Bab IV 2007dso
-
Upload
widibae-jokothole -
Category
Documents
-
view
16 -
download
10
Transcript of Bab IV 2007dso
39
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sistem Emulsi Yang Dihasilkan
Ukuran Partikel Sistem Emulsi
Dari tiga formula sistem emulsi yang dianalisa ukuran partikelnya
menggunakan fotomikroskop menunjukkan bahwa formula B dengan surfaktan
polietilen glikol (400) monooleat memberikan emulsi yang stabil dan ukuran
partikel seragam dengan ukuran partikel sekitar antara 6,6 – 7,2 μm. Pada
formula B terlihat bahwa formula dengan menggunakan virgin coconut oil
menghasilkan sistem emulsi yang lebih stabil dengan ukuran partikel yang relatif
seragam dibandingkan dengan menggunakan minyak silikon dan minyak mineral.
Hasil fotomikroskop formula A menunjukkan bahwa ukuran partikel
sistem emulsi sangat besar dan ukuran partikel kurang seragam, yaitu berkisar
antara 15,0 – 36,8 μm. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya komposisi bahan yang tidak sesuai antara surfaktan polietilen glikol
(400) dioleat dengan komposisi bahan yang lainnya, sehingga terjadi tumbukan
antara dua partikel membentuk partikel yang lebih besar yang disebut peristiwa
coalescence. Gambar fotomikroskop ukuran partikel untuk formula A dapat
dilihat pada Gambar 18.
Untuk formula B terlihat dari hasil analisa fotomikroskop sistem emulsi
yang menggunakan virgin coconut oil sebagai fase minyak memberikan ukuran
partikel yang relatif seragam sekitar 7,2 μm. Sedangkan yang menggunakan
minyak mineral dan minyak silikon tampak sistem emulsi kurang baik dengan
ukuran pertikel yang tidak seragam. Ukuran partikel untuk formula B dapat dilihat
pada Gambar 19.
Sistem emulsi formula C pada Gambar 20, tampak ukuran partikel yang
tidak seragam. Surfaktan sorbitan monooleat merupakan surfaktan non ionik
dengan HLB sekitar 3,8 - 4,2. Surfaktan jenis ini lebih baik digunakan dalam
sistem emulsi air dalam minyak daripada sistem emulsi minyak dalam air,
sehingga penggunaan surfaktan dalam sistem emulsi minyak dalam air
memberikan sistem emulsi yang tidak stabil.
40
Ukuran partikel sistem emulsi PEG (400) dioleat – Minyak silikon Ukuran partikel sistem emulsi PEG (400) dioleat – VCO
Ukuran partikel sistem emulsi PEG (400) dioleat – Minyak mineral
Gambar 18. Fotomikroskop sistem emulsi formula A
41
Ukuran partikel sistem emulsi PEG (400) monooleat – Minyak silikon
Ukuran partikel sistem emulsi PEG (400) monooleat – VCO
Ukuran partikel sistem emulsi PEG (400) monooleat – Minyak mineral
Gambar 19. Fotomikroskop sistem emulsi formula B
42
Ukuran partikel sistem emulsi sorbitan monooleat- Minyak silikon
Ukuran partikel sistem emulsi sorbitan monooleat- VCO
Ukuran partikel sistem emulsi sorbitan monooleat- Minyak mineral
Gambar 20. Fotomikroskop sistem emulsi formula C
43
Setelah disimpan selama tiga bulan, ukuran partikel sistem emulsi untuk
semua formula menjadi lebih besar. Ukuran partikel formula A antara 6,7 – 38,6
μm, formula B antara 5 – 10,8 μm, dan formula C antara 3,6 – 12,3 μm.
Ukuran partikel sistem emulsi PEG (400) dioleat – Minyak silikon
Ukuran partikel sistem emulsi PEG (400) dioleat – VCO
Ukuran partikel sistem emulsi PEG (400) dioleat – Minyak mineral Gambar 21. Fotomikroskop sistem emulsi formula A setelah disimpan 3
bulan
44
Ukuran partikel sistem emulsi PEG (400) monooleat – Minyak silikon
Ukuran partikel sistem emulsi PEG (400) monooleat - VCO
Ukuran partikel sistem emulsi PEG (400) monooleat – Minyak mineral
Gambar 22. Fotomikroskop sistem emulsi formula B setelah disimpan 3 bulan
45
Ukuran partikel sistem emulsi sorbitan monooleat – Minyak silikon
Ukuran partikel sistem emulsi sorbitan monooleat - VCO
Ukuran partikel sistem emulsi sorbitan monooleat – Minyak mineral
Gambar 23. Fotomikroskop sistem emulsi formula C setelah disimpan 3
bulan
46
Analisa ukuran partikel terhadap produk komersial dilakukan pada produk
X, Y dan Z. Dari Gambar 24, tampak bahwa ukuran partikel untuk produk
komersial berkisar antara 4,1-5,5 μm.
Ukuran partikel sistem emulsi X
Ukuran partikel sistem emulsi Y
Ukuran partikel sistem emulsi Z
Gambar 24. Fotomikroskop sistem emulsi produk komersil
47
Stabilitas Relatif Sistem Emulsi
Hasil pengukuran rata-rata stabilitas relatif emulsi pada sistem emulsi
dapat dilihat pada Gambar 25. Dari hasil uji keragaman menunjukkan perbedaan
penggunaan jenis minyak memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap stabilitas
relatif emulsi pada α = 0,05. Berdasarkan uji lanjut Duncan pada Lampiran 11
didapatkan bahwa untuk perlakuan d (PEGMO + VCO), e (PEGMO + SO), f
(PEGMO + MO) dan a (PEGDO + VCO) berbeda nyata. Untuk formulasi yang
lainnya menunjukkan perbedaan yang tidak nyata.
Nilai stabilitas tertinggi diperoleh pada formula B berkisar antara 93-98%.
Nilai stabilitas tertinggi diperoleh pada formulasi yang menggunakan virgin
coconut oil yaitu 98%. Sedangkan formula A stabilitas relatif emulsinya berkisar
antara 86-92% dan stabilitas relatif emulsi formula C berkisar antara 80-88%.
Secara keseluruhan tampak pada histogram dibawah ini bahwa formula A,
formula B dan formula C yang didalam formulasinya menggunakan virgin
coconut oil memberikan kestabilan relatif emulsi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan menggunakan minyak mineral maupun minyak silikon. Hal ini
menujukkan bahwa penggunaan virgin coconut oil untuk produk kosmetika cukup
baik karena sifat dari virgin coconut oil yang mempunyai densitas lebih tinggi
dari minyak silikon dan minyak mineral, sehingga produk yang diperoleh menjadi
lebih stabil.
Stabilitas relatif emulsi menunjukkan kestabilan suatu bahan dimana
partikel yang terdapat dalam bahan tidak mempunyai kecenderungan untuk
bergabung dengan partikel lain dan membentuk lapisan yang terpisah. Faktor
mekanis dan proses pembentukkan emulsi merupakan faktor kritis dalam stabilitas
emulsi dan viskositas. Komposisi bahan yang tidak tepat, ketidakcocokan bahan,
kecepatan pengadukan dan pemanasan yang tidak tepat juga menyebabkan sistem
emulsi menjadi tidak stabil.
Tidak sesuainya rasio antara fase terdispersi dan fase pendispersi serta
jumlah dan penggunaan emulsifier juga menentukan kestabilan relatif emulsi. Air
yang digunakan dalam formulasi juga dapat mempengaruhi kestabilan relatif
emulsi. Menurut Keithler (1956) stabilitas emulsi tergantung pada penambahan air
48
yang banyak sebagai elektrolit yang dapat larut yang secara langsung
mempengaruhi produk.
Pengamatan secara visual yang dilakukan terhadap produk menunjukkan
bahwa produk tidak mengalami perubahan warna, perubahan bentuk atau menjadi
lapisan yang terpisah.
Gambar 25. Histogram stabilitas relatif emulsi
Viskositas Sistem Emulsi
Dari hasil pengamatan terhadap viskositas pada sistem emulsi, untuk
formula A berkisar antara 8.800 -8200 cP, fomula B berkisar antara 9.400-9.000
cP dan formula C berkisar antara 8.600-7.400 cP. Hasil uji keragaman pada
Lampiran 12 menunjukkan bahwa nilai viskositas berbeda nyata pada α = 0,05
terhadap jenis surfaktan dan jenis minyak. Berdasarkan uji lanjut Duncan
didapatkan bahwa untuk perlakuan d (PEGMO + VCO) tidak beda nyata dengan
perlakuan e (PEGMO + SO). Tetapi pada perlakuan d (PEGMO + VCO) dengan
perlakuan f (PEGMO + MO) berbeda nyata.
Viskositas sistem emulsi terbesar diperoleh pada formula B dengan
menggunakan virgin coconut oil, yaitu 9400 cP sedangkan viskositas terkecil
diperoleh pada formula C yaitu formulasi yang menggunakan sorbitan monooleat
sebagai surfaktan dan minyak mineral sebesar 7.400 cP.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Stab
ilita
s R
elat
if Em
ulsi
(%
)
VCO SO MO
49
Pada Gambar 26 terlihat kecenderungan penurunan nilai viskositas setelah
produk disimpan selama 3 bulan. Hasil uji keragaman pada Lampiran 13
menunjukkan bahwa nilai viskositas berbeda nyata pada α = 0,05 terhadap jenis
surfaktan dan jenis minyak. Berdasarkan uji lanjut Duncan didapatkan bahwa
untuk perlakuan d (PEGMO + VCO) beda nyata dengan perlakuan e (PEGMO +
SO) perlakuan a (PEGDO + VCO) dan perlakuan f (PEGMO + MO).
Dari histogram tersebut didapatkan nilai viskositas tertinggi pada
formulasi yang menggunakan surfaktan polietilen glikol (400) monooleat dan
virgin coconut oil dengan viskositas 8800 cP. Hal tersebut menunjukkan
keterkaitan antara stabilitas emulsi dengan nilai viskositas. Nilai viskositas
menurun berarti stabilitas emulsi juga menurun karena terjadinya gerakan antara
partikel-partikel pendispersi dan yang terdispersi.
Gambar 26. Histogram viskositas sistem emulsi
Hasil pengamatan pada produk lotion yang ada di pasaran dilakukan untuk
membandingkan dengan produk yang dihasilkan. Nilai viskositas produk
komersial dari X, Y dan Z berkisar antara 10.200-14.800 cP dapat dilihat pada
Gambar 27. Dari hasil pengukuran tersebut terlihat bahwa sistem emulsi yang
dihasilkan memiliki nilai viskositas yang jauh lebih kecil dibanding dengan
produk komersil. Hal ini terjadi karena pada sistem emulsi yang dibuat tidak
menggunakan bahan yang berfungsi sebagai bahan pengental seperti halnya
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Visk
osita
s (c
P)
VCO SO M O
50
gelatin, sehingga sistem emulsi yang dibuat menjadi agak encer. Nilai viskositas
berkaitan dengan kestabilan emulsi suatu bahan yang artinya berkaitan dengan
nilai stabilitas relatif emulsi bahan. Semakin tinggi viskositas suatu bahan, maka
bahan tersebut akan makin stabil karena pergerakan partikel cenderung sulit
dengan semakin kentalnya suatu bahan. Viskositas merupakan salah satu
parameter penting dalam produk-produk emulsi, khususnya skin lotion.
Gambar 27. Histogram viskositas produk komersil
Tegangan Permukaan dan Tegangan Antar Muka Sistem Emulsi
Emulsifier atau zat pengemulsi didefinisikan sebagai senyawa yang
mempunyai aktivitas permukaan (surface-active agents), sehingga dapat
menurunkan tegangan permukaan (surface tension) antara udara-cairan dan
cairan-cairan yang terdapat dalam suatu sistem (Schueller & Romanowski, 1999).
Kemampuannya menurunkan tegangan permukaan menjadi hal menarik
karena emulsifier memiliki struktur kimia yang mampu menyatukan dua senyawa
yang berbeda polaritasnya. Tingkat penurunan tegangan permukaan oleh senyawa
pengemulsi berkisar antara 50 dyne/cm hingga kurang dari 10 dyne/cm jika
digunakan pada konsentrasi lebih kecil dari 0,2%.
Sejumlah energi dibutuhkan guna membentuk antar permukaan yang baru
pada suatu sistem emulsi. Mula-mula suatu cairan di dispersikan dengan cara
mekanis ke dalam cairan yang lain. Besarnya kerja yang diperlukan untuk
0
2
4
6
8
10
12
14
16
Visk
osita
s (c
P)
Z X Y
51
membentuk globula-globula yang berbentuk bola sangat ditentukan oleh besarnya
diameter globula tersebut.
Tegangan permukaan dan tegangan antar muka sistem emulsi dalam
penelitian ini diukur dengan menggunakan alat Surface Tensiomart Model 21.
Tegangan permukaan sistem emulsi relatif stabil setelah disimpan selama 3 bulan
(Gambar 28), ada sedikit kenaikan tegangan permukaan namun kenaikannya
tidak terlalu tajam karena secara visual sistem emulsi tidak membentuk lapisan-
lapisan. Hal ini terjadi karena adanya interaksi diantara partikel-partikel surfaktan
sehingga menaikkan energi permukaan.
Dari hasil uji keragaman pada Lampiran 14 dan 15 menunjukkan bahwa
jenis surfaktan dan jenis minyak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada
α = 0,05 terhadap tegangan permukaan pada saat awal ataupun setelah disimpan
selama 3 bulan. Berdasarkan uji lanjut Duncan didapatkan bahwa perlakuan d
(PEGMO + VCO), e (PEGMO + SO), f (PEGMO + MO) dan a (PEGDO + VCO)
berbeda nyata.Untuk formulasi yang lainnya menunjukkan perbedaan yang nyata
pula.
Penggunaan surfaktan polietilen glikol (400) monoleat memberikan nilai
tegangan permukaan relatif rendah bila dibandingkan dengan menggunakan
surfaktan polietilen glikol (400) dioleat dan sorbitan monooleat. Penurunan
tegangan permukaan berkaitan dengan kestabilan emulsi, tegangan permukaan
semakin kecil berarti sistem emulsi relatif lebih stabil. Tegangan permukaan
terendah diperoleh pada surfaktan polietilen glikol (400) monooleat dengan fase
minyak virgin coconut oil sebesar 30,0 dyne/cm, tegangan permukaan tertinggi
sebesar 37 dyne/cm pada surfaktan sorbitan monooleat dengan minyak mineral
sebagai fase minyak.
Tegangan permukaan produk komersil berkisar antara 29,0-30,2 dyne/cm.
Tegangan permukaan sistem emulsi sedikit lebih tinggi dari tegangan permukaan
komersil, kemungkinan ini terjadi karena bahan-bahan penyusun emulsi yang
berbeda. Tegangan permukaan produk komersil dapat dilihat pada Gambar 29.
52
Gambar 28. Histogram tegangan permukaan sistem emulsi
Gambar 29. Histogram tegangan permukaan produk komersil
Penggunaan surfaktan selain menurunkan tegangan permukaan juga dapat
menurunkan tegangan antar muka, meningkatkan kestabilan partikel yang
terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi.
Dari hasil uji keragaman pada Lampiran 16 dan 17 menunjukkan bahwa
jenis surfaktan dan jenis minyak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada
α = 0,05 terhadap tegangan antar muka pada saat awal ataupun setelah disimpan
0
5
10
15
20
25
30
35
Tega
ngan
Per
muk
aan
(dyn
e/cm
)
Z X Y
PEG
DO PE
GD
O 3
BLN
PEG
MO
PEG
MO
3 B
LNSM
OSM
O 3
BLN
PEG
DO
PEG
DO
3 B
LNPE
GM
OPE
GM
O 3
BLN
SMO SM
O 3
BLN
PEG
DO
PEG
DO
3 B
LNPE
GM
OPE
GM
O 3
BLN SM
O SMO
3 B
LN
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Tega
ngan
Per
muk
aan
(dyn
e/cm
)
VCO SO MO
53
selama 3 bulan. Berdasarkan uji lanjut Duncan didapatkan bahwa perlakuan d
(PEGMO + VCO), e (PEGMO + SO), f (PEGMO + MO) dan a (PEGDO + VCO)
berbeda nyata. Untuk formulasi yang lainnya menunjukkan perbedaan yang nyata
pula.
Dilihat dari tegangan antar muka antara sistem emulsi dengan xylena,
terlihat bahwa tegangan antar muka sistem emulsi yang cenderung stabil setelah
disimpan selama tiga bulan. Tegangan antar muka terkecil pada formulasi
surfaktan polietilen glikol (400) monooleat dengan virgin coconut oil sebesar 16,2
dyne/cm. Tegangan antar muka untuk seluruh formula berkisar antara 16,2 – 19
dyne/cm. Histogram tegangan antar muka sistem emulsi dapat dilihat pada
Gambar 30.
Gambar 30. Histogram tegangan antar muka sistem emulsi
Tegangan antar muka produk komersil dapat dilihat pada Gambar 31.
Produk komersil mempunyai tegangan antar muka berkisar antara 16,4-18,8
dyne/cm. Terjadinya gaya bebas yang bekerja diantara molekul-molekul pada
permukaan batas atau antar muka dari dua cairan memberikan gaya resultan yang
seimbang.
PEG
DO
PEG
DO
3 B
LNPE
GM
OPE
GM
O 3
BLN
SMO
SMO
3 B
LN
PEG
DO
PEG
DO
3 B
LNPE
GM
O PEG
MO
3 B
LNSM
O SM
O 3
BLN PE
GD
OPE
GD
O 3
BLN
PEG
MO
PEG
MO
3 B
L NSM
OSM
O 3
BLN
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Tega
ngan
Ant
ar M
uka
(dyn
e/cm
)
V C O SO M O
54
Gambar 31. Histogram tegangan antar muka produk komersil
Hasil Sintesis Polimer Alami Derajat Deasetilasi dan Berat Molekul Chitosan
Dari spektrum FTIR pada Gambar 32 diketahui derajat deasetilasi chitosan
adalah 58 %. Standar mutu chitosan menurut laboratorium Protan dalam
Bastaman (1989) merekomendasikan bahwa chitosan yang memenuhi standar
mutu harus mempunyai derajat deasetilasi lebih dari sama dengan 70%.
Chitosan yang digunakan dalam penelitian ini tidak memenuhi standar
mutu laboratorium Protan, hal ini terjadi karena bahan baku chitosan yang
digunakan rendah kemurniannya, sehingga masih banyak mengandung gugus
asetil sebagai akibat dari proses deasetilasi chitin yang tidak sempurna.
Sementara Cho et al. (2006) melaporkan hasil penelitiannya bahwa derajat
deasetilasi chitosan sebesar 92% dengan berat molekul 2,2 x 105 g/mol.
0
5
10
15
20
Tega
ngan
Ant
ar M
uka
(dyn
e/cm
)
Z X Y
55
Gambar 32. Spektrum FTIR film chitosan
Berat molekul bahan baku chitosan dianalisa dengan menggunakan
metoda pengukuran viskositas polimer kemudian dihitung berat molekulnya
dengan menggunakan persamaan Mark-Houwink-Sakurada. Berat molekul
chitosan diperoleh sebesar 4,92 x 104 gram/mol. Berat molekul semakin besar
maka rantai polimer akan semakin banyak , sehingga pada saat sintesis akan
semakin banyak senyawa 3-kloro-2 hidroksipropil trimetil amonium klorida
(CHTAC) yang akan bereaksi dengan chitosan.
Pembuatan polimer kationik chitosan dilakukan dengan menggunakan
perbandingan mol antara chitosan dengan pereaksi 3-kloro-2 hidroksipropil
trimetil amonium klorida (CHTAC) dengan perbandingan 1:3; 1:4 dan 1:6.
Skema sintesis polimer alami dari chitosan yang menghasilkan turunan
chitosan amonium kuartener dapat dilihat pada Gambar 33.
500750100012501500175020002250250027503000325035003750400042501/cm
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
2.2
2.4
Abs
3450
.65
3425
.58
3396
.64 33
75.4
333
58.0
732
71.2
732
40.4
132
30.7
731
99.9
131
11.1
830
78.3
930
41.7
430
08.9
529
14.4
428
79.7
2
2368
.59
2098
.55
1641
.42
1560
.41
1408
.04
1384
.89
1332
.81
1259
.52
1153
.43
1068
.56
1037
.70
1028
.06
948.
9889
6.90
646.
15
f ilm chitosan
νOH
νC-N
abs
1/cm
56
+
Gambar 33. Skema reaksi chitosan dengan CHTAC (Cho et al., 2006)
Analisis Spektrum FTIR Chitosan Kationik
Turunan chitosan amonium kuartener terbentuk dengan adanya
penambahan sejumlah kecil asam asetat yang meningkatkan terjadinya kecepatan
reaksi dan membuat terjadinya substitusi ion Cl- dari CHTAC dengan gugus amin
yang terdapat pada chitosan. Terjadinya reaksi dalam suasana asam memudahkan
terlepasnya ion H+ pada gugus amin yang diikuti dengan meningkatnya kecepatan
O
CH2OH
H NH2
OH HH
OO
H
H
O
OH
H
NH
H
O
CH2OH
COCH3
O
CH2OH
H
OH HH
H O
n
Cl-CH3-CH-CH2 N+
CH3
CH3
CH3OHCl-
O
CH2OH
H NH2
OH HH
OO
H
H
O
OH
H
NH
H
O
CH2OH
COCH3
O
CH2OH
H HN
OH HH
H O
CH-CH-CH2 N+
CH3
CH3
CH3
OH
Cl-
n
Chitosan
3-kloro-2 hidroksipropil trimetil amonium klorida
Chitosan amonium kuartener
57
reaksi. Sedangkan kondisi alkali akan mempercepat terjadinya konjugasi gugus
hidroksil (-OH) dalam tulang punggung chitosan. Dengan terjadinya reaksi
tersebut, polimer kationik menjadi bersifat larut dalam air, hal ini dapat
dibuktikan dengan menganalisis spektrum FTIR.
Spektrum FTIR dari chitosan dan turunan chitosan amonium kuartener
1:3, 1:4 dan 1:6, dapat dilihat pada Gambar 34, 35, 36, 37 dan 38. Puncak pada
frekuensi (angka gelombang) 1412 cm-1 menunjukkan pita metil dari CHTAC,
tampak pada spektrum untuk turunan chitosan amonium kuartener tetapi spektrum
tersebut tidak nampak pada chitosan yang tidak di modifikasi (Gambar 37). Pada
frekuensi 1525 cm-1 tampak pita dari gugus amina primer dalam chitosan, dan
area puncak menurun untuk semua spektrum turunan chitosan amonium
kuartener. Dengan analisa FTIR maka dapat dilihat terjadinya konjugasi dari
CHTAC ke dalam gugus amina dari chitosan.
Gambar 34. Spektrum FTIR chitosan amonium kuartener 1:3
70080090010001100120013001400150016001700180019001/cm
61.5
63
64.5
66
67.5
69
70.5
72
73.5
75
76.5
78
79.5
81
%T
1882
.52
1853
.59
1778
.37
1753
.29
1664
.57
1568
.13
1543
.05
1527
.62
1483
.26
1409
.96
1377
.17
130
5.81 12
55.6
6
1147
.65
1076
.28
1016
.49
898.
83 796.
60
719.
45
696.
30
638.
44
Kationik chitosan 1:3
νN-H
νC-N
νC-C
νCH3 abs
1/cm
58
Gambar 35. Spektrum FTIR chitosan amonium kuartener 1:4
Gambar 36. Spektrum FTIR chitosan amonium kuartener 1:6
70080090010001100120013001400150016001700180019001/cm
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
%T
1930
.74
1899
.88
1878
.67
1855
.52
1811
.16
1755
.22
1712
.79
1664
.57
1570
.06
1521
.84
1485
.19 14
08.0
4
1377
.17
1357
.89
1300
.02 12
53.7
3
1143
.79
1080
.14
972.
12
898.
83
850.
61
729.
09
642.
30
Kationik chitosan 1:4
νN-H
νC-N
νC-C
νCH3 abs
1/cm
70080090010001100120013001400150016001700180019001/cm
58.5
60
61.5
63
64.5
66
67.5
69
70.5
72
73.5
75
%T
1525
.26
1515
.51
1412
.16
1380
.96
1314
.66
1302
.96
1252
.26
1148
.91
1039
.71
1008
.51
987.
06
942.
21
895.
41
858.
3684
0.81
803.
76
673.
11
649.
71
kationik chitosan 2
νN-H
νC-N
νC-C νCH3
1/cm
abs
59
Gambar 37. Spektrum FTIR chitosan
a. Chitosan, (B) Chitosan amonium kuartener 1:6, (C) Chitosan amonium kuartener 1:4, (D) Chitosan amonium kuartener 1:3
Gambar 38. Spektrum FTIR chitosan dan chitosan kationik
600700800900100011001200130014001500160017001800
42
44
46
48
50
52
54
56
58
60
62
64
66
68
%T
1658
.78
1587
.42
1560
.41
1415
.75
1377
.17
1307
.74
1261
.45
1149
.57
1072
.42
997.
20
950.
91
896.
90
648.
08
605.
6559
0.22
νC-N νN-H
abs
1/cm
60070080090010001100120013001400150016001700180019001/cm
45
50
55
60
65
70
75
80
85
90
95
%T
kationik chitosan 21Kationik chitosan 1,31Kationik chitosan 1,41
chitosan mmw-1
chitosan mmw- 1/cm
abs
νC-N νN-H
νCH3
νC-C
A
B
C
D
60
Analisis Spektrum NMR Chitosan Kationik
Selanjutnya untuk melihat bahwa terjadi reaksi antara chitosan dengan
CHTAC, maka dilakukan analisis 1H NMR dari turunan chitosan amonium
kuartener 1:3, 1:4 dam 1:6. Posisi puncak dari masing-masing gugus fungsi dapat
dilihat pada gambar 39, 40 dan 41. Dari spektrum NMR, puncak pada δ = 1,9
ppm tampak gugus -COCH3 dari chitin dan pada δ = 3,5 - 3,6 ppm tampak adanya
gugus C-3,4,5,6. Pada puncak δ = 3,1 ppm dan 3,3 ppm menunjukkan gugus -+N(CH3)3 dan –N-CH2 secara berturut-turut yang berasal dari CHTAC.
Cho et al. (2006) melaporkan bahwa pada δ = 1,9 adalah puncak untuk
gugus -COCH3 yang berasal dari chitin. Pada puncak δ = 3,1 ppm dan 3,3 ppm
menunjukkan gugus -+N(CH3)3 dan –N-CH2 dan pada δ = 3,5 – 4,0 ppm ada
gugus C-3,4,5,6.
Gambar 39. Spektrum 1H NMR chitosan amonium kuartener 1:3
61
Gambar 40. Spektrum 1H NMR chitosan amonium kuartener 1:4
Gambar 41. Spektrum 1H NMR chitosan amonium kuartener 1:6
O
O
CH2OH
HN CH2 CH CH2
OH
N+
CH3
CH3
CH3
OOH
1
23
45
6
a b c Cl-
62
Kelarutan Chitosan Kationik
Kelarutan polimer chitosan amonium kuartener dapat ditentukan dengan
cara melarutkan bahan tersebut dalam air dan diukur kelarutannya yang berfungsi
sebagai konsentrasi polimer dengan menggunakan alat UV- Visible Spektrometer
pada panjang gelombang 600 nm.
Nilai transmitan sangat dipengaruhi oleh konsentrasi polimer chitosan
ammonium kuartener, pada konsentrasi kurang dari 0,4 g/dL, transmitan relatif
konstan (Gambar 42).
Gambar 42. Transmitan UV-Visible dari chitosan amonium kuartener
Pada konsentrasi chitosan amonium kuartener diatas 1 g/dL, transmitan
mulai menurun dari 97% hingga 62 %. Dengan menggunakan ekstrapolasi pada
transmitan 50 % konsentrasi kelarutan chitosan amonium kuartener dalam air
dapat diperkirakan yaitu sebesar 30 g/dL. Kelarutan chitosan amonium kuartener
ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Cho et al. (2006), yaitu pada konsentrasi 25 g/dL. Terjadinya substitusi ion Cl-
dari CHTAC kedalam rantai polimer chitosan meningkatkan kelarutan chitosan
tersebut dalam air secara signifikan.
40
50
60
70
80
90
100
0.2 0.4 0.6 0.8 1 2 3 5 7 10 20 30 40
Konsentrasi Polimer (g/dL)
Tran
smita
n (%
)
63
Analisis Spektrum FTIR Selulosa Kationik
Sintesis polimer kationik dari selulosa menggunakan reaktor pada suhu
50oC selama 2 jam dan reaksi dilanjutkan hingga suhu 76 oC selama 15 menit
dengan kondisi variasi CHTAC yang sama dengan sintesa chitosan. Dari analisis
spektrum FTIR puncak pada frekuensi 1475 cm-1 menunjukkan pita metil dari
CHTAC, tampak pada spektrum untuk turunan selulosa amonium kuartener,
namun pita dari gugus metil dalam selulosa bergeser hingga frekuensi 1471 cm-1.
Untuk selulosa yang tidak dimodifikasi tidak nampak adanya pita metil pada
frekuensi tersebut. Spektrum FTIR dari selulosa dan turunan selulosa dapat dilihat
pada Gambar 43, 44, 45, 46 dan 48.
Gambar 43. Spektrum FTIR selulosa
50075010001250150017502000225025002750300032503500375040001/cm
55
57.5
60
62.5
65
67.5
70
72.5
75
77.5
80
82.5
85
87.5
90
%T
3776
.62
3626
.17
3577
.95
3275
.13
3142
.04 30
84.1
8
2889
.37
2833
.43
2740
.85
2524
.82
2453
.45
2376
.30
2131
.34 20
67.6
9
1764
.87
1660
.71
1431
.18
1357
.89
1323
.17
1282
.66 12
40.2
312
01.6
511
57.2
9
1105
.21
1053
.13
993.
34
898.
83
657.
7361
1.43
561.
29
selulosa
νΟΗ
νC-O-C
abs
1/cm
64
Gambar 44. Spektrum FTIR selulosa amonium kuartener 1:3
Gambar 45. Spektrum FTIR selulosa amonium kuartener 1:4
50075010001250150017502000225025002750300032503500375040001/cm
35
40
45
50
55
60
65
70
75
80
85
%T
3981
.08
3778
.55
3304
.06
3286
.70
3265
.49
3248
.13
2980
.02
2943
.37
2883
.58
2833
.43
2372
.44
2156
.42
2115
.91
1766
.80
1575
.84
1477
.47
1413
.82
1371
.39
1269
.16
1236
.37
1199
.72
1153
.43
1064
.71 10
26.1
3
902.
69
657.
7361
1.43
576.
7256
3.21
532
35
selulosa 1:4
νC-O-C
νΟΗ νCH3
abs
1/cm
50075010001250150017502000225025002750300032503500375040001/cm
47.5
50
52.5
55
57.5
60
62.5
65
67.5
70
72.5
75
77.5
80
82.5
%T
3965
.65
3693
.68
3523
.95
3286
.70
3034
.03
2945
.30
2881
.65
2835
.36
2553
.75 24
99.7
5
2372
.44
230
4.94
2117
.84
1570
.06
1477
.47
1413
.82
1371
.39
1323
.17
1271
.09
1236
.37
1201
.65
1153
.43
78 26.1
3
902.
69
754.
17
655.
8061
9.15
597.
93 563.
21
selulosa 1:3
νOH
νC-O-C
νCH3
abs
1/cm
65
Gambar 46. Spektrum FTIR selulosa amonium kuartener 1:6
(A) Selulosa, (B) Selulosa amonium kuartener 1:6, (C) Selulosa amonium kuartener 1:4, (D) Selulosa amonium kuartener 1:3
Gambar 47. Spektrum FTIR selulosa dan selulosa kationik
50075010001250150017502000225025002750300032503500375040001/cm
%T
SmoothSmoothSmoothSmooth
selulosa 1 6
A
C
B
D νOH νCH3
νC-O-C
abs
1/cm
5075010001250150017502000225025002750300032503500375040001/cm
40
42.5
45
47.5
50
52.5
55
57.5
60
62.5
65
67.5
70
72.5
75
77.5
80
82.5
85
%T
3984
.93
3383
.14
3327
.21
3305
.99
3267
.41
3032
.10
2954
.95
2931
.80
2497
.82
2362
.80
2333
.87
2117
.84
1772
.58
1664
.57
1575
.84
1471
.69
1450
.47
1357
.89
1301
.95
1147
.65
1099
.43
1064
.71
1028
.06
968.
2791
8.12
875.
6882
5.53
775.
3872
7.16
651.
94
selulosa 1:6
νΟΗ
νC-O-C
νCH3
abs
1/cm
66
Skema sintesis polimer alami dari selulosa yang menghasilkan turunan selulosa
amonium kuartener dapat dilihat pada Gambar 48.
+
Gambar 48. Skema reaksi selulosa dengan CHTAC (Drovetskaya et al., 2004)
Cl-CH3-CH-CH2 N+
CH3
CH3
CH3OHCl-
O
O
OH
OHH
CH2OH
n
O
O
OH
OHH
H2C
O-CH2-CH-CH2
N+ CH3
CH3
H3C
OH
n
Cl-
Selulosa
3-kloro-2 hidroksipropil trimetil amonium klorida
Selulosa amonium kuartener
67
Analisis Spektrum NMR Selulosa Kationik
Dari hasil analisa 1H NMR untuk selulosa yang telah dimodifikasi dapat
dilihat pada Gambar 49.
Gambar 49. Spektrum 1H NMR selulosa amonium kuartener
Dari spektrum NMR, puncak pada δ = 3,4-3,5 ppm tampak adanya gugus
C-3,4,5,6. Puncak pada δ = 3,2 ppm menunjukkan gugus -+N(CH3)3 yang berasal
dari CHTAC.
Hasil Aplikasi Polimer Kationik Pada Formula Skin Lotion
Komposisi formula skin lotion yang digunakan adalah polietilen glikol
(400) monooleat, cetil alkohol, asam stearat, VCO, metil paraben, TEA, propilen
glikol, air, chitosan kationik dan selulosa kationik.
O
O
CH2O
OOH
1
23
45
6CH-CH-CH3
OH
N+ CH3H3C
CH3
H
Cl-
68
Analisis aplikasi polimer kationik pada sistem emuilsi skin lotion meliputi
pengamatan terhadap ukuran partikel menggunakan fotomikroskop, derajat
keasaman, pengukuran stabilitas produk, dan total mikroba.
Ukuran Partikel Formula Skin Lotion
Pada penelitian pendahuluan diperoleh banwa sistem emulsi yang relatif
stabil dan lebih baik sifat fisiknya yaitu pada formulasi B yang menggunakan
surfaktan polietilen (400) monooleat dengan virgin coconut oil sebagai fase
minyak. Untuk selanjutnya pembuatan skin lotion menggunakan formula tersebut
dengan penambahan chitosan dan selulosa kationik yang berfungsi sebagai bahan
penstabil dan pengental.
Dari hasil fotomikroskop tampak bahwa dengan adanya penambahan
polimer chitosan kationik dan selulosa kationik terhadap sistem emulsi
menunjukkan bahwa produk skin lotion tersebut memiliki ukuran parikel yang
lebih kecil, lebih stabil dan lebih kental bila dibandingkan dengan produk yang
tidak menggunakan polimer kationik. Dengan memvariasikan konsentrasi
polimer kationik untuk chitosan 0,01, 0,05 dan 0,1 %, hasil analisa fotomikroskop
dapat dilihat pada Gambar 50. Pada konsentrasi chitosan amonium kuatener
0,05% produk skin lotion lebih stabil dibandingkan dengan produk skin lotion
yang ditambahkan 0,01 dan 0,1% chitosan amonium kuartener dengan ukuran
partikel sekitar 4,1 µm. Pada produk skin lotion dengan penambahan 0,1%
chitosan amonium kuartener terlihat skin lotion agak creamy dan sulit dituang
karena viskositasnya tinggi.
Konsentrasi selulosa yang ditambahkan ke dalam produk skin lotion yaitu
sebesar 0,1, 0,5 dan 1,0%, hasil analisa fotomikroskop dapat dilihat pada Gambar
51. Pada konsentrasi 0,1% produk skin lotion lebih stabil dan mempunyai ukuran
partikel yang relatif kecil bila dibandingkan dengan penambahan selulosa
amonium kuartener 0,5% dan 1%. Hal tersebut membuktikan bahwa dengan
penambahan sedikit saja polimer kationik ke dalam produk skin lotion mampu
meningkatkan kestabilan serta kekentalan dengan ukuran partikel yang lebih kecil.
69
Konsentrasi chitosan amonium kuartener 0,01%
Konsentrasi chitosan amonium kuartener 0,05 %
Konsentrasi chitosan amonium kuartener 0,1%
Gambar 50. Fotomikroskop sistem emulsi polimer chitosan kationik
70
Konsentrasi selulosa amonium kuartener 0,1%
Konsentrasi selulosa amonium kuartener 0,5%
Konsentrasi selulosa amonium kuartener 1%
Gambar 51. Fotomikroskop sistem emulsi polimer selulosa kationik
71
pH Formula Skin Lotion
Nilai pH merupakan nilai yang menunjukkan derajat keasaman suatu
bahan, yang dapat diketahui dengan menggunakan alat pH-meter ataupun
indikator pH. Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) lotion bayi, nilai pH yang
disyaratkan berkisar 4,0-7,5. Produk kosmetika yang memiliki nilai pH yang
sangat tinggi atau sangat rendah dapat menambah daya absorpsi kulit sehingga
menyebabkan kulit teriritasi. Oleh karena itu pH untuk produk kosmetika
sebaiknya dibuat sesuai dengan pH kulit yaitu antara 4,5-7,5.
Menurut Sudarwanto (1996), produk kosmetika yang memiliki pH yang
jauh dengan pH fisiologis kulit (4,5-5,5) akan lebih mudah mengiritasi kulit. Kulit
dilapisi oleh mantel asam yaitu lapisan lembab yang bersifat asam di permukaan
kulit. Mantel asam ini terbentuk dari asam lemak yang berasal dari minyak kulit,
asam susu dalam keringat serta asam amino. Mantel asam ini berfungsi
melindungi kulit dari kekeringan, infeksi bakteri dan kapang. Mantel asam akan
rusak bila sering terkena bahan atau kosmetika yang mempunyai pH jauh berbeda
dengan pH fisiologis kulit.
Pada hasil pengukuran produk lotion didapat bahwa pH berkisar antara
6,35-7,28, nilai tersebut masih berada dalam kisaran nilai pH yang disyaratkan
oleh Standar Nasional Indonesia untuk lotion bayi 16-4952-1998, sehingga
produk yang dihasilkan relatif aman digunakan pada kulit.
Uji banding yang dilakukan pada produk skin lotion komersial
menunjukkan nilai pH pada produk komersial berkisar antara 7,25-7,88. Nilai pH
produk komersial jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produk skin lotion yang
dibuat, sehingga dapat disimpulkan bahwa produk skin lotion yang dihasilkan
relatif lebih aman dibandingkan produk komersial karena nilai pH-nya tidak
terlalu jauh dengan nilai pH fisiologis kulit. Perbedaan nilai pH antara formula
skin lotion dengan produk komersial disebabkan oleh komposisi bahan
penyusunnya yang berbeda pula.
Hasil pengukuran analisis pH formula skin lotion dan produk komersial
dapat dilihat pada Tabel 4.
72
Tabel 4. Hasil analisis pH formula skin lotion dan produk komersil
Formula pH 1. Produk Komersil
Z 7,48 X 7,25 Y 7,88
2. Formula sistem emulsi skin lotion PEGMO + VCO+ CHITOSAN 0,01% 7,12 PEGMO + VCO+ CHITOSAN 0,05% 7,20 PEGMO + VCO+ CHITOSAN 0,1% 7,35 PEGMO + VCO+ SELULOSA 0,1% 6,35 PEGMO + VCO+ SELULOSA 0,5% 6,48 PEGMO + VCO+ SELULOSA 1% 6,80
Stabilitas Emulsi Formula Skin Lotion
Stabilitas emulsi menunjukkan kestabilan suatu bahan yaitu emulsi yang
terdapat dalam bahan tidak mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan
partikel lain dan membentuk lapisan yang terpisah. Emulsi yang baik memiliki
sifat tidak berubah menjadi lapisan-lapisan, tidak berubah warna dan tidak
berubah konsistensinya selama penyimpanan.
Pada penelitian ini dilakukan uji stabilitas skin lotion dengan menyimpan
produk selama satu bulan pada 3 suhu yang berbeda, yaitu suhu 25oC, 45oC dan
50oC. Menurut Barnett (1962), emulsi suatu produk kosmetika harus stabil pada
suhu 45oC sampai 50oC dan suhu kamar. Skin lotion yang disimpan harus tetap
stabil dan dapat dituang. Suhu tersebut merupakan suhu ekstrim bagi produk
emulsi, dengan semakin stabilnya produk yang disimpan pada suhu ekstrim
menunjukkan bahwa produk lotion yang dihasilkan relatif stabil untuk jangka
waktu yang lama.
Dari hasil uji keragaman menunjukkan bahwa interaksi antara konsentrasi
chitosan kationik dengan suhu penyimpanan memberikan pengaruh yang berbeda
nyata terhadap stabilitas emulsi pada α = 0,05. Berdasarkan uji lanjut Duncan
pada Lampiran 18 didapatkan bahwa untuk interaksi c2t2 (konsentrasi chitosan
kationik 0,05%, suhu 45oC tidak berbeda nyata dengan interaksi c2t1 (konsentrasi
73
chitosan kationik 0,05%, suhu 25oC), tetapi berbeda nyata dengan interaksi c2t3
(konsentrasi chitosan kationik 0,05%, suhu 50oC).
Hasil pengukuran rata-rata stabilitas emulsi pada skin lotion yang telah
ditambahkan polimer chitosan dan telah mengalami penyimpanan selama satu
bulan pada suhu 25oC berkisar antara 86% sampai 89%. Pada suhu penyimpanan
45oC nilai rata-rata stabilitas emulsi antara 85% sampai 89%, sedangkan pada
suhu 50oC nilai rata-rata stabilitas emulsi cenderung menurun, yaitu berkisar
antara 84% sampai 88,5%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu
penyimpanan, nilai stabilitas semakin menurun yang disebabkan karena terjadinya
penurunan viskositas sehingga produk skin lotion menjadi lebih encer.
Nilai stabilitas tertinggi diperoleh pada konsentrasi chitosan kationik
0,05%, sedangkan nilai rata-rata stabilitas terendah diperoleh pada skin lotion
dengan konsentrasi chitosan kationik sebesar 0,1%.
Gambar 52. Histogram stabilitas emulsi formula skin lotion yang ditambah polimer chitosan kationik
Dari hasil uji keragaman pada produk skin lotion yang menggunakan
selulosa kationik menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi selulosa kationik
memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap stabilitas emulsi pada α
= 0,05. Berdasarkan uji lanjut Duncan pada Lampiran 19 didapatkan bahwa pada
kons
entr
asi 0
,01%
kons
entr
asi 0
,05%
kons
entr
asi 0
,1%
kont
rol
kons
entr
asi o
,01%
kons
entr
asi 0
,05%
kons
entr
asi 0
,1%
kont
rol
kons
entr
asi 0
,01%
kons
entr
asi 0
,05%
kons
entr
asi 0
,1%
kont
rol
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
stab
ilita
s em
ulsi
(%)
25 45 50
Suhu Penyimpanan (oC)
74
perlakuan konsentrasi selulosa kationik 0,1% tidak berbeda nyata dengan
perlakuan konsentrasi selulosa kationik 0,5%, tetapi berbeda nyata dengan
perlakuan konsentrasi selulosa kationik 1%. Pada perlakuan suhu 25oC berbeda
nyata dengan perlakuan suhu 45oC dan suhu 50 oC.
Pada suhu penyimpanan 25oC, nilai rata-rata stabilitas emulsi antara 86%
sampai 84%, sedangkan pada suhu 45oC nilai rata-rata stabilitas emulsi cenderung
menurun, yaitu berkisar antara 85,5% sampai 82% (Gambar 53). Sama halnya
dengan produk skin lotion yang ditambahkan polimer chitosan kationik, pada suhu
50 oC nilai stabilitas emulsi cenderung mengalami penurunan yaitu antara 84%
sampai 81%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu penyimpanan nilai
stabilitas semakin menurun yang disebabkan karena terjadinya penurunan
viskositas sehingga produk skin lotion menjadi lebih encer. Nilai stabilitas
tertinggi diperoleh pada konsentrasi selulosa kationik 0,1%, sedangkan nilai rata-
rata stabilitas terendah diperoleh pada skin lotion dengan konsentrasi selulosa
kationik sebesar 1%. Pengamatan visual yang dilakukan terhadap produk skin
lotion menunjukkan bahwa produk tidak mengalami perubahan warna dan bentuk.
Hasil analisa stabilitas emulsi pada produk komersil yaitu Z, X dan Y
berkisar antara 70,35% sampai 85,60% (Gambar 54). Untuk produk komersil,
setelah disimpan selama satu bulan pada suhu penyimpanan 45 oC dan 50 oC,
stabilita emulsi cenderung mengalami penurunan. Stabilitas emulsi terendah pada
produk X sedangkan stabilitas tertinggi pada produk Y. Stabilitas emulsi produk
X lebih rendah daripada Y dan Z, karena pada produk tersebut tidak ditambahkan
polimer yang berfungsi sebagai bahan pengental dan penstabil, sedangkan untuk
produk Y ditambah bahan carboxy vinyl polimer dan dalam produk Z ditambah
bahan carbomer sebagai bahan pengentalnya.
75
Gambar 53. Histogram stabilitas emulsi formula skin lotion yang ditambah polimer selulosa kationik
Gambar 54. Histogram stabilitas emulsi produk komersil
Perbandingan stabilitas emulsi dan komposisi antara produk komersil
dengan formula skin lotion yang telah ditambahkan polimer kationik dapat dilihat
pada Tabel 5.
Z
YX
Z Y X
Z Y
X
60
65
70
75
80
85
Stab
ilita
s Em
ulsi
(%)
25 45 50
Suhu Penyimpanan (oC)
kons
etra
si 0
,1%
kons
entr
asi 0
,5%
kons
entr
asi 1
%
kons
entr
asi 0
,1%
kons
entr
asi 0
,5%
kons
entr
asi 1
%
kons
entr
asi 0
,1%
kons
entr
asi 0
,5%
kons
entr
asi 1
%
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Stab
ilita
s Em
ulsi
(%)
25 45 50
Suhu Penyimpanan (oC)
76
Tabel 5. Perbandingan stabilitas emulsi serta komposisi produk komersil dan formula skin lotion yang ditambah polimer kationik
Formula dan Komposisi Stabilitas emulsi
25 oC 45 oC 50 oC
Produk X : minyak mineral, cetil alkohol, asam
stearat, TEA, benzophenon 3, metil paraben, propil
paraben, ajidew, sorbitol, air, parfum.
70,35 70,25 69
Produk Y : air, minyak mineral, asam stearat,
dimethicon, gliserin, GMS, stearamid AMP,
siklometikon, GMS, cetil alkohol, Mg-Al silikat,
KOH, parfum, metil paraben, carboxy vinyl
polimer, soybean sterol,propil paraben, dimeticol
5,5, dimetil hidantoin, Na2EDTA, ekstrak lesitin.
82,6 81,5 81
Produk Z : air, asam stearat, dimetikon, stearil
alkohol, carbomer, gliseril stearat, minyak mineral,
TEA, cetil alkohol, asam sitrat, metil paraben,
imidazolidinil urea.
80,9 79 78,5
Formula c2 : polietilen glikol (400) monooleat,
cetil alkohol , asam stearat , VCO, metil paraben ,
TEA, propilen glikol, air, chitosan kationik.
89 89 88,5
Formula s1 : polietilen glikol (400) monooleat,
cetil alkohol, asam stearat , VCO, metil paraben ,
TEA, propilen glikol, air, selulosa kationik.
86 85,5 84
Analisis Total Mikroba Formula Skin Lotion
Tumbuhnya mikroba dapat menyebabkan kerusakan pada produk yang
mengalami penyimpanan. Tumbuhnya mikroba pada suatu produk dapat
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya tempat penyimpanan, kemasan dan
suhu. Berdasarkan uji yang telah dilakukan tidak terdapat mikroba yang tumbuh
setelah produk disimpan pada berbagai suhu. Hal tersebut terjadi karena dalam
pembuatan produk skin lotion ditambahkan suatu zat pengawet yang bernama
77
metil paraben. Pengawet yang ditambahkan terbukti efektif untuk mencegah
tumbuhnya mikroba yang dapat merusak produk skin lotion. Hasil pengamatan
total mikroba dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Total mikroba formula skin lotion
Formula Pertumbuhan mikroba
Formula B + chitosan kationik 0.01 % -
Formula B + chitosan kationik 0.05 % -
Formula B + chitosan kationik 0.1% -
Formula B control -
Formula B + selulosa kationik 0.1% -
Formula B + selulosa kationik 0.5% -
Formula B + selulosa kationik 1.0% -
Interaksi Antara Surfaktan dengan Polimer Kationik
Intekaksi antara surfaktan polietilen glikol (400) monooleat dengan
polimer kationik dapat diilustrasikan seperti Gambar 55.
Polietilen glikol (400) monooleat merupakan surfaktan non-ionik yang
memiliki gugus polar yang larut dalam air dan gugus non polar yang dapat larut
dalam minyak. Dengan adanya polimer yang ditambahkan dalam sistem emulsi
maka polimer tersebut akan menyelubungi surfaktan karena adanya interaksi antar
surfaktan dengan polimer. Interaksi antara surfaktan polietilen glikol monooleat
dengan polimer (chitosan dan selulosa) berupa ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen
itu terjadi antara oksigen pada rantai utama polietilen glikol dengan gugus
hidroksil pada chitosan atau selulosa. Ikatan hidrogen akan terbentuk banyak,
karena banyaknya oksigen pada polietilen glikol, begitu juga halnya dengan gugus
hidroksil yang terdapat pada chitosan.
Gugus polar dalam surfaktan yang terdapat dalam chitosan amonium
kuartener maupun dalam selulosa amonium kuartener membentuk ikatan
hidrogen. Polimer chitosan dan selulosa amonium kuartener akan menyelubungi
droplet-droplet surfaktan dimana droplet-droplet surfaktan tersebut tidak saling
78
berinteraksi sehingga tidak terjadi koalesen yang dapat menyebabkan terpisahnya
antara fasa air dan fasa minyak. Dengan berkurangnya interaksi diantara droplet
mengakibatkan menurunnya energi permukaan, sehingga sistem emulsi menjadi
lebih stabil.
Gambar 55. Interaksi antara surfaktan polietilen glikol (400) monooleat
dengan chitosan amonium kuartener
Gambar bahan baku, produk-produk hasil penelitian dan peralatan yang
digunakan dapat dilihat pada Lampiran 20 dan 21.
NH
O
H
O
CH2CHCH2
OHN+
H3C CH3
CH3
HOH2C
HO n
Cl-
H3C CH2
CH7
CH
CH2
C
7
O
O CH2
CH2
OH
9Hidrofobik Hidrofilik
Larut air
Ikatanhidrogen
Sistem emulsi
Polietilen glikol (400) monooleat
Chitosan kationik