Download - PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

Transcript
Page 1: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP EKSPRESI TNF-α

DAN APOPTOSIS JARINGAN SERTA STATUS FUNGSIONAL OTAK

TIKUS JANTAN GALUR WISTAR (RATTUS NORVEGICUS) MODEL

CEDERA OTAK TRAUMATIK FOKAL

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Biomedik dan Spesialis Saraf

Oleh:

dr.Sartika Dewi Utami 126070100111055

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK MINAT IMUNOLOGI KEDOKTERAN

PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG 2017

Page 2: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

ii

LEMBAR PENGESAHAN

PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP EKSPRESI TNF-α

DAN APOPTOSIS JARINGAN SERTA STATUS FUNGSIONAL OTAK

TIKUS JANTAN GALUR WISTAR (RATTUS NORVEGICUS) MODEL

CEDERA OTAK TRAUMATIK FOKAL

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Biomedik dan Spesialis Saraf

Oleh :

dr.Sartika Dewi Utami

Menyetujui Untuk Diuji,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr.dr.Retty Ratnawati,MSc dr.Hari Purnomo Sp.S(K)

Page 3: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

iii

DAFTAR NAMA PEMBIMBING DAN PENGUJI

JUDUL TESIS:

PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP EKSPRESI TNF-α

DAN APOPTOSIS JARINGAN SERTA STATUS FUNGSIONAL OTAK

TIKUS JANTAN GALUR WISTAR (RATTUS NORVEGICUS) MODEL

CEDERA OTAK TRAUMATIK FOKAL

Nama Mahasiswa : dr. Sartika Dewi Utami

NIM : 126070100111055

Program Sudi : Ilmu Biomedik

KOMISI PEMBIMBING:

Ketua : Dr. dr. Retty Ratnawati, MSc

Anggota 1 : dr. Hari Purnomo, SpS(K)

TIM DOSEN PENGUJI:

Dosen Penguji 1 : Dr.dr. Setyawati Karyono, M.Kes

Dosen Penguji 2 : Dr.Med.dr. Tommy. A Nazwar Sp.BS

TIM MONITORING DAN EVALUASI UJIAN TESIS:

Tanggal Ujian : 17 Januari 2017

SK Penguji : 133/sk/UN10.7/KP/2016

Page 4: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

iv

LEMBAR ORISINILITAS

Page 5: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

v

RIWAYAT HIDUP

Sartika Dewi Utami, dr lahir di Pontianak, 15 Maret 1987, anak ke 5 dari Bapak

Bambang Pribadi dan Ibu Rosanah. Menyelesaikan pendidikan di SDN 01 Pagi

Pondok Bambu, Duren Sawit Jakarta Timur pada tahun 1998, SMPN 51 Jakarta

Timur tahun 2001, SMAN 2 Surabaya 2004 dan Fakultas Kedokteran Universitas

YARSI, Jakarta pada tahun 2011. Menyelesaikan Program Pendidikan Dokter

Spesialis Ilmu Penyakit Saraf tahun 2016 dan saat ini sedang menyelesaikan

Program Studi Ilmu Biomedik Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas

Brawijaya Malang.

Page 6: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

vi

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke kehadirat Allah SWT, atas izin,

petunjuk serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “

Pengaruh Pemberian Catechins Terhadap Ekspresi TNF-α dan Apoptosis

Jaringan Serta Status Fungsional Otak Tikus Jantan Galur Wistar (Rattus

norvegicus) Model Cedera Otak Traumatik Fokal”. Di dalam tulisan ini, disajikan

pokok-pokok bahasan efek patologis yang ditimbulkan akibat adanya cedera

kepala fokal dan pengaruh pemberian catechins dalam menurunkan marker

inflamasi dan apoptosis jaringan serta ditinjau dari status klinis yang timbul.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. dr. Sri Andarini, M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas

Brawijaya.

2. Prof. Dr. dr. Sumarno, DMM., Sp.MK selaku Ketua Prodi S2 Ilmu Biomedik

Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.

3. Dr. dr. Retty Ratnawati, MSc selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan bimbingan, masukan dan saran sehingga tulisan ini dapat

diselesaikan.

4. dr. Hari Purnomo, SpS(K), selaku dosen pembimbing yang telah memberikan

bimbingan, masukan dan saran sehingga tulisan ini dapat diselesaikan.

5. Dr.dr. Setyawati Karyono, M.Kes selaku dosen penguji yang telah

memberikan koreksi, saran dan masukan bagi tulisan ini.

6. Dr.Med.dr. Tommy. A Nazwar Sp.BS selaku dosen penguji yang telah

memberikan koreksi, saran dan masukan yang membangun bagi tulisan ini.

7. Keluarga dan suami yang selalu mendukung penulis untuk menyelesaikan

tesis ini.

Page 7: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

vii

8. Teman-teman satu kelompok penelitian yang selalu bekerja sama dan

mendukung penyelesaian tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari sempurna, oleh karena itu

penulis menerima setiap saran dan kritik yang membangun. Semoga tulisan ini

dapat memberi manfaat bagi pembaca serta yang membutuhkan.

Malang, September 2017

Penulis

Page 8: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

viii

RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, September 2017. Pengaruh Pemberian Catechins Terhadap Ekspresi TNF-α Dan Apoptosis Jaringan Serta Status Fungsional Otak Tikus Jantan Galur Wistar (Rattus norvegicus) Model Cedera Otak Fokal Traumatik Fokal. Komisi Pembimbing Ketua : Dr. dr. Retty Ratnawati, MSc, Anggota : dr. Hari Purnomo, SpS(K).

Cedera otak traumatik masih merupakan menjadi salah satu penyebab

utama kecacatan, kematian dan beban ekonomi pada masyarakat. Saat ini, telah

diketahui bahwa tidak semua kerusakan otak terjadi saat kejadian trauma,

namun lebih banyak terjadi saat gangguan otak sekunder, yang berlangsung

hingga berhari-hari, dimana proses dasarnya adalah oksidasi dan inflamasi.

Catechins memiliki aktivitas antioksidan dan antiinflamasi Pada penelitian ini

catechins diharapkan mampu menurunkan ekspresi TNF-α dengan menurunkan

ekspresi gen STAT-1 dan melalui hambatan pada NFKβ. Serta menurunkan

apoptosis sel neuron, dengan menghambat pembentukan radikal bebas melalui

hambatan jalur NADPH oksidase, menetralisir radikal bebas yang telah

terbentuk, serta meningkatkan protein antiapoptosis (Bcl-2) dan menurunkan

protein sel proapoptosis (Bax, Bcl-XS), dan memperbaiki status fungsional otak

tikus model cedera otak traumatic. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk

mengetahui pengaruh pemberian catechins terhadap ekspresi TNF-α, sel

apoptosis dan status fungsional otak tikus model cedera otak traumatik.

Penelitian ini menggunakan desain eksperimental sebenarnya (true experimental design) di laboratorium secara in vivo dengan Randomized Post Test Only Controlled Group Design pada hewan model tikus wistar (Rattus novergicus galur wistar). Penelitian ini menggunakan hewan coba sebanyak 40 ekor yang terbagi dalam 2 kelompok waktu pengamatan, masing-masing terdiri dari 5 kelompok perlakuan, tiap kelompok terdiri dari 4 ekor tikus. Kelima kelompok tersebut adalah kelompok A (kontrol negatif) yaitu tikus yang tidak diberikan perlakuan cedera otak traumatik maupun catechins, kelompok B (kontrol positif) yaitu model cedera otak traumatik tanpa diberi catechins, kelompok C, D, dan E yaitu kelompok perlakuan yang menjadi model cedera otak traumatik dan diberi catechins dengan dosis 513, 926, dan 1113 mg/kgbb/hari. Pemberian catechins diberikan secara peroral dan pengamatan ekspresi TNF-α, apoptosis sel dan status fungsional otak tikus dilakukan setelah perlakuan selama tiga dan tujuh hari.

Berdasarkan hasil uji beda ANOVA dan Kruskall wallis yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian catechins terhadap ekspresi TNF-α, apoptosis sel dan status fungsional otak, didapatkan hasil secara berurutan pada hari ketiga (p=0.002, p=0.004, p=0.000; p<0.05) dan pada hari ketujuh (p=0.000, p=0.000, p=0.002; p<0.05) maka terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok pada semua variable dan waktu pengamatan.

Hasil uji korelasi Spearman dan Pearson, menunjukkan nilai r dan p secara berurutan pada hari ketiga (r= -0.838, p=0.000; r= -0.691, p=0.003; R= -0.441, p=0.088) dan pada hari ketujuh (r= -0.921, p=0.000; r=-0.890, p=0.000; r=-0.754, p=0.001) menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara dosis catechins dan sel apoptosis, semakin tinggi dosis catechins makin rendah

Page 9: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

ix

sel apoptosis kecuali NSS pada hari 3, terdapat hubungan yang signifikan antara dosis pemberian catechins dengan ekspresi TNF-α, apoptosis sel dan status fungsional otak tikus. Hasil uji perbandingan berpasangan pada NSS, menunjukkan p=0.006 (hari 3) dan p=0.003 (hari 7), menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah pemberian catechins.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemberian catechins dapat menurunkan ekspresi TNF-α dan apoptosis sel serta meningkatkan status fungsional otak tikus, serta terdapat hubungan yang signifikan antara peningkatan dosis catechins dengan penurunan ekspresi ekspresi TNF-α dan apoptosis sel serta meningkatkan status fungsional otak tikus wistar (Rattus norvegicus) model cedera otak traumatik fokal.

.

Page 10: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

x

SUMMARY

Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055. Master Program in Biomedical Science, Faculty of Medicine, Brawijaya University Malang, September 2017. The Effect of Catechins Against Expression TNF-α And Apoptosis Cells And Functional Status in Focal Brain traumatic Injury Rattus norvegicus Rats Models. Advisory Comitte Lead: Dr. dr. Retty Ratnawati, MSc, Member: dr. Hari Purnomo, SpS (K). Traumatic brain injury is still one of the major causes of disability, death and economic burden on people. Currently, it is known that not all brain damage occurs during trauma events, but more often occurs during secondary brain disorders, which last for days, where the underlying process is oxidation and inflammation. Catechins have antioxidant and anti-inflammatory activity In this study catechins are expected to decrease TNF-α expression by decreasing STAT-1 gene expression and through resistance to NFKβ. As well as decrease the apoptosis of neuron cells, by inhibiting the formation of free radicals through blockage of NADPH oxidase pathways, neutralizing the free radicals that have been formed, as well as increasing the antiapoptosis protein (Bcl-2) and lowering proapoptotic cell proteins (Bax, Bcl-XS), and improving functional status rat brain traumatic brain injury model. The aim of this study was to investigate the effect of catechins on TNF-α expression, apoptotic cells and functional status of rat brain of traumatic brain injury model. This study used true experimental design in laboratory in vivo with Randomized Post Test Only Controlled Group Design on animal model of wistar rat (Rattus novergicus wistar strain). This study used 40 rats of experimental divided into 2 groups of observation time, each consisting of 5 interventional groups, each group consisting of 4 rats. The five groups were group A (negative control), rat that were not given traumatic brain injury treatment or catechins, group B (positive control), traumatic brain injury model without given catechins, group C, D, and E, traumatic brain injury and given catechins with doses of 513, 926, and 1113 mg / kgbody weight / day. Administering catechins administered peroralally and TNF-α expression observations, cell apoptosis and functional status of rat brain were performed after three and seven days of treatment. Based on the different ANOVA and Kruskall wallis test results to determine the effect of catechins on TNF-α expression, cell apoptosis and functional status of the brain, the results obtained sequentially on the third day (p = 0.002, p = 0.004, p = 0.000; p < 0.05) and on the seventh day (p = 0.000, p = 0.000, p = 0.002; p <0.05), there were significant differences between groups in all variables and observation time. Spearman and Pearson correlation test results show r and p values respectively on the third day (r = -0.838, p = 0.000; r = -0.691, p = 0.003; r = -0.441, p = 0.088) and on the seventh day r = -0.921, p = 0.000, r = -0.890, p = 0.000, r = -0.754, p = 0.001) showed that there was a significant association between dosage of catechins and apoptotic cells, the higher the dosage of catechins the lower the apoptotic cells except NSS on day 3, there was a significant relationship between the dose of administration of catechins with TNF-α expression, cell apoptosis and functional status of rat brain. The result of paired comparison test on NSS, showed p = 0.006 (day 3) and p = 0.003 (day 7), showed significant difference between before and after catechins administration. The present study concluded that administration of catechins decreased TNF-α expression and cell apoptosis and improved functional status of rat brain, and there was a significant relationship between increased doses of catechins with decreased expression of TNF-α expression and cell apoptosis and improved functional status of the brains of wistar rats (Rattus norvegicus) model of focal traumatic brain injury.

Page 11: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN............................................................................... ii

DAFTAR NAMA PEMBIMBING DAN PENGUJI............................................. iii

PERNYATAAN ORISINALITAS....................................................................... iv

RIWAYAT HIDUP............................................................................................. v

KATA PENGANTAR......................................................................................... vi

RINGKASAN..................................................................................................... viii

SUMMARY........................................................................................................ x

DAFTAR ISI ................................................................................................. xi

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xv

DAFTAR TABEL .......................................................................................... xvii

DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... . xviii

DAFTAR SINGKATAN................................................................................. . xix

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1

1.1 Latar Belakang .................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................... 4

1.3 Tujuan Penelitian ................................................................. 5

1.3.1 Tujuan Umum ............................................................. 5

1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................ 5

1.4 Manfaat Penelitian ................................................................ 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 7

2.1 Traumatic Brain Injury. .......................................................... 7

2.1.1 Definisi ........................................................................ 7

2.1.2 Epidemiologi. .............................................................. 7

2.1.3 Patofisiologi TBI .......................................................... 8

2.1.3.1 Cedera Otak Primer ...................................... 10

2.1.3.2 Cedera Otak Sekunder ................................. 13

2.1.3.3 Patofisiologi Spesifik pada TBI ..................... 15

2.2 Tumor Necrosis Factor- (TNF-) ........................................ 27

2.2.1 Karakteristik Umum ..................................................... 27

Page 12: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

xii

2.2.2 Reseptor TNF- .......................................................... 30

2.2.3 Pembentukan Kompleks Awal..................................... 31

2.2.4 Pembentukan NF-B .................................................. 32

2.2.5 Aktivasi kaskade caspase ........................................... 33

2.2.6 Aktivitas Inti ................................................................. 34

2.3 Apoptosis .............................................................................. 35

2.3.1 Karakteristik Umum ..................................................... 35

2.3.2 Mekanisme Apoptosis ................................................ 36

2.3.3 Abnormalitas Signal Sel dan Kematian Neuron pada TBI 42

2.4 Catechins Teh Hijau (Green Tea Catechin, GTC) ................. 45

2.4.1 Jenis Teh .................................................................... 45

2.4.2 Morfologi GTC ............................................................ 47

2.4.3 Sifat catechins ............................................................ 49

2.4.4 Manfaat Catechins ...................................................... 50

2.4.5 Catechins sebagai Antiinflamasi dan Antioksidan ......................... 50

2.4.6 Cathecins sebagai Neuroprotektan ................................................ 51

2.4.7 Farmakologi catechins................................................ . 52

2.4.8 Kelemahan catechins.................................................. . 62

2.4.9 Upaya Untuk Meningkatkan Bioavaibilitas catechins.. . 63

2.5 Metode-Metode Cedera Otak In Vivo .............................................................................. 63

2.5.1 Anatomi Otak Rattus norvegicus galur Wistar............. .................... 65

2.5.2 Model Penjatuhan Beban (Weight-Drop) ..................... 69

2.5.3 Metode Perkusi Fluida (Fluid Percussion Injury) ......... 72

2.5.4 Model Controlled Cortical Impact ................................ 73

2.5.5 Model-Model Lain ....................................................... 74

2.6 MetodeImunohistokimia ...................................................................................................................... 75

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ............ 77

3.1 Kerangka Konsep ................................................................. 77

3.2 Hipotesis Penelitian .............................................................. 80

BAB IV METODE PENELITIAN .............................................................. 81

4.1 Desain Penelitian ................................................................. 81

4.2 Rancangan Penelitian ........................................................... 81

4.3 Populasi dan Sampel ............................................................ 81

Page 13: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

xiii

4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................. 83

4.5 Variabel Penelitian ................................................................ 83

4.5.1 Variabel Bebas ......................................................... 83

4.5.2 Variabel Tergantung ................................................. 84

4.6 Definisi Operasional Variabel ................................................ 84

4.7 Bahan dan Alat ..................................................................... 85

4.7.1 Alat dan Bahan untuk Perawatan Hewan Coba ........ 85

4.7.2 Model Cedera Otak Traumatik .................................. 86

4.7.3 Persiapan Hewan Coba.. .......................................... 86

4.7.4 Pembedahan ........................................................... 86

4.7.5 Pembuatan Slide Histopatologi ................................. 87

4.7.6 Pembuatan Sediaan Pemeriksaan Imunohistokimia . 87

4.7.7 Alat Pemeriksaan Status Fungsional NSS ................ 87

4.8 Prosedur Penelitian .............................................................. 88

4.8.1 Pemeliharaan tikus wistar ......................................... 88

4.8.2 Pembuatan Catechins .............................................. 89

4.8.3 Model Cedera Otak Traumatik .................................. 89

4.8.4 Pemberian Terapi Catechins .................................... 89

4.8.5 Pembedahan Tikus ................................................... 90

4.8.6 Pembuatan Slide Histopatologi ................................. 91

4.8.7 Pemeriksaan Imunohistokimia .................................. 91

4.8.7.1 Deparafinisasi ............................................... 91

4.8.7.2 Antigen Retrieval dengan Buffer Sitrat .......... 92

4.8.7.3 Pemeriksaan Imunohistokimia Ekspresi TNF-α

pada Jaringan Otak ....................................... 92

4.8.7.4 Pengamatan sel apoptosis jaringan otak dengan

teknik DNA terfragmentasi (TUNEL) ............ 93

4.9 Penilaian Statys Fungsional Tikus dengan NSS ................... 94

4.10 Alur Penelitian .................................................................... 96

4.11 Analisis Data........................................................................ 96

BAB V HASIL PENELITIAN................................................................... 98

5.1 Deskripsi Penelitian .............................................................. 98

Page 14: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

xiv

5.2 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Ekspresi TNF-α Tikus

Model Cedera Otak Traumatik pada Hari Ketiga Hipotesis

Penelitian ............................................................................. 99

5.3 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Ekspresi TNF-α Tikus

Model Cedera Otak Traumatik pada Hari Ketujuh Hipotesis

Penelitian ............................................................................. 103

5.4 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Apoptosis Sel Otak

Tikus Model Cedera Otak Traumatik pada Hari Ketiga Hipotesis

Penelitian ............................................................................. 108

5.5 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Apoptosis Sel Otak

Tikus Model Cedera Otak Traumatik pada Hari Ketujuh Hipotesis

Penelitian ............................................................................. 112

5.6 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Status Fungsional Otak

Tikus Model Cedera Otak Traumatik pada Hari Ketiga Hipotesis

Penelitian ............................................................................. 116

5.7 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Status Fungsional Otak

Tikus Model Cedera Otak Traumatik pada Hari Ketujuh Hipotesis

Penelitian ............................................................................. 120

5.8 Uji Perbandingan 2 Variabel Bebas dan Berpasangan (Uji T-Test

dan Wilcoxon) ...................................................................... 123

5.9 Uji Korelasi antar Variabel Bebas ......................................... 125

BAB VI PEMBAHASAN .......................................................................... 126

6.1 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Ekspresi TNF-α Tikus

Model Cedera Otak Traumatik ............................................. 130

6.2 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Apoptosis Sel Otak

Tikus Model Cedera Otak Traumatik .................................... 131

6.3 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Status Fungsional Otak

Tikus Model Cedera Otak Traumatik .................................... 134

6.4 Hubungan Antara TNF-α, Apoptosis Sel dan Status Fungsional

Otak Tikus Wistar Model Cedera Otak Traumatik ................. 135

6.5 Keterbatasan Penelitian........................................................ . 136

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 138

7.1 Kesimpulan ........................................................................... 138

Page 15: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

xv

7.2 Saran .................................................................................... 139

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 140

LAMPIRAN ................................................................................................... 149

Page 16: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Mekanisme terjadinya cedera otak primer ................................. 11

Gambar 2.2 Mekanisme biokimia, seluler dan molekuler pada cedera

otak sekunder, pada cedera otak traumatika ............................ 15

Gambar 2.3 Proses terjadinya iskemia post TBI ........................................... 16

Gambar 2.4. Mekanisme terjadinya proses eksitotoksisitas .......................... 18

Gambar 2.5 Aktifasi respon imun pada TBI................................................... 23

Gambar 2.6 Respon inflamasi dan imunitas pada TBI .................................. 25

Gambar 2.7 Mekanisme proses dari pembentukan TNF-α ............................ 31

Gambar 2.8 Jalur klasik dan alternatif untuk aktivasi NF-kB ......................... 33

Gambar 2.9 Reseptor dan jalur signaling TNF-α ........................................... 34

Gambar 2.10 Aktivasi apoptosis dari dalam sel (Intrinsic Pathway) .............. 37

Gambar 2.11 Aktivasi apoptosis dari luar sel (Extrinsic Pathway) ................. 40

Gambar 2.12 Jalur apoptosis Intrinsik, Ekstrinsik dan Cross Talk ................. 41

Gambar 2.13 Jaras caspase independent apoptosis .................................... 42

Gambar 2.14 Mekanisme proses kematian sel melalui peranan mitogen-

activated protein kinases (MAPK) dalam mentraduksi

sinyal yang terlibat dalam kematin sel ..................................... 44

Gambar 2.15 Mekanisme peranan kelangsungan hidup sel (survival cell)

melalui aktivasi sinyal kinase .................................................. 44

Gambar 2.16 Struktur Catechins dan turunannya ......................................... 49

Gambar 2.17 Mekanisme Kerja Catechins pada kaskade iskemia pada penyakit

neurogeneratif dan neuroinflamasi........................................... . 62

Gambar 2.18 Anatomi Tulang Kranium Rattus norvegicus Galur Wistar ....... 65

Gambar 2.19 Anatomi otak Rattus norvegicus Galur Wistar ......................... 66

Gambar 2.20 Anatomi otak Rattus norvegicus Galur Wistar.......................... 67

Gambar 2.21 Pemetaan Struktur Fungsional Otak Tikus dilihat dari Vertex.. 67

Gambar 2.22 Anatomi Otak Tikus.................................................................. 68

Gambar 2.23 Anatomi Otak Tikus................................................................. . 68

Gambar 2.24 Marmarou’s Weight-drop Model .............................................. 71

Gambar 2.25 Model Weight-Drop yang diperagakan oleh Koizumi ............... 71

Gambar 2.26 Model Perkusi Fluida ............................................................... 73

Gambar 2.27 Model Controlled Cortical Impact ............................................ 73

Gambar 4.1 Alat Untuk Penjatuhan Beban.................................................... 86

Page 17: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

xvii

Gambar 4.2 Alat Pengukuran NSS............................................................. .. 88

Gambar 5.1 Hasil pengecatan Imunohistokimia TNF-α kelompok kontrol dan

kelompok perlakuan, pada Hari ke tiga ................................... 100

Gambar 5.2 Grafik Histogram Rerata dan Standar deviasi Ekspresi TNF-α Hari

ke-3 ......................................................................................... 101

Gambar 5.3 Hasil pengecatan Imunohistokimia TNF-α kelompok kontrol dan

kelompok perlakuan pada hari ketujuh. ................................... 104

Gambar 5.4 Grafik Histogram Rerata dan Standar deviasi Ekspresi TNF-α Hari

ke-7 ......................................................................................... 106

Gambar 5.5 Hasil pengecatan Imunohistokimia Sel Apoptosis kelompok kontrol

dan kelompok perlakuan pada hari ketiga. .............................. 108

Gambar 5.6 Grafik Histogram Rerata dan Standar deviasi Sel Apoptosis Hari ke-

3 .............................................................................................. 109

Gambar 5.7 Hasil pengecatan Imunohistokimia Sel Apoptosis kelompok kontrol

dan kelompok perlakuan pada hari ketujuh. ............................ 112

Gambar 5.8 Grafik Histogram Rerata dan Standar deviasi Sel Apoptosis Hari ke-

7 .............................................................................................. 113

Gambar 5.9 Grafik Histogram Rerata dan Standar deviasi NSS Tikus Model

Cedera Otak Traumatik Hari ke-tiga ......................................... 117

Gambar 5.10 Grafik Histogram Rerata dan Standar deviasi NSS Tikus Model

Cedera Otak Traumatik Hari ke-tujuh ....................................... 120

Page 18: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Protein jalur eksekusi apoptosis ................................................... 41

Tabel 2.2 Sifat Fisika dan Sifat Kimia Senyawa Catechins ........................... 49

Tabel 4.1 Penilaian NSS............................................................................... . 94

Tabel 5.1 Nilai Rerata dan Standar Deviasi Ekspresi TNF-α Jaringan Otak Tikus

Model Cedera Otak Traumatik, pada Hari Ketiga .......................... 101

Tabel 5.2 Hasil Uji Post Hoc pada TNF-α Hari Ketiga ................................... 102

Tabel 5.3 Nilai Rerata dan Standar Deviasi Ekspresi TNF-α Jaringan Otak Tikus

Model Cedera Otak Traumatik, pada Hari Ketujuh ........................ 105

Tabel 5.4 Hasil Uji Post Hoc pada TNF-α Hari Ketujuh ................................. 106

Tabel 5.5 Nilai Rerata dan Standar Deviasi Sel Apoptosis Jaringan Otak Tikus

Model Cedera Otak Traumatik, pada Hari Ketiga .......................... 109

Tabel 5.6 Hasil Uji Post Hoc pada Sel Apoptosis Hari Ketiga........................ 111

Tabel 5.7 Nilai Rerata dan Standar Deviasi Sel Apoptosis Jaringan Otak Tikus

Model Cedera Otak Traumatik, pada Hari Ketujuh ........................ 111

Tabel 5.8 Hasil Uji Post Hoc pada Sel Apoptosis Hari Ketujuh ...................... 115

Tabel 5.9 Nilai Rerata dan Standar Deviasi NSS Tikus Model Cedera Otak

Traumatik, pada Kelompok 3 Hari ................................................. 117

Tabel 5.10 Hasil Uji Post Hoc pada NSS Hari Ketiga .................................... 118

Tabel 5.11 Nilai Rerata dan Standar Deviasi NSS Tikus Model Cedera Otak

Traumatik, pada Kelompok 7 Hari ............................................... 120

Tabel 5.12 Hasil Uji Post Hoc pada NSS Hari Ketujuh .................................. 122

Tabel 5.13 Hasil Subset Homogen untuk TNF-α 3 dan 7 hari, TUNEL 7 hari dan

NSS 3 hari ................................................................................. 123

Tabel 5.14 Hasil Uji 2 (dua) Variabel ............................................................. 124

Tabel 5.15 Hasil Uji Korelasi Antar Variabel .................................................. 125

Page 19: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Uji Asumsi Data .......................................................................... 149

Lampiran II Uji Beda Interkelompok .............................................................. 152

Lampiran III Uji Korelasi ................................................................................ 169

Lampiran IV Uji Regresi ................................................................................. 172

Lampiran V Uji Perbandingan 2 Variabel ........................................................ 176

Lampiran VI Data Awal .................................................................................. 186

Lampiran VII Dokumentasi Penelitian ............................................................. 187

Lampiran VIII Dokumen Penelitian................................................................. 188

Page 20: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

xx

DAFTAR SINGKATAN

AFI : Apoptosis Inducting Factor

AGE : Advanced Glycation Endproducts

Ca : Kalsium

Cu : Tembaga

CBF : Cerebral Blood Flow

cGMP : Cyclic Guanosine Monophosphate

DAI : Diffuse Axonal Injury

DVI : Diffuse Vascular Injury

EDH : Hematoma epidural

Fe : Besi

FAD : Flavin Adenine Dinucleotide

FMN : Flavin Mononucleotide

GCS : Glasgow Coma Scale

H2O : Air

ICP : Intracranial Pressure

iNOS : Inducible Nitric Oxide Synthase

LP : Lipid peroxidation

Mn : Mangan

Mg : Magnesium

MDA : Malondialdehide

MRI : Magnetic Resonance Imaging

Na : Natrium

NO : nitric oxide

NOS : nitric oxide synthase

N2O3 : dinitrogen trioksida

NADPH : nicotinamide adenine dinucleotidephosphate

NF-kB : nuclear factor kappa beta

1O2 : singlet oxygen

3O2 : triplet oksigen

O2- : superoksida

-OH : hydroxyl radical

ONOO- : peroksinitrit

PB : propolis Brasil

Page 21: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

xxi

PI : propolis Indonesia

PN : peroksinitrit

PTP : permeability transition pores

PARP : Poly-ADP Ribose Polymerase

P38-MAPK : Mitogen-activated Protein Kinase

RNS : reactive nitrogen species

ROS : Reactive Oxygen Species

RNOS : Reactive Nitrogen Oxide Species

SOD : Superokside Dismutase

SOL : Space Occupying Lesion

TBI : Traumatic brain injury

TNF : Tumor Necrosis Factor

TBARS : Thiobarbiturate Reactive Substance

TRAIL : TNF Receptor Apoptosis Inducing Ligand

Zn : Seng

Page 22: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

xxii

Page 23: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cedera otak traumatik atau Traumatic Brain Injury (TBI) dapat

didefinisikan sebagai benturan, penetrasi atau pergerakan cepat otak di dalam

tulang tengkorak akibat gaya dari luar yang dapat menyebabkan penurunan

kesadaran dan gangguan fungsi otak pada penderitanya (Prinset al., 2013).

Cedera otak traumatik merupakan masalah besar bagi kesehatan dan tantangan

sosioekonomi di seluruh dunia (Brain Trauma Foundation, 2007).

Di Amerika Serikat sekitar 1,5 juta pasien menderita cedera otak setiap

tahun, dan angka kematian pada cedera otak berat berada pada kisaran 35-40%

(Beauchamp et al., 2008). Menurut data Direktorat Keselamatan Transportasi

Darat Departemen Perhubungan (2005), jumlah korban kecelakaan lalu lintas

pada tahun 2003 terdapat 24.692 orang dengan jumlah kematian 9.865 orang

(39,9%), tahun 2004 terdapat 32.271 orang dengan jumlah kematian 11.204

orang (34,7%), dan pada tahun 2005 menjadi 33.827 kasus dengan jumlah

kematian 11.610 orang (34,4%) (DEPHUB, 2005)

Data epidemiologis tentang cedera kepala di Indonesia hingga saat ini

belum banyak tersedia, namun dari data yang ada dikatakan dari tahun ke tahun

mengalami peningkatan. Angka kejadian cidera kepala di RSUD Dr. Moewardi

dari bulan Januari-Oktober 2012 sebanyak 453 kasus, dan selama bulan Juli

2012 di RSUD Dr.Moewardi Surakarta terdapat 43 kasus cidera kepala ringan

sampai berat (Hariyani, 2012). Pasien dengan cedera kepala ringan (CKR)

sebanyak 21 (48,8%) , cidera kepala sedang (CKS) 8 (18,6%) dan cidera kepala

berat (CKB) 14 (32,5%). Cedera ini mayoritas disebabkan oleh kecelakaan lalu

lintas. Data-data statistik ini menekankan keperluan yang mendesak terhadap

Page 24: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

2

modalitas terapi efisien untuk memperbaiki morbiditas dan mortalitas post trauma

(Beauchamp et al., 2008 ). Dari berbagai penelitian dan pengalaman klinis, salah

satu konsep yang menjadi pusat perhatian adalah bahwa tidak semua kerusakan

neurologis pada cedera otak traumatik terjadi pada saat kejadian, namun justru

berkembang setelah beberapa jam dan hari (Brain Trauma Foundation., 2007).

Terapi pada cedera kepala sebagian besar masih merupakan suportif,

langsung mengarah kepada edema otak dan tekanan tinggi intrakranial melalui

tindakan sementara, seperti pemberian obat osmotik, hiperventilasi, dan drainase

ventrikel. Tidak satu pun intervensi ini secara definitif memperlihatkan perbaikan

jangka panjang hasil akhir terapi secara fungsional. Mungkin ini disebabkan oleh

heterogennya patologi cedera kepala yang meliputi : Cedera otak difus,

perdarahan intracerebral, perdarahan subarachnoid, dan lain-lain (Indharty,

2007)

Patofisiologi cedera otak ditinjau dari saat kejadiannya terdiri atas cedera

otak primer yaitu kerusakan jaringan otak langsung akibat trauma dan cedera

otak sekunder yaitu akibat perluasan kerusakan pada jaringan otak melalui

proses patologis yang berlanjut (Kasan, 2006). Cedera otak primer diperburuk

oleh cascade neuroinflamasi sekunder dari hipoperfusi, iskemik, stress oksidatif,

edema otak dan peningkatan tekanan dalam otak. Salah satu faktor yang

merupakan pusat perhatian terhadap cedera kepala adalah faktor-faktor yang

mungkin dapat berperan pada neuroprotektif yang berfungsi secara primer

ataupun secara sekunder terutama yang memengaruhi cedera kepala sekunder

dan berperan dalam perdebatan hasil akhir pengobatan penderita cedera kepala

(Indharty, 2013)

Walaupun demikian, terapi untuk mencegah cedera sekunder atau

mengurangi tingkat keparahan yang diakibatkan oleh cedera sekunder banyak

memiliki kekurangan saat diaplikasikan secara klinis (Marmarou et al., 2007),

Page 25: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

3

sedangkan untuk terapi pada anti inflamasi dijelaskan melalui penelitian Figiel

(2008) bahwa TNF-α dapat melindungi neuron dari reaksi eksitotosik, stress

oksidatif dan cedera iskemik, karena Pada kasus cedera otak traumatik,

keberadaan TNF-α yang dapat menyebabkan perburukan kondisi, telah

dikonfirmasi pada berbagai studi klinis. Salah satunya adalah studi kohort pada

1096 pasien cedera otak traumatic, yang dianalisis untuk mengetahui pengaruh

polimorfisme gen sitokin terhadap hasil nilai Glasgow. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa karier homozigot TNF-α308 single nucleotide

polymorphisms (SNP) memiliki outcome cedera otak traumatic yang lebih buruk

secara signifikan dibandingkan dengan kelompok yang lain. SNP sendiri

merupakan promoter TNF-α dan berhubungan dengan peningkatan kadar TNF-α

(Algattas and Huang, 2014). Hipotesis yang ada, bahwa pada banyak kasus,

TNF- α tidak cukup kuat untuk merusak neuron sebagai factor tunggal, namun

bisa jadi berfungsi sinergis dengan agen sitokin dan agen toksik lainnya, seperti

NO, radikal bebas atau glutamate (Figiel, 2008).

Teh yang telah ditanam di Indonesia sejak tahun 1826, merupakan

minuman yang paling banyak dikonsumsi masyarakat setelah air, baik dinikmati

dingin ataupun panas. Konsumsi teh nasional mencapai 350 gram/kapita/ tahun,

diperkirakan konsumsi teh tak kurang dari 120 ml setiap hari. Teh merupakan

tanaman obat yang mempunyai efek farmakologis antara lain menurunkan berat

badan, menurunkan kolesterol, trigliserida, serta glukosa, dapat mencegah karies

pada gigi, antimutagenik, antioksidan, dan antibakteri (Rahayuningsih, 2014)

Teh dikelompokkan berdasarkan cara pengolahannya yang dilakukan

dengan cara oksidasi, yaitu teh hijau, teh oolong, dan teh hitam. Ketiganya

berasal dari daun teh yang sama, namun karena cara pengolahannya berbeda,

maka memiliki komposisi kimia dan rasa yang berbeda (Hartoyo, 2003; Tourle,

2004). Kandungan teh hijau yang paling utama adalah polifenol catechins yaitu

Page 26: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

4

epigallocatechin-3-gallate (EGCG), epigallocatechin (EGC), epicatechin-3-gallate

(ECG), dan epicatechin (EC). EGCG merupakan yang terbanyak yaitu 50-80%

dari jumlah total catechins (Hariman, 2010)

Dari penelitian yang dilakukan Kategaris et al., (2015), diketahui bahwa

EGCG murni dan catechins teh hijau dapat mencegah neurodegenerasi dan

berperan sebagai neuroprotektif, karena adanya struktur seperti katekol yang

berpotensi menjadi antioksidan dan menghilangkan radikal bebas. Pada

penelitian lain, telah dibuktikan bahwa penggunaan catechins pada tikus dengan

terapi antineoplasma, dapat mencegah neuroinflamasi dan neurodegenerasi, dan

memiliki peran neuroprotektif dengan menurunkan mediator proinflamasi

neurotoksik TNF α, NF-kB, dan iNOS (Mohamed et al., 2011).

Pada penelitian ini, Catechins diharapkan mampu menurunkan ekspresi

TNF-α dengan menurunkan ekspresi gen STAT-1 dan melalui hambatan pada

NFKβ. Serta menurunkan apoptosis sel neuron, dengan menghambat

pembentukan radikal bebas melalui hambatan jalur NADPH oksidase,

menetralisir radikal bebas yang telah terbentuk, serta meningkatkan protein

antiapoptosis (Bcl-2) dan menurunkan protein sel proapptosis (Bax, Bcl-XS)

(Berridge et al., 2012). Pemilihan waktu evaluasi 3 dan 7 hari berdasarkan pada

teori, bahwa proses kerusakan otak sekunder, dimulai sejak 24 jam pertama

trauma dan mencapai puncaknya pada hari ke-7, walaupun masih akan terus

berlangsung hingga beberapa minggu dan bulan. Karena kemungkinan setelah

24 jam pertama, masih sulit sehingga, perbaikan hasil penelitian antara hari ke-3

dan ke-7, bisa mengindikasikan adanya perbaikan kondisi akibat pemberian

perlakuan pada subyek penelitian, dalam hal ini adalah catechins.

Berdasarkan latar belakang diatas mendorong peneliti mengajukan

penelitian mengenai pengaruh pemberian catechins terhadap ekspresi TNF-α,

apoptosis pada jaringan otak dan status fungsional tikus model traumatic brain

Page 27: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

5

injury (TBI) yang diukur dengan NSS (Neurological Severity Score). NSS

merupakan metode evaluasi kerusakan neurologis trauma kepala tertutup pada

hewan coba tikus dan mencit, yang menilai fungsi motoris dan perilaku.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah pemberian total catechins dapat mempengaruhi ekspresi TNF-α, jumlah

sel apoptosis jaringan otak dan status fungsional tikus jantan model Traumatic Brain

Injury (TBI) pada hari ke-3 dan ke-7 setelah perlakuan ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan pangaruh pemberian

catechins terhadap ekspresi TNF-α dan apoptosis jaringan otak serta status

fungsional tikus jantan model Traumatic Brain Injury (TBI) pada hari ke-3 dan ke-

7 setelah perlakuan

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Membuktikan pengaruh pemberian catechins dalam menurunkan

ekspresi TNF-α jaringan otak tikus jantan model Traumatic Brain Injury

(TBI) pada hari ke-3 dan ke-7 setelah perlakuan

2. Membuktikan pengaruh pemberian catechins dalam menurunkan jumlah

sel apoptosis jaringan otak tikus jantan model Traumatic Brain Injury (TBI)

pada hari ke-3 dan ke-7 setelah perlakuan

3. Membuktikan pengaruh pemberian catechins dalam meningkatkan status

fungsional tikus jantan model Traumatic Brain Injury (TBI) pada hari ke-3

dan ke-7 setelah perlakuan

Page 28: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

6

4. Membuktikan adanya hubungan antara ekspresi TNF-α dengan jumlah

sel apoptosis jaringan otak tikus jantan model traumatic brain injury (TBI)

5. Membuktikan adanya hubungan antara ekspresi TNF-α dengan status

fungsional tikus jantan model traumatic brain injury (TBI) pada hari ke-3

dan ke-7 setelah perlakuan

1.4. Manfaat Penelitian

1. Manfaat akademis:

a. Penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan

praktek klinis penggunaan catechins sebagai terapi alternatif pada TBI

b. Penelitian ini juga dapat menjadi sumber referensi bagi penelitian

lanjutan mengenai pemanfaatan catechins sebagai terapi TBI

2. Manfaat bagi masyarakat secara umum:

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar penggunaan catechins

sebagai terapi alternatif dan ajuvan pada traumatic brain injury (TBI) di

masyarakat sehingga dapat mengurangi jumlah kematian serta kecacatan akibat

TBI.

Page 29: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Traumatic Brain Injury (TBI)

2.1.1 Definisi

Cedera otak traumatik atau Traumatic Brain Injury (TBI) didefinisikan

sebagai benturan, penetrasi atau pergerakan cepat otak di dalam tulang

tengkorak akibat gaya dari luar yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran

dan gangguan fungsi otak pada penderitanya (Prins et al., 2013). TBI sering

didefinisikan sebagai perubahan fungsi otak. yang bermanifestasi sebagai

kebingungan, perubahan tingkat kesadaran yang berubah, kejang, koma, dan

defisit sensoris fokal atau motoris neurologis akibat tekanan benda tumpul atau

penetrasi benda tajam masuk ke dalam kepala (Weissenberg dan Siren., 2010).

2.1.2 Epidemiologi

Traumatic Brain Injury (TBI) menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas

utama pada individu yang berusia dibawah 45 tahun di seluruh dunia (Werner

and Engelhard, 2007). Di Amerika Serikat sekitar 1,5 juta pasien menderita

cedera otak setiap tahun, dan angka kematian pada cedera otak berat berada

pada kisaran 35-40% (Beauchamp et al., 2008 ). Data epidemiologis tentang

cedera kepala di Indonesia hingga saat ini belum banyak tersedia, namun dari

data yang ada dikatakan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Angka

kejadian cedera kepala di RSUD Dr. Moewardi dari bulan Januari-Oktober 2012

sebanyak 453 kasus, dan selama bulan Juli 2012 di RSUD Dr.Moewardi

Surakarta terdapat 43 kasus cedera kepala ringan sampai berat. Pasien dengan

cedera kepala ringan (CKR) sebanyak 21 orang (48,8%) , cedera kepala sedang

(CKS) 8 orang (18,6%) dan cedera kepala berat (CKB) 14 orang (32,5%). Cedera

Page 30: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

8

ini mayoritas disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Menurut data Direktorat

Keselamatan Transportasi Darat Departemen Perhubungan (2005), jumlah

korban kecelakaan lalu lintas pada tahun 2003 terdapat 24.692 orang dengan

jumlah kematian 9.865 orang (39,9%), tahun 2004 terdapat 32.271 orang dengan

jumlah kematian 11.204 orang (34,7%), dan pada tahun 2005 menjadi 33.827

kasus dengan jumlah kematian 11.610 orang (34,4%) (Hariyani, 2012).

Angka kematian pada laki-laki tercatat tiga kali lebih tinggi (28,8 tiap

100.000 penduduk) dibandingkan angka kematian pada perempuan (9,1 tiap

100.000 penduduk). Tingginya insiden pada laki-laki disebabkan karena laki-laki

dominan melakukan aktivitas beresiko tinggi, resiko kerja, dan cedera yang

berhubungan dengan kekerasan, jika dibandingkan dengan perempuan.

Perkiraan insiden cedera otak meningkat dua kali lipat pada umur 5 hingga 14

tahun. Puncak insiden pada laki-laki dan perempuan dewasa dan dewasa muda

mencapai 250 kasus tiap 100.000 populasi, 20% diantaranya mengalami cedera

otak sedang hingga berat (CDC, 2011).

.

2.1.3 Patofisiologi TBI

Cedera Otak Traumatik dapat terjadi pada 3 jenis keadaan :

1. Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak.

Kekuatan benda yang bergerak akan menyebabkan deformitas akibat

percepatan, perlambatan dan rotasi yang terjadi secara cepat dan tiba-tiba

terhadap kepala dan jaringan otak. Trauma tersebut bisa menimbulkan

kompresi dan regangan yang bisa menimbulkan robekan jaringan otak dan

pergeseran sebagian jaringan otak terhadap jaringan otak yang lain.

Page 31: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

9

2. Kepala yang bergerak membentur benda yang diam.

Kepala yang sedang bergerak kemudian membentur suatu benda

yang keras, maka akan terjadi perlambatan yang tiba-tiba, sehingga

mengakibatkan kerusakan otak di tempat benturan dan pada sisi yang

berlawanan. Pada tempat benturan terdapat tekanan yang paling tinggi,

sedang pada tempat yang berlawanan terdapat tekanan negatif paling

rendah sehingga terjadi rongga dan akibatnya dapat terjadi robekan.

3. Kepala yang tidak dapat bergerak karena menyender pada benda lain

dibentur oleh benda yang bergerak (kepala tergencet). Pada kepala yang

tergencet pada awalnya dapat terjadi retak atau hancurnya tulang

tengkorak. Bila gencetannya hebat tentu saja dapat mengakibatkan

hancurnya otak.

Cedera otak yang terjadi akibat kontak secara langsung pada kepala

yang mengakibatkan kontusio, laserasi dan pendarahan intrakranial, disebut

sebagai cedera otak fokal. Dan cedera yang terjadi akibat akselerasi dan

deselerasi yang menyebabkan komusio serebri, edema otak atau cedera aksonal

difus, disebut cedera otak difus (Werner dan Engelhard, 2007).

Cedera pada otak mempunyai 2 proses yang substansial, yaitu cedera

otak primer yaitu kerusakan jaringan otak langsung akibat trauma dan cedera

otak sekunder yaitu akibat perluasan kerusakan pada jaringan otak melalui

proses patologis yang berkelanjutan. Cedera otak sekunder dideskripsikan

sebagai konsekuensi gangguan fisiologis, seperti iskemia, reperfusi, dan hipoksia

pada area otak yang beresiko, beberapa saat setelah terjadinya cedera awal

(cedera otak primer). Cedera otak sekunder sensitif terhadap terapi dan proses

terjadinya dapat dicegah (Mauritz et al, 2008).

Page 32: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

10

2.1.3.1 Cedera Otak Primer

Cedera otak primer merupakan cedera langsung dari kekuatan mekanik

yang merusak jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek, memar, dan

perdarahan). Cedera ini berasal dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan seperti

akselerasi rotasi, kompresi, dan distensi akibat dari akselerasi atau deselerasi.

Tekanan itu mengenai tulang tengkorak, yang dapat memberi efek pada neuron,

glia, dan pembuluh darah, dan dapat mengakibatkan kerusakan lokal, multifokal

ataupun difus (Werner dan Engelhard, 2007; Mauritz et al, 2008).

Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan / atau pembuluh darah.

Cedera parenkim berupa kontusio, laserasi atau Diffuse Axonal Injury (DAI),

sedangkan cedera pembuluh darah berupa perdarahan epidural, subdural,

subarachnoid dan intraserebral (Graham, 2000), yang dapat dilihat Pada CT-

scan. Cedera difus meliputi kontusio serebri, perdarahan subarachnoid traumatik

dan DAI. Sebagai tambahan sering terdapat perfusi iskemik baik fokal maupun

global (Valadka, 1996).

Dikatakan bersifat fokal bila melibatkan bagian bagian tertentu dari otak.

Kerusakan fokal yang timbul dapat berupa :

1. Kontusio Serebri (Memar Otak)

Kontusio serebri merupakan cedera fokal kepala yang paling sering

terjadi. Dilaporkan bahwa 89% mayat yang diperiksa postmortem mengalami

kontusio serebri (Cooper, 1982). Depreitere et al (2007) melaporkan bahwa

kasus kontusio serebri paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, jatuh

dari ketinggian dan cedera olahraga (Depreitere et al., 2007). Kontusio serebri

adalah memar pada jaringan otak yang disebabkan oleh trauma tumpul maupun

cedera akibat akselerasi dan deselerasi yang dapat menyebabkan kerusakan

parenkim otak dan perdarahan mikro di sekitar kapiler pembuluh darah otak.

Page 33: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

11

Pada kontusio serebri terjadi perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya

robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami

kerusakan atau terputus. Pada beberapa kasus kontusio serebri dapat

berkembang menjadi perdarahan serebral. Namun pada cedera berat, kontusio

serebri sering disertai dengan perdarahan subdural, perdarahan epidural,

perdarahan serebral ataupun perdarahan subaraknoid (Hardman, 2002).

Freytag dan Lindenberg (1957) mengemukakan, bahwa pada daerah

kontusio serebri terdapat dua komponen, yaitu daerah inti yang mengalami

nekrosis dan daerah perifer yang mengalami pembengkakan seluler yang

diakibatkan oleh edema sitotoksik. Pembengkakan seluler ini sering dikenal

sebagai pericontusional zone yang dapat menyebabkan keadaan lebih iskemik

sehingga terjadi kematian sel yang lebih luas. Hal ini disebabkan oleh kerusakan

autoregulasi pembuluh darah di pericontusional zone sehingga perfusi jaringan

akan berkurang akibat dari penurunan mean arterial pressure (MAP) atau

peningkatan tekanan intrakranial. Proses pembengkakan ini berlangsung antara

2 hingga 7 hari. Penderita yang mengalami kontusio ini memiliki risiko terjadi

kecacatan dan kejang di kemudian hari (Davis G, 2009 ).

Gambar 2.1. Mekanisme Terjadinya Cedera Otak Primer (Mesiano, 2010)

Page 34: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

12

Kerusakan otak yang bersifat difus merupakan kondisi patologis penderita

tidak sadar tanpa gambaran space occupying lesion (SOL) pada CT-Scan atau

Magnetic Resonance Imaging (MRI). Berdasarkan gambaran patologi, kerusakan

difus mencakup (Japardi, 2004) :

2. Diffuse Axonal Injury

Pada Diffuse axonal injury cedera yang terjadi lebih dominan pada area

otak tertentu yang mengalami percepatan yang tinggi dan cedera deselerasi

dengan durasi yang panjang. DAI merupakan ciri yang konsisten pada cedera

kepala akibat kecelakaan lalu lintas dan beberapa olahraga tertentu. Gambaran

patologi secara histologi dari DAI pada manusia adalah terdapat kerusakan yang

luas pada akson dari batang otak, parasagittal white matter dari korteks serebri,

korpus kallosum dan gray-white matter junction dari korteks serebri (Johnson et

al., 2013).

Pada DAI ringan dan sedang umumnya tidak terdapat kelainan pada

pemeriksaan radiologi baik CT-scan dan MRI. Namun pada pemeriksaan

mikroskopis akan dijumpai akson-akson yang membengkak dan putus.

Mekanisme utama terjadinya DAI adalah akibat dari pergerakkan rotasional dari

otak saat akselerasi dan deselerasi. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan densitas

dari jaringan otak yaitu jaringan white matter lebih berat dibandingkan grey

matter. Pada saat otak mengalami rotasi akibat kejadian akselerasi-deselerasi,

jaringan dengan densitas lebih rendah bergerak lebih cepat dibandingkan

dengan jaringan dengan densitas lebih besar. Perbedaan kecepatan inilah yang

menyebabkan robekan pada akson neuron yang menghubungkan grey matter

dan white matter (Kasan, 2006).

Terdapat dua fase dari cedera aksonal pada DAI yaitu fase pada cedera

primer dan cedera sekunder atau fase lambat. Pada cedera primer robekkan

akson terjadi akibat regangan saat kejadiaan. Sedangkan pada fase lambat

Page 35: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

13

terjadi perubahan biokimia yang mengakibatkan pembengkakan dan putusnya

akson-akson. Perubahan biokimia yang terjadi yaitu peningkatan influks natrium

yang juga memicu influks kalsium. Peningkatan kadar kalsium ini akan

menyebabkan aktifnya calsium-mediated proteolysis. Kerusakan akson

menyebabkan kerusakan dari pengangkutan sehingga terjadi penumpukan di

dalam akson yang membengkak. Kerusakan akson yang luas akan

menyebabkan atrofi otak dengan ventrikulomegali yang dapat menyebabkan

kejang, spastisitas, penurunan fungsi intelektual dan yang paling berat adalah

vegetative state (Park et al., 2008).

2.1.3.2 Cedera Otak Sekunder

Cedera otak sekunder meliputi kerusakan endogen dalam otak dan efek

tambahan sekunder otak, dimana merupakan lanjutan dari cedera otak primer

yang dapat terjadi karena adanya reaksi inflamasi, biokimia, pengaruh

neurotransmitter, gangguan autoregulasi, neuro-apoptosis dan inokulasi bakteri.

Beberapa mekanisme cedera sekunder yang penting meliputi jalur kematian sel

neuronal, aktivasi mikroglia, eksitotoksisitas, kadar Ca++ intrasellular meningkat,

terjadi generasi radikal bebas dan peroxidasi lipid (Hoh, 2008).

Faktor intrakranial (lokal) yang memengaruhi cedera otak sekunder

adalah adanya hematoma intrakranial, iskemia otak akibat penurunan tekanan

perfusi otak, herniasi, penurunan tekanan arterial otak, Tekanan Tinggi

Intrakranial (TTIK), demam, vasospasm, infeksi, dan kejang (Cohadon, 1995).

Sebaliknya faktor ekstrakranial (sistemik) yang dikenal dengan istilah nine

deadly H’s adalah hipoksemia (hipoksia, anemia), hipotensi (hipovolemia,

gangguan jantung, pneumotorak), hiperkapnia (depresi nafas), hipokapnea

(hiperventilasi), hipertermi (hipermetabolisme/respon stres), hiperglikemia,

hipoglikemia, hiponatremia, hipoproteinemia,dan hemostasis (Cohadon, 1995).

Page 36: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

14

Beratnya cedera primer karena lokasinya memberi efek terhadap beratnya

mekanisme cedera sekunder (Li, 2004).

Kaskade cedera sekunder diketahui mencapai puncaknya pada hari

ketiga (3) dan tujuh (7) setelah trauma dan dapat bertahan hingga tahunan

(Dardiotis et al., 2012). Beberapa penyebab hal ini adalah akumulasi leukosit pda

daerah otak yang cedera. Leukosit pindah dari pembuluh darah ke parenkim otak

yang cedera melalui ikatan endotel selektin P dan E dan intercellular adhesion

molecules (ICAMs). Kemokin dari jaringan otak yang cedera berpengaruh pada

ekspresi molekul endotel. Interaksi integrin dengan ICAM-1 dan ICAM-2 dalam

endotel menyebabkan perubahan konformasi dan ekstravasasi leukosit.

Akhirnya, leukosit pindah dari gradasi konsentrat kemokin ke area otak yng

cedera. Puncak akumulasi neutrophil terjadi padda hari ketiga setelah trauma

(Rhodes, 2011). Waktu induksi dan durasi aktivasi mikroglia setelah trauma

diketahui memiliki perbedaan dengan kelainan otak lainnya, seperti iskemik otak.

Studi-studi pada manusia dengan cedera otak traumatic menunjukkan bahwa

marker aktivasi dan proliferasi mikroglia muncul pada hari ketiga (3) setelah

trauma.

Page 37: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

15

Gambar 2.2. Mekanisme biokimia, seluler dan molekuler pada cedera otak

sekunder, pada cedera otak traumatika (Robert et al., 2015). Tiga kategori mayor

pada mekanisme cedera otak sekunder, meliputi (1) iskemia, eksitotoksisitas, kegagalan

energi, dan kaskade kematian sel; (2) cerebral swelling; dan (3) axonal injury. Kategori

keempat adalah inflamasi dan regenerasi, yang mempengaruhi semuanya.

2.1.3.3 Patofisiologi Spesifik Pada TBI

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ada tiga kategori mayor pada

mekanisme terjadinya cedera otak sekunder, yaitu (1) iskemia, eksitotoksisitas,

kegagalan energi, dan kaskade kematian sel; (2) edema otak dan (3) axonal

injury. Cedera aksonal telah dibahas pada bagian cedera otak primer.

a. Iskemia Post Trauma

Studi klinis pada orang dewasa telah menunjukkan bahwa segera setelah

TBI, Cerebral blood flow (CBF) akan berkurang. Hipoperfusi awal atau iskemia

setelah TBI berat muncul dan berhubungan dengan hasil yang buruk (misalnya,

hipotensi, hipoksemia) karena otak hipoperfusi memiliki efek yang buruk. Banyak

mekanisme mendasari pasca trauma awal hipoperfusi. Armstead melaporkan

penurunan respon vasodilatasi menjadi nitrat oksidasi (NO), cGMP, cAMP, dan

Page 38: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

16

prostanoids setelah TBI, bersama dengan rilis anion superoksida, lebih besar rilis

cedera yang disebabkan dari vasokonstriktor poten peptida endotelin-1.

Penelitian lainnya menyebutkan kerugian hipoperfusi baik meningkatnya

produksi NO atau kurangnya respons untuk NO sebagai mediasi hipoperfusi.

Hilangnya vasodilator dan elaborasi vasokonstriktor, atau mekanisme lain,

terlibat pada awal hipoperfusi pasca-trauma (Gambar 3). Peningkatan kebutuhan

metabolik, yang berkaitan dengan rilis glutamat, dapat terlihat dari peningkatan

asam laktat jaringan otak dan CSF awal setelah terjadi TBI (Zasler et al.,2007).

Gambar 2.3. Proses terjadinya iskemia post TBI (Zasler et al.,2007). Setelah terjadi

TBI, akan muncul berbagai mekanisme, salah satunya terjadi hipoferfusi kerusakan vaskuler

secara langsung, hilangnya eNOs dan produksi Endothelin-1).

b. Kaskade kematian sel neuron

Kematian sel neuron setelah cedera traumatik disebabkan karena

gangguan homeostasis ion sebagai konsekuensi dari pelepasan besar ion K+ dari

neuron dan sebagai akibat dari kenaikan [K+]ekstrasel, neuron mengalami

depolarisasi, melepaskan sejumlah glutamat, yang mengaktifkan reseptor

glutamat ionofor-linked sehingga mengakibatkan peningkatan [Ca2+]intrasel,

[Na+]intrasel, dan [K+]ekstrasel, dengan demikian masuknya ion Na+ telah

menyebabkan awal dari pengasaman dan pembengkakan pada berbagai organel

seluler. Normalnya, aliran ion-ion keluar dan masuk sel diatur oleh suatu pompa

ion yang menggunakan energi ATP. Pada trauma otak terjadi gangguan aliran

Page 39: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

17

darah sehingga pasokan oksigen berkurang yang pada akhirnya menimbulkan

gangguan metabolisme serebral. Kondisi yang demikian ini memicu sel

melakukan metabolisme secara anaerob, dimana metabolisme anerob ini hanya

mampu memproduksi energi yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan

metabolisme aerob. Karena metabolisme anaerob tidak cukup untuk memelihara

ketersediaan energi seluler, akibatnya cadangan ATP habis serta terjadi

kegagalan pompa ion pada membran sel yang tergantung ATP. Hilangnya

homeostasis ionik inilah yang menjadi awal terjadinya eksitotoksisitas

(Weissenberger dan Siren, 2010).

c. Eksitotoksisitas

Faktor signifikan yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder adalah

eksitotoksisitas yang keluar secara berlebihan. Eksitotoksisitas menggambarkan

proses dari glutamat dan excitatory amino acids (EAAs) yang menyebabkan

kerusakan neuron. Glutamat yang berlebihan dapat berasal dari sel-sel yang

rusak, bocor atau karena gangguan reuptake dari gutamat. Paparan glutamat

yang dihasilkan karena cedera neuron terdiri dari 2 fase. Beberapa saat setelah

paparan Na+, menyebabkan pembengkakan saraf, dimana hal ini diikuti dengan

degenerasi Ca2+. Efek tersebut dimediasi oleh reseptor ionotropik yang bekerja

cepat yaitu N-methyl-D-aspartate [NMDA], kainate dan α-amino-3-hydroxy-5-

methyl- 4-isoxazolepropionic acid (AMPA) dan reseptor metabotropik yang

bekerja lama (Dardiotis et al, 2012).

Aktifasi dari reseptor tersebut diawali oleh influks kalsium melalui kanal

receptor gated atau voltage–gated atau rilis dari kalsium intraseluler.

Peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler merupakan pemicu dari sejumlah

proses yang mengawali terjadinya kerusakan dan kematian sel (gambar 4).

Salah satu mekanisme yang mengikuti yaitu aktivasi sintesa NO, yang

mengawali produksi NO, formasi peroksinitrit dan kerusakaan DNA. Poly (ADP-

Page 40: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

18

ribose) polymerase (PARP) merupakan enzim pada perbaikan DNA dan pada

kerusakaan DNA, aktivasi PARP mengawali deplesi ATP, kegagalan metabolik

dan kematian sel (Zasler et al, 2007).

Potasium juga keluar dari sel dan diabsorbsi oleh astrosit. Timbul

gangguan keseimbangan ion yang berakibat depolarisasi membran sel dan influx

cairan yang menyebabkan sel bengkak dan cytotoxic edema yang akhirnya

dapat menyebabkan kematian sel neuron. Glutamat juga toksik terhadap sel-sel

glial, termasuk astrosit dan oligodendroglia. Astrosit mempunyai kapasitas buffer

dan terlibat dalam clearance glutamat dari ruang ekstrasellular. Berkurangnya

energi selama iskemia dapat menyebabkan sistem regulasi glutamat rusak

(Medikians dan Giza, 2006).

Gambar 2.4. Mekanisme terjadinya proses eksitotoksisitas (Zasler et al.,2007).

Glutamat menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler melalui stimulasi (i)

reseptor NMDA dengan pembukaan reseptor terkait kalsium ionofor, (ii) reseptor AMPA

dengan pembukaan kanal kalsium, dan (iii) reseptor metabotropik , dengan merilis

kalsium intraseluler melalui 2nd mesengger inositol trifosfat dan diasilgliserol. Peningkatan

konsentrasi kalsium intraseluler menyebabkan aktivasi protease, lipase dan

endonuklease, bersama dengan NOS rangsangan dan produksi radikal oksigen saraf.

Hal ini menyebabkan pembentukan peroksinitrit, kerusakan mitokondria dan kerusakan

DNA yang berlanjut dengan kematian sel).

Page 41: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

19

d. Radikal Bebas

Peningkatan kadar Ca++ sebagai pencetus aktivasi enzim terlibat dalam

produksi radikal bebas. Pada keadaan normal, oxidative mitochondrial

metabolism memproduksi sejumlah kecil radikal bebas. Pada trauma, radikal

bebas yang timbul berlebihan diproduksi oleh enzim nitric oxide synthase yang

timbul akibat trauma (iNOS) ini dibedakan dengan eNOS (endothelial NOS yang

sifatnya protektif) dan nNOS (neuronal NOS yang sifatnya konstitutif).

Phospholipase, dan xanthine oxidase yang aktif bersamaan dengan aktivasi jalur

Ca++ berpengaruh terhadap kerusakan rantai transpor elektron mitokondria.

Timbulnya asidosis menyebabkan lepasnya ferrum dari transferrin dan ferritin.

Radikal bebas menambah permeabilitas sel-sel membran melalui peroksidasi

lipid yang merusak komponen phospholipid membran. Superoksid anion dan

hidroksil anion membentuk peroksinitrit (yang lebih reaktif) dengan NO yang

dibentuk iNOS. Penggabungan dengan ion Fe tadi akan membuat proses

peroksidasi lipid pada membran meluas secara geometris (Hoh, 2008).

Kerusakan DNA akibat radikal bebas akan mengaktivasi Poly ADP Ribose

Polymerase (PARP) suatu enzim untuk perbaikan (repair) kerusakan DNA.

Aktivasi PARP akan memicu enzim perbaikkan DNA. Aktivitas berlebihan dari

PARP akan mengurangi cadangan energi sel yaitu cadangan NAD+ dan ATP.

Kerusakan besar pada DNA akan menguras energi atau ATP sehingga sel yang

dalam proses apoptosis kehabisan energi dan mati melalui proses nekrosis yang

dalam hal ini disebut nekrosis sekunder. Caspase 3 yang menginaktivasi PARP

berperan dalam proses apoptosis (Zhang et al, 2005).

e. Edema Otak

Yaitu terjadi peningkatan kandungan air dalam jaringan otak atau

peningkatan volume darah (intravaskuler) atau kombinasi keduanya.

Page 42: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

20

Edema serebri merupakan respon umum untuk berbagai bentuk cedera

otak, dan sesuai penyebabnya dapat dikategorikan sebagai sitotoksik,

vasogenik, interstisial, atau gabungan. Kelainan dapat dicirikan dalam hal lokasi,

pola keterlibatan gray and white matter dan terkait efek massa yang dibuktikan

dengan pergeseran garis tengah, sulcus, ventrikel, penipisan sisternal dan

herniasi otak. Gejala edema serebri tidak spesifik dan berkaitan dengan efek

sekunder massa, keterlibatan vaskular, dan herniasi. Edema serebri dapat

dicegah dengan berbagai cara yaitu hiperventilasi, osmoterapi (manitol dan salin

hipertonik), diuretik loop, hipotermia, sedasi (propofol, barbiturat), dan pelumpuh

neuromuskuler (suksinilkolin). Kortikosteroid dapat digunakan untuk mengontrol

edema vasogenik dengan cara memperbaiki sawar darah otak. Kraniektomi

dekompresi dapat dilakukan pada kasus edema serebri yang berat (Nag et al.,

2009).

f. Peranan proses Inflamasi pada TBI

Mekanisme cedera sekunder terdiri dari beragam proses antara lain

terpicunya proses inflamasi dan munculnya sitokin pro-inflamasi seperti IL-1β, IL-

6, IL-8, ekspresi intercellular adhesion molecules (ICAM), dan vascular adhesion

molecules (VCAM) yang berinteraksi dengan PMN dan dapat menyebabkan

tersumbatnya kapiler (capillary plugging) dan memperberat komponen iskemik

TBI. Aktivasi lipooksigenase dan cyclo-oxygenase oleh Ca2+ menghasilkan

radikal oksigen bebas (ROS) seperti anion superokside dan hidroksil anion dan

senyawa vasoaktif seperti prostaglandin dan thromboxan yang memperburuk

mikrosirkulasi. Karena TBI juga menyebabkan meningkatnya iNOS diikuti

peningkatan ekspresi NO, maka terbentuk juga peroksinitrit yang memperberat

kerusakan peroksidatif pada membran sel, DNA dan makromolekul lain

(Machfoed, 2011).

Page 43: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

21

Terdapat aspek inflamasi baik akut dan subakut maupun kronis yang

merugikan dan menguntungkan. Terdapat inflamasi akut yang kuat setelah TBI.

Ini telah ditunjukkan dalam model TBI, dan pada pasien dewasa. NF-kB, TNF-α,

IL-1β, eicosanoid, neutrofil, dan makrofag berhubungan terhadap kerusakan

sekunder dan juga perbaikan. Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Clark et

al, Konsisten dengan peran IL-1 dalam evolusi kerusakan jaringan pada TBI,

melakukan analisis pada sampel otak orang dewasa yang direseksi dengan

hipertensi intrakranial refrakter akibat memar yang parah. Interleukin-1-

converting enzyme (ICE) telah diaktifkan, dimana aktivasi ICE sangat penting

untuk produksi IL-1β, hal ini mendukung produksi IL-1β, mediator pro-inflamasi

yang penting dalam trauma cedera otak pada manusia (Zasler et al, 2007).

Pada penelitian studi LCS lebih mendukung peran inflamasi pada TBI.

Peningkatan IL-1β dalam LCS terlihat setelah TBI berat pada orang dewasa.

Demikian pula, peningkatan jumlah sitokin termasuk IL-6 dan IL-8 dalam LCS

setelah TBI parah. Memar dan nekrosis jaringan lokal juga penting untuk memicu

masuknya neutrofil dengan resultan kerusakan jaringan sekunder. Masuknya

neutrofil disertai peningkatan kadar inducible Nitric oxyde synthase (iNOS) di

otak dan diikuti dengan infiltrasi makrofag, dengan puncak antara 24-72 jam

setelah cedera. Infiltrasi makrofag dan diferensiasi mikroglia endogen menjadi

makrofag residen, mungkin menandakan hubungan antara inflamasi dan

regenerasi, dengan elaborasi dari jumlah faktor trofik (yaitu, Neuronal Growth

factor (NGF), nitrosothiols, Vascular endothel growth factor (VEGF) (Werner dan

Engelhard, 2007).

Dalam penelitian oleh Kossmann dkk dilaporkan adanya hubungan antara

produksi IL-6 dan produksi neurotrophin, seperti NGF. Astrosit yang dikultur dari

yang diobati baik dengan IL-6, IL-8 atau LCS dari otak dewasa yang cedera,

memproduksi NGF. Produksi sitokin setelah TBI mungkin penting untuk

Page 44: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

22

plastisitas dan perbaikan saraf. Studi pada model TBI menyatakan bahwa aspek

yang menguntungkan dari inflamasi tampak pada keluaran jangka panjang. Tikus

dengan defisiensi TNF-α menunjukkan peningkatan keluaran fungsional setelah

TBI. Namun, jangka panjang konsekuensi dari kekurangan TNF-α memberikan

keluaran yang merugikan. Demikian pula, meskipun peran merugikan bagi iNOS

dalam 72 jam awal post trauma, defisiensi iNOS pada tikus menunjukkan

gangguan keluaran jangka panjang dibanding kontrol. iNOS penting dalam

penyembuhan luka dan iNOS-derived nitrosylation of protein mungkin berperan.

Tetapi peranan respon inflamasi terhadap TBI masih harus diperjelas. (Namas et

al., 2010).

Sitokin adalah hormon protein dari kelas yang luas yang memediasi

respon inflamasi dan imunitas dengan cara yang kompleks. Tidak seperti syok

septik, dimana kaskade sitokin telah ditentukan dengan baik, peran sitokin dalam

trauma dan syok hemoragik tidak dijelaskan dengan baik. Kadar sitokin dalam

sirkulasi telah terdeteksi pada model hewan dan pada pasien dengan sepsis

berat, dan kadar ini memiliki beberapa korelasi dengan keluaran. Produksi radikal

bebas nitrat oksida (NO), yang diproduksi dalam kondisi inflamasi oleh enzim

inducible NO synthase (iNOS), ditunjukkan menjadi mediator sentral inflamasi

pada tikus post- Traumatic-Haemoragic shock (T/HS) (Dardiotis et al, 2012).

Gambar 2.5 Aktifasi respon imun pada TBI (Namas et al., 2010). Respon inflamasi

terhadap cidera jaringan. Signal cidera traumatik berbagai tipe sel memproduksi sitokin,

kemokin, dan DAMPs. Reaktifasi DAMPs dan selanjutnya mendorong produksi mediator

inflamasi, mendasari putaran feedback positif inflamasi kerusakan inflamasi

Page 45: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

23

NO merupakan bagian dari radikal bebas. NO adalah molekul yang terdiri

dari atom N dan O dengan muatan elektron yang berlebih. Kelebihan elektron

tersebut menyebabkan nitric oxide mudah bereaksi dengan molekul yang lain

(Platt, 2007). Sel dapat menghasilkan nitric oxide dari fosforilasi enzim argenin,

yang dinamakan nitric oxide synthase ( NOS ). Terdapat tiga bentuk NOS yaitu

inducible NOS ( iNOS ) yang dihasilkan oleh makrofag, endothelial NOS

(eNOS ) yang dihasilkan endotel pembuluh darah dan neuronal NOS ( eNOS )

yang dihasilkan oleh sel-sel neuron. Pada pasien trauma, hasil reaksi sirkulasi

NO menggambarkan keparahan cedera selama dua jam pertama setelah

dampak trauma dan menunjukkan bahwa produksi NO meningkat memainkan

peran dalam periode sangat awal pasca cedera (Namas et al, 2010). Dalam

keadaan iskemia, iNOS merupakan penghasil NO yang terbanyak serta

merangsang keluarnya beberapa beberapa sitokin yang bertanggung jawab

terhadap proses inflamasi seperti TNFα, IL-1, IL-3 dan IL-6 yang dapat

mengakibatkan apopotosis (Huang, 2004).

Bila nitrit okside bereaksi dengan anion superoksida (O2-) akan terbentuk

peroksinitrit (ONOO-). Pada kondisi pH normal peroksinitrit akan membentuk

asam peroksinitrat, tetapi pada kondisi hipoksia atau asidosis peroksinitrit akan

mengalami dismutasi menjadi dua bentuk oksidan yang poten yaitu radikal

hidroksil (OH-) dan radikal nitrogen hidroksida (NO2-). Hidrogen peroksida

(HOOH) dapat bereaksi dengan peroksinitrit menjadi anion nitrogen dioksida

(ONO-), oksigen (O2-) dan H2O. Peroksinitrit merupakan oksidan yang sangat

kuat dengan waktu paruh yang panjang, lebih toksik dari NO ataupun

superoksida. Semakin besar pembentukan peroksinitrit semakin besar kerusakan

sel yang terjadi (Faul et al, 2010).

Kemokin mewakili kelas cytokine-like immune modulator yang mendapat

perhatian sebagai target terapi yang potensial untuk berbagai penyakit inflamasi

Page 46: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

24

(Namas et al, 2010). Kemokin diproduksi oleh berbagai sel imun seperti

makrofag, limfosit, neutrofil dan sel dendritik yang memediasi berbagai fungsi sel.

Interaksi yang kompleks antara sitokin dan kemokin mungkin mendasari peran

penting dari modulator inflamasi dalam proses inflamasi Traumatic/haemoragic

shock (T/HS) dan TBI dan dalam pengaturan penyakit lain seperti tumor, infeksi,

dan penyakit autoimun (Katsanos et al, 2008).

Diantara kemokin, makrofag, inflammatory protein-1 alpha (MIP-1α)

muncul untuk mengatur baik respon inflamasi akut dan kronis host pada tempat

cedera atau infeksi, terutama dengan merekrut sel-sel inflamasi. Selain itu, MIP-

1α menengahi aktivitas pro-inflamasi luas, termasuk merangsang sekresi TNF-α,

IL-1, dan IL-6 oleh makrofag peritoneal. Studi pada tikus telah menunjukkan

bahwa manipulasi MIP-1α jangka pendek T/HS mungkin menguntungkan untuk

mengurangi respon inflamasi dan memperbaiki disfungsi organ vital. Seperti

dalam kebanyakan kasus terapi immunomodulasi, inhibisi MIP-1α adalah pedang

bermata dua, dalam peningkatan risiko infeksi akhir. Monosit chemoattractant

protein (MCP-1), macrophage inflammation Protein-1 beta (MIP-1β), regulated on

activation normal T cell Expressed and secreted (RANTES), Eotaksin, interferon-

inducible Protein 10 (IP-10), Monokine induced by Interferon gamma (MIG), dan

IL-8 adalah kemokin yang mungkin menawarkan sasaran terapi atau diagnostik

baru untuk T / HS (Namas et al, 2010).

Page 47: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

25

Gambar 2.6 Respon inflamasi dan imunitas pada TBI (Namas et al., 2010). Spektrum

sitokin, kemokin, dan DAMPs pada traumatic/haemorhagic shock (T/HS) dan TBI.

Respon inflamasi terhadap T/HS atau TBI dinilai dari pengukuran sitokin, kemokin,

DAMPs dan marker terakhir kerusakan organ akhir. Beberapa biomarker ini dapat juga

menjadi kandidat intervensi terapi.

Pathogen-associated molecular pattern (PAMPs), damage-associated

molecular patterns (DAMPs, juga dikenal sebagai alarmins), dan reseptor mereka

(misalnya Toll-like receptor [TLR]-2 dan -4; receptor for Advanced Glycation End

Products [RAGE]) merupakan sistem paralel dan mungkin integratif yang berjalan

selama infeksi serta cedera jaringan, termasuk T/HS dan mungkin juga TBI.

PAMPs mencakup beragam rangkaian molekul mikroba yang berbagi berbagai

fitur biokimia yang dikenali yang waspada terhadap patogen yang mengganggu.

Beberapa PAMPs eksogen seperti yang dikenali oleh sel-sel dari sistem imun

bawaan dan didapat, terutama melalui TLRs, yang mengaktifkan jalur sinyal

beberapa di antaranya NF-kB adalah yang paling khas (Katsanos et al, 2008).

Dalam model analog, DAMPs diproduksi oleh jaringan yang terluka dan

merangsang atau menyebarkan peradangan melalui produksi sitokin; dengan

cara ini, DAMPs memainkan peran penting dalam kaskade pro-inflamasi imunitas

bawaan. Molekul mediator inflamasi pada kelas ini meliputi HMGB1, S100A dan

Page 48: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

26

B, asam urat, IL-1β, protein heat shock, dan molekul tambahan lain. HMGB1

diproduksi dalam kondisi beragam seperti infeksi, iskemia trauma, T/HS, dan TBI,

yang dapat berkontribusi pada patogenesis sepsis berat, sitokin proinflamasi

klasik seperti TNF-α dan IL-1β (Perry et al, 2008).

Pada model hewan, IL-1β dan TNF-α telah terlibat sebagai sitokin pro-

inflamasi utama sedangkan yang berpotensi sebagai anti-inflamasi yang

menguntungkan dianggap berasal dari IL-10. Interleukin-1β telah ditandai secara

ekstensif pada hewan model TBI sebagai promotor neuroinflamasi. Kerusakan

saraf yang dihasilkan dari rilis IL-1β tampaknya tidak langsung, akibat aksi

sinergis dengan sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α. Seperti IL-1β, TNF-α telah

dianggap sebagai sitokin pro-inflamasi murni dalam sejarah singkat penelitian

TBI (Werner dan Engelhard, 2007).

. Pada cedera difus, kadar serum TNF-α meningkat dalam 24 jam dengan

tidak adanya ekspresi dalam jaringan otak, menunjukkan bahwa cedera difus

menginduksi respon imun yang berbeda. Mirip dengan TNF-α, IL-6 memiliki

peran dalam neuroinflamasi yang dideteksi dalam 1 jam post cedera pada

hewan, diikuti oleh konsentrasi puncak antara 2 dan 8 jam. Di sisi anti-inflamasi,

penelitian eksperimental telah menunjukkan efek menguntungkan IL-10, dengan

pemberian eksogen dari sitokin ini membantu pemulihan neurologis dan

mengurangi ekspresi sitokin pro-inflamasi (Figiel, 2008).

Pada konsentrasi rendah, sitokin penting untuk respon host terhadap

trauma sedangkan pada konsentrasi yang lebih tinggi mereka merusak. Tanda

terbaik dan tampak paling awal dan paling mendasar dalam kaskade pro

inflamasi yang diinduksi trauma adalah TNF-α. TNF-α memicu produksi sitokin

lainnya, yang memperkuat dan menyebarkan respon inflamasi di mana

peningkatan TNF-α plasma telah ditemukan pada pasien syok hemoragik. TNF-α

juga berpartisipasi dalam generasi radikal bebas seperti NO. Studi klinis telah

Page 49: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

27

menunjukkan bahwa kadar beberapa mediator inflamasi, seperti IL-6, IL-8 dan IL-

10, berhubungan erat dengan keparahan cedera dan tingkat komplikasi.

Berbagai faktor intrinsik seperti usia, jenis kelamin, ras, suhu tubuh, resusitasi,

dan periode hipotensi memainkan peran dalam bagaimana tubuh merespon

cedera traumatik akut (Zasler et al.,2007).

2.2 Tumor Necrosis Factor- (TNF-)

2.2.1 Karakteristik Umum

Sitokin pro-inflamasi merupakan molekul yang muncul dan ikut berperan

dalam berkembangnya proses patofisiologi setelah trauma otak. Sitokin

merupakan pedang bermata dua, dimana dapat menguntungkan dan merugikan.

Demikian pula TNF-, terdapat keadaan tertentu sitokin ini dapat bermanfaat,

tetapi dalam keadaan lain dalam konsentrasi tertentu menimbulkan efek yang

merugikan (Dardiotis et al, 2012).

Tumor necrosis factor- (TNF-) merupakan prototipikal sitokin inflamasi

yang awalnya dikenal sebagai faktor serum endotoxin-induced yang disebabkan

oleh nekrosis sel tumor jenis tertentu. Tumor necrosis factor α merupakan suatu

sitokin pleiotropik yang memiliki efek beragam, antara lain proliferasi,

diferensiasi, daya tahan hidup, atau kematian sel, yang melibatkan berbagai

macam proses fisiologis dan patologis. Tumor necrosis factor α berikatan dengan

reseptor spesifik pada permukaan sel target. Pada manusia, cDNA untuk TNF-α

pertama kali diperbanyak pada tahun 1984 dan gen yang mengkode faktor

transkripsi untuk TNF-α telah dipetakan pada kromosom 6, yaitu pada regio MHC

(major histocompatibility) (Perry et al.,2008).

Tumor necrosis factor α, yang disebut juga dengan cachectin, ditemukan

sebagai trimer dan merupakan salah satu produk utama dari makrofag yang

teraktivasi, fibroblas, sel mast, dan beberapa sel T dan sel NK (NK cell). TNF-

Page 50: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

28

pada awalnya berbentuk prekursor (pTNF-) dengan berat molekul 27 kD,

melalui pembelahan proteolitik dihasilkanlah bentuk terlarut (soluble) (sTNF-)

dengan berat molekul 17 kD. Terdapat berbagai macam fungsi biologis yang

dimediasi oleh TNF-, diantaranya menjadi tombol pengatur respon kekebalan

serta mampu menimbulkan efek seluler yang beragam, termasuk apoptosis,

nekrosis, efek keradangan, efek proliferasi atau yang mempromosikan

pertumbuhan, dan efek hematopoetik (Keystone dan Ware, 2010).

TNF- yang terdapat pada sistem saraf pusat dapat berasal dari perifer

(di luar sistem saraf pusat) atau dari sentral (dari sistem saraf pusat itu sendiri).

TNF- yang berasal dari perifer bisa masuk ke sistem saraf pusat dan bertindak

langsung pada parenkim otak dengan melintasi sawar darah-otak, melalui

mekanisme transpor aktif difusi pasif dalam beberapa organ circumventricular,

termasuk area hipotalamus, pituitari, dan kelenjar pineal, sementara itu semua

tipe sel saraf diperkirakan mengandung reseptor TNF- dan mampu mensintesis

TNF- di bawah beberapa kondisi (Perry et al, 2002).

Ekspresi protein dan mRNA TNF-α meningkat pada kondisi iskemia otak,

dengan puncak ekspresi protein bisa 6 jam setelah onset iskemia atau segera

setelahnya (Costelli et al., 2003), sedangkan penelitian lain menyebutkan bahwa

TNF- muncul setelah percobaan tikus model cedera sumsum tulang belakang

dan mencapai puncaknya 1 jam setelah cedera. Otak dalam keadaan normal

melepaskan TNF- dalam aktivitas fisiologisnya dalam jumlah tertentu yang

berbeda dengan keadaan patologis. TNF- merupakan pengubah penting

termoregulasi dan hipotalamus-ptuitary-adrenal axis (HPA-axis), TNF- secara

transien muncul dalam konsentrasi tinggi pada astrosit dan neuron embrionik

yang belum matang saat perkembangan otak tikus, juga berguna dalam

Page 51: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

29

pengaturan tidur dan makan. Dengan demikian, keberadaan TNF- di otak tidak

selalu dikaitkan dengan keadaan patologis (Figiel, 2008).

Pada keadaan patologis, misalnya cedera traumatis pada sistem saraf

pusat, TNF- dapat diproduksi oleh berbagai sel. Penelitian oleh Yune (2003)

menyatakan bahwa dalam tikus model cedera sumsum tulang belakang, sumber

produksi TNF- memang tidak jelas, namun kemungkinan bahwa mikroglia,

astrosit yang reaktif, neuron, sel-sel endotel, dan makrofag yang berinfiltrasi,

semua dapat menghasilkan sitokin radang seperti TNF- setelah cedera.

Pendapat lain mengatakan bahwa sel-sel glia merupakan sumber utama dan

target banyak sitokin dalam sistem saraf pusat, dan mereka dapat melepaskan

banyak zat neuroaktif dalam menanggapi rangsangan sitokin. TNF- dan IFN-

secara langsung mempunyai efek racun untuk oligodendrosit, dan bersama-

sama dengan sitokin lain, dapat merangsang produksi sitokin keradangan lokal

TNF-, sitokin pro-inflamasi yang dilepaskan oleh sel glia dan sel-sel radang

pada daerah luka setelah cedera otak traumatik, juga ikut berperan dalam

timbulnya eksitotoksisitas. Ditambahkan, TNF- bersifat toksik untuk kultur sel

saraf manusia secara in vitro, menyebabkan kerusakan myelin dan toksistas

untuk oligodendrosit (Park et al.,2008).

Protein TNF- dan mRNA TNF- teridentifikasi 1 jam setelah cedera

mencapai konsentrasi puncak antara 12 – 24 jam kemudian menurun secara

drastis setelah 72 jam. Penelitian lain juga menyatakan bahwa serum TNF-

meningkat kadarnya pada pasien dengan cedera otak traumatika. Dengan

demikian, TNF- merupakan salah satu mediator keradangan yang dilepaskan

segera setelah terjadinya cedera (Huang et al.,2006).

Page 52: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

30

2.2.2 Reseptor TNF-

TNF- memiliki dua isotype reseptor, yaitu TNFR1 (p55) dan TNFR2

(p75), dimana kedua reseptor tersebut memiliki profil ekspresi, afinitas ligand,

struktur, dan jalur sinyal aktivasi yang berbeda-beda. Dalam otak, komponen

yang menunjukkan imunoreaktivitas terhadap TNF-α antara lain adalah badan

sel neuron, astrosit, mikroglia, sel polymorphonuclear (PMN) yang menginfiltrasi,

sel endotel vaskuler, dan sel-sel di ruang perivaskuler. Sinyal yang dibawa oleh

TNF-α melalui TNFR, memerlukan pembentukan reseptor tersebut pada

permukaan membran sebagai trimer sebelum terjadi ikatan ligand. Proses

trimerisasi tersebut terjadi melalui ekor reseptor sitoplasmik intraseluler. TNFR1

berpotensi degeneratif, sementara TNFR2 berpotensi protektif (Berridge, 2012).

Kebanyakan efek yang disebabkan oleh TNF-α dimediasi oleh TNFR1, yang

berisi domain kematian (death domain) yang berinteraksi langsung dengan

TNFR1 dan dapat bertindak sebagai titik bifurkasi untuk sinyal yang

berhubungan dengan kematian sel atau kelangsungan hidup sel. Penghantaran

sinyal TNF-α melalui TNFR1 dan TNFR2 hingga mampu mencetuskan berbagai

macam respon seluler, ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya adalah status

metabolik sel dan protein adaptor yang terdapat pada sel. Faktor-faktor tersebut

mempengaruhi kemampuan sinyal yang dibawa TNF-α dalam mengaktivasi

sejumlah jalur penghantaran sinyal intraseluler, termasuk jalur sinyal nuclear

factor kappa B (NF-κB), p38, c-jun N-terminal kinase (JNK), dan jalur

ceramide/sphingomyelinase, yang menghasilkan sejumlah respon seperti

inflamasi, proliferasi, migrasi sel, apoptosis, dan nekrosis (Figiel, 2008).

Sementara Rangamani (2007) menyebutkan bahwa sinyal jalur TNF-

merupakan jalur klasik yang dapat berfungsi baik untuk aktivasi jalur survival

dimana dalam aktivitasnya menggunakan jalur NF-B, maupun jalur apoptosis

Page 53: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

31

dimana dalam aktivitasnya menggunakan kaskade caspase. Mekanisme kerja

TNF- pada reseptornya berdasarkan pada pekerjaan yang dilakukan oleh

Rangamani (2007), yang dimodelkan menjadi 4 modul yaitu pembentukan

kompleks awal, pembentukan NF-B, pembentukan kaskade caspase, dan

aktivitas inti.

2.2.3 Pembentukan kompleks awal

Setelah TNF- berikatan dengan TNFR1, dimulailah pemanggilan

terhadap domain-domain kematian. Domain yang pertama kali dipanggil untuk

berikatan yaitu TNF-receptor-associated death domain (TRADD), domain

selanjutnya yang dipanggil yaitu TNF-receptor factor-2 (TRAF-2) dan receptor-

interacting protein (RIP-1) (Keystone dan Ware, 2010).

Gambar 2.7 Mekanisme proses dari pembentukan TNF-α (Shohami et al.,1999).TBI

menginduksi sintesis TNF-peptida prekursor, proTNF-α, mengaktifkan enzim proteolitik

yang menghidrolisis membran pro-TNF-α, dan melepaskan TNF-α ke ruang ekstraselular,

melalui interaksi reseptor R1 (p55) dan R2 (p75). Setelah TNF-α berikatan, sitosol dari

reseptor tersebut merekrut beberapa protein adapter intraseluler (TRADD). TRADD

berinteraksi dengan domain kematian R1 melalui sinyal FADD, FLICE dan TRAF-1.

TRAF2. R2 berinteraksi langsung dengan TRAF2 dan bergabung dengan TRAF1. TRAF2

mengaktifkan NF-kB dengan menghambat protein IkB,p50 dan p65. Aktivasi NF-kB

mempengaruhi ekspresi gen yang dapat berupa pelindung maupun berbahaya.

Page 54: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

32

Pada akhirnya, pada tahap ini dihasilkan suatu rangkaian molekul yang

terdiri atas TNF-/TNFR1/TRADD/TRAF-2/RIP-1 yang selanjutnya disebut

“kompleks awal”. “Kompleks awal” inilah yang selanjutnya dapat bereaksi dengan

IKK atau Fas-associated death domain (FADD). Keberadaan TRADD sudah

cukup untuk membangkitkan kaskade apoptosis, FADD-like interleukin-1-

converting enzyme (FLICE alias caspase-8), sedangkan TRAF-2 yang berikatan

dengan RIP-1 berguna untuk induksi NF-B (Perry et al., 2008).

2.2.4 Pembentukan NF-B

Aktivasi NF-kB diregulasi sangat ketat oleh sinyal yang mendegradasi IkB

pada sitoplasma sel. Pada proses signaling NF-kB, protein IkB (IkBα atau p100)

difosforilasi melalui aktivasi kompleks IkB kinase (IKK) pada tempat spesifik

(gambar 5). Fosforilasi protein IkB selanjutnya akan mencetuskan poliubiquitinasi

dari protein IkB, sehingga dimer NF-kB menjadi bebas. Kompleks IKK tersusun

dari subunit katalitik IKKα dan IKKβ, dan subunit regulator IKKγ, yang juga

dikenal sebagai NF-kB essential modulator (NEMO). Protein IKKα dan IKKβ

tersebut memediasi sinyal yang berbeda. Komponen IKKβ penting untuk

signaling aktivasi NF-kB melalui jalur klasik dan memiliki karakteristik diaktifkan

oleh ikatan ligand pada reseptor TNF tipe 1 atau 2 (TNFR1/2), T-cell receptor

(TCR), B-cell receptor (BCR), atau Toll-like receptor (TLR). Komponen IKKα

penting untuk signaling aktivasi NF-kB melalui jalur alternatif dan diaktifkan

melalui aktivasi anggota famili reseptor TNF tertentu, termasuk lymphotoxin β

receptor (LTβR), B-cell activating factor milik TNF family receptor (BAFF-R),

CD40, dan CD30 (Keystone dan Ware, 2010).

Page 55: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

33

Gambar 2.8 Jalur klasik dan alternatif untuk aktivasi NF-kB (Nishikori, 2005).

Aktivasi sinyal klasik NF-kB, biasanya dipicu melalui TNFR, IL-1R, atau TLR dan pada

akhirnya sinyal dimediasi oleh MAP / ERK kinase kinase 3 (MEKK3) dan IKKb.

2.2.5 Aktivasi kaskade caspase

Caspase merupakan mesin utama dalam mekanisme apoptosis. Caspase

dalam jalur apoptosis terkait TNF- terdiri atas caspase inisiator (caspase-8),

yang jika dalam bentuk inaktif disebut procaspase-8, dan caspase efektor

(caspase-3) (Sugawara, 2004). “Kompleks awal” yang sudah terbentuk, berikatan

dengan Fas-associated death domain (FADD). Setelah berikatan dengan FADD,

“kompleks awal” melepaskan salah satu anggotanya, yaitu TNFR1. Sehingga

terbentuklah kompleks baru dengan anggota tambahan FADD, tanpa TNFR1.

Kompleks ini mengaktifkan procaspase-8 menjadi caspase-8 teraktivasi. Dengan

teraktivasinya caspase-8, maka kompleks yang baru terbentuk sebelumya,

terurai menjadi molekul yang terpisah-pisah. Caspase-8 sebagai suatu molekul

inisiator mengaktifkan caspase efektor, yaitu caspase-3. Hasil akhir dari tahap ini

Page 56: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

34

adalah caspase-3 yang mampu bertranslokasi ke inti untuk memulai apoptosis

(Perry et al.,2008)

Gambar 2.9 Reseptor dan jalur signaling TNF-α (Watters et al, 2011). Setelah

terjadinya TBI, akan memicu terjadinya TNF-α melalui interaksi reseptor R1 (p55) dan R2

(p75). Setelah TNF-α berikatan, sitosol dari reseptor tersebut merekrut beberapa protein

adapter intraseluler (TRADD). TRADD berinteraksi dengan domain kematian R1 melalui

sinyal FADD, FLICE dan TRAF-1, TRAF2. R2 berinteraksi langsung dengan TRAF2

mengaktifkan NF-kB. FADD akan menyebabkan produksi ceramide dan mengaktifkan

caspase sehingga berlanjut menjadi apoptosis. Sedangkan NF-kB dan transkripsi

mengaktifkan calbindin dan MnSOD dan berfungsi sebagai neuroprotektan.

2.2.6 Aktivitas inti

Proses selanjutnya terjadi aktivitas inti yang dilakukan oleh molekul-

molekul akhir yang dihasilkan oleh perikatan TNF- dengan TNFR1. Hasil yang

diperoleh dari serangkaian tahapan sebelumnya yaitu NF-B dan caspase-3

teraktivasi. Kedua molekul ini selanjutnya bertranslokasi ke inti sel untuk

mengadakan aktivitasnya. Caspase-3 teraktivasi sebagai mesin utama apoptosis,

membelah DNA pada daerah linker menggunakan caspase associated DNase

(CAD) dengan terlebih dahulu mendegradasi inhibitornya, inhibitor of CAD

(ICAD). Di lain pihak, NF-B mengadakan penghambatan terhadap proses

apoptosis dengan berikatan dengan DNA untuk mentranskripsi protein

penghambat apoptosis, yang disebut inhibitor of apoptosis protein (IAP) dan juga

Page 57: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

35

IB diantaranya. c-IAP bekerja menghambat apoptosis dengan cara mengikat

caspase-3 teraktivasi (Figiel, 2008).

2.3 Apoptosis

2.3.1 Karakteristik Umum

Apoptosis merupakan kematian sel yang digambarkan perubahan pada

sel (menyusut) dan kondensasi nuklear, fragmentasi DNA dan formasi apoptosis

bodies. Apoptosis membutuhkan kaskade intraseluler untuk menyelesaikan

kematian sel, selanjutnya disebut sebagai kematian sel yang terprogram.

Beberapa sel menunjukan fragmentasi yang membentuk pecahan-pecahan sel

atau apoptotic bodies yang berada di sekitar sel tersebut. Fragmen-fragmen sel

tersebut akan cepat difagositosis oleh makrofag sebelum sel pecah dan

menyebabkan kerusakan pada jaringan. Fragmen sel terbungkus oleh membran

sel dan berisi organela yang masih utuh. Sel akan kehilangan kontak interseluler

yang normal. Jadi sel tidak mengalami proses inflamasi karena tidak adanya

bahan-bahan sitosolik yang dilepas ke ruang interseluler. Proses ini memerlukan

energi dalam bentuk ATP (Zhang et al, 2005).

Apoptosis terjadi beberapa jam atau hari setelah cedera primer.

Translokasi phosphatidylserine mengawali pemisahan tetapi disintegrasi

membran secara progresif terjadi bersama-sama dengan lisis membran inti,

kondensasi kromatin, dan fragmentasi DNA. Apoptosis secara umum

memerlukan suplai energi dan keseimbangan antara protein pro dan anti-

apoptosis yang terjadi secara alami. Aktivasi dan deaktivasi yang berurutan dari

caspase, yang merupakan protease spesifik dari interleukin-converting enzyme

family, telah diidentifikasi sebagai mediator paling penting dari kematian sel

terprogram (Werner dan Engelhard, 2007).

Page 58: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

36

Karena apoptosis membutuhkan energi, maka bila dijumpai defisit energi

prosesnya akan beralih menjadi nekrosis (secondary necrosis). Sel-sel yang mati

dibuang dari jaringan melalui fagositosis yang terjadi pada jam jam pertama

setelah kematian. Jika kapasitas fagositosis terbatas sehingga sel apoptosis

masih terdapat dalam jaringan selama satu atau dua hari, maka membrannya

akan mengalami disintegrasi dan terjadi nekrosis sekunder (Taylor et al, 2008).

Apoptosis juga berhubungan dengan kadar kalium di dalam sel. Pada

awal proses apoptosis terjadi peningkatan effluks kalium dari dalam sel. Apabila

kadar ion potassium dalam sel lebih rendah dari kadar fisiologis, maka akan

terjadi aktivasi caspase-3 yang akan menyebabkan apoptosis dimana intensitas

transformasi ini bergantung dari pada kadar kalium (Brunelle dan Letai et al,

2009).

2.3.2 Mekanisme Apoptosis

Mekanisme apoptosis terjadi melalui dua jalur, yaitu caspase-dependent

dan caspase-independent. Caspase-dependent pathway dapat melalui jalur

intrinsik yang dipicu oleh kegagalan metabolik mitokondria atau jalur ekstrinsik

yang dipicu oleh “reseptor kematian”, yaitu kelompok TNF reseptor. Caspase-

independent pathway dipicu oleh protein mitokondria seperti Apoptosis Inducing

Factor (AIF) yang keluar dari membran mitokondria akibat depolarisasi membran

luar mitokondria (Berridge, 2012). Sepertiga kematian sel berhubungan dengan

caspase dependent apoptosis, sepertiga yang lain caspase independen, dan

sepertiga sisanya berhubungan dengan nekrosis (Brunelle et al, 2009).

(i) Caspase-Dependent Apoptosis

Capase-Dependent apoptosis ini berjalan melalui jaras intrinsik dan

ekstrinsik. Ada 2 jalur yang terlibat, yaitu

a) Jalur Intrinsik

Page 59: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

37

Pemicu apoptosis melalui jalur intrinsik adalah cell-stress yang merusak

fungsi mitokondria dan retikulum endoplasmik. Membran mitokondria mengalami

depolarisasi dan sitokrom c yaitu suatu enzim yang terletak di antara membran

dalam dan luar mitokondria akan keluar ke sitoplasma melalui suatu pori yang

disebut Mitochondrial Permeability Transition Pore (MPTP) (Werner dan

Engelhard, 2007).

Selain cell stres, glucocorticoid, radiasi, kekurangan makanan, infeksi

virus, dan hipoksia juga menjadi faktor pencetus. Pada sel yang sehat dijumpai

ekspresi protein Bcl-2 pada permukaan membran luar mitokondria. Bcl-2

mengelilingi / berbatasan dengan protein Apoptotic Protease Activating Factor-1

(APAF-1). Kerusakan dalam sel menyebabkan Bcl-2 melepaskan Apaf-1 dan

selanjutnya membuka MPTP yang melepaskan sitokrom c ke dalam cytosol.

Sitokrom c dan Apaf-1 akan mengikat molekul caspase-9. Hasil kompleks

sitokrom c, Apaf-1, caspase-9, dan ATP disebut apoptosome (Berridge, 2012).

Gambar 2.10 Aktivasi apoptosis dari dalam sel (Intrinsic Pathway) (Berridge et al.,

2012). Kejadian apoptosis intrinsik pada mitokondria yang berespon terhadap pelepasan

cytochrome c dan bentuk apoptosom. Kejadian kritis dari jalur intrinsik adalah pelepasan

cytochrome (Cyt c) melalui mekanisme yang masih perlu diteliti. Satu hipotesis berdasarkan bahwa

bentukan mitochondrial permeability transition pore (MTP) menyediakan suatu jalan lebar untuk

cytochrome c melalui outer mitochondrial membrane (OMM). Hipotesis yang lain adalah Cyt c

melalui channel bentukan dari polimerisasi factor-faktor apoptosis seperti Bak dan Bax, yang

merupakan anggota superfamily Bcl-2. Baik bukan Bax dan Bak dapat polimerisasi tergantung

jaringan kompleks interaksi dengan anggota yang lain dari superfamily Bcl-2. Bax dipertahankan

Page 60: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

38

oleh batasan terhadap faktor anti-apoptosis Bcl-2, tetapi aksi inhibisi dapat ditiadakan oleh faktor

pro-apoptotic Bim. Demikian juga, Bak dihambat oleh Bcl-XL, tetapi inhibisi ini dapat dikembalikan

oleh Bad. Kemampuan Bad untuk menyingkirkan Bcl-XL diatur oleh jalur signaling Ptdlns 3-kinase,

yang aksinya melalui protein kinase B (PKB) yang memfosforilasi bad, yang selanjutnya

dikeluarkan aksinya oleh ikatan dengan protein 14-3-3.

Apoptosome mengaktifkan caspase 3. Rangkaian aktivasi dari caspase

ini akan membuat protein dalam sitoplasma dan DNA kromosom mengalami

degradasi (Berridge et al, 2012).

b) Jalur Ekstrinsik

Jalur ini dipicu oleh ikatan dengan Death Receptor, yaitu reseptor yang

tergolong TNF-receptor family, seperti Fas receptor. Ligand yang dapat memicu

adalah FasL atau Apo-1/CD 95 dan TRAIL. Reseptor tersebut mempunyai bagian

yang disebut:

- Fas Associated Death Domain (FADD),

- TNF-receptor Associated Death Domain (TRADD) atau

- Caspase and RIP-adaptor with Death Domain (CRADD)

- Receptor Interacting Protein (RIP).

Saat diaktivasi, reseptor akan merekrut protein adaptor yang kemudian

merekrut pro-caspase 8 (precursor caspase 8) dan menjadikannya caspase 8

yang aktif. Caspase 8 akan mengaktifkan caspase 3 untuk mengeksekusi proses

selanjutnya. Caspase 8 dan 9 disebut initiator caspases atau upstream caspases

dan caspase 3, 6, dan 7 disebut executioner caspases atau down stream

caspases (Hoh, 2008).

Reseptor Fas berikatan dengan Fas ligand (FasL), yaitu suatu protein

transmembran. Interaksi antara reseptor Fas dan FasL membentuk death-

inducing signaling complex (DISC) yang berisi FADD, caspase-8, dan caspase-

10. Dalam interaksi tersebut terdapat dua tipe aktivasi kaskade caspase, yaitu

tipe I dan tipe II. Tipe I yaitu dengan pengaktifan caspase-8 maka akan terjadi

Page 61: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

39

aktivasi anggota lain dari caspase family yang berperan sebagai pencetus

apoptosis. Tipe II, yaitu ikatan Fas-DISC akan membentuk feedback loop untuk

menambah lepasnya faktor pro-apoptosis dari mitokondria dan memperkuat

aktivasi caspase-8. Fas diketahui memunyai dua jaras apoptosis. Daxx adalah

suatu Fas yang mampu menghambat Bcl-2. Jaras Fas yang lain adalah melalui

ikatan FADD, yang tidak menghambat Bcl-2 (Brunelle et al, 2009).

Sinyal faktor ekstrasellular seperti hormon, growth factor, nitric oxide, atau

sitokin mengaktivasi apoptosis melalui jaras ekstrinsik. Sinyal ini bisa menambah

atau menghambat proses apoptosis. TNF adalah suatu sitokin utama yang

diproduksi oleh makrofag aktif dan merupakan mediator ekstrinsik utama dari

apoptosis. Kebanyakan sel-sel dalam tubuh manusia mempunyai dua reseptor

untuk TNF, yaitu TNF-R1 dan TNF-R2. Ikatan terhadap reseptor TNF-R1 secara

tidak langsung dapat mengaktivasi faktor transkripsi yang terlibat dengan cell

survival (Berridge, 2012).

Homodimer pro-apoptosis Bax yang dibentuk pada membran luar

mitokondria diperlukan untuk membentuk saluran yang meningkatkan

permeabilitas membran mitochondria dan melepaskan aktivator caspase, seperti

sitokrom c dan SMAC (Secondary Mitochondrial Activator of Caspase) (Hoh,

2008).

Page 62: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

40

Gambar 2.11 Aktivasi apoptosis dari luar sel (Extrinsic Pathway) (Berridge, 2012).

Aktivasi Tumour necrosis factor α (TNF α) jalur apoptosis ekstrinsik. Ikatan apoptosis

seperti TNF α atau Fas ligand (FasL) terikat terhadap anggota family reseptor trimeric

TNF α (TNF αR atau Fas) untuk mengawali kaskade signaling ekstrinsik.

c) Cross-talk

Antara jalur intrinsik dan ekstrinsik bisa timbul kerjasama, misalnya

caspase 8 dapat membelah anggota famili Bcl-2 protein yang pro-apoptotik, yaitu

Bid. Bid yang terbelah ini (truncated Bid) bertranslokasi ke mitokondria dan

menyebabkan pelepasan sitokrom c dari mitokondria serta menimbulkan

perubahan konformasi pada Bax dan Bak (menyebabkan homo atau

heterodimerisasi) yang hasilnya juga dapat membocorkan sitokrom c (Berridge,

2012).

Demikian juga caspase 3 yang aktif dapat mengaktifkan caspase lain

seperti caspase 2, 6, 8, dan 10 dan dapat membelah procaspase 9 menjadi

caspase 9 yang aktif serta menciptakan amplifikasi dari jalur apoptotik melalui

suatu positive feed-back loop (Elmore, 2007).

Page 63: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

41

Gambar 2.12 Jalur apoptosis Intrinsik, Ekstrinsik dan Cross Talk (Berridge, 2012).

Antara jalur intrinsik dan ekstrinsik bisa timbul cross-talk, misalnya caspase 8 dapat

membelah Bid. Selanjutnya Bid tersebut bertranslokasi ke mitokondria dan menyebabkan

pelepasan sitokrom c dari mitokondria serta menimbulkan perobahan konformasi pada

Bax dan Bak yang hasilnya juga dapat melepaskan sitokrom c.

Tabel 2.1 Protein jalur eksekusi apoptosis (Elmore, 2007)

(ii) Caspase-Independent Apoptosis

Jalur ini tidak membutuhkan perantara caspase. Jalur ini mempunyai

mekanisme tersendiri menuju kematian sel. Yang berperan di sini adalah molekul

Page 64: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

42

protein mitokondria, yaitu apoptosis inducing factor (AIF) dan Endonuclease G

(Hoh, 2008).

Mitokondria masih memiliki beberapa jenis protein lainnya untuk

mencetuskan apoptosis antara lain HtrA2/Omi dan second mitochondrial

activator of caspases (Smac). Mitokondria juga memunyai senjata untuk

mendukung pengaruh faktor survival yang berfungsi menghentikan proses

apoptotik, yaitu inhibitors of Apoptosis Protein (IAP seperti celluar IAP-1, cIAP-2,

X-chromosome-linked IAP (XIAP). HtrA2/Omi dan Smac menghentikan aktifitas

IAP dan mendukung terjadinya apoptosis. Bcl-2 dan Bcl-xL adalah oncoprotein

yang bersifat antiapoptotik. Smac dan Htr2A/Omi memblokir kerja IAP

menghambat kerja XIAP sehingga mendukung terjadinya apoptosis. Hal ini

menunjukkan bahwa mitokondria merupakan salah satu pusat penentu hidup sel

(Berridge, 2012).

Gambar 2.13 Jaras caspase independent apoptosis (Hoh, 2008). Jalur Caspase

Independent Apoptosis. Jalur ini tidak membutuhkan perantara caspase, yang berperan

adalah molekul protein mitokondria, yaitu apoptosis inducing factor (AIF) dan Endonuclease G.

2.3.3 Abnormalitas Signal Sel Dan Kematian Neuron Pada TBI

Kematian neuron terjadi setelah ekperimental dan klinis TBI. Selain area

otak yang kontusio, hipokampus sangat rentan terhadap TBI. Jalur kematian sel

Page 65: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

43

diaktifasi oleh TBI termasuk kerusakan mitokondria, rilis sitokrom C dengan

aktifsi kaspase, rilis AIF dan jalur receptor- couple pro-death. Neurotransmiter,

neurotropin, sitokin, growth factor, dan stress oksidatif akan mengaktifasi signal

aktivasi pro-survival dan pro-death. Reseptor berpasangan tersebut untuk signal

jalur tranduksi termasuk interaksi dn cross-talk diantara multiple serin dan

kaskade protein tirosin kinase (Zasler et al.,2007).

Beberapa kinase termasuk proses kematian sel seperti serin atau

threonin protein kinase. Partisipan penting pada kaskade kematian sel yaitu

mitogen activated protein kinase (MAPK). Kaskade MAPKs dimediasi oleh

protein kinase yang berurutan diaktifasi oleh fosforilasi. Komponen yang terlibat

dalam kaskade kematian sel yaitu, jun kinase (JNK) dan 38 MAPK. Jalur JNK

dan p38 mengaktifasi kaspase 3. Aktifasi JNK mengawali induksi dari gen pro

death termasuk PasL. JNK meningkatkan p53 dan Bax dan kematian sel juga

meningkat. Fungsi JNK dan p38 berbeda jalur signalnya dan faktor transkripsi

nuklear diaktifasi oleh stimulasi pro death seperti stress oksidasi (Zalmer et

al.,2007)

Kaskade protein kinase memiliki peranan penting. Phosphoinositide 3

kinase (PI3-K), protein kinase B (PKB) dan protein kinase A (PKA) merupakan

contoh dari protein kinase. PKB disebut juga sebagai akt, suatu nomenklatur

kompleks dari kinase yang berkembang pada beberapa proses penyakit. PKB

diaktivasi oleh respon PI4 pada signal survival, dan pro survival, pertumbuhan,

aksi plastisitas sinaps. PKB mempengaruhi survival dari sejumlah mekanisme

termasuk posforilasi dan inaktivasi dari mediator pro death seperti Bad. Bad

merupakan anggota dariBcl-2 dimana diposporilasi oleh PKB pada ser136 yang

menghasilkan disosiasi Bad dari Bcl-xL dan mengikat protein yang menghambat

kematian sel (Faul et al, 2008).

Page 66: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

44

Gambar 2.14 Mekanisme proses kematian sel melalui peranan mitogen-activated

protein kinases (MAPK) dalam mentraduksi sinyal yang terlibat dalam kematin sel.

(Zalmer et al.,2007). Stres oksidatif memicu aktivasi MAPK dengan mengaktifkan jun

kinase (JNK) yang merupakan mediator terjadinya kematian sel dan dimediasi oleh

beberapa mekanisme termasuk reseptor kematian sel (Fas-L, p53 dan Bax).

Gambar 2.15 Mekanisme peranan kelangsungan hidup sel (survival cell) melalui

aktivasi sinyal kinase (Zalmer et al.,2007). Jalur yang terlibat adalah Phosphoinositide

3-kinase (PI3-K), protein kinase B (PKB), dan proteinkinase A (PKA). PKB

mempengaruhi kelangsungan hidup sel melalui beberapa mekanisme termasuk

fosforilasi dan inaktivasi mediator pro-kematian Bad. Fosforilasi Bad menghambat Bcl-xL.

Aktivasi CAMP melalui PKA juga dapat menyebabkan pembentukan faktor transkripsi

cAMP response element binding protein (CREB), yang juga menyebabkan kelangsungan

hidup sel (cell survival).

Page 67: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

45

2.4 Catechins Teh Hijau (Green Tea Catechin, GTC)

Catechins adalah senyawa dominan teh hijau yang merupakan senyawa

sukar larut air dingin, tidak berwarna dan memberikan rasa pahit (Alamsyah,

2006). Komponen catechins ini lebih banyak terdapat dalam teh hijau

dibandingkan teh hitam. Dalam teh hitam, sebagian besar catechins dioksidasi

menjadi teaflavin dan tearubigin (Hartoyo, 2009).

Catechins bersifat asam lemah (pKa1 =7.72 dan pKa2=10.22). tidak stabil di

udara terbuka, mudah teroksidasi pada pH mendekati netral dan mudah terurai

oleh cahaya dengan laju reaksi lebih besar pada pH rendah. (Lucida, 2009)

2.4.1 Jenis Teh

Secara umum, terdapat 4 jenis teh, yaitu

a. Teh hijau

Teh Hijau adalah teh yang tidak melewati proses oksidasi enzimatik.

Teh jenis ini paling populer dan dipercaya berkhasiat untuk

kesehatan. Setelah daunnya dipetik, kemudian memasuki tahapan

pelayuan kemudian disangrai untuk mencegah terjadinya proses

oksidasi pada daun. Proses terakhir adalah pengeringan daun, agar

keharuman dan warna hijaunya tetap terjaga.

b. Teh oolong

Teh oolong merupakan teh semioksidasi enzimatis. Proses

pengolahannya setelah dipetik, daun dijemur dibawah sinar matahari

agar layu. Proses ini ditujukan untuk menurunkan kadar air dan

membuat daun lebih lembut. Kemudian daun digiling untuk

mengeluarkan airnya diikuti proses oksidasi enzimatik yang pendek

sebelum dikeringkan di oven. Setelah diproses, warna daunnya

berubah menjadi seperti tembaga dengan citarasa ringan, antara teh

hijau dan teh hitam.

Page 68: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

46

c. Teh hitam

Teh hitam merupakan teh yang mengalami proses oksidasi enzimatis

sempurna. Proses pengolahannya dimulai dengan pelayuan selama

12-18 jam. Proses ini untuk mengurangi kadar air dalam daun.

Setelah pelayuan, dilakukan penggilingan. Hancurnya membran daun

saat penggilingan menyebabkan keluarnya sari teh dan minyak

essensial sehingga memunculkan aroma khas

d. Teh Putih

Teh putih adalah teh yang dibuat dari pucuk dain yang tidak

mengalami proses oksidasi dan sebelum dipetik, daun dilindungi dari

sinar matahari untuk menghambat pembentukan klorofil.

(Heroniaty, 2012)

Teh hijau dikelompokkan menjadi tiga tipe berdasarkan perbedaan

derajat fermentasinya, yaitu teh hijau (non fermentasi), oolong (semi fermentasi),

dan teh hitam (fermentasi). Terdapat empat tahap dalam memproses teh. Teh

awalnya dipetik dan dibiarkan sedikit dikeringkan, lalu dipanggang untuk

menginaktivasi enzim enzim polyphenol oxydase dan glycosidase dan

menghentikan proses fermentasi. Kemudian daun teh digulung, dikeringkan dan

dikemas. Pembuatan teh hitam lebih rumit, karena melalui fermentasi berulang

dan kemudian dipanggang hingga berwarna coklat kehitaman. Teh oolong

mengalami fermentasi lebih singkat daripada teh hitam. Proses oksidasi teh

menghasilkan tannins. Tannins terdiri dari fenolic acid, gallic acid, poluols, dan

polimer partikel flavonoid sederhana (Gramza et al., 2005).

Selama fermentasi, catechins mengalami oksidasi oleh enzim polyphenol

oxidase. Akibatnya catechins menjadi quinones dan mengalami polimerisasi

menjadi struktur yang lebih kompleks, yaitu theaflavins, thearubigens, dan

molekul dengan massa yang lebih besar. Theaflavins dan kandungan gallate-nya

Page 69: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

47

terjadi karena kondensasi EC dan EGC. Fermentasi menurunkan kadar

catechins dan meningkatkan kadar gallic acid (Gramza et al., 2005).

Catechins diekstrak dengan menggunakan etil asetat (Yashin et al.,

2012). Catechins kualitas terbaik didapatkan dengan mengekstraksi pada suhu

77-800C. Molekul EC dan EGC yang berukuran lebih kecil diekstraksi lebih cepat

dibandingkan dengan EGCG dan ECG. Peningkatan pH juga dapat menurunkan

kadar catechins, namun meningkatkan kadar caffeine. Peningkatan kadar

caffeine disebabkan karena adanya degradasi theaflavins dari agregat caffeine-

theaflavin (Gramza et al., 2005).

2.4.2 Morfologi GTC

Camellia sinensis mengandung catechins sebesar 25-35% (Sutherland et

al., 2006). Klon GMB-4 Camellia sinensis memiliki kadar catechins 14-16%

(Susanti et al., 2015). Komponen lain pada teh adalah protein (15% berat kering),

karbohidrat (5-7% berat kering), mineral (5% berat kering), serta sedikit

komponen lemak, sterol, vitamin, xanthic base (caffein), pigmen, dan bahan

volatil (Chacko et al., 2010).

Catechins adalah derivat dari flavan dan ditandai dengan derajat oksidasi

pada cincin heterosiklik tertinggi dan larut air. Bentuk terbanyak dari catechins

adalah ester gallic acid, yaitu (-)-epigallocatechin-3-gallate (EGCG). Selain itu

juga didapatkan (-)-epigallocatechin (EGC), (-)-epicatechin (EC), (+)-catechin (C),

(-)-gallocatechin (GC), dan (-)-epicatechin-3-gallate (ECG) (Mandel dan Youdin,

2004). Catechins yang termetilasi antara lain (-)-epigallocatechin-3-(3-O-

methylgallate) dan (-)-epigallocatechin-3-(4-O-methylgallate). Teh merupakan

satu-satunya tanaman yang mengandung EGCG (Gramza et al., 2005;

Sutherland et al., 2006).

Page 70: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

48

Kandungan EGCG dari minuman teh hijau kemasan bervariasi hingga

50%. Perbedaan kandungan EGCG dapat disebabkan karena perbedaan

komposisi polifenol pada daun teh, maupun proses pembuatan minuman.

Kandungan catechins didapatkan lebih tinggi pada daun teh yang lebih muda

(Gramza et al., 2005).

Ekstrak teh hijau ditargetkan untuk menjadi peluang dalam aktivitas

kardiovaskuer, antikarsinogenik, dan anti inflamasi melalui mekanisme

antioksidan dan aksi iron-chelating, serta dalam modulasi metabolisme endogen

dan enzim antioksidan. Selain mekanisme di atas, catechins juga memiliki sifat

neuroprotektif melalui mekanisme pleiotropik pada intraseluler. Antara lain,

melalui regulasi homeostasis kalsium, aktivasi MAPK, enzim detoksifikasi

antioksidan fase II, serine/threonine protein kinase AKT dan protein kinase C,

serta memodulasi beberapa gen pertahanan sel atau siklus sel. EGCG juga

membantu dalam memetabolisme protein prekursor amiloid melalui jalur α-

secretase sehingga mengurangi pembentukan fibril β-amyloid (Mandel and

Youdim, 2004).Catechins biasanya disebut juga asam catechoat dengan rumus

kimia C15H14O6, tidak berwarna, dan dalam keadaan murni sedikit tidak larut

dalam air dingin tetapi sangat larut dalam air panas, larut dalam alkohol dan etil

asetat, hampir tidak larut dalam kloroform, benzen dan eter. Selain itu, Catechins

berbentuk kristal halus menyerupai jarum, larut dalam air mendidih dan alkohol

dingin (Heroniaty, 2012)

Catechins dalam larutan asam asetat akan membentuk larutan yang

bening, tetapi jika direaksikan dengan besi klorida (FeCl3) akan membentuk

cairan berwarna hijau. Catechins merupakan senyawa fenolik yang komplek

(polifenol). Catechins memiliki dua atom karbon yang simetris yang membuatnya

memiliki 4 isomer, yaitu (+) catechins, (-) catechins, (+) epicatechins dan (-)

epicatechins. (+) catechins dan (-) epicatechins paling banyak terdapat di alam.

Page 71: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

49

Catechins dan epicatechins memiliki tiga jenis turunannya, yaitu catechins galat,

galocatechins, galocatechins galat, epicatechins galat dan epigalocatechins

galat. Struktur catechins dan turunannya, sebagai berikut, (Heroniaty, 2012)

Gambar 2.16 Struktur Catechins dan turunannya.

2.4.3 Sifat Catechins

Tabel 2.2 Sifat Fisika dan Sifat Kimia Senyawa Catechins

Sifat Fisika Sifat Kimia

- Warna: putih

- Melting point: 104-106 ºC

- Boiling point: 254 ºC

- Tekanan uap: 1 mm Hg pada 75 ºC

- Densitas uap:3,8 g/m3

- Flash point: 137 ºC

- Eksplosion limit:1,79 %

- Sensitif terhadap oksigen

- Sensitif terhadap cahaya (dapat

mengalami perubahan warna

apabila mengalami kontak

langsung dengan udara terbuka)

- Substansi yang dihindari: unsur

oksidasi, asam klorida, asam

anhidrida, basa, dan asam nitrit.

- Larut dalam air hangat

- Stabil dalam kondisi agak asam

atau netral ( pH optimum 4-8)

Sumber: Micheal dan Irene, 1997 dan Alamsyah, 2006.

Page 72: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

50

2.4.4 Manfaat Catechins

Catechins teh hijau memiliki beberapa manfaat, diantaranya adalah

berpotensi sebagai termogenesis sehingga mampu meningkatkan pembakaran

kalori dan lemak dalam tubuh yang berkhasiat terhadap penurunan berat badan

(Nagao et al., 2005), menurunkan kadar kolesterol total, kolesterol LDL,

trigliserida dan berat badan yang bermakna dibandingkan dengan control

perlakuan pada tikus putih jantan (Dirghantara, 1994), menghambat

terbentuknya tumor kelenjar mamma pada tahap promosi (Gunawijaya dkk.,

1999), antiinflamasi dan antioksida (Gu, 2006), antibakteri, antitumor, dan

antivirus (Nakagawa, 2005).

2.4.5 Catechins sebagai Antiinflamasi dan Antioksidan

Arundina (2013), pernah meneliti tentang efek anti inflamasi catechins

pada marmot dengan metode pembentukan oedema yang diinduksi suspensi

karagenik menunjukan hasil pada pemberian catechins dosis 100 dan 200

mg/kgBB mempunyai daya antiinflamasi tetapi efeknya lebih kecil dari aspirin.

Catechins mampu berperan sebagai antiinflamasi dengan menghambat oksidasi

asam arakhidonat menjadi endoperoksida dan menurunkan aktivitas enzim

lipoksigenase. Dengan adanya hambatan pada oksidase asam arakhidonat,

maka mediator proinflamasi tidak terbentuk pros

Potensi antioksidan senyawa catechins secara langsung berhubungan

dengan kombinasi cincin aromatis dan kelompok hidroksil yang membangun

struktur catechins dan sebagai hasilnya adalah mengikat dan menetralkan radikal

bebas oleh grup hidroksil. Sebagai tambahan, polifenol teh hijau mendorong

aktivitas detoksifikasi komponen xenobiotika, dan juga dapat mengikat (kelator)

ion logam seperti besi yang mana dapat mengakibatkan radikal bebas oksigen

(Imannulkhan, 2006).

Page 73: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

51

2.4.6 Cathecins sebagai Neuroprotektan

Pada penelitian yang dilakukan oleh Zhang et al., (2015) ditemukan

bahwa EGCG pada CTG menunjukkan fungsi penghambatan yang bermakna

pada pembentukan edema serebri pada cedera otak traumatik dan menurunkan

permeabilitas vaskular. Inflamasi yang diinduksi oleh cedera otak traumatik juga

terbukti dapat dihambat oleh pemberian EGCG. Terlebih lagi, pemberian EGCG

dapat menghambat ekspresi AQP4, protein kanal air yang diekspresikan dengan

kuat di otak, dominan di kaki astrosit di sekitar kapiler, dan GFAP, protein yang

menginduksi astrogliosis, pada jaringan otak yang cedera. Sebagai antioksidan,

EGCG mampu memperbaiki stress oksidatif pada cedera otak traumatika dengan

menghambat translokasi p47 phox dari sitoplasma ke membran plasma.

Patofisiologi khusus pada cedera otak traumatika aadalah disfungsi

metabolik serebri, eksitotoksisitas, stres oksidatif, edema serebri, inflamasi dan

kematian sel. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa EGCG dapat mengurangi

kerusakan BBB dan stres akut pada otak. Terlebih lagi, EGCG telah terbukti

mampu menembus BBB dan mencapai parenkim otak. Data penelitian

menunjukkan bahwa pemberian ECGC sebanyak 100 mg/kgBB dapat

menurunkan kandungan air intrakranial dan juga memperbaiki permeabilitas

vaskular (Zhang et al., 2015).

Selain itu, EGCG juga dilaporkan mampu melindungi neuron dengan

meregulasi glutamat, mediator inflamasi. EGCG, juga terbukti memiliki aktivitas

antioksidan dengan menghambat oskidasi NADPH, yang berperan pada cedera

otak sekunder dengan memediasi stress oksidatif, dengan menghambat

translokasi p47phox (Zhang et al., 2015).

Page 74: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

52

2.4.7 Farmakologi Catechins

2.4.7.1 Farmakokinetik Catechins

2.4.7.1.1 Absorbsi Catechins

Tidak semua polifenol diabsorbsi pada efisiensi yang sama. Flavonoid

aglycone (tidak mengandung gula) dapat diabsorbsi pada usus kecil Tetapi,

kebanyakan flavonoid berada dalam bentuk glikosida, ester dan polimer

sehingga tidak dapat diabsorbsi langsung. Untuk dapat dicerna, flavonoid

mengalami hidrolisis oleh enzim lambung atau flora dalam saluran cerna.

Polifenol mengalami konjugasi pertama pada usus kecil dan konjugasi berikutnya

terjadi di liver. Pada saat konjugasi terjadi metilasi, sulfasi, dan glukoronidasi

(Yashin et al., 2012). Galloylasi pada catechins menurunkan absorbsinya

(Manach et al., 2005).

Catechins yang tidak diserap pada usus kecil, mencapai usus besar.

Pada usus besar, catechins didegradasi oleh enzim bakteri menjadi molekul yang

lebih kecil, seperti asam oxiaromatik, sehingga dapat diabsorbsi. Metabolit dari

mikroba antara lain 5-(3’,4’,5’-trihydroxyphenyl) valerolactone, 5-(3’,4’-

dihydroxyphenyl) valerolactone, dan 5-(3’,5’-dihydroxyphenyl) valerolactone

dalam bentuk terkonjugasi. Metabolit ini muncul lebih lambat pada plasma dan

memiliki waktu paruh panjang, sehingga dapat meningkatkan durasi kerja

catechins (Yashin et al., 2012).

2.4.7.1.2 Distribusi Catechins

Catechins memiliki berat molekul yang cukup besar (antara 300-450

g/mol), sehingga memiliki bioavailabilitas yang rendah. Dari 100-200 mg

catechins yang dikonsumsi, kadar yang berada pada plasma tidak melebihi 1 μM.

Konsentrasi total catechins, baik yang bebas maupun terkonjugasi, tidak melebihi

2-3 μM. Pada manusia, hanya 0,2-2% catechins yang dikonsumsi yang

Page 75: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

53

terdeteksi pada plasma dengan menggunakan HPLC. Pada penelitan lain,

EGCG terdeteksi sebesar 6 mg di darah pada konsumsi sebanyak 82 mg (kadar

kurang dari 7%) (Yashin et al., 2012).

Karena mengalami biokonversi di usus, catechins pada plasma dan urine

terdapat pada bentuk konjugat. Beberapa konjugat memiliki substituen hidroksil

yang intak. Hidroksil tersebut dapat menangkap radikal bebas superoksida dan

efisiensinya tetap tinggi. Oleh karena itu, meskipun bioavailabilitasnya rendah,

catechins dapat memiliki efek yang luar biasa dalam banyak penyakit (Yashin et

al., 2012).

Jumlah EGCG yang diukur pada organ-organ penting berkisar

sepersepuluh dari kadar EGCG pada darah, termasuk pada otak. Hal itu

menunjukkan bahwa EGCG dapat menembus sawar darah otak (Smith, 2011).

(+)-catechin ditemukan terakumulasi pada korteks serebri dan hipothalamus

pada binatang coba tikus (Huang et al., 2011).

2.4.7.1.2.1 Masuknya Catechins pada Sawar Darah Otak

Salah satu penentu bioavailabilitas flavonoid di otak adalah

kemampuannya menembus sawar darah otak. Catechins dapat menembus blood

brain barrier, terutama yang bersifat non polar dan lipofilik. Namun, terdapat pula

catechins yang mengalami glukoronidasi dan polar yang dapat menembus sawar

darah otak. Masuknya catechins ke dalam otak juga dapat dimodulasi oleh

transporter efluks pada sawar darah otak, misalnya melalui P-glycoprotein

(Farooqui, 2012).

Terdapat beberapa model sel in vitro untuk meneliti transfer flavonoid

melalui sawar darah otak. Beberapa model tersebut antara lain ECV 304

(merepresentasikan sisi perifer sawar darah otak) yang di ko-kultur dengan sel

glioma C6 (merepresentasikan sisi sistem saraf pusat), bEND5, dan RBE4.

Page 76: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

54

Berdasarkan model ini flavanoid dapat menembus lapisan sel endotel. Flavanoid

yang termetabolisir, yaitu mengalami glukoronidasi derivat O-metilasi, juga dapat

menembus sel endotel. Tampaknya, sel-sel ini dapat mendekonjugasi derivat

glukoronidasi menjadi bentuk aglikon sehingga dapat memasuki sel glia dan

akhirnya masuk otak. Isomer (+)-catechin dan (-)-epicatechin ditemukan dapat

menembus sawar darah otak dengan perbedaan signifikan. Diduga terdapat

proses stereo-selektif dalam masuknya flavanol ke dalam sawar darah otak

karena perbedaan efluks dari sel. Ditemukan konjugasi asam glukoronat dari (+)-

catechin dan (-)-epicatechin pada sisi basolateral, menunjukkan sel dapat

memetabolisme zat tersebut. hCMEC/D3 cell line, yaitu endotel mikrovesel

serebri imortal pada manusia, juga menunjukkan bahwa flavan-3-ol dapat

menembus sawar darah otak dan memetabolisme glukoronidasi. Flavan-3-ol

yang termetilasi juga dapat menembus sel ini dengan efisien. Karena bentuk

flavan-3-ol dengan termetabolisir O-metilasi terdapat pada in vivo, maka bentuk

ini dapat memasuki otak dan flavonoid dapat berefek pada otak. Bioavailabilitas

epicatechin dalam bentuk metabolit O-metilasi dan glukoronidasi ditemukan pada

otak tikus setelah diberikan peroral. EGCG juga ditemukan di dalam otak setelah

pemberian intravena (Faria et al.,, 2012). Flavonoid rata-rata didapatkan pada

jaringan otak dengan kadar kurang dari 1 nmol/gram jaringan. Flavonoid

didapatkan tersebar pada seluruh jaringan otak dan tidak terakumulasi pada area

tertentu, sehingga flavonoid dapat menjadi kandidat neuroprotektif langsung di

otak (Vauzour, 2012).

2.4.7.1.3 Metabolisme Catechins

Catechins dimetabolisme dengan glukoronidasi, metilasi, dan sulfonasi

menjadi komponen yang lebih hidrofilik. Proses metabolisme tersebut melalui

mekanisme enzimatik (Yashin et al., 2012). Pada manusia, EGCG dimetilasi oleh

Page 77: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

55

enzim liver catechol-O-methyltransferase (COMT) dan mengurangi aktivitas

EGCG. EGCG dimetilasi menjadi 4’.4”-di-O-methyl-EGCG, EGC dimetilasi

menjadi 4’-O-methyl-EGC, sedangkan (+)-catechin dimetilasi pada posisi 3’-.

Analisis dari catechins kebanyakan dihitung dari catechins yang tidak berubah,

sedangkan metabolit termetilasi tidak teranalisis (Manach et al., 2005). Akan

tetapi, EGCG lebih banyak ditemukan dalam bentuk bebas (77-90%). Catechins

lainnya berada dalam bentuk konjugat dengan asam glukoronat dan sulfat

(Manach et al., 2005; Yashin et al., 2012).

2.4.7.1.4 Eliminasi Catechins

Catechins mayoritas dieliminasi dari tubuh melalui urin dan sisanya

melalui empedu. Pada urine terdeteksi metabolit flavan-3-ol dan bentuk asam

gallat yang tidak termetabolisme. Urine mengandung 7,2% dari metabolit flavan-

3-ol yang dikonsumsi dan 4,5% asam gallat. Metabolit yang tertinggi antara lain

epicatechins sulfate, methyl-epicatechins sulfate, epicatechin glucuronide,

epigallocatechin glucuronide, dan methyl-epigallocatechin glucuronide (Yashin et

al., 2012). Pada penelitian di tikus, EGCG dieksresikan melalui empedu (Manach

et al., 2005).

2.4.7.2 Waktu Paruh, Onset, Puncak, Durasi Catechins

Catechins terdeteksi pada plasma darah 1-2 jam setelah dikonsumsi.

Waktu paruh rata-rata dari catechins adalah 2-3 jam (Yashin et al., 2012). Waktu

paruh catechins pada tikus lebih singkat, sedangkan waktu paruh pada mencit

sama dengan pada manusia. Pada mencit, sepertiga dari EGCG yang

dikonsumsi dieliminasi melalui feces dalam 24 jam pertama (Smith, 2011).

Metabolit catechins mulai terdeksi pada urine 4 jam setelah konsumsi.

Puncak konsentrasi metabolit epicatechins sulfate dan methyl-epicatechins

Page 78: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

56

sulfate terdeteksi setelah 10 jam. Konsentrasi epigallocatechins terus meningkat

hingga lebih dari 24 jam setelah dikonsumsi. Ekskresi EGCG lebih lambat

(Yashin et al., 2012).

2.4.7.3 Farmakodinamik Catechins

Catechins dapat mempengaruhi absorbsi zat besi, terutama pada pasien

dengan risiko defisiensi besi. Efek catechins terhadap ion lainnya tidak diketahui.

Catechins dapat mempengaruhi absorbsi dan metabolisme ion karena flavanoid

berinteraksi dengan ion metal (Chacko et al., 2010).

2.4.7.3.1 Toksisitas Catechins

Konsumsi teh hijau pada manusia dengan dosis tinggi tidak menunjukkan

efek samping (Chacko et al., 2010). Berdasarkan penelitian dari Hsu et al.

(2011), pemberian ekstrak teh hijau hingga 2500 mg/kgBB per hari selama 28

hari tidak menyebabkan timbulnya efek samping pada mencit.

Disebutkan pada penelitian lain bahwa EGCG merupakan zat yang

sitotoksik. Konsumsi EGCG dosis tinggi dapat bersifat sitotoksik pada hepatosit.

EGCG dosis tinggi juga dapat merusak DNA pada pankreas dan liver hamster.

Dosis tinggi ekstrak teh hijau juga dapat menyebabkan pembesaran kelenjar

tiroid (goiter) pada tikus normal (Chacko et al., 2010).

2.4.7.3.2 Aktivitas dan Manfaat Catechins

Efek utama dari polifenol di otak adalah (1) menghambat pelepasan

sitokin pro inflamasi oleh glia teraktivasi, (2) menghabat induksi iNOS dan

produksi NO akibat aktivasi glia, (3) menghambat aktivasi NADPH oksidase dan

pembentukan ROS oleh glia teraktivasi, dan (4) menurunkan aktivitas faktor

transkripsi proinflamasi seperti NFκB oleh glia dan kaskade signaling pathway

Page 79: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

57

neuron seperti MAPK. Produksi NO berlebihan, terutama yang diproduksi oleh

mikroglia dan astrosit, dapat menginduksi kematian neuron melalui kerusakan

transpor elektron di mitokondria sehingga terjadi penurunan sintesis ATP dan

peningkatan produksi ROS. Neurotoksisitas dari mikroglia mengaktifkan NADPH

oksidase yang memediasi produksi superoksida dan pelepasan molekul pro

inflamasi, seperti TNFα. NO dan superoksida tersebut dapat bereaksi

membentuk radikal peroksinitrit. Peroksinitrit tersebut menghambat respirasi

mitokondria, menginduksi apoptosis bergantung caspase dan menginduksi

pelepasan glutamat. Akibatnya semakin terjadi eksitotoksisitas dan

menyebabkan kematian neuron. TNFα yang dihasilkan berikatan dengan TNRF1

dan menyebabkan apoptosis neuron melalui jalur ekstrinsik. Jalur lain yang

penting dari efek biologis polifenol adalah penghambatan faktor transkripsi famili

forkhead (FoxO) yang teraktiasi oleh stress oksidatif. Hambatan aktivasi famili

FoxO dapat meregulasi apoptosis dengan mengaktifkan Bcl-2 anti apoptosis

(Vauzour, 2012).

Catechins memiliki peran sebagai antioksidan dan antiinflamasi.

Bioavailabilitas catechins dapat ditentukan melalui beberapa metode, antara lain;

peningkatan aktivitas antioksidan pada plasma darah setelah konsumsi,

penghitungan langsung catechins pada cairan tubuh dan organ-organ tertentu 1-

2 jam setelah konsumsi, dan menentukan efek dari catechins dengan menilai

penanda penurunan stress oksidatif. Penanda yang digunakan antara lain 8-

hydroxydeoxyguanosine (8-OhdG), derivat tirosin, malondialdehyde, F2-

isoprostane, dan phosphatidylcholine hydroperoxide (РСООН). Konsumsi

catechins selama tujuh hari dapat menurunkan konsentrasi 8-OhdG dan

malondialdehyd (MDA) pada urine, F2-isoprostane, dan PCOOH pada plasma

(Yashin et al., 2012).

Page 80: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

58

Aktivasi NFkB memediasi protein mediator dalam proses inflamasi.

Catechins diduga mampu menekan aktivasi NFkB, sehingga sitokin sitokin

proinflamasi, seperti TNF-α dan IL-1β, tidak menunjukkan kenaikan ekspresi.

Selain itu, juga terjadi penurunan produksi NO yang diinduksi iNOS, pada tikus

model cedera medula spinalis traumatik yang diberikan ekstrak teh hijau

dibandingkan kelompok yang tidak diberikan ekstrak teh hijau (Paterniti et al.,

2009).

PARP Suicide Hypothesis adalah istilah yang digunakan untuk

menggambarkan jalur hubungan ROS merusak DNA, menginduksi mekanisme

perbaikan DNA, mengaktifkan enzim nuklease PARP, yang menyebabkan

deplesi substrat NAD+ dan menurunkan glikolisis. Karena NAD+ berfungsi

sebagai kofaktor glikolisis dan TCA, deplesi NAD+ menyebabkan ATP

intraseluler sangat menurun. Pemberian ekstrak teh hijau yang mengandung

catechins, telah menunjukkan menghilangkan peningkatan aktivitas PARP

(Paterniti et al., 2009).

Anggota flavan-3-ol, memiliki efek berbeda pada otak. Epicatechin (EC)

dan catechins (C) dapat menghambat pelepasan TNFα, tetapi tidak menurunkan

ekspresi iNOS dan produksi NO pada sel glia. Epicatechin (EC) dan catechins

(C) juga tidak dapat menghambat NADPH oksidase (Vauzour, 2012). Pemberian

epicatechins sebelum induksi neurotoksik dapat menghambat produksi TNF dan

NFκB serta menurunkan aktivasi iNOS (Mohamed, Karam and Amer, 2011).

EGCG dapat menghambat pelepasan TNFα, menghambat aktivasi iNOS, serta

menurunkan aktivasi PARP (Khalatbary and Ahmadvand, 2011). EGCG juga

diketahui dapat menurunkan ekspresi aquaporin 4 (kanal air pada sawar darah

otak) sehingga dapat mengurangi edema otak. Selain itu EGCG juga dapat

menurunkan ekspresi GFAP yang menunjukkan penurunan glia yang teraktivasi

(Zhang et al., 2015).

Page 81: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

59

Hasil penelitian Kaul dan Khanduja menemukan bahwa polifenol

menghambat produksi superoxide anion radical (SOR) yang diinduksi benzoil

peroxide (BPO). Penghambatan xantin oxidase (XO) juga dapat dilakukan oleh

EGCG. Efek antiinflamasi EGCG dan catechins ditunjukkan dengan hambatan

pada jalur NFκB dan AP-1 (Ekawati et al., 2012). Pemberian EGCG pada cedera

spinalis dapat menurunkan ekspresi Bax dan meningkatkan ekspresi Bcl-2

setelah trauma (Khalatbary, 2014).

EGCG memodulasi jalur apoptosis dengan melindungi dari stress

oksidatif. Beberapa sekuens apoptosis yang dihambat oleh EGCG antara lain

adalah caspase-3, pelepasan sitokrom C, poly(ADP-ribosome) polymerase

cleavage, jalur glycogen kinase synthase kinase-3 pathway, dan memodulasi

sinyal sel melalui jalur phosphatidyl inositol-3 kinase (PI3K/Akt), sehingga sel

tetap hidup. Catechins juga memodulasi apoptosis dengan mempengaruhi gen

pro-apoptosis dan anti-apoptosis. EGCG menghambat ekspresi gen pro-

apoptosis Bax, Bad, dan Mdm2 serta menginduksi ekspresi gen anti-apoptosis,

yaitu Bcl-2, Bcl-w, dan Bcl-xl, sehingga melindungi sel dari apoptosis. EGCG juga

mempromosi kehidupan sel dengan menjaga jalur protein kinase c dan

extracellular signal-related kinase ½ pathway (Sutherland et al., 2006).

Selain sebagai antioksidan dan antiinflamasi seperti tersebut diatas,

catechins juga dapat menurunkan kadar kolesterol, LDL, dan trigliserida.

Mekanisme penurunan tersebut adalah dengan cara meningkatkan aktivitas

lipoprotein lipase, sehingga katabolisme lipoprotein kaya trigliserida seperti VLDL

dan IDL meningkat. Kadar kolesterol HDL meningkat secara tidak langsung

akibat menurunnya kadar trigliserida VLDL atau karena meningkatnya produksi

apo AI dan apo AII. Efek penurunan kolesterol LDL diduga berhubungan dengan

meningkatnya bersihan VLDL dan IDL dalam hati sehingga produksi LDL

menurun (Ekawati et al., 2012). Selain manfaat yang jelaskan di atas, catechins

Page 82: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

60

juga dikenal dengan manfaat sebagai antibakteri, antidiabetes, antivirus,

antimalaria, hepatoprotektan, neuroprotektan dan kardioprotektan (Chaturvedi

and Mishra, 2012).

Konsumsi catechins jangka panjang dapat meningkatkan aktivitas UDP-

glucuronosyl transferase pada tikus. Peningkatan aktivitas UDP-glucuronosyl

transferase diduga berperan pada efek antikarsinogenik dari catechins. Terdapat

interaksi antara catechins dengan 2-amino-3-methylimidazol (4,5-f) quinoline

(IQ). IQ merupakan prekarsinogen yang awalnya ditemukan pada daging yang

digoreng. Pada tikus, IQ dimetabolisme di sitokrom P450 diikuti dengan

konjugasi. Catechins memodifikasi metabolisme IQ menjadi IQ glucoronide yang

dapat diekskresikan melalui urine (Chacko et al., 2010). Pemberian catechins

yang bersamaan dengan caffein dapat menurunkan sulfonasi dan glukoronidasi

dari EGCG (Yashin et al., 2012). Pemberian larutan EGCG pada kulit dapat

menurunkan pembentukan cyclobutane pyrimidine dimer (CPD) akibat papatan

radiasi ultraviolet yang bersifat karsinogenesis (Yashin et al., 2012).

2.4.7.3.3 Efek Pemberian Catechins pada Cedera pada Sistem Saraf Pusat

Nutrisi diteliti atas efektivitasnya terhadap terapi cedera otak dan cedera

terkait cedera otak misalnya hipoksia, kejang, dan perdarahan sehingga

merupakan terapi penunjang dalam penatalaksanaan cedera kepala. Nutrisi

dipilih berdasarkan perannya dalam mengembalikan energi seluler, menurunkan

stress oksidatif dan inflamasi, dan perbaikan serta kesembuhan dari cedera.

Nurtrisi yang teridentifikasi antara lain asetil KoA, antioksidan, asam amino rantai

cabang, kolin, kreatin, diet ketogenik, magnesium, nikotinamid adenin

dinukleotida, asam lemak n-3, polifenol, vitamin D dan zink (Erdman et al., 2011).

Pada penelitian yang dilakukan Paterniti et al., (2009) pada tikus model

cedera spinal, catechins terbukti memberikan manfaat pada derajat kerusakan

Page 83: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

61

medulla spinalis dan memperbaiki gangguan motoris. Cedera medula spinalis

memicu kejadian yang mengarah pada kerusakan sel neuron sekunder, seperti

halnya cedera otak yang juga melibatkan aktivitas oksidan ROS dan sebagainya.

Sehingga pemberian catechins yang berfungsi sebagai free radical scavanger,

dapat bekerja sebagai antioksidan dan memiliki efek neuroprotektan.

Masih dari penelitian yang sama, cedera medula spinalis traumatis, juga

memicu terjadinya peroksidase lipid. Pada penelitian tersebut kadar

Malondialdehyde (MDA) dievaluasi, dan pada kelompok yang diberikan ekstrak

teh hijau juga ditemukan penurunan kadar MDA yang bermakna, pada kelompok

Sham procedure, tidak ada peningkatan MDA sama sekali (Paterniti et al., 2009).

Peran catechins pada iskemia otak, seperti pada cedera otak traumatik

dijelaskan pada gambar 2.21. Catechins bersifat antioksidan melalui

penghambatan pelepasan 61roteolys, meningkatkan gradien H+ pada

mitokondria, menurunkan produksi enzim-enzim xantin oksidase, fosfolipase,

protein kinase, protease, dan endonuklease. Selain itu, catechins juga

menghambat NOS baik iNOS, nNOS, maupun eNOS yang berlebihan, sehingga

produksi NO tidak berlebihan. Peningkatan eNOS yang berlebihan selain bersifat

protektif karena menyebabkan vasodilatasi di area iskemik, namun juga

meningkatkan risiko perdarahan. Catechins dapat menurunkan apoptosis serta

mengurangi proteolisis sehingga menurunkan kematian sel. Catechins juga

menghambat kematian sel melalui hambatan pada mediator pro inflamasi,

sehingga menurunkan pembentukan radikal bebas melalui jalur inflamasi

(Sutherland et al., 2006).

Page 84: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

62

Gambar 2.17 Mekanisme kerja catechins pada kaskade iskemia pada penyakit neurodegeneratif dan neuroinflamasi. Tempat aksi catechins ditandai

dengan logo daun, menunjukkan perannya dalam mencegah kematian sel. Selain itu catechins juga bersifat neuroprotektif dengan menginduksi produksi eNOS. Neuroinflamasi merupakan jalur yang tetap teraktivasi hingga berbulan-bulan, dan catechins juga berperan dalam berbagai mekanisme di dalamnya (Sutherland et al., 2006).

2.4.8 Kelemahan Catechins

Kelemahan catechins yang paling signifikan adalah sifat reaktif dan tidak

stabil dalam kondisi fisiologis dan eksperimen. Catechins merupakan radical

scavenger untuk radikal anion superoksida (O2-) dan radikal hidroksil. Namun,

catechins juga mudah dioksidasi oleh dioksigen sehingga dapat menghasilkan

reactive oxygen species (ROS), antara lain hidrogen peroksida (H2O2) dan O2-.

Ion cuprum (Cu2+) meningkatkan auto-oksidasi dan dapat membentuk produk

samping quinone yang bersifat sitotoksik (Smith, 2011).

EGCG, sebagai komposisi terbesar dari catechins juga ditemukan cepat

dimetabolisme in vivo. Karena kelarutannya tinggi, catechins sedikit diabsorbsi

Page 85: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

63

pada pemberian peroral. Selain itu, mikroba pada usus juga dapat menyebabkan

degradasi dari catechins (Smith, 2011).

2.4.9 Upaya untuk Meningkatkan Bioavailabilitas Catechins

Diduga, untuk menghindari auto-oksidasi dan modifikasi catechins in vivo,

dapat dilakukan asetilasi dari alkohol phenolic. Contoh obat lain yang

dimodifikasi dengan asetilasi adalah asam salisilat yang diasetilasi dengan acetic

anhydrate untuk membentuk aspirin. Asetilasi ini menyebabkan bahan menjadi

lebih hidrofobik dan menghambat biotrasformasi fase II maupun degradasi

oksidatif. Pada penelitian yang dilakukan oleh Lambert et al., (2006) didapatkan

bahwa EGCG terasetilasi akan mengalami deasetilasi setelah masuk ke dalam

berbagai sel serta meningkatkan kadarnya hingga 4 kali lipat pada serum serta

meningkatkan waktu paruh hingga 6 kali lipat (Smith, 2011).

Pada penelitian lain dilakukan pemberian catechins dalam bentuk

termetabolisir. Dimerisasi EGCG pada medium alkali menghasilkan bahan baru,

yaitu theasinensins A dan D, yang memiliki aktivitas antioksidan 2-3 kali lebih

besar (Yashin et al., 2012). Sedangkan berdasarkan penelitian Huang et al.

(2011), pemberian liposom bersamaan dengan (+)-catechin per oral

meningkatkan konsentrasinya pada jaringan otak (Faria et al.,, 2012).

2.5 Metode-Metode Cedera Otak In Vivo

Berbagai metode digunakan untuk memodelkan dan menganalisis cedera

otak traumatika pada manusia. Hal ini termasuk percobaan relawan dan mayat,

boneka antropomorfik, model fisik, model komputasi, dan model matematis,

namun diantara beberapa model yang tersedia, tanggapan patofisiologis

terhadap dampak mekanis dari sistem saraf pusat manusia paling realistis

Page 86: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

64

dianalisis dengan menggunakan model binatang, yang menyediakan pengganti

terbaik untuk otak manusia (Gilchrist, 2004). Meskipun model hewan besar

mungkin diperlukan untuk menyelidiki aspek tertentu dari trauma otak, binatang

pengerat (mencit dan tikus) telah muncul sebagai spesies yang paling umum

digunakan, karena mereka mudah tersedia untuk banyak peneliti, data normatif

untuk berbagai variabel fisiologis dan perilaku pada hewan pengerat

didokumentasikan dengan baik, serta teknologi transgenik memungkinkan

generasi hewan pengerat dengan perubahan genetik tertentu (Albert-

Weissenberger and Siren, 2010). Cernak (2005) juga menjelaskan bahwa model

awal yang digunakan untuk menggambarkan trauma pada otak secara

eksperimental yaitu model akselerasi dan model perkusi. Model-model inilah

yang menjadi dasar pengembangan model selanjutnya, dengan beberapa

perubahan pada variabel-variabel terkait, dapat menghasilkan cedera otak

terfokus hingga cedera otak diffuse. Efek trauma yang dapat diamati secara

makroskopis diantaranya terbentuknya hematoma, sedangkan pengamatan

secara mikroskopis pada tingkat biomolekuler dan seluler dapat dilakukan

dengan pendeteksian mediator-mediator kimia dan pengecatan imunisitokimia

(Cernak, 2005).

Secara sederhana, model eksperimental trauma pada otak dapat dibagi

menjadi model yang langsung mengenai otak dan model yang langsung

mengenai kepala. Gilchrist (2004) menjelaskan bahwa model trauma yang

langsung mengenai otak (direct brain-impact model) menghasilkan cedera

terfokus pada korteks otak dengan menggunakan penjatuhan beban pada

duramater otak yang terpapar; sedangkan model lain yaitu trauma yang langsung

mengenai kepala (direct head-impact model) menggunakan hewan coba yang

kepalanya tidak ditahan, hanya bertumpu pada lehernya saja, sehingga, pada

Page 87: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

65

kenyataannya, trauma yang diberikan menghasilkan percepatan rotasi dan linier

pada kepala(Gilchrist, 2004).

2.5.1 Anatomi Otak Rattus norvegicus galur Wistar

Bregma dan lambda merupakan bagian dari tikus yang penting untuk

menentukan posisi otak pada tikus. Jarak lambda dan bregma pada tikus dengan

berat sekitar 180 gram adalah 7 mm. Posisi mid coronal berada pada 3 mm di

depan lambda. Korteks serebri berada pada bagian superior dari otak. (Paxinos

and Watson, 2006). Pemetaan korteks sensorimotor berada pada bagian depan

otak dengan diameter 7 mm dengan pusat 1 mm anterior dari bregma (Jung et

al., 2013). Korteks motorik primer (M1) tampak paling luas pada potongan

koronal otak tikus 2,2 mm anterior dari bregma (Paxinos and Watson, 2006).

Gambar 2.18 Anatomi tulang kranium Rattus norvegicus galur wistar. Gambar di atas adalah penampang tulang kranium Rattus norvegicus galur wistar dengan berat 290 gram dari superior (atas) dan lateral (bawah). Bregma dan Lambda merupakan struktur penting dalam menentukan posisi otak (Paxinos and Watson, 1997).

Page 88: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

66

Gambar 2.19 Anatomi otak Rattus norvegicus galur wistar. Gambar di atas

adalah penampang lateral otak Rattus norvegicus galur wistar dengan berat 290 gram. Cortex cerebri berada pada superior dari otak. Mid coronal berada pada 3 mm anterior dari Lambda (Paxinos and Watson, 2006).

Gambar 2.20 Anatomi otak Rattus norvegicus galur wistar. Penampang koronal otak Rattus norvegicus galur wistar pada potongan 2,2 mm anterior dari bregma. M1 merupakan area motorik primer. (Paxinos dan Watson, 2006)

Page 89: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

67

Gambar 2.21 Pemetaan struktur fungsional otak tikus dilihat dari vertex. Lingkaran dengan diameter 7 mm dengan pusat 1 mm anterior dari bregma dan 3,5 mm lateral kanan dari garis tengah merepresentasikan cortex sensorimotor. Titik 0 dari sumbu horizontal menunjukkan posisi bregma dan titik 0 pada sumbu vertikal menunjukkan posisi garis tengah (Jung et al., 2013).

Page 90: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

68

Gambar 2.22 Anatomi Otak Tikus (Sidman et al., 2016)

Gambar 2.23 Anatomi Otak Tikus (Sidman et al., 2016)

Sel pada sistem saraf pusat terdiri dari neuron dan glia. Neuron

merupakan sel dengan ukuran yang terbesar dan dapat dibedakan melalui

Page 91: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

69

kandungan badan Nissl pada sitoplasmanya. Badan Nissl adalah agregasi dari

retikulum endoplasma kasar yang mengandung ribosom. Neuropil adalah area di

sekitar neuron yang dibentuk oleh prosesus dari dendrit dan akson serta sinaps.

Neuropil tidak tampak pada pewarnaan hematoxylin eosin (HE). Sel glia terdiri

dari oligodendrosit, astrosit dan mikroglia. Sel glia ini berjumlah hingga sepuluh

kali lipat dari jumlah neuron. Pada pewarnaan HE, sel glia ini hanya tampak

nukleusnya saja. Oligodendrosit memiliki inti kecil, bulat, dan hiperkromatin,

serupa dengan limfosit. Prosesus dari oligodendrosit membentuk lapisan myelin.

Lokasi oligodendrosit banyak terdapat pada subkorteks. Astrosit meiliki nukleus

dengan bentuk bulat lonjong dengan ukuran yang lebih besar, lebih ireguler, dan

lebih pucat dibandingkan dengan oligodendrosit. Prosesus astrosit mengisi ruang

di neuropil, serta membentuk lapisan kontinyu pada superfisial piamater (glial

limiting membrane). Mikroglia merupakan sel yang berukuran kecil, tipis, dengan

sel yang elongasi tanpa sitoplasma yang tampak, pada korteks dan subkorteks.

Mikroglia merupakan 15% dari sel glia. Korteks serebri memiliki vaskularisasi

yang tinggi. Pembuluh darah pada korteks dan subkorteks terdiri dari sel endotel

dengan tight junction yang dilapisi oleh membran basalis dan dikelilingi oleh

perisit dan ujung dari prosesus astrosit. Struktur-struktur tersebut disebut dengan

sawar darah otak (blood-brain barrier) (Valdevelde et al., 2012).

2.5.2 Model Penjatuhan Beban (Weight-Drop)

Model weight-drop menggunakan gaya gravitasi dari beban yang

dijatuhkan untuk menghasilkan cedera diffuse dan utamanya cedera terfokus

yang dapat dilakukan dengan menjatuhkan beban pada tengkorak yang terpapar

atau pada duramater yang terpapar (Albert-Weissenberger and Siren, 2010).

Bantalan yang lunak dan fleksibel dapat digunakan untuk memberikan efek

“pantulan” sehingga beban yang dijatuhkan menimbulkan cedera diffuse,

Page 92: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

70

sedangkan bantalan keras digunakan untuk mengasilkan cedera terfokus

(Gilchrist, 2004). Marmarou (2007) bersama rekan-rekannya pernah melakukan

percobaan trauma otak eksperimental menggunakan sebatang logam yang

dijatuhkan dalam pleksiglass dengan memanfaatkan gaya gravitasi pada

tengkorak utuh (hanya kulit kepalanya yang dikelupas) menggunakan beban 450

gram dijatuhkan dari 2 meter, dan untuk menghindari dentuman ulang beban

setelah penjatuhan, maka dilakukan pemindahan segera hewan coba dari tempat

penjatuhan, ternyata tingkat mortalitasnya 44% dengan 12,5% retak tulang

tengkorak, mortalitas terutama akibat depresi nafas, ditemukan peningkatan

tekanan intrakranial dan penurunan aliran darah otak, serta defisit motor dan

kognitif pasca-trauma (Marmarou et al., 2007).

Gilchrist (2004) menjelaskan teknik lain pada model weight-drop ini

berdasarkan kerja yang dilakukan oleh Koizumi dkk, menggunakan beban

alumunium seberat 2,75 gram yang dijatuhkan dari ketinggian 90 cm pada

bagian korteks parietal otak sebelah kanan dengan kemiringan 30 ditambah

dengan mikrodialisis seperti pada gambar, dimana ketinggian beban yang

dijatuhkan dapat bervariasi mulai dari 30, 60, dan 90 cm, namun berdasarkan

penelitian pendahuluan mereka, diperoleh bahwa dengan beban seberat 2,75

gram ternyata memberikan efek paling optimal jika dijatuhkan dari ketinggian 90

cm (Gilchrist, 2004).

Percobaan cedera model weight-drop mampu menghasilkan cedera yang

bervariasi tergantung berat beban dan tinggi penjatuhan. Ditambahkan, metode

weight-drop ini ternyata mampu mengaktifkan mediator pro-inflamasi, calapain,

dan caspase, sehingga menunjukkan adanya apoptosis dan nekrosis, serta

mudah dan murah diterapkan (Cernak, 2005; Marmarou et al., 2007).

Page 93: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

71

Gambar 2.24 Marmarou’s Weight-drop Model (Marmarou et al., 2007)

Gambar 2.25 Model Weight-Drop yang diperagakan oleh Koizumi (Gilchrist, 2004)

Model lainnya seperti metode perkusi fluida (fluid percussion injury) yang

menghasilkan cedera otak dengan cara menyuntikkan sejumlah cairan dengan

cepat pada permukaan duramater utuh yang dipapar melalui suatu craniotomy,

dimana craniotomy sendiri dapat dilakukan baik secara terpusat, sagital atas

antara bregma dan lambda, atau lateral di atas korteks parietalis (Albert-

Weissenberger and Siren, 2010). Model controlled cortical impact memanfaatkan

pistol pneumatik untuk merusak sisi lateral duramater yang terpapar dan

Page 94: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

72

memberikan dampak yang dapat dikendalikan dan diukur berdasarkan parameter

biomekanik yang diadaptasi untuk tikus pada tahun 1991 dan untuk mencit pada

tahun 1995 serta mampu menghasilkan cedera otak yang bergradasi dan dapat

direproduksi (Weissenberger dan Siren, 2010).

Masih ada model lain seperti model cryogenic, model barotrauma, dan

model ledakan. Model cryogenic menggunakan sebuah batang dingin yang

ditempelkan pada duramater yang terpapar pada tikus, misalnya pada korteks

parietal otak menggunakan silinder tembaga diisi dengan campuran aseton dan

es kering (-78° C) atau tengkorak terpapar pada mencit, misalnya pada korteks

parietal otak menggunakan silinder tembaga diisi dengan nitrogen cair (-183° C)

(Albert-Weissenberger, 2010). Keparahan cedera dapat divariasikan dengan

merubah lamanya kontak dengan pelat dingin. Model-model yang sudah pernah

dilakukan oleh para peneliti sebelumnya juga dapat dimodifikasi sesuai dengan

tujuan yang diinginkan (Weissenberger dan Siren, 2010).

2.5.3 Metode Perkusi Fluida (Fluid Percussion Injury)

Model perkusi fluida (fluid percussion injury) menghasilkan cedera otak

dengan cara menyuntikkan sejumlah cairan dengan cepat pada permukaan

duramater utuh yang dipapar melalui suatu craniotomy, dimana craniotomy

sendiri dapat dilakukan baik secara terpusat, sagital atas antara bregma dan

lambda, atau lateral di atas korteks parietalis (Weissenberger, 2010).

Page 95: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

73

Gambar 2.26 Model Perkusi Fluida (Gilchrist, 2004)

2.5.4 Model Controlled Cortical Impact

Model controlled cortical impact memanfaatkan pistol pneumatik untuk

merusak sisi lateral duramater yang terpapar dan memberikan dampak yang

dapat dikendalikan dan diukur berdasarkan parameter biomekanik yang

diadaptasi untuk tikus pada tahun 1991 dan untuk mencit pada tahun 1995 serta

mampu menghasilkan cedera otak yang bergradasi dan dapat direproduksi

(Albert-Weissenberger, 2010).

Gambar 2.27 Model Controlled Cortical Impact (Gilchrist, 2004).

Page 96: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

74

Tergantung pada beratnya cedera, controlled cortical impact

menghasilkan cedera ipsilateral dengan memar pada korteks otak, perdarahan,

dan gangguan sawar darah-otak, kematian dan degenerasi neuron, astrogliosis,

aktivasi mikroglial, keradangan, kerusakan akson, defisit kognitif, dan

eksitotoksitas dilaporkan terjadi (Albert-Weissenberger, 2010). Albert-

Weissenberger (2010) juga menambahkan sehubungan dengan edema otak,

controlled cortical impact merupakan model yang sesuai karena memiliki

kemampuan untuk menyebabkan edema otak sitotoksik dan vasogenik, sehingga

mencerminkan situasi klinis pembentukan edema otak pasca-trauma.

2.5.5. Model-Model Lain

Model-model lain yang dapat digunakan seperti model cryogenic, model

barotrauma, dan model ledakan. Model cryogenic menggunakan sebuah batang

dingin yang ditempelkan pada duramater yang terpapar pada tikus, misalnya

pada korteks parietal otak menggunakan silinder tembaga diisi dengan campuran

aseton dan es kering (-78° C) atau tengkorak terpapar pada mencit, misalnya

pada korteks parietal otak menggunakan silinder tembaga diisi dengan nitrogen

cair (-183° C) (Albert-Weissenberger, 2010). Keparahan cedera dapat

divariasikan dengan merubah lamanya kontak dengan pelat dingin. Model-model

yang sudah pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya juga dapat

dimodifikasi sesuai dengan tujuan yang diinginkan (Albert-Weissenberger, 2010).

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa masing-masing

model trauma memiliki tujuan, kelebihan, dan kekurangannya masing-masing.

Tidak ada satu model tunggal percobaan in vivo dari cedera otak traumatika yang

menjadi rekomendasi bagi standar baku emas untuk penelitian neurotrauma, hal

ini disebabkan karena tiap-tiap model memiliki keuntungan dan kerugian,

sehingga pemilihan model harus disesuaikan dengan tujuan penelitian (Cernak,

2005).

Page 97: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

75

2.6 Metode Imunohistokimia

Imunohistokimia merupakan proses untuk mendeteksi antigen (protein,

karbohidrat, dsb) pada sel dari jaringan dengan prinsip reaksi antibody yang

berikatan terhadap antigen pada jaringan. Nama imunohistokimia diambil dari

nama “immune” yang menunjukkan bahwa prinsip dasar dalam proses ini ialah

penggunaan antibody dan “histo” menunjukkan jaringan secara mikroskopis.

Imunohistokimia seringkali digunakan untuk mengukur dan mengidentifikasi

karakteristik dari even seluler seperti proses proliferasi sel, apoptosis sel.

Imunohistokimia juga sering digunakan untuk penelitian dasar dalam rangka

mengetahui distribusi dan lokasi biomarker ataupun protein terekspresi pada

berbagai macam jaringan pada tubuh. (Ramos-Vara, 2005). Untuk

memvisualisasikan hasil interaksi antara antigen dan antibody dapat dilakukan

dengan berbagai macam cara, dimana cara yang paling sering digunakan ialah

dengan konjugasi antibody dengan enzim seperti peroksidase. Selain itu juga

bias digunakan fluorophore seperi fluorescin atau rhodamin. Untuk mempelajari

morfologi sel, sel dalam jaringan difiksasi kemudian dilokalisasi diantara sel dan

divisualisasikan dengan mikroskop elektron atau mikroskop cahaya (Rantam,

2003)

Secara garis besar, untuk metode imunohistokimia, dapat dilakukan

dengan metode direk maupun indirek. Dimana keduanya ditentukan oleh prinsip

reaksi antibody yang digunakan, yaitu Metode Direct menggunakan antibody

primer yang sudah terlabel dan berikatan langsung dengan antigen target secara

langsung. Dan Metode Indirect menggunakan antibody primer yang tidak ada

labelnya, namun digunakan juga antibody sekunder yang sudah memiliki label

dan akan bereaksi dengan IgG dari antibody primer (Rantam, 2003)

Secara umum, proses pemeriksaan imunohistokimia terdiri dari beberapa

tahapan, yaitu proses fiksasi dengan pembuatan paraffin block, deparafinisasi,

Page 98: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

76

proses imunohistokimia yang sesuai dan pengamatan dibawah mikroskop

(Rantam, 2003)

Page 99: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

77

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Keterangan :

: Variable yang diamati Memicu/berpengaruh terhadap

: Variabel yang tidak diamati Menghambat

Bcl-xS, Bax

Caspase-3

Pelepasan

sitokin

proinflamasi IL-

8,IL1β. TNFα

Depolarisasi membran

Cedera Otak Traumatik

Cedera Primer

Kontusio serebri Asam Arakhidonat

Pelepasan Glutamat

AMPA/NMDA

COX

LOX

Hipoksia-iskemia

Catechins

EGCG

Deplesi ATP Aktivasi

Mikroglia

Edema

serebri

NFKβ

Depolarisasi

neuron

Ca2+ influks

Neurotoksis

(Calpain)

Apoptosis

Kerusakan

membran sel

apoptosis

Fragmentasi DNA

Caspase-9

Pelepasan cyt-C

FADD

Penurunan

fungsi otak

influkspenur

unan

TRADD

TRAIL

Caspase 8

Degradasi iCAD Peningkatan CAD

Prostaglandin

Leukotrien

Radikal bebas

Kerusakan DNA

CEDERA OTAK SEKUNDER

Nekrosis

Page 100: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

78

Cedera otak primer menyebabkan kematian sel dan defisit neurologi

melalui gangguan fisik terhadap jaringan secara langsung (cedera primer), juga

melalui mekanisme patofisiologi molekuler dan seluler yang menyebabkan

kerusakan area putih dan abu-abu secara progresif (cedera sekunder). Pada

cedera sekunder terjadi serangkaian proses yang dapat menyebabkan

apoptosis. Akibat dari cedera otak primer dan sekunder tersebut antara lain

terjadinya proses inflamasi secara langsung melalui pelepasan asam

arakhidonat, pembentukan radikal bebas, terjadinya edema vasogenik dan

sitotoksik, peningkatan influks Ca++ dan eksitotoksisitas glutamat. Sekresi

glutamat menginduksi kerusakan membran sel dan inflamasi pada sel neuron.

Hal tersebut pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya nekrosis dari sel-sel

neuron. Proses inflamasi, dari reaksi stres oksidatif, memicu pelepasan asam

arakhidonat, dan menginduksi jalur COX (Cycolooxigenase) dan LOX

(Lipooxigenase), yang selanjutnya menginduksi pelepasan mediator inflamasi

seperti prostaglandin. Selanjutnya, prostaglandin peroksidase G (PGG2)

diturunkan menjadi prostaglandin peroksidase H (PGH2) dan melalui proses

peroksidase lipid dipecah menjadi MDA (malondialdehyde) dan HHT

(hydroxyheptadecatrienoate). Radikal bebas, peningkatan kalsium intraselular

dan peningkatan glutamat dapat mengganggu keseimbangan Bcl-2 family pro-

apoptotik dan anti-apoptotik. Anggota Bcl-2 family yang mendukung program

kematian sel misalnya Bax dan Bcl-xS, sedangkan yang menekan program

kematian sel misalnya Bcl-2 dan Bcl-xL. Pada kondisi tersebut terjadi

peningkatan anggota pro-apoptotik dan penurunan anggota anti-apoptotik. Hal

tersebut menyebabkan gangguan pada membran mitokondria (pembukaan pore

pada membran mitokondria), yang selanjutnya menyebabkan pelepasan

cytochrome c. Cytochrome c akan memicu jalur caspase yang selanjutnya

Page 101: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

79

menyebabkan apoptosis melalui DNA fragmentasi. (Park et al., 2008; Machfoed,

2011; Zhang et al, 2005; Zalmer et al.,2007; Berridge, 2012)

Terjadinya hipoksia-iskemia pada cedera sekunder setelah cedera otak

trauma akan menyebabkan deplesi ATP sel-sel otak serta aktivasi mikroglia.

Deplesei ATP akan menyebabkan edema sitotoksik dan vasogenik. Edema

tersebut akan mengakibatkan sel neuron mengalami depolarisasi berlebihan,

sehingga terjadi peningkatan influks kalsium. Aktivasi mikroglia akan

meningkatkan produksi mediator pro-inflamasi utama seperti NFkB, TNF-α, IL-8,

dan IL-1β (Mauritz et al, 2008; Medikians dan Giza, 2006; Berridge, 2012)

TNF alfa merupakan substrat penting dalam jalur apoptosis ekstrinsik.

TNF alfa menginduksi pelepasan TRADD yang mengaktivasi caspase 8 melalui

mediasi FADD, yang pada umumnya dihambat oleh caspase inhibitor. Ekspresi

TNFR-1 dan TRADD mengatur kaskade apoptosis yang berhubungan dengan

reseptor. Akhirnya, peningkatan jumlah TNF alfa, caspase 8 dan FADD,

menyebabkan terjadinya pelepasan asam etakrinik yang dapat menginduksi

apoptosis dengan melakukan fragmentasi DNA. Selain itu, peningkatan caspase

8 juga meningkatkan ekspresi caspase 3. Caspase-3 teraktivasi sebagai mesin

utama apoptosis, membelah DNA pada daerah linker menggunakan caspase

associated DNAse (CAD) dengan terlebih dahulu mendegradasi inhibitornya,

inhibitor of CAD (ICAD). (Perry et al., 2008; Zhang et al., 2005; Figiel, 2008).

Catechins adalah suatu senyawa kimia dalam teh yang merupakan salah

satu kelas flavanol. Catechins memiliki aktivitas antioksidan dan antiinflamasi

yang kuat serta mampu menetralisir berbagai radikal bebas dalam tubuh seperti

seperti reactive oxygen species (ROS) dan peroksinitrit. Pada penelitian ini

catechins diharapkan mampu menurunkan ekspresi TNF-α dengan menurunkan

ekspresi gen STAT-1 dan melalui hambatan pada NFKβ. Serta menurunkan

apoptosis sel neuron, dengan menghambat pembentukan radikal bebas melalui

Page 102: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

80

hambatan jalur NADPH oksidase, menetralisir radikal bebas yang telah

terbentuk, serta meningkatkan protein antiapoptosis (Bcl-2) dan menurunkan

protein sel proapptosis (Bax, Bcl-XS) (Lieber and Leo, 1999; Imannulkhan, 2006;

Zhang et al., 2015).

3.2 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka teori dan konsep penelitian diatas, hipotesis

penelitian ini dengan pemberian catechins dapat menurunkan ekspresi TNF-α,

dapat menurunkan jumlah sel apoptosis dan dapat meningkatkan status

fungsional tikus jantan model Traumatic Brain Injury, karena terdapat hubungan

positif ekspresi TNF-α dengan jumlah sel apoptosis, semakin tinggi ekspresi

TNF-α semakin tinggi juga jumlah sel apoptosis begitu pula sebaliknya.

Hubungan negatif ekspresi TNF-α dengan status fungsional, semakin tinggi

ekspresi TNF-α semakin menurun status fungsional pada tikus jantan model

traumatic brain injury (TBI).

Page 103: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

81

BAB IV

METODE PENELITIAN

.

4.1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian berupa penjatuhan beban

pada jaringan otak tikus model cedera otak traumatik sesuai dengan Marmarou

et al (2007), selanjutnya dilakukan pengamatan ekspresi TNF-α dan sel

apoptosis pada jaringan serta status fungsional tikus model cedera otak

traumatik.

4.2. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian sebenarnya (true

experimental design) di laboratorium secara in vivo dengan randomized post test

only controlled group design pada hewan coba tikus (Rattus norvegicus) galur

wistar.

4.3. Populasi dan Sampel

Sampel penelitian adalah tikus yang dipilih memenuhi kriteria berikut:

1. Kriteria Inklusi

Tikus putih Rattus norvegicus galur wistar.

a. Jantan

b. Usia 10-12 minggu, karena pada penelitian ini kami menggunakan tikus

dewasa sesuai dengan epidemiologi TBI lebih banyak terjadi pada dewasa

muda.

c. Berat antara 100-150 gram

Page 104: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

82

d. Dalam kondisi sehat dan aktif

2. Kriteria drop out adalah tikus yang mati pada saat penelitian berlangsung.

Besar sampel yang digunakan pada penelitian ini menggunakan rumus

Federer (1963) dalam Tjokronegoro (2001):

(t-1) (n-1) ≥ 15 t = kelompok perlakuan

n = jumlah sampel tiap kelompok

Banyaknya sampel pada penelitian ini adalah:

(10-1)(n-1) ≥ 15

9 (n-1) ≥ 15

9 n ≥ 24

n ≥ 2,6 ~ 3

Dari perhitungan di atas, dibutuhkan jumlah sampel sebanyak 3 ekor tikus

pada tiap perlakuan tetapi peneliti menggunakan 4 ekor tikus, sehingga total

jumlah sampel yang dibutuhkan adalah sebanyak 40 tikus dengan perincian

sebagai berikut:

1. Kelompok kontrol negatif, Sham Procedure

2. Kelompok kontrol positif, cedera otak traumatik yang tidak mendapatkan

catechins untuk dikorbankan hari ke 3 (tiga) dan hari ke 7 (tujuh).

3. Kelompok perlakuan cedera otak traumatik yang mendapatkan catechins

dengan dosis 513 mg/kg/hari untuk dikorbankan hari ke 3 (tiga) dan hari ke 7

(tujuh).

4. Kelompok perlakuan cedera otak traumatik yang mendapatkan catechins

dengan dosis 926 mg/kg/hari untuk dikorbankan hari ke 3 (tiga) dan hari ke 7

(tujuh).

Page 105: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

83

5. Kelompok perlakuan cedera otak traumatik yang mendapatkan catechins

dengan dosis 1113 mg/kg/hari untuk dikorbankan hari ke 3 (tiga) dan hari ke

7 (tujuh).

(Suzuki et al., 2004)

4.4. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di beberapa laboratorium, yaitu di: Laboratorium

Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang untuk tempat

pemeliharaan hewan coba dan pembedahan, Laboratorium Patologi Anatomi

Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya untuk tempat pembuatan slide

imunohistokimia dan Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas

Brawijaya Malang untuk tempat pengecatan imunohistokimia.

4.5. Variabel Penelitian

4.5.1. Variabel Bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah terapi dengan catechins yang

dibagi dalam kelompok:

- Kelompok A: merupakan kontrol negatif yang tidak dilakukan cedera otak

traumatik dan tidak diberi catechins, Sham Procedure

- Kelompok B: merupakan kelompok kontrol positif cedera otak traumatik yang

tidak mendapatkan catechins.

- Kelompok C: merupakan kelompok perlakuan cedera otak traumatik yang

mendapatkan catechins dengan dosis 513 mg/kg/hari per sonde selama 3 dan

7 hari. (Suzuki et al., 2004)

Page 106: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

84

- Kelompok D: merupakan kelompok perlakuan cedera otak traumatik yang

mendapatkan catechins dengan dosis 926 mg/kg/hari per sonde selama 3 dan

7 hari. (Suzuki et al., 2004)

- Kelompok E: merupakan kelompok perlakuan cedera otak traumatik yang

mendapatkan catechins dengan dosis 1113 mg/kg/hari per sonde selama 3

dan 7 hari. (Suzuki et al., 2004)

Penelitian yang dilakukan Suzuki et al (2004) menunjukkan bahwa

peningkatan catechins dalam plasma, mulai ditunjukkan pada kelompok

dengan tingkat konsumsi catechins (50%) 0,77 gr/5 hari kemudian dosis

kedua digunakan 1,39 gr/5 hari serta dosis ketiga 1.67 gr/5 hari untuk tikus

ukuran 200 gr.

4.5.2. Variabel Tergantung

Variabel tergantung terdiri dari ekspresi TNF-α dan sel apoptosis pada

jaringan otak serta status fungsional tikus model cedera otak traumatik.

4.6. Definisi Operasional Variabel

1. Model traumatic brain injury didefinisikan merupakan cedera otak jejas atau

perlukaan jaringan otak bukan karena proses degeneratif atau bawaan lahir,

melainkan akibat penjatuhan beban. Menggunakan model Marmarou et al

(2007) dengan silinder besi seberat 45 gram (diameter 4 mm) dijatuhkan

dengan sudut 90º dari ketinggian 100 cm sebanyak 1 kali. Energi benturan

sebesar 0,45 joule.

2. Catechins yang dipakai pada penelitian ini adalah isolat bahan aktif dari

ekstrak teh hijau (Camelia sinensis) yang didapatkan dari Laboratorium Kimia

Institut Teknologi Bandung, Jawa Barat.

Page 107: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

85

3. Terapi catechins diberikan secara oral melalui sonde setiap hari selama 10

hari dengan dosis 513, 926 dan 1113 mg/kgBB dilarutkan sebanyak 3 cc /

ekor.

4. Ekspresi TNF-α adalah pengamatan ekspresi TNF-α dari jaringan otak tikus

yang mengalami TBI diukur dengan metode imunohistokimia menggunakan

antibodi TNF-α (Santa Cruz) dan diamati menggunakan mikroskop binokuler

merk Olympus BxS1 dengan pembesaran 400x.

5. Sel apoptosis adalah pengamatan jumlah sel apoptosis jaringan otak tikus

dengan teknik DNA terfragmentasi (TUNEL) dan diamati menggunakan

mikroskop binokuler merk Olympus BxS1 dengan pembesaran 400x.

6. Status fungsional tikus dinilai dengan NSS (Neurological Severity Score). NSS

merupakan alat yang digunakan untuk mengevaluasi deficit neurologis pada

tikus model cedera kepala tertutup yang menilai status fungsional motoris dan

perilaku. Tikus tanpa defisit neurologis memiliki skor 0 dan makin berat defisit

neurologis, skor semakin meningkat dengan skor maksimal 10. (Wu, et al.,

2010; Albert-Weiβenberger et al., 2012).

4.7. Bahan dan Alat

4.7.1. Alat dan Bahan untuk Perawatan Hewan Coba

Alat yang digunakan adalah kandang berupa baskom dengan ukuran

20x30 cm dengan penutup kandang berupa jaring – jaring kawat sebanyak 30

buah, botol minum tikus 30 buah, timbangan analitik, handscoon dan pembersih

kandang. Bahan yang digunakan berupa sekam padi setebal 1,5-2 cm, makanan

tikus terdiri dari makanan ayam jenis BR 1 lalu dicampur tepung terigu yang

kemudian dibuat pellet dan air minum untuk tikus.

Page 108: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

86

4.7.2. Model Cedera Otak Traumatik

Alat yang digunakan adalah alat pengatur ketinggian beban berupa

tabung dengan ketinggian 1 meter, silinder besi seberat 450 gram dengan

diameter 4 mm, lampu senter, benang wol untuk mengikat ekstremitas tikus,

papan untuk memfiksasi tikus, jarum pentul untuk mengaitkan benang wol, dan

fiksasi kepala tikus agar penjatuhan beban tepat pada sasaran.

Gambar 4.1 Alat untuk penjatuhan beban

4.7.3. Persiapan Hewan Coba

Alat yang digunakan adalah gunting bedah 2, pinset 2, jarum pentul 2 set,

steroform 2, penggaris, kertas label, termoses, kapas, wadah plastik + tutup 40

buah, spuit insulin 1 ml 40 buah, dan vacuotainer 45 buah. Bahan yang

digunakan adalah ketamine, xilase, 10% buffer-formalin 200 ml, salep lidocaine

5%, benang chromic catgut 3-0 dengan jarum, povidone iodine, dan alkohol.

4.7.4. Pembedahan

Alat yang digunakan adalah gunting bedah 2, pinset 2, jarum pentul 2 set,

steroform 2, penggaris, kertas label, termoses, kapas, wadah plastik + tutup 25

buah, spuit insulin 1 ml 30 buah, dan vacuotainer 25 buah. Bahan yang

digunakan adalah ketamine, xilase, 10% buffer-formalin 200 ml dan alkohol.

tikus

Page 109: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

87

4.7.5. Pembuatan Slide Histopatologi

Alat yang digunakan adalah kaca obyek (object glass), kaca penutup

(cover glass), paraffin block, rotary mikrotom merek Leica. Bahan yang

digunakan adalah jaringan otak tikus wistar.

4.7.6. Pembuatan Sediaan Periksaan Imunohistokimia

Alat yang dibutuhkan untuk pemeriksaan imunohistokimia antara lain

chamber (suatu wadah dari plastik yang tahan panas), waterbath, slide

mikroskop Polysine (Polysine slide), timer, mikroskop dengan pembesaran

1000x. Untuk bahan yang dibutuhkan antara lain immunostaining kit (Dako

LSAB + System-HRP), antibodi primer TNF-α(bs-2081R Bioss USA), antibodi

primer TUNEL(ba-2220R Bioss USA), xilol, etanol absolut, etanol 90 %, etanol

80 %, etanol 70 %, aquades steril, buffer sitrat (Sodium Citrate Buffer 0,01M)

yang dibuat dari Na3C6H5O7 2,94 gram yang dilarutkan dalam aquades 1000 ml

dan diukur pada pH 6,0, PBS (yang dibuat dari NaH2PO4.2H2O 2,4 gram,

Na2HPO4 1,2 gram, KH2PO4 0,7 gram, dan KCl 6,8 gram yang dilarutkan dalam

aquades 1000 ml dan diukur pada pH 7,4), FBS (Fetal Bovine Serum) 5%, Triton

0,25%, dan larutan Mayer’s Hematoxylin dan tap water (air keran) dengan

perbandingan 1:25 (untuk pewarnaan background).

4.7.7. Alat Pemeriksaan Status Fungsional NSS

Peralatan yang dibutuhkan untuk menilai status fungsional dengan NSS

adalah lingkaran papan dengan berdiameter 30 cm, papan observasi berukuran

30 cm x 30 cm, forsep, balok keseimbangan berukuran 7 mm x 7 mm, tongkat

silinder berdiameter 3 mm, balok jalan berukuran panjang 30 cm dan 3 variasi

Page 110: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

88

lebar, 3 cm, 2 cm dan 1 cm. Gambar 4.2 a. Tikus dimasukkan ke dalam lingkaran

kemudian diamati sampai tikus keluar dari pintu lingkaran, b. Balok

keseimbangan dipasangkan di tongkatnya kemudian tikus diamati hingga dapat

melewati balok, balok dipasang mulai dari yang paling lebar hingga yang paling

sempit, c.setelah balok keseimbangan kemudian diganti dengan tongkat silinder

kemudian diamati apakah tikus dapat bertahan hingga sisi seberangnya, diamati

pula cara tikus bertahan dengan berpegangan pada tongkat silinder.

Gambar 4.2 Alat pengukuran NSS Keterangan (gambar tampak atas) : (a) lingkaran; (b) balok keseimbangan

berukuran 7 mm x 7 mm; (c) balok panjang berukuran panjang 30 cm dengan variasi

lebar 1 cm (c1), 2 cm (c2), dan 3 cm (c3), (d) tongkat silinder berdiameter 3 mm.

4.8. Prosedur Penelitian

4.8.1. Pemeliharaan tikus wistar

Tikus wistar (Rattus norvegicus galur wistar) jantan sebanyak 20 ekor

dibeli dan dipelihara di Laboratorium Farmakologi FKUB. Tikus dipelihara dalam

kandang ukuran 30x30 cm (satu kandang berisi 4 ekor tikus). Tikus diadaptasi

selama 7 hari agar melakukan penyesuaian dengan lingkungan yang baru.

Page 111: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

89

Makan dan minum diberikan dengan jumlah sesuai keinginan tikus untuk setiap

kandangnya. Untuk minum diberikan air matang, yang telah direbus hingga suhu

900 C yang diganti setiap harinya. Selama pelaksanaan penelitian, tikus

diperlakukan dengan hati – hati dan memperhatikan kelayakan etik penelitian

dengan hewan coba.

4.8.2. Pembuatan Catechins

Teh hijau galur GMB-4 didapatkan dari Tea and Quinine Research Center

Gambung. Catechins diisolasi dari teh hijau galur GMB-4 dalam bentuk bubuk.

Prosedur isolasi tersebut dilakukan pada laboratorium kimia fakultas ilmu

pengetahuan, Institut Teknologi Bandung.

4.8.3. Model Cedera Otak Traumatik

Cedera Otak Traumatik sesuai penelitian yang dilakukan oleh Marmarou

(1994). Tikus dianestesi dengan menggunakan ketamin, kemudian bulu kepala

dicukur dan dibersihkan dengan alkohol 70%. Selanjutnya, dilakukan insisi untuk

membuka kulit kepala. Silinder besi seberat 450 gram (diameter 4mm) dijatuhkan

dengan sudut 90º dari ketinggian 100 cm sebanyak 1 kali. Benturan

diestimasikan dengan energi 0,45 joule. Setalah dilakukan prosedur, kulit kepala

dijahit kembali dengan benang kromik sebanyak 3 jahitan dan dilakukan rawat

luka.

4.8.4. Pemberian Terapi Catechins

Catechins dilarutkan dengan pelarut aquades. Terapi catechins diberikan

secara per oral melaui sonde setiap hari selama 7 hari dengan dosis 513, 926 dan

1113 mg/kg BB/hari. Dosis catechins didasarkan pada penelitian yang dilakukan

Suzuki et al (2004) yang menunjukkan bahwa peningkatan catechins dalam plasma,

mulai ditunjukkan pada kelompok dengan tingkat konsumsi catechins (50%) 0,77 gr/5

Page 112: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

90

hari kemudian dosis kedua digunakan 1,39 gr/5 hari serta dosis ketiga 1.67

gr/5 hari untuk tikus ukuran 200 gr.

EGCG dan catechins secara umum diserap di dalam usus halus, dengan

jumlah dosis minimal tertentu, seperti yang ditunjukkan pada penelitian diatas,

karena sulitnya masuk catechins ke dalam darah. Puncak konsentrasi plasma

EGCG tercapai setelah 1 hingga 2 jam pada subyek yang sehat. Kadar ini akan

berkurang secara bertahap hingga benar-benar hilang dalam 24 jam. Waktu

paruh EGCG sendiri berada pada sekitar 3.4 ± 0.3 jam (Mereles and Hunstein,

2011).

4.8.5. Pembedahan Tikus

Pembedahan tikus dilakukan dengan memberikan anestesi terlebih

dahulu. Anestesi diberikan dengan injeksi ketamine 44 mg/kg BB secara

intramuskular. Setelah tikus dipastikan tidak sadar (tidak menunjukkan gerakan

spontan), tikus dikorbankan dan dilakukan pembedahan untuk mengambil

jaringan otak tikus. Pembedahan tersebut dilakukan dengan cara menggunting

kranium dengan arah sagital dari kaudal (oksipital) menuju ke rostral (frontal),

tepat diantara kedua hemisfer otak tikus. Selanjutnya dilakukan pembebasan

otak tikus pada regio basal dari jaringan ikat sekitarnya. Bagian otak yang

diambil adalah lobus temporal dan prefrontal karena pada kedua lobus

merupakan lobus motorik pada tikus. Selanjutnya, jaringan otak dimasukkan

kedalam botol yang telah diisi larutan formalin 10%. Botol yang berisi jaringan

otak dan larutan formalin tersebut selanjutnya ditutup rapat. Pengirisan jaringan

otak dan pembuatan slide dengan paraffin block (pengirisan preparat otak dan

pembuatan slide dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi RSUD Dr.

Page 113: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

91

Soetomo). Potongan paralel dilakukan untuk analisis imunohistokimia Bcl-2 dan

Bax.

4.8.6. Pembuatan Slide Histopatologi

Jaringan otak tikus yang telah dimasukkan dalam botol berisi formalin

10% harus segera diproses dalam waktu kurang dari 24 jam. Setelah itu jaringan

otak tadi dimasukkan ke Tissue Tex Processor selama 90 menit. Selanjutnya,

pada Tissue Tex Processor dilakukan proses dehidrasi dan clearing jaringan.

Jaringan diambil dari alat tersebut dan dilakukan blok dengan menggunakan

paraffin. Setelah itu, Jaringan otak yang dalam paraffin block tadi dilakukan

pemotongan menggunakan alat microtome dengan ketebalan 2-3 µm. Hasil

irisan dipindahkan dengan kuas kedalam air hangat 38-400C untuk meluruskan

kerutan halus yang ada. Irisan yang terentang sempurna diambil dengan gelas

obyek. Potongan terpilih dikeringkan dan diletakkan diatas hot plate 38-400

sampai kering, selanjutnya preparat dimasukkan dalam inkubator suhu 38-400C

selama 24 jam.

4.8.7. Pembuatan Sediaan Imunohistokimia

4.8.7.1. Deparafinisasi

Sebelum dideparafinasi, slide dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 60C

selama 60 menit. Kemudian ditambah dengan larutan berikut ini secara

berurutan: xilol (2x10 menit), etanol absolut (2x10 menit), etanol 90 % (1x5

menit), etanol 80 % (1x5 menit), etanol 70 % (1x5 menit), aquades steril (3x5

menit).

Prosedur standar fiksasi sediaan untuk pewarnaan imunohistokimia adalh

menggunakan formalin yang kemudian dilakukan parafinisasi. Prosedur fiksasi

Page 114: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

92

menggunakan frozen section masih berada pada tahap eksperimental, walaupun

pada beberapa ekspresi protein, ditemukan hasil yang lebih baik, namun

prosedur frozen section masih belum menjadi prosedur standar untuk

pemeriksaan imunohistokimia secara rutin (Chaudary et al., 2014)

4.8.7.2. Antigen Retrieval dengan Buffer Sitrat

Slide direndam dalam chamber berisi buffer sitrat pH 6,0. Chamber

tersebut selanjutnya direndam dalam waterbat

menit. Selanjutnya slide dikeluarkan dari waterbath, ditunggu sampai suhu ruang

± 20 menit. Slide kemudian dicuci dengan PBS (3x5 menit).

4.8.7.3. Pemeriksaan Imunohistokimia Ekspresi TNF-α Jaringan Otak

Pada hari pertama, slide yang siap dilakukan pemeriksaan

imunohistokimia (immunohistochemistry/IHC) ditetesi dengan 3% H2O2 dalam

metanol, dan diinkubasi selama 15 menit. Slide tersebut kemudian dicuci dengan

PBS steril 3x5 menit. Setelah itu dilakukan proses blocking protein yang tidak

spesifik (unspecified protein), yaitu slide ditetesi dengan 0,25% Triton dalam

buffer PBS + 5% FBS selama 60 menit pada suhu ruang dan selanjutnya dicuci

dengan PBS steril 3x5 menit. Setelah itu dilakukan proses inkubasi antibodi

primer, yaitu slide ditetesi dengan antibodi primer TNF-α yang dilarutkan dalam

buffer PBS + 5% FBS, dan diinkubasikan semalam pada suhu 4C.

Keesokan harinya, yaitu pada hari kedua, slide yang diinkubasikan

semalam tersebut dikeluarkan dari 4C dan ditunggu sampai suhu ruang. Slide

tersebut kemudian dicuci dengan PBS steril 3x5 menit. Slide yang telah dicuci

tersebut selanjutnya ditetesi dengan antibodi sekunder berlabel Biotin dan

diinkubasi selama 60 menit pada suhu ruang. Setelah diinkubasikan, slide

tersebut dicuci PBS steril 3x5 menit. Slide tersebut selanjutnya ditetesi dengan

Page 115: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

93

SA-HRP (Dako LSAB + System-HRP) dan diinkubasikan selama 60 menit pada

suhu ruang. Setelah diinkubasikan, slide tersebut dicuci dengan PBS steril 3x5

menit.

Slide yang telah mengalami proses inkubasi dengan SA-HRP diatas

selanjutnya ditetesi dengan DAB (DAB chromogen : DAB buffer = 1:50)( Dako

LSAB + System-HRP), diinkubasikan selama 10-20 menit pada suhu ruang,

dicuci dengan PBS steril 3x5 menit, dan selanjutnya dicuci dengan aquades 3x5

menit. Setelah itu, slide ditetesi counterstain dengan Mayer’s Hematoxilen, yaitu

dengan meneteskan Mayer’s Hematoxilen : Tap water dengan perbandingan

1:25, diinkubasikan selama 5-10 menit pada suhu ruang, dan dibilas dengan tap

water. Langkah terakhir dari pewarnaan imunohistokimia adalah proses mounting

dengan Entellan, kemudian slide dikeringanginkan dan dilakukan pengamatan

dibawah mikroskop binokuler merk Olympus BxS1 dengan pembesaran 400x.

Sel yang mengekspresikan TNF-α menunjukkan sitoplasma berwarna coklat.

Pemeriksaan dilakukan oleh peneliti dan peneliti yang lain (2 orang) sebanyak 2

kali pemeriksaan dan juga dikonfirmasi oleh ahli patologi anatomi.

4.8.7.4 Pengamatan sel apoptosis jaringan otak dengan teknik DNA

terfragmentasi (TUNEL)

Slide dicuci menggunakan PBS pH 7,4 dan inkubasi menggunakan

20ug/mL proteinase-K selama 15 menit pada 370C. Cuci menggunakan PBS pH

7,4 tiga kali, masing-masing selama 5 menit. Inkubasi pada 3% H2O2 selama 15

menit dan selanjutnya cuci dengan PBS pH 7,4 tiga kali, masing-masing selama

5 menit. Inkubasi dengan Tunel fragmented DNA labelling selama 60 menit pada

370C. Cuci menggunakan PBS pH 7,4 tiga kali, masing-masing selama 5 menit.

Inkubasi dengan peroksidase solution selama 40 menit pada 370C. Cuci

menggunakan PBS pH 7,4 tiga kali, masing-masing selam 5 menit. Tetesi

menggunakan substrat untuk Peroksidase (DAB – DiaminoBenzidine) selama 20

Page 116: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

94

menit pada suhu ruang. Cuci dengan PBS pH 7,4 dan Counterstain dengan

Mayer hematoxilen selama 10 menit, bilas dengan air kran dan cuci dengan

dH2O, keringkan dan tutup cover glass. Kemudian diamati dibawah mikroskop

binokuler merk Olympus BxS1 dengan pembesaran 400x. Sel apoptosis

ditunjukkan dengan warna coklat pada inti sel. Pemeriksaan dilakukan oleh

peneliti dan peneliti yang lain (2 orang) sebanyak 2 kali pemeriksaan dan juga

dikonfirmasi oleh ahli patologi anatomi.

4.9 Penilaian Status Fungsional Tikus dengan NSS (Neurological

Severity Score)

Pemeriksaan NSS dilakukan sebelum perlakuan dan setelah selesai

perlakuan sebelum hewan coba dikorbankan. Penilaian NSS dijelaskan pada

table 4.1 berikut,

Tabel 4.1 Penilaian NSS Parameter Deskripsi Skor

1. Keluar dari lingkaran Tikus diletakkan pada papandan dihitung waktu keluar dari papan dengan diameter 30 cm.

0 = tikus dapat keluar dalam 2 menit 1 = tikus tidak dapat keluar dalam 2 menit

2. Perilaku mencari Tikus diletakkan pada papan dan diamati adanya perilaku eksprorasi dan mengendus pada papan

0 = terdapat perilaku eksprorasi 1 = tidak ada perilaku eksplorasi

3. Monoparesis atau hemiparesis

Terdapat gangguan dalam menggerakkan satu (monoparesis) atau dua anggota gerak (hemiparesis). Pada normalnya, tikus dapat menggenggam forsep yang disentuhkan pada telapak anggota gerak dan memegangnya

0 = tikus dapat menggenggam forsep 1 = tikus tidak dapat menggenggam forsep

4. Berjalan lurus Tikus diletakkan pada permukaan datar dan dinilai kesadaran, inisisasi dan kemampuan motorisnya

0 = tikus berjalan lurus 1 = tikus tidak berjalan lurus akibat kurang inisiasi atau menyeret salah satu atau lebih anggota geraknya

5. Refleks kejut Tikus dikejutkan dengan suara tepukan, dan tampak refleks kejut dengan melompat atau gerakan menggerenyet

0 = terdapat refleks kejut 1 = tidak ada respon

6. Balok keseimbangan Tikus diletakkan pada papan berukuran 7 mm x 7 mm dan diharapkan dapat seimbang pada papan selama 10 detik

0 = tikus dapat seimbang 1 = tikus gagal seimbang

7. Berjalan pada balok Tes ini bertujuan untuk menilai koordinasi motorik dan keseimbangan. Terdiri

0 = tikus dapat melalui 3 balok 1 = tikus dapat melalui balok

Page 117: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

95

dari papan sepanjang 30 cm dengan lebar 3 cm, 2 cm, 1 cm

dengan lebar 3 cm dan balok 2 cm 2 = tikus dapat melalui balok dengan lebar 3 cm saja 3 = tikus tidak dapat melalui balok

8. Keseimbangan pada tongkat silinder

Menilai keseimbangan dan kekuatan genggaman dengan menggenggam stik dengan diameter 3mm

0 = tikus dapat bertahan pada stik silinder seridaknya pada 2 anggota gerak 1 = tikus tidak dapat bertahan

(Wu et al., 2010)

Pemeriksaan NSS dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pada awal akan

dilakukan pemilihan tikus, karena tikus yang masuk untuk kriteria inklusi harus

memiliki nilai NSS yang normal, kemudian NSS dilakukan setelah diberikan

perlakuan dan kemudian NSS diperiksa sesuai hari tikus dikorbankan (untuk

kelompok hari ketiga diperiksa pada hari ketiga dan untuk kelompok hari ketujuh

diperiksa pada hari ketujuh).

Page 118: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

96

4.10 Alur penelitian

4.11 Analisis Data

Data ekspresi TNF-α, fragmentasi DNA dan status fungsional tikus,

selanjutnya diolah secara analitis dan deksripsi dengan menggunakan alat bantú

software komputer SPSS 22.0. Analisis yang dilakukan adalah uji asumsi,

normalitas dan homogenitas data. Jika uji asumsi terpenuhi, sebaran data normal

Seleksi hewan coba (N= 20) aklimatisasi selama

satu minggu

(A, n=8)

Pemeriksaan ekspresi TNF-α dengan metode imunohitokimia, sel apoptosis dengan metode Tunnel

fragmented DNA labelling

(B, n=8)

(C, n=8)

(D, n=8)

( K+ )

(E, n=8)

( K- )

Pemeriksaan Neurological Severity Score 1 jam post perlakuan

Pemeriksaan Neurological Severity Score pre perlakuan

Pembedahan tikus, diambil kedua hemisphere serebri.

Pemeriksaan Neurological Severity Score sebelum dikorbankan

Kelompok 3 Hari Kelompok 7 Hari

(A, n=4) (B, n=4) (C, n=4) (E, n=4) (D, n=4) (A, n=4) (B, n=4) (C, n=4) (E, n=4) (D, n=4)

Analisa data

Pengumpulan data

Page 119: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

97

dan varian data homogen, maka untuk data TNF-α dan sel apoptosis digunakan

uji analisis statistika parametrik, Oneway Anova dan Post Hoc Tuckey. Jika uji

asumsi tidak terpenuhi, digunakan uji alternatif non parametrik Kruskal Wallis dan

Mann Whitney. Dilakukan juga uji korelasi (Korelasi Pearson untuk uji parametrik

dan Korelasi Spearmen untuk uji non parametrik) dan uji regresi (Regresi Theil

untuk uji non parametrik dan uji regresi linier untuk uji parametrik). Sedangkan

untuk data status fungsional tikus, jika uji normalias terpenuhi, digunakan uji

Paired T-Test, jika tidak terpenuhi maka digunakan Uji Wilcoxon Signed Rank

Test. Penelitian ini dinilai dianalisis dengan taraf kepercayaan 95% (α=0,05).

Page 120: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

98

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Deskripsi Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian sebenarnya (true experimental

design) di laboratorium secara in vivo dengan randomized post test only controlled

group design pada hewan coba tikus (Rattus norvegicus) galur wistar. Penelitian ini

menggunakan strategi penelitian berupa penjatuhan beban pada jaringan otak tikus

model cedera otak traumatik, selanjutnya dilakukan pengamatan ekspresi TNF-α

dan sel apoptosis pada jaringan serta status fungsional tikus model cedera otak

traumatik. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran

Universitas Brawijaya Malang untuk tempat pemeliharaan hewan coba dan

pembedahan, Laboratorium Patologi Anatomi Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya

untuk tempat pembuatan slide imunohistokimia dan Laboratorium Biomedik Fakultas

Kedokteran Universitas Brawijaya Malang untuk tempat pengecatan

imunohistokimia, pada bulan April hingga Agustus 2016.

Penelitian ini menggunakan 40 ekor hewan coba tikus (Rattus norvegicus)

galur wistar. Yang terbagi menjadi 2 kelompok hari dan 5 kelompok perlakuan,

sehingga total ada 10 kelompok. Kelompok hari terbagi menjadi 2, yaitu kelompok

hari 3 (tiga) dan kelompok hari 7 (tujuh). Masing-masing terdiri dari 5 kelompok

perlakuan, tiap kelompok terdiri dari 4 ekor tikus. Kelima kelompok tersebut adalah

kelompok A atau kelompok kontrol negatif yaitu tikus yang tidak diberikan perlakuan

cedera otak traumatik maupun catechins, kelompok B atau kelompok kontrol positif

yang menjadi model cedera otak traumatik tanpa diberi catechins, kelompok C yaitu

kelompok perlakuan yang menjadi model cedera otak traumatik dan diberi catechins

Page 121: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

99

513 mg/kg bb perhari secara peroral selama 3 dan 7 hari, kelompok D yaitu

kelompok perlakuan yang menjadi model cedera otak traumatik dan diberi catechins

926 mg/kg bb perhari secara peroral selama 3 dan 7 hari, kelompok E yaitu

kelompok perlakuan yang menjadi model cedera otak traumatik dan diberi catechins

1113 mg/kg bb perhari secara peroral selama 3 dan 7 hari. Pengamatan ekspresi

TNF-α dan sel apoptosis pada jaringan otak tikus wistar jaringan serta status

fungsional tikus dilakukan setelah perlakuan selama 3 (tiga) dan 7 (tujuh) hari.

Kemudian, setelah didapatkan data pengamatan, dilakukan uji analisa data. Hasil

penelitian ini dianalisa menggunakan program analisis statistik, IBM SPSS

(Statistical Products and Service Solutions) Statistics, version 22.0 for windows.

Dalam perhitungan hasil penelitian ini digunakan taraf kepercayaan 95% (α = 0,05).

5.2 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Ekspresi TNF-α Tikus Model

Cedera Otak Traumatik pada Hari Ketiga

Pemeriksaan ekspresi TNF-α menggunakan metode imunohistokimia, pada

sampel otak tikus wistar menggunakan mikroskop dengan pembesaran 400x dan

tanda sel yang positif terwarnai coklat. Metode pemeriksaan dilakukan dengan

melakukan pengamatan pada 10 lapang pandang dari tiap sampel dan kelompok,

sehingga total dilakukan pengamatan pada 400 lapang pandang (10 x 4 x 10 = 400).

Terdapat 2 (dua) kelompok hari untuk pengamatan ekspresi TNF-α, yaitu pada hari

ketiga dan ketujuh. Pada sub bab ini akan dibahas mengenai kelompok hari ketiga.

Dokumentasi hasil pengamatan dibawah mikroskop dari tiap kelompok perlakuan

ditampilkan sebagai berikut pada gambar 5.1

Page 122: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

100

Gambar 5.1 Hasil pengecatan Imunohistokimia TNF-α kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan, pada Hari ke tiga. Tanda panah menunjukkan sel dengan ekspresi TNF-α sitoplasma

sel neuron terwarnai coklat sedangkan inti tetap biru. Dilihat dengan menggunakan mikroskop dengan

pembesaran 400x pada 10 lapang pandang. Pada gambar :

A. Kontrol positif (+) hari ke 3 Terdapat 45 jumlah sel neuron dengan 35 sel neuron positif

B. Kontrol negatif (-) hari ke 3 Terdapat 42 jumlah sel neuron dengan tidak ada sel neuron yang

positif

C. Ekstrak catechins dosis 1 hari ke 3 Terdapat 47 jumlah sel neuron dengan sel neuron positif

32

D. Ekstrak catechins dosis 1 hari ke 3Terdapat 42 jumlah sel neuron dengan sel neuron positif

28

E. Ekstrak catechins dosis 1 hari ke 3 Terdapat 42 jumlah sel neuron dengan sel neuron positif

17

Page 123: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

101

Tabel 5.1 Nilai Rerata dan Standar Deviasi Ekspresi TNF-α Jaringan Otak Tikus

Model Cedera Otak Traumatik, pada Hari Ketiga

Kelompok Rerata ± St.Dev Signifikansi (p)

Kontrol Negatif 2.8 ± 0.85

0.002*

Kontrol Positif 26.475 ± 0.88

Catechins 513 mg/kgBB/hari 25 ± 3.31

Catechins 926mg/kgBB/hari 21.775 ± 0.69

Catechins 1113 mg/kgBB/hari 14.475 ± 1.67

2,8

26,47525

21,775

14,475

0

5

10

15

20

25

30

RER

ATA

JU

MLA

H S

EL P

OSI

TIF

Kontrol Negatif

Kontrol Positif

513 mg/KgBB/hari

926 mg/KgBB/hari

1113 mg/KgBB/hari

Gambar 5.2 Grafik Histogram Rerata dan Standar deviasi Ekspresi TNF-α Hari ke-3

Dari tabel dan grafik diatas, dapat diketahui bahwa kelompok kontrol negatif

memiliki ekspresi TNF-α yang paling kecil dan kelompok kontrol positif sebaliknya,

yang paling besar. Sementara, kelompok yang diberikan catechins, menunjukkan

gradasi terbalik, dengan kelompok diberikan catechins dengan dosis terbesar (1113

mg/kgBB/hari) menunjukkan ekspresi TNF-α yang paling kecil.

Selanjutnya, data tersebut dianalisa secara statistik untuk mengetahui

komparasi dan korelasi nya. Sebelum dilakukan uji komparasi dan korelasi statistik,

set data dilakukan uji asumsi data, yaitu uji normalitas dan homogenitas data. Uji

normalitas data menggunakan Saphiro Wilk, karena jumlah data < 50. Hasil uji

Page 124: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

102

normalitas data, p = 0.010 (p<0.05), kemudian dilakukan transformasi dengan

metode Log10, akar kuadrat, arsin dan exp, namun tidak merubah nilai p, sehingga

dapat dinyatakan bahwa data tidak terdistribusi normal. Karena uji asumsi data tidak

terpenuhi, maka selanjutnya dilakukan uji non parametrik, Kruskal Wallis, Mann

Whitney, dan Korelasi Spearmen.

Uji Kruskal Wallis dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan antara

kelompok perlakuan yang diamati secara keseluruhan. Hasil uji Krsukal Wallis

menunjukkan nilai p = 0.002 (p<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat

perbedaan yang bermakna (signifikan) antara kelompok perlakuan yang diamati

terhadap TNF-α pada hari ketiga. Untuk mengetahui kelompok yang berbeda

bermakna secara spesifik, dilakukan uji Mann Whitney, dengan hasil berikut

Tabel 5.2 Hasil Uji Mann Whitney pada TNF-α Hari Ketiga

Kelompok

Perlakuan 1

Kelompok

Perlakuan 2

Signifikansi

Kontrol - Kontrol +

513 mg/kgbb

926 mg/kgbb

1113 mg/kgbb

0.021*

0.021*

0.021*

0.020*

Kontrol + 513 mg/kgbb

926 mg/kgbb

1113 mg/kgbb

0.248

0.021*

0.020*

513 mg/kgbb 926 mg/kgbb

1113 mg/kgbb

0.149

0.020*

926 mg/kgbb 1113 mg/kgbb 0.020*

*kelompok yang memiliki perbedaan yang bermakna (signifikan) (p<0.05)

Dari tabel dapat diketahui bahwa Kontrol negatif memiliki perbedaan yang

signifikan dengan semua kelompok perlakuan lainnya. Kontrol positif memiliki

perbedaan yang bermakna dengan kelompok perlakuan dosis 926 dan 1113

Page 125: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

103

mg/kgBB/hari. Dan kelompok dosis terbesar, 1113 mg/kgBB/hari memiliki perbedaan

yang bermakna dengan kedua dosis lainnya.

Selanjutnya, dilakukan uji korelasi data Spearmen, untuk mengetahui

hubungan antara dosis pemberian catechins dengan ekspresi TNF-α. Hasil uji

korelasi Spearmen, menunjukkan nilai p =0.000, maka dapat disimpulkan bahwa

terdapat hubungan yang bermakna (signifikan) antara ekspresi TNF-α dengan dosis

pemberian catechins pada tikus model cedera otak traumatik. Besar koefisien

korelasi Pearson, (R) = -0.886, artinya hubungan antara ekspresi TNF-α dengan

dosis pemberian catechins memiliki arah negatif dan kekuatan sebesar 0.886. Arah

negatif berarti, semakin tinggi dosis catechins, maka semakin rendah ekspresi TNF-

α pada tikus model cedera otak traumatik. Besar koefisien korelasi 0.886, berarti

kekuatan korelasi nya sangat kuat.

5.3 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Ekspresi TNF-α Tikus Model

Cedera Otak Traumatik pada Hari Ketujuh

Sub bab ini merupakan lanjutan dari sub bab sebelumnya. Pada sub bab

ini akan dibahas mengenai kelompok hari ketujuh. Dokumentasi hasil

pengamatan dibawah mikroskop dari tiap kelompok perlakuan ditampilkan

sebagai berikut pada gambar 5.3

Page 126: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

104

Gambar 5.3 Hasil pengecatan Imunohistokimia TNF-α kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan, pada hari ketiga. Tanda panah menunjukkan sel dengan ekspresi TNF-α sitoplasma

sel neuron terwarnai coklat sedangkan inti tetap biru. Dilihat dengan menggunakan mikroskop dengan

pembesaran 400x pada 10 lapang pandang. Pada gambar :

A. Kontrol positif (+) hari ke 7 Terdapat 46 jumlah sel neuron dengan 38 sel neuron positif

B. Kontrol negatif (-) hari ke 7 Terdapat 37 jumlah sel neuron dengan sel neuron positif 2

C. Ekstrak catechins dosis 1 hari ke 7 Terdapat 45 jumlah sel neuron dengan sel neuron positif

25

D. Ekstrak catechins dosis 1 hari ke 7 Terdapat 36 jumlah sel neuron dengan sel neuron positif

22

E. Ekstrak catechins dosis 1 hari ke 7 Terdapat 38 jumlah sel neuron dengan sel neuron positif

14

Page 127: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

105

Tabel 5.3 Nilai Rerata dan Standar Deviasi Ekspresi TNF-α Jaringan Otak Tikus

Model Cedera Otak Traumatik, pada Hari Ketujuh

Kelompok Rerata ± St.Dev Signifikansi (p)

Kontrol Negatif 2.1 ± 0.14

0.000

Kontrol Positif 24.95 ± 2.68

Catechins 513 mg/kgBB/hari 16.025 ± 1

Catechins 926mg/kgBB/hari 13.825 ± 0.85

Catechins 1113 mg/kgBB/hari 9.425 ± 1.53

2,1

24,95

16,02513,825

9,425

0

5

10

15

20

25

30

RER

ATA

JU

MLA

H S

EL P

OSI

TIF

Kontrol Negatif

Kontrol Positif

513 mg/KgBB/hari

926 mg/KgBB/hari

1113 mg/KgBB/hari

Gambar 5.4 Grafik Histogram Rerata dan Standar deviasi Ekspresi TNF-α Hari ke-7

Dari tabel dan grafik diatas, dapat diketahui bahwa kelompok Kontrol negatif

memiliki ekspresi TNF-α yang paling kecil dan kelompok kontrol positif sebaliknya,

yang paling besar. Sementara, kelompok yang diberikan catechins, menunjukkan

gradasi terbalik, dimana kelompok yang diberikan catechins dengan dosis terbesar

(1113 mg/kgBB/hari) memiliki ekspresi TNF-α yang paling kecil. Selain itu, antara

Kelompok Kontrol Positif dan dosis catechins terkecil, 513 mg/kgBB/hari, terlihat

terdapat perbedaan yang sangat besar.

Selanjutnya, data tersebut dianalisa secara statistik untuk mengetahui

komparasi dan korelasi nya. Sebelum dilakukan uji komparasi dan korelasi statistik,

Page 128: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

106

set data dilakukan uji asumsi data, yaitu uji normalitas dan homogenitas data. Uji

normalitas data menggunakan Saphiro Wilk, karena jumlah data < 50. Hasil uji

normalitas data, p = 0.301 (p<0.05), sehingga dapat dinyatakan bahwa data

terdistribusi normal. Hasil pengujian homogenitas data Levene menunjukkan nilai p

= 0.187 (p>0.05), maka dapat diinterpretasikan bahwa variansi data homogen.

Karena uji asumsi data telah terpenuhi, maka selanjutnya dilakukan uji parametrik,

one way ANOVA, Post Hoc Tuckey, Korelasi Pearson dan Regresi Linier.

Uji ANOVA dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan antara kelompok

perlakuan yang diamati secara keseluruhan. Hasil uji ANOVA menunjukkan nilai p =

0.000 (p<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang

bermakna (signifikan) antara kelompok perlakuan yang diamati terhadap TNF-α

pada hari ketujuh. Untuk mengetahui kelompok mana saja yang berbeda bermakna

(spesifik) secara spesifik, dilakukan uji Post Hoc Tukey. Hasil uji Post Hoc Tukey

pada data TNF-α hari ketujuh, ditunjukkan pada tabel berikut

Tabel 5.4 Hasil Uji Post Hoc pada TNF-α Hari Ketujuh

Kelompok

Perlakuan 1

Kelompok

Perlakuan 2

Signifikansi

Kontrol - Kontrol +

513 mg/kgbb

926 mg/kgbb

1113 mg/kgbb

0.000*

0.000*

0.000*

0.003*

Kontrol + 513 mg/kgbb

926 mg/kgbb

1113 mg/kgbb

0.000*

0.000*

0.000*

513 mg/kgbb 926 mg/kgbb

1113 mg/kgbb

0.283

0.000*

926 mg/kgbb 1113 mg/kgbb 0.007*

*kelompok yang memiliki perbedaan yang bermakna (signifikan) (p<0.05)

Page 129: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

107

Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa kontrol negatif dan kontrol positif

memiliki perbedaan yang signifikan dengan semua kelompok perlakuan lainnya. Dan

dari kelompok dosis pemberian catechins, hanya antara dosis terkecil (513

mg/kgBB/hari) dan 926 mg/kgBB/hari yang memiliki perbedaan yang tidak bermakna

(signifikan).

Selanjutnya, dilakukan uji korelasi data Pearson, untuk mengetahui

hubungan antara dosis pemberian catechins dengan ekspresi TNF-α.

Hasil uji korelasi Pearson, menunjukkan nilai p = 0.000, maka dapat

disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna (signifikan) antara ekspresi

TNF-α dengan dosis pemberian catechins pada tikus model cedera otak traumatik.

Besar koefisien korelasi Pearson, (R) = 0.947, artinya hubungan antara ekspresi

TNF-α dengan dosis pemberian catechins memiliki arah negatif dan kekuatan

sebesar 0.947. Arah negatif berarti, semakin tinggi dosis catechins, maka semakin

rendah ekspresi TNF-α pada tikus model cedera otak traumatik. Besar koefisien

korelasi 0.947, berarti kekuatan korelasinya sangat kuat. Yang terakhir dilakukan uji

regresi linier, dan didapatkan hasil nilai R2 = 0.897 dan persamaan garis

Koefisien determinasi (R2) adalah ukuran ketepatan atau kecocokan garis

regresi. Selain itu, R2 juga dapat digunakan untuk mengukur besar proporsi

keragaman total yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Hasil pengujian nilai R2 =

0.897 menjelaskan bahwa sumbangan atau kontribusi dari variasi dosis catechins

dalam menjelaskan keragaman variabel TNF-α sebesar 89.7%, sedangkan 10.3%

lainnya disumbangkan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan ke dalam

persamaan ini.

TNF-α = -0.013 dosis + 24.312

Page 130: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

108

5.4 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Apoptosis Jaringan Otak Tikus

Model Cedera Otak Traumatik, pada Hari Ketiga

Pemeriksaan sel apoptosis jaringan otak tikus, dilakukan dengan teknik DNA

terfragmentasi (TUNEL) dan diamati menggunakan mikroskop binokuler merk

Olympus BxS1 dengan pembesaran 400x. Sel apoptosis ditunjukkan dengan warna

coklat pada inti sel. Metode pemeriksaan yang dilakukan sama dengan sebelumnya,

melakukan pengamatan pada 10 lapang pandang dari tiap sampel dan kelompok,

sehingga total dilakukan pengamatan pada 400 lapang pandang (10 x 4 x 10 = 400).

Terdapat 2 (dua) kelompok hari untuk pengamatan ekspresi TNF-α, yaitu pada hari

ketiga dan ketujuh. Pada sub bab ini akan dibahas mengenai kelompok hari ketiga.

Dokumentasi hasil pengamatan dibawah mikroskop dari tiap kelompok perlakuan

ditampilkan sebagai berikut pada gambar 5.5

Page 131: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

109

Gambar 5.5 Hasil pengecatan Imunohistokimia kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan. Tanda panah menunjukkan sel dengan ekspresi DNA yang terfragmentasi dengan inti

terwarnai coklat sitoplasma tetap biru. Dilihat dengan menggunakan mikroskop dengan pembesaran

400x pada 10 lapang pandang. Pada Gambar :

A. Kontrol negatif (-) hari ke 3 Terdapat 45 jumlah sel neuron dengan 4 sel neuron positif

B. Ekstrak catechins dosis 1 hari ke 3 Terdapat 44 jumlah sel neuron dengan sel neuron positif

31

C. Ekstrak catechins dosis 1 hari ke 3 Terdapat 45 jumlah sel neuron dengan sel neuron positif

25

D. Ekstrak catechins dosis 1 hari ke 3 Terdapat 40 jumlah sel neuron dengan sel neuron positif

15

Tabel 5.5 Nilai Rerata dan Standar Deviasi Sel Apoptosis Jaringan Otak Tikus Model Cedera Otak Traumatik

Kelompok Rerata ± St.Dev Signifikansi (p.)

Kontrol Negatif 2.2 ± 0.43

0.004*

Kontrol Positif 28.18 ± 4.61

Catechins 513 mg/kgBB/hari 23.78 ± 0.59

Catechins 926mg/kgBB/hari 25.6 ± 2.53

Catechins 1113 mg/kgBB/hari 17.3 ± 0.96

2,2

28,175

23,77525,6

17,3

0

5

10

15

20

25

30

35

RER

ATA

JU

MLA

H S

EL P

OSI

TIF

Kontrol Negatif

Kontrol Positif

513 mg/KgBB/hari

926 mg/KgBB/hari

1113 mg/KgBB/hari

Gambar 5.6 Grafik Histogram Rerata dan Standar deviasi Sel Apoptosis Jaringan Otak

Tikus Model Cedera Otak Traumatik, Hari ke-3

Page 132: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

110

Dari tabel dan grafik diatas, dapat diketahui bahwa pada hari ketiga,

kelompok kontrol negatif memiliki jumlah sel apoptosis yang paling kecil dan

kelompok kontrol positif sebaliknya, yang paling besar. Sementara, kelompok yang

diberikan catechins, menunjukkan bahwa kelompok dosis 1 (513 mg/kgBB/hari) dan

dosis 2 (926 mg/kgBB/hari) tidak memiliki perbedaan yang nyata, walaupun

demikian, rerata jumlah sel apoptosis pada kelompok dosis 2 lebih tinggi daripada

kelompok dosis 1. Penurunan jumlah sel apoptosis terbesar ditunjukkan pada

kelompok yang diberikan catechins dengan dosis terbesar (1113 mg/kgBB/hari).

Selanjutnya, data tersebut dianalisa secara statistik untuk mengetahui

komparasi dan korelasi nya. Sebelum dilakukan uji komparasi dan korelasi statistik,

set data dilakukan uji asumsi data, yaitu uji normalitas dan homogenitas data. Uji

normalitas data menggunakan Saphiro Wilk, karena jumlah data < 50. Hasil uji

normalitas data, p = 0.007 (p>0.05), kemudian dilakukan transformasi dengan

metode Log10, akar kuadrat, arsin dan exp, namun tidak merubah nilai p, sehingga

dapat dinyatakan bahwa data tidak terdistribusi normal. Karena uji asumsi data tidak

terpenuhi, maka selanjutnya dilakukan uji non parametrik, Kruskal Wallis, Mann

Whitney, dan Korelasi Spearmen.

Uji Kruskal Wallis dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan antara

kelompok perlakuan yang diamati secara keseluruhan. Hasil uji Kruskal Wallis

menunjukkan nilai p = 0.004 (p<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat

perbedaan yang bermakna (signifikan) antara kelompok perlakuan yang diamati

terhadap Sel apoptosis (TUNEL) pada hari ketiga. Untuk mengetahui kelompok

mana saja yang berbeda bermakna (spesifik) secara spesifik, dilakukan uji Mann

Whitney. Hasil uji Mann Whitney pada data TUNEL hari ketiga, ditunjukkan pada

tabel 5.6

Page 133: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

111

Tabel 5.6 Hasil Uji Mann Whitney pada Sel Apoptosis Hari Ketiga

Kelompok

Perlakuan 1

Kelompok

Perlakuan 2

Signifikansi

Kontrol - Kontrol +

513 mg/kgbb

926 mg/kgbb

1113 mg/kgbb

0.021*

0.021*

0.021*

0.021*

Kontrol + 513 mg/kgbb

926 mg/kgbb

1113 mg/kgbb

0.248

0.248

0.021*

513 mg/kgbb 926 mg/kgbb

1113 mg/kgbb

0.248

0.021*

926 mg/kgbb 1113 mg/kgbb 0.021*

*kelompok yang memiliki perbedaan yang bermakna (signifikan) (p<0.05)

Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa Kontrol negatif memiliki perbedaan

yang signifikan dengan semua kelompok perlakuan lainnya. Kontrol positif hanya

berbeda signifikan dengan kelompok dosis terbesar, 1113 mg/kgBB/hari. Dan dari

kelompok dosis pemberian catechins, hanya perbandingan dengan dosis catechins

terbesar (1113 mg/kgBB/hari) yang memiliki perbedaan yang bermakna.

Selanjutnya, dilakukan uji korelasi data Spearmen, untuk mengetahui

hubungan antara dosis pemberian catechins dengan sel apoptosis. Hasil uji korelasi

Spearmen, menunjukkan nilai p = 0.004, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat

hubungan yang bermakna (signifikan) antara sel apoptosis dengan dosis pemberian

cathechins pada tikus model cedera otak traumatic. Besar koefisien korelasi

Spearmen, (R) = -0.679, artinya hubungan antara sel apoptosis dengan dosis

pemberian catechins memiliki arah negatif dan kekuatan sebesar 0.679. Arah negatif

berarti, semakin tinggi dosis catechins, maka semakin rendah sel apoptosis pada

Page 134: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

112

tikus model cedera otak traumatik. Besar koefisien korelasi 0.679, berarti kekuatan

korelasi nya kuat.

5.5 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Apoptosis Jaringan Otak Tikus

Model Cedera Otak Traumatik pada Hari Ketujuh

Sub bab ini merupakan lanjutan dari sub bab sebelumnya. Pada sub bab

ini akan dibahas mengenai kelompok hari ketujuh. Dokumentasi hasil

pengamatan dibawah mikroskop dari tiap kelompok perlakuan ditampilkan

sebagai berikut pada gambar 5.7

Gambar 5.7 Hasil pengecatan Imunohistokimia kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan Tanda panah menunjukkan sel dengan ekspresi DNA yang terfragmentasi dengan inti

terwarnai coklat sitoplasma tetap biru. Dilihat dengan menggunakan mikroskop dengan pembesaran

400x pada 10 lapang pandang. Pada gambar :

A. Kontrol positif (+) hari ke 7. Terdapat 44 jumlah sel neuron dengan 32 sel neuron positif

B. Kontrol negatif (-) hari ke 7 Terdapat 46 jumlah sel neuron dengan 3 sel neuron positif

C. Ekstrak cathechins dosis 1 hari ke 7 Terdapat 42 jumlah sel neuron dengan 22 sel neuron

positif

Page 135: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

113

D. Ekstrak cathechins dosis 1 hari ke 7 Terdapat 42 jumlah sel neuron dengan 21 sel neuron

positif

E. Ekstrak cathechins dosis 1 hari ke 7 Terdapat 44 jumlah sel neuron dengan 16 sel neuron

positif

Tabel 5.7 Nilai Rerata dan Standar Deviasi Sel Apoptosis Jaringan Otak Tikus Model Cedera Otak Traumatik, pada Hari Ketujuh

Kelompok Rerata ± St.Dev Signifikansi (p.)

Kontrol Negatif 2.2 ± 0.64

0.000*

Kontrol Positif 25.7 ± 3.14

Catechins 513 mg/kgBB/hari 19.2 ± 1.61

Catechins 926mg/kgBB/hari 16.575 ± 0.45

Catechins 1113 mg/kgBB/hari 9.1 ± 0.86

2,2

25,7

19,2

16,575

9,1

0

5

10

15

20

25

30

35

RER

ATA

JU

MLA

H S

EL P

OSI

TIF

Kontrol Negatif

Kontrol Positif

513 mg/KgBB/hari

926 mg/KgBB/hari

1113 mg/KgBB/hari

Gambar 5.8 Grafik Histogram Rerata dan Standar deviasi Sel Apoptosis Jaringan Otak

Tikus Model Cedera Otak Traumatik, Hari ke-7

Dari tabel dan grafik diatas, dapat diketahui bahwa kelompok Kontrol negatif

memiliki jumlah sel apoptosis yang paling kecil dan kelompok kontrol positif

sebaliknya, yang paling besar. Sementara, kelompok yang diberikan catechins,

Page 136: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

114

menunjukkan gradasi terbalik, dimana kelompok yang diberikan catechins dengan

dosis terbesar (1113 mg/kgBB/hari) memiliki ekspresi TNF-α yang paling kecil.

Selanjutnya, data tersebut dianalisa secara statistik untuk mengetahui

komparasi dan korelasi nya. Sebelum dilakukan uji komparasi dan korelasi statistik,

set data dilakukan uji asumsi data, yaitu uji normalitas dan homogenitas data. Uji

normalitas data menggunakan Saphiro Wilk, karena jumlah data < 50. Hasil uji

normalitas data, p = 0.303 (p<0.05), sehingga dapat dinyatakan bahwa data

terdistribusi normal.

Hasil pengujian homogenitas data Levene menunjukkan nilai p = 0.126

(p>0.05), maka dapat diinterpretasikan bahwa variansi data homogen. Karena uji

asumsi data telah terpenuhi, maka selanjutnya dilakukan uji parametrik, one way

ANOVA, Post Hoc Tuckey, Korelasi Pearson dan Regresi Linier.

Uji ANOVA dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan antara kelompok

perlakuan yang diamati secara keseluruhan. Hasil uji ANOVA menunjukkan nilai p =

0.000 (p<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang

bermakna (signifikan) antara kelompok perlakuan yang diamati terhadap sel

apoptosis pada hari ketujuh. Untuk mengetahui kelompok mana saja yang berbeda

bermakna (spesifik) secara spesifik, dilakukan uji Post Hoc Tukey. Hasil uji Post Hoc

Tukey pada data TNF-α hari ketujuh, ditunjukkan pada tabel 5.8

Page 137: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

115

Tabel 5.8 Hasil Uji Post Hoc pada Sel Apoptosis Hari Ketujuh

Kelompok

Perlakuan 1

Kelompok

Perlakuan 2

Signifikansi

Kontrol - Kontrol +

513 mg/kgbb

926 mg/kgbb

1113 mg/kgbb

0.000*

0.000*

0.000*

0.000*

Kontrol + 513 mg/kgbb

926 mg/kgbb

1113 mg/kgbb

0.000*

0.000*

0.000*

513 mg/kgbb 926 mg/kgbb

1113 mg/kgbb

0.219

0.000*

926 mg/kgbb 1113 mg/kgbb 0.000*

*kelompok yang memiliki perbedaan yang bermakna (signifikan) (p<0.05)

Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa Kontrol negatif dan Kontrol Positif

memiliki perbedaan yang signifikan dengan semua kelompok perlakuan lainnya. Dan

dari kelompok dosis pemberian catechins, hanya antara kelompok dosis 513 dan

926b mg/kgBB/hari yang memiliki perbedaan yang tidak bermakna (signifikan).

Selanjutnya, dilakukan uji korelasi data Pearson, untuk mengetahui

hubungan antara dosis pemberian catechins dengan sel apoptosis. Hasil uji korelasi

Pearson, menunjukkan nilai p = 0.000, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat

hubungan yang bermakna (signifikan) antara apoptosis sel dengan dosis pemberian

cathechins pada tikus model cedera otak traumatik. Besar koefisien korelasi

Pearson, (R) = -0.922, artinya hubungan antara apoptosis sel dengan dosis

pemberian catechins memiliki arah negatif dan kekuatan sebesar 0.922 arah negatif

berarti, semakin tinggi dosis catechins, maka semakin rendah sel apoptosis pada

tikus model cedera otak traumatik. Besar koefisien korelasi 0.922, berarti kekuatan

Page 138: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

116

korelasinya sangat kuat. Yang terakhir dilakukan uji regresi linier, dan didapatkan

hasil nilai R2 = 0.849 dan persamaan garis

Koefisien determinasi (R2) adalah ukuran ketepatan atau kecocokan garis

regresi. Selain itu, R2 juga dapat digunakan untuk mengukur besar proporsi

keragaman total yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Hasil pengujian nilai R2 =

0.849 menjelaskan bahwa sumbangan atau kontribusi dari variasi dosis catechins

dalam menjelaskan keragaman variabel apoptosis sel sebesar 84.9%, sedangkan

15.1% lainnya disumbangkan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan ke dalam

persamaan ini.

5.6 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Status Fungsional Tikus Model

Cedera Otak Traumatik, pada Hari Ketiga

Evaluasi status fungsional otak tikus dilakukan dengn menggunakan metode

NSS (Neurologic Severity Score). Dilakukan evaluasi NSS sebanyak 4 kali, yaitu

pada 1 jam sebelum perlakuan cedera otak traumatic, 1 jam setelah perlakuan, dan

sebelum dikorbankan pada hari ke-3 (tiga) atau hari ke-7 (tujuh). NSS merupakan

skala numerik, dengan 0 adalah nilai terendah (derajat keparahan terkecil) dan 10

adalah nilai tertinggi (derajat keparahan terbesar). Pada sub bab ini akan dibahas

mengenai hasil penelitian pada kelompok hari ketiga. Hasil rerata tiap sampel

ditunjukkan pada tabel 5.9

TUNEL = -0.013 dosis + 26.107

Page 139: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

117

Tabel 5.9 Nilai Rerata dan Standar Deviasi NSS Tikus Model Cedera Otak Traumatik, pada Kelompok 3 Hari

Kelompok Hari Ke-0 Hari Ke-3 Sig. (p.)

Kontrol Negatif 0 ± 0 0 ± 0

0.000*

Kontrol Positif 3.25 ± 1.25 4.25 ± 1.25

Catechins 513 mg/kgBB/hari 3 ± 0.82 1.75 ± 0.5

Catechins 926mg/kgBB/hari 4 ± 1.41 3 ± 0.81

Catechins 1113 mg/kgBB/hari 3.25 ± 1.25 2.5 ± 0.57

0 0

3,25

4,25

3

1,75

4

3 3,25

2,5

0

1

2

3

4

5

6

NSS

Gambar 5.9 Grafik Histogram Rerata dan Standar deviasi NSS Tikus Model Cedera

Otak Traumatik, Hari ke-tiga

Dari tabel dan grafik diatas, dapat diketahui bahwa kelompok kontrol negatif

memiliki rerata NSS terkecil, 0 (nol) dan kelompok kontrol positif memiliki rerata nilai

tertinggi. Kontrol positif menunjukkan peningkatan NSS antara hari ke-0 dan hari ke-

3. Sementara, semua kelompok perlakuan yang diberikan catechins, menunjukkan

penurunan nilai NSS.

Selanjutnya, data tersebut dianalisa secara statistic untuk mengetahui

komparasi dan korelasi nya. Sebelum dilakukan uji komparasi dan korelasi statistik,

set data dilakukan uji asumsi data, yaitu uji normalitas dan homogenitas data. Uji

normalitas data menggunakan Saphiro Wilk, karena jumlah data < 50. Hasil uji

Page 140: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

118

normalitas data, p = 0.112 (p<0.05), sehingga dapat dinyatakan bahwa data

terdistribusi normal.

Hasil pengujian homogenitas data Levene, nilai p = 0.138 (p>0.05), sehingga

dapat diinterpretasikan bahwa variansi data homogen. Karena uji asumsi data telah

terpenuhi, maka selanjutnya dilakukan uji parametric, one way ANOVA, post Hoc

Tuckey, Korelasi Pearson dan Regresi Linier.

Uji ANOVA dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan antara kelompok

perlakuan yang diamati secara keseluruhan. Hasil uji ANOVA menunjukkan nilai p =

0.000 (p<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang

bermakna (signifikan) antara kelompok perlakuan yang diamati terhadap NSS pada

hari ketiga. Untuk mengetahui kelompok mana saja yang berbeda bermakna

(spesifik) secara spesifik, dilakukan uji Post Hoc Tukey. Hasil uji Post Hoc Tukey

pada data NSS hari ketiga, ditunjukkan pada tabel berikut

Tabel 5.10 Hasil Uji Post Hoc pada NSS Hari Ketiga

Kelompok

Perlakuan 1

Kelompok

Perlakuan 2

Signifikansi

Kontrol - Kontrol +

513 mg/kgbb

926 mg/kgbb

1113 mg/kgbb

0.000*

0.034*

0.000*

0.002*

Kontrol + 513 mg/kgbb

926 mg/kgbb

1113 mg/kgbb

0.002*

0.184

0.034*

513 mg/kgbb 926 mg/kgbb

1113 mg/kgbb

0.184

0.632

926 mg/kgbb 1113 mg/kgbb 0.877

*kelompok yang memiliki perbedaan yang bermakna (signifikan) (p<0.05)

Page 141: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

119

Dari tabel dapat diketahui bahwa Kontrol negatif memiliki perbedaan yang

signifikan dengan semua kelompok perlakuan lainnya. Kontrol positif memiliki

perbedaan yang bermakna dengan kelompok perlakuan dosis 513 dan 1113

mg/kgBB/hari. Dan antar kelompok dosis pemberian catechins, tidak terdapat

perbedaan yang bermakna.

Selanjutnya, dilakukan uji korelasi data Pearson, untuk mengetahui

hubungan antara dosis pemberian catechins dengan NSS. Hasil uji korelasi

Pearson, menunjukkan nilai p =0.088, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat

hubungan yang bermakna (signifikan) antara NSS dengan dosis pemberian

cathechins pada tikus model cedera otak traumatik. Besar koefisien korelasi

Pearson, (R) = -0.441, artinya hubungan antara NSS dengan dosis pemberian

catechins memiliki arah negatif dan kekuatan 0.441 arah negatif berarti, semakin

tinggi dosis catechins, maka semakin rendah NSS pada tikus model cedera otak

traumati. Besar koefisien korelasi 0.441, berarti kekuatan korelasi nya moderat.

Yang terakhir dilakukan uji regresi linier, dan didapatkan hasil nilai R2 = 0.194 dan

persamaan garis

Koefisien determinasi (R2) adalah ukuran ketepatan atau kecocokan garis

regresi. Selain itu, R2 juga dapat digunakan untuk mengukur besar proporsi

keragaman total yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Hasil pengujian nilai R2 =

0.194 menjelaskan bahwa sumbangan atau kontribusi dari variasi dosis catechins

dalam menjelaskan keragaman variabel NSS hanya sebesar 19.4%, sedangkan

80.6% lainnya disumbangkan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan ke dalam

persamaan ini.

TNF-α = -0.001 dosis + 3.642

Page 142: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

120

5.7 Pengaruh Pemberin Catechins terhadap Status Fungsional Tikus Model

Cedera Otak Traumatik pada Hari Ketujuh

Sub bab ini merupakan lanjutan dari sub bab sebelumnya. Pada sub bab ini

akan dibahas mengenai kelompok hari ketujuh. Hasil rerata tiap sampel ditunjukkan

pada tabel berikut

Tabel 5.11 Nilai Rerata dan Standar Deviasi NSS Tikus Model Cedera Otak Traumatik, pada Kelompok 7 Hari

Kelompok Hari Ke-0 Hari Ke-7 Sig. (p.)

Kontrol Negatif 0 ± 0 0 ± 0

0.002*

Kontrol Positif 3.25 ± 0.5 5 ± 0.82

Catechins 513 mg/kgBB/hari 3.25 ± 0.5 1.75 ± 0.5

Catechins 926mg/kgBB/hari 3.75 ± 0.95 2.25 ± 0.5

Catechins 1113 mg/kgBB/hari 4 ± 1.63 1.25 ± 0.5

0 0

3,25

5

3,25

1,75

3,75

2,25

4

1,25

0

1

2

3

4

5

6

7

NSS

Gambar 5.10 Grafik Histogram Rerata dan Standar deviasi NSS Tikus Model Cedera

Otak Traumatik, Hari ke-tujuh

Dari tabel dan grafik diatas, dapat diketahui bahwa pada hari ketujuh,

kelompok kontrol negatif tetap memiliki status fungsional terbaik, dengan nilai 0

(nol). Pada hari ke-0 setelah dilakukan perlakuan cedera otak traumatic fokal, nilai

NSS terbesar ditunjukkan pada kelompok dengan dosis terbesar, namun hal ini tidak

Page 143: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

121

bermakna apapun, karena pemberian dosis catechins belum dimulai. Pada hari

ketujuh, Kontrol negatif menunjukkan peningkatan nilai NSS dan menjadi kelompok

dengan status fungsional terburuk. Semua kelompok perlakuan yang diberikan dosis

catechins, menunjukkan penurunan nilai NSS. Penurunan nilai NSS terbesar

ditunjukkan pada kelompok yang diberikan catechins dengan dosis terbesar (1113

mg/kgBB/hari), dari nilai NSS terbesar pada hari ke-0 menjadi nilai NSS terkecil

(selain kontrol negatif) pada hari ketujuh.

Selanjutnya, data tersebut dianalisa secara statistik untuk mengetahui

komparasi dan korelasi nya. Sebelum dilakukan uji komparasi dan korelasi statistik,

set data dilakukan uji asumsi data, yaitu uji normalitas dan homogenitas data. Uji

normalitas data menggunakan Saphiro Wilk, karena jumlah data < 50. Hasil uji

normalitas data, p = 0.018 (p>0.05), kemudian dilakukan transformasi dengan

metode Log10, akar kuadrat, arsin dan exp, namun tidak merubah nilai p, sehingga

dapat dinyatakan bahwa data tidak terdistribusi normal. Karena uji asumsi data tidak

terpenuhi, maka selanjutnya dilakukan uji non parametrik, Kruskal Wallis, Mann

Whitney, dan Korelasi Spearmen.

Uji Kruskal Wallis dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan antara

kelompok perlakuan yang diamati secara keseluruhan. Hasil uji Kruskal Wallis

menunjukkan nilai p = 0.002 (p<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat

perbedaan yang bermakna (signifikan) antara kelompok perlakuan yang diamati

terhadap NSS pada hari ketujuh. Untuk mengetahui kelompok mana saja yang

berbeda bermakna (spesifik) secara spesifik, dilakukan uji Mann Whitney. Hasil uji

Mann Whitney pada data NSS hari ketujuh, ditunjukkan pada tabel 5.12

Page 144: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

122

Tabel 5.12 Hasil Uji Mann Whitney pada NSS Hari Ketujuh

Kelompok

Perlakuan 1

Kelompok

Perlakuan 2

Signifikansi

Kontrol - Kontrol +

513 mg/kgbb

926 mg/kgbb

1113 mg/kgbb

0.013*

0.011*

0.011*

0.011*

Kontrol + 513 mg/kgbb

926 mg/kgbb

1113 mg/kgbb

0.017*

0.017*

0.017*

513 mg/kgbb 926 mg/kgbb

1113 mg/kgbb

0.186

0.186

926 mg/kgbb 1113 mg/kgbb 0.040*

*kelompok yang memiliki perbedaan yang bermakna (signifikan) (p<0.05)

Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa Kontrol negatif dan Kontrol Positif

memiliki perbedaan yang signifikan dengan semua kelompok perlakuan lainnya. Dan

dari kelompok dosis pemberian catechins, hanya perbandingan antara dosis

cathechins terbesar (1113 mg/kgBB/hari) dengan 926 mg/kgBB/hari yang memiliki

perbedaan yang bermakna (signifikan).

Selanjutnya, dilakukan uji korelasi data Spearmen, untuk mengetahui

hubungan antara dosis pemberian catechins dengan sel apoptosis. Hasil uji korelasi

Spearmen, menunjukkan nilai p = 0.001, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat

hubungan yang bermakna (signifikan) antara NSS dengan dosis pemberian

cathechins pada tikus model cedera otak traumatic. Besar koefisien korelasi

Spearmen, (R) = -0.754, artinya hubungan antara NSS dengan dosis pemberian

cathechins memiliki arah negatif dan kekuatan sebesar 0.754. Arah negatif berarti,

semakin tinggi dosis catechins, maka semakin rendah NSS pada tikus model cedera

Page 145: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

123

otak traumatik. Besar koefisien korelasi 0.754, berarti kekuatan korelasi nya sangat

kuat.

Selanjutnya, subset homogen, alternatif output dari Post Hoc Tuckey, Karena

hanya set data yang dianalisis dengan uji parametrik yang bisa dilakukan uji subset

homogen, maka hanya data TNF-α 3 dan 7 hari, TUNEL 7 hari dan NSS 3 hari.

Hasilnya sebagai berikut, dengan interpretasi yang sama dengan Post Hoc Tuckey

sebelumnya.

Tabel 5.13 Hasil Subset Homogen untuk TNF-α 3 dan 7 hari, TUNEL 7 hari dan

NSS 3 hari

Perlakuan Parameter

TNF-α 7 hari TUNEL 7 hari NSS 3 hari

Kontrol - 2.1000 a 2.2000 a 0.000 a

Kontrol + 9.4250 b 9.1000 b 4.25 c

513 mg/kgBB/hari 13.8250 c 16.5750 c 1.75 b

926 mg/kgBB/hari 16.0250 c 19.2000 c 3.00 bc

1113 mg/kgBB/hari 24.9500 d 25.7000 d 2.50 b

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji Tukey, sedangkan angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

5.8 Uji Perbandingan 2 Variabel Bebas dan Berpasangan (Uji T-Test dan

Wilcoxon)

Uji T-test merupakan uji parametrik perbandingan antara 2 variabel. Pada

penelitian ini dilakukan uji bebas dan uji berpasangan. Uji independent t-test

merupakan uji bebas perbandingan, dengan alternative uji non parametriknya

adalah Mann Whitney. Dan uji paired t-test merupakan uji berpasangan, dengan

alternative uji non paraetriknya adalah uji Wilcoxon.

Pada penelitian ini, untuk uji bebas dilakukan pada TNF-alpha dan

TUNEL, sedangkan pada NSS dilakukan uji berpasangan. Sebelum dilakukan uji

perbandingan, dilakukan uji normalitas untuk mengetahui penggunaan uji

Page 146: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

124

statistik yang sesuai, dan didapatkan semua kelompok data pada TNF-alpha dan

TUNEL memiliki distribusi yang normal (Lampiran V), sedangkan NSS sesuai

dengan bagian yang telah ditulis sebelumnya. Hasil dari uji T-test dan Wilcoxon,

ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 5.14 Hasil Uji 2 (dua) Variabel

VARIABEL 1 VARIABEL 2 VARIABEL SIGNIFIKANSI UJI

TNF-ALPHA 3 HARI TNF-alpha 7 hari K- 0.156

Independent

T-Test

K+ 0.322

513 mg/kgbb 0.003*

926 mg/kgbb 0.000*

1113 mg/kgbb 0.004*

TUNEL 3 HARI TUNEL 7 hari K- 1.000

Independent

T-Tes

K+ 0.409

513 mg/kgbb 0.002*

926 mg/kgbb 0.000*

1113 mg/kgbb 0.000*

NSS 3 HARI 0 NSS 3 hari 3 0.006* Wilcoxon

NSS 7 HARI 0 NSS 7 HARI 7 0.003* Wilcoxon

Dari tabel tersebut, dapat diketahui bahwa pada set data kelompok TNF

alpha dan TUNNEL antara 2 waktu pengamatan pada hari ketiga dan hari ketujuh

memiliki perbedaan yang signifikan pada semua kelompok perlakuan, kecuali antar

kontrol, baik Kontrol positif maupun Kontrol Negatif. Yang terakhir, pada NSS, yang

dilakukan analisa data uji berpasangan adalah kelompok yang diberikan cathechins.

Hasil uji Wilcoxon, menunjukkan, perbandingan hari ke-0 dan akhir perlakuan (3 dan

7 hari) menunjukkan perbedaan yang bermakna (signifikan).

Page 147: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

125

5.9 Uji Korelasi antar Variabel Bebas

Pada bagian ini dilakukan pengujian untuk mengetahui korelasi antara TNF-

α, apoptosis sel (TUNNEL) dan status fungsional otak (NSS) pada tikus model

cedera otak traumatik. Pada uji analisis statistic ini, data yang digunakan adalah

data kontrol positif dan dipisahkan antara kedua waktu pengamatan, untuk

meminimalisir bias sekecil mungkin. Sebelum dilakukan uji korelasi, dilakukan uji

normalitas data dengan Saphiro Wilk, dan didapatkan semua set data memiliki

distribusi yang normal (Lampiran 1), sehingga selanjutnya dilakukan uji korelasi

parametrik, Pearson. Hasil uji Korelasi data antar variable adalah sebagai berikut,

Tabel 5.15 Hasil Uji Korelasi Antar Variabel

VARIABEL 1 VARIABEL 2 HARI 3 HARI 7

P. R P. R

TNF-α TUNNEL 0.020* 0.574 0.000* 0.880

TNF-α NSS 0.317 0.267 0.001* 0.729

TUNNEL NSS 0.206 0.334 0.000* 0.793

Dari table tersebut, dapat diketahui, bahwa pada hari pengamatan ke-7,

semua variable saling berkorelasi signifikan dengan kekuatan “sangat kuat” dana rah

positif. Dan pada hari pengamatan ke-3, hanya TNF-α dan NSS pada hari ketiga

yang berkorelasi signifikan dengan kekuatan korelasi yang juga sangat kuat dan

arah positif, yang berarti semakin tinggi TNF-α, maka NSS akan semakin rendah,

begitu pula sebaliknya.

Page 148: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

126

BAB VI

PEMBAHASAN

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental sejati yang dilakukan

untuk membuktikan kemampuan catechins dalam menurunkan respon inflamasi

dan pembentukan radikal bebas yang berlebihan pada jaringan otak akibat

cedera otak traumatik. Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran ekspresi TNF-

α, apoptosis sel otak dan status fungsional otak tikus (NSS) dengan

menggunakan tikus wistar model cedera otak traumatik fokal.

Secara umum, cedera otak primer menyebabkan kematian sel dan

defisit neurologi melalui gangguan fisik terhadap jaringan secara langsung

(cedera primer), juga melalui mekanisme patofisiologi molekuler dan seluler yang

menyebabkan kerusakan area putih dan abu-abu secara progresif (cedera

sekunder). Pada cedera sekunder terjadi serangkaian proses yang dapat

menyebabkan apoptosis. Akibat dari cedera otak primer dan sekunder tersebut

antara lain terjadinya proses inflamasi secara langsung melalui pelepasan asam

arakhidonat, pembentukan radikal bebas, terjadinya edema vasogenik dan

sitotoksik, peningkatan influks Ca++ dan eksitotoksisitas glutamat. Sebagian

besar kerusakan neuron yang terjadi pada cedera otak traumatik diakibatkan

oleh cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder dideskripsikan sebagai

konsekuensi gangguan fisiologis, seperti iskemia, reperfusi, dan hipoksia pada

area otak yang beresiko, beberapa saat setelah terjadinya cedera awal (cedera

otak primer). Cedera otak sekunder sensitif terhadap terapi dan proses terjadinya

dapat dicegah (Mauritz et al, 2008).

Page 149: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

127

Selama ini, konsep penatalaksanaan cedera otak traumatik adalah

dengan berbagai macam cara yang kompleks, diantaranya adalah dengan

meningkatkan perfusi serebral, oksigenasi, hipotermia profilaksis, pemberian

antibiotik, anti kejang profilaksis dan atau steroid. Walaupun demikian, belum

ada terapi definitif yang pasti untuk menentukan outcome dari cedera otak

traumatik (Brain Trauma Foundation, 2007).

Catechins adalah suatu senyawa kimia dalam teh yang merupakan

salah satu kelas flavanol. Catechins memiliki aktivitas antioksidan dan

antiinflamasi yang kuat serta mampu menetralisir berbagai radikal bebas dalam

tubuh seperti seperti reactive oxygen species (ROS) dan peroksinitrit. Pada

penelitian ini catechins diharapkan mampu menurunkan ekspresi TNF-α dengan

menurunkan ekspresi gen STAT-1 dan melalui hambatan pada NFKβ. Serta

menurunkan apoptosis sel neuron, dengan menghambat pembentukan radikal

bebas melalui hambatan jalur NADPH oksidase, menetralisir radikal bebas yang

telah terbentuk, serta meningkatkan protein antiapoptosis (Bcl-2) dan

menurunkan protein sel proapoptosis (Bax, Bcl-XS). (Berridge et al., 2012). Dan

selanjutnya, dengan menurunnya apoptosis sel otak dan sitokin pro inflamasi,

diharapkan outcome status fungsional otak tikus akan meningkat.

Model cedera otak traumatik pada tikus wistar dilakukan sesuai dengan

Marmarou (1994). Tikus dianestesi dengan menggunakan ketamin kemudian

bulu kepala dicukur dan dibersihkan dengan alkohol 70%. Kemudian kulit kepala

dibuka. Selanjutnya, dilakukan penjatuhan beban silinder besi seberat 450 gram

(diameter 4mm) dengan sudut 90º dari ketinggian 100 cm sebanyak 1 kali.

Energi benturan adalah sebesar 0,45 joule. Beban tersebut akan mengenai

bagian tengah depan antara kedua hemisfer otak tikus, dan tikus akan

mengalami kontusio serebri dan cedera kepala ringan (Marmorou, 1994).

Page 150: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

128

Secara umum, saat terjadi trauma kepala dan trauma otak terjadi 3 zona

kerusakan otak yang terbagi menjadi near (sentral), far (perifer) dan penumbra.

Setelah terjadi trauma, kerusakan neuron yang segera terjadi, dihasilkan akibat

proses tumbukan gaya yang disebut dengan kerusakan primer. Kerusakan

primer memicu gelombang kedua kaskade biokimia yang Bersama dengan

perubahan metabolic dan seluler, menyebabkan kerusakan neuron sekunder.

Daerah kerusakan sekunder inilah yang disebut sebagai penumbra, dan

merupakan target penting dalam intervnsi terapi karena masih bisa diselamatkan

dan diperbaiki (Meireles et al., 2017)

Pada penelitian ini, kelompok perlakuan subyek tikus model cedera otak

traumatik, terbagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu pengamatan setelah 3 hari

dan 7 hari. Dari setiap kelompok besar pengamatan, terdiri dari 5 kelompok

perlakuan, yaitu Kontrol Negatif yang dilakukan sham procedure, Kontrol Positif

yang dilakukan perlakuan cedera otak traumatik, dan 3 kelompok yang dilakukan

perlakuan cedera otak traumatic dan diberikan catechins dengan dosis berbeda,

yaitu 513 mg/kgBB/hari, 926 mg/kgBB/hari dan 1113 mg/kgBB/hari.

Hasil penelitian secara umum adalah sebagai berikut, menunjukkan

bahwa secara umum, hasil penelitian pada hari ke-7 lebih baik daripada hari ke-

3. Secara teori, proses kerusakan otak sekunder mencapai puncaknya pada hari

ke-7, walaupun masih akan terus berlangsung, sehingga, perbaikan hasil

penelitian antara hari ke-3 dan ke-7, bisa mengindikasikan adanya perbaikan

kondisi akibat pemberian perlakuan pada subyek penelitian, dalam hal ini adalah

catechins. Tetapi terdapat kekurangan pada pembuatan preparat otak, karena

kami peneliti tidak memotong preparat sendiri, walaupun kami sudah

menentukan letak dimana preparat otak tikus tersebut dipotong (bagian

penumbra).

Page 151: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

129

6.1 Pengaruh Pemberian Catechins terhadap Ekspresi TNF-α pada Jaringan

Otak Tikus Model Cedera Otak Traumatik.

Salah satu tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui

kemampuan catechins dalam menurunkan ekspresi TNF-α pada jaringan otak

tikus model cedera otak traumatik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada

kedua hari pengamatan, hari ketiga dan ketujuh, menunjukkan perbedaan yang

signifikan (bermakna) antar kelompok perlakuan.

Sesaat setelah terjadi cedera otak traumatik, terjadi peningkatan infiltrasi

neutrofil, astrositosis, edema dan sitokin proinflamasi serta sitokin antiinflamasi.

Salah satu sitokin pro inflamasi mayor yang dilepaskan Tumor necrosis Factor

Alpha (TNF-α). TNF-α dapat mulai ditemukan sejak 1 (satu) jam paska kejadian

trauma, dan terus meningkat hingga 3 (tiga) minggu, diiringi dengan astrositosis.

Kadar TNF-α berhubungan dengan kadar MMP-9 dan MMP-8, yang merupakan

marker cedera otak fokal. (Algattas and Huang, 2014)

Pada kasus cedera otak traumatik, keberadaan TNF-α yang dapat

menyebabkan perburukan kondisi, telah dikonfirmasi pada berbagai studi klinis.

Salah satunya adalah studi kohort pada 1096 pasien cedera otak traumatik, yang

dianalisis untuk mengetahui pengaruh polimorfisme gen sitokin terhadap hasil

nilai Glasgow. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karier homozigot TNF-α308

single nucleotide polymorphisms (SNP) memiliki outcome cedera otak traumatic

yang lebih buruk secara signifikan dibandingkan dengan kelompok yang lain.

SNP sendiri merupakan promoter TNF-α dan berhubungan dengan peningkatan

kadar TNF-α (Algattas and Huang, 2014).

Secara teori, catechins telah terbukti memiliki aktivitas anti inflamasi

(Kartegeris et al., 2015). Catechins dapat menurunkan ekspresi sitokin

proinflamasi, pada penelitian ini adalah TNF-α, dengan meningkatkan ekspresi

Page 152: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

130

gen STAT-1, sehingga menghambat aktivitas NFKβ. Dari berbagai penelitian,

sel-sel yang mengalami kekurangan STAT-1 menunjukkan peningkatan jumlah

TNF-alpha yang signifikan, akibat adanya pembentukan komplek TRADD-RIP

dan TRADD-TRAF2, sementara kompleks TRADD-FADD tidak menunjukkan

perbedaa. Hal ini bisa terjadi karena STAT-1 bisa berinteraksi langsung dengan

TNFR1 dan TRADD, namun tidak bisa berinteraksi langsung dengan FADD.

Pada sel yang mengalami kekurangan STAT-1, terjadi peningkatan aktivasi NF-

KB dan ekspresi TNF-alpha. Sehingga, STAT-1 beraksi sebagai molekul sinyal

TNFR-1 untuk menekan aktivasi NF-KB dan selanjutnya menurunkan ekspresi

TNF-alpha (Wang et al, 2005)

Pada penelitian ini, terbukti catechins mampu menurunkan ekspresi TNF-

α pada hari pengamatan ketiga dan ketujuh. Diduga hal ini bisa terjadi karena

Catechins mampu menghambat aktivitas pada NFKβ. Seperti yang ditunjukkan

pada penelitian sebelumnya mengenai pengaruh pemberian catechins pada tikus

model cedera hepar akibat endotoksin yang dipicu alcohol. Walaupun pada

organ yang berbeda, namun kaskade yang terjadi, tidak memiliki perbedaan

yang berarti. Pada penelitian tersebut, variable yang diamati adalah aktivitas

NFKβ, ekspresi TNF-α, iNOS dan ROS. Kelompok yang diberikan catechins

menunjukkan penurunan aktivitas NFKβ yang berbeda dibandingkan dengan

kelompok kontrol, diikuti dengan penuruna ekspresi TNF-α, iNOS dan ROS,

sehingga hasil penelitian menyimpulkan bahwa catechins mampu menurunkan

ekspresi TNF-α, iNOS dan ROS, dengan menekan induksi dan menghambat

aktivitas NFKβ (Bharrhan et al., 2011)

Hasil penelitian pada pengamatan hari ketiga menunjukkan, Kontrol

positif berbeda bermakna dengan kelompok dosis 926 mg/kgBB/hari dan 1113

mg/kgBB/hari. Dan pada pengamatan hari ketujuh, kontrol positif menunjukkan

Page 153: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

131

perbedaan yang bermakna dengan semua kelompok perlakuan. Hal ini

menunjukkan terjadinya penurunan ekspresi TNF-α terhadap kontrol positif dan

berbasis waktu serta dosis, walaupun jika dibandingkan dengan kontrol negatif

masih berbeda bermakna juga, yang mengindikasikan bahwa pemberian terapi

catechins belum menunjukkan hasil sebaik normal (kontrol negatif) hingga hari

ketujuh pemberian terapi.

Hasil uji korelasi berbasis dosis menunjukkan korelasi dengan kekuatan

sangat kuat (R. 3 hari = -0.866; R. 7 hari = -0.947) dengan arah negatif, yang

berarti semakin tinggi dosis catechins, maka semakin rendah ekspresi TNF-α

pada tikus model cedera otak traumatik. Analisis regresi linier menunjukkan nilai

R2 > 70% untuk kedua hari pengamatan, menunjukkan bahwa variasi dosis

pemberian catechins merupakan faktor dominan dari ekspresi TNF-α pada

penelitian ini.

6.2 Pengaruh Pemberian Catechins terhadap Apoptosis Sel pada Jaringan

Otak Tikus Model Cedera Otak Traumatik.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian catechins mampu

menurunkan jumlah apoptosis sel pada jaringan otak tikus model cedera otak

traumatik, pada kedua hari pengamatan. Terdapat perbedaan yang bermakna

(signifikan) antara kelompok kontrol dan perlakuan pada kedua hari pengamatan.

Apoptosis merupakan jenis kematian sel yang berperan penting pada

perkembangan dan pertumbuhan jaringan. Apoptosis diregulasi oleh stimulus

tertentu. Karakteristik utamanya adalah fragmentasi nuclear dan cellular

breakdown di dalam apoptotic vesicles. Apoptosis berbeda dengan nekrosis,

dimana pada penelitian ini tentunya harus dibedakan, karena penggunaan model

cedera otak traumatic. Salah satu cara untuk mendeteksi apoptosis adalah

Page 154: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

132

dengan metode TUNEL (Terminal deoxynucleotidyl Transferase BiotindUTP Nick

End Labeling), yang dipakai pada penelitian ini. Salah satu karakteristik utama

apoptosis adalah degradasi DNA setelah aktivasi Ca/Mg dependent

endonucleases. Namun, nekrosis juga dapat menyebabkan celah DNA yang

serupa. metode TUNEL mengidentifikasi pemecahan DNA insitu dengan

menggunakan terminal deoxynucleotidyl transferase (TdT) untuk mentransfer

biotin-dUTP celah DNA. Daerah celah yang dilabeli dengan biotin kemudian

terdeteksi dengan reaksi HRP (horse radish peroxidase) yang berkonjugasi

dengan streptavidin dan divisualisasikan oleh DAB (diaminobenzidine), yang

memberikan warna coklat. Kelebihan teknik ini adalah teknik yang paling sensitif

dan cepat dilakukan. Kekurangannya adalah mahal dan terjadinya kemungkinan

positif palsu pada sel nekrosis, sel yang mengalami repair DNA dan transkripsi

gene. (Elmore, 2007)

Secara teori, EGCG pada catechins menunjukkan fungsi penghambatan

yang bermakna pada pembentukan edema serebri pada cedera otak traumatik

dan menurunkan permeabilitas vaskular. Inflamasi yang diinduksi oleh cedera

otak traumatik juga terbukti dapat dihambat oleh pemberian EGCG. Terlebih lagi,

pemberian EGCG dapat menghambat ekspresi AQP4, protein kanal air yang

diekspresikan dengan kuat di otak, dominan di kaki astrosit di sekitar kapiler, dan

GFAP, protein yang menginduksi astrogliosis, pada jaringan otak yang cedera.

Sebagai antioksidan, EGCG mampu memperbaiki stress oksidatif pada cedera

otak traumatika dengan menghambat translokasi p47 phox dari sitoplasma ke

membran plasma. (Zhang et al., 2015).

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa EGCG dapat mengurangi

kerusakan BBB dan stres akut pada otak. Terlebih lagi, EGCG telah terbukti

mampu menembus BBB dan mencapai parenkim otak. Data penelitian

Page 155: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

133

menunjukkan bahwa pemberian ECGC sebanyak 100 mg/kgBB dapat

menurunkan kandungan air intrakranial dan juga memperbaiki permeabilitas

vaskular (Zhang et al., 2015).

Selain itu, EGCG juga dilaporkan mampu melindungi neuron dengan

meregulasi glutamat, mediator inflamasi. EGCG, juga terbukti memiliki aktivitas

antioksidan dengan menghambat oskidasi NADPH, yang berperan pada cedera

otak sekunder dengan memediasi stress oksidatif, dengan menghambat

translokasi p47phox (Zhang et al., 2015).

Catechins juga memodulasi apoptosis dengan mempengaruhi gen pro-

apoptosis dan anti-apoptosis. EGCG menghambat ekspresi gen pro-apoptosis

Bax, Bad, dan Mdm2 serta menginduksi ekspresi gen anti-apoptosis, yaitu Bcl-2,

Bcl-w, dan Bcl-xl, sehingga melindungi sel dari apoptosis. (Sutherland, Rahman,

dan Appleton, 2006). Sehingga, secara teori, catechins diharapkan mampu

menurunkan apoptosis sel neuron, dengan menghambat ekspresi AQP4,

menghambat pembentukan radikal bebas melalui hambatan jalur NADPH

oksidase, menetralisir radikal bebas yang telah terbentuk, memperbaiki BBB,

serta meningkatkan protein antiapoptosis (Bcl-2) dan menurunkan protein sel pro

apoptosis (Bax, Bcl-XS)

Pada penelitian ini catechins terbukti dapat menurunkan sel apoptosis

secara bermakna, diduga hal tersebut terjadi, dengan menghambat

pembentukan radikal bebas melalui hambatan jalur NADPH oksidase,

menetralisir radikal bebas yang telah terbentuk, serta meningkatkan protein

antiapoptosis (Bcl-2) dan menurunkan protein sel proapoptosis (Bax, Bcl-XS)

(Berridge et al., 2012).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontrol negatif berbeda bermakna

dengan semua kelompok perlakuan lainnya, yang mengindikasikan bahwa

Page 156: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

134

pemberian terapi catechins belum menunjukkan hasil sebaik normal (kontrol

negatif) hingga hari ketujuh pemberian terapi. Kelompok kontrol positif berbeda

bermakna dengan kelompok dosis terbesar, 1113 mg/kgBB/hari, pada hari ketiga

dan dengan semua kelompok dosis catechins (513 mg/kgBB/hari, 926

mg/kgBB/hari dan 1113 mg/kgBB/hari) pada hari ketujuh. Hal ini menunjukkan

terjadinya penurunan apoptosis sel terhadap kontrol positif dan berbasis waktu

serta dosis pemberian catechins. Hasil uji korelasi berbasis dosis menunjukkan

korelasi dengan kekuatan sangat kuat dengan arah negatif ( R 3 hari = -0.679; R.

7 hari = -0.922), yang berarti semakin tinggi dosis catechins, maka semakin

sedikit jumlah sel apoptosis pada tikus model cedera otak traumatik. Analisis

regresi linier menunjukkan nilai R2 > 70% untuk hari pengamatan ketujuh,

menunjukkan bahwa variasi dosis pemberian catechins merupakan faktor

dominan dari penurunan sel apoptosis.

6.3 Pengaruh Pemberian Catechins terhadap Status Fungsional Otak Tikus

Model Cedera Otak Traumatik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada terjadi perbaikan NSS yang

bermakna pada semua kelompok perlakuan yang diberikan catechins dengan

dosis tertentu antara hari ke-0 dan di hari akhir pengamatan (3 dan 7 hari).

Kontrol negatif memiliki skor NSS yang tetap (0, tidak ada gangguan status

fungsional) dan Kontrol Positif menunjukkan perburukan antara hari ke-0 dan di

akhir hari pengamatan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa antar kelompok

perlakuan memiliki perbedaan yang bermakna pada kedua hari pengamatan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontrol negatif berbeda bermakna

dengan semua kelompok perlakuan lainnya, yang mengindikasikan bahwa

pemberian terapi catechins belum menunjukkan hasil sebaik normal (kontrol

negative) hingga hari ketujuh pemberian terapi. Kelompok kontrol positif berbeda

Page 157: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

135

bermakna dengan kelompok dosis terkecil dan terbesar, 513 mg/kgbb/hari dan

1113 mg/kgBB/hari, pada hari ketiga dan dengan semua kelompok dosis

catechins (513 mg/kgBB/hari, 926 mg/kgBB/hari dan 1113 mg/kgBB/hari) pada

hari ketujuh. Hal ini menunjukkan terjadinya peningkatan status fungsional otak

tikus terhadap kontrol positif dan berbasis waktu serta dosis pemberian

catechins. Hasil uji korelasi berbasis dosis menunjukkan korelasi dengan

kekuatan moderat (R = -0.441) untuk hari ketiga dan sangat kuat untuk hari

ketujuh (R = -0.754), dengan arah negatif, yang berarti semakin tinggi dosis

cathechins, maka semakin baik status fungsional otak tikus model cedera otak

traumatic. Analisis regresi linier menunjukkan nilai R2 = 19.4 % untuk hari

pengamatan ketiga, menunjukkan bahwa variasi dosis pemberian catechins

bukan merupakan factor dominan dari perbaikan status fungsional.

6.4 Hubungan Antara TNF-α, Apoptosis Sel dan Status Fungsional Otak

Tikus Wistar Model Cedera Otak Traumatik

Secara teori, TNF-α dan apoptosis sel, serta TNF-α dan status fungsional

otak memiliki hubungan secara tidak langsung. Sedangkan apoptosis sel dan

status fungsional otak memiliki hubungan secara langsung. TNF alfa

menginduksi pelepasan TRADD yang mengaktivasi caspase 8 melalui mediasi

FADD. Ekspresi TNFR-1 dan TRADD mengatur kaskade apoptosis yang

berhubungan dengan reseptor. Akhirnya, peningkatan jumlah TNF alfa, caspase

8 dan FADD, menyebabkan terjadinya pelepasan asam etakrinik yang dapat

menginduksi apoptosis sel dengan melakukan fragmentasi DNA. Selain itu,

peningkatan caspase 8 juga meningkatkan ekspresi caspase 3. Caspase-3

teraktivasi sebagai mesin utama apoptosis, membelah DNA pada daerah linker

menggunakan caspase associated DNAse (CAD) dengan terlebih dahulu

mendegradasi inhibitornya, inhibitor of CAD (ICAD). Kehilangan sel neuron

Page 158: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

136

akibat nekrosis dan apoptosis sel selanjutnya mempengaruhi kemampuan otak

secara umum, dan menurunkan status fungsionalnya.

Pada penelitian ini, dilakukan uji analisis statistika bivariate, Korelasi

Pearson, untuk mengetahui hubungan antara ekspresi TNF-α, apoptosis sel dan

status fungsional otak tikus model cedera otak traumatik. Uji analisis statistik

dilakukan pada masing-masing kelompok Kontrol Negatif dan Hari pengamatan

secara terpisah untuk meminimalisir bias.

Hasil uji Korelasi Pearson, sesuai dengan teori, untuk hubungan antara

NSS dengan TNF-α dan apoptosis sel, menunjukkan arah korelasi yang negatif

(hari 3 : NSS dan TNF-α, p = 0.317; r = 0.267; NSS dan apoptosis sel, p = 0.206,

r = 0.334; hari 7 : NSS dan TNF-α, p = 0.001*; r = 0.729; NSS dan apoptosis sel,

p = 0.000*, r = 0.334793). Dan sebaliknya, sesuai teori pula, hubungan antara

TNF-α dan apoptosis sel menunjukkan arah korelasi yang positif, ( hari 3 : TNF-α

dan apoptosis sel, p = 0.020*, r = 0.567; hari 7 : TNF-α dan apoptosis sel, p =

0.000*, r = 0.880). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi kadar TNF-α

maka jumlah sel apoptosis juga akan semakin meningkat dan status fungsional

otak tikus model cedera otak traumatik juga akan semakin memburuk.

6.5 Keterbatasan Penelitian

Secara umum, ada 4 (empat) keterbatasan pada penelitian ini.

Keterbatasan pertama adalah keterbatasan pada bahan yang digunakan. Proses

ekstraksi dan asal bahan yang digunakan berhubungan dengan kandungan dan

jumlah bahan aktif. Perbedaan metode dan tempat memiliki kandungan dan

jumlah bahan aktif yang berbeda. Bahkan dengan metode dan tempat yang

sama sekalipun, masih ada kemungkinan terjadi perbedaan kandungan dan

jumlah bahan aktif. Pada penelitian ini tidak dilakukan analisis fitokimia terhadap

Page 159: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

137

catechins yang digunakan. Sehingga, tidak diketahui dengan pasti kandungan

turunan catechins yang digunakan pada penelitian ini.

Keterbatasan kedua, pada penelitian ini adalah belum dipilihnya variable

penelitian yang memiliki keberuntutan jaras secara teori, sehingga sulit untuk

mengetahui secara pasti cara kerja dan hambatan serta kemungkinan

munculnya variabel -variabel perancu lainnya pada pengaruh catechins terhadap

variabel-variabelnya

Keterbatasan yang ketiga dalam penelitian ini adalah catechins yang

diteliti belum siap diaplikasikan secara langsung, karena belum dilakukan uji

toksisitas secara in vivo, sehingga belum dapat diketahui dosis yang aman

digunakan.

Keterbatasan yang keempat dalam penelitian ini kami peneliti tidak

memotong preparat otak sendiri karena keterbatasan alat, walaupun kami sudah

menginformasikan untuk mengambil potongan di daerah transisional (penumbra)

tetapi kami tidak dapat memastikan apakah potongan preparat otak tikus

tersebut didaerah transisional (penumbra).

Page 160: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

138

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Pemberian catechins mampu menurunkan ekspresi TNF-α pada jaringan

otak tikus jantan model Traumatic Brain Injury (TBI), pada hari

pengamatan ketiga dan ketujuh.

2. Semakin tinggi dosis catechins, maka ekspresi TNF-α pada jaringan otak

tikus jantan model Traumatic Brain Injury (TBI), semakin rendah, dengan

kekuatan hubungan yang sangat kuat pada hari pengamatan ketiga dan

ketujuh.

3. Pemberian catechins mampu menurunkan jumlah apoptosis sel pada

jaringan otak tikus jantan model Traumatic Brain Injury (TBI), pada hari

pengamatan ketiga dan ketujuh.

4. Semakin tinggi dosis catechins, maka jumlah apoptosis sel pada jaringan

otak tikus jantan model Traumatic Brain Injury (TBI), semakin rendah,

dengan kekuatan hubungan yang kuat pada hari pengamatan ketiga dan

kekuatan hubungan yang sangat kuat pada hari pengamatan ketujuh.

5. Pemberian catechins mampu meningkatkan status fungsional otak pada

tikus jantan model Traumatic Brain Injury (TBI), setelah 3 dan 7 hari

pengamatan.

6. Semakin tinggi dosis catechins, maka status fungsional otak otak tikus

jantan model Traumatic Brain Injury (TBI), semakin baik, dengan

kekuatan hubungan yang moderate pada hari pengamatan ketiga dan

kekuatan hubungan yang sangat kuat pada hari pengamatan ketujuh.

Page 161: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

139

7. Terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi TNF-α dengan

jumlah sel apoptosis jaringan otak tikus jantan model traumatic brain

injury (TBI), dengan kekuatan hubungan kuat pada hari ketiga dan sangat

kuat pada hari ketujuh.

8. Terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi TNF-α dengan status

fungsional tikus jantan model traumatic brain injury (TBI), dengan

kekuatan hubungan kuat pada hari ketujuh.

9. Terdapat hubungan yang bermakna antara sel apoptosis dengan status

fungsional tikus pada hari pengamatan ketujuh, dengan kekuatan

hubungan sangat kuat.

7.2 Saran

Beberapa hal yang perlu dilakukan sebagai tindak lanjut dari penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui secara pasti cara

kerja catechins dalam menurunkan ekspresi TNF-α dan apoptosis sel.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui potensi terbesar

catechins dalam jaras-jaras kaskade cedera otak traumatik, yang mampu

memperbaiki outcome dengan hasil terbaik, untuk variable TNF-alpha,

dan sel apoptosis, karena adanya korelasi yang sangat kuat dengan

perlakuan.

3. Perlu dilakukan penelitian uji toksisitas, untuk mengetahui dosis yang

berbahaya pada manusia atau makhluk hidup lainnya.

4. Perlu dilakukan pemotongan preparat otak tikus oleh peneliti sendiri agar

sampel yang diambil dapat konsisten pada daerah transisional

(penumbra).

Page 162: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

140

DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, 2007. Antioksidan dan Peranannya Bagi Kesehatan.

http://www.beritaiptek.com/zberita-beritaiptek-2007-01-23-Antioksidandan-

peranannya-Bagi-Kesehatan.shtml. Diakses tanggal 20 Januari 2016.

Albert-Weiβenberger, Várrallyay C, Raslan F, Kleinschnitz C, Sirén AL. An

experimental protocol for mimicking pathomechanisms of traumatic brain

injury in mice. Exp Transl Stroke Med. 2012;4:1.

Algattas, H and Huang, JH. 2014. Traumatic Brain Injury Pathophysiology and

Treatments: Early, Intermediate, and Late Phases Post-Injury. Int J Mol Sci.

2014 Jan; 15(1): 309–341. doi: 10.3390/ijms15010309. PMCID:

PMC3907812

Arundina, I. 2003. Efek Anti Inflamasi Catechin pada Marmut dengan Metode

Pembentukan Oedem yang Diinduksi Suspensi Karagenik. Fakultas

Kedokteraan Gigi, Universitas Airlangga

Beauchamp, K; Haitham M; Wade R.S; Esther, S; and Philip F.S. 2008

Pharmacology of Traumatic Brain Injury: Where Is the “Golden Bullet”?. Mol

Med.Nov-Dec; 14(11-12): 731–740. doi: 10.2119/2008-00050.

Berridge, MJ. 2012. Cell Stress, Inflammatory Responses and Cell Death. Cell

Signalling Biology.11:1-6

Bharrhan S, Koul A, Chopra K, Rishi P. 2011. Catechin Suppresses an Array of

Signalling Molecules and Modulates Alcohol-Induced Endotoxin Mediated

Liver Injury in a Rat Model. PLoS ONE 6(6): e20635.

doi:10.1371/journal.pone.0020635

Brain Trauma Foundation. 2007. Guidelines for the Management of Severe

Tarumatic Brain Injury 3rd Edition.

Brunelle, JK dan Letai, A. 2009.Control of mitochondrial apoptosis by the Bcl-2

family. Journal of Cell Science. 122: 437-441

Centers for Disease Control and Prevention. Surveilance for Traumatic Brain

Injury-Related Deaths-United States, 1997-2007. Dalam: MMWR 2011.

Vol. 60. United States: CDC; 2011. Hal. 1-36.

Page 163: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

141

Chacko, S. M., Thambi, P. T., Kuttan, R. and Nishigaki, I. 2010. Beneficial effects

of green tea: a literature review, Chinnese Medicine, 5 (13).

Chaturvedi, R. and Mishra, V. K. 2012. Studies on nutrient uptake and culture

conditions for synthesis of caffeine, (+)-catechine, (-)-epicatechin and (-)-

epigallocatechin gallate in anther derived haploid cell lines of tea [Camellia

sinensis (L)], J Biotechnol Biomater, 2 (6).

Chaudhary, M;Jai, D; Gawande, M; Patil, M. 2014. A Comparative Study between

IHC in Frozen Sections and Formalin Fixed Sections and their Clinical

Significance-A Retrospective Study. Global Journal of Dentistry and

Otolaryngology

Cohadon, F. (1995). The Concept of secondary Damage in Brain Trauma in

Ischemia in Head Injury, Smith TCG ed. 10th European Congress of

Neurosurgery, Proceeding of a Special Symposium, Berlin

Cooper, PR. (1982). Post-traumatic intracranial mass lesions. Effect of

Intracranial Hypertension on Evolution of Post Traumatic Acute Subdural

Hematoma. Intracranial Pressure VII.

Costelli, P; Aoki, P; Zingaro, B; Carbo, N; Reffo, P; Lopez-Soriano, F.J; Bonelli,

G; Argiles, J.M; Baccino, F.M. Mice lacking TNFalpha receptors 1 and 2

are resistant to death and fulminant liver injury induced by agonistic anti-

Fas antibody. Cell Death Differ. 2003;10:997–1004

Dardiotis, E; Giamouzis, G; Mastrogiannis, D; Vogiatzi, C; Skoularigis, J;

Triposkiadis, F; Hadjigeorgiou, G.M. Cognitive impairment in heart

failure. Cardiol. Res. Pract. 2012

Davis G, Marion D, George B, Hamel O, Turner M, McCrory P. (2009). Clinics in

neurology and neurosurgery of sport: traumatic cerebral contusion. British

Journal of Sports Medicine, 43:451-454

DEPHUB. 2005. Kejadian Kecelakaan Lalulintas Di Indonesia. Laporan

Kecelakaan dan Kejadian Khusus Lalulintas

Depreitere B, Van Lierde C, Vander Sloten J, Van der Perre G, Van Audekercke

R, Plets C, Goffin J. Lateral head impacts and protection of the temporal

area by bicycle safety helmets. J Trauma. 2007 Jun;62(6):1440-5.

Page 164: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

142

Ekawati, K., Naniek, W., Mimiek, M. and Syarifatun, K. 2012. Pengaruh

konsentrasi ekstrak etanolik daun teh hijau (Camellia Sinesis L.) dalam

sediaan krim terhadap sifat fisik dan aktivitas antibakteri, Sains Medika

Journal of Health and Medicine, 4 (2).

Elmore S. 2007. Apoptosis: A Review of Programmed Cell Death. Toxicologic

Pathology. 35:495–516

Erdman, J., Oria, M. and Pillsbury, L. (eds). 2011. Nutrition and Traumatic Brain

Injury: Improving Acute and Subacute Health Outcome in Military

Personnel. Washington: The National Academies Press.

Faria, A., Mateus, N. and Calhau, C. 2012. Flavonoid transport across blood-

brain barrier: implication for their direct neuroprotective actions, Nutrition

and Aging. 1: 89–97.

Farooqui, A. A. 2012. Phytochemical, Signal Transduction, and Neurological

Disorder. New York: Springer.

Faul M, Xu L, Wald MM dan Coronado VG. 2010. Traumatic Brain Injury in The

United States: Emergency Department Visits, Hospitalizations and Death

2002-2006.

Figiel. 2008. Pro-inflammatory cytokine TNF-alpha as a neuroprotective agent in

the brain Acta Neurobiol. Exp. (Wars), 68. pp. 526–534

Freytag E, Lindenberg R. 1957. Morphology of cortical contusions. AMA Archives

of Pathology, 63:23-42

Graham, D.& Gennarelli, T. 2000. Pathology of Brain Damage After Head Injury.

In: Cooper, C. & Golfinos, j. (eds.) Head injury. 4 ed. New york: mc graw-

hill inc.

Gramza, A., Korczak, J. and Amarowicz, R. 2005. Tea Polyphenols–Their

Antioxidant Properties and Biological Activity–a Review, Pol. J. Food Nutr.

Sci. 14 (3): 219–235.

Gu, L; House, SE; Wu, X; Ou, B; Prior, RL. 2006. Procyanidin and Catechin

Contents and Antioxidant Capacity of Cocoa and Chocolate Products.

Arkansas Children’s Nutrition Center, ARS-USDA, and Department of

Physiology and Biophysics, University of Arkansas for Medical Sciences,

Page 165: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

143

Little Rock, Arkansas 72202; and Brunswick Laboratories, Wareham,

Massachusetts. J. Agric. Food Chem. (54), 4057-4061

Gunawijaya, F. A; Gandasentana, R; Wahyudi, K. 1999. Efek Pemberian Katekin

Teh Hijau pada Pertumbuhan Tumor Kelenjar Susu Mencit Strain GR.

Jakarta: Kedoteran Trisakti Vol.18 No. 2

Hardman JM, Manoukian A. 2002. Pathology of head trauma. Neuroimaging Clin

N Am, 12(2):175-187

Hariman, L. 2010. Pengaruh Epigalokatekin Galat (EGCG) Teh Hijau (Camella

sinensis L. Kuntz) Terhadap Derajat Penurunan Berat Badan Mencit Galur

Swiss Webster Jantan Yang Diinduksi Kolitis Dengan Dextran Sulfate

Sodium (DSS). Thesis, Universitas Kristen Maranatha

Hariyani, Vitri. 2012. Laporan Epidemiologi Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD

Dr. Moewardi Surakarta dalam Cidera Kepala Berat (CKB) Di Instalasi

Gawat Darurat (IGD) RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Thesis, Universitas

Muhammadiyah Surakarta

Hartoyo, A. 2003. Teh dan Khasiatnya bagi Kesehatan. Penerbit Kanisius.

Hartoyo, Arif. 2003. Teh dan Khasiatnya bagi Kesehatan. Penerbit Kanisius

Head Injury, cooper PR, ed. Lippincott Williams & Wilkins: US

Heroniaty. 2012. Sintesis Senyawa Dimer Katekin dari Ekstrak Teh Hijau Dengan

Menggunakan Katalis Enzim Peroksidase dari Kulit Bawang Bombay

(Allium cepa L.). Thesis. Magister Sains Ilmu Kimia. Fakultas MIPA.

Universitas Indonesia

Hoh NZ. 2008. BCL-2 Genotypes and Outcomes After Traumatic Brain Injury.

University of Pittsburgh.

Huang J, Perez-Burgos L, Placek BJ, Sengupta R, Richter M, Dorsey JA,

Kubicek S, Opravil S, Jenuwein T, Berger SL (2006) Repression of p53

activity by Smyd2-mediated methylation. Nature 444: 629–632

Huang PL. 2004. Nitric oxide and cerebral ischemia preconditioning. Cell

Calcium. 36(3), 333-9.

Imanulkhan, 2006. Karakterisasi “Edibel Film” Beraktivitas dari Pati Ganyong

(Canna Edulis Kerr) dan Ekstrak Teh Hijau (Camellia Sinensis). Thesis

Page 166: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

144

Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,

Universitas Brawijaya

Indharty, S. 2007. Hasil Akhir Penderita dengan Diffuse Brain Injury yang Dirawat

di Neurosurgical Critical Care Unit RS Hasan Sadikin, Bandung. Majalah

Kedokteran Nusantara Volume 40. No. 4. Desember.

Indharty, S. 2013. Peran ACTH4-10PRO8-GLY9-PRO10 Dan Inhibitor HMG-

COA Reduktase Dalam Peningkatan BCL-2 Dan BDNF Terhadap Hasil

Akhir Klinis Penderita Kontusio Serebri. Disertasi. Program Doktor (S-3)

Ilmu Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Universitas

Japardi 2004. Cedera Kepala: Memahami Aspek-Aspek Penting Pengelolaan

Cedera Kepala. Jakarta: Buana Ilmu Populer.

Johnson VJ, Stewart JE, Begbie FD, Trojanowski JQ, Smith DH, Stewart W.

2013. Inflammation and white matter degeneration persist for years after a

single traumatic brain injury. Brain. 36: 28–42

Kasan, U. 2006. Cedera Kepala Patofisiologi Penanganan dan Biomolekuler.

Surabaya: Fak.Kedokteran-Unair;2006

Katergaris N, Dufficy L, Roach PD, Naumovski N. 2015. Green tea catechins as

neuroprotective agents: systematic review of the literature in animal pre-

clinical trials. Adv Food Technol Nutr Sci Open J.; 1(2): 48-57. doi:

10.17140/AFTNSOJ-1-108

Katergaris N, Dufficy L, Roach PD, Naumovski N. Green tea catechins as

neuroprotective agents: systematic review of the literature in animal pre-

clinical trials. Adv Food Technol Nutr Sci Open J. 2015; 1(2): 48-57.

Katsanos GS, Anogeianaki A, Orso C, et al. 2008. Mast cells and chemokines. J

Biol Regul Homeost Agents. 22:145-51.

Khalatbary, A. R. 2014. Natural polyphenols and spinal cord injury, Iranian

Biomedical Journal, 18 (3): 120–129.

Khalatbary, A. R. and Ahmadvand, H. 2011. Anti-Inflammatory Effect of the

Epigallocatechin Gallate Following Spinal Cord Trauma in Rat, IBJ. 15

(1&2): 31–37.

Page 167: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

145

Lambert JD, Kim DH, Zheng R, Yang CS.J. Transdermal delivery of (-)-

epigallocatechin-3-gallate, a green tea polyphenol, in mice. Pharm

Pharmacol. 2006 May;58(5):599-604.

Li HH, Lee SM, Cai Y, Sutton RL, Hovda DA. (2004). Differential gene expression

in hippocampus following experimental brain trauma reveals distinct

features of moderate and severe injuries. J Neurotrauma, 21(9):1141-

1153

Lucida, H. 2006. Determination of the ionization constants and the stability of

catechin from gambir (uncaria gambir (Hunter) Roxb), ASOPMS 12

International Conference, Padang November 2006

Machfoed M.H. 2011. Neurology update: the neuro-bio-molecular mechanisms

of traumatic brain injury. Pustaka cendekia press.

Madikians A dan Giza CC. 2006. A Clinician’s Guide to the Pathophysiology of

Traumatic Brain Injury. Indian Journal of Neurotrauma.3(1):9-17

Manach, C., Williamson, G., Morand, C., Scalbert, A. and Remesy, C. 2005.

Bioavailability and bioefficacy of polyphenols in human, Am J Clin Nutr. 81

(suppl): 230S–242S.

Mandel, S. and Youdim, M. B. H. 2004. Catechin polyphenols:

Neurodegeneration and neuroprotection in neurodegenerative diseases,

Free Radical Biology and Medicine. 37 (3): 304–317.

Marmarou, A., Signoretti, S., Fatouros, P.P., Portella, G., Aygok, G.A. 2006.

Predominance of Cellular Edema in Traumatic Brain Swelling in Patients

with Severe Head Injuries. J Neu rosurg 104:720–730.

Mauritz W, Wilbacher I, Majdan M, et al. 2008. Epidemiology, Treatment and

Outcome of Patients after Severe Traumatic Brain Injury in European

Regions with Different Economic Status. The European Journal of Public

Health. 18:575-580.

Meireles, Lindolfo da Silva; Simon, Daniel; Regner, Andrea. 2017. Neurotrauma:

The Crosstalk between Neurotrophins and Inflammation in the Acutely

Injured Brain. Int. J. Mol. Sci. 2017, 18(5), 1082

Page 168: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

146

Mesiano T, Soertidewi L, Jannis J, Al Rasyid. 2010. Perdarahan Subarakhnoid

Traumatik. Departemen Neurologi. Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

Mohameda, Rasha H; Rehab A. Karamb, Mona G. 2011. Epicatechin attenuates

doxorubicin-induced brain toxicity: Critical role of TNF-a, iNOS and NF-kB

AmercBrain Research Bulletin 86.22– 28

Nag, N; Jennifer M M; Cassandra G K P; Bonnie C W; Nancy H K; Joanne BS.

2009. Environmental enrichment alters locomotor behaviour and

ventricular volume in Mecp21lox mice. Behav. Brain Res. 196, 44-48

Nakagawa, K; Fujii, S; Ohgi, A; Uesato, S. 2005. Antioxidative Activity of 3-O-

Octanol –(+)-Catechin, a Newly Synthesized Catechin, in Vitro. Department

of Food and Nutrition, Kyoto Women’s University. Japan. Journal of Health

Science, 51(4), 492- 496

Namas R, Ghuma A, Hermus L, Zamora R, Okonkwo DO, Billiar TR, Vodovotz Y.

2010. The acute inflammatory response in trauma/hemorhage and

traumatic brain injury: current state and emerging prospects. LJM: 97-103.

Park E. Bell JD dan Baker AJ. 2008. Traumatic brain injury: Can the

consequences be stopped?. CMAJ. 178(9):1163-70

Paterniti, I., Genovese, T., Crisafulli, C., Mazzon, E., Di Paola, R., Galuppo, M.,

Bramanti, P. and Cuzzocrea, S. 2009. Treatment with green tea extract

attenuates secondary inflammatory response in an experimental model of

spinal cord trauma, Naunyn-Schmiedeberg’s Archives of Pharmacology.

380 (2): 179–192.

Paxinos, G. and Watson, C. 1997. The Rat Brain in Stereotaxic Coordinates. 3rd

edn. San Diego: Academic Press.

Paxinos, G. and Watson, C. 2006. The Rat Brain in Stereotactic Coordinates. 6th

edn. San Diego: Academic Press. Available at: http://labs.gaidi.ca/rat-brain-

atlas.

Prins, M., Greco, T., Alexander, D., Giza, C. 2013. The Pathophysiology of

Traumatic Brain Injury at a Glance. Disease Models & Mechanisms. 6:

1307-1315

Page 169: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

147

Rahayuningsih, D. 2014. Pengaruh Suhu Dan Waktu Penyeduhan Teh Celup

Terhadap Kadar Kafein. Thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Robert S.B. C, Larry Je, Hülya B, Patrick M. K. Biochemical, Cellular, and

Molecular Mechanisms of Neuronal Death and Secondary Brain Injury in

Critical Care. Journal of Critical Care Medicine. 2015

Shohami E, Ginis I dan Hallenbeck JM. 1999. Tumor necrosis factor alpha in

brain injury. Cytokine & Growth Factor Reviews.10:119-130.

Smith, T. J. 2011. Green tea polyphenols in drug discovery–a success or failure?,

Expert Opin Drug Discov. 6 (6): 589–595.

Susanti, E., Ciptati, Ratnawati, R., Aulanni’am and Rudijanto, A. 2015. Qualitative

analysis of catechins from green tea GMB-4 clone using HPLC and LC-

MS/MS, Asian Pac J Trop Biomed. 5 (12): 1046–1050.

Sutherland, B. A., Rahman, R. M. A. and Appleton, I. 2006. Mechanism of action

of green tea cathechins, with a focus on ischemia-induced

neurodegeneration, Journal of National Biochemistry. 17: 291–306.

Suzuki, M., Tabuchi, M., Ikeda, M., Umegaki, K. and Tomita, T. 2004. Protective

effects of green tea catechins on cerebral ischemic damage, Med Sci

Monit. 10 (6): 166-174.

Tjokronegoro A, S. 2004. Metodologi penelitian bidang kedokteran. Edisi 5.

Jakarta: FKUI

Tourle, R.. 2004. Camellia Sinensis (Tea). http://www.museums.org.za/iziko. 12

Januari 2016.

Valadka AB, Narayan RK. 1996. Emergency room management of the head-

injured patient. Journal of Neurotrauma, 119-135

Wang Q, Sun AY, Simonyi A. 2005. Neuroprotective mechanisms of curcumin

against cerebral ischemia-induced neuronal apoptosis and behavioral

deficits. J Neurosci Res. 2005; 82(1): 138-148. doi: 10.1002/jnr.20610

Vauzour, D. 2012. Dietary polyphenols as modulators of brain functions:

Biological actions and molecular mechanisms underpinning their beneficial

effects, Oxidative Medicine and Cellular Longevity.

Page 170: PENGARUH PEMBERIAN CATECHINS TERHADAP ...repository.ub.ac.id/9534/1/dr.Sartika Dewi Utami .pdfviii RINGKASAN Sartika Dewi Utami, NIM.126070100111055 . Program Pasca Sarjana Fakultas

148

Weissenberger CA dan Siren AL. 2010. Experimental traumatic brain injury.

Experimental & Translational Stroke Medicine. 2:16

Werner C dan Engelhard K. 2007. Pathophysiology of traumatic brain injury.

British Journal of Anaesthesia. 99 (1):4–9

Wu, A. G., Z. Ying, and F. Gomez-Pinilla. 2010. Vitamin E protects against

oxidative damage and learning disability after mild traumatic brain injury in

rats. Neurorehabilitation and Neural Repair 24(3):290–298

Xiong, Ye; Asim Mahmood and Michael Chopp. Animal models of traumatic brain

injury. 2013 Macmillan Publishers Limited. VOLUME 14

Yashin, A., Nemzer, B. and Yashin, Y. 2012. Bioavailability of tea components.

Journal of food research, 1 (2): 281–290.

Zasler ND, Katz DL dan Zafonte RD. 2007. Brain Injury Medicine. Principles and

Practice. Demos Medical Publishing. 8 : 81-95.

Zhang X, Chen Y, Jenkins LW, Kochanek PM. Clark RSB. 2005. Bench-to-

bedside review: Apoptosis/programmed cell death triggered by traumatic

brain injury. Critical Care. 9:66-75

Zhang, Bo; Bing Wang, Shuhua Cao, and Yongqiang Wang. Epigallocatechin-3-

Gallate (EGCG) Attenuates Traumatic Brain Injury by Inhibition of Edema

Formation and Oxidative Stress. Korean J Physiol Pharmacol Vol 19:

491•|497,