isi referat RHD SITI. R.doc
description
Transcript of isi referat RHD SITI. R.doc
BAB I
PENDAHULUAN
Demam reumatik akut adalah post-infeksi, sequela faringitis
nonsupuratif akibat Streptococcus pyogenes , atau Group A β hemolytic
Streptococcus (GABHS). Proses rematik ini merupakan reaksi peradangan
yang dapat mengenai banyak organ tubuh terutama jantung, sendi dan
sistem saraf pusat. RHD dapat menjadi satu keadaan yang kronik yang dapat
menyebabkan gagl jantung kongestif, strok, endokarditis, dan kematian.
Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti,
meskipun beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa
prevalensi penyakit jantung rematik berkisar antara 0,3 sampai 0,8 per
1.000. Dengan demikian, prevalensi demam rematik di Indonesia pasti lebih
tinggi dari angka tersebut, mengingat penyakit jantung rematik merupakan
akibat dari demam rematik. 2
Kelainan katup jantung yang menetap akibat demam rematik akut
dengan karditis sebelumnya .Terutama mengenai katup mitral (75%), aorta
(25%), Jarang mengenai katup trikuspid dan tidak pernah mengenai katup
pulmonal. Kelainan yang terjadi dapat berupa insufisiensi, stenosis, atau
keduanya.1
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Rheumatic Heart Disease (RHD) atau Penyakit jantung reumatik
(PJR) merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat demam
reumatik akut sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%), aorta
(25%), jarang mengenai katup trikuspid, dan katup pulmonal. Penyakit
jantung reumatik dapat menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau
keduanya. 3
2.2 ETIOLOGI
Katup-katup jantung rusak karena proses perjalanan penyakit yang
dimulai dengan infeksi tenggorokan yang disebabkan oleh bakteri Group A
β-hemolytic streptococcus (GABHS) (contoh: Streptococcus pyogenes),
bakteri yang bisa menyebabkan demam rematik.4
Streptococcus merupakan bakteri gram-positif berbentuk bulat, yang
mempunyai karakteristik dapat membentuk pasang atau rantai selama
pertumbuhannya. Streptococcus termasuk kelompok bakteri yang
heterogen.4
Sebagian besar dari streptococcus group A,B, dan C memiliki kapsul
yang terdiri dari asam hialuronat, yang menghalangi fagositosis. Dinding sel
terdiri dari protein ( antigen M, T, dan R ), karbohidrat (kelompok spesifik),
dan peptidoglikan. Pili terdapat pada grup A, yang berisi sebagian dari
protein M dan dilindungi oleh asam lipoteichoic, merupakan komponen
penting untuk perlekatan streptococcus pada sel epithelial. 4
Protein M. Merupakan faktor utama S.pyogenes grup A, yang
menjadikan bakteri virulen dan akan menolak fagositosis oleh PMN.
Terdapat lebih dari 80 jenis protein M, sehingga menyebabkan seseorang
dapat terinfeksi berkali-kali. Memiliki molekul berbentuk seperti batang
yang menggulung yang memisahkan fungsi utamanya. Struktur seperti ini
memungkinkan terjadinya perubahan urutan yang bessar ketika
mempertahankan fungsinya, dengan 2 kelas struktur utama pada protein M
yaitu kelas I dan kelas II.
2
Protein M dan antigen dinding sel bakteri streptococcus yang lain
memiliki peranan penting dalam patogenesis pada demam rematik.
Komponen dinding sel pada jenis M tertentu yang dapat mengakibatkan
antibodi bereaksi denga jaringan otot jantung. 4
Gambar 1: Struktur permukaan sel Streptococcus pyogenes dan sekresi produk yang
berperan dalam virulensi.4
2.3 EPIDEMIOLOGI
Demam rematik jarang terjadi sebelum usia 5 tahun dan setelah usia 25
tahun, paling banyak ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda. Insidens
tertinggi terdapat pada anak usia 5-15 tahun dan di negara tidak berkembang
atau sedang berkembang dimana antibiotik tidak secara rutin digunakan
untuk pengobatan faringitis.5
Di negara maju dan negara berkembang, faringitis dan infeksi kulit
(impetigo) adalah infeksi yang paling sering disebabkan oleh Group A β-
hemolytic streptococcus (GABHS), yang merupakan bakteri yang paling
sering menyebabkan faringitis, dengan insidens puncak pada anak usia 5-15
tahun. Faringitis streptokokal jarang terjadi pada 3 tahun pertama kehidupan
3
dan diantara orang tua. Diperkirakan sebagian besar anak-anak mengalami 1
episode faringitis per tahun, dimana 15-20% disebabkan oleh Group A β-
hemolytic streptococcus (GABHS) dan hampir 80% oleh virus patogen. 5
Di Fiji insidens demam rematik akut pada usia 5-15 tahun adalah 15,2
kasus dalam 100.000 populasi sedangkan di New Zealand 3.4 kasus dalam
100.000 populasi, dan kurang dari 1 kasus di Amerika Serikat. 5
Penyakit Jantung Rematik (PJR), adalah penyebab utama mitral
stenosis dengan 60% mitral stenosis murni dengan riwayat demam rematik
akut. Dengan insidens terjadi lebih sering pada perempuan dibandingkan
laki-laki (2:1). Pada negara berkembang, penyakit ini memiliki periode
laten 20-40 tahun sampai beberapa dekade untuk gejala penyakit ini
memerlukan intervensi bedah. Pada gejala yang terbatas 0-15% survival
rate tanpa terapi. Diperkirakan seperlima dari pasien dengan penyakit jatung
postreumatik memiliki insufisensi murni, 45% memiliki stenosis dengan
insufisiensi, 34% murni stenosis, dan 20% murni insufisiensi.5
Angka kematian PJR bervariasi dari 0,5 per 100,000 populasi di
Denmark, sampai 8,2 per 100,000 populasi di Cina, dan perkiraan angka
kematian PJR untuk tahun 2000 adalah 332000 seluruh dunia. Mortality rate
pada 100,000 populasi bervariasi dari 1,8 di regio WHO Amerika sampai
7,6 di WHO Asia Tenggara. Dan untuk DALYs ( Disability-adjusted life
years ) kehilangan diperkirakan 2,47 per 100,000 poupulasi di WHO
Amerika Serikat sampai 173,4 per 100,000 populasi pada WHO Regio Asia
Tenggara.5
4
Gambar 2: Prevalensi Penyakit Jantung Rematik (cases per 1000). 3
2.4 PATOFISIOLOGI
Demam reumatik merupakan kelanjutan dari infeksi faring yang
disebabkan Group A β-hemolytic streptococcus (GABHS). Reaksi autoimun
terhadap infeksi Streptococcus secara hipotetif akan menyebabkan
kerusakan jaringan atau manifestasi demam reumatik, sebagai berikut
1. Group A β-hemolytic streptococcus (GABHS). akan menyebabkan
infeksi pada faring
2. Antigen GABHS akan menyebabkan pembentukan antibodi pada
hospes yang hiperimun
3. Antibodi akan bereaksi dengan antigen GABHS, dan dengan jaringan
hospes yang secara antigenik sama seperti GABHS ( dengan kata lain
antibodi tidak dapat membedakan antara antigen GABHS dengan
antigen jaringan jantung),
4. Autoantibodi tesebut bereaksi dengan jaringan hospes sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan. 5
5
Patogenesis yang dimediasi imun pada demam rematik akut dan PJR
diduga adanya reaksi silang antara komponen GABHS dan sel mamalia.4
Diperkirakan terjadi reaksi silang oleh karena adanya kemiripan molekul
(molekul mimikri) antara protein M ( subtipe 1,3,5,14,18,19 dan 24 )5 dari
GABHS dengan antigen glikoprotein jantung, sendi dan jaringan lainnya.6
M protein pada GABHS ( M1,M5,M6, dan M19 ) bereaksi silang
dengan glikoprotein pada jantung seperti miosin dan tropomiosin, dan
endotelium katup.4
Antibodi antimiosin mengenali laminin, sebuah matriks ekstraseluler
alfa-heliks koil protein yang adalah bagian dari struktur membran katup.
Katup yang paling sering terkena secara urutan mulai dari yang tersering
adalah mitral, aorta, trikuspid, dan pulmonal. Dalam banyak kasus katup
mitral diikuti 1 atau 3 katup lainnya. 5
Sel T yang responsif terhadap protein M menginfiltrasi katup melewati
endotelium katup diaktivasi oleh ikatan antistreptokokal kabohidrat dengan
pelepasan TNF dan Interleukin.6
Selama demam rematik akut fokal inflamasi ditemukan pada berbagai
jaringan yang terutama dapat dibedakan di dalam jantung yang disebut
badan Aschoff. Badan Aschoff ini terdiri dari fokus-fokus eosinofil yang
menelan kolagen dikelilingi limfosit, terutama sel T terkadang plasma sel
dan makrofag besar yang disebut sel Anitschkow, yang merupakan
patognomonik dari demam rematik. Sel yang berbeda ini memiliki
sitoplasma yang berlimpah dan nuklei semtral bulat-panjang dimana
kromatin ditengah, ramping, seperti pita bergelombang yang disebut
caterpillar cell. 6,4
Selama fase akut, inflamsi difus dan badan Aschoff dapat ditemukan
pada ketiga lapisan dari jantung, perikardium, miokardium dan
endokardium yang disebut sebagai pankarditis.
Pada perikardium, inflamasi diikuti oleh eksudat fibirinous atau
serofibrinous sehingga diistilahkan perikarditis bread and butter yang
biasanya akan bersih tanpa sekule. Pada miokarditis, badan Aschoff tersebar
luas pada jaringan intersitial dan sering juga perivaskulat. Keterlibatan terus
6
menerus endokardium dan katup sisi kiri oleh fokus-fokus inflamasi
menghasilkan nekrosis fibrinoid didalam cusps atau sepanjang korda
tendinae dimana terletak vegetasi kecil berukuan 1-2mm yang disebut
veruka di sepanjang garis penutupan. Proyeksi ieregular seperti kutil ini
mungkin timbul dari presipitasi fibrin pada daerah erosi, berhubungan
dengan inflamasi yang terjadi dan degenrasi kolagen dan menyebabakan
gangguan kecil fungsi jantung. 6
Lesi sub endokardial, mungkin akan eksaserbasi oleh regurgitasi jets
yang memulai penebalan iregular disebut plak MacCallum biasanya pada
atrium kiri. PJR kronik memiliki karakter inflamasi akut dan subsekuen
fibrosis. Dalam partikel kecil, daun katup menjadi mebeal dan retraksi
menyebabkan deformitas permaen. Perubahan anatomi utama pada katup
mitral atau trikuspid adalah penebalan daun katup, fusi komisural dan
pemendekan, serta penebalan dan fusi dari korda tendinae, membentuk
seperti mulut ikan ( fish-mouth defromity) Pada penyakit kronis, katup
mitral selalu abnormal, tetapi keterlibatan katup lain seperi aorta mungkin
secara klinis adalah yang paling penting. 6
Secara mikroskopis terdapat fibrosis difus dan sering terdapat
neovaskularisasi yang menguranig lapisan awal dan susunan daun katup
avaskular. Badan Aschoff digantikan oleh jaringan parut fibrosis sehingga
bentuk diagnostik dari lesi ini jarang ditemukan pada spesimen jaringan
autopsi dari pasien dengan PJR kronik. 6
PJR kronik secara keseluruhan adalah penyebab tersering dari stenosis
mitral ( 99% kasus ). Dengan adanya mitral stenosis, atrium kiri berdilatasi
secara progresif dan mungkin terdapat trombus mural apakah pada tepi atau
sepanjang dinding. Kongestif paru yang lama memulai perubahan vaskular
paru dan perubahan parenkimal dan menuju kepada hipertrofi ventrikel
kanan.6,4
7
Gambar 3 Patofisiologi penyakit jantung rematik
Gambar 4: Nodul Aschoff
Gambar 5: Rematik perikarditis- eksudat fibrinous di permukaan
epicardial
2.5 POLA KELAINAN KATUP
1. Insufisiensi mitral
8
Insufisiensi mitral merupakan akibat dari perubahan struktural yang
biasanya meliputi kehilangan beberapa komponen katup dan pemendekan
serta penebalan korda tendineae. Selama demam rematik akut dengan
karditis berat, gagal jantung disebabkan oleh kombinasi dari insufisiensi
mitral yang berpasangan dengan peradangan pada perikardium,
miokardium, endokardium dan epikardium. Oleh karena tingginya volume
pengisian dan proses peradangan, ventrikel kiri mengalami pembesaran.
Atrium kiri berdilatasi saat darah yang mengalami regurgitasi ke dalam
atrium. Peningkatan tekanan atrium kiri menyebabkan kongesti pulmonalis
dan gejala gagal jantung kiri. 4,7
Perbaikan spontan biasanya terjadi sejalan dengan waktu, bahkan
pada pasien dengan insufisensi mitral yang keadaannya berat pada saat
onset. Lebih dari separuh pasien dengan insufisiensi mitral akut tidak lagi
mempunyai murmur mitral setelah 1 tahun. Pada pasien dengan insufisiensi
mitral kronik yang berat, tekanan arteri pulmonalis meningkat, ventrikel
kanan dan atrium membesar, dan berkembang menjadi gagal jantung kanan.
Insufisiensi mitral berat dapat berakibat gagal jantung yang dicetuskan oleh
proses rematik yang progresif, onset dari fibrilasi atrium, atau endokarditis
infekstif. 4,7
2. Stenosis Mitral
Stenosis mitral pada penyakit jantung rematik disebabkan adanya
fibrosis pada cincin mitral, adhesi komisura, dan kontraktur dari katup,
korda dan muskulus papilaris. Stenosis mitral yang signifikan menyebabkan
peningkatan tekanan dan pembesaran serta hipertrofi atrium kiri, hipertensi
vena pulmonalis, peningkatan rersistensi vaskuler di paru, serta hipertensi
pulmonal. Terjadi dilatasi serta hipertrofi atrium dan ventrikel kanan yang
kemudian diikuti gagal jantung kanan.4
3. Insufisiensi Aorta
Pada insufisiensi aorta akibat proses rematik kronik dan sklerosis katup
aorta menyebabkan distorsi dan retraksi dari daun katup. Regurgitasi dari
darah menyebabkan volume overload dengan dilatasi dan hipertrofi
ventrikel kiri. Kombinasi insufisiensi mitral dengan insufisiensi aorta lebih
9
sering terjadi daripada insufisiensi aorta saja. Tekanan darah sistolik
meningkat, sedangkan tekanan diastolik semakin rendah. Pada insufisiensi
aorta berat, jantung membesar dengan apeks ventrikel kiri
terangkat.Murmur timbul segera bersamaan dengan bunyi jantung kedua
dan berlanjut hingga akhir diastolik. Murmur tipe ejeksi sistolik sering
terdengar karena adanya peningkatan stroke volume. 4,6
4. Kelainan Katup Trikuspid
Kelainan katup trikuspid sangat jarang terjadi setelah demam rematik
akut. Insufisiensi trikuspid lebih sering timbul sekunder akibat dilatasi
ventrikel kanan. Gejala klinis yang disebabkan oleh insufisiensi trikuspid
meliputi pulsasi vena jugularis yang jelas terlihat, pulsasi sistolik dari hepar,
dan murmur holosistolik yang meningkat selama inspirasi. 4,6
5. Kelainan Katup Pulmonal
Insufisiensi pulmonal sering timbul pada hipertensi pulmonal dan
merupakan temuan terakhir pada kasus stenosis mitral berat. Murmur
Graham Steell hampir sama dengan insufisiensi aorta, tetapi tanda-tanda
arteri perifer tidak ditemukan. Diagnosis pasti dikonfirmasi oleh
pemeriksaan ekhokardiografi dua dimensi serta Doppler.4
2.6 DIAGNOSIS & MANIFESTASI KLINIS
Penegakan diagnosis dahulu berdasarkan kriteria Jones, tetapi saat ini telah
ada kriteria yang diperbaharui oleh AHA dan WHO tahun 2002-2003.
Dimana melalui kriteria yang terlah diperbaharui ini dapat dilakukan
diagnosis :5
1. Episode pertama demam rematik
2. Serangan berulang demam rematik pada pasien tanpa PJR
3. Serangan berulang demam rematik pada pasien dengan PJR
4. Reumatik Chorea
5. Onset awal Karditis Rematik
6. PJR Kronik
10
Tabel 1: Kriteria WHO untuk diagnosis demam rematik dan penyakit
jantung rematik tahun 2002-2003.5
11
Demam rematik akut didiagnosis dengan menggunakan kriteria Jones.
Kriteria tersebut dibagi menjadi tiga bagian : (1) lima gejala mayor, (2)
empat gejala minor, dan (3) bukti pemeriksaan yang mendukung adanya
infeksi GABHS.5,7,8
Gejala Mayor
Karditis
Poliartritis
Khorea
Eritema marginatum
Nodul subkutan
Gejala Minor
Temuan klinis :
Riwayat demam rematik atau penyakit jantung
rematik
Poliarthralgia
Demam
Temuan laboratorium:
Peningkatan reaktan fase akut ( laju pengendapan
eritrosit, protein C-reaktif, leukositosis)
Pemanjangan interval PR (elektrokardiogram)
Bukti yang
mendukung adanya
infeksi Group A β-
hemolytic
streptococcus
(GABHS)
Peningkatan titer antistreptolisin O (ASTO) atau titer
antibodi streptococcus lainnya
Kultur tenggorok Group A beta-hemolytic
streptococci atau pemeriksaan antigen streptokokus
hasilnya (+)
Rapid direct Group A strep carbohydrate antigen test
(+)
Riwayat Scarlet fever baru-baru ini.
Tabel 2 : Kriteria Jones
Kriteria Mayor
1. Karditis merupakan manifestasi klinik demam rematik yang
paling berat karena merupakan satu-satunya manifestasi yang
dapat mengakibatkan kematian penderita pada fase akut dan dapat
12
menyebabkan kelainan katup sehingga terjadi penyakit jantung
rematik. Diagnosis karditis rematik dapat ditegakkan secara klinik
berdasarkan adanya salah satu tanda berikut: (a) bising baru atau
perubahan sifat bising organik, (b) kardiomegali, (c) perikarditis,
dan gagal jantung kongestif. Bising jantung merupakan manifestasi
karditis rematik yang seringkali muncul pertama kali, sementara
tanda dan gejala perikarditis serta gagal jantung kongestif biasanya
baru timbul pada keadaan yang lebih berat. 5
2. Poliartritis, ditandai oleh adanya nyeri, pembengkakan,
kemerahan, teraba panas, dan keterbatasan gerak aktif pada dua
sendi atau lebih. Artritis pada demam rematik paling sering
mengenai sendi-sendi besar anggota gerak bawah. Kelainan ini
hanya berlangsung beberapa hari sampai seminggu pada satu sendi
dan kemudian berpindah, sehingga dapat ditemukan artritis yang
saling tumpang tindih pada beberapa sendi pada waktu yang sama;
sementara tanda-tanda radang mereda pada satu sendi, sendi yang
lain mulai terlibat. Perlu diingat bahwa artritis yang hanya
mengenai satu sendi (monoartritis) tidak dapat dijadikan sebagai
suatu criteria mayor. Selain itu, agar dapat digunakan sebagai
suatu kriteria mayor, poliartritis harus disertai sekurang-kurangnya
dua kriteria minor, seperti demam dan kenaikan laju endap darah,
serta harus didukung oleh adanya titer ASTO atau antibodi anti
Streptokokus lainnya yang tinggi.5
3. Korea secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan
tidak bertujuan yang berlangsung cepat dan umumnya bersifat
bilateral, meskipun dapat juga hanya mengenai satu sisi tubuh.
Manifestasi demam rematik ini lazim disertai kelemahan otot dan
ketidakstabilan emosi. Korea jarang dijumpai pada penderita di
bawah usia 3 tahun atau setelah masa pubertas dan lazim terjadi
pada perempuan. Korea Sydenham merupakan satu-satunya tanda
mayor yang sedemikian penting sehingga dapat dianggap sebagai
pertanda adanya demam rematik meskipun tidak ditemukan
13
kriteria yang lain. Korea merupakan manifestasi demam rematik
yang muncul secara lambat, sehingga tanda dan gejala lain
kemungkinan sudah tidak ditemukan lagi pada saat korea mulai
timbul.5,7
4. Eritema marginatum merupakan wujud kelainan kulit yang khas
pada demam rematik dan tampak sebagai makula yang berwarna
merah, pucat di bagian tengah, tidak terasa gatal, berbentuk bulat
atau dengan tepi yang bergelombang dan meluas secara
sentrifugal. Eritema marginatum juga dikenal sebagai eritema
anulare rematikum dan terutama timbul di daerah badan, pantat,
anggota gerak bagian proksimal, tetapi tidak pernah ditemukan di
daerah wajah. Kelainan ini dapat bersifat sementara atau menetap,
berpindah-pindah dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh yang
lain, dapat dicetuskan oleh pemberian panas, dan memucat jika
ditekan. Tanda mayor demam rematik ini hanya ditemukan pada
kasus yang berat.5
Gambar 6: Eritema marginatum
5. Nodulus subkutan pada umumnya hanya dijumpai pada kasus
yang berat dan terdapat di daerah ekstensor persendian, pada kulit
kepala serta kolumna vertebralis. Nodul ini berupa massa yang
padat, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan dari kulit di atasnya,
dengan diameter dan beberapa milimeter sampai sekitar 2 cm.
Tanda ini pada umumnya tidak akan ditemukan jika tidak terdapat
karditis.5,7
14
Gambar 7: Nodul Subkutan
Kriteria Minor
1. Riwayat demam rematik sebelumnya dapat digunakan sebagai
salah satu kriteria minor apabila tercatat dengan baik sebagai suatu
diagnosis yang didasarkan pada kriteria obyektif yang sama. Akan
tetapi, riwayat demam rematik atau penyakit jantung rematik
inaktif yang pernah diidap seorang penderita seringkali tidak
tercatat secara baik sehingga sulit dipastikan kebenarannya, atau
bahkan tidak terdiagnosis.5,7
2. Artralgia adalah rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa
disertai peradangan atau keterbatasan gerak sendi. Gejala minor ini
harus dibedakan dengan nyeri pada otot atau jaringan periartikular
lainnya, atau dengan nyeri sendi malam hari yang lazim terjadi
pada anak-anak normal. Artralgia tidak dapat digunakan sebagai
kriteria minor apabila poliartritis sudah dipakai sebagai kriteria
mayor.5
3. Demam pada demam rematik biasanya ringan, meskipun
adakalanya mencapai 39°C, terutama jika terdapat karditis.
Manifestasi ini lazim berlangsung sebagai suatu demam derajat
ringan selama beberapa minggu. Demam merupakan pertanda
infeksi yang tidak spesifik, dan karena dapat dijumpai pada begitu
banyak penyakit lain, kriteria minor ini tidak memiliki arti
diagnosis banding yang bermakna.5
4. Peningkatan kadar reaktan fase akut berupa kenaikan laju
endap darah, kadar protein C reaktif, serta leukositosis merupakan
indikator nonspesifik dan peradangan atau infeksi. Ketiga tanda
reaksi fase akut ini hampir selalu ditemukan pada demam rematik,
15
kecuali jika korea merupakan satu-satunya manifestasi mayor yang
ditemukan. Perlu diingat bahwa laju endap darah juga meningkat
pada kasus anemia dan gagal jantung kongestif. Adapun protein C
reaktif tidak meningkat pada anemia, akan tetapi mengalami
kenaikan pada gagal jantung kongestif. Laju endap darah dan
kadar protein C reaktif dapat meningkat pada semua kasus infeksi,
namun apabila protein C reaktif tidak bertambah, maka
kemungkinan adanya infeksi Streptokokus akut dapat
dipertanyakan. 5,8
5. Interval P-R yang memanjang biasanya menunjukkan adanya
keterlambatan abnormal sistem konduksi pada nodus atrioventrikel
dan meskipun sering dijumpai pada demam rematik, perubahan
gambaran EKG ini tidak spesifik untuk demam rematik. Selain itu,
interval P-R yang memanjang juga bukan merupakan pertanda
yang memadai akan adanya karditis rematik.5,7
Gambar 8: PR Interval memanjang
Bukti yang mendukung
1. Titer ASTO: Titer antistreptolisin O (ASTO) merupakan
pemeriksaan diagnostik standar untuk demam rematik, sebagai salah satu
bukti yang mendukung adanya infeksi Streptokokus. Titer ASTO dianggap
meningkat apabila mencapai 250 unit Todd pada orang dewasa atau 333 unit
Todd pada anak-anak di atas usia 5 tahun, dan dapat dijumpai pada sekitar
16
70% sampai 80% kasus demam rematik akut.5
2. Biakan: Infeksi Streptokokus juga dapat dibuktikan dengan
melakukan biakan usapan tenggorokan. Biakan positif pada sekitar 50%
kasus demam rematik akut. Bagaimanapun, biakan yang negatif tidak dapat
mengesampingkan kemungkinan adanya infeksi Streptokokus akut.5
Manifestasi Klinis Jantung dari Demam Rematik Akut
1. Carditis
Pankarditis adalah komplikasi yang paling serius dan komplikasi kedua
tersering dari demam rematik akut ( 50% ). Dalam kasus yang berat, pasin
mengeluhkan kesulitan bernafas (dispnea), nyeri dada ringan sampai
sedang, nyeri dada pleuritik, edema, batuk, atau ortopnea.7 Pada
pemeriksaan fisik, kardiris terutama dideteksi dengan adanya murmur baru
dan takikardia diluar proporsi demam. Murmur baru atau berubah harus
disadari untuk diagnostik valvulitis rematik.8 Beberapa kardiologis
menganjurkan pemeriksaan echo-Doppler untuk pembuktian insufisiensi
mitral, bersamaan dengan aorta insufisiensi, mungkin cukup untuk diagnosis
karditis ( walaupun tanpa adanya penemuaan pada auskultasi ) Manifestasi
lain dari jantung dapat meliputi gagal jantung dan perikarditis.
2. Perikarditis
Pada pemeriksaan fisik adanya adanya perikardial friction rub
mengindikasinya adanya perikarditis. Perkusi menjadi semakin redup pada
jantung dan suara jantung yang bergumam.7
3. Mitral insufisiensi
Gejala fisik bergantung kepada derajat keparahn, pada penyakit ringan,
tanda gagal jantung tidak terlihat, prekordium tenang dan pada auskultasi
terdapat holosistolik murmur yang menjalar ke aksila6 . Pada mitral
insufisiensi berat, tanda dari gagal jatung dapat terlihat, jatung membesar,
dengan impuls ventrikel kiri apikal yang berat tidak jarang terdapat thrill
sistolik apikal. Suara jantung ke-2 mungkin mengeras pada hipertensi
17
pulmonal, bunyi jantung ketiga biasanya menonjol. Terdengar holosistolik
murmur, serta murmur pendek mid-diastolik yang bergemuruh.8
4. Mitral stenosis
Pasien dengan lesi minimal tidak memiliki gejala. Derajat yang lebih
berat dari obstruksi, berhubungan dengan intolerasi kegiatan dan dispnea.
Pada lesi kritis dapat terjadi ortopnea, PND , edema pulmonal dan aritmia
atrial. Ketika hipertensi pulmonal telah terbentuk, terjadi dilatasi ventrikel
kanan yang menghasilkan insufisiensi triskupid fungsional, hepatomegali,
ascites, dan edema. Dapa terjadi hemoptysis sebagai penyebab dari
rupturnya vena bronkial atau pleurohilar. Dapat terjadi peningkatan JVP
( Jugular Vena Pressure ), penyakit katup trikuspid atau hipertensi pulmonal
berat pada penyakit yang berat.8
Pada penyakit yang ringan, ukuran hati norma.,walaupun demkinan
kardiomegali sedang adalah biasa pada mitral stenosis berat. Pembesaran
jantung dapat menjadi masif ketika fibrilasi atrial dan gagal jantung terjadi
tidak terduga. Pada palpasi dapat teraba pengangkatan ventrikel kanan pada
garis parasternal kanan ketika tekanan pulmonal meningkat. Prinsip
penemuan auskultasi : bunyi jantung 1 yang keras tetapi dpat berkurang
sejalan dengan penebalan katup , dan pembukaan katup (opening snap) dari
katup mitral dan mumur diastolik mitral yang panjang, bernada rendah dan
rumbling pada presistolik meningkat pada apeks. Murmur diastolik mitral
dapat absen pada pasien dengan gagal jantung. Holosistolik murmur dari
insufisiensi trikuspid dapat terdengar.8 Dengan adanya hipertensi pulmonal,
komponen pulmonal dari bunyi jantung ke-2 mengeras.
Terjadi pada 25% pasien dengan PJR kronik dan berasosiasi dengan mitral
insufisiensi pada 40% lainnya. Fibrosis progresif ( penebalan dan kalsifikasi
dari katup ) terjadi dari waktu ke waktu menyebabkan pembesaran atrium
kiri dan pembentukan trombi mural pada ruang ini.8
5. Stenosis aorta
Stenosis aorta dari PJR kronik secara tipikal berhubungan dengan aorta
insufisiensi. Komisura katup dan cusps menjadi melekat dan bersatu, lubang
katup menjadi kecil dengan bentuk bulat atau segitiga. Pada auskultasi S2
18
terdengar sendiri karena daun katup aorta yang imobile dan tidak
memproduksi suara penutupan aorta. Murmur sistolik dan diastolik dari
stenosis aorta dan insufisiensi terdengar paling baik pada bagian bawah
jantung.7
6. Insufisiensi Aorta
Pada PJR kronik aorta insufisiensi, sklerosis dari katup aorta hasil dari
distorsi dan retraksi dari cusps. Kombinasi dengan mitral insufisiensi lebih
sering terjadi daripada keterlibatan aorta sendiri. Gejala biasanya tidak
terjadi kecuali berat. Volume sekuncup yang besar dan kontraksi ventrikel
kiri yang kuat dapat menghasilkan palpitasi, terjadi intoleransi panas dan
keringat berlebih berelasi dengan vasodilatasi. Dispnea dapat berkembang
menjadi ortopnea, edema pulmonal. Angina dapa di cetuskan oleh aktivitas
yang berat. Serangan malam dengan keringat, takikardia, nyeri dada dan
hipertensi dapat terjadi.
Pada pemeriksaan fisik, pulse pressure lebar, tekanan darah sistolik
meninggi dan diastolik merendah. Pada insufisensi aorta berat terjadi
pembesaran ventrikel kiri. Thril diastolik mungkin ada. Murmur tipikal
mulai segera dengan suara jantung ke-2 dan berlanjut sampai akhir diastol
yang terdengar pada garis sternal atas dan kiritengah menjalar ke apeks dan
daerah aorta. Murmurnya bernada tinggi, blowing, dan mudah didengar
pada ekspirasi penuh dengan posisi pasien condong ke depan. Murmur
ejeksi sistolik sering terjadi karena peningkatan stroke volume. Murmur
presistolik apikal (Austin Flint murmur) menandakan mitral stenosis
terkadang terdengan sebagai hasil dari regurgitasi besar dari aliran aorta
yang menghalangi mitral membuka sepenuhnya. 6 Tromboembolisme terjadi
sebagai komplikasi mitral stenosis yang lebih sering terjadi ketika atirum
kiri berdilatasi, penurunan curah jantung, dan pasien mengalami fibrilasi
atrial.7 Anemia hemotilik jantung terjadi berkaitan dengan gangguan
eritrosit oleh katup yang berubah bentuk, meningkatkan destruk dan
pergantian oleh trombosit mungkin terjadi.7
7. Gagal Jantung Kongestif
19
Gagal jantung kongestif dapat terjadi sekunder akibat insufisiensi katup
yang berat atau miokarditis. Pada pemeriksaan fisik yang berkaitan dengan
gagal jantung meliputi takipnea, ortopnea, distensi vena jugularis, rales,
hepatomegali, ritme galop, edema dan pembengkakan ekstremitas.
2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Elektrokardiografi (EKG)
Pada mitral insufisuensi berat terlihat gel P bifasik prominen, disertai
tanda hipertrofi ventrikel kiri dan berhubungan dengan hipertrofi ventrikel
kanan. Pada mitral stenosis seiring dengan berat penyakit, terdapat gel P
notched dan hipertrofi ventrikel kanan menjadi terlihat. Pada EKG
insufisiensi aorta mungkin normal, tetapi pada kasus lanjutan terdapat
hipertrofi ventrikel kiri dan gelombang P prominen.5
Atrioventrikular (AV) blok derajat satu, yaitu dengan adanya
perpanjangan PR interval harus diperhatikan pada beberapa pasien dengan
PJR. Abnormalitas ini mungkin berhubungan dengan inflamasi miokardial
lokal yang meliputi nodus AV atau vaskulitis yang meliputi arteri di nodus
AV. Hal ini bukalah penemuan spesifik dan tidak digunakan dalam kriteri
diagnostik PJR.
Bila demam rematik akut berhubungan dengan perikarditis, dapat
terjadi ST elevasi yang biasa terlihat pada lead II, III, aVF, and V4 -V6.
Pasien dengan PJR mungkin mengalami atrial flutter, mutltifokal atrial
takikardia atau atrial fibrilasi dari penyakit katup mitral kronik dan dilatasi
atrium. 5
2. Pemeriksaan Laboratorium
A. Kultur tenggorok7,8
Penemuan SGA pada kultur tenggorok biasanya negatif pada saat gejala
demam rematik atau PJR terlihat. Organisme harus di isolasi sebelum terapi
antibiotik inisiasi.5,7,8
B. Tes deteksi cepat antigen
Tes ini memungkinkan deteksi cepat antigen GABHS dan memungkinkan
diagnosis faringitis streptokokal dan inisiasi terapi antibiotik ketika pasien
masih berada di ruang periksa. Karena spesifitasnya lebih dari 95% tetapi
20
sensitivitasnya hanya 60-90%, kultur tenggorok harus dilakukan
menambahkan hasil tes ini.5,7
C. Antibodi Antistreptococcal
Gejala klinis demam rematik dimulai saat antibodi berada pada tingkat
puncaknya, oleh karena itu, tes antibodi antistreptococcal berguna untuk
mengkonfirmasi infeksi GABHS sebelumnya. Peningkatan antibodi sangat
berguna terutama untuk pasien dengan gejala klinis yang ada hanya chorea.
Titer antibbodi harus di cek interval 2 minggu untuk mendeteksi kenaikan.
Tes antibodi terhadap ekstraselular antistreptococcal yang paling sering
adalah antistreptolisin O ( ASO ), antideoxyribonuklease (DNAse) B,
antihyaluronidase, antistreptokinase, antistreptococcal esterase dan anti-
DNA. Tes antibodi untu komponen selular antigen SGA meliputi
antistreptococcal polisaccharida, antiteichoic acid antibodi, dan anti M-
protein antibodi.5,7
Secara umum, rasio antibodi terhadap antigen ekstraselular
streptococcal meningkat selama bulan pertama setelah terinfeksi dan setelah
itu menurun dalam 3-6 bulan sebelum kembali ke kadar normal setelah 6-12
tahun. ASO memiliki titer puncak 2-3 minggu setelah onset demam rematik
dengan sensitivitas tes ini 80-85%. Anti DNAse B sedikit lebih sensitif
(90%) untuk mendeteksi demam rematik atau glomerulonefritis akut.5
Antihyaluronidase biasanya abnormal pada pasien demam rematik
dengan titer ASO normal dan meningkat lebih awal dan bertahan lebih lama
dari peningkatan titer ASO selama demam rematik.
D. C-reactive protein (CRP)
C-reactive protein (CRP) dan laju endap darah meningkat pada demam
rematik dikarenakan inflamasi yang merupakan natur dari penyakit.
Memiliki sensitivitas yang tinggi tetapi spesifsitas yang rendah.7
Peningkatan tingkat sedimentasi eritrosit (ESR) dan protein C reaktif
(CRP) – jenis tes darah yang mendeteksi kondisi peradangan tingkat CRP –
tes darah dapat mendeteksi tingkat lebih tinggi dari normal CRP (protein C
reaktif), yang dihasilkan oleh hati. CRP darah tinggi berarti ada
peradangan.8
21
E. Erythrocyte sedimentation rate (ESR)
Sel darah merah ditempatkan dalam tabung uji cairan, laju mereka turun
diukur. Jika sel turun lebih cepat dari biasanya itu bisa berarti pasien
memiliki kondisi inflamasi.8
3. Pemeriksaan Pencitraan
A. Rontgen Thoraks
Pada insufisiensi mitral, foto thoraks dapat dilihat pembesaran atrium
kiri dan ventrikel kiri, kongesti pembuluh darah perihilar yang adalah tanda
dari hipertensi vena pulmonalis dapat juga terlihat. Kalsifikasi mitral jarang
terjadi pada anak kecil.8
Pada mitral stenosis, lesi sedang atau berat, pada foto thoraks didapatkan
pembesaran atirum kiri dan pembesaran arteri pulmonalis dan ruang jantung
kanan, perfusi pada bagian apikal paru-paru yang lebih banyak. 5,8
Pada insufisiensi aorta, didapatkan pembesaran ventrikel kiri dan aorta.
B. Doppler-echocardiogram
Pada PJR akur, Doppler-echocardiography mengidentifikasi dan
menghitung insufisiensi katup dan disfungsi ventrikel. Studi di Kamboja
dan Mozambique memperlihatkan peningkatan 10 kali prevalensi PJR
ketika ekokardiografi digunakan untuk screening klinis dibandingkan
dengan penemuan klinis saja.5,9
Pada karditis ringan, Doppler membuktikan adanya mitral regurgitasi
yang ada selama fase akut penyakit yang menghilang dalam minggu sampai
bulan. Tetapi pasien dengan karditis sedang hingga berat memiliki mitral
dan atau aorta regurgitasi persisten
Penemuan penting pada ekokardiografi dari mitral regurgitasi dari
valvulitis akut reumatik adalah dilatasi anula, elongasi dari korda tendinae
menuju daun katup anterior dan mitral regurgitasi jet mengarah
posteriorlateral.9 Selama demam rematik akut, ventrikel kiri menjadi sering
dilatasi dengan ejeksi fraksi yang normal atau memendek. Oleh karena itu,
beberapa kardiologis mempercayai insufisiensi katup dari endokarditis
adalah penyebab dominan dari gagal jantung pada demam rematik akut
daripada disfungsi miokardium, yang disebabkan miokarditis.
22
Pada PJR kronik, ekokardiografi digunakan untuk melihat
perkembangan progresivitas dari stenosis katup dan membantu penentuan
waktu intervensi bedah. Daun katup yang terkena menjadi tebal secara
difus, dengan fusi komisura dan korda tendinae. Terjadinya peningkatan
densitas echo dari katup mitral menandakan kalsifikasi.9
Gambar 9: Insufisiensi Mitral LV=left ventricle; LA=left atrium; Ao=aorta;
RV=right ventricle.9
Dilihat dari parasternal long-axis, memperlihatkan jet insufisiensi sistolik
mitral pada PJR, jet biru memanjang dari ventrikel kiri menuju atrium kiri.
Jet ini secara tipikal mengarah ke dinding lateral dan posterior.
Gambar 10: Insufisiensi Aorta LV=left ventricle; LA=left atrium; Ao=aorta;
RV=right ventricle9
23
Dilihat dari parasternal long-axis, memperlihatkan jet insufisiensi diastolik
aorta pada PJR, jet merah memanjang dari aorta menuju ventrikel kiri.
World Heart Federation telah mempublikasikan guideline untuk
mengidentifikasi individual dengan PJR tanpa riwayat yang jelas dari
demam rematik akut. Berdasarkan pencitraan 2 dimesi dan pulsed-color
Doppler, pasien dikategorikan kedalam PJR definit, PJR borderline, dan
normal. Untuk pasien anak (didefinisikan usia <20 tahun) definit echo
termasuk didalamnya patologi mitral regusgitasi, dan sekurangnya 2
gambaran morfologi katup mitral dari PJR, yaitu mitral stenosis dengan
rata-rata gradien lebih dari 4 mmHg, patologi aorta regurgitasi, dan
sekurangnya 2 gambaran morfologi dari katup aorta pada PJR atau
bordeline penyakit baik dari katup aorta dan katup mitral.9
C. Kateterisasi Jantung
Hal ini tidak diindikasikan pada PJR akut. Pada PJR kronik dilakukan
untuk mengevaluasi penyakit katup mitral dan aorta dan untuk tindakan
ballon stentosis katup mitral. Hal yang harus diperhatikan setelah prosedur
ini adalan perdarahan, rasa nyeri, mual, dan muntah, serta obsrtuksi arteri
atau vena dari trombosis dan spasme. Komplikasi dapat meliputi mitral
insufisiensi setelah dilatasi ballon, takiaritmia, bradiaritmia, dan oklusi
vaskular.7
4. Penemuan histologi
Penemuan patologi pada katup insufisiensi adanya lesi veruka pada
garis penutupan. Badan Aschoff (perivaskular fokus-fokus dari eosinofilik
kolagen, dikelilingi oleh limfosit, plasma sel dan makrofag) ditemukan di
perikardium, regio perivaskular dari miokardium dan endokardium. Sel
Anitschkow adalah makrofag besar didalam badan Aschoff.8
2.8 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan medis pada mereka yang menderita PJR adalah untuk
1. Mengeliminasi faringitis SGA (bila masih ada)
2. Mensupresi inflamasi dari respon autoimun
3. Memberikan tatalakasana suportif bagi penderita gagal jantung.
24
Pada tahap resolusi episode akut, terapi ditujukan mencegah kekambuhan
PJR pada anak dan memonitoring komplikasi dan sequele dari PJR pada
orang dewasa.
MEDIKA MENTOSA
1. Antibiotik
Penisilin V oral dalah obat pilihan untuk terapi infeksi GABHS
faringitis. Dengan dosis: 250mg tablet 2 kali sehari untuk anak-anak. 500mg
tablet 2 kali sehari untuk dewasa. Pengobatan selama 10 hari. Bila penisilin
oral tidak ada, dosis tunggal intramuskular benzathine penisilin G atau
benzathine/prokain penisilin kombinasi adalah terapinya.8 Dengan dosis:
1,200,000 U jika berat badan lebih 20kg atau 600,000 U jika berat badan
kurang 20kg
Pada pasien yang alergi dengan penisilin, pemberian eritromisin atau
serfalopsporin generasi pertama, pilihan lainnya meliputi claritromisin
selama 10 hari, azitromisin selama 5 hari, atau spektrum sempit (generasi
pertama) sefalosporin selama 10 hari.
Untuk grup rekurren GABHS faringitis, 10 hari kedua dengan antibiotik
yang sama dapat diulang. Obat pilihan lainnya meliputi sefalosporin
spektrum sempit, amoksisilin-klavulanat, dicloxacillin, eritromisin, dan
makrolid lainnya.
Tabel 4: Antibiotic regimens for treatment of group A streptococcal
pharyngeal infections. 10
Antibiotik Dosis Durasi
Penicillin V 250 mg by peroral 2 to 3 kali sehari (≤27 kg)
atau 500 mg peroral 2 to 3 kali sehari (>27
kg)
10 hari
Benzathine penicillin G 600,000 units intramuscular (≤27 kg) atau
1,200,000 units intramuscular (>27 kg)
1x
Amoxicillin 50 mg/kg peroral setiap hari 10 hari
Cephalosporina (first
generation)
Drug-dependent 10 hari
25
Clindamycina 20 mg/kg/hari terbagi 3 dosis peroral 10 hari
Clarithromycina 15 mg/kg/hari terbagi 2 dosis peroral 10 hari
Azithromycina 12 mg/kg peroral setiap hari 5 hari
2. Anti-Inflamasi untuk Arthritis, Athralgia dan Karditis
Agen anti-inflamasi yang digunakan adalah dari golongan salisilat iaitu
Aspirin. Untuk karditis ringan hingga sedang, penggunaan aspirin saja
sebagai anti inflamasi direkomendasikan dengan dosis 4-8g/hari yang dibagi
dalam 4 sampai 6 dosis.Untuk arthritis, terapi aspirin selama 2 minggu dan
dikurangi secara bertahap selama lebih dari 2 sampai 3 minggu. Adanya
perbaikan gejala sendi dengan pemberian aspirin merupakan bukti yang
mendukung arthritis pada demam rematik akut. Setelah perbaikan, terapi
dikurangi secara bertahap selama 4-6 minggu selagi monitor reaktan fase
akut. Pemberian prednisone diindikasikan hanya pada kasus karditis berat. 5,7,8
3. Sydenham Chorea
Penanganan khorea Sydenham dilakukan dengan mengurangi stres fisik
dan emosional karena chorea adalah self-limiting. Jika chorea dengan gejala
yang parah chorea dapat diberikan antikonvulsi, seperti asam valproik atau
carbamazepine.7,8
4. Demam
Demam tidak memerlukan tertentu rawatan khusus. Demam biasanya
akan bertindak balas dengan baik terhadap terapi aspirin. 8
5. Carditis
Pasien dengan demam rematik akut dan gagal jatung mendapat terapi
meliputi digoxin, diuretik, reduksi afterload, suplemen oksigen, tirah baring
dan retriski cairan dan natirum.
Glucocorticoids: Bila terdapat karditis sedang hingga berat di indikasikan
adanya kardiomegali, gagal jantung kongestif, blok jatung derajat III, ganti
salisilat dengan prednison per oral. Pemberian prednison selama 2-6 minggu
bergantung tingkat keparahan karditis dan tapering prednisone selama
minggu terakhir. Prednison diberikan dengan dosis 1-2mg/kg/hari maksimal
26
80mg/hari dalam pemberian tunggal atau dalam dosis terbagi. Diberikan
selama 2-3 minggu kemudia diturunkan 20-25% setiap minggunya.
Digoxin: Digoxin peroral atau IV dengan dosis 125-250mcg/hari.
Diuretics: Furosemid peroral atau IV dengan dosis 20-40mg/jam selama
12-24 jam jika terdapat indikasi. 7
Agen pengurang afterload: ACE inhibitor-captopril mungkin efektif untuk
memperbaiki curah jantung, terutama dengan adanya insufisiensi mitral dan
aorta. Mulai dengan dosis initial yang kecil dan berikan hanya bila telah
dilakukan koreksi hipovolemia
6. Profilaksis Sekunder
Injeksi benzathine penisilin G intramuskular setiap 3-4 minggu
direkomendasikan untuk profilaksis sekunder. Injeksi diberikan sebanyak 13
kali harus diberikan setiap tahun nya bila di resepkan setiap 4 minggu, dan
17 kali bila diresepkan 3 minggu. 8,10 Pasien dengan demam rematik dan
gangguan katup memerlukan dosis tunggal antibiotik 1 jam sebelum
prosedur bedah dan prosedur gigi untuk mencegah endokarditis bakterial.
Pasien demam rematik tanpa masalah katup tidak memerlukan profilaksis
endokartiditis Jangan menggunakan penisilin, ampisilin atau amoksisilin
untuk profilaksis endokarditis pada pasien yang sudah menerima penisilin
sebagai profilaksis sekunder demam rematik. Pilihan obat lain yang
direkomendasikan oleh AHA meliputi klindamisin (20mg/kg untuk anak-
anak dan 600 mg untuk orang tua) dan azitromisin atau claritromisin
(15mg/kg untuk anak-anak dan 500mg untuk orang dewasa)
Antibiotic Dose
Benzathine penicillin
G
600,000 units intramuscular (≤27 kg) or 1,200,000 units
intramuscular (>27 kg) Every 4 weeks (3 weeks in high-risk
areas/populations)
Penicillin V 250 mg by mouth twice daily
Sulfadiazine 0.5 g by mouth daily (≤27 kg) or
1 g by mouth daily (>27 kg)
Macrolidea Drug-dependent
27
Tabel 11: Antibiotic regimen for secondary prophylaxis of acute rheumatic
fever.10
NON MEDIKA MENTOSA
1. Diet
Diet bernutrisi dan tanpa restriksi kecuali pada pasien dengan gagal
jantung, yang mendapat pembatasan cairan dan asupan garam. Suplemen
kalium mungkin diperlukan bila digunakan steroid dan diuretik.7,8
2. Aktivitas
Pasien tirah baring dan melakukan aktivitas didalam rumah sebelum
diperbolehkan bersekolah kembali. Aktivitas sepenuhnya tidak
diperbolehkan sampai fase akut reaktan kembali normal.7,8
3. Edukasi
Ketika diagnosis demam rematik akut ditegakkan, diperlukan edukasi
kepada pasien dan orang tuanya tentang perlunya pemakaian antibiotik
secara berkelanjutan untuk mencegah infeksi streptokokus berikutnya.
Adanya keterlibatan jantung, diperlukan pemberian profilaksis untuk
menangani endokarditis infektif.5,7,8
PENATALAKSANAAN OPERATIF
1. Mitral stenosis
— Prinsip dasar pengelolaan adalah melebarkan lubang katup mitral yang
menyempit, tetapi indikasi intervensi ini hanya untuk penderita kelas
fungsional III ke atas. Intervensi dapat bersifat bedah (valvulotomi,
rekonstruksi aparat sub valvular, kommisurotomi atau penggantian katup.8
2. Insufisiensi Mitral
Tindakan bedah hendaknya dilakukan sebelum timbul disfungsi
ventrikel kiri. Jika mobilitas katup masih baik, mungkin bisa dilakukan
perbaikan katup (valvuloplasti, anuloplasti). Bila daun katup kaku dan
terdapat kalsifikasi mungkin diperlukan penggantian katup (mitral valve
replacement). Katup biologik (bioprotese) digunakan terutama digunakan
untuk anak dibawah umur 20 tahun, wanita muda yang masih menginginkan
kehamilan dan penderita dengan kontra indiksi pemakaian obat-obat
28
antikoagulan. Katup mekanik misalnya Byork Shiley, St.Judge dan lain-lain,
digunakan untuk penderita lainnya dan diperlukan antikoagulan untuk
selamanya.5,8
3. Stenosis Aorta
Pasien dengan gejala-gejala akibat stenosis aorta membutuhkan
tindakan operatif. Pasien tanpa gejala membutuhkan penanganan yang
sangat hati-hati serta follow up untuk menentukan kapan tindakan bedah
dilakukan. Penanganan stenosis dengan pelebaran katup aorta memakai
balon masih diteliti. Pasien-pasien dengan gradien sistolik 75 mmHg harus
dioperasi walaupun tanpa gejala. Pasien tanpa gejala tetapi perbedaan
tekanan sistolik kurang dari 75 mmhg harus dikontrol setiap 6 bulan.
Tindakan operatif harus dilaksanakan bila pasien menunjukkan gejala
terjadi pembesaran jantung, peningkatan tekanan sistolik aorta yang diukur
denagn teknik Doppler. Pada pasien muda bisa dilakukan valvulotomi aorta
sedangkan pada pasien tua membutuhkan penggantian katup. Risiko operasi
valvulotomi sangat kecil, 2% pada penggantian katup dan risiko meningkat
menjadi 4% bila disertai bedah pintas koroner. Pada pembesaran jantung
dengan gagal jantung, risiko naik jadi 4 sampai 8%. Pada pasien muda yang
tidak bisa dilakukan valvulotomi penggantian katup perlu dilakukan
memakai katup sintetis. Keuntungan katup jaringan ini adalah kemungkinan
tromboemboli jarang, tidak diperlukan antikoagulan, dan perburukan
biasanya lebih lambat bila dibandingkan dengan memakai katup sintetis.5
4. Insufisiensi Aorta
Pilihan untuk katup buatan ditentukan berdasarkan umur, kebutuhan,
kontra indikasi untuk koagulan, serta lamanya umur katup. Penderita dengan
katup jaringan, baik porsin atau miokardial mungkin tidak membutuhkan
penggunaan antikoagulan jangka panjang. Risiko operasi kurang lebih 2%
pada penderita insufisiensi kronik sedang dengan arteri koroner normal.
Sedangkan risiko operasi pada penderita insufisiensi berta dengan gagal
jantung, dan pada penderita penyakit arteri, bervariasi antara 4 sampai 10%.
Penderita dengan katup buatan mekanis harus mendapat terapi antikoagulan
jangka panjang.5,7
29
2.9 PENCEGAHAN
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer dari demam rematik dimungkinkan dengan terapi
penisilin selama 10 hari untuk faringitis karena streptokokus. Namun, 30%
pasien berkembang menjadi subklinis faringitis dan oleh karena itu tidak
berobat lebih lanjut. Sementara itu, 30% pasien lainnya berkembang
menjadi demam rematik akut tanpa keluhan dan tanda klinis faringitis
streptokokus.7,8,9
2. Pencegahan sekunder
Pasien dengan riwayat demam rematik, termasuk dengan gejala khorea
dan pada pasien dengan tidak adanya bukti pemeriksaan yang menunjukkan
pasien menderita demam rematik akut harus diberikan profilaksis.
Sebaiknya, pasien menerima profilaksis dalam jangka waktu tidak terbatas.
Kategori Durasi
Demam rematik tanpa karditis Minimal selama 5 tahun atau sampai usia
21 tahun, yang mana lebih lama
Demam rematik dengan karditis tetapi
tanpa penyakit jantung residual (tidak ada
kelainan katup)
Minimal 10 tahun atau hingga dewasa,
yang mana lebih lama
Demam rematik dengan karditis dan
penyakit jantung residual (kelainan katup
persisten)
Minimal 10 tahun sejak episode terakhir
dan minimal sampai usia 40 tahun,
kadang-kadang selama seumur hidup
Tabel 12: Durasi profilaksis untuk demam rematik
210 PROGNOSIS
30
Perkembangan penyakit jantung sebagai akibat demam rematik akut
diperngaruhi oleh tiga faktor, yaitu:
1. Keadaan jantung pada saat memulai pengobatan. Lebih parahnya
kerusakan jantung pada saat pasien pertama datang, menunjukkan
lebih besarnya kemungkinan insiden penyakit jantung residual.
2. Kekambuhan dari demam rematik : Keparahan dari kerusakan katup
meningkat pada setiap kekambuhan.
3. Penyembuhan dari kerusakan jantung : terbukti bahwa kelainan
jantung pada serangan awal dapat menghilang pada 10-25% pasien.
Penyakit katup sering membaik ketika diikuti dengan terapi
profilaksis. 7
Prognosis sangat baik bila karditis sembuh pada permulaan serangan
akut demam rematik. Selama 5 tahun pertama perjalanan penyakit demam
rematik dan penyakit jantung rematik tidak membaik bila bising organik
katup tidak menghilang.
Prognosis memburuk bila gejala karditisnya lebih berat, dan ternyata
demam rematik akut dengan payah jantung akan sembuh 30% pada 5 tahun
pertama dan 40% setelah 10 tahun. Dari data penyembuhan ini akan
bertambah bila pengobatan pencegahan sekunder dilakukan secara baik. 5
31
BAB III
KESIMPULAN
Demam rematik merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik non
supuratif yang digolongkan pada kelainan vaskular kolagen atau kelainan
jaringan ikat. Proses rematik ini merupakan reaksi peradangan yang dapat
mengenai banyak organ tubuh terutama jantung, sendi dan sistem saraf
pusat. Penyakit demam rematik dan gejala sisanya, yaitu penyakit jantung
rematik, merupakan jenis penyakit jantung didapat yang paling banyak
dijumpai pada populasi anak-anak dan dewasa muda.
Pada penyakit jantung rematik tidak hanya terjadi kerusakan pada daun
katup akibat timbulnya vegetasi pada permukaannya, namun seluruh katup
mitral mengalami kerusakan (dengan pelebaran annulus dan tertariknya
korda tendineae). Katup mitral merupakan katup yang paling sering dan
paling berat mengalami kerusakan dibandingkan dengan katup aorta dan
lebih jarang pada katup trikuspid dan pulmonalis.
Demam rematik akut didiagnosis berdasarkan kriteria Jones dimana
didapatkan minimal dua gejala mayor atau satu gejala mayor dan dua gejala
minor, ditambah adanya bukti pemeriksaan yang menunjukkan adanya
infeksi streptokokus. Dua gejala mayor selalu lebih kuat dibandingkan satu
gejala mayor dengan dua gejala minor.
Penatalaksanaan pada demam rematik maupun penyakit jantung
rematik antara lain tirah baring, eradikasi streptokokus, pemberian obat anti-
inflamasi, pencegahan primer dan sekunder serta tindakan operatif pada
kelainan katup.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Michel D. Tracey RH. The worldwide epidemiology of acute rheumatic
fever and rheumatic heart disease. Clin Epidemiol. 2011; 3: 67-84
( Available at
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3046187/#b1-clep-3-
067 Accessed at January 1st, 2014)
2. Wahab AS. Penanganan Demam Rematik pada Anak. Berita
Kedokteran Masyarakat 1989; V (5): 196-203
3. Stollerman GH. Rheumatic Fever. In: Braunwald, E. etal (eds).
Harrison's Principles of Internal Medicine. 16th. ed. Hamburg.
McGraw-Hill Book. 2005 : p1977-79
4. Gerber MA. Chapter 182. Rheumatic Fever. In :Kleigman RM,
Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics.18th ed. UK : Elsevier;2007.p1135-45.
5. Report of a WHO Expert Consultation. Rheumatic Fever and
Rheumatic Heart Disease. WHO Expert Consultation Geneva, Oct 29-
Nov 01, 2001; ( http://whqlibdoc.who.int/trs/WHO_TRS_923.pdf )
6. Burke AP, Butanny J. Articles : Pathology of Rheumatic Heart Disease.
Updated April 7th 2011. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1962779-overview. Accessed at
January 1st, 2014.
7. Chanrashekhar YS. Jagat N. Rheumatic Fever. In Cardiovascular
Medicine. 3rd Ed. London: Springer; 2007. p431-42
8. Jonathan C. Alex B. Warren W. Keith E. Clive H. Dkk. Diagnosis and
management of acute rheumatic fever and rheumatic heart disease in
Australia An evidence-based review. National Heart Foundation of
Australia and the Cardiac Society of Australia and New Zealand. June
2006. (Available at
http://www.heartfoundation.org.au/SiteCollectionDocuments/Diagnosis
33
-Management-Acute-Rheumatic-Fever.pdf Accessed at January 1st,
2014.
9. Remenyi B. WHF Echocardiogphisc Criteria for Rheumatic Heart
Disease allow for Reproducible Diagnosis World-wide.Available at :
http://livestreamsa.co.za/wcpccs/presentations/files/WCPCCS/2013-02-
20/Ballroom%20West/10-50-00_Remenyi_Bo/Remenyi%20WHF
%20echo%20criteira%20validation.pdf. Accessed at May 18, 2013
34