BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Selulosamedia.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090080_2… ·  ·...

22
6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Selulosa Selulosa adalah polimer glukosa yang berbentuk rantai linier dan dihubungkan oleh ikatan β-1,4 glikosidik. Struktur yang linier menyebabkan selulosa bersifat kristalin dan tidak mudah larut. Selulosa tidak mudah didegradasi secara kimia maupun mekanis. Di alam, biasanya selulosa berasosiasi dengan polisakarida lain seperti hemiselulosa atau lignin membentuk kerangka utama dinding sel tumbuhan (Holtzapple et.al 2003). Unit penyusun (building block) selulosa adalah selobiosa karena unit keterulangan dalam molekul selulosa adalah 2 unit gula (D-glukosa). Selulosa adalah senyawa yang tidak larut di dalam air dan ditemukan pada dinding sel tumbuhan terutama pada tangkai, batang, dahan, dan semua bagian berkayu dari jaringan tumbuhan. Selulosa merupakan polisakarida struktural yang berfungsi untuk memberikan perlindungan, bentuk, dan penyangga terhadap sel, dan jaringan (Lehninger 1993) (Gambar 1). Selulosa tidak pernah ditemukan dalam keadaan murni di alam, tetapi selalu berasosiasi dengan polisakarida lain seperti lignin, pectin, hemiselulosa, dan xilan (Goyskor dan Eriksen 1980 dalam Fitriani 2003). Kebanyakan selulosa berasosiasi dengan lignin sehingga sering disebut sebagai lignoselulosa. Selulosa, hemiselulosa dan lignin dihasilkan dari proses fotosintesis. Di dalam tumbuhan molekul selulosa tersusun dalam bentuk fibril yang terdiri atas beberapa molekul paralel yang dihubungkan oleh ikatan glikosidik sehingga sulit diuraikan (Goyskor dan Eriksen 1980 dalam Fitriani 2003). Komponen-komponen tersebut dapat diuraikan oleh aktifitas mikroorganisme. Beberapa mikroorganisme mampu menghidrolisis selulosa untuk digunakan sebagai sumber energi, seperti bakteri dan fungi (Sukumaran et.al 2005).

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Selulosamedia.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090080_2… ·  ·...

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Selulosa

Selulosa adalah polimer glukosa yang berbentuk rantai linier dan

dihubungkan oleh ikatan β-1,4 glikosidik. Struktur yang linier menyebabkan

selulosa bersifat kristalin dan tidak mudah larut. Selulosa tidak mudah didegradasi

secara kimia maupun mekanis. Di alam, biasanya selulosa berasosiasi dengan

polisakarida lain seperti hemiselulosa atau lignin membentuk kerangka utama

dinding sel tumbuhan (Holtzapple et.al 2003).

Unit penyusun (building block) selulosa adalah selobiosa karena unit

keterulangan dalam molekul selulosa adalah 2 unit gula (D-glukosa). Selulosa

adalah senyawa yang tidak larut di dalam air dan ditemukan pada dinding sel

tumbuhan terutama pada tangkai, batang, dahan, dan semua bagian berkayu dari

jaringan tumbuhan. Selulosa merupakan polisakarida struktural yang berfungsi

untuk memberikan perlindungan, bentuk, dan penyangga terhadap sel, dan

jaringan (Lehninger 1993) (Gambar 1).

Selulosa tidak pernah ditemukan dalam keadaan murni di alam, tetapi

selalu berasosiasi dengan polisakarida lain seperti lignin, pectin, hemiselulosa,

dan xilan (Goyskor dan Eriksen 1980 dalam Fitriani 2003). Kebanyakan selulosa

berasosiasi dengan lignin sehingga sering disebut sebagai lignoselulosa. Selulosa,

hemiselulosa dan lignin dihasilkan dari proses fotosintesis. Di dalam tumbuhan

molekul selulosa tersusun dalam bentuk fibril yang terdiri atas beberapa molekul

paralel yang dihubungkan oleh ikatan glikosidik sehingga sulit diuraikan

(Goyskor dan Eriksen 1980 dalam Fitriani 2003). Komponen-komponen tersebut

dapat diuraikan oleh aktifitas mikroorganisme. Beberapa mikroorganisme mampu

menghidrolisis selulosa untuk digunakan sebagai sumber energi, seperti bakteri

dan fungi (Sukumaran et.al 2005).

7

Gambar 1. Struktur Kimia Selulosa

(Sumber : Lehninger 1993).

Rantai selulosa terdiri dari satuan glukosa anhidrida yang saling berikatan

melalui atom karbon pertama dan ke empat. Ikatan yang terjadi adalah ikatan ß-

1,4-glikosidik. Secara alamiah molekul-molekul selulosa tersusun dalam bentuk

fibril-fibril yang terdiri dari beberapa molekul selulosa yang dihubungkan dengan

ikatan glikosidik. Fibril-fibril ini membentuk struktur kristal yang dibungkus oleh

lignin. Komposisi kimia dan struktur yang demikian membuat kebanyakan bahan

yang mengandung selulosa bersifat kuat dan keras. Sifat kuat dan keras yang

dimiliki oleh sebagian besar bahan berselulosa membuat bahan tersebut tahan

terhadap peruraian secara enzimatik. Secara alamiah peruraian selulosa

berlangsung sangat lambat (Fan et al., 1982).

Berdasarkan derajat polimerisasi dan kelarutan dalam senyawa natrium

hidroksida (NaOH) 17,5%, selulosa dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu :

1. Selulosa α (Alpha Cellulose) adalah selulosa berantai panjang, tidak larut

dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan derajat polimerisasi

600 - 1500. Selulosa α dipakai sebagai penduga dan atau penentu tingkat

kemurnian selulosa. Selulosa α merupakan kualitas selulosa yang paling

tinggi (murni). Selulosa α > 92% memenuhi syarat untuk digunakan

sebagai bahan baku utama pembuatan propelan dan atau bahan peledak,

sedangkan selulosa kualitas dibawahnya digunakan sebagai bahan baku

pada industri kertas dan industri sandang/kain. Semakin tinggi kadar alfa

selulosa, maka semakin baik mutu bahannya (Nuringtyas 2010) (Gambar

2).

8

Gambar 2. Rumus Struktur α – selulosa

(Sumber : Nuringtyas 2010).

2. Selulosa β (Betha Cellulose) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam

larutan NaOH 17,5% atau basa kuat dengan derajat polimerisasi 15 - 90,

dapat mengendap bila dinetralkan (Gambar 3).

Gambar 3. Rumus Struktur β – selulosa (Sumber : Nuringtyas 2010).

3. Selulosa γ (Gamma cellulose) adalah sama dengan selulosa β, tetapi derajat

polimerisasinya kurang dari 15.

Bervariasinya struktur kimia selulosa (α, β, γ) mempunyai pengaruh yang

besar pada reaktivitasnya. Gugus-gugus hidroksil yang terdapat dalam daerah-

daerah amorf sangat mudah dicapai dan mudah bereaksi, sedangkan gugus-gugus

9

hidroksil yang terdapat dalam daerah-daerah kristalin dengan berkas yang rapat

dan ikatan antar rantai yang kuat mungkin tidak dapat dicapai sama sekali.

Pembengkakan awal selulosa diperlukan baik dalam eterifikasi (alkali) maupun

dalam esterfikasi (asam) (Sjőstrőm 1995).

Selulosa memiliki struktur yang unik karena kecenderungannya

membentuk ikatan hidrogen yang kuat. Ikatan hidrogen intramolekular terbentuk

antara: (1) gugus hidroksil C3 pada unit glukosa dan atom O cincin piranosa yang

terdapat pada unit glukosa terdekat, (2) gugus hidroksil pada C2 dan atom O pada

C6 unit glukosa tetangganya. Ikatan hidrogen antarmolekul terbentuk antara

gugus hidroksil C6 dan atom O pada C3 di sepanjang sumbu b (Gambar 4).

Dengan adanya ikatan hidrogen serta gaya van der Waals yang terbentuk, maka

struktur selulosa dapat tersusun secara teratur dan membentuk daerah kristalin. Di

samping itu, juga terbentuk rangkaian struktur yang tidak tersusun secara teratur

yang akan membentuk daerah nonkristalin atau amorf. Semakin tinggi packing

density-nya maka selulosa akan berbentuk kristal, sedangkan semakin rendah

packing density maka selulosa akan berbentuk amorf. Derajat kristalinitas selulosa

dipengaruhi oleh sumber dan perlakuan yang diberikan. Rantai-rantai selulosa

akan bergabung menjadi satu kesatuan membentuk mikrofibril, bagian kristalin

akan bergabung dengan bagian nonkristalin. Mikrofibril-mikrofibril akan

bergabung membentuk fibril, selanjutnya gabungan fibril akan membentuk serat

(Klemm 1998). (Gambar 5).

10

Gambar 4. Ikatan Hidrogen Intra dan Antar Rantai Selulosa

(Sumber : Klemm 1998).

Gambar 5. Model Fibril Struktur Supramolekul Selulosa (Sumber : Klemm 1998).

Selulosa dapat dikonversi menjadi produk-produk bernilai ekonomis yang

lebih tinggi seperti glukosa dan etanol dengan jalan menghidrolisis selulosa

dengan bantuan selulase sebagai biokatalisator atau dengan hidrolisis secara

11

asam/basa (Ariestaningtyas 1991). Selulosa terdapat pada semua tanaman dari

pohon tingkat tinggi hingga organisme primitif seperti rumput laut, flagelata, dan

bakteria (Fengel and Wegener 1995). Luthfy (1988) menyebutkan bahwa rumput

laut jenis Eucheuma sp ternyata mengandung kadar abu 19,92 %, protein 2,80 %,

lemak 1,78 %, serat kasar 7,02 % dan mengandung karbohidrat yang cukup tinggi

yaitu sekitar 68,48 %. Kandungan karbohidrat yang tinggi menjadikan makroalga

jenis Eucheuma sp berpotensi sebagai bahan dasar pembuatan bioetanol.

Makroalga jenis Sargassum sp mulai dikembangkan sebagai bahan

pembuatan etanol. Salah satu negara yang mengembangkannya adalah Jepang.

Untuk mengembangkan pembuatan bioetanol berbahan dasar Sargassum sp

Jepang membuat proyek bernama Ocean Sunrise Project yang bertujuan untuk

memproduksi bioetanol dari rumput laut Sargassum horneri (Maulana dan

Wibowo 2011).

2.2 Enzim Selulase

Enzim adalah katalis biologis/ senyawa yang mempercepat proses reaksi

tanpa ikut bereaksi dalam suatu reaksi kimia organik. Seluruh enzim adalah

protein. Molekul awal yang disebut substrat akan dipercepat perubahannya

menjadi molekul lain yang disebut produk. Jenis produk yang akan dihasilkan

bergantung pada suatu kondisi/ zat yang disebut promoter. Enzim bekerja dengan

cara bereaksi dengan molekul substrat untuk menghasilkan senyawa intermediat

melalui suatu reaksi kimia organik yang membutuhkan energi aktivasi lebih

rendah, sehingga percepatan reaksi kimia terjadi karena reaksi kimia dengan

energi aktivasi lebih tinggi, membutuhkan waktu lebih lama (Palmer 1995).

Salah satu jenis enzim yang dapat menghidrolisis ikatan β(1-4) pada

selulosa adalah enzim selulase. Enzim selulase merupakan enzim yang memegang

peranan penting dalam proses biokonversi limbah-limbah organik berselulosa

menjadi glukosa, protein sel tunggal, makanan ternak, etanol dan lain-lain (Chalal

1983).

Selulase merupakan enzim ekstraseluler yang terdiri atas kompleks endo-

β-1,4-glukonase (CMCase, Cx selulase endoselulase, atau carboxymethyl

12

cellulase) , kompleks ekso-β-1,4-glukonase (aviselase, selobiohidrolase, C1

selulase), dan β-1,4-glukosidase atau selobiase (Meryandini dkk., 2009).

Enzim selulase atau enzim yang dikenal dengan nama sistematik β-1,4

glukan-4-glukano hidrolase adalah enzim yang dapat menghidrolisis selulosa

dengan memutus ikatan glikosidik β-1,4 dalam selulosa, selodektrin, selobiosa,

dan turunan selulosa lainnya menjadi gula sederhana atau glukosa. Sistem

pemecahan selulosa menjadi glukosa terdiri atas tiga jenis enzim selulase yaitu

endo-β-1,4-glukanase, ekso-β-1,4-glukanase, dan β-glukosidase. (Silva et al.

2005). Proses pemecahan selulosa oleh enzim selulase ditunjukkan pada (Gambar

6).

Gambar 6. Skema Tahap-Tahap Pemecahan Selulosa

(Sumber : Nugraha 2006)

Gambar 6 memperlihatkan tahap-tahap pemecahan selulosa oleh kompleks

enzim selulase (endoglukanase, eksoglukanase, dan β-glukosidase). Tahap

13

pertama, enzim endoglukonase menyerang daerah amorf dari selulosa secara acak

dan membentuk makin banyak ujung-ujung nonpereduksi yang memudahkan

kerja eksoglukonase. Enzim eksoglukonase selanjutnya menghidrolisis daerah

kristal dari selulosa dengan membebaskan dua unit glukosa. Kerja sama kedua

enzim ini menghasilkan unit-unit sakarida yang lebih kecil yang selanjutnya

dihidrolisis oleh β-glukosidae menghasilkan glukosa (Nugraha 2006).

Menurut Enari (1983) (Tabel 1) serta Prescott and Dunns (1981) (Gambar

7) mengelompokkan enzim utama selulase berdasarkan spesifikasi substrat

masing-masing enzim yaitu :

1. Endo-β-1,4-glukanase (β-1,4-D-glukan-4-glukanohidrolase, EC 3.2.1.4)

menghidrolisis ikatan glikosidik β-1,4 secara acak. Enzim ini dapat bereaksi

dengan selulosa kristal tetapi kurang aktif. Enzim ini secara umum dikenal

sebagai CMC-ase atau selulase Cx.

2. β-1,4-D-glukan selobiohidrolase (EC.3.2.1.91) atau secara umum dikenal

dengan selulase C1, memutus ujung rantai selulosa non pereduksi dan

membebaskan selobiosa.

3. β-1,4-D-glukan glukohidrolase (EC.3.2.1.74) memutus ujung rantai selulosa

non pereduksi dan membebaskan glukosa. Enzim ini menghidrolisis selulosa yang

telah dilunakkan dengan asam fosfat, selo-oligosakarida dan CMC.

4. β-1,4-glikosidase (β-1,4-D-glukosida glukohidrolase, EC 3.2.1.21)

menghidrolisis selobiosa dan rantai pendek selo-oligosakarida yang menghasilkan

glukosa. Enzim ini tidak dapat memecah selulosa dan selodekstrin.

14

Gambar 7. Klasifikasi Enzim Selulase (Sumber : Prescott and Dunns 1981).

Tabel 1. Hidrolisis Berbagai Substrat Oleh Enzim Selulase

Jenis Enzim

Selulolitik

Substrat

Selulosa

kristalin

CMC Selulosa

amorf

Selotetraosa Selobiosa

Endoglukonase - + + + -

Selobiohidrolase + - + + -

β- Glukosidase - - - + +

Sumber : Enari (1983)

Berdasarkan kelarutan air dan jenis enzim selulasenya, substrat selulosa

dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu substrat yang larut dalam air dan substrat

yang tidak dapat larut dalam air (Tabel 2).

15

Tabel 2. Substrat Selulosa Berdasarkan Kelarutan Air dan Jenis Enzim

Selulase

Substrat Selulosa Enzim Selulase

Larut dalam air

- Rantai pendek (derajat polimerasi rendah)

Silodekstrin Endo, ekso, BG

Radio-labeled selodekstrin Endo, ekso, BG

- Turunan silodekstrin

β-methyllumberlliferil oligosakarida Endo, ekso, BG

p-nitrofenol oligosakarida Endo, ekso, BG

- Turunan selulosa dengan rantai panjang

Carboxymethylecellulose (CMC) Endo

Dye CMC Endo

Tidak larut dalam air

- Selulosa kristalin

Katun, selulosa mikrokristalin (Avisel), Total, endo, ekso

selulosa bakteri

- Selulosa Amorf – PASC Total, endo, ekso

- Dyed Selulosa Total, endo

- Kromogenik dan turunan fluoreforik

Trinitrofenil-karboksimetilselulase Endo

(TNP-CMC)

- Flurant Selulosa Endo, total

- α-selulosa Total

Keterangan :Endo ; endoglukanase, Ekso ; eksoglukanase, BG ; glukosidase,

Total ; ketiga tipe enzim selulase.

Sumber : Zhang et al., (2006)

Perbedaan antara masing-masing enzim selulase terletak pada kespesifikan

struktur di sekeliling substrat. Perbedaan kespesifikan dari enzim endoglukanase

dan selobiohidrolase bersifat tidak mutlak karena ke dua enzim tersebut dapat

menghidrolisis ikatan β-1,4 glukosida dari selulosa amorf. Penentuan aktivitas

enzim selulase akan sulit apabila filtrat yang akan diukur aktivitas enzimnya

merupakan campuran dari berbagai enzim selulase. Enzim-enzim ini tidak hanya

dapat menghidrolisis substrat yang sama tetapi juga dapat bekerja secara sinergis

memecah substrat yang sama, sehingga menyebabkan aktivitas yang diukur

dipengaruhi oleh proporsi dari masing-masing enzim yang ada (Enari 1983).

Aktivitas enzim endoglukanase pada umumnya dapat diuji dengan substrat

CMC (Carboxymethyl cellulose) sehingga enzim endoglukanase disebut dengan

istilah CMCase, sedangkan aktivitas enzim selobiohidrolase atau eksoglukanase

16

seringkali diuji dengan substrat avisel sehingga enzim eksoglukanase disebut dengan

aviselase (Zhang et al., 2006).

Tahapan hidrolisis selulosa tergantung kepada struktur selulosa, interaksi

antara enzim selulase dengan serat selulosa, mekanisme hidrolisis enzim tersebut

di alam dan inhibitor yang terbentuk. Fase adsorbsi dan pembentukan kompleks

enzim substrat adalah fase kritis di dalam hidrolisis selulosa. Glukosa dan

selobiosa adalah inhibitor enzim dalam menghidrolisis selulosa. Selobiosa

menghambat enzim selobiohidrolase dan glukosa menghambat enzim

penghidrolisis selobiosa yaitu β-glukosidase pada kompleks enzim selulase.

Selobiosa mempunyai potensi lebih kuat menjadi inhibitor dibandingkan dengan

glukosa (Coughlan 1985). Laju hidrolisis enzim selulase ditentukan oleh struktur

substrat. Struktur kristal lebih sulit dihidrolisis dibandingkan dengan struktur

amorf maka hidrolisis dilakukan oleh enzim endoselulase atau endoglukanase

(Coughlan 1985).

Faktor yang mempengaruhi aktivitas selulase yaitu adanya senyawa

penghambat berupa ion logam. Penghambatan tersebut dapat dinetralkan dengan

menambahkan sistein sehingga aktivitas enzim dapat berlangsung kembali (Kulp

1975). Beberapa senyawa logam dan senyawa lainnya yang dapat menghambat

aktivitas selulase ialah Hg2+, Ag2+, dan Cu2+ (Deng and Tabatai 1994; Oikawa

et al. 1994), glukanolakton (Kulp 1975), surfaktan, senyawa pengkelat khususnya

Sodium Dodecyl Sulphate (SDS), Ethylene Diamine Tetraacetyc Acid (EDTA)

(Oikawa et al. 1994), laktat dalam konsentrasi agak rendah (Chesson 1987), dan

etanol serta alkohol lainnya (Ooshima et al., 1985). Senyawa penghambat tersebut

dapat menekan seluruh kecepatan hidrolisis dengan menghambat adsorbsi

eksoglukanase dan endoglukanase pada selulosa, dan menghambat aksi sinergis

eksoglukanase dan endoglukanase yang bekerja pada permukaan selulosa.

2.3 Bakteri Laut

Sekitar 80 persen dari spesies bakteri laut telah teridentifikasi dan

diketahui sebagai bakteri kelompok basil gram negatif. Dari pengamatan terhadap

koloni yang ditumbuhkan pada cawan petri maupun pemeriksaan mikroskopis

17

secara langsung dari bahan laut yang diwarnai dengan metode Gram, diperkirakan

sekitar 95 persen dari bakteri laut adalah gram negatif. Hal ini menunjukkan

perbedaan yang cukup besar dibandingkan dengan persentasi bakteri gram negatif

yang ditemukan di perairan tawar dan dua kali jumlah dari gram negatif yang

ditemukan di dalam tanah. Sebagian besar bakteri yang ditemukan di laut

termasuk motil aktif (Zobell 1990).

Bakteri pembentuk spora juga diketahui tidak banyak ditemukan di

lingkungan laut. Bakteri pembentuk spora yang ditemukan di lingkungan laut di

antaranya Bacillus abysseus, B.borborokoites, B.cirroflagellosus, B.filicolonicus,

B.imomarinus, B.submarinus, B.thalassokoites, dan B.epiphyticus. Secara rata-

rata, ukuran bakteri laut lebih kecil dibandingkan bakteri yang terdapat di dalam

susu, air limbah, air tawar, atau tanah .Rata-rata panjang ukuran sel adalah 2

sampai 3 µm dan lebar ukuran sel rata-rata 0,4 - 0,6 µm (Zobell 1990).

Secara umum, bakteri laut tumbuh lebih lambat dan koloninya lebih kecil

dibandingkan kebanyakan mikroorganisme dari tanah, limbah, dan susu. Pada

pengamatan pertumbuhan bakteri, nampak bahwa bakteri terestrial sudah

mencapai pertumbuhan optimum pada usia kultur tujuh hari, sedangkan pada

bakteri laut pada usia kultur 10 hari masih tampak kenaikan pertumbuhan (Zobell

1990).

Ciri-ciri bakteri yang tumbuh di lingkungan perairan, termasuk bakteri laut

adalah bersifat kromogenik, yaitu mampu menghasilkan beragam pigmen.

Distribusi warna adalah sebagai berikut: 31,3 persen kuning, 15,2 persen oranye,

9,9 persen kecoklatan, 7,4 persen neon, 5.4 persen merah atau pink, dan 0,2

persen hijau. Jenis paling umum yang berpendar berwarna kehijauan. Bakteri laut

yang mempunyai pigmen berwarna kuning diantaranya Flavohaclerium

marinotypicum, F.marinovirosum, Fl.okeanokoites, Pseudomonas neritica, Ps.

obscura, Ps.oceanica, Ps.vadosa, Ps.xanthochrus, Vibrio adaptatus,

V.marinoflavus, dan V.marinovulgaris (Zobell 1990).

Bakteri yang hidup di lingkungan laut pada umumnya mampu

mendegradasi hampir semua jenis substrat organik, dan banyak senyawa

anorganik yang diubah oleh aktifitas mikroorganisme laut. Sebagian besar bakteri

18

laut memiliki aktifitas yang cukup tinggi sebagai agen proteolitik, namun sedikit

yang merupakan agen sakarolitik. Semua bakteri heterotrofik laut mampu

menyerap glukosa, hanya 46 dari 60 kultur yang di fermentasi glukosa dengan

pembentukan asam, dan tidak satupun dari mereka menghasilkan "gas" dari

glukosa. Hal ini mungkin karena kurangnya kemampuan fermentasi, tetapi lebih

besar kemungkinan karena efisiensi dari organisme dalam asimilasi bahan

organik. Bila dikultivasi dalam media cair, bakteri laut mampu mengkonversi 30

sampai 35 persen glukosa pada protoplasma atau produk-produk metabolit,

sisanya yang teroksidasi menjadi karbon dioksida dan air sebagai sumber energi

(Zobell 1990).

Bakteri laut dapat dibedakan dari bakteri terestrial berdasarkan

toleransinya terhadap garam. Pada penelitian yang telah dilakukan diketahui

bahwa bakteri laut mampu mentolerir keberadaan garam hingga konsentrasi diatas

100% dalam medium. Kebutuhan salinitas dari bakteri laut terkait dengan adaptasi

fisiologis sel terhadap lingkungan berkadar garam tinggi. Bakteri genus Bacillus

dan Micrococcus yang diisolasi dari lingkungan laut diketahui memiliki tingkat

toleransi salinitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan genus Pseudomonas

atau Vibrio (Zobell 1990).

2.4 Bakteri Selulolitik

Mikroorganisme yang mampu mendegradasi selulosa dinamakan

mikroorganisme selulolitik. Bakteri yang dapat mendegradasi selulosa disebut

juga bakteri selulolitik. Bakteri selulolitik memiliki kemampuan dalam

menghidrolisis bahan-bahan dari alam yang mengandung selulosa menjadi produk

yang lebih sederhana (Marganingtyas 2011).

Beberapa jenis bakteri yang dapat mendegradasi selulosa adalah

Chaetonium sp, Chytophaga sp, dan Clostridium sp (Rao dalam Nurmayani

2007). Sebagai contoh, dalam beberapa penelitian yang menggunakan bakteri

jenis Clostridium sp untuk produksi beberapa pelarut antara lain dinyatakan Ezeji

et.al (2007) memproduksi aseton, butanol dan etanol dari tepung jagung dengan

kadar 14,28 g/L.

19

“Cellulose-decomposing bacteria” atau bakteri selulolitik merupakan

suatu komunitas bakteri yang hidup pada bahan yang mengandung selulosa di

lingkungan laut yang mempunyai kemampuan untuk mendegradasi selulosa.

Bahan selulosa yang berada di lingkungan laut misalnya limbah kertas, limbah

galangan kapal, kapas, linen, dan selulosa hasil pengendapan organisme laut

berupa sedimen laut (Zobell 1990). Kebanyakan bakteri laut merupakan bakteri

halofil, bakteri ini memerlukan NaCl untuk pertumbuhan optimumnya dan

tumbuh paling baik pada konsentrasi garam 2,5-4,0%, selain itu juga bersifat

fakultatif anaerob yang tumbuh lebih baik pada ketersediaan oksigen. Haigler dan

Weiner (1991) menyatakan bahwa bakteri selulolitik yang sering dijumpai di laut

tropik adalah bakteri yang hidup pada suhu sekitar 350C-40

0C, yaitu genus

Pseudomonas dan Cytophaga. Rheinheimer (1994) dalam Handayani (2002)

menyatakan bahwa jenis-jenis bakteri laut yang berperan dalam dekomposisi

senyawa karbohidrat adalah jenis bakteri selulolitik aerob seperti Pseudomonas sp

dan Bacillus sp serta bakteri selulolitik anaerob seperti Clostridium sp, sedangkan

spesies-spesies bakteri selulolitik dari genus Cytophaga dan Sporocytophaga

paling berperan dalam mendegradasi selulosa.

Bakteri selulolitik dapat mendegradasi molekul komplek pada substrat

tidak larut dalam air dengan menggunakan berbagai enzim melalui berbagai cara

di dalam memutuskan bagian yang berbeda di dalam substrat. Proses perombakan

secara enzimatis terjadi dengan adanya enzim selulase sebagai agen perombak

yang bersifat spesifik untuk menghidrolisis ikatan β-(1,4)-glikosidik, rantai

selulosa dan derivatnya (Ambriyanto 2010).

Hidrolisis sempurna selulosa akan menghasilkan monomer selulosa yaitu

glukosa, sedangkan hidrolisis tidak sempurna akan menghasilkan disakarida dari

selulosa yaitu selobiosa (Fan et.al 1982). Selulosa dapat dihidrolisis menjadi

glukosa dengan menggunakan media air dan dibantu dengan katalis asam atau

enzim. Selanjutnya glukosa yang dihasilkan dapat difermentasi menjadi menjadi

produk fermentasi yang nantinya dapat diolah lagi menjadi bioetanol. Umumnya

degradasi selulosa terjadi pada pH normal (Hatami et al., 2008).

20

2.5 Penapisan Gen dengan Metode PCR

PCR adalah reaksi berantai suatu primer dari urutan (sequence) DNA

dengan bantuan enzym polymerase sehingga terjadi amplifikasi DNA target

secara in vitro. Teknik PCR ditemukan oleh Dr. Kary Mullis pada tahun 1985 dan

mendapatkan hadiah Nobel atas temuannya pada tahun 1993 (Sunarto 2006).

Pada prinsipnya alat PCR merupakan semacam inkubator yang mampu

mengatur/mengubah suhu dengan sangat cepat sesuai dengan setting atau

program yang dimasukkan. Alat PCR sendiri tidak mampu melakukan

amplifikasi DNA, tetapi setting suhu didalamnya merupakan prasyarat bagi

berlangsungnya reaksi amplifikasi. Amplifikasi akan berlangsung bila komponen

– komponennya telah dimasukkan. Adapun komponen yang dibutuhkan pada

proses amplifikasi diantaranya adalah :

a. Deoxyribonucleotide triphosphate (dNTP) yang memberikan energi dan

nukleosida untuk sintesis DNA. dNTP terdiri atas 4 macam sesuai dengan basa

penyusun DNA, yaitu dATP, dCTP, dGTP dan dTTP.

b. DNA polymerase yang akan memanjangkan primer yang telah menempel pada

cetakan. Biasanya digunakan enzym Taq Polymerase yang tahan terhadap

suhu tinggi.

c. Magnesium Chlorida (MgCl2) sebagai kofaktor dalam proses PCR.

d. PCR Buffer yang biasanya terdiri atas bahan-bahan kimia untuk

mengkondisikan reaksi agar berjalan optimum dan menstabilkan enzim DNA

polymerase.

e. Sepasang primer yang terdiri dari primer F (forward) dan R (reverse) yang

akan menentukan urutan (sequence) DNA yang akan disintesa. Primer yang

digunakan bisa satu pasang ( 2 buah) atau 2 pasang (4 buah).

f. Template yaitu DNA target yang diekstraksi dari sampel dan berfungsi sebagai

bahan cetakan DNA yang diperbanyak (amplifikasi) (Sunarto 2006).

Proses amplifikasi DNA dalam mesin PCR terdiri dari tiga proses utama.

Pertama, denaturasi (pemisahan segmen DNA ganda menjadi DNA untai tunggal)

yang berlangsung pada suhu 94o - 96

oC, kemudian yang kedua adalah terjadinya

penempelan primer (annealing) yang berlangsung pada suhu 55o

- 65 o

C dan

21

proses yang ketiga adalah terjadinya pemanjangan dari primer yang telah

menempel (polimerasi) pada suhu 72o - 75

oC (Setiawan 2003).

Menurut Nur’utami (2011) tiga tahap utama kerja PCR dalam satu siklus

yaitu :

a. Denaturation (Pemecahan)

Tahap pemecahan berlangsung pada suhu tinggi, 94o - 96

oC ikatan

hidrogen DNA terputus dari DNA utas ganda menjadi utas tunggal. Biasanya

pada siklus awal PCR, tahap ini dilakukan lebih lama (5 menit) untuk

memastikan semua berkas DNA terpisah. Denaturation menyebabkan DNA tidak

stabil dan siap menjadi template (patokan) bagi primer. Umumnya waktu durasi

yang dibutuhkan yaitu selama 1 sampai 2 menit.

b. Annealing (penempelan)

Primer menempel pada bagian template DNA yang berkomplementer

urutan basanya. Tahap ini dilakukan pada suhu antara 46o - 60

oC. Penempelan ini

bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat menyebabkan tidak terjadinya

penempelan atau primer menempel di sembarang tempat. Umumnya waktu/durasi

yang dibutuhkan untuk tahap ini yaitu selama 1 sampai 2 menit.

c. Extension (pemanjangan)

Suhu untuk proses ini tergantung dari jenis enzim DNA polimerase yang

dipakai. Karena suhu dinaikkan ke dalam kisaran suhu optimum kerja enzim

DNA polimerase. Dengan Taq polimerase, proses ini biasanya dilakukan pada

suhu 70o

- 76 o

C. Pada tahap ini DNA polimerase akan memasangkan dNTP yang

sesuai pada pasangannya (pasangan A adalah T, dan C dengan G, begitu pula

sebaliknya). Enzim akan memperpanjang rantai baru ini hingga ke ujung

(Gambar 8a). Lamanya waktu ekstensi bergantung pada panjang daerah yang

akan diamplifikasi, misalnya adalah 1 menit untuk setiap 1000 basepair (bp).

Selain ketiga proses tersebut umumnya tahap kerja PCR didahului dan

diakhiri oleh tahapan berikut :

a. Pra-denaturasi : Dilakukan selama 1 sampai 9 menit pada awal reaksi

untuk memastikan kesempurnaan denaturasi dan mengaktivasi DNA

polimerase (jenis hot-start/aktif jika dipanaskan terlebih dahulu).

22

b. Final Elongasi : Umumnya dilakukan pada suhu optimum enzim (70o

- 72

oC). Tahap final elongasi dilakukan selama 5 sampai 15 menit untuk

memastikan bahwa setiap utas tunggal yang tersisa sudah diperpanjang secara

sempurna. Proses final elongasi dilakukan setelah PCR terakhir.

Karena hasil sintesa DNA dalam satu siklus dapat berperan sebagai

cetakan (template) pada siklus berikutnya, maka jumlah DNA target menjadi

berlipat dua pada setiap akhir siklus (Gambar 8b), dengan kata lain DNA target

meningkat secara eksponensial, sehingga setelah 30 siklus akan dihasilkan

milyaran (230

) amplifikasi DNA target. DNA target yang telah berlipat ganda

jumlahnya dapat dideteksi dengan elektroforesis gel agarosa. Setelah diwarnai

dengan Ethidium Bromide (EtBr), hasil elektroforesis yang berupa pita DNA

dapat dilihat dengan alat UV trans-iluminator (Contoh Gambar 9) dan foto

dengan kamera Polaroid atau sistem dokumentasi gel yang lain (Sunarto 2006).

a b

Gambar 8. Prinsip dan Cara Kerja PCR

(Sumber : Sunarto 2006)

Tahapan kerja PCR konvensional terdiri dari isolasi DNA/RNA

(ekstraksi), amplifikasi menggunakan mesin thermal cycler, visualisasi DNA

(elektroforesis) menggunakan tangki elektroforesis dan dokumentasi (Astuti

2011).

23

Gambar 9. Elektroforegram Amplifikasi Fragmen Penyandi Kitinase

Bakteri Kitinolitik

(Sumber : Agustin 2013)

Keunggulan metode PCR dapat dilihat dalam hal kecepatan, spesifitas dan

sensitifitasnya untuk mendeteksi mikroorganisme patogen. PCR sangat spesifik

karena mendeteksi mikroorganisme pada tingkat DNA/RNA. DNA/RNA virus

dapat diketahui secara cepat dan sampel yang akan diuji dapat dalam jumlah yang

banyak. Penggunaan teknik PCR juga memiliki beberapa kelemahan antara lain

kemungkinan memperoleh hasil positif maupun negatif yang salah. Hasil positif

yang keliru dapat disebabkan karena adanya kontaminasi oleh kontrol positif

maupun sampel yang lain sebelum proses amplifikasi. Hasil negatif yang salah

dapat disebabkan karena jumlah kopian DNA yang tidak mencukupi dan tingkat

infeksi yang terlalu rendah sehingga pita DNA berpendar redup atau bahkan tidak

berpendar (Sukenda et.al 2009).

2.6 Primer

Primer adalah untai DNA pendek yang terdiri atas beberapa nukleotida,

umumnya 10-25 nukleotida (oligonukleotida). Primer berperan sebagai pemula

pada proses sintesis menggunakan PCR. Primer akan menempel pada DNA target

dan membentuk rangkaian komplementer pada untai DNA yang berlawanan serta

24

mengapit rangkaian sasaran (DNA cetakan). Konsentrasi primer untuk proses

PCR menurut William et al (1990) dalam Ain (2011) berkisar antara 0.1-0.5 μM.

Desain primer merupakan salah satu prasyarat sebelum melakukan proses

pengkopian gen dengan PCR. Primer PCR biasanya berukuran panjang 20-30 bp,

Ujung 5' pada primer menentukan ujung produk PCR yang dihasilkan. Primer

yang ideal memiliki kandungan GC vs. AT yang seimbang (45-55% GC), dan

tanpa untaian satu basa yang terlalu panjang. Dua primer dari pasangan primer

tidak mengandung struktur komplemen lebih dari 2 kb. Jarak amplifikasi atau

sekuens target yang diamplifikasi mempunyai ukuran sekitar 200-400 bp (David

2005).

Menurut Innis and Gelfand (1990), Syarat sebuah primer dalam PCR

adalah :

1. Ukuran primer berkisar antara 17-28 basa

2. Komposisi basa adalah 50-60% (G+C)

3. Tm (suhu leleh) berkisar antara 55-80oC.

4. Primer PCR tidak boleh memiliki ujung (3') berupa G atau C, atau CG atau GC.

Hal ini menghindari terjadinya "breathing" pada ujung dan meningkatkan efisiensi

priming;

5. Tiga atau lebih sekuen C atau G pada ujung 3' primer dapat memicu terjadinya

kesalahan priming pada sekuen yang kaya akan G dan C (karena stabilitas

annealing), sehingga harus dihindari.

6. Ujung 3' primer bukan merupakan komplementer (pasangan basa), karena akan

mengakibatkan terjadinya dimer primer.

7. Primer reverse dan primer forward harus dihindari saling berkomplemen,

sehingga saling dapat membentuk ikatan atau menyatu.

Primer biasanya terdiri dari 10-20 nukleotida dan dirancang berdasarkan

daerah konservatif dalam genom tersebut. Semakin panjang primer, maka

semakin spesifik daerah yang diamplifikasi. Jika suatu kelompok organisme

memang berkerabat dekat, maka primer dapat digunakan untuk mengamplifikasi

daerah tertentu yang sama dalam genom kelompok tersebut. Beberapa faktor

25

seperti konsentrasi DNA contoh, ukuran panjang primer, komposisi basa primer,

konsentrasi ion Mg, dan suhu hibridisasi primer harus dikontrol dengan hati-hati

agar dapat diperoleh pita-pita DNA yang utuh dan baik. Keberhasilan teknik ini

lebih didasarkan kepada kesesuaian primer dan efisiensi dan optimasi proses PCR.

Primer yang tidak spesifik dapat menyebabkan teramplifikasinya daerah lain

dalam genom yang tidak dijadikan sasaran atau sebaliknya tidak ada daerah

genom yang teramplifikasi (Rybicki 1996).

Optimasi PCR juga diperlukan untuk menghasilkan karakter yang

diinginkan. Optimasi ini menyangkut suhu denaturasi dan annealing DNA dalam

mesin PCR. Suhu denaturasi yang rendah dapat menyebabkan belum terbukanya

DNA utas ganda sehingga tidak dimungkinkan terjadinya polimerisasi DNA baru.

Proses penempelan primer pada utas DNA yang sudah terbuka memerlukan suhu

optimum, sebab suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan amplifikasi tidak

terjadi atau sebaliknya suhu yang terlalu rendah menyebabkan primer menempel

pada sisi lain genom yang bukan sisi homolognya; akibatnya dapat teramplifikasi

banyak daerah tidak spesifik dalam genom tersebut. Suhu penempelan (annealing)

ini ditentukan berdasarkan primer yang digunakan yang dipengaruhi oleh panjang

dan komposisi primer. Suhu penempelan ini sebaiknya sekitar 50C di bawah suhu

leleh. Tm merupakan temperatur yang diperlukan oleh separuh primer dupleks

mengalami disosiasi/lepas ikatan (President's DNA Initiative 2013). Secara umum

suhu leleh (Tm) dihitung dengan rumus Tm = 4(G+C) + 2(A+T)0C (Rybicky

1996), sedangkan suhu annealing (Ta) dapat dihitung dengan rumus Ta = 0.3 x

Tm (primer) + 0.7 Tm (produk) – 25 (President's DNA Initiative 2013)

Primer-primer degenerate adalah campuran oligonukleotida yang

bervariasi dalam hal urutan basa nukleotidanya, tetapi mempunyai panjang atau

jumlah nukleotida yang sama. Campuran oligonukleotida tersebut dapat

digunakan sebagai primer dalam PCR untuk melakukan amplifikasi suatu gen atau

fragmen DNA tertentu. Primer-primer degenerate tersebut berguna dalam PCR

jika ingin mengamplifikasikan suatu fragmen DNA yang belum banyak diketahui

urutan nukleotidanya sehingga primer yang spesifik tidak dapat dibuat. Primer-

primer semacam itu juga berguna jika ingin melakukan amplifikasi suatu gen

26

yang belum diketahui urutan nukleotidanya tetapi gen tersebut termasuk dalam

kelompok famili gen (gene family) tertentu. Dengan menggunakan informasi

mengenai urutan nukleotida gen lain yang termasuk dalam famili yang sama maka

dapat menyintesis primer-primer degenerate untuk mengamplifikasi gen yang

belum diketahui urutannya tersebut. Di samping itu, primer-primer degenerate

juga dapat digunakan untuk melakukan amplifikasi anggota-anggota suatu famili

gen untuk identifikasi atau analisis selanjutnya (Yuwono 2006).

2.7 Karakterisasi In Silico

Karakterisasi In Silico merupakan salah satu kegiatan penggunaan

perangkat bioinformatik untuk mengidentifikasi karakter-karakter pada suatu

sekuen gen, diantaranya domain fungsional, sisi aktif, motif protein, analisis

homologi, konstruksi pohon filogenetik dan sebagainya. Sebuah aspek penting

dari karakterisasi sekuen biologis adalah identifikasi motif dan domain. Ini

merupakan cara penting untuk mengkarakterisasi fungsi protein karena sekuen

protein baru sering tidak signifikan dengan database sekuen yang ada sehingga

sulit untuk diketahui. Dalam hal ini, para ahli biologi dapat mendefinisikan fungsi

protein berdasarkan identifikasi sekuen konsensus pendek yang telah diketahui

fungsinya. Pola sekuen konsensus ini disebut sebagai motif dan/atau domain

(Xiong 2006).

Motif adalah suatu pola sekuen lestari yang berukuran pendek yang

berkaitan dengan perbedaan fungsi dari suatu protein atau DNA. Sebuah motif

yang khas, seperti motif zinc finger (jari-jari zinc) memiliki sepuluh sampai dua

puluh asam amino. Sebuah domain juga merupakan sekuen lestari, yang

didefinisikan sebagai suatu unit fungsional dan struktural yang independen.

Domain biasanya lebih panjang dari motif. Sebuah domain itu terdiri lebih dari 40

residu dan sampai 700 residu, dengan rata-rata panjang 100 residu. Sebuah

domain dapat memiliki suatu bagian motif didalamnya dapat pula tidak

mengandung motif. Contoh domain adalah domain transmembran dan domain

yang berikatan dengan ligan. Motif dan domain secara evolusi lebih lestari

dibandingkan dengan daerah lain pada suatu protein dan memiliki kecenderungan

27

untuk berevolusi melalui penambahan atau pengurangan suatu unit tertentu pada

modul domain tersebut. Identifikasi motif dan domain pada suatu protein

merupakan aspek penting pada proses klasifikasi sekuen protein dan annotasi

fungsional. Dikarenakan aspek divergensi pada evolusi, hubungan fungsional

diantara protein-protein seringkali tidak dapat dibedakan begitu saja melalui

BLAST atau pencarian database FASTA. Selain itu, protein atau enzim terkadang

memiliki fungsi ganda yang tidak dapat sepenuhnya dijelaskan menggunakan

annotasi tunggal melalui pencarian database sekuen sehingga diperlukan

identifikasi motif dan domain untuk mengatasi hal tersebut (Xiong 2006).