PENGARUH PENINGKATAN CADANGAN BESI TERHADAP...

of 207 /207
DISERTASI DIAJUKAN UNTUK UJIAN TERBUKA PENGARUH PENINGKATAN CADANGAN BESI TERHADAP INTERLEUKIN-2 (IL-2) DAN INTERFERON GAMMA (IFN γ) PLASMA DAN SUPERNATAN KULTUR LIMFOSIT PADA PENDERITA ANEMIA DEFISIENSI BESI : KAITANNYA DENGAN INFEKSI KETUT SUEGA NIM. 0490271003 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2009

Embed Size (px)

Transcript of PENGARUH PENINGKATAN CADANGAN BESI TERHADAP...

  • DISERTASI DIAJUKAN UNTUK

    UJIAN TERBUKA

    PENGARUH PENINGKATAN CADANGAN BESI

    TERHADAP INTERLEUKIN-2 (IL-2)

    DAN INTERFERON GAMMA (IFN γ)

    PLASMA DAN SUPERNATAN KULTUR LIMFOSIT

    PADA PENDERITA ANEMIA DEFISIENSI BESI :

    KAITANNYA DENGAN INFEKSI

    KETUT SUEGA

    NIM. 0490271003

    PROGRAM PASCASARJANA

    UNIVERSITAS UDAYANA

    DENPASAR

    2009

  • i

    DISERTASI DIAJUKAN UNTUK

    UJIAN TERBUKA

    PENGARUH PENINGKATAN CADANGAN BESI

    TERHADAP INTERLEUKIN-2 (IL-2)

    DAN INTERFERON GAMMA (IFN γ)

    PLASMA DAN SUPERNATAN KULTUR LIMFOSIT

    PADA PENDERITA ANEMIA DEFISIENSI BESI :

    KAITANNYA DENGAN INFEKSI

    KETUT SUEGA

    NIM. 0490271003

    PROGRAM DOKTOR

    PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN

    PROGRAM PASCASARJANA

    UNIVERSITAS UDAYANA

    DENPASAR

    2009

  • ii

    UCAPAN TERIMA KASIH

    Pertama-tama saya panjatkan puji dan syukur ke hadapan Ida Hyang Widi

    Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada saya

    sekeluarga sehingga saya dapat menyelesaikan disertasi ini.

    Banyak pihak telah ikut membantu terwujudnya disertasi ini sehingga saya

    sangat berhutang budi. Ungkapan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya, sungguh

    sulit untuk saya sampaikan dengan kata-kata dan semua bantuan dan budi baik

    tersebut akan tetap saya kenang selama hidup saya.

    Kepada Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD-KHOM, Guru Besar dan Kepala

    Divisi Hematologi-Onkologi Medik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK

    Unud/RSUP Sanglah Denpasar, Pembimbing Utama saya, penghargaan yang tulus

    saya sampaikan atas kesediaan Bapak menjadi pembimbing saya. Izinkanlah saya

    menyatakan terima kasih serta kebanggaan saya menjadi promovendus Bapak.

    Kejelian Bapak dalam mengatur waktu dan cara mengatur strategi untuk

    memecahkan masalah akan selalu menjadi panutan bagi saya pada masa yang akan

    datang.

    Kepada Prof. Dr. A.A.Gde Sudewa Djelantik, SpPK, Guru Besar Patologi

    Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Pembimbing saya, saya ucapkan

    terima kasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan dan dorongan yang telah Bapak

    berikan dengan tekun dan tanpa pamrih kepada saya.

  • iii

    Kepada Prof. dr. Ketut Suata, SpMK, Ph.D, Guru Besar Mikrobiologi

    Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Pembimbing saya, saya sampaikan terima

    kasih atas petunjuk serta dorongan sejak awal masa studi ini dan juga pada saat-saat

    sulit yang saya hadapi.

    Kepada Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD-KHOM , Rektor Universitas

    Udayana, saya menghaturkan terima kasih atas izin yang diberikan pada saya untuk

    mengikuti program S3 di Universitas Udayana.

    Kepada Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD-KHOM, mantan Direktur Program

    Pascasarjana Universitas Udayana, dan Prof. Dr. Ir. Dewa Ngurah Suprapta, Msc,

    Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana saat ini, saya sampaikan terima

    kasih atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan selama saya menempuh

    pendidikan ini.

    Kepada Prof. dr. D.P. Widjana, SpPar., mantan Dekan Fakultas Kedokteran

    Universitas Udayana, dan Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD Dekan fakultas

    Kedokteran saat ini, saya sampaikan terima kasih atas kesempatan yang diberikan

    kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program doktor.

    Kepada dr. I G. Lanang Rudiartha, MHA, Direktur Utama RSUP Sanglah

    Denpasar, serta Prof. Dr. dr. Ketut Suwitra SpPD-KGH Kepala Bagian/SMF Ilmu

    Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, saya sampaikan terima

    kasih atas kesempatan yang diberikan kepada penulis unutk mengikuti pendidikan

    program doktor.

  • iv

    Kepada para promotor, ko-promotor dan tim penguji Prof. Dr. dr. I Made

    Bakta, SpPD-KHOM, Prof. Dr. dr. A.A.Gde Sudewa Djelantik, SpPK, Prof. dr.

    Ketut Suata, SpMK, Ph.D, Prof. Dr. dr. I Wayan Wita, SpJP, FIHA, Prof. Dr. dr.

    Ketut Suastika, SpPD-KEMD, Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D, Prof. dr. N.

    Agus Bagiada, SpBiok., Prof. dr. I Gusti Made Aman, SpFK, Dr. dr. Djumhana

    Atmakusumah, SpPD-KHOM, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-

    besarnya atas segala masukan dan bimbingannya yang sangat berharga.

    Kepada segenap Staf Pengajar Program Studi Doktor, Program Pascasarjana

    Universitas Udayana yang telah banyak memberikan ilmu-ilmu dasar yang sangat

    berharga bagi penulis.

    Kepada Prof. Dr. dr. Nyoman Adiputra, MOH, Ketua Program Studi Doktor,

    Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah banyak memberikan

    kemudahan sehingga disertasi bisa selesai.

    Kepada Kepala Balai Besar Veteriner Bali di Denpasar, penulis ucapkan

    banyak terima kasih atas semua bantuan dan ijinnya sehingga penulis dapat

    melakukan penelitian kultur sel dan dapat menyelesaikan tugas disertasi ini.

    Kepada Prof. Drh. N Mantik Astawa, Ph.D, Bapak W. Ekaana, Bapak I G.

    Mayun, Drh. Putu Agustini, dan petugas lainnya pada Lab. Penyelidikan Penyakit

    Hewan, Balai Besar Veteriner Bali, penulis berterimakasih atas segala bantuannya

    yang diberikan dengan tulus.

  • v

    Kepada sejawat Dr. dr. I Gde Raka Widiana, SpPD-KGH yang telah banyak

    membantu dengan segala masukannya yang sangat bermanfaat dan setia mendorong

    penulis untuk bisa menyelesaikan disertasi ini.

    Kepada sejawat dr. Made Suma Wirawan, SpPD, dr. I G. Ommy Agustriadi,

    SpPD, dr. I Wayan Darya, SpPD, dr. Ni Made Renny Anggraeni Rena, dan para

    residen Ilmu Penyakit Dalam yang telah banyak membantu penulis untuk

    menyesaikan tugas ini.

    Kepada Sdr. Ni Wayan Yoni Astarini, Ni Kadek Sri yang membantu

    menyiapkan semua bahan logistik dan pengambilan bahan darah serta semua bantuan

    berharga lainnya, penulis mengucapkan seribu terimakasih atas semuanya.

    Kepada sejawat para Staf di Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

    Kedokteran Universitas Udayana khususnya kepada dr. Tjok Gde Darmayudha,

    SpPD-KHOM, dr. I Wayan Losen Adnyana, SpPD, yang telah rela mengambil tugas-

    tugas penulis selama menjalani pendidikan Program Pascasarjana, penulis

    menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya.

    Kepada semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan di sini yang telah

    memberikan bantuan sehingga disertasi ini dapat terwujud, penulis sampaikan

    penghargaan dan terima kasih.

    Kepada almarhum Ayah tercinta, terimalah penghargaan ananda karena ajaran

    yang Ayah berikan sangat membantu menghadapi masa-masa sulit dalam studi ini.

    Kepada almarhumah Ibu tercinta, saya sampaikan terima kasih, karena dalam

    kesederhanaan telah memberikan dorongan untuk menghadapi kehidupan ini dengan

  • vi

    tabah. Kepada Ibu dan Bapak Mertua, saya sampaikan terima kasih dan penghargaan

    atas nasehat, dorongan dan bantuan yang diberikan.

    Akhirnya kepada anak tercinta: Putu Imayati, serta isteri tercinta dr. Putu

    Sunadiyati, M Kes., yang dengan penuh pengertian serta pengorbanan telah

    memberikan saya kesempatan untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan disertasi ini,

    saya sampaikan terima kasih dan rasa hormat yang tertinggi.

    Semoga Ida Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan

    kurnia dan rahmat-Nya kepada semua yang telah membantu dalam pelaksanaan dan

    penyelesaian disertasi saya.

  • vii

    ABSTRAK

    PENGARUH PENINGKATAN CADANGAN BESI

    TERHADAP INTERLEUKIN-2 (IL-2) DAN INTERFERON GAMMA (IFN γ)

    PLASMA DAN SUPERNATAN KULTUR LIMFOSIT

    PADA PENDERITA ANEMIA DEFISIENSI BESI :

    KAITANNYA DENGAN INFEKSI

    Besi merupakan kebutuhan tubuh yang esensial untuk proses metabolisme,

    antara lain berperan mengangkut oksigen ke jaringan, untuk sintesis deoxyribo

    nucleic acid (DNA) dan lainnya. Defisiensi besi dapat menimbulkan morbiditas dan

    mortalitas terutama pada anak dan wanita hamil, disamping itu defisiensi besi juga

    menimbulkan gangguan respon tubuh terhadap infeksi karena terjadi penurunan

    fungsi netrofil dan gangguan proliferasi sel T. Penelitian-penelitian juga

    menunjukkan bahwa anemia defisiensi besi dapat menurunkan kapasitas kerja dan

    menyebabkan prestasi kerja yang buruk. Mekanisme gangguan fungsi imunitas pada

    defisiensi besi belum diketahui dengan pasti. Mekanismenya diduga bersifat

    multifaktorial antara lain gangguan sintesis DNA (deoxy ribonucleic acid) akibat

    gangguan aktivitas enzim ribonucleotide reductase, penurunan produksi interleukin

    seperti IL-2 dan IFN γ, gangguan aktivasi dan proliferasi sel T. Dan sitokin tersebut

    merupakan sitokin yang penting untuk komunikasi antara subset limfosit dan sel NK.

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kaitan antara IL-2 dan IFN γ

    dengan infeksi pada ADB dan pengaruh pemberian besi terhadap IL-2 dan IFN γ

  • viii

    plasma dan supernatan kultur limfosit penderita ADB. Secara umum tujuan penelitian

    ini adalah untuk mengetahui hubungan antara cadangan besi dan imunitas seluler

    pada ADB. Penelitian ini terdiri dari dari dua fase dimana fase I menggunakan

    rancangan studi potong lintang dan fase II menggunakan rancangan pra-

    eksperimental untuk melihat pengaruh besi terhadap peningkatan kadar IL-2 dan IFN

    γ. Sampel penelitian ini adalah penderita ADB yang berobat di RSUP Sanglah

    Denpasar, terdiri dari 64 orang penderita dimana 31 orang (48,4%) diantaranya laki-

    laki, sisanya 33 orang (51,6%) perempuan yang masuk pada penelitian fase I dan 26

    orang penderita ADB (16 laki-laki dan 10 perempuan) pada penelitian fase II. Pada

    penelitian fase I ditemukan 17 penderita ADB dengan infeksi (26,7%) dengan umur

    rerata 38 ± 14,48 tahun dan 47 penderita ADB tanpa infeksi (73,3%) dengan umur

    rerata 41 ± 14,54 tahun. Ditemukan perbedaan yang bermakna dimana IL-2 dan IFNγ

    baik dari plasma maupun supernatan kultur limfosit lebih rendah pada ADB dengan

    infeksi dibandingkan dengan kadar plasma IL-2 dan IFN γ (Z= -2,174; p= 0,030

    untuk IL-2 dan Z= -2,639; p= 0,008 untuk IFNγ) maupun supernatan kultur limfosit

    (Z= - 2,509; p= 0,012 untuk IL-2 dan Z= -2,569; p= 0,010 untuk IFNγ) penderita

    ADB tanpa infeksi. Pada penelitian fase II dengan pemberian tablet besi selama 8

    minggu pada 26 penderita ADB ditemukan peningkatan yang bermakna dari kadar

    hemoglobin ( Z= -4,561; p= 0,000 ), kadar MCV (Z= - 4,279; p= 0,000), kadar MCH

    (Z= -3,616; p= 0,000) dan kadar serum feritin (Z= -3,556; p= 0,000). Terhadap

    produksi sitokin akibat pemberian tablet besi selama 8 minggu juga dijumpai adanya

    peningkatan yang bermakna. IL-2 plasma sebelum terapi 7,65 pg/l menjadi 29,3 pg/l

  • ix

    setelah terapi dengan Z=- 3,508; p= 0,000 dan IFN γ yang diperiksa dari plasma

    sebelum terapi 10,15 pg/l menjadi 46,7 pg/l setelah terapi dengan Z= -4,241;

    p= 0,000. Akan tetapi pada pemeriksaan IL-2 dan IFN γ dari supernatan kultur

    limfosit tidak ditemukan peningkatan yang bermakna. Hal ini diduga karena adanya

    proses apoptosis akibat rangsangan in vitro dengan mitogen pada sel yang sudah

    mengalami stimulasi in vivo sebelumnya. Disamping itu peran dari mitogen (antigen)

    spesifik dan feeder cells juga berpengaruh terhadap aktivitas dan produksi sitokin.

    Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan kadar IL-2 dan IFNγ pada

    penderita ADB dengan infeksi lebih rendah dibandingkan dengan IL-2 dan IFNγ pada

    ADB tanpa infeksi. Dengan pemberian tablet besi selama 8 minggu terjadi

    peningkatan kadar plasma IL-2 dan IFNγ akan tetapi tidak terjadi peningkatan yang

    sama pada IL-2 dan IFNγ yang diperiksa dari supernatan kultur limfosit. Oleh

    karenanya dapat dibuat suatu rangkuman yaitu penurunan kadar IL-2 dan IFNγ pada

    penderita ADB akan memudahkan timbulnya infeksi.

    Kata kunci : ADB dengan infeksi, plasma IL-2 dan IFNγ, supernatan IL-2 dan IFNγ ,

    tablet besi.

  • x

    ABSTRACT

    INFLUENCE OF IRON STORE INCREMENT

    ON PLASMA AND LYMPHOCYTE CULTURE SUPERNATANT

    OF INTERLEUKIN -2 ( IL-2 ) AND GAMMA INTERFERON ( IFN γ )

    IN PATIENTS WITH IRON DEFICIENCY ANEMIA :

    RELATIONSHIP WITH INFECTION

    Iron is an essensial nutrient for every living cells because of it role as

    molecule for transport of oxygen, as well as DNA synthesis through synthesis of

    ribonucleotide reductase. Iron deficiency anemia patients, especially pregnant women

    and children are more susceptible to infection because of deteoritation of their

    immune respons. This was supported by findings of decreased in phagocytic activities

    of white blood cells and T-cell lymphocyt proliferation impairment. Iron deficiency

    anemia (IDA) patients also affect working capacities hence diminishing working

    outcomes. Although the underlyng mechanism of immune defect in iron deficiency

    anemia is not clearly understood, multifactorial events considered play their

    contributing roles such as abnormality of ribonucleotide reductase enzym ,

    impairment of T-cell proliferation and activities, altered cytokine production of IL-2

    and IFNγ.

    The study was done to discover the relationship of IL-2 and gamma IFN with

    infection in IDA patients and also effect of iron tablets on plasma IL-2 and IFNγ as

    well as on lymphocyte culture supernatant of IDA patients. Phase I study was

    conducted on cross-sectional analytic design while phase II study was using pra-

  • xi

    experimental (before and after) design. Sixty-four iron defiency anemia patients

    treated in Sanglah General Teaching Hospital were recruited, and 31 (48.4%) out of

    64 IDA patients were man and 33 (51.6%) women, have been selected for phase I

    study. This study found 17 (26.7%) IDA patients with infection , aged 38 ± 14.48

    years and 47 (73.3%) IDA patients without infection, aged 41± 14.54 years.

    Significant differences were noted between plasma and supernatant of IL-2 and

    IFNγ in IDA patients with infection when compared to IDA patients without infection

    (Z= -2.174, p= 0.030 for plasma IL-2 ; Z= - 2.639, p= 0.008 for plasma IFNγ;

    Z= - 2.509, p= 0.012 for supernatant IL-2 ; and Z= -2.569, p= 0.010 for supernatant

    IFNγ ). After 8 weeks of iron tablets, phase II study revealed significant increament

    of hemoglobin ( Z= -4.561, p= 0.000 ), MCV ( Z= - 4.279, p= 0.000), MCH (Z=

    -3.616, p= 0.000) and serum feritin (Z= -3.556, p= 0.000). Also noted, increasing of

    plasma IL-2 and IFNγ. Before treatment level of plasma IL-2 was 7.65 pg/l become

    29.3 pg/l after treatment ( Z=- 3.508, p= 0.000 ) and plasma IFNγ before treatment

    was 10.15 pg/l become 46.7 pg/l after treatment ( Z= -4.241, p= 0.000 ). In contrary,

    supernatant IL-2 and IFNγ failed to show significant increament after 8 weeks of oral

    iron tablets. This was partly explained due to apoptosis process. Theoriticaly if cells

    have been stimulated by in vivo antigen exposures, secondary in vitro induction with

    certain mitogen could lead to in vitro apoptosis. Meanwhile specific mitogen or

    antigen stimulations also required for optimal activation of cells to produces certain

    cytokines.

  • xii

    The study conclusion is that plasma and supernatant IL-2 and IFNγ in patient

    suffered from IDA with infection is significantly lower when compared to IDA

    patient without infection. Iron treatment for 8 weeks increased plasma IL-2 and IFNγ

    significantly but failed to show increament of supernatant IL-2 and IFNγ. It

    therefore summarized that lower level of IL-2 and gamma IFN in patients suffered

    from iron deficiency can lead to increased morbidity.

    Key words : IDA with infection, Plasma IL-2 and IFNγ, Supernatant IL-2 and

    IFNγ, oral iron tablet.

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat

    menurunnya jumlah besi total dalam tubuh sehingga cadangan besi menjadi

    kosong dan penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang. Penyebab utama yang

    paling sering adalah defisiensi asupan besi dan atau kehilangan besi akibat

    perdarahan kronis.

    Penelitian selama dua tahun di RSUP Sanglah Denpasar mendapatkan

    kasus-kasus ADB sebanyak 78 orang dan merupakan 25,8% dari total penderita

    anemia yang dirawat di RSUP Sanglah (Somayana et al., 2002). Penelitian

    etiologi ADB selama 3,5 tahun pada 122 kasus ADB mendapatkan penyebab

    paling sering adalah ankilostomiasis, hemoroid, ulkus peptikum dan keganasan

    saluran cerna. Kejadian infeksi yang bersamaan dengan ADB didapatkan

    sebanyak 14% (Suega et al., 2003).

    Besi merupakan kebutuhan tubuh yang esensial untuk proses metabolisme,

    antara lain berperan mengangkut oksigen ke jaringan untuk produksi energi di

    tingkat sel dan penting dalam transport elektron di mitokondria dalam proses

    respirasi sel, untuk sintesis deoxyribo nucleic acid (DNA) dan lainnya (Conrad,

    2002). Defisiensi besi dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas terutama

    pada anak dan wanita hamil, disamping itu defisiensi besi juga menimbulkan

    gangguan respon tubuh terhadap infeksi karena terjadi penurunan fungsi netrofil

    dan gangguan proliferasi sel T. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa anemia

  • 2

    defisiensi besi bisa menurunkan kapasitas kerja dan menyebabkan prestasi kerja

    yang buruk .

    Hubungan antara infeksi dengan defisiensi zat besi masih belum jelas

    diketahui. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa defisiensi besi yang ringan

    dapat memberikan perlindungan tubuh terhadap infeksi. Sedangkan penelitian lain

    mendapatkan sebaliknya (Walter et al., 1997).

    Sebuah telaah dari 11 penelitian tentang pengaruh pemberian zat besi

    terhadap kejadian infeksi menemukan bahwa insiden malaria, pnemonia dan

    beberapa penyakit infeksi non-malaria cenderung meningkat pada penderita

    dengan defisiensi besi. Peningkatan ini juga terjadi pada wanita yang hamil.

    Namun kesimpulan-kesimpulan penelitian tersebut masih diragukan, karena

    banyak kelemahan dan tidak konsisten (Oppenheimer, 2001). Sebuah systematic

    review tentang pengaruh suplementasi besi terhadap insiden infeksi pada anak-

    anak menemukan bahwa pemberian besi tidak meningkatkan terjadinya insiden

    infeksi pada anak-anak (Gera et al., 2002). Penelitian tentang pengaruh

    suplementasi besi terhadap anak-anak yang terinfeksi dan tidak terinfeksi di Sri

    Lanka menemukan bahwa terjadi penurunan morbiditas dari infeksi saluran nafas

    pada anak-anak yang diberikan suplemen besi. Peneliti menduga bahwa imunitas

    pada anak-anak yang mengalami defisiensi besi menurun sehingga morbiditasnya

    lebih tinggi (De Silva et al., 2003).

    Cell-mediated immunity (CMI) adalah suatu respon imun yang tidak

    melibatkan antibodi akan tetapi lebih banyak melibatkan proses aktivasi sel T

    menjadi sel T efektor, aktivasi sel makrofag dan sel NK (natural killer), serta

    stimulasi produksi interleukin sebagai respon terhadap antigen. Mekanisme ini

  • 3

    ditujukan terhadap mikroba yang berhasil lolos dari proses fagositosis dan

    terhadap mikroba yang menginfeksi sel non-fagositik. Cadangan besi yang

    berkurang akan menurunkan fungsi cell-mediated immunity (CMI) seperti delayed

    hipersensitivity, proliferasi limfosit akibat rangsangan antigen, natural killer

    cytotoxicity dan lain-lain (Walter et al., 1997).

    Penelitian pada tikus mendapatkan bahwa defisiensi besi menyebabkan

    penurunan fungsi sistem imunitas melalui penurunan fungsi timus, gangguan

    proliferasi sel T dan timosit (Kuvibidila et al., 1990). Penelitian pada manusia

    mendapatkan hasil yang bervariasi. Sel T menurun pada defisiensi besi yang

    murni dan kelainan ini dapat dikoreksi dengan pemberian besi (Krantman et al.,

    1982). Moraes-de-Sousa et al. mendapatkan adanya peningkatan limfosit T dari

    55,1% menjadi 66,0% pada ADB sebelum dan setelah diberikan besi (Moraes-de-

    Sousa et al., 1984).

    Interleukin-2 (IL-2) yang diproduksi oleh sel T merupakan faktor

    pertumbuhan (growth factor) untuk semua subpopulasi sel limfosit T dan

    bertanggung jawab terhadap ekspansi klonal limfosit T, setelah limfosit T

    mengenal antigen ( Jacques et al.,1999, Kaiser 2003). Oleh karena fungsi itu maka

    IL-2 dikenal sebagai faktor pertumbuhan sel T.

    IFN γ juga merupakan modulator pertumbuhan dan diferensiasi fungsi sel

    T, dan memperkuat respon sel ini terhadap mitogen dan faktor pertumbuhan.

    Selain itu, IFN γ memiliki kemampuan mengatur ekspresi MHC kelas II,

    menginduksi ekspresi CD-4 pada sel Th1. Sel Th1 memproduksi IL-2 dan IFN γ,

    dimana IFN γ bekerja sinergis dengan IL-1 dan IL-2 yang dibutuhkan untuk

  • 4

    ekspresi reseptor IL-2 pada permukaan sel limfosit T. Adanya blokade terhadap

    reseptor IL-2 oleh antibodi spesifik juga menghambat sintesis IFN γ.

    Pengetahuan tentang pengaruh defisiensi besi terhadap sitokin belum

    banyak berkembang. Dilaporkan adanya penurunan IL-2 pada anak-anak dengan

    defisiensi besi. Lainnya mendapatkan terjadinya peningkatan ekspresi IL-6, IL-4

    pada ADB (Jason et al., 2001). Penelitian pada 81 anak-anak yang mengalami

    defisiensi besi, menemukan produksi IL-2 akibat rangsangan PHA

    (phytohaemagglutinin) lebih rendah pada defisiensi besi dibandingkan tanpa

    defisiensi besi, tetapi kadar IL-2 tidak berbeda apabila tidak dirangsang dengan

    PHA. Penurunan produksi IL-2 menyebabkan gangguan sistem imun melalui

    gangguan pada CMI (Galan et al., 1992).

    Suatu studi binatang percobaan di New York menyebutkan IFN γ bersama

    TNF α dan NOS secara signifikan merupakan kunci utama dalam meningkatkan

    pertahanan hidup pada tikus percobaan yang terinfeksi Yersenia pestis.

    Kuvibidilla et al., melakukan penelitian pada tikus dengan ADB mendapatkan

    adanya penurunan kadar IFN γ dan IL-12 sebesar 64% dan 66% dimana kadar

    sitokin ini berkorelasi positif dengan indikator status besi (r=0,68) (Kuvibidilla et

    al., 2004). Sarjana lain membuktikan adanya penekanan produksi IFN γ pada

    tikus dengan toleransi lipopolisakarida dapat mengakibatkan disfungsi makrofag

    dan selanjutnya akan mengakibatkan gangguan imunitas selular (Varma et al.,

    2001).

    Mekanisme gangguan fungsi imunitas pada defisiensi besi belum jelas

    diketahui. Diduga bersifat multifaktorial antara lain akibat gangguan sintesis DNA

    (deoxy ribonucleic acid) karena fungsi enzim ribonucleotide reductase yang

  • 5

    terganggu, penurunan produksi interleukin seperti IL-2 dan IFN γ, gangguan

    aktivasi dan proliferasi sel T (Walter, 1997; Beard, 2001; Kuvibidilla et al., 2004).

    Terjadi kegagalan aktivitas bakterisidal intraseluler, depresi jumlah limfosit T dan

    thymic atrophy, defek limfosit T-induced proliferative response, kegagalan

    aktifitas sel natural killer, kegagalan produksi IL-2 oleh limfosit, penurunan

    produksi macrophages migration inhibition factor, kegagalan delayed cutaneus

    hypersensitivity termasuk reaktivitas tuberkulin, meskipun tidak semua penelitian

    mendapatkan hasil yang sama (Oppenheimer, 2001).

    Berdasarkan temuan di atas, dapat dipahami bahwa hubungan antara

    interleukin proinflamasi dengan defisiensi besi masih belum jelas. IL-2 dan IFN γ

    sebagai interleukin proinflamasi dan parameter dari CMI diduga produksinya

    menurun pada ADB. Penelitian-penelitian terhadap interleukin ini lebih banyak

    dilakukan pada binatang percobaan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian

    untuk mengetahui kadar IL-2 dan IFN γ penderita ADB pada manusia. IL-2 dan

    IFN γ dipilih pada penelitian ini oleh karena IL-2 adalah satu-satunya growth

    factor untuk aktivasi sel T menjadi sel T efektor antara lain sel Th1 yang

    memproduksi IL-2 dan IFN γ. Sel Th1 diketahui lebih sensitif terhadap gangguan

    akibat defisiensi besi kalau dibandingkan dengan sel Th2 yang memproduksi IL-

    4, IL-5, IL-10, IL-13.

    1.2 Rumusan Masalah

    Dari uraian singkat dalam latar belakang penelitian maka dirumuskan

    masalah penelitian sebagai berikut:

    1. Bagaimanakah profil IL-2 dan IFNγ pada penderita ADB ?

  • 6

    2. Apakah kadar IL-2 pada ADB dengan infeksi lebih rendah dibandingkan

    dengan kadar IL-2 pada ADB tanpa infeksi

    3. Apakah kadar IFNγ pada ADB dengan infeksi lebih rendah dibandingkan

    dengan kadar IFNγ pada ADB tanpa infeksi

    4. Apakah peningkatan cadangan besi dapat meningkatkan kadar IL-2 penderita

    ADB?

    5. Apakah peningkatan cadangan besi dapat meningkatkan kadar IFNγ penderita

    ADB?

    1.3 Tujuan Penelitian

    1.3.1 Tujuan umum

    Untuk mengetahui bagaimana gambaran hubungan cadangan besi dengan

    fungsi imunitas seluler pada penderita ADB.

    1.3.2 Tujuan khusus

    Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

    1. Untuk mengetahui profil IL-2 dan IFNγ pada penderita ADB

    2. Untuk mengetahui bahwa kadar IL-2 lebih rendah pada ADB dengan

    infeksi dibandingkan dengan kadar IL-2 pada ADB tanpa infeksi

    3. Untuk mengetahui bahwa kadar IFN γ lebih rendah pada ADB dengan infeksi

    dibandingkan dengan kadar IFNγ pada ADB tanpa infeksi

    4. Untuk mengetahui pengaruh peningkatan cadangan besi terhadap peningkatan

    kadar IL-2

    5. Untuk mengetahui pengaruh peningkatan cadangan besi terhadap peningkatan

    kadar IFNγ

  • 7

    1.4 Manfaat Penelitian

    1.4.1 Manfaat ilmiah

    Jika terbukti kadar IL-2 dan IFN γ berbeda antara penderita ADB dengan

    infeksi dan ADB tanpa infeksi serta yang mendapatkan tablet besi dengan

    yang tidak mendapatkan tablet besi maka akan memberikan pengetahuan

    tambahan bahwa salah satu mekanisme infeksi pada penderita ADB

    adalah melalui penurunan kadar IL-2 dan IFN γ .

    1.4.2 Manfaat praktis klinis

    Jika terbukti kadar IL-2 dan IFN γ ikut berperan pada mekanisme infeksi

    pada penderita ADB maka dapat dipakai sebagai strategi jangka panjang

    untuk kemungkinan tambahan pengobatan dikemudian hari khususnya pada

    penderita ADB dengan infeksi berat dengan memperhatikan kadar IL-2 dan

    IFN γ- nya.

  • 8

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Pendahuluan

    2.1.1 Anemia defisiensi besi

    Anemia defisiensi besi (ADB) atau iron deficiency anemia (IDA) adalah

    anemia yang timbul akibat menurunnya jumlah besi total dalam tubuh (total iron

    content) sehingga cadangan besi (iron store) menjadi kosong dan penyediaan besi

    untuk eritropoesis berkurang (Lee et al., 1999; Hoffman et al., 2000).

    ADB merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai baik di negara

    maju maupun negara berkembang (Conrad et al., 2002). Di dunia diperkirakan

    2,15 juta individu menderita ADB dan lebih sering terjadi pada wanita dan anak-

    anak (Khusun et al., 1999). Data dari The Third National Health and Nutrition

    Examination Survey (NHANES III; 1988 –1994) di Amerika Serikat menyatakan

    bahwa ADB terjadi pada 1-2% orang dewasa. Defisiensi besi tanpa anemia lebih

    sering terjadi mencapai 11% pada wanita (lebih sering pada premenopausa) dan

    4% pada laki-laki (Stanley, 2000). Di Indonesia seperti halnya di negara

    berkembang prevalensi ADB jauh lebih tinggi. Diperkirakan 20% wanita

    Indonesia menderita defisiensi besi dan rata-rata hemoglobinnya 2 g/dL lebih

    rendah daripada populasi penduduk Amerika (Khusun et al., 1999). Bakta (1993)

    mendapatkan prevalensi anemia defisiensi besi di Desa Jagapati sebesar 27%,

    pada laki-laki 12% dan pada wanita 43,2%. Prevalensi anemia pada ibu hamil di

    Bali didapatkan dengan prevalensi sebesar 46,2%. Prevalensi anemia pada

    penderita rawat inap di Divisi Hematologi-Onkologi Medik RS Sanglah tahun

    1997 ditemukan 76,7% (Suega et al., 1999).

    8

  • 9

    2.1.2 Klasifikasi anemia defisiensi besi

    Defisiensi besi dapat dibagi menjadi tiga tingkat (Bakta, 2000; Hilman et

    al., 2002):

    a. Deplesi besi (iron depletion atau prelatent iron deficiency)

    Pada keadaan ini cadangan besi menurun tetapi kompartemen besi

    transpor dan fungsional masih normal. Disini kadar feritin serum menurun,

    hemosiderin sumsum tulang menurun dan absorpsi besi meningkat, tetapi

    parameter status besi lain masih normal.

    b. Eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoesis atau latent iron

    deficiency)

    Disini cadangan besi sudah kosong, besi transportasi menurun, tetapi

    belum dijumpai anemia secara klinis. Pada keadaan ini dijumpai perubahan

    seperti pada deplesi besi ditambah dengan menurunnya besi serum dan saturasi

    transferin, protoforfirin eritrosit meningkat tetapi kadar hemoglobin dan

    hematokrit masih normal.

    c. Anemia defisiensi besi (iron deficiency anemia)

    Merupakan tingkat yang paling lanjut dari defisiensi besi. Selain kelainan

    di atas, di sini sudah dijumpai anemia hipokromik mikrositer.

  • 10

    2.1.3 Prevalensi anemia defisiensi besi

    Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai

    baik dalam praktek klinik maupun dalam studi lapangan (Lee, 1999). Di seluruh

    dunia didapatkan sekitar 2 juta penderita ADB (Viteri, 1998).

    Prevalensi ADB bervariasi tergantung geografis, status sosial ekonomi dan

    umur. Prevalensi di negara maju jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara

    berkembang, seperti terlihat pada tabel 1 di bawah ini (Baker, 2000).

    Tabel 2.1 Prevalensi Anemia Defisiensi Besi (Baker, 2000)

    Prevalensi Defisiensi Besi: National Helth and Nutrition Examination Survey

    (NHANES) III (Amerika Serikat)

    DEFISIENSI BESI

    Wanita berusia 20-49 tahun

    Wanita berusia 50-69 tahun

    Wanita berusia lebih dari 70 tahun

    Pria berusia 20-49 tahun

    Pria berusia 50-69 tahun

    Pria berusia lebih dari 70 tahun

    ANEMIA DEFISIENSI BESI

    Wanita tidak hamil berusia 20-49 tahun

    Wanita berusia 50 tahun atau lebih Pria berusia 20-49 tahun

    Pria berusia 50 tahun atau lebih

    Wanita hamil

    Trimester pertama

    Trimester kedua

    Trimester ketiga

    United Nations Study of Developing Countries

    (estimasi)

    ANEMIA DEFISIENSI BESI

    Wanita dewasa Pria dewasa

    Wanita hamil

    11 %

    5 %

    7 %

    < 1 %

    2 %

    4 %

    5 %

    2 % < 1 %

    ≤ 2 %

    9 %

    14 %

    37 %

    18 % 10 %

    18 % -38 %

    Laporan dari Indonesia menunjukkan angka yang cukup tinggi. Martoatmojo et

    al., (1973) pada penelitian di Jawa Barat, Yogya dan Bali mendapatkan

    prevalensi 16-50% pada laki-laki dewasa, 25-84% pada wanita tidak hamil.

    Muhilal et al., dalam survei yang berkaitan dengan Survei Kesehatan Rumah

    Tangga 1992 mendapatkan prevalensi anemia pada wanita hamil sebesar 55%.

  • 11

    Prevalensi anemia di Bali tidak jauh berbeda dengan angka-angka di

    Indonesia umumnya. Di Desa Pejaten didapatkan prevalensi 48% pada laki-laki

    dan 54% pada wanita (Bakta et al., 1983). Prevalensi anemia 36% pada laki-laki

    dan 37% pada wanita dijumpai pada pensiunan pegawai negeri di Kabupaten

    Jembrana dengan 61% kasus anemia disebabkan oleh defisiensi besi (Bakta et al.,

    1989). Bakta (1993) mendapatkan prevalensi anemia defisiensi besi di Desa

    Jagapati sebesar 27%, pada laki-laki 12% dan pada wanita 43,2%. Prevalensi

    anemia pada penderita rawat inap di Divisi Hematologi-Onkologi Medik RS

    Sanglah tahun 1997 ditemukan 76,7% (Suega et al.,1999). Penelitian anemia ibu

    hamil di Bali dengan total sampel sebesar 1684 orang di seluruh Bali medapatkan

    prevalensi anemia sebesar 46,2%.

    2.1.4 Etiologi anemia defisiensi besi

    Penyebab ADB adalah adanya ketidakseimbangan antara masukan besi

    melalui absorpsi usus dengan jumlah besi yang dibutuhkan oleh tubuh yang

    mengimbangi kehilangan besi fisiologik atau patologik dan kebutuhan akibat

    pembentukan jaringan. Secara garis besar penyebab ADB adalah ( Lee, 1999;

    Bakta, 2000):

    1. Kehilangan besi akibat perdarahan menahun, yang dapat berasal dari:

    a. Saluran cerna: akibat tukak peptik, karsinoma lambung, karsinoma kolon,

    divertikulitis, hemoroid dan infeksi cacing.

    b. Saluran genetalia wanita: menorhagia, metrorhagia.

    c. Saluran kemih: hematuria.

    d. Saluran nafas: hemoptoe ;

  • 12

    2. Faktor nutrisi: akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau

    kualitas besi (bioavaibilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat,

    rendah vitamin C dan rendah daging) ;

    3. Kebutuhan besi meningkat seperti pada prematuritas, anak dalam masa

    pertumbuhan dan kehamilan ;

    4. Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronis.

    Pada penelitian retrospektif di RS Sanglah Denpasar penyebab ADB

    tersering yang ditemukan adalah perdarahan kronis gastrointestinal dan

    ankilostomiasis (Kandarini et al., 2001).

    2.1.5 Gejala klinik anemia defisiensi besi

    Gejala klinik anemia defisiensi dapat dibagi menjadi (Lee, 1999; Bakta,

    2000):

    1. Gejala umum anemia (sindrom anemia): lemah, mata berkunang, telinga

    mendenging, dan lain-lain, yang timbul secara perlahan-lahan.

    2. Gejala khas akibat defisiensi besi : disfagia, stomatitis angularis, dan kuku

    sendok (koilonychia). Kumpulan gejala: anemia hipokromik mikrositer,

    disfagia, atrofi papil lidah disebut sebagai Plumer-Vincent syndrome atau

    Patterson Kelly syndrome.

    3. Gejala penyakit dasar yang menyebabkan anemia defisiensi besi: gejala

    penyakit cacing tambang, gejala kanker kolon dan lain-lain.

  • 13

    Tabel 2.2 Pemeriksaan Laboratorium pada Anemia Defisiensi Besi (Hilman et al.,

    2000)

    Deplesi Cadangan

    Besi

    Eritropoesis

    kurang besi

    Anemia defisiensi besi

    Hemoglobin Normal Penurunan

    ringan

    Penurunan bermakna

    (mikrositik/hipokromik)

    Cadangan besi

    S I (µg/dL)

    TIBC (µg/dL)

    Persentase saturasi

    Feritin (µg/L)

    Persentase sideroblas

    Protoporfirin

    Sel darah merah

    (µg/dL RBC)

  • 14

    saturasi transferin, protoporfirin eritrosit, MCV, dan RDW (Cook ,1986 ; Skikne,

    1988; Hercberg, 1991).

    Kriteria diagnosis anemia defisiensi besi ( yang merupakan modifikasi dari

    kriteria Kerlin et al., 1979 ) adalah (Bakta, 2000):

    Anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV < 80 fL dan

    MCHC < 31 % , dengan

    a. Dua dari tiga parameter di bawah ini:

    1. Besi serum < 50 ug/dL

    2. TIBC > 350 ug/dL

    3. Saturasi transferin < 15%, atau

    b. Feritin serum < 20 ug/L, atau

    c. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl’s stain) menunjukkan

    butir-butir hemosiderin negatif, atau

    d. Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lain yang

    setara) selama empat minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2

    g/dL.

    Di klinik baku emas (gold standard) untuk diagnosis anemia defisiensi

    besi adalah pengecatan besi pada sumsum tulang (Perl’s stain).

    2.1.7 Diagnosis banding anemia defisiensi besi

    Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dari anemia hipokromik mikrositer

    lain, serta anemia yang disertai gangguan metabolisme besi (Frewin et al., 1997;

    Lee, 1999; Hoffman, 2000):

    1. Anemia akibat penyakit kronik

    2. Thalasemia mayor atau intermedia

  • 15

    3. Anemia sideroblastik

    Untuk lebih jelasnya diagnosis banding anemia defisiensi besi dapat

    dilihat pada tabel 3 di bawah ini.

    Tabel 2.3 Diagnosis diferensial anemia defisiensi besi (Bakta, 2000).

    Parameter ADB ACD Thalasemia A. sideroblastik

    Anemia

    Morfologi

    Retikulosit

    Anisositosis

    Besi serum

    TIBC

    Feritin serum

    Besi sumsum tulang

    Ring sideroblast

    Elektroforesis Hb

    Bisa berat

    Hipo-mikro

    Normal

    Berat

    Menurun

    Meningkat

    Menurun

    Negatif

    Negatif

    Normal

    Ringan-sedang

    Normo-normo

    Normal

    Ringan

    Menurun

    Menurun

    Normal

    N/meningkat

    Negatif

    Normal

    Bisa berat

    Hipo-mikro

    Meningkat

    Berat

    Meningkat

    Menurun

    Meningkat

    Meningkat

    Negatif

    Abnormal

    Bisa berat

    Populasi ganda

    N/menurun

    Sedang

    N/meningkat

    N/menurun

    Meningkat

    Normal

    Positif

    Normal

    2.1.8 ADB menimbulkan berbagai kelainan

    Berbagai kelainan yang ditimbulkan oleh ADB (Conrad,2002):

    1. ADB akan menurunkan kemampuan kerja karena otot mudah lelah akibat

    kekurangan ensim yang mengandung besi yang diperlukan untuk metabolisme

    otot ;

    2. Anemia yang berat akan menyebabkan hipoksia sehingga akan menimbulkan

    insufisiensi koroner dan miokardial iskemia serta dapat memperburuk

    penyakit paru kronis ;

    3. Kerusakan dari epitel dan mukosa dapat dijumpai pada penderita ADB.

    adanya kuku yang abnormal, atropi papil lidah serta stomatitis angularis. Juga

    dapat ditemukan adanya disfagia, gastritis atrofikan dan gangguan vili-vili

    usus halus ;

  • 16

    4. Intoleransi terhadap udara dingin dapat dijumpai pada penderita ADB dan

    ditandai dengan adanya gangguan vasomotor, nyeri saraf, kesemutan dan rasa

    tebal di kulit ;

    5. Kadang-kadang ADB disertai dengan edema papil, peningkatan tekanan intra

    kranial dan gejala seperti pseudo tumor serebri ;

    6. Adanya gangguan fungsi imunitas sehingga penderita sangat rentan terhadap

    infeksi, namun bukti untuk ini belum begitu kuat ;

    7. Anak-anak dengan ADB sering menunjukkan gejala kelainan tingkah laku.

    Bayi sering dengan gangguan pertumbuhan dan gangguan proses belajar pada

    anak-anak usia sekolah. Dilaporkan IQ anak dengan ADB secara signifikan

    lebih rendah dibandingkan dengan anak lainnya yang tidak menderita ADB.

    Semua gejala ini akan menghilang apabila dilakukan koreksi dengan tablet

    besi.

    2.1.9 Terapi anemia defisiensi besi

    Pada dasarnya pengelolaan ADB terdiri dari (Bakta, 2000):

    a. Pemberian besi untuk mengisi kekurangan besi ;

    b. Pengobatan terhadap penyakit dasar ;

    c. Tindakan untuk mengatasi keadaan darurat.

    Berat dan penyebab ADB merupakan faktor yang menentukan dalam

    memilih cara terapi yang tepat pada ADB. ADB yang simtomatik atau dengan

    gangguan hemodinamik memerlukan transfusi sel darah merah. Sedangkan pada

    penderita yang lebih muda, memiliki daya adaptasi yang cukup baik terhadap

    keadaan anemia tersebut, sehingga dapat diterapi dengan lebih konservatif .

    Sebagian besar penderita ADB dapat diobati dengan besi oral saja. Penderita

  • 17

    diberikan transfusi darah merah apabila (Bakta, 2000; Adamson, 2001; Beutler,

    2003):

    1. Gejala anemia yang sangat simtomatik ;

    2. Anemia dengan kelainan hemodinamik ;

    3. Jika direncanakan operasi segera.

    4. Ibu hamil dengan kadar Hb < 7 g/dL pada dua minggu terakhir masa

    kehamilannya.

    2.1.9.1 Terapi besi oral

    Hampir sebagian besar penderita ADB, memberikan respon dalam bentuk

    perbaikan klinik dan laboratorik dengan preparat besi oral. Bermacam-macam

    sediaan besi yang beredar dari mulai garam besi yang sederhana sampai sediaan

    besi yang komplek. Pada umumnya semua sediaan besi dapat diabsorpsi dengan

    baik di saluran cerna (Adamson, 2001; Beutler, 2003).

    Untuk tujuan replacement therapy dosis besi diberikan adalah dosis 300

    mg per hari dibagi dalam 3 atau 4 dosis. Besi sebaiknya diberikan dalam keadaan

    lambung kosong, karena beberapa bahan makanan dapat menghambat

    absorpsinya. Pemberian besi 200-300 mg perhari akan menyebabkan terjadinya

    absorpsi besi sebanyak 50 mg per hari. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya

    peningkatan produksi eritrosit 2-3 kali lipat bila sumsum tulang dan rangsangan

    eritropoitin dalam keadaan normal. Target terapi ADB adalah tidak hanya

    memperbaiki anemianya, tetapi juga meningkatkan cadangan besi tubuh paling

    sedikit mencapai ½-1 g. Untuk mencapai hal ini penderita ADB perlu diberikan

    besi 6-12 bulan (Adamson, 2001).

  • 18

    Diperkirakan sebanyak 10-20% pemberian besi oral akan disertai dengan

    ganggan nyeri perut, mual, muntah, diare atau konstipasi. Gejala ini biasanya

    timbul 30-60 menit setelah terapi, kadang-kadang bisa timbul dalam 2-3 hari

    setelah terapi. Efek samping ini berhubungan dengan dosis, makin tinggi dosis

    kemungkinan terjadinya keluhan di atas makin besar (Adamson, 2001; Beutler,

    2003).

    Respon pengobatan tergantung dari absorpsi besi dan rangsangan

    eritropoitin. Retikulosit umumnya mulai meningkat pada hari keempat sampai

    ketujuh setelah terapi besi. Tidak adanya respon menunjukkan adanya beberapa

    kemungkinan seperti diagnosis salah, dosis besi yang kurang, kepatuhan penderita

    kurang, masih ada perdarahan yang cukup banyak atau adanya penyakit lain

    bersama-sama ADB (Andrews, 1999; Bakta, 2000).

    2.1.9.2 Terapi besi parenteral

    Indikasi utama pemberian besi parenteral adalah perdarahan yang tidak

    terkontrol, intoleransi, malabsorpsi dan kepatuhan terhadap besi oral yang rendah.

    Apabila satu atau dua jam setelah pemberian sulfas ferosus 60 mg, terjadi

    peningkatan besi serum kurang dari 100 μg% dari besi sebelumnya pada saat

    puasa maka secara sederhana dapat disimpulkan terjadi malabsorpsi besi (Beutler,

    2003).

    Pemberian besi secara parenteral dapat dilakukan dengan dua cara yaitu

    pemberian besi sekaligus dengan menghitung kebutuhan besi dan cadangan besi

    dan yang lainnya adalah pemberian besi dalam dosis kecil dan berulang-ulang.

    Jumlah besi yang dibutuhkan adalah BB (kg) X 2,3 X [15 – Hb penderita (g/dL)]

    + 500 atau 1000 mg untuk cadangan besi (Beutler, 2003).

  • 19

    2.2 Metabolisme Besi

    2.2.1 Metabolisme besi pada manusia

    Orang dewasa laki-laki dalam keadaan normal mengandung besi 35-45

    mg/kgBB, sedangkan wanita premenopause mempunyai kandungan besi yang

    lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh karena kehilangan darah yang berulang

    akibat menstruasi. Lebih dari dua pertiga besi tubuh berada dalam hemoglobin.

    Masing-masing eritrosit mengandung jutaan atom besi, dan dalam keadaan normal

    terjadi pertukaran besi sebanyak 2 X 1020 atom perhari. Oleh karena itu anemia

    merupakan gejala utama defisiensi besi (Andrews, 1999).

    Besi merupakan nutrisi esensial untuk berlangsungnya beberapa fungsi

    metabolisme tubuh untuk semua organisme hidup. Pada manusia besi adalah

    komponen penting dari ratusan protein dan enzim penting yang berperan dalam

    setiap proses biologik tubuh. Beberapa senyawa penting yang mengandung besi

    antara lain heme untuk pembentukan hemoglobin dan transport oksigen, sitokrom

    diperlukan untuk produksi energi di tingkat sel dan penting dalam transport

    elektron di mitokondria dalam proses respirasi sel. Seperti diketahui respirasi sel

    merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup setiap mahluk di

    dunia ini. Pada proses ini bahan makanan akan dimetabolisme menjadi molekul

    energi dalam bentuk ATP dan panas. Ada tiga fase utama dari proses respirasi sel

    yaitu glikolisis, siklus Kreb dan electron transport chain (rantai respirasi). Pada

    proses oksidasi fosforilasi ini diperlukan enzim penting seperti sitokrom dan

    NADPH dehydrogenase yang mengandung besi agar metabolisme berfungsi baik.

    Enzim lain yang penting yang mengandung besi adalah katalase, DNA

    ribonuklease dan mieloperoksidase. Disamping itu beberapa fungsi metabolisme

  • 20

    yang membutuhkan besi adalah fungsi dan perkembangan otak, aktivitas otot dan

    sintesis neurotransmiter, fungsi imunitas tubuh, fungsi detoksifikasi hepar dan

    fungsi sintesis DNA.

    Tempat-tempat besi tubuh selain hemoglobin antara lain hepatosit,

    makrofag retikuloendotelial dan otot. Sel hepatosit dapat mengikat besi yang

    diabsorpsi dari usus atau kelebihan besi serum akibat kelebihan kapasitas daya

    ikat transferin. Makrofag retikuloendotelial mengambil besi dari eritrosit yang

    sudah tua dan mengembalikan lagi ke transferin untuk dipergunakan lagi

    (Andrews, 1999; Fairbank et al., 2001).

    Siklus metabolisme besi merupakan sistem yang tertutup. Masing-masing

    atom besi mengalami resirkulasi dari plasma dan cairan ekstraseluler ke sumsum

    tulang dan berikatan di dalam hemoglobin. Selanjutnya eritrosit akan beredar di

    dalam sirkulasi kurang lebih selama empat bulan. Eritrosit yang sudah tua akan

    difagositosis dalam sistem retikuloendotelial dan besi yang berada dalam eritrosit

    tersebut akan dilepaskan kembali ke dalam plasma (Andrews, 1999; Pietrangalo,

    2002).

    Setiap siklus tersebut, sebagian kecil besi akan disimpan dalam bentuk

    feritin atau hemosiderin. Sebagian kecil besi tubuh akan hilang, antara lain

    melalui urin, feses, keringat, kerusakan epitel atau perdarahan. Jumlah yang

    hilang ini diperkirakan 1-2 mg per hari dan setara dengan jumlah yang diabsorpsi

    (Andrews, 1999; Fairbank et al., 2001; Pietrangalo, 2002).

    Walaupun absorpsi besi dari saluran cerna sedikit, tetapi harus terdapat

    pengaturan yang sempurna agar tidak terjadi kelebihan besi dalam tubuh.

    Absorpsi besi merupakan salah satu mekanisme pengaturan besi dalam tubuh. Hal

  • 21

    ini disebabkan karena tidak ada mekanisme fisiologis yang mengatur pengeluaran

    kelebihan besi tubuh. Besi diabsorpsi di duodenum dan bagian proksimal jejenum

    (Andrews, 1999; Fairbank et al., 2001).

    Besi yang berasal dari makanan tidak terikat dengan transferin di dalam

    lumen intestinal. Mekanisme transportasi ion besi dari saluran cerna ke dalam

    plasma tidak sepenuhnya diketahui. Proses ini melibatkan enzim ferrireductase,

    divalent metal transporter (DMT1), hephaestin dan integrin. Absorpsi besi

    meningkat bila terjadi defisiensi besi dan menurun bila terjadi kelebihan besi

    (Andrews, 1999; Beutler et al., 2003, Fairbank et al., 2001).

    Besi di dalam plasma akan diikat oleh transferin dan mengangkut besi ini

    menuju reseptor transferin. Ikatan antara besi-transferin akan berikatan dengan

    reseptor transferin pada permukaan prekursor eritroid. Komplek ini selanjutnya

    mengalami endositosis dan membentuk endosom. Pompa proton akan

    menyebabkan pH di dalam endosom rendah sehingga terjadi pelepasan ion besi

    dari transferin menuju ke sitoplasma melalui DMT1. Selanjutnya reseptor

    transferin dan DMT1 akan kembali ke permukaan sel untuk proses yang sama

    berikutnya (Andrews, 1999; Fairbank et al., 2001).

    2.2.2 Metabolisme besi pada kuman

    Besi merupakan faktor pertumbuhan yang penting bagi bakteri patogen.

    Besi diperlukan oleh hampir sebagian besar mikroorganisme untuk beberapa

    proses metabolisme yang penting seperti replikasi kuman, transport elektron,

    glikolisis, sintesis DNA dan pertahanan terhadap reactive oxygen intermediates

    (ROI). Sistem pengambilan besi pada kuman, memungkinkan kuman tersebut

  • 22

    untuk berkompetisi mendapat elemen penting seperti besi dari lingkungan

    (Schaible et al., 2004).

    Pada tubuh manusia banyak sel dan organ yang memiliki mekanisme

    spesifik untuk transport besi melalui membran sel. Sumber besi yang utama untuk

    produksi haem dan proliferasi sel adalah transferin. Protein transferin ini dapat

    membawa dua atom besi. Besi ini akan dihantarkan kepada sel yang

    membutuhkan besi secara fisiologis melalui reseptor transferin. Pada umumnya

    reseptor ini ditemukan pada permukaan eritroblas, yang bertanggung jawab atas

    terbentuknya hemoglobin. Sekarang telah diketahui variasi-variasi molekul besi di

    dalam tubuh (Marx, 2002).

    Gambar 2.1 Akses mikroorganisme terhadap cadangan besi tubuh (Marx 2002)

    Sumber-sumber besi tubuh yang dapat diperoleh oleh mikroorganisme adalah di

    dalam plasma, sel, saluran cerna dan permukaan tubuh.

    Tf: transferrin; NTBI: non-transferrin-bound iron; BM: bone marrow; Hb:

    hemoglobin; RBC: red blood cells; MPS: momonuclear phagocyte system

  • 23

    Mikroorganisme mempunyai beberapa cara untuk mengambil besi dari

    sekitarnya baik dari cairan tubuh fisiologis, saluran intestinal, saluran nafas,

    urogenital, kulit dan permukaan tubuh. Molekul yang berperan terhadap

    pengambilan besi tersebut dapat berupa reseptor, kanal yang lokasinya di bagian

    luar atau dalam membran sel mikroba dan siderophores yang memiliki afinitas

    yang tinggi terhadap molekul pengikat besi. Mekanisme kuman untuk

    memperoleh besi sangat komplek. Beberapa kuman menunjukkan adanya

    mekanisme pengambilan besi lebih dari satu dan pada saat yang sama.

    Gambar 1 menunjukkan kompleksitas dari sumber-sumber besi, sistem

    transport pada bakteri gram negatif. Membran luar dari bakteri ini tersusun oleh

    lipid bilayer, tempat dari insersi protein. Molekul hidrofilik yang lebih kecil dari

    700 Da dapat melewati pori-pori air pada priotein terinsersi. Komplek besi pada

    umumnya berukuran lebih dari 700 Da sehingga memerlukan reseptor spesifik

    untuk dapat melewati membran tersebut (Weinberg, 1984; Marx , 2002).

    2.2.2.1 Transferin dan laktoferin sebagai sumber besi

    Mikroorganisme yang menggunakan sistem transport transferin maupun

    laktoferin dapat mengambil besi secara langsung dari plasma, seperti pada

    Haemophillus influenzae, Neisseria meningitidis dan Neisseria gonorrhoeae.

    Mekanisme internalisasi dari transferin-besi pada mikroba berbeda dengan proses

    pada mamalia (Weinberg, 1984; Marx , 2002).

    Diduga ada dua macam transferrin-binding protein pada mikroba, yaitu

    Tbp1 dan Tbp2. Transferrin-binding protein ini dapat mengikat molekul

    transferin-Fe(III). Tbp1 merupakan bagian dari protein lapisan membran luar dan

    Tbp2 merupakan lipoprotein pada lapisan membran dalam. Berbeda halnya

  • 24

    dengan transferin reseptor pada mamalia, reseptor tansferrin pada mikroba tidak

    mengalami proses internalisasi. Setelah terjadinya ikatan antara transferin dengan

    Tbp1 maupun Tbp2, besi akan dilepaskan dan masuk kedalam periplasmic space

    melalui lubang (gate pore). Selanjutnya besi akan diikat oleh ferric-binding

    protein dan dibawa masuk kedalam sitoplasma (Weinberg, 1984; Marx , 2002).

    Sistem transport untuk transferin maupun laktoferrin sangat spesifik dan

    sangat tergantung dari host. Lapisan membran luar N meningitidis dapat berikatan

    dengan transferin manusia tetapi tidak dapat berikatan dengan transferin kerbau

    atau sapi. Mikroba tetap dapat hidup di dalam host apabila memiliki reseptor

    spesifik terhadap transferin. Transferin atau lactoferrin binding system akan

    menentukan lokasi dari infeksi. Kuman yang menggunakan transferin binding

    system untuk mengambil besi biasanya dijumpai di dalam plasma atau cairan

    serebrospinal. Sedangkan kuman yang menggunakan lactoferrin binding system

    biasanya terdapat pada permukaan mukosa seperti mukosa saluran nafas,

    gastrointestinal dan urogenital (Weinberg, 1984; Marx , 2002).

    2.2.2.2 Haem dan hemoglobin sebagai sumber besi

    Dalam tubuh manusia, hemoglobin yang berada di dalam eritrosit

    mengandung besi paling banyak dibandingkan sumber besi lainnya di dalam

    tubuh dan berbagai kuman patogen mempunyai berbagai macam cara untuk

    mendapat besi dari eritrosit ini. Beberapa kuman dapat mengambil besi dari haem.

    Haem ini akan ditransportasikan menuju ke periplasma melalui haem-specific

    outer membrane receptor selanjutnya ke dalam sitoplasma. Beberapa bakteri

    dapat mengambil besi dari hemoglobin atau dari haem dan hemoglobin. Afinitas

    terhadap hemoglobin manusia lebih tinggi dibandingkan terhadap mamalia yang

  • 25

    lainnya. Haptoglobulin dan haemopexin dapat bersifat bakteriostatik apabila tidak

    mempunyai besi (Marx, 2002).

    Strategi yang paling efektif dari kuman untuk mendapatkan besi adalah

    dengan merusak eritrosit dan mengambil besi dari hemoglobin. Cara ini terjadi

    pada Plasmodium sp dan beberapa bakteri seperti Bartonella spp.

    2.2.2.3 Siderophores

    Bakteri dan jamur dapat memproduksi molekul yang disebut siderophores.

    Molekul ini merupakan molekul dengan berat molekul rendah dan dapat

    mengadakan ikatan dengan besi. Disekresi oleh kuman di lingkungannya dan

    dapat mengambil besi dari ligan, kemudian komplek besi-siderophore kembali ke

    kuman. Siderophore merupakan substrat yang spesifik bagi outer dan inner

    membrane receptor. Beberapa contoh siderophore adalah ferrichrome,

    enterobactin atau enterochelin, staphyloferrin A, ferrioxamine (Marx, 2002).

    Pada bakteri gram negatif ferrichrome dapat berikatan dengan membran

    transporter yang disebut FhuA. Selanjutnya ferrichrome akan dihantarkan menuju

    ke sitoplasma. Pada keadaan besi host yang sangat rendah, sintesis FhuA

    meningkat ratusan sampai ribuan kali. Sebaliknya pada jumlah besi yang

    berlebihan akan terjadi penurunan jumlah FhuA. Hal ini merupakan mekanisme

    pertahanan kuman untuk mencegah terjadinya kelebihan besi yang dapat merusak

    sel dan DNA. Secara skematis transpor besi melalui siderophore dapat

    digambarkan pada gambar 2 (Marx, 2002).

  • 26

    Gambar 2.2 Gambar skematik mekanisme pengambilan Fe(II) dan Fe(III) pada

    bakteri gram negatif (Marx 2002)

    2.2.2.4 Pengurangan penyediaan besi sebagai mekanisme pertahanan host

    Adanya invasi kuman akan menyebabkan host mengurangi ketersediaan

    besi yang dibutuhkan oleh kuman. Beberapa mekanisme pengurangan tersebut

    adalah (Weinberg, 1978; Weinberg, 1984):

    1. Peningkatan ekskresi besi endogen di urine, keringat, feses dan empedu.

    2. Penurunan absorpsi besi eksogen di saluran cerna.

    3. Penurunan besi plasma akibat perpindahan besi dari plasma ke dalam

    cadangan besi.

    4. Adanya protein pengikat besi di tempat masuknya kuman.

    5. Peningkatan sintesis host iron-binding protein.

    6. Penekanan sintesis siderophore mikroba.

  • 27

    2.3 Sistem Imunitas Manusia

    Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan badan untuk

    mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang

    timbul baik dari luar maupun dari dalam tubuh sendiri. Mekanisme ini diperlukan

    untuk tiga hal utama yaitu: pertahanan, homeostasis dan pengawasan. Fungsi

    pertahanan ditujukan terhadap invasi kuman mikroorganisme, homeostasis untuk

    mengeliminasi komponen tubuh yang sudah tua dan tidak berguna bagi tubuh

    sedang fungsi pengawasan diperlukan untuk menghancurkan sel-sel yang

    bermutasi ganas.

    Ada dua mekanisme utama tubuh dalam rangka mempertahan diri dari

    serangan kuman yaitu respon imun yang alami (innate) dan respon yang didapat

    (adaptive). Respon alami timbul dengan intensitas yang hampir sama pada setiap

    paparan, oleh karena sistem imun alami tidak mempunyai mekanisme memori.

    Respon ini timbul lebih dulu dari respon adaptif. Komponen seluler dari sistem ini

    adalah makrofag, granulosit dan sel NK (Natural Keller) yang dengan sistem

    reseptor (toll-like) dapat membedakan antara benda asing dengan sel sendiri

    (Sabroe et al., 2003). Respon imun adaptif adalah antigen-specific dimana respon

    yang didapat akan meningkat sesuai dengan jumlah paparan yang terjadi sehingga

    respon adaptif akan makin efisien dan makin cepat pada paparan ulang. Ada

    berbagai antigen yang dapat memicu respon adaptif dan imunitas ini dapat

    berlangsung lama tapi tidak permanen (Deckera, 2004). Sistem ini dapat

    membedakan antara self dan non-self dengan menghancurkan yang non-self dan

    membiarkan yang self. Respon imun adaptif meliputi proses proliferasi dari sel B

    dan T yang antigen-spesific, yang akan terjadi apabila ada ikatan antara reseptor

  • 28

    permukaan sel ini dengan antigen. Sel tertentu yang dikenal sebagai APC (antigen

    presenting cell) akan membawakan antigen kepada sel limfosit dan akan terjadi

    kolaborasi diantara mereka sebagai respon terhadap antigen tersebut. Sel limfosit

    B akan memproduksi imunoglobulin yang dapat mengikat antigen sehingga dapat

    mengeliminasi mikroorganisme ekstraseluler. Sel T akan membantu sel B untuk

    membuat antibodi dan juga dapat membunuh patogen intra seluler dengan

    mengaktifkan makrofag serta membunuh sel yang terinfeksi oleh virus. Respon

    imun baik alami maupun yang adaptif diperlukan untuk bekerjasama dalam

    rangka mengeliminasi patogen (Delves et al.b, 2000; Decker a, 2004).

    Semua komponen seluler dari sistem imun berkembang dari sel induk

    pluri-potent di sumsum tulang dan akan bersirkulasi ke jaringan ekstraseluler. Sel

    B akan mengalami pematangan di sumsum tulang sedangkan sel T harus masuk

    ke kelenjar timus untuk menjalani proses pematangan sehingga dapat menjalani

    fungsinya dengan baik. Respon adaptif akan mengalami proses pematangan pada

    kelenjar limfe, lien dan jaringan limfe di mukosa (MALT = mucosal associated

    lymphoid tissue), yang disebut sebagai jaringan limfoid sekunder, dimana proses

    aktivasi sel B dan sel T dilakukan pada kompartemen yang berbeda. Sel B akan

    mengalami aktivasi pada germinal center sedangkan sel T lebih banyak

    didapatkan di daerah parafolikuler.

  • 29

    2.3.1 Pengenalan dalam proses imun

    Untuk dapat menimbulkan infeksi, bahan patogen harus berhasil melalui 3

    tingkatan pertahanan tubuh yaitu adanya barier permukaan seperti ensim dan

    mukus baik yang langsung bersifat antimikrobial maupun dengan menghambat

    perlengketan dari mikroba tersebut. Setelah mampu melawati barier ini maka

    patogen tersebut akan berhadapan dengan 2 jenis pertahanan yaitu respon imun

    yang alami (innate immune responses) dan respon imun yang didapat (acquired

    immune responses). Tubuh secara potensial dapat bereaksi hampir pada semua hal

    yang dapat berikatan dengan reseptor sistem imun. Molekul antigen ini bisa

    merupakan molekul kecil yang simpel sampai pada molekul sangat kompleks.

    Baik reseptor sel T maupun reseptor sel B dapat mengikat bagian dari antigen

    yang dikenal dengan epitop sehingga membentuk komplek ikatan antigen reseptor

    yang selanjutnya akan mestimulasi respon tubuh yang sesuai. Antigen yang dapat

    memicu respon imun disebut sebagai imunogenik, dan tidak semua antigen secara

    alami imunogenik. Antigen dengan molekul kecil yang non-imunogenik disebut

    sebagai hapten dan harus berikatan dengan molekul yang lebih besar yang

    imunogenik yang disebut dengan carriers, untuk dapat menimbulkan respon

    imun. Sedang karbohidrat harus berikatan dengan protein agar dapat merangsang

    respon imun seperti pada kasus antigen polisakarida pada vaksin Haemophilus

    influenzae. Banyak mikroorganisme secara alami mempunyai apa yang disebut

    adjuvant immunostimulatory molecules seperti lipopolysaccharide dan muramyl

    dipeptide sehingga dapat menambah respon imunitas (Delves et al., 2000).

  • 30

    2.3.2 Perkembangan sel T dan sel B

    Perkembangan sel limfosit dan mieloid dari sel induk di hati (pada infant)

    dan sumsum tulang dituntun olah adanya interaksi antara sel stromal (sel

    fibroblas) dan interleukin. Pada fase awal dari perkembangan sel limfosit tidak

    diperlukan adanya stimulasi antigen akan tetapi begitu sel ini mengekspresikan

    reseptor pada permukaannya maka akan diperlukan stimulasi antigen yang sesuai

    untuk dapatnya sel yang bersangkutan berkembang lebih jauh dan survive.

    Sel B yang berkembang pada fase awal dari kehidupan dikenal sebagai sel

    B1. Hampir semua sel B1 mempunyai CD5, suatu molekul adesi dan molekul

    sinyal. Mereka ini merupakan sumber dari antibodi natural yaitu suatu antibodi

    IgM yang polireaktif (molekul ini dapat mengenal beberapa antigen yang berbeda

    bahkan juga patogen yang komensal serta autoantigen). Secara umum antibodi ini

    mempunyai afinitas yang rendah. Sebaliknya sel B yang tidak mempunyai

    molekul CD5 yang biasanya berkembang belakangan dikenal sebagai sel B2.

    Sebelum bertemu dengan antigen sel ini mengekspresikan bersama-sama molekul

    IgM dan IgD pada permukaannya dan pada saat sel akan menjadi sel memori, sel

    ini akan melakukan class-switching dan mengekspresikan IgA, IgG atau IgE

    sebagai reseptor permukaannya. Komplek antibodi-antigen dan komplemen yang

    terbentuk pada jaringan limfoid sekunder berdekatan dengan lokasi sel dendritik

    sehingga hal ini akan menginisiasi pembentukan area yang disebut sebagai

    germinal center yaitu suatu area dimana sel B akan teraktivasi sehingga

    menimbulkan respon imun. Di sini sel B2 yang bertemu dengan antigen akan

    melakukan immunoglobulin class switching dan akan memproduksi IgA, IgG atau

    IgE. Sel plasma dan sel memori juga terbentuk di germinal center. Akan tetapi

  • 31

    fase akhir dari diferensiasi sel B2 menjadi sel plasma terjadi pada jaringan limfoid

    sekunder di luar germinal center. Meskipun umumnya berumur pendek, kadang-

    kadang sel plasma dapat survive sampai berminggu-minggu pada sumsum tulang

    (Delves et al., 2000).

    Sel T berkembang di dalam kelenjar timus, dimana lingkungan mikro dari

    timus akan mengarahkan diferensiasi sel T termasuk juga seleksi positif dan

    negatif dari perkembangan sel T. Sel progenitor limfoid yang berasal dari sumsum

    tulang akan bermigrasi ke timus untuk melengkapi perkembangannya sehingga

    menjadi sel matang dan menjadi sel T yang berfungsi. Disini sel T akan

    mendapatkan Marxer-nya yang spesifik seperti TCR (T Cell Receptor), CD3, CD4

    atau CD8 dan CD2. Sel T juga akan menjalani apa yang disebut thymic education

    yaitu proses seleksi positif dan negatif.

    Sel induk secara terus menerus akan bermigrasi dari sumsum tulang ke

    timus, dimana sel ini akan berkembang menjadi sel T. Bukti terakhir

    menunjukkan bahwa walaupun terjadi degenerasi parsial pada timus orang dewasa

    namun sel T tetap berkembang pada timus sepanjang hidupnya. Sel T dengan α/β

    TCR akan tetap di sini sambil terus mengalami prosedur seleksi. Tidak seperti

    molekul antibodi yang juga merupakan BCR (B Cell Receptor), dapat mengenal

    antigen dalam bentuk utuh (native/natural), TCR hanya dapat mengenal fragmen

    peptida dari intraseluler antigen yang sebelumnya telah diproses oleh sel

    makrofag dan dipresentasi oleh molekul MHC yang sesuai. Susunan asam amino

    baik yang berasal dari MHC maupun dari peptida antigen dapat dikenal oleh TCR.

    Jadi TCR dapat mengenal molekul MHC yang berasal dari tubuh sendiri (self)

    bersama dengan peptida yang berasal dari antigen asing. Oleh karena itu untuk

  • 32

    dapat mengenal antigen asing yang dipresentasikan oleh molekul MHC maka sel

    T harus mengenal self MHC. Molekul MHC adalah molekul yang sangat

    polimorfik. Dan untuk mengenalnya tanpa menimbulkan autoreactive diperlukan

    suatu mekanisme kontrol yang disebut dengan thymic education, yaitu suatu

    proses seleksi termasuk yang dikenal dengan positive selection dan negative

    selection (Sprent et al., 1989; Delves et al a., 2000; Poulin et al., 2003).

    Sel yang lolos positive selection adalah sel T yang mengekspresikan TCR

    yang mampu berinteraksi dengan MHC-selfpeptide complexes yang terbentuk

    pada sel epitel korteks timus. Positive selection akan mematikan tombol apoptosis

    yang sebelumnya terjadi pada perkembangan alami dari sel T. Lebih dari 95%

    dari sel T tidak akan terseleksi pada fase ini sehingga akan mati di dalam timus.

    Sebaliknya pada negative selection adalah mekanisme yang dapat menginduksi

    apoptosis pada sel T yang mengekspresikan TCR yang bereaksi dengan afinitas

    tinggi dengan kompleks self MHC-self peptide pada permukaan sel dendritik dan

    makrofag yang berasal dari sumsum tulang pada daerah medula dari timus

    (MacLelan et al., 2002; Decker c, 2004).

  • 33

    Gambar 2.3 Pematangan sel T pada timus (Delves et al.a, 2000; Krishnan et al.,

    2003) Sebagian dari TCR sel T mengenal peptida yang berasal dari antigen asing

    dan bagian lain TCR mengenal self MHC. Akibat proses alami dari gene

    rearrangement dari pembentukan TCR yang bersifat random maka hanya

    sebagian kecil dari sel T saja akan diseleksi positif pada korteks timus. Namun

    beberapa dari sel ini cukup berbahaya karena kemampuan TCR nya bereaksi kuat

    dengan self peptide dan self MHC (atau bahkan dengan hanya molekul MHC

    saja). Kelompok sel autoimun ini akan dieliminasi dengan menginduksi apoptosis

    apabila mereka berinteraksi dengan sel dendritik dan makrofag pada daerah

    medula dari timus (negative selection). Seleksi ini akhirnya hanya menyisakan

    sebagian kecil sel T yang hanya mempunyai afinitas yang rendah terhadap self

    MHC

  • 34

    2.3.3 Imunitas seluler

    CMI adalah suatu respon imun yang tidak melibatkan antibodi akan tetapi

    lebih banyak melibatkan proses aktivasi sel T menjadi sel T sitotoksik, aktivasi sel

    makrofag dan sel NK, serta stimulasi produksi interleukin sebagai respon terhadap

    antigen. Mekanisme ini ditujukan terhadap mikroba yang berhasil lolos dari

    proses fagositosis dan terhadap mikroba yang menginfeksi sel non-fagositik.

    Mekanisme ini sangat efektif untuk menghilangkan sel yang terinfeksi oleh virus.

    Namun demikian sel ini juga berperan terhadap infeksi jamur, protozoa, sel

    kanker dan bakteri intraseluler. CMI juga memegang peran yang penting pada

    proses transplantasi.

    Seperti diketahui, sistem imun kita tak dapat meramalkan jenis antigen apa

    yang akhirnya akan ditemukan. Oleh karena itu tubuh kita mengembangkan suatu

    sistem yang mampu bereaksi dengan segala macam antigen. Hal ini dapat

    dikerjakan oleh karena sel B dan sel T mempunyai sistem yang unik yang disebut

    gene translocation, suatu proses perpindahan suatu gen tertentu dari suatu

    kromosom ke gen lainnya pada kromosom lainnya. Oleh karena itu akan dapat

    dibuat suatu reseptor permukaan yang dapat bereaksi dengan suatu peptida

    tertentu yang berikatan dengan molekul MHC. CMI merupakan mekanisme yang

    mendasari proses hipersensitivitas tipe lambat yaitu suatu respon imun yang

    berefek merugikan seperti reaksi penolakan jaringan, dermatitis kontak, tes PPD

    (purified protein derivative) untuk tuberkulosa dan lainnya (Kaiser, 2003).

  • 35

    Ada 5 langkah penting dalam timbulnya respon cell-mediated immunity, yaitu:

    1. Antigen yang masuk harus dikenali oleh APC. Sel limfosit T4 dan T8

    diperlukan untuk melaksanakan tugas selanjutnya. Apabila antigen ini masuk

    lewat darah maka pertemuan antara APC, sel T4 dan T8 terjadi di lien, di

    BALT (bronchial-associated lymphoid tissue) dan MALT apabila antigennya

    melalui saluran nafas, di Peyer’s patches apabila antigen masuk melalui

    saluran cerna.

    2. Sel T4 dan T8 naïve harus mengenali epitop peptida dari antigen yang

    bersangkutan, yang selanjutnya akan mengaktifkan sel T4 dan sel T8. Hal ini

    disebut sebagai clonal selection.

    3. Setelah terjadi aktivasi, sel T4 dan sel T8 akan berproliferasi menjadi klon sel

    yang spesifik terhadap antigen yang bersangkutan di dalam usaha tubuh untuk

    menyediakan sel yang cukup untuk menimbulkan respon imun yang memadai

    melawan antigen tersebut. Hal ini dikenal sebagai clonal expansion.

    4. Klon dari sel T4 dan sel T8 ini akan berdiferensiasi menjadi sel efektor yang

    mampu mengarahkan respon tubuh melawan antigen yang masuk dan akan

    menghancurkannya atau menghilangkan.

    5. Beberapa dari sel limfosit tadi berdiferensiasi menjadi sel memori T4, sel

    memori T8 dan sel T supresor.

    Dengan adanya sel memori ini akan memungkinkan reaksi imun menjadi lebih

    cepat dan produksi interleukin yang lebih banyak. Sel T8 supresor membantu

    untuk mengontrol respon imun dengan menghentikan respon tubuh baik seluler

    maupun humoral (Kaiser, 2003). Sel T yang telah teraktivasi sempurna akan

    mulai memproduksi rantai α dari IL-2R . IL-2R (Tac) akan meningkatkan afinitas

  • 36

    dari IL-2R sehingga kadar yang rendah dari IL-2 dapat mengaktivasi sel T untuk

    memulai proliferasi konal dan berdiferensiasi menjadi sel efektor. Sel T naïve

    hanya mengekspresikan rantai β dan γ dari IL-2R dan mempunyai afinitas yang

    lemah terhadap IL-2. Ekspresi dari reseptor yang mempunyai afinitas tinggi

    terhadap spesifik antigen oleh sel T yang teraktivasi membuat respon imun yang

    terjadi tetap antigen-spesific, oleh karena interleukin yang sama dapat dibuat

    terhadap beberapa antigen yang berbeda.

    Gambar 2.4 Aktivasi sel T (Delves et al.a, 2000)

    Aktivasi sel T melibatkan proses integratif dimulai dengan ikatan antara antigen

    dan reseptor pada permukaan sel. Diikuti dengan ikatan dengan CD3 dan rantai γ

    ITAMs (immunoreceptor tyrosine-base activating motifs), dan p 56ick, p59fyn

    dan ZAP-70. Rangkaian ini akan menyebabkan downstream sinyal melalui

    beberapa sinyal transduction pathways sampai akhirnya mengaktifkan protein

    transcription factor untuk gen yang terlibat pada proses proliferasi dan

    diferensiasi. Sinyal dari co-reseptor seperti misalnya CD28 juga diperlukan untuk

    mengaktifkan sel T, sebaliknya kalau tidak ada costimulator maka sel akan

    menjadi anergi atau apoptosis.

  • 37

    2.3.4 Sel T efektor

    Setelah 4-5 hari mengalami clonal expansion, sel T akan berdiferensiasi

    menjadi sel efektor yang tidak lagi memerlukan co-stimulator untuk melakukan

    fungsinya yaitu sitotoksisitas dan sekresi interleukin. Sel T akan tetap berikatan

    dengan komplek peptida MHC untuk dapat membunuh atau mengaktifkan sel

    target. Ada 3 klas sel efektor yang spesifik untuk 3 jenis patogen. CD8 CTL akan

    membunuh sel yang mempresentasikan peptida sitosolik pada molekul MHC klas

    I. CD4 Th1 akan mengaktifkan makrofag yang mengandung patogen vesikuler

    yang persisten yang dipresentasikan pada molekul MHC klas II. Efektor klas ini

    juga mengaktifkan sel B untuk memproduksi antibodi (opsonizing antibody). CD4

    Th2 berfungsi untuk mengaktifkan sel B untuk memproduksi antibodi

    (neutralizing antibody).

    Sel efektor Th dibedakan atas jenis interleukin yang dikeluarkannya. Th1

    CD4 akan mmemproduksi IL-2, IFN (interferon) γ, dan TNF (tumor necrosis

    factor) β yang akan mengaktifkan CD8 Tc dan makrofag untuk menginduksi

    respon inflamasi dan imunitas seluler. Th1 juga mengeluarkan IL-3 dan GM-CSF

    yang akan memicu sel induk pada sumsum tulang untuk membuat lebih banyak

    leukosit dan sel B untuk membuat antibodi opsonisasi (IgG1 dan IgG3). Sedang

    Th2 akan memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 yang akan merangsang sel B

    untuk membuat antibodi netralisasi. Disamping itu interleukin yang diproduksi

    oleh sel Th1 dan Th2 mempunyai efek yang berlawanan pada sel Th. IFN γ yang

    diproduksi oleh Th1 akan menghambat proliferasi sel Th2, sebaliknya IL-10 yang

    dikeluarkan oleh Th2 akan menghambat produksi IL-2 dan IFN γ oleh Th1.

  • 38

    Keseimbangan antara Th1 dan Th2 akan menentukan respon imun humoral

    ataukah seluler yang lebih berperan (Kaiser, 2003).

    2.3.5 Kerjasama antar sel

    Kerjasama antar sel merupakan interaksi beberapa mekanisme efektor

    dimana akan terjadi kerjasama antara sel T dan sel makrofag. Untuk memulai

    suatu respon imun sebagian besar antigen harus diproses dan dipresentasikan oleh

    sel aksesoris (APC). Sel dendritik, sel makrofag dan sel limfosit B dapat

    mempresentasikan antigen dengan efisien. Sel Th (helper) mengenal antigen

    hanya apabila dipresentasikan oleh APC bersama dengan molekul MHC klas II

    yaitu: HLA-DR, HLA-DP, HLA-DQ. Untuk terjadinya aktivasi dan proliferasi sel

    T diperlukan beberapa molekul lain seperti molekul adesi (LFA-1, ICAM) dan

    beberapa costimulator lainnya (CD40, B7, Fas dll). Makrofag yang sudah

    terstimulasi akan mengeluarkan IL-12 dan IL6, yang akan memulai proses

    aktivasi dan proliferasi sel T. Selanjutnya, sel T yang telah terstimulasi akan

    memproduksi IL-2 dan akan menginduksi clonal expansion dari sel T yang telah

    mengenal antigen tertentu (Decker c, 2004).

    Sel T dapat dibagi menjadi sel T efektor dan sel T regulator. Sel efektor

    yang telah dikenal adalah sel T sitotoksik, yang dapat membunuh sel yang

    terinfeksi virus dan sel tumor walaupun tidak ada antibodi. Untuk dapat dikenal

    oleh sel T jenis ini antigen yang bersangkutan harus dipresentasikan oleh molekul

    MHC klas I (HLA-A, HLA-B, HLA-C). Oleh karena molekul MHC klas I

    didapatkan pada semua jenis sel maka sel T ini akan bekerja pada semua jenis sel

    yang mengandung virus. Sel T regulator dapat dibagi menjadi Th (helper) dan Ts

    (suppressor). Sel Th mengatur proliferasi dan diferensiasi tidak hanya sel efektor

  • 39

    tapi juga sel B. Selama aktivasi sel T akan mengekspresikan antigen yang dapat

    dikenal dengan antibody monoclonal komersial. Namun harus diingat bahwa

    gambaran penotipe ini tidak secara langsung menggambarkan fungsi dari sel yang

    bersangkutan. Sebagai contoh, sel CD4+ tidak hanya terdiri dari sel Th tapi juga

    bisa sel Tc dan sel Ts (Sprent et al., 1998; Van Der Meer et al., 2002).

    Sel makrofag tidak akan dapat membunuh semua mikroorganisme tanpa

    bantuan stimulasi sel imun lainnya. Beberapa mikroorganisme antara lain:

    protozoa (toxoplasma gondii, trypanosoma spp), jamur (histoplasma capsulatum,

    pneumocystis carinii), bakteri (mikobakteria, salmonella spp) dan virus dapat

    hidup dan bahkan bereplikasi dalam sel makrofag pada penderita non-imun. Tapi

    dengan adanya stimulasi dari sel Th dan interleukinnya seperti IL-2, IFN γ yang

    akan mengaktifkan makrofag menjadi lebih aktif. Pada proses aktivasi ini akan

    terjadi beberapa kejadian peningkatan aktifitas mikrobisidal seperti oxygen-

    dependent dan oxygen-independent microbicidal mechanism sehingga dapat

    membunuh patogen intraseluler (Greenwald et al., 1989; Van Der Meer et al.,

    2002).

  • 40

    Gambar 2.5 Kerjasama antar sel. Sel T dengan TCR akan mengenal antigen yang

    dipresentasikan dengan molekul MHC. Sel Tc adalah CD8 akan mengenal antigen

    yang dipresentasikan molekul MHC I Sedang sel Th (CD4) mengenal antigen

    yang dipresentasikan MHC II dan terdiri dari dua populasi Th1 dan Th2. Th1

    mengeluarkan IL-2 dan IFN γ yang mengaktivasi makrofag dan sel Tc untuk

    membunuh patogen intraseluler. Sel Th2 mengeluarkan IL-4,IL-5, IL-6 yang

    mengaktifkan sel B untuk memproduksi antibodi. Sel B juga dapat mengenal

    antigen secara langsung ataupun melalui kompleks antigen – antibodi pada sel

    dendritik di germinal senter jaringan limfoid sekunder (Delves et al.b, 2000).

    2.3.6 Kelainan imunitas seluler

    Semua komponen dari imunitas seluler mempunyai fungsi yang penting

    untuk dapatnya sistem berfungsi optimal. Oleh karena itu kelainan atau bahkan

    ketidakseimbangan fungsi antara sel T regulator, defisiensi sel T efektor, adanya

    gangguan sinyal antar sel dan gangguan fungsi sel makrofag akan menyebabkan

  • 41

    gangguan fungsi imunitas seluler. Akhir-akhir ini banyak ditemukan kerusakan

    molekuler sebagai penyebab gangguan imunitas seluler. Seperti misalnya

    gangguan proses jalur sinyal intra seluler sel T, dan molekul yang berfungsi

    sebagai sinyal interseluler seperti CD40/CD40 ligand, Fas/Fas ligand, atau

    gangguan reseptor IL-12 dan IFN γ. Akan tetapi perlu untuk mendapatkan

    perhatian bahwa tidak semua gangguan molekul yang komplek ini akan

    meyebabkan gangguan dari fungsi imunitas seluler (Van der Meer et al., 2002).

    Suatu contoh kelainan imunitas seluler adalah pada kasus AIDS, dimana

    virus HIV akan menyerang dan menghancurkan sel T. Pada kasus dengan

    inflamasi kronis seperti sarcoidosis, suatu ketidak seimbangan antara sel T

    regulator diketahui sebagai dasar patomekanismenya. Pada kasus lainya tidak

    jarang dijumpai kelainan baik pada imunitas seluler maupun imunitas humoral.

    Kualitas dari fungsi imunitas seluler dalam batas tertentu dapat diketahui dengan

    pemeriksaan in vitro dan in vivo. Tes in vitro yang penting antara lain tes

    transformasi limfosit dengan menggunakan mitogen sel T seperti anti-CD3,

    phytohaemaggultination, concanavalin A. Tes lainnya adalah leucocyte migration

    inhibition test (LMI), tes proliferasi, tes sitotoksisitas dan pemeriksaan produksi

    interleukin . Untuk mengetahui jenis kelainannya diperlukan tes yang lebih

    canggih seperti penilaian jalur sinyal intra dan interseluler sebagai work-up

    kelainan dari imunitas seluler. Sedang tes in vivo adalah tes kulit yaitu tes

    hipersensitivitas tipe lambat untuk mengetahui jenis antigen seperti tuberkulin,

    antigen trikopiton. Penderita yang tidak berespon terhadap antigen disebut sebagai

    anergi (Baratawijaya,2000).

  • 42

    Pada kasus dengan defisiensi imunitas seluler maka dapat diharapkan

    infeksi oleh virus dan patogen intraseluler akan makin meningkat. Beberapa

    penyakit kongenital akibat defisiensi imunitas seluler adalah celluler

    immunodeficiency with immunoglobulins, DiGeorge’s Syndrome, chronic

    mucocutaneous candidiasis, SCID (severe combined immunodeficiency disease),

    Wiskott-Aldrich. Sedangkan gangguan imunitas seluler yang acquired (didapat)

    diakibatkan oleh (1) proses keganasan yang melibatkan jaringan limfoid atau

    sistem fagosit mononuklear seperti misalnya: penyakit Hodgkin, limfoma non-

    Hodgkin; (2) terapi dengan obat imunosupresif seperti steroid, azathioprine,

    siklofosfamid dan siklosporin A; (3) infeksi virus seperti: CMV

    (cytomegalovirus), Epstein-Barr Virus (EBV), virus HIV dan mungkin hepatitis

    C; (4) kehamilan; (5) pemakaian estrogen; (6) malnutrisi; (7) proses ketuaan.

    Mekanisme yang mendasari gangguan imunitas seluler pada kondisi tersebut

    adalah sangat kompleks dan agak berbeda pada masing-masing kondisi, oleh

    karena dapat melibatkan hanya sel T regulator, sel T efektor, sel makrofag , faktor

    lainnya seperti interleukin baik respon maupun produksinya atau bahkan

    merupakan kombinasi dari semua komponen seluler (Van der Meer et al., 2002).

    2.3.7 Pemeriksaan sistem imun seluler

    2.3.7.1 Pemeriksaan in vitro

    Respon imunitas seluler sangat ditentukan oleh fungsi dan aktivitas sel

    limfosit. Ada 2 cara untuk menilai limfosit, yaitu dengan memeriksa kuantitas dan

    fungsi sel (Baratawijaya, 2000).

  • 43

    2.3.7.1.1 Kuantitas sel limfosit

    Neutropenia atau limfositopenia yang berat dapat diketahui dengan mudah

    melalui pemeriksaan jumlah dan hitung jenis leukosit. Tujuh puluh lima sampai

    delapan puluh persen limfosit dalam sirkulasi perifer adalah sel T, oleh karena itu

    bila jumlah limfosit perifer ditemukan normal kemungkinan adanya defisiensi

    limfosit T tidak besar.

    2.3.7.1.1.1 Isolasi sel

    Ficoll digunakan untuk mengisolasi limfosit dari darah. Darah

    didefibrinasi dengan butiran-butiran gelas, bekuan kemudian disingkirkan.

    Selanjutnya darah diencerkan dengan medium biakan jaringan dan dimasukkan

    dengan hati-hati ke dalam tabung reaksi di atas larutan ficoll yang sudah mengisi

    setengah tabung. Ficoll mempunyai berat jenis lebih besar dibanding dengan

    limfosit, tetapi lebih kecil dibanding dengan sel darah merah. Sesudah darah

    dengan ficoll disentrifus, sel darah merah dan sel leukosit polimorfonuklear akan

    turun membentuk endapan di dasar tabung, sedang limfosit mengendap pada

    perbatasan medium dan ficoll. Selanjutnya lapisan limfosit dapat dibersihkan dari

    fagosit dengan jalan menambahkan butir – butir besi, fagosit akan memakan butir

    besi dan kemudian diturunkan dengan besi berani kelapisan yang lebih bawah.

    Cara lain untuk memisahkan fagosit ialah dengan menempatkan campuran

    limfosit-fagosit dalam sumur plastik. Fagosit kemudian akan menempel pada

    dasar sumur, sedang limfosit tetap berada dalam larutan.

    2.3.7.1.1.2 E Rosette

    Sel T manusia memiliki reseptor untuk sel darah merah biri-biri. Bila

    kedua sel tersebut dicampur, maka akan terbentuk rosette.

  • 44

    2.3.7.1.1.3 EA Rosette

    Sel T dapat dibedakan dari sel B yang tidak membentuk rosette pada

    gradien Ficoll. Cara lain untuk menunjukkan rosette yaitu dengan menggunakan

    reseptor lain yang ada pada permukaan sel T, misalnya reseptor untuk Fc dari IgG

    (Fc gamma). Sel – sel tersebut dapat diidentifikasi dan diisolasi, karena akan

    membentuk rosette dengan sel darah merah yang sudah disensitasi dengan

    antieritrosit .

    2.3.7.1.1.4 Antibodi monoklonal

    Antibodi monoklonal adalah antibodi homogen yang dihasilkan dari single

    clone. Antibodi tersebut dapat disintesis di laboratorium dari hibridoma, yaitu sel

    yang dihasilkan dengan menyatukan dua sel yang berlainan. Dengan teknik

    imunofluoresensi yang menggunakan antibodi monoklonal, jumlah sel B, sel T

    dan subset sel T, dapat dibedakan satu dari yang lainnya dan dihitung di bawah

    mikroskop fluoresen atau cell sorter.

    2.3.7.1.1.5 Flow Cytometry

    Flow Cytometry adalah alat yang dapat menghitung serta membedakan sel

    satu dari yang lain. Sel diperiksa dalam larutan yang bergerak melewati sinar dan

    dihitung berdasarkan sedikit banyaknya sinar yang dihambat atau dipancarkan

    kembali.

    2.3.7.1.1.6 Fluorescence Activated Cell Sorter (FACS)

    FACS adalah alat yang dapat menghitung subpopulasi sel sekaligus dalam

    larutan. Sel dilabel dengan 2-3 bahan fluoresen yang berbeda sehingga kadar

    bahan pada permukan (sesuai dengan jumlah sel limfosit dan granulosit) secara

    simultan dapat diukur/dihitung.

  • 45

    2.3.7.1.2 Pemeriksaan fungsi limfosit

    Pemeriksaan fungsi limfosit hendaknya hanya dilakukan bila uji kulit in

    vivo yang lebih sederhana menunjukkan tanda adanya gangguan imunitas seluler

    oleh karena pemeriksaan fungsi in vitro lama, mahal, tidak mudah dan

    memerlukan biaya yang tinggi. Pemeriksaan fungsi limfosit in vitro hanya mutlak

    pada penderita yang diduga menderita defisiensi imun dan dalam penggunaan

    imunomodulator untuk memantau sistem imun.

    2.3.7.1.2.1 Produksi sitokin

    Sedian komersial telah tersedia untuk memeriksa berbagai jenis sitokin

    yang diproduksi sel limfoid dan lebih diutamakan dalam menilai fungsi sel dan

    respons sel terhadap berbagai stimulus. Yang banyak digunakan ialah ELISA.

    2.3.7.1.2.2 Transformasi limfosit

    Tes yang banyak digunakan untuk mengukur fungsi limfosit adalah tes

    transformasi limfosit. Bila limfosit bertemu dengan antigen, dalam beberapa hari

    saja limfosit kecil yang berada dalam keadaan istirahat atas pengaruh APC akan

    berubah menjadi sel blas. Proses tersebut disebut tranformasi.

    Hal ini biasanya dilakukan dengan phytohemaglutinin (PHA) sebagai

    stimulan. Transformasi dapat juga dilakukan dengan antigen spesifik yang diduga

    mensensitasi pasien (misalnya tuberkulin). PHA merangsang sebagian besar sel T,

    sedang antigen hanya akan mensensitasi limfosit yang sudah tersensitisasi

    terhadap antigen tertentu dan biasanya hanya mengenai sebagian kecil limfosit.

    Transformasi derajat rendah (dibandingkan dengan kontrol) menunjukkan adanya

    sistem imun seluler yang terganggu, sedang peningkatan transformasi dengan

    adanya antigen spesifik dapat terjadi pada keadaan hipersensitivitas tertentu

  • 46

    (misalnya alergi obat). Respons proliferatif tersebut dapat diukur dengan

    menginkorporasikan timidin radioaktif.

    2.3.7.1.2.3 Leucocyte migration inhibition test (LMI)

    Leucocyte migration inhibition test atau LMI lebih mudah dikerjakan

    dibanding dengan pemeriksaan transformasi sel. Limfosit akan melepaskan

    berbagai limfokin bila dicampur dengan antigen yang sudah mensensitasikannya.

    Salah satu limfokin yang disebut faktor LMI, akan menghambat gerakan neutrofil

    dan derajat hambatannya dapat diukur in vitro sesuai dengan produksi limfokin.

    LMI menggunakan leukosit perifer manusia. Pencegahan migrasi disebabkan oleh

    limfokin yang diproduksi limfosit yang disensitasi antigen. Nilai tes ini sama

    dengan tes transformasi.

    2.3.7.1.2.4 Pemeriksaan sitotoksisitas

    Aktivitas sitotoksik limfosit dapat diukur dengan membiakkannya bersama

    sel sasaran yang sudah dilabel misalnya 51Cr. Bila limfosit membunuh sel

    tersebut, kromium akan dilepas. Radioaktif ya