SIMULASI VARIASI TEKANAN INLET DAN POSISI … · •Model Aliran Kompresible T M R p w ρ= abst c V M ...
BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tulang Sapi
Struktur tulang sapi pada prinsipnya sama dengan tulang lainnya yaitu
terbagi menjadi bagian epiphysis atau bagian sendi tulang dan diaphysis atau
bagian tengah tulang yang berbentuk silinder. Komposisi tulang sapi yang terdiri
dari 93% hidroksiapatit (Ca10(PO4)6(OH)2) dan 7% β-tricalcium phosphate
(Ca3(PO4)2, β-TCP) (Ooi et al.,2007). Komposisi kimia tulang sapi terdiri dari zat
anorganik berupa Ca, P, O, H, Na dan Mg, dimana gabungan reaksi kimia unsur
Ca, P, O, H merupakan senyawa apatite mineral sedangkan Na dan Mg
merupakan komponen zat anorganik tambahan penyusun tulang sapi dengan suhu
titik lebur tulang sapi sebesar 1227oK (Sontang, 2000).
2.2 Hidroksiapatit
Hidroksiapatit (HAp) adalah sebuah molekul kristalin yang intinya
tersusun dari fosfor dan kalsium dengan rumus molekul Ca10(PO4)6(OH)2 yang
termasuk di dalam keluarga senyawa kalsium fosfat. Hidroksiapatit yang berasal
dari tulang sapi telah secara luas dipelajari dalam bidang aplikasi medis seperti
digunakan untuk mencangkok tulang, memperbaiki, mengisi atau penggantian
tulang serta dalam pemulihan jaringan gigi. Hidroksiapatit digunakan di dalam
dunia medis karena memiliki sifat yang dapat beradaptasi dengan baik pada
jaringan keras dalam tulang, dapat membangun kembali jaringan tulang yang
sudah rusak dan juga di dalam jaringan lunak meskipun memiliki laju degradasi
yang rendah, sifat osteokonduktifitas yang tinggi, bersifat tidak beracun, non
inflamasi dan imunogenik (Kusrini dan Sontang, 2012).
6
2. 1. 1 Sifat – sifat Hidroksiapatit
Sifat fisika dan biokimia dari hidroksiapatit sama dengan yang dimiliki
oleh tulang dan gigi. Selain itu, struktur molekul hidroksiapatit juga sama dengan
struktur molekul tulang dan gigi.
a. Struktur Kristal
Struktur kristal senyawa hidroksiapatit dapat dibedakan menjadi dua jenis
yaitu monoklin dan heksagonal. Umumnya kristal hidroksiapatit yang dibuat
dengan cara sintesis memiliki struktur kristal heksagonal. Struktur hidroksiapatit
heksagonal memiliki jarak simetri antar gugus P63/m dengan parameter kisi a = b
= 9.432 Å, c = 6.881 Å dan γ = 120o. Struktur kristal ini tersusun atas gugus PO4
tetrahedral yang diikat oleh ion – ion Ca. Ion – ion Ca berada pada dua posisi
berbeda yakni posisi kolom sejajar (Ca1) dan posisi segitiga sama sisi (Ca2) yang
berada pada pusat sumbu putar. Susunan OH membentuk kolom dan berada pada
sumbu putar, juga membentuk susunan demikian dengan OH yang terdekat.
Struktur kristal heksagonal hidroksiapatit ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Struktur Kristal Heksagonal Hidroksiapatit (Corno et al., 2006)
Struktur kristal monoklin hidroksiapatit akan terbentuk apabila dalam
keadaan stoikiometrik. Struktur kristal monoklin merupakan struktur yang paling
7
teratur dan stabil secara termodinamika walaupun jika ditempatkan dalam suhu
ruangan. Struktur kristal monoklin hidroksiapatit ditemukan pertama kali dari
proses pengubahan kristal tunggal klorapatit menjadi kristal tunggal hidroksiapatit
dengan memaparkannya pada uap air bersuhu 1200oC. Struktur kristal monoklin
hidroksiapatit memiliki jarak simetri antar gugus P21/b dan parameter kisi a =
9.421 Å, b = 2a, c = 6,881 Å dan γ = 120o. Struktur kristal monoklin
hidroksiapatit ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Struktur Kristal Monoklin Hidroksiapatit (Corno et al., 2006)
Struktur kristal monoklin hidroksiapatit terbentuk disebabkan karena
susunan OH- membentuk urutan OH-OH-OH-OH- yang menyebabkan parameter
kisi b menjadi 2 kali a. Namun struktur heksagonal juga dapat terbentuk pada
kondisi stoikiometrik apabila susunan OH- tidak teratur (Corno et al., 2006).
Rasio Ca/P dari hidroksiapatit adalah 10/6 dan densitasnya 3,19 g/mL
(Ferraz et al., 2004). Terdapat variasi pada sifat mekanik dari hidroksiapatit yang
disintesis. Unsur penyusun utama mineral apatit tulang sapi adalah Ca, P, O dan H
yang sesuai dengan komposisi kimia dan struktur kristal hidroksiapatit
Ca10(PO4)6(OH)2 yang mempunyai simetri ruang P63/m (Kusrini dan Sontang,
2012).
8
b. Sifat Fisika
Sifat fisika dari hidroksiapatit telah banyak dipelajari, diantaranya adalah
penelitian yang dilakukan oleh Barakat (2008) mengatakan bahwa sifat fisika
hidroksiapatit yang melalui proses dekomposisi termal memiliki kristalinitas yang
baik, sedangkan hidroksiapatit melalui proses alkalin hidrotermal dan proses air
subkritis menghasilkan hidroksiapatit berbentuk nano partikel. Adanya perbedaan
sifat fisika dari hidroksiapatit pada penelitian tersebut disebabkan karena adanya
perbedaan variasi struktural, yaitu pengaruh porositas mikro yang tersisa, ukuran
butir serta adanya pengotor. Selain itu, sifat fisika dari beberapa hidroksiapatit
yang diteliti dipengaruhi oleh proses pembuatan dan distribusi kekuatannya. Rasio
molar Ca/P juga berpengaruh pada struktur hidroksiapatit yang disintesis.
Semakin besar rasio molar Ca/P maka kekuatan meningkat dan mencapai nilai
maksimum.
c. Sifat Kimia
Senyawa hidroksiapatit memiliki sifat kimia biokompatibel, bioaktif,
osteokonduktif yang tinggi dan atau osteoinduktif yang tidak beracun, tidak
menyebabkan peradangan, sehingga banyak digunakan di dunia medis (Elliott,
1994; Hulber et al., 1987). Biokompatibel adalah sifat dimana material tidak
menyebabkan reaksi penolakan dari sistem kekebalan tubuh. Bioaktif adalah sifat
material akan sedikit larut tetapi membantu pembentukan lapisan permukaan
apatit biologis sebelum langsung berantarmuka dengan jaringan pada skala atomik
yang mengakibatkan ikatan kimia langsung ke tulang. Bioresorabel adalah sifat
material akan larut sepanjang waktu tanpa memperhatikan mekanisme yang
menyebabkan perpindahan material dan mengijinkan jaringan yang baru tumbuh
9
pada sembarang permukaan tidak beraturan namun tidak harus berantarmuka
langsung dengan permukaan material. Akibatnya fungsi dari material bioresorabel
adalah berperan dalam pembentukan dan reabsorpsi yang terjadi dalam jaringan
tulang yang memungkinkan material digunakan sebagai pengisi tulang yang
menyebabkan materi berinfiltrasi dan bersubstitusi ke dalam jaringan (Rachmania,
2012).
Hidroksiapatit yang bersifat bioaktif memiliki laju disolusi yang
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti derajat kristalinitas, ukuran kristal,
temperatur, tekanan, dan tekanan parsial air. Hidroksiapatit larut di dalam larutan
asam sementara tidak larut di dalam larutan basa dan sedikit larut didalam air
destilasi. Kelarutan di dalam air destilasi meningkat seiring dengan penambahan
elektrolit. Selain itu, kelarutannya juga dipengaruhi oleh adanya asam amino,
protein, enzim dan senyawa organik lainnya. Sifat kelarutan tersebut berhubungan
dengan sifat biokompatibel hidroksiapatit dengan jaringan dan reaksi – reaksi
kimia dengan senyawa lainnya. Akan tetapi laju kelarutan juga dipengaruhi oleh
perbedaan bentuk, porositas, ukuran kristal, kristalinitas, dan ukuran kristalit.
Kelarutan hidroksiapatit yang disintering sangat rendah dan hidroksiapatit
bereaksi aktif dengan protein, lemak dan senyawa organik ataupun nonorganik
lainnya.
2.3 Kalsinasi
Kalsinasi adalah proses pemanasan, penghilangan kandungan air, karbon
dioksida atau gas lain yang mempunyai ikatan kimia dengan materi pada
temperatur tinggi di bawah titik leleh dari zat penyusun materi. Kalsinasi adalah
dekomposisi termal/penguraian temperatur yang dilakukan terhadap materi agar
10
terjadi dekomposisi dan mengeliminasi senyawa yang berikatan secara kimia
dengan materi. Panas diperlukan untuk melepas ikatan kimia karena dengan panas
maka ikatan kimia akan menjadi renggang dan pada temperatur tertentu atom-
atom yang berikatan akan bergerak sangat bebas menyebabkan terputusnya ikatan
kimia. Penggunaan proses kalsinasi pada tulang sapi dilaporkan untuk
menghilangkan bakteri atau agen yang menyebabkan penyakit (Ruksudjarit et al.,
2008).
Peristiwa yang terjadi selama proses kalsinasi antara lain (James, 1988) :
a. Pelepasan air bebas (H2O) dan terikat (OH) berlangsung sekitar suhu
100oC hingga 300oC.
b. Pelepasan gas-gas, seperti: CO2 berlangsung sekitar suhu 600oC dan
pada tahap ini disertai terjadinya pengurangan berat yang cukup
berarti.
c. Pada suhu lebih tinggi, sekitar 800oC struktur kristalnya sudah
terbentuk, dimana pada kondisi ini ikatan diantara partikel serbuk
belum kuat dan mudah lepas.
Pengeringan yang dilakukan dalam tahap kalsinasi bertujuan untuk
melepaskan air yang terikat di dalam konsentrat dengan cara penguapan.
Pelaksanaannya dilakukan dengan cara pemanasan sedikit diatas titik uap air, atau
dengan mengatur tekanan uap air di dalam konsentrat harus lebih besar dari pada
tekanan uap air di sekitarnya. Proses kalsinasi berprinsip pada tekanan uap air di
dalam konsentrat harus lebih besar dari tekanan atmosfer agar kecepatan
penguapan dapat berlangsung lebih cepat (Lalu, 2010).
11
2.4 Luas Permukaan
Sifat permukaan padatan ditentukan oleh sifat fisik yang salah satunya
ditentukan oleh luas permukaan. Penentuan luas permukaan merupakan bagian
yang penting dalam karakterisasi padatan yang diaplikasikan sebagai adsorben
maupun katalis karena luas permukaan menunjukkan seberapa besar situs aktif
pada permukaan padatan dimana interaksi terjadi (Day dan Underwood, 2002).
Luas permukaan spesifik ditentukan oleh luas permukaan dalam yaitu
mikropori dan mesopori. Luas permukaan yang diperoleh menunjukkan
kemampuan adsorpsi terhadap adsorbat, dimana semakin besar luas permukaan
maka kapasitas adsorpsinya semakin besar. Luas permukaan yang tinggi dapat
memberikan kontak lebih besar terhadap adsorben yang mengakibatkan adsorbat
yang terserap lebih banyak. Namun hal ini tidak selalu berlaku karena pori – pori
juga memiliki diameter yang beragam sehingga penyerapan juga tidak seragam
(Subroto, 2007).
Luas permukaan spesifik suatu adsorben menggambarkan luas permukaan
satu gram adsorben dalam satu satuan luas. Penentuan luas permukaan suatu
adsorben yang lazim digunakan adalah metilen biru sebagai adsorbat. Metilen biru
klorida merupakan padatan berwarna biru kehijauan dan larut dalam air
membentuk larutan stabil berwarna biru serta memiliki berat molekul 319,85
g/mol dan tiap molekul memiliki luas permukaan 120 Ǻ2. Menyerap radiasi pada
panjang gelombang di sekitar 664 nm (Yayus et al., 2005).
12
2.5 Keasaman Permukaan
Sifat permukaan padatan dapat diklasifikasikan ke dalam dua karakter
yaitu karakter fisik dan karakter kimia. Karakter fisik meliputi basal spacing atau
jarak antar lapis, luas permukaan spesifik, dan porositas, sedangkan yang
termasuk karakter kimia adalah keasaman permukaan (Harjadi, 1990).
Sifat keasaman dari permukaan padatan menunjukkan sifat struktur
permukaan dan sifat ini sangat penting untuk menerangkan pertukaran ion yang
terjadi. Jumlah asam pada permukaan padatan merupakan jumlah sisi aktif per
satuan luas permukaan padatan. Jumlah ini dapat ditentukan dari jumlah basa
yang bereaksi dengan padatan asam dengan menggunakan metode yang
memungkinkan, yang selanjutnya disebut dengan keasaman permukaan padatan
(Harjadi, 1990).
Penentuan keasaman permukaan padatan dapat dilakukan secara
kuantitatif dan kualitatif. Cara kuantitatif dengan metode analisis gravimetri dan
titrasi asam basa, sedangkan kualitatif dilakukan dengan spektrofotometri
inframerah. Penentuan keasaman pada permukan padatan dengan metode analisis
gravimetrik dapat dilakukan dengan adsorpsi basa. Basa yang dapat digunakan
antara lain quinolin, piridin, trimetil ammonia, pirol, dan amoniak (Day dan
Underwood, 2002).
Penentuan keasaman permukaan yang ditekankan pada studi ikatan spesies
dalam larutan dapat dilakukan dengan metode titrimetri. Dalam penentuan dengan
titrasi asam basa, situs asam adsorben hidroksiapatit akan bereaksi dengan basa
(NaOH). Sisa basa (NaOH) yang tidak bereaksi dengan situs adsorben, dititrasi
menggunakan asam (HCl). Untuk mngetahui titik ekivalennya pada penentuan
13
keasaman permukaan adsorben hidroksiapatit, digunakan phenolphthalein sebagai
indikator dengan perubahan warna dari merah muda menjadi tidak berwarna.
Selanjutnya volume HCl dicatat dengan teliti. Jumlah ekivalen basa sisa
sebanding dengan volume HCl yang digunakan. Dengan demikian keasaman
permukaan hidroksiapatit dapat dihitung dari selisih antara basa awal dengan basa
sisa (Vogel, 1985).
Persamaan untuk menentukan keasaman permukaan menurut Kumar et al.
(1995) adalah :
K = mmol NaOH −mmol NaOHberat sampel2.6 Spektrofotometer UV-Vis
Spektrofotometer UV-Vis merupakan salah satu metode analisis kimia
instrumental yang berdasarkan pada interaksi energi radiasi UV-Vis dengan analit.
Fenomena adsorpsi sinar radiasi elektromagnetik di daerah ultraviolet (λ = 200-
380 nm) dan di daerah sinar tampak (λ = 380-780 nm) oleh larutan sampel
anorganik maupun organik. Spektrum elektronik UV-Vis terjadi sebagai hasil
interaksi radiasi UV-Vis terhadap molekul yang mengakibatkan molekul tersebut
mengalami transisi elektronik (Cahyono, 2000).
Konsentrasi larutan yang diukur dengan menggunakan spektrofotometer
UV-Vis dapat ditentukan dengan hukum Lambert-Beer, dimana absorbansi
berbanding lurus dengan konsentrasi larutan, dengan persamaan matematisnya
yaitu :
A = a.b.c
14
Dimana,
A = absorbansi
a = absorptivitas (L mol-1 cm-1)
b = tebal kuvet (cm)
c = konsentrasi larutan (mol L-1) (Nur, 1989).
Spektrum absorpsi yang diperoleh dari hasil analisis suatu larutan dalam
spektrofotometer UV-Vis memberikan informasi berupa panjang gelombang
dengan absorbansi maksimum dari senyawa.
Konsentrasi suatu sampel dapat ditentukan dari absorbansi senyawa
menggunakan metode kurva standar. Pada metode ini dibuat larutan standar dalam
berbagai konsentrasi dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis
dan dibuat grafik antara konsentrasi (ppm) dan absorbansi (A) dengan persamaan
regresi liniernya yaitu :
Y = ax + b
Dimana,
Y = absorbansi
x = konsentrasi
b = slope
a = intersep (Khopkar, 1990)
Nilai a dan b dihitung dengan persamaan :b = ∑ ∑ ∑∑ (∑ ) , a = ∑ ∑Skema alat spektrofotometer UV-Vis seperti Gambar 2.3 dapat dijelaskan
bahwa sumber radiasi yang berasal dari lampu filament tungsten maupun lampu
15
deuterium diteruskan melalui lensa menuju ke monokromator dan diubah dari
cahaya polikromatis menjadi cahaya monokromatis (tunggal). Berkas – berkas
cahaya dengan panjang gelombang tertentu dilewatkan pada sampel, sehingga
menyebabkan cahaya ada yang diserap (diabsorbsi) dan ada yang dilewatkan.
Cahaya yang dilewatkan ini kemudian diterima oleh detektor. Detektor
selanjutnya akan menghitung cahaya yang diterima dan mengetahui cahaya yang
diserap oleh sampel. Cahaya yang diserap sebanding dengan konsentrasi zat yang
terkandung dalam sampel sehingga akan diketahui konsentrasi zat dalam sampel
secara kuantitatif (Rivai, 2013).
Gambar 2.3 Mekanisme Kerja Spektrofotometer UV-Vis
2.7 Fourier Transform Infra Red (FTIR)
Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red (FTIR) merupakan suatu
alat untuk mengetahui gugus fungsional dalam suatu senyawa. Identifikasi gugus
fungsi dari suatu sampel dilakukan dengan membandingkan pita absorbsi yang
terbentuk pada spektrum inframerah menggunakan tabel korelasi senyawa
pembanding. Data yang dihasilkan berupa grafik intensitas dan bilangan
gelombang. Intensitas menunjukkan jumlah senyawa yang diidentifikasi
16
sedangkan bilangan gelombang menunjukkan gugus fungsi senyawa yang terdapat
dalam sebuah sampel (Silverstein et al., 1984).
Dasar pemikiran dari Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red
adalah dari persamaan gelombang yang dirumuskan oleh Jean Baptiste Joseph
Fourier (1768-1830) seorang ahli matematika dari Perancis. Persamaannya adalah
sebagai berikut :
( ) = ( ̅) cos(2 ̅) ̅( ̅) = ( ) cos(2 ̅)
Dari deret Fourier tersebut intensitas gelombang dapat digambarkan
sebagai daerah waktu atau daerah frekuensi. Perubahan gambaran intensitas
gelobang radiasi elektromagnetik dari daerah waktu ke daerah frekuensi atau
sebaliknya disebut Transformasi Fourier (Fourier Transform). Selanjutnya, pada
sistem optik peralatan instrumen Fourier Transform Infra Red dipakai dasar
daerah waktu yang non dispersif. Sebagai contoh aplikasi pemakaian gelombang
radiasi elektromagnetik yang berdasarkan daerah waktu adalah interferometer
yang dikemukakan oleh Albert Abraham Michelson (Jerman, 1831). Pada sistem
optik Fourier Transform Infra Red digunakan radiasi LASER (Light Amplification
by Stimulated Emmission of Radiation) yang berfungsi sebagai radiasi yang di
interferensikan dengan radiasi infra merah agar sinyal radiasi infra merah yang
diterima oleh detektor secara utuh dan lebih baik (Giwangkara, 2006).
17
Gambar 2.4 Mekanisme Kerja FTIR
Prinsip kerja spektroskopi FTIR adalah adanya interaksi energi dengan
materi. Misalkan dalam suatu percobaan berupa molekul senyawa kompleks yang
ditembak dengan energi dari sumber sinar yang akan menyebabkan molekul
tersebut mengalami getaran. Sumber sinar yang digunakan adalah keramik, yang
apabila dialiri arus listrik maka keramik ini dapat memancarkan inframerah.
Besarnya energi getaran tiap atom atau molekul berbeda tergantung pada atom-
atom dan kekuatan ikatan yang menghubungkannya sehingga dihasilkan frekuensi
yang berbeda. FTIR interferogramnya menggunakan mecrosem dan letak
cerminnya (fixed mirror dan moving mirror) paralel. Spektroskopi inframerah
berfokus pada radiasi elektromagnetik pada rentang frekuensi 400 – 4000 cm-1 di
mana cm-1 disebut sebagai wavenumber (1/wavelength) yakni suatu ukuran unit
untuk frekuensi.
Identifikasi pita absorpsi khas yang disebabkan oleh berbagai gugus fungsi
merupakan dasar penafsiran spektrum inframerah (Creswell, 1972). Hadirnya
sebuah puncak serapan dalam daerah gugus fungsi dalam sebuah spektrum
inframerah hampir selalu merupakan petunjuk pasti bahwa beberapa gugus fungsi
tertentu terdapat dalam senyawa cuplikan. Demikian pula, tidak adanya puncak
18
dalam bagian tertentu dari daerah gugus fungsi sebuah spektrum inframerah
biasnya berarti bahwa gugus tersebut yang menyerap pada daerah itu tidak ada
(Pine, 1980).
Penelitian yang dilakukan oleh Sobczak (2009), dimana senyawa
hidroksiapatit yang diekstraksi dari tulang hewan dengan cara kalsinasi
menggunakan variasi suhu 650oC dan 950oC yang dikarakterisasi menggunakan
FT-IR menghasilkan spektra seperti ditunjukkan pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Spektra FTIR Ekstraksi HAp dari Tulang Hewan dengan KalsinasiMenggunakan Variasi Suhu 650oC dan 950oC
2.8 Laser Induced Breakdown Spectroscopy (LIBS)
Metode analisis spektrokimia merupakan metode analisis yang paling luas
digunakan baik untuk analisa elemen secara kuantitatif maupun kualitatif.
Penentuan unsur merupakan hal yang paling sering dilakukan dengan
menggunakan atomic emission atau atomic absorption spectroscopy. Ini karena
tidak diperlukan perlakuan awal sampel yang rumit dan penyempurnaan yang
selalu berlanjut dalam teknik deteksi emisi ini. Teknik ini sangat tepat terutama
untuk analisa elemen berdasarkan pada emisi atomik dari plasma laser hasil
19
pembangkitan dengan memfokuskan laser pada permukaan sampel. Analisa
spektroskopik dari pancaran emisi memberikan hasil informasi komposisi elemen
dari sampel. Spektroskopi emisi atomik yang menggunakan laser sebagai sumber
ablasi disebut dengan Laser Induced Breakdown Spectroscopy (LIBS) (Cremers et
al., 2006)
LIBS merupakan metode alternatif dalam bidang kimia analitik yang
memungkinkan analisis langsung dari padatan, tanpa dilakukan tahap preparasi
menggunakan zat kimia. Namun, kurangnya standar dan pengulangan tidak
memungkinkan tercapainya batas rendah deteksi dan presisi seperti pada beberapa
metode canggih lainnya, sehingga sebagian besar analsisnya menyangkut
kualitatif, analisis semi-kuantitatif atau komparatif. LIBS dapat diterapkan untuk
analisis in-situ, ketika digabungkan dalam satu langkah sampling dan analisis
bahan. Analisis dapat dilakukan tanpa adanya kontak fisik dengan sampel yang
diperiksa, karena yang diperlukan hanya akses optik. Sensitivitas dari LIBS
tergolong cukup tinggi yang dapat berkisar dalam nanogram. Rangkaian peralatan
eksperimental dari LIBS masih kaku dan pada dasarnya sangat sederhana.
Instrumentasi yang diperlukan disajikan secara umum dalam Gambar 2.6
Gambar 2.6 Skema Instrumentasi Laser Induced Breakdown Spectroscopy (LIBS)
20
Plasma berisikan elektron – elektron, atom – atom netral, ion – ion dan
atom – atom tereksitasi. Elektron – elektron dari atom – atom tereksitasi ini dalam
waktu yang sangat singkat akan kembali ke keadaan dasar (ground state) dan
memancarkan emisi photon. Selanjutnya emisi ini dianalisis secara kualitatif
maupun kuantitatif oleh spektrometer. Kualitas hasil dari analisis ini tergantung
pada proses pembentukan plasma dan proses deteksinya. Pembentukan plasma
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis laser, jenis sampel serta tekanan gas
penyangga.
2.9 X-Ray Diffraction (XRD)
X-Ray Diffraction (XRD) merupakan suatu metode yang berdasarkan pada
sifat – sifat difraksi sinar-X, yakni hamburan cahaya dengan panjang gelombang
(λ) saat melewati kisi kristal dengan sudut datang (θ) dan jarak antar bidang
kristal (d). Data yang diperoleh dari metode XRD adalah sudut hamburan (sudut
Bragg) dan intensitas cahaya difraksi. Berdasarkan teori difraksi, sudut difraksi
bergantung pada lebar celah kisi sehingga mempengaruhi pola difraksi, sedangkan
intensitas cahaya difraksi bergantung pada banyaknya kisi kristal yang memiliki
orientasi sama. Hal tersebut dinyatakan dalam Hukum Bragg (Cullity, 2001).
Skema XRD ditunjukkan seperti pada gambar 2.7
Gambar 2.7 Skema Difraksi Sinar-X
21
Seberkas sinar yang terarah jika jatuh pada kristal dengan sudut θ dan
sebuah detektor diletakkan untuk mencatat sinar yang sudut hamburnya θ, setiap
sinar X yang sampai ke detektor akan memenuhi persamaan hukum Bragg
selanjutnya θ diubah-ubah, detektor akan mencatat puncak intensitas dengan orde
yang diramalkan. Jika jarak d antara bidag Bragg yang bersebelahan dalam kristal
diketahui, panjang gelombang dapat dihitung (Whiston, 1991).
Nilai d spasing tidak dapat digunakan untuk menentukan jarak interatom
dari suatu molekul, namun dapat digunakan untuk merefeksikan jarak interplanar
atau jarak interlayer antar kisi-kisi atom dalam suatu material. Nilai d spasing
sangat tergantung pada pengaturan atom dan struktur jaringan polimer dalam
material. Jarak antara interplanar atau interlayer dapat dikalkulasikan melalui
persamaan Bragg’s yang dituliskan dalam persamaan berikut (Whiston, 1991) :
2 d sin θ = n λ
Keterangan : d = jarak interplanar atau interlayer
θ = kisi difraksi sinar X
λ = panjang gelombang logam standar
n = tingkat atau orde difraksi
Setiap kristal mempunyai beberapa harga d yang khas. Oleh karena itu
dengan mengetahui harga d ini dapat diketahui jenis kristalnya. Dari tingkat
intensitas difraksinya dapat juga digunakan untuk mengetahui tingkat kekristalan
tertentu yaitu dengan membandingkan dengan hasil difraksi zat padat lainnya
yang diketahui kekristalannya (Tan, 1991).
Berkas sinar-X dapat terdiri dari dua jenis spektrum, yaitu kontinyu dan
diskrit. Spektrum kontinyu timbul akibat adanya pemberhentian elektron –
22
elektron berenergi kinetik tinggi oleh anoda. Pada saat pengereman terjadi, energi
kinetiknya diubah menjadi sinar-X. Sinar-X yang dihasilkan oleh pengereman
tersebut dusebut sinar-X Bremsstrahlung. (Kardiawarman, 2001). Spektrum
diskrit sinar-X dihasilkan oleh tumbukan antara elektron berkecepatan tinggi
dengan logam target. (Cullity, 2001)
XRD dapat digunakan untuk menentukan sistem kristal, parameter kisi,
derajat kristalinitas, dan fasa yang terdapat dalam suatu sampel. Metode XRD
dapat memberi informasi secara umum, baik secara kuantitatif maupun secara
kualitatif tentang komposisi fasa – fasa yang terdapat dalam suatu sampel. Salah
satu analisis komposisi fasa dalam suatu bahan adalah dengan membandingkan
pola XRD yang terukur dengan data yang ada. (Cullity, 2001)
Spektra terdiri atas sudut difraksi pada sumbu x dan intensitas pada sumbu
y seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.8, yang merupakan hasil ekstraksi HAp
dari tulang sapi dengan menggunakan suhu kalsinasi 950oC, menurut penelitian
yang dilakukan oleh Sobczak (2009).
Gambar 2.8 Spektra X-RD Hidroksiapatit melalui kalsinasi dengan suhu 950oC
23
Ukuran kristal juga dapat dihitung melalui nilai FWHM (Full Width at
Half Maxima) berdasarkan data implementasi puncak difraksi yang didapatkan.
Puncak difraksi dihasilkan oleh interfensi secara konstruktif cahaya yang
dipantulkan oleh bidang kristal. Hubungan ukuran kristal dengan puncak difraksi
dapat dihitung dengan persamaan Scherrer (Abdullah dan Khairurrijal, 2008).
D = K λβ cos θKeterangan :
D = ukuran kristal (nm)
K = faktor bentuk kristal
λ = panjang gelombang sinar X
β = nilai FWHM
θ = sudut Bragg pada puncak difraksi