4 Hasil dan Pembahasan - Perpustakaan Digital · PDF filedalam reaksi hidrolisis pati menjadi...

12
4 Hasil dan Pembahasan Bab ini terdiri dari 6 bagian, yaitu optimasi pembuatan membran PMMA, uji kinerja membran terhadap air, uji kedapat-ulangan pembuatan membran menggunakan uji Q Dixon, pengujian aktivitas ekstrak kasar enzim α-amilase dalam keadaan bebas dan teramobilisasi pada poliakrilamid menggunakan metode Fuwa, uji kinerja membran bioreaktor dan analisis morfologi membran menggunakan scanning electron microscopy (SEM). 4.1 Optimasi Pembuatan Membran Polimetil Metakrilat Membran PMMA dibuat dengan metode inversi fasa. Larutan membran ditransformasikan secara terkendali menjadi fasa padat. Transformasi menjadi fasa padat dilakukan dalam 2 tahap, yaitu penguapan sebagian pelarut di udara dan perendaman dalam bak koagulasi. Penguapan sebagian pelarut di udara dilakukan untuk membentuk lapisan selektif membran PMMA. Pelarut DMF (dimetil formamida) adalah pelarut yang mudah menguap pada suhu kamar. Pada saat didiamkan di udara terbuka selama beberapa menit, sebagian pelarut akan berdifusi dari lapisan tipis larutan polimer ke udara. Hal ini akan mengakibatkan konsentrasi polimer meningkat pada lapisan difusi. Peningkatan konsentrasi polimer akan membuat pori- pori antarmolekul PMMA menjadi lebih kecil. Pada lapisan difusi, akan terjadi penataulangan molekul-molekul PMMA menjadi saling mendekat, sehingga pada lapisan difusi ini terbentuk pori yang lebih kecil. Lapisan dengan pori yang lebih kecil ini dikenal dengan lapisan selektif. Lapisan ini adalah lapisan tempat pemisahan selektif terjadi. Semakin lama waktu penguapan sebagian pelarut di udara, semakin tebal lapisan selektif yang terbentuk. Perendaman dalam bak koagulasi akan menghasilkan pori-pori yang lebih lebar. Pelarut polar akan mudah bergabung dengan pelarut yang polar. Pelarut yang dipergunakan sebagai koagulan adalah air. Air bersifat polar dan DMF memiliki kelarutan yang besar dalam air, tetapi air bertindak sebagai non-pelarut bagi PMMA. Ketika lapisan tipis larutan polimer direndam dalam bak koagulasi, maka pelarut DMF dalam larutan polimer akan segera berpindah ke bak koagulasi. DMF berpindah sangat cepat sehingga kelarutan PMMA akan menurun dengan cepat sampai akhirnya terbentuk lembaran membran. Perpindahan DMF ke bak koagulan yang begitu cepat, tidak memberikan peluang terjadinya penataulangan

Transcript of 4 Hasil dan Pembahasan - Perpustakaan Digital · PDF filedalam reaksi hidrolisis pati menjadi...

4 Hasil dan Pembahasan

Bab ini terdiri dari 6 bagian, yaitu optimasi pembuatan membran PMMA, uji kinerja

membran terhadap air, uji kedapat-ulangan pembuatan membran menggunakan uji Q Dixon,

pengujian aktivitas ekstrak kasar enzim α-amilase dalam keadaan bebas dan teramobilisasi

pada poliakrilamid menggunakan metode Fuwa, uji kinerja membran bioreaktor dan analisis

morfologi membran menggunakan scanning electron microscopy (SEM).

4.1 Optimasi Pembuatan Membran Polimetil Metakrilat

Membran PMMA dibuat dengan metode inversi fasa. Larutan membran ditransformasikan

secara terkendali menjadi fasa padat. Transformasi menjadi fasa padat dilakukan dalam 2

tahap, yaitu penguapan sebagian pelarut di udara dan perendaman dalam bak koagulasi.

Penguapan sebagian pelarut di udara dilakukan untuk membentuk lapisan selektif membran

PMMA. Pelarut DMF (dimetil formamida) adalah pelarut yang mudah menguap pada suhu

kamar. Pada saat didiamkan di udara terbuka selama beberapa menit, sebagian pelarut akan

berdifusi dari lapisan tipis larutan polimer ke udara. Hal ini akan mengakibatkan konsentrasi

polimer meningkat pada lapisan difusi. Peningkatan konsentrasi polimer akan membuat pori-

pori antarmolekul PMMA menjadi lebih kecil. Pada lapisan difusi, akan terjadi

penataulangan molekul-molekul PMMA menjadi saling mendekat, sehingga pada lapisan

difusi ini terbentuk pori yang lebih kecil. Lapisan dengan pori yang lebih kecil ini dikenal

dengan lapisan selektif. Lapisan ini adalah lapisan tempat pemisahan selektif terjadi.

Semakin lama waktu penguapan sebagian pelarut di udara, semakin tebal lapisan selektif

yang terbentuk.

Perendaman dalam bak koagulasi akan menghasilkan pori-pori yang lebih lebar. Pelarut

polar akan mudah bergabung dengan pelarut yang polar. Pelarut yang dipergunakan sebagai

koagulan adalah air. Air bersifat polar dan DMF memiliki kelarutan yang besar dalam air,

tetapi air bertindak sebagai non-pelarut bagi PMMA. Ketika lapisan tipis larutan polimer

direndam dalam bak koagulasi, maka pelarut DMF dalam larutan polimer akan segera

berpindah ke bak koagulasi. DMF berpindah sangat cepat sehingga kelarutan PMMA akan

menurun dengan cepat sampai akhirnya terbentuk lembaran membran. Perpindahan DMF ke

bak koagulan yang begitu cepat, tidak memberikan peluang terjadinya penataulangan

17

molekul-molekul PMMA, sehingga pori yang dihasilkan menjadi lebih besar dibandingkan

dengan pori pada lapisan selektif.

4.2 Uji Kinerja Membran Terhadap Air

Ukuran pori berperan penting dalam pemisahan menggunakan membran. Ukuran pori

membran menentukan selektivitas membran. Ukuran pori juga akan menentukan aplikasi

sebuah membran.

Metode yang cukup baik untuk mengukur besarnya pori membran adalah pengamatan

menggunakan scanning electron microscopy (SEM). Namun, analisis morfologi membran

dengan menggunakan SEM termasuk cukup mahal. Oleh karena itu, dilakukan pendekatan

untuk memperkirakan ukuran pori membran dengan cara yang lebih sederhana dan murah.

Pendekatan tersebut adalah mengukur permeabilitas membran yang dibuat terhadap air.

Semakin besar fluks air yang dihasilkan memberikan petunjuk mengenai adanya pori

membran yang berukuran besar. Sebaliknya, fluks air yang kecil memberikan petunjuk

bahwa pori yang terdapat pada membran berukuran kecil.

Hasil pengukuran permeabilitas air membran PMMA 10% (w/w) dengan waktu penguapan

sebagian pelarut 5, 10 dan 15 menit adalah sebagai berikut:

Gambar 4.1 Fluks membran dengan waktu penguapan sebagian pelarut selama 5 menit

Peningkatan laju alir terhadap membran, memberikan hubungan linier dengan fluks yang

dihasilkan. Hal ini sesuai dengan ungkapan matematis untuk fluks, yaitu:

dTdV

AJ 1=

Persamaan 4.1 Hubungan antara fluks membran dan laju alir

y = 2,401x + 60,20R² = 0,924

66

68

70

72

74

76

78

0,0 2,0 4,0 6,0 8,0

Fluk

s (L/ jam m

2)

Laju alir (L/ menit)

18

dengan J adalah fluks, A adalah luas membran (m2) dan dTdV

adalah laju alir (L/jam).

Gambar 4.2 Fluks membran dengan waktu penguapan sebagian pelarut selama 10 menit

Gambar 4.3 Fluks membran dengan waktu penguapan sebagian pelarut selama 15 menit

Membran polimer adalah membran yang lentur, mudah bergerak. Tipisnya membran dan

kurang mampatnya kisi polimer membuat fluks yang dihasilkan kurang stabil. Selama proses

kompaksi, volume air yang dihasilkan cenderung berkurang setiap waktunya. Hal ini terjadi

bukan karena adanya peristiwa penyumbatan pori membran (fouling), namun lebih

diakibatkan oleh kisi polimer yang belum kompak.

Proses kompaksi dilakukan untuk menstabilkan kisi polimer. Kisi polimer yang stabil akan

menghasilkan fluks yang stabil. Waktu kompaksi berbeda-beda untuk membran dengan

waktu penguapan pelarut yang berbeda. Semakin lama waktu penguapan sebagian pelarut,

maka waktu kompaksi yang dibutuhkan akan semakin lama. Semakin lama waktu penguapan

sebagian pelarut akan terbentuk lapisan selektif yang lebih tebal. Lapisan selektif yang

semakin tebal berarti semakin banyak kisi polimer yang harus dimampatkan sehingga waktu

kompaksi menjadi lebih lama.

y = 2,002x + 18,88R² = 0,954

0,0

5,0

10,0

15,0

20,0

25,0

30,0

35,0

0 2 4 6 8

Fluk

s (L/jam

 m2)

Laju alir (L/menit)

y = 4,245x + 66,75R² = 0,972

0,0

20,0

40,0

60,0

80,0

100,0

0 2 4 6 8

Fluk

s (L / jam m

2)

Laju alir (L /menit)

19

Ketebalan lapisan selektif sangat berpengaruh terhadap fluks yang dihasilkan. Semakin tebal

lapisan selektif berarti semakin besar hambatan hidrodinamik membran polimer sehingga

fluks yang dihasilkan akan semakin kecil. Hasil pengukuran fluks terhadap membran PMMA

10 % (w/w) dengan variasi waktu penguapan menunjukkan bahwa tidak ada hubungan linier

antara tebal lapisan selektif membran dan fluks air yang dihasilkan (Tabel 4.1).

Tabel 4.1 Perbandingan fluks air untuk membran dengan variasi waktu penguapan

Laju alir

(L/menit)

Fluks rata-rata (L/m2.jam)

5' 10' 15'

2,6 67,2 24,5 78,5

4,7 70,1 27,3 85,1

6,4 76,3 32,2 94,8

Hasil pengukuran yang terlihat pada Tabel 4.1 menunjukkan bahwa fluks air terbesar

diperoleh dari membran dengan waktu penguapan sebagian pelarut selama 15 menit. Fluks

air terkecil dimiliki oleh membran dengan waktu penguapan sebagian pelarut selama 10

menit.

Besarnya fluks berbanding lurus dengan ukuran pori yang dimiliki membran. Nilai fluks

yang besar memberikan indikasi bahwa pori yang dimiliki membran berukuran besar,

demikian pula sebaliknya. Data yang dihasilkan memberikan petunjuk bahwa membran

dengan waktu penguapan sebagian pelarut selama 10 menit memiliki pori paling kecil di

antara membran lain yang dibuat dalam penelitian ini. Ukuran pori terbesar dimiliki oleh

membran dengan waktu penguapan sebagian pelarut selama 15 menit.

20

Tabel 4.2 hubungan antara ukuran analit dengan proses membran

Spesi kimia Ukuran (nm) Proses membran

RO UF MF

Ragi dan Jamur 1000 - 10000

Virus 30 - 300

Protein 2 – 10

Polisakarida 2 – 10

Enzim 2 – 5

Gula sederhana 0,8 - 1,0

Organik 0,4 - 0,8

Ion anorganik 0,2 - 0,4

Membran PMMA yang telah dibuat berperan untuk pemisahan oligosakarida dari pati dan

enzim yang terdapat dalam fasa umpan. Pori membran PMMA harus lebih kecil dari ukuran

molekul pati dan enzim, tetapi memiliki ukuran yang cukup besar untuk meloloskan

oligosakarida. Ukuran pori membran PMMA yang sesuai untuk aplikasi ini berkisar antara

1,1 nm – 1,9 nm (Tabel 4.2). Membran PMMA dengan waktu penguapan sebagian pelarut

selama 10 menit dipilih sebagai kandidat membran bioreaktor karena memiliki pori paling

kecil diantara membran lain yang dibuat dalam penelitian ini, berdasarkan data fluks

membran yang diperoleh.

4.3 Uji kedapat-ulangan pembuatan membran

Pengukuran permeabilitas air dilakukan terhadap beberapa replika membran. Hal ini

dilakukan untuk menguji kedapat-ulangan pembuatan membran. Berikut ini adalah hasil

pengukuran fluks air dari membran PMMA 10 % (w/w):

21

Tabel 4.3 Fluks setiap replika membran waktu penguapan sebagian pelarut 5 menit

Tabel 4.4 Fluks setiap replika membran waktu penguapan sebagian pelarut 10 menit

Replika Laju Alir (L/menit)

2,6 4,7 6,4

1 24,32 28,08 32,06

2 16,36 18,24 21,01

3 26,09 28,75 33,39

4 31,4 34,27 42,45

5 50,19 53,95 60,36

Tabel 4.5 Fluks setiap replika membran waktu penguapan sebagian pelarut 15 menit

Replika Laju Alir (L/menit)

2,6 4,7 6,4

1 74,63 86,23 91,76

2 78,5 84,02 100,05

3 77,94 85,13 92,32

4 82,92 85,13 95,08

Hasil pengujian dengan uji Q menunjukkan bahwa kedapat-ulangan pembuatan membran

bernilai 100% untuk membran dengan waktu penguapan sebagian pelarut 10 dan 15 menit

(Tabel 4.4 dan tabel 4.5). Membran dengan waktu penguapan sebagian pelarut 5 menit

memiliki kedapat-ulangan pembuatan membran sebesar 80% (Tabel 4.3).

Replika Laju Alir (L/menit)

2,6 4,7 6,4

1 72,97 76,29 76,29

2 76,29 77,94 89,55

3 63,02 66,33 72,97

4 63,02 67,44 69,65

5 66,33 68,55 72,97

Keterangan:

: gagal uji Q

22

4.4 Uji aktivitas ekstrak kasar enzim α-amilase dalam keadaan bebas dan teramobilisasi

Tahap ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas ekstrak kasar enzim α-amilase dalam

keadaan bebas dan teramobilisasi. Aktivitas ekstrak kasar enzim α-amilase berperan penting

dalam reaksi hidrolisis pati menjadi oligosakarida. Semakin besar aktivitas enzim berkorelasi

dengan semakin banyak substrat yang dapat diubah per satuan waktu.

Dalam pembuatan membran bioreaktor, ekstrak kasar enzim α-amilase yang diisolasi dari

ragi Pichia pastoris diamobilisasikan dalam matriks polimer poliakrilamid. Pengujian

aktivitas ekstrak kasar enzim α-amilase teramobilisasi penting untuk mengkonfirmasi bahwa

ekstrak kasar enzim α-amilase masih memberikan aktivitas yang memadai untuk dijadikan

membran bioreaktor.

Penentuan aktivitas ekstrak kasar enzim α-amilase dalam keadaan bebas telah dilakukan oleh

Kelompok Keahlian Biokimia, Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung. Aktivitas ekstrak kasar enzim α-amilase

dalam keadaan bebas adalah sebesar 6621 unit aktivitas. Pengujian aktivitas ekstrak kasar

enzim α-amilase teramobilisasi menunjukkan bahwa aktivitas ekstrak kasar enzim α-amilase

turun menjadi 2843 unit aktivitas (Gambar 4.4).

Gambar 4.4 Aktivitas ekstrak kasar α-amilase setiap waktu

Penurunan aktivitas ekstrak kasar enzim α-amilase kemungkinan besar diakibatkan oleh

mekanisme polimerisasi akrilamid dan bis-akrilamid. Polimerisasi akrilamid dan bis-

akrilamid membentuk gel poliakrilamid terjadi melalui mekanisme radikal bebas. Reaksi

radikal bebas adalah reaksi yang sulit dikendalikan. Penambahan inisiator amonium persulfat

akan membentuk senyawa radikal yang akan menyerang akrilamid, bis-akrilamid dan ekstrak

kasar enzim α-amilase. Enzim yang bereaksi dengan radikal bebas diperkirakan mengalami

perubahan konformasi yang menyebabkan berkurangnya sisi aktif enzim. Perubahan

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

0 10 20 30 40

Unit a

ktivitas (m

g/mL)

waktu (menit)

23

konformasi sisi aktif enzim menyebabkan enzim kehilangan kemampuan untuk

mengkatalisis reaksi enzimatis sehingga aktivitas enzim akan menurun.

4.5 Uji kinerja membran bioreaktor

Membran bioreaktor yang dibuat dalam penelitian ini terdiri dari membran PMMA 10%

(w/w) dan ekstrak kasar enzim α-amilase yang diamobilisasi dalam matriks polimer

poliakrilamid. Pengujian terhadap membran bioreaktor dilakukan dengan melihat jumlah pati

yang diloloskan dan jumlah oligosakarida (yang dinyatakan dalam jumlah gugus gula

pereduksi) yang dihasilkan setiap waktu.

Uji kualitatif membran pada larutan permeat menggunakan larutan I2/KI, menghasilkan

larutan berwarna biru (pekat). Intensitas warna biru yang terbentuk bergantung pada

konsentrasi pati yang terdapat dalam larutan. Hasil uji ini menunjukkan keberadaan pati

dalam jumlah besar dalam fasa permeat. Pati seharusnya berada dalam fasa umpan, tidak

berpermeasi ke dalam fasa permeat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa membran

PMMA 10% (w/w) dengan waktu penguapan sebagian pelarut selama 10 menit memiliki

rejeksi yang rendah terhadap pati. Rejeksi diperbaiki dengan memberikan perlakuan panas

(annealing) terhadap membran. Annealing dilakukan dengan memanaskan membran dalam

oven pada suhu 65 °C selama 2 menit. Pemberian perlakuan panas terhadap membran

diharapkan dapat memperkecil pori membran sehingga meningkatkan rejeksi membran

terhadap pati.

Uji rejeksi terhadap pati dilakukan terhadap membran PMMA 10% (w/w) dengan waktu

penguapan sebagian pelarut selama 10 menit. Tabel 4.6 memperlihatkan perbandingan

absorbansi larutan pati yang berpermeasi menembus membran pada membran yang diberi

perlakuan panas dan membran tanpa perlakuan panas.

Tabel 4.6 Perbandingan rejeksi membran terhadap pati: absorbansi larutan pati dalam fasa

umpan

Menit

ke-

Absorbansi larutan umpan

Sebelum annealing setelah annealing 

0 0,0214 0,0331

80 0,0374 0,0519

Tabel 4.6 menunjukkan adanya peningkatan rejeksi terhadap pati meningkat dalam kasus

membran PMMA 10% yang diberikan perlakuan panas. Peningkatan absorbansi

menunjukkan peningkatan jumlah pati dalam fasa umpan. Semakin besar peningkatan

24

konsentrasi pati pada fasa umpan, mengindikasikan bahwa makin banyak pula pati yang

terrejeksi oleh membran. Dengan demikian, kinerja membran PMMA yang dipergunakan

sebagai membran bioreaktor diperbaiki dengan memberikan perlakuan panas terhadap

membran.

Gambar 4.5 Kadar pati dalam fasa umpan dan permeat

Gambar 4.5 menunjukkan adanya penurunan kadar pati (%w/v) dalam fasa umpan dan

peningkatan kadar pati (%w/v) dalam fasa permeat setiap waktu, dengan orde yang praktis

sama. Hal ini menunjukkan bahwa pati berpermeasi menembus membran. Dugaan ini

diperkuat oleh foto SEM. Analisis morfologi menggunakan SEM menunjukkan terbentuknya

pori berukuran nano pada membran. Ukuran pori terkecil yang terdapat pada membran

sebesar 200 nm (Gambar 4.6). Ukuran pori sebesar ini masih belum bisa merejeksi pati

substrat dan enzim yang masing-masing berukuran 2-10 nm dan 2-5 nm (Tabel 4.2).

Gambar 4.6 Foto SEM membran PMMA: a. Penampang permukaan b. Penampang melintang

y = ‐8E‐07x3 + 6E‐05x2 ‐ 0,000x + 0,007R² = 0,996

y = ‐2E‐07x3 + 3E‐05x2 ‐ 0,001x + 0,201R² = 1

0,000

0,050

0,100

0,150

0,200

0,250

0 10 20 30 40 50

Kad

ar p

ati (

% w

/v)

waktu (menit)

Permeat

Umpan

25

Sesuai dengan Persamaan 4.2, peningkatan kadar pati dalam fasa permeat mengakibatkan

koefisien rejeksi menurun setiap waktu (Gambar 4.7). Koefisien rejeksi adalah ukuran

keselektifan membran terhadap campuran larutan. Semakin besar koefisien rejeksi, semakin

besar tingkat keselektifan membran. Secara matematis, koefisien rejeksi dituliskan sebagai:

f

p

CC

R −=1

Persamaan 4.2. Koefisien rejeksi

dengan Cp adalah konsentrasi larutan pati dalam fasa permeat dan Cf adalah konsentrasi

larutan pati dalam fasa umpan.

Gambar 4.7 Rejeksi membran terhadap pati

Gambar 4.7 menunjukkan bahwa membran memiliki rejeksi yang memadai terhadap substrat

pati, kendati pengukuran pori membran PMMA menggunakan SEM memperlihatkan bahwa

ukuran pori yang terdapat pada membran jauh lebih besar dibandingkan ukuran polisakarida

pati. Rejeksi membran bioreaktor bertambah karena adanya lapisan polimer poliakrilamid

yang melapisi membran PMMA membuat pori membran bioreaktor menjadi lebih kecil.

y = 4E‐06x3 ‐ 0,000x2 + 0,003x + 0,963R² = 0,997

0,840

0,860

0,880

0,900

0,920

0,940

0,960

0,980

0 10 20 30 40 50

Rej

eksi

waktu (menit)

26

Gambar 4.8 Foto SEM membran bioreaktor: a. penampang permukaan b. penampang melintang

Gambar 4.8 menunjukkan tidak terbentuknya pori pada permukaan poliakrilamid. Walaupun

membran PMMA memiliki pori yang lebih besar dari ukuran pati, namun keberadaan lapisan

poliakrilamid yang rapat membuat sustrat pati sedikit tertahan.

Dalam penelitian ini untuk mendapatkan informasi mengenai kinerja membran bioreaktor

dan kaitannya dengan aktivitas enzim, kadar oligosakarida yang dihasilkan sebagai fungsi

waktu ditentukan. Penentuan kadar oligosakarida tidak secara langsung, namun ditentukan

dengan mengukur jumlah gugus gula pereduksi yang terdapat pada rantai sakarida. Setiap

rantai sakarida memiliki paling sedikit 2 buah gugus gula pereduksi. Jumlah oligosakarida

bisa didekati dengan pengukuran terhadap jumlah gugus gula pereduksi. Jumlah gugus gula

pereduksi ditentukan menggunakan metode DNS. Gugus gula pereduksi ini akan mengalami

reaksi redoks dengan pereaksi DNS. Pereaksi DNS akan mengalami reduksi, sedangkan gula

pereduksi akan mengalami oksidasi.

27

Gambar 4.9 Jumlah gugus gula pereduksi dalam fasa umpan dan permeat

Data yang diperoleh menunjukkan bahwa jumlah gugus gula pereduksi mengalami

penurunan dalam fasa umpan dan permeat (Gambar 4.9). Berkurangnya jumlah pati dalam

fasa umpan, akan menurunkan jumlah gugus gula pereduksi.

Penurunan kadar gula pereduksi dalam fasa permeat menunjukkan pengurangan jumlah pati

yang terhidrolisis. Berkurangnya jumlah pati yang terhidrolisis menyebabkan berkurangnya

gugus pereduksi yang dihasilkan dalam fasa permeat. Data ini menyimpulkan bahwa

kemampuan hidrolisis enzim mengalami penurunan. Hal ini mungkin diakibatkan oleh waktu

kontak yang terlalu singkat antara enzim dan substrat pati, mengingat laju alir larutan umpan

yang tinggi (2,7 L/menit).

y = 2E‐08x3 ‐ 3E‐06x2 + 1E‐05x + 0,032R² = 0,917

y = ‐3E‐08x3 ‐ 3E‐06x2 ‐ 1E‐06x + 0,026R² = 0,963

0,000

0,005

0,010

0,015

0,020

0,025

0,030

0,035

0 10 20 30 40 50

konsen

trasi gula pe

redu

ksi (% )

waktu (menit)

Umpan

Permeat