7. ESTIMASI SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN … · gerombolan ikan di suatu perairan. Fluktuasi...

24
7. ESTIMASI SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN PRODUKTIVITAS PRIMER BERSIH Pendahuluan Produktivitas perairan merupakan kandungan fitoplankton dalam kolom perairan. Fitoplankton merupakan tumbuhan laut (alga) yang melayang di dalam air dan bersifat planktonik. Seluruh klas alga laut mengandung klorofil-a dan beberapa pigment, termasuk didalamnya klorofil b, c, dan karotenoid α, β, dan γ. Komposisi dan distribusi vertikal fitoplankton dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang menembus kolom air. Besarnya kandungan fitoplankton (klorofil) di perairan menunjukkan tingginya produktivitas perairan tersebut (Parson et al. 1984). Keberadaan fitoplankton (alga bersel satu) dideteksi melalui pigmen hijaunya (klorofil), meningkatnya jumlah klorofil menyebabkan perubahan warna laut dari biru ke hijau. Kehadiran fitoplankton dapat diperlakukan sebagai suatu index produktivitas biologi dan dapat dihubungkan dengan produksi ikan. Perairan dalam kondisi ideal atau baik jika keberadaan fitoplankton dalam jumlah yang layak, tetapi ketika terjadi pelimpahan biomasa alga (blooming) yang bersifat planktonik maka akan mengurangi tingkat oksigen terlarut secara dramatis di perairan dan seringkali menyebabkan kematian ikan (Meaden dan Kapetsky 1991). Klorofil lebih identik dengan fitoplankton, karena merupakan pigmen fotosintesis pada fitoplankton. Konsentrasi klorofil merupakan salah satu parameter lingkungan yang dapat digunakan untuk menjelaskan keberadaan gerombolan ikan di suatu perairan. Fluktuasi konsentrasi klorofil menunjukan tingkat kesuburan suatu perairan sekaligus kelimpahan dan densitas ikan di daerah tersebut, sehingga peramalan dan penentuan daerah penangkapan ikan dapat didekati dengan melihat kandungan atau konsentrasi klorofil di suatu lingkungan perairan (Bisht 2005). Sebaran klorofil-a di laut bervariasi secara spasial, temporal dan kedalaman perairan. Variasi tersebut diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya matahari, dan konsentrasi nutrien yang terdapat di dalam suatu perairan. Di Laut, sebaran klorofil-a lebih tinggi konsentrasinya pada perairan pantai dan pesisir, serta rendah di perairan lepas pantai. Tingginya sebaran konsentrasi klorofil-a di

Transcript of 7. ESTIMASI SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN … · gerombolan ikan di suatu perairan. Fluktuasi...

7. ESTIMASI SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN PRODUKTIVITAS PRIMER BERSIH

Pendahuluan

Produktivitas perairan merupakan kandungan fitoplankton dalam kolom

perairan. Fitoplankton merupakan tumbuhan laut (alga) yang melayang di dalam

air dan bersifat planktonik. Seluruh klas alga laut mengandung klorofil-a dan

beberapa pigment, termasuk didalamnya klorofil b, c, dan karotenoid α, β, dan γ.

Komposisi dan distribusi vertikal fitoplankton dipengaruhi oleh intensitas cahaya

yang menembus kolom air. Besarnya kandungan fitoplankton (klorofil) di perairan

menunjukkan tingginya produktivitas perairan tersebut (Parson et al. 1984).

Keberadaan fitoplankton (alga bersel satu) dideteksi melalui pigmen

hijaunya (klorofil), meningkatnya jumlah klorofil menyebabkan perubahan warna

laut dari biru ke hijau. Kehadiran fitoplankton dapat diperlakukan sebagai suatu

index produktivitas biologi dan dapat dihubungkan dengan produksi ikan. Perairan

dalam kondisi ideal atau baik jika keberadaan fitoplankton dalam jumlah yang

layak, tetapi ketika terjadi pelimpahan biomasa alga (blooming) yang bersifat

planktonik maka akan mengurangi tingkat oksigen terlarut secara dramatis di

perairan dan seringkali menyebabkan kematian ikan (Meaden dan Kapetsky 1991).

Klorofil lebih identik dengan fitoplankton, karena merupakan pigmen

fotosintesis pada fitoplankton. Konsentrasi klorofil merupakan salah satu

parameter lingkungan yang dapat digunakan untuk menjelaskan keberadaan

gerombolan ikan di suatu perairan. Fluktuasi konsentrasi klorofil menunjukan

tingkat kesuburan suatu perairan sekaligus kelimpahan dan densitas ikan di daerah

tersebut, sehingga peramalan dan penentuan daerah penangkapan ikan dapat

didekati dengan melihat kandungan atau konsentrasi klorofil di suatu lingkungan

perairan (Bisht 2005).

Sebaran klorofil-a di laut bervariasi secara spasial, temporal dan

kedalaman perairan. Variasi tersebut diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya

matahari, dan konsentrasi nutrien yang terdapat di dalam suatu perairan. Di Laut,

sebaran klorofil-a lebih tinggi konsentrasinya pada perairan pantai dan pesisir,

serta rendah di perairan lepas pantai. Tingginya sebaran konsentrasi klorofil-a di

139

perairan pantai dan pesisir disebabkan karena adanya suplai nutrien dalam jumlah

besar melalui run-off dari daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di

perairan lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrien dari daratan secara

langsung (Presetiahadi 1994).

Di dalam kolom perairan, sebaran klorofil-a sangat tergantung pada

konsentrasi nutrien. Konsentrasi nutrien di lapisan permukaan sangat sedikit dan

akan meningkat pada lapisan termoklin dan lapisan di bawahnya. Hal mana juga

dikemukakan oleh Brown et al. (1989), nutrien memiliki konsentrasi rendah dan

berubah-ubah pada permukaan laut dan konsentrasinya akan meningkat dengan

bertambahnya kedalaman serta akan mencapai konsentrsi maksimum pada

kedalaman antara 500 – 1500 m.

Perairan Indonesia dipengaruhi oleh sistem pola angin muson dan

memiliki pola sirkulasi massa air yang berbeda serrta bervariasi antar musim,

disamping itu pula dipengaruhi oleh massa air Lautan Pasifik yang melintasi

perairan Indonesia menuju Lautan Hindia melalui sistem arus lintas Indonesia

(Arlindo). Sirkulasi massa air perairan Indonesia berbeda antara musim barat dan

musim timur. Dimana pada musim barat, massa air umumnya mengalir ke arah

timur perairan, dan sebaliknya ketika musim timur berkembang dengan sempurna

suplai massa air yang berasal dari daerah upwelling di Laut Arafura dan Laut

Banda akan mengalir menunju perairan lndonesia bagian barat (Wyrtki, 1961).

Perbedaan suplai massa air tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan

terhadap kondisi perairan yang akhirnya mempengaruhi tinggi rendahnya

produktivitas perairan. Tisch et al. (1992) diacu dalam Presetiahadi (1994)

mengatakan bahwa perubahan kondisi suatu massa air dapat diketahui dengan

melihat sifat-sifat massa air yang meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut, dan

kandungan nutrien. Dengan melihat keberadaan perairan Indonesia dimana karena

adanya perbedaan pola angin yang secara langsung mempengaruhi pola arus

permukaan perairan Indonesia dan perubahan karakteristik massa air, diduga dapat

mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap tingkat produktivitas perairan.

Keadaan ini tergantung pada berbagai hal, seperti bagaimana sebaran faktor fisik-

kimia perairan.

140

Namun pada daerah-daerah tertentu di perairan lepas pantai dijumpai

konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi. Keadaan ini disebabkan

oleh tingginya konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui proses fisik massa air,

dimana massa air dalam mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan

permukaan (Valiela, 1984). Selanjutnya dikatakan bahwa konsentrasi terbesar

produktivitas primer berada di perairan pantai melebihi 60% dari produktivitas

yang ada di laut

Kandungan klorofil-a dapat digunakan sebagai ukuran jumlah fitoplankton

pada suatu perairan, dan dapat digunakan sebagai petunjuk produktivitas perairan.

Berdasarkan penelitian Nontji (1974) diacu dalam Presetiahadi, (1994)

menyatakan bahwa nilai rata-rata kandungan klorofil di perairan Indonesia sebesar

0,19 mg m-³. Nilai rata-rata klorofil-a pada saat berlangsung musim timur sebesar

0,24 mg m-³, nilai ini lebih besar dari pada nilai rata-rata pada musim barat yaitu

sebesar 0,16 mg m-³. Daerah-daerah dengan nilai klorofil tinggi mempunyai

hubungan erat dengan adanya proses penaikan massa air/upwelling (Laut Banda,

Arafura, Selat Bali dan selatan Jawa), proses pengadukan dan pengaruh sungai-

sungai (Laut Jawa, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan).

Kondisi lingkungan perairan paparan benua menunjukkan lebih banyak

variasi dibandingkan dengan daerah epipelagik laut terbuka atau laut-dalam. Pada

perairan dangkal ini, interaksi ombak, arus, dan upwelling menimbulkan

turbulensi. Turbulensi ini secara umum mencegah perairan pantai terstratifikasi

secara termal kecuali untuk waktu yang singkat di daerah beriklim sedang. Jadi

nutrien jarang menjadi faktor pembatas. Produktivitas perairan pantai lebih tinggi

dibandingkan dengan perairan lepas pantai yang serupa karena melimpahnya

nutrien, baik yang berasal dari runoff daratan maupun pendaurulangan.

Produktivitas yang tinggi (100-160 gC m-² thn-1) sebagai penyangga populasi

zooplankton dan organisme bentos yang tinggi (Nybakken 1988). Selanjutnya

dikatakan bahwa persediaan makanan di daerah ini melimpah. Sebagian

disebabkan karena produktivitas plankton meningkat dan juga disebabkan oleh

produksi tumbuhan yang melekat seperti kelp dan rumput laut. Ini merupakan

salah satu dari sedikit daerah di laut di mana tumbuhan makroskopik mempunyai

pengaruh yang nyata terhadap produksi.

141

Produksi digambarkan sebagai keseluruhan pengembangan unsur baru di

dalam suatu stock dalam suatu unit waktu, tanpa tergantung pada ada atau

tidaknya yang bertahan hidup hingga akhir dari suatu waktu tertentu (Ryther 1969

diacu dalam Parson et al. 1984). Produksi tergantung pada interval waktu saat

pengukuran, kehadiran atau ketidakhadiran pemangsa, dan pertumbuhan dan

angka kematian alami dari populasi. Kombinasi faktor-faktor ini sangat sukar

untuk diukur di tempat asal dan sebagai konsekwensinya estimasi produksi hanya

bersifat dugaan saja. Hubungan yang paling sederhana untuk estimasi produksi

adalah dengan mempertimbangkan rata-rata keberadaan stok populasi dan

mengalikannya dengan estimasi laju pertumbuhan, keduanya ditentukan

berdasarkan interval waktu yang singkat. Sebagai contoh, jika rata-rata

keberadaan stok zooplankton adalah 1 g m-² dan rata-rata tingkat laju

pertumbuhan (regenerasi) adalah 1 bulan, maka produksi tahunan adalah 12 g m-²

thn-1. Kesulitan yang terlihat nyata dalam membuat penentuan ini adalah

perolehan nilai rata-rata penambahan atau pertumbuhan dan tingkat keberadaan

stock suatu populasi zooplankton di tempat asal (Parson et al. 1984).

Produksi dari kehidupan di dalam lautan tergantung pada pertumbuhan

alga atau ganggang pada lapisan eufotik dan pemindahan material yang dimakan

oleh ikan-ikan herbivora. Pada tingkatan trofik lebih tinggi, produksi lebih sulit

diduga, walaupun sejumlah usaha telah dibuat. Di perairan empat musim dan

daerah dingin (lintang tinggi), sebagian besar produksi tergantung pada variasi

temporal dari produksi alga dan puncak musim semi yang merupakan komponen

penting. Pada permukaan perairan tropis laut dalam, produksi dalam keadaan yang

tidak dapat diprediksi dan variasi temporal tidak begitu penting (Chusing 1975).

Walaupun laju pertumbuhan ikan atau zooplankton dapat diukur pada

periode waktu di dalam penelitian skala laboratorium, namun informasi tersebut

sulit untuk diterapkan dalam pengukuran dan perhitungan potensi produksi yang

sebenarnya di lapangan. Sehingga pendekatan pengukuran potensi produksi di

lapangan dapat dilakukan dengan didasarkan pada perhitungan produkstivitas

primer dari rantai makanan di alam (laut). Rantai makanan dinyatakan sebagai

suatu aliran biomass yang kontinu dari tingkatan trofik yang ada. Di laut ada lima

tingkatan trofik dalam rantai makanan yaitu bakteri dan dedritus (B), fitoplankton

142

(P), zooplankton I (Z1), zooplankton II (Z2), dan tingkatan terakhir ikan (F). Setiap

tingkatan trofik berbeda energi yang dihasilkan yang dikenal dengan efisiensi

ekologi (E). Efisiensi ekologi ini berhubungan dengan produksi ikan (Parson et al.

1984). Sedangkan Schaefer (1965) yang diacu dalam Parson et al. (1984)

menyatakan bahwa pengaruh efisiensi ekologi terhadap produksi ikan berkisar

dari 10% - 20% pada lima tingkat trofik tersebut.

Diantara setiap tingkatan trofik ada mata rantai, yang digolongkan sebagai

mata rantai pemindahan atau mata rantai modulasi perpindahan. Nutrien ditransfer

untuk produksi dan laju reproduksi alga diatur oleh konsentrasi nutrient pada

tingkatan yang rendah. Ekosistem laut digambarkan sebagai suatu daerah yang

sangat efisien karena banyak material yang didaur-ulang di dalamnya. Laut yang

sangat dalam dan landasan kontinental yang dangkal, sedikit sekali terjadi

pemindahan yang efisien, sehingga material lebih relative jatuh ke dasar perairan

dan menyokong hewan-hewan bentik (Chusing 1975).

Lingkungan laut sendiri digolongkan dalam tiga wilayah yaitu: lautan

(oceanis), landas kontinental (continental shelf), dan daerah upwelling. Masing-

masing wilayah ini memiliki tingkat trofik (trophic level) dan efisiensi ekologi

yang berbeda, dan ini berpengaruh pada produktivitas primer pada lingkungan

tersebut. Estimasi produksi ikan pada ketiga lingkungan di atas menurut Ryther

(1969) yang diacu dalam Parson et al. (1984) seperti terlihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Estimasi produksi ikan di tiga lingkungan laut (Ryther 1969 diacu dalam Parson et al. 1984)

Lingkungan Laut

Rata-rata Produktivitas

Primer (g C m-² thn-1)

Tingkatan Trofik

Efisiensi Ekologi

(%)

Produksi Ikan (mg C m-² thn-1)

Lautan 50 5 10 0.5 Landas kontinen (Continental shelf) 100 3 15 340

Upwelling 300 1.5 20 36 000

Kondisi lingkungan perairan paparan benua menunjukkan lebih banyak

variasi dibandingkan dengan daerah epipelagik laut terbuka atau laut-dalam. Pada

perairan dangkal, interaksi ombak, arus, dan upwelling menimbulkan turbulensi.

Turbulensi ini mencegah perairan pantai terstratifikasi secara termal kecuali untuk

143

waktu yang singkat di daerah beriklim sedang. Jadi nutrien jarang menjadi faktor

pembatas. Produktivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan perairan lepas

pantai yang serupa karena melimpahnya nutrien, baik yang berasal dari runoff

maupun pendaurulangan. Produktivitasnya tinggi (100-160 g C m-² thn-1) sebagai

menyangga populasi zooplankton dan organisme bentos (Nybakken 1988).

Oleh karena luasnya landasan kontinental, perairan yang relatif dangkal

dan masukan dari sejumlah besar sungai dari daratan, Laut Cina Selatan

merupakan tubuh air yang tinggi produktivitasnya dalam bentuk perikanan dan

sumberdaya kehidupan laut lainnya. Selain itu, LCS termasuk didalamnya hutan

mangrove, padang lamun, terumbu karang dan komunitas dasar laut,

memungkinnya menjadi ekosistem yang tinggi poduktivitasnya. Produktivitas

ekosistem perairan LCS cukup tinggi yaitu sebesar 150-300 g C m-² thn-1 yang

didasarkan pada estimasi produktivitas primer secara global dari Sea-viewing

Wide Field-of-view Sensor (SeaWiFS) (http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/SeaWiFS/

dan http://na.nefsc.noaa.gov/).

Pembahasan dalam bab ini bertujuan untuk mengetahui kandungan

klorofil-a, suhu perairan dan produktivitas primer perairan berdasarkan data citra

satelit, serta mengetahui berapa besar produksi (standing stok) ikan di lokasi

penelitian berdasarkan produktivitas primer perairan.

144

Bahan dan Metode

Produktivitas primer dapat dikatakan sebagai ukuran kandungan

fitoplankton, dimana fitoplankton merupakan komponen penting dalam

produktivitas suatu perairan. Ada tiga metoda utama untuk mengestimasi jumlah

fitoplankton yaitu metode estimasi dalam volume sel, estimasi dalam karbon dan

estimasi dalam klorofil. Kemungkinan pengukuran klorofil dapat lebih dipercaya,

karena melalui pengukuran pancaran/pijaran (fluorescence). Metode ini

memungkinkan untuk mengukur produksi alga dalam karbon, klorofil dan

volume partikel dan volume sel. Perbandingan persamaan fotosintesis bisa

menggambarkan ketergantungan fotosintesis terhadap iirandians hingga

kedalaman air (Chusing 1975). Analisis produktivitas primer dalam penelitian ini

didasarkan pada estimasi klorofil (klorofil-a).

Data produktivitas primer yang digunakan dalam analisis produksi ikan

diperoleh dari situs http://science.oregonstate.edu/ocean.productivity/standart.

product.php, data ini berupa data citra produktivitas primer bersih (net

productivity primary/NPP). Citra NPP yang digunakan adalah citra NPP produksi

standar yang merupakan citra nilai NPP secara global yang dihasilkan dengan

menggunakan Vertically Generalized Production Model (VGPM) yang

dikemukakan oleh Behrenfeld and Falkowki (1997). Dalam model ini, nilai NPP

merupakan fungsi dari klorofil-a (SSC) dan suhu permukaan (SST) yang diperoleh

dari citra Aqua MODIS level 3 (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer)

dan Photosynthetically Active Radiation (PAR) dari citra SeaWiFS level 3 (Sea

Viewing Wide Field-of-View Sensor), serta kedalaman eufotik (Gambar 61).

Secara matematis, VGPM NPP menurut Behrenfeld and Falkowki (1997)

dinyatakan sebagai berikut:

eub

opt ZaChlDLPAR

PARPNPP ×××⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡+

×= .)1.4(

66125.0 (gC m-2 thn-1) ........................(7.1)

dimana :

2956.12749.00617.00205.0

10462.210348.1104132.31027.323

43546678

+++−

×+×−×+×−= −−−−

TTT

TTTTPbopt ........(7.2)

145

T = Suhu permukaan (°C)

PAR = Radiasi/cahaya antara λ400-λ700 nm

DL = Lama penyinaran matahari (12)

Chl.a = Konsentrasi klorofil-a permukaan (mgC m-²)

Zeu = Kedalaman eufotik (m).

Produktivitas PrimerDL

BoptP ZeuC

SST

MODIS L3

PAR

SeaWiFS L3

Chl.a

INSITU OPTIC

ZeuM

----- : Alternatif lain ZeuC : Zeu hasil perhitungan ZeuM : Zeu hasil pengukuran

Gambar 61. Diagram Vertically Generalized Production Model produktivitas primer bersih (VGPM NPP).

Citra NPP yang digunakan merupakan citra NPP bulanan dengan resolusi

spatial 9 km. Untuk memperoleh nilai NPP, maka dilakukan pengolahan terhadap

citra NPP bulan Juni 2005 untuk Lokasi A dan citra bulan Juli 2006 untuk Lokasi

B. Sementara nilai NPP untuk tahun 2005 dan 2006 diperoleh dari analisis

masing-masing citra bulanan untuk kedua tahun tersebut. Pengolahan dilakukan

dengan menggunakan software SeaDAS (SeaWiFS Data Analysis System) versi

5.2 under Linux. Citra NPP untuk lokasi penelitian diperoleh melalui proses

pemotongan citra (cropping) untuk bulan Juni 2005 dan bulan Juli 2006, serta

untuk citra NPP tahun 2005 dan tahun 2006 dari hasil olahan 12 citra bulanan

untuk kedua tahun tersebut. Selanjutnya nilai NPP dari citra lokasi penelitian

disimpan dalam format ascii, yang selanjutnya digunakan untuk proses

perhitungan potensi ikan.

146

Pemotongan citra juga dilakukan terhadap citra klorofil-a dan citra NPP

untuk okasi A terhadap daerah pantai barat Kalimantan. Hal ini dilakukan untuk

menghilangkan bias dalam perhitungan standing stok di wilayah ini akibat

pengaruh muatan tersuspensi (sediment) yang berasal dari daratan.

Nilai NPP dari citra yang merupakan nilai produksi primer, digunakan

dalam perhitungan dan pendugaan potensi ikan dengan menggunakan rumus

umum yang dikemukakan oleh Parson et al. (1984) sebagai berikut: nBEP = ................................................................................................(7.3)

dimana P = Produksi ikan (mgC m-² thn-1)

B = Produksi primer /NPP (gC m-² thn-1)

E = Efisiensi ekologi (%)

n = Jumlah tingkatan tropik

Untuk mendapatkan jumlah produksi atau potensi ikan dalam jumlah berat

(ton) untuk Lokasi A dan Lokasi B, serta potensi ikan pada tahun 2005 dan 2006,

maka produksi ikan dalam mgC m-² thn-1 dikalikan dengan luas masing-masing

area penelitian. Perhitungan produksi ikan (ton) didasarkan pada asumsi yang

dikemukakan oleh Eppley and Peterson (1979) yang diacu dalam Parson et al.

(1984) bahwa perbandingan berat basah ikan dan berat karbon adalah 20.

147

Hasil dan Pembahasan

Suhu Permukaan Laut (SST)

Hasil analisis citra satelit untuk suhu permukaan, terlihat bahwa pada

Lokasi A, suhu (SST) berkisar 29,13 – 31,95 °C, dengan rata-rata 30,76 °C.

Gambaran fluktuasi SST di lokasi ini (Gambar 62a) memperlihatkan perairannya

terbagi atas dua bagian secara membujur. Di bagian timur dengan massa air yang

panas yaitu dari sekitar garis bujur 107° hingga dekat pantai barat Kalimantan

dengan SST > 30,75 °C, sedangkan di bagian barat massa airnya lebih dingin

dengan SST < 30,5 °C.

Fluktuasi massa air dengan SST yang terlihat pada Lokasi A berbeda

dengan Lokasi B. Rata-rata SST yang ditemukan di lokasi ini sebesar 29,73 °C

dengan kisaran SST 29,21 – 32,07 °C. Berdasarkan kisaran SST di kedua lokasi

penelitian, ternyata SST maksimum di Lokasi B lebih tinggi dari Lokasi A, namun

secara keseluruhan massa air di Lokas A lebih panas dan hanya di daerah pada

posisi 106,46 °BT dan 0,54 LU ditemukan SST yang rendah yaitu 29,13 °C,

sedangkan massa air di bagian perairan lainnya memiliki SST yang rata-rata lebih

tinggi dari massa air di Lokasi B. SST tertinggi di Lokasi B (Juli 2006) hanya

ditemukan di daerah sekitar Kepulauan Anambas yaitu pada posisi 100,29 °BT

dan 3,29 °LU.

Di Lokasi A, massa airnya terbagi atas dua bagian, sedangkan di Lokasi B

(Gambar 62b) massa airnya terbagi atas 3 bagian. Dimana pada bagian timur

perairan terlihat massa air dengan SST > 30,0 °C pada daerah sekitar >108,3 °BT

dan < 4,00 °LU; di bagian tengah perairan dengan suhu 29,75 °C yang dominan

dijumpai di sebelah timurlaut perairan dan di bagian barat perairan dengan SST ≤

29,75 °C. Diduga massa air di bagian tengah perairan ini merupakan pertemuan

antara massa air di bagian timur perairan dengan SST yang lebih tinggi dengan

massa air di bagian barat perairan dengan SST yang rendah.

148

Gambar 62. Distribusi rata-rata bulanan suhu permukaan laut (SST) di lokasi penelitian berdasarkan data MODIS dengan resolusi 9 km.

149

Klorofil-a Permukaan Laut (SSC).

Klorofil-a merupakan salah satu pigmen fitoplankton yang sangat

mempengaruhi sifat optik air laut. Konsentrasi pigmen fitoplankton atau klorofil-a

ini dapat dianalisis melalui metoda penginderaan jauh. Konsentrasi klorofil-a

sangat menentukan besarnya produktifitas primer di suatu perairan. Khusunya di

perairan LCSI, rata-rata konsentrasi klorofil-a permukaan (SSC) pada Lokasi A

(105,1°-108,8° BT dan 0,0°-3,0° LU) adalah 0,34 mg m-³. dengan kisaran

konsentrasi 0,10 – 3,21 mg m-³. Pada Lokasi B (106,3°-109° BT dan 2,4°-5,0°

LU), rata-rata konsentrasi klorofil-a adalah 0,18 mg m-³, dengan kisaran

konsentrasi 0,08-0,74 mg m-³. Berdasarkan besarnya konsentrasi klorofil-a di

kedua lokasi penelitian, ternyata di Lokasi A ditemukan konsentrasi klorofil-a

yang lebih tinggi dibandingkan dengan Lokasi B.

Tingginya konsentrasi klorofil-a, khususnya di pantai bagian barat

Kalimantan diduga karena perairannya dangkal (< 20 m) dimana penetrasi sinar

matahari mampu menembus seluruh kolom air, sehingga proses fotosintesa dapat

berlangsung dengan baik pada seluruh kolom air tersebut. Perairan yang dangkal

juga menyebabkan proses pengadukan massa air hingga dasar perairan terjadi

secara baik ,sehingga memperkaya dan menyuburkan perairan tersebut. Selain itu

juga karena adanya pengaruh runoff, khususnya di bagian wilayah pantai

Kalimantan Barat yang kaya dengan nutrien sehingga memperkaya wilayah

sekitarnya. Hal ini seperti terlihat pada Gambar 63a, dimana konsentrasi klorofil-a

ditemukan dengan konsentrasi yang tinggi yaitu >1.0 mg m-³. Namun secara rata-

rata, perairan LCSI lokasi penelitian bulan Juni 2005 memiliki konsentrasi

klorofil-a yang cukup tinggi untuk kehidupan planktonik.

Pada lokasi penelitian bulan Juli 2006 (Gambar 63b) terlihat bahwa

konsentrasi klorofil-a ≥ 0,2 mg m-³ hanya ditemukan pada daerah-daerah dekat

daratan yaitu disekitar Kepulauan Natuna, Pulau Subi dan Kepulauan Anambas.

Konsentrasi klorofil-a merupakan indikasi kandungan fitoplankton di suatu

perairan, rendahnya konsentrasi klorofil-a di suatu lokasi, maka dapat dikatakan

bahwa lokasi ini kurang subur atau produktivitasnya rendah.

150

Gambar 63. Distribusi rata-rata bulanan klorofil-a permukaan laut (SSC) di

lokasi penelitian berdasarkan data MODIS dengan resolusi 9 km.

151

Tingginya konsentrasi klorofil-a di suatu perairan akan meningkatkan

produktivitas zooplankton, sehingga secara langsung tercipta rantai makanan

yang menunjang produktivitas ikan di perairan ini. Hal ini seperti dikatakan oleh

Borstad and Gower (1984) bahwa konsentrasi klorofil-a > 0,2 mg m-³

menunjukkan kehadiran kehidupan planktonik yang mampu melestarikan

perikanan komersial. Sebaran SSC yang ditemukan di kedua lokasi ini, kondisinya

sama dengan yang ditemukan oleh Arinardi (1997), dimana SSC diperoleh dengan

konsentrasi padat (>0,5 mg m-³) di sepanjang pantai timur Sumatera dan di sekitar

pantai barat Kalimantan, di kedua wilayah ini bermuara sejumlah sungai-sungai

besar yang sangat mempengaruhi kesumburan fitoplankton di pantainya.

Perairan yang massa airnya tercampur sempurna pada kolom perairan dan

adanya suplai nutrien dari daratan (runoff), akan meningkatkan kandungan

klorofil-a di suatu perairan. Menurut Arinardi (1997) perairan Indonesia

merupakan perairan yang memiliki kandungan klorofil-a yang tinggi. Hal ini

hampir selalu berkaitan dengan adanya pengadukan dasar perairan, dampak aliran

sungai (pantai utara Jawa, pantai timur Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya)

serta berlangsungnya proses penaikan massa air dari lapisan dalam ke permukaan

(Laut Banda, Laut Arafura, selat Bali, dan Selatan Jawa).

Hubungan antara SSC dan SST

Analisis regresi dilakukan untuk melihat hubungan antara SSC dan SST

citra satelit MODIS dengan SSC dan SST insitu. Disamping itu pula, analisis

dilakukan untuk SSC dan SST citra. Hasil analisis hubungan SSC citra dan SSC

insitu pada lokasi penelitian bulan Juni 2005 (Gambar 64) diperoleh model

persamaan:

SSC citra = -0,1423 + 3.323 SSC insitu ......................................................(7.4)

dengan koefisien korelasinya (r) 0,91; sedangkan untuk hubungan SST citra dan

SST insitu diperoleh model persamaan:

SST citra = 12,2498 + 0,6184 SST insitu ...................................................(7.5)

dengan koefisien korelasinya (r) 0,50. Berdasarkan nilai koefisien kolerasi (r) dari

kedua persamaan ini, terlihat bahwa ada korelasi antara data insitu dan data citra

152

satelit. Dengan kata lain citra MODIS yang digunakan, baik untuk

merepresentasikan kondisi SST dan SSC di lokasi penelitian (Lokasi A).

y = 3.3232x - 0.1423R 2 = 0.8299

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

1.40

1.60

1.80

2.00

0.05 0.15 0.25 0.35 0.45 0.55 0.65

SSC in situ

SSC

citr

a

a

y = 0.6184x + 12.2498R 2 = 0.2517

30.00

30.40

30.80

31.20

31.60

29.20 29.40 29.60 29.80 30.00 30.20 30.40 30.60

SST insitu

SST

citr

a

b

Gambar 64. Hubungan antara: (a) SSC insitu dan SSC citra dan (b) SST insitu

dan SST citra di Lokasi A (Juni 2005).

Hubungan antara SSC citra dan SSC insitu serta SST citra dan SST insitu

pada Lokasi B (Juli 2006) dari hasil analisis regresi diperoleh persamaan masing-

masing:

SSC citra = 0,1137 + 0,7913 SSC insitu ....................................................(7.6)

dengan koefisien korelasi (r) 0,80 dan

SST citra = 15,3760 + 0,4887 SST insitu ....................................................(7.7)

dengan koefisien korelasi (r) 0,63.

Koefisien korelasi dari kedua persamaan yang menerangkan hubungan

antara data citra dan data insitu untuk SST dan SSC di lokasi ini, terlihat ada

153

hubungan satu sama lain. Dengan kata lain, citra MODIS bulan Juli untuk Lokasi

B, dapat merepresentasikan kondisi SSC dan SST sebenarnya di lokasi penelitian,

dengan masing-masing koefisien korelasi (r) untuk hubungan antar SSC dan antar

SST adalah 0,80 dan 0,63 (Gambar 65).

y = 0.7913x + 0.1137R 2 = 0.6361

0.10

0.14

0.18

0.22

0.26

0.30

0.00 0.02 0.04 0.06 0.08 0.10 0.12 0.14 0.16

SSC in situ

SSC

citr

a

a

y = 0.4887x + 15.3760R 2 = 0.4013

29.3

29.5

29.7

29.9

30.1

29.0 29.2 29.4 29.6 29.8 30.0

SST in situ

SST

citr

a

b

Gambar 65. Hubungan antara SSC insitu dan SSC citra dan (b) SST insitu dan SST citra di Lokasi B (Juli 2006).

Korelasi positif antara data citra dan data insitu (hasil pengukuran) dalam

merepresentasikan kondisi sebenarnya di suatu lokasi penelitian, sangat

tergantung pada citra itu sendiri dan seberapa besar informasi data insitu yang

mewakili informasi suatu wilayah penelitian. Citra yang baik dan informatif, jika

citra tersebut terkoreksi dengan benar, bebas dari tutupan awan dan memiliki

resolusi tinggi.

154

Hubungan antara SST dan SSC citra untuk Lokasi A (Juni 2005) dan

Lokasi B (Juli 2006) diperoleh model persamaan untuk masing-masing adalah:

SSTSSC 5916,1241,48 +−= (Juni 2005) (7.8)

dimana R² = 0,2185 dengan koefisien korelaasinya (r) 0,47

SSTSSC 0574,05306,1 +−= (Juli 2006) (7.9)

dimana R² = 0,0298 dengan koefisien korelaasinya (r) 0,17

Nilai koefisian korelasi di atas menunjukkan bahwa antara SST dan SSC citra

satelit tidak begitu kuat hubungannya. Dengan kata lain perubahan kandungan

SSC di Lokasi A maupun di Lokasi B tidak berhubungan dengan perubahan dari

SST, namun dari Gambar 66, terlihat bahwa di beberapa tempat ditemukan

kandungan SSC yang tinggi pada SST yang tinggi, dimana pada SST 31,0 –

32,0 °C ditemukan kandungan SSC dengan konsentrasi > 2,00 mg m-³ di Lokasi A

dan pada SST 29,7 – 33,3 °C dengan konsentrasi SSC >0,4 mg m-³ di Lokasi B.

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

29 29.5 30 30.5 31 31.5 32 32.5

SST (°C)

SSC

(mg/

m³)

Lokasi A (Juni 2005)

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

29 29.5 30 30.5 31 31.5 32 32.5

SST (°C)

SSC

(mg/

m³)

Lokasi B (Juli 2006)

Gambar 66. Hubungan antara SST dan SSC citra MODIS.

155

Konsentrasi SSC di Lokasi A berkisar dari 0,1-3,21 mg m-³ tersebar pada

perairan dengan kisaran SST yang lebar yaitu dari 29,13 – 31,95 °C, dan

konsentrasi SSC di lokasi ini lebih terkonsentrasi pada kisaran SST antara 30,0-

31,5 °C. (Gambar 66a), sedangkan di Lokasi B, konsentrasi SSC dari 0,08-0,74

mg m-³ tersebar di perairan dengan SST yang sempit yaitu 29,21 – 30,42, namun

pada SST 32,07 °C ditemukan konsentrasi SSC sebesar 0,47 mg m³ yaitu pada

daerah sekitar Kepulauan Anambas (Gambar 66b). Sehingga secara keseluruhan

(Gambar 66) menunjukkan bahwa perairan di Lokasi A memiliki kisaran SSC

yang tinggi pada kisaran SST yang lebih lebar dibandingkan dengan Lokasi B.

Produktivitas Primer Bersih (Net Productivity Primer).

Hasil analisis citra produktivitas primer bersih (NPP) rata-rata bulanan

untuk Lokasi A dalam tahun 2005 pada area dengan posisi 105,1° - 108,8° BT

dan 0,0° – 3,0° LU diperoleh NPP bulanan minimum sebesar 230,02 mgC m-² hr-1

pada bulan April dan maksimum sebesar 2 173,38 mgC m-² hr-1 pada bulan

Desember. Untuk Lokasi B di tahun 2006 pada posisi area 106,3° - 109,0° BT dan

2,4° - 5,0° LU, diperoleh NPP minimum sebesar 193,87 mgC m-² hr-1 di bulan

Mei dan NPP maksimum diperoleh di bulan Januari sebesar 1 306,91 mgC m-² hr-1.

Tabel 18. Rata-rata Produktivitas Primer Bersih/NPP (mgC m-² hr-1) di LCSI.

Lokasi A (2005) Lokasi B (2006) Bulan Min. Maks. Rerata Min. Maks. Rerata

Januari 383,74 1 313,41 642,72 333,71 1 306,91 488,92Pebruari 270,63 1 170,07 458,98 358,44 899,74 466,07Maret 294,93 904,90 444,50 268,50 647,08 362,03April 230,02 735,81 335,26 215,67 505,06 290,29Mei 249,39 1 433,75 476,96 193,87 823,61 284,41Juni 234,66 1 790,16 571,38 194,57 697,22 277,50Juli 244,86 1 547,47 592,68 224,20 754,64 334,58Agustus 248,26 1 858,18 583,82 275,94 534,59 342,03September 260,03 1 367,45 554,49 251,85 539,71 340,10Oktober 240,11 1 664,40 405,25 249,10 512,34 316,36Nopember 263,22 1 627,98 480,04 211,07 587,74 283,74Desember 394,06 2 173,38 637,55 223,29 729,44 372,90

156

NPP rata-rata pada bulan Juni 2005 di Lokasi A pada saat dilakukan

penelitian sebesar 571,38 mgC m-² hr-1, dengan kisaran NPP 234,66 – 1 790,16

mgC m-² hr-1, sedangkan di Lokasi B pada bulan Juli 2006 memiliki nilai NPP

rata-rata sebesar 334,58 mgC m-² hr-1, dengan kisaran NPP 224,20 -754,64 mgC

m-² hr-1.

Secara keseluruhan dari tabel di atas, terlihat bahwa produktivitas primer

bersih di lokasi penelitian Juni 2005 (Lokasi A) lebih tinggi dari lokasi penelitian

Juli 2006 (Lokasi B). Nilai rata-rata NPP per bulan pada citra untuk Lokasi A dua

kali lebih besar dibandingkan Lokasi B, dengan rata-rata NPP makisimum tiap

bulannya lebih besar dari 1 000 mgC m-² hr-1, sedangkan di Lokasi B, NPP

maksimum yang ditemukan hanya sebesar 1 306,91 mgC m-² hr-1 pada bulan

Januari dan NPP di bulan lain nilainya < 1000 mgC m-² hr-1 (Gambar 67).

Rata-rata produktivitas primer bersih dalam setahun pada Lokasi A sebesar

208,18 gC m-² thn-1 dengan kisaran 316,18 – 1 233,54 mgC m-² hr-1, sedangkan

pada Lokasi B sebesar 101,20 gC m-² thn-1, dengan kisaran NPP-nya sebesar

275,94 – 647,05 mgC m-² hr-1. Kandungan NPP di Lokasi A secara rata-rata

bulanan maupun tahunan terlihat lebih tinggi dari Lokasi B. Sebaran konsentrasi

NPP di kedua lokasi terlihat meningkat pada daerah yang lebih dekat dengan

daratan. Di Lokasi A, konsentrasi tertinggi ditemukan di wilayah pantai barat

Kalimantan, sedangkan di Lokasi B konsentrasi tertinggi ditemukan disekitar

Kepulauan Anambas dan Pulan Natuna. Tingginya konsentrasi ini diduga karena

dipengaruhi oleh runoff yang tinggi nutrien sehingga memperkaya produktivitas

perairan setempat.

0

100

200

300

400

500

600

700

800

Jan Peb Mrt Aprl Mei Juni Juli Agts Sept Okt Nop Des

NPP

rata

-rat

a (m

gC/m

²/hr)

Lokasi A Lokasi B Gambar 67. Nilai rata-rata NPP (mgC m-² hr-1) di lokasi penelitian LCSI.

157

Kandungan produktivitas primer yang terlihat pada Gambar 68 dan 69,

menunjukkan bahwa NPP makin berkurang pada daerah lintang tinggi, hal ini

disebabkan daerah ini yang jauh dari pengaruh daratan, juga karena perairannya

makin dalam. Kondisi ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Nybakken (1988)

bahwa pada perairan dangkal, interaksi ombak, arus, dan upwelling menimbulkan

turbulensi. Turbulensi ini mencegah perairan pantai terstratifikasi secara termal

kecuali untuk waktu yang singkat di daerah beriklim sedang. Produktivitasnya

lebih tinggi dibandingkan dengan perairan lepas pantai yang serupa karena

melimpahnya nutrien, baik yang berasal dari runoff maupun pendaurulangan.

Produktivitasnya tinggi (100-160 gC m-2 thn-1) sebagai menyangga populasi

zooplankton dan organisme bentos.

Oleh karena luasnya landasan kontinental, perairan yang relatif dangkal

dan masukkan dari sejumlah besar sungai dari daratan, LCS merupakan tubuh air

yang tinggi produktivitasnya dalam bentuk perikanan dan sumberdaya kehidupan

laut lainnya. Selain itu, LCS termasuk didalamnya hutan mangrove, padang lamun,

terumbu karang dan komunitas dasar laut, memungkinnya menjadi ekosistem

yang tinggi poduktivitasnya. Produktivitas ekosistemnya cukup tinggi yaitu

sebesar 150-300 gC m-2 thn-1 didasarkan pada estimasi produktivitas primer secara

global dari Sea-viewing Wide Field-of-view Sensor (SeaWiFS)

(http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/SeaWiFS/BACKGROUND/SEAWIFS_BACKG

ROUND.html dan http://na.nefsc.noaa.gov/lme/text/lme36.htm)

158

mgC /m²

mgC /m²

Gambar 68. Kandungan NPP di Lokasi A pada bulan Juni 2005 dan tahun 2005.

159

mgC /m²

mgC /m²

Gambar 69. Kandungan NPP di Lokasi B pada bulan Juli 2006 dan tahun 2006.

160

Produksi Ikan (Standing stock).

Pengkajian pemanfaatan data satelit untuk penangkapan ikan khususnya

jenis ikan pelagis sudah mulai dilakukan lebih intensif di Indonesia sejak sepuluh

tahun terakhir. Dua data satelit yang dapat dimanfaatkan untuk pendugaan daerah

potensial penangkapan ikan (fishing ground) adalah data citra suhu permukaan

laut (SPL) dan citra produktifitas primer (klorofil-a) yang merupakan indikasi

kelimpahan plankton sebagai sumber makanan ikan (Hendiarti et al. 1995).

Kandungan produktivitas primer yang diperoleh di Lokasi A dalam

setahun (2005) sebesar 208,18 gC m-² thn-1 sedangkan di Lokasi B dalam setahuan

(2006) sebesar 101,20 gC m-² thn-1. Jika dibandingkan dengan nilai produktivitas

primer menurut Ryther 1969 diacu dalam Parson et al. 1984, maka besarnya nilai

NPP ini berada di antara lingkungan laut landas kontinen (continental shelf) dan

upwelling. Karena LCSI merupakan daerah kontinen, maka dalam perhitungan

produksi ikan, besarnya tingkat trofik dan efisiensi ekologis yang digunakan

adalah 3 dan 15%.

Tabel 19. Estimasi produksi ikan di daerah penelitian berdasarkan nilai NPP.

Lokasi A (Juni 2005) Lokasi B (Juli 2006) NPP (B) Produksi Ikan NPP (B) Produksi Ikan Bulan gC m-² mgC m-² Ton gC m-² mgC m-² Ton

Januari 259,66 876,35 1 993 766.91 142,77 481,83 739 659,49Pebruari 185,43 625,81 1 423 772,33 136,09 459,31 705 083,25Maret 179,58 606,07 1 378 855,76 105,71 356,78 547 686,36April 135,45 457,13 1 040 003,26 84,76 286,08 439 153,71Mei 192,69 650,34 1 479 562,49 83,05 280,29 430 266,07Juni 230,84 779,07 1 772 453,16 81,03 273,48 419 814,52Juli 239,44 808,12 1 838 523,57 97,70 329,73 506 166,14Agustus 235,86 796,03 1 811 037,15 99,87 337,07 517 432,62September 224,01 756,04 1 720 056,32 99,31 335,17 514 520,95Oktober 163,72 552,56 1 257 122,80 92,38 311,77 478 602,29Nopember 193,94 654,54 1 489 122,83 82,85 279,63 429 251,56Desember 257,57 869,29 1 977 705,68 108,89 367,50 564 141,36Rata-rata 208,18 702,61 1 598 498,52 101,20 341,55 524 314,86Std. Dev. 38,90 131,28 298 662,43 20,14 67,98 104 359,58

Berdasarkan kandungan NPP dalam setahun di tiap lokasi penelitian

dengan luas masing-masing 113 753,73 km² (Lokasi A) dan 76 754,52 km²

(Lokasi B), maka diperoleh produksi ikan sebesar 702,61 gC m-² thn-1 atau sebesar

161

1 598 498,52 ton di lokasi A, sedangkan di Lokasi B diperoleh produksi ikan

sebesar 341,55 gC m-² thn-1 atau sebesar 524 314,86 ton. Khusus untuk produksi

ikan bulanan di Lokasi A, produksi tertinggi diperoleh pada bulan Januari dan

Desember, sedangkan standing stock pada bulan Juni 2005 sebesar 1 772 453,16

ton. Pada Lokasi B, produksi ikan tertinggi ditemukan pada bulan Januari dan

Pebruari yaitu lebih dari 700 000 ton, sedangkan standing stock pada bulan Juli

2006 sebesar 506 166,14 ton (Tabel 19).

Kesimpulan

1. Lokasi penelitian bulan Juni 2005 (Lokasi A) memiliki rata-rata suhu

permukaan laut (SST), konsentrasi klorofil-a dan produktivitas primer bersih

(NPP) dengan nilai yang lebih tinggi dibandingkan pada lokasi penelitian

bulan Juli 2006 (Lokasi B).

2. Standing stock ikan di Lokasi A sebesar 1 772 453,16 ton (Juni 2005) dengan

rata-rata 1 598 498,52 ton di tahun 2005, sedangkan di Lokasi B sebesar 506

166,47 ton (Juli 2006) dengan rata-rata 524 314,86 ton di tahun 2006.

3. Fluktuasi standing stock per bulan di tahun 2005 (Lokasi A) berkisar dari

1 040 003,26 ton di bulan April hingga 1 993 766.91 ton di bulan Januari,

sedangkan di tahun 2006 (Lokasi B) standing stock berkisar dari 419 814,52

ton di bulan Juni hingga 739 659,49 ton di bulan Januari.