Post on 22-Dec-2015
description
Klasifikasi Antivirus berdasarkan mekanisme
kerjanya:
1. Menghalangi penetrasi γ Globulins
2. Menghalangi uncoating (Amantadine &
Rimantadine)
3. Menghambat sintesis protein awal
(Formivirsen)
4. Menghambat sintesis Analog purin &
pirimidin
5. Menghambat sintesis asam nukleat (pada
herpes simplex & zoster pada kulit dan selaput
lendir)
a. Analog purin & pirimidin (Acyclovir,
Sorivudine, Valacyclovir, Trifluridine,
Famciclovir, Cidofovir, Penciclovir,
Vidarabine, Ganciclovir, Ribavirine,
Idoxurudine)
b. Pyrophosphate anorganic
Foscarnet
103. NRTI
Zidovudine Lamivudine
Didanosine Stavudine
Zalcitabine Abacavir
4. NNRTI
Nevirapine, Delavirdine
Efavirenz
Menghambat sintesis protein
akhir
Inhibitor protease
Saquinavir Ritonavir akhir
Indinavir Nelfinavir
Amprenavir
Menghambat perakitan Rifampin
Menghambat rilis Inhibitor neuraminidase
Zanamivir, Oseltamivir
Menghambat penetrasi,
uncoating, sintesis mRNA,
translasi, perakitan,rilis
Interferon
1. Menghalangi penetrasi γ Globulins
Antibodi akan bekerja pada envelope virus dan
menetralisasi beberapa virus serta menghalangi
perlekatan pada sel inang.
2. Menghalangi uncoating
3. Menghambat sintesis protein awal asam
nukleat
4. Menghambat sintesis protein akhir
Protease: pembelahan precursor polipeptida dan
protein struktural & enzim virus.
Inhibitor protease: menghalangi infektifitas
virus
5. Menghambat perakitan
Rifampin menghambat perakitan partikel matur
virus. Rifampin menghambat perakitan partikel
matur virus. Inhibisi terjadi pada tahap
pembentukan envelope dan bersifat reversibel jika
obatnya dihilangkan.
6. Menghambat rilis
Neuraminidase:berperan pada rilis virus dan
inhibitor neuraminidase: menghambat rilis
Alasan mengganti obat yaitu:
1. Toksis
Toksisisitas obat: Ketidak mampuan untuk
menahan efek samping disfungsi organ yang cukup
berat dapat dipantau secara klinis
– keluhan,
– pemeriksaan fisik pasien, atau
– hasil laboratorium – hasil laboratorium
Bila obat atau rejimen dapat diidentifikasi
dengan jelas ganti dengan obat yang tidak memiliki
efek samping serupa: AZT dengan d4T (untuk
anemia), atauEFV diganti NVP. Kombinasi ARV
terbatastidak dianjurkan menggantiobat yang
terlalu dini.
2. Gagal Terapi
Kegagalan Terapi dinilai dari
1. Perkembangan penyakit:
a. imunologisCD4
b. virologisviral-load.
2. Bedakan dengan sindrom pemulihan
kekebalan tubuh (IRIS)
3. Viral load tidak selalu adagunakan definisi
klinis, bila • viral load tidak selalu
adagunakan definisi klinis, bila mungkin
gunakan kriteria CD4
4. Tes resistensi obat rutintidak dibahas
5. Bila dipakai kriteria klinis dan/atau kriteria
CD4 saja telah ada mutasi yang resisten
sebelumnya, dan menutup kemungkinan
penggunaan komponen NRTI dari rejimen
alternatif, karena ada resistensi silang dalam
satu golongan obat (drug class cross-
resistance)
Pertimbangan sebelum mengubah rejimen
1. Pilihan obat yang masih ada,
2. Kemungkinan akses terhadap obat tersebut,
3. Harga,
4. Kondisi klinis pasien, • Kondisi klinis pasien,
5. Kapan waktu terbaik untuk mulai ART
kembali,
6. Derajat gangguan sistem kekebalan tubuh
(CD4 awal),
7. Tingkat kegagalan terapi–misalnya dengan
menilai viral load dan jumlah CD4,
8. Tolerabilitas dan efek samping,
9. Kepatuhan, serta riwayat ART sebelumnya.
Kesimpulan:
1. Gamma globulin menghalangi proses
adsorpsi / perlekatan.
2. Amantadine dan Rimantadine menghalangi
proses uncoating.
3. Formivirsen menghalangi sintesis protein
awal.
4. Analog purin dan pirimidin menginaktifkan
DNA polymerase virus serta pyrophosphate
anorganik.
5. NRTI menghambat reverse transcriptase
secara kompetitif. 5. NRTI menghambat
reverse transcriptase secara kompetitif.
6. NNRTI menghambat reverse transcriptase
secara non-kompetitif.
7. Inhibitor protease menghambat sintesa
protein akhir.
8. Rifampin menghambat proses perakitan.
9. Inhibitor neuramidase menghambat rilis
virus.
10. Interferon menghambat transkripsi,
translasi, sintesa protein, dan maturasi virus.
Rifampin
Rifampin merupakan turunan dari rifampisin, antibiotik yang berasal dari
S. mediterranei. Senyawa berbentuk kristal gepeng berwarna merah jingga (hasil
rekristalisasi aseton) dengan titik leleh pada 183-188 o C yang disertai dengan
penguraian. Rifampin larut dalam kloroform dan DMSO, sedikit larut dalam air
dengan pH 6,0.
Hubungan struktur dan aktivitas
Modifikasi struktur pada bagian alifatik dari molekul rifamisin umumnya
menekan atau menurunkan aktivitas obat. N,N-diasetoksi amida pada C4
memberikan senyawa yang aktif. Substitusi turunan aldehida pada C3
memberikan hasil rifampin yang paling aktif.
Spektrum dan cara kerja
Secara in vitro dan in vivo rifampin mempunyai aktivitas bakterisid
terhadap Mycobacterium tuberculosis, M. leprae, M. bovis dan semua galur yang
berdekatan dengan M. kansasii.
Rifampin lebih aktif terhadap sel yang sedang bermultiplikasi. Secara in
vitro dengan konsentrasi 0,005-0,2 µg/ml, rifampin menghambat pertumbuhan M.
tuberculosis, dengan konsentrasi 0,25-1,0 µg/ml dapat menginhibisi pertumbuhan
M. kansasii dan dengan konsntrasi 4 µg/ml menekan pertumbuhan sebagian besar
galur M. kansasii dan dengan konsentrasi 4 µg/ml menekan pertumbuhan
sebagian galur M. scrofulaceum dan M. intracellulare.
Rifampin sangat aktif terhadap Neisseria meningitidis dengan konsentrasi
hambat minimum antara 1,0-0,8 µg/ml. Rifampin juga dapat menghambat
pertumbuhan beberapa tipe virus, tetapi secara klinis belum digunakan.
Mekanisme kerja
Rifampin menghambat RNA-polimerase yang tergantung pada DNA dari
mikonakteri dan beberapa mikroorganisma, dimana terjadi penekanan inisiasi
pembentukan rantai dalam sintesis RNA. Tempat kerja lebih spesifik obat ini
adalah pada subunit β pada kompleks enzim yang bersangkutan. Penggunaan
rifampin pada konsentrasi tinggi untuk menginhibisi enzim bakteri dapat pula
sekaligus menginhibisi sintesis RNA dalam mitokondria mamalia.
Resistensi
M. fortuitum sangat resisten terhadap rifampin. Secara in vitro
mikroorganisme termasuk mikobakteri dapat menjadi resisten terhadap obat ini.
Farmakokinetik
Rifampin yang diberikan secara oral akan memberikan konsentrasi puncak
dalam plasma dalam waktu 2-4 jam. Pada dosis 600 mg, konsentrasi maksimal
dalam plasma adalah sebesar ± 7 µg/ml. Asam aminosalisilat dapat menghambat
absorbsi dan mengurangi konsentrasi rifampin dalam plasma. Setalah pemberian
oral rifampin dieliminasi dengan cepat melalui empedu. Dalam proses ini terjadi
deasetilasi secara progresif dimana dapat ditentukan bentuk deasetilasinya dalam
empedu setelah 6 jam. Metabolit ini tetap mempunyai aktivitas anntibakteri akan
tetapi reabsorbsi intestinalnya berkurang.
Waktu paruh rifampin bervariasi antara 1,5-5 jam dan akan lebih besar
pada gangguan fungsi hati. Waktu paruh ini akan berangsur-angsur turun sampai
± 40 % (sampai 3 jam) setelah penggunaan tahap pertama selama 14 hari, yang
disebabkan karena kenaikan ekskresi biliar oleh induksi enzim.
Rifampin dapat terdistribusi dalam seluruh tubuh. Konsentrasi efektif
dapat ditemukan dalam beberapa organ dan cairan tubuh termasuk cairan
serebrospinal. Hal ini ditandai dengan adanya pewarnaan (merah jingga) dalam
urin, feses, saliva, sputum, air mata dan keringat dari penderita.
Rifampin dapat berpenetrasi ke dalam sel fagosit dan membunuh
mikroorganisme yang hidup dalam sel tersebut. Kira-kira 30 % dari dosis rifampin
yang diberikan diekskresi dalam urin dan ± stengahnya dalam bentuk tak berubah.
Efek samping dan toksisitas
Rifampin pada umumnya dapat diterima dengan baik oleh tubuh penderita.
Kadang-kadang muncul gangguan perut, nyeri pada otot dan persendian, serta rasa
kaku pada kaki. Gejala ini terutama muncul pada minggu pertama pengobatan.
Pada periode pertama pemakaian obat ini dapat terjadi sakit kuning
asimptomatik yang mungkin disebabkan karena kenaikan ekskresi biliar akibat
induksi enzim. Terjadinya gangguan hati lebih lanjut dapat dikurangi dengan
menekan dosis pemakaian obat ini, tetapi bila tetap muncul gejala hepatitis maka
pemakaian obat harus dihentikan. Selain karena kenaikan ekskresi empedu oleh
sel-sel hati, sakit kuning dapat disebabkna oleh pertukaran kompetitif bilirubin
dimana kemudian masuk ke dalam peredaran darah dalam bentuk konyugasinya.
Keadaan terakhir ini terutama dapat muncul bila fungsi hati lemah atau bila
pemakaian rifampin dikombinasi dengan isoniazid atau obat hepatotoksik
potensial lainnya. Pruritus dengan atau tanpa rash dapat terjadi pada ± 30 % dari
penderita yang menggunakan obat ini. Rifampin dan metabolitya dapat
memberikan pewarnaan merah jingga dalam urin, feses, saliva, keringat, air mata
serta perubahan warna pada lensa kontak penderita.
Miopati yang diinduksi oleh rifampin jarang terjadi. Belum ada data
tentang efek teratogeniknya, tetapi ini masih belum cukup mejamin pemakaian
obat ini pada wanita hamil dan menyusui.
Indikasi
Senyawa ini terutama digunakan untuk pengobatan tuberculosis dan lepra.
Juga untuk pengobatan karier asimptomatik pada infeksi Haemophilus influenzae
B. Pada infeksi Streptococcus epidermitis atau S. aureus (osteomielitis) digunakan
kombinasi senyawa ini dengan vankomisin atau suatu penisilin yang resisten
terhadap penisilinase. Disamping itu rifampin dapat digunakan pada pengobatan
infeksi Leginella pneumophila yang telah resisten terhadap eritromisin,
pengobatan karier asimptomatik infeksi Neisseria meningitidis (untuk
mengeliminasi organisme dari nasofaring, tetapi tidak dari meninges).
Kontra indikasi
Rifampin tidak boleh digunakan pada keadaan sirosis, insufisiensi hati,
pecandu alkohol dan pada kehamilan muda.
Sediaan, rute dan pemberian dosis
Pemberian secara oral dilakukan dengan dosis tunggal, 1 jam sebelum
makan atau 2 jam setelah makan. Obat ini diberikan dalam bentuk kapsul dengan
dosis 600 mg atau 10-20 mg/kg/ hari untuk dewasa dan anak-anak, dimana pada
anak-anak dosis maksimum adalah 600 mg/hari.
Secara tentatif untuk profilaksis infeksi H. infulenzae B digunakan dosis
10 mg/kg setiap 12 jam selama 4-5 hari. Centre of disease control (USA)
merekombinasikan penggunaan pengobatan 2 hari untuk orang dewasa 600 mg 2
kali sehari, untuk anak-anak usia 1 bulan sampai 12 tahun 10 mg/kg 2 kali sehari
dan 5 mg/kg 2 kali sehari untuk bayi yang baru lahir.
Formula rifampin dalam bentuk sediaan injeksi intravena sedang dijajaki.
Dosis lazim dewasa pada tuberculosis adalah 300 mg 2 kali sehari. Study
farmakokinetik menunjukkan bahwa konsentrasi obat dalam serum setelah
pemberian 150-600 mg intravena adalah sama dengan pemberian secara oral
dalam dosis yang sama.
Interaksi
Secara in vitro rifampin dapat menaikkan aktivitas streptomisin dan
isoniazid terhadap M. tuberculosis, tetapi tidak mempengaruhi aktivitas
ethambutol.
Amantadin dan Rimantadin
Amantadin & rimantadin memiliki mekanisme kerja yang sama yaitu
antivirus yang bekerja pada protein M2 virus, suatu kanal ion transmembran yang
diaktivasi oleh pH. Kanal M2 merupakan pintu masuk ion ke virion selama
proses uncoating. Hal ini menyebabkan destabilisasi ikatan protein serta proses
transport DNA virus ke nucleus. Selain itu, fluks kanal ion M2 mengatur pH
kompartemen intraseluler, terutama aparatus Golgi.
Resistensi : Influenza A yang resisten terhadap amantadin dan rimantidin
belum merupakan masalah klinik, meskipun beberapa isolate virus telah
menunjukkan tingginya angka terjadinya resistensi tersebut. Resistensi ini
disebabkan perubahan satu asam amino dari matriks protein M2, resistensi silang
terjadi antara kedua obat.
Indikasi : Pencegahan dan terapi awal infeksi virus influenza A
( Amantadin juga diindikasi untuk terapi penyakit Parkinson ).
Farmakokinetik : Kedua obat mudah diabsorbsi oral. Amantadin tersebar
ke seluruh tubuh dab mudah menembus ke SSP. Rimantadin tidak dapat melintasi
sawar darah-otak sejumlah yang sama. Amantadin tidak dimetabolisme secara
luas. Dikeluarkan melalui urine dan dapat menumpuk sampai batas toksik pada
pasien gagal ginjal. Rimantadin dimetabolisme seluruhnya oleh hati. Metabolit
dan obat asli dikeluarkan oleh ginjal.
Dosis : Amantadin dan rimantadin tersedia dalam bentuk tablet dan sirup
untuk penggunaan oral. Amantadin diberikan dalam dosis 200 mg per hari ( 2 x
100 mg kapsul ). Rimantadin diberikan dalam dosis 300 mg per hari ( 2 x sehari
150 mg tablet ). Dosis amantadin harus diturunkan pada pasien dengan
insufisiensi renal, namun rimantadin hanya perlu diturunkan pada pasien dengan
klirens kreatinin ≤ 10 ml/menit.
Efek samping : Efek samping SSP seperti kegelisahan, kesulitan
berkonsentrasi, insomnia, hilang nafsu makan. Rimantadin menyebabkan reaksi
SSP lebih sedikit karena tidak banyak melintasi sawar otak darah. Efek
neurotoksik amantadin meningkat jika diberikan bersamaan dengan antihistamin
dan obat antikolinergik/psikotropik, terutama pada usia lamjut.
Empat golongan besar ativirus yang akan dibahas dalam dua bagian besar
yaitu pembahasan mengenai antinonretrovirus dan antiretrovirus.
A. Anti Non Retro Virus (ANRV)
a. Untuk herpes
Obat-obat yang aktif terhadap virus herpes umumnya merupakan
antimebolit yang mengalami bioktivasi melalui enzim kinase sel hospes atau virus
untuk membentuk senyawa yang dapat menghambat DNA polimerase virus.
Diantara obat-obatnya adalah:
1. Asiklovir
Ansiklovir dimetabolisme oleh enzim kinase virus menjadi senyawa
intermediet. Senyawa intermediet asiklovir (dan obat-obat seperti idoksuridin,
sitarabin, vidarabin dan zidovudin) dimetabolisme lebih lanjut oleh enzim kinase
sel hospes menjadi analog nukleotida, yang bekerja menghambat replikasi virus.
Mekanisme kerja asiklovir bekerja pada DNA polimerase virus, seperti
DNA polimerase virus herpes. Sebelum dapat meghambat sintesis DNA virus,
asiklovir harus mengalami fosfolirasi intraseluler, dalam tiga tahap unutk menjadi
bentuk tifosfat.Fosfolirasi intraseluler, dalam tiga tahap untuk menjadi bentuk
trifosfat. Fosfolirasi pertama dikatalisis oleh timidin kinase virus, proses
selanjutnya berlagsung dalam sel yang terinfeksi virus.
Resistensi terhadap asiklovir disebabkan oleh mutasi pada gen timidin
kinase virus atau pada gen timidin kinase virus atau pada gen DNA polimerase.
Indikasi infeksi HSV-1 dan HSV-2 baik lokal maupun sistemik (termasuk
keratitis herpetik, herpetik ensefalitis, herpes genitalia, herpes neonatal dan
herpeslabialis) dan infeksi VZV (Varisel dan herpes Zoster).
Dosis untuk herpes genital ialah 5 kali sehari 200 mg tablet, sedangkan
untuk herpes zoster ialah 4x 400 mg sehari. Penggunaan topikal untuk keratitis
herpetik adalah dalam bentuk krim ophtalmic 3% dan krim 5% untuk herpes
labialis.
Efek samping asiklovir pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik.
Asiklovir topikal dalam pembawa polietilen glikol dapat menyebabkan iritasi
mukosan dan rasa bakar yang sifatnya sementara jika dipakai pada luka genitalia.
Asiklovir oral, walaupun jarang, dapat menyebabkan insufisiensi renal dan
neurotoksitas
2. Valasiklovir
Merupakan ester L-valil dari asiklovir dan hanya terdapat dalam formulasi
oral. Setelah ditelan, valasiklovir dengan cepat diubah menjadi asiklovir melalui
enzim valasiklovir hidrolase di saluran cerna dan di hati.
Farmakokinetiknya bioavailabilitas oralnya 3 hingga 5 kali asiklovir
(54%) dan waktu paruh eliminasinya 2-3 jam. Waktu paruh intraselnya, 1-2 jam.
Kurang dari 1% dari dosis varasiklovir ditemukan diurin, selebihnya dieliminasi
sebagai asiklovir.
Mekanisme kerja dan resistensi sama dengan asiklovir
Indikasi varasiklovir terbukti efektif dalam terapi infeksi yang disebabkan
oleh virus herpes simplex, virus varisela-zoster dan sebagai profilaksis terhadap
penyakit yang disebabkan sitomegalo virus.
Sediaan dan dosis untuk herpes genital peroral 2x sehari500 mg tablet
selam 10 hari. Untuk herpes zoster 3x sehari 2 tablet 500 mg selama 7 hari.
Efek samping sama dengan asiklovir. Pernah terdapat laporan varasiklovir
menyebabkan mikroangiopati trombotik pada pasien imunosupresi yang
menerima berbagai macam obat.
3. Gansiklovir
Berbeda dengan asiklovir akan tetapi metabolisme dan mekanisme
kerjanya sama dengan asiklovir yang sedikit berbeda adalah pada gangsiklovir
terdapat karbon 3” dengan gugus hidroksil.
Mekanisme kerja gangsiklovir diubah menjadi gansiklovir monofosfat
oleh enzim fosfotranssilase yang dihasilkan sel yang terinfeksi sitomegalovirus.
Gansiklovir monofosfat merupakan substrat fosfotransfirase yang lebih baik
dibandingkan dengan asiklovir. Waktu paruh eliminasi gansiklivir trifosfat
sedikitnya 12 jam sedangkan asiklovir hanya 1-2 jam.
Resistensi terhadap penurunan fosfolirasi gansiklvir karena mutasi pada
fosfotransferase virus yang dikode oleh gen UL97 atau karena mutasi pada DNA
polimerase virus.
Indikasi untuk infeksi CMV, terutama CMV retinitis pada pasien
imunocompromised (misalnya AIDS), baik untuk terapi atau pencegahan.
Sediaan dan dosis untuk induksi diberikan IV 10mg/kg/hari (2x5mg/kg,
setiap 12 jam) selama 14-21 hari, lanjutkan dengan pemberian maintenance
peproral 3000 mg/hari (3x sehari 4 kapsul@ 250mg).
Efek samping mielosupresi dapat terjadi pada terapi dengan gansiklovir.
Neitropenia terjadi pada 15-40% pasien dan trombosit topenia terjaadi pada 5-
20%,
Zidovudin dan obat sitotoksik lain dapat meningkatkan resiko
mieloktosisitas gangsiklofir. Obat-obat nefrotoksik dapat menggangu ekskresi
gangsiklovir. Robenesid dan aiklovir dapat mengurangi klirens renal gansiklovir.
4. Valgansiklovir
Merupakan ester :L-faline dengan mekanisme kerja dan resistensi sama
dengan gansiklovir.
Indikasinya untuk infeksi CMV. Valgansiklovir oral merupakan sediaan
yang diharapkan dapat menggantikan gansiklovir IV dalam terapi dan pencegahan
infeksi CMV.
Dosis untuk induksi diberikan peroral 2x 900 mg/hari (2 tablet 450
mg/hari) selama 21 hari, dilanjutkan dengan terpai maintenance 1x 900 mg/hari.
Dosis harus dikurangi pada pasien dengan gangguan ginjal.
Efek samping sama dengan gangsiklovir. Laporan efek samping lain yang
terjadi dengan terapi valgansiklovir adalah sakitt kepala dan gangguan
gastrointestinal.
5. Pensiklovir
Struktur kimia pensiklovir mirip dengan gansiklovir. Metabolisme dan
mekanisme kerjanya sama dengan asiklovir, namun perbedaannya, pensiklovir
bukan DNA-chain terminator obligat.
Resistensi pada pensiklovir disebabkan oleh mutasi pada timidin kinase
atau dengan DNA polimearase virus. Kejadian resistensi selama pemakaian klinis
sangat jarang. Virus herpes yang resistens terhadap asiklovir juga resisten
terhadap pensiklovir.
Indikasi untuk infeksi herpes simplex mukokutan, khususnya herpes
labialis recurent (cold sores).
Dosis diberikan secara topukal dalam bentuk 1% krim.
Efek samping terjadi reaksi lokal pada tempat aplikasi, namun jarang
terjadi.
6. Famsiklovir
Mekanisme kerja famsiklofir merupakan prodrug pensiklovir. Famsiklovir
diubah melalui proses hirolisis pada 2 gugus asetilnya dan oksidasi pada posisi 6-,
kemudian bekerja seperti pada pensiklovir.
Resistensinya sama dengan pensiklovir.
Indikasi utama untuk HSV-1, HSV-2, dan VZV.
Dosis peroral 750 mg perhari (250 mg tablet setiap 8 jam, 3x sehari) dan
1500 mg/hari (500 mg setiap 8 jam).
Efek samping umumnya dapat ditolerasi degan baik, namun dapat juga
menyebabkan sakiat kepala, diare dan mual. Urtikaria, ruam sering terjadi pada
pasien lansia. Pernah juga terdapat laporan halusiansi dan konfusional state
(kebingungan).
7. Foskarnet
Mekanisme kerja obat ini membentuk kompleks dengan DNA polimerase
virus pada tempat ikatan pirofosfat, mencegah pecahnya pirofosfat dari nukleosida
trifosfat dan akan menghambat proses pemanjangan primer-template.
Resistensi dapat disebabkan oleh mutasi pada DNA polimerase virus.
Indikasi untuk retinitis CMV pada pasien AIDS, infeksi herpes mukokutan
yang resisten terhadap asiklovir (devisiensi timidin kinase virus) serta infeksi
HSV dan VZV pada pasien imunocompromise.
Dosis diberikan dalam bentuk larutan untuk pemberian IV dengan kadar
24 mg/ml dalam botol berisi 250 dan 500 ml.
Efek sampimg nefrotoksisitas dan hipokalsemia simptomatik.
8. Indoksuridin
Mekanisme kerja anti virus idoksuridin dan resistensinya belum
sepenuhnya dapat dipahami namun derivat idoksuridin yang telah mengalami
fosforilasi dapat mengganggu bebagai sistem enzim.
Indikasi untuk HSV keratitis.
Dosis diberikan secara topikal dalam bentuk tetes mata (0,1%).
Efek sampig nyeri, pruritus, inflamasi atau edeme pada mata atau kelopak
mata. Reaksi alergi jarang terjadi.
9. Trifluidin
Mekanisme kerja dan resistensi trifluridin monofosfat menghambat
timidilat sinteta sesecara irreversible dan trifudin trifosfat merupakan penghambat
kompotettif dari trimidin trifosfat yang akan bergabung ke DNA oleh DNA
polimerase.
Indikasi untuk HSV keratitits
Dosis diberikan berupa tetes mata topikal (1%).
Efek samping merasa tidak nyaman saat penetesan obat dan edeme
palpebra..jarang terjadi reaksi hipersensivitas, iritasi, keratitis, punctata superfisial
dan keratopati epitel.
10. Brivudin
Mekanisme kerja brivudin (setelah mengalami fosforilasi intraseluler)
bekerja sebagai penghambat kompotititf DNA polimerase virus. Brivudin juga
bekerhja sebagai substrat alternatif dan bergabung pada DNA virus, yang
menyebabkan penurunan integritas dan fungsi DNA virus.
Indikasi untuk infeksi HSV-1 dan VZV,terutama herpes zozter.
Dosis untuk terapi herpes zozter 125 mg/ hari, 1x sehari.
11. Sidofovir
Mekanisme kerjanya menghambat sintesis DNA virus dengan cara
memperlambat dan akhirnya menghentikan perpanjangan rantai.
Resistensi berupa mutasi pada DNA polimerase virus.Isolat CMV yang
sangat resisten terhadap gangsiklovir (mutasi pada gen UL-97 kinase dan DNA
polimerase) juga resisten terhadap sidofovir.
Indikasi untuk CMV retinitis pada pasien AIDS. Sidofovir juga efektif
untuk terapi HSV yang resisten terhadap asiklovir, herpes genitalia rekuren, CIN-
III, lesi-papiloma laring dan kutan, lesimoluskum contangiosum, infeksi
adenovirus dan PML
Dosis diberikan secara intavena 5 mg/kg /minggu selama 2 minggu
pertama, kemudian 5 mg/kg setiap 2 minggu.
Efek sampingnya nefrotoksisitas merupakan efek samping terberat
sidofovir intravena.
12. Fomivirsen
Mekanisme kerjanya merupakan komplemen terhadap sikuens mRNA
unutk transkripsi awal CMV dan menghambat replikasi CMV melalui mekanisme
yang sequence-specifik dan mekanisme non spesifik lainnya termasuk hambatan
pengikatan virus ke sel.
Indikasinya untuk CMV retinitis pada pasien AIDS.
Dosis Obat ini tersedia dalam bentuk larutan, obat untuk suntikan
intravitreal yang mengandung 0,25 ml dengan kadar 6,6 mg/ml. Berikan secara
suntikan intravitreal 333 µg (0,05ml) setiap 2 minggu sebanyak 2 dosis,
dilanjutkan dengan 1 dosis tiiap minggu.
Efek sampingnya iritis terjadi pada 25% pasien, yang dapat diatasi dengan
kortikosteroid topikal.
B. Nucleotide Reverse Tracriptase Inhibitor (NtRTI)
1. Tenofovir disoproksil
Obat ini digunakan dalam kombinasi dengan obat antiretrovirus lainnya.
Mekanisme kerja obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan
pembentukan rantai DNA.
Resistensinya disebabkan oleh mutasi pada RT kodon 65.
Farmakokinetik dan spektrum aktifitas pada Hiv (tipe 1 dan 2) serta
berbagai retrovirus lainnya dan HBU.
Indikasi untuk infeksi HIV dengan efafirenz; tidak boleh dikombinasikan
dengan lamivudin dan abakavir.
Sediaan dan Dosis diberikan peroral sekali sehari 300 mg tablet.
Efek sampingnya mual, muntah, flatulens, diare.
B. Non-Nucleosida Reverse Transcriptase Inhibitor (NHRTI)
1. Nevirapen
Mekanisme kerja obat ini bekerja pada situs alosetrik tempat ikatan non-
substrat HIV-1 RT.
Resistensi disebabkan oleh mutasi pada RT.
Spektrum aktifitas pada HIV tipe 1,
Indikasinya untuk infeksi HIV-1 dalam kombinasi dengan anti HIV
lainnya, terutama NRTI.
Dosis peroral 200 mg perhari selama 14 hari pertama (satu tablet 200 mg
per hari), kemudian 400 mg per hari (dua kali 200 mg tablet).
Efek sampingnya ruam, demam, fatigue, sakit kepala, somnolens, mual
dan penongkatan enzim hati
2. Delavirdin
Mekanisme kerjanya ama dengan nevirapim.
Resistensinya disebabkan oleh mutasi pada RT. Tidak ada resistensi silang
dengan nevirapin dan efavirenz.
Spektrum aktifitas pada HIV tipe 1.
Indikasi untuk HIV-1, dikombinasi dengan anti HIV lainnya, terutama
NRTI.
Dosis diberikan eroral 1200 mg perhari (2 tablet 200 mg 3 kali sehari) obat
ini juga tersedia dalam bentuk tablet 100 mg.
Efek sampingnya ruam, peningkatan tes fungsi hari.
3. Afavirenz
Mekanisme kerjanya sama dengan nevirapin.
Resistensi terhadap efavirens disebabkan oleh mutasi pada RT kodon
100,179, dan 181.
Spektrum aktifitas pada HIV tipe 1.
Indikasi untuk infeksi HIV-1 dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya,
terutama NRTI dan NtRTI.
Dosis diberikan peroral 600 mg perhari (sekali sehari tablet 600 mg,
sebaliknya sebelum tidur untuk mengurangi efek samping SSPnya.
Efek sampingnya sakit kepala, pusing, mimpi buruk, sulit berkonsentrasi
dan ruam.