7. ESTIMASI SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN … · gerombolan ikan di suatu perairan. Fluktuasi...
Embed Size (px)
Transcript of 7. ESTIMASI SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN … · gerombolan ikan di suatu perairan. Fluktuasi...
7. ESTIMASI SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN PRODUKTIVITAS PRIMER BERSIH
Pendahuluan
Produktivitas perairan merupakan kandungan fitoplankton dalam kolom
perairan. Fitoplankton merupakan tumbuhan laut (alga) yang melayang di dalam
air dan bersifat planktonik. Seluruh klas alga laut mengandung klorofil-a dan
beberapa pigment, termasuk didalamnya klorofil b, c, dan karotenoid , , dan .
Komposisi dan distribusi vertikal fitoplankton dipengaruhi oleh intensitas cahaya
yang menembus kolom air. Besarnya kandungan fitoplankton (klorofil) di perairan
menunjukkan tingginya produktivitas perairan tersebut (Parson et al. 1984).
Keberadaan fitoplankton (alga bersel satu) dideteksi melalui pigmen
hijaunya (klorofil), meningkatnya jumlah klorofil menyebabkan perubahan warna
laut dari biru ke hijau. Kehadiran fitoplankton dapat diperlakukan sebagai suatu
index produktivitas biologi dan dapat dihubungkan dengan produksi ikan. Perairan
dalam kondisi ideal atau baik jika keberadaan fitoplankton dalam jumlah yang
layak, tetapi ketika terjadi pelimpahan biomasa alga (blooming) yang bersifat
planktonik maka akan mengurangi tingkat oksigen terlarut secara dramatis di
perairan dan seringkali menyebabkan kematian ikan (Meaden dan Kapetsky 1991).
Klorofil lebih identik dengan fitoplankton, karena merupakan pigmen
fotosintesis pada fitoplankton. Konsentrasi klorofil merupakan salah satu
parameter lingkungan yang dapat digunakan untuk menjelaskan keberadaan
gerombolan ikan di suatu perairan. Fluktuasi konsentrasi klorofil menunjukan
tingkat kesuburan suatu perairan sekaligus kelimpahan dan densitas ikan di daerah
tersebut, sehingga peramalan dan penentuan daerah penangkapan ikan dapat
didekati dengan melihat kandungan atau konsentrasi klorofil di suatu lingkungan
perairan (Bisht 2005).
Sebaran klorofil-a di laut bervariasi secara spasial, temporal dan
kedalaman perairan. Variasi tersebut diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya
matahari, dan konsentrasi nutrien yang terdapat di dalam suatu perairan. Di Laut,
sebaran klorofil-a lebih tinggi konsentrasinya pada perairan pantai dan pesisir,
serta rendah di perairan lepas pantai. Tingginya sebaran konsentrasi klorofil-a di
139
perairan pantai dan pesisir disebabkan karena adanya suplai nutrien dalam jumlah
besar melalui run-off dari daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di
perairan lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrien dari daratan secara
langsung (Presetiahadi 1994).
Di dalam kolom perairan, sebaran klorofil-a sangat tergantung pada
konsentrasi nutrien. Konsentrasi nutrien di lapisan permukaan sangat sedikit dan
akan meningkat pada lapisan termoklin dan lapisan di bawahnya. Hal mana juga
dikemukakan oleh Brown et al. (1989), nutrien memiliki konsentrasi rendah dan
berubah-ubah pada permukaan laut dan konsentrasinya akan meningkat dengan
bertambahnya kedalaman serta akan mencapai konsentrsi maksimum pada
kedalaman antara 500 1500 m.
Perairan Indonesia dipengaruhi oleh sistem pola angin muson dan
memiliki pola sirkulasi massa air yang berbeda serrta bervariasi antar musim,
disamping itu pula dipengaruhi oleh massa air Lautan Pasifik yang melintasi
perairan Indonesia menuju Lautan Hindia melalui sistem arus lintas Indonesia
(Arlindo). Sirkulasi massa air perairan Indonesia berbeda antara musim barat dan
musim timur. Dimana pada musim barat, massa air umumnya mengalir ke arah
timur perairan, dan sebaliknya ketika musim timur berkembang dengan sempurna
suplai massa air yang berasal dari daerah upwelling di Laut Arafura dan Laut
Banda akan mengalir menunju perairan lndonesia bagian barat (Wyrtki, 1961).
Perbedaan suplai massa air tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan
terhadap kondisi perairan yang akhirnya mempengaruhi tinggi rendahnya
produktivitas perairan. Tisch et al. (1992) diacu dalam Presetiahadi (1994)
mengatakan bahwa perubahan kondisi suatu massa air dapat diketahui dengan
melihat sifat-sifat massa air yang meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut, dan
kandungan nutrien. Dengan melihat keberadaan perairan Indonesia dimana karena
adanya perbedaan pola angin yang secara langsung mempengaruhi pola arus
permukaan perairan Indonesia dan perubahan karakteristik massa air, diduga dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap tingkat produktivitas perairan.
Keadaan ini tergantung pada berbagai hal, seperti bagaimana sebaran faktor fisik-
kimia perairan.
140
Namun pada daerah-daerah tertentu di perairan lepas pantai dijumpai
konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi. Keadaan ini disebabkan
oleh tingginya konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui proses fisik massa air,
dimana massa air dalam mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan
permukaan (Valiela, 1984). Selanjutnya dikatakan bahwa konsentrasi terbesar
produktivitas primer berada di perairan pantai melebihi 60% dari produktivitas
yang ada di laut
Kandungan klorofil-a dapat digunakan sebagai ukuran jumlah fitoplankton
pada suatu perairan, dan dapat digunakan sebagai petunjuk produktivitas perairan.
Berdasarkan penelitian Nontji (1974) diacu dalam Presetiahadi, (1994)
menyatakan bahwa nilai rata-rata kandungan klorofil di perairan Indonesia sebesar
0,19 mg m-. Nilai rata-rata klorofil-a pada saat berlangsung musim timur sebesar
0,24 mg m-, nilai ini lebih besar dari pada nilai rata-rata pada musim barat yaitu
sebesar 0,16 mg m-. Daerah-daerah dengan nilai klorofil tinggi mempunyai
hubungan erat dengan adanya proses penaikan massa air/upwelling (Laut Banda,
Arafura, Selat Bali dan selatan Jawa), proses pengadukan dan pengaruh sungai-
sungai (Laut Jawa, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan).
Kondisi lingkungan perairan paparan benua menunjukkan lebih banyak
variasi dibandingkan dengan daerah epipelagik laut terbuka atau laut-dalam. Pada
perairan dangkal ini, interaksi ombak, arus, dan upwelling menimbulkan
turbulensi. Turbulensi ini secara umum mencegah perairan pantai terstratifikasi
secara termal kecuali untuk waktu yang singkat di daerah beriklim sedang. Jadi
nutrien jarang menjadi faktor pembatas. Produktivitas perairan pantai lebih tinggi
dibandingkan dengan perairan lepas pantai yang serupa karena melimpahnya
nutrien, baik yang berasal dari runoff daratan maupun pendaurulangan.
Produktivitas yang tinggi (100-160 gC m- thn-1) sebagai penyangga populasi
zooplankton dan organisme bentos yang tinggi (Nybakken 1988). Selanjutnya
dikatakan bahwa persediaan makanan di daerah ini melimpah. Sebagian
disebabkan karena produktivitas plankton meningkat dan juga disebabkan oleh
produksi tumbuhan yang melekat seperti kelp dan rumput laut. Ini merupakan
salah satu dari sedikit daerah di laut di mana tumbuhan makroskopik mempunyai
pengaruh yang nyata terhadap produksi.
141
Produksi digambarkan sebagai keseluruhan pengembangan unsur baru di
dalam suatu stock dalam suatu unit waktu, tanpa tergantung pada ada atau
tidaknya yang bertahan hidup hingga akhir dari suatu waktu tertentu (Ryther 1969
diacu dalam Parson et al. 1984). Produksi tergantung pada interval waktu saat
pengukuran, kehadiran atau ketidakhadiran pemangsa, dan pertumbuhan dan
angka kematian alami dari populasi. Kombinasi faktor-faktor ini sangat sukar
untuk diukur di tempat asal dan sebagai konsekwensinya estimasi produksi hanya
bersifat dugaan saja. Hubungan yang paling sederhana untuk estimasi produksi
adalah dengan mempertimbangkan rata-rata keberadaan stok populasi dan
mengalikannya dengan estimasi laju pertumbuhan, keduanya ditentukan
berdasarkan interval waktu yang singkat. Sebagai contoh, jika rata-rata
keberadaan stok zooplankton adalah 1 g m- dan rata-rata tingkat laju
pertumbuhan (regenerasi) adalah 1 bulan, maka produksi tahunan adalah 12 g m-
thn-1. Kesulitan yang terlihat nyata dalam membuat penentuan ini adalah
perolehan nilai rata-rata penambahan atau pertumbuhan dan tingkat keberadaan
stock suatu populasi zooplankton di tempat asal (Parson et al. 1984).
Produksi dari kehidupan di dalam lautan tergantung pada pertumbuhan
alga atau ganggang pada lapisan eufotik dan pemindahan material yang dimakan
oleh ikan-ikan herbivora. Pada tingkatan trofik lebih tinggi, produksi lebih sulit
diduga, walaupun sejumlah usaha telah dibuat. Di perairan empat musim dan
daerah dingin (lintang tinggi), sebagian besar produksi tergantung pada variasi
temporal dari produksi alga dan puncak musim semi yang merupakan komponen
penting. Pada permukaan perairan tropis laut dalam, produksi dalam keadaan yang
tidak dapat diprediksi dan variasi temporal tidak begitu penting (Chusing 1975).
Walaupun laju pertumbuhan ikan atau zooplankton dapat diukur pada
periode waktu di dalam penelitian skala laboratorium, namun informasi tersebut
sulit untuk diterapkan dalam pengukuran dan perhitungan potensi produksi yang
sebenarnya di lapangan. Sehingga pendekatan pengukuran potensi produksi di
lapangan dapat dilakukan dengan didasarkan pada perhitungan produkstivitas
primer dari rantai makanan di alam (laut). Rantai makanan dinyatakan sebagai
suatu aliran biomass yang kontinu dari tingkatan trofik yang ada. Di laut ada lima
tingkatan trofik dalam rantai makanan yaitu bakteri dan dedritus (B), fitoplankton
142
(P), zooplankton I (Z1), zooplankton II (Z2), dan tingkatan terakhir ikan (F). Setiap
tingkatan trofik berbeda energi yang dihasilkan yang dikenal dengan efisiensi
ekologi (E). Efisiensi ekologi ini berhubungan dengan produksi ikan (Parson et al.
1984). Sedangkan Schaefer (1965) yang diacu dalam Parson et al. (1984)
menyatakan bahwa pengaruh efisiensi ekologi terhadap produksi ikan berkisar
dari 10% - 20% pada lima tingkat trofik tersebut.
Diantara setiap tingkatan trofik ada mata rantai, yang digolongkan sebagai
mata rantai pemindahan atau mata rantai modulasi perpindahan. Nutrien ditransfer
untuk produksi dan laju reproduksi alga diatur oleh konsentrasi nutrient pada
tingkatan yang rendah. Ekosistem laut digambarkan sebagai suatu daerah yang
sangat efisien karena banyak material yang didaur-ulang di dalamnya. Laut yang
sangat dalam dan landasan kontinental yang dangkal, sedikit sekali terjadi
pemindahan yang efisien, sehingga material lebih relative jatuh ke dasar perairan
dan menyokong hewan-hewan bentik (Chusing 1975).
Lingkungan laut sendiri digolongkan dalam tiga wilayah yaitu: lautan
(oceanis), landas kontinental (continental shelf), dan daerah upwelling. Masing-
masing wilayah ini memiliki tingkat trofik (trophic level) dan efisiensi ekologi
yang berbeda, dan ini berpengaruh pada produktivitas primer pada lingkungan
tersebut. Estimasi produksi ikan pada ketiga lingkungan di atas menurut Ryther
(1969) yang diacu dalam Parson et al. (1984) seperti terlihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Estimasi produksi ikan di tiga lingkungan laut (Ryther 1969 diacu dalam Parson et al. 1984)
Lingkungan Laut
Rata-rata Produktivitas
Primer (g C m- thn-1)
Tingkatan Trofik
Efisiensi Ekologi
(%)
Produksi Ikan (mg C m- thn-1)
Lautan 50 5 10 0.5 Landas kontinen (Continental shelf) 100 3 15 340
Upwelling 300 1.5 20 36 000
Kondisi lingkungan perairan paparan benua menunjukkan lebih banyak
variasi dibandingkan dengan daerah epipelagik laut terbuka atau laut-dalam. Pada
perairan dangkal, interaksi ombak, arus, dan upwelling menimbulkan turbulensi.
Turbulensi ini mencegah perairan pantai terstratifikasi secara termal kecuali untuk
143
waktu yang singkat di daerah beriklim sedang. Jadi nutrien jarang menjadi faktor
pembatas. Produktivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan perairan lepas
pantai yang serupa karena melimpahnya nutrien, baik yang berasal dari runoff
maupun pendaurulangan. Produktivitasnya tinggi (100-160 g C m- thn-1) sebagai
menyangga populasi zooplankton dan organisme bentos (Nybakken 1988).
Oleh karena luasnya landasan kontinental, perairan yang relatif dangkal
dan masukan dari sejumlah besar sungai dari daratan, Laut Cina Selatan
merupakan tubuh air yang tinggi produktivitasnya dalam bentuk perikanan dan
sumberdaya kehidupan laut lainnya. Selain itu, LCS termasuk didalamnya hutan
mangrove, padang lamun, terumbu karang dan komunitas dasar laut,
memungkinnya menjadi ekosistem yang tinggi poduktivitasnya. Produktivitas
ekosistem perairan LCS cukup tinggi yaitu sebesar 150-300 g C m- thn-1 yang
didasarkan pada estimasi produktivitas primer secara global dari Sea-viewing
Wide Field-of-view Sensor (SeaWiFS) (http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/SeaWiFS/
dan http://na.nefsc.noaa.gov/).
Pembahasan dalam bab ini bertujuan untuk mengetahui kandungan
klorofil-a, suhu perairan dan produktivitas primer perairan berdasarkan data citra
satelit, serta mengetahui berapa besar produksi (standing stok) ikan di lokasi
penelitian berdasarkan produktivitas primer perairan.
http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/SeaWiFS/http://na.nefsc.noaa.gov/
144
Bahan dan Metode
Produktivitas primer dapat dikatakan sebagai ukuran kandungan
fitoplankton, dimana fitoplankton merupakan komponen penting dalam
produktivitas suatu perairan. Ada tiga metoda utama untuk mengestimasi jumlah
fitoplankton yaitu metode estimasi dalam volume sel, estimasi dalam karbon dan
estimasi dalam klorofil. Kemungkinan pengukuran klorofil dapat lebih dipercaya,
karena melalui pengukuran pancaran/pijaran (fluorescence). Metode ini
memungkinkan untuk mengukur produksi alga dalam karbon, klorofil dan
volume partikel dan volume sel. Perbandingan persamaan fotosintesis bisa
menggambarkan ketergantungan fotosintesis terhadap iirandians hingga
kedalaman air (Chusing 1975). Analisis produktivitas primer dalam penelitian ini
didasarkan pada estimasi klorofil (klorofil-a).
Data produktivitas primer yang digunakan dalam analisis produksi ikan
diperoleh dari situs http://science.oregonstate.edu/ocean.productivity/standart.
product.php, data ini berupa data citra produktivitas primer bersih (net
productivity primary/NPP). Citra NPP yang digunakan adalah citra NPP produksi
standar yang merupakan citra nilai NPP secara global yang dihasilkan dengan
menggunakan Vertically Generalized Production Model (VGPM) yang
dikemukakan oleh Behrenfeld and Falkowki (1997). Dalam model ini, nilai NPP
merupakan fungsi dari klorofil-a (SSC) dan suhu permukaan (SST) yang diperoleh
dari citra Aqua MODIS level 3 (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer)
dan Photosynthetically Active Radiation (PAR) dari citra SeaWiFS level 3 (Sea
Viewing Wide Field-of-View Sensor), serta kedalaman eufotik (Gambar 61).
Secara matematis, VGPM NPP menurut Behrenfeld and Falkowki (1997)
dinyatakan sebagai berikut:
eub
opt ZaChlDLPARPARPNPP
+
= .)1.4(
66125.0 (gC m-2 thn-1) ........................(7.1)
dimana :
2956.12749.00617.00205.0
10462.210348.1104132.31027.323
43546678
+++
++=
TTT
TTTTPbopt ........(7.2)
http://science.oregonstate.edu/ocean.productivity/standart.%20product.phphttp://science.oregonstate.edu/ocean.productivity/standart.%20product.php
145
T = Suhu permukaan (C)
PAR = Radiasi/cahaya antara 400-700 nm
DL = Lama penyinaran matahari (12)
Chl.a = Konsentrasi klorofil-a permukaan (mgC m-)
Zeu = Kedalaman eufotik (m).
Produktivitas PrimerDL
BoptP ZeuC
SST
MODIS L3
PAR
SeaWiFS L3
Chl.a
INSITU OPTIC
ZeuM
----- : Alternatif lain ZeuC : Zeu hasil perhitungan ZeuM : Zeu hasil pengukuran
Gambar 61. Diagram Vertically Generalized Production Model produktivitas primer bersih (VGPM NPP).
Citra NPP yang digunakan merupakan citra NPP bulanan dengan resolusi
spatial 9 km. Untuk memperoleh nilai NPP, maka dilakukan pengolahan terhadap
citra NPP bulan Juni 2005 untuk Lokasi A dan citra bulan Juli 2006 untuk Lokasi
B. Sementara nilai NPP untuk tahun 2005 dan 2006 diperoleh dari analisis
masing-masing citra bulanan untuk kedua tahun tersebut. Pengolahan dilakukan
dengan menggunakan software SeaDAS (SeaWiFS Data Analysis System) versi
5.2 under Linux. Citra NPP untuk lokasi penelitian diperoleh melalui proses
pemotongan citra (cropping) untuk bulan Juni 2005 dan bulan Juli 2006, serta
untuk citra NPP tahun 2005 dan tahun 2006 dari hasil olahan 12 citra bulanan
untuk kedua tahun tersebut. Selanjutnya nilai NPP dari citra lokasi penelitian
disimpan dalam format ascii, yang selanjutnya digunakan untuk proses
perhitungan potensi ikan.
146
Pemotongan citra juga dilakukan terhadap citra klorofil-a dan citra NPP
untuk okasi A terhadap daerah pantai barat Kalimantan. Hal ini dilakukan untuk
menghilangkan bias dalam perhitungan standing stok di wilayah ini akibat
pengaruh muatan tersuspensi (sediment) yang berasal dari daratan.
Nilai NPP dari citra yang merupakan nilai produksi primer, digunakan
dalam perhitungan dan pendugaan potensi ikan dengan menggunakan rumus
umum yang dikemukakan oleh Parson et al. (1984) sebagai berikut: nBEP = ................................................................................................(7.3)
dimana P = Produksi ikan (mgC m- thn-1)
B = Produksi primer /NPP (gC m- thn-1)
E = Efisiensi ekologi (%)
n = Jumlah tingkatan tropik
Untuk mendapatkan jumlah produksi atau potensi ikan dalam jumlah berat
(ton) untuk Lokasi A dan Lokasi B, serta potensi ikan pada tahun 2005 dan 2006,
maka produksi ikan dalam mgC m- thn-1 dikalikan dengan luas masing-masing
area penelitian. Perhitungan produksi ikan (ton) didasarkan pada asumsi yang
dikemukakan oleh Eppley and Peterson (1979) yang diacu dalam Parson et al.
(1984) bahwa perbandingan berat basah ikan dan berat karbon adalah 20.
147
Hasil dan Pembahasan
Suhu Permukaan Laut (SST)
Hasil analisis citra satelit untuk suhu permukaan, terlihat bahwa pada
Lokasi A, suhu (SST) berkisar 29,13 31,95 C, dengan rata-rata 30,76 C.
Gambaran fluktuasi SST di lokasi ini (Gambar 62a) memperlihatkan perairannya
terbagi atas dua bagian secara membujur. Di bagian timur dengan massa air yang
panas yaitu dari sekitar garis bujur 107 hingga dekat pantai barat Kalimantan
dengan SST > 30,75 C, sedangkan di bagian barat massa airnya lebih dingin
dengan SST < 30,5 C.
Fluktuasi massa air dengan SST yang terlihat pada Lokasi A berbeda
dengan Lokasi B. Rata-rata SST yang ditemukan di lokasi ini sebesar 29,73 C
dengan kisaran SST 29,21 32,07 C. Berdasarkan kisaran SST di kedua lokasi
penelitian, ternyata SST maksimum di Lokasi B lebih tinggi dari Lokasi A, namun
secara keseluruhan massa air di Lokas A lebih panas dan hanya di daerah pada
posisi 106,46 BT dan 0,54 LU ditemukan SST yang rendah yaitu 29,13 C,
sedangkan massa air di bagian perairan lainnya memiliki SST yang rata-rata lebih
tinggi dari massa air di Lokasi B. SST tertinggi di Lokasi B (Juli 2006) hanya
ditemukan di daerah sekitar Kepulauan Anambas yaitu pada posisi 100,29 BT
dan 3,29 LU.
Di Lokasi A, massa airnya terbagi atas dua bagian, sedangkan di Lokasi B
(Gambar 62b) massa airnya terbagi atas 3 bagian. Dimana pada bagian timur
perairan terlihat massa air dengan SST > 30,0 C pada daerah sekitar >108,3 BT
dan < 4,00 LU; di bagian tengah perairan dengan suhu 29,75 C yang dominan
dijumpai di sebelah timurlaut perairan dan di bagian barat perairan dengan SST
29,75 C. Diduga massa air di bagian tengah perairan ini merupakan pertemuan
antara massa air di bagian timur perairan dengan SST yang lebih tinggi dengan
massa air di bagian barat perairan dengan SST yang rendah.
148
Gambar 62. Distribusi rata-rata bulanan suhu permukaan laut (SST) di lokasi penelitian berdasarkan data MODIS dengan resolusi 9 km.
149
Klorofil-a Permukaan Laut (SSC).
Klorofil-a merupakan salah satu pigmen fitoplankton yang sangat
mempengaruhi sifat optik air laut. Konsentrasi pigmen fitoplankton atau klorofil-a
ini dapat dianalisis melalui metoda penginderaan jauh. Konsentrasi klorofil-a
sangat menentukan besarnya produktifitas primer di suatu perairan. Khusunya di
perairan LCSI, rata-rata konsentrasi klorofil-a permukaan (SSC) pada Lokasi A
(105,1-108,8 BT dan 0,0-3,0 LU) adalah 0,34 mg m-. dengan kisaran
konsentrasi 0,10 3,21 mg m-. Pada Lokasi B (106,3-109 BT dan 2,4-5,0
LU), rata-rata konsentrasi klorofil-a adalah 0,18 mg m-, dengan kisaran
konsentrasi 0,08-0,74 mg m-. Berdasarkan besarnya konsentrasi klorofil-a di
kedua lokasi penelitian, ternyata di Lokasi A ditemukan konsentrasi klorofil-a
yang lebih tinggi dibandingkan dengan Lokasi B.
Tingginya konsentrasi klorofil-a, khususnya di pantai bagian barat
Kalimantan diduga karena perairannya dangkal (< 20 m) dimana penetrasi sinar
matahari mampu menembus seluruh kolom air, sehingga proses fotosintesa dapat
berlangsung dengan baik pada seluruh kolom air tersebut. Perairan yang dangkal
juga menyebabkan proses pengadukan massa air hingga dasar perairan terjadi
secara baik ,sehingga memperkaya dan menyuburkan perairan tersebut. Selain itu
juga karena adanya pengaruh runoff, khususnya di bagian wilayah pantai
Kalimantan Barat yang kaya dengan nutrien sehingga memperkaya wilayah
sekitarnya. Hal ini seperti terlihat pada Gambar 63a, dimana konsentrasi klorofil-a
ditemukan dengan konsentrasi yang tinggi yaitu >1.0 mg m-. Namun secara rata-
rata, perairan LCSI lokasi penelitian bulan Juni 2005 memiliki konsentrasi
klorofil-a yang cukup tinggi untuk kehidupan planktonik.
Pada lokasi penelitian bulan Juli 2006 (Gambar 63b) terlihat bahwa
konsentrasi klorofil-a 0,2 mg m- hanya ditemukan pada daerah-daerah dekat
daratan yaitu disekitar Kepulauan Natuna, Pulau Subi dan Kepulauan Anambas.
Konsentrasi klorofil-a merupakan indikasi kandungan fitoplankton di suatu
perairan, rendahnya konsentrasi klorofil-a di suatu lokasi, maka dapat dikatakan
bahwa lokasi ini kurang subur atau produktivitasnya rendah.
150
Gambar 63. Distribusi rata-rata bulanan klorofil-a permukaan laut (SSC) di
lokasi penelitian berdasarkan data MODIS dengan resolusi 9 km.
151
Tingginya konsentrasi klorofil-a di suatu perairan akan meningkatkan
produktivitas zooplankton, sehingga secara langsung tercipta rantai makanan
yang menunjang produktivitas ikan di perairan ini. Hal ini seperti dikatakan oleh
Borstad and Gower (1984) bahwa konsentrasi klorofil-a > 0,2 mg m-
menunjukkan kehadiran kehidupan planktonik yang mampu melestarikan
perikanan komersial. Sebaran SSC yang ditemukan di kedua lokasi ini, kondisinya
sama dengan yang ditemukan oleh Arinardi (1997), dimana SSC diperoleh dengan
konsentrasi padat (>0,5 mg m-) di sepanjang pantai timur Sumatera dan di sekitar
pantai barat Kalimantan, di kedua wilayah ini bermuara sejumlah sungai-sungai
besar yang sangat mempengaruhi kesumburan fitoplankton di pantainya.
Perairan yang massa airnya tercampur sempurna pada kolom perairan dan
adanya suplai nutrien dari daratan (runoff), akan meningkatkan kandungan
klorofil-a di suatu perairan. Menurut Arinardi (1997) perairan Indonesia
merupakan perairan yang memiliki kandungan klorofil-a yang tinggi. Hal ini
hampir selalu berkaitan dengan adanya pengadukan dasar perairan, dampak aliran
sungai (pantai utara Jawa, pantai timur Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya)
serta berlangsungnya proses penaikan massa air dari lapisan dalam ke permukaan
(Laut Banda, Laut Arafura, selat Bali, dan Selatan Jawa).
Hubungan antara SSC dan SST
Analisis regresi dilakukan untuk melihat hubungan antara SSC dan SST
citra satelit MODIS dengan SSC dan SST insitu. Disamping itu pula, analisis
dilakukan untuk SSC dan SST citra. Hasil analisis hubungan SSC citra dan SSC
insitu pada lokasi penelitian bulan Juni 2005 (Gambar 64) diperoleh model
persamaan:
SSC citra = -0,1423 + 3.323 SSC insitu ......................................................(7.4)
dengan koefisien korelasinya (r) 0,91; sedangkan untuk hubungan SST citra dan
SST insitu diperoleh model persamaan:
SST citra = 12,2498 + 0,6184 SST insitu ...................................................(7.5)
dengan koefisien korelasinya (r) 0,50. Berdasarkan nilai koefisien kolerasi (r) dari
kedua persamaan ini, terlihat bahwa ada korelasi antara data insitu dan data citra
152
satelit. Dengan kata lain citra MODIS yang digunakan, baik untuk
merepresentasikan kondisi SST dan SSC di lokasi penelitian (Lokasi A).
y = 3.3232x - 0.1423R 2 = 0.8299
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
2.00
0.05 0.15 0.25 0.35 0.45 0.55 0.65
SSC in situ
SSC
citr
a
a
y = 0.6184x + 12.2498R 2 = 0.2517
30.00
30.40
30.80
31.20
31.60
29.20 29.40 29.60 29.80 30.00 30.20 30.40 30.60
SST insitu
SST
citr
a
b
Gambar 64. Hubungan antara: (a) SSC insitu dan SSC citra dan (b) SST insitu
dan SST citra di Lokasi A (Juni 2005).
Hubungan antara SSC citra dan SSC insitu serta SST citra dan SST insitu
pada Lokasi B (Juli 2006) dari hasil analisis regresi diperoleh persamaan masing-
masing:
SSC citra = 0,1137 + 0,7913 SSC insitu ....................................................(7.6)
dengan koefisien korelasi (r) 0,80 dan
SST citra = 15,3760 + 0,4887 SST insitu ....................................................(7.7)
dengan koefisien korelasi (r) 0,63.
Koefisien korelasi dari kedua persamaan yang menerangkan hubungan
antara data citra dan data insitu untuk SST dan SSC di lokasi ini, terlihat ada
153
hubungan satu sama lain. Dengan kata lain, citra MODIS bulan Juli untuk Lokasi
B, dapat merepresentasikan kondisi SSC dan SST sebenarnya di lokasi penelitian,
dengan masing-masing koefisien korelasi (r) untuk hubungan antar SSC dan antar
SST adalah 0,80 dan 0,63 (Gambar 65).
y = 0.7913x + 0.1137R 2 = 0.6361
0.10
0.14
0.18
0.22
0.26
0.30
0.00 0.02 0.04 0.06 0.08 0.10 0.12 0.14 0.16
SSC in situ
SSC
citr
a
a
y = 0.4887x + 15.3760R 2 = 0.4013
29.3
29.5
29.7
29.9
30.1
29.0 29.2 29.4 29.6 29.8 30.0
SST in situ
SST
citr
a
b
Gambar 65. Hubungan antara SSC insitu dan SSC citra dan (b) SST insitu dan SST citra di Lokasi B (Juli 2006).
Korelasi positif antara data citra dan data insitu (hasil pengukuran) dalam
merepresentasikan kondisi sebenarnya di suatu lokasi penelitian, sangat
tergantung pada citra itu sendiri dan seberapa besar informasi data insitu yang
mewakili informasi suatu wilayah penelitian. Citra yang baik dan informatif, jika
citra tersebut terkoreksi dengan benar, bebas dari tutupan awan dan memiliki
resolusi tinggi.
154
Hubungan antara SST dan SSC citra untuk Lokasi A (Juni 2005) dan
Lokasi B (Juli 2006) diperoleh model persamaan untuk masing-masing adalah:
SSTSSC 5916,1241,48 += (Juni 2005) (7.8)
dimana R = 0,2185 dengan koefisien korelaasinya (r) 0,47
SSTSSC 0574,05306,1 += (Juli 2006) (7.9)
dimana R = 0,0298 dengan koefisien korelaasinya (r) 0,17
Nilai koefisian korelasi di atas menunjukkan bahwa antara SST dan SSC citra
satelit tidak begitu kuat hubungannya. Dengan kata lain perubahan kandungan
SSC di Lokasi A maupun di Lokasi B tidak berhubungan dengan perubahan dari
SST, namun dari Gambar 66, terlihat bahwa di beberapa tempat ditemukan
kandungan SSC yang tinggi pada SST yang tinggi, dimana pada SST 31,0
32,0 C ditemukan kandungan SSC dengan konsentrasi > 2,00 mg m- di Lokasi A
dan pada SST 29,7 33,3 C dengan konsentrasi SSC >0,4 mg m- di Lokasi B.
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
29 29.5 30 30.5 31 31.5 32 32.5
SST (C)
SSC
(mg/
m)
Lokasi A (Juni 2005)
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
29 29.5 30 30.5 31 31.5 32 32.5
SST (C)
SSC
(mg/
m)
Lokasi B (Juli 2006)
Gambar 66. Hubungan antara SST dan SSC citra MODIS.
155
Konsentrasi SSC di Lokasi A berkisar dari 0,1-3,21 mg m- tersebar pada
perairan dengan kisaran SST yang lebar yaitu dari 29,13 31,95 C, dan
konsentrasi SSC di lokasi ini lebih terkonsentrasi pada kisaran SST antara 30,0-
31,5 C. (Gambar 66a), sedangkan di Lokasi B, konsentrasi SSC dari 0,08-0,74
mg m- tersebar di perairan dengan SST yang sempit yaitu 29,21 30,42, namun
pada SST 32,07 C ditemukan konsentrasi SSC sebesar 0,47 mg m yaitu pada
daerah sekitar Kepulauan Anambas (Gambar 66b). Sehingga secara keseluruhan
(Gambar 66) menunjukkan bahwa perairan di Lokasi A memiliki kisaran SSC
yang tinggi pada kisaran SST yang lebih lebar dibandingkan dengan Lokasi B.
Produktivitas Primer Bersih (Net Productivity Primer).
Hasil analisis citra produktivitas primer bersih (NPP) rata-rata bulanan
untuk Lokasi A dalam tahun 2005 pada area dengan posisi 105,1 - 108,8 BT
dan 0,0 3,0 LU diperoleh NPP bulanan minimum sebesar 230,02 mgC m- hr-1 pada bulan April dan maksimum sebesar 2 173,38 mgC m- hr-1 pada bulan
Desember. Untuk Lokasi B di tahun 2006 pada posisi area 106,3 - 109,0 BT dan
2,4 - 5,0 LU, diperoleh NPP minimum sebesar 193,87 mgC m- hr-1 di bulan
Mei dan NPP maksimum diperoleh di bulan Januari sebesar 1 306,91 mgC m- hr-1.
Tabel 18. Rata-rata Produktivitas Primer Bersih/NPP (mgC m- hr-1) di LCSI.
Lokasi A (2005) Lokasi B (2006) Bulan Min. Maks. Rerata Min. Maks. Rerata
Januari 383,74 1 313,41 642,72 333,71 1 306,91 488,92Pebruari 270,63 1 170,07 458,98 358,44 899,74 466,07Maret 294,93 904,90 444,50 268,50 647,08 362,03April 230,02 735,81 335,26 215,67 505,06 290,29Mei 249,39 1 433,75 476,96 193,87 823,61 284,41Juni 234,66 1 790,16 571,38 194,57 697,22 277,50Juli 244,86 1 547,47 592,68 224,20 754,64 334,58Agustus 248,26 1 858,18 583,82 275,94 534,59 342,03September 260,03 1 367,45 554,49 251,85 539,71 340,10Oktober 240,11 1 664,40 405,25 249,10 512,34 316,36Nopember 263,22 1 627,98 480,04 211,07 587,74 283,74Desember 394,06 2 173,38 637,55 223,29 729,44 372,90
156
NPP rata-rata pada bulan Juni 2005 di Lokasi A pada saat dilakukan
penelitian sebesar 571,38 mgC m- hr-1, dengan kisaran NPP 234,66 1 790,16
mgC m- hr-1, sedangkan di Lokasi B pada bulan Juli 2006 memiliki nilai NPP
rata-rata sebesar 334,58 mgC m- hr-1, dengan kisaran NPP 224,20 -754,64 mgC
m- hr-1.
Secara keseluruhan dari tabel di atas, terlihat bahwa produktivitas primer
bersih di lokasi penelitian Juni 2005 (Lokasi A) lebih tinggi dari lokasi penelitian
Juli 2006 (Lokasi B). Nilai rata-rata NPP per bulan pada citra untuk Lokasi A dua
kali lebih besar dibandingkan Lokasi B, dengan rata-rata NPP makisimum tiap
bulannya lebih besar dari 1 000 mgC m- hr-1, sedangkan di Lokasi B, NPP
maksimum yang ditemukan hanya sebesar 1 306,91 mgC m- hr-1 pada bulan
Januari dan NPP di bulan lain nilainya < 1000 mgC m- hr-1 (Gambar 67).
Rata-rata produktivitas primer bersih dalam setahun pada Lokasi A sebesar
208,18 gC m- thn-1 dengan kisaran 316,18 1 233,54 mgC m- hr-1, sedangkan
pada Lokasi B sebesar 101,20 gC m- thn-1, dengan kisaran NPP-nya sebesar
275,94 647,05 mgC m- hr-1. Kandungan NPP di Lokasi A secara rata-rata
bulanan maupun tahunan terlihat lebih tinggi dari Lokasi B. Sebaran konsentrasi
NPP di kedua lokasi terlihat meningkat pada daerah yang lebih dekat dengan
daratan. Di Lokasi A, konsentrasi tertinggi ditemukan di wilayah pantai barat
Kalimantan, sedangkan di Lokasi B konsentrasi tertinggi ditemukan disekitar
Kepulauan Anambas dan Pulan Natuna. Tingginya konsentrasi ini diduga karena
dipengaruhi oleh runoff yang tinggi nutrien sehingga memperkaya produktivitas
perairan setempat.
0
100
200
300
400
500
600
700
800
Jan Peb Mrt Aprl Mei Juni Juli Agts Sept Okt Nop Des
NPP
rata
-rat
a (m
gC/m
/hr)
Lokasi A Lokasi B Gambar 67. Nilai rata-rata NPP (mgC m- hr-1) di lokasi penelitian LCSI.
157
Kandungan produktivitas primer yang terlihat pada Gambar 68 dan 69,
menunjukkan bahwa NPP makin berkurang pada daerah lintang tinggi, hal ini
disebabkan daerah ini yang jauh dari pengaruh daratan, juga karena perairannya
makin dalam. Kondisi ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Nybakken (1988)
bahwa pada perairan dangkal, interaksi ombak, arus, dan upwelling menimbulkan
turbulensi. Turbulensi ini mencegah perairan pantai terstratifikasi secara termal
kecuali untuk waktu yang singkat di daerah beriklim sedang. Produktivitasnya
lebih tinggi dibandingkan dengan perairan lepas pantai yang serupa karena
melimpahnya nutrien, baik yang berasal dari runoff maupun pendaurulangan.
Produktivitasnya tinggi (100-160 gC m-2 thn-1) sebagai menyangga populasi
zooplankton dan organisme bentos.
Oleh karena luasnya landasan kontinental, perairan yang relatif dangkal
dan masukkan dari sejumlah besar sungai dari daratan, LCS merupakan tubuh air
yang tinggi produktivitasnya dalam bentuk perikanan dan sumberdaya kehidupan
laut lainnya. Selain itu, LCS termasuk didalamnya hutan mangrove, padang lamun,
terumbu karang dan komunitas dasar laut, memungkinnya menjadi ekosistem
yang tinggi poduktivitasnya. Produktivitas ekosistemnya cukup tinggi yaitu
sebesar 150-300 gC m-2 thn-1 didasarkan pada estimasi produktivitas primer secara
global dari Sea-viewing Wide Field-of-view Sensor (SeaWiFS)
(http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/SeaWiFS/BACKGROUND/SEAWIFS_BACKG
ROUND.html dan http://na.nefsc.noaa.gov/lme/text/lme36.htm)
http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/SeaWiFS/BACKGROUND/SEAWIFS_BACKGROUND.htmlhttp://oceancolor.gsfc.nasa.gov/SeaWiFS/BACKGROUND/SEAWIFS_BACKGROUND.htmlhttp://na.nefsc.noaa.gov/lme/text/lme36.htm
158
mgC /m
mgC /m
Gambar 68. Kandungan NPP di Lokasi A pada bulan Juni 2005 dan tahun 2005.
159
mgC /m
mgC /m
Gambar 69. Kandungan NPP di Lokasi B pada bulan Juli 2006 dan tahun 2006.
160
Produksi Ikan (Standing stock).
Pengkajian pemanfaatan data satelit untuk penangkapan ikan khususnya
jenis ikan pelagis sudah mulai dilakukan lebih intensif di Indonesia sejak sepuluh
tahun terakhir. Dua data satelit yang dapat dimanfaatkan untuk pendugaan daerah
potensial penangkapan ikan (fishing ground) adalah data citra suhu permukaan
laut (SPL) dan citra produktifitas primer (klorofil-a) yang merupakan indikasi
kelimpahan plankton sebagai sumber makanan ikan (Hendiarti et al. 1995).
Kandungan produktivitas primer yang diperoleh di Lokasi A dalam
setahun (2005) sebesar 208,18 gC m- thn-1 sedangkan di Lokasi B dalam setahuan
(2006) sebesar 101,20 gC m- thn-1. Jika dibandingkan dengan nilai produktivitas
primer menurut Ryther 1969 diacu dalam Parson et al. 1984, maka besarnya nilai
NPP ini berada di antara lingkungan laut landas kontinen (continental shelf) dan
upwelling. Karena LCSI merupakan daerah kontinen, maka dalam perhitungan
produksi ikan, besarnya tingkat trofik dan efisiensi ekologis yang digunakan
adalah 3 dan 15%.
Tabel 19. Estimasi produksi ikan di daerah penelitian berdasarkan nilai NPP.
Lokasi A (Juni 2005) Lokasi B (Juli 2006) NPP (B) Produksi Ikan NPP (B) Produksi Ikan Bulan gC m- mgC m- Ton gC m- mgC m- Ton
Januari 259,66 876,35 1 993 766.91 142,77 481,83 739 659,49Pebruari 185,43 625,81 1 423 772,33 136,09 459,31 705 083,25Maret 179,58 606,07 1 378 855,76 105,71 356,78 547 686,36April 135,45 457,13 1 040 003,26 84,76 286,08 439 153,71Mei 192,69 650,34 1 479 562,49 83,05 280,29 430 266,07Juni 230,84 779,07 1 772 453,16 81,03 273,48 419 814,52Juli 239,44 808,12 1 838 523,57 97,70 329,73 506 166,14Agustus 235,86 796,03 1 811 037,15 99,87 337,07 517 432,62September 224,01 756,04 1 720 056,32 99,31 335,17 514 520,95Oktober 163,72 552,56 1 257 122,80 92,38 311,77 478 602,29Nopember 193,94 654,54 1 489 122,83 82,85 279,63 429 251,56Desember 257,57 869,29 1 977 705,68 108,89 367,50 564 141,36Rata-rata 208,18 702,61 1 598 498,52 101,20 341,55 524 314,86Std. Dev. 38,90 131,28 298 662,43 20,14 67,98 104 359,58
Berdasarkan kandungan NPP dalam setahun di tiap lokasi penelitian
dengan luas masing-masing 113 753,73 km (Lokasi A) dan 76 754,52 km
(Lokasi B), maka diperoleh produksi ikan sebesar 702,61 gC m- thn-1 atau sebesar
161
1 598 498,52 ton di lokasi A, sedangkan di Lokasi B diperoleh produksi ikan
sebesar 341,55 gC m- thn-1 atau sebesar 524 314,86 ton. Khusus untuk produksi
ikan bulanan di Lokasi A, produksi tertinggi diperoleh pada bulan Januari dan
Desember, sedangkan standing stock pada bulan Juni 2005 sebesar 1 772 453,16
ton. Pada Lokasi B, produksi ikan tertinggi ditemukan pada bulan Januari dan
Pebruari yaitu lebih dari 700 000 ton, sedangkan standing stock pada bulan Juli
2006 sebesar 506 166,14 ton (Tabel 19).
Kesimpulan
1. Lokasi penelitian bulan Juni 2005 (Lokasi A) memiliki rata-rata suhu
permukaan laut (SST), konsentrasi klorofil-a dan produktivitas primer bersih
(NPP) dengan nilai yang lebih tinggi dibandingkan pada lokasi penelitian
bulan Juli 2006 (Lokasi B).
2. Standing stock ikan di Lokasi A sebesar 1 772 453,16 ton (Juni 2005) dengan
rata-rata 1 598 498,52 ton di tahun 2005, sedangkan di Lokasi B sebesar 506
166,47 ton (Juli 2006) dengan rata-rata 524 314,86 ton di tahun 2006.
3. Fluktuasi standing stock per bulan di tahun 2005 (Lokasi A) berkisar dari
1 040 003,26 ton di bulan April hingga 1 993 766.91 ton di bulan Januari,
sedangkan di tahun 2006 (Lokasi B) standing stock berkisar dari 419 814,52
ton di bulan Juni hingga 739 659,49 ton di bulan Januari.