Download - DIABETES MELLITUS TIPE I.docx

Transcript
Page 1: DIABETES MELLITUS TIPE I.docx

BAB II

PEMBAHASAN

DIABETES MELLITUS TIPE I

Definisi

Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang dapat disebabkan berbagai macam

etiologi, disertai dengan adanya hiperglikemia kronis akibat gangguan sekresi insulin atau

gangguan kerja dari insulin, atau keduanya. Sedangkan Diabetes Mellitus tipe 1 lebih

diakibatkan oleh karena berkurangnya sekresi insulin akibat kerusakan sel β-pankreas yang

didasari proses autoimun.

Istilah diabetes mellitus berasal dari bahasa Yunani yaitu diabetes yang berarti “sypon”

menunjukan pembentukan urine yang berlebihan, dan mellitus berasal dari kata “meli” yang

berarti madu.

Etiologi

Etiologi DM tipe 1 diakibatkan oleh kerusakan sel beta pankreas karena paparan agen infeksi

atau lingkungan, yaitu racun, virus (rubella kongenital, mumps, coxsackievirus dan

cytomegalovirus) dan makanan (gula, kopi, kedelai, gandum dan susu sapi).

Beberapa teori ilmiah yang menjelaskan penyebab diabetes mellitus tipe 1 sebagai berikut:

1. Hipotesis sinar matahari

Teori yang paling terakhir adalah "hipotesis sinar matahari," yang menyatakan bahwa

waktu yang lama dihabiskan dalam ruangan, dimana akan mengurangi paparan sinar

matahari kepada anak-anak, yang akan mengakibatkan berkurangnya kadar vitamin D.

Bukti menyebutkan bahwa vitamin D memainkan peran integral dalam sensitivitas dan

sekresi insulin (Penckofer, Kouba, Wallis, & Emanuele, 2008). Berkurangnya kadar

vitamin D, dan jarang terpapar dengan sinar matahari, dimana masing-masing telah

dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes mellitus tipe 1.

2. Hipotesis higiene "Hipotesis kebersihan"

Teori ini menyatakan bahwa kurangnya paparan dengan prevalensi patogen, dimana kita

menjaga anak-anak kita terlalu bersih, dapat menyebabkan hipersensitivitas autoimun,

yaitu kehancuran sel beta yang memproduksi insulin di dalam tubuh oleh leukosit.

Dalam penelitian lain, peneliti telah menemukan bahwa lebih banyak eksposur untuk

mikroba dan virus kepada anak-anak, semakin kecil kemungkinan mereka menderita

penyakit reaksi hipersensitif seperti alergi. Penelitian yang berkelanjutan menunjukkan

bahwa "pelatihan" dari sistem kekebalan tubuh mungkin berlaku untuk pencegahan tipe 1

Page 2: DIABETES MELLITUS TIPE I.docx

diabetes (Curry, 2009). Kukrija dan Maclaren menunjukkan bahwa pencegahan diabetes

tipe 1 mungkin yang akan datang melalui penggunaan imunostimulasi, yakni

memaparkankan anak-anak kepada bakteri dan virus yang ada di dunia, tetapi yang tidak

menyebabkan efek samping imunosupresi.

3. Hipotesis Susu Sapi

Teori ini menjelaskan bahwa eksposur terhadap susu sapi dalam susu formula pada 6

bulan pertama pada bayi dapat menyebabkan kekacauan pada sistem kekebalan tubuh

dan meningkatkan risiko untuk mengembangkan diabetes mellitus tipe 1 di kemudian

hari. Dimana protein susu sapi hampir identik dengan protein pada permukaan sel beta

pankreas yang memproduksi insulin, sehingga mereka yang rentan dan peka terhadap

susu sapi maka akan direspon oleh leukosit, dan selanjutnya akan menyerang sel sendiri

yang menyebabkan kerusakan sel beta pankreas sehingga terjadi dibetes mellitus tipe 1.

Peningkatan pemberian ASI di 1980 tidak menyebabkan penurunan terjadinya diabetes

tipe 1, tetapi terjadi peningkatan dua kali lipat diabetes mellitus tipe 1. Namun, kejadian

diabetes tipe 1 lebih rendah pada bayi yang diberi ASI selama 3 bulan (Ekoe, Zimmet, &

Williams, 2001).

4. Hipotesis POP

Hipotesis ini menjelaskan bahwa eksposur terhadap polutan organik yang persisten

(POP) meningkatkan risiko kedua jenis diabetes. Publikasi jurnal oleh Institut Nasional

Ilmu Kesehatan Lingkungan menunjukkan peningkatan yang signifikan secara statistik

dalam tingkat rawat inap untuk diabetes dari populasi yang berada di tempat Kode ZIP

yang mengandung limbah beracun (Kouznetsova, Huang, Ma, Lessner, & Carpenter,

2007).

5. Hipotesis Akselerator

Sebuah teori yang menunjukkan bahwa tipe 1 diabetes merupakan bagian sederhana dari

kontinum yang sama dari tipe 2, tetapi muncul lebih dulu. Hipotesis akselerator

menyatakan bahwa peningkatan berat dan tinggi anak-anak pada abad terakhir ini telah

"dipercepat", sehingga kecenderungan mereka untuk mengembangkan tipe 1 dengan

menyebabkan sel beta di pankreas di bawah tekanan untuk produksi insulin. Beberapa

kelompok mendukung teori ini, tetapi hipotesis ini belum merata diterima oleh

profesional diabetes (O'Connell, Donath, & Cameron, 2007).

Page 3: DIABETES MELLITUS TIPE I.docx

Patogenesis

DM tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan kehancuran selektif

sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Timbulnya penyakit klinis merupakan tahap

akhir dari kerusakan sel beta yang mengarah ke tipe 1 DM. Berbagai lokus gen telah

dipelajari untuk menentukan hubungan mereka dengan DM tipe 1. Pada awalnya diduga

bahwa antigen B8 dan B15 HLA kelas I sebagai penyebab diabetes karena meningkat pada

frekuensi di penderita diabetes dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun, baru-baru

fokus telah bergeser ke lokus HLA-DR kelas II dan ditemukan bahwa DR3 dan DR4 lebih

menonjol daripada HLA-B pada DM tipe 1. Akhirnya lokus alel HLA DQ telah terlibat

dalam kerentanan penyakit, melalui analisis Pembatasan fragmen panjang polimorfisme

(RFLP) dan disekuensi langsung, dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR)

untuk memperkuat urutan DNA spesifik, telah meningkatkan pemahaman kami tentang

kompleks HLA dan keterlibatan alel HLA dalam kerentanan penyakit. Bukti diajukan

menunjukkan bahwa kemampuan untuk memberikan kerentanan atau resistensi terhadap DM

tipe 1 berada dalam residu asam amino tunggal dari rantai b-HLA-DQ. Penggunaan lokus

spesifik oligonukleotida untuk menyelidiki derivat dari rantai b-HLA urutan DQ telah

membantu untuk memperjelas hubungan antara subtipe DR4 dan jenis DM tipe 1 terkait DQ

alel. Ditemukan bahwa hanya mereka positif DR4 haplotipe yang membawa alel DQW8 pada

lokus HLA DQ yang terkait dengan DM tipe 1. Perbandingan urutan rantai-b-DQ dari DM

tipe 1 dan kontrol menunjukkan bahwa haplotype yang positif dengan penyakit ini berbeda

dengan yang secara negatif berhubungan dengan asam amino dari posisi 57 dalam domain

pertama rantai b-HLA-DQ. Pada haplotype yang positif memiliki alanin, valin atau serin pada

posisi 57,sedangkan haplotype negatif memiliki asam aspartat ditemukan pada posisi 57, tapi

beberapa pengamatan tidak mendukung hipotesis "posisi 57". Yang terpenting adalah

ditemukan DQW4 dan DQW9 spesifik yang memiliki asam aspartat pada posisi 57, di Jepang

pasien DM tipe 1 sangat berhubungan dengan DQW4 dan DQW9, ini menunjukkan bahwa

mekanisme lain harus terlibat untuk menjelaskan kerentanan terhadap DM tipe 1 di beberapa

kelompok. Hubungan yang diamati antara DM tipe 1 dan HLA telah ditafsirkan sebagai

konsekuensi dari keterlibatan fungsional molekul HLA kelas II pada DM tipe 1. Keterlibatan

rantai b-DQ itu sendiri atau sebuah heterodimer DQ a/b dapat menunjukkan bahwa fungsi

presentasi antigen molekul kelas II adalah relevan untuk kerentanan DM tipe 1.

Setelah pendekatan "seleksi epitop" untuk menjelaskan fenomena autoimun Nepons telah

menyarankan model dimana alel HLA kelas II mempengaruhi kerentanan IDDM sebagai

berikut: a). susunan dimer kelas II yang dikode oleh beberapa kompleks HLA setiap individu,

Page 4: DIABETES MELLITUS TIPE I.docx

bervariasi afinitasnya untuk peptida tertentu yang dapat menimbulkan autoimun ke sel beta;

b). hanya dimer kelas II tertentu, produk dari gen rentan yang benar-benar mempromosikan

autoimunitas untuk sel beta setelah mengikat peptida, c). individu rentan jika produk dari gen

kerentanan mengikat peptida lebih kuat dari produk-produk gen tidak rentan yang ada dalam

individu tersebut. Dengan demikian, dalam model ini produk-produk dari alel HLA tertentu

yang berkaitan dengan DM tipe 1 karena mereka mengikat dan menyajikan peptida khusus

untuk merangsang respon imun terhadap sel beta pankreas.

Antigen yang terlibat dalam tipe 1 DM meliputi antigen 64kD, asam glutamat dekarboksilase

(GAD) dan antigen sitoplasma sel islet. Antibodi sel islet (ICA) mengikat komponen

sitoplasma sel islet pada bagian pankreas manusia dan endapan antibodi 64kDa merupakan

protein 64kDa dari ekstrak sel islet. Sedangkan antibodi 64kDa yang ditampilkan untuk

menjadi sel beta tertentu di dalam islet, beberapa sera ICA positif telah dijelaskan untuk

bereaksi dengan semua sel islet. Antigen target dari Antibodi 64kDa diidentifikasi sebagai

GAD enzim. Sel Islet tertentu pada baris sel beta memproduksi antibodi IgG yang terikat ke

antigen sitoplasma sel islet yang ditemukan. Anehnya semua monoklonal antibodi yang

diproduksi oleh baris, dikenali GAD target autoantigen. Dengan demikian, GAD mungkin

target antigen utama pada DM tipe 1, makanya antibodi untuk GAD dijadikan penanda

sensitif untuk perkembangan diabetes, walaupun antibodi GAD ada dalam individu yang

rentan secara genetik tetapi yang tidak mungkin untuk mengembangkan disease. Antibodi

juga bereaksi dengan insulin dapat juga dideteksi dalam klinis pada periode prediabetik yang

laten, tetapi autoantibodi insulin memiliki sensitivitas lebih rendah sebagai penanda untuk

perkembanagn diabetes dibandingkan antibodi GAD atau ICA. Kontribusi dari autoantigens

disebutkan di atas untuk induksi dan atau kelangsungan penyakit masih harus diklarifikasi.

Jelas, bahwa identifikasi dari autoantigens dalam DM tipe 1 adalah penting baik untuk tujuan

diagnostik dan untuk potensi intervensi terapi imun dalam proses penyakit.

Berikut ini dijelaskan mekanisme penurunan pengaturan yang telah dianalisis dalam model

hewan DM tipe 1, melalui tiga model hewan untuk tipe DM 1, yaitu tikus BB, tikus NOD dan

tikus MLD STZ dengan diabetes yang diinduksi, telah meningkatkan kemampuan kita untuk

memahami proses yang menyebabkan kerusakan sel beta. Namun, karena semua kesimpulan

yang diambil dari model hewan didasarkan pada asumsi analogi dengan penyakit manusia,

maka analogi perlu divalidasi lebih teliti. Aktivasi antigen islet kepada sel T CD4+ spesifik

menunjukan prasyarat mutlak bagi perkembangan diabetes di semua model hewan DM tipe 1.

Sel T CD4+ spesifik untuk islet yang berasal dari tikus NOD diabetes, saat disuntikkan ke

tikus prediabetes atau nondiabetes, menginduksi insulitis dan diabetes. Dilaporkan juga

Page 5: DIABETES MELLITUS TIPE I.docx

bahwa sel T CD4+ cukup untuk menimbulkan insulitis sedangkan sel T CD8+ berkontribusi

pada kerusakan yang lebih parah. Temuan ini bersama dengan bukti bahwa insulitis di

pencangkokan kronis dibandingkan penyakit pada host dapat terjadi dengan tidak adanya sel

T CD8+ menunjukkan bahwa sel T CD4+ mungkin hanya sel imunokompeten yang

diperlukan dalam proses penyakit. Namun, tampaknya hanya satu subset sel T CD4+ yang

bertanggung jawab untuk induksi penyakit. Penurunan regulasi respon autoimun diabetogenik

oleh sel limpa berasal dari hewan yang dirawat dengan adjuvan juga dapat dijelaskan oleh

subset sel T CD4+ saling mempengaruhi. Hasil awal oleh kelompok Lafferty (akan

diterbitkan) menunjukkan bahwa perlakuan awal dengan ajuvan tidak menghalangi respon

autoimun, melainkan dapat menyimpang respon dari profil sitokin Th-1 ke Th-2. Bahkan,

tingkat tinggi sitokin tipe Th-1 yaitu IL-2 dan interferon gamma ditemukan berkorelasi atau

dan untuk meningkatkan induksi diabetes autoimun model eksperimental. Sel Th-1

menghasilkan produk yaitu IFN-gamma yang akan mengaktifkan makrofag. Pada penelitian

dengan model hewan DM tipe 1 menggunakan mikroskopis elektron untuk mengamati

pankreas menunjukkan bahwa makrofag adalah sel pertama yang menyerang islets.

Dalam penelitian in vitro dan studi pada perfusi pankreas menunjukkan bahwa Interleukin 1

(IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF-α), dua sitokin terutama diproduksi oleh makrofag,

menyebabkan perubahan struktural sel beta pankreas dan menekan kapasitas sel beta

pankreas untuk melepaskan insulin. Namun, tampaknya bahwa IL-1 dan TNF tidak

berkontribusi dengan aktivitas sitotoksik makrofag. Interferon gamma merupakan aktivator

kuat untuk makrofag dalam mensintesis nitrat oksida. Pada saat ini, ada bukti yang

menunjukkan bahwa aktivitas sintesis Nitrat oksida terlibat dalam perkembangan diabetes

DM tipe 1, dimana data ini menunjukkan untuk pertama kalinya, bahwa nitrat oksida dapat

menjadi faktor patogen dalam autoimunitas dan disarankan kemungkinan adanya kelas baru

pada agen immunofarmakologi, dimana mampu memodulasi sekresi nitrat oksida untuk dapat

diuji dalam pencegahan perkembangan DM tipe 1.

Meskipun bukti yang kuat untuk hubungan dengan faktor genetik, tingkat kesesuaian untuk

DM tipe 1 adalah mengherankan rendah pada anak kembar identik. Kesesuaiannya kurang

dari 100% pada kembar identik untuk DM tipe I telah memberikan kontribusi ke sebuah

penelusuran faktor lingkungan yang terkait dengan penyakit. Satu-satunya yang jelas bahwa

faktor lingkungan meningkatkan risiko untuk perkembangan diabetes tipe 1 adalah infeksi

rubella congenital, dimana sampai 20% dari anak-anak tersebut di kemudian hari

mengembangkan diabetes. Pengamatan ini menunjukan bahwa selain temuan bahwa urutan

asam amino dari rantai DQ-b juga ditemukan di protein envelope virus rubella yang akan

Page 6: DIABETES MELLITUS TIPE I.docx

mendukung mimikri antigen virus sebagai faktor etiologi dalam DM tipe I. Peran faktor

lingkungan juga disarankan oleh analisis respon imun terhadap protein susu sapi, dimana

hampir semua pasien DM tipe 1 memiliki antibodi ke peptida serum albumin sapi dan

menunjukkan respon sel T untuk peptida serum albumin sapi yang sama dengan protein yang

ada di permukaan sel beta di pankreas, dibandingkan dengan hanya sekitar 2% dari kontrol.

Pada saat terjadi kekurangan insulin akibat kerusakan dari sel beta di pankreas, maka

hiperglikemia berkembang sebagai hasil dari tiga proses: (1) peningkatan glukoneogenesis

(pembuatan glukosa dari asam amino dan gliserol), (2) glikogenolisis dipercepat (pemecahan

glukosa disimpan) dan (3) pemanfaatan glukosa oleh perifer jaringan.

Page 7: DIABETES MELLITUS TIPE I.docx

Gejala Klinis

Polidipsi, poliuria, polifagia, berat badan turun

Hiperglikemia (≥ 200 mg/dl), ketonemia, glukosuria

Anak dengan DM tipe 1 cepat sekali menjurus ke dalam ketoasidosis diabetik yang disertai

atau tanpa koma dengan prognosis yang kurang baik bila tidak diterapi dengan baik. Oleh

karena itu, pada dugaan DM tipe 1, penderita harus segera dirawat inap.

Diagnosis

Anamnesis

Gejala klinis

Laboratorium :

Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl dan 2 jam setelah makan > 200 mg/dl.

Ketonemia, ketonuria.

Glukosuria

Page 8: DIABETES MELLITUS TIPE I.docx

Bila hasil meragukan atau asimtomatis, perlu dilakukan uji toleransi glukosa oral (oral

glucosa tolerance test).

Kadar C-peptide.

Marker imunologis : ICA (Islet Cell auto-antibody), IAA (Insulin auto-antibody), Anti GAD

(Glutamic decarboxylase auto-antibody).

Penatalaksanaan

Pada dugaan DM tipe-1 penderita harus segera rawat inap.

Insulin

Dosis total insulin adalah 0,5 - 1 UI/kg BB/hari.

Selama pemberian perlu dilakukan pemantauan glukosa darah atau reduksi air kemih. Gejala

hipoglikemia dapat timbul karena kebutuhan insulin menurun selama fase ”honeymoon”.

Pada keadaan ini, dosis insulin harus diturunkan bahkan sampai kurang dari 0,5 UI/kg

BB/hari, tetapi sebaiknya tidak dihentikan sama sekali.

Diet

o Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai dengan usia pubertas dapat juga

ditentukan dengan rumus sebagai berikut :

1000 + (usia dalam tahun x 100) = ....... Kalori/hari

o Komposisi sumber kalori per hari sebaiknya terdiri atas : 50-55% karbohidrat, 10-15%

protein (semakin menurun dengan bertambahnya umur), dan 30-35% lemak.

Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 3 kali

makanan kecil sebagai berikut :

Page 9: DIABETES MELLITUS TIPE I.docx

o 20% berupa makan pagi.

o 10% berupa makanan kecil.

o 25% berupa makan siang.

o 10% berupa makanan kecil.

o 25% berupa makan malam.

o 10% berupa makanan kecil.

o Pengobatan penyakit penyerta seperti infeksi dan lain-lain.

Komplikasi

Komplikasi jangka pendek (akut) yang sering terjadi : hipoglikemia dan ketoasidosis.

Komplikasi jangka panjang biasanya terjadi setelah tahun ke-5, berupa : nefropati, neuropati,

dan retinopati. Nefropati diabetik dijumpai pada 1 diantara 3 penderita DM tipe 1.

Diagnosis dini dan pengobatan dini penting sekali untuk :

1. mengurangi terjadinya gagal ginjal berat, yang memerlukan dialisis.

2. menunda ”end stage renal disease” dan dengan ini memperpanjang umur penderita.

Adanya ’mikroalbuminuria’ merupakan parameter yang paling sensitif untuk identifikasi

penderita resiko tinggi untuk nefropati diabetik. Mikroalbuminuria mendahului

makroalbuminuria. Pada anak dengan DM tipe-1 selama > 5 tahun, dianjurkan skrining

mikroalbuminuria 1x/tahun. Bila tes positif, maka dianjurkan lebih sering dilakukan

pemeriksaan. Bila didapatkan hipertensi pada penderita DM tipe-1, biasanya disertai

terjadinya nefropati diabetik.

Tindakan : pengobatan hiperglikemia dan hipertensi (bila ada).

Pemantauan

Ditujukan untuk mengurangi morbiditas akibat komplikasi akut maupun kronis, baik

dilakukan selama perawatan di rumah sakit maupun secara mandiri di rumah, meliputi :

o keadaan umum, tanda vital.

o kemungkinan infeksi.

o kadar gula darah (juga dapat dilakukan di rumah dengan menggunakan glukometer)

setiap sebelum makan utama dan menjelang tidur malam hari.

o kadar HbA1C (setiap 3 bulan).

o pemeriksaan keton urine (terutama bila kadar gula > 250 mg/dl).

o mikroalbuminuria (setiap 1 tahun).

o fungsi ginjal.

Page 10: DIABETES MELLITUS TIPE I.docx

o funduskopi untuk memantau terjadinya retinopati (biasanya terjadi setelah 3-5 tahun

menderita DM tipe-1, atau setelah pubertas).

o tumbuh kembang.

PENYAKIT GINJAL KRONIS

DEFINISI :

Penyakit Ginjal Kronis atau Chronic Kidney Disease adalah suatu

prosespatofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal

yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal

adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel,

pada suatu derajat yang memerlukan terpai pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau

transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrome klinik dan laboratorik yang terjadi pada

semua organ akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.

Kriteria dari penyakit ginjal kronik adalah :

1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal,dengan atau tanpa

penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:

Kelainan patologik

Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan padapemeriksaan

pencitraan radiologi

2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama 3 bulan denganatau tanpa

kerusakan ginjal.

Kriteria Chronic Kidney Disease berdasarkan KDIGO tahun 2013,

Gambar 1. Kriteria CKD (KDIGO 2013)

EPIDEMIOLOGI

Di Amerika Serikat menyatakan insidens penyakit ginjal kronik diperkitakan 100 juta

kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di

Malaysia diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di Negara

Page 11: DIABETES MELLITUS TIPE I.docx

berkembang lainnya, insidens ini diperkirakan sekitar 40-60 kasis perjuta penduduk per

tahun.

Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000:

1. Glomerulonefritis (46,39%)

2. Diabetes Mellitus (18,65%)

3. Obstruksi dan infeksi (12,85%)

4. Hipertensi (8,46%)

5. Sebab lain (13,65%)

Penyakit gagal ginjal kronik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Insidennya pun

lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit putih

ETIOLOGI

Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi. Dari data yang sampai saat ini dapat

dikumpulkan oleh Indonesian RenalRegistry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan

etiologi terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%),

hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%).

a. Glomerulonefritis

Glomerulonefritis akut mengarah pada serangkaian tertentu penyakit ginjal di mana

mekanisme kekebalan tubuh memicu peradangan dan proliferasi jaringan glomerular yang

dapat mengakibatkan kerusakan pada membran basal, mesangium, atau endotelium kapiler.

Hippocrates awalnya menggambarkan manifestasi nyeri punggung dan hematuria, lalu juga

oliguria atau anuria. Dengan berkembangnya mikroskop, Langhans kemudian mampu

menggambarkan perubahan pathophysiologic glomerular ini. Sebagian besar penelitian asli

berfokus pada pasien pasca-streptococcus.. Glomerulonefritis akut didefinisikan sebagai

serangan yang tiba-tiba menunjukkan adanya hematuria, proteinuria, dan silinder sel darah

merah. Gambaran klinis ini sering disertai dengan hipertensi, edema, dan fungsi ginjal

terganggu.

Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan

sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri

sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik

lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau

amiloidosis.

Kebanyakan kasus terjadi pada pasien berusia 5-15 tahun. Hanya 10% terjadi pada

pasien yang lebih tua dari 40 tahun. Gejala glomerulonefritis akut yaitu dapat terjadi

Page 12: DIABETES MELLITUS TIPE I.docx

hematurim oligouri, edema preorbital yang biasanya pada pagi hari, hipertensi, sesak napas,

dan nyeri pinggang karena peregangan kapsul ginjal.

b. Diabetes melitus

Menurut American Diabetes Association (2003) diabetes melitus merupakan suatu

kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena

kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua duanya.

Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat

mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat

bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak

menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil

lebih sering ataupun berat badan yang menurun.

Terjadinya diabetes ditandai dengan gangguan metabolisme dan hemodinamik yang

meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, meningkatkan tekanan darah sistemik, dan

mengubah pengaturan tekanan intracapillary. Di ginjal, perubahan ini mungkin menyebabkan

munculnya protein dalam urin. Kehadiran protein urin tidak hanya tanda awal penyakit ginjal

diabetes, tetapi dapat menyebabkan kerusakan dan tubulointerstitial glomerular yang pada

akhirnya mengarah ke glomerulosclerosis diabetes. Hubungan yang kuat antara proteinuria

dan komplikasi diabetes lainnya mendukung pandangan bahwa peningkatan ekskresi protein

urin mencerminkan gangguan vaskular umum yang mempengaruhi banyak organ, termasuk

mata, jantung, dan sistem saraf .

c. Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥

90 mmHg pada seseorang yang tidak makan obat anti hipertensi. Berdasarkan penyebabnya,

hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang

tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga

hipertensi renal.

Klasifikasi

Tekanan

Darah

Sistolik

(mmHg)

Diastolik

(mmHg)

Modifikasi

Gaya

Hidup

Terapi

Normal < 120 Dan < 80 Edukasi tidak perlu obat

antihipertensiPrehipertensi 120 – 139 Atau 80 – 89 Ya

Stage 1 HT 140 – 159 Atau 90 – 99 Ya Thiazid tipe diuretik

Tabel 3. Klasifikasi tekanan darah sistolik, diastolik, modifikasi gaya hidup, serta terapi obat

berdasarkan Joint National Committee (JNC)VII:

Page 13: DIABETES MELLITUS TIPE I.docx

Dapat juga ACEI, ARB,

BB, CCB, atau kombinasi

Stage 2 HT > 160 Atau > 100 Ya Kombinasi 2 jenis obat

(biasanya thiazid tipe

diuretik dan ACEI atau

ARB atau BB atau CCB)

Target tekanan darah pada terapi pasien dengan CKD atau diabetes adah <130/80

mmHg.

d. Ginjal polikistik

Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang

semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista kista yang

tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan

genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik

merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu

dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh

karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini

dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih

tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.

KLASIFIKASI

Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan olehnilai

laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilailaju filtrasi

glomerulus yang lebih rendah.

LAJU FILTRASI GLOMERULUS = (140−UMUR ) X BERAT BADAN

72 X KREATININ PLASMA (mgdl

)

*pada perempuan dikalikan 0,85

Klasifikasi tersebut membagi penyakitginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1

adalah kerusakan ginjal denganfungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal

dengan penurunanfungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan

yangsedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsiginjal,

dan stadium 5 adalah gagal ginjal. Hal ini dapat dilihatpada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut:

A.Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan laju filtrasi glomerolus.

Page 14: DIABETES MELLITUS TIPE I.docx

Derajat Penjelasan LFG

(mL/menit/1,73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89

3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-59

4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29

5 Gagal ginjal <15 atau dialisis

B.

GFR

(ml/min/1,73 m2)

Dengan Kerusakan Ginjal Tanpa Kerusakan Ginjal

Dengan HT Tanpa HT Dengan HT Tanpa HT

> 90 1 1 HT Normal

60 – 89 2 2 HT dengan

penurunan GFR

Penurunan

GFR

30 – 59 3 3 3 3

15 – 29 4 4 4 4

< 15 (atau dialisis) 5 5 5 5

Klasifikasi atas dasar diagnosis tampak pada tabel berikut :

Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi

Penyakit Tipe mayor (contoh)

Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2

Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular (penyakit autoimun,

infeksi sistemik obat, neoplasia)

Penyakit vaskular ( penyakit pembuluh

darah besar, hipertensi, mikroangiopati)

Penyakit tubulointerstisial ( pielonefritis

kronis, batu, obstruksi, keracunan obat)

Penyakit kistik (ginjal polikistik)

Penyakit pada trnsplantasi Rejeksi kronik

Tabel 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik dengan atau tanpa kerusakan ginjal dan atau

dengan atau tanpa peningkatan tekanan darah / hipertensi (HT).

Page 15: DIABETES MELLITUS TIPE I.docx

Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)

Penyakit reccurent (glomerular)

Transplant glomerulopathy

Klasifikasi menurut KDIGO 2013

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang

mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.

Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang

masih tersisa (surviving nefron) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul

vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti

oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini

berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa skelrosis nefron yang

masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,

walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.

Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut

memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut.

Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh

growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga

dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah

albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual

untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerolus maupun interstitial.

Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi empat stadium. Stadium

ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar

BUN normal dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat

Page 16: DIABETES MELLITUS TIPE I.docx

diketahui dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti test pemekatan

kemih yang lama atau dengan mengadakan test LFG yang teliti.

Stadium sedang perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, dimana lebih dari

75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini

kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini

berbeda-beda, tergantung dari kadar protein dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin

serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila

penderita misalnya mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada

stadium insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh

kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala ini timbul sebagai respons terhadap stress

dan perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu

memperhatikan gejala-gejala ini, sehingga gejala tersebut hanya akan terungkap dengan

mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang teliti.

Stadium berat dan stadium terminal gagal ginjal kronik disebut gagal ginjal stadium

akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar 90% dari massa nefron

telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai LFG hanya 10%

dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang.

Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok

sebagai respons terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal

ginjal, penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal tidak

sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Kemih menjadi

isoosmotis dengan plasma pada berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya

menjadi oligourik (pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus

meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan

biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem

dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia

mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.

Meskipun perjalanan klinis penyakit ginjal kronik dibagi menjadi empat stadium,

tetapi dalam prakteknya tidak ada batas-batas yang jelas antara stadium-stadium tersebut.

MANIFESTASI KLINIS

Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks,

meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata,

kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular.

Kelainan hemopoeisis

Page 17: DIABETES MELLITUS TIPE I.docx

Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan

pada pasien gagalginjalkronik. Anemia pada pasien gagal ginjal kronik terutama disebabkan

oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah

defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup

eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum

tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik.

Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau hematokrit <

30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum / serum iron, kapasitas ikat

besi total / Total Iron binding Capacity(TIBC), feritin serum), mencari sumber perdarahan,

morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya.

Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab

lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan.

Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan

indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak

cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal.

Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL.

Kelainan saluran cerna

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal

kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas,

diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia.

Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus.

Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet

protein dan antibiotika.

Kelainan mata

Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal

ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal

ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala

nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan

hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan

atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat

iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal

ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.

Kelainan kulit

Page 18: DIABETES MELLITUS TIPE I.docx

Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga

berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang

setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai

timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.

Kelainan neuropsikiatri

Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi

sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi,

dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan

mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan

tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas)

Kelainan kardiovaskular

Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks.

Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering

dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat

menyebabkan kegagalan faal jantung.

Hubungan antara penurunan LFG dan gambaran klinik adalah sebagai berikut:

a. Penurunan cadangan faal ginjal (LFG 40-75%)

Pada tahap ini biasanya tanpa keluhan, karena faal ekskresi dan regulasi masih

dapat dipertahnkan normal. Masalah ini sesuai dengan konsep intac nephron

hypothesis. Kelompok pasien ini sering ditemukan kebetulan pada pemeriksaan

laboratorium rutin.

b. Insufisiensi renal (LFG 20-50%)

Pada pasien tahap ini masih dapat melakukan aktivitas normla walaupun sudah

memperlihatkan keluhan- keluhan yang berhubungan dengan retensi azotemia.

Pada pemeriksaan hanya ditemukan hipertensi, anemia (penurunan HCT) dan

hiperurikemia. Sindrome acute on chronic renal failure : oliguria, tanda- tanda

overhydration (bendungan paru, bendungan hepar, kardiomegali), edema perifer

(ekstrmitas dan otak), asidosis, hiperkalemia, anemia, hipertensi berat.

c. Gagal ginjal (LFG 5-25%)

Gambaran klinik dan laboratorik makin nyata : anemua, hipertensi, overhydration,

kelainan laboratorium seperti penuruan HCT, hiperurikemia, kenaikan ureum dan

kreatinin serum, hiprfosfatemia, hipernatremia, kalium serum biasanya masih

normal.

d. Sindrom azotemia (LFG kurang dari 5%)

Page 19: DIABETES MELLITUS TIPE I.docx

Sindrom azotemia dengan gambaran klinik sangat komplek dan melibatkan

banyak organ (multi organ)

PENEGAKAN DIAGNOSIS

Pendekatan diagnosis gagalginjalkronik (GGK) dilihat dari anamnesis, pemeriksaan

fisik, gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaharan histopatologis.

1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)

2. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi

3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)

4. Menentukan strategi terapi rasional

5. Meramalkan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan

yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan

pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan

dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk

semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif

dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan

melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:

i) sesuai dengan penyakit yang mendasari;

ii) sindrom uremia yang terduru daru lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah,

nokturia, kelebihan cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritusm uremic

frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma;

iii) gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah

jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,

chlorida).1

Tabel . Gambaran Klinik Gagal Ginjal Kronik

1. Gejala Subjektif (symptom)

Umum :

Saluran cerna :

Neuromuskuler :

Lemah badan, cepat lelah

Nafsu makan turun, mual dan muntah, lidah

hilang rasa, cegukan

Tungkai lemah, parestesi, kram otot, daya

Page 20: DIABETES MELLITUS TIPE I.docx

Kelamin :

Kardiovaskuler :

2. Gejala Obyektif (sign)

Umum :

Kulit :

Kepala:

Kardiovaskular :

Neuromuskular :

konsentrasi turun, insomnia dan gelisah

Libido menurun, nokturia dan oligouria

Sesak nafas, sembab, batuk, nyeri perikardial

Nampak sakit, mengurus

Hiperpigmentasi, kering

Sembab, anemia, retinopati

Hipertensi, kardiomegali, sembab

Neuropati perifer, mioklonus

3. Laboratorium rutin

Kenaikan BUN dan kreatinin serum, anemia normokrom normositer, leukopeni,

trombopati, hiperurikemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, proteinuria, hematuria dan

silinderuria

Tabel gambaran Klinik Spesifik yang sugestif berhubungan dengan etiologi GGK

1. Keluhan subyektif (symptom)

Glomerulonefritis

Diabetes Mellitus

Nefrosklerosis

Nefritis interstisial

Obstruksi

Sindrom nefritik akut, sindrom nefrotik

kronik

Poliuria, polidipsia, familier

Hipertensi

ISK rekuren, artitis gout, obat- obatan

Kolik ginjal, disfungsi, kandung kemih

2. Pemeriksaan Fisik Diagnostik

Diabetes mellitus

Polikistik

S.L.E

Obstruksi saluran kemih

Gout

Neuropati, retinopati

Tumor ginjal, hematuria

FUO, atralgia, fotosensitif, kelainan kulit

Hidronefrosis, prostat hipertrofi

Dehidrasi, tofi

Page 21: DIABETES MELLITUS TIPE I.docx

b. Pemeriksaan laboratorium

tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat

penurunan faal ginjal, identifikasi etiologi, menentukan perjalanan penyakit termasuk semua

faktor yang memperburuk faal ginjal yang sifatnya terbalikan (reversibel).

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan penyakit yang

mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin serum, dan

penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat dihitung mempergunakan rumus

Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah lainnya, seperti penurunan kadar hemoglobin,

hiper atau hipokalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia. Kelainan urinanalisi meliputi

proteinuria, hematuri, leukosuria, dan silinder.1

c. Pemeriksaan penunjang diagnosis

Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:1

1. foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak

2. pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras seriing tidak bisa

melewati filter glomerolus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksisk oleh

kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan

3. pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi

4. ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang

menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, klasifikasi

5. pemeriksaan pemindaan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

PENATALAKSANAAN

1. Terapi konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara

progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki

metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.

a.Peranan diet

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau

mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama

gangguan keseimbangan negatif nitrogen.

b. Kebutuhan jumlah kalori

Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan

tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status

nutrisi dan memelihara status gizi.

Page 22: DIABETES MELLITUS TIPE I.docx

c. Kebutuhan cairan

Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah

diuresis mencapai 2 L per hari.

d. Kebutuhan elektrolit dan mineral

Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG

dan penyebab dasar penyakit ginjal tersebut (underlying renal disease).

2. Terapi simptomatik

a. Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium

(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan

suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena

bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.

b. Anemia

Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis inisial 50

u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis pemberian

menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg dan tidak lebih dari tiga

kali dalam seminggu.8

Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan

terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati

karena dapat menyebabkan kematian mendadak.

Sasaran hemoglobin adal 11-12 gr/dL.

c. Keluhan gastrointestinal

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering

dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief

complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa

mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi

dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.

d. Kelainan kulit

Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.

e. Kelainan neuromuskular

Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler

yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.

f. Hipertensi

Page 23: DIABETES MELLITUS TIPE I.docx

Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat Enzym

Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor). Melalui

berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan antihipertensi dan

antiproteinuria.

g. Kelainan sistem kardiovaskular

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang

penting, karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh

penyakit kardiovaskular. Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan

kardiovaskular yang diderita, termasuk pengendalian diabetes, hipertensi,

dislipidemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan

keseimbanagan elektrolit.

3. Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu

pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis

peritoneal, dan transplantasi ginjal.

a. Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik

azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien

GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan

terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk

dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan

paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,

muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10

mg%.

Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia,

muntah, dan astenia berat.

b. Dialisis peritoneal (DP)

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis

(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu

pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah

menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien- pasien yang cenderung akan

mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV

shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual

Page 24: DIABETES MELLITUS TIPE I.docx

urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-

mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual

tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.

c. Transplantasi ginjal

PROGNOSIS

Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal atau

stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari, keberhasilan

terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani dialisis kronik akan

mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium

akhir yang menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani

dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi (14%),

kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%)

PENCEGAHAN

Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulaidilakukan

pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahanyang telah terbukti

bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dankardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi

(makin rendah tekanan darah makinkecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula

darah, lemak darah,anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan

pengendalian beratbadan.

Page 25: DIABETES MELLITUS TIPE I.docx
Page 26: DIABETES MELLITUS TIPE I.docx

DAFTAR PUSTAKA

1. Editorial. Gagal Ginjal Kronik. Diunduh dari: http://emedicine. medscape.com/article/238798-overview,

2. Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: for the Evaluation and Management of Chronic Kidney. 2012

3. Enday Sukandar. 2006. Gagal Ginjal dan Pandual Terapi Dialisis. Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNPAD RS DR Hasan Sadikin BandungMortensen HB, et al. Multinational study in children and adolescents with newly diagnosed type 1 diabetes: association of age, ketoacidosis, HLA status, and autoantibodies on residual beta-cell function and glycemic control 12 months after diagnosis. Pediatric Diabetes 2010: 11: 218–226.

4. 2. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. hlm 570-3.

5. Thomas RC, et al. Autoimmunity and the Pathogenesis of type 1 Diabetes. McGill University Medical School, Montreal, Canada; 2010; 47(2): 51–71

6. Irland NB. The story of type 1 diabetes. Nursing for women’s health, volume 14, 2010; 327-338

7. Al Homsi MF, Lukic ML. An Update on the pathogenesis of Diabetes Mellitus. Faculty of Medicine and Health Sciences, UAE University, Al Ain, United Arab Emirates; 2000

8. Netty EP. Diabetes Mellitus Tipe I dan Penerapan Terapi Insulin Flexibel pada Anak dan Remaja. Diajukan pada Forum Komunikasi Ilmiah (FKI) Lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo Surabaya. February 13, 2002.