena isopropil palmitat dapat dihasilkan dari asam
palmitat minyak sawit. Isopropil palmitat merupakan ester dari isopropil alkohol
dan asam palmitat, mempunyai nama resmi 1-metil etil heksadekanoat. (Anonim1,
2006). Secara umum isopropil palmitat merupakan materi tidak beracun dan tidak
menyebabkan iritasi. Toksikologi isopropil palmitat diketahui berdasarkan sifat
sebagai berikut: LD50 (tikus, IP) sebesar 0,1 g/kg, LD50 (kelinci, kulit) lebih dari
5 g/kg, dan LD50 (mencit, oral) lebih dari 5 g/kg. (Anonim1, 2006)
Penggunaan pemlastis sintetis seperti dimetil ftalat (DMF) (Juari, 2006)
dalam pembuatan bioplastik menggunakan PHA masih menghasilkan
karakteristik bioplastik yang masih rendah. Nilai kuat tarik dan perpanjangan
putus bioplastik dengan menggunakan pemlastis DMF berturut-turut adalah 3.382
MPa dan 23.88%. Selain menghasilkan karakteristik yang masih rendah,
pemakaian pemlastis sintetis dalam pembuatan bioplastik dengan PHA akan
menghasilkan bioplastik yang bersifat non-edible terutama jika digunakan sebagai
bahan kemasan produk-produk pangan.
Pembuatan bioplastik dengan PHA sebagai biji plastik dan IPP sebagai
pemlastis diharapkan menghasilkan bioplastik yang memiliki karakteristik yang
lebih baik dan dapat menjadi subsitusi plastik-plastik konvensional yang berbasis
petrokimia. Penggunaan bahan pemlastis yang bersifat alami dan edible,
diharapkan dapat menghasilkan bioplastik yang tidak hanya aman jika dibuang ke
lingkungan namun juga aman jika dikonsumsi terutama oleh manusia.
3
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini antara lain :
a) Mendapatkan konsentrasi pemlastis isopropil palmitat yang terbaik
dalam pembuatan bioplastik PHA.
b) Mengetahui karakteristik bioplastik PHA yang dihasilkan dengan
menggunakan pemlastis isopropil palmitat.
C. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah:
a) Pembuatan bioplastik dengan menggunakan Poli-β-Hidroksialkanoat
(PHA), isopropil palmitat sebagai pemlastis, dan kloroform sebagai
pelarut.
b) Pengujian karakteristik bioplastik PHA yang dihasilkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Rastonia eutropha
R. eutropha termasuk bakteri gram negatif, aerob obligat, motil, suhu
optimum 20 – 37 oC, koloni pada NA (Nutrient Agar) tidak berwarna, termasuk
oksidase positif dan katalase positif, tidak memproduksi indol, kemoorganotrofik
atau dapat menggunakan berbagai macam asam organik dan asam amino sebagai
sumber karbon, dapat mereduksi NO3- menjadi NO2
- dan dapat tumbuh secara
anaerobik dengan adanya NO3-. Habitat alaminya adalah tanah dan air tapi juga
dapat ditemukan pada usus vertebrata (John et al., 1994).
Lafferty et al. dalam Rehm dan Reed (1988) mengatakan bahwa PHA
dapat diproduksi oleh mikroorganisme pada kondisi pertumbuhan yang tidak
seimbang, seperti ketika terbatasnya jumlah nutrien seperti nitrogen, pospat atau
sulfat, konsentrasi oksigen yang rendah, atau pada kondisi rasio C:N dalam
substrat tinggi.
Lee dan Choi dalam Babel dan Steinbuchel (2001) meyatakan bahwa R.
eutropha dapat tumbuh baik pada media minimal yang relatif murah dan
mengakumulasi PHB pada kondisi pertumbuhan yang tidak seimbang. Sumber
karbon yang dapat digunakan untuk pertumbuhannya adalah D-glukosa (mutan),
D-fruktosa, D-glukonat, asetat, adipat, itakonat (John et al. 1994). R. eutropha
menghasilkan PHB pada kondisi terbatasnya nitrogen, oksigen dan fosfor (Klem
dalam Robinson et al., 1999). Kim dan Lenz dalam Scheper (2001) menyatakan
bahwa ammonium merupakan nutrisi pembatas bagi R. eutropha. Polimer
diakumulasi dalam bentuk granula sitoplasma dan berfungsi sebagai cadangan
karbon dan sumber ekivalen pereduksi. Jumlah granula per sel R. eutropha yang
ditumbuhkan pada kondisi nitrogen terbatas tidak berubah sejak awal fase
akumulasi polimer dan produksi polimer mulai menurun ketika kadar PHB hampir
80% meskipun aktifitas sintase PHB masih cukup tinggi. Gambar granula PHB
pada R. eutropha dapat dilihat pada Gambar 1.
5
Gambar 1. Hasil scanning electron microscope granula PHA pada R. eutropha (Sumber : http://che.kaist.ac.kr/~biosyst/research/pha/pha.html)
B. Poli-β-Hidroksialkanoat (PHA)
Poli-β-hidroksialkanoat (PHA) merupakan poliester hidroksialkanoat yang
disintesa oleh sejumlah bakteri sebagai komponen simpanan energi dan karbon
intraseluler, diakumulasi sebagai granula dalam sitoplasma sel (Lee, 1996). PHA
disintesis jika salah satu elemen nutrisi seperti N, P, S, O atau Mg ada dalam
jumlah terbatas namun sumber karbon ada dalam jumlah berlebih (Lee dan Choi
2001).
Poli-β-hidroksialkanoat (PHA) adalah poliester dari hidroksialkanoat
dengan struktur umum seperti pada Gambar 2. (Ojumu et al., 2003)
O
C H
(C H 2)n
C
R O100-30000
n = 1 R = Hidrogen Poly (-3-hidroksipropionat) Metil Poly (-3-hidroksibutirat) Etil Poly (-3-hidroksivalerat) Propil Poly (-3-hidroksiheksanoat) Pentil Poly (-3-hidroksioktanoat) Nonil Poly (-3-hidroksidodekanoat) n = 2 R = Hidrogen Poly (-4-hidroksibutirat) n = 3 R = Hidrogen Poly (-5-hidroksivalerat)
Gambar 2. Struktur Umum Poli-β-hidroksialkanoat
PHA ada dalam bentuk homo dan heteropolimer. Homopolimer poli-(3-
hidroksibutirat)/PHB memiliki sifat termoplastik dengan sifat mekanis bagus,
mirip dengan polipropilen dan merupakan jenis PHA yang pertama ditemukan dan
paling banyak diteliti. Namun demikian, sebagai plastik, PHB bersifat sangat
rapuh karena tingginya derajat kristalinitas, di samping itu suhu pelelehannya
6
(180oC) mendekati suhu degradasi termalnya (200oC). Kelemahan ini dapat
diperbaiki dengan kopolimerisasi 3HB (hidroksibutirat) dan 3HV
(hidroksivalerat) menjadi kopolimer poli-(3HB-co-3HV) yang lebih fleksibel dan
rendah suhu prosesnya (Kim dan Lenz dalam Scheper, 2001). Suatu galur mutan
Ralstonia eutropha yang ditumbuhkan dengan glukosa dan asam propionat dapat
menghasilkan kopolimer dari monomer 3HB dan 3HV. Kerapuhan kopolimer HB-
HV lebih rendah daripada PHB, sifat termomekanisnya lebih bervariasi
tergantung dari kadar unit 3-HV penyusunnya sehingga aplikasinya lebih luas
(Lefebvre et al. 1997, Klem dalam Robinson et al., 1999).
Asam poli-β-hidroksibutirat (poli-HB) adalah polimer dengan sifat optik
aktif asam D(-)-3-hidroksibutirat (3-hidroksibutanoat) dengan struktur molekul
seperti pada Gambar 3. Jumlah unit berulang (n) dipengaruhi oleh beberapa faktor
dan dapat mencapai nilai n = 35.000. Contoh poli-HB dengan bobot molekul
mencapai 3,39 x 106 telah ditemukan pada bakteri Azotobacter vinelandii dengan
menggunakan klorofom atau diklorometan pada proses ekstraksi dari massa sel
(Lafferty et al. dalam Rehm dan Reed, 1988).
Gambar 3. Struktur molekul Poli-β-Hidroksibutirat
(Lafferty et al. dalam Rehm dan Reed, 1988)
Menurut Poirer et al. (1995), PHB sering dibandingkan dengan
polipropilen (PP) karena sifat fisiknya yang sama, namun PHB lebih rapuh
dengan rasio elastisitas PHB hampir dua kali lebih rendah dibandingkan dengan
PP. Meskipun PHB bersifat rapuh dan lebih sensitif terhadap pelarut
dibandingkan poliester komersial, tetapi PHB memiliki daya tahan yang lebih
besar terhadap radiasi sinar UV dan bersifat dapat didegradasi (Crueger dan
Crueger, 1984). Perbandingan karakteristik PHB dan PHB/HV dengan plastik
konvensional secara lengkap disajikan pada Tabel 1.
7
Tabel 1. Perbandingan Karakteristik PHB dan PHB/HV dengan Plastik Konvensional Karakteristik
Fisik Satuan PHB PHB/HV
10% HV PHB/HV 20% HV
PP PET HDPE PS
Melting point oC 177 150 135 170 262 135 110 Tensile strength MPa 40 25 20 34.5 56 29 50 Flexual modulus GPa 3.5 1.2 0.8 1.72 2.2 0.94 3.1 Extension to break % 3.0 20 100 400 7300 - - Notched Izod J/m 35 100 300 45 3400 32 21
Keterangan : PP = polipropilen, PET = polietilenterephathalat, HDPE = high density polietilen, PS = polistiren. Sumber : Bryom, 1994
Menurut Atifah (2006), pengumpanan sumber karbon dilakukan pada saat
bakteri memasuki fase pertumbuhan stasioner dari daur hidupnya. Bakteri
Ralstonia eutropha mengalami fase pertumbuhan logaritmik hingga jam ke 36 dan
memasuki fase pertumbuhan stasioner mulai jam ke 48. Pada fase stasioner
konsentrasi residu gula mendekati titik nol (<1 g/L) seiring dengan laju
pertumbuhan spesifik (μ) yang menunjukkan angka nol. Pada saat laju
pertumbuhan spesifik mendekati nol, bakteri sebagian besar tidak lagi
memperbanyak diri, sehingga sumber karbon pada media digunakan untuk
pembentukan PHA di dalam sitoplasmanya.
Aplikasi PHA difokuskan pada 3 hal yaitu kesehatan dan farmasi,
pertanian, dan kemasan produk (Lafferty et al. di dalam Rehm dan Reid, 1988;
Lee, 1996). Meskipun bidang aplikasinya luas, namun pemanfaatan PHA masih
terbatas karena harganya mahal. Berbagai penelitian akhir-akhir ini diarahkan
untuk menurunkan biaya produksi, meliputi penelitian tentang (1) galur bakteri
baru yang dapat mensintesis PHA, (2) substrat yang murah, (3) strategi kultivasi
yang baru, (4) penggunaan mikroba rekombinan, (5) pengembangan tanaman
transgenik yang dapat mensintesis PHA dan (6) penggunaan kultur sel serangga
(insekta) untuk memproduksi PHB (Lefebvre et al. 1997). Beberapa aplikasi poli-
β-hidroksialkanoat disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Aplikasi poli-β-hidroksialkanoat
Medis dan farmasi1 Keperluan operasi bedah: benang jahit, pin, penyeka 2 Pembalut luka 3 Pemasangan pembuluh darah dan jaringan tubuh (karena kemampuan
depolimerisasi PHB menjadi monomer asam D(-)-3-hidroksibutirat 4 Pemasangan tulang dan lempeng tulang 5 Stimulasi pertumbuhan tulang (karena PHA mempunyai sifat piezoelektrik) 6 Pembawa (biodegradable carrier) bahan aktif pada obat-obatan
8
Pertanian1 Pembawa (biodegradable carrier) bahan aktif pada herbisida, fungisida,
insektisida atau pupuk (karena kemampuan degradasi di dalam tanah) 2 Kontainer semaian bibit 3 Matrik (biodegradable matrix) untuk obat pada bidang veteriner
Kemasan dan komoditas lain1 Kemasan kontainer, botol, pembungkus, kantong, dan film 2 Bahan-bahan sekali pakai seperti popok bayi dan pembalut wanita
Sumber : Brandl et al. dalam Babel dan Steinbuchel, 2001; Punrattanasin, 2001
C. Isopropil Palmitat
Pemlastis adalah zat aditif dengan titik didih tinggi yang dapat berupa
cairan, padatan, gum sintetis atau murni alami. Penambahan pemlastis baik
sintetis maupun alami bertujuan untuk memperbaiki sifat bahan selama
pembuatan plastik, memperluas atau memodifikasi sifat dasarnya atau dapat
memunculkan sifat baru yang tidak ada dalam bahan dasarnya (Spink dan
Waychoff dalam Frados, 1958).
Perbedaan utama antara pemlastis dengan pelarut adalah kemampuan
penguapan kedua bahan tersebut. Pelarut lebih mudah menguap sedangkan
pemlastis tidak mudah menguap. Persyaratan ideal yang harus dimiliki suatu
pemlastis meliputi kecocokan (compatibilitas), permanen atau tidaknya pemlastis
tersebut berada dalam polimer, dan efisiensi penggunaannya. Pemlastis umumnya
memiliki sifat-sifat tidak berbau, tidak berasa, tidak beracun dan tidak mudah
terbakar (Beeler dan Finney dalam Frados, 1958).
Menurut Sadi dan Purboyo (1996), ester asam lemak epoksi atau
trigliserida dapat digunakan sebagai bahan pemlastis dan stabilizer dalam industri
polimer dan plastik. Berdasarkan komposisi asam lemak minyak sawit yang unik
dengan kandungan asam lemak utama, yaitu asam oleat dan palmitat atau fraksi
olein dan stearin, kedua fraksi tersebut dapat dikonversi menjadi pemlastis.
Pemlastis dari asam oleat antara lain butil oleat, amil oleat, metoksi etil
oleat, fenoksi etil oleat, tetrahidrofurfuril oleat, butil epoksi stearat, butil hidroksi-
asetoksi stearat dan butil poli asetoksi sterat. Sedangkan pemlastis yang dapat
dibuat dari fraksi asam palmitat masih terbatas, yaitu isopropil palmitat dan
isokotil palmitat (Sadi dan Purboyo, 1996).
9
Isopropil palmitat biasanya tidak berwarna seperti ester-ester turunan
oleat. Ester ini larut dalam aseton, castrol oil, kloroform, minyak biji kapas, etil
asetat, etanol dan minterol oil. Ester ini tidak larut dalam air, gliserol dan propilen
glikol (Sadi dan Purboyo, 1996).
Isopropil palmitat merupakan ester dari isopropil alkohol dan asam
palmitat, mempunyai nama resmi 1-metil etil heksadekanoat. Rumus empiris
isopropil palmitat C19H38O2 dengan rumus struktur CH3(CH2)14COOCH(CH3)2.
Struktur molekul isopropil palmitat dapat dilihat pada Gambar 4. Bobot molekul
isopropil palmitat sesuai dengan rumus kimianya adalah 298,51. Pada suhu ruang
isopropil palmitat merupakan cairan jernih tidak berwarna sampai berwarna
kekuningan, tidak berbau, dan bersifat kental. Viskositas yang terukur adalah
antara 5 sampai 10 mPa.s (5-10 cP) pada 25°C. Suhu didih isopropil palmitat
adalah 160°C pada 266 Pa (2 mm Hg). Titik beku terukur antara 13 sampai 15 °C,
dan umumnya isopropil palmitat ini memadat pada suhu di bawah 16 °C.
Isopropil palmitat mudah larut dalam pelarut non polar. Isopropil palmitat larut
dalam aseton, kloroform, etanol etil asetat, minyak mineral, propan-2-ol, minyak
sayur, serta hidrokarbon aromatik dan alifatik. Pada prinsipnya isopropil palmitat
tidak larut dalam gliserin, glikol, dan air. (Anonim1, 2006)
Gambar 4. Struktur Molekul Isopropil Palmitat
(Modifikasi www.chemicalland21.com/lifescience/foco/ISOPROPYL_PALMITATE)
Berat jenis isopropil palmitat antara 0,850 sampai 0,855 pada 25°C sesuai
dengan standar Amerika dan Eropa. Indeks bias isopropil palmitat antara 1,4350
sampai 1,4390 pada 20°C. Toksikologi isopropil palmitat diketahui berdasarkan
sifat sebagai berikut: LD50 (tikus, IP) sebesar 0,1 g/kg, LD50 (kelinci, kulit) lebih
dari 5 g/kg, dan LD50 (mencit, oral) lebih dari 5 g/kg. Secara umum isopropil
palmitat merupakan materi tidak beracun dan tidak melakukan iritasi. (Anonim1,
2006)
10
Penyimpanan isopropil palmitat menuntut kondisi yang gelap, karena
meteri ini memang sensitif terhadap cahaya. Isopropil palmitat menuntut resistan
terhadap oksidasi dan hidrolisis, dan tidak dapat berubah menjadi tengik, namun
demikian disarankan tempat penyimpanannya tertutup dengan baik. Suhu
penyimpanan disarankan di atas 16°C (Anonim1, 2006).
D. Kloroform
Kloroform merupakan cairan dengan berat molekul tinggi, tidak berwarna,
berbau harum, dan sangat toksik. Kloroform merupakan cairan stabil dengan titik
didih rendah (Mellan, 1950).
Karena bersifat narkotik dan toksik, kloroform tidak digunakan secara luas
sebagai pelarut (Durran dan Davies, 1988). Tetapi menurut Mellan (1950)
kloroform memiliki daya larut yang sangat tinggi dan telah dimanfaatkan untuk
tujuan-tujuan khusus seperti untuk lemak, minyak, lilin, alkanoid, asam asetat,
resin, tar, selulosa asetat, nitrat, dan berbagai kepentingan lainnya. Kloroform
dapat larut dengan semua hidrokarbon terhalogenasi dan dengan sebagian besar
pelarut umum lainnya. Sifat-sifat fisika dan kimia kloroform dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Sifat Fisik dan Kimia Kloroform Sifat Fisik dan Kimia Nilai Berat molekul 119.38 Gravitasi spesifik 1.499 (15 oC) Titik didih 60 – 62 oC Titik beku – 63.5 oC Panas laten penguapan 59.1 cal/g
106.4 B.t.u/lb Panas spesifik 0.233 cal/g/oC atau B.t.u/lb/oF Viskositas 5.63 millipoise (20 oC)
5.10 millipoise (30 oC) Sumber : Mellan, 1950
Penggunaan pelarut (solvent) pada saat proses pembuatan plastik
dimaksudkan untuk melarutkan bahan polimer padat sehingga memudahkan
pengolahan dalam proses selanjutnya. Pengklasifikasian jenis pelarut didasarkan
pada tingkat penguapan, struktur kimia, dan kekuatan pelarut (Frados, 1959).
11
Poli-β-hidroksialkanoat (PHA) dapat larut pada berbagai pelarut seperti
kloroform, metilen klorida, etilen klorida, piridin atau campuran
diklorometan/etanol (Atkinson dan Mavituna, 1991).
E. Pembuatan Bioplastik
Menurut Cowd (1991) proses terbentuknya suatu polimer dikenal dengan
istilah polimerisasi. Polimerisasi ini merupakan pembentukan molekul raksasa
(polimer) melalui penggabungan molekul-molekul kecil dan sederhana yang
disebut monomer. Pembentukan ikatan polimer menghasilkan ikatan kunci antar
monomer yang disebut sebagai ikatan tulang punggung (backbone).
Menurut Ramsay et al. (1993), terdapat dua macam cara pembuatan film
PHB. Solvent-cast film dibuat dengan cara menuangkan larutan kloroform-PHB
5% (w/v) pada sebuah plat kaca atau teflon. Pelarut kemudian diuapkan dan film
yang terbentuk dibiarkan selama dua minggu pada suhu ruang untuk mencapai
keseimbangan kristalinitas. Heat-pressed film dibuat dengan cara menuangkan
larutan 25% PHB (b/v) pada plat kaca, lalu dikeringkan semalam pada suhu ruang
dan kemudian ditempatkan diantara dua lembar lempengan yang dibungkus
aluminium foil. PHB dalam cetakan lalu di-press pada suhu 155-160OC pada
tekanan 5000 lb/in2 selama satu menit.
Spink dan Waychoff di dalam Frados (1958) menjelaskan teori mengenai
reaksi yang terjadi antara pemlastis dengan suatu polimer. Pemlastis yang
ditambahkan pada suatu bahan polimer resin akan tersisip secara fisika di antara
rantai-rantai polimer tersebut. Penambahan pemlastis dapat mengakibatkan
terbentuknya ‘ikatan yang hilang’. Ikatan baru yang terbentuk biasanya ikatan
jembatan hidrogen antara polimer resin dan pemlastis tersebut.
Ikatan hidrogen merupakan sejenis interaksi elektrostatis diantara molekul
yang hidrogennya terikat pada atom elektronegatif (F, N, O). Ikatan tersebut
terjadi akibat adanya gaya tarik-menarik elektron dari atom elektronegatif.
Kekuatan ikatan hidrogen kira-kira sepersepuluh ikatan kovalen normal.
Meskipun demikian, ikatan hidrogen mempengaruhi sifat fisik (Sukardjo, 1985).
12
F. Karakteristik Bioplastik
1. Kuat Tarik dan Perpanjangan Putus
Kuat tarik adalah gaya tarik maksimum yang dapat ditahan oleh film
sampai film tersebut putus. Kuat tarik dipengaruhi oleh bahan pemlastis yang
ditambahkan dalam proses pembuatan film. Persen pemanjangan merupakan
perubahan panjang maksimum film sebelum terputus. Elastisitas akan
menurun seiring dengan meningkatnya jumlah bahan pemlastis dalam film.
Elastisitas merupakan ukuran dari kekuatan film yang dihasilkan (Latief,
2001).
Pengujian kuat tarik akan menghasilkan kurva tegangan-regangan
(stress-strain). Informasi yang diperoleh dari kurva tegangan-regangan untuk
polimer adalah kekuatan tarik saat putus (ultimate strength) dan perpanjangan
saat putus (elongation at break, ε) dari bahan (Billmayer, 1971).
Elastisitas akan menurun seiring dengan meningkatnya jumlah bahan
pemlastis dalam film. Elastisitas adalah sifat benda yang mengalami
perubahan bentuk atau deformasi secara tidak permanen (Dede, 2006). Benda
dapat dikatakan elastis sempurna artinya jika gaya penyebab perubahan
bentuk hilang maka benda akan kembali ke bentuk semula. Banyak benda
yang bersifat elastis sempurna yaitu mempunyai batas-batas deformasi yang
disebut limit elastis sehingga jika melebihi dari limit elastik maka benda tidak
akan kembali ke bentuk semula. Sifat yang lain adalah sifat plastis atau sifat
tidak elastis dan perubahan cenderung tidak kembali ke bentuk semula,
misalnya lilin. Perbedaan antara sifat elastis dan plastis adalah pada tingkatan
dalam besar atau kecilnya deformasi yang terjadi (Dede, 2006).
Allcock dan Lampe (1981) mengatakan bahwa sifat tegangan dan
regangan dari sebagian besar bahan sangat tergantung pada waktu, sehingga
pada saat pengukuran harus diukur kecepatan awal tegangannya.
2. Gugus Fungsi
Gugus fungsi suatu sampel dapat dideteksi menggunakan Fourier
Transform Infra-Red Spectroscopy (FTIR). FTIR adalah alat yang
menggunakan infra merah untuk mengidentifikasikan struktur senyawa
13
organik maupun senyawa anorganik (Fessenden dan Fessenden, 1986). Infra
merah merupakan gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang
diatas daerah sinar tampak yaitu pada 700-3000 μm atau 0.7-3 μm (Mohsenin,
1984).
Menurut Murray dan Williams dalam Williams, (1990), informasi dari
spektrum pantulan ini didapat karena radiasi infra merah dekat yang
dipancarkan oleh sumber radiasi berkorespondensi dengan frekuensi vibrasi
dari molekul-molekul yang ada di dalam bahan organik karena setiap ikatan
kimia CH, NH dan OH memiliki frekuensi vibrasi tertentu sedangkan yang
tidak berkorespondensi dengan molekul yang ada dalam bahan tersebut akan
dipantulkan.
Spektrum pantulan yang dihasilkan berisi basil pengukuran parameter-
parameter yang dijelaskan oleh panjang gelombang dalam nanometer,
amplitudo dengan tinggi puncak gelombang dan lebar gelombang yang
menjelaskan intensitasnya sehingga dengan parameter-parameter ini seluruh
informasi penyerapan dari suatu bahan dapat dijelaskan (Murray dan
Williams, 1990).
3. Sifat Termal
Menurut Jandali dan Widmann (1995) analisa sifat termal merupakan
suatu teknik untuk mengetahui karakteristik suatu bahan berdasarkan fungsi
suhu dan waktu. Pada teknik ini, sampel dipanaskan atau didinginkan pada
laju konstan. Salah satu teknik analisis sifat termal adalah DSC (Diffrential
Scanning Calorimetry). Perubahan entalpi maupun suhu yang terjadi pada
sampel dimonitor oleh sensor yang terpasang pada DSC, sehingga dapat
memberikan informasi tentang suhu transisi kaca (transition glass
temperature, Tg) dan suhu pelelehan (melting temperature, Tm). Informasi
mengenai sifat termal suatu polimer berguna untuk menentukan aplikasi yang
sesuai serta bagaimana kondisi proses terutama suhu dari polimer tersebut.
DSC mengukur sejumlah energi (panas) yang diserap atau dilepaskan
oleh suatu sampel ketika dipanaskan, didinginkan atau didiamkan pada suhu
konstan. DSC juga mengukur suhu sampel pada kondisi tersebut. Prinsip kerja
14
menggunakan metode ini adalah pengukuran aliran panas berdasarkan
kompensasi tenaga (Rabek 1983).
4. Derajat Kristalinitas
Pengukuran derajat kristalinitas dilakukan dengan pendekatan hasil uji
DSC berdasarkan perubahan entalpi yang terjadi saat tercapai suhu pelelehan.
Menurut Hahn et al. (1995), PHA dengan derajat kristalinitas 100% akan
mempunyai perubahan entalphi sebesar 146 J/g.
Menurut Sutiani (1997), Difraktometer sinar-X merupakan suatu alat
yang dapat menentukan derajat kristalinitas suatu polimer. Bagian kristalin
dan amorf suatu polimer dapat berinteraksi dengan sinar-X dan menunjukkan
aktifitas difraksi yang spesifik. Derajat kristalinitas dapat ditentukan bila
difraksi kristalin dapat dipisahkan dari difraksi amorf. Derajat kristalinitas
diketahui dengan cara menghitung perbandingan luas difraksi kristalin
terhadap luas total difraksi.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Bahan dan Alat
1. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan bioplastik ini
antara lain; (1) Poli-β-Hidroksialkanoat (PHA) sebagai biji plastik; (2)
kloroform sebagai pelarut; (3) isopropil palmitat sebagai pemlastis. Poli-β-
Hidroksialkanoat (PHA) yang digunakan dalam penelitian ini adalah PHA
hasil kultivasi secara fed-batch oleh bakteri Ralstonia eutropha IAM
12368 yang diperoleh dari IAM Culture Collection, Institute of Molecular
and Celular Bioscience, The University of Tokyo. Sumber karbon yang
digunakan dalam substrat kultivasi adalah hidrolisat pati sagu yang dibuat
dengan hidrolisis enzimatis pati sagu dengan enzim α–amilase dan
amiloglukosidase.
Bahan-bahan lain yang dibutuhkan untuk kultivasi bakteri dan
isolasi PHA adalah nutrient broth, (NH4)2HPO4, K2HPO4, KH2PO4,
MgSO4 0.1 m, FeSO4.7H2O, MnCl2.4H2O, CoSO4.7H2O, CaCl2.7H2O,
CuCl2.2H2O, ZnSO4.7H2O, buffer tris-hidroklorida, NaOH, NaOCl dan
NH4OH.
2. Alat
Alat-alat yang digunakan untuk kultivasi PHA adalah bioreaktor
skala 13 liter dengan volume kerja 10 liter, autoklaf, pH meter, waterbath
sheker, rotary shaking inkubator, sentrifuse, penyaring vakum,
termometer, oven, desikator, freezer, neraca analitik, clean bench, pipet
mikro, ose bunsen, pendingin tegak, hotplet, lemari asap, plat kaca, dan
alat-alat gelas.
Peralatan untuk pengujian yang digunakan meliputi alat pengukur
kuat tarik dengan jenis Tensilon, alat untuk mengetahui gugus fungsi
bahan Fourier Transform Infra Red (FTIR), dan alat untuk menganalisa
titik leleh polimer Differential Scanning Calorimetry (DSC).
16
Gambar 5. Bioreaktor skala 13 liter dengan kapasitas kerja 10 liter. Laboratorium Rekayasa Bioproses – Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB
B. Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap penyiapan bahan biji
bioplastik dan tahap penelitian utama. Tahap penelitian utama terdiri dari
pembuatan bioplastik dan pengujian karakteristik bioplastik yang dihasilkan.
1. Persiapan Bahan Biji Bioplastik
Secara umum tahap persiapan bahan biji plastik terdiri dari dua
tahapan utama, yaitu; (1) persiapan kultur dan media kultivasi, (2)
kultivasi PHA, dan (3) Proses hilir PHA.
a. Persiapan kultur dan media kultivasi (Atifah, 2006)
Kultur R. eutropha yang digunakan dipelihara dalam bentuk
kering-beku. Kultur disegarkan setiap 2 minggu pada media cair Nutrient
Broth pada suhu 34oC. Media yang digunakan adalah hidrolisat pati sagu
sebagai sumber karbon, (NH4)2HPO4 sebagai sumber nitrogen, K2HPO4
dan KH2PO4 sebagai sumber fosfat, serta mikroelemen yang terdiri dari
FeSO4.7H2O, MnCl2.4H2O, CoSO4.7H2O, CaCl2.2H2O, CuCl2.2H2O, dan
ZnSO4.7H2O.
Sebelum dilakukan proses kultivasi pada bioreaktor, terlebih
dahulu kultur R. eutropha ditumbuhkan pada media propagasi (volume 10
mL, 100 mL, dan 1000 mL) selama 3 x 24 jam, pada suhu 34oC dan
kecepatan 150 rpm.
17
b. Kultivasi PHA secara fed-batch (Atifah, 2006)
Kultivasi fed-batch dilakukan pada bioreaktor skala 13 liter,
volume kerja 10 liter, pH 6.9, agitasi 150 rpm, suhu 34oC dan aerasi 0.2
vvm. Kultivasi dilakukan selama 96 jam. Metode pengumpanan dilakukan
pada saat mikroba memasuki fase pertumbuhan stationer yaitu pada jam
ke-48. Umpan berupa hidrolisat pati sagu yang setara dengan 20 gram per
liter kultur dengan kecepatan pengumpanan konstan 1.7 ml/menit.
c. Proses Hilir PHA (Atifah, 2006; Imamura et al., 2001 dan Lee,
1996)
Setelah proses kultivasi selesai, cairan kultivasi disentrifugasi pada
kecepatan 13000 rpm selama 10 menit. Proses sentrifugasi terdiri dari
empat tahap, yaitu; (i) pemisahan biomassa dari fase cair, (ii) pencucian
endapan biomassa yang diperoleh dengan aquades, (iii) digest dengan
NaOCl 0.2% selama 1 jam, (iv) pencucian endapan biomassa yang telah di
digest dengan aquades. Endapan biomassa yang diperoleh dikering dalam
oven pada suhu ± 50oC selama 24 jam.
PHA kering yang diperoleh dari hasil sentrifugasi terlebih dahulu
dihaluskan dan kemudian dilarutkan dalam kloroform dengan
perbandingan 1 gram PHA kering banding 50 ml kloroform. Larutan
kemudian diaduk dan dipanaskan pada suhu ± 50oC selama 24 jam. Untuk
mencegah penguapan pelarut, maka dipasang pendingin tegak. Setelah itu,
larutan disaring dengan menggunakan kertas saring whatman 42 pada
penyaring vakum. Filtrat hasil saringan yang mengandung PHA yang
terlarut dalam kloroform diuapkan pada lemari asam untuk memperoleh
PHA kering yang lebih murni.
2. Pembuatan Bioplastik PHA
a. Motode pembuatan bioplastik (modifikasi Akmaliah, 2003)
Proses pembuatan bioplastik dilakukan dengan teknik solution
casting. Proses pembuatan bioplastik dimulai dengan pencampuran PHA,
kloroform, dan isopropil palmitat. Pencampuran dilakukan dengan
18
pengadukan biasa sampai terbentuk larutan PHA-kloroform-isopropil
palmitat yang homogen. Kemudian larutan yang telah homogen dituang
pada cetakan (plat kaca). Diagram alir proses pembuatan bioplastik dapat
dilihat pada Lampiran 1.
b. Penentuan jumlah kloroform
Menurut Lee (1996), untuk melarutkan satu bagian PHA
diperlukan 20 bagian pelarut. Jumlah pelarut yang optimal akan
ditentukan dengan cara melarutkan PHA pada kloroform dengan
perbandingan PHA-kloroform 1:5, 1:10, 1:15 dan 1:20.
c. Penentuan jumlah PHA
Jumlah PHA yang digunakan disesuaikan dengan ketebalan
bioplastik yang akan dihasilkan. Jumlah PHA yang optimal adalah
jumlah PHA yang mampu menutupi seluruh permukaan cetakan dan
memenuhi ketebalan yang ditentukan yaitu ± 0.05 mm.
d. Penentuan jumlah Isopropil Palmitat
Jumlah isopropil palmitat yang ditambahkan tergantung pada
jumlah PHA yang akan digunakan. Pada penelitian ini akan diujikan
konsentrasi isopropil palmitat mulai dari 0% (kontrol), 10%, 15%, dan
20% (b/b) dari jumlah PHA.
3. Pengujian Karakteristik Bioplastik
Pengujian karakteristik yang dilakukan terhadap bioplastik pada
penelitian ini meliputi pengujian sifat fisik dan mekanis bioplastik. Analisa
sifat mekanis bioplastik yang dilakukan adalah kuat tarik dan perpanjangan
putus, sedangkan analisa sifat fisik bioplastik yang dilakukan adalah gugus
fungsi, sifat termal, derajat kristalinitas, dan densitas.
a. Sifat Mekanis (ASTM D 638 M-III, 1998)
Pengujian sifat mekanis meliputi uji kuat tarik, perpanjangan putus,
dan elastis modulus. Pengujian dilakukan di Laboratorium Uji Polimer,
19
Pusat Penelitian Fisika, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Bandung. Alat yang digunakan untuk pengujian adalah Universal Testing
Machine (UTM) yang dibuat oleh Orientec Co. Ltd dengan model UCT-
5T. Lembaran sampel dipotong menjadi dumbbell ASTM D638 M-III.
Kondisi pengujian dilakukan pada temperatur ruang uji dengan suhu 27oC,
kelembaban ruang uji 65%, kecepatan tarik 1 mm/menit, skala load cell
10% dari 50 N, dan pengukuran ketebalan sampel yang akan diuji
menggunakan Digital Micrometer.
Kekuatan tarik dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
berikut : (Sutiani, 1997)
AFmaks=τ
Keterangan : τ : kekuatan tarik (MPa) Fmaks : gaya kuat tarik (N) A : luas permukaan contoh (mm2)
Perpanjangan putus dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan berikut : (Sutiani, 1997)
%100%0
0 ×−
=L
LLE
Keterangan : % E : perpanjangan (%) L0 : panjang sampel mula-mula L : panjang sampel setelah diberi beban hingga putus
Elastic modulus dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
berikut : (ASTM D 638 M-III)
strainingcorrespondindifferencestressindifferenceModulusElastic
=
b. Gugus Fungsi (ASTM E 1252-88, 1998)
Gugus fungsi PHA dapat dideteksi dengan menggunakan alat
Fourier Transform Infra-Red Spectrometer (FTIR). Pengujian dilakukan
di Laboratorium Uji Polimer, Pusat Penelitian Fisika, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung. Tipe alat FTIR yang digunakan
dalam penelitian ini adalah FTIR-4300. Metode pengujian berdasarkan
20
ASTM E 1252-88 yaitu dengan menggunakan metode KBr (Kalium
Bromida) yang dipadatkan. Metode ini digunakan pada selang bilangan
gelombang antara 5000 – 400 cm-1 (2 – 25 µm).
Metode pengujian sebagai berikut; sampel dihaluskan terlebih
dahulu dengan menggunakan Cryogenic crusher, kemudian sampel yang
telah halus dicampurkan dengan pelet KBr sebanyak ±100 mg.
Kemudian campuran tersebut dikompresi, dan terakhir tablet hasil
pengompresan diletakkan di tempat sel spektrofotometer infra merah
dengan lubang mengarah ke sumber radiasi.
c. Sifat Termal (ASTM D 3418, 1998)
Pengujian sifat termal dilakukan di Laboratorium Uji Polimer,
Pusat Penelitian Fisika, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Bandung. Alat yang digunakan adalah Differential Scanning Calorimetry
(DSC) dengan tipe Seiko Instruments Inc.. Analisa sifat termal meliputi
pengukuran suhu pelelehan (melting point, Tm), suhu transisi kaca (glass
transition temperature, Tg), dan perubahan entalpi sampel selama proses
tersebut. Sampel ditimbang ±5 mg kemudian dimasukkan kedalam
crucible 40 µl. Analisa dilakukan dengan pemanasan sampel dari
temperatur kamar hingga 200oC. Kecepatan pemanasan adalah
10oC/menit. Nitrogen cair digunakan untuk pendinginan dengan kecepatan
aliran 50 ml/menit.
d. Derajat Kristalinitas (Hahn et al. 1994)
Pengukuran derajat kristalinitas dilakukan dengan metode
pendekatan. Metode ini didasarkan pada perubahan entalpi yang terjadi
pada saat tercapainya suhu pelelehan yang terukur pada saat pengukuran
suhu pelelahan dengan DSC. PHA dengan derajat kristalinitas 100% akan
mempunyai perubahan entalpi sebesar 146 J/g. Dengan melakukan
perbandingan perubahan entalpi sampel uji dan PHA dengan kristalinitas
100% maka akan dapat diketahui derajat kristalinitas sampel uji.
21
Kristalinitas sampel dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut :
%1000
×Δ
Δ=
HH
Xc f
Keterangan : Xc = kristalinitas (%), ΔHf = entalpi pelelehan sampel (J/g), ΔH0 = entalpi pelelehan PHB 100% kristalin (146 J/g) e. Densitas (Rabek, 1983)
Penentuan densitas dilakukan dengan cara menghitung massa dan
volume sampel. Densitas bioplastik dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan berikut :
vmρ =
Keterangan : ρ : densitas (g/cm3) m : massa bahan (g) v : volume bahan (cm3)
C. Analisa Data
Analisa data yang digunakan adalah statistika deskriptif. Statistika
deskriptif adalah metode-metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan
penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna.
Penyusunan tabel, diagram, grafik, dan besaran-besaran lain termasuk ke dalam
kategori statistika deskriptif ini (Sudjana 1994 dan Walpole 1995).
D. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Rekayasa Bioproses Pusat Penelitian
Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor dan di
Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pengujian karakterisasi dilakukan di
Laboratorium Uji Polimer, Pusat Penelitian Fisika, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) Bandung. Penelitian berlangsung selama sepuluh bulan, mulai
bulan Maret sampai Desember 2006.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Bahan Biji Bioplastik
Tahap persiapan bahan biji bioplastik terdiri dari; kultivasi PHA secara
fed-batch, dan proses hilir PHA hasil kultivasi guna mendapatkan PHA yang lebih
murni.
1. Kultivasi PHA
Kultivasi Ralstonia eutropha dilakukan secara fed-batch pada
bioreaktor skala 13 liter dengan kapasitas kerja 10 liter. Kultivasi sistem fed-
batch mampu meningkatkan konsentrasi PHA dan rendemen PHA di dalam
sel sebesar lebih dari dua kali lipat apabila dibandingkan dengan kultivasi
sistem curah (Atifah, 2006). Kultivasi dilakukan selama 96 jam dengan agitasi
150 rpm, aerasi 0.2 vvm, suhu 34oC, dan pada pH rata-rata 6.9.
Sebelum dilakukan kultivasi pada bioreaktor, terlebih dahulu R.
eutropha dibiakkan pada media propagasi (volume 10 mL, 100 mL, dan 1000
mL) selama 3 x 24 jam. Propagasi pertama dilakukan pada media nutrient
broth, sedangkan propagasi kedua dan ketiga dilakukan pada media propagasi
yang telah terlebih dahulu disiapkan. Komposisi media propagasi dan media
kultivasi pada bioreaktor disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi Media Propagasi II dan III Serta Media Kultivasi
Bahan Propagasi II Propagasi III Kultivasi (media 90 ml) (media 900 ml) (media 9000 ml)
(NH4)2HPO4 0,5094 g 5,094 g 50,94 g K2HPO4 0,522 g 5,22 g 52,2 g KH2PO4 0,342 g 3,42 g 34,2 g MgSO4 0,1 M 0,9 ml 9 ml 90 ml Mikroelemen 0,09 ml 0,9 ml 9 ml Hidrolisat pati sagu 9,61 ml 96,1 ml 961 ml
Pada tahap awal kultivasi, total gula yang dipakai adalah 30 g/L.
Kemudian pada jam ke-48 dilakukan pengumpanan sirup gula dan total gula
diatur menjadi 20 g/L. Menurut Atifah (2006), pengumpanan sumber karbon
dilakukan pada saat bakteri memasuki fase pertumbuhan stasioner dari daur
23
hidupnya. Bakteri Ralstonia eutropha mengalami fase pertumbuhan
logaritmik hingga jam ke 36 dan memasuki fase pertumbuhan stasioner mulai
jam ke 48. Pada fase stasioner konsentrasi residu gula mendekati titik nol (<1
g/L) seiring dengan laju pertumbuhan spesifik (μ) yang menunjukkan angka
nol. Pada saat laju pertumbuhan spesifik mendekati nol, bakteri sebagian
besar tidak lagi memperbanyak diri, sehingga sumber karbon pada media
digunakan untuk pembentukan PHA di dalam sitoplasmanya.
Menurut Ayorinde et al. (1998), galur bakteri dan sumber karbon
yang digunakan sangat berpengaruh terhadap PHA yang dihasilkan. Ralstonia
eutropha dapat memproduksi PHB (poli-β-hidroksibutirat) menggunakan
glukosa dan PHV (poli-β-hidroksivalerat) menggunakan glukosa dan asam
propionat. PHB dapat disintesa oleh Ralstonia eutropha jika salah satu elemen
nutrisi seperti N, P, S, O atau Mg ada dalam jumlah terbatas namun sumber
karbon ada dalam jumlah berlebih (Lee dan Choi, 2001).
Pada penelitian ini, kultivasi dilakukan pada media yang mempunyai
rasio C dan N sebesar 10:1 (Atifah, 2006). Nitrogen dijadikan sebagai elemen
pembatas untuk pertumbuhan R. eutropha dalam mensintesis PHB. Sumber
nitrogen yang digunakan adalah (NH4)2HPO4. Perhitungan besarnya
(NH4)2HPO4 yang perlu ditambahkan pada saat formulasi media didasarkan
pada total gula sirup glukosa. Total gula pada media fermentasi adalah 30g/L.
Konsentrasi C yang terdapat pada sirup glukosa (C6H12O6) adalah 40% dari
nilai total gula atau sebesar 12g/L sehingga konsentrasi N yang diperlukan
adalah sebesar 1,2 g/L.
Selain C dan N, media yang digunakan juga mengandung sumber K,
P, dan Mg. Sumber K dan P diperoleh dari K2HPO4 dan KH2PO4 dengan
konsentrasi sebesar 5,8 g/L dan 3,8 g/L. Sedangkan sumber Mg diperoleh dari
MgSO4 dengan konsentrasi sebesar 10 ml/L.
2. Proses Hilir PHA
Kultivasi PHA pada bioreaktor dilakukan selama 96 jam, setelah itu
PHA dapat dipanen dan kemudian dilakukan proses hilir untuk memperoleh
PHA dari biomassa sel. Proses hilir ini bertujuan untuk memisahkan PHA dari
24
bahan-bahan pengotor seperti asam nukleat, protein, lemak maupun sisa
media yang masih ada. Proses hilir dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap
pertama digest dengan NaOCl 0.2 % dan sentrifugasi serta tahap kedua
ekstraksi dengan pelarut.
Endapan PHA yang diperoleh dari proses digest dengan NaOCl 0.2 %
dan sentrifugasi, dikeringkan dalam oven dengan suhu ± 50oC selama 24 jam.
Setelah PHA kering (Gambar 6), kemudian PHA dihaluskan dengan mortar.
Bubuk PHA yang diperoleh ternyata masih kotor, karena bubuk PHA tidak
dapat membetuk lembaran saat digunakan dalam pembuatan bioplastik
dengan teknik casting. Untuk itu, bubuk PHA perlu dimurnikan lagi.
Gambar 6. PHA kering hasil digest dengan NaOCl 0.2 % dan sentrifugasi
Pemurnian bubuk PHA dilakukan dengan ekstraksi dengan pelarut.
Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi ini adalah kloroform (CHCl3). Karena
menurut Lafferty et al. (1988) kloroform merupakan jenis pelarut yang sering
digunakan untuk mengekstrak PHA dari sel bakteri, karena PHA memiliki
kelarutan yang tinggi di dalam kloroform. Atkinson dan Mavituna (1991)
menambahkan bahwa poli-β-hidroksialkanoat (PHA) dapat larut pada
berbagai pelarut seperti kloroform, metilen klorida, etilen klorida, piridin atau
campuran diklorometan/etanol.
Dalam proses pemurnian ini, bubuk PHA dilarutkan dalam kloroform
dengan perbandingan 1:50 (b/v). Larutan kemudian diaduk dengan
menggunakan magnetic stirer dan pendingin tegak digunakan untuk
mengkondensasikan kembali kloroform yang menguap (refluks) (Gambar 6).
25
Gambar 7. Proses pemurnian bubuk PHA dengan ekstraksi pelarut (reflux)
Setelah dilakukan pengadukan selama 24 jam, larutan PHA +
kloroform disaring pada penyaring vakum dan mengunakan kertas saring
whatman 42. Hasil penyaringan kemudian diuapkan dalam lemari asap. PHA
murni yang terlarut dalam kloroform akan tertinggal dan membentuk
lembaran (Gambar 8). PHA murni inilah yang digunakan dalam penelitian ini
untuk membuat bioplastik.
Gambar 8. PHA murni hasil ekstraksi dengan kloroform (reflux)
Rendemen PHA murni yang diperoleh setelah proses pemurnian
dengan kloroform adalah sebesar ± 40 % (5 gram dari 20 gram PHA kering),
hal ini sesuai dengan pernyataan Lee dan Choi (2001), yaitu bahwa bakteri R.
eutropha dapat mengakumulasi PHA 30-80% dari bobot kering selnya.
Rendemen PHA yang diperoleh tidak maksimal, karena ada beberapa hal
yang dapat mempengaruhi, seperti; galur mikroba yang digunakan, jenis
substrat yang dipakai, kondisi proses kultivasi, serta metode ekstraksi PHA.
Poli-β-hidroksialkanoat yang dihasilkan oleh R. eutropha pada
penelitian ini diduga merupakan jenis poli-β-hidroksibutirat (PHB). Atifah
(2006) telah melakukan identifikasi gugus fungsi dari polimer PHA yang
26
dihasilkan oleh Ralstonia eutropha dengan hidrolisat pati sagu sebagai sumber
karbon pada saat kultivasi. Dari analisa dengan menggunakan FTIR (Fourier
Transform Infra Red Spectroscopy) didapatkan hasil berupa spektrum infra
merah yang ada pada PHA dari pati sagu, 15 dari 18 spektrum yang muncul
sama dengan spektrum PHB murni (MERCK). Selain sesuai dengan ciri khas
grup PHA, juga muncul gugus metil bebas (-CH3) dan metilen tunggal (-CH2-)
yang sesuai dengan struktur PHB sebagaimana disajikan pada Gambar 3. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa PHA yang didapat dari kultivasi Ralstonia
eutropha dengan hidrolisat pati sagu sebagai sumber karbon, merupakan jenis
poli-β-hidroksibutirat (PHB).
Atifah (2006) juga menguji kadar atau tingkat kemurnian PHB yang
diperoleh dengan menggunakan Gas Chromatography (GC). Pada
kromatogram PHB yang dihasilkan muncul peak dominan pada waktu retensi
yang mendekati standar (1,18) yaitu pada waktu retensi 1,25 menit dengan
konsentrasi 69,69%. Dengan demikian, kadar atau kemurnian relatif PHB sagu
terhadap PHB murni sebesar 76,57% (= 69,69 / 91,01 x 100%).
B. Pembuatan dan Karakterisasi Bioplastik
Tahap ini meliputi proses pembuatan bioplastik dengan menggunakan
pemlastis isopropil palmitat (IPP) dan pengujian karakteristik bioplastik yang
dihasilkan.
1. Pembuatan Bioplastik
Proses pembuatan bioplastik dilakukan dengan menggunakan teknik
solution casting. Penggunaan teknik ini didasarkan pada kesederhanaan alat
maupun metode yang digunakan. Menurut Allcock dan Lampe (1981), teknik
solution casting merupakan pilihan yang cepat dan mudah untuk membuat
film plastik pada skala laboratorium. Waddington (2000) menambahkan, poli-
β-hidroksialkanoat (PHA) merupakan material biodegradable yang dapat
dibuat film plastik dengan teknik solution casting.
Proses pembuatan bioplastik dimulai dengan menentukan jumlah
pelarut yang akan digunakan. Menurut Lee (1996), untuk melarutkan satu
27
bagian PHA diperlukan 20 bagian pelarut. Namun setelah dilakukan
percobaan dengan perbandingan PHA : pelarut sebesar 1:20 (b/b), 1:30 (b/b),
1:40 (b/b) dan 1:50 (b/b), maka diperoleh perbandingan yang tepat adalah 1:30
(b/b). Penggunaan perbandingan 1:20 (b/b) dapat menghasilkan lembaran
PHA yang paling baik (berdasarkan penampakan fisik), namun pada saat
penuangan larutan kedalam cetakan (plat kaca) banyak terdapat sisa PHA pada
dinding botol yang digunakan untuk melarutkan PHA dengan kloroform. Hal
ini dikarenakan larutan bersifat kental. Untuk itu jumlah pelarut yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 1:30 (b/b) karena pada perbandingan ini
PHA tidak terlalu banyak menempel pada dinding botol.
Untuk mendapatkan ketebalan yang diinginkan (± 0.05 mm), maka
terlebih dahulu ditentukan jumlah PHA optimum yang akan digunakan.
Jumlah PHA optimum adalah jumlah PHA yang mampu menutupi seluruh
bagian cetakan yang digunakan (4,5 x 19 cm). Dari hasil percobaan
didapatkan jumlah PHA optimum untuk membuat lembaran bioplastik adalah
sebesar 0.25 gram.
Setelah menentukan jumlah kloroform dan PHA yang akan digunakan,
langkah selanjutnya adalah menentukan jumlah isopropil palmitat (IPP) yang
akan digunakan sebagai pemlastis. Penentuan jumlah IPP berdasarkan jumlah
PHA yang digunakan. Konsentrasi IPP yang digunakan dalam penelitian ini
adalah 0% (b/b) (kontrol), 10% (b/b), 15% (b/b) dan 20% (b/b). Formulasi
bioplastik pada berbagai konsentrasi pemlastis IPP disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Formulasi bioplastik pada berbagai konsentrasi pemlastis IPP*
No Kode Konsentrasi IPP (%)
PHA (gr)
Kloroform (gr)
IPP (gr)
Total (gr)
1 IPP-00 0 0.2500 7.50000 0.00000 7.75000 2 IPP-10 10 0.2500 7.47222 0.02778 7.75000 3 IPP-15 15 0.2500 7.45600 0.04400 7.75000 4 IPP-20 20 0.2500 7.43750 0.06250 7.75000
*) Cara perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 2
Setelah jumlah PHA, kloroform, dan IPP ditetapkan maka dilakukan
pembuatan bioplastik dengan teknik solution casting. Dalam pembuatan
bioplastik, PHA terlebih dahulu dilarutkan dalam kloroform. Setelah PHA
larut sempurna dalam kloroform lalu ditambahkan pemlastis IPP. Proses
28
Polimer
Polimer + Pelarut
pembentukan lembaran bioplastik terjadi karena IPP yang ditambahkan pada
larutan PHA tersisip secara fisika di antara rantai-rantai polimer PHA. Proses
ini diilustrasikan seperti pada Gambar 9.
Gambar 9. (a). Reaksi antara polimer dan pelarut (b) Reaksi penambahan pemlastis pada polimer (Spink dan Waychoff di dalam Frados, 1958)
Terbentuknya lembaran bioplastik dengan penambahan pemlastis IPP
diduga karena terjadi ikatan hidrogen antara molekul PHA dengan molekul
IPP. Proses pembentukan ikatan hidrogen ini dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Pendugaan mekanisme ikatan hidrogen yang terjadi antara molekul PHA
dengan molekul IPP. Ikatan hidrogen ditandai dengan garis putus-putus.
Karena hanya memiliki sebuah elektron, atom hidrogen hanya dapat
berikatan dengan sebuah atom lain. Akan tetapi, pada keadaan tertentu, sering
dijumpai bahwa atom hidrogen dapat pula berikatan cukup kuat dengan dua
buah atom lain. Pada keadaan demikian terbentuk ikatan hidrogen antara
atom-atom tersebut dengan atom H dengan energi ikat 0,1 eV. Dalam ikatan
hidrogen, atom H bersifat sebagai ion positif terutama bila berikatan dengan
atom-atom yang elektronegatif, seperti F, O dan N. Salah satu contoh ikatan
hidrogen adalah ikatan antara dua molekul asam etanoat (asam cuka) (Gambar
11). (Anonim2, 2007).
29
(b)
Gambar 11. Ikatan hidrogen asam etanoat (asam cuka) (Anonim3, 2007). Ikatan hidrogen ditandai dengan garis putus-putus.
Gugus OH yang terdapat pada kedua ujung polimer PHA merupakan
ikatan kovalen polar antara O dan H. Menurut Sukardjo (1985), ikatan kovalen
merupakan ikatan yang terbentuk dengan pembagian elektron.
Ikatan kovalen antara atom O dan atom H pada gugus OH diujung
rantai polimer PHA, elektron tidak terbagi merata dan akan lebih dekat kepada
atom yang mudah menarik elektron. Atom O merupakan atom dengan
elektronegativitas tinggi sehingga akan menarik elektron dari atom H.
Penarikan elektron ke arah atom O menyebabkan atom H semakin menjauh
karena terbentuk kutup positif pada atom H dan kutub negatif pada atom O.
Atom O dengan ikatan rangkap yang terdapat pada gugus ester
molekul IPP cenderung kurang stabil sehingga memungkinkan membentuk
ikatan hidrogen dengan atom H terpolarisasi yang terdapat pada ujung rantai
polimer PHA. Menurut Sukardjo (1985), ikatan hidrogen tersebut terbentuk
karena gaya elektrostatik antara H dan O. Ikatan hidrogen sifatnya lebih lemah
dari pada ikatan kovalen. Ikatan hidrogen terjadi antara atom-atom yang
sangat polar, yaitu atom-atom yang mempunyai elektronegativitas tinggi
seperti F, O, dan N dengan atom H.
2. Karakteristik Bioplastik
Konsentrasi IPP yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0% (b/b)
(kontrol), 10% (b/b), 15% (b/b), dan 20% (b/b). Berdasarkan hasil penelitian,
semua selang konsentrasi IPP yang dipakai dapat membentuk lembaran
bioplastik. Lembaran bioplastik yang terbentuk pada semua selang konsentrasi
dapat dilihat pada Gambar 12.
Pengujian karakteristik yang dilakukan terhadap bioplastik pada
penelitian ini meliputi pengujian sifat fisik dan mekanis bioplastik. Analisa
sifat mekanis bioplastik yang dilakukan adalah kuat tarik, perpanjangan
30
putus dan elastic modulus, sedangkan analisa sifat fisik bioplastik yang
dilakukan adalah gugus fungsi, sifat termal, derajat kristalinitas, dan
densitas.
Gambar 12. Lembaran bioplastik yang terbentuk pada semua selang konsentrasi.
a. Sifat Mekanis (ASTM D 638 M-III)
Pengujian sifat mekanis meliputi pengujian kuat tarik,
perpanjangan putus dan elastic modulus. Menurut Latief (2001), kuat
tarik adalah gaya tarik maksimum yang dapat ditahan oleh film sampai
film tersebut putus. Kuat tarik dipengaruhi oleh bahan pemlastis yang
ditambahkan dalam proses pembuatan film. Persen pemanjangan
merupakan perubahan panjang maksimum film sebelum terputus.
Elastisitas akan menurun seiring dengan meningkatnya jumlah bahan
pemlastis dalam film. Elastisitas merupakan ukuran dari kekuatan film
yang dihasilkan
Hasil pengujian kuat tarik, perpanjangan putus dan elastic modulus
bioplastik PHA disajikan pada Gambar 13.
31
Kuat Tarik Bioplastik
2,616 ± 0,8940
10,923 ± 0,5554
4,6219 ± 0,7848
6,1371 ± 0,5504
0
2
4
6
8
10
12
0% 10% 15% 20%Konsentrasi IPP
Kua
t Tar
ik (M
Pa)
Nilai Kuat Tarik
(a)
Perpanjangan Putus Bioplastik
2,8649 ± 0,84242,8534 ± 0,27262,7262 ± 0,0826
1,7147 ± 0,5099
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
0% 10% 15% 20%Konsentrasi IPP
Perp
anja
ngan
Put
us (%
)
NilaiPerpanjanganPutus
(b)
Elastic Modulus
182,64 ± 18,070
500,99 ± 12,306
208,81 ± 14,27
298,18 ± 25,928
0
100
200
300
400
500
600
0% 10% 15% 20%Konsentrasi IPP
Ela
stic
Mod
ulus
(MPa
)
Nilai ElasticModulus
(c)
Gambar 13. Perbandingan nilai kuat tarik (a), perpanjangan putus (b), dan elastic modulus (c) bioplastik pada berbagai selang konsentrasi
32
Gambar 13a merupakan grafik perbandingan nilai kuat tarik
bioplastik pada berbagai selang konsentrasi. Penambahan pemlastis bisa
memperlonggar ikatan mulokul-molekul PHA, karena pemlastis tersisip
secara fisika pada rantai polimer. Pemlastis juga menjadikan PHA yang
tadinya kaku menjadi lebih lunak dan elastis sehingga kuat tarik turun atau
dengan kata lain beban yang dibutuhkan untuk memutuskan bioplastik
menjadi berkurang. Semakin banyak pemlastis yang ditambahkan maka
kuat tarik akan berkurang.
Penambahan pemlastis IPP menyebabkan terbentuknya interaksi
molekuler dengan rantai polimer PHA dalam bentuk ikatan hidrogen (lihat
Gambar 10). Ikatan hidrogen merupakan ikatan yang sangat lemah, lebih
lemah dari ikatan kovalen (Sukardjo, 1985). Pembentukan ikatan hidrogen
tersebut menyebabkan peningkatan kecepatan respon viskoelastis dan
mobilitas molekuler rantai polimer PHA. Peningkatan mobilitas molekuler
tersebut menjadikan kekompakan molekul menjadi berkurang.
Kekompakan molekul polimer yang semakin berkurang seiring dengan
peningkatan konsentrasi IPP yang kemudian menyebabkan semakin
sedikitnya gaya yang dibutuhkan untuk menarik bahan sehingga kuat tarik
bahan semakin turun. Pernyataan ini didukung oleh pernyataan Hammer
(1978) yang menyatakan bahwa prinsip kerja pemlastis adalah dengan
membentuk interaksi molekuler rantai polimer untuk meningkatkan
kecepatan respon viskoelastis pada polimer sehingga dapat meningkatkan
mobilitas molekuler rantai polimer.
Pada penambahan pemlastis dengan konsentrasi 30% (b/b),
bioplastik masih terbentuk, tapi lembaran bersifat sangat rapuh dan tidak
dapat dilakukan pengujian kuat tarik. Hal ini menandakan bahwa
pencampuran antara PHA dengan IPP telah jenuh. Nilai kuat tarik pada
konsentrasi 0% (b/b), 10% (b/b), 15% (b/b), dan 20% (b/b) berturut adalah
sebesar 10.923 MPa, 6.1371 MPa, 4.6219 MPa, dan 2.6160 MPa.
Perpanjangan putus merupakan perubahan panjang material sampai
material tersebut putus akibat menerima gaya regangan pada pengujian
kuat tarik. Peningkatan konsentrasi IPP akan meningkatkan kecepatan
33
respon viskoelastis dan mobilitas molekuler rantai polimer PHA.
Meningkatnya mobilitas molekuler rantai polimer ditunjukkan dengan
bahan semakin elastis sehingga perpanjangan putus cenderung akan
meningkat. Peningkatan tersebut akan berlaku selama masih terbentuk
interaksi molekuler rantai polimer dengan pemlastis.
Pada Gambar 13b, dapat kita lihat bahwa nilai perpanjangan putus
bioplastik bertambah dengan penambahan IPP sebagai pemlastis. Namun,
pada konsentrasi IPP 20% (b/b) perpanjangan putus bioplastik menurun.
Hal ini disebabkan karena interaksi molekuler PHA dengan IPP tidak
terjadi lagi. Nilai perpanjangan putus pada konsentrasi 0% (b/b), 10%
(b/b), 15% (b/b), dan 20% (b/b) berturut adalah sebesar 2.7262%,
2.8534%, 2.8649%, dan 1.7147%. Perpanjangan putus bioplastik pada
konsentrasi 15% (b/b) IPP merupakan nilai maksimum, hal ini
menandakan bahwa penambahan IPP dengan konsentrasi 15% (b/b)
sebagai pemlastis mencapai jumlah optimum untuk pembuatan biopastik
dari PHA hasil kultivasi R. eutropha pada substrat hidolisat pati sagu.
Gambar 13c menyajikan nilai elastic modulus bioplastik yang
dibuat dengan pemlastis IPP. Elastic modulus atau yang lebih dikenal
sebagai tingkat kekakuan bahan (polimer), semakin turun dengan
peningkatan jumlah IPP yang ditambahkan sebagai pemlastis. Nilai elastic
modulus pada konsentrasi 0% (b/b), 10% (b/b), 15% (b/b), dan 20% (b/b)
berturut adalah sebesar 500.99 MPa, 298.18 MPa, 208.81 MPa, dan
182.64 MPa. Dengan semakin meningkatnya kecepatan respon
viskoelastis dan mobilitas molekuler rantai polimer PHA karena
penambahan IPP sebagai pemlastis, maka elastisitas bahan akan
meningkat dan tingkat kekakuan bahan akan semakin turun. Penurunan
tingkat kekauan bahan ini akan menurunkan nilai elastic modulus
bioplastik. Hasil pengujian sifat mekanis secara lengkap pada berbagai
selang konsentrasi dapat dilihat pada Lampiran 3.
Konsentrasi IPP sebesar 15% (b/b) merupakan jumlah optimum
pemlastis pada pembuatan bioplastik menggunakan PHA hasil kultivasi R.
34
eutropha pada substrat hidolisat pati sagu dengan penambahan IPP
sebagai pemlastis.
Pada Gambar 14 dapat dilihat bahwa terdapat titik yield pada
grafik hubungan kuat tarik dan perpanjangan putus pada bioplastik dengan
konsentrasi IPP 15% (b/b), dimana pada titik ini terjadi deformasi elastis
menjadi deformasi plastis. Ciri ini menunjukan bahwa bioplastik
berpotensi memiliki perpanjangan putus yang lebih besar. Ciri seperti ini
tidak ditemui pada bioplastik dengan konsentrasi IPP 0% (b/b), 10% (b/b),
dan 20% (b/b). Grafik hubungan kuat tarik dan perpanjangan putus secara
lengkap pada semua selang konsentrasi uji dapat dilihat pada Lampiran 3.
Gambar 14. Grafik hubungan kuat tarik dengan perpanjangan putus pada konsentrasi pemlastis IPP 15%
b. Analisa Gugus Fungsi (ASTM E 1252-88)
Analisa gugus fungsi dilakukan dengan menggunakan Fourier
Transform Infra-Red Spectroscopy (FTIR). Menurut Sutiani (1997)
spektroskopi infra merah merupakan salah satu teknik identifikasi struktur
baik untuk senyawa organik maupun senyawa anorganik. Analisa ini
Yield Point
35
merupakan metoda semi empirik dimana kombinasi pita serapan yang
khas dapat diperoleh untuk menentukan struktur senyawa yang terdapat
dalam suatu bahan. Hasil pengujian gugus fungsi bioplastik dapat dilihat
pada Gambar 15.
(a)
(b)
Gambar 15. Hasil spektrum FTIR PHA pati sagu 0% pemlastis (a), dan bioplastik 15% pemlastis IPP (b)
36
Berdasarkan hasil pengujian gugus fungsi sampel bioplastik
dengan konsentrasi IPP 15% (b/b) (Gambar 15b), diperoleh informasi
beberapa peak yang muncul. Kemunculan banyak peak ini menunjukkan
bahwa dalam bioplastik terdapat banyak jenis ikatan. PHA merupakan
suatu poliester yang mempunyai beberapa gugus fungsi dominan seperti
karbonil ester (C = O), ikatan polimerik C – O – C, OH, CH, dan CH2.
Sebagai pembanding pengujian gugus fungsi PHA dengan konsentrasi
pemlastis 0% (b/b) (Juari, 2006), dapat dilihat pada Gambar 15a.
Dari hasil spektrum pada kedua jenis sampel maka dapat
diidentifikasi bahwa terdapat banyak jenis ikatan. Identifikasi decara
lengkap disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil identifikasi spektrum FTIR bioplastik
No
Bioplastik 0% pemlastis Bioplastik 15% IPP Bilangan
Gelombang (cm-1)
Intensitas Identifikasi Bilangan
Gelombang (cm-1)
Intensitas Identifikasi
1 3440.38 Sedang NH amida protein 2977.9* Sedang C – H
2 2974.79* Sedang OH karboksilat 2854.4* Sedang C – H
3 2931.13* Tajam C – H 1724.2** Tajam C = O 4 2854.13* Sedang ~ 1455 Sedang C – H2 5 1751.04* Tajam C = O 1380.9* Sedang C – H3
6 1455.57* Sedang C – H2 1300 –1100* Sedang C – O – C
polimer
7 1380.61* Tajam C – H3 1000 - 500 Rendah Tidak diketahui
8 1310.87 Tajam N = O Catatan : 1 Identifikasi didasarkan Nur (1989) * Gugus PHA ** Gugus PHA yang juga teridentifikasi sebagai gugus IPP
9 1310.87-1064.10* Tajam
C – O – C polimer
10 979.65-462.83 Sedang Tidak
diketahui
Hasil identifikasi gugus fungsi yang tersaji pada Tabel 6
menunjukkan bahwa semua gugus fungsi dominan dari molekul PHA
muncul pada spektra FTIR bioplastik tanpa pemlastis. Gugus fungsi
tersebut meliputi karbonil ester (C = O), ikatan polimerik C – O – C, OH,
CH, dan CH2.
Spektra FTIR bioplastik dengan konsentrasi IPP 15% (b/b) tidak
memunculkan peak untuk gugus OH. Penambahan IPP menyebabkan
37
atom H pada gugus OH molekul PHA semakin menjauh dari atom O dan
kemudian atom H berikatan hidrogen dengan atom O pada gugus IPP
(lihat Gambar 10). Akibatnya peak untuk gugus OH yang pada sampel
bioplastik 0% (b/b) pemlastis muncul pada panjang gelombang 2974.79
cm-1, tidak muncul pada spektra FTIR bioplastik dengan konsentrasi IPP
15% (b/b).
Penambahan IPP dengan konsentrasi 15% (b/b) merupakan jumlah
optimum pemlastis dalam bioplastik, hal ini ditandai dengan ketidak
munculan peak untuk gugus OH pada sampel bioplastik 15% (b/b)
konsentrasi IPP karena semua gugus OH pada ujung rantai molekul PHA
telah berikatan hidrogen dengan atom O yang terdapat pada molekul IPP.
Hasil identifikasi gugus fungsi yang tersaji pada Tabel 6
menunjukkan adanya gugus fungsi yang tidak terdapat pada molekul PHA
seperti gugus N-H (amida protein) dan N=O. Gugus fungsi tersebut diduga
berasal dari pengotor yang belum terpisahkan pada saat proses hilir PHA.
Pengotor tersebut dapat berupa protein yang berasal dari pecahan sel (cell
debris). Namun pada spektra FTIR dengan konsentrasi pemlastis IPP 15%
(b/b) tidak terdapat pengotor. Hal ini disebabkan perbedaan kemurnian
PHA yang digunakan Juari (2006) dengan kemurnian PHA yang
digunakan pada penelitian ini. PHA yang digunakan dalam penelitian ini
dinilai lebih murni dan lebih bagus kualitasnya. Hal ini dibuktikan dengan
tidak munculnya peak gugus pengotor dan nilai kuat tarik yang lebih
besar. Nilai kuat tarik bioplastik PHA dengan menggunakan konsentrasi
pemlastis 0% (b/b) yang digunakan Juari (2006) yaitu sebesar 3.571 MPa
sedangkan nilai kuat tarik PHA dengan menggunakan konsentrasi
pemlastis 0% (b/b) yang digunakan pada penelitian ini adalah sebesar
10.923 MPa.
c. Sifat Termal (ASTM D 3418)
Sifat termal polimer meliputi suhu dimana polimer mengalami
perubahan bentuk/fisik karena peningkatan atau penurunan suhu atau
disebut juga dengan suhu transisi. Pengujian sifat termal meliputi
38
pengujian suhu peralihan kaca Tg (glass transition) dan suhu pelelehan Tm
(melting point).
Hasil analisa DSC dari bioplastik tanpa pemlastis (Juari, 2006) dan
bioplastik dengan konsentrasi IPP 15% (b/b) dapat dilihat pada Gambar
16. Pada Gambar 16a dan 16b terlihat bahwa bioplastik PHA memiliki 2
buah peak suhu pelelehan yaitu pada suhu 149,84 oC dan 168,72 oC untuk
PHA tanpa pemlastis dan 148.7 oC dan 168.8 oC untuk bioplastik dengan
konsentrasi IPP 15% (b/b). Kemunculan dua peak yang berbeda pada
masing-masing spektra DSC bioplastik menunjukkan bahwa pada
bioplastik terdapat dua buah komponen. Komponen yang lebih dominan
ditandai dengan peak yang tajam. Komponen tersebut diduga PHA yang
merupakan bahan baku dalam pembuatan bioplastik.
Dari kedua hasil analisa DSC (Gambar 16) dapat dilihat bahwa
kurva mengarah ke bawah. Hal ini menunjukkan bahwa proses yang
terjadi selama pengujian adalah proses endotermal. Pada proses ini,
material menyerap sejumlah kalor seiring dengan naiknya suhu bahan.
Titik puncak kurva yang mengarah ke bawah merupakan titik suhu
perubahan material tersebut dari yang sebelumnya plastis menjadi cairan,
sehingga dapat dikatakan sebagai suhu pelelehan (melting point, Tm).
Dari hasil analisa DSC kedua sampel diperoleh informasi bahwa
titik leleh untuk PHA tanpa pemlastis adalah pada suhu 168,72 oC, dan
bioplastik dengan konsentrasi IPP 15% (b/b) adalah pada suhu 168.8 oC.
Hasil analisa DSC ini relatif sama, atau dapat dikatakan bahwa tidak
terjadi perubahan titik leleh dengan penambahan pemlastis IPP. Hal ini
berbeda dengan pernyataan Billmeyer (1994) yang menyatakan bahwa jika
suatu polimer semikristalin mendapat tambahan pemlastis maka akan
terjadi penurunan suhu pelelehan (Tm) dan derajat kristalinitas. Hasil
analisa DSC PHA tanpa pemlastis (Juari, 2006) dan bioplastik dengan
konsentrasi IPP 15% (b/b) tidak dapat dibandingkan secara nyata karena
terdapat beberapa perbedaan diantaranya kemurnian bahan baku (PHA)
yang digunakan dan keakuratan alat pengujian.
39
Gambar 16. Hasil analisa sifat termal bioplastik PHA tanpa pemlastis (a), bioplastik PHA dengan konsentrasi 15% (b/b) IPP
Menurut Jandali dan Widmann (1995), suhu transisi kaca (Tg)
dapat dianalisa dengan menggunakan DSC. Suhu transisi kaca terdeteksi
oleh adanya peak yang berbentuk seperti anak tangga (tanpa puncak) yang
menunjukkan terjadinya peralihan bentuk dari kaca ke termoplastik atau
karet. Pada hasil analisa sifat termal bioplastik (Gambar 16) tidak
ditemukan peak yang menunjukkan adanya Tg. Tidak terdeteksinya Tg
disebabkan keterbatasan alat untuk pengujian sifat termal, selang
(b)
(a)
73.76 J/g
168.72 oC
78.8 J/g
168.8 oC
40
temperatur pengujian yang digunakan adalah antara 30oC sampai 200oC
Lee (1996) dan Poirier et al. (1995), menyatakan bahwa PHB mempunyai
Tg pada suhu sekitar 5oC.
d. Derajat Kristalinitas (Hahn et al. 1994)
Pengukuran derajat kristalinitas dilakukan dengan metode
pendekatan. Metode ini didasarkan pada perubahan entalpi yang terjadi
pada saat tercapainya suhu pelelehan yang terukur pada saat pengukuran
suhu pelelahan dengan DSC. PHA dengan derajat kristalinitas 100% akan
mempunyai perubahan entalpi sebesar 146 J/g. (Hahn et al.,1995)
Pada hasil analisa DSC (Gambar 16) diketahui bahwa perubahan
entalpi bioplastik PHA tanpa pemlastis pada saat tercapai suhu pelelehan
adalah sebesar 73,76 J/g. Perubahan entalpi bioplastik dengan konsentrasi
IPP 15% (b/b) adalah sebesar 78.8 J/g pada saat pelelehan. Dengan metode
perbandingan langsung antara perubahan entalpi bioplastik sampel dan
PHA 100% kristalin, maka dapat diketahui nilai derajat kristalinitas
bioplastik PHA tanpa pemlastis sebesar 50,52% dan bioplastik dengan
konsentrasi IPP 15% (b/b) sebesar 53.97%.
Dari perhitungan derajat kristalinitas diperoleh data bahwa
bioplastik dengan konsentrasi IPP 15 % (b/b) memiliki derajat kristalinitas
lebih besar dibandingkan dengan bioplastik 0% IPP. Hal ini sangat
bertentangan dengan pernyataan Billmeyer (1994) yang menyatakan
bahwa keberadaan pemlastis akan menyebabkan peningkatan jumlah fraksi
amorf sehingga menurunkan suhu pelelehan dan derajat kristalinitas
polimer tersebut. Perbedaan ini diperkirakan terjadi karena terdapat
perbedaan dalam kemurnian bahan baku (PHA) yang digunakan dan
keakuratan alat pengujian analisa DSC. Untuk itu diperlukan metoda lain
yang lebih tepat untuk mengukur derajat kristalinitas sampel bioplastik.
Knapczyk dan Simon (1992) menyatakan bahwa polimer
termoplastik yang derajat kristalinitasnya tinggi meleleh lebih tajam pada
suhu tinggi dari pada polimer amorf. Berdasarkan hal tersebut maka
41
analisa derajat kristalinitas lebih didasarkan pada ketajaman peak yang
terbentuk pada saat suhu pelelehan.
Dari hasil analisa DSC (Gambar 16) terlihat bahwa peak suhu
pelelehan bioplastik tanpa pemlastis lebih tajam dari pada bioplastik
dengan konsentrasi IPP 15% (b/b). Peak yang lebih tajam menunjukkan
bahwa polimer mempunyai derajat kristalinitas tinggi, maka bioplastik
tanpa pemlastis mempunyai derajat kristalinitas yang lebih besar dari pada
bioplastik IPP 15% (b/b).
Motede penentuan derajat kristalinitas yang digunakan ini juga
berdasarkan pada pernyataan Allcock dan Lampe (1981) yang menyatakan
bahwa pada suhu pelelehan, polimer kristalin meleleh menjadi cairan
viskous secara lebih tajam dari pada polimer amorf. Billmeyer (1994)
menambahkan bahwa penambahan pemlastis menyebabkan peningkatan
jumlah fraksi amorf sehingga menurunkan suhu pelelehan (Tm) dan derajat
kristalinitas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penambahan
pemlastis IPP menyebabkan derajat kristalinitas bioplastik menjadi turun.
e. Densitas
Menurut Lafferty et al. (1988), Poli-HB memiliki densitas antara
1,171 sampai 1,260 g/cm3. Nilai yang lebih kecil menunjukan struktur
amorf sedangkan nilai densitas yang lebih tinggi menunjukan struktur
kristalin. Berdasarkan pernyataan diatas, maka diduga bioplastik PHA
pada penelitian ini memiliki struktur amorf yang lebih dominan.
Dari hasil pengukuran densitas bioplastik pada semua selang
konsentrasi yang dibuat, didapatkan data bahwa densitas menurun sejalan
dengan penambahan pemlastis. Grafik perbandingan densitas pada
berbagai selang konsentrasi IPP dapat dilihat pada Gambar 17. Nilai
densitas yang diperoleh pada konsentrasi 0% (b/b), 10% (b/b), 15% (b/b),
dan 20%(b/b) pemlastis IPP berturut-turut adalah 0.89143, 0.88000,
0.87333, dan 0.69895.
42
Densitas Bioplastik
0,89143 0,88000 0,87333
0,69895
0,00000
0,10000
0,20000
0,30000
0,40000
0,50000
0,60000
0,70000
0,80000
0,90000
1,00000
0% 10% 15% 20%
Konsentrasi IPP
Den
sita
s (g
/cm
3)Densitas
Gambar 17. Grafik perbandingan densitas bioplastik pada berbagai selang konsentrasi IPP
Densitas bioplastik berhubungan dengan sifat mekanis bioplastik
tersebut. Poli-β-hidroksialkanoat merupakan polimer rantai lurus dan
memiliki kerapatan yang tinggi. Penambahan pemlastis akan menurunkan
gaya tarik-menarik antar rantai polimer sehingga kerapatannya berkurang,
akibatnya densitas bioplastik menurun seiring dengan peningkatan
konsentrasi pemlastis. Penurunan densitas akan menyebabkan nilai kuat
tarik dan nilai elastic modulus turun, karena kerapatan bioplastik
berkurang. Sehingga gaya yang dibutuhkan untuk memutuskan bioplastik
semakin berkurang. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat hasil
pengujian kuat tarik (Gambar 13a) dan elastic modulus (Gambar 13c),
dimana kuat tarik dan elastic modulus semakin turun seiring dengan
peningkatan jumlah konsentrasi pemlastis. Sedangkan elastisitas tidak
berhubungan dengan densitas, jadi densitas tidak mempengaruhi nilai
perpanjangan putus.
Densitas bioplastik juga mempengaruhi nilai derajat kristalinitas.
Penurunan densitas bioplastik karena molekul-molekul pemlastis
meningkatkan mobilitas molekul-molekul polimer dan membuat polimer
menjadi lebih amorf. Struktur molekul amorf memiliki kerapatan yang
relatif lebih rendah daripada molekul kristalin. Penurunan kerapatan
molekul menyebabkan derajat kristalinitas bioplastik menjadi turun.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Isopropil palmitat yang merupakan ester dari isopropil alkohol dan asam
palmitat, dapat digunakan sebagai pemlastis pada pembuatan bioplastik dengan
menggunakan PHA dari hasil kultivasi Ralstonia eutropha secara fed batch pada
substrat hidrolisat pati sagu yang digunakan.
Kuat tarik bioplastik PHA yang dibuat dengan menggunakan pemlastis
IPP semakin turun seiring dengan peningkatan konsentrasi IPP sebagai pemlastis.
Nilai kuat tarik bioplastik dengan konsentrasi IPP 0% (b/b), 10% (b/b), 15% (b/b),
dan 20% (b/b) adalah berturut-turut sebesar 10.923 MPa, 4.9065 MPa, 4.6219
MPa, dan 2.3790 MPa. Nilai perpanjangan putus bioplastik dengan konsentrasi
IPP 0% (b/b), 10% (b/b), 15% (b/b), dan 20% (b/b) adalah berturut-turut sebesar
2.7262%, 2.1260%, 2.7886%, dan 1.5756%. Dan nilai elastic modulus bioplastik
dengan konsentrasi IPP 0% (b/b), 10% (b/b), 15% (b/b), dan 20% (b/b) adalah
berturut-turut sebesar 500.99 MPa, 271.30 MPa, 208.81 MPa, dan 175.97 MPa.
Pada pengujian kuat tarik, bioplastik dengan konsentrasi IPP 15% (b/b)
memiliki titik yield, dimana titik ini menandakan terjadinya proses perpindahan
deformasi elastis pada deformasi plastis dan memungkinkan bioplastik ini untuk
memiliki perpanjangan putus yang lebih besar. Berdasarkan karakteristik mekanik
tersebut dapat dinyatakan bahwa bioplastik yang dibuat dengan konsentrasi IPP
15% (b/b) adalah yang terbaik.
Analisa gugus fungsi bioplastik tanpa pemlastis menunjukkan peak
dominan untuk gugus fungsi PHA yaitu adanya gugus C = O ester, gugus C – O –
C polimer, gugus OH, gugus CH2, gugus C – C, dan gugus CH3. Sedangkan
analisa gugus fungsi untuk bioplastik dengan konsentrasi IPP 15% (b/b) tidak
menunjukkan peak untuk gugus OH. Berkurangnya jumlah OH menandakan
terbentuknya ikatan hidrogen antara molekul PHA dengan molekul IPP. Karena
semua gugus OH pada rantai PHA telah berikatan hidrogen dengan gugus O pada
rantai molekul IPP.
44
Dengan membandingkan ketajaman peak hasil analisa DSC didapatkan
kesimpulan bahwa bioplastik tanpa pemlastis mempunyai derajat kristalinitas
yang lebih besar dari pada derajat kristalinitas bioplastik IPP 15% (b/b). Densitas
bioplastik menurun sejalan dengan peningkatan jumlah konsentrasi IPP yang
digunakan sebagai pemlastis. Penurunan ini disebabkan karena molekul-molekul
pemlastis dapat meningkatkan mobilitas molekul-molekul polimer dan membuat
polimer menjadi lebih amorf sehingga terjadi penurunan kerapatan molekul poli-
β-hidroksialkanoat. Dengan menurunnya kerapatan molekul PHA maka densitas
akan turun.
B. Saran
Bioplastik merupakan suatu trobosan baru ilmu pengetahuan saat ini,
pemanfaatannya yang sangat luas menyebabkan bioplastik sangat berpotensi
untuk dikembangkan di masa yang akan datang. Penggembangan tersebut
diantaranya seperti pengembangan teknik pembuatan lembaran bioplastik yang
lain, seperti injection molding atau molten polymer, sehingga dapat diperoleh
karakteristik bioplastik yang lebih baik dan bisa dijadikan subsitusi plastik-plastik
konvensional.
45
DAFTAR PUSTAKA
http://che.kaist.ac.kr/~biosyst/research/pha/pha.html. [15 Desember 2006]
http//www.chemicalland21.com/lifescience/foco/ISOPROPYL_PALMITATE.
[15 Desember 2006]
Akmaliah, P. 2003. Pengaruh Konsentrasi Pemlastis Dimetil Ftalat Terhadap Karakteristik Bioplastik Dari Polyhydroxyalkanoates (PHA) Yang Dihasilkan Ralstonia Eutropha Pada Substrat Hidrolisat Minyak Sawit. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Allcock, H.R. dan F.W. Lampe. 1981. Contemporary Polymer Chemistry. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey 07632
Anonim1. Pengembangan Teknologi Untuk Nilai Tambah Sawit. http://www.seafast-info.com/informasi%20gratis/Teknologi%20untuk%20Memperoleh%20Nilai%20tambah%20Sawit.pdf#search=%22%22isopropil%20palmitat%22%22. [4 Mei 2006]
Anonim2. Kekristalan Zat Padat. www.unej.ac.id/fakultas/mipa/web_fisika/webkuliah/ZAT%20PADAT/BAB%20I%20SISTEM%20KRISTAL.pdf [18 Januari 2007]
Anonim3. www.e-dukasi.net/modul_online/MO_71/kb2_4.htm. [18 Januari 2007]
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati dan Budiyanto S. 1989. Analisa Pangan. Bogor: IPB Press.
ASTM D 638 M-III. 1998. Standard Test Method for Tensile Properties of Thin Plastic Sheeting. West Conshohocken, PA.
ASTM E 1252-88. 1998. Standard Test Method for Functional Groups Identification. West Conshohocken, PA
ASTM D 3418. 1998. Standard Test Method for Transition Temperatures of Polymers by Differential Scanning Calorimetry. West Conshohocken, PA
Atifah, N. 2006. Pemanfaatan Hidrolisat Pati Sagu Sebagai Sumber Karbon Pada Produksi Bioplastik Polihidroksialkanoat Secara Fed-Batch oleh Ralstonia eutropha. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB.
Atkinson, B. dan F. Mavituna. 1991. Biochemical Engineering and Biotechnology Handbook. 2 nd edition. M Stockton Press, New York.
Ayorinde, F.O., K.A. Saeed, E. Price, A. Morrow, W.E. Collins, F. Mclnnis, S.K. Pollack dan B. E. Eribo. 1998. Production of Poly-β-Hydroxybutirate from saponified Vernonia galamensis oil by Alcaligenes eutrophus. Journal of Industrial Microbiology and Biotechnology. (21):46-50.
Barham PJ, Feller A, Otun EL, Holmes PA. 1984. Crystallization and Morphology of a Bacterial Thermoplastic: Poly-3-Hydroxybutyrate. J Mater Sci 19(9): 2781-94.
46
Beeler, A. D., dan D. C. Finney. 1958. Plasticizers. Frados. J (ed.). Modern Plastics Encyclopedia. Issue for 1959. 1958. Hildreth Press Inc., Bristol.
Billmayer, F.W. Jr. 1971. Text Book of Polymer Science. John Wiley and Sons, New York.
Billmeyer, F.W. 1994. Text of Polymer Science. John Wiley and Sons., Chapters 7, 12 and 17.
Brandl, H., R.A. Gross, R.W. Lenz, dan R.C. Fuller. 2001. Plastics from Bacteria and for Bacteria: Poly(β-hidroxyalkanoates) as Natural, Biocompatible, and Biodegradable Polyesters. Dalam: Babel, W. dan A. Steinbuchel. Biopolyesters: Advances in Biochemical Engineering / Biotechnology. Vol 71: Springer Verlag, Berlin Heidelberg.
Byrom, David. 1994. Polyhydroxyalkanoates. Dalam Plastics from Microbes: Microbial Synthesis of Polymers and Polymer Precursors. Edited by David P. Mobley. Hanser Publishers, Munich Vienna. New York.
Cowd, M. A. 1991. Kimia Polimer. Terjemahan H. Firman. Penerbit ITB, Bandung.
Crueger, W dan A. Crueger. 1984. Biotechnology: A Textbook of Industrial Mycrobiology. Sinauer Associetes, Inc. Sunderland and Science Tech, Inc. Medison.
Dede. 2006. Elastisitas dan modulus elastisitas. http://djuhana.fisika.UI.edu/kuliah-elastisitas.pdf. [15 Desember 2006]
Durran, T. H., dan E. H. Davies. 1988. Solvents. Chapman and Hall Ltd. London.
Fessenden, R. G., dan J. F. Fessenden. 1986. Kimia Organik. Terjemahan. Penerbit Erlangga, Indonesia.
Frados, J. 1959. Modern Plastics Encyclopedia. Issue for 1960. 1959. 575 Madison Avenue. New York.
Hahn, S. K., Y. K. Chang, dan S. Y. Lee. 1994. Recovery and Characterization of Poly(3-Hydroxybutyric Acid) Synthesized in Alcaligenes eutrophus and Recombinant Eschesichia coli. Applied and Environmental Microbiology, p.34-39
Hammer, C.F. 1978. Polymer Blends. vol.2, 17, 219, dalam D. R. Paul and S. Newman, (ed.). Academic Press, New York.
Huang, S. J. dan P. G. Edelman. 1995. An Overview of Biodegradable Polymers and Biodegradation of Polymers, in Degradable Polymers: Principles nd Applications. Scott, G. and Gilead, D. (ed.). Chapman and Hall. Chapter 2, pp. 18-28.
Imamura, T., Yano, T., Kobayashi, S., Suda, S., dan Honma, T. 2001. Method for producing microbial polyester. United States Patent Application : 20010031488.
Jandali, M.Z. dan G. Widmann. 1995. Thermoplastics : Collected Applications Thermal Analysis. Mettler Toledo. Switzerland.
47
John, G.H., N.R. Kriegh, P. H. A. Sneath, J.T. Staley, S.T. Williams. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. 9th ed. William and Wilkins, Baltimore, Maryland, USA.
Juari. 2006. Teknologi Proses Pembuatan dan Karakterisasi Bioplastik dari Poly-3-Hidroksialkanoat (PHA) Yang Dihasilkan Oleh Ralstonia Eutropha Pada Sirup Glukosa Pati Sagu Dengan Penambahan Dimetil Pthalat (Dmp) Sebagai Pemlastis. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Kim YB dan Lenz RW. 2001. Polyesters from microorganisms. Di dalam: Scheper T, managing editor. Biopolyester : Advances in Biochemical Engineering / Biotechnology. Vol 71. Berlin : Springer-Verlag.
Klem JK. 1999. Alcaligenes. Di dalam: Robinson RK, Batt CA, Patel PP. Encyclopedia of Food Microbiology. Vol 1. 2000. London: Academic Press.
Knapczyk, J. K. dan R. H. M. Simon. Synthetic Resins and Plastic. Di dalam. J. A. Kent (ed). 1992. Riedel’s Handbook of Industrial Chemistry 9th Edition. Van Nostrans Reinhold. New York.
Lafferty, R.M., Korsatko, B., dan Korsatko, W. 1988. Biotechnology. Vol.6b. Special Microbial Processes. H.J. Rehm and G. Reed (ed.). VCH Publisher, New York.
Latief, R. 2001. Teknologi Kemasan Plastik Biodegradable. Makalah Falsafah Sains (PPs 702). Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor
Lee SY. 1996. Bacterial Polyhydroxyalkanoates. Biotechnol. Bioeng. 49:1-14
Lee, S.Y. dan J. Choi. 2001. Production of Microbial Polyester by Fermentation of Recombinant Microorganism. In Babel, W dan A. Steinbuchel. Biopolyester: Advances in Biochemical Engineering/Biotechnology. Vol 71. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Lefebvre G, Rocher M dan Braunegg G. 1997. Effect of low dissolved-oxygen concentrations on poly-(3-hydroxybutyrate-co-hydroxyvalerate) production by Alcaligenes eutrophus. Applied and Environmental Microbiology. Vol 63(3): 827-833. Maret 1997
Mellan, I. 1950. Industrial Solvent. Reinhold Publishing Corporation. New York.
Mohsenin, N. M. 1984. Electromagnetic Radiation properties of Food and Agriculture Products. Gordon and Breach Science Publisher, New York.
Murray, I. dan Williams P. C. 1990. Chemical Principles of Near-Infrared Technology. dalam P. Williams, Norrisk (ed). Near – Infrared Technology, in The Agriculture and Food Industries. American Associates of Cereal Chemists, Inc. Minnesota, USA.
Nur, M.A. 1989. Spektroskopi. Pusat Antar Universitas-Institut Pertanian Bogor (PAU-IPB), Bogor.
Ojumu, T.V., J.Yu, dan B.O. Solomon. 2004. Production of Polyhydroxyalkanoates, a bacterial Biodegradable Polymer. African Journal of Biotechnology Vol. 3(1), pp.18-24.
48
Poirier, Y., Nawrath C., Somerville C. 1995. Production of Polyhydroxyalkanoates, a Family of Biodegradable Plastics and Elastomers, in Bacterial and Plant. Biotechnol. 13: 142-150
Punrattanasin, W. 2001. The Utilization of Activated Sludge Poly-hydroxyalkanoates for the Production of Biodegradable Plastics. Disertasi. Faculty of the Virginia Polytechnic Institute and State University.
Rabek JF. 1983. Experimental Methods in Polymer Chemistry, Physical Principles and Applications. New York : A Wiley-Interscience Publication.
Ramsay, B.A, V. Langbade, P.R. Carreau, J.A. Ramsay. 1993. Biodegradability and mechanical properties of poly-(β-hydroxybutyrate-co-β-hydroxyvalerate)-starch blends. Applied and Environmental Microbiology. 59:1242-1246.
Sadi, S. dan Purboyo G. 1996. Konsep Agroindustri untuk Produksi Plasticizer dari Minyak secara Terpadu. Warta PPKS, Vol 4(2): 75-83.
Spink, W. P dan W.F. Waychoff 1958/1959. Plasticizers. Frados, Joel (ed.). Modern Plastic Encyclopedia Issue. Hildrent Press, Inc. New York.
Sudjana, F. X. 1994. Desain dan Analisis Experimen. Transito, Bandung.
Sukardjo. 1985. Ikatan Kimia. Rineka Cipta, Yogyakarta.
Sutiani, A.1997. Biodegradasi Polyblend Polystirene-Pati. Bidang Khusus Kimia Fisik. Program Studi Kimia, Program Pasca Sarjana ITB, Bandung.
Waddington, S.D. 2000. Process for Preparing Films and Coatings. US Patent No. 663088 filed on 1997-07-07.
Walpole, R. E. 1995. Pengantar Statistika. PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta
49
Lampiran 1. Diagram alir pembuatan bioplastik (modifikasi Akmaliah, 2003)
Serbuk PHA (0,25 g)
Kloroform
Pencampuran dan Pengadukan
(15 menit; 50oC)
IPP
Penuangan Pada Plat Kaca
Penguapan Pelarut
Bioplastik
Pencampuran dan Pengadukan
(15 menit; 50oC)
50
Lampiran 2. Perhitungan formulasi bioplastik Basis : Jumlah PHA = 0.250 g Konsentrasi IPP = 0 %, 10 %, 15 %, dan 20 % PHA : (Kloroform + IPP) = 1 : 30 Dicari : Jumlah IPP dan kloroform ? Catatan : Pada saat pembuatan bioplastik, IPP dan kloroform yang digunakan
dihitung dengan satuan ml. Dimana bobot jenis IPP adalah 0.853 g/ml dan kloroform 1.47 g/ml.
)()30)(()(.
%1)(%)(
%100)()(
)(%.
gIPPJumlahxgPHAJumlahgKloroformJumlahb
IPPgPHAJumlahxIPPgIPPJumlah
xgIPPJumlahgPHAJumlah
gIPPJumlahIPPa
−=
−=<=>
+=
51
Lampiran 3a. Hasil pengukuran kuat tarik, perpanjangan putus, dan elastic modulus bioplastik dari PHA pati sagu (konsentrasi IPP 0%)
52
Lampiran 3a. Hasil pengukuran kuat tarik, perpanjangan putus, dan elastic modulus bioplastik dari PHA pati sagu (konsentrasi IPP 0%) (lanjutan)
53
Lampiran 3b. Hasil pengukuran kuat tarik, perpanjangan putus, dan elastic modulus bioplastik dari PHA pati sagu (konsentrasi IPP 10%)
Catatan : Untuk keseragaman data maka dipakai tiga kali ulangan. Ulangan yang digunakan
dalam perhitungan nilai kuat tarik dan perpanjangan putus adalah; ulangan 1, ulangan 3, dan ulangan 4. Dengan demikian, diperoleh nilai kuat tarik untuk bioplastik dengan konsentrasi IPP 10 % sebesar 6.1371 ± 0.5504 MPa dan nilai perpanjangan putus untuk bioplastik dengan konsentrasi IPP 10 % sebesar 2.8534 ± 0.2726 %.
54
Lampiran 3b. Hasil pengukuran kuat tarik, perpanjangan putus, dan elastic modulus bioplastik dari PHA pati sagu (konsentrasi IPP 10%) (lanjutan)
Catatan : Untuk keseragaman data maka dipakai tiga kali ulangan. Ulangan yang digunakan
dalam perhitungan nilai elastic modulus adalah; ulangan 1, ulangan 3, dan ulangan 4. Dengan demikian, diperoleh nilai elastic modulus untuk bioplastik dengan konsentrasi IPP 10 % sebesar 298.1767 ± 25.928 MPa.
55
Lampiran 3c. Hasil pengukuran kuat tarik, perpanjangan putus, dan elastic modulus bioplastik dari PHA pati sagu (konsentrasi IPP 15%)
56
Lampiran 3c. Hasil pengukuran kuat tarik, perpanjangan putus, dan elastic modulus bioplastik dari PHA pati sagu (konsentrasi IPP 15%) (lanjutan)
57
Lampiran 3d. Hasil pengukuran kuat tarik, perpanjangan putus, dan elastic modulus bioplastik dari PHA pati sagu (konsentrasi IPP 20%)
Catatan : Untuk keseragaman data maka dipakai tiga kali ulangan. Ulangan yang digunakan
dalam perhitungan nilai kuat tarik dan perpanjangan putus adalah; ulangan 1, ulangan 2, dan ulangan 3. Dengan demikian, diperoleh nilai kuat tarik untuk bioplastik dengan konsentrasi IPP 20 % sebesar 2.6160 ± 0.8940 MPa dan nilai perpanjangan putus untuk bioplastik dengan konsentrasi IPP 20 % sebesar 1.7147 ± 0.5099 %.
58
Lampiran 3d. Hasil pengukuran kuat tarik, perpanjangan putus, dan elastic modulus bioplastik dari PHA pati sagu (konsentrasi IPP 20%) (lanjutan)
Catatan : Untuk keseragaman data maka dipakai tiga kali ulangan. Ulangan yang digunakan
dalam perhitungan nilai elastic modulus adalah; ulangan 1, ulangan 3, dan ulangan 4. Dengan demikian, diperoleh nilai elastic modulus untuk bioplastik dengan konsentrasi IPP 20 % sebesar 182.6433 ± 18.070 MPa.
PEMBUATAN BIOPLASTIK POLI-β-HIDROKSIALKANOAT (PHA) YANG DIHASILKAN OLEH Rastonia eutropha PADA
SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU DENGAN PEMLASTIS ISOPROPIL PALMITAT
Oleh JUMMI WALDI
F34102017
2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PEMBUATAN BIOPLASTIK POLI-β-HIDROKSIALKANOAT (PHA) YANG DIHASILKAN OLEH Rastonia eutropha PADA SUBSTRAT
HIDROLISAT PATI SAGU DENGAN PEMLASTIS ISOPROPIL PALMITAT
JURNAL PENELITIAN Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN (STP)
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh JUMMI WALDI
F34102017
2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PEMBUATAN BIOPLASTIK POLI-β-HIDROKSIALKANOAT (PHA) YANG DIHASILKAN OLEH Rastonia eutropha PADA SUBSTRAT
HIDROLISAT PATI SAGU DENGAN PEMLASTIS ISOPROPIL PALMITAT
JURNAL PENELITIAN Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN (STP)
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh JUMMI WALDI
F34102017
Drs. Chilwan Pandji, APT. MSc. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc.St. Pembimbing I Pembimbing II
1
PEMBUATAN BIOPLASTIK POLI-β-HIDROKSIALKANOAT (PHA) YANG DIHASILKAN OLEH Rastonia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU
DENGAN PEMLASTIS ISOPROPIL PALMITAT
CHILWAN PANDJI, KHASWAR SYAMSU, dan JUMMI WALDI Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
ABSTRACT Poly-β-Hydroxyalkanoates (PHA) was produced by Ralstonia eutropha fed batch cultivation for
96 hours using hydrolyzed sago starch substrate. Bioplastic was made by solution casting method and use cloroform as solvent and isopropyl palmitate as plasticizer. The concentration of isopropyl palmitate (IPP) that is used in this research were 0% (w/w) (as control), 10% (w/w), 15% (w/w), and 20% (w/w). Bioplastic characteristics which was tested were tensile strength, elongation at break, elastic modulus, functional groups, thermal properties, cristalinity, and density. Bioplastic with 15% (w/w) IPP concentration was giving the best result. Bioplastic with 15% (w/w) IPP concentration was giving a value of tensile strength for 4.6219 MPa; elongation at break for 2. 8649%; elastic modulus for 208.81 MPa; melting point for 168.8 0C; cristalinity for 53.97% and density for 0.87333 g/cm3. Key words: Poly-β-Hydroxyalkanoates (PHA), Ralstonia eutropha, bioplastic, Isopropyl palmitate, characteristics
PENDAHULUAN
Penggunaan bahan dasar plastik yang dapat didegradasi secara biologis oleh mikroorganisme alami terus dikembangkan dalam rangka mengurangi permasalahan lingkungan yang ditimbulkan oleh sampah-sampah non-organik, terutama sampah plastik. Keuntungan lain dari penggunaan bahan baku alami dalam pembuatan plastik adalah sifatnya yang merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui, sehingga keberadaannya dapat terus dilestarikan.
Salah satu bahan bioplastik yang cukup penting dan masih terus diteliti serta dikembangkan sampai saat ini adalah Poli-β-Hidroksialkanoat (PHA). Poli-β-hidroksialkanoat (PHA) merupakan poliester hidroksialkanoat yang disintesa oleh sejumlah bakteri sebagai komponen simpanan energi dan karbon intraseluler, diakumulasi sebagai granula dalam sitoplasma sel (Lee, 1996).
Dalam proses pembuatan bioplastik, PHA perlu ditambahkan pemlastis. Penambahan pemlastis baik sintetis maupun alami bertujuan untuk memperbaiki sifat bahan selama pembuatan plastik, memperluas atau memodifikasi sifat dasarnya atau dapat memunculkan sifat baru yang tidak ada dalam bahan dasarnya (Spink dan Waychoff, 1958).
Berdasarkan komposisi asam lemak minyak sawit yang unik dengan kadungan asam lemak utama, yaitu asam oleat dan palmitat atau fraksi olein dan stearin, kedua fraksi tersebut dapat dikonversi menjadi pemlastis Salah satu ester asam lemak minyak sawit yang dapat dimanfaatkan sebagai pemlastis adalah isopropil palmitat. (Sadi dan Purboyo, 1996).
Isopropil palmitat biasanya digunakan dalam pembuatan kosmetik sebagai pengental (thickening agent) dan emollient. Isopropil palmitat bersifat edible atau aman jika dikonsumsi karena isopropil palmitat dapat dihasilkan dari asam palmitat minyak sawit. Isopropil palmitat merupakan ester dari isopropil alkohol dan asam palmitat, mempunyai nama resmi 1-metil etil heksadekanoat. (Anonim1, 2006). Secara umum isopropil palmitat merupakan materi tidak beracun dan tidak melakukan iritasi. Toksikologi isopropil palmitat diketahui berdasarkan sifat sebagai berikut: LD50 (tikus, IP) sebesar 0,1 g/kg, LD50 (kelinci, kulit) lebih dari 5 g/kg, dan LD50 (mencit, oral) lebih dari 5 g/kg. (Anonim1, 2006)
Penggunaan pemlastis sintetis seperti dimetil ftalat (DMF) (Juari, 2006) dalam pembuatan bioplastik menggunakan PHA masih menghasilkan karakteristik bioplastik yang masih rendah. Nilai kuat tarik dan perpanjangan putus bioplastik dengan menggunakan pemlastis DMF berturut-turut adalah 3.382 MPa dan 23.88%. Selain itu, pemakaian pemlastis sintetis dalam pembuatan bioplastik dengan PHA akan menghasilkan bioplastik yang bersifat non-edible terutama jika digunakan sebagai bahan kemasan produk-produk pangan.
Pembuatan bioplastik dengan PHA sebagai biji plastik dan IPP sebagai pemlastis diharapkan menghasilkan bioplastik yang memiliki karakteristik yang lebih baik dan dapat menjadi subsitusi plastik-plastik konvensional yang berbasis petrokimia. Penggunaan bahan pemlastis yang bersifat alami dan edible, diharapkan dapat menghasilkan bioplastik yang tidak hanya aman jika dibuang ke lingkungan namun juga aman jika dikonsumsi terutama oleh manusia.
2
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan konsentrasi IPP terbaik sebagai pemlastis dalam pembuatan bioplastik PHA, serta mengetahui karakteristik bioplastik PHA yang dihasilkan dengan konsentrasi IPP terbaik.
METODOLOGI
BAHAN DAN ALAT
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan bioplastik ini antara lain; (1) Poli-β-Hidroksialkanoat (PHA) sebagai biji plastik; (2) kloroform sebagai pelarut; (3) isopropil palmitat sebagai pemlastis. Poli-β-Hidroksialkanoat (PHA) yang digunakan dalam penelitian ini adalah PHA hasil kultivasi secara fed-batch oleh bakteri Ralstonia eutropha IAM 12368 yang diperoleh dari IAM Culture Collection, Institute of Molecular and Celular Bioscience, The University of Tokyo. Sumber karbon yang digunakan dalam substrat kultivasi adalah hidrolisat pati sagu yang dibuat dengan hidrolisis enzimatis pati sagu dengan enzim α–amilase dan amiloglukosidase.
Bahan-bahan lain yang dibutuhkan untuk kultivasi bakteri dan isolasi PHA adalah nutrient broth, (NH4)2HPO4, K2HPO4, KH2PO4, MgSO4 0.1 m, FeSO4.7H2O, MnCl2.4H2O, CoSO4.7H2O, CaCl2.7H2O, CuCl2.2H2O, ZnSO4.7H2O, buffer tris-hidroklorida, NaOH, NaOCl dan NH4OH.
Alat-alat yang digunakan untuk kultivasi PHA adalah bioreaktor skala 13 liter dengan volume kerja 10 liter, autoklaf, pH meter, waterbath sheker, rotary shaking inkubator, sentrifuse, penyaring vakum, termometer, oven, desikator, freezer, neraca analitik, clean bench, pipet mikro, ose bunsen, pendingin tegak, hotplet, lemari asap, plat kaca, dan alat-alat gelas.
Peralatan untuk pengujian yang digunakan meliputi alat pengukur kuat tarik dengan jenis Tensilon, alat untuk mengetahui gugus fungsi bahan Fourier Transform Infra Red (FTIR), dan alay untuk menganalisa titik leleh polimer Differential Scanning Calorimetry (DSC).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap persiapan bahan biji bioplastik dan tahap pembuatan serta karakterisasi bioplastik.
Tahap persiapan bahan biji bioplastik
Secara umum tahap persiapan bahan biji plastik terdiri dari dua tahapan utama, yaitu; (1) persiapan kultur dan media kultivasi, (2) kultivasi PHA, dan (3) Proses hilir PHA.
Persiapan kultur dan media kultivasi
Media yang digunakan adalah hidrolisat pati sagu sebagai sumber karbon, (NH4)2HPO4 sebagai sumber nitrogen, K2HPO4 dan KH2PO4 sebagai sumber fosfat, serta mikroelemen yang terdiri dari FeSO4.7H2O, MnCl2.4H2O, CoSO4.7H2O, CaCl2.2H2O, CuCl2.2H2O, dan ZnSO4.7H2O.
Sebelum dilakukan proses fermentasi pada bioreaktor, terlebih dahulu kultur R. eutropha ditumbuhkan pada media propagasi selama 3 x 24 jam, pada suhu 34oC dan kecepatan 150 rpm.
Kultivasi PHA secara fed-batch (Atifah, 2006)
Kultivasi fed-batch dilakukan pada bioreaktor skala 13 liter, volume kerja 10 liter, pH 6.9, agitasi 150 rpm, suhu 34oC dan aerasi 0.2 vvm. Kultivasi dilakukan selama 96 jam. Metode pengumpanan dilakukan pada saat mikroba memasuki fase pertumbuhan stationer yaitu pada jam ke-48. umpan berupa hidrolisat pati sagu yang setara dengan 20 g per liter kultur dengan kecepatan pengumpanan constan 1.7 ml/menit.
Proses hilir PHA (Atifah, 2006; Imamura et al., 2001 dan Lee, 1996)
Setelah proses kultivasi selesai, cairan kultivasi disentrifugasi pada kecepatan 13000 rpm selama 10 menit. Proses sentrifugasi terdiri dari empat tahap, yaitu; (i) pemisahan biomassa dari fase cair, (ii) pencucian endapan biomassa yang diperoleh dengan aquades, (iii) digest dengan NaOCl 0.2% selama 1 jam, (iv) pencucian endapan biomassa yang telah di digest dengan aquades. Endapan biomassa yang diperoleh dikering dalam oven pada suhu ± 50oC selama 24 jam.
PHA kering yang diperoleh dari hasil sentrifugasi terlebih dahulu dihaluskan dan kemudian dilarutkan dalam kloroform dengan perbandingan 1 gram PHA kering banding 50 ml kloroform. Larutan kemudian diaduk dan dipanaskan pada suhu ± 50oC selama 24 jam. Untuk mencegah penguapan pelarut, maka dipasang pendingin tegak. Setelah itu, larutan disaring dengan menggunakan kertas saring wathman 42 pada penyaring vakum. Filtrat hasil saringan yang mengandung PHA yang terlarut dalam kloroform diuapkan pada lemari asap untuk memperoleh PHA kering yang lebih murni.
Tahap pembuatan bioplastik
Motode pembuatan bioplastik (modifikasi Akmaliah, 2003)
Proses pembuatan bioplastik dilakukan dengan teknik solution casting. Proses pembuatan bioplastik dimulai dengan pencampuran PHA, kloroform, dan isopropil palmitat. Pencampuran dilakukan dengan
3
pengadukan biasa sampai terbentuk larutan PHA-kloroform-isopropil palmitat yang homogen. Kemudian larutan yang telah homogen dituang pada cetakan (plat kaca).
Penentuan jumlah kloroform
Menurut Lee (1996), untuk melarutkan satu bagian PHA diperlukan 20 bagian pelarut. Jumlah pelarut yang optimal akan ditentukan dengan cara melarutkan PHA pada kloroform dengan perbandingan PHA-kloroform 1:5, 1:10, 1:15 dan 1:20.
Penentuan jumlah PHA
Jumlah PHA yang digunakan disesuaikan dengan ketebalan bioplastik yang akan dihasilkan. Jumlah PHA yang optimal adalah jumlah PHA yang mampu menutupi seluruh permukaan cetakan dan memenuhi ketebalan yang ditentukan yaitu ± 0.05 mm.
Penentuan jumlah Isopropil Palmitat
Jumlah isopropil palmitat yang ditambahkan tergantung pada jumlah PHA yang akan digunakan. Pada penelitian ini akan diujikan konsentrasi isopropil palmitat mulai dari 0% (kontrol), 10%, 15%, dan 20% (b/b) dari jumlah PHA.
Karakterisasi bioplastik
Sifat Mekanis (ASTM D 638)
Pengujian sifat mekanis meliputi uji kuat tarik, perpanjangan putus, dan elastis modulus. Alat yang digunakan untuk pengujian adalah Universal Testing Machine (UTM) yang dibuat oleh Orientec Co. Ltd dengan model UCT-5T. Lembaran sampel dipotong menjadi dumbbell ASTM D638 M-III. Kondisi pengujian dilakukan pada temperatur ruang uji dengan suhu 27oC, kelembaban ruang uji 65%, kecepatan tarik 1 mm/menit, skala load cell 10% dari 50N, dan pengukuran ketebalan sampel yang akan diuji menggunakan Digital Micrometer.
Gugus Fungsi (ASTM E 1252-88)
Gugus fungsi PHA dapat dideteksi dengan menggunakan alat Fourier Transform Infra-Red Spectrometer (FTIR). Tipe alat FTIR yang digunakan dalam penelitian ini adalah FTIR-4300. Metode pengujian berdasarkan ASTM E 1252-88 yaitu dengan menggunakan metode KBr (Kalium Bromida) yang dipadatkan. Metode ini digunakan pada selang bilangan gelombang antara 5000 – 400 cm-1 (2 – 25 µm).
Sifat Termal (ASTM D 3418)
Alat yang digunakan adalah Differential Scanning Calorimetry (DSC) dengan tipe Seiko Instruments Inc.. Analisa sifat termal meliputi
pengukuran suhu pelelehan (melting point, Tm), suhu transisi kaca (glass transition temperature, Tg), dan perubahan entalpi sampel selama proses tersebut. Sampel ditimbang ±5 mg kemudian dimasukkan kedalam crucible 40 µl. Analisa dilakukan dengan pemanasan sampel dari temperatur kamar hingga 200oC. Kecepatan pemanasan adalah 10oC/menit. Nitrogen cair digunakan untuk pendinginan dengan kecepatan aliran 50 ml/menit.
Derajat Kristalinitas (Hahn et al. 1994)
Kristalinitas dihitung dengan menggunakan persamaan:
Xc = ΔHf / ΔHo × 100%
Keterangan: Xc : kristalinitas (%), ΔHf : entalpi pelelehan sampel (J/g), Δho : entalpi pelelehan PHB 100% kristalin (146 J/g).
Densitas (Rabek, 1983)
Sampel dibentuk segi empat, kemudian diukur panjang, lebar, tebal, dan beratnya. Densitas diperoleh dari pembagian berat sampel (g) dengan volumenya (cm3).
HASIL DAN PEMBAHASAN
PERSIAPAN BAHAN BIJI BIOPLASTIK
Rendemen PHA murni yang diperoleh setelah proses pemurnian dengan kloroform adalah sebesar ± 40 %
Dari hasil analisa FTIR yang dilakukan Atifah (2006) diketahui bahwa bakteri R. eutropha dapat menghasilkan PHA terutama jenis poli-β-hidroksibutirat (PHB). Ciri khas poli-HB adalah adanya gugus metil (CH3) yang terdeteksi pada bilangan gelombang 1375-1450 cm-1 (Nur, 1989).
PEMBUATAN BIOPLASTIK
Terbentuknya lembaran bioplastik dengan penambahan pemlastis IPP diduga karena terjadi ikatan hidrogen antara molekul PHA dengan molekul IPP. Proses pembentukan ikatan hidrogen ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Pendugaan mekanisme ikatan hidrogen yang terjadi antara molekul PHA dengan molekul IPP. Ikatan hidrogen ditandai dengan garis putus-putus.
4
Karena hanya memiliki sebuah elektron, atom hidrogen hanya dapat berikatan dengan sebuah atom lain. Akan tetapi, pada keadaan tertentu, sering dijumpai bahwa atom hidrogen dapat pula berikatan cukup kuat dengan dua buah atom lain. Pada keadaan demikian terbentuk ikatan hidrogen antara atom-atom tersebut dengan atom H dengan energi ikat 0,1 eV. Dalam ikatan hidrogen, atom H bersifat sebagai ion positif terutama bila berikatan dengan atom-atom yang elektronegatif, seperti F, O dan N. Salah satu contoh ikatan hidrogen adalah ikatan antara dua molekul asam etanoat (asam cuka). (Anonim2, 2007).
Gugus OH yang terdapat pada kedua ujung polimer PHA merupakan ikatan kovalen polar antara O dan H. Menurut Sukardjo (1985), ikatan kovalen merupakan ikatan yang terbentuk dengan pembagian elektron.
Ikatan kovalen antara atom O dan atom H pada gugus OH diujung rantai polimer PHA, elektron tidak terbagi merata dan akan lebih dekat kepada atom yang mudah menarik elektron. Atom O merupakan atom dengan elektronegativitas tinggi sehingga akan menarik elektron dari atom H. Penarikan elektron ke arah atom O menyebabkan atom H semakin menjauh karena terbentuk kutup positif pada atom H dan kutub negatif pada atom O.
Atom O dengan ikatan rangkap yang terdapat pada gugus ester molekul IPP cenderung kurang stabil sehingga memungkinkan membentuk ikatan hidrogen dengan atom H terpolarisasi yang terdapat pada ujung rantai polimer PHA. Menurut Sukardjo (1985), ikatan hidrogen tersebut terbentuk karena gaya elektrostatik antara H dan O. Ikatan hidrogen sifatnya lebih lemah dari pada ikatan kovalen. Ikatan hidrogen terjadi antara atom-atom yang sangat polar, yaitu atom-atom yang mempunyai elektronegativitas tinggi seperti F, O, dan N dengan atom H.
KARAKTERISTIK BIOPLASTIK
Sifat Mekanis
Pengujian sifat mekanis meliputi pengujian kuat tarik, perpanjangan putus dan elastic modulus.
Gambar 2 merupakan grafik perbandingan nilai kuat tarik bioplastik pada berbagai selang konsentrasi. Penambahan pemlastis bisa memperlonggar ikatan mulokul-molekul PHA, karena pemlastis tersisip secara fisika pada rantai polimer. Pemlastis juga menjadikan PHA yang tadinya kaku menjadi lebih lunak dan elastis sehingga kuat tarik turun atau dengan kata lain beban yang dibutuhkan untuk memutuskan bioplastik menjadi berkurang. Semakin banyak pemlastis yang ditambahkan maka kuat tarik akan berkurang.
Nilai kuat tarik pada konsentrasi IPP 0% (b/b), 10% (b/b), 15% (b/b), dan 20% (b/b) berturut adalah sebesar 10.923 MPa, 4.9065 MPa, 4.6219 MPa, dan 2.379 MPa.
Kuat Tarik Bioplastik
2,616 ± 0,8940
10,923 ± 0,5554
4,6219 ± 0,7848
6,1371 ± 0,5504
0
2
4
6
8
10
12
0% 10% 15% 20%Konsentrasi IPP
Kua
t Tar
ik (M
Pa)
Nilai Kuat Tarik
Gambar 2. Perbanding nilai kuat tarik pada berbagai selang konsentrasi uji.
Penambahan pemlastis IPP menyebabkan terbentuknya interaksi molekuler dengan rantai polimer PHA dalam bentuk ikatan hidrogen (lihat Gambar 1). Ikatan hidrogen merupakan ikatan yang sangat lemah, lebih lemah dari ikatan kovalen (Sukardjo, 1985). Pembentukan ikatan hidrogen tersebut menyebabkan peningkatan kecepatan respon viskoelastis dan mobilitas molekuler rantai polimer PHA. Peningkatan mobilitas molekuler tersebut menjadikan kekompakan molekul menjadi berkurang. Kekompakan molekul polimer yang semakin berkurang seiring dengan peningkatan konsentrasi IPP yang kemudian menyebabkan semakin sedikitnya gaya yang dibutuhkan untuk menarik bahan sehingga kuat tarik bahan semakin turun. Pernyataan ini didukung oleh pernyataan Hammer (1978) yang menyatakan bahwa prinsip kerja pemlastis adalah dengan membentuk interaksi molekuler rantai polimer untuk meningkatkan kecepatan respon viskoelastis pada polimer sehingga dapat meningkatkan mobilitas molekuler rantai polimer.
Pada penambahan pemlastis dengan konsentrasi 30% (b/b), bioplastik masih terbentuk, tapi lembaran bersifat sangat rapuh dan tidak dapat dilakukan pengujian kuat tarik. Hal ini menandakan bahwa pencampuran antara PHA dengan IPP telah jenuh. Nilai kuat tarik pada konsentrasi 0% (b/b), 10% (b/b), 15% (b/b), dan 20% (b/b) berturut adalah sebesar 10.923 MPa, 6.1371 MPa, 4.6219 MPa, dan 2.6160 MPa.
Perpanjangan Putus Bioplastik
2,8649 ± 0,84242,8534 ± 0,27262,7262 ± 0,0826
1,7147 ± 0,5099
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
0% 10% 15% 20%Konsentrasi IPP
Perp
anja
ngan
Put
us (%
)
NilaiPerpanjanganPutus
Gambar 3. Perbanding nilai perpanjangan putus pada berbagai selang konsentrasi uji.
5
Perpanjangan putus merupakan perubahan panjang material sampai material tersebut putus akibat menerima gaya regangan pada pengujian kuat tarik. Peningkatan konsentrasi IPP akan meningkatkan kecepatan respon viskoelastis dan mobilitas molekuler rantai polimer PHA. Meningkatnya mobilitas molekuler rantai polimer ditunjukan dengan bahan semakin elastis sehingga perpanjangan putus cenderung akan meningkat. Peningkatan tersebut akan berlaku selama masih terbentuk interaksi molekuler rantai polimer dengan pemlastis.
Pada Gambar 3, dapat kita lihat bahwa nilai perpanjangan putus bioplastik bertambah dengan penambahan IPP sebagai pemlastis. Namun, pada konsentrasi IPP 20% (b/b) perpanjangan putus bioplastik menurun. Hal ini disebabkan karena interaksi molekuler PHA dengan IPP tidak terjadi lagi. Nilai perpanjangan putus pada konsentrasi 0% (b/b), 10% (b/b), 15% (b/b), dan 20% (b/b) berturut adalah sebesar 2.7262%, 2.8534%, 2.8649%, dan 1.7147%. Perpanjangan putus bioplastik pada konsentrasi 15% (b/b) IPP merupakan nilai maksimum, hal ini menandakan bahwa penambahan IPP dengan konsentrasi 15% (b/b) sebagai pemlastis mencapai jumlah optimum untuk pembuatan biopastik dari PHA hasil kultivasi R. eutropha pada substrat hidolisat pati sagu.
Elastic Modulus
182,64 ± 18,070
500,99 ± 12,306
208,81 ± 14,27
298,18 ± 25,928
0
100
200
300
400
500
600
0% 10% 15% 20%Konsentrasi IPP
Ela
stic
Mod
ulus
(MPa
)
Nilai ElasticModulus
Gambar 4. Perbanding nilai elastic modulus pada berbagai selang konsentrasi uji.
Gambar 4 menyajikan nilai elastic modulus bioplastik yang dibuat dengan pemlastis IPP. Elastic modulus atau yang lebih dikenal sebagai tingkat kekakuan bahan (polimer), semakin turun dengan peningkatan jumlah IPP yang ditambahkan sebagai pemlastis. Nilai elastic modulus pada konsentrasi 0% (b/b), 10% (b/b), 15% (b/b), dan 20% (b/b) berturut adalah sebesar 500.99 MPa, 298.18 MPa, 208.81 MPa, dan 182.64 MPa. Dengan semakin meningkatnya kecepatan respon viskoelastis dan mobilitas molekuler rantai polimer PHA karena penambahan IPP sebagai pemlastis, maka elastisitas bahan akan meningkat dan tingkat kekakuan bahan akan semakin turun. Penurunan tingkat kekauan bahan ini akan menurunkan nilai elastic modulus bioplastik.
Konsentrasi IPP sebesar 15% (b/b) merupakan jumlah optimum pemlastis pada pembuatan bioplastik menggunakan PHA hasil
kultivasi R. eutropha pada substrat hidolisat pati sagu dengan pemlastis IPP.
Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa terdapat titik yield pada grafik hubungan kuat tarik dan perpanjangan putus pada bioplastik dengan konsentrasi IPP 15% (b/b), dimana pada titik ini terjadi perubahan dari deformasi elastis menjadi deformasi plastis. Ciri ini menunjukan bahwa bioplastik berpotensi memiliki perpanjangan putus yang lebih besar.
Gambar 5. Grafik hubungan kuat tarik dengan perpanjangan putus pada konsentrasi pemlastis IPP 15%
Analisa gugus fungsi (ASTM E 1252-88)
Berdasarkan pengujian gugus fungsi sampel bioplastik dengan konsentrasi IPP 15% (b/b) (Gambar 6b), diperoleh informasi beberapa peak yang muncul. Kemunculan banyak peak ini menunjukkan bahwa dalam bioplastik terdapat banyak jenis ikatan. PHA merupakan suatu poliester yang mempunyai beberapa gugus fungsi dominan seperti karbonil ester (C = O), ikatan polimerik C – O – C, OH, CH, dan CH2. Sebagai pembanding pengujian gugus fungsi PHA dengan konsentrasi pemlastis 0% (b/b) (Juari, 2006), dapat dilihat pada Gambar 6a.
Hasil identifikasi gugus fungsi yang tersaji pada Tabel 6 menunjukkan bahwa semua gugus fungsi dominan dari molekul PHA muncul pada spektra FTIR bioplastik tanpa pemlastis. Gugus fungsi tersebut meliputi karbonil ester (C = O), ikatan polimerik C – O – C, OH, CH, dan CH2. Sedangkan pada spektra FTIR bioplastik dengan konsentrasi IPP 15% (b/b) tidak terdapat peak gugus OH. Penambahan IPP menyebabkan terbentuknya ikatan hidrogen yang menyebabkan atom H pada gugus OH molekul PHA semakin menjauh dari atom O (lihat Gambar 10). Akibatnya peak gugus OH tidak muncul pada spektra FTIR bioplastik dengan konsentrasi IPP 15% (b/b).
Dari hasil spektrum pada kedua jenis sampel maka dapat diidentifikasi bahwa terdapat banyak jenis ikatan. Identifikasi decara lengkap disajikan pada Tabel 1.
Yield Point
6
(a) (b) Gambar 6. Hasil analisa gugus fungsi (a) bioplastik tanpa pemlastis (Juari, 2006); (b) bioplastik dengan 15% (b/b) konsentrasi IPP.
Tabel 1. Hasil identifikasi spektrum FTIR bioplastik
No
Bioplastik 0% pemlastis Bioplastik 15% IPP Bilangan
Gelombang (cm-1)
Intensitas Identifikasi Bilangan
Gelombang (cm-1)
Intensitas Identifikasi
1 3440.38 Sedang NH amida protein 2977.9* Sedang C – H
2 2974.79* Sedang OH karboksilat 2854.4* Sedang C – H
3 2931.13* Tajam C – H 1724.2** Tajam C = O 4 2854.13* Sedang ~ 1455 Sedang C – H2
5 1751.04* Tajam C = O 1380.9* Sedang C – H3
6 1455.57* Sedang C – H2 1300 –1100* Sedang C – O – C
polimer
7 1380.61* Tajam C – H3 1000 - 500 Rendah Tidak diketahui
8 1310.87 Tajam N = O Catatan : 1 Identifikasi didasarkan Nur (1989) * Gugus PHA ** Gugus PHA yang juga teridentifikasi sebagai gugus IPP
9 1310.87-1064.10* Tajam
C – O – C polimer
10 979.65-462.83 Sedang Tidak diketahui
Spektra FTIR bioplastik dengan konsentrasi
IPP 15% (b/b) tidak memunculkan peak untuk gugus OH. Penambahan IPP menyebabkan atom H pada gugus OH molekul PHA semakin menjauh dari atom O dan kemudian atom H berikatan hidrogen dengan atom O pada gugus IPP (lihat Gambar 10). Akibatnya peak untuk gugus OH yang pada sampel bioplastik 0% (b/b) pemlastis yang muncul pada panjang gelombang 2974.79 cm-1, tidak muncul pada spektra FTIR bioplastik dengan konsentrasi IPP 15% (b/b).
Penambahan IPP dengan konsentrasi 15% (b/b) merupakan jumlah optimum pemlastis dalam bioplastik, hal ini ditandai dengan ketidak munculan peak untuk gugus OH pada sampel bioplastik 15% (b/b) konsentrasi IPP karena semua gugus OH pada ujung rantai molekul PHA telah berikatan hidrogen dengan atom O yang terdapat pada molekul IPP.
Sifat Termal (ASTM D 3418)
Pengujian sifat termal meliputi pengujian suhu peralihan kaca Tg (glass transition) dan suhu pelelehan Tm (melting point).
Hasil analisa DSC dari bioplastik tanpa pemlastis (Juari, 2006) dan bioplastik dengan konsentrasi IPP 15% (b/b) dapat dilihat pada Gambar 7. Pada Gambar 7a dan 7b terlihat bahwa bioplastik PHA memiliki 2 buah peak suhu pelelehan yaitu pada suhu 149,84 oC dan 168,72 oC untuk PHA tanpa pemlastis dan 148.7 oC dan 168.8 oC untuk bioplastik dengan konsentrasi IPP 15% (b/b). Kemunculan dua peak yang berbeda pada masing-masing spektra DSC bioplastik menunjukkan bahwa pada bioplastik terdapat dua buah komponen. Komponen yang lebih dominan ditandai dengan peak yang tajam. Komponen tersebut diduga PHA yang merupakan bahan baku dalam pembuatan bioplastik.
Dari hasil analisa DSC diketahui bahwa titik leleh PHA tanpa pemlastis adalah 168,72 oC, dan
7
bioplastik dengan konsentrasi IPP 15% (b/b) adalah 168.8 oC. Hasil analisa DSC ini relatif sama, atau dapat dikatakan bahwa tidak terjadi perubahan titik leleh dengan penambahan pemlastis IPP.
Hal ini berbeda dengan pernyataan Billmeyer (1994) yang menyatakan bahwa jika suatu polimer semikristalin mendapat tambahan pemlastis maka akan terjadi penurunan suhu pelelehan (Tm) dan derajat kristalinitas. Hasil analisa DSC PHA tanpa pemlastis (Juari, 2006) dan bioplastik dengan konsentrasi IPP 15% (b/b) tidak dapat dibandingkan secara nyata karena terdapat beberapa perbedaan diantaranya kemurnian bahan baku (PHA) yang digunakan dan keakuratan alat pengujian. Gambar 7. Hasil analisa sifat termal bioplastik PHA tanpa pemlastis (a), bioplastik PHA dengan konsentrasi 15% (b/b) IPP
Menurut Jandali dan Widmann (1995), suhu transisi kaca (Tg) dapat dianalisa dengan menggunakan DSC. Suhu transisi kaca terdeteksi oleh adanya peak yang berbentuk seperti anak tangga (tanpa puncak) yang menunjukkan terjadinya peralihan bentuk dari kaca ke termoplastik atau karet. Pada hasil analisa sifat termal bioplastik (Gambar 16) tidak ditemukan
peak yang menunjukkan adanya Tg. Tidak terdeteksinya Tg disebabkan keterbatasan alat untuk pengujian sifat termal, selang temperatur pengujian yang digunakan adalah antara 30oC sampai 200oC Lee (1996) dan Poirier et al. (1995), menyatakan bahwa PHB mempunyai Tg pada suhu sekitar 5oC.
Derajat Kristalinitas (Hahn et al. 1994)
Pengukuran derajat kristalinitas dilakukan dengan metode pendekatan. Metode ini didasarkan pada perubahan entalpi yang terjadi pada saat tercapainya suhu pelelehan yang terukur pada saat pengukuran suhu pelelahan dengan DSC. PHA dengan derajat kristalinitas 100% akan mempunyai perubahan entalpi sebesar 146 J/g. (Hahn et al.,1995).
Pada hasil analisa DSC (Gambar 16) diketahui bahwa perubahan entalpi bioplastik PHA tanpa pemlastis pada saat tercapai suhu pelelehan adalah sebesar 73,76 J/g. Perubahan entalpi bioplastik dengan konsentrasi IPP 15% (b/b) adalah sebesar 78.8 J/g pada saat pelelehan. Dengan metode perbandingan langsung antara perubahan entalpi bioplastik sampel dan PHA 100% kristalin, maka dapat diketahui nilai derajat kristalinitas bioplastik PHA tanpa pemlastis sebesar 50,52% dan bioplastik dengan konsentrasi IPP 15% (b/b) sebesar 53.97%.
Dari perhitungan derajat kristalinitas diperoleh data bahwa bioplastik dengan konsentrasi IPP 15 % (b/b) memiliki derajat kristalinitas lebih besar dibandingkan dengan bioplastik 0% IPP. Hal ini sangat bertentangan dengan pernyataan Billmeyer (1994) yang menyatakan bahwa keberadaan pemlastis akan menyebabkan peningkatan jumlah fraksi amorf sehingga menurunkan suhu pelelehan dan derajat kristalinitas polimer tersebut. Perbedaan ini diperkirakan terjadi karena terdapat perbedaan dalam kemurnian bahan baku (PHA) yang digunakan dan keakuratan alat pengujian analisa DSC.
Knapczyk dan Simon (1992) menyatakan bahwa polimer termoplastik yang derajat kristalinitasnya tinggi meleleh lebih tajam pada suhu tinggi dari pada polimer amorf. Berdasarkan hal tersebut maka analisa derajat kristalinitas lebih didasarkan pada ketajaman peak yang terbentuk pada saat suhu pelelehan.
Dari hasil analisa DSC (Gambar 16) terlihat bahwa peak suhu pelelehan bioplastik tanpa pemlastis lebih tajam dari pada bioplastik dengan konsentrasi IPP 15% (b/b). Peak yang lebih tajam menunjukkan bahwa polimer mempunyai derajat kristalinitas tinggi, maka bioplastik tanpa pemlastis mempunyai derajat kristalinitas yang lebih besar dari pada bioplastik IPP 15% (b/b).
(b)
(a)
73.76 J/g
168.72 oC
78.8 J/g
168.8 oC
8
Motede penentuan derajat kristalinitas yang digunakan ini juga berdasarkan pada pernyataan Allcock dan Lampe (1981) yang menyatakan bahwa pada suhu pelelehan, polimer kristalin meleleh menjadi cairan viskous secara lebih tajam dari pada polimer amorf. Billmeyer (1994) menambahkan bahwa penambahan pemlastis menyebabkan peningkatan jumlah fraksi amorf sehingga menurunkan suhu pelelehan (Tm) dan derajat kristalinitas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penambahan pemlastis IPP menyebabkan derajat kristalinitas bioplastik menjadi turun.
Densitas
Menurut Lafferty et al. (1988), Poli-HB memiliki densitas antara 1,171 sampai 1,260 g/cm3. Nilai yang lebih kecil menunjukan struktur amorf sedangkan nilai densitas yang lebih tinggi menunjukan struktur kristalin. Berdasarkan pernyataan diatas, maka diduga bioplastik PHA pada penelitian ini memiliki struktur amorf yang lebih dominan.
Dari hasil pengukuran densitas bioplastik pada semua selang konsentrasi yang dibuat, didapatkan data bahwa densitas menurun sejalan dengan penambahan pemlastis. Grafik perbandingan densitas pada berbagai selang konsentrasi IPP dapat dilihat pada Gambar 8. Nilai densitas yang diperoleh pada konsentrasi 0% (b/b), 10% (b/b), 15% (b/b), dan 20%(b/b) pemlastis IPP berturut-turut adalah 0.89143, 0.88000, 0.87333, dan 0.69895.
Densitas Bioplastik
0,89143 0,88000 0,87333
0,69895
0,00000
0,10000
0,20000
0,30000
0,40000
0,50000
0,60000
0,70000
0,80000
0,90000
1,00000
0% 10% 15% 20%
Konsentrasi IPP
Den
sita
s (g
/cm
3)
Densitas
Gambar 8. Grafik perbandingan densitas bioplastik pada berbagai selang konsentrasi IPP
Densitas bioplastik berhubungan dengan sifat mekanis bioplastik tersebut. Poli-β-hidroksialkanoat merupakan polimer rantai lurus dan memiliki kerapatan yang tinggi. Penambahan pemlastis akan menurunkan gaya tarik-menarik antar rantai polimer sehingga kerapatannya berkurang, akibatnya densitas bioplastik menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi pemlastis. Penurunan densitas akan menyebabkan nilai kuat tarik dan nilai elastic modulus turun, karena kerapatan bioplastik berkurang. Sehingga gaya yang dibutuhkan untuk memutuskan bioplastik semakin berkurang. Hal ini dapat dibuktikan
dengan melihat hasil pengujian kuat tarik (Gambar 13a) dan elastic modulus (Gambar 13c), dimana kuat tarik dan elastic modulus semakin turun seiring dengan peningkatan jumlah konsentrasi pemlastis. Sedangkan elastisitas tidak berhubungan dengan densitas, jadi densitas tidak mempengaruhi nilai perpanjangan putus.
Densitas bioplastik juga mempengaruhi nilai derajat kristalinitas. Penurunan densitas bioplastik karena molekul-molekul pemlastis meningkatkan mobilitas molekul-molekul polimer dan membuat polimer menjadi lebih amorf. Struktur molekul amorf memiliki kerapatan yang relatif lebih rendah daripada molekul kristalin. Penurunan kerapatan molekul menyebabkan derajat kristalinitas bioplastik menjadi turun.
KESIMPULAN
Isopropil palmitat yang merupakan ester dari isopropil alkohol dan asam palmitat, dapat digunakan sebagai pemlastis pada pembuatan bioplastik dengan menggunakan PHA dari hasil kultivasi Ralstonia eutropha secara fed batch pada substrat hidrolisat pati sagu yang digunakan.
Kuat tarik bioplastik PHA yang dibuat dengan menggunakan pemlastis IPP semakin turun seiring dengan peningkatan konsentrasi IPP sebagai pemlastis. Nilai kuat tarik bioplastik dengan konsentrasi IPP 0% (b/b), 10% (b/b), 15% (b/b), dan 20% (b/b) adalah berturut-turut sebesar 10.923 MPa, 4.9065 MPa, 4.6219 MPa, dan 2.3790 MPa. Nilai perpanjangan putus bioplastik dengan konsentrasi IPP 0% (b/b), 10% (b/b), 15% (b/b), dan 20% (b/b) adalah berturut-turut sebesar 2.7262%, 2.1260%, 2.7886%, dan 1.5756%. Dan nilai elastic modulus bioplastik dengan konsentrasi IPP 0% (b/b), 10% (b/b), 15% (b/b), dan 20% (b/b) adalah berturut-turut sebesar 500.99 MPa, 271.30 MPa, 208.81 MPa, dan 175.97 MPa.
Pada pengujian kuat tarik, bioplastik dengan konsentrasi IPP 15% (b/b) memiliki titik yield, dimana titik ini menandakan terjadinya proses perpindahan deformasi elastis pada deformasi plastis dan memungkinkan bioplastik ini untuk memiliki perpanjangan putus yang lebih besar. Berdasarkan karakteristik mekanik tersebut dapat dinyatakan bahwa bioplastik yang dibuat dengan konsentrasi IPP 15% (b/b) adalah yang terbaik.
Analisa gugus fungsi bioplastik tanpa pemlastis menunjukkan peak dominan untuk gugus fungsi PHA yaitu adanya gugus C = O ester, gugus C – O – C polimer, gugus OH, gugus CH2, gugus C – C, dan gugus CH3. Sedangkan analisa gugus fungsi untuk bioplastik dengan konsentrasi IPP 15% (b/b) tidak menunjukkan peak untuk gugus OH. Berkurangnya jumlah OH menandakan terbentuknya ikatan hidrogen antara
9
molekul PHA dengan molekul IPP. Karena semua gugus OH pada rantai PHA telah berikatan hidrogen dengan gugus O pada rantai molekul IPP.
Dengan membandingkan ketajaman peak hasil analisa DSC didapatkan kesimpulan bahwa bioplastik tanpa pemlastis mempunyai derajat kristalinitas yang lebih besar dari pada derajat kristalinitas bioplastik IPP 15% (b/b). Densitas bioplastik menurun sejalan dengan peningkatan jumlah konsentrasi IPP yang digunakan sebagai pemlastis. Penurunan ini disebabkan karena molekul-molekul pemlastis dapat meningkatkan mobilitas molekul-molekul polimer dan membuat polimer menjadi lebih amorf sehingga terjadi penurunan kerapatan molekul poli-β-hidroksialkanoat. Dengan menurunnya kerapatan molekul PHA maka densitas akan turun.
DAFTAR PUSTAKA
Akmaliah, P. 2003. Pengaruh Konsentrasi Pemlastis Dimetil Ftalat Terhadap Karakteristik Bioplastik Dari Polyhydroxyalkanoates (PHA) Yang Dihasilkan Ralstonia Eutropha Pada Substrat Hidrolisat Minyak Sawit. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Allcock, H.R. dan F.W. Lampe. 1981. Contemporary Polymer Chemistry. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey 07632
Anonim1. Pengembangan Teknologi Untuk Nilai Tambah Sawit. http://www.seafast-info.com/informasi%20gratis/Teknologi%20untuk%20Memperoleh%20Nilai%20tambah%20Sawit.pdf#search=%22%22isopropil%20palmitat%22%22. [4 Mei 2006]
Anonim2. Kekristalan Zat Padat. www.unej.ac.id/fakultas/mipa/web_fisika/webkuliah/ZAT%20PADAT/BAB%20I%20SISTEM%20KRISTAL.pdf
ASTM D 368 M-III. 1998. Standard Test Method for Tensile Properties of Thin Plastic Sheeting. West Conshohocken, PA.
ASTM D 3418. 1998. Standard Test Method for Transition Temperatures of Polymers by Differential Scanning Calorimetry. West Conshohocken, PA
ASTM E 1252-88. 1998. Standard Test Method for Functional Groups Identification. West Conshohocken, PA
Atifah, N. 2006. Pemanfaatan Hidrolisat Pati Sagu Sebagai Sumber Karbon Pada Produksi Bioplastik Polihidroksialkanoat Secara Fed-Batch oleh Ralstonia eutropha. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB.
Billmeyer, F.W. 1994. Text of Polymer Science. John Wiley and Sons., Chapters 7, 12 and 17.
Hahn, S. K., Y. K. Chang, dan S. Y. Lee. 1994. Recovery and Characterization of Poly(3-Hydroxybutyric Acid) Synthesized in Alcaligenes eutrophus and Recombinant Eschesichia coli. Applied and Environmental Microbiology, p.34-39
Hammer, C.F. 1978. Polymer Blends. vol.2, 17, 219, dalam D. R. Paul and S. Newman, (ed.). Academic Press, New York.
Imamura, T., Yano, T., Kobayashi, S., Suda, S., dan Honma, T. 2001. Method for producing microbial polyester. United States Patent Application : 20010031488.
Juari. 2006. Teknologi Proses Pembuatan dan Karakterisasi Bioplastik dari Poly-3-Hidroksialkanoat (PHA) Yang Dihasilkan Oleh Ralstonia Eutropha Pada Sirup Glukosa Pati Sagu Dengan Penambahan Dimetil Pthalat (Dmp) Sebagai Pemlastis. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Knapczyk, J. K. dan R. H. M. Simon. Synthetic Resins and Plastic. Di dalam. J. A. Kent (ed). 1992. Riedel’s Handbook of Industrial Chemistry 9th Edition. Van Nostrans Reinhold. New York.
Lafferty, R.M., Korsatko, B., dan Korsatko, W. 1988. Biotechnology. Vol.6b. Special Microbial Processes. H.J. Rehm and G. Reed (ed.). VCH Publisher, New York.
Lee SY. 1996. Bacterial Polyhydroxyalkanoates. Biotechnol. Bioeng. 49:1-14
Nur, M.A. 1989. Spektroskopi. Pusat Antar Universitas-Institut Pertanian Bogor (PAU-IPB), Bogor.
Poirier, Y., Nawrath C., Somerville C. 1995. Production of Polyhydroxyalkanoates, a Family of Biodegradable Plastics and Elastomers, in Bacterial and Plant. Biotechnol. 13: 142-150
Rabek JF. 1983. Experimental Methods in Polymer Chemistry, Physical Principles and Applications. New York : A Wiley-Interscience Publication.
Spink, W. P dan W.F. Waychoff 1958/1959. Plasticizers. Frados, Joel (ed.). Modern Plastic Encyclopedia Issue. Hildrent Press, Inc. New York.
Sukardjo. 1985. Ikatan Kimia. Rineka Cipta, Yogyakarta.
Sadi, S. dan Purboyo G. 1996. Konsep Agroindustri untuk Produksi Plasticizer dari Minyak secara Terpadu. Warta PPKS, Vol 4(2): 75-83.
Top Related