PENGARUH PENINGKATAN CADANGAN BESI TERHADAP...
Embed Size (px)
Transcript of PENGARUH PENINGKATAN CADANGAN BESI TERHADAP...
-
DISERTASI DIAJUKAN UNTUK
UJIAN TERBUKA
PENGARUH PENINGKATAN CADANGAN BESI
TERHADAP INTERLEUKIN-2 (IL-2)
DAN INTERFERON GAMMA (IFN γ)
PLASMA DAN SUPERNATAN KULTUR LIMFOSIT
PADA PENDERITA ANEMIA DEFISIENSI BESI :
KAITANNYA DENGAN INFEKSI
KETUT SUEGA
NIM. 0490271003
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2009
-
i
DISERTASI DIAJUKAN UNTUK
UJIAN TERBUKA
PENGARUH PENINGKATAN CADANGAN BESI
TERHADAP INTERLEUKIN-2 (IL-2)
DAN INTERFERON GAMMA (IFN γ)
PLASMA DAN SUPERNATAN KULTUR LIMFOSIT
PADA PENDERITA ANEMIA DEFISIENSI BESI :
KAITANNYA DENGAN INFEKSI
KETUT SUEGA
NIM. 0490271003
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2009
-
ii
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama saya panjatkan puji dan syukur ke hadapan Ida Hyang Widi
Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada saya
sekeluarga sehingga saya dapat menyelesaikan disertasi ini.
Banyak pihak telah ikut membantu terwujudnya disertasi ini sehingga saya
sangat berhutang budi. Ungkapan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya, sungguh
sulit untuk saya sampaikan dengan kata-kata dan semua bantuan dan budi baik
tersebut akan tetap saya kenang selama hidup saya.
Kepada Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD-KHOM, Guru Besar dan Kepala
Divisi Hematologi-Onkologi Medik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK
Unud/RSUP Sanglah Denpasar, Pembimbing Utama saya, penghargaan yang tulus
saya sampaikan atas kesediaan Bapak menjadi pembimbing saya. Izinkanlah saya
menyatakan terima kasih serta kebanggaan saya menjadi promovendus Bapak.
Kejelian Bapak dalam mengatur waktu dan cara mengatur strategi untuk
memecahkan masalah akan selalu menjadi panutan bagi saya pada masa yang akan
datang.
Kepada Prof. Dr. A.A.Gde Sudewa Djelantik, SpPK, Guru Besar Patologi
Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Pembimbing saya, saya ucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan dan dorongan yang telah Bapak
berikan dengan tekun dan tanpa pamrih kepada saya.
-
iii
Kepada Prof. dr. Ketut Suata, SpMK, Ph.D, Guru Besar Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Pembimbing saya, saya sampaikan terima
kasih atas petunjuk serta dorongan sejak awal masa studi ini dan juga pada saat-saat
sulit yang saya hadapi.
Kepada Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD-KHOM , Rektor Universitas
Udayana, saya menghaturkan terima kasih atas izin yang diberikan pada saya untuk
mengikuti program S3 di Universitas Udayana.
Kepada Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD-KHOM, mantan Direktur Program
Pascasarjana Universitas Udayana, dan Prof. Dr. Ir. Dewa Ngurah Suprapta, Msc,
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana saat ini, saya sampaikan terima
kasih atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan selama saya menempuh
pendidikan ini.
Kepada Prof. dr. D.P. Widjana, SpPar., mantan Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana, dan Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD Dekan fakultas
Kedokteran saat ini, saya sampaikan terima kasih atas kesempatan yang diberikan
kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program doktor.
Kepada dr. I G. Lanang Rudiartha, MHA, Direktur Utama RSUP Sanglah
Denpasar, serta Prof. Dr. dr. Ketut Suwitra SpPD-KGH Kepala Bagian/SMF Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, saya sampaikan terima
kasih atas kesempatan yang diberikan kepada penulis unutk mengikuti pendidikan
program doktor.
-
iv
Kepada para promotor, ko-promotor dan tim penguji Prof. Dr. dr. I Made
Bakta, SpPD-KHOM, Prof. Dr. dr. A.A.Gde Sudewa Djelantik, SpPK, Prof. dr.
Ketut Suata, SpMK, Ph.D, Prof. Dr. dr. I Wayan Wita, SpJP, FIHA, Prof. Dr. dr.
Ketut Suastika, SpPD-KEMD, Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D, Prof. dr. N.
Agus Bagiada, SpBiok., Prof. dr. I Gusti Made Aman, SpFK, Dr. dr. Djumhana
Atmakusumah, SpPD-KHOM, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya atas segala masukan dan bimbingannya yang sangat berharga.
Kepada segenap Staf Pengajar Program Studi Doktor, Program Pascasarjana
Universitas Udayana yang telah banyak memberikan ilmu-ilmu dasar yang sangat
berharga bagi penulis.
Kepada Prof. Dr. dr. Nyoman Adiputra, MOH, Ketua Program Studi Doktor,
Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah banyak memberikan
kemudahan sehingga disertasi bisa selesai.
Kepada Kepala Balai Besar Veteriner Bali di Denpasar, penulis ucapkan
banyak terima kasih atas semua bantuan dan ijinnya sehingga penulis dapat
melakukan penelitian kultur sel dan dapat menyelesaikan tugas disertasi ini.
Kepada Prof. Drh. N Mantik Astawa, Ph.D, Bapak W. Ekaana, Bapak I G.
Mayun, Drh. Putu Agustini, dan petugas lainnya pada Lab. Penyelidikan Penyakit
Hewan, Balai Besar Veteriner Bali, penulis berterimakasih atas segala bantuannya
yang diberikan dengan tulus.
-
v
Kepada sejawat Dr. dr. I Gde Raka Widiana, SpPD-KGH yang telah banyak
membantu dengan segala masukannya yang sangat bermanfaat dan setia mendorong
penulis untuk bisa menyelesaikan disertasi ini.
Kepada sejawat dr. Made Suma Wirawan, SpPD, dr. I G. Ommy Agustriadi,
SpPD, dr. I Wayan Darya, SpPD, dr. Ni Made Renny Anggraeni Rena, dan para
residen Ilmu Penyakit Dalam yang telah banyak membantu penulis untuk
menyesaikan tugas ini.
Kepada Sdr. Ni Wayan Yoni Astarini, Ni Kadek Sri yang membantu
menyiapkan semua bahan logistik dan pengambilan bahan darah serta semua bantuan
berharga lainnya, penulis mengucapkan seribu terimakasih atas semuanya.
Kepada sejawat para Staf di Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana khususnya kepada dr. Tjok Gde Darmayudha,
SpPD-KHOM, dr. I Wayan Losen Adnyana, SpPD, yang telah rela mengambil tugas-
tugas penulis selama menjalani pendidikan Program Pascasarjana, penulis
menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya.
Kepada semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan di sini yang telah
memberikan bantuan sehingga disertasi ini dapat terwujud, penulis sampaikan
penghargaan dan terima kasih.
Kepada almarhum Ayah tercinta, terimalah penghargaan ananda karena ajaran
yang Ayah berikan sangat membantu menghadapi masa-masa sulit dalam studi ini.
Kepada almarhumah Ibu tercinta, saya sampaikan terima kasih, karena dalam
kesederhanaan telah memberikan dorongan untuk menghadapi kehidupan ini dengan
-
vi
tabah. Kepada Ibu dan Bapak Mertua, saya sampaikan terima kasih dan penghargaan
atas nasehat, dorongan dan bantuan yang diberikan.
Akhirnya kepada anak tercinta: Putu Imayati, serta isteri tercinta dr. Putu
Sunadiyati, M Kes., yang dengan penuh pengertian serta pengorbanan telah
memberikan saya kesempatan untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan disertasi ini,
saya sampaikan terima kasih dan rasa hormat yang tertinggi.
Semoga Ida Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan
kurnia dan rahmat-Nya kepada semua yang telah membantu dalam pelaksanaan dan
penyelesaian disertasi saya.
-
vii
ABSTRAK
PENGARUH PENINGKATAN CADANGAN BESI
TERHADAP INTERLEUKIN-2 (IL-2) DAN INTERFERON GAMMA (IFN γ)
PLASMA DAN SUPERNATAN KULTUR LIMFOSIT
PADA PENDERITA ANEMIA DEFISIENSI BESI :
KAITANNYA DENGAN INFEKSI
Besi merupakan kebutuhan tubuh yang esensial untuk proses metabolisme,
antara lain berperan mengangkut oksigen ke jaringan, untuk sintesis deoxyribo
nucleic acid (DNA) dan lainnya. Defisiensi besi dapat menimbulkan morbiditas dan
mortalitas terutama pada anak dan wanita hamil, disamping itu defisiensi besi juga
menimbulkan gangguan respon tubuh terhadap infeksi karena terjadi penurunan
fungsi netrofil dan gangguan proliferasi sel T. Penelitian-penelitian juga
menunjukkan bahwa anemia defisiensi besi dapat menurunkan kapasitas kerja dan
menyebabkan prestasi kerja yang buruk. Mekanisme gangguan fungsi imunitas pada
defisiensi besi belum diketahui dengan pasti. Mekanismenya diduga bersifat
multifaktorial antara lain gangguan sintesis DNA (deoxy ribonucleic acid) akibat
gangguan aktivitas enzim ribonucleotide reductase, penurunan produksi interleukin
seperti IL-2 dan IFN γ, gangguan aktivasi dan proliferasi sel T. Dan sitokin tersebut
merupakan sitokin yang penting untuk komunikasi antara subset limfosit dan sel NK.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kaitan antara IL-2 dan IFN γ
dengan infeksi pada ADB dan pengaruh pemberian besi terhadap IL-2 dan IFN γ
-
viii
plasma dan supernatan kultur limfosit penderita ADB. Secara umum tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui hubungan antara cadangan besi dan imunitas seluler
pada ADB. Penelitian ini terdiri dari dari dua fase dimana fase I menggunakan
rancangan studi potong lintang dan fase II menggunakan rancangan pra-
eksperimental untuk melihat pengaruh besi terhadap peningkatan kadar IL-2 dan IFN
γ. Sampel penelitian ini adalah penderita ADB yang berobat di RSUP Sanglah
Denpasar, terdiri dari 64 orang penderita dimana 31 orang (48,4%) diantaranya laki-
laki, sisanya 33 orang (51,6%) perempuan yang masuk pada penelitian fase I dan 26
orang penderita ADB (16 laki-laki dan 10 perempuan) pada penelitian fase II. Pada
penelitian fase I ditemukan 17 penderita ADB dengan infeksi (26,7%) dengan umur
rerata 38 ± 14,48 tahun dan 47 penderita ADB tanpa infeksi (73,3%) dengan umur
rerata 41 ± 14,54 tahun. Ditemukan perbedaan yang bermakna dimana IL-2 dan IFNγ
baik dari plasma maupun supernatan kultur limfosit lebih rendah pada ADB dengan
infeksi dibandingkan dengan kadar plasma IL-2 dan IFN γ (Z= -2,174; p= 0,030
untuk IL-2 dan Z= -2,639; p= 0,008 untuk IFNγ) maupun supernatan kultur limfosit
(Z= - 2,509; p= 0,012 untuk IL-2 dan Z= -2,569; p= 0,010 untuk IFNγ) penderita
ADB tanpa infeksi. Pada penelitian fase II dengan pemberian tablet besi selama 8
minggu pada 26 penderita ADB ditemukan peningkatan yang bermakna dari kadar
hemoglobin ( Z= -4,561; p= 0,000 ), kadar MCV (Z= - 4,279; p= 0,000), kadar MCH
(Z= -3,616; p= 0,000) dan kadar serum feritin (Z= -3,556; p= 0,000). Terhadap
produksi sitokin akibat pemberian tablet besi selama 8 minggu juga dijumpai adanya
peningkatan yang bermakna. IL-2 plasma sebelum terapi 7,65 pg/l menjadi 29,3 pg/l
-
ix
setelah terapi dengan Z=- 3,508; p= 0,000 dan IFN γ yang diperiksa dari plasma
sebelum terapi 10,15 pg/l menjadi 46,7 pg/l setelah terapi dengan Z= -4,241;
p= 0,000. Akan tetapi pada pemeriksaan IL-2 dan IFN γ dari supernatan kultur
limfosit tidak ditemukan peningkatan yang bermakna. Hal ini diduga karena adanya
proses apoptosis akibat rangsangan in vitro dengan mitogen pada sel yang sudah
mengalami stimulasi in vivo sebelumnya. Disamping itu peran dari mitogen (antigen)
spesifik dan feeder cells juga berpengaruh terhadap aktivitas dan produksi sitokin.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan kadar IL-2 dan IFNγ pada
penderita ADB dengan infeksi lebih rendah dibandingkan dengan IL-2 dan IFNγ pada
ADB tanpa infeksi. Dengan pemberian tablet besi selama 8 minggu terjadi
peningkatan kadar plasma IL-2 dan IFNγ akan tetapi tidak terjadi peningkatan yang
sama pada IL-2 dan IFNγ yang diperiksa dari supernatan kultur limfosit. Oleh
karenanya dapat dibuat suatu rangkuman yaitu penurunan kadar IL-2 dan IFNγ pada
penderita ADB akan memudahkan timbulnya infeksi.
Kata kunci : ADB dengan infeksi, plasma IL-2 dan IFNγ, supernatan IL-2 dan IFNγ ,
tablet besi.
-
x
ABSTRACT
INFLUENCE OF IRON STORE INCREMENT
ON PLASMA AND LYMPHOCYTE CULTURE SUPERNATANT
OF INTERLEUKIN -2 ( IL-2 ) AND GAMMA INTERFERON ( IFN γ )
IN PATIENTS WITH IRON DEFICIENCY ANEMIA :
RELATIONSHIP WITH INFECTION
Iron is an essensial nutrient for every living cells because of it role as
molecule for transport of oxygen, as well as DNA synthesis through synthesis of
ribonucleotide reductase. Iron deficiency anemia patients, especially pregnant women
and children are more susceptible to infection because of deteoritation of their
immune respons. This was supported by findings of decreased in phagocytic activities
of white blood cells and T-cell lymphocyt proliferation impairment. Iron deficiency
anemia (IDA) patients also affect working capacities hence diminishing working
outcomes. Although the underlyng mechanism of immune defect in iron deficiency
anemia is not clearly understood, multifactorial events considered play their
contributing roles such as abnormality of ribonucleotide reductase enzym ,
impairment of T-cell proliferation and activities, altered cytokine production of IL-2
and IFNγ.
The study was done to discover the relationship of IL-2 and gamma IFN with
infection in IDA patients and also effect of iron tablets on plasma IL-2 and IFNγ as
well as on lymphocyte culture supernatant of IDA patients. Phase I study was
conducted on cross-sectional analytic design while phase II study was using pra-
-
xi
experimental (before and after) design. Sixty-four iron defiency anemia patients
treated in Sanglah General Teaching Hospital were recruited, and 31 (48.4%) out of
64 IDA patients were man and 33 (51.6%) women, have been selected for phase I
study. This study found 17 (26.7%) IDA patients with infection , aged 38 ± 14.48
years and 47 (73.3%) IDA patients without infection, aged 41± 14.54 years.
Significant differences were noted between plasma and supernatant of IL-2 and
IFNγ in IDA patients with infection when compared to IDA patients without infection
(Z= -2.174, p= 0.030 for plasma IL-2 ; Z= - 2.639, p= 0.008 for plasma IFNγ;
Z= - 2.509, p= 0.012 for supernatant IL-2 ; and Z= -2.569, p= 0.010 for supernatant
IFNγ ). After 8 weeks of iron tablets, phase II study revealed significant increament
of hemoglobin ( Z= -4.561, p= 0.000 ), MCV ( Z= - 4.279, p= 0.000), MCH (Z=
-3.616, p= 0.000) and serum feritin (Z= -3.556, p= 0.000). Also noted, increasing of
plasma IL-2 and IFNγ. Before treatment level of plasma IL-2 was 7.65 pg/l become
29.3 pg/l after treatment ( Z=- 3.508, p= 0.000 ) and plasma IFNγ before treatment
was 10.15 pg/l become 46.7 pg/l after treatment ( Z= -4.241, p= 0.000 ). In contrary,
supernatant IL-2 and IFNγ failed to show significant increament after 8 weeks of oral
iron tablets. This was partly explained due to apoptosis process. Theoriticaly if cells
have been stimulated by in vivo antigen exposures, secondary in vitro induction with
certain mitogen could lead to in vitro apoptosis. Meanwhile specific mitogen or
antigen stimulations also required for optimal activation of cells to produces certain
cytokines.
-
xii
The study conclusion is that plasma and supernatant IL-2 and IFNγ in patient
suffered from IDA with infection is significantly lower when compared to IDA
patient without infection. Iron treatment for 8 weeks increased plasma IL-2 and IFNγ
significantly but failed to show increament of supernatant IL-2 and IFNγ. It
therefore summarized that lower level of IL-2 and gamma IFN in patients suffered
from iron deficiency can lead to increased morbidity.
Key words : IDA with infection, Plasma IL-2 and IFNγ, Supernatant IL-2 and
IFNγ, oral iron tablet.
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat
menurunnya jumlah besi total dalam tubuh sehingga cadangan besi menjadi
kosong dan penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang. Penyebab utama yang
paling sering adalah defisiensi asupan besi dan atau kehilangan besi akibat
perdarahan kronis.
Penelitian selama dua tahun di RSUP Sanglah Denpasar mendapatkan
kasus-kasus ADB sebanyak 78 orang dan merupakan 25,8% dari total penderita
anemia yang dirawat di RSUP Sanglah (Somayana et al., 2002). Penelitian
etiologi ADB selama 3,5 tahun pada 122 kasus ADB mendapatkan penyebab
paling sering adalah ankilostomiasis, hemoroid, ulkus peptikum dan keganasan
saluran cerna. Kejadian infeksi yang bersamaan dengan ADB didapatkan
sebanyak 14% (Suega et al., 2003).
Besi merupakan kebutuhan tubuh yang esensial untuk proses metabolisme,
antara lain berperan mengangkut oksigen ke jaringan untuk produksi energi di
tingkat sel dan penting dalam transport elektron di mitokondria dalam proses
respirasi sel, untuk sintesis deoxyribo nucleic acid (DNA) dan lainnya (Conrad,
2002). Defisiensi besi dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas terutama
pada anak dan wanita hamil, disamping itu defisiensi besi juga menimbulkan
gangguan respon tubuh terhadap infeksi karena terjadi penurunan fungsi netrofil
dan gangguan proliferasi sel T. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa anemia
-
2
defisiensi besi bisa menurunkan kapasitas kerja dan menyebabkan prestasi kerja
yang buruk .
Hubungan antara infeksi dengan defisiensi zat besi masih belum jelas
diketahui. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa defisiensi besi yang ringan
dapat memberikan perlindungan tubuh terhadap infeksi. Sedangkan penelitian lain
mendapatkan sebaliknya (Walter et al., 1997).
Sebuah telaah dari 11 penelitian tentang pengaruh pemberian zat besi
terhadap kejadian infeksi menemukan bahwa insiden malaria, pnemonia dan
beberapa penyakit infeksi non-malaria cenderung meningkat pada penderita
dengan defisiensi besi. Peningkatan ini juga terjadi pada wanita yang hamil.
Namun kesimpulan-kesimpulan penelitian tersebut masih diragukan, karena
banyak kelemahan dan tidak konsisten (Oppenheimer, 2001). Sebuah systematic
review tentang pengaruh suplementasi besi terhadap insiden infeksi pada anak-
anak menemukan bahwa pemberian besi tidak meningkatkan terjadinya insiden
infeksi pada anak-anak (Gera et al., 2002). Penelitian tentang pengaruh
suplementasi besi terhadap anak-anak yang terinfeksi dan tidak terinfeksi di Sri
Lanka menemukan bahwa terjadi penurunan morbiditas dari infeksi saluran nafas
pada anak-anak yang diberikan suplemen besi. Peneliti menduga bahwa imunitas
pada anak-anak yang mengalami defisiensi besi menurun sehingga morbiditasnya
lebih tinggi (De Silva et al., 2003).
Cell-mediated immunity (CMI) adalah suatu respon imun yang tidak
melibatkan antibodi akan tetapi lebih banyak melibatkan proses aktivasi sel T
menjadi sel T efektor, aktivasi sel makrofag dan sel NK (natural killer), serta
stimulasi produksi interleukin sebagai respon terhadap antigen. Mekanisme ini
-
3
ditujukan terhadap mikroba yang berhasil lolos dari proses fagositosis dan
terhadap mikroba yang menginfeksi sel non-fagositik. Cadangan besi yang
berkurang akan menurunkan fungsi cell-mediated immunity (CMI) seperti delayed
hipersensitivity, proliferasi limfosit akibat rangsangan antigen, natural killer
cytotoxicity dan lain-lain (Walter et al., 1997).
Penelitian pada tikus mendapatkan bahwa defisiensi besi menyebabkan
penurunan fungsi sistem imunitas melalui penurunan fungsi timus, gangguan
proliferasi sel T dan timosit (Kuvibidila et al., 1990). Penelitian pada manusia
mendapatkan hasil yang bervariasi. Sel T menurun pada defisiensi besi yang
murni dan kelainan ini dapat dikoreksi dengan pemberian besi (Krantman et al.,
1982). Moraes-de-Sousa et al. mendapatkan adanya peningkatan limfosit T dari
55,1% menjadi 66,0% pada ADB sebelum dan setelah diberikan besi (Moraes-de-
Sousa et al., 1984).
Interleukin-2 (IL-2) yang diproduksi oleh sel T merupakan faktor
pertumbuhan (growth factor) untuk semua subpopulasi sel limfosit T dan
bertanggung jawab terhadap ekspansi klonal limfosit T, setelah limfosit T
mengenal antigen ( Jacques et al.,1999, Kaiser 2003). Oleh karena fungsi itu maka
IL-2 dikenal sebagai faktor pertumbuhan sel T.
IFN γ juga merupakan modulator pertumbuhan dan diferensiasi fungsi sel
T, dan memperkuat respon sel ini terhadap mitogen dan faktor pertumbuhan.
Selain itu, IFN γ memiliki kemampuan mengatur ekspresi MHC kelas II,
menginduksi ekspresi CD-4 pada sel Th1. Sel Th1 memproduksi IL-2 dan IFN γ,
dimana IFN γ bekerja sinergis dengan IL-1 dan IL-2 yang dibutuhkan untuk
-
4
ekspresi reseptor IL-2 pada permukaan sel limfosit T. Adanya blokade terhadap
reseptor IL-2 oleh antibodi spesifik juga menghambat sintesis IFN γ.
Pengetahuan tentang pengaruh defisiensi besi terhadap sitokin belum
banyak berkembang. Dilaporkan adanya penurunan IL-2 pada anak-anak dengan
defisiensi besi. Lainnya mendapatkan terjadinya peningkatan ekspresi IL-6, IL-4
pada ADB (Jason et al., 2001). Penelitian pada 81 anak-anak yang mengalami
defisiensi besi, menemukan produksi IL-2 akibat rangsangan PHA
(phytohaemagglutinin) lebih rendah pada defisiensi besi dibandingkan tanpa
defisiensi besi, tetapi kadar IL-2 tidak berbeda apabila tidak dirangsang dengan
PHA. Penurunan produksi IL-2 menyebabkan gangguan sistem imun melalui
gangguan pada CMI (Galan et al., 1992).
Suatu studi binatang percobaan di New York menyebutkan IFN γ bersama
TNF α dan NOS secara signifikan merupakan kunci utama dalam meningkatkan
pertahanan hidup pada tikus percobaan yang terinfeksi Yersenia pestis.
Kuvibidilla et al., melakukan penelitian pada tikus dengan ADB mendapatkan
adanya penurunan kadar IFN γ dan IL-12 sebesar 64% dan 66% dimana kadar
sitokin ini berkorelasi positif dengan indikator status besi (r=0,68) (Kuvibidilla et
al., 2004). Sarjana lain membuktikan adanya penekanan produksi IFN γ pada
tikus dengan toleransi lipopolisakarida dapat mengakibatkan disfungsi makrofag
dan selanjutnya akan mengakibatkan gangguan imunitas selular (Varma et al.,
2001).
Mekanisme gangguan fungsi imunitas pada defisiensi besi belum jelas
diketahui. Diduga bersifat multifaktorial antara lain akibat gangguan sintesis DNA
(deoxy ribonucleic acid) karena fungsi enzim ribonucleotide reductase yang
-
5
terganggu, penurunan produksi interleukin seperti IL-2 dan IFN γ, gangguan
aktivasi dan proliferasi sel T (Walter, 1997; Beard, 2001; Kuvibidilla et al., 2004).
Terjadi kegagalan aktivitas bakterisidal intraseluler, depresi jumlah limfosit T dan
thymic atrophy, defek limfosit T-induced proliferative response, kegagalan
aktifitas sel natural killer, kegagalan produksi IL-2 oleh limfosit, penurunan
produksi macrophages migration inhibition factor, kegagalan delayed cutaneus
hypersensitivity termasuk reaktivitas tuberkulin, meskipun tidak semua penelitian
mendapatkan hasil yang sama (Oppenheimer, 2001).
Berdasarkan temuan di atas, dapat dipahami bahwa hubungan antara
interleukin proinflamasi dengan defisiensi besi masih belum jelas. IL-2 dan IFN γ
sebagai interleukin proinflamasi dan parameter dari CMI diduga produksinya
menurun pada ADB. Penelitian-penelitian terhadap interleukin ini lebih banyak
dilakukan pada binatang percobaan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui kadar IL-2 dan IFN γ penderita ADB pada manusia. IL-2 dan
IFN γ dipilih pada penelitian ini oleh karena IL-2 adalah satu-satunya growth
factor untuk aktivasi sel T menjadi sel T efektor antara lain sel Th1 yang
memproduksi IL-2 dan IFN γ. Sel Th1 diketahui lebih sensitif terhadap gangguan
akibat defisiensi besi kalau dibandingkan dengan sel Th2 yang memproduksi IL-
4, IL-5, IL-10, IL-13.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian singkat dalam latar belakang penelitian maka dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah profil IL-2 dan IFNγ pada penderita ADB ?
-
6
2. Apakah kadar IL-2 pada ADB dengan infeksi lebih rendah dibandingkan
dengan kadar IL-2 pada ADB tanpa infeksi
3. Apakah kadar IFNγ pada ADB dengan infeksi lebih rendah dibandingkan
dengan kadar IFNγ pada ADB tanpa infeksi
4. Apakah peningkatan cadangan besi dapat meningkatkan kadar IL-2 penderita
ADB?
5. Apakah peningkatan cadangan besi dapat meningkatkan kadar IFNγ penderita
ADB?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui bagaimana gambaran hubungan cadangan besi dengan
fungsi imunitas seluler pada penderita ADB.
1.3.2 Tujuan khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui profil IL-2 dan IFNγ pada penderita ADB
2. Untuk mengetahui bahwa kadar IL-2 lebih rendah pada ADB dengan
infeksi dibandingkan dengan kadar IL-2 pada ADB tanpa infeksi
3. Untuk mengetahui bahwa kadar IFN γ lebih rendah pada ADB dengan infeksi
dibandingkan dengan kadar IFNγ pada ADB tanpa infeksi
4. Untuk mengetahui pengaruh peningkatan cadangan besi terhadap peningkatan
kadar IL-2
5. Untuk mengetahui pengaruh peningkatan cadangan besi terhadap peningkatan
kadar IFNγ
-
7
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat ilmiah
Jika terbukti kadar IL-2 dan IFN γ berbeda antara penderita ADB dengan
infeksi dan ADB tanpa infeksi serta yang mendapatkan tablet besi dengan
yang tidak mendapatkan tablet besi maka akan memberikan pengetahuan
tambahan bahwa salah satu mekanisme infeksi pada penderita ADB
adalah melalui penurunan kadar IL-2 dan IFN γ .
1.4.2 Manfaat praktis klinis
Jika terbukti kadar IL-2 dan IFN γ ikut berperan pada mekanisme infeksi
pada penderita ADB maka dapat dipakai sebagai strategi jangka panjang
untuk kemungkinan tambahan pengobatan dikemudian hari khususnya pada
penderita ADB dengan infeksi berat dengan memperhatikan kadar IL-2 dan
IFN γ- nya.
-
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendahuluan
2.1.1 Anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi besi (ADB) atau iron deficiency anemia (IDA) adalah
anemia yang timbul akibat menurunnya jumlah besi total dalam tubuh (total iron
content) sehingga cadangan besi (iron store) menjadi kosong dan penyediaan besi
untuk eritropoesis berkurang (Lee et al., 1999; Hoffman et al., 2000).
ADB merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai baik di negara
maju maupun negara berkembang (Conrad et al., 2002). Di dunia diperkirakan
2,15 juta individu menderita ADB dan lebih sering terjadi pada wanita dan anak-
anak (Khusun et al., 1999). Data dari The Third National Health and Nutrition
Examination Survey (NHANES III; 1988 –1994) di Amerika Serikat menyatakan
bahwa ADB terjadi pada 1-2% orang dewasa. Defisiensi besi tanpa anemia lebih
sering terjadi mencapai 11% pada wanita (lebih sering pada premenopausa) dan
4% pada laki-laki (Stanley, 2000). Di Indonesia seperti halnya di negara
berkembang prevalensi ADB jauh lebih tinggi. Diperkirakan 20% wanita
Indonesia menderita defisiensi besi dan rata-rata hemoglobinnya 2 g/dL lebih
rendah daripada populasi penduduk Amerika (Khusun et al., 1999). Bakta (1993)
mendapatkan prevalensi anemia defisiensi besi di Desa Jagapati sebesar 27%,
pada laki-laki 12% dan pada wanita 43,2%. Prevalensi anemia pada ibu hamil di
Bali didapatkan dengan prevalensi sebesar 46,2%. Prevalensi anemia pada
penderita rawat inap di Divisi Hematologi-Onkologi Medik RS Sanglah tahun
1997 ditemukan 76,7% (Suega et al., 1999).
8
-
9
2.1.2 Klasifikasi anemia defisiensi besi
Defisiensi besi dapat dibagi menjadi tiga tingkat (Bakta, 2000; Hilman et
al., 2002):
a. Deplesi besi (iron depletion atau prelatent iron deficiency)
Pada keadaan ini cadangan besi menurun tetapi kompartemen besi
transpor dan fungsional masih normal. Disini kadar feritin serum menurun,
hemosiderin sumsum tulang menurun dan absorpsi besi meningkat, tetapi
parameter status besi lain masih normal.
b. Eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoesis atau latent iron
deficiency)
Disini cadangan besi sudah kosong, besi transportasi menurun, tetapi
belum dijumpai anemia secara klinis. Pada keadaan ini dijumpai perubahan
seperti pada deplesi besi ditambah dengan menurunnya besi serum dan saturasi
transferin, protoforfirin eritrosit meningkat tetapi kadar hemoglobin dan
hematokrit masih normal.
c. Anemia defisiensi besi (iron deficiency anemia)
Merupakan tingkat yang paling lanjut dari defisiensi besi. Selain kelainan
di atas, di sini sudah dijumpai anemia hipokromik mikrositer.
-
10
2.1.3 Prevalensi anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai
baik dalam praktek klinik maupun dalam studi lapangan (Lee, 1999). Di seluruh
dunia didapatkan sekitar 2 juta penderita ADB (Viteri, 1998).
Prevalensi ADB bervariasi tergantung geografis, status sosial ekonomi dan
umur. Prevalensi di negara maju jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara
berkembang, seperti terlihat pada tabel 1 di bawah ini (Baker, 2000).
Tabel 2.1 Prevalensi Anemia Defisiensi Besi (Baker, 2000)
Prevalensi Defisiensi Besi: National Helth and Nutrition Examination Survey
(NHANES) III (Amerika Serikat)
DEFISIENSI BESI
Wanita berusia 20-49 tahun
Wanita berusia 50-69 tahun
Wanita berusia lebih dari 70 tahun
Pria berusia 20-49 tahun
Pria berusia 50-69 tahun
Pria berusia lebih dari 70 tahun
ANEMIA DEFISIENSI BESI
Wanita tidak hamil berusia 20-49 tahun
Wanita berusia 50 tahun atau lebih Pria berusia 20-49 tahun
Pria berusia 50 tahun atau lebih
Wanita hamil
Trimester pertama
Trimester kedua
Trimester ketiga
United Nations Study of Developing Countries
(estimasi)
ANEMIA DEFISIENSI BESI
Wanita dewasa Pria dewasa
Wanita hamil
11 %
5 %
7 %
< 1 %
2 %
4 %
5 %
2 % < 1 %
≤ 2 %
9 %
14 %
37 %
18 % 10 %
18 % -38 %
Laporan dari Indonesia menunjukkan angka yang cukup tinggi. Martoatmojo et
al., (1973) pada penelitian di Jawa Barat, Yogya dan Bali mendapatkan
prevalensi 16-50% pada laki-laki dewasa, 25-84% pada wanita tidak hamil.
Muhilal et al., dalam survei yang berkaitan dengan Survei Kesehatan Rumah
Tangga 1992 mendapatkan prevalensi anemia pada wanita hamil sebesar 55%.
-
11
Prevalensi anemia di Bali tidak jauh berbeda dengan angka-angka di
Indonesia umumnya. Di Desa Pejaten didapatkan prevalensi 48% pada laki-laki
dan 54% pada wanita (Bakta et al., 1983). Prevalensi anemia 36% pada laki-laki
dan 37% pada wanita dijumpai pada pensiunan pegawai negeri di Kabupaten
Jembrana dengan 61% kasus anemia disebabkan oleh defisiensi besi (Bakta et al.,
1989). Bakta (1993) mendapatkan prevalensi anemia defisiensi besi di Desa
Jagapati sebesar 27%, pada laki-laki 12% dan pada wanita 43,2%. Prevalensi
anemia pada penderita rawat inap di Divisi Hematologi-Onkologi Medik RS
Sanglah tahun 1997 ditemukan 76,7% (Suega et al.,1999). Penelitian anemia ibu
hamil di Bali dengan total sampel sebesar 1684 orang di seluruh Bali medapatkan
prevalensi anemia sebesar 46,2%.
2.1.4 Etiologi anemia defisiensi besi
Penyebab ADB adalah adanya ketidakseimbangan antara masukan besi
melalui absorpsi usus dengan jumlah besi yang dibutuhkan oleh tubuh yang
mengimbangi kehilangan besi fisiologik atau patologik dan kebutuhan akibat
pembentukan jaringan. Secara garis besar penyebab ADB adalah ( Lee, 1999;
Bakta, 2000):
1. Kehilangan besi akibat perdarahan menahun, yang dapat berasal dari:
a. Saluran cerna: akibat tukak peptik, karsinoma lambung, karsinoma kolon,
divertikulitis, hemoroid dan infeksi cacing.
b. Saluran genetalia wanita: menorhagia, metrorhagia.
c. Saluran kemih: hematuria.
d. Saluran nafas: hemoptoe ;
-
12
2. Faktor nutrisi: akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau
kualitas besi (bioavaibilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat,
rendah vitamin C dan rendah daging) ;
3. Kebutuhan besi meningkat seperti pada prematuritas, anak dalam masa
pertumbuhan dan kehamilan ;
4. Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronis.
Pada penelitian retrospektif di RS Sanglah Denpasar penyebab ADB
tersering yang ditemukan adalah perdarahan kronis gastrointestinal dan
ankilostomiasis (Kandarini et al., 2001).
2.1.5 Gejala klinik anemia defisiensi besi
Gejala klinik anemia defisiensi dapat dibagi menjadi (Lee, 1999; Bakta,
2000):
1. Gejala umum anemia (sindrom anemia): lemah, mata berkunang, telinga
mendenging, dan lain-lain, yang timbul secara perlahan-lahan.
2. Gejala khas akibat defisiensi besi : disfagia, stomatitis angularis, dan kuku
sendok (koilonychia). Kumpulan gejala: anemia hipokromik mikrositer,
disfagia, atrofi papil lidah disebut sebagai Plumer-Vincent syndrome atau
Patterson Kelly syndrome.
3. Gejala penyakit dasar yang menyebabkan anemia defisiensi besi: gejala
penyakit cacing tambang, gejala kanker kolon dan lain-lain.
-
13
Tabel 2.2 Pemeriksaan Laboratorium pada Anemia Defisiensi Besi (Hilman et al.,
2000)
Deplesi Cadangan
Besi
Eritropoesis
kurang besi
Anemia defisiensi besi
Hemoglobin Normal Penurunan
ringan
Penurunan bermakna
(mikrositik/hipokromik)
Cadangan besi
S I (µg/dL)
TIBC (µg/dL)
Persentase saturasi
Feritin (µg/L)
Persentase sideroblas
Protoporfirin
Sel darah merah
(µg/dL RBC)
-
14
saturasi transferin, protoporfirin eritrosit, MCV, dan RDW (Cook ,1986 ; Skikne,
1988; Hercberg, 1991).
Kriteria diagnosis anemia defisiensi besi ( yang merupakan modifikasi dari
kriteria Kerlin et al., 1979 ) adalah (Bakta, 2000):
Anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV < 80 fL dan
MCHC < 31 % , dengan
a. Dua dari tiga parameter di bawah ini:
1. Besi serum < 50 ug/dL
2. TIBC > 350 ug/dL
3. Saturasi transferin < 15%, atau
b. Feritin serum < 20 ug/L, atau
c. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl’s stain) menunjukkan
butir-butir hemosiderin negatif, atau
d. Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lain yang
setara) selama empat minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2
g/dL.
Di klinik baku emas (gold standard) untuk diagnosis anemia defisiensi
besi adalah pengecatan besi pada sumsum tulang (Perl’s stain).
2.1.7 Diagnosis banding anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dari anemia hipokromik mikrositer
lain, serta anemia yang disertai gangguan metabolisme besi (Frewin et al., 1997;
Lee, 1999; Hoffman, 2000):
1. Anemia akibat penyakit kronik
2. Thalasemia mayor atau intermedia
-
15
3. Anemia sideroblastik
Untuk lebih jelasnya diagnosis banding anemia defisiensi besi dapat
dilihat pada tabel 3 di bawah ini.
Tabel 2.3 Diagnosis diferensial anemia defisiensi besi (Bakta, 2000).
Parameter ADB ACD Thalasemia A. sideroblastik
Anemia
Morfologi
Retikulosit
Anisositosis
Besi serum
TIBC
Feritin serum
Besi sumsum tulang
Ring sideroblast
Elektroforesis Hb
Bisa berat
Hipo-mikro
Normal
Berat
Menurun
Meningkat
Menurun
Negatif
Negatif
Normal
Ringan-sedang
Normo-normo
Normal
Ringan
Menurun
Menurun
Normal
N/meningkat
Negatif
Normal
Bisa berat
Hipo-mikro
Meningkat
Berat
Meningkat
Menurun
Meningkat
Meningkat
Negatif
Abnormal
Bisa berat
Populasi ganda
N/menurun
Sedang
N/meningkat
N/menurun
Meningkat
Normal
Positif
Normal
2.1.8 ADB menimbulkan berbagai kelainan
Berbagai kelainan yang ditimbulkan oleh ADB (Conrad,2002):
1. ADB akan menurunkan kemampuan kerja karena otot mudah lelah akibat
kekurangan ensim yang mengandung besi yang diperlukan untuk metabolisme
otot ;
2. Anemia yang berat akan menyebabkan hipoksia sehingga akan menimbulkan
insufisiensi koroner dan miokardial iskemia serta dapat memperburuk
penyakit paru kronis ;
3. Kerusakan dari epitel dan mukosa dapat dijumpai pada penderita ADB.
adanya kuku yang abnormal, atropi papil lidah serta stomatitis angularis. Juga
dapat ditemukan adanya disfagia, gastritis atrofikan dan gangguan vili-vili
usus halus ;
-
16
4. Intoleransi terhadap udara dingin dapat dijumpai pada penderita ADB dan
ditandai dengan adanya gangguan vasomotor, nyeri saraf, kesemutan dan rasa
tebal di kulit ;
5. Kadang-kadang ADB disertai dengan edema papil, peningkatan tekanan intra
kranial dan gejala seperti pseudo tumor serebri ;
6. Adanya gangguan fungsi imunitas sehingga penderita sangat rentan terhadap
infeksi, namun bukti untuk ini belum begitu kuat ;
7. Anak-anak dengan ADB sering menunjukkan gejala kelainan tingkah laku.
Bayi sering dengan gangguan pertumbuhan dan gangguan proses belajar pada
anak-anak usia sekolah. Dilaporkan IQ anak dengan ADB secara signifikan
lebih rendah dibandingkan dengan anak lainnya yang tidak menderita ADB.
Semua gejala ini akan menghilang apabila dilakukan koreksi dengan tablet
besi.
2.1.9 Terapi anemia defisiensi besi
Pada dasarnya pengelolaan ADB terdiri dari (Bakta, 2000):
a. Pemberian besi untuk mengisi kekurangan besi ;
b. Pengobatan terhadap penyakit dasar ;
c. Tindakan untuk mengatasi keadaan darurat.
Berat dan penyebab ADB merupakan faktor yang menentukan dalam
memilih cara terapi yang tepat pada ADB. ADB yang simtomatik atau dengan
gangguan hemodinamik memerlukan transfusi sel darah merah. Sedangkan pada
penderita yang lebih muda, memiliki daya adaptasi yang cukup baik terhadap
keadaan anemia tersebut, sehingga dapat diterapi dengan lebih konservatif .
Sebagian besar penderita ADB dapat diobati dengan besi oral saja. Penderita
-
17
diberikan transfusi darah merah apabila (Bakta, 2000; Adamson, 2001; Beutler,
2003):
1. Gejala anemia yang sangat simtomatik ;
2. Anemia dengan kelainan hemodinamik ;
3. Jika direncanakan operasi segera.
4. Ibu hamil dengan kadar Hb < 7 g/dL pada dua minggu terakhir masa
kehamilannya.
2.1.9.1 Terapi besi oral
Hampir sebagian besar penderita ADB, memberikan respon dalam bentuk
perbaikan klinik dan laboratorik dengan preparat besi oral. Bermacam-macam
sediaan besi yang beredar dari mulai garam besi yang sederhana sampai sediaan
besi yang komplek. Pada umumnya semua sediaan besi dapat diabsorpsi dengan
baik di saluran cerna (Adamson, 2001; Beutler, 2003).
Untuk tujuan replacement therapy dosis besi diberikan adalah dosis 300
mg per hari dibagi dalam 3 atau 4 dosis. Besi sebaiknya diberikan dalam keadaan
lambung kosong, karena beberapa bahan makanan dapat menghambat
absorpsinya. Pemberian besi 200-300 mg perhari akan menyebabkan terjadinya
absorpsi besi sebanyak 50 mg per hari. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya
peningkatan produksi eritrosit 2-3 kali lipat bila sumsum tulang dan rangsangan
eritropoitin dalam keadaan normal. Target terapi ADB adalah tidak hanya
memperbaiki anemianya, tetapi juga meningkatkan cadangan besi tubuh paling
sedikit mencapai ½-1 g. Untuk mencapai hal ini penderita ADB perlu diberikan
besi 6-12 bulan (Adamson, 2001).
-
18
Diperkirakan sebanyak 10-20% pemberian besi oral akan disertai dengan
ganggan nyeri perut, mual, muntah, diare atau konstipasi. Gejala ini biasanya
timbul 30-60 menit setelah terapi, kadang-kadang bisa timbul dalam 2-3 hari
setelah terapi. Efek samping ini berhubungan dengan dosis, makin tinggi dosis
kemungkinan terjadinya keluhan di atas makin besar (Adamson, 2001; Beutler,
2003).
Respon pengobatan tergantung dari absorpsi besi dan rangsangan
eritropoitin. Retikulosit umumnya mulai meningkat pada hari keempat sampai
ketujuh setelah terapi besi. Tidak adanya respon menunjukkan adanya beberapa
kemungkinan seperti diagnosis salah, dosis besi yang kurang, kepatuhan penderita
kurang, masih ada perdarahan yang cukup banyak atau adanya penyakit lain
bersama-sama ADB (Andrews, 1999; Bakta, 2000).
2.1.9.2 Terapi besi parenteral
Indikasi utama pemberian besi parenteral adalah perdarahan yang tidak
terkontrol, intoleransi, malabsorpsi dan kepatuhan terhadap besi oral yang rendah.
Apabila satu atau dua jam setelah pemberian sulfas ferosus 60 mg, terjadi
peningkatan besi serum kurang dari 100 μg% dari besi sebelumnya pada saat
puasa maka secara sederhana dapat disimpulkan terjadi malabsorpsi besi (Beutler,
2003).
Pemberian besi secara parenteral dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
pemberian besi sekaligus dengan menghitung kebutuhan besi dan cadangan besi
dan yang lainnya adalah pemberian besi dalam dosis kecil dan berulang-ulang.
Jumlah besi yang dibutuhkan adalah BB (kg) X 2,3 X [15 – Hb penderita (g/dL)]
+ 500 atau 1000 mg untuk cadangan besi (Beutler, 2003).
-
19
2.2 Metabolisme Besi
2.2.1 Metabolisme besi pada manusia
Orang dewasa laki-laki dalam keadaan normal mengandung besi 35-45
mg/kgBB, sedangkan wanita premenopause mempunyai kandungan besi yang
lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh karena kehilangan darah yang berulang
akibat menstruasi. Lebih dari dua pertiga besi tubuh berada dalam hemoglobin.
Masing-masing eritrosit mengandung jutaan atom besi, dan dalam keadaan normal
terjadi pertukaran besi sebanyak 2 X 1020 atom perhari. Oleh karena itu anemia
merupakan gejala utama defisiensi besi (Andrews, 1999).
Besi merupakan nutrisi esensial untuk berlangsungnya beberapa fungsi
metabolisme tubuh untuk semua organisme hidup. Pada manusia besi adalah
komponen penting dari ratusan protein dan enzim penting yang berperan dalam
setiap proses biologik tubuh. Beberapa senyawa penting yang mengandung besi
antara lain heme untuk pembentukan hemoglobin dan transport oksigen, sitokrom
diperlukan untuk produksi energi di tingkat sel dan penting dalam transport
elektron di mitokondria dalam proses respirasi sel. Seperti diketahui respirasi sel
merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup setiap mahluk di
dunia ini. Pada proses ini bahan makanan akan dimetabolisme menjadi molekul
energi dalam bentuk ATP dan panas. Ada tiga fase utama dari proses respirasi sel
yaitu glikolisis, siklus Kreb dan electron transport chain (rantai respirasi). Pada
proses oksidasi fosforilasi ini diperlukan enzim penting seperti sitokrom dan
NADPH dehydrogenase yang mengandung besi agar metabolisme berfungsi baik.
Enzim lain yang penting yang mengandung besi adalah katalase, DNA
ribonuklease dan mieloperoksidase. Disamping itu beberapa fungsi metabolisme
-
20
yang membutuhkan besi adalah fungsi dan perkembangan otak, aktivitas otot dan
sintesis neurotransmiter, fungsi imunitas tubuh, fungsi detoksifikasi hepar dan
fungsi sintesis DNA.
Tempat-tempat besi tubuh selain hemoglobin antara lain hepatosit,
makrofag retikuloendotelial dan otot. Sel hepatosit dapat mengikat besi yang
diabsorpsi dari usus atau kelebihan besi serum akibat kelebihan kapasitas daya
ikat transferin. Makrofag retikuloendotelial mengambil besi dari eritrosit yang
sudah tua dan mengembalikan lagi ke transferin untuk dipergunakan lagi
(Andrews, 1999; Fairbank et al., 2001).
Siklus metabolisme besi merupakan sistem yang tertutup. Masing-masing
atom besi mengalami resirkulasi dari plasma dan cairan ekstraseluler ke sumsum
tulang dan berikatan di dalam hemoglobin. Selanjutnya eritrosit akan beredar di
dalam sirkulasi kurang lebih selama empat bulan. Eritrosit yang sudah tua akan
difagositosis dalam sistem retikuloendotelial dan besi yang berada dalam eritrosit
tersebut akan dilepaskan kembali ke dalam plasma (Andrews, 1999; Pietrangalo,
2002).
Setiap siklus tersebut, sebagian kecil besi akan disimpan dalam bentuk
feritin atau hemosiderin. Sebagian kecil besi tubuh akan hilang, antara lain
melalui urin, feses, keringat, kerusakan epitel atau perdarahan. Jumlah yang
hilang ini diperkirakan 1-2 mg per hari dan setara dengan jumlah yang diabsorpsi
(Andrews, 1999; Fairbank et al., 2001; Pietrangalo, 2002).
Walaupun absorpsi besi dari saluran cerna sedikit, tetapi harus terdapat
pengaturan yang sempurna agar tidak terjadi kelebihan besi dalam tubuh.
Absorpsi besi merupakan salah satu mekanisme pengaturan besi dalam tubuh. Hal
-
21
ini disebabkan karena tidak ada mekanisme fisiologis yang mengatur pengeluaran
kelebihan besi tubuh. Besi diabsorpsi di duodenum dan bagian proksimal jejenum
(Andrews, 1999; Fairbank et al., 2001).
Besi yang berasal dari makanan tidak terikat dengan transferin di dalam
lumen intestinal. Mekanisme transportasi ion besi dari saluran cerna ke dalam
plasma tidak sepenuhnya diketahui. Proses ini melibatkan enzim ferrireductase,
divalent metal transporter (DMT1), hephaestin dan integrin. Absorpsi besi
meningkat bila terjadi defisiensi besi dan menurun bila terjadi kelebihan besi
(Andrews, 1999; Beutler et al., 2003, Fairbank et al., 2001).
Besi di dalam plasma akan diikat oleh transferin dan mengangkut besi ini
menuju reseptor transferin. Ikatan antara besi-transferin akan berikatan dengan
reseptor transferin pada permukaan prekursor eritroid. Komplek ini selanjutnya
mengalami endositosis dan membentuk endosom. Pompa proton akan
menyebabkan pH di dalam endosom rendah sehingga terjadi pelepasan ion besi
dari transferin menuju ke sitoplasma melalui DMT1. Selanjutnya reseptor
transferin dan DMT1 akan kembali ke permukaan sel untuk proses yang sama
berikutnya (Andrews, 1999; Fairbank et al., 2001).
2.2.2 Metabolisme besi pada kuman
Besi merupakan faktor pertumbuhan yang penting bagi bakteri patogen.
Besi diperlukan oleh hampir sebagian besar mikroorganisme untuk beberapa
proses metabolisme yang penting seperti replikasi kuman, transport elektron,
glikolisis, sintesis DNA dan pertahanan terhadap reactive oxygen intermediates
(ROI). Sistem pengambilan besi pada kuman, memungkinkan kuman tersebut
-
22
untuk berkompetisi mendapat elemen penting seperti besi dari lingkungan
(Schaible et al., 2004).
Pada tubuh manusia banyak sel dan organ yang memiliki mekanisme
spesifik untuk transport besi melalui membran sel. Sumber besi yang utama untuk
produksi haem dan proliferasi sel adalah transferin. Protein transferin ini dapat
membawa dua atom besi. Besi ini akan dihantarkan kepada sel yang
membutuhkan besi secara fisiologis melalui reseptor transferin. Pada umumnya
reseptor ini ditemukan pada permukaan eritroblas, yang bertanggung jawab atas
terbentuknya hemoglobin. Sekarang telah diketahui variasi-variasi molekul besi di
dalam tubuh (Marx, 2002).
Gambar 2.1 Akses mikroorganisme terhadap cadangan besi tubuh (Marx 2002)
Sumber-sumber besi tubuh yang dapat diperoleh oleh mikroorganisme adalah di
dalam plasma, sel, saluran cerna dan permukaan tubuh.
Tf: transferrin; NTBI: non-transferrin-bound iron; BM: bone marrow; Hb:
hemoglobin; RBC: red blood cells; MPS: momonuclear phagocyte system
-
23
Mikroorganisme mempunyai beberapa cara untuk mengambil besi dari
sekitarnya baik dari cairan tubuh fisiologis, saluran intestinal, saluran nafas,
urogenital, kulit dan permukaan tubuh. Molekul yang berperan terhadap
pengambilan besi tersebut dapat berupa reseptor, kanal yang lokasinya di bagian
luar atau dalam membran sel mikroba dan siderophores yang memiliki afinitas
yang tinggi terhadap molekul pengikat besi. Mekanisme kuman untuk
memperoleh besi sangat komplek. Beberapa kuman menunjukkan adanya
mekanisme pengambilan besi lebih dari satu dan pada saat yang sama.
Gambar 1 menunjukkan kompleksitas dari sumber-sumber besi, sistem
transport pada bakteri gram negatif. Membran luar dari bakteri ini tersusun oleh
lipid bilayer, tempat dari insersi protein. Molekul hidrofilik yang lebih kecil dari
700 Da dapat melewati pori-pori air pada priotein terinsersi. Komplek besi pada
umumnya berukuran lebih dari 700 Da sehingga memerlukan reseptor spesifik
untuk dapat melewati membran tersebut (Weinberg, 1984; Marx , 2002).
2.2.2.1 Transferin dan laktoferin sebagai sumber besi
Mikroorganisme yang menggunakan sistem transport transferin maupun
laktoferin dapat mengambil besi secara langsung dari plasma, seperti pada
Haemophillus influenzae, Neisseria meningitidis dan Neisseria gonorrhoeae.
Mekanisme internalisasi dari transferin-besi pada mikroba berbeda dengan proses
pada mamalia (Weinberg, 1984; Marx , 2002).
Diduga ada dua macam transferrin-binding protein pada mikroba, yaitu
Tbp1 dan Tbp2. Transferrin-binding protein ini dapat mengikat molekul
transferin-Fe(III). Tbp1 merupakan bagian dari protein lapisan membran luar dan
Tbp2 merupakan lipoprotein pada lapisan membran dalam. Berbeda halnya
-
24
dengan transferin reseptor pada mamalia, reseptor tansferrin pada mikroba tidak
mengalami proses internalisasi. Setelah terjadinya ikatan antara transferin dengan
Tbp1 maupun Tbp2, besi akan dilepaskan dan masuk kedalam periplasmic space
melalui lubang (gate pore). Selanjutnya besi akan diikat oleh ferric-binding
protein dan dibawa masuk kedalam sitoplasma (Weinberg, 1984; Marx , 2002).
Sistem transport untuk transferin maupun laktoferrin sangat spesifik dan
sangat tergantung dari host. Lapisan membran luar N meningitidis dapat berikatan
dengan transferin manusia tetapi tidak dapat berikatan dengan transferin kerbau
atau sapi. Mikroba tetap dapat hidup di dalam host apabila memiliki reseptor
spesifik terhadap transferin. Transferin atau lactoferrin binding system akan
menentukan lokasi dari infeksi. Kuman yang menggunakan transferin binding
system untuk mengambil besi biasanya dijumpai di dalam plasma atau cairan
serebrospinal. Sedangkan kuman yang menggunakan lactoferrin binding system
biasanya terdapat pada permukaan mukosa seperti mukosa saluran nafas,
gastrointestinal dan urogenital (Weinberg, 1984; Marx , 2002).
2.2.2.2 Haem dan hemoglobin sebagai sumber besi
Dalam tubuh manusia, hemoglobin yang berada di dalam eritrosit
mengandung besi paling banyak dibandingkan sumber besi lainnya di dalam
tubuh dan berbagai kuman patogen mempunyai berbagai macam cara untuk
mendapat besi dari eritrosit ini. Beberapa kuman dapat mengambil besi dari haem.
Haem ini akan ditransportasikan menuju ke periplasma melalui haem-specific
outer membrane receptor selanjutnya ke dalam sitoplasma. Beberapa bakteri
dapat mengambil besi dari hemoglobin atau dari haem dan hemoglobin. Afinitas
terhadap hemoglobin manusia lebih tinggi dibandingkan terhadap mamalia yang
-
25
lainnya. Haptoglobulin dan haemopexin dapat bersifat bakteriostatik apabila tidak
mempunyai besi (Marx, 2002).
Strategi yang paling efektif dari kuman untuk mendapatkan besi adalah
dengan merusak eritrosit dan mengambil besi dari hemoglobin. Cara ini terjadi
pada Plasmodium sp dan beberapa bakteri seperti Bartonella spp.
2.2.2.3 Siderophores
Bakteri dan jamur dapat memproduksi molekul yang disebut siderophores.
Molekul ini merupakan molekul dengan berat molekul rendah dan dapat
mengadakan ikatan dengan besi. Disekresi oleh kuman di lingkungannya dan
dapat mengambil besi dari ligan, kemudian komplek besi-siderophore kembali ke
kuman. Siderophore merupakan substrat yang spesifik bagi outer dan inner
membrane receptor. Beberapa contoh siderophore adalah ferrichrome,
enterobactin atau enterochelin, staphyloferrin A, ferrioxamine (Marx, 2002).
Pada bakteri gram negatif ferrichrome dapat berikatan dengan membran
transporter yang disebut FhuA. Selanjutnya ferrichrome akan dihantarkan menuju
ke sitoplasma. Pada keadaan besi host yang sangat rendah, sintesis FhuA
meningkat ratusan sampai ribuan kali. Sebaliknya pada jumlah besi yang
berlebihan akan terjadi penurunan jumlah FhuA. Hal ini merupakan mekanisme
pertahanan kuman untuk mencegah terjadinya kelebihan besi yang dapat merusak
sel dan DNA. Secara skematis transpor besi melalui siderophore dapat
digambarkan pada gambar 2 (Marx, 2002).
-
26
Gambar 2.2 Gambar skematik mekanisme pengambilan Fe(II) dan Fe(III) pada
bakteri gram negatif (Marx 2002)
2.2.2.4 Pengurangan penyediaan besi sebagai mekanisme pertahanan host
Adanya invasi kuman akan menyebabkan host mengurangi ketersediaan
besi yang dibutuhkan oleh kuman. Beberapa mekanisme pengurangan tersebut
adalah (Weinberg, 1978; Weinberg, 1984):
1. Peningkatan ekskresi besi endogen di urine, keringat, feses dan empedu.
2. Penurunan absorpsi besi eksogen di saluran cerna.
3. Penurunan besi plasma akibat perpindahan besi dari plasma ke dalam
cadangan besi.
4. Adanya protein pengikat besi di tempat masuknya kuman.
5. Peningkatan sintesis host iron-binding protein.
6. Penekanan sintesis siderophore mikroba.
-
27
2.3 Sistem Imunitas Manusia
Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan badan untuk
mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang
timbul baik dari luar maupun dari dalam tubuh sendiri. Mekanisme ini diperlukan
untuk tiga hal utama yaitu: pertahanan, homeostasis dan pengawasan. Fungsi
pertahanan ditujukan terhadap invasi kuman mikroorganisme, homeostasis untuk
mengeliminasi komponen tubuh yang sudah tua dan tidak berguna bagi tubuh
sedang fungsi pengawasan diperlukan untuk menghancurkan sel-sel yang
bermutasi ganas.
Ada dua mekanisme utama tubuh dalam rangka mempertahan diri dari
serangan kuman yaitu respon imun yang alami (innate) dan respon yang didapat
(adaptive). Respon alami timbul dengan intensitas yang hampir sama pada setiap
paparan, oleh karena sistem imun alami tidak mempunyai mekanisme memori.
Respon ini timbul lebih dulu dari respon adaptif. Komponen seluler dari sistem ini
adalah makrofag, granulosit dan sel NK (Natural Keller) yang dengan sistem
reseptor (toll-like) dapat membedakan antara benda asing dengan sel sendiri
(Sabroe et al., 2003). Respon imun adaptif adalah antigen-specific dimana respon
yang didapat akan meningkat sesuai dengan jumlah paparan yang terjadi sehingga
respon adaptif akan makin efisien dan makin cepat pada paparan ulang. Ada
berbagai antigen yang dapat memicu respon adaptif dan imunitas ini dapat
berlangsung lama tapi tidak permanen (Deckera, 2004). Sistem ini dapat
membedakan antara self dan non-self dengan menghancurkan yang non-self dan
membiarkan yang self. Respon imun adaptif meliputi proses proliferasi dari sel B
dan T yang antigen-spesific, yang akan terjadi apabila ada ikatan antara reseptor
-
28
permukaan sel ini dengan antigen. Sel tertentu yang dikenal sebagai APC (antigen
presenting cell) akan membawakan antigen kepada sel limfosit dan akan terjadi
kolaborasi diantara mereka sebagai respon terhadap antigen tersebut. Sel limfosit
B akan memproduksi imunoglobulin yang dapat mengikat antigen sehingga dapat
mengeliminasi mikroorganisme ekstraseluler. Sel T akan membantu sel B untuk
membuat antibodi dan juga dapat membunuh patogen intra seluler dengan
mengaktifkan makrofag serta membunuh sel yang terinfeksi oleh virus. Respon
imun baik alami maupun yang adaptif diperlukan untuk bekerjasama dalam
rangka mengeliminasi patogen (Delves et al.b, 2000; Decker a, 2004).
Semua komponen seluler dari sistem imun berkembang dari sel induk
pluri-potent di sumsum tulang dan akan bersirkulasi ke jaringan ekstraseluler. Sel
B akan mengalami pematangan di sumsum tulang sedangkan sel T harus masuk
ke kelenjar timus untuk menjalani proses pematangan sehingga dapat menjalani
fungsinya dengan baik. Respon adaptif akan mengalami proses pematangan pada
kelenjar limfe, lien dan jaringan limfe di mukosa (MALT = mucosal associated
lymphoid tissue), yang disebut sebagai jaringan limfoid sekunder, dimana proses
aktivasi sel B dan sel T dilakukan pada kompartemen yang berbeda. Sel B akan
mengalami aktivasi pada germinal center sedangkan sel T lebih banyak
didapatkan di daerah parafolikuler.
-
29
2.3.1 Pengenalan dalam proses imun
Untuk dapat menimbulkan infeksi, bahan patogen harus berhasil melalui 3
tingkatan pertahanan tubuh yaitu adanya barier permukaan seperti ensim dan
mukus baik yang langsung bersifat antimikrobial maupun dengan menghambat
perlengketan dari mikroba tersebut. Setelah mampu melawati barier ini maka
patogen tersebut akan berhadapan dengan 2 jenis pertahanan yaitu respon imun
yang alami (innate immune responses) dan respon imun yang didapat (acquired
immune responses). Tubuh secara potensial dapat bereaksi hampir pada semua hal
yang dapat berikatan dengan reseptor sistem imun. Molekul antigen ini bisa
merupakan molekul kecil yang simpel sampai pada molekul sangat kompleks.
Baik reseptor sel T maupun reseptor sel B dapat mengikat bagian dari antigen
yang dikenal dengan epitop sehingga membentuk komplek ikatan antigen reseptor
yang selanjutnya akan mestimulasi respon tubuh yang sesuai. Antigen yang dapat
memicu respon imun disebut sebagai imunogenik, dan tidak semua antigen secara
alami imunogenik. Antigen dengan molekul kecil yang non-imunogenik disebut
sebagai hapten dan harus berikatan dengan molekul yang lebih besar yang
imunogenik yang disebut dengan carriers, untuk dapat menimbulkan respon
imun. Sedang karbohidrat harus berikatan dengan protein agar dapat merangsang
respon imun seperti pada kasus antigen polisakarida pada vaksin Haemophilus
influenzae. Banyak mikroorganisme secara alami mempunyai apa yang disebut
adjuvant immunostimulatory molecules seperti lipopolysaccharide dan muramyl
dipeptide sehingga dapat menambah respon imunitas (Delves et al., 2000).
-
30
2.3.2 Perkembangan sel T dan sel B
Perkembangan sel limfosit dan mieloid dari sel induk di hati (pada infant)
dan sumsum tulang dituntun olah adanya interaksi antara sel stromal (sel
fibroblas) dan interleukin. Pada fase awal dari perkembangan sel limfosit tidak
diperlukan adanya stimulasi antigen akan tetapi begitu sel ini mengekspresikan
reseptor pada permukaannya maka akan diperlukan stimulasi antigen yang sesuai
untuk dapatnya sel yang bersangkutan berkembang lebih jauh dan survive.
Sel B yang berkembang pada fase awal dari kehidupan dikenal sebagai sel
B1. Hampir semua sel B1 mempunyai CD5, suatu molekul adesi dan molekul
sinyal. Mereka ini merupakan sumber dari antibodi natural yaitu suatu antibodi
IgM yang polireaktif (molekul ini dapat mengenal beberapa antigen yang berbeda
bahkan juga patogen yang komensal serta autoantigen). Secara umum antibodi ini
mempunyai afinitas yang rendah. Sebaliknya sel B yang tidak mempunyai
molekul CD5 yang biasanya berkembang belakangan dikenal sebagai sel B2.
Sebelum bertemu dengan antigen sel ini mengekspresikan bersama-sama molekul
IgM dan IgD pada permukaannya dan pada saat sel akan menjadi sel memori, sel
ini akan melakukan class-switching dan mengekspresikan IgA, IgG atau IgE
sebagai reseptor permukaannya. Komplek antibodi-antigen dan komplemen yang
terbentuk pada jaringan limfoid sekunder berdekatan dengan lokasi sel dendritik
sehingga hal ini akan menginisiasi pembentukan area yang disebut sebagai
germinal center yaitu suatu area dimana sel B akan teraktivasi sehingga
menimbulkan respon imun. Di sini sel B2 yang bertemu dengan antigen akan
melakukan immunoglobulin class switching dan akan memproduksi IgA, IgG atau
IgE. Sel plasma dan sel memori juga terbentuk di germinal center. Akan tetapi
-
31
fase akhir dari diferensiasi sel B2 menjadi sel plasma terjadi pada jaringan limfoid
sekunder di luar germinal center. Meskipun umumnya berumur pendek, kadang-
kadang sel plasma dapat survive sampai berminggu-minggu pada sumsum tulang
(Delves et al., 2000).
Sel T berkembang di dalam kelenjar timus, dimana lingkungan mikro dari
timus akan mengarahkan diferensiasi sel T termasuk juga seleksi positif dan
negatif dari perkembangan sel T. Sel progenitor limfoid yang berasal dari sumsum
tulang akan bermigrasi ke timus untuk melengkapi perkembangannya sehingga
menjadi sel matang dan menjadi sel T yang berfungsi. Disini sel T akan
mendapatkan Marxer-nya yang spesifik seperti TCR (T Cell Receptor), CD3, CD4
atau CD8 dan CD2. Sel T juga akan menjalani apa yang disebut thymic education
yaitu proses seleksi positif dan negatif.
Sel induk secara terus menerus akan bermigrasi dari sumsum tulang ke
timus, dimana sel ini akan berkembang menjadi sel T. Bukti terakhir
menunjukkan bahwa walaupun terjadi degenerasi parsial pada timus orang dewasa
namun sel T tetap berkembang pada timus sepanjang hidupnya. Sel T dengan α/β
TCR akan tetap di sini sambil terus mengalami prosedur seleksi. Tidak seperti
molekul antibodi yang juga merupakan BCR (B Cell Receptor), dapat mengenal
antigen dalam bentuk utuh (native/natural), TCR hanya dapat mengenal fragmen
peptida dari intraseluler antigen yang sebelumnya telah diproses oleh sel
makrofag dan dipresentasi oleh molekul MHC yang sesuai. Susunan asam amino
baik yang berasal dari MHC maupun dari peptida antigen dapat dikenal oleh TCR.
Jadi TCR dapat mengenal molekul MHC yang berasal dari tubuh sendiri (self)
bersama dengan peptida yang berasal dari antigen asing. Oleh karena itu untuk
-
32
dapat mengenal antigen asing yang dipresentasikan oleh molekul MHC maka sel
T harus mengenal self MHC. Molekul MHC adalah molekul yang sangat
polimorfik. Dan untuk mengenalnya tanpa menimbulkan autoreactive diperlukan
suatu mekanisme kontrol yang disebut dengan thymic education, yaitu suatu
proses seleksi termasuk yang dikenal dengan positive selection dan negative
selection (Sprent et al., 1989; Delves et al a., 2000; Poulin et al., 2003).
Sel yang lolos positive selection adalah sel T yang mengekspresikan TCR
yang mampu berinteraksi dengan MHC-selfpeptide complexes yang terbentuk
pada sel epitel korteks timus. Positive selection akan mematikan tombol apoptosis
yang sebelumnya terjadi pada perkembangan alami dari sel T. Lebih dari 95%
dari sel T tidak akan terseleksi pada fase ini sehingga akan mati di dalam timus.
Sebaliknya pada negative selection adalah mekanisme yang dapat menginduksi
apoptosis pada sel T yang mengekspresikan TCR yang bereaksi dengan afinitas
tinggi dengan kompleks self MHC-self peptide pada permukaan sel dendritik dan
makrofag yang berasal dari sumsum tulang pada daerah medula dari timus
(MacLelan et al., 2002; Decker c, 2004).
-
33
Gambar 2.3 Pematangan sel T pada timus (Delves et al.a, 2000; Krishnan et al.,
2003) Sebagian dari TCR sel T mengenal peptida yang berasal dari antigen asing
dan bagian lain TCR mengenal self MHC. Akibat proses alami dari gene
rearrangement dari pembentukan TCR yang bersifat random maka hanya
sebagian kecil dari sel T saja akan diseleksi positif pada korteks timus. Namun
beberapa dari sel ini cukup berbahaya karena kemampuan TCR nya bereaksi kuat
dengan self peptide dan self MHC (atau bahkan dengan hanya molekul MHC
saja). Kelompok sel autoimun ini akan dieliminasi dengan menginduksi apoptosis
apabila mereka berinteraksi dengan sel dendritik dan makrofag pada daerah
medula dari timus (negative selection). Seleksi ini akhirnya hanya menyisakan
sebagian kecil sel T yang hanya mempunyai afinitas yang rendah terhadap self
MHC
-
34
2.3.3 Imunitas seluler
CMI adalah suatu respon imun yang tidak melibatkan antibodi akan tetapi
lebih banyak melibatkan proses aktivasi sel T menjadi sel T sitotoksik, aktivasi sel
makrofag dan sel NK, serta stimulasi produksi interleukin sebagai respon terhadap
antigen. Mekanisme ini ditujukan terhadap mikroba yang berhasil lolos dari
proses fagositosis dan terhadap mikroba yang menginfeksi sel non-fagositik.
Mekanisme ini sangat efektif untuk menghilangkan sel yang terinfeksi oleh virus.
Namun demikian sel ini juga berperan terhadap infeksi jamur, protozoa, sel
kanker dan bakteri intraseluler. CMI juga memegang peran yang penting pada
proses transplantasi.
Seperti diketahui, sistem imun kita tak dapat meramalkan jenis antigen apa
yang akhirnya akan ditemukan. Oleh karena itu tubuh kita mengembangkan suatu
sistem yang mampu bereaksi dengan segala macam antigen. Hal ini dapat
dikerjakan oleh karena sel B dan sel T mempunyai sistem yang unik yang disebut
gene translocation, suatu proses perpindahan suatu gen tertentu dari suatu
kromosom ke gen lainnya pada kromosom lainnya. Oleh karena itu akan dapat
dibuat suatu reseptor permukaan yang dapat bereaksi dengan suatu peptida
tertentu yang berikatan dengan molekul MHC. CMI merupakan mekanisme yang
mendasari proses hipersensitivitas tipe lambat yaitu suatu respon imun yang
berefek merugikan seperti reaksi penolakan jaringan, dermatitis kontak, tes PPD
(purified protein derivative) untuk tuberkulosa dan lainnya (Kaiser, 2003).
-
35
Ada 5 langkah penting dalam timbulnya respon cell-mediated immunity, yaitu:
1. Antigen yang masuk harus dikenali oleh APC. Sel limfosit T4 dan T8
diperlukan untuk melaksanakan tugas selanjutnya. Apabila antigen ini masuk
lewat darah maka pertemuan antara APC, sel T4 dan T8 terjadi di lien, di
BALT (bronchial-associated lymphoid tissue) dan MALT apabila antigennya
melalui saluran nafas, di Peyer’s patches apabila antigen masuk melalui
saluran cerna.
2. Sel T4 dan T8 naïve harus mengenali epitop peptida dari antigen yang
bersangkutan, yang selanjutnya akan mengaktifkan sel T4 dan sel T8. Hal ini
disebut sebagai clonal selection.
3. Setelah terjadi aktivasi, sel T4 dan sel T8 akan berproliferasi menjadi klon sel
yang spesifik terhadap antigen yang bersangkutan di dalam usaha tubuh untuk
menyediakan sel yang cukup untuk menimbulkan respon imun yang memadai
melawan antigen tersebut. Hal ini dikenal sebagai clonal expansion.
4. Klon dari sel T4 dan sel T8 ini akan berdiferensiasi menjadi sel efektor yang
mampu mengarahkan respon tubuh melawan antigen yang masuk dan akan
menghancurkannya atau menghilangkan.
5. Beberapa dari sel limfosit tadi berdiferensiasi menjadi sel memori T4, sel
memori T8 dan sel T supresor.
Dengan adanya sel memori ini akan memungkinkan reaksi imun menjadi lebih
cepat dan produksi interleukin yang lebih banyak. Sel T8 supresor membantu
untuk mengontrol respon imun dengan menghentikan respon tubuh baik seluler
maupun humoral (Kaiser, 2003). Sel T yang telah teraktivasi sempurna akan
mulai memproduksi rantai α dari IL-2R . IL-2R (Tac) akan meningkatkan afinitas
-
36
dari IL-2R sehingga kadar yang rendah dari IL-2 dapat mengaktivasi sel T untuk
memulai proliferasi konal dan berdiferensiasi menjadi sel efektor. Sel T naïve
hanya mengekspresikan rantai β dan γ dari IL-2R dan mempunyai afinitas yang
lemah terhadap IL-2. Ekspresi dari reseptor yang mempunyai afinitas tinggi
terhadap spesifik antigen oleh sel T yang teraktivasi membuat respon imun yang
terjadi tetap antigen-spesific, oleh karena interleukin yang sama dapat dibuat
terhadap beberapa antigen yang berbeda.
Gambar 2.4 Aktivasi sel T (Delves et al.a, 2000)
Aktivasi sel T melibatkan proses integratif dimulai dengan ikatan antara antigen
dan reseptor pada permukaan sel. Diikuti dengan ikatan dengan CD3 dan rantai γ
ITAMs (immunoreceptor tyrosine-base activating motifs), dan p 56ick, p59fyn
dan ZAP-70. Rangkaian ini akan menyebabkan downstream sinyal melalui
beberapa sinyal transduction pathways sampai akhirnya mengaktifkan protein
transcription factor untuk gen yang terlibat pada proses proliferasi dan
diferensiasi. Sinyal dari co-reseptor seperti misalnya CD28 juga diperlukan untuk
mengaktifkan sel T, sebaliknya kalau tidak ada costimulator maka sel akan
menjadi anergi atau apoptosis.
-
37
2.3.4 Sel T efektor
Setelah 4-5 hari mengalami clonal expansion, sel T akan berdiferensiasi
menjadi sel efektor yang tidak lagi memerlukan co-stimulator untuk melakukan
fungsinya yaitu sitotoksisitas dan sekresi interleukin. Sel T akan tetap berikatan
dengan komplek peptida MHC untuk dapat membunuh atau mengaktifkan sel
target. Ada 3 klas sel efektor yang spesifik untuk 3 jenis patogen. CD8 CTL akan
membunuh sel yang mempresentasikan peptida sitosolik pada molekul MHC klas
I. CD4 Th1 akan mengaktifkan makrofag yang mengandung patogen vesikuler
yang persisten yang dipresentasikan pada molekul MHC klas II. Efektor klas ini
juga mengaktifkan sel B untuk memproduksi antibodi (opsonizing antibody). CD4
Th2 berfungsi untuk mengaktifkan sel B untuk memproduksi antibodi
(neutralizing antibody).
Sel efektor Th dibedakan atas jenis interleukin yang dikeluarkannya. Th1
CD4 akan mmemproduksi IL-2, IFN (interferon) γ, dan TNF (tumor necrosis
factor) β yang akan mengaktifkan CD8 Tc dan makrofag untuk menginduksi
respon inflamasi dan imunitas seluler. Th1 juga mengeluarkan IL-3 dan GM-CSF
yang akan memicu sel induk pada sumsum tulang untuk membuat lebih banyak
leukosit dan sel B untuk membuat antibodi opsonisasi (IgG1 dan IgG3). Sedang
Th2 akan memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 yang akan merangsang sel B
untuk membuat antibodi netralisasi. Disamping itu interleukin yang diproduksi
oleh sel Th1 dan Th2 mempunyai efek yang berlawanan pada sel Th. IFN γ yang
diproduksi oleh Th1 akan menghambat proliferasi sel Th2, sebaliknya IL-10 yang
dikeluarkan oleh Th2 akan menghambat produksi IL-2 dan IFN γ oleh Th1.
-
38
Keseimbangan antara Th1 dan Th2 akan menentukan respon imun humoral
ataukah seluler yang lebih berperan (Kaiser, 2003).
2.3.5 Kerjasama antar sel
Kerjasama antar sel merupakan interaksi beberapa mekanisme efektor
dimana akan terjadi kerjasama antara sel T dan sel makrofag. Untuk memulai
suatu respon imun sebagian besar antigen harus diproses dan dipresentasikan oleh
sel aksesoris (APC). Sel dendritik, sel makrofag dan sel limfosit B dapat
mempresentasikan antigen dengan efisien. Sel Th (helper) mengenal antigen
hanya apabila dipresentasikan oleh APC bersama dengan molekul MHC klas II
yaitu: HLA-DR, HLA-DP, HLA-DQ. Untuk terjadinya aktivasi dan proliferasi sel
T diperlukan beberapa molekul lain seperti molekul adesi (LFA-1, ICAM) dan
beberapa costimulator lainnya (CD40, B7, Fas dll). Makrofag yang sudah
terstimulasi akan mengeluarkan IL-12 dan IL6, yang akan memulai proses
aktivasi dan proliferasi sel T. Selanjutnya, sel T yang telah terstimulasi akan
memproduksi IL-2 dan akan menginduksi clonal expansion dari sel T yang telah
mengenal antigen tertentu (Decker c, 2004).
Sel T dapat dibagi menjadi sel T efektor dan sel T regulator. Sel efektor
yang telah dikenal adalah sel T sitotoksik, yang dapat membunuh sel yang
terinfeksi virus dan sel tumor walaupun tidak ada antibodi. Untuk dapat dikenal
oleh sel T jenis ini antigen yang bersangkutan harus dipresentasikan oleh molekul
MHC klas I (HLA-A, HLA-B, HLA-C). Oleh karena molekul MHC klas I
didapatkan pada semua jenis sel maka sel T ini akan bekerja pada semua jenis sel
yang mengandung virus. Sel T regulator dapat dibagi menjadi Th (helper) dan Ts
(suppressor). Sel Th mengatur proliferasi dan diferensiasi tidak hanya sel efektor
-
39
tapi juga sel B. Selama aktivasi sel T akan mengekspresikan antigen yang dapat
dikenal dengan antibody monoclonal komersial. Namun harus diingat bahwa
gambaran penotipe ini tidak secara langsung menggambarkan fungsi dari sel yang
bersangkutan. Sebagai contoh, sel CD4+ tidak hanya terdiri dari sel Th tapi juga
bisa sel Tc dan sel Ts (Sprent et al., 1998; Van Der Meer et al., 2002).
Sel makrofag tidak akan dapat membunuh semua mikroorganisme tanpa
bantuan stimulasi sel imun lainnya. Beberapa mikroorganisme antara lain:
protozoa (toxoplasma gondii, trypanosoma spp), jamur (histoplasma capsulatum,
pneumocystis carinii), bakteri (mikobakteria, salmonella spp) dan virus dapat
hidup dan bahkan bereplikasi dalam sel makrofag pada penderita non-imun. Tapi
dengan adanya stimulasi dari sel Th dan interleukinnya seperti IL-2, IFN γ yang
akan mengaktifkan makrofag menjadi lebih aktif. Pada proses aktivasi ini akan
terjadi beberapa kejadian peningkatan aktifitas mikrobisidal seperti oxygen-
dependent dan oxygen-independent microbicidal mechanism sehingga dapat
membunuh patogen intraseluler (Greenwald et al., 1989; Van Der Meer et al.,
2002).
-
40
Gambar 2.5 Kerjasama antar sel. Sel T dengan TCR akan mengenal antigen yang
dipresentasikan dengan molekul MHC. Sel Tc adalah CD8 akan mengenal antigen
yang dipresentasikan molekul MHC I Sedang sel Th (CD4) mengenal antigen
yang dipresentasikan MHC II dan terdiri dari dua populasi Th1 dan Th2. Th1
mengeluarkan IL-2 dan IFN γ yang mengaktivasi makrofag dan sel Tc untuk
membunuh patogen intraseluler. Sel Th2 mengeluarkan IL-4,IL-5, IL-6 yang
mengaktifkan sel B untuk memproduksi antibodi. Sel B juga dapat mengenal
antigen secara langsung ataupun melalui kompleks antigen – antibodi pada sel
dendritik di germinal senter jaringan limfoid sekunder (Delves et al.b, 2000).
2.3.6 Kelainan imunitas seluler
Semua komponen dari imunitas seluler mempunyai fungsi yang penting
untuk dapatnya sistem berfungsi optimal. Oleh karena itu kelainan atau bahkan
ketidakseimbangan fungsi antara sel T regulator, defisiensi sel T efektor, adanya
gangguan sinyal antar sel dan gangguan fungsi sel makrofag akan menyebabkan
-
41
gangguan fungsi imunitas seluler. Akhir-akhir ini banyak ditemukan kerusakan
molekuler sebagai penyebab gangguan imunitas seluler. Seperti misalnya
gangguan proses jalur sinyal intra seluler sel T, dan molekul yang berfungsi
sebagai sinyal interseluler seperti CD40/CD40 ligand, Fas/Fas ligand, atau
gangguan reseptor IL-12 dan IFN γ. Akan tetapi perlu untuk mendapatkan
perhatian bahwa tidak semua gangguan molekul yang komplek ini akan
meyebabkan gangguan dari fungsi imunitas seluler (Van der Meer et al., 2002).
Suatu contoh kelainan imunitas seluler adalah pada kasus AIDS, dimana
virus HIV akan menyerang dan menghancurkan sel T. Pada kasus dengan
inflamasi kronis seperti sarcoidosis, suatu ketidak seimbangan antara sel T
regulator diketahui sebagai dasar patomekanismenya. Pada kasus lainya tidak
jarang dijumpai kelainan baik pada imunitas seluler maupun imunitas humoral.
Kualitas dari fungsi imunitas seluler dalam batas tertentu dapat diketahui dengan
pemeriksaan in vitro dan in vivo. Tes in vitro yang penting antara lain tes
transformasi limfosit dengan menggunakan mitogen sel T seperti anti-CD3,
phytohaemaggultination, concanavalin A. Tes lainnya adalah leucocyte migration
inhibition test (LMI), tes proliferasi, tes sitotoksisitas dan pemeriksaan produksi
interleukin . Untuk mengetahui jenis kelainannya diperlukan tes yang lebih
canggih seperti penilaian jalur sinyal intra dan interseluler sebagai work-up
kelainan dari imunitas seluler. Sedang tes in vivo adalah tes kulit yaitu tes
hipersensitivitas tipe lambat untuk mengetahui jenis antigen seperti tuberkulin,
antigen trikopiton. Penderita yang tidak berespon terhadap antigen disebut sebagai
anergi (Baratawijaya,2000).
-
42
Pada kasus dengan defisiensi imunitas seluler maka dapat diharapkan
infeksi oleh virus dan patogen intraseluler akan makin meningkat. Beberapa
penyakit kongenital akibat defisiensi imunitas seluler adalah celluler
immunodeficiency with immunoglobulins, DiGeorge’s Syndrome, chronic
mucocutaneous candidiasis, SCID (severe combined immunodeficiency disease),
Wiskott-Aldrich. Sedangkan gangguan imunitas seluler yang acquired (didapat)
diakibatkan oleh (1) proses keganasan yang melibatkan jaringan limfoid atau
sistem fagosit mononuklear seperti misalnya: penyakit Hodgkin, limfoma non-
Hodgkin; (2) terapi dengan obat imunosupresif seperti steroid, azathioprine,
siklofosfamid dan siklosporin A; (3) infeksi virus seperti: CMV
(cytomegalovirus), Epstein-Barr Virus (EBV), virus HIV dan mungkin hepatitis
C; (4) kehamilan; (5) pemakaian estrogen; (6) malnutrisi; (7) proses ketuaan.
Mekanisme yang mendasari gangguan imunitas seluler pada kondisi tersebut
adalah sangat kompleks dan agak berbeda pada masing-masing kondisi, oleh
karena dapat melibatkan hanya sel T regulator, sel T efektor, sel makrofag , faktor
lainnya seperti interleukin baik respon maupun produksinya atau bahkan
merupakan kombinasi dari semua komponen seluler (Van der Meer et al., 2002).
2.3.7 Pemeriksaan sistem imun seluler
2.3.7.1 Pemeriksaan in vitro
Respon imunitas seluler sangat ditentukan oleh fungsi dan aktivitas sel
limfosit. Ada 2 cara untuk menilai limfosit, yaitu dengan memeriksa kuantitas dan
fungsi sel (Baratawijaya, 2000).
-
43
2.3.7.1.1 Kuantitas sel limfosit
Neutropenia atau limfositopenia yang berat dapat diketahui dengan mudah
melalui pemeriksaan jumlah dan hitung jenis leukosit. Tujuh puluh lima sampai
delapan puluh persen limfosit dalam sirkulasi perifer adalah sel T, oleh karena itu
bila jumlah limfosit perifer ditemukan normal kemungkinan adanya defisiensi
limfosit T tidak besar.
2.3.7.1.1.1 Isolasi sel
Ficoll digunakan untuk mengisolasi limfosit dari darah. Darah
didefibrinasi dengan butiran-butiran gelas, bekuan kemudian disingkirkan.
Selanjutnya darah diencerkan dengan medium biakan jaringan dan dimasukkan
dengan hati-hati ke dalam tabung reaksi di atas larutan ficoll yang sudah mengisi
setengah tabung. Ficoll mempunyai berat jenis lebih besar dibanding dengan
limfosit, tetapi lebih kecil dibanding dengan sel darah merah. Sesudah darah
dengan ficoll disentrifus, sel darah merah dan sel leukosit polimorfonuklear akan
turun membentuk endapan di dasar tabung, sedang limfosit mengendap pada
perbatasan medium dan ficoll. Selanjutnya lapisan limfosit dapat dibersihkan dari
fagosit dengan jalan menambahkan butir – butir besi, fagosit akan memakan butir
besi dan kemudian diturunkan dengan besi berani kelapisan yang lebih bawah.
Cara lain untuk memisahkan fagosit ialah dengan menempatkan campuran
limfosit-fagosit dalam sumur plastik. Fagosit kemudian akan menempel pada
dasar sumur, sedang limfosit tetap berada dalam larutan.
2.3.7.1.1.2 E Rosette
Sel T manusia memiliki reseptor untuk sel darah merah biri-biri. Bila
kedua sel tersebut dicampur, maka akan terbentuk rosette.
-
44
2.3.7.1.1.3 EA Rosette
Sel T dapat dibedakan dari sel B yang tidak membentuk rosette pada
gradien Ficoll. Cara lain untuk menunjukkan rosette yaitu dengan menggunakan
reseptor lain yang ada pada permukaan sel T, misalnya reseptor untuk Fc dari IgG
(Fc gamma). Sel – sel tersebut dapat diidentifikasi dan diisolasi, karena akan
membentuk rosette dengan sel darah merah yang sudah disensitasi dengan
antieritrosit .
2.3.7.1.1.4 Antibodi monoklonal
Antibodi monoklonal adalah antibodi homogen yang dihasilkan dari single
clone. Antibodi tersebut dapat disintesis di laboratorium dari hibridoma, yaitu sel
yang dihasilkan dengan menyatukan dua sel yang berlainan. Dengan teknik
imunofluoresensi yang menggunakan antibodi monoklonal, jumlah sel B, sel T
dan subset sel T, dapat dibedakan satu dari yang lainnya dan dihitung di bawah
mikroskop fluoresen atau cell sorter.
2.3.7.1.1.5 Flow Cytometry
Flow Cytometry adalah alat yang dapat menghitung serta membedakan sel
satu dari yang lain. Sel diperiksa dalam larutan yang bergerak melewati sinar dan
dihitung berdasarkan sedikit banyaknya sinar yang dihambat atau dipancarkan
kembali.
2.3.7.1.1.6 Fluorescence Activated Cell Sorter (FACS)
FACS adalah alat yang dapat menghitung subpopulasi sel sekaligus dalam
larutan. Sel dilabel dengan 2-3 bahan fluoresen yang berbeda sehingga kadar
bahan pada permukan (sesuai dengan jumlah sel limfosit dan granulosit) secara
simultan dapat diukur/dihitung.
-
45
2.3.7.1.2 Pemeriksaan fungsi limfosit
Pemeriksaan fungsi limfosit hendaknya hanya dilakukan bila uji kulit in
vivo yang lebih sederhana menunjukkan tanda adanya gangguan imunitas seluler
oleh karena pemeriksaan fungsi in vitro lama, mahal, tidak mudah dan
memerlukan biaya yang tinggi. Pemeriksaan fungsi limfosit in vitro hanya mutlak
pada penderita yang diduga menderita defisiensi imun dan dalam penggunaan
imunomodulator untuk memantau sistem imun.
2.3.7.1.2.1 Produksi sitokin
Sedian komersial telah tersedia untuk memeriksa berbagai jenis sitokin
yang diproduksi sel limfoid dan lebih diutamakan dalam menilai fungsi sel dan
respons sel terhadap berbagai stimulus. Yang banyak digunakan ialah ELISA.
2.3.7.1.2.2 Transformasi limfosit
Tes yang banyak digunakan untuk mengukur fungsi limfosit adalah tes
transformasi limfosit. Bila limfosit bertemu dengan antigen, dalam beberapa hari
saja limfosit kecil yang berada dalam keadaan istirahat atas pengaruh APC akan
berubah menjadi sel blas. Proses tersebut disebut tranformasi.
Hal ini biasanya dilakukan dengan phytohemaglutinin (PHA) sebagai
stimulan. Transformasi dapat juga dilakukan dengan antigen spesifik yang diduga
mensensitasi pasien (misalnya tuberkulin). PHA merangsang sebagian besar sel T,
sedang antigen hanya akan mensensitasi limfosit yang sudah tersensitisasi
terhadap antigen tertentu dan biasanya hanya mengenai sebagian kecil limfosit.
Transformasi derajat rendah (dibandingkan dengan kontrol) menunjukkan adanya
sistem imun seluler yang terganggu, sedang peningkatan transformasi dengan
adanya antigen spesifik dapat terjadi pada keadaan hipersensitivitas tertentu
-
46
(misalnya alergi obat). Respons proliferatif tersebut dapat diukur dengan
menginkorporasikan timidin radioaktif.
2.3.7.1.2.3 Leucocyte migration inhibition test (LMI)
Leucocyte migration inhibition test atau LMI lebih mudah dikerjakan
dibanding dengan pemeriksaan transformasi sel. Limfosit akan melepaskan
berbagai limfokin bila dicampur dengan antigen yang sudah mensensitasikannya.
Salah satu limfokin yang disebut faktor LMI, akan menghambat gerakan neutrofil
dan derajat hambatannya dapat diukur in vitro sesuai dengan produksi limfokin.
LMI menggunakan leukosit perifer manusia. Pencegahan migrasi disebabkan oleh
limfokin yang diproduksi limfosit yang disensitasi antigen. Nilai tes ini sama
dengan tes transformasi.
2.3.7.1.2.4 Pemeriksaan sitotoksisitas
Aktivitas sitotoksik limfosit dapat diukur dengan membiakkannya bersama
sel sasaran yang sudah dilabel misalnya 51Cr. Bila limfosit membunuh sel
tersebut, kromium akan dilepas. Radioaktif ya