MASKULINISASI BENIH RAJUNGAN DENGAN PERENDAMAN HORMON 17 α- METILTESTOSTERON SEBAGAI UPAYA UNTUK...

14
MASKULINISASI BENIH RAJUNGAN DENGAN PERENDAMAN HORMON 17 α- METILTESTOSTERON SEBAGAI UPAYA UNTUK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS Lisa Ruliaty, Maskur Mardjono dan Rudi Prastowo Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara ABSTRAK Dalam upaya peningkatan produksi pada budidaya rajungan maka sistem budidaya monosek merupakan salah satu penerapan teknologi yang paling tepat. Hal ini disebabkan individu jantan mempunyai ukuran dan berat yang lebih besar bila dibandingkan dengan rajungan betina. Selain itu pada pembesaran rajungan, individu betina didapatkan lebih banyak yang telah bertelur luar sehingga berpengaruh terhadap berat daging. Teknik maskulinisasi pada rajungan dilakukan dengan menggunakan terapi hormon androgen 17 α-metiltestosteron. Dari kajian pendahuluan, perendaman hormon dosis 2 ppm selama 24 jam larva rajungan stadia Zoea-4, stadia Megalopa dan stadia Crab-5 didapatkan mortalitas setelah perendaman sebesar 100% pada Zoea-4 dan Megalopa serta mortalitas 80 – 95% pada Crab-5. Kemudian dilakukan 2 kajian yaitu untuk mengetahui dosis hormon dengan cara perendaman selama 4 jam dan lama waktu perendaman yang efektif untuk maskulinisasi benih rajungan Crab-5. Kedua kajian dilakukan dengan 3 ulangan. Kajian pertama dengan dosis hormon : 0, 2, 4 dan 8 ppm dan kajian kedua dengan lama waktu perendaman : 4, 8 dan 12 jam dan Kontrol (tanpa pemberian hormon). Dari kajian pertama, dosis hormon 2, 6 dan 8 ppm setelah perendaman selama 4 jam tidak memberikan perbedaan nyata terhadap tingkat kehidupan benih rajungan. Setelah pemeliharaan selama 45 hari, hasil kajian pertama memperlihatkan perbedaan nyata dari dosis hormon terhadap maskulinisasi benih rajungan (P<0,05). Nilai persentase maskulinisasi tertinggi pada dosis hormon 2 ppm sebesar 93,9%. Dibandingkan tanpa pemberian hormon sebesar 56,9%, terjadi peningkatan benih menjadi jantan sebesar 37%. Pada kajian kedua, lama perendaman memberikan perbedaan nyata terhadap tingkat kehidupan benih rajungan setelah perendaman (P<0,01) dan nilai kehidupan setelah pemeliharaan selama 45 hari (P<0,05). Nilai kehidupan yang ditunjukkan pada lama perendaman 4, 8 dan 12 jam masing-masing 98,3%; 80,9% dan 49,5%. Hasil kajian kedua memberikan perbedaan nyata dari lama perendaman terhadap maskulinisasi benih rajungan (P<0,05). Nilai persentase maskulinisasi tertinggi didapatkan pada lama perendaman 4 jam sebesar 88,8%. Kata Kunci : maskulinisasi, hormon 17 α-metiltestosteron, benih rajungan.

Transcript of MASKULINISASI BENIH RAJUNGAN DENGAN PERENDAMAN HORMON 17 α- METILTESTOSTERON SEBAGAI UPAYA UNTUK...

MASKULINISASI BENIH RAJUNGAN DENGAN PERENDAMAN HORMON 17 α- METILTESTOSTERON SEBAGAI UPAYA

UNTUK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS

Lisa Ruliaty, Maskur Mardjono dan Rudi Prastowo

Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara

ABSTRAK

Dalam upaya peningkatan produksi pada budidaya rajungan maka sistem budidaya monosek merupakan salah satu penerapan teknologi yang paling tepat. Hal ini disebabkan individu jantan mempunyai ukuran dan berat yang lebih besar bila dibandingkan dengan rajungan betina. Selain itu pada pembesaran rajungan, individu betina didapatkan lebih banyak yang telah bertelur luar sehingga berpengaruh terhadap berat daging.

Teknik maskulinisasi pada rajungan dilakukan dengan menggunakan terapi hormon androgen 17 α-metiltestosteron. Dari kajian pendahuluan, perendaman hormon dosis 2 ppm selama 24 jam larva rajungan stadia Zoea-4, stadia Megalopa dan stadia Crab-5 didapatkan mortalitas setelah perendaman sebesar 100% pada Zoea-4 dan Megalopa serta mortalitas 80 – 95% pada Crab-5. Kemudian dilakukan 2 kajian yaitu untuk mengetahui dosis hormon dengan cara perendaman selama 4 jam dan lama waktu perendaman yang efektif untuk maskulinisasi benih rajungan Crab-5. Kedua kajian dilakukan dengan 3 ulangan. Kajian pertama dengan dosis hormon : 0, 2, 4 dan 8 ppm dan kajian kedua dengan lama waktu perendaman : 4, 8 dan 12 jam dan Kontrol (tanpa pemberian hormon).

Dari kajian pertama, dosis hormon 2, 6 dan 8 ppm setelah perendaman selama 4 jam tidak memberikan perbedaan nyata terhadap tingkat kehidupan benih rajungan. Setelah pemeliharaan selama 45 hari, hasil kajian pertama memperlihatkan perbedaan nyata dari dosis hormon terhadap maskulinisasi benih rajungan (P<0,05). Nilai persentase maskulinisasi tertinggi pada dosis hormon 2 ppm sebesar 93,9%. Dibandingkan tanpa pemberian hormon sebesar 56,9%, terjadi peningkatan benih menjadi jantan sebesar 37%.

Pada kajian kedua, lama perendaman memberikan perbedaan nyata terhadap tingkat kehidupan benih rajungan setelah perendaman (P<0,01) dan nilai kehidupan setelah pemeliharaan selama 45 hari (P<0,05). Nilai kehidupan yang ditunjukkan pada lama perendaman 4, 8 dan 12 jam masing-masing 98,3%; 80,9% dan 49,5%. Hasil kajian kedua memberikan perbedaan nyata dari lama perendaman terhadap maskulinisasi benih rajungan (P<0,05). Nilai persentase maskulinisasi tertinggi didapatkan pada lama perendaman 4 jam sebesar 88,8%.

Kata Kunci : maskulinisasi, hormon 17 α-metiltestosteron, benih rajungan.

I. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Rajungan secara taxonomi masuk ke dalam invertebrata klas Crustacea dari ordo Dekapoda yang hidup dilaut. Secara alami rajungan (Portunus pelagicus) terdapat dihampir semua kawasan pesisir. Pada mulanya rajungan hanya dimanfaatkan untuk pakan segar atau campuran pakan induk udang di unit produksi benur, sebagian menjadi bahan konsumsi, namun sekarang sebagai salah satu dari 10 komoditas penting perikanan daging rajungan maupun cangkangnya menjadi komoditas eksport yang dapat di andalkan.

Dalam upaya peningkatan produksi pada budidaya rajungan maka sistem budidaya monosek merupakan salah satu penerapan teknologi yang paling tepat. Hal ini disebabkan individu jantan mempunyai ukuran dan berat yang lebih besar bila dibandingkan dengan rajungan betina (BBPBAP, 2002). Dari hasil kajian yang dilakukan di pembenihan, didapatkan perbandingan kelamin rajungan betina ukuran juvenile (crab 80) selalu lebih banyak terhadap rajungan jantan dengan perbandingan jantan betina sebesar 40.24 : 59.76 (Ruliaty, dkk. 2004).

Sex reversal merupakan salah satu teknik yang dapat dilakukan untuk memperoleh keturunan monoseks jantan. Untuk tujuan sex reversal lebih disukai penggunaan hormon 17 α-metiltestosteron (Zairin, 2002). Hormon 17 α-metiltestosteron adalah suatu hormon untuk mempertinggi terjadinya proporsi kelamin jantan pada ikan, hormon ini adalah hormon androgen sintetis yang fungsinya dapat mempengaruhi perubahan kelamin individu. Mekanisme kerja hormon 17 α-metiltestoteron menghambat pembentukan gonad betina sehingga pada perkembangan gonad selanjutnya yang akan berkembang adalah testis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa testosteron dalam jumlah kecil yang diberikan pada individu yang gonadnya belum berkembang secara langsung akan mempengaruhi hypotalamus secara tetap selama tahap kritis perkembangan gonad dan pembentukan karakter jantan. Diduga testosteron mempengaruhi neuron melalui bagian preotic hypotalamus dengan synapsis disekresikan pada gonadotropin releasing factor (Martin dalam Kusmini, 2001).

Dalam penerapan teknik sex reversal, hormon dapat diberikan melalui beberapa cara. Pemilihan cara harus didasarkan pada efektifitas, efisiensi, palatabilitas, kemungkinan polusi dan biaya. Salah satu cara pemberian hormon yang dapat digunakan adalah melalui perendaman. Metode perendaman adalah metode alternatif untuk mengatasi kelemahan yang terdapat pada pemberian hormon melalui oral. Dengan metode perendaman, diharapkan hormon akan masuk kedalam tubuh ikan melalui proses difusi (Zairin, 2002).

Kajian sex reversal untuk maskulinisasi pada crustacea (species udang galah) melalui perendaman seperti yang dilakukan oleh Hadie (2001) dengan perendaman hormon metiltestosteron 2 mg/L selama 24 jam pada larva udang galah umur 25 hari memberikan hasil terbaik sebesar 82.02% menjadi jantan.

Berpijak pada hal diatas, maka dalam upaya peningkatan produksi pada budidaya rajungan maka perlu dilakukan sistem budidaya monosek pada rajungan. Sayangnya,

belum ada informasi mengenai teknologi pengubahan kelamin menjadi jantan pada benih rajungan Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian sex reversal untuk mengetahui efek dari konsentrasi dan lama waktu perendaman dengan hormon 17 α-metiltestoteron terhadap tingkat maskulinisasi benih rajungan dengan memperhatikan keamanannya.

II. Bahan dan Metoda

2.1. Bahan dan AlatAdapun bahan yang digunakan meliputi :

- Benih rajungan Crab 5 yang merupakan hasil pemeliharaan di pembenihan rajungan BBPBAP Jepara

- Cacahan udang kupasan dan ikan sebanyak 5% biomass/pemberian sebagai pakan selama pemeliharaan yang diberi 4x sehari.

- Hormon 17 α-metiltestosteron.- Air laut dengan salinitas >31 ppt.

Peralatan yang dipergunakan pada kajian ini antara lain :- Baskom (5 liter) untuk wadah perendaman.- Bak beton ukuran 2 x 6 m untuk media pemeliharaan setelah perendaman.- Spuit suntik.- Artificial sea weed dari tali rafia (pom-pom) untuk shelter.- Sarana aerasi yang tersetting pada bak pemeliharaan. - Peralatan lapangan lainnya seperti ember, seser ataupun gayung.

2.2. Metoda

Dari uji pendahuluan perendaman hormon 17 α-metiltestosteron pada konsentrasi 2, 4 dan 8 ppm pada larva stadia Megalopa serta pada benih crab 5 selama 24 jam didapatkan hasil angka mortalitas 100% pada larva stadia megalopa dan angka mortalitas hingga 90% pada benih rajungan Crab 5. Sehingga untuk kajian perendaman selanjutnya akan mempergunakan benih rajungan Crab 5 dan lama waktu perendaman maksimal 12 jam.

Untuk memperoleh hasil yang terbaik dari kajian sex reversal yang dilakukan menurut Zairin (2002), dosis atau konsentrasi, waktu dan lama perendaman merupakan faktor penting yang menunjang keberhasilan pengubahan sex kelamin. Berdasarkan hal tersebut, dilakukan kajian-kajian yang bertujuan untuk menghasilkan benih jantan rajungan.

Kajian pertama yang dilakukan adalah untuk mengetahui dosis hormon dengan cara perendaman selama 4 jam. Kemudian dari hasil kajian pertama tersebut dilakukan kajian kedua untuk mengetahui lama waktu perendaman yang efektif untuk maskulinisasi benih rajungan. Kedua kajian dilakukan dengan 3 kali ulangan. Kajian pertama dengan perlakuan dosis hormon : 0, 2, 4, 8 ppm dan benih direndam selama 4 jam. Sedangkan kajian kedua dengan perlakuan lama waktu perendaman : 4, 8, 12 jam dan Kontrol (tanpa

pemberian hormon). Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan faktor tunggal. Pelaksanaan kajian adalah sebagai berikut:

Benih yang dipakai adalah benih rajungan umur Crab 5 dengan kepadatan pada saat perendaman sebanyak 50 ekor/L. Wadah perendaman berupa baskom volume 5 liter. Sehingga setiap ulangan membutuhkan sebanyak 250 ekor benih. Benih ditempatkan ke dalam wadah dan diberi aerasi satu titik tiap baskomnya. Larutan hormon sesuai dengan konsentrasi selanjutnya diberi kedalam media perendaman dan dilakukan pencatatan terhadap kelulushidupan setelah perendaman. Benih yang telah mengalami perlakuan perendaman selanjutnya dipelihara pada bak beton 6 x 2 m dan diberi shelter berupa artificial sea weed dari tali rafia (pom-pom) sebanyak 6 buah. Selama pemeliharaan benih diberi pakan segar berupa blenderan/cacahan udang dan ikan rucah sebanyak 5 % biomas/pemberian dan diberi 4 x sehari untuk mempercepat pertumbuhan dan mengurangi kanibalisme.

Dilakukan pengukuran setiap 15 hari terhadap : tingkat keberhasilan maskulinisasi benih rajungan, sintasan (survival rate) benih pada akhir kajian dan pertumbuhan berat benih uji.

III. Hasil dan Pembahasan

3.1. Hasil

Persentase jenis kelamin jantan rajungan uji, dalam hal ini merupakan hasil dari perlakuan dilakukan secara morfologi pada rajungan uji umur 50 hari. Rajungan jantan mempunyai ciri morfologi yaitu pada bagian perut (abdomen) berbentuk segitiga makin menyempit kebagian ujung, ruas perut terakhir lebih besar daripada perut bagian ujung dan mempunyai warna dasar kebiruan dengan bercorak putih terang (gambar 1).

A BGambar 1. Bentuk sex kelamin jantan (A) dan betina (B) benih umur C-50

Kajian 1. Dosis efektif hormon 17 α-metiltestosteron terhadap maskulinisasi benih uji

Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan didapatkan hasil persentase benih uji menjadi jantan seperti yang tertera pada Tabel 1 dan Gambar 1. Perendaman benih rajungan dengan dosis hormon 17 α-metiltestosteron yang berbeda memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap pembelokan kelamin benih uji menjadi jantan. Persentase benih menjadi jantan tertinggi diperoleh pada perlakuan dosis hormon 2 ppm (93,9%) dan persentase terendah pada perlakuan 0 ppm (56,9%). Dari uji lanjutan didapatkan bahwa tidak ada perbedaan antara perlakuan dosis hormon 2, 4 dan 8 ppm. Namun memberikan perbedaan yang sangat nyata terhadap perlakuan kontrol.

Tabel 1. Persentase maskulin benih uji pada akhir kajian dosis efektif

PerlakuanUlangan

1 2 3 Rerata (%)2 ppm (a) 93.4 91.7 96.9 93.9 ± 2.64 ppm (b) 83.8 84.1 70.3 79.4 ± 7.88 ppm (c) 59.6 50.0 72.6 60.7 ± 11.340 ppm (d) 59.8 36.4 74.6 56.9 ± 19,3

0 20 40 60 80 100

2 ppm

4 ppm

8 ppm

0 ppm

Per

laku

an

Persentase maskulin

Gambar 1. Grafik efek dosis hormon17 α-metiltestosteron terhadap persentase maskulin benih uji

Setelah perendaman selama 4 jam dengan dosis hormon berbeda tidak memberikan pengaruh secara nyata terhadap kelulushidupan benih setelah perendaman. Rerata nilai kelulushidupan benih uji > 97,7%. Demikian juga terhadap nilai kelulushidupan benih uji selama pemeliharaan. Nilai kelulushidupan benih uji hingga akhir kajian secara berurutan dari dosis 2, 4, 8 dan 0 ppm; 22.0 ± 6.6%; 26.1± 1%; 31.9± 6.1% dan 28.4 ± 6.4%.

020406080

100120

1 2 3 4 5

Pengamatan

Sur

viva

l Rat

e (%

)

2 ppm

4 ppm

8 ppm

0 ppm

Gambar 2. Grafik survival rate (%) benih uji selama pemeliharaan

Dari hasil akhir pemeliharaan, didapatkan biomass benih rajungan jantan lebih besar dibandingkan dengan biomas rajungan betina pada setiap perlakuan hormon. Namun pada perlakuan tanpa pemberian hormon (kontrol) didapatkan biomass betina yang lebih besar dibandingkan dengan jantan (Gambar 3).

Pada individu jantan biomas akhir terbesar didapatkan pada dosis hormon 2 ppm; 767 gram dan berturut kontrol ; 719 gram, dosis hormon 4 ppm ; 643 gram dan terendah pada dosis hormon 8 ppm sebesar 623 gram. Sedangkan pada individu betina biomass akhir terbesar pada perlakuan control ; 734 gram dan berturut pada dosis hormon 8 ppm ; 250 gram, dosis hormon 4 ppm ; 191 gram dan terendah pada dosis hormon 2 ppm ; 139 gram.

0

100

200

300

400

500

600

700

800

2 ppm 4 ppm 8 ppm Kontrol

Perlakuan

Bio

mas

s ak

hir

(g

ram

)

Jantan

Betina

Gambar 3. Grafik biomass akhir benih uji berdasarkan sex kelamin pada kajian dosis hormon.

Secara individu, tidak ada perbedaan nyata terhadap berat individu kelamin jantan maupun individu kelamin betina. Secara morfologi, jenis kelamin benih rajungan sudah terlihat jelas perbedaan antara jantan dan betina pada umur pemeliharaan Crab- 35 hari, namun masih banyak yang meragukan dikarenakan ukuran yang masih kecil (berat

individu <2 gram). Pada umur pemeliharaan Crab 50, sudah terdeteksi jelas perbedaan jenis kelamin individu benih uji, dimana berat individu pada semua perlakuan dosis hormon > 3 gram (Gambar 4). Berat individu terbesar pada Crab 50 pada perlakuan dosis hormon 2 ppm; sebesar 11,9 gram dan berturut kontrol; 8,19 gram, dosis hormon 4 ppm; 7,01 gram dan terendah pada dosis hormon 8 ppm; 6,58 gram.

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

14.00

Crab 5 Crab 20 Crab 35 Crab 50

Umur benih

Ber

at in

divi

du (

gram

)

2 ppm

4 ppm

8 ppm

K

Gambar 4. Grafik berat individu (gram) benih uji selama pemeliharaan.

Kajian 2. Lama perendaman hormon 17 α-metiltestosteron terhadap maskulinisasi benih uji

Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan didapatkan hasil persentase benih uji menjadi jantan seperti yang tertera pada Tabel 2 dan Gambar 4. Lama waktu perendaman benih rajungan dengan dosis hormon 17 α-metiltestosteron sebesar 2 ppm memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap pembelokan kelamin benih uji menjadi jantan. Persentase benih menjadi jantan tertinggi diperoleh pada perlakuan lama perendaman 4 jam (88,8%) dan persentase terendah pada perlakuan tanpa perendaman hormon (kontrol) sebesar 52,9%. Dari uji lanjutan didapatkan bahwa perendaman 4 jam tidak berbeda terhadap perendaman 8 dan 12 jam, tetapi berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap perlakuan kontrol. Untuk perlakuan perendaman 8 jam tidak berbeda terhadap lama perendaman 12 jam, tetapi berbeda sangat nyata terhadap perlakuan kontrol. Sedangkan untuk perlakuan lama perendaman 12 jam tidak berbeda terhadap perlakuan Kontrol.

Tabel 2. Persentase maskulin benih uji pada akhir kajian lama perendaman

PerlakuanUlangan

1 2 3 Rerata (%)4 jam 84.1 90.7 91.7 88.8 ± 4.18 jam 76.4 80.7 81.8 79.6 ± 2.812 jam 65.7 66.0 75.4 69.0 ± 5.5Kontrol 55.8 35.4 67.6.6 52.9 ± 16.3

0 20 40 60 80 100

4 jam

8 jam

12 jam

Kontrol

Per

laku

an

Persentase maskulin

Gambar 5. Grafik efek lama perendaman dengan hormon17 α-metiltestosteron terhadap persentase maskulin benih uji

Setelah perendaman sesuai perlakuan dengan dosis hormon 2 ppm memberikan pengaruh secara nyata terhadap kelulushidupan benih (P<0.01). Rerata nilai kelulushidupan benih uji berurutan setelah perendaman 4, 8 dan 12 jam; 98,3 ± 0,23%; 80,93 ± 13,14% dan 49,47 ± 9,65% (Grafik 5).

0 20 40 60 80 100 120

4 jam

8 jam

12 jam

Per

laku

an

Survival Rate (%)

Gambar 6. Grafik survival rate (%) benih uji setelah perendaman dengan hormon17 α-metiltestosteron

Perlakuan lama perendaman memberikan pengaruh nyata terhadap nilai kelulushidupan benih uji selama pemeliharaan (P<0,05). Nilai kelulushidupan benih uji hingga akhir kajian secara berurutan dari perlakuan lama perendaman 4, 8 dan 12 jam

serta kontrol adalah sebagai berikut; 19,8 ± 2,01%; 26,5 ± 7,61%; 37,5 ± 5.74% dan 28,5 ± 6,4 %.

020406080

100120

1 2 3 4 5

Pengamatan

Sur

viva

l Rat

e (%

)

4 jam

8 jam

12 jam

Kontrol

Gambar 7. Grafik survival rate (%) benih uji selama pemeliharaan.

Dari hasil akhir pemeliharaan, didapatkan biomass benih rajungan jantan lebih besar dibandingkan dengan biomas rajungan betina pada setiap perlakuan hormon. Namun pada perlakuan tanpa pemberian hormon (kontrol) didapatkan biomass betina yang lebih besar dibandingkan dengan jantan (Gambar 8).

Pada individu jantan biomas akhir terbesar didapatkan pada perlakuan kontrol sebesar 719 gram, dan berturut lama perendaman 8 jam ; 554 gram, lama perendaman 4 jam ; 393 gram dan terendah pada lama perendaman 12 jam sebesar 274 gram. Sedangkan pada individu betina biomass akhir terbesar pada perlakuan control ; 734 gram dan berturut pada lama perendaman 8 jam ; 262 gram, lama perendaman 12 gram ; 169 gram dan terendah pada lama perendaman 4 jam ; 96 gram.

0100200300400500600700800900

4 jam 8 jam 12 jam Kontrol

Perlakuan

Bio

mas

s ak

hir

(g

ram

)

Jantan

Betina

Gambar 8. Grafik biomass akhir benih uji berdasarkan sex kelamin pada kajian lama perendaman dengan hormon.

Secara individu, tidak ada perbedaan nyata terhadap berat individu kelamin jantan maupun individu kelamin betina. Secara morfologi, jenis kelamin benih rajungan sudah terlihat jelas perbedaan antara jantan dan betina pada umur pemeliharaan Crab- 35 hari, namun masih banyak yang meragukan dikarenakan ukuran yang masih kecil (berat individu <2 gram). Pada umur pemeliharaan Crab 50, sudah terdeteksi jelas perbedaan jenis kelamin individu benih uji, dimana berat individu pada semua perlakuan dosis hormon > 3 gram (Gambar 9). Berat individu terbesar pada Crab 50 pada perlakuan control sebesar 8,19 gram dan berturut lama perendaman 8 jam; 7,16 gram, lama perendaman 4 jam; 6,14 gram dan terendah pada lama perendaman 12 jam; 4,71 gram.

0123456789

Crab 5 Crab 20 Crab 35 Crab 50

Umur benih

Ber

at in

divi

du (

gram

)

4 jam

8 jam

12 jam

K

Gambar 9. Grafik berat individu (gram) benih uji selama pemeliharaan

3.2. Pembahasan

Dari hasil kajian dosis hormon dan kajian lama perendaman hormon didapatkan rajungan uji hasil perlakuan dengan perendaman hormon 17 α-metiltestosteron memberikan hasil persentase kelamin jantan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan tanpa perendaman hormon (control). Adanya perbedaan rerata persentase kelamin jantan pada kedua kajian menunjukkan bahwa dosis dan lama waktu perendaman dengan hormon 17 α-metiltestosteron memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) atas keberhasilan pengubahan sex kelamin benih uji menjadi jantan. Walaupun nilai persentase maskulin yang dihasilkan belum mencapai 100%. Hal ini diduga karena fase differensiasi kelamin belum berakhir ketika pemberian hormone melalui perendaman dihentikan . Menurut Hunter dan Donaldson (1983), ada hubungan antara awal dan akhir differensiasi kelamin dengan lama waktu pemberian hormone. Pemberian hormone sangat bergantung pada interval waktu perkembangan gonad, yaitu pada saat gonad labil untuk dipengaruhi oleh hormone sehingga pemberian hormone steroid sebagai perangsang differensiasi harus dilakukan bersamaan dengan waktu terjadinya differensiasi alami. Differensiasi kelamin (masa penentuan atau pengarahan jenis kelamin) merupakan masa kritis. Differensiasi ini dimulai setelah menetas baik sebelum

atau sesudah larva mulai makan. Masa kritis tersebut merupakan masa yang tepat untuk pemberian hormon steroid (Yamazaki, 1983).

Selain hal diatas, proses biologis yang terjadi pada benih rajungan yang berkaitan dengan penyerapan hormon turut mempengaruhi keberhasilan pengubahan sex kelamin benih uji menjadi jantan. Proses penyerapan hormon kedalam tubuh rajungan diduga terjadi melalui proses difusi, dari insang hormon dibantu oleh pembuluh darah, setelah itu hormon diedarkan ke organ dan jaringan target. Sesampainya di sel target atau sasaran, steroid yang masuk berikatan dengan reseptor yang terletak dalam kantong sperma (Djojosoebagyo, 1990). Penambahan hormon ke dalam media perendaman menyebabkan adanya perbedaan konsentrasi hormon dalam cairan larva dengan konsentrasi di dalam media. Perbedaan ini selanjutnya menyebabkan terjadinya difusi. Hormon metiltestosteron dapat masuk ke semua sel, tetapi hanya sel-sel sasaran yang memiliki reseptor khusus yang dapat mengikat hormon. Keberhasilan pengubahan sex kelamin tidak hanya ditentukan oleh jenis dan dosis hormon yang digunakan, tetapi dipengaruhi juga oleh lama pemberian hormon, spesies dan suhu air selama perlakuan serta cara pemberian hormon (Hunter dan Donaldson, 1983). Kajian dosis hormon memberikan persentase kelamin jantan tertinggi sebesar 93,9% pada konsentrasi 2 ppm. Untuk dosis 4 ppm menghasilkan persentase jantan 79,4% dan dosis 8 ppm menghasilkan persentase jantan sebesar 60,7%. Nilai persentase terendah pada perlakuan tanpa perendaman hormon sebesar 56,9%. Sedangkan pada kajian lama perendaman memberikan hasil persentase kelamin jantan lebih tinggi pada lama perendaman 4 jam sebesar 88,8% dan mengalami penurunan dengan makin bertambahnya lama waktu perendaman yaitu lama perendaman 8 jam sebesar 79,6% dan lama perendaman 12 jam sebesar 69,0% dan terendah pada perlakuan tanpa perendaman (kontrol) sebesar 52,9%. Pada kedua kajian meghasilkan terjadinya penurunan persentase kelamin jantan pada perlakuan dengan dosis hormon lebih besar dan lama perendaman yang lebih lama. Hal ini diduga adanya efek paradoksial pada perlakuan. Menurut Piferrer dan Donaldson (1989), pemberian hormon metil testosteron pada konsentrasi tinggi dan masa pemberian yang lama dapat menyebabkan terjadinya efek paradoksial yaitu yang diberi perlakuan dengan metil testosterone hasil yang diperoleh bukan peningkatan jenis kelamin jantan melainkan peningkatan jenis kelamin betina.

Dosis hormon yang dipergunakan pada kajian pertama tidak memberikan pengaruh secara nyata terhadap kelulushidupan benih setelah perendaman selama 4 jam. Jadi, dosis hormone hingga 8 ppm masih merupakan konsentrasi yang aman bagi kelulushidupan benih rajungan. Namun, lama waktu perendaman (kajian kedua) walaupun dengan dosis hormone sebesar 2 ppm akan memberikan pengaruh secara nyata (P<0,01) terhadap kelulushidupan benih setelah perendaman. Kajian tersebut memperlihatkan bahwa lama perendaman 4 jam memberikan nilai kelulushidupan tertinggi sebesar 98,3% kemudian lama perendaman 8 jam sebesar 80,93% dan kelulushidupan terendah pada lama perendaman 12 jam sebesar 49,5%. Katz et al dalam Hunter dan Donaldson (1983) menerangkan bahwa semakin tinggi dosis dan lama hormon yang diberikan dapat menyebabkan tingkat kematian yang tinggi, terganggunya pembentukan gonad dan hewan menjadi steril.

Nilai kelulushidupan benih uji selama pemeliharaan pada kajian dosis hormon secara berurutan dari dosis 2, 4, 8 dan 0 ppm; 22.0 ± 6.6%; 26.1± 1%; 31.9± 6.1% dan 28.4 ± 6.4%. Sedangkan pada kajian kedua (lama perendaman) nilai kelulushidupan benih uji hingga akhir kajian secara berurutan dari perlakuan lama perendaman 4, 8 dan 12 jam serta kontrol adalah; 19,8 ± 2,01%; 26,5 ± 7,61%; 37,5 ± 5.74% dan 28,5 ± 6,4 %. Berdasarkan analisa ragam, menunjukkan bahwa dosis hormon pada kajian pertama tidak memberikan pengaruh terhadap kelulushidupan benih selama pemeliharaan. Namun lama perendaman hormon pada kajian kedua memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap kelulushidupan benih selama pemeliharaan.

Pada kajian kedua (lama perendaman) nilai kelulushidupan selama pemeliharaan menunjukkan hasil yang berlawanan dengan persentase kelulushidupan saat perendaman. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kepadatan rajungan uji yang ditebar saat pemeliharaan, sedangkan luasan bak yang dipergunakan sama untuk setiap perlakuan. Dengan kepadatan yang lebih tinggi, secara otomatis akan menyebabkan laju kanibalisme yang tinggi pula.

Dari hasil akhir pemeliharaan, didapatkan biomass benih rajungan jantan lebih besar dibandingkan dengan biomas rajungan betina pada setiap perlakuan hormon. Namun pada perlakuan tanpa pemberian hormon (kontrol) didapatkan biomass betina yang lebih besar dibandingkan dengan jantan. Hal ini terjadi karena individu jantan lebih banyak dalam jumlah pada setiap perlakuan perendaman hormone. Secara individu, tidak ada perbedaan nyata terhadap berat individu kelamin jantan maupun individu kelamin betina.

Pada kajian dosis hormon didapatkan nilai SGR terbesar pada perlakuan dosis 4 ppm ; 0,26 gr/hari dan berturut perlakuan control; 0,18 gr/hari, dosis hormon 4 ppm; 0,16 gr/hari dan terendah dosis hormon 8 ppm; 0,15 gr/hari. Sedangkan pada kajian lama perendaman didapatkan nilai SGR terbesar pada perlakuan kontrol; 0,18 gr/hari dan berturut lama perendaman 8 jam; 0,16 gr/hari, lama perendaman 4 jam; 0,14 gr/hari dan terendah pada perendaman 12 jam sebesar 0,10 gr/hari.

Secara morfologi, jenis kelamin benih rajungan sudah terlihat jelas perbedaan antara jantan dan betina pada umur pemeliharaan Crab- 35 hari, namun masih banyak yang meragukan dikarenakan ukuran yang masih kecil (berat individu <2 gram). Pada umur pemeliharaan Crab 50, sudah terdeteksi jelas perbedaan jenis kelamin individu benih uji, dimana berat individu pada semua perlakuan dosis hormon > 3 gram.

IV. Kesimpulan

Dari kajian yang dilakukan dapatkan disimpulkan hal-hal sebagai berikut:1. Dosis hormon serta lama perendaman dengan hormon 17 α-metiltestosteron

memberikan perbedaan nyata (P<0,05) terhadap pengubahan kelamin benih rajungan menjadi jantan (maskulinisasi). Namun antar perlakuan dosis hormon tidak memberikan perbedaan hanya terdapat perbedaan dengan perlakuan tanpa pemberian hormon. Sedangkan dari kajian lama perendaman didapatkan bahwa perendaman 4 jam tidak berbeda terhadap perendaman 8 dan 12 jam, tetapi berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap perlakuan kontrol. Untuk perlakuan perendaman 8 jam tidak berbeda terhadap lama perendaman 12 jam, tetapi berbeda sangat nyata terhadap perlakuan kontrol. Sedangkan untuk perlakuan lama perendaman 12 jam tidak berbeda terhadap perlakuan Kontrol.

2. Dosis hormon 2 ppm memberikan nilai maskulin tertinggi pada benih rajungan sebesar 93,3 % dan terendah pada perlakuan tanpa pemberian hormon sebesar 56,9%.

3. Lama perendaman 4 jam dengan hormon memberikan nilai maskulin tertinggi sebesar 88,8% dan persentase terendah pada perlakuan tanpa perendaman hormon (kontrol) sebesar 52,9%.

4. Lama perendaman memberikan perbedaan nyata (P<0,01) terhadap survival rate benih saat perendaman dan perbedaan nyata (P<0,05) terhadap survival rate benih selama pemeliharaan. Sedangkan dosis hormon tidak memberikan perbedaan nyata terhadap survival rate benih saat perendaman maupun terhadap survival rate benih selama pemeliharaan.

5. Dari hasil akhir pemeliharaan, didapatkan biomass benih rajungan jantan lebih besar dibandingkan dengan biomas rajungan betina pada setiap perlakuan hormon. Namun pada perlakuan tanpa pemberian hormon (kontrol) didapatkan biomass betina yang lebih besar dibandingkan dengan jantan.

6. Secara individu, tidak ada perbedaan nyata terhadap berat individu kelamin jantan maupun individu kelamin betina.

V. Saran

Untuk mendapatkan nilai maskulin terbaik pada benih rajungan disarankan menggunakan konsentrasi hormon 17 α-metiltestosteron sebesar 2 ppm dengan lama perendaman selama 4 jam.

Ucapan Terima KasihDisampaikan ucapan terima kasih kepada kelompok pakan alami dan Sdr. Agus

Pudjiono atas bantuan dalam pengadaan pakan alami chlorella sp dan rotifer untuk produksi benih rajungan. Serta terima kasih kepada Sdri. Hermintarti dan mahasiswa Undip (Wahyu Utomo, Natalia Christiani dan Linda) dalam pengukuran kualitas air dan pengumpulan data.

Daftar Pustaka

BBPBAP Jepara. 2002. Press Release : Pembudidayaan Rajungan (Portunus pelagicus) Melalui Penerapan Teknik Modular di Jepara.

Djojosoebagyo, 1990. Fisiology Kelenjar Endokrin Vol.I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, IPB. Bogor.

Hadie,L. Dkk. 2001. Efektivitas Hormon α-Metiltestosteron terhadap Nisbah Kelamin Larva Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii). Prosiding Workshop Hasil Penelitian Budidaya Udang Galah 26 Juli 2001. Jakarta.

Hunter, G.A. and Donaldson. 1983. Hormonal Sex Control and Its Aplication to Fish Culture. In Fish Physiology (W.S. Hoar, D.J.Randall and E.M. Donaldson, Eds). Academic Press. New York.

Kusmini, I.I dkk. 2001. Pengaruh hormon 17 α-Metiltestosteron dalam Pakan terhadap Peningkatan Proporsi Kelamin Jantan Larva Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii). Prosiding Workshop Hasil Penelitian Budidaya Udang Galah 26 Juli 2001. Jakarta.

Juwana,S dan K.Romimuhtarto. 2000. Rajungan : Perikanan, Cara Budidaya dan Menu Masakan. Penerbit Djambatan.

Mardjono, M. et al. 2002. Produksi Benih Rajungan (Portunus pelagicus) untuk re-stocking. Laporan Tahunan Balai Budidaya Air Payau Th.2002. Jepara.

Mardjono, M. et al. 2003. Pemeliharaan Larva Sistem Berpindah untuk Menunjang Produksi Benih Rajungan (Portunus pelagicus). Laporan Tahunan Balai Budidaya Air Payau Th.2003. Jepara.

Piferrer, F and Donaldson. 1989. Gonadal differentiation in coho salmon, oncorhynchus kisutch, after a single treatment with androgen at different stages during ontogenis. Aquaculture. P.250 – 262.

Ruliaty,L. dkk. 2004. Pemeliharaan Larva Rajungan: Peningkatan Sintasan Benih Rajungan dengan Perbaikan pada Proses Produksi. Laporan Tahunan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau th.2004. Jepara.

Ruliaty,L. dkk. 2004. Pertumbuhan dan Sintasan Juvenile Rajungan pada Bak Terkendali (Belum Publikasi). Jepara.

Yamazaki, F. 1983. Sex Control and Manipulation in Fish. In Genetic Aquaculture. Elsevier Science Publishess B.V. New York.

Zairin, M. 2002. Sex Reversal : Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina. Penebar Swadaya. Jakarta.