Download - Refrat RHF Dg MS

Transcript
Page 1: Refrat RHF Dg MS

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Rheumatic Heart Disease (RHD) merupakan komplikasi yang

membahayakan dari demam reumatik. Proses perjalanan penyakit yang dimulai

dengan infeksi tenggorokan yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus β

hemoliticus tipe A yang bisa menyebabkan demam reumatik. Kurang lebih 39 %

pasien dengan demam reumatik akut bisa terjadi kelainan pada jantung mulai dari

insufisiensi katup, gagal jantung, perikarditis bahkan kematian. Dengan penyakit

jantung reumatik yang kronik, pada pasien bisa terjadi stenosis katup dengan

derajat regurgitasi yang berbeda-beda, dilatasi atrium, aritmia dan disfungsi

ventrikel. Rheumatic Heart Disease masih menjadi penyebab stenosis katup mitral

dan penggantian katup pada orang dewasa di Amerika Serikat.1 Menurut Hudak

dan Gallo (1997), adanya malfungsi katup dapat menimbulkan kegagalan pompa

baik oleh kelebihan beban tekanan (obstruksi pada pengaliran keluar dari pompa

ruang , seperti stenosis katup aortik atau stenosis pulmonal), atau dengan

kelebihan beban volume yang menunjukan peningkatan volume darah ke ventrikel

kiri sehingga sebagai produk akhir dari malfungsi katup akibat penyakit jantung

reumatik adalah gagal jantung kongestif.2

Menurut laporan WHO Expert Consultation Geneva 29 Oktober-1

november 2001 yang diterbitkan tahun 2004 menyebutkan, sekitar 7,6/100.000

penduduk di Asia Tenggara, 8,2/100.000 penduduk di negara berkembang dan

0,5/100.000 penduduk di negara maju menderita rheumatic heart disease.3  RHD

lebih sering terjadi pada penderita yang menderita keterlibatan jantung yang berat

pada serangan DR akut. RHD kronik dapat ditemukan tanpa adanya riwayat DR

akut. Hal ini terutama didapatkan pada penderita dewasa dengan ditemukannya

kelainan katup. Kemungkinan sebelumnya penderita tersebut mengalami serangan

karditis rematik subklinis, sehingga tidak berobat dan tidak didiagnosis pada

1

Page 2: Refrat RHF Dg MS

stadium akut. Kelainan katup yang paling sering ditemukan adalah pada katup

mitral, kira-kira tiga kali lebih banyak daripada katup aorta.

Stenosis mitral merupakan suatu keadaan dimana terjadi gangguan aliran

darah pada tingkat katup mitral oleh karena adanya perubahan pada struktur mitral

leaflets, yang menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul gangguan

pengisian ventrikel kiri saat diastol.1,2,3

Stenosis mitral merupakan penyebab utama terjadinya Rheumatic Heart

Disease di negara-negara berkembang.3,4 Di Amerika Serikat, prevalensi dari

stenosis mitral telah menurun seiring dengan penurunan insidensi demam rematik.

Pemberian antibiotik seperti penisilin pada streptococcal pharyngitis turut

berperan pada penurunan insidensi ini.3 Berdasarkan penelitian yang dilakukan

diberbagai tempat di Indonesia, penyakit jantung valvular menduduki urutan ke-2

setelah penyakit jantung koroner dari seluruh jenis penyebab penyakit jantung.2

Dari pola etiologi penyakit jantung di poliklinik Rumah Sakit Mohammad Hoesin

Palembang selama 5 tahun (1990-1994) didapatkan angka 13,94% dengan

penyakit katup jantung.1

Suatu faktor penting yang mempengaruhi insidens Rheumatic Heart

Disease adalah ketepatan diagnosis dan pelaporan penyakit. Sampai sekarang

belum tersedia uji spesifik yang tepat untuk menegakkan diagnosis Rheumatic

Heart Disease. Terdapat kesan terdapatnya overdiagnosis Rheumatic Heart

Disease, sehingga diharapkan dengan kriteria diagnosis yang tepat, pengertian dan

kemampuan untuk mengenal penyakit ini serta kesadaran para dokter untuk

menanggulanginya merupakan hal yang sangat penting dalam menurunkan

insidens penyakit ini.

B. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah:

2

Page 3: Refrat RHF Dg MS

1. Untuk mengetahui anatomi jantung

2. Untuk mengetahui definisi, etiologi, faktor risiko, patogensis dan cara

mendiagnosis rheumatic heart disease dengan stenosis mitral

3. Untuk mengetahui penatalaksanaan rheumatic heart disease dengan

stenosis mitral

3

Page 4: Refrat RHF Dg MS

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. RHEUMATIC HEART DISEASE (RHD)

1. Definisi

Menurut WHO, Rheumatic Heart Disease (RHD) adalah cacat

jantung akibat karditis rematik. Menurut Afif. A (2008), RHD adalah

penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari Demam

Rematik (DR), yang ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung. RHD

adalah hasil dari DR, yang merupakan suatu kondisi yang dapat terjadi 2-3

minggu setelah infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A pada

saluran napas bagian atas.18

Demam reumatik (DR) adalah sindrom klinik akibat infeksi kuman

streptococcus beta hemolytikus grup A, dengan satu atau lebih gejala

mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis, korea minor, nodul

subkutan atau eritema marginatum. Demam reumatik akut (DRA) adalah

istilah untuk penderita demam rematik yang terbukti dengan tanda radang

akut. Demam reumatik inaktif adalah istilah untuk penderita dengan

riwayat demam rematik tetapi tanpa terbukti tanda radang akut. Rheumatic

Heart Disease (RHD) adalah kelainan jantung yang ditemukan pada DRA

atau kelainan jantung yang merupakan gejala sisa ( sekuele) dari DR.

2. Anatomi dan Fisiologi Jantung

1. ANATOMI JANTUNG

Jantung (cor) berbentuk conus dengan basis terletak di

dorsocraniodexter dan apex di ventrocaudosinister. Jantung memiliki 3

facies, yaitu facies sternocostalis, facies diaphragmatica dan facies

pulmonalis. Bagian dalam jantung terdiri atas 4 ruang yaitu atrium

3

Page 5: Refrat RHF Dg MS

cordis dextrum dan sinistrum serta ventriculus cordis dexter dan

sinister. Antara atrium cordis dextrum dan sinistrum dibatasi septum

interatriale. Padanya terdapat fossa ovalis yang merupakan obliterasi

(sisa) dari foramen ovale pada waktu janin. Antara ventriculus cordis

dexter dan sinister dibatasi oleh septum interventriculare yang terdiri

dari pars membranacea dan pars muscularis. Antara atrium dan

ventriculus cordis dexter maupun sinister dibatasi oleh ostium

atrioventriculare dexter dan sinister. Padanya terdapat valvula (klep)

yang memisahkan kedua ruangan, yaitu valvula trikuspidalis di sisi

kanan dan valvula mitralis/bicuspidalis di sisi kiri. (Budianto, 2003).

4

Page 6: Refrat RHF Dg MS

Pada permukaan tubuh manusia, batas-batas jantung dapat

diproyeksikan sebagai berikut:

Sinister (kiri): mulai dari SIC V 1 jari sebelah medial linea

medioclavicularis ke cranial (atas) sampai SIC II sinister

pada linea parasternalis.

Cranial (atas): SIC II sinister pada linea parasternalis ke

kanan sampai tepi atas costa III dexter kurang lebih 2 cm

dari linea sternalis.

Dexter (kanan): tepi cranial (atas) costa III dexter, kurang

lebih 2 cm dari linea sternalis terus ke tepi caudal costa V

dexter.

Caudal (bawah): dari costa V dexter sampai SIC V linea

medioclavicularis. (Asisten Anatomi FK UNS 1999-2000,

2003)

Sedangkan proyeksi valve (katup) yang menghubungkan

ruangan di dalam jantung adalah sebagai berikut:

Valva tricuspidalis: SIC V dan cartilago costalis V dexter

Valva bicuspidalis: SIC III dan cartilago costalis IV sinister

Valva semilunaris aorta: cartilago costalis III dexter, pada

sternum sebelah linea mediana

5

Page 7: Refrat RHF Dg MS

Valva semilunaris pulmonalis: cartilago costalis III sinister,

sternum sebelah kiri dari linea mediana. (Asisten Anatomi

FK UNS 1999-2000, 2003)

Proyeksi-proyeksi tersebut memiliki peranan penting untuk

melakukan pemeriksaan fisik jantung, terutama untuk pemeriksaan

auskultasi.

2. HISTOLOGI JANTUNG

Dinding jantung terutama terdiri dari serat-serat otot jantung

yang tersusun secara spiral dan saling berhubungan melalui diskus

interkalatus. (Sherwood, 2001). Dinding jantung terdiri dari 3 lapisan

berbeda, yaitu:

Endokardium, adalah lapisan tipis endothelium, suatu

jaringan epitel unik yang melapisi bagian dalam seluruh

sistem sirkulasi, di sebelah dalam.

Miokardium, yaitu lapisan tengah yang terdiri dari otot

jantung, membentuk sebagian besar dinding jantung.

Perikardium adalah suatu membran tipis di bagian luar yang

membungkus jantung. (Sherwood, 2001)

Miokardium terdiri dari berkas-berkas serat otot jantung yang

saling menjalin dan tersusun melingkari jantung. Tiap-tiap sel otot

jantung saling berhubungan untuk membentuk serat yang bercabang-

cabang, dengan sel-sel yang berdekatan dihubungkan ujung ke ujung

pada struktur khusus yang dikenal sebagai diskus interkalatus

(intercalated disc). Di dalam sebuah diskus interkalatus terdapat dua

jenis pertautan membran: desmosom dan gap junction. Desmosom,

sejenis taut lekat yang secara mekanis menyatukan sel-sel, banyak

dijumpai di jaringan yang sering mendapat tekanan mekanis, misalnya

jantung. Pada interval tertentu di sepanjang diskus interkalatus, kedua

membran yang berhadapan saling mendekat untuk membentuk gap 6

Page 8: Refrat RHF Dg MS

junction, yaitu daerah-daerah dengan resistensi listrik yang rendah dan

memungkinkan potensial aksi menyebar dari satu sel jantung ke sel di

dekatnya. (Sherwood, 2001)

Tidak terdapat gap junction di antara sel-sel kontraktil atrium

dan ventrikel dan kedua massa otot itu dipisahkan oleh annulus

fibrosus, yaitu rangka fibrosa yang mengelilingi katup dan tidak dapat

menghantarkan listrik. Namun, terdapat suatu sistem penghantar

khusus untuk mempermudah koordinasi transmisi eksitasi listrik dari

atrium ke ventrikel agar pemompaan atrium dari ventrikel berjalan

sinkron. (Sherwood, 2001)

3. FISIOLOGI JANTUNG

AKTIVITAS LISTRIK JANTUNG

Kontraksi sel otot jantung untuk mendorong darah dicetuskan

oleh potensial aksi yang menyebar melalui membrane sel-sel otot.

Jantung berkontraksi atau berdenyut secara berirama akibat potensial

aksi yang ditimbulkannya sendiri, suatu sifat yang dikenal sebagai

otoritmisitas. (Sherwood, 2001)

Ada beberapa macam pembagian jenis otot jantung. Menurut

Sherwood (2001), terdapat dua jenis khusus sel otot jantung yaitu: sel

kontraktil yang menyusun 99% otot jantung dan sel otoritmik. Sel

kontraktil adalah sel otot yang melakukan kerja mekanis yaitu

memompa dan pada keadaan normal tidak menghasilkan sendiri

potensial aksi. Sebaliknya, sel otoritmik tidak berkontraksi tapi

mengkhususkan diri mencetuskan dan menghantarkan potensial aksi

yang bertanggung jawab untuk kontraksi sel-sel kontraktil. (Sherwood,

2001)

Guyton dan Hall (2008) membagi otot jantung menjadi tiga

tipe utama yakni: otot atrium, otot ventrikel, dan serabut otot

eksitatorik dan konduksi khusus. Tipe otot atrium dan ventrikel

berkontraksi dengan cara yang sama seperti otot rangka, hanya saja

7

Page 9: Refrat RHF Dg MS

durasi kontraksi otot-otot tersebut lebih lama. Sebaliknya, serabut-

serabut khusus eksitatorik dan konduksi justru memperlihatkan

pelepasan muatan listrik berirama yang otomatis dalam bentuk

potensial aksi atau konduksi potensial aksi yang melalui jantung, yang

bekerja sebagai suatu sistem eksitatorik yang mengatur denyut jantung

yang berirama. (Guyton dan Hall, 2008)

Kedua pembagian tersebut memperlihatkan suatu kesamaan

pola, yakni terdapat dua jenis otot jantung, yakni otot yang berfungsi

secara mekanis untuk kontraksi dan otot yang berfungsi pada sistem

konduksi khusus.

Menurut Sherwood (2001), sel-sel otot jantung yang mampuu

mengalami otoritmisasi ditemukan di lokasi-lokasi sebagai berikut:

Nodus Sinoatrium (nodus SA), daerah kecil khusus di dinding

atrium kanan dekat muara vena cava superior

Nodus Atrioventrikel (nodus AV), sebuah berkas kecil sel-sel otot

jantung khusus di dasar atrium kanan dekat septum, tepat di atas

pertautan atrium dan ventrikel.

Berkas His (berkas atrioventrikel), suatu jaras sel-sel khusus yang

berasal dari nodus AV dan masuk ke septum interventrikel,

kemudian bercabang membentuk berkas kanan dan kiri yang

berjalan ke bawah melalui septum, melingkari ujung bilik ventrikel

dan kembali ke atrium di sepanjang dinding luar.

Serat Purkinje, serat-serat terminal halus yang berjalan dari berkas

His dan menyebar ke seluruh miokardium ventrikel.

Sel-sel otoritmik jantung tidak memiliki potensial istirahat. Sel-

sel tersebut memperlihatkan aktivitas pemacu (pacemaker activity),

yaitu membran secara perlahan mengalami depolarisasi, atau bergeser,

antara potensial-potensial aksi sampai ambang tercapai, pada saat

membran mengalami potensial aksi. Melalui siklus pergeseran dan

pembentukan potensial aksi yang berulang-ulang tersebut, sel-sel

8

Page 10: Refrat RHF Dg MS

otoritmis ini secara siklis mencetuskan potensial aksi, yang kemudian

menyebar ke seluruh jantung untuk mencetuskan denyut secara

berirama tanpa perangsangan saraf apapun (Sherwood, 2001).

3. Etiologi

Infeksi Streptococcus hemolyticus grup A pada tenggorokan

selalu mendahului terjadinya demam rematik, baik pada serangan pertama

maupun serangan ulang. Telah diketahui bahwa dalam hal terjadi demam

rematik terdapat beberapa predisposisi antara lain :

1. Terdapat riwayat demam rematik dalam keluarga

2. Umur

DR sering terjadi antara umur 5 – 15 tahun dan jarang pada umur kurang

dari 2 tahun.

3. Keadaan sosial

Sering terjadi pada keluarga dengan keadaan sosial ekonomi kurang,

perumahan buruk dengan penghuni yang padat serta udara yang lembab,

dan gizi serta kesehatan yang kurang baik.

4. Musim

Di Negara-negara dengan 4 musim, terdapat insiden yang tinggi pada

akhir musim dingin dan permulaan semi (Maret-Mei) sedangkan insiden

paling rendah pada bulan Agustus – September.

5. Serangan demam rematik sebelumnya.

Serangan ulang DR sesudah adanya reinfeksi dgn Streptococcus beta

hemolyticus grup A adalah sering pada anak yang sebelumnya pernah

mendapat DR.

9

Page 11: Refrat RHF Dg MS

4. Patogenesis

            Meskipun pengetahuan serta penelitian sudah berkembang pesat,

namun mekanisme terjadinya rheumatic heart disease yang pasti belum diketahui.

Pada umumnya para ahli sependapat bahwa demam reumatik termasuk dalam

penyakit autoimun.3,4,5 Ada penelitian yang mendapatkan bahwa demam rematik

yang mengakibatkan penyakit jantung rematik terjadi akibat sensitisasi dari

antigen Streptokokus sesudah satu sampai empat minggu infeksi Streptokokus di

faring. Terjadi reaksi imun yang abnormal oleh tubuh terhadap antigen

Streptococcus Beta Hemoliticus Grup A yang dapat immunological cross reaction

antara membrane sel streptococcus dan sarcolemma miokard.

Lebih kurang 95% pasien menunjukkan peninggian titer antistreptoksisn O

(ASTO), antideoksiribonukleat B (anti DNA-ase B) yang merupakan dua macam

tes yang biasa dilakukan untuk infeksi kuman Streptokokus grup A. Beberapa

faktor yang diduga menjadi komplikasi pasca Streptokokus ini kemungkinan

utama adalah pertama Virulensi dan Antigenisitas Streptokokus dan kedua

besarnya respons umum dari host dan persistensi organisme yang menginfeksi

faring. Dan tidak diketemukannya faktor predisposisi dari kelainan genetik.

Diperkirakan terdapat suatu kemiripan antara antigen bakteri dengan sel jantung

pada manusia (antigenic mimicry). Pada penyelidikan ditemukan dua hal 2:

1. Adanya persamaan antara kabohidrat dari streptococcus grup A dengan

glycoprotein dari katup jantung.

2. Terdapat persamaan molekuler yaitu: streptococcal M. Protein dengan

sarcolema sel miocard pada manusia.

Dua teori dasar lainnya untuk menjelaskan terjadinya ARF dan jaringan parut di

target organ terdiri dari 1:

1. Efek toksik yang dihasilkan oleh ektrasellular toksin dari Streptococcus

Betta Hemolyticus Grup A di target organ seperti myocardium, valves,

synovium, and brain.

10

Page 12: Refrat RHF Dg MS

2. Respon imunitas yang abnormal untuk komponen Streptococcus Betta

Hemolyticus Grup A. Molecular mimicry dimana respon imun gagal

membedakan epitop (gen) dari strep. Grup A dengan jaringan tertentu dari

penderita (jaringan ikat).

Infeksi dari Streptokokus ini pada awalnya akan

mengaktifkan sistem imun. Seberapa besar sistem imun yang aktif

ini sangat dipengaruhi oleh faktor virulensi dari kuman itu sendiri

yaitu kejadian terjadinaya bakteriemia. Beberapa protein yang

cukup penting dalam faktor antigenisitas antara lain adalah protein

M dan N asetil glukosamin pada dinding sel bakteri terserbut.

Kedua faktor antigen terserbut akan dipenetrasikan oleh makrofag

ke sel CD4+naif. Selanjutnya sel CD4 akan menyebabkan

poliferasi dari sel T helper 1 dan Thelper 2 melalui berbagai sitokin

antara lain interleukin 2, 12, dll. Thelper 1 akan menghasilkan

interferon yang berfungsi untuk merekrut makrofag lain datang ke

tempat terjadinya infeksi terserbut. Dan juga keberadaan IL 4 dan

IL 10 juga menjadi salah satu faktor perekrutan makrofag ke

tempat lesi terserbut. Selain itu T helper juga akan mengaktifasi sel

plasma menjadi sel B yang merupakan sel memori dengan

memprodukksi IL4. Keberadaan sel memori ini lah yang

memungkinkan terjadinya autoimun ulang apabila terjadi pajanan

terhadap streptokokus lagi. Setelah sel B aktif akan menghasilkan

IgG dan IgE. Apabila terpajan kembali dengan bakteri penyebab

teserbut akan terjadi pengaktifan jalur komplemen yang

menyebabkan kerusakan jaringan dan pemanggilan makrofag

melalui interferon.

Pada penderita jantung reumatik, sel B, IgG dan IgE akan

memiliki raksi silang dengan beberapa protein yang terdapat di

dalam tubuh. Hal ini disebabkan M protein dan N asetil

glukosamin pada bakteri mirip dengan protein miosin dan

tropomiosin pada jantung, laminin pada katup jantung, vimentin

11

Page 13: Refrat RHF Dg MS

pada sinovial, keratin pada kulit, dan lysogangliosida pada

subtalamikus dan caudate nuclei di otak. Reaksi imun yang terjadi

akan menyebabkan pajanan sel terus menerus dengan makrofag.

Kejadian ini akan meningkatkan sitoplasma dan organel dari

makrofag sehingga mirip seperti sel epitel. Sel epitel tersebut

disebut dengan sel epiteloid, penggabungan dari granuloma ini

disebut dengan aschoff body. Sedangkan jaringan yang lisis atau

rusak karena reaksi autoimun baik yang disebabkan oleh karena

reaksi komplemen atau fagositosis oleh makrofag akan digantikan

dengan jaringan fibrosa atau scar. Terbentuknya scar ini lah yang

dapat menyebabkan stenosis ataupun insufisiensi dari katup-katup

pada jantung.

seluler

IL2 IF γ

12

SBHA

Monosit

Makrofag

APC Limfosit T

TH 1

TH 2

Makrofag

Limfosit B

Sel plasma

Antibodi

Page 14: Refrat RHF Dg MS

IL 4

Respon imun Humoral

Pembuluh darah

.

Perjalanan Penyakit

Masa laten infeksi Streptococcus dengan munculnya DR akut cukup

singkat bila ada artritis dan eritema marginatum. Dan akan lebih lama jika gejala

klinisnya disertai korea, sedangkan karditis dan nodul subkutan diantaranya.

Lamanya DR akut jarang melebihi 3 bulan. Tetapi bila ada karditis yang berat

biasanya klinis DR akut akan berlangsung 6 bulan atau lebih. (Taranta, 1964.

Majeed, 1992: gejala karditis akan ditemukan pada tiga bulan pertama dari 93 %

pasien DR akut.( McIntosh dkk,1935. Rosentha, 1968)

Perjalanan alamiah D.R. :

• Fase infeksi : S.B.H group A pd nasopharynx

• Fase laten : ( 1 – 4 minggu sesudah infeksi )

demam menurun manifestasi klinis lain menurun , biakan SBH (-).

13

Sel jaringan (katup jantung)

ANTIBODI

SBHAANTIBODI

Page 15: Refrat RHF Dg MS

• Fase rematik akut :

Manifestasi klinis bervariasi :

– Carditis ringan

– Carditis berat dng gagal jantung 2 – 3 bulan.

– Polyarthritis migrans

• Fase akhir :

Fase tenang atau inaktif (semua tanda-tanda aktif menurun)

5. Manifestasi klinis

          Perjalanan klinis penyakit demam reumatik/penyakit jantung reumatik dapat dibagi dalam 4 stadium:

Stadium I

            Stadium ini berupa infeksi saluran napas bagian atas oleh kuman beta-Streptococcus hemolyticus grup A. Keluhan biasanya berupa demam, batuk, rasa sakit waktu menelan, tidak jarang disertai muntah dan bahkan pada anak kecil dapat terjadi diare. Pada pemeriksaan fisik sering didapatkan eksudat di tonsil yang menyertai tanda-tanda peradangan lainnya. Kelenjar getah bening submandibular seringkali membesar. Infeksi ini biasanya berlangsung 2-4 hari dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan3.

            Para peneliti mencatat 50-90% riwayat infeksi saluran napas bagian atas pada penderita demam reumatik/penyakit jantung reumatik, yang biasanya terjadi 10-14 hari sebelum manifestasi pertama demam reumatik/penyakit jantung reumatik3.

Stadium II

            Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi Streptococcus dengan permulaan gejala demam reumatik, biasanya periode ini berlangsung 1-3 minggu, kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian3.

14

Page 16: Refrat RHF Dg MS

Stadium III

Merupakan fase akut demam reumatik, saat timbulnya berbagai manifestasi klinik demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Manifestasi klinik tersebut dapat digolongkan dalam gejala peradangan umum (gejala minor) dan manifestasi spesifik (gejala mayor) demam reumatik/penyakit jantung reumatik3.

 

Manifestasi Klinis Mayor

1. Karditis

Karditis pada demam reumatik akut ditemukan pada sekitar 50% pasien, yang cenderung meningkat dengan tajam pada pengamatan mutakhir1,2. Dua laporan yang paling baru, dari Florida dan Utah, melaporkan karditis pada 75% pasien demam reumatik akut. Angka ini didasarkan kepada diagnosis yang ditegakkan hanya dengan auskultasi, dan bahkan lebih tinggi bila alat ekokardiografi Doppler 91% pasien menunjukkan keterlibatan jantung1. Pada literatur lain menyebutkan yaitu sekitar 40-80% dari demam reumatik akan berkembang menjadi pankarditis5,7.

            Karditis merupakan kelainan yang paling serius pada demam reumatik akut, dan menyebabkan mortalitas paling sering selama stadium akut penyakit. Bahkan sesudah fase akut, cedera sisa pada katup dapat menyebabkan gagal jantung yang tidak mudah ditangani, dan seringkali memerlukan intervensi bedah. Selanjutnya mortalitas dapat terjadi akibat komplikasi bedah atau dari infeksi berikut yang menyebabkan endokarditis bakteri1.

            Banyak dokter memandang karditis sebagai manifestasi demam reumatik yang paling khas. Karditis dengan insufisiensi mitral diketahui dapat berkaitan dengan infeksi virus, riketsia, dan mikoplasma. Namun demam reumatik tetap merupakan penyebab utama insufisiensi mitral didapat pada anak dan dewasa muda. Meskipun laporan dari negara berkembang mengambarkan insidens penyakit jantung reumatik yang tinggi pada anak muda, demam reumatik dan karditis reumatik jarang ditemukan pada anak umur di bawah 5 tahun. Penyakit ini terkait dengan gejala nonspesifik meliputi mudah lelah, anoreksia, dan kulit pucat kekuningan. Mungkin terdapat demam ringan dan mengeluh bernapas pendek, nyeri dada, dan artralgia. Pemeriksaan jantung mungkin menunjukkan keterlibatan jantung, dan pada sebagian pasien dapat terjadi gagal jantung.

15

Page 17: Refrat RHF Dg MS

            Karditis dapat merupakan manifestasi tunggal atau terjadi bersamaan dengan satu atau lebih manifestasi lain. Kadang artritis dapat mendahului karditis; pada kasus demikian tanda karditis biasanya akan muncul dalam 1 atau 2 minggu; jarang terjadi keterlibatan jantung yang jelas di luar interval ini.

            Seperti manifestasi yang lain, derajat keterlibatan jantung sangat bervariasi. Karditis dapat sangat tidak kentara, seperti pada pasien dengan korea, tanda insufisiensi mitral dapat sangat ringan dan bersifat sementara, sehingga mudah terlewatkan pada auskultasi. Karditis yang secara klinis ’mulainya lambat’ mungkin sebenarnya mengambarkan progresivitas karditis ringan yang semula tidak dideteksi. Pasien yang datang dengan manifestasi lain harus diperiksa dengan teliti untuk menyingkirkan adanya karditis. Pemeriksaan dasar, termasuk elektrokardiografi dan ekokardiografi, harus selalu dilakukan. Pasien yang ada pada pemeriksaan awal tidak menunjukkan keterlibatan jantung harus terus dipantau dengan ketat untuk mendeteksi adanya karditis sampai tiga minggu berikutnya. Jikalau karditis tidak muncul dalam 2 sampai 3 minggu pascaserangan, maka selanjutnya ia jarang muncul.

            Takikardia merupakan salah satu tanda klinis awal miokarditis. Pengukuran frekuensi jantung paling dapat dipercaya apabila pasien tidur. Demam dan gagal jantung menaikkan frekuensi jantung; sehingga mengurangi nilai diagnostik takikardia. Apabila tidak terdapat demam atau gagal jantung, frekuensi jantung saat pasien tidur merupakan tanda yang terpercaya untuk memantau perjalanan karditis.

            Miokarditis dapat menimbulkan disritmia sementara; blok atrioventrikular total biasanya tidak ditemukan pada karditis reumatik. Miokarditis kadang sukar untuk dicatat secara klinis, terutama pada anak muda yang tidak terdengar bising yang berarti. Pada umumnya, tanda klinis karditis reumatik meliputi bising patologis, terutama insufisiensi mitral, adanya kardiomegali secara radiologis yang makin lama makin membesar, adanya gagal jantung dan tanda perikarditis.

            Terdapatnya gagal jantung kongestif, yaitu tekanan vena leher yang meninggi, muka sembab, hepatomegali, ronki paru, urin sedikit dan bahkan edema pitting, semuanya dapat dipandang sebagai bukti karditis. Hampir merupakan aksioma, setiap anak dengan penyakit jantung reumatik yang datang dengan gagal jantung pasti menderita karditis aktif. Hal ini berbeda dengan orang tua, padanya gagal jantung kongestif dapat terjadi sebagai akibat stres mekanik pada jantung karena keterlibatan katup reumatik. Pada anak dengan demam reumatik, gagal jantung kanan, terutama yang disertai dengan edema muka, mungkin terjadi

16

Page 18: Refrat RHF Dg MS

sekunder akibat gagal jantung kiri. Gagal jantung kiri pada anak reumatik relatif jarang ditemukan.

            Endokarditis, radang daun katup mitral dan aorta serta kordae katup mitral, merupakan komponen yang paling spesifik pada karditis reumatik. Katup-katup pulmonal dan trikuspid jarang terlibat. Insufisiensi mitral paling sering terjadi pada karditis reumatik, yang ditandai oleh adanya bising holosistolik (pansistolik) halus, dengan nada tinggi. Bising ini paling baik terdengar apabila pasien tidur miring ke kiri. Pungtum maksimum bising adalah di apeks, dengan penjalaran ke daerah aksila kiri. Apabila terdapat insufisiensi mitral yang bermakna, dapat pula terdengar bising stenosis mitral relatif yaitu bising mid-diastolik sampai akhir diastolik yang bernada rendah. Bising ini disebut bising Carey-Coombs, terjadi karena sejumlah besar darah didorong melalui lubang katup ke dalam ventrikel kiri selama fase pengisian, menghasilkan turbulensi yang bermanifestasi sebagai bising aliran (flow murmur).

            Insufisiensi aorta terjadi pada sekitar 20% pasien dengan karditis reumatik. Insufisiensi ini dapat merupakan kelainan katup tunggal tetapi biasanya bersama dengan infusiensi mitral. Infisiensi aorta ini ditandai oleh bising diastolik dini dekresendo yang mulai dari komponen aorta bunyi jantung kedua. Bising ini bernada sangat tinggi, sehinggga paling baik didengar dengan stetoskop membran (diafragma) pada sela iga ketiga kiri dengan pasien pada posisi tegak, terutama jika pasien membungkuk ke depan dan menahan napasnya selama ekspirasi. Bising ini mungkin lemah, dan karenanya sering gagal dikenali oleh pemeriksa yang tidak terlatih. Pada infusiensi aorta yang berat, bising terdengar keras dan mungkin disertai getaran bising diastolik. Pada kasus ini tekanan nadi yang naik karena lesi aorta yang besar digambarkan sebagai nadi perifer yang melompat-lompat (water-hammer pulse). Keterlibatan katup pulmonal dan trikuspid jarang terjadi; ia ditemukan pada pasien dengan penyakit jantung reumatik yang kronik dan berat. Pemeriksaan ekokardiografi-Doppler menunjukkan bahwa kelainan pada katup trikuspid dan  pasien demam reumatik pulmonoal ini lebih banyak daripada yang dipekirakan sebelumnya.

            Miokarditis atau insufisiensi katup yang berat dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung. Gagal jantung yang jelas terjadi pada sekitar 5% pasien demam reumatik akut, terutama pada anak yang lebih muda. Di Yogyakarta pasien yang datang dengan gagal jantung jelas dapat mencapai 65% karena kasus yang dapat berobat ke rumah sakit terdiri atas pasien demam reumatik akut serangan pertama dan demam reumatik akut serangan ulang. Lagipula pasien di Yogyakarta baru berobat apabila telah timbul gejala dan tanda gagal jantung.

17

Page 19: Refrat RHF Dg MS

            Manifestasi gagal jantung meliputi batuk, nyeri dada, dispne, ortopne, dan anoreksia. Pada pemeriksaan terdapat takikardia, kardiomegali, dan hepatomegali dengan hepar yang lunak. Edema paru terjadi pada gagal jantung sangat bervariasi.

            Pembesaran jantung terjadi bila perubahan hemodinamik yang berat terjadi akibat penyakit katup. Pembesaran jantung yang progresif dapat terjadi akibat pankarditis, yaitu karena dilatasi jantung akibat miokarditis ditambah dengan akumulsi cairan perikardium parietale dan viserale. Penggesekan permukaan yang meradang menimbulkan suara gesekan yang dapat didengar. Bising gesek ini terdengar paling baik di midprekordium pada pasien dalam posisi tegak, sebagai suara gesekan permukaan. Bising gesek dapat didengar pada sistole atau diastole tergantung pada apakah pergeseran timbul oleh kontraksi maupun relaksasi ventrikel. Pengumpulan cairan yang banyak menyebabkan terjadinya pergeseran perikardium, sehingga dapat mengakibatkan menghilangnya bising gesek. Bising gesek pada pasien parditis reumatik hampir selalu merupakan petunjuk adanya pankarditis. Perikarditis yang tidak disertai dengan endokarditis dan miokarditis biasanya bukan disebabkan demam reumatik.

            Irama derap yang mungkin terdengar biasanya berupa derap protodiastolik, akibat aksentuasi suara jantung ketiga. Derap presistolik agak jarang terjadi, akibat pengerasan suara jantung keempat yang biasanya tidak terdengar, atau derap kombinasi, yaitu kombinasi dari dua derap (summation gallop).

 

2. Artritis   

Artritis terjadi pada sekitar 70% pasien dengan demam reumatik. Walaupun merupakan manifestasi mayor yang paling sering, artritis ini paling tidak spesifik dan sering menyesatkan diagnosis. Insidens artritis yang rendah dilaporkan pada penjangkitan demam reumatik akhir-akhir ini di Amerika Serikat, mungkin akibat pedekatan diagnosis yang berbeda. Kebanyakan laporan menunjukkan artritis sebagai manifestasi reumatik yang paling sering, tetapi bukan yang paling serius, seperti kata Lasegue, ’demam reumatik menjilat sendi namun menggigi jantung1.

            Artritis menyatakan secara tidak langsung adanya radang aktif sendi, ditandai oleh nyeri yang hebat, bengkak, eritema, dan demam. Meskipun tidak semua manifestasi ada, tetapi nyeri pada saat istirahat yang menghebat pada gerakan aktif atau pasif biasanya merupakan tanda yang mencolok. Intensitas

18

Page 20: Refrat RHF Dg MS

nyeri dapat menghambat pergerakan sendi hingga mungkin seperti pseudoparalisis1.

            Artritis harus dibedakan dari artralgi, karena pada artralgia hanya terjadi nyeri ringan tanpa tanda objektif pada sendi. Sendi besar paling sering terkena, yang terutama adalah sendi lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Sendi perifer yang kecil jarang terlibat. Artritis reumatik bersifat asimetris dan berpindah-pindah (poliartritis migrans). Proses radang pada satu sendi dapat sembuh secara spontan sesudah beberapa jam serangan, kemudian muncul artritis pada sendi yang lain. Pada sebagian besar pasien, artritis sembuh dalam 1 minggu, dan biasanya tidak menetap lebih dari 2 atau 3 minggu. Artritis demam reumatik berespons dengan cepat terhadap salisilat bahkan pada dosis rendah, sehingga perjalanan artritis dapat diperpendek dengan nyata dengan pemberian aspirin1.

            Pemeriksaan radiologis sendi tidak menunjukkan kelainan kecuali efusi. Meskipun tidak berbahaya, artritis tidak boleh diabaikan; ia harus benar-benar diperhatikan, baik yang berat maupun yang ringan. Sebelum terburu-buru ke laboratorium untuk memikirkan ’skrining kolagen’ yang lain, ia harus diperiksa dengan anamnesis yang rinci serta pemeriksaan fisis yang cermat1.

 

Korea Sydenham      

Korea Sydenham, korea minor, atau St. Vitus dance, mengenai sekitar 15% pasien demam reumatik1,2. Manifestasi ini mencerminkan keterlibatan sistem saraf pusat, terutama ganglia basal dan nuklei kaudati, oleh proses radang. Hubungan korea Sydenham dengan demam reumatik tetap tidak jelas untuk waktu yang lama. Hubungan tersebut tampak pada pasien dengan manifestasi reumatik, terutama insufisiensi mitral, yang semula datang hanya dengan korea Sydenham. Sekarang jelas bahwa periode laten antara infeksi streptokokus dan awal korea lebih lama daripada periode laten untuk artritis atau karditis. Periode laten manifestasi klinis artritis atu karditis adalah sekitar 3 minggu, sedangkan manifestasi klinis korea dapat mencapai 3 bulan atau lebih1.

            Pasien dengan korea datang dengan gerakan yang tidak disengaja dan tidak bertujuan, inkoordinasi muskular, serta emosi yang labil. Manifestasi ini lebih nyata apabila pasien dalam keadaan stres. Gerakan abnormal ini dapat ditekan sementara atau sebagian oleh pasien dan menghilang pada saat tidur. Semua otot terkena, tetapi yang mencolok adalah otot wajah dan ekstremitas. Pasien tampak gugup dan menyeringai. Lidah dapat terjulur keluar dan masuk

19

Page 21: Refrat RHF Dg MS

mulut dengan cepat dan menyerupai ’kantong cacing’. Pasien korea biasanya tidak dapat mempertahankan kestabilan tonus dalam waktu yang pendek1.

            Biasanya pasien berbicara tertahan-tahan dan meledak-ledak. Ekstensi lengan di atas kepala menyebabkan pronasi satu atau kedua tangan (tanda pronator). Kontraksi otot tangan yang tidak teratur tampak jelas bila pasien menggenggam jari pemeriksa (pegangan pemerah susu). Apabila tangan diekstensikan ke depan, maka jari-jari berada dalam keadaan hiperekstensi (tanda sendok atau pinggan). Koordinasi otot halus sukar. Tulisan tangannya buruk, yang ditandai oleh coretan ke atas yang tidak mantap1,5. Bila disuruh membuka dan menutup kancing baju, pasien menunjukkan inkoordinasi yang jelas, dan ia menjadi mudah kecewa. Kelabilan emosinya khas, pasien sangat mudah menangis, dan menunjukkan reaksi yang tidak sesuai1,2,5. Orangtua sering cemas oleh kecanggungan pasien yang reaksi yang mendadak. Guru memperhatikan bahwa pasien kehilangan perhatian, gelisah, dan tidak koperatif. Sebagai pasien mungkin disalahtafsirkan sebagai menderita kelainan tingkah laku. Meskipun tanpa pengobatan sebagian besar korea minor akan menghilang dalam waktu 1-2 minggu. Pada kasus yang berat, meskipun dengan pengobatan, korea minor dapat menetap selama 3-4 bulan, bahkan dapat sampai 2 tahun1.

            Insidens korea pada pasien demam reumatik sangat bervariasi dan cenderung menurun, tetapi pada epidemi mutakhir di Utah korea terjadi pada 31% kasus. Korea tidak biasa terjadi sesudah pubertas dan tidak terjadi pada dewasa, kecuali jarang pada wanita hamil (’korea gravidarum’). Korea ini merupakan satu-satunya manifestasi yang memilih jenis kelamin, yakni dua kali lebih sering pada anak wanita dibanding pada lelaki. Sesudah pubertas perbedaan jenis kelamin ini bertambah1.

 

Eritema Marginatum

Eritema marginatum merupakan khas untuk demam reumatik dan jarang ditemukan pada penyakit lain. Karena khasnya, ia termasuk dalam manifestasi mayor. Data kepustakaan menunjukkan bahwa eritema marginatum ini hanya terjadi pada lebih-kurang 5% pasien1. Pada literatur lain menyebutkan eritema ini ditemukan pada kurang dari 10% kasus2. Ruam ini tidak gatal, maskular, dengan tepi eritema yang menjalar dari bagian satu ke bagian lain mengelilingi kulit yang tampak normal. Lesi ini berdiameter sekitar 2,5 cm, tersering pada batang tubuh dan tungkai proksimal, dan tidak melibatkan wajah1,2,5. Pemasangan handuk hangat atau mandi air hangat dapat memperjelas ruam. Eritema sukar ditemukan

20

Page 22: Refrat RHF Dg MS

pada pasien berkulit gelap. Ia biasanya timbul pada stadium awal penyakit, kadang menetap atau kembali lagi, bahkan setelah semua manifestasi klinis lain hilang. Eritema biasanya hanya ditemukan pada pasien dengan karditis, seperti halnya nodul subkutan1. Menurut literatur lain, eritema ini sering ditemukan pada wanita dengan karditis kronis5.

 

Nodulus Subkutan

Frekuensi manifestasi ini telah menurun sejak beberapa dekade terakhir, saat ini jarang ditemukan, kecuali pada penyakit jantung reumatik kronik. Penelitian mutakhir melaporkan frekuensi nodul subkutan kurang dari 5%. Namun pada laporan mutakhir dari Utah nodul subkutan ditemukan pada sekitar 10% pasien. Nodulus terletak pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut dan persendian kaki. Kadang nodulus ditemukan pada kulit kepala dan di atas kolumna vetrebralis. Ukurannya bervariasi dari 0,5-2 cm, tidak nyeri, dan dapat bebas digerakkan. Nodul subkutan pada pasien demam reumatik akut biasanya lebih kecil dan lebih cepat menghilang daripada nodul pada reumatoid artritis. Kulit yang menutupinya tidak menunjukkan tanda radang atau pucat. Nodul ini biasanya muncul sesudah beberapa minggu sakit dan pada umumnya hanya ditemukan pada pasien dengan karditis1.

                                  

MANIFESTASI MINOR

Demam hampir selalu ada pada poliartritis reumatik; ia sering ada pada karditis yang tersendiri (murni) tetapi pada korea murni. Jenis demamnya adalah remiten, tanpa variasi diurnal yang lebar, gejala khas biasanya kembali normal atau hampir normal dalam waktu 2/3 minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia adalah nyeri sendi tanpa tanda objektif pada sendi. Artralgia biasanya melibatkan sendi besar. Kadang nyerinya terasa sangat berat sehingga pasien tidak mampu lagi menggerakkan tungkainya1.

Termasuk kriteria minor adalah beberpa uji laboratorium. Reaktan fase akut seperti LED atau C-reactive protein mungkin naik. Uji ini dapat tetap naik untuk masa waktu yang lama (berbulan-bulan). Pemanjangan interval PR pada elektrokardiogram juga termasuk kriteria minor5.

21

Page 23: Refrat RHF Dg MS

            Nyeri abdomen dapat terjadi pada demam reumatik akut dengan gagal jantung oleh karena distensi hati. Nyeri abdomen jarang ada pada demam reumatik tanpa gagal jantung dan ada sebelum manifestasi spesifik yang lain muncul. Pada kasus ini nyeri mungkin terasa berat sekali pada daerah sekitar umbilikus, dan kadang dapat disalahtafsirkan sebagai apendistis sehingga dilakukan operasi1.

            Anoreksia, nausea, dan muntah seringkali ada, tetapi kebanyakan akibat gagal jantung kongestif atau akibat keracunan salisilat. Epitaksis berat mungkin dapat terjadi. Kelelahan merupakan gejala yang tidak jelas dan jarang, kecuali pada gagal jantung. Nyeri abdomen dan epitaksis, meskipun sering ditemukan pada demam reumatik, tidak dianggap sebagai kriteria diagnosis1.

 

Stadium IV

            Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa kelainan jantung atau penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan gejala apa-apa3.

            Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pada fase ini baik penderita demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivasi penyakitnya3.

6. Diagnosis

Diagnosis demam rematik lazim didasarkan pada suatu kriteria yang untuk

pertama kali diajukan oleh T. Duchett Jones dan, oleh karena itu kemudian

dikenal sebagai kriteria Jones. Kriteria Jones memuat kelompok kriteria

mayor dan minor yang pada dasarnya merupakan manifestasi klinik dan

laboratorik demam rematik. Pada perkembangan selanjutnya, kriteria ini

kemudian diperbaiki oleh American Heart Association dengan

menambahkan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya (Tabel 1).

Apabila ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1 kriterium mayor dan 2 kriteria

minor, ditambah dengan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya,

kemungkinan besar menandakan adanya demam rematik. Tanpa didukung 22

Page 24: Refrat RHF Dg MS

bukti adanya infeksi streptokokus, maka diagnosis demam rematik harus

selalu diragukan, kecuali pada kasus demam rematik dengan manifestasi

mayor tunggal berupa korea Syndenham atau karditis derajat ringan, yang

biasanya terjadi jika demam rernatik baru muncul setelah masa laten yang

lama dan infeksi streptococcus.

Perlu diingat bahwa kriteria Jones tidak bersifat mutlak, tetapi hanya

sebagai suatu pedoman dalam menentukan diagnosis demam rematik.

Kriteria ini bermanfaat untuk memperkecil kemungkinan terjadinya

kesalahan diagnosis, baik berupa overdiagnosis maupun underdiagnosis.

Tabel.1. Kriteria Jones (update 1992)

Kriteria Mayor Kriteria Minor

Karditis

Poliartritis migrans

Korea sydenham

Eritema marginatum

Nodul subkutan

Klinis :

Riwayat demam rematik atau penyakit jantung

rematik sebelumnya

Artralgia

Demam

Laboratorium :

Peningkatan kadar reaktan fase akut (protein C

reaktif, laju endap darah, leukositosis)

Interval P-R yang memanjang

Ditambah

Disokong adanya bukti infeksi Streptokokus sebelumnya berupa kultur apus

tenggorok yang positip atau tes antigen streptokokus yang cepat atau titer ASTO

23

Page 25: Refrat RHF Dg MS

yang meningkat.

7. Diagnosis Banding

Arthritis RheumatoidPoliartritis pada anak-anak dibawah 3 tahun atau lebih sering pada artritis reumatoid, biasanya terjadi secara bersamaan pada sendi-sendi, simetris, tidak bermigrasi, kurang berespon terhadap preparat salisil dibandingkan dengan artritis pada DR. Apabila sakit bertahan lebih dari 1 minggu meskipun sudah diberi salisil + reumatoid faktor (+) diagnosis ke arah artritis reumatoid.

Sickel cell Anemia/ leukemiaTerjadi pada anak dibawah 6 bulan. Adanya penurunan Hb yang significant (< 7 g/dL). Leukositosis tanpa adanya tanda-tanda radang. Peradangan pada metatarsal dan metakarpal. Splenomegali. Pada perjalanan yang kronis kardiomegali. Diperlukan pemeriksaan pada sumsum tulang.

Artritis et causa infeksiMemerlukan kultur dan gram dari cairan sendi.

Karditis et causa virusTerutama disebabkan oleh coxakie B dengan arbovirus dapat menyebabkan miokarditis dengan tanda-tanda kardiomegali, aritmia dan gagal jantung. Kardiomegali bising sistolik (MI). Tidak terdapat murmur. Perikarditis akibat virus harus dibedakan dengan DR karena pada virus disertai dengan valvulitis.

Keadaan mirip choreaMultiple tics merupakan kebiasaan, berupa gerakan-gerakan repetitif.Cerbral palsy gerakannya lebih pelan dan lebih ritmik. Anamnesa: kelumpuhan motorik yang sudah dapat terlihat semenjak awal bulan. Keterlambatan perkembangan.Post ensefalitis perlu pemeriksaan lab lebih lanjut, etiologi yang bermacam-macam. Gejala klinis berupa: kaku kuduk, letargi, sakit kepala, muntah-muntah, photofobia, gangguan bicara, kejang, dll.

Kelainan kongenitalKelaninan kongenital yang tersering pada anak-anak ialah VSD (ventrikel septum defect) dan ASD (atrium septum defect). Gambaran klinis yang mendasari:- Adanya kesamaan pada pemeriksaan fisik dimana didapatkan bising

pansistolik murmur dengan punctum maksimum disela iga III-IV parasternal kiri.

- Adanya keluhan sesak napas akibat gagal jantung

24

Page 26: Refrat RHF Dg MS

Untuk menyingkirkan diagnosis banding ini diperlukan anamnesis yang teliti terhadap tumbuh kembang anak. Biasanya berat badan anak menurun (pada kasus berat) dan terdeteksi dini anak lebih kecil ( < 1 thn).

  Demam reumatik Artritis reumatoid Lupus eritomatosus

sistemik

Umur 5-15 tahun 5 tahun 10 tahun

Rasio kelamin Sama Wanita 1,5:1 Wanita 5:1

Kelainan sendi

Sakit

Bengkak

Kelainan Ro

 

Hebat

Non spesifik

Tidak ada

 

sedang

Non spesifik

Sering (lanjut)

 

Biasanya ringan

Non spesifik

Kadang-kadang

Kelainan kulit Eritema marginatum Makular Lesi kupu-kupu

Karditis Ya Jarang Lanjut

Laboratorium

Lateks

Aglutinasi sel domba

Sediaa sel LE

 

 

-

-

 

± 10%

± 10%

± 5%

Kadang-kadang

Respon terhadap

salisilat

Cepat Biasanya lambat Lambat  / -

8. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan darah

LED tinggi sekali

Lekositosis

Nilai hemoglobin dapat rendah

b. Pemeriksaan bakteriologi

25

Page 27: Refrat RHF Dg MS

Biakan hapus tenggorokan untuk membuktikan adanya streptococcus.

Pemeriksaan serologi. Diukur titer ASTO, astistreptokinase, anti

hyaluronidase.

c. Pemeriksaan radiologi

Elektrokardoigrafi dan ekokardiografi untuk menilai adanya kelainan

jantung.

9. Penatalaksanaan

a. Pengobatan

1) Eradikasi kuman Streptococcus beta hemolyticus grup A

Pengobatan yang adekuat terhadap infeksi Streptococcus harus segera dilaksanakan

setelah diagnosis ditegakkan. Cara pemusnahan streptococcus dari tonsil dan faring sama

dengan cara untuk pengobatan faringitis streptococcus yakni pemberian penisilin benzatin

intramuskular dengan dosis 1,2 juta unit untuk pasien dengan berat badan > 30 kg atau

600 000-900 000 unit untuk pasien dengan berat badan < 30 kg. Penisilin oral, 400 000

unit (250 mg) diberikan empat kali sehari selama 10 hari dapat digunakan sebagai

alternatif. Eritromisin, 50 mg/kg BB sehari dibagi dalam 4 dosis yang sama dengan

maximum 250 mg 4 kali sehari selama 10 hari dianjurkan untuk pasien yang alergi

penisilin. Obat lain seperti sefalosporin yang diberikan dua kali sehari selama 10 hari juga

efektif untuk pengobatan faringitis streptokokus. Penisilin benzatin yang berdaya lama

lebih disukai dokter karena reliabilitasnya serta efektifitasnya untuk profilaksis infeksi

streptokokus1,3.

 

2.      Obat analgesik dan anti-inflamasi

Pengobatan anti-radang amat efektif dalam menekan manifestasi radang akut demam

reumatik, sedemikian baiknya sehingga respons yang cepat dari artritis terhadap salisitas

dapat membantu diagnosis1.

Pasien dengan artritis yang pasti harus diobati dengan aspirin dalam dosis total 100

mg/kgBB/ hari, maximum 6 g per hari dosis terbagi selama 2 minggu, dan 75 mg/kgBB/

26

Page 28: Refrat RHF Dg MS

hari selama 2-6 minggu berikutnya. Kadang diperlukan dosis yang lebih besar. Harus

diingatkan kemungkinan keracunan salisilat, yang ditandai dengan tinitus dan

hiperpne1,2,3.

Pada pasien karditis, terutama jika ada kardiomegali atau gagal jantung aspirin seringkali

tidak cukup untuk mengendalikan demam, rasa tidak enak serta takikardia, kecuali

dengan dosis toksik atau mendekati toksik. Pasien ini harus ditangani dengan steroid;

prednison adalah steroid terpilih, mulai dengan dosis 2 mg/kgBB/hari dengan dosis

terbagi, maximum 80 mg per hari. Pada kasus yang sangat akut dan parah, terapi harus

dimulai dengan metilprednisolon intravena (10-40 mg), diikuti dengan prednison oral.

Sesudah 2-3 minggu prednison dapat dikurangi terhadap dengan pengurangan dosis

harian sebanyak 5 mg setiap 2-3 hari. Bila penurunan ini dimulai, aspirin dengan dosis 75

mg/kgBB/hari harus ditambahkan dan dilanjutkan selama 6 minggu setelah prednison

dihentikan. Terapi ’tumpang tindih’ ini dapat mengurangi insidens rebound klinis

pascaterapi, yaitu munculnya kembali manifestasi klinis segera sesudah terapi dihentikan,

atau sementara prednison diturunkan, tanpa infeksi streptokokus baru.  Steroid dianjurkan

untuk pasien dengan karditis karena kesan klinis bahwa pasien berespons lebih baik,

demikian pula gagal jantung pun berespons lebih cepat daripada dengan salisilat1,2.   

Pada sekitar 5-10% pasien demam reumatik, kenaikan LED bertahan selama berbulan-

bulan sesudah penghentian terapi. Keadaan ini tidak berat, tidak dapat dijelaskan

sebabnya, dan tidak perlu mengubah tata laksana medik. Sebaliknya kadar PCR yang

tetap tinggi menandakan perjalanan penyakit yang berlarut-larut; pasien tersebut harus

diamati dengan seksama. Apabila demam reumatik inaktif dan tetap tenang lebih dari dua

bulan setelah penghentian antiradang, maka demam reumatik tidak akan timbul lagi

kecuali apabila terjadi infeksi streptokokus baru.

 

TABEL 3. OBAT ANTI INFLAMASI YANG DIANJURKAN PADA

DEMAM REUMATIK2,3

 

27

Page 29: Refrat RHF Dg MS

MANIFESTASI KLINIS PENGOBATAN

Artralgia

 

Hanya analgesik (misal asetaminofen).

 

Artritis Salisilat 100 mg/kgBB/hari selama 2 minggu,

dan 75 mg/kgBB/hari selama 4 minggu

berikutnya

 

Artritis + karditis tanpa kardiomegali Salisilat 100 mg/kgBB/hari selama 2 minggu,

dan 75 mg/kgBB/hari selama 4 minggu

berikutnya

 

Artritis + karditis + kardiomegali Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu dan

diturunkan sedikit demi sedikit (tapering off) 2

minggu; salisilat 75 mg/kgBB/hari mulai awal

minggu ke 3 selama 6 minggu

 

 

3.      Diet

Bentuk dan jenis makanan disesuaikan dengan keadaan penderita. Pada sebagian besar

kasus cukup diberikan makanan biasa, cukup kalori dan protein. Tambahan vitamin dapat

dibenarkan. Bila terdapat gagal jantung, diet disesuaikan dengan diet untuk gagal jantung

yaitu cairan dan garam sebaiknya dibatasi3,9.

 

4.      Tirah Baring dan mobilisasi

Semua pasien demam reumatik akut harus tirah baring, jika mungkin di rumah sakit.

Pasien harus diperiksa tiap hari untuk menemukan valvulitis dan untuk mulai pengobatan

28

Page 30: Refrat RHF Dg MS

dini bila terdapat gagal jantung. Karditis hampir selalu terjadi dalam 2-3 minggu sejak

dari awal serangan, hingga pengamatan yang ketat harus dilakukan selama masa tersebut.

Sesudah itu lama dan tingkat tirah baring bervariasi. Tabel 4 merupakan pedoman umum;

tidak ada penelitian acak terkendali untuk mendukung rekomendasi ini. Hal penting

adalah bahwa tata laksana harus disesuaikan dengan manifestasi penyakit, sedang

pembatasan aktivitas fisis yang lama harus dihindari1.

Selama terdapat tanda-tanda radang akut, penderita harus istirahat di tempat tidur. Untuk

artritis cukup dalam waktu lebih kurang 2 minggu, sedangkan untuk karditis berat dengan

gagal jantung dapat sampai 6 bulan. Mobilisasi dilakukan secara bertahap3.

Istirahat mutlak yang berkepanjangan tidak diperlukan mengingat efek psikologis serta

keperluan sekolah. Penderita demam reumatik tanpa karditis atau penderita karditis tanpa

gejala sisa atau penderita karditis dengan gejala sisa kelainan katup tanpa kardiomegali,

setelah sembuh tidak perlu pembatasan aktivitas. Penderita dengan demam kardiomegali

menetap perlu dibatasi aktivitasnya dan tidak diperkenankan melakukan olahraga yang

bersifat kompetisi fisis3.

 

TABEL 4. PEDOMAN ISTIRAHAT DAN MOBILISASI PENDERITA DEMAM

REUMATIK/PENYAKIT JANTUNG REUMATIK AKUT

(Markowitz dan Gordis, 1972)3

  Artritis Karditis

minimal

Karditis tanpa

kardiomegali

Karditis +

kardiomegali

Tirah baring 2 minggu 3 minggu 6 minggu 3-6 bulan

Mobilisasi

bertahap di

ruangan

2 minggu 3 minggu 6 minggu 3 bulan

Mobilisasi

bertahap di luar

ruangan

3 minggu 4 minggu 3 bulan 3 bulan atau lebih

29

Page 31: Refrat RHF Dg MS

Semua kegiatan Sesudah 6-8

minggu

Sesudah 10

minggu

Sesudah 6 bulan bervariasi

 

b. Pencegahan sekunder

            Cara pencegahan sekunder yang diajukan The American Heart Association dan

WHO tertera pada tabel 5. Pemberian suntikan penisilin berdaya lama setiap bulan adalah

cara yang paling dapat dipercaya. Pada keadaan-keadaan khusus, atau pada pasien dengan

resiko tinggi, suntikan diberikan setiap 3 minggu. Meskipun nyeri suntikan dapat

berlangsung lama, pasien yang lebih tua lebih suka cara ini karena dapat dengan mudah

teratur melakukanya satu kali setiap 3 atau 4 minggu, dibanding dengan tablet penisilin

oral yang harus setiap hari. Preparat sulfa yang tidak efektif untuk pencegahan primer

(terapi faringitis), terbukti lebih efektif daripada penisilin oral untuk pencegahan

sekunder. Sulfadiazin juga jauh lebih murah daripada eritromisin.

            Lama pemberian pencegahan sekunder sangat bervariasi, bergantung pada

berbagaii faktor, termasuk waktu serangan atau serangan ulang, umur pasien, dan

keadaan lingkungan. Makin muda saat serangan makin besar kemungkinan kumat;

setelah pubertas kemungkinan kumat cenderung menurun. Sebagian besar kumat terjadi

dalam 5 tahun pertama sesudah serangan terakhir. Pasien dengan karditis lebih mungkin

kumat daripada pasien tanpa karditis.

B. STENOSIS MITRAL (MS)

1. Definisi

Stenosis mitral merupakan suatu keadaan dimana terjadi gangguan aliran darah

pada tingkat katup mitral oleh karena adanya perubahan pada struktur mitral

leaflets, yang menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul gangguan

pengisian ventrikel kiri saat diastol.

30

Page 32: Refrat RHF Dg MS

2. Etiologi

Penyebab tersering dari stenosis mitral adalah endokarditis reumatik,

akibat reaksi yang progresif dari demam rematik oleh infeksi streptokokkus.1,2,3,4

Diperkirakan 90% stenosis mitral didasarkan atas penyakit jantung rematik.2,5

Penyebab lainnya walaupun jarang yaitu stenosis mitral kongenital, vegetasi dari

systemic lupus eritematosus (SLE), deposit amiloid, mucopolysaccharhidosis,

rheumatoid arthritis (RA), Wipple’s disease, Fabry disease, akibat obat

fenfluramin/phentermin, serta kalsifikasi annulus maupun daun katup pada usia

lanjut akibat proses degeneratif.1,2,3

Terdapat beberapa keadaan yang dapat menyebabkan stenosi mitral,

yakni :

Penyakit jantung reumatik oleh karena autoimun.

Stenosis mitral fungsional oleh kalsifikasi yang berat pada katup mitral.

Kongenital, miksoma, thrombus, lesi endokarditis yang besar

Valvulitis atau inifltrasi

Demam reumatik merupakan penyebab tersering timbulnya stenosis

mitral. Penyebab lainnya jarang ditemukan terutama kelainan congenital.

Penyebab Kongenital sangat jarang ditemukan sebagai suatu etiologi dari stenosis

mitral dan biasanya hanya didapatkan pada bayi. (18,22)

3. Derajat Stenosis Mitral

Derajat berat ringannya stenosis mitral, selain berdasarkan gradien transmitral,

dapat juga ditentukan oleh luasnya area katup mitral, serta hubungan antara lamanya

waktu antara penutupan katup aorta dan kejadian opening snap. Berdasarkan luasnya area

katup mitral derajat stenosis mitral sebagai berikut:

Minimal : bila area >2,5 cm2

Ringan : bila area 1,4-2,5 cm2

Sedang : bila area 1-1,4 cm2

31

Page 33: Refrat RHF Dg MS

Berat : bila area <1,0 cm2

Reaktif : bila area <1,0 cm2

Keluhan dan gejala stenosis mitral akan mulai muncul bila luas area katup mitral

menurun sampai seperdua dari normal (<2-2,5 cm2). Hubungan antara gradien dan

luasnya area katup serta waktu pembukaan katup mitral dapat dilihat pada tabel

berikut:

Derajat stenosis A2-OS interval Area Gradien

Ringan >110 msec >1,5 cm2 <5 mmHg

Sedang 80-110 msec >1 cm2-1,5 cm2 5-10 mmHg

Berat <80 msec <1 cm2 >10 mmHg

A2-OS: Waktu antara penutupan katup aorta dengan pembukaan katup mitral

Dengan bertambah sempitnya area mitral maka tekanan atrium kiri akan

meningkat bersamaan dengan progresi keluhan. Apabila area mitral <1 cm2 yang berupa

stenosis mitral berat maka akan terjadi limitasi dalam aktifitas.

4. Patofisiologi

Pada keadaan normal katup mitral mempunyai ukuran 4-6 cm2, bila area

orifisium katup berkurang sampai 2 cm2, maka diperlukan upaya aktif atrium kiri berupa

peningkatan tekanan atrium kiri agar aliran transmitral yang normal dapat terjadi.

Stenosis mitral kritis terjadi bila pembukaan katup berkurang hingga menjadi 1 cm2.1,4

Pada tahap ini diperlukan suatu tekanan atrium kiri sebesar 25 mmHg untuk

mempertahankan cardiac output yang normal.1 Peningkatan tekanan atrium kiri akan

meningkatkan tekanan pada vena pulmonalis dan kapiler, sehingga bermanifestasi

32

Page 34: Refrat RHF Dg MS

sebagai exertional dyspneu.4 seiring dengan perkembangan penyakit, peningkatan tekanan

atrium kiri kronik akan menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal, yang selanjutnya

akan menyebabkan kenaikan tekanan dan volume akhir diatol, regurgitasi trikuspidal dan

pulmonal sekunder dan seterusnya sebagai gagal jantung kanan dan kongesti sistemik.1,4

Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada stenosis

mitral. Pada awalnya hipertensi pulmonal terjadi secara pasif akibat kenaikan tekanan

atrium kiri, terjadi perubahan pada vaskular paru berupa vasokonstriksi akibat bahan

neurohormonal seperti endotelin atau perubahan anatomi yaitu remodel akibat hipertrofi

tunika media dan penebalan intima (reactive hypertension).1

Pelebaran progresif dari atrium kiri akan memicu dua komplikasi lanjut, yaitu

pembentukan trombus mural yang terjadi pada sekitar 20% penderita, dan terjadinya

atrial fibrilasi yang terjadi pada sekitar 40% penderita.4

5. Manifestasi klinis

Kebanyakan penderita mitral stenosis bebas keluhan dan biasanya keluhan utama berupa

sesak napas dan dapat juga berupa fatigue. Pada stenosis mitral yang bermakna dapat

mengalami sesak pada aktifitas sehari-hari, paroksismal nokturnal dispnea, ortopnea atau

oedema paru.1,2,3,4,5,6

Aritmia atrial berupa fibrilasi atrium juga merupakan kejadian yang sering terjadi

pada stenosis mitral, yaitu 30-40%. Sering terjadi pada usia yang lebih lanjut atau distensi

atrium yang akan merubah sifat elektrofisiologi dari atrium kiri, dan hal ini tidak

berhubungan dengan derajat stenosis.1

33

Page 35: Refrat RHF Dg MS

Manifestasi klinis dapat juga berupa komplikasi stenosis mitral seperti

tromboemboli, infektif endokarditis atau simtomatis karena kompresi akibat besarnya

atrium kiri seperti disfagia dan suara serak.1

6. Diagnosis

Diagnosis dari mitral stenosis ditegakkan dari riwayat penyakit,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti foto thoraks,

elektrokardiografi (EKG) atau ekokardiografi. Dari riwayat penyakit biasanya

didapat :

Riwayat demam rematik sebelumnya

Dyspneu d’effort

Paroksismal nokturnal dispnea

Aktifitas yang memicu kelelahan

Hemoptisis

Nyeri dada

Palpitasi

Sedangkan dari pemeriksaan fisik didapatkan :

Inspeksi

Tampak pulsasi ictus cordis

Malar flush, perubahan warna kebiruan pada atas pipi karena saturasi

oksigen berkurang

Sianosis perifer

34

Page 36: Refrat RHF Dg MS

Distensi vena jugularis, menonjol karena hipertensi pulmonal dan stenosis trikuspid

Digital clubbing

Respiratory distres

Tanda-tanda kegagalan jantung kanan seperti asites, hepatomegali dan

oedem perifer

Palpasi

Diastolik thrill teraba getaran pada puncak jantung (ictus cordis teraba),

terutama dengan pasien dalam posisi ke arah lateral kiri.

Atrial fibrilasi, pulsa tidak teratur dan terjadinya pulse defisit antara heart

rate dengan nadi lebih dari 12x/menit.

Auskultasi

Murmur diastole yang ditandai dengan M1 yang berbunyi lebih keras

karena peningkatan usaha katub mitral untuk menutup . Berikut gambaran

skematis mur-mur sistole

35

Page 37: Refrat RHF Dg MS

7. Diagnosis Banding

a. Miksoma Atrium

Gejala dan tanda serupa dapat ditemukan pada miksoma atrium,

yaitu suata tumor jinak. Miksoma atrium ini biasanya ditemukan pada

atrium kiri yang melekat ke septum interatrial yang tumbuh cukup

besar untuk menghambat aliran darah diastolic di katup mitral. Tumor

ini menyebabkan sesak nafas episodic atau progresif dan kadang-

kadang demam, penurunan berat badan dan peningkatan laju endap

darah. Diagnosis ditegakkan dengan ultrasonografi jantung. Biasanya

sembuh dengan tindakan bedah segara. (2)

b. Regurgitasi Mitral

36

Page 38: Refrat RHF Dg MS

Regurgitasi mitral yang signifikan mungkin disertai dengan adanya

bising diastolik yang menonjol pada apeks, akan tetapi bising ini

mulai agak lambat dibandingkan pada pasien dengan stenosis mitral,

seringkali terdapat tanda pasti pembesaran ventrikel kiri pada

pemeriksaan fisis, roentgenograi, dan elektrokardiografi. Selain itu,

bising pansistolik apical paling tidak dengan dugaan regurgitasi yang

signifikan. (7)

c. Regurgitasi Aorta

Bising middiastolik apikal yang menyertai regurgitasi aorta

mungkin akan dikelirukan dengan stenosis mitral. Akan tetapi, pada

pasien dengan regurgitasi aorta, tidak adanya opening snap atau

penekanan presistolik jika terdapat irama sinus menunjukkan tidak

adanya stenosis mitral. (7)

d. Defek Septum Atrium

Defek septum atrium juga mungkin dikelirukan dengan stenosis

mitral. Pada kedua kondisi seringkali terdapat tanda klinis,

elektrokardiografi, dan roentgenografik pembesaran ventrikel kanan

dan penekanan vaskularitas paru. S2 yang terpisa dan melebar pada

defek septum atrium mungkin dibingungkan dengan opening snap

mitral, dan bising aliran diastolic melalui katup tricuspid mungkin

dikelirukan dengan bising diastolic mitral. Akan teapi, tidak adanya

pembesaran pada atrium kiri serta tidak adanya garis Kerley B dan

didapati terpecahnya S2 yang menetap akan lebih mendukung terhadap

adanya suatu defek septum atrial daripada stenosis mitral. (7)

e. Kor Triatrium

Kor triatrium adalah malformasi congenital yang jarang yang

terdiri dari cincin fibrosa dalam atrium kiri. Hal ini mengakibatkan

elevasi tekanan vena pulmonali, kapiler, dan arteri pulmonalis.

Lesi ini dapat diketahui segera dengan cara angiografi atrium kiri. (7)

8. Pemeriksaan Penunjang37

Page 39: Refrat RHF Dg MS

Dari pemeriksaan penunjang :

Foto thoraks, didapatkan pembesaran atrium kiri serta pembesaran arteri

pulmonalis, penonjolan vena pulmonalis dan tanda-tanda bendungan pada

lapangan paru.

EKG dapat terlihat adanya gelombang P mitral berupa takik pada gelombang P

dengan gambaran QRS kompleks yang normal. Pada tahap lebih lanjut dapat

terlihat perubahan aksis frontal yang bergeser ke kanan dan kemudian akan

terlihat gambaran RS pada hantaran prekordial kanan.

Echocardiografi akan memperlihatkan :

o E-F slope mengecil dari anterior leaflets katup mitral, dengan menghilangnya

gelombang a berkurangnya permukaan katup mitral

o Berubahnya pergerakan katup posterior

o Penebalan katup akibat fibrosis dan multiple mitral valve echo akibat

kalsifikasi.

9. Penatalaksanaan

Stenosis mitral merupakan kelainan mekanis, oleh karena itu obat-obatan hanya

bersifat suportif atau simtomatis terhadap gangguan fungsional jantung, atau pencegahan

terhadap infeksi. Beberapa obat-obatan seperti antibiotik golongan penisilin, eritromisin,

sefalosporin sering digunakan untuk demam rematik atau pencegahan endokardirtis.

Obat-obatan inotropik negatif seperti ß-blocker atau Ca-blocker, dapat memberi manfaat

pada pasien dengan irama sinus yang memberi keluhan pada saat frekuensi jantung

meningkat seperti pada latihan.1,4

Fibrilasi atrium pada stenosis mitral muncul akibat hemodinamik yang bermakna

akibat hilangnya kontribusi atrium terhadap pengisian ventrikel serta frekuensi ventrikel

yang cepat. Pada keadaan ini pemakaian digitalis merupakan indikasi, dapat

dikombinasikan dengan penyekat beta atau antagonis kalsium.1,4

38

Page 40: Refrat RHF Dg MS

Antikoagulan warfarin sebaiknya digunakan pada stenosis mitral dengan fibrilasi

atrium atau irama sinus dengan kecenderungan pembentukan trombus untuk mencegah

fenomena tromboemboli.1

Valvotomi mitral perkutan dengan balon, pertama kali diperkenalkan oleh Inoue

pada tahun 1984 dan pada tahun 1994 diterima sebagai prosedur klinik. Mulanya

dilakukan dengan dua balon, tetapi akhir-akhir ini dengan perkembangan dalam teknik

pembuatan balon, prosedur valvotomi cukup memuaskan dengan prosedur satu balon.1

Intervensi bedah, reparasi atau ganti katup (komisurotomi) pertama kali diajukan

oleh Brunton pada tahun 1902 dan berhasil pertama kali pada tahun 1920. Akhir-akhir ini

komisurotomi bedah dilakukan secara terbuka karena adanya mesin jantung-paru. Dengan

cara ini katup terlihat jelas antara pemisahan komisura, atau korda, otot papilaris, serta

pembersihan kalsifikasi dapat dilakukan dengan lebih baik. Juga dapat ditentukan

tindakan yang akan diambil apakah itu reparasi atau penggantian katup mitral dengan

protesa.1

Indikasi untuk dilakukannya operasi adalah sebagai berikut:2

Stenosis sedang sampai berat, dilihat dari beratnya stenosis (<1,7 cm2) dan keluhan,

Stenosis mitral dengan hipertensi pulmonal,

Stenosis mitral dengan resiko tinggi terhadap timbulnya emboli, seperti:

Usia tua dengan fibrilasi atrium,

Pernah mengalami emboli sistemik,

Pembesaran yang nyata dari appendage atrium kiri.

10. Komplikasi

a. Fibrilasi Atrium

39

Page 41: Refrat RHF Dg MS

Fibrilasi atrium ditemukan antara 40-50% pada kasus stenosis

mitral yang simtomatis, walaupun ternyata hanya sedikit hubungannya

antara fibrilasi atrium dengan beratnya suatu stenosis mitral.

Mekanisme timbulnya suatu fibrilasi atrium saat ini belum diketahui

secara jelas. Adanya peningkatan tekanan pada atrium kiri yang lama

akan cenderung menimbulkan suatu hipertrofi serta dialtasi atrium kiri

yang kemudian perubahan struktur ini diduga dapat merubah keadaan

elektrofisiologi yang terdapat pada atrium kiri yang merupakan suatu

faktror predisposisi untuk menimbulkan adanya suatu aritmia atrium. (20)

b. Emboli Sistemik

Emboli sistemik merupakan komplikasi yan gserius pada

stenosis mitral. Lebih 90% emboli sistemik berat berasal dari jantung

dan penyakit jantung reumatik. Pasien penyakit jantung reumatik yang

mengalami embolisasi terutama terjadi pada pasien dengan kerusakan

katup mitral dan stenosis mitral. Diduga 9-20 % pasien penyakit

jantung reumatik yang menyerang katup mitral mengalami embolisasi.

Sekitar dua pertiga pasien stenosis mitral dengan komplikasi emboli.

Mortalitas akibat adanya suatu emboli serebri sekitar 50%, sedangkan

mortalitas dari keseluruhan diduga sekitar 15%. (20)

c. Hipertensi Pulmonal dan Dekompensasi Jantung.

Hiperensi pulmonal dan dekompensasi jantung merupakan

keadaan lanjut akibat perubahan hemodinamik yang timbul karena

stenosis mitral, dimana mekanisme adaptasi fisiologis sudah

dilampaui. (20)

d. Endokarditis.

Endokarditis sangat jarang erjadi pada stenosis mitral murni. Kelainan ini

cenderung lebih sering timbul pada stenosis mitral ringan dibandingkan

dengan stenosis mitral berat. (20

11. Prognosis

40

Page 42: Refrat RHF Dg MS

Prognosisnya bervariasi. Kelainan yang terjadi mungkin ringan,

tanpa gejala, atau mungkin lebih parah dan akhirnya membatasi

aktivitas sehari-hari. Komplikasi bisa berat atau mengancam

kehidupan. Stenosis mitral biasanya dikontrol dengan pengobatan

dan ditingkatkan dengan valvuloplasty atau operasi.(11)

C. HUBUNGAN RHEUMATIC HEART DISEASE DENGAN STENOSIS

MITRAL

Dengan penyakit jantung reumatik yang kronik, pada pasien bisa terjadi

stenosis katup dengan derajat regurgitasi yang berbeda-beda, dilatasi atrium,

aritmia dan disfungsi ventrikel. Penyakit jantung reumatik masih menjadi

penyebab stenosis katup mitral dan penggantian katup pada orang dewasa di

Amerika Serikat.1 Menurut Hudak dan Gallo (1997), adanya malfungsi katup

dapat menimbulkan kegagalan pompa baik oleh kelebihan beban tekanan

(obstruksi pada pengaliran keluar dari pompa ruang , seperti stenosis katup aortik

atau stenosis pulmonal), atau dengan kelebihan beban volume yang menunjukan

peningkatan volume darah ke ventrikel kiri sehingga sebagai produk akhir dari

malfungsi katup akibat penyakit jantung reumatik adalah gagal jantung kongestif.8

Stenosis mitral merupakan lesi yang paling sering ditemukan pada

penderita dengan riwayat PJR kronik. Pada keadaan ini terjadi pembukaan katup

mitral yang tidak sempurna menyebabkan terjadinya stenosis darah dari ventrikel

kiri ke atrium kiri selama fase diastole. Pada kelainan ringan tidak terdapat

kardiomegali, karena beban volume maupun kerja jantung kiri tidak bertambah

secara bermakna.

Penyakit reumatik atau infeksi oleh coccus, menimbulkan parut yang dapat

menyempitkan orifisium katup mitral. Penyempitan yang berat dengan diameter 1

cm atau kurang, menyebabkan hambatan bagi darah yang mengalir dari paru

melalui vena-vena pulmonalis. Vena-vena ini melebar karena bertambah isinya

dan tampak pada foto sebagai pembuluh darah lebar dan pendek di atas hilus

dengan arah ke atas. Selain bertambahnya isi vena-vena ini, tekanan atrium kiri

41

Page 43: Refrat RHF Dg MS

dan vena pulmonalis juga bertambah tinggi sehingga menyebabkan tekanan di

dalam sirkularis paru juga bertambah tinggi. Keadaan ini disebut hipertensi

pulmonal yang disebabkan oleh bendungan pada vena. (17)

Selain menyebabkan hambatan bagi darah yang mengalir dari paru melalui

vena-vena, stenosis mitralis juga menghalangi aliran darah dari atrium kiri ke

ventrikel kiri selama fase diastolik ventrikel. Untuk mengisi ventrikel dengan

adekuat dan mempertahankan curah jantung, atrium kiri harus menghasilkan

tekanan yang lebih besar untuk mendorong darah melampaui katup yang

menyempit. Oleh karena itu, terjadi peningkatan perbedaan tekanan antara kedua

ruang tersebut. Dalam keadaan normal perbedaan tekanan tersebut minimal. (16)

Pada orang dewasa normal orifisium katup mitral adalah 4 sampai 6 cm2 .

dengan adanya obstruksi yang signifikan, misalnya, jika orifisium kurang lebih

kurang dari 2 cm2 , darah dapat mengalir dari atrium kiri ke ventrikel kiri hanya

jika didorong oleh gradient tekanan atrioventrikel kiri yang meningkat secara

abnormal, tanda hemodinamik stenosis mitralis. Jika lubang katup mitral

berkurang sampai 1 cm2 , tekanan atrium kiri kurang lebih 25 mmHg diperlukan

untuk mempertahankan curah jantung yang mormal. Tekanan atrium kiri yang

meningkat, selanjutnya meningkatkan tekanan vena dan kapiler pulmonalis, yang

mengurangi daya kembang paru dan menyebabkan dispnea pada waktru

pengerahan tenaga. Serangan pertama dispnea biasanya dicetuskan oleh kejadian

klinis yang meningkatkan kecepatan aliran darah melalui orifisium mitral, yang

selanjutnya meningkatkan kecepatan aliran arah melalui orifisium mitral, yang

selanjutnya mengakibatkan elevasi tekanan atrium kiri. Dengan tujuan untuk

menilai beratnya obstruksi, penting untuk mengukur gradient tekanan

transvalvuler maupun kecepatan aliran. Yang terakhir tergantung tidak hanya pada

curah jantung tapi juga denyut jantung. Kenaikan denyut jantung memperpendek

diastolic secara proporsional lebih daripada sistolik dan mengurangi waktu yang

tersedia untuk aliran yang melalui katup mitral.oleh karena itu, pada setiap tingkat

curah jantung tertentu, takikardia menambah tekanan gradient transvalvuler dan

selanjutnya meningkatkan tekanan atrium kiri. (7)

42

Page 44: Refrat RHF Dg MS

Stenosis mitral juga dapat mengakibatkan pekerjaan ventrikel kanan

menjadi bertambah berat oleh karena adanya hipertensi pulmonal. Hipertensi

pulmonal akan memberikan beban kerja yang lebih daripada beban kerja

normalnya. Otot ventrikel kanan kemudian akan mengalami hipertrofi. Kemudian

Lama-kelamaan hipertrofi ini akan diikuti oleh dilatasi dari ventrikel kanan.

Dilatasi ventrikel kanan ini akan tampak pada foto jantung pada posisi lateral dan

pada posisi PA. Vaskular paru, baik yang arterial ataupun yang venous tampak

bertambah melebar. Pembesaran ventrikel kanan ini lama kelamaan akan dapat

mempengaruhi fungsi dari katup tricuspid. Katup ini kemudian akan mengalami

insufisiensi. Kalau ventrikel kanan mengalami kegagalan, maka darah yang

mengalir ke paru berkurang. Dialtasi ventrikel kanan akan bertambah, sehingga

kemungkinan terjadinya insufisiensi katup tricuspid semakin besar pula. (17)

Ventrikel kiri biasanya tidak mengalami banyak perubahan. Pada keadaan

stenosis mitral yang berat, ventrikel kiri dapat menjadi kecil, begitu pula aorta,

karena kekurangan volum darah. Pembuluh darah paru bertambah terutama di

daerah supreahilar kanan. Vena-vena tampak sebagai pembuluh darah yang

pendek, lebar, di hilus kanan-kiri bagian atas. (17)

43

Page 45: Refrat RHF Dg MS

BAB III

KESIMPULAN

Rheumatoid Heart Disease merupakan

Penyebab utama terbanyak yaitu stenosis mitral

Penegakan diagnosis peritonitis menggunakan triple diagnosis yaitu:

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dengan foto polos

abdomen 3 posisi.

Penggantian cairan, koloid dan elektrolit adalah fokus utama dari

penatalaksanaan medis. Pilihan pengobatan antara lain : antibiotik, analgesik

diberikan untuk mengatasi nyeri. Antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk

mual dan muntah. Tindakan bedah mencakup mengangkat materi terinfeksi dan

memperbaiki penyebab.

21

Page 46: Refrat RHF Dg MS

DAFTAR PUSTAKA

1. Alpers C.E., Anthony D.C., Aster J.C. et al. 2009. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins dan Cotran, Ed. 7. Jakarta: EGC pp. 633-43.

2. Faiz, Omar dan Moffat, David. 2004. At a Glance Anatomi. Jakarta: Erlangga

3. Lumley, John. 2002. Surface Anatomy the Anatomical Basis of Clinical Examination. Philadelphia: Elsevier.

4. Snell, Richard. 1993. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC.

5. Agur, Anne dan Keith L.M. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates.

6. Sabiston, David. 1995. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC

7. Cotran R.S., Kumar V., Robbins S.L., 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7.Volume 1. Jakarta: EGC

8. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam KapitaSelekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius FKUI,Jakarta.

9. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I, 1999, Abdomen Akut, dalam Radiologi Diagnostik, p 256-257, Gaya Baru, jakarta.

10. Sjaifoelloh N, 1996, Demam tifoid, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam; Jilid1;Ed:3;p 435-442.5.Sulton, David,1995, Gastroenterologi, dalam Buku ajar Radiologi untuk MahasiswaKedokteran, Ed:5,p 34-38, Hipokrates, Jakarta.

11. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 2004, Dinding Perut, dalam Buku ajar Ilmu Bedah;696, EGC, Jakarta.

12. Philips Thorek, Surgical Diagnosis,Toronto University of Illnois College of Medicine,third edition,1997, Toronto.9.Schwartz, Shires, Spencer, Principles of Surgery, sixth edition,198910.Balley and Love’s, Short Practice of Surgery, edisi 20, ELBS, 1988, England

13. Budianto (ed). 2003. Guidance to Anatomy II Edisi Pertama (Revisi). Surakarta: Keluarga Besar Asisten Anatomi FKUNS

14. Guyton AC dan Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC.

15. Hermawan AG. 2006. “Sepsis” in Sudoyo A.W (ed) et.al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi Keempat. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

22

Page 47: Refrat RHF Dg MS

16. Lindseth GN. 2006. ”Gangguan Lambung dan Duodenum” in Price, S. A. dan Wilson, L. M. 2006 Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. alih bahasa Bhram U. Pendit et.al, editor edisi bahasa Indonesia Huriawati Hartanto et.al. Jakarta: EGC

17. Sherwood, Lauralee. 2001. Human Physiology : From Cells to System. Alih bahasa: Brahm U. Pendit. Jakarta: EGC. Peritonitis,http://www.medikastore.com/med/peritonitis_pyk.php?dktg=7& UID200705.2. Buku-ajar ilmu bedah/editor, R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. -Ed.2.- Jakarta: EGC, 2004.

18. Carol Matson Porth, Structure and Function of the Gastrointestinal Tract, Essential of Pathophisiology, Lippincott Williams & Wilkins, Wiskonsin: 2004, Acute Peritonitis, http://www..ecureme.com/lib/inet.asp?keyword=acute+peritonitis&category=gi.

19. Genuit T & Napolitano, Peritonitis, http://health.allrefer.com/health/peritonitis-symptoms.html.

20. Price Wilson, Peritonitis, patofisiologi saluran cerna, PATOFISIOLOGI (Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit), Jilid 1, ed: 8. Alih Bahasa: Peter Anugrah, EGC, Jakarta: 1995

21. Iwan Ekayuda (editor), Kelainan Saluran cerna Bagian Distal, Radiologi Diagnostik, ed: 2. Divisi Radiologi Diagnostik, Departemen Radiologi FK – UI, Jakarta: 2005

22. Cabnera C, Peritonitis-also listed as: Abdominal wall inflammation, http://www.umm.edu/altmed/articles/peritonitis-00127.htm

23. Arif Mansjoer,dkk, Bedah Digestif-Trauma Tembus Abdomen, Kapita Selekta Kedokteran, ed:3 Jilid 2, Media Eusculapius FK – UI, Jakarta: 2000

24. Rosalyn Carson-De Witt MD, Peritonitis Health Article, http://www.css/healthlinestyles.v1.01.css

25. University of Virginia Health System, Digestive Disorders, http://ww.UVAHealth/adult_digest/wdc-bin/tools.ctm?toolName=dwemail

26. J.A.Lee, Division Of Surgery, San Francisco, Peritonitis – secondary, http://www.medlineplus/ency/encyclopedia-Ah-Ap/peritonitis-secondary-00312.htm

27. Haskin – Teplick, disease of the digestive system, Roentgenologic Diagnosis, W.B. Saunders Company, United States of America

23

Page 48: Refrat RHF Dg MS

28. Evans LT, Kim WR, Poterucha JJ, Kamath PS. Spontaneous bacterial peritonitis in asymptomatic outpatient with chirrotic ascites. Hepatology 2003;37:897-901.

29. Gines P, Cardenas A, Arroyo V, Rodes J. Management of Chirrosis and Ascites. N Engl JMed 2004;350:1646-54.

30. PPHI. Diagnosis dan terapi peritonitis bakteri spontan pada sirosis hati. Konsensus Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. 2001.

24