KAJIAN INHIBITOR α GLUKOSIDASE AKTINOMISET ENDOFIT … · -glucosidase inhibitor, endophytic...

114
KAJIAN INHIBITOR α-GLUKOSIDASE AKTINOMISET ENDOFIT ASAL BROTOWALI (Tinospora crispa) SRI PUJIYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

Transcript of KAJIAN INHIBITOR α GLUKOSIDASE AKTINOMISET ENDOFIT … · -glucosidase inhibitor, endophytic...

KAJIAN INHIBITOR α-GLUKOSIDASE AKTINOMISET ENDOFIT ASAL BROTOWALI

(Tinospora crispa)

SRI PUJIYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ”Kajian Inhibitor α-

Glukosidase Aktinomiset Endofit Asal Brotowali (Tinospora crispa)” adalah

karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun

tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2012

Sri Pujiyanto

NRP: G361070031

ABSTRACT

SRI PUJIYANTO. The Study of α-Glucosidase Inhibitor of Endophytic Actinomycetes Isolated from Brotowali (Tinospora crispa). Under direction of YULIN LESTARI, ANTONIUS SUWANTO, SRI BUDIARTI and LATIFAH K. DARUSMAN.

An α-glucosidase inhibitor is one of the compounds for the treatment of diabetes. This inhibitor can retard the liberation of glucose from dietary complex carbohydrates and delay glucose absorption, resulting in reduced postprandial plasma glucose levels and suppress postprandial hyperglycaemia. Diabetic medicinal plants are potencial sources of α-glucosidase inhibitor-producing endophytic microorganisms. Actinomycetes has been known as a source of various bioactive compounds that have been used in human health. The purpose of this study were to isolate and to select α-glucosidase inhibitor-producing endophytic actinomycetes from Tinospora crispa and to characterize the selected

isolated and their α-glucosidase inhibitor. Endophytic actinomycetes were isolated from the roots, leaves and stems of T. crispa. Sterilized plant samples were inoculated on the HV Agar medium containing 50 ppm cycloheximide and 30 ppm nalidixic acid and were incubated for 2-3 weeks at room temperature. All actinomycetes isolates were tested for their ability to inhibit the α-glucosidase. Identification for the selected isolates was based on 16S rDNA sequences. The inhibitor activity to α-glucosidase was determined spectrophotometrically at 400 nm using p-nitrophenyl-α-D-glucopyranoside as a substrate, and acarbose as a positive control. Characterization and identification of inhibitor component was based on thin layer chromatography, column chromatography, phytochemicals, UV-Vis spectrophotometer and FTIR analyses.The results showed that endophytic actinomycetes isolated from T. crispa produced various inhibition activities. The highest inhibition activity to α-glucosidase was shown by BWA65 found from T. crispa. Production of α-glucosidase inhibitor compounds in this

plant largely related with the contribution of its actinomycetes endophytes. The identification based on 16S rDNA sequence revealed that the isolate has 98% similarity to Streptomyces diastaticus. Separation of bioactive components by

column chromatography obtained active fraction (F6), which has a low IC50 and high inhibitory activity. Based on phytochemicals, UV-Vis spectrophotometer and FTIR analyses, the active compound F6 is an auron group of flavonoid.

Key words: α-glucosidase inhibitor, endophytic actinomycetes, diabetes mellitus, Tinospora crispa.

RINGKASAN

SRI PUJIYANTO. Kajian Inhibitor α-Glukosidase Aktinomiset Endofit Asal Brotowali (Tinospora crispa). Dibimbing oleh YULIN LESTARI, ANTONIUS

SUWANTO, SRI BUDIARTI dan LATIFAH K. DARUSMAN

Pengobatan diabetes secara tradisional pada umumnya adalah dengan memanfaatkan berbagai jenis tanaman yang memiliki kandungan bahan aktif yang dapat menurunkan kadar gula dalam darah, diantaranya adalah senyawa yang dapat menghambat enzim α-glukosidase. Eksplorasi mikrob endofit diharapkan dapat menghasilkan metabolit sekunder penting yang memiliki khasiat sama dengan metabolit yang dihasilkan tanaman inangnya. Tanaman obat diabetes merupakan sumber mikrob potensial penghasil inhibitor α-glukosidase. Isolat potensial dari tanaman obat tersebut diharapkan dapat digunakan untuk memproduksi senyawa inhibitor α-glukosidase secara mikrobiologis.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan isolat aktinomiset endofit dari tanaman obat diabetes, khususnya Tinospora crispa (brotowali) yang berpotensi sebagai penghasil senyawa inhibitor α-glukosidase, mengkarakterisasi dan mengidentifikasi isolat aktinomiset endofit penghasil inhibitor α-glukosidase terpilih, serta mengkarakterisasi dan mengidentifikasi senyawa inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh isolat aktinomiset endofit terpilih.

Berdasar kerangka pemikiran bahwa: a) inhibitor α-glukosidase dapat dihasilkan oleh berbagai organisme, yaitu tanaman tingkat tinggi, alga, cendawan, bakteri (non aktinomiset) dan aktinomiset, b) terdapat beberapa temuan penelitian yang menyatakan bahwa beberapa mikrob endofit dapat menghasilkan senyawa yang serupa dengan tanaman inangnya, dan c) tanaman T. crispa secara empiris diketahui memiliki aktivitas antidiabetes serta menghasilkan senyawa inhibitor α-glukosidase, maka dapat dirumuskan suatu hipotesis: aktinomiset endofit penghasil senyawa inhibitor α-glukosidase dapat diisolasi dari tanaman T. crispa. Isolat aktinomiset yang diperoleh mampu menghasilkan senyawa inhibitor α-glukosidase secara in vitro.

Isolasi aktinomiset endofit dilakukan dari T. crispa menggunakan media Humic Acid Vitamin B (HV) agar dengan penambahan 50 ppm cycloheximide dan 30 ppm nalidixic acid. Sebelum dilakukan isolasi, sampel tanaman disterilisasi

permukaan menggunakan natrium biklorit dan alkhohol 70% secara bertahap. Aktivitas inhibitor α-glukosidase diuji berdasarkan pada penghambatan pemecahan substrat p-Nitrophenyl-α-D-glucopyranoside oleh enzim α-

glukosidase selama periode tertentu. Senyawa acarbose (Sigma) digunakan sebagai pembanding.

Untuk mengetahui peran aktinomiset endofit dalam menghasilkan inhibitor α-glukosidase, dilakukan pengujian aktivitas inhibitor α-glukosidase terhadap tanaman T. crispa bebas endofit yang diperoleh dari kultur jaringan tanaman,

tanaman asli yang diperoleh dari alam dan isolat aktinomiset endofit terpilih, kemudian hasilnya dibandingkan.

Identifikasi isolat terpilih dilakukan berdasarkan sekuen 16S rDNA. Pengamatan morfologi isolat dilakukan menggunakan mikroskop cahaya pada perbesaran 100 dan 400x dan SEM pada perbesaran 10.000x.

Deteksi keberadaan gen yang terlibat dalam biosintesis inhibitor α-glukosidase dilakukan dengan amplifikasi gen penyandi sedoheptulosa-7-fosfat siklase menggunakan primer VOG-F 5'GGSGGSGGSGTSCTSATGGACGT-

SGCSGG-3', dan primer VOG-R 5'GCCATGTCSACGCASACSGCSGCCTCS-CCGAG-3'. Hasil amplifikasi DNA dengan PCR selanjutnya disekuen dan dibandingkan dengan sekuen yang ada di database GenBank.

Produksi senyawa inhibitor menggunakan media produksi cair berisi 0.1% soluble starch, 0.5% pepton, dan 0.1% yeast extract . Ekstraksi senyawa inhibitor

dilakukan dengan menggunakan pelarut etil asetat. Fraksinasi senyawa aktif dilakukan dengan kromatografi kolom silika gel dengan eluen heksan:etil asetat 1:4. Analisis fraksi dilakukan dengan bantuan KLT analitik. Fraksi yang diperoleh diuji aktivitas inhibitor α-glukosidasenya. Fraksi terbaik dikarakterisasi lebih lanjut meliputi: nilai IC50, pengaruh konsentrasi substrat, pemeriksaan fitokimia, scanning serapan maksimum dengan spektrofotometer UV-Vis dan pemeriksaan

dengan spektrofotometer FTIR. Tiga puluh dua isolat aktinomiset endofit telah berhasil diisolasi dari

tanaman T. crispa. Isolat BWA65 dari tanaman T. crispa merupakan isolat paling berpotensi untuk dikaji lebih lanjut. Penemuan isolat aktinomiset endofit dari T. crispa yang menghasilkan inhibitor α-glukosidase dalam penelitian ini,

memperkuat pendapat bahwa tanaman dapat mengandung mikrob endofit yang dapat menghasilkan beberapa senyawa biologis atau metabolit sekunder yang diduga sebagai hasil transfer genetik (rekombinasi genetik) dari tanaman inang ke mikrob endofit.

Tanaman T. crispa bebas endofit yang diperoleh dari kultur jaringan

tanaman hanya memiliki kemampuan yang sangat rendah untuk menghasilkan senyawa inhibitor α-glukosidase. Tanaman T. crispa yang diperoleh dari alam

mampu memproduksi senyawa inhibitor jauh lebih besar dibandingkan tanaman bebas endofit yang diperoleh dari kultur jaringan. Namun demikian, kemampuan inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh aktinomiset endofit BWA65 lebih dari dua kali daripada aktivitas inhibitor α-glukosidase tanaman inang. Hasil ini mengindikasikan bahwa aktinomiset endofit dalam tanaman T. crispa tersebut

memberikan kontribusi besar terhadap produksi senyawa inhibitor α-glukosidase. Hasil identifikasi berdasarkan sekuen 16S rDNA sepanjang 1343 pasang

basa menunjukkan bahwa isolat BWA65 memiliki kesamaan 98% dengan Streptomyces diastaticus. Kajian tentang inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh S. diastaticus hingga saat ini belum pernah dilaporkan. Berdasarkan hal

tersebut, kemungkinan besar isolat BWA65 merupakan jenis baru penghasil inhibitor α-glukosidase.

Analisis menggunakan program BLASTX terhadap sekuen basa hasil amplifikasi gen sedoheptulosa-7-fosfat siklase dari isolat BWA65 menunjukkan kemiripan paling tinggi 92% dengan GAF sensor hybrid histidine kinase pada Streptomyces violaceusniger Tu4113 (no akses YP-004812094.1). Amplifikasi

ulang gen sedoheptulosa-7-fosfat siklase pada isolat aktinomiset BWA65 ini dengan primer Forward: 5’-CCTACGAGGTGCGCTTCCGGGACGACGT-3’ dan Reverse: 5’-GGCGGCCTGCAGCTCGGCGGCCGTCACGT-3’, berhasil meng-

amplifikasi gen tersebut secara spesifik sepanjang 300 bp. Analisis hasil sekuensing menggunakan program BLASTX menunjukkan kemiripan 100% dengan gen sedoheptulosa-7-fosfat siklase dari Actinoplanes sp. SE50/110 (no akses Y18523.4) (Velina 2012, unpublished).

Fraksinasi senyawa aktif dari ekstrak etil asetat kultur BWA65 diperoleh fraksi aktif (Fraksi F6) sebagai fraksi paling potensial. Fraksi ini memiliki aktivitas penghambatan sebesar 80.9% pada konsentrasi 200 ppm atau setara dengan 96.2% dari aktivitas acarbose (aktivitas penghambatan 84.1%). Pada pengujian nilai IC50, Fraksi F6 memiliki nilai IC50 10.9 ppm, lebih kecil dibanding nilai IC50

acarbose sebesar 36.65 ppm. Keunggulan senyawa pada fraksi F6 ini pada konsentrasi yang rendah (dibawah 100 ppm) aktivitasnya lebih tinggi dibanding

dengan acarbose. Pada konsentrasi 12.5; 25 dan 50 ppm fraksi F6 memiliki aktivitas penghambatan sebesar 143.1%; 152.4% dan 150.1% dibanding acarbose pada konsentrasi yang sama. Hasil pengujian aktivitas inhibitor dengan berbagai konsentrasi substrat p-Nitrophenyl-α-D-glucopyranoside menunjukkan

bahwa senyawa inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan isolat BWA65 diduga memiliki tipe penghambatan kompetitif.

Berdasarkan hasil pemeriksaan dengan spektrofotometer FTIR dan penelusuran literatur mengindikasikan senyawa Fraksi F6 ini memiliki gugus fungsi: karbonil C=O, ikatan O-H, ikatan C-O, ikatan rangkap dan C=C cincin aromatik, serta memiliki serapan panjang gelombang maksimum 423 nm saat diuji dengan spektrofotometer UV-Vis. Berdasarkan hasil pemeriksaan menggunakan uji fitokimia, spektrofotometer UV-Vis maupun FTIR mengindikasikan bahwa senyawa aktif inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh isolat BWA65 merupakan senyawa flavonoid kelompok auron.

Kata kunci: aktinomiset endofit, inhibitor α-glukosidase, diabetes melitus,

tanaman obat

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

KAJIAN INHIBITOR α-GLUKOSIDASE AKTINOMISET

ENDOFIT ASAL BROTOWALI (Tinospora crispa)

SRI PUJIYANTO

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada Program Studi Mikrobiologi

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012

Penguji Luar pada Ujian Tertutup : 1. Prof. drh. Dondin Sajuthi, PhD

2. Dr. Yanti, MSi

Penguji Luar pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Raymond R. Tjandrawinata

2. Dr. Aris Tri Wahyudi

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Disertasi : Kajian Inhibitor α-Glukosidase Aktinomiset Endofit Asal

Brotowali (Tinospora crispa)

Nama : Sri Pujiyanto

NRP : G361070031

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yulin Lestari Ketua

Prof. Dr. Ir. Antonius Suwanto, MSc. Anggota

Dr. dr. Sri Budiarti Anggota

Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, MS. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Mikrobiologi

Dekan Sekolah Pascasarjana,

Dr. Ir. Gayuh Rahayu Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.

Tanggal Ujian:………………………. Tanggal Lulus:…………………

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan

karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi dengan

judul “Kajian Inhibitor α-Glukosidase Aktinomiset Endofit Asal Brotowali

(Tinospora crispa)”. Disertasi ini merupakan karya ilmiah penulis selama

mengikuti Program Doktor pada Program Studi Mikrobiologi, Sekolah

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa karya disertasi ini tidak mungkin tercipta tanpa

bimbingan dari komisi pembimbing, untuk itu penulis menyampaikan

penghargaan yang setinggi-tingginya serta ucapan terimakasih kepada: Dr. Ir.

Yulin Lestari selaku ketua komisi pembimbing serta Prof. Dr. Ir. Antonius

Suwanto, MSc, Dr. dr. Sri Budiarti dan Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, MS

selaku anggota komisi pembimbing atas segala bimbingan, arahan, perhatian,

nasehat, motivasi serta keteladanan yang telah diberikan kepada penulis mulai

dari awal pemilihan tema penelitian, selama pelaksanaan penelitian hingga

penulisan disertasi.

Penelitian ini didanai oleh Hibah Penelitian Pascasarjana a.n. Dr. Ir. Yulin

Lestari, serta sebagian dari Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS), untuk

itu penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Prof. drh. Dondin Sajuthi,

PhD dari PS Satwa Primata, IPB dan Dr. Yanti, MSi dari Fakultas Teknobiologi

Universitas Atmajaya (selaku penguji luar pada sidang tertutup), Prof. Dr. Okky

Setyawati Dharmaputra (selaku wakil PS Mikrobiologi), drh. Sulistiyani, MSc,

PhD (selaku wakil Dekan FMIPA) serta Dr. Ir. Aris Tri Wahyudi, MSi dari PS

Mikrobiologi, IPB dan Dr. Raymond R. Tjandrawinata dari PT. DEXA MEDICA

(selaku penguji luar pada sidang terbuka), Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena

(selaku wakil PS Mikrobiologi/Dept. Biologi) dan Dr. Ir. Sri Nurdiati (Dekan FMIPA

IPB) atas saran-saran yang diberikan untuk kesempurnaan penulisan disertasi ini.

Penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada Dr. Ir. Gayuh Rahayu

selaku ketua PS Mikrobiologi serta seluruh staf pengajar PS Mikrobiologi atas

curahan ilmu selama menempuh studi di PS Mikrobiologi SPs IPB. Penulis juga

mengucapkan terimakasih kepada Kepala Bagian Mikrobiologi Departemen

Biologi dan Kepala Bagian Kimia Analitik Departemen Kimia, Fakultas MIPA IPB

yang telah memberi ijin penulis untuk melaksanakan penelitian ini. Kepada

seluruh tehnisi Lab. Mikrobiologi, Dept. Biologi dan Lab. Kimia Analitik, Dept.

Kimia dan PS Biofarmaka, penulis menyampaikan terimakasih atas segala

bantuannya dalam penyelesaian penelitian ini. Kepada seluruh mahasiswa S3,

S2 dan S1 sesama peneliti di Lab Mikrobiologi, penulis sampaikan terimakasih

atas kerjasama yang baik dan saling pengertiannya.

Kepada teman seperjuangan Dr. Ratih Dewi Hastuti dan Dr. Desniar serta

teman-teman dari Undip Semarang, Dr. Sunarno, Dr. Jumari, Dr. Sri Widodo

Agung Suedy dan Dr. Fuad Muhammad, penulis sampaikan terimakasih atas

diskusi-diskusi, kebersamaan dan bantuannya dalam penyelesaian studi ini.

Semoga kebersamaan ini tetap terjaga selamanya.

Kepada kedua orang tua penulis, Bapak Dwijosumarto dan Ibu Suresmi,

juga adik Sri Ristini dan keluarga, terimakasih atas doa yang tulus tiada henti

yang selalu mengiringi setiap langkah untuk penyelesaian studi S3 ini. Kepada

almarhum Bapak/Ibu mertua, penulis sampaikan terimakasih atas doa dan

curahan waktu untuk merawat anak-anak sebelum meninggalkan kami

selamanya. Kepada keluarga tercinta, istriku Nining Indrawati, SKom, MAB dan

anak-anakku Annisa Ismatul Jannah, Nadia Rizka Izzati dan Royan Rasyid

Habibie terima kasih atas kesabaran, pengorbanan, pengertian, dorongan dan

doa yang senantiasa menemani perjalanan S3 ini. Karya ini saya persembahkan

kepada keluarga tercinta.

Penulis menyadari bahwa tiada karya yang sempurna, untuk itu segala

masukan dan saran perbaikan senantiasa penulis harapkan. Semoga karya

ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2012

Sri Pujiyanto

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Klaten pada tanggal 13 Januari 1973, sebagai anak

pertama dari Bapak Dwijo Sumarto dan Ibu Suresmi. Pendidikan Sarjana Biologi

dalam bidang Mikrobiologi diselesaikan di Universitas Diponegoro pada tahun

1998. Pendidikan Magister Sains dalam bidang Mikrobiologi diselesaikan di

Institut Pertanian Bogor pada tahun 2001. Selanjutnya, penulis mendapatkan

kesempatan melanjutkan sekolah S3 di Program Studi Mikrobiologi, Sekolah

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui program

Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan

Tinggi. Penulis adalah staf pengajar di Jurusan Biologi, FMIPA Universitas

Diponegoro, Semarang. Hingga kini, penulis tercatat sebagai anggota himpunan

profesi Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia (PERMI). Selama menjadi

mahasiswa S3, penulis telah mempresentasikan sebagian dari penelitian

disertasi pada International Seminar of Indonesian Society for Microbiology,

tahun 2010 di Bogor, dengan judul “The Activity of α-Glucosidase Inhibitor of

Endophytic Actinomycetes Isolated from Indonesian Diabetic Medicinal Plants”.

Pada tahun 2012, sebagian hasil penelitian ini telah dipublikasikan di

International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Science, Vol 4, tahun

2012, dengan judul “Αlpha Glucosidase Inhibitor Activity and Characterization of

Endophytic Actinomycetes Isolated from some Indonesian Diabetic Medicinal

Plants”.

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL……………………………………………………………………. xiii

DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………………. xv

DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………………….. xvi

PENDAHULUAN

Latar Belakang……………………………………………………………… 1

Perumusan Masalah……………………………………………………….. 6

Tujuan Penelitian…………………………………………………………… 6

Manfaat Penelitian…………………………………………………………. 6

Novelty………………………………………………………………………. 7

Hipotesis…………………………………………………………………….. 7

TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit Diabetes Melitus………………………………………………… 9

Inhibitor α-Glukosidase dalam Pengobatan Diabetes…………………. 9

Tanaman Obat Diabetes…………………………………………………... 13

Tanaman Brotowali ………………………………………………….…….. 16

Mikrob Endofit………………………………………………………………. 18

Aktinomiset Endofit dan Potensinya……………………………………… 19

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian…………………………………………….. 23

Isolasi Aktinomiset Endofit………………………………………………… 23

Seleksi dan Uji Penghambatan Enzim α-Glukosidase…………………. 24

Peran Aktinomiset Endofit dalam Menghasilkan inhibitor α-Glukosidase ………………………………………………………………

24

Penentuan Waktu Produksi Optimum……………………………………. 25

Identifikasi Isolat Terpilih………………………………………………….. 25

Karakterisasi Morfologi Isolat……………………………………………... 26

Deteksi Gen Sedoheptulosa-7-Fosfat Siklase………………………….. 26

Isolasi dan Identifikasi Senyawa Inhibitor α-Glukosidase…………....... 27

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi Aktinomiset Endofit………………………………………………… 33

Penapisan Aktinomiset Endofit Penghasil Inhibitor α-Glukosidase....... 35

Karakterisasi Morfologi Isolat BWA65…………………………………… 40

Identifikasi Isolat Aktinomiset……………………………………………... 41

Deteksi Gen Sedoheptulosa-7-Fosfat Siklase………………………….. 43

Ekstraksi Senyawa Inhibitor ……………………………………………… 45

Uji Aktivitas Inhibitor α-Glukosidase Ekstrak……………………….. 46

Anaisis Fitokimia Ekstrak Etil Asetat………………………………… 48

Fraksinasi dengan Kromatografi Kolom…………………………………. 49

Pencarian Eluen Terbaik……………………………………………… 50

Uji Inhibisi α-Glukosidase Fraksi…………………………………….. 52

Karakterisasi dan Identifikasi Senyawa Inhibitor α-Glukosidase …….. 55

Pemeriksaan dengan KLT Analitik…………………………………… 55

Pengaruh Konsentrasi Substrat……………………………………… 57

Identifikasi dengan Uji Fitokimia……………………………………... 59

Analisis dengan Spektrofotometer UV-Vis………………………….. 60

Identifikasi Gugus Fungsi dengan FTIR …………………………… 64

Temuan Penting dan Implikasinya…………………………………… 66

KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………………………. 69

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………... 71

LAMPIRAN………………………………………………………………………...... 79

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Beberapa organisme penghasil senyawa inhibitor α-glukosidase…... 13

2 Kajian tanaman obat diabetes di berbagai negara……………………..

14

3 Kajian aktinomiset endofit pada beberapa tanaman dan potensinya...

21

4 Komposisi reaksi PCR:amplifikasi gen 16S rRNA……………………...

25

5 Komposisi reaksi PCR amplifikasi gen Sedoheptulosa-7-fosfat siklase……………………………………………………………………….

27

6 Isolat aktinomiset endofit dari berbagai tanaman obat diabetes dan aktivitas inhibitor α-glukosidase yang dihasilkannya…………………..

35

7 Karakteristik kultur isolat BWA65 pada berbagai media……………….

40

8 Hasil analisis sekuen DNA hasil amplifikasi gen penyandi sedoheptulosa-7-fosfat siklase isolat BWA65 menggunakan program BLASTX……………………………………………………………………..

45

9 Hasil ekstraksi senyawa inhibitor dengan berbagai pelarut……………

46

10 Aktivitas inhibitor α-glukosidase berbagai ekstrak kultur aktinomiset BWA65 ……………………………………………………………………..

47

11 Kandungan fitokimia ekstrak etil asetat kultur BWA65…………………

49

12 Hasil percobaan KLT untuk menentukan pelarut terbaik……………....

50

13 Hasil fraksinasi senyawa menggunakan kromatografi kolom gel silika…………………………………………………………………………

52

14 Aktivitas inhibitor α-glukosidase hasil fraksinasi kolom………………...

52

15 Aktivitas inhibitor α-glukosidase beberapa senyawa dibanding acarbose ……………………………………………………………………

54

16 Hasil KLT analitik Fraksi F6 dengan beberapa eluen…………………..

57

17 Pengaruh konsentrasi substrat terhadap kemampuan inhibitor α-glukosidase hasil fraksinasi……………………………………………..

57

18 Rentangan serapan spektrum UV-Vis flavonoid ……………..………...

62

19 Ciri spektrum golongan flavonoid utama ………………………………..

62

20 Identifikasi gugus fungsi fraksi F6 dengan FTIR………………………. 65

DAFTAR GAMBAR Halaman

1 Diagram alur kerangka pemikiran penelitian …………………………......

5

2 Struktur senyawa acarbose …………………………………………………

10

3 Jumlah isolat aktinomiset endofit isolat dari tanaman obat………...........

33

4 Jumlah isolat aktinomiset endofit berdasarkan asal bagian tanaman.....

34

5 Aktivitas inhibitor α-glukosidase oleh aktinomiset endofit tanaman T. crispa………………………………………………………………………….

38

6 Aktivitas inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh tanaman hasil kultur jaringan tanaman, tanaman dari alam dan isolat aktinomiset endofit ………………………………………………………………………...

39

7 Morfologi isolat aktinomiset endofit BWA65 yang diamati pada media Oatmeal Agar, mikroskop cahaya dan SEM ………………………………

41

8 Pohon filogenetik isolat BWA65 berdasarkan sekuen 16S rDNA............

42

9 Hasil amplifikasi PCR menggunakan primer VOG-F dan VOG-R ….......

44

10 Nilai IC50 berbagai ekstrak kultur BWA65…………………………………. 48

11 Kromatografi lapis tipis dengan variasi campuran pelarut pengembang heksan: etil asetat 1:4………………………………………………………..

51

12 Nilai IC50 dari fraksi aktif hasil kromatografi kolom gel silika……………..

53

13 Aktivitas inhibitor α-glukosidase fraksi terpilih (Fraksi F3 dan Fraksi F6) dibandingkan acarbose………………………………………………….

55

14 Hasil kromatografi lapis tipis Fraksi F6 menggunakan berbagai jenis eluen …………………………………………………………………………..

56

15 Pengaruh konsentrasi substrat terhadap kemampuan inhibitor α-glukosidase hasil fraksinasi………………………………………………….

58

16 Kurva Lineweaver-Burke aktifitas α-glukosidase …………………………

58

17 Spektrum spektrofotometer UV-Vis Fraksi F6………………....................

61

18 Spektrum spektrofotometer UV-Vis Fraksi F3 …………………………….

61

19 Spektrum FTIR Fraksi F6……………………………………………………

54

20 Struktur dasar senyawa auron……………………………………………… 65 21

Tanaman brotowali…………………………………………………………...

87

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Uji aktivitas inhibitor dan penentuan nilai IC50 ekstrak ……………………...

79

2 Hasil uji aktivitas hasil kromatografi kolom dan penentuan nilai IC50..........

81

3 Hasil sekuensing gen 16S rRNA isolat BWA65……………………………...

83

4 Hasil analisis BLAST sekuen gen 16S rRNA isolat BWA65……………….. 85

5 Tanaman brotowali……………………………………………………………... 87

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu masalah utama kesehatan

dunia. Menurut perkiraan, penderita diabetes di seluruh dunia pada tahun 2025

mendatang akan mencapai 300 juta orang. Sebagian besar (lebih dari 95%)

penderita diabetes merupakan penderita diabetes tipe 2 atau sering disebut non-

insulin dependent diabetes (Bailey & Day 2003). DM atau kencing manis

merupakan penyebab kematian tertinggi di antara penyakit non infeksi lainnya.

Sekitar 1.08 juta kematian akibat penyakit kardiovaskular (pembuluh darah) yang

terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya, sebanyak 851 ribu di antaranya

merupakan pasien DM.

Gejala penyakit diabetes adalah adanya keadaan hiperglikemia

(peningkatan kadar gula darah) yang terus-menerus dan bervariasi, terutama

setelah makan. Penyakit diabetes mellitus dapat menyebabkan adanya

komplikasi pada tingkat lanjut. Hiperglikemia dapat menyebabkan dehidrasi dan

ketoasidosis. Komplikasi jangka lama termasuk penyakit kardiovaskular,

kegagalan kronis ginjal, kerusakan retina yang dapat menyebabkan kebutaan,

serta kerusakan saraf yang dapat menyebabkan impotensi dan gangren dengan

risiko amputasi.

Penyakit DM merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi

dapat dikontrol. Pengobatan penyakit diabetes pada prinsipnya adalah suatu

usaha untuk menjaga agar kadar glukosa darah dapat dipertahankan pada

kondisi normal (80-120 mg/dl). Berbagai pilihan obat diabetes baik modern

maupun tradisional telah dikenal di masyarakat. Saat ini terdapat berbagai

pilihan obat diabetes oral yang tersedia untuk penderita diabetes tipe 2 (Bailey &

Day 2003).

Penggunaan inhibitor enzim dalam pengobatan penyakit telah lazim

digunakan dan mengalami perkembangan yang pesat. Nilai ekonomi obat yang

tergolong inhibitor enzim diperkirakan mencapai 95.57 milyar dolar pada tahun

2006 (Copeland 2005). Demikian juga dalam pengobatan diabetes, salah satu

target obat diabetes adalah menghambat enzim α-glukosidase. Enzim α-

glukosidase (EC 3.2.1.20) ini berperan dalam pencernaan karbohidrat komplek

(amilum) menjadi glukosa di dalam usus halus. Enzim ini menghidrolisis ikatan α-

1,4-D-glukosa dengan membebaskan molekul glukosa. Dengan dihambatnya

2

aktivitas enzim ini, maka asupan glukosa dari usus ke dalam darah dapat

dikurangi. Senyawa aktif yang memiliki aktivitas seperti ini adalah inhibitor α-

glukosidase. Beberapa senyawa kimia yang telah diketahui merupakan inhibitor

α-glukosidase antara lain: pradimicin (Yosuke et al. 1992), deoxynojirimycin

(Fischer et al. 1995), acarbose (Hemker et al. 2001), curcumin (Du et al. 2006)

dan ceptezole, suatu antibiotik beta laktam (Lee et al. 2007). Beberapa ekstrak

tanaman seperti: Pinus densiflora (Kim et al. 2003), Phalleria macrocarpa

(Sugiwati et al. 2006) dan Terminalia sp. (Anam et al. 2009) juga diketahui

memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase. Selain tanaman, organisme lain seperti

cendawan Ganoderma lucidum (Kim & Nho 2004) dan alga (Cannell et al. 1988)

serta aktinomiset juga diketahui memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase.

Beberapa aktinomiset yang diketahui menghasilkan inhibitor α-glukosidase

adalah: Actinomadura verrucosospora (Yosuke et al. 1992), Actinoplanes sp.

(Gown 2006), Streptomyces clavuligerus (Lee et al. 2007) dan Micromonospora

sp. (Suthindhiran et al. 2009).

Senyawa inhibitor α-glukosidase yang telah sukses dikomersialkan

adalah acarbose, suatu pseudooligosakarida yang memiliki struktur mirip glukosa.

Senyawa ini dihasilkan oleh Actinoplanes sp., suatu aktinomiset yang diisolasi

dari suatu daerah di Kenya dan dikomersialkan oleh perusahaan Bayer, Jerman

dengan nilai jual 379 juta US dolar pada tahun 2004 (Gown 2006).

Pengobatan diabetes secara tradisional pada umumnya dengan

memanfaatkan berbagai jenis tanaman yang memiliki kandungan bahan aktif

yang dapat menurunkan kadar gula dalam darah. Berbagai tanaman obat yang

secara empiris diketahui memiliki khasiat sebagai agen hipoglikemia antara lain

adalah: brotowali (Tinospora crispa), pinus (Pinus densiflora), lidah buaya (Alloe

vera), bawang putih (Allium sativum), bawang merah (Allium cepa), stevia

(Stevia rebaudiana), ubi jalar (Ipomoea batatas), sambiloto (Andrographis

paniculata), mengkudu (Morinda citrifolia), delima (Punica granatum), kelapa

(Cocos nucifera), jambelang (Eugenia jambolana), mahkota dewa (Phaleria

macrocarpha), ginseng (Panax sp), buah merah (Pandanus conoideus) dan pare

(Momordica charantia) (Subroto 2006; Klein et al. 2007; Bnouham et al. 2006).

Brotowali (Tinospora crispa) telah lama di kenal oleh masyarakat

tradisional Indonesia sebagai bahan pembuatan jamu yang di campur dengan

tanaman-tanaman herbal lainnya. Brotowali merupakan tanaman herba (perdu)

yang hampir semua bagian dari tubuhnya di manfaatkan sebagai obat serba

3

guna yang dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit seperti: kencing

manis, hipertensi, dan demam. Kajian ilmiah terhadap tanaman brotowali sebagai

obat diabetes telah dilakukan para peneliti. Noor dan Ashcroft (1998) melaporkan

bahwa ekstrak T. crispa mampu menstimulasi peningkatan sekresi insulin,

sehingga dapat berperan sebagai antihiperglikemia. Noipa dan Ninlaaesong

(2011) melaporkan bahwa ekstrak T. crispa dapat meningkatkan laju transpor

glukosa ke dalam sel. Uji klinis oleh Sriyapai et al. (2009) menunjukkan bahwa

konsumsi serbuk T. crispa dapat menurunkan kadar gula darah setelah makan.

Chougale et al. (2009) melaporkan bahwa ekstrak tanaman T.cordifolia memiliki

aktivitas inhibitor α-glukosidase. Patela dan Mishrab (2012) menemukan tiga

senyawa dari tanaman Tinospora cordifolia yang memiliki kemampuan inhibitor

α-glukosidase, yaitu jatrorrhizine, palmatine dan magnoflorine. Senyawa-

senyawa tersebut memiliki nilai IC50 berturut-turut sebesar 22.05, 38.42 and 7.6

µg/mL untuk jatrorrhizine, palmatine dan magnoflorine. Hasil uji in vivo juga

menunjukkan adanya penekanan yang signifikan terhadap kenaikan kadar

glukosa plasma darah oleh ketiga senyawa tersebut pada konsentrasi 20 mg/kg

berat badan. Senyawa magnoflorine merupakan senyawa paling potensial

sebagai inhibitor α-glukosidase di antara ketiga senyawa yang ditemukan

tersebut.

Selama ribuan tahun, senyawa bioaktif yang berasal dari alam telah

memegang peran penting dalam pengobatan dan upaya mempertahankan

kesehatan manusia. Senyawa-senyawa tersebut dapat dihasilkan dari berbagai

sumber seperti tanaman, hewan maupun mikroorganisme (Chin et al. 2006).

Bahan bioaktif alami selain dapat digunakan sebagai obat secara langsung, juga

berperan sebagai bahan baku dalam pembuatan senyawa sintetik (Topliss et al.

2002). Tanaman, merupakan salah satu sumber yang sangat penting dalam

upaya pengobatan dan upaya mempertahankan kesehatan masyarakat. Sampai

saat ini menurut perkiraan badan kesehatan dunia (WHO), 80% penduduk dunia

masih menggantungkan dirinya pada pengobatan tradisional termasuk

penggunaan obat yang berasal dari tanaman. Sampai saat ini seperempat dari

obat-obat modern yang beredar di dunia berasal dari bahan aktif yang diisolasi

dan dikembangkan dari tanaman (Radji 2005).

Indonesia yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia

berpotensi besar untuk mengembangkan obat herbal yang berbasis pada

tanaman obat. Lebih dari 1000 spesies tumbuhan dapat dimanfaatkan sebagai

4

bahan baku obat. Tumbuhan tersebut menghasilkan metabolit sekunder dengan

struktur molekul dan aktivitas biologis yang beraneka ragam serta memiliki

potensi yang sangat baik untuk dikembangkan menjadi obat berbagai penyakit

(Radji 2005).

Permasalahan yang muncul dari pemakaian obat herbal adalah

bagaimana menjaga tingkat produksi obat herbal tersebut dengan bahan baku

yang terbatas karena sebagian besar bahan baku obat herbal diambil dari

tanaman induknya. Terdapat kekhawatiran bahwa sumberdaya hayati ini akan

musnah karena adanya kendala dalam budidayanya. Bahkan disinyalir bahwa

bahan obat herbal yang diproduksi dan diedarkan di Indonesia saat ini sebagian

besar bahan bakunya sudah mulai diimpor dari beberapa negara lain (Radji

2005).

Mikrob endofit merupakan mikrob yang hidup di dalam jaringan tanaman

pada periode tertentu dan mampu membentuk koloni dalam jaringan tanaman

tanpa membahayakan inangnya. Mikrob endofit ini dapat berupa cendawan dan

bakteri termasuk aktinomiset. Menurut Tan dan Zou (2001) setiap tanaman

tingkat tinggi dapat mengandung sejumlah mikrob endofit yang mampu

menghasilkan senyawa biologi atau metabolit sekunder serupa dengan inangnya

yang diduga sebagai akibat koevolusi atau transfer genetik (genetic

recombination). Beberapa penelitian telah menunjukkan hasil yang mendukung

pendapat tersebut. Strobell dan Daisy (2003) melaporkan bahwa Taxomyces

andreanae endofit pada tanaman Taxus menghasilkaan paclitaxel. Paclitaxel

adalah senyawa antikanker yang dihasilkan juga oleh tanaman Taxus brevivolia.

Taechowisan et al. (2007) melaporkan Streptomyces aureofaciens, endofit pada

tanaman jahe menghasilkan senyawa arylcoumarin yang memiliki aktivitas

antitumor, dimana tanaman jahe juga memiliki senyawa anti tumor seperti

dilaporkan oleh Katiyar et al. (1996). Penelitian Castillo et al. (2002)

menunjukkan bahwa Streptomyces NRRL 30562 endofit pada tanaman Kennedia

nigriscans mampu menghasilkan antibiotik spektrum luas. Tanaman ini secara

tradisional digunakan suku aborigin untuk mencegah infeksi mikrob pada luka.

Aktinomiset telah lama diketahui sebagai sumber berbagai senyawa

bioaktif yang telah dimanfaatkan dalam berbagai bidang seperti kesehatan,

pertanian, maupun industri. Sekitar 70% senyawa bioaktif baru dihasilkan oleh

kelompok aktinomiset (Takahashi 2004). Berdasarkan fenomena tersebut, mikrob

endofit khususnya aktinomiset pada tanaman obat diharapkan dapat menjawab

5

Diabetes mellitus (DM) merupakan masalah utama kesehatan

(WHO 1999)

permasalahan keterbatasan pemakaian tanaman obat sebagai sumber senyawa

bioaktif. Eksplorasi mikrob endofit diharapkan dapat menghasilkan metabolit

sekunder penting yang memiliki khasiat sama dengan metabolit yang dihasilkan

tanaman inangnya. Beberapa tanaman obat khas Indonesia seperti: brotowali,

sambiloto, mahkota dewa, ciplukan, dan lain-lain telah diketahui secara empiris

memiliki khasiat sebagai obat diabetes. Tanaman obat diabetes merupakan

sumber potensial penghasil inhibitor α-glukosidase (Benalla et al 2010).

Berdasarkan pendapat Tan dan Zou (2001) yang menyatakan bahwa endofit

dapat menghasilkan senyawa yang sama dengan senyawa yang dihasilkan

tanaman inangnya maka tanaman obat diabetes merupakan sumber potensial

isolat penghasil inhibitor α-glukosidase. Isolat potensial dari tanaman obat

tersebut, diharapkan dapat digunakan untuk memproduksi senyawa inhibitor α-

glukosidase secara mikrobiologis, dengan jumlah yang lebih banyak dan

kualitas yang lebih baik. Dengan demikian, penelitian tentang potensi mikrob

endofit terutama aktinomiset dari tanaman obat diabetes khususnya brotowali

untuk menghasilkan senyawa inhibitor α-glukosidase yang berguna dalam

pengobatan penyakit diabetes perlu dilakukan. Kerangka pemikiran dari

penelitian ini secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram alur kerangka pemikiran penelitian.

Aktinomiset sumber bioaktif terbesar (70%)

(Takahashi 2004)

Endofit mampu menghasilkan bioaktif sama dengan inangnya (Tan & Zou 2001; Strobel & Daisy 2003; Castillo et al. 2002)

Potensi aktinomiset endofit tanaman T. crispa sebagai penghasil

senyawa inhibitor α-glukosidase

Pengobatan diabetes: menjaga glukosa darah tetap normal. Inhibitor alfa glukosidase menunda digesti karbohidrat (Bailey & Day 2003)

Brotowali secara empiris sebagai antidiabet, inhibitor α-glukosidase (Subroto 2006; Chougale et al.

2009; Patela & Mishrab 2012)

Beberapa Aktinomiset menghasilkan inhibitor α- glukosidase (Gown 2006; Lee et al. 2007; Suthindhiran et al. 2009)

6

Perumusan Masalah

Inhibitor α-glukosidase dapat dihasilkan oleh berbagai organisme, yaitu

tanaman tingkat tinggi, alga, cendawan, bakteri non aktinomiset dan aktinomiset.

Tanaman dapat mengandung mikrob endofit yang mampu menghasilkan

senyawa biologi atau metabolit sekunder serupa dengan tanaman inangnya.

Beberapa tanaman obat, khususnya T. crispa secara empiris diketahui memiliki

aktivitas antidiabetes dan menghasilkan α-glukosidase inhibitor. Dengan

demikian, dari tanaman obat yang telah diketahui memiliki aktivitas sebagai

antidiabetes serta diketahui menghasilkan senyawa inhibitor α-glukosidase akan

dapat diperoleh isolat endofit khususnya aktinomiset yang dapat menghasilkan

senyawa inhibitor α-glukosidase pula. Berdasarkan hal tersebut, dapat

dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apakah dari tanaman T. crispa yang telah diketahui memiliki khasiat

sebagai obat diabetes dapat diperoleh isolat aktinomiset endofit yang

dapat menghasilkan senyawa inhibitor α-glukosidase?

2. Bagaimanakah karakteristik dan identitas isolat aktinomiset endofit

penghasil inhibitor α-glukosidase yang diperoleh dari tanaman T. crispa

tersebut?

3. Bagaimana karakteristik senyawa inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan

oleh isolat aktinomiset endofit tersebut?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mendapatkan isolat aktinomiset endofit dari tanaman T. crispa yang telah

dikenal memiliki khasiat sebagai antidiabetes, yang berpotensi sebagai

penghasil senyawa inhibitor α-glukosidase.

2. Mengkarakterisasi dan mengidentifikasi isolat aktinomiset endofit

penghasil senyawa inhibitor α-glukosidase terpilih.

3. Mengkarakterisasi dan mengidentifikasi senyawa inhibitor α-glukosidase

yang dihasilkan oleh isolat aktinomiset endofit terpilih.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan ilmiah untuk

memproduksi senyawa inhibitor α-glukosidase secara mikrobiologis yang dapat

digunakan sebagai agen antihiperglikemia. Inhibitor α-glukosidase memiliki nilai

7

komersial tinggi karena kebutuhan obat diabetes semakin meningkat seiring

dengan meningkatnya jumlah penderita diabetes.

Produksi senyawa inhibitor α-glukosidase secara mikrobiologis ini

diharapkan lebih murah dan lebih efisien dibandingkan dengan cara mengekstrak

dari tanaman obat secara langsung karena dibutuhkan tanaman obat dalam

jumlah yang besar serta sulitnya penyeragaman kualitas bahan baku tanaman

obat. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi terobosan

teknologi dalam penyediaan bahan obat diabetes khususnya di Indonesia.

Novelty

Berdasarkan penelusuran literatur yang telah dilakukan, hingga saat ini

belum ada laporan kajian tentang inhibitor α-glukosidase dari aktinomiset endofit,

apalagi yang diisolasi dari tanaman T. crispa yang merupakan salah satu

tanaman obat tradisional di Indonesia. Beberapa informasi yang menyebutkan

adanya aktinomiset penghasil inhibitor α-glukosidase di atas semuanya adalah

bukan aktinomiset endofit.

Dengan demikian penelitian ini memiliki unsur kebaharuan yang akan

menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang potensi aktinomiset sebagai

penghasil senyawa bioaktif, khususnya senyawa inhibitor α-glukosidase dari

aktinomiset endofit tanaman T. crispa.

Hipotesis Penelitian

Berdasar kerangka pemikiran dari uraian pada latar belakang bahwa:

a) inhibitor α-glukosidase dapat dihasilkan oleh berbagai organisme, yaitu

tanaman tingkat tinggi, alga, cendawan, bakteri non aktinomiset dan

beberapa aktinomiset,

b) terdapat beberapa temuan penelitian yang menyatakan bahwa beberapa

mikrob endofit dapat menghasilkan senyawa yang serupa dengan

tanaman inangnya, dan

c) tanaman T. crispa diketahui memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase,

maka dapat dirumuskan suatu hipotesis: aktinomiset endofit penghasil senyawa

inhibitor α-glukosidase dapat diisolasi dari tanaman brotowali. Isolat aktinomiset

yang diperoleh mampu menghasilkan inhibitor α-glukosidase secara in vitro.

8

9

TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) atau dikenal sebagai kencing manis adalah

penyakit yang ditandai dengan hiperglikemia (peningkatan kadar gula darah)

yang terus-menerus dan bervariasi, terutama setelah makan. Sumber lain

menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan diabetes melitus adalah keadaan

hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan

hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, dan

pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis (Bailey & Day 2003).

Semua jenis diabetes melitus memiliki gejala yang mirip dan komplikasi

pada tingkat lanjut. Hiperglikemia sendiri dapat menyebabkan dehidrasi dan

ketoasidosis. Komplikasi jangka lama termasuk penyakit kardiovaskular,

kegagalan kronis ginjal (penyebab utama dialisis), kerusakan retina yang dapat

menyebabkan kebutaan, serta kerusakan saraf yang dapat menyebabkan

impotensi dan gangren dengan risiko amputasi. Komplikasi yang lebih serius

lebih umum terjadi bila kadar gula darah tidak dikendalikan dengan baik (WHO

1999).

Penyebab diabetes yang utama adalah karena kurangnya produksi insulin

(DM tipe 1, yang pertama dikenal), atau kurang sensitifnya jaringan tubuh

terhadap insulin (diabetes melitus tipe 2, bentuk yang lebih umum). Selain itu,

terdapat jenis diabetes melitus yang juga disebabkan oleh resistensi insulin yang

terjadi pada wanita hamil. Tipe 1 membutuhkan penyuntikan insulin, sedangkan

tipe 2 diatasi dengan pengobatan oral dan hanya membutuhkan insulin bila

obatnya tidak efektif. Diabetes melitus pada kehamilan umumnya sembuh

dengan sendirinya setelah persalinan (WHO 1999).

Inhibitor α-Glukosidase dalam Pengobatan Diabetes

Inhibitor α- glukosidase merupakan obat diabetes yang digunakan per

oral untuk pengobatan diabetes melitus tipe 2 yang bekerja dengan cara

mencegah digesti karbohidrat terutama amilum menjadi glukosa. Karbohidrat

secara normal akan dikonversi menjadi gula sederhana atau monosakarida yang

dapat diabsorbsi melalui instestinum. Dengan demikian inhibitor α- glukosidase

berperan dalam mengurangi pengaruh karbohidrat terhadap kandungan gula

darah.

10

Inhibitor α- glukosidase digunakan untuk mempertahankan kadar gula

agar tidak terjadi hiperglikemia di dalam diabetes melitus type 2. Obat ini dapat

digunakan sebagai monoterapi atau digunakan bersama obat diabetes lainnya.

Inhibitor α- glukosidase dapat berupa senyawa sakarida yang berperan sebagai

inhibitor kompetitif dari enzim yang diperlukan untuk mendigesti karbohidrat,

khususnya enzim α- glukosidase yang terdapat di dalam fili-fili usus kecil. Enzim

α-glukosidase yang terdapat pada membran sel-sel usus kecil menghidrolisis

oligosakarida, trisakarida dan disakarida menjadi glukosa dan monosakarida

lainnya yang terdapat di dalam usus kecil.

Salah satu contoh inhibitor α-glukosidase adalah acarbose. Acarbose

merupakan inhibitor α-glukosidase yang telah diterima di Amerika untuk

pengobatan diabetes tipe 2. Efek langsung dari antidiabetes ini adalah menunda

digesti karbohidrat komplek dan disakarida menjadi monosakarida yang mudah

diabsorbsi yaitu glukosa. Hal ini dapat tercapai oleh adanya penghambatan

reversibel terhadap enzim α-glukosidase (termasuk sukrase dan maltase) yang

terdapat di dalam duodenum. Pada pasien diabetes tipe 2, enzim ini

menghambat penundaan absorbsi glukosa sebagai kelanjutan proses

pencernaan karbohidrat kompleks. Acarbose tidak menimbulkan pengaruh

secara langsung terhadap resistensi insulin atau pengambilan glukosa yang

distimulasi insulin pada manusia (Clark 1998).

Acarbose merupakan pseudooligosakarida yang dihasilkan oleh genus

Actinoplanes dan telah digunakan untuk pengobatan pasien diabetes. Senyawa

ini sangat efektif untuk menghambat kerja enzim α-amilase, α-glukosidase, dan

sukrase. Struktur senyawa acarbose dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.

Gambar 2 Struktur senyawa acarbose (Zhang et al. 2002).

11

Inhibitor enzim memiliki nilai potensi digunakan dalam pengendalian dan

pengobatan berbagai jenis penyakit. Pengendalian kinetika pencernaan

karbohidrat dan absorbsi glukosa dapat digunakan sebagai sarana mencegah

dan terapi terhadap penyakit diabetes, obesitas, hiperlipoproteinemia dan

hiperlipidemia. Kaitannya dengan hal ini, inhibitor α-glukosidase merupakan

enzim hidrolase amilolitik yang membebaskan glukosa dari ujung non reduksi

dari molekul polisakarida dan oligosakarida (Kim & Nho 2004).

Senyawa inhibitor α-glukosidase SKG-3 telah berhasil diisolasi dari

Ganoderma lucidum dengan fraksinasi menggunakan berbagai teknik

kromatografi. Senyawa yang telah dipurifikasi dikonfirmasi menggunakan

kromatografi lapis tipis (KLT) dan High Pressure Liquid Chromatography (HPLC).

Senyawa SKG-3 murni menunjukkan spot tunggal pada pelat TLC dan

menunjukkan satu puncak pada HPLC dengan waktu retensi 13 menit. Pengaruh

konsentrasi SKG-3 terhadap daya hambat terhadap berbagai glikosidase diuji

dan hasilnya secara jelas menunjukkan bahwa SKG-3 potensial dalam

menghambat α-glukosidase yang ditunjukkan nilai IC50 sebesar 4,6 µg/ml. SKG-3

tidak menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap beta glukosidase, beta

galaktosidase atau α-mannosidase yang diujikan pada konsentrasi 100 µg/ml

(Kim & Nho 2004).

Daya hambat SKG-3 terhadap α-glukosidase akan meningkat dengan

melakukan preinkubasi senyawa SKG-3 dengan enzim mengindikasikan bahwa

senyawa ini bereaksi lambat dengan enzim α-glukosidase. Senyawa SKG-3

dapat dipisahkan dari α-glukosidase dengan dialisis. Ketika α-glukosidase

dicampur dengan sejumlah SKG-3 yang menghasilkan penghambatan 90%,

campuran reaksi ditempatkan pada kantong dialisis, hampir semua enzim dapat

diperoleh kembali dan memiliki aktivitas yang tinggi. Hasil ini menunjukkan

bahwa penghambatan SKG-3 terhadap α- glukosidase bersifat reversibel (Kim &

Nho 2004).

Penelitian Xiancui et al. (2005) menunjukkan bahwa beberapa spesies

makro alga juga dapat menghasilkan senyawa inhibitor α-glukosidase. Ekstrak

kasar makroalga seperti Rhodomela confervoides, Gracillaria textorii, Plocamium

telfairie, Ulva pertusa dan Enteromorpha intestinalis menunjukkan adanya

penghambatan yang kuat terhadap α-glukosidase pada konsentrasi 79,6 µg/ml.

Hasil penelitian Cannell et al. (1988) diperoleh senyawa pentagalloyl-glucose,

suatu inhibitor α-glukosidase dari alga air tawar Spirogyra varians. Aktivitas

12

inhibitor α- glukosidase juga ditunjukkan dari ekstrak air douchi (produk makanan

fermentasi kedelai dari Cina). Kultur murni Aspergillus oryzae yang digunakan

untuk fermentasi douchi di laboratorium ini, mampu menghasilkan inhibitor α-

glukosidase lebih tinggi dari pada isolat Actinomucor elegans dan Rhizopus

arrhizus (Chen et al. 2004).

Suatu antibiotik beta laktam ceftezole, dilaporkan memiliki aktivitas

menghambat α-glukosidase. Uji in vitro terhadap α-glukosidase, senyawa ini

menunjukkan adanya hambatan yang reversibel. Senyawa SKG-3 diketahui juga

merupakan hambatan non kompetitif. Percobaan pada mencit diabet

menunjukkan bahwa pemberian ceptezole (10 mg/kg/hari) dapat menurunkan

kadar glukosa darah sebesar 30% dalam waktu 20 menit setelah pemberian

obat tersebut (Lee at al. 2007).

Senyawa inhibitor α-glukosidase juga dapat dihasilkan oleh binatang spon

laut Penares sp. Senyawa yang dihasilkan hewan tersebut adalah penarolide

sulfat A1 dan A2, suatu makrolida yang merupakan kelompok senyawa poliketida.

Senyawa tersebut memiliki nilai IC50 berturut-turut 1.2 dan 1.5 μg/ml (Nakao et

al. 2000). Kajian inhibitor α-glukosidase pada beberapa organisme diringkaskan

pada Tabel 1.

Berdasarkan informasi pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa inhibitor α-

glukosidase dapat dihasilkan oleh berbagai kelompok organisme seperti:

tanaman, alga, cendawan, aktinomiset maupun bakteri non aktinomiset. Dari

tabel tersebut terlihat bahwa kelompok aktinomiset telah cukup banyak

dilaporkan mampu menghasilkan senyawa inhibitor α-glukosidase. Namun

demikian, dari semua aktinomiset penghasil inhibitor α-glukosidase tersebut,

tidak satupun yang dilaporkan sebagai aktinomiset endofit. Berdasarkan fakta

tersebut terbuka peluang yang besar untuk mendapatkan isolat-isolat baru

aktinomiset penghasil inhibitor α-glukosidase, khususnya aktinomiset endofit

yang diisolasi dari tanaman obat.

13

Tabel 1 Beberapa organisme penghasil senyawa inhibitor α- glukosidase

No Organisme penghasil

Bahan aktif Pustaka

Tumbuhan 1 Pisonia alba ekstrak etanol Sunil et al. 2009 2 Terminalia sp. ekstrak etanol 96% Anam et al. 2009 3 Bergenia ciliata ekstrak kasar Bhandari et al. 2008 4 Piptadenia africana piptadienol Mbouangouere et al.

2008 5 Curcuma longa curcumin Du et al. 2006 6 Pinus densiflora ekstrak etanol 70% Kim et al. 2003

Cendawan 1 Ganoderma lucidum SKG-3, senyawa belum

diidentifikasi Kim et al. 2004

2 Penicillium sp Cyclo (dehydroala-L-Leu) Kwoon et al. 2000

Alga 1 Ecklonia stolonifera phlorotannin Moon et al. 2011 2 Spirogyra varians pentagalloyl glucosa Cannell et al. 1988

Aktinomiset 1 Micromonospora ekstrak etil asetat Suthindhiran et al.

2009

2 Streptomyces clavurigus

ceftezole, suatu antibiotik beta laktam

Lee et al. 2007

3 Actinoplanes sp. acarbose Hemker et al. 2001 4 Actinomadura

verrucospora pradimicin Q, C24H16O10 Yosuke et al. 1992

Bakteri non aktinomiset 1 Bacillus subtilis Ekstrak kasar Zhu et al. 2008

Tanaman Obat Diabetes

Bnouham et al. (2006) melaporkan bahwa setidaknya ada 176 spesies

tanaman yang berasal dari 84 famili yang telah dikaji di berbagai negara dan

menunjukkan potensi yang tinggi di dalam pengobatan penyakit diabetes.

Beberapa tanaman yang sangat potensial tersebut antara lain adalah famili:

Leguminoseae (11 spesies), Lamiaceae (7 spesies), Liliaceae (8 spesies),

Cucurbitaceae (7 spesies), Asteraceae (6 spesies), Moraceae (6 spesies),

Rosaceae (6 spesies), Euphorbiaceae (5 spesies) and Araliaceae (5 spesies).

Spesies yang paling banyak dikaji adalah: Citrullus colocynthis, Opuntia

streptacantha Lem. (Cactaceae), Trigonella foenum greacum L. (Leguminosae),

Momordica charantia L. (Cucurbitaceae), Ficus bengalensis L. (Moraceae),

Polygala senega L. (Polygalaceae) dan Gymnema sylvestre R. (Asclepiadaceae).

14

Tanaman Lagerstroemia speciosa (Lythraceae), yang di kawasan Asia

Tenggara dikenal dengan nama banaba, secara tradisional telah dikonsumsi

masyarakat dalam berbagai bentuk untuk pengobatan diabetes dan penyakit

ginjal. Pada tahun 1990-an popularitas tanaman ini telah menarik perhatian para

ilmuwan di berbagai negara. Sejak saat itu, konsistensi aktivitas anti diabetes

dari tanaman ini diuji secara in vitro maupun in vivo (Klein et al. 2007).

DM merupakan penyakit yang umum terjadi di berbagai negara, sehingga

upaya pengobatan penyakit DM mulai tradisional hingga modern banyak

dilakukan. Sejumlah penelitian tanaman obat yang memiliki khasiat sebagai

antidiabetes juga telah dilakukan oleh ilmuwan di berbagai negara (Tabel 2).

Tabel 2 Kajian tanaman obat diabetes di berbagai negara

No Tanaman Negara Informasi bahan aktif Referensi

1 Ceiba pentandra Afrika Selatan

ekstrak C. pentandra pada dosis rendah 40 mg/kg bb menurunkan glukosa darah 40.0% dan 48.9%, pada tikus normal dan tikus diabet

Djoemeni et al. 2006

2 Helichrysum odoratissimum, Helichrysum nudifolium, Artemisia afra, Vernonia oligocephala

Afrika Selatan

secara tradisional dikonsumsi sebagai sayur atau lalap

Mahop & Mayet 2007

3 Coccinia cordifolia, Catharanthus roseus

Bangla-desh

ekstrak metanol daun tanaman C. cordifolia dan C. roseus memiliki efek antihiperglikemik pada tikus diabet yang diinduksi dengan aloksan

Akhtar et al. 2007

4 Cissus sicyoides

Brazilia senyawa aktif yang terkandung pada tanaman ini juga memiliki aktivitas antimikrob

Beltrame et al. 2002

5 Panax ginseng

Cina senyawa ginsenosida hasil ekstraksi secara signifikan sebagai antihiperglikemik pada mencit yang kegemukan

Attele et al. 2002

6 Andrographis paniculata

Malaysia pemberian secara oral ekstrak etanol Andrographis paniculata berperan dalam meningkatkan sensitivitas insulin dan penundaan perkembangan resistensi insulin

Subramanian et al. 2008

7 Murraya konigii, Ocimum tenuiflorum

India ekstrak kloroform Ocimum tenuiflorum dan Murraya konigii menghambat α- glukosidase

Bhat et al. 2008

8 Syzygium cumini

India diperoleh senyawa mycaminose yang memiliki efek antidiabet pada tikus

Kumar et al. 2008

9 Acacia catechu, India berbagai tanaman tersebut Jeyacand

15

Alpinia calcarata, Budea monosperma

secara tradisional digunakan dalam ayurveda sebagai obat antidiabet

ran & Mahes 2007

10 Melia dubia India ekstrak alkhohol M. dubia efektif sebagai agen hipoglikemik

Susheela et al. 2008

11 Phyllanthus fraternus

India ekstrak etanol P. fraternus memiliki efek antidiabet dan antioksidan dibanding obat standar tolbutamide.

Garg et al. 2008

12 Tribullus terrestris India ekstrak T. terrestris dapat menurunkan gula darah mencit hiperglikemia

Lamda et al. 2011

13 Terminalia sp.

Indonesia ektrak metanol daun terminalia mampu menghambat α-glukosidase, nilai IC50 5µg/ml

Anam et al. 2009

14 Shorea balanocarpoides

Indonesia ekstrak kayu raru dari jenis S. balanocarpoides memiliki inhibisi terhadap α- glukosidase berkisar 88-97%.

Pasaribu, 2009

15 Andrographis paniculata

Indonesia ekstrak etanol herba sambiloto mempunyai efek menurunkan glukosa darah pada uji toleransi glukosa

Yulinah et al. 2001

16 Phalleria macrocarpa

Indonesia ekstrak buah mahkota dewa memiliki aktivitas inhibitor α- glukosidase yang memiliki efek antihiperglikemia pada tikus putih

Sugiwati et al. 2006

17 Tanaman famili Apocynaceae,Clusiaceae, Euphorbiaceae, Rubiaceae

Indonesia berbagai ekstrak memiliki aktivitas lebih tinggi dari acarbose

Elya et al. 2012

18 Verbascum cermanensis, Rosa damascene, Rosmarinus officinnalis

Iran ekstrak metanol dan air beberapa tanaman tersebut menghambat di atas 50% terhadap α- glukosidase

Gholamhoseinian et al. 2008

19 Viscum album Inggris terdapat senyawa aktif dalam tanaman Viscum album yang berperan meningkatkan sekresi insulin, sebagai senyawa antidiabetes

Gray & Flat 1999

20 Chrysanthemum coronarium, Dioscorea batatas, Morus alba, Citrus unshiu

Korea pemberian ekstrak C. coronarium dan M. alba memiliki efek hipoglikemik pada tikus diabet setara dengan glibenclamide. Pemberian ekstrak C.unshiu menunjukkan efek antihiperlipidemik dibanding antidiabetik.

Kim et al. 2006

21 Guaiacum coulteri, Psacalium peltatum dan Psidium guajava

Mexico P. peltatum dan G. coulteri memiliki efek antihiperglikemik pada kelinci diabet dan kelinci sehat.

Aguilar et al. 2003

22 Azadirachta indica Nigeria ekstrak tanaman tersebut baik Ebong et

16

dan Vernonia amygdalina

secara kombinasi atau secara sendiri dapat mereduksi kadar gula darah yang setara dengan clorpropamid.

al. 2008

23 Lagerstroemia speciosa

Philipina digunakan sebagai obat diabetes di Philipina, mengandung tannic acid dan penta galoil glucose (PGG)

Klein et al. 2007

24 Flemingia sp Taiwan ekstrak air Flemingia sp memiliki IC50 253 µg/ml terhadap α- glukosidase

Hsieh et al. 2010

Di Indonesia, juga dikenal berbagai tanaman yang dikenal memiliki kasiat

sebagai obat diabetes seperti sambiloto, brotowali, ciplukan, daun dewa, pare,

dan mahkota dewa. Tanaman tersebut secara empiris telah digunakan oleh

masyarakat Indonesia untuk pengobatan diabetes. Beberapa kajian ilmiah juga

telah dilakukan untuk mengetahui kandungan bahan aktif tanaman ataupun

mekanisme kerja bahan aktif tanaman dalam menurunkan kadar gula darah.

Yulinah et al. (2001) melaporkan bahwa ekstrak etanol tanaman sambiloto

mampu menurunkan kadar gula darah tikus putih yang menderita hiperglikemia.

Ekstrak buah mahkota dewa juga dilaporkan memiliki kemampuan sebagai anti

hiperglikemia melalui aktivitas inhibitor α-glukosidase (Sugiwati et al. 2006).

Pasaribu (2009) melaporkan bahwa kayu raru (Shorea sp) memiliki aktivitas

inhibitor α- glukosidase. Di samping, itu masih banyak jenis-jenis tanaman dii

Indonesia dari famili Apocynaceae, Clusiaceae, Euphorbiaceae, dan Rubiaceae

yang memiliki aktvitas inhibitor α-glukosidase (Elya et al. 2011).

Tanaman brotowali (T. crispa)

Klasifikasi tanaman brotowali adalah sebagai berikut:

Kingdom: Plantae

Subkingdom: Tracheobionta

Super Divisi: Spermatophyta

Divisi: Magnoliophyta

Kelas: Magnoliopsida

Sub Kelas: Magnoliidae

Ordo: Ranunculales

Famili: Menispermaceae

Genus: Tinospora

Spesies: Tinospora crispa

17

Tanaman brotowali merupakan salah satu tanaman obat yang terkenal

dari Asia Tenggara. Tanaman ini sudah berabad-abad dikenal sebagai salah satu

tanaman obat yang sangat manjur. Penyebaran brotowali di Asia meliputi:

wilayah Cina, Semenanjung Melayu, Filipina, India dan Indonesia. Brotowali

mulai tersebar ke seluruh penjuru benua setelah terjadi hubungan dagang antar

benua. Hal tersebut di karenakan manfaatnya yang sangat besar sebagai bahan

baku obat-obatan. Brotowali merupakan tanaman obat tradisional Indonesia yang

biasa ditanam di pekarangan atau tumbuh liar di hutan. Rebusan batangnya yang

terasa sangat pahit biasa dijadikan obat rematik, menurunkan kadar gula darah

dan menurunkan panas. Di Indonesia, selain dikenal dengan nama bratawali,

tanaman ini juga dikenal dengan nama daerah andawali, antawali, putrawali atau

daun gadel.

Tinospora crispa, termasuk suku Menispermaceae, klas Magnoliopsida

(Dicotyledoneae), divisi Magnoliophyta (Spermatophyta). Ciri-ciri penting dari

tumbuhan ini: liana, membelit dengan batang dan ranting, batang sukulen dan

berbenjol-benjol; daun tunggal, tanpa stipula, tulang daun menjari, fitotaksis

tersebar; bunga uniseksual, trimeros, aksiler atau cauliflorous; buah batu; tipe

daun dorsiventral, stomata anomositik; berkas pembuluh kolateral terbuka; pada

bagian korteks batang terdapat lengkungan sklerenkim; kandungan kimianya

terdiri atas: amilum, pikroretin, pikroretosida, alkaloida, saponin, tanin. (Santa et

al. 1998)

Brotowali atau Tinospora crispa (L.) Miers ex Hoff. memiliki sinonim T.

cordifolia (Thunb.) Miers, T. rumphii Boerl, T. tuberculata, Cocculus crispum,

Menispermum crispum, M. tuberculatum, M. verrucosum. Di setiap daerah dan

negara juga memiliki berbagai macam nama yang berbeda-beda. Walaupun

persebarannya sudah ke seluruh benua tetapi belum di temui keragaman tingkat

subgenus yang mencolok. Hal tersebut disebabkan karena tanaman ini termasuk

tanaman yang mudah bertahan hidup dalam kondisi ekstrim.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa brotowali mengandung berbagai

macam zat kimia yang sangat membantu sekali dalam proses penyembuhan.

Brotowali telah lama di kenal oleh masyarakat tradisional Indonesia sebagai

bahan pembuatan jamu yang di campur dengan tanaman-tanaman herbal

lainnya. Brotowali merupakan tanaman herba (perdu) yang hampir semua

bagian dari tubuhnya di manfaatkan sebagai obat serba guna yang dapat

18

menyembuhkan berbagai macam penyakit seperti: diabetes melitus, hipertensi,

dan demam. Kajian ilmiah terhadap tanaman brotowali sebagai obat diabetes

telah dilakukan para peneliti. Noor dan Ashcroft (1997) melaporkan bahwa

ekstrak T. crispa mampu menstimulasi peningkatan sekresi insulin, sehingga

dapat berperan sebagai antihiperglikemia. Noipa dan Ninlaaesong (2011)

melaporkan bahwa ekstrak T. crispa dapat meningkatkan laju transpor glukosa

ke dalam sel. Chougale et al. (2009) melaporkan bahwa ekstrak tanaman T.

cordifolia memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase. Patela dan Mishrab (2012)

menemukan tiga senyawa dari tanaman Tinospora cordifolia yang memiliki

kemampuan inhibitor α-glukosidase, yaitu jatrorrhizine, palmatine dan

magnoflorine. Senyawa-senyawa tersebut memiliki nilai IC50 berturut-turut

sebesar 22.05, 38.42 and 7.6 µg/mL untuk jatrorrhizine, palmatine dan

magnoflorine. Hasil uji in vivo juga menunjukkan adanya penekanan yang

signifikan terhadap kenaikan kadar glukosa plasma darah oleh ketiga senyawa

tersebut pada konsentrasi 20 mg/kg berat badan. Senyawa magnoflorine

merupakan senyawa paling potensial sebagai inhibitor α-glukosidase diantara

ketiga senyawa yang ditemukan tersebut. Uji klinis oleh Sriyapai et al. (2009)

menunjukkan bahwa konsumsi serbuk T. crispa dapat menurunkan kadar gula

darah setelah makan.

Mikrob Endofit

Mikrob endofit adalah mikrob yang hidup di dalam jaringan tanaman pada

periode tertentu dan mampu hidup dengan membentuk koloni dalam jaringan

tanaman tanpa membahayakan inangnya. Setiap tanaman tingkat tinggi dapat

mengandung beberapa mikrob endofit yang mampu menghasilkan senyawa

biologi atau metabolit sekunder yang diduga sebagai akibat koevolusi atau

transfer genetik (genetic recombination) dari tanaman inangnya ke dalam mikrob

endofit (Tan & Zou 2001).

Kemampuan mikrob endofit memproduksi senyawa metabolit sekunder

sesuai dengan tanaman inangnya merupakan peluang yang sangat besar dan

dapat diandalkan untuk memproduksi metabolit sekunder dari mikrob endofit

yang diisolasi dari tanaman inangnya tersebut. Sekitar 300000 jenis tanaman

yang tersebar di muka bumi ini, masing-masing tanaman mengandung satu atau

lebih mikrob endofit yang terdiri dari bakteri dan cendawan (Strobel & Daisy

2003). Apabila endofit yang diisolasi dari suatu tanaman obat dapat

19

menghasilkan metabolit sekunder sama dengan tanaman inangnya atau bahkan

dalam jumlah yang lebih tinggi, maka tidak perlu mengambil tanaman aslinya

untuk diambil sebagai simplisia.

Berbagai jenis endofit telah berhasil diisolasi dari tanaman inangnya, dan

telah berhasil dibiakkan dalam media sintetik yang sesuai. Demikian pula

metabolit sekunder yang diproduksi oleh mikrob endofit tersebut telah berhasil

diisolasi dan dimurnikan serta telah dielusidasi struktur molekulnya. Berbagai

produk mikrob endofit yang telah dilaporkan adalah sebagai antibiotik, antivirus,

antikanker, antioksidan, antidiabetes, imunosupresif dan lain-lain (Strobel &

Daisy 2003).

Endofit yang telah dilaporkan memiliki aktivitas antidiabet adalah

Pseudomassaria sp. Endofit yang diisolasi dari hutan dekat Kinshasa, Republik

Congo ini mampu menghasilkan senyawa non peptida (L-783,281). Senyawa ini

memiliki aktivitas yang menyerupai insulin, tetapi tidak seperti insulin karena tidak

terdegradasi di dalam sistem pencernaan, sehingga dapat digunakan secara oral.

Pemberian secara oral senyawa L-783,281 terhadap hewan model mencit

diabetes menunjukkan adanya penurunan kadar gula darah secara signifikan.

Hasil ini memberi kemungkinan terapi baru terhadap diabetes (Strobel & Daisy

2003).

.

Aktinomiset Endofit dan Potensinya

Aktinomiset telah lama diketahui sebagai sumber berbagai senyawa

bioaktif yang telah dimanfaatkan dalam berbagai bidang seperti kesehatan,

pertanian, maupun industri. Beberapa hasil penelitian di bawah ini merupakan

contoh potensi aktinomiset endofit yang mampu menghasilkan senyawa bioaktif

yang berguna dalam bidang medis.

Streptomyces sp. strain NRRL 30562 merupakan isolat endofit dari

tanaman obat snakevine (Kennedia nigriscans) yang mampu menghasilkan

antibiotik berspektrum luas yang disebut munumbicin. Senyawa ini dapat

menghambat pertumbuhan Bacillus anthracis, dan Mycobacterium tuberculosis

yang multi resisten terhadap berbagai obat anti tuberkulosis, sehingga senyawa

ini berpotensi digunakan untuk pengobatan terhadap penyakit tuberkulosis

(Castillo et al. 2002).

Jenis endofit lainnya yang juga menghasilkan antibiotik berspektrum luas

adalah aktinomiset endofit yang diisolasi dari tanaman Grevillea pteridifolia.

20

Endofit ini menghasilkan metabolit kakadumycin. Aktivitas anti bakterinya sama

seperti munumbicin (Castillo et al. 2003). Streptomyces sp. (MSU-2110) yang

merupakan isolat endofit pada tanaman Monstrea sp. mampu menghasilkan

antibiotik coronamycin yang dapat menghambat cendawan Cryptococcus

neoformans yang bersifat patogen pada manusia (Ezra et al. 2004).

Paclitaxel dan derivatnya merupakan zat yang berkhasiat sebagai anti

kanker yang pertama kali ditemukan yang diproduksi oleh mikrob endofit.

Paclitaxel merupakan senyawa diterpenoid yang terdapat dalam tanaman Taxus.

Senyawa yang dapat mempengaruhi molekul tubulin dalam proses pembelahan

sel-sel kanker ini, dapat diproduksi oleh endofit Pestalotiopsis microspora yang

terdapat pada tanaman Taxus andreanae, T. brevifolia, dan T. wallichiana

(Strobel 2001). Beberapa aktinomiset endofit lainnya seperti Kitasatospora dan

Micromonospora telah dapat diisolasi dari tanaman Taxus yang mampu

menghasilkan berbagai senyawa taxane yang memiliki aktivitas sebagai

antitumor (Caruso et al. 2000).

Streptomyces aureofaciens CMUAc130 yang diisolasi dari jaringan akar

tanaman jahe (Zingiber officinale) dapat menghasilkan senyawa 4-arylcoumarin

yang memiliki aktivitas anti tumor. Pemberian senyawa ini secara intra peritonial

dapat menghambat perkembangan sel Lewis Lung Carcinoma (LLC). Senyawa

4-arylcoumarin menunjukkan aktivitas anti tumor dengan nilai T/C 80.8 dan

50,0% pada dosis 1 dan 10 mg/kg berat badan (dalam bentuk 5,7-dimetoxy-4-

pherylcoumarin) dan 81.5 dan 44.9% pada dosis 1 dan 10 mg/kg (dalam bentuk

5,7-dimetoxy-4-phenylcoumarin). Kontrol positif yang berupa senyawa

adriamycin menunjukkan nilai T/C 55.9% pada dosis 2 mg/kg berat badan

(Taechowisan et al. 2007). Senyawa pterocidin yang dihasilkan oleh

Streptomyces hygroscopicus merupakan senyawa sitotoksik terhadap beberapa

human cancer cell lines sehingga berpotensi digunakan untuk pengobatan

kanker (Igarashi et al. 2006).

Munumbicin C dan D yang dihasilkan dari Streptomyces endofit sangat

berpotensi digunakan sebagai obat anti malaria. Hasil pengujian terhadap

Plasmodium falciparum menunjukkan bahwa nilai IC50 dari munumbicin tersebut

masing-masing 6.5 dan 4.5 ng/ml, lebih rendah dari IC50 cloroquin yang

merupakan gold standar obat anti malaria yaitu 7.0 ng/ml (Castillo et al. 2002).

Streptomyces sp. (MSU-2110) yang merupakan isolat endofit pada tanaman

Monstrea sp. mampu menghasilkan antibiotik peptida yang disebut coronamicin.

21

Senyawa ini juga memiliki kemampuan dalam menghambat Plasmodium

falciparum dengan IC50 sebesar 9 ng/ml sehingga berpotensi juga digunakan

sebagai obat antimalaria (Ezra et al. 2004). Ringkasan kajian aktinomiset endofit

pada beberapa tanaman dan potensinya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Kajian aktinomiset endofit pada beberapa tanaman dan potensinya

No Aktinomiset endofit

Tanaman inang Potensi Pustaka

1 Microbispora Streptomyces Micromonospora

Brassica campestris

biokontrol terhadap Plasmodiospora brassicae

Sun et al. 2008

2 Pseudonocardia oroxyli sp.

Oroxylum indicum

belum dilaporkan Gu et al. 2006

3 Streptomyces Microbispora Micromonospora Nocardiades

Gandum biokontrol patogen tanaman

Coombs & Franco 2003

4 Streptomyces sp Zingiber officinale Alpinia galanga

biokontrol terhadap Candida albicans dan Fusarium oxysporum

Taecowisan & Lumyong 2003

5 Streptomyces sp Aegiceras comiculatum

menghasilkan cyclopentenone

Lin et al. 2005

6 Streptomyces hygroscopicus

- senyawa sitotoksik (pterocidin)

Igarashi et al. 2006

7 Streptomyces sp Monstrea menghasilkan coronamicin (antifungi, antimalaria)

Ezra et al. 2004

8 Streptomyces aureofaciens

Zingiber officinale

menghasilkan coumarin (antitumor)

Taecowisan et al. 2007

9 Kitasatospora Micromonospora Streptomyces

Taxus sp menghasilkan taxane (antikanker)

Caruso et al. 2000

10 Streptomyces sp Kennedia nigriscans

menghasilkan munumbicin (antifungi, antimalaria, anti TBC

Castillo et al. 2002

Studi awal telah dilakukan Irawan (2008) dengan melakukan isolasi

aktinomiset endofit dari tanaman ciplukan, temulawak dan brotowali. Lima belas

isolat aktinomiset yang telah diperoleh, dua diantaranya mampu menghasilkan

inhibitor α-glukosidase, yaitu isolat Tc-2.1 (dari brotowali) dan Cx-10.1 (dari temu

lawak). Hasil pengujian awal menunjukkan ekstrak kasar isolat Cx-10.1 memiliki

daya hambat lebih besar dibandingkan dengan Glucobay 0.1% terhadap enzim

α-glukosidase.

Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa sejumlah aktinomiset endofit dapat

diisolasi dari berbagai jenis tanaman. Isolat-isolat aktinomiset endofit tersebut

22

juga dilaporkan mampu menghasilkan senyawa bioaktif dalam medium sintetik di

laboratorium. Kenyataan ini mengindikasikan adanya peluang yang besar untuk

mendapatkan isolat-isolat baru aktinomiset endofit dalam rangka pencarian

senyawa bioaktif baru, khususnya senyawa inhibitor α-glukosidase.

23

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi

dan di Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia, FMIPA IPB dari bulan

April 2009 sampai dengan Maret 2012.

Isolasi Aktinomiset Endofit

Sampel tanaman brotowali (Tinospora crispa) diperoleh dari Kebun

Koleksi Tanaman Obat, Pusat Studi Biofarmaka, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sampel tanaman berupa bagian akar, batang dan daun tanaman brotowali.

Disamping brotowali, beberapa tanaman obat yang telah diketahui memiliki

kasiat sebagai obat diabetes juga dilakukan isolasi aktinomiset endofitnya, yaitu:

lidah buaya (Alloe vera), mahkota dewa (Phaleria macrocarpa), temu ireng

(Curcuma aeruginosa), pegagan (Centela asiatica), tempuyung (Xoncus

arvensis), sambiloto (Andrographis paniculata), secang (Caesalpinia sappan),

temu lawak (Curcuma xanthorriza), pete (Parcia speciosa) sambung nyawa

(Gynura procumbens), ciplukan (Physalis peruviana) dan rosela (Hibiscus

sabdariffa).

Bagian tanaman yang diisolasi dicuci dengan air lalu dilakukan sterilisasi

permukaan mengikuti metode seperti yang diterangkan Coombs dan Franco

(2003). Sampel tanaman direndam dalam alkhohol 70% selama 1 menit, larutan

hipoklorit 1% selama 5 menit, lalu alkhohol 70% selama satu menit, dan terakhir

dibilas dengan akuades steril. Sampel tanaman yang telah steril selanjutnya

dihaluskan secara aseptik dengan mortar dan ditambahkan 4 ml 12.5 mM buffer

fosfat. Sebanyak 100 µl suspensi sampel diinokulasikan pada medium Humic

Acid Vitamin B (HV) agar dengan penambahan 50 ppm cycloheximide dan 30

ppm nalidixic acid. Inkubasi dilakukan selama 14-21 hari pada suhu ruang.

Untuk konfirmasi keberhasilan proses sterilisasi permukaan, bilasan terakhir

akuades juga dilakukan pencawanan pada medium HV agar. Koloni-koloni

aktinomiset yang tumbuh diisolasi dan dimurnikan lebih lanjut menggunakan

medium Yeast Malt Extract Agar (YMA). Koleksi isolat disimpan dalam medium

YMA miring pada suhu 4 0C dan larutan gliserol 15% pada suhu -20 0C.

24

Seleksi dan Uji Aktinomiset Endofit Penghasil Inhibitor α-glukosidase

Semua isolat yang diperoleh ditumbuhkan ke dalam medium cair berisi

0.1% soluble starch, 0.5% pepton, dan 0.1% yeast extract (pH 7) selama 14 hari

dengan kecepatan agitasi 120 rpm pada temperatur ruang. Biomassa sel

dipisahkan dengan sentrifugasi dengan kecepatan 1432 x g selama 20 menit dan

supernatan yang diperoleh diuji aktivitas inhibitor α-glukosidasenya. Aktivitas

inhibitor α-glukosidase diuji menurut Anam et al. (2009). Uji penghambatan

enzim dilakukan berdasarkan pada pemecahan substrat untuk menghasilkan

produk berwarna, yang diukur absorbansinya selama periode waktu tetentu.

Enzim α-glukosidase (Sigma, St. Louis) dilarutkan dalam 0.1 M buffer fosfat pH 7

dengan konsentrasi 0.25 unit/ml. Substrat yang digunakan adalah p-Nitrophenyl

α-D-glucopyranoside (Sigma, St. Louis) 20 mM yang dilarutkan dalam 0.1 M

buffer fosfat pH 7. Campuran reaksi terdiri dari 125 l substrat, 240 l 0.1 M

buffer fosfat pH 7 dan 10 l sampel. campuran reaksi diinkubasi pada suhu 370C

selama 5 menit, ditambahkan 125 l larutan enzim dan diinkubasi selama 15

menit pada suhu 37 0C. Reaksi dihentikan dengan penambahan 500 l larutan

Na2CO3 200 mM, dan p-nitrophenol yang dihasilkan diukur absorbansinya pada

panjang gelombang 400 nm. Sebagai pembanding digunakan larutan acarbose 1

mg/ml. Penghambatan aktivitas enzim α-glukosidase ditentukan dengan rumus:

Penghambatan (%) = (Ak-(As1-As0))/Ak x 100%

(Ak: absorbansi kontrol, AS0: absorbansi sampel tanpa enzim, As1: absorbansi sampel)

Peran Aktinomiset Endofit dalam Menghasilkan Inhibitor α-glukosidase

Untuk mengetahui peran isolat aktinomiset endofit dalam menghasilkan

inhibitor α-glukosidase, digunakan tanaman T. crispa bebas endofit yang hasil

kultur jaringan tanaman yang diperoleh dari Lab. Konservasi Sumberdaya Hutan,

Fakultas Kehutanan IPB. Sebanyak 0.5 gram sampel tanaman hasil kultur

jaringan digerus secara aseptik dan ditambah 0.5 ml buffer fosfat, kemudian

dipisahkan antara biomassa dan supernatan dengan sentrifugasi pada kecepatan

1432 x g. Supernatan yang diperoleh diuji aktivitas inhibitor α-glukosidasenya.

Dengan cara yang sama dilakukan pula uji aktivitas inhibitor α-glukosidase

terhadap tanaman T. crispa yang diperoleh dari alam. Kemampuan aktivitas

25

inhibitor α-glukosidase kemudian dibandingkan dengan aktivitas inhibitor dari

kultur aktinomiset endofit terpilih.

Penentuan Waktu Produksi Optimum

Kurva produksi digunakan untuk mengetahui waktu optimum yang

digunakan untuk memproduksi inhibitor α-glukosidase dalam jumlah besar. Isolat

terpilih ditumbuhkan dalam medium produksi menurut Chen et al. (2004) yang

berisi 0.1% soluble starch, 0.5% pepton dan 0.15 yeast extract (pH 7) steril.

Sebanyak 1% starter diinokulasikan ke dalam media produksi dan diinkubasi

pada suhu ruang dengan kecepatan agitasi 150 putaran per menit dengan rotary

shaker. Setiap 5 hari dilakukan panen kultur dengan cara sentrifugasi pada

kecepatan 1432 x g selama 10 menit pada suhu 40C. Supernatan yang diperoleh

diuji aktivitas penghambatannya terhadap enzim α-glukosidase. Pengukuran

berat kering pelet dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan isolat. Percobaan

diakhiri jika produksi inhibitor α-glukosidase telah mengalami penurunan.

Identifikasi Isolat Terpilih

Identifikasi isolat terpilih dilakukan berdasarkan sekuen 16S rDNA.

Ekstraksi DNA isolat aktinomiset BWA65 dilakukan menggunakan Genomic DNA

Mini Kit (Geneaid) dilanjutkan dengan amplifikasi gen 16S rRNA menggunakan

Primer 20F (5'GATTTTGATCCTGGCTCAG3') dan 1500R (5'GTTACCTT-

GTTACGACTT3'). Komposisi reaksi PCR seperti tertera pada Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi reaksi PCR untuk amplifikasi gen 16S rRNA

Komponen Volume (µl)

dH2O 19.5 Buffer PCR 4 MgCl2 5 dNTP 1.5 Primer 20-F (10 pM) 1 Primer 1500-R (10 pM) 1 DMSO 0.5 DNA template 7 Taq DNA polimerase 0.5

Reaksi amplifikasi dilakukan dengan menggunakan thermal cycler (model

480, Perkin-Elmer, USA), dengan siklus sebagai berikut: 5 menit denaturasi awal

pada 94 0C, 45 detik denaturasi pada 94 oC, dan 45 detik annealing primer pada

26

57 oC, 1 menit ekstensi pada 72 oC dan 7 menit ekstensi final pada 72 oC,

sebanyak 30 siklus. Hasil amplifikasi kemudian dilarikan menggunakan gel

agarosa 1% pada 70 Volt selama 45 menit. Hasil elektroforesis selanjutnya

diwarnai menggunakan etidium bromida selama 15 menit dan divisualisasi

menggunakan lampu UV transluminator. Pita DNA yang muncul didokumentasi

menggunakan Gel Doc.

Hasil PCR disekuen menggunakan jasa sekuensing MacroGen, Korea.

Analisis sekuen DNA dilakukan menggunakan program BioEdit dan dilakukan

analisis BLAST pada Bank Gen NCBI dataLibrary. Analisis filogenetik

menggunakan program multiple aligment Clustal X dan konstruksi pohon

filogenetik menggunakan program NJ plot.

Karakterisasi Morfologi Isolat

Karakterisasi morfologi isolat dilakukan dengan mengamati pertumbuhan

isolat pada media Yeast Malt Extract Agar (YMA), Yeast Extract Agar (YSA) dan

Oatmeal Agar (OA). Pengamatan makroskopis meliputi pertumbuhan koloni,

warna miselium aerial, warna miselium substrat dan keberadaan pigmen terlarut.

Pengamatan mikroskopis isolat dilakukan menggunakan mikroskop cahaya pada

perbesaran 100 dan 400x, serta Scanning Electron Microscope (SEM)(JSM-

5310LV) pada perbesaran 10000x.

Deteksi Gen Sedoheptulosa-7-Fosfat Siklase

Isolasi DNA Genom. DNA genom aktinomiset diisolasi menggunakan

Genomic DNA Mini Kit (Geneaid). Tahapan kerjanya adalah sebagai berikut.

Kultur sel umur 3 hari sebanyak 1.5 µl ditransfer ke dalam tabung mikro, lalu

disentrifus 3354 xg selama 3 menit. Supernantan dibuang dan pelet sel yang

diperoleh diresuspensi dengan 200 µl buffer lisozim. Suspensi tersebut

diinkubasi 10 menit pada suhu ruang, tiap 2-3 menit dibolak-balik. Ke dalam

suspensi kemudian ditambahkan 200 µl buffer GB dan diinkubasi 70 0C selama

10 menit, dan dibolak-balik tiap 3 menit hingga suspensi terlihat jernih. Tahap

berikutnya adalah penambahan 200 µl etanol 96% ke dalam lisat dan diaduk

dengan pipet perlahan-lahan.

Hasil pelisisan sel selanjutnya ditransfer ke dalam kolom GD yang telah

ditempatkan ke dalam tabung koleksi. Tabung disentrifus 8586 xg selama 2

menit, dan tabung koleksi dipisahkan. Kolom GD ditempatkan pada tabung

27

koleksi yang baru lalu ditambahkan 400 µl buffer W1, lalu disentrifus 8586 xg

selama 30 detik. Kolom GD diambil dan ditempatkan pada tabung koleksi yang

baru. Ke dalam kolom GD ditambah 600 µl wash buffer dan disentrifus 8586 x g

selama 30 detik. Kolom GD ditempatkan kembali pada tabung koleksi dan

disentrifus lagi selama 3 menit untuk mengeringkan matriks pada kolom GD.

Kolom GD selanjutnya dipindahkan ke dalam tabung mikro dan ditambah 100 µl

buffer elusi yang telah dipanaskan 70 0C. Tabung dibiarkan 3-5 menit hingga

buffer elusi meresap ke dalam matriks, lalu disentrifugasi 8586 x g dan larutan

DNA yang diperoleh disimpan di suhu -20 0C.

Amplifikasi Gen Penyandi Sedoheptulosa-7-Fosfat Siklase.

Amplifikasi gen penyandi Sedoheptulosa-7-fosfat siklase menggunakan primer

yang didesain oleh Hyun et al. (2005) sebagai berikut: primer VOG-F

5'GGSGGSGG-SGTSCTSATGGACGTSGCSGG-3' (GGGVLMDVAG), dan

primer VOG-R 5'GCCATGTCSACGCASACSGCSGCCTCSCCGAG-3'

(HGEAVCVDMA). Amplifikasi dengan PCR dilakukan menurut Hyun et al. (2005)

dengan modifikasi. Sebagai kontrol positip dilakukan pula amplifikasi fragmen

DNA dari Actinoplanes sp. SE50/100. Komposisi reaksi campuran PCR yang

digunakan dalam percobaan ini seperti tertera pada Tabel 5.

Tabel 5 Komposisi PCR untuk amplifikasi gen sedoheptulosa-7-fosfat siklase

Komponen Volume (µl)

dH2O 12.9 Buffer PCR 5 MgCl2 1 dNTP 0.5 Primer VOG-F (10 pM) 2 Primer VOG-R (10 pM) 2 DMSO 0.5 DNA template 2 Taq DNA polimerase 0.1

Reaksi amplifikasi dilakukan dengan menggunakan thermal cycler (model

480, Perkin-Elmer, USA), dengan siklus sebagai berikut: 5 menit denaturasi awal

pada 95 0C, 20 detik denaturasi pada 98 oC, dan 1 menit annealing primer pada

67 oC, 45 detik ektensi pada 72 oC dan 7 menit ekstensi final pada 72 oC,

sebanyak 30 siklus. Hasil amplifikasi kemudian dilarikan menggunakan gel

agarosa 1% pada 70 V selama 45 menit. Hasil elektroforesis selanjutnya

diwarnai menggunakan etidium bromida selama 15 menit dan divisualisasi

28

menggunakan lampu UV transluminator. Pita DNA yang muncul didokumentasi

menggunakan Gel Doc.

Sekuensing dan Analisis Molekuler. Hasil PCR disekuen menggunakan

jasa sekuensing 1ST BASE Singapura. Hasil sekuensing kemudian dibandingkan

dengan sekuen yang diambil dari database di GenBank, menggunakan program

BLASTX pada situs NCBI.

Isolasi dan Identifikasi Senyawa Inhibitor α-Glukosidase

Persiapan Kultur dan Media Fermentasi. Isolat BWA65 ditumbuhkan

pada media YSA selama 7 hari selanjutnya diinokulasikan ke dalam medium cair

berisi 0.1% soluble starch, 0.5% pepton, dan 0.1% yeast extract (pH 7). Kultur

diinkubasi selama 7 hari dengan kecepatan agitasi 120 putaran per menit pada

temperatur ruang. Kultur ini selanjutnya digunakan sebagai starter.

Produksi Senyawa Inhibitor α-Glukosidase. Untuk keperluan

karakterisasi senyawa inhibitor α-glukosidase diperlukan kultur produksi dalam

jumlah besar (5 liter). Pada penelitian ini produksi skala 5 liter dilakukan dengan

menggunakan galon steril bekas kemasan air minum ukuran 19 liter, dengan

aerasi yang dilewatkan mikro filter 0.2 µm. Produksi inhibitor α-glukosidase

dilakukan dengan menginokulasikan sebanyak 150 ml (berat kering biomassa sel

0.1 gram) kultur aktinomiset umur 7 hari ke dalam 5 liter media produksi, dan

dilakukan inkubasi selama 15 hari dengan aerasi. Pemanenan kultur dilakukan

dengan menyaring kultur untuk memisahkan supernatan dan biomassa.

Ekstraksi Senyawa Inhibitor α-Glukosidase. Supernatan yang

diperoleh dari kultur isolat BWA65 diekstraksi dengan menggunakan berbagai

pelarut untuk mendapatkan senyawa aktif. Pelarut yang dicoba digunakan adalah:

kloroform, etanol, metanol, butanol, dan etil asetat. Ekstraksi dilakukan dengan

cara menambahkan pelarut ke dalam supernatan dengan perbandingan 1:1,

selanjutnya dihomogenkan dengan menggunakan magnetic stirer selama 2 jam

dan dibiarkan selama 2 jam hingga membentuk fraksi air dan fraksi pelarut.

Fraksi pelarut kemudian dipisahkan dan dilakukan pemekatan dengan rotary

evaporator hingga diperoleh fraksi pekat. Fraksi pekat yang diperoleh kemudian

dikeringkan, dihitung bobotnya dan siap digunakan untuk tahap selanjutnya.

29

Fraksinasi Senyawa Inhibitor α-Glukosidase dengan Kromatografi

Kolom. Sebelum kromatografi kolom dilakukan, terlebih dahulu dilakukan

pencarian eluen terbaik dengan bantuan Kromatografi Lapis Tipis (KLT).

Tahapan ini dilakukan untuk mencari pelarut terbaik yang dapat memisahkan

komponen aktif dari ekstrak etil asetat. Tahapan ini dilakukan dengan cara coba-

coba dengan menggunakan pelarut tunggal atau gabungan dari beberapa pelarut.

Pelarut yang dicobakan antara lain: etanol, metanol, etil asetat, heksan, aseton

dan klorofom. Hasil dari tahapan ini digunakan untuk fraksinasi senyawa aktif

menggunakan kromatografi kolom.

Fraksinasi dengan kromatografi kolom dilakukan dengan menggunakan

kolom silika gel dengan ukuran panjang 38 cm dan diameter 1.5 cm. Preparasi

kolom diawali dengan memasukkan 20 gram silika gel (Merck) ditambah dengan

eluen yang akan digunakan yaitu campuran heksan : etil asetat 1:4, sambil

diketuk-ketuk berulang kali hingga terbentuk kolom yang stabil. Setelah kolom

siap digunakan, sebanyak 5 ml ekstrak etil asetat diinjeksikan ke dalam kolom

dan dielusi dengan heksan : etil asetat 1:4 secara isokratik dengan kecepatan

elusi 1 ml/menit. Fraksi-fraksi sebanyak ± 5 ml ditampung pada tabung reaksi.

Tahap selanjutnya adalah menggabungkan fraksi-fraksi yang memiliki

kromatogram yang sama dengan bantuan KLT. Fraksi-fraksi yang diperoleh

selanjutnya diuji aktivitasnya dalam menghambat α-glukosidase.

Pengujian Aktivitas Inhibitor α-Glukosidase Fraksi. Aktivitas inhibitor

α-glukosidase diuji menurut Moon et al. (2011) dengan modifikasi. Uji

penghambatan enzim dilakukan berdasarkan pada pemecahan substrat untuk

menghasilkan produk berwarna, yang diukur absorbansinya selama periode

waktu tetentu. Enzim α-glukosidase (Sigma) dilarutkan dalam 0.1 M buffer fosfat

pH 7 dengan konsentrasi 0.2 unit/ml. Sebagai substrat digunakan p-Nitrophenyl

α-D-glucopyranoside (Sigma) 2.5 mM yang dilarutkan dalam 0.1 M buffer fosfat

pH 7. Campuran reaksi terdiri dari 50 l substrat, 50 l 0.1 M buffer fosfat pH 7

dan 50 l sampel. Setelah campuran reaksi diinkubasi pada suhu 37 0C selama 5

menit, sebanyak 50 l larutan enzim ditambahkan dan selanjutnya diinkubasi

selama 15 menit pada suhu 37 0C. Reaksi dihentikan dengan penambahan 800

l larutan Na2CO3 200 mM. Senyawa p-nitrofenol yang dihasilkan dari reaksi ini

diukur absorbansinya pada panjang gelombang 405 nm. Sebagai pembanding

digunakan larutan acarbose.

30

Penentuan Nilai IC50. Nilai IC50 merupakan nilai yang menunjukkan

konsentrasi ekstrak yang menyebabkan penghambatan sebesar 50% terhadap

aktivitas enzim α-glukosidase. Penentuan nilai ini dilakukan dengan cara menguji

aktifitas penghambatan ekstrak pada berbagai macam konsentrasi. Setelah

didapat nilai penghambatan dari masing-masing konsentrasi ekstrak, selanjutnya

dibuat persamaan garis yang merupakan fungsi dari konsentrasi ekstrak dan

besaran penghambatan yang dihasilkan. Nilai-nilai konsentrasi ekstrak sebagai

variabel X dan besarnya penghambatan sebagai variabel Y.

Pengaruh Konsentrasi Substrat. Pengaruh konsentrasi substrat

digunakan untuk menduga tipe inhibitor dari senyawa Fraksi F6. Penentuan tipe

inhibitor dilakukan dengan cara menguji aktivitas inhibitor pada berbagai macam

konsentrasi substrat yaitu: 20, 10, 5, 2.5, dan 1.25 mM. Data yang diperoleh

kemudian dikonversi dan diinterpretasikan ke dalam persamaan Lineweaver-Burk

dalam bentuk grafik. Konsentrasi substrat diubah menjadi 1/[S] pada sumbu X,

dan kecepatan reaksi pembentukan produk hasil hidrólisis enzim diubah menjadi

1/V pada sumbu Y. Tahap selanjutnya menentukan persamaan garis yang

terbentuk dan tipe hambatannya berdasarkan perpotongan garis dengan sumbu

X dan sumbu Y antara kinetika enzim tanpa inhibitor dan kinetika enzim setelah

mendapat perlakuan inhibitor. Nilai Vmak dan KM ditentukan dengan melihat

perpotongan garis terhadap sumbu X dan sumbu Y dari persamaan Lineweaver-

Burke yang diperoleh. Perpotongan dengan sumbu X merupakan nilai -1/KM dan

perpotongan dengan sumbu Y merupakan nilai 1/Vmak (Copeland 2005; Wu et al

2012).

Identifikasi dengan Spektroskopi UV-Vis. Identifikasi senyawa

menggunakan spektrofotometer UV dilakukan dengan cara mengukur pola

spektrum serapan senyawa dalam larutan yang sangat encer dengan

pembanding blanko pelarut, menggunakan spektrofotometer UV-Vis

(Pharmaspec UV-1700 Shimadzu) yang dapat merekam secara otomatis. Pelarut

yang digunakan dalam pengukuran adalah etanol. Senyawa dalam sampel diukur

pada panjang gelombang 200-900 nm. Identifikasi senyawa dilakukan dengan

membandingkan pola spektrum yang dihasilkan dengan pola spektrum referensi.

Identifikasi dengan FTIR. Contoh dalam bentuk serbuk sebanyak ± 2 mg

dihaluskan bersamaan dengan 0.198 gram KBr dalam mortal agate. Contoh yang

telah dihaluskan dan bercampur dengan KBr dimasukkan ke dalam alat pencetak

31

pelat KBr kemudian ditekan sehingga diperoleh lempeng serbuk yang transparan.

Contoh lempeng tadi kemudian dimasukkan ke dalam spektrofotometer FTIR.

Spektrum yang diperoleh berupa kurva transmitan dengan bilangan gelombang.

Identifikasi gugus fungsi berdasarkan pada nilai bilangan gelombang gugus yang

sudah diketahui (Pavia 2001)

32

33

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi Aktinomiset Endofit

Pada penelitian ini sebanyak 32 isolat aktinomiset endofit telah berhasil

diisolasi dari tanaman T. crispa dan 33 isolat dari tanaman lainnya menggunakan

media agar HV. Semua isolat aktinomiset endofit yang diperoleh dalam penelitian

ini merupakan isolat yang dapat dikulturkan dan tidak mewakili semua populasi

mikrob endofit yang hidup di tanaman-tanaman obat tersebut. Hal ini disebabkan

sebagian besar mikrob (lebih dari 99%) adalah unculturable atau tidak dapat

ditumbuhkan pada medium sintetik (Sharma et al. 2005).

Sekitar 69,2% dari tanaman yang diuji mengandung aktinomiset endofit

Tananam T. crispa merupakan tanaman obat dengan jumlah isolat aktinomiset

tertinggi (32 isolat). Sejumlah isolat diperoleh dari tanaman lainnya, yaitu:

Curcuma aeruginosa (9 isolat), Gynura procumbens (6 isolat), Curcuma

xanthorryza (5 isolat) dan tanaman lainnya (1-4 isolat) (Gambar 3).

Gambar 3 Jumlah isolat aktinomiset endofit yang berhasil diisolasi dari masing-masing tanaman obat.

Hasil isolasi dari keseluruhan tanaman menunjukkan bahwa aktinomiset

endofit paling banyak diperoleh dari bagian akar tanaman (45 isolat), diikuti

bagian rimpang (14 isolat), lalu batang dan daun (masing-masing 3 isolat).

Hampir 70% aktinomiset endofit diperoleh dari bagian akar (Gambar 4). Hal ini

dapat dipahami karena secara umum aktinomiset merupakan bakteri tanah,

6 5

1

32

13 3 4

9

00

5

10

15

20

25

30

35

Jum

lah

iso

lat

34

sehingga sangat wajar jika mikrob tersebut paling banyak berasosiasi dengan

bagian tanaman yang berada di dalam tanah, yaitu bagian akar.

Gambar 4 Jumlah isolat aktinomiset endofit yang berhasil diisolasi berdasarkan asal bagian tanaman.

Mikrob endofit merupakan mikrob, baik bakteri (non aktinomiset),

aktinomiset maupun cendawan yang seluruh atau sebagian siklus hidupnya

berada di dalam jaringan tanaman yang sehat. Mikrob endofit dapat

berkolonisasi di dalam jaringan tanaman dan tidak membahayakan inangnya.

Setiap tanaman umumnya dapat mengandung beberapa hingga ratusan

jenis mikrob endofit (Tan & Zou, 2001). Di dalam tanaman berpembuluh dapat

mengandung sejumlah mikrob endofit yang mampu menghasilkan senyawa

biologi atau metabolit sekunder serupa dengan inangnya. Beberapa peneliti telah

melaporkan adanya aktinomiset endofit yang mampu menghasilkan senyawa

aktif mirip dengan senyawa yang dihasilkan tanaman inangnya. Strobell dan

Daisy (2003) melaporkan bahwa Taxomyces andreanae endofit pada tanaman

Taxus menghasilkan paclitaxel. Paclitaxel adalah senyawa antikanker yang

dihasilkan juga oleh tanaman Taxus brevivolia. Taechowisan et al. (2007)

melaporkan Streptomyces aureofaciens, isolat endofit dari tanaman jahe

penghasil senyawa arylcoumarin yang memiliki aktivitas antitumor. Tanaman

jahe juga memiliki senyawa anti tumor seperti dilaporkan oleh Katiyar et al.

(1996). Penelitian Castillo et al. (2002) menunjukkan bahwa Streptomyces NRRL

akar69,2%

rimpang 21,5%

batang4,6%

daun4,6%

35

30562 endofit pada tanaman Kennedia nigriscans mampu menghasilkan

antibiotik spektrum luas. Tanaman ini secara tradisional digunakan suku Aborigin

sebagai antiseptis untuk mencegah infeksi luka.

Penapisan Aktinomiset Endofit Penghasil Inhibitor α-glukosidase

Pengujian terhadap semua isolat aktinomiset endofit diperoleh 12 isolat

mampu menghasilkan inhibitor α-glukosidase, yang terdiri dari 10 isolat asal T.

crispa, 1 isolat dari C. sappan dan 1 isolat dari C. aeruginosa. Lima puluh tiga

isolat lainnya tidak menunjukkan adanya kemampuan inhibitor α-glukosidase

(Tabel 6).

Tabel 6 Isolat aktinomiset endofit dari berbagai tanaman obat diabetes dan aktivitas inhibitor α-glukosidase yang dihasilkannya

Tanaman

Obat Bagian

Tanaman Jumlah Isolat

Kode Isolat

Karakteristik pada Medium YMA

Pengham- batan (%)

Tinospora crispa

akar 32 BWA 14 tidak berspora, koloni coklat, pigmen coklat

-

BWA14A tidak berspora, koloni coklat - BWA 15 spora coklat keputihan 0.68 BWA15A spora abu-abu - BWA 16 spora abu-abu - BWA 2 spora putih-abu-abu - BWA 3 spora putih, menghasilkan

pigmen kemerahan -

BWA 33 spora putih - BWA 34 spora putih, koloni hitam - BWA 35 tidak berspora, koloni warna

coklat 2.66

BWA 36 tidak berspora, koloni warna coklat

4.85

BWA 3A spora putih 0.48

BWA 4 spora putih, koloni warna coklat

1.16

BWA 4A spora abu-abu 0.27 BWA 51 spora putih - BWA 54 tidak berspora, koloni coklat

tua 1.16

BWA 61 tidak berspora, koloni coklat tua, pigmen coklat

-

BWA 62 tidak berspora, koloni coklat tembaga

-

BWA 63 spora krem - BWA 64 spora putih - BWA 65 tidak berspora, koloni warna

coklat tua 4.51

BWA 66 spora putih - BWA 71 tidak berspora, koloni warna

coklat 0.75

BWA 72 tidak berspora, koloni coklat kekuningan

-

BWA 73 spora putih, koloni warna coklat

0.89

BWA 74 tidak berspora, koloni warna coklat

-

BWA 75 spora putih -

36

BWA 76 spora putih, koloni warna coklat, pigmen hitam

-

BWA 82 tidak berspora, koloni warna coklat

-

BWA 84 tidak berspora, koloni kuning - BWA 85 spora putih - BWA 86 tidak berspora, koloni warna

coklat -

BWA 93 tidak berspora, koloni hitam - batang - daun -

Tanaman lainnya

Gynura procumbens

akar 4 SNA 11

tidak berspora, koloni warna pink

-

SNA 12 tidak berspora, koloni warna merah

-

SNA 2 tidak berspora, koloni coklat -

SNA 21 tidak berspora, koloni coklat tua

-

batang 2 SNB 1

tidak berspora, koloni warna coklat

-

SNB 1A tidak berspora, pink koloni - daun 1 SND 22 tidak berspora, red koloni -

Alloe vera

akar - daun -

Curcuma xanthoriza

akar - batang - daun - rimpang 5 TLR 1 spora coklat -

TLR 2 spora putih - TLR 21 spora abu-abu - TLR 3 spora putih - TLR 4 spora abu-abu -

Centela asiatica

akar - batang - daun -

Physalis peruviana

akar - batang - daun 1 CP1 spora putih -

Hibiscus sabdariffa

akar - batang 1 ROB 12 tidak berspora, koloni pink - daun - bunga -

Phaleria macrocarpa

akar 3 MDA 2 spora warna coklat - MDA 22 spora warna coklat - MDA 52 tidak berspora, koloni orange -

batang - daun - buah -

Andrographis paniculata

akar 2 SBL A1 tidakberspora, koloni hitam - SBL A2 spora putih -

batang - daun 1 SBLD 3 tidak berspora, koloni warna

coklat -

Xoncus arvensis

akar - batang - daun -

Caesalpinia sappan

akar 4 SC A 13 spora putih 0.55 SC A 11 spora krem - SC A 14 spora putih - SCA 1 spora putih -

batang - daun -

37

Parcia speciosa

akar - batang - daun -

Curcuma aeruginosa

akar - batang - daun - rimpang 9

TIR 11 spora putih, koloni warna coklat

-

TIR 12 spora krem - TIR 13 spora keemasan, koloni warna

coklat 3.62

TIR 14 tidak berspora -

TIR 1A spora putih, koloni warna coklat

-

TIR 1B spora putih -

TIR 1B2 spora putih, koloni warna coklat

-

TIR 2 spora abu-abu, koloni coklat tua

-

TIR 3 spora putih abu-abu - Jumlah isolat 65

Pada pengujian lebih lanjut secara kuantitatif menggunakan p-nitrophenyl

α-D-glucopyranoside sebagai substrat menunjukkan bahwa ekstrak kasar

(supernatan) dari empat isolat aktinomiset endofit (BWA36, BWA65, BWA35,

BWA54) dari T. crispa memiliki aktivitas α-glukosidase tertinggi. Ekstrak kasar

BWA65 isolat dari T. crispa menghasilkan penghambatan tertinggi (11.01%)

terhadap α-glukosidase, yaitu sebesar 80% jika dibandingkan dengan

penghambatan 1mg/ml acarbose (13.61%) yang digunakan sebagai kontrol

(Gambar 5).

Penemuan aktinomiset endofit pada tanaman brotowali belum pernah

dilaporkan oleh para peneliti sebelumnya, sehingga dapat dikatakan adanya

aktinomiset endofit pada tanaman brotowali pada penelitian ini merupakan hal

yang baru. Laporan ini juga yang pertama kali menyebutkan adanya aktinomiset

endofit penghasil senyawa inhibitor α-glukosidase. Laporan-laporan sebelumnya

yang menyebutkan sejumlah aktinomiset penghasil senyawa inhibitor α-

glukosidase adalah bukan merupakan isolat endofit yang berasal dari jaringan

tanaman.

38

Gambar 5 Aktivitas inhibitor α-glukosidase oleh supernatan dari kultur aktinomiset endofit asal T. crispa.

Penemuan isolat aktinomiset endofit dari tanaman T. crispa yang

menghasilkan inhibitor α-glukosidase dalam penelitian ini memiliki arti penting

dalam memperkuat pendapat Tan dan Zou (2001) yang menyatakan bahwa

tanaman dapat mengandung mikrob endofit yang dapat menghasilkan senyawa

biologis atau metabolit sekunder yang sama dengan inangnya. Informasi tentang

keberadaan agen hipoglikemik pada tanaman Tinospora telah dilaporkan oleh

beberapa peneliti sebelumnya ( Rajalakshmi et al. 2009; Chougale et al. 2009).

Mereka melaporkan bahwa ekstrak tanaman T. cordifolia memiliki aktivitas

inhibitor α-glukosidase. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pemberian

ekstrak etanol dan air tanaman T. cordifolia pada dosis 400 mg/kg dapat

menurunkan gula darah pada tikus dan kelinci hiperglikemia yang diinduksi

dengan aloksan.

Pada penelitian ini juga dibandingkan aktivitas inhibitor α-glukosidase

yang dihasilkan oleh tanaman inang T. crispa, tanaman T. crispa bebas endofit

hasil kultur jaringan tanaman dan isolat aktinomiset endofit. Hasil pengujian ini

diharapkan dapat menggambarkan peran aktinomiset endofit dalam memberikan

kontribusi terhadap produksi senyawa inhibitor. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa tanaman bebas endofit yang diperoleh dari kultur jaringan tanaman umur

3 bulan hanya memiliki kemampuan yang sangat rendah untuk menghasilkan

senyawa inhibitor. Tanaman T. crispa yang diperoleh dari alam mampu

memproduksi senyawa inhibitor jauh lebih besar (Gambar 6). Namun,

6,35

11,01

5,646,34

13,61

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

12,00

14,00

16,00

BWA 36 BWA65 BWA 35 BWA 54 Ac

Inh

ibis

i (%

)

Isolat aktinomiset

39

kemampuan inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh aktinomiset endofit

BWA65 lebih dari dua kali lipat dibanding aktivitas inhibitor α-glukosidase yang

dihasilkan tanaman inang. Data tersebut mengindikasikan bahwa aktinomiset

endofit dalam tanaman T. crispa tersebut memberikan kontribusi yang besar

terhadap produksi senyawa inhibitor α-glukosidase.

Gambar 6 Aktivitas inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh tanaman hasil

kultur jaringan tanaman (KJT, kalus), tanaman dari alam (batang, akar, daun) dan isolat aktinomiset endofit BWA65.

Selain tanaman hasil kultur jaringan, diuji pula aktivitas inhibitor α-

glukosidase dari kalus. Kalus merupakan sekumpulan hasil proliferasi sel

tanaman yang membentuk biomassa tetapi tidak dapat berdiferensiasi

membentuk organ tanaman seperti akar, batang dan daun. Kultur kalus biasanya

dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan senyawa bioaktif dari suatu

tanaman. Pada gambar di atas terlihat bahwa kalus tanaman brotowali memiliki

aktivitas inhibitor α-glukosidase yang relatif besar jika dibanding dengan tanaman

hasil kultur jaringan. Hal ini dapat disebabkan karena pada kultur kalus,

biosintesis senyawa metabolit sekunder lebih besar jika dibanding dengan

metabolisme sekunder pada tanaman hasil kultur jaringan. Dengan demikian

untuk keperluan produksi metabolit sekunder, seringkali digunakan kultur kalus.

Beberapa peneliti memilih menggunakan kultur kalus untuk memproduksi

senyawa bioaktif. Purwianingsih dan Hamdiyati (2009). menggunakan kultur

kalus Morinda citrifolia L. (Mengkudu) yang dielisitasi menggunakan

Sacharomyces cerevisiae untuk memproduksi senyawa bioaktif kuinon. Sutini et

0,06

3,05

1,64

3,39

4,52

10,98

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

12,00

KJT Kalus Batang Akar Daun BWA65

Pe

ngh

amb

atan

(%)

Sampel

40

al. (2008) juga menggunakan kultur kalus Camellia sinensis untuk memproduksi

senyawa bioaktif flavonoid, flavan-3-ol suatu metabolit sekunder yang terdapat

dalam daun teh muda yang yang memiliki khasiat sebagai antiobesitas dan

antioksidan. Adanya aktivitas inhibitor α-glukosidase pada kultur kalus tanaman

Tinospora belum pernah dilaporkan sebelumnya. Kultur kalus tanaman Tinospora

cordifolia dilaporkan memiliki aktifitas antimikrob terhadap Eschericia coli dan

Staphylococcus aureus (Khalilsaraie et al. 2011).

Karakterisasi Morfologi dan Identifikasi Isolat BWA65

Dalam penelitian ini digunakan tiga jenis media untuk melihat karakteristik

kultur isolat BWA65 yaitu: Yeast Extract Malt Extract Agar (YMA), Yeast Extract

Soluble Starch Agar (YSA) dan Oatmeal Agar (OA). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa isolat BWA65 memiliki pertumbuhan yang baik pada media

YSA dan OA, dan pertumbuhan moderat pada media YMA. Pada semua media,

isolat BWA65 menghasilkan miselium aerial berwarna putih. Miselium substrat

isolat BWA65 berwarna coklat apabila ditumbuhkan pada media OA dan coklat

tua apabila ditumbuhkan pada media YSA maupun YMA. Isolat BWA65 ini juga

memproduksi pigmen terlarut (soluble pigment) berwarna coklat tua pada media

YSA dan merah muda pada media OA (Tabel 7).

Tabel 7 Karakteristik kultur isolat BWA65 pada berbagai media (7 hari inkubasi

pada suhu ruang)

Karakteristik Kultur Media

YMA YSA OA

pertumbuhan moderat baik baik

miselium aerial putih putih putih

miselium substrat coklat tua coklat tua coklat

pigmen terlarut tidak ada coklat merah muda

Pengamatan morfologi isolat BWA65 di bawah mikroskop cahaya

dengan perbesaran 400x menunjukkan adanya rantai spora berbentuk spiral.

Susunan rantai spora berbentuk spiral ini merupakan karakter yang khas untuk

Streptomyces. Pengujian lebih lanjut dengan menggunakan mikroskop elektron

SEM menunjukkan bahwa isolat BWA65 memiliki hifa udara yang tidak

41

bercabang (unbranched aerial hyphae) serta rantai spora spiral dengan spora

berbentuk silinder dan permukaannya halus (Gambar 7).

Gambar 7 Morfologi isolat aktinomiset endofit BWA65 yang ditumbuhkan pada media Oatmeal Agar umur 7 hari (A), dilihat dengan mikroskop cahaya (400x) (B) dan SEM (10,000x) (C), tanda panah menunjukkan rantai spora.

Identifikasi Isolat Aktinomiset

Hasil identifikasi molekuler menggunakan sekuen parsial 16S rDNA

menunjukkan bahwa BWA65 memiliki kesamaan paling tinggi dengan

Streptomyces olivochromogenes dengan tingkat kemiripan 92%. Berdasarkan

studi sebelumnya, S. olivochromogenes dikenal untuk menghasilkan senyawa

aktif seperti: glukosa isomerase, xilosa isomerase dan fosfolipase (Azin et

al.1997; Simkada et al. 2009). Sampai sekarang, belum ada laporan tentang

inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh S. olivochromogenes. Identifikasi

ulang isolat BWA65 dengan sekuen gen 16S rRNA yang lebih lengkap dilakukan

untuk meyakinkan hasil identifikasi ini. Hasil identifikasi menggunakan sekuen

16S rDNA yang lebih lengkap sepanjang sekitar 1343 pasang basa menunjukkan

bahwa BWA65 memiliki kesamaan 98% dengan Streptomyces diastaticus.

Berdasarkan studi sebelumnya, S. diastaticus dikenal dapat menghasilkan

senyawa aktif seperti: L-arabinofuranosidase (Tajana et al. 1992) dan antibiotik

makrolida poliene (Seco et al. 2005). Hingga saat ini juga belum ada laporan

tentang inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh S. diastaticus. Berdasarkan

hal tersebut, kemungkinan besar isolat BWA65 merupakan jenis baru penghasil

inhibitor α-glukosidase. Pohon filogenetik isolat aktinomiset endofit BWA65

berdasarkan sekuen 16S rDNA dapat dilihat pada Gambar 8.

C A B

42

Pohon filogenetik tersebut terlihat jelas bahwa isolat BWA65 memiliki

kekerabatan paling dekat dengan S. diastaticus. Isolat BWA65 berada satu grup

dengan beberapa Streptomyces lainnya seperti S. coeliflavus, S.

olivochromogenes dan S. abikoensis. S. coeliflavus dikenal mampu menghaslkan

senyawa inhibitor alfa amilase dan S. abikoensis dilaporkan dapat menghasilkan

senyawa inhibitor α-glukosidase. Pada gambar pohon filogenetik tersebut juga

dapat dilihat dua jenis aktinomiset non Streptomyces yaitu Actinoplanes dan

Saccarothrix espanaensis. Kedua jenis anggota aktinomiset non Streptomyces ini

dikenal juga dapat menghasilkan senyawa inhibitor α-glukosidase (Hyun et al.

2005). Sebagai outer group pada gambar pohon filogenetik tersebut terdapat

spesies Bacillus subtilis yang merupakan wakil dari bakteri Gram positif non

aktinomiset.

Gambar 8 Pohon filogenetik isolat BWA65 berdasarkan sekuen 16S rDNA.

43

Deteksi Gen Sedoheptulosa- 7- Fosfat Siklase

Ketersediaan gen penyandi biosintesis senyawa inhibitor α-glukosidase

akan memudahkan untuk mengembangkan primer dan probe yang dapat

digunakan untuk mendeteksi adanya organisme penghasil senyawa inhibitor α-

glukosidase. Hyun et al. (2005) telah berhasil membuat primer untuk gen

penyandi inhibitor α-glukosidase pada aktinomiset berdasarkan sekuen gen yang

telah diketahui. Oleh karena itu, deteksi gen penyandi senyawa inhibitor α-

glukosidase pada aktinomiset akan menjadi lebih mudah. Primer yang spesifik

dapat membantu mempercepat pencarian galur-galur aktinomiset penghasil

senyawa inhibitor α-glukosidase. Pendekatan yang dapat dilakukan untuk

mendeteksi adanya gen penyandi inhibitor α-glukosidase pada aktinomiset

BWA65 adalah dengan menggunakan primer spesifik yang telah dikenal tersebut.

Dengan cara ini akan dapat diketahui apakah isolat aktinomiset BWA65

mempunyai gen penyandi biosintesis senyawa inhibitor α-glukosidase yang mirip

dengan acarbose, validamisin dan lainnya yang jalur biosintesisnya melibatkan

senyawa sedoheptulosa-7-fosfat. Dengan cara ini juga dapat ditemukan dengan

cepat aktinomiset yang mempunyai gen penyandi senyawa inhibitor α-

glukosidase tersebut atau tidak. Jika deteksi gen tidak menunjukkan hasil positif

maka senyawa inhibitor α-glukosidase tersebut kemungkinan merupakan

senyawa baru dan belum diketahui jalur biosintesisnya.

Hasil amplifikasi gen penyandi sedoheptulosa-7-fosfat siklase

menggunakan primer VOG-R dan VOG-R setelah divisualisasi menggunakan gel

agarosa 1% seperti tertera pada Gambar 9. Fragmen DNA target berukuran

sekitar 540 pasang basa tampak terlihat jelas pada hasil amplifikasi

menggunakan PCR yang divisualisasi pada gel agarosa. Fragmen DNA

berukuran 540 pasang basa ini kemudian dipurifikasi untuk kemudian disekuen

dan hasilnya dianalisis menggunakan BLASTX pada situs NCBI. Hasil analisis

BLASTX dari hasil sekuen terhadap urutan asam amino yang terdapat pada bank

data NCBI menunjukkan kemiripan paling besar terhadap protein histidin kinase

pada Streptomyces violaceusniger (No akses YP-004812094.1) (Tabel 8) dan

bukan sebagai protein sedoheptulosa-7-fosfat siklase.

44

Gambar 9 Hasil amplifikasi PCR menggunakan primer VOG-F dan VOG-R (lajur 1,2 kontrol positif; 3,4,5 isolat BWA 65; M marker; 6,7 kontrol negatif.

Histidin kinase sendiri merupakan protein kelas transferase yang

biasanya berupa protein transmembran yang berperan dalam transduksi sinyal

melintasi membran selular. Sebagian besar histidin kinase merupakan

homodimer yang memiliki kemampuan autokinase, fosfotransfer dan aktivitas

fosfatase. Molekul histidin kinase biasanya memiliki bagian reseptor di bagian

luar sel (domain ekstraseluler), bagian yang melintasi membran sel (domain

transmembran), dan bagian dalam sel (domain intraseluler) yang mengandung

aktivitas enzimatik. Selain aktivitas kinase, domain-domain intraseluler biasanya

memiliki wilayah yang mengikat ke molekul efektor sekunder atau kompleks

molekul yang lebih lanjut menyebarkan transduksi sinyal dalam sel. Histidin

kinase memainkan peran utama dalam transduksi sinyal di prokariot untuk

adaptasi selular terhadap kondisi lingkungan dan cekaman (Dutta et al. 1999)

Analisis gen penyandi sedoheptulosa-7-fosfat siklase pada penelitian ini

belum sesuai dengan hasil yang diharapkan karena fragmen DNA yang didapat

menggunakan primer VOG-F dan VOG-R memiliki kemiripan yang lebih besar

terhadap gen-gen bukan penyandi sedoheptulosa-7-fosfat siklase. Primer VOG-F

dan VOG-R pada awalnya dipilih karena primer ini telah digunakan oleh peneliti

sebelumnya untuk mendeteksi adanya gen penyandi sedoheptulosa-7-fosfat

siklase pada aktinomiset (Hyun et al. 2005). Ketidaksesuaian hasil ini

45

kemungkinan besar disebabkan karena primer tersebut tidak menempel secara

spesifik hanya pada gen sedoheptulosa-7-fosfat siklase, tetapi juga dapat

menempel pada gen lain yang ujungnya memiliki urutan basa yang komplemen

dengan sebagian urutan basa pada primer VOG-F dan VOG-R, misalnya gen

histidin kinase tersebut. Ketidak spesifikan ini berhasil dibuktikan oleh Velina

(2012, unpublished) yang berhasil mendesain ulang primer untuk

mengamplifikasi gen sedoheptulosa-7-fosfat siklase pada isolat BWA65 ini.

Primer dengan urutan basa Forward: 5’-ACCTACGAGGTGCGCTTCCGG-

GACGACGT-3’ dan Reverse : 5’-GGCGGCCTGCAGCTCGGCGGCCGTCA-

CGT-3’. Hasil amplifikasi menggunakan primer tersebut diperoleh amplikon

berukuran sekitar 300 pasang basa. Fragmen DNA yang diperoleh kemudian

dikloning ke plasmid pMD20 dan kemudian disekuen. Hasil analis sekuen

fragmen DNA hasil amplifikasi tersebut menunjukkan kemiripan 100% dengan

sedoheptulosa-7-fosfat siklase pada Actinoplanes SE50/100. Terdeteksinya gen

penyandi sedoheptulosa-7-fosfat siklase pada isolat BWA65 ini memberikan

informasi terdapatnya jalur biosintesis senyawa inhibitor α-glukosidase yang

mirip dengan jalur biosintesis acarbose pada isolat BWA65.

Tabel 8 Hasil analisis sekuen DNA hasil amplifikasi gen penyandi sedoheptulosa-

7-fosfat siklase isolat BWA65 menggunakan program BLASTX

No akses Homologi

Tingkat kemiripan

YP-004812094.1 GAF sensor hybrid histidine kinase pada Streptomyces violaceusniger Tu 4113

92%

ZP_07294440.1 Sensor histidine kinase/respone regulator pada Streptomyces himastatinicus ATCC 53653)

89%

AD106478.1 Two-component system sensor kinase pada Streptomyces bingchenggensis BCW-1

83%

Ekstraksi Senyawa Inhibitor α-Glukosidase

Pelarut terbaik yang digunakan untuk ekstraksi senyawa inhibitor dari

kultur BWA65 diperoleh dengan cara melakukan percobaan pendahuluan

dengan menggunakan berbagai macam pelarut yaitu; kloroform, etil asetat,

metanol, etanol dan butanol. Hasil ekstraksi dengan berbagai macam pelarut

tersebut disajikan pada Tabel 9. Hasil percobaan menunjukkan penggunaan etil

46

asetat memberikan hasil terbaik diantara pelarut lainnya dengan rendemen

ekstrak 0.03%, diikuti dengan pelarut etanol, metanol, butanol dan kloroform . Etil

asetat selanjutnya digunakan untuk keperluan ekstraksi senyawa inhibitor α-

glukosidase dari kultur aktinomiset endofit BWA65.

Tabel 9 Hasil ekstraksi senyawa inhibitor dengan berbagai pelarut

Pelarut Rendemen (%)

kloroform 0.0100

etil asetat 0.0300

metanol 0.0260

etanol 0.0299

butanol 0.0243

Uji Aktivitas Inhibitor α-glukosidase Hasil Ekstraksi dengan Berbagai

Pelarut. Ekstrak kultur BWA 65 selanjutnya diuji aktivitas penghambatannya

terhadap enzim α-glukosidase. Pada pengujian ini enzim α-glukosidase

menghidrolisis substrat p-nitrophenyl α-D-glucopyranoside menjadi p-nitrophenol

yang berwarna kuning dan glukosa. Aktivitas enzim diukur berdasarkan

absorbansi p-nitrophenol yang berwarna kuning. Dengan adanya ekstrak kultur

BWA65 yang berperan sebagai inhibitor α-glukosidase maka p-nitrophenol yang

dihasilkan akan berkurang yang ditandai oleh berkurangnya intensitas warna

kuning. Aktivitas penghambatan α-glukosidase berbagai ekstrak kultur BWA65

dapat dilihat pada Tabel 10.

Hasil pengujian tersebut dapat dilihat aktivitas inhibitor kultur BWA65

yang diekstrak dengan berbagai macam pelarut. Ekstrak etil asetat memberikan

aktivitas penghambatan paling tinggi dibandingkan dengan ekstrak lainnya. Pada

konsentrasi 1000 μg/ml ekstrak etil asetat memberikan penghambatan sebesar

77.77%, diikuti ekstrak butanol, metanol, kloroform dan etanol dengan nilai

penghambatan sebesar 75.98%, 69.94%, 69.51% dan 68.05%. Semakin rendah

konsentrasi ekstrak menghasilkan penghambatan yang semakin rendah pula

terhadap aktivitas enzim α-glukosidase. Berdasarkan hasil uji pendahuluan

bahwa penggunaan etil asetat menghasilkan rendemen ekstrak tertinggi dan

aktivitas inhibitor α-glukosidase tertinggi dibanding pelarut lainnya, serta

senyawa etil asetat diketahui tidak bersifat toksik, maka untuk keperluan

ekstraksi selanjutnya dipilih senyawa etil asetat.

47

Tabel 10 Aktivitas inhibitor α-glukosidase berbagai ekstrak kultur aktinomiset

BWA65

Konsentrasi

μg/ml

Penghambatan ekstrak (%)

etil asetat kloroform butanol metanol etanol

1000 77.77 69.51 75.98 69.94 68.05

500 71.80 64.80 66.99 66.03 59.92

250 65.59 58.59 60.15 64.23 59.92

125 61.75 54.25 58.20 59.06 52.22

62.5 56.20 52.46 55.74 41.31 44.92

Penggunaan etil asetat untuk mengekstrak senyawa bioaktif khususnya

senyawa inhibitor α-glukosidase telah dilakukan oleh beberapa peneliti

sebelumnya. Xu et al. (2005) melakukan ekstraksi tanaman Glycyrrhiza uralensis

dengan beberapa jenis pelarut. Hasil pengujian ekstrak menunjukkan bahwa

ekstrak etil asetat dari tanaman tersebut menghasilkan hambatan terhadap α-

glukosidase tertinggi sebesar 83.2% dibanding dengan ekstrak dari pelarut yang

lain. Wu et al. (2009) juga melaporkan telah mengekstrak tanaman

Crossostephium chinense dengan etil asetat untuk mendapatkan senyawa

inhibitor α-glukosidase. Hasil fraksinasi dari ekstrak etil asetat tersebut akhirnya

diperoleh senyawa scopoletin, tanacetin, hispidulin, quercetagetin, celagin yang

menunjukkan aktivitas penghambatan yang kuat terhadap enzim α-glukosidase

secara in vitro.

Pada penelitian ini ditentukan juga nilai IC50 masing-masing ekstrak yaitu

nilai yang menunjukkan konsentrasi ekstrak yang menyebabkan penghambatan

sebesar 50% terhadap aktivitas enzim α-glukosidase yang diuji. Semakin kecil

nilai IC50 berarti semakin kuat daya hambat senyawa inhibitor terhadap enzim α-

glukosidase tersebut. Nilai ini didapat dengan cara menguji aktifitas

penghambatan suatu ekstrak pada berbagai macam konsentrasi. Setelah didapat

nilai penghambatan dari masing-masing konsentrasi ekstrak, selanjutnya dibuat

persamaan garis yang merupakan fungsi dari konsentrasi ekstrak dan besaran

penghambatan yang dihasilkan. Nilai-nilai konsentrasi ekstrak sebagai absis

(variabel X) dan besarnya penghambatan sebagai ordinat (variabel Y). Hasil

pengujian menunjukkan bahwa nilai IC50 terkecil diperoleh dari ekstrak etil asetat

yaitu sebesar 28.6 μg/ml, dan diikuti berturut-turut oleh ekstrak butanol, kloroform,

48

metanol dan etanol dengan nilai IC50 berturut-turut sebesar 38, 54, 84 dan 102

μg/ml (Gambar 10).

Gambar 10 Nilai IC50 dari berbagai ekstrak kultur BWA65 yang diekstraksi menggunakan beberapa pelarut.

Analisis Fitokimia Ekstrak Etil Asetat. Analisis fitokimia dilakukan untuk

mengetahui kandungan kualitatif senyawa metabolit sekunder dari suatu bahan

alam. Dengan analisis ini dapat diketahui golongan utama senyawa aktif yang

terkandung di dalam suatu ekstrak. Hasil pengujian fitokimia terhadap ekstrak etil

asetat kultur BWA65 dapat dilihat pada Tabel 11. Hasil uji fitokimia secara umum

menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat kultur BWA65 mengandung senyawa

golongan flavonoid, phenol hidroquinon, steroid dan triterpenoid. Daya

penghambatan ekstrak etil asetat dari kultur aktinomiset endofit BWA65 diduga

karena kandungan senyawa fitokimia yang terdapat di dalam ekstrak tersebut.

Beberapa peneliti telah melaporkan adanya senyawa yang termasuk golongan

senyawa yang tedapat pada ekstrak tersebut yang diketahui mampu

menghambat kerja enzim α-glukosidase.

Senyawa flavonoid merupakan kelompok senyawa yang telah banyak

dilaporkan memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase maupun sebagai anti

hiperglikemia oleh para peneliti sebelumnya. Kim et al. (2000) telah menemukan

senyawa kelompok flavonoid, yaitu luteolin yang memiliki aktivitas penghambatan

terhadap enzim α-glukosidase maupun α-amilase. Lee et al. (2008) telah

28,6

54

38

84

102

0

20

40

60

80

100

120

etil asetat kloroform butanol metanol etanol

Nila

i IC

50

(μg/m

l)

Ekstrak

49

mengisolasi senyawa flavonoid dari kelompok flavonol dari daun tanaman

Machilus philippinensis yang memiliki aktivitas inhibitor terhadap enzim α-

glukosidase dari Bacillus stearothermophilus. Ghosh dan Konishi (2007)

menyatakan bahwa ekstrak flavonoid kelompok antosianin diketahui memiliki

potensi aktivitas inhibitor α-glukosidase dan dapat menekan peningkatan kadar

glukosa setelah makan. Tadera et al. (2006) menguji enam kelompok flavonoid

terhadap aktivitas enzim alfa amilase dan α-glukosidase. Hasil pengujian

menunjukkan bahwa flavonoid dari kelompok antosianidin, isoflavon dan flavonol

dapat menghambat enzim α-glukosidase dengan nilai IC50 kurang dari 15 µM.

Wu et al. (2012) menemukan beberapa senyawa flavonoid dari kelompok

isoflavon dari rimpang Belamcanda chinensis yaitu: rhamnosylswertisin, genistein,

genistin, mangiferin dan daidzin yang memiliki penghambatan kuat terhadap

enzim α-glukosidase secara in vitro.

Tabel 11 Kandungan fitokimia ekstrak etil asetat kultur BWA65

No Kelompok senyawa Keberadaan

1 alkaloid -

2 flavonoid ++++

3 phenol hidroquinon +++

4 steroid +

5 triterpenoid +++

6 tanin -

7. saponin -

Fraksinasi dengan Kromatografi Kolom

Pencarian Eluen Terbaik. Ekstrak etil asetat yang diperoleh pada

percobaan ini selanjutnya difraksinasi lebih lanjut menggunakan kromatografi

kolom gel silika. Sebelum dilakukan fraksinasi dengan kromatografi kolom,

terlebih dahulu perlu ditentukan eluen yang tepat sebagai fasa geraknya, yang

dapat memisahkan komponen aktif yang terdapat pada ekstrak etil asetat. Untuk

mencari eluen terbaik (fasa gerak) yang dapat memisahkan senyawa yang paling

baik, dilakukan pengujian kromatografi lapis tipis (KLT) terlebih dahulu. Pengujian

ini meliputi pencarian pelarut tunggal maupun campuran yang dapat memisahkan

senyawa-senyawa aktif yang terkandung di dalam ekstrak etil asetat tersebut.

50

Pemilihan pelarut campuran didasarkan pada studi literatur yang telah

dilakukan peneliti sebelumnya (Kim & Nho 2004). Pengujian dengan KLT

menggunakan fasa diam berupa pelat KLT gel silika GF254 dan fasa geraknya

ditentukan dengan cara coba-coba (trial and error). Dari beberapa percobaan

yang dilakukan, akhirnya diperoleh pelarut yang dapat memisahkan komponen

aktif dalam ekstrak yang ditandai dengan adanya hasil kromatografi yang berupa

spot-spot yang terpisah dengan baik. Pelarut terbaik yang dapat memisahkan

komponen aktif dari ekstrak BWA65 adalah pelarut campuran heksan dan etil

asetat dengan perbandingan 1:4 (Tabel 12).

Tabel 12 Hasil percobaan KLT untuk menentukan pelarut terbaik

Pelarut Jumlah

spot Nilai Rf

aceton 1 0.142

etanol 1 0.071

kloroform 1 0.014

metanol 1 0.014

etil asetat: aseton (1:1) 2 0.428; 0.500

etil asetat:aseton (3:1) 3 0.071; 0.142; 0.214

kloroform:metanol (4:1) 1 0.428

kloroform:metanol (4:11) 1 0.857

kloroform:metanol (5:10) 1 0.857

kloroform:metanol (3:2) 1 0.428

heksan:etil asetat (1:1) 3 0.142; 0.285; 0.714

heksan:etil asetat (3:2) 2 0.214; 0.285

heksan:etil asetat (1.5:3.5) 5 0.142; 0.285; 0.428; 0.500; 0.786

heksan:etil asetat (1:4) 7 0.240; 0.300; 0.360; 0.430; 0.460; 0.610; 0.780

heksan:etil asetat (9:1) 1 0.285

heksan:etil asetat (1:1) 3 0.214; 0.285; 0.714

51

Gambar 11 Kromatografi lapis tipis dengan variasi campuran pelarut pengem-

bang heksan: etil asetat 1:4.

Hasil pengujian diperoleh pelarut campuran heksan : etil asetat (1:4)

merupakan eluen terbaik untuk pemisahan senyawa aktif inhibitor α-glukosidase

yang terdapat pada ekstrak. Eluen ini dapat memisahkan komponen yang

terdapat dalam ekstrak menjadi 7 spot dengan nilai Retention factor (Rf) sebesar

0.24; 0.30; 0.36; 0.43; 0.46; 0.61; dan 0.78 (Gambar 11)

Setelah eluen sebagai fase gerak terbaik ditemukan, kemudian dilakukan

fraksinasi dengan kromatografi kolom kilas (flash chromatography). Pada tahap

ini, fasa diam yang digunakan adalah silika gel yang bersifat polar dan fase gerak

yang digunakan adalah heksan : etil asetat dengan perbandingan 1:4. Hasil

fraksinasi diperoleh 201 fraksi. Fraksi-fraksi ini kemudian dianalisis dengan

menggunakan kromatografi lapis tipis. Fraksi-fraksi dengan pola kromatogram

yang sama kemudian digabung menjadi satu. Hasil fraksinasi kolom dan

pemeriksaan dengan KLT diperoleh 7 fraksi gabungan (Tabel 13).

Fraksi F1 merupakan gabungan dari fraksi nomor 1-2 dengan spot

tunggal dengan nilai Rf 0.88. Fraksi F2 merupakan gabungan dari fraksi nomor 3-

7 dengan spot tunggal dengan nilai Rf 0.86. Fraksi F3 merupakan gabungan dari

fraksi nomor 8-20 dengan spot dua dengan nilai Rf 0.62 dan 0.50. Fraksi F4

merupakan gabungan dari fraksi nomor 21-55 dengan spot dua dengan nilai Rf

0.40 dan 0.35. Fraksi F5 merupakan gabungan dari fraksi nomor 58-85 dengan

spot dua dengan nilai Rf 0.31 dan 0.21. Fraksi F6 merupakan gabungan dari

fraksi nomor 86-155 dengan spot tunggal dengan nilai Rf 0.19. Fraksi F7

Spot ke Nilai Rf

1 0.78

2 0.61

3 0.46

4 0.43

5 0.36

6 0.30

7 0.24

52

merupakan gabungan dari fraksi nomor 156-201 dengan spot tunggal dengan

nilai Rf 0.15.

Tabel 13 Hasil fraksinasi senyawa menggunakan kromatografi kolom gel silika.

Fraksi Nomor fraksi Jumlah

spot RF

Berat (gram)

Rendemen (%)

F1 1-2 1 0.88 0.0580 7.25

F2 3-7 1 0.86 0.1039 12.99

F3 8-20 2 0.62; 0.50 0.0273 3.41

F4 21-55 2 0.40; 0.30 0.0362 4.56

F5 56-85 2 0.31; 0.23 0.0331 4.14

F6 86-155 1 0.19 0.1452 18.15

F7 156-201 1 0.10 0.0186 2.33

Masing-masing fraksi gabungan tersebut kemudian dipekatkan

menggunakan vacum rotary evaporator. Hasil perolehan fraksi bervariasi dengan

rendemen 2.33-18.15%. Perolehan tertinggi diperoleh pada Fraksi F6 dengan

berat ekstrak 0.1452 gram, diikuti oleh fraksi F2, F1, F4, F5, F3 dan F7 dengan

berat berturut-turut: 0.1039; 0.0580; 0.0362; 0.0331; 0.0273; dan 0.0186 gram.

Uji Penghambatan α-glukosidase Fraksi. Hasil pengujian aktivitas

inhibitor α-glukosidase senyawa aktif hasil fraksinasi menggunakan kromatografi

kolom menunjukkan hasil yang bervariasi (Tabel 14).

Tabel 14 Aktivitas inhibitor α-glukosidase hasil fraksinasi kolom

Konsentrasi

μg/ml

Penghambatan Fraksi (%)

F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 Acb

200 59.80 72.71 83.98 66.32 30.32 80.90 57.01 84.10

100 56.42 63.13 75.32 62.49 25.25 72.09 46.69 76.57

50 53.08 56.00 62.81 58.53 24.43 67.24 39.55 44.63

25 45.62 46.77 55.45 51.24 23.01 62.21 39.03 40.82

12.5 44.05 39.15 45.62 45.77 17.91 49.00 38.28 34.25

Aktivitas Fraksi F1-F7 dalam menghambat enzim α-glukosidase pada

konsentrasi 200 ppm menunjukkan adanya kemampuan penghambatan yang

bervariasi antara 30.32-80.93%. Aktivitas tertinggi dihasilkan oleh fraksi F3

dengan aktivitas peghambatan sebesar 83.98% pada konsentrasi 200 ppm atau

53

setara dengan 99.86% jika dibandingkan dengan senyawa acarbose pada

konsentrasi yang sama (aktivitas penghambatan sebesar 84.1%). Fraksi dengan

aktivitas terbesar kedua adalah fraksi F6 dengan aktivitas penghambatan

sebesar 80.9% (setara dengan 96.20% acarbose), diikuti oleh fraksi F2, F4, F1,

F7 dan F5 dengan aktivitas penghambatan berturut-turut sebesar 72.71; 66.32;

59.80; 57.01 dan 30.32%.

Penghitungan nilai IC50 masing-masing fraksi juga menunjukkan nilai

yang bervariasi. Nilai IC50 terkecil diperoleh dari fraksi F6 yaitu sebesar 10.9

ppm, diikuti oleh Fraksi F3, F4, F2, F1, F7 dan F5, masing-masing sebesar 17.4;

20.14; 31.56; 43.25; 135.4 dan 565 ppm. Jika dibandingkan dengan nilai IC50

senyawa acarbose maka terdapat 4 fraksi yang potensial karena nilainya

dibawah acarbose yaitu F6, F3, F4 dan F2. Fraksi F7 dan F5 memiliki nilai yang

jauh lebih besar dari acarbose, sehingga fraksi ini dianggap tidak potensial

(Gambar 12).

Gambar 12 Nilai IC50 dari fraksi aktif hasil kromatografi kolom gel silika.

Pada penelitian ini digunakan kontrol positif berupa senyawa acarbose.

Senyawa ini dipilih karena merupakan senyawa inhibitor α-glukosidase yang

paling banyak digunakan untuk pengobatan diabetes dengan nama dagang

Gucobay. Beberapa peneliti sebelumnya juga melaporkan adanya senyawa

inhibitor α-glukosidase potensial dengan pembanding senyawa acarbose sebagai

kontrol positif. Kwon et al. (2000) melaporkan senyawa Cyclo(dehidroala-L-Leu)

43.25

31.56

17.4 20.1410.9

135.4

36.65

0

20

40

60

80

100

120

140

160

F1 F2 F3 F4 F6 F7 Acb

IC5

0(p

pm

)

Fraksi

54

yang memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase dengan nilai IC50 sebesar 35 µg/ml

(nilai IC50 acarbose sebesar 61 µg/ml). Lee et al. (2008) menemukan senyawa

flavonol monorhamniside yang memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase dengan

nilai IC50 6.10 µM dan 1.00 µM, sementara nilai IC50 acarbose sebesar 0.046 μM.

Senyawa phlorotannin yang dilaporkan oleh Moon et al. (2011) memiliki aktivitas

inhibitor α-glukosidase dengan nilai IC50 sebesar 1.37-6.13 dan nilai IC50

acarbose sebesar 187 µg/ml. Elya et al. (2011) mendapatkan ekstrak berbagai

tanaman dengan nilai IC50 2.33-112.02 µg/ml dibanding nilai IC50 acarbose

sebesar 117.2 µg/ml. Peneliti lain (Nie et al. 2011) melaporkan senyawa oleanic

acid memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase dengan nilai IC50 sebesar 98.5 μM

dan nilai IC50 acarbose sebesar 388 μM (Tabel 15). Hasil pengujian oleh para

peneliti tersebut menunjukkan adanya nilai IC50 yang bervariasi dari senyawa

acarbose yang digunakan. Hal ini sangat tergantung pada komposisi reaksi yang

digunakan untuk menguji aktivitas inhibitor α-glukosidase senyawa bioaktif

tersebut.

Tabel 15 Aktivitas inhibitor α-glukosidase beberapa senyawa dibanding acarbose

Bahan aktif Nilai IC50 senyawa

Nilai IC50

acarbose Author

oleanolic acid 98.5 µM 388 µM Nie et al. 2011

cyclo(dehidroala-L-Leu)

35 µg/ml 61 µg/ml Kwon et al. 2000

flavonol monorhamnosida

1.0-6.10 µM

0.046 µM Lee et al. 2008

phlorotannin 1.37-6.13 µg/ml 187 µg/ml Moon et al. 2011

ekstrak berbagai tanaman

2.33-112.02 µg/ml

117.2 µg/ml Elya et al. 2011

Fraksi F6 10.9 µg/ml 36.7 µg/ml Penelitian ini

Fraksi F3 dan Fraksi F6 merupakan fraksi yang paling potensial karena

memiliki aktivitas yang setara dengan acarbose (Gambar 13). Bahkan pada

konsentrasi yang rendah (dibawah 100 ppm) aktivitas kedua fraksi ini lebih tinggi

dibanding dengan acarbose. Pada konsentrasi 12.5; 25 dan 50 ppm fraksi F6

memiliki aktivitas inhibitor sebesar 49.00; 62.21 dan 67.24% atau setara dengan

143.1%; 152.4% dan 150.1% dibanding acarbose pada konsentrasi yang sama.

Fraksi F3 pada konsentrasi 12.5; 25 dan 50 ppm memiliki aktivitas inhibitor

55

sebesar 45.62; 55.45 dan 62.81% atau setara dengan 133.2%; 135.8% dan

140.7% jika dibanding acarbose pada konsentrasi yang sama (aktivitas acarbose

sebesar 34.25; 40;82 dan 44.63% pada konsentrasi 12.5; 25 dan 50 ppm) .

Gambar 13 Aktivitas inhibitor α-glukosidase dari fraksi terpilih (Fraksi F3 dan

Fraksi F6) yang dibandingkan dengan acarbose (Acb).

Berdasarkan nilai aktivitas inhibitor α-glukosidase, nilai IC50 dan

perolehan rendemen, akhirnya dipilih Fraksi F6 untuk dikarakterisasi lebih lanjut.

Fraksi F3, meskipun memiliki aktivitas terbesar, tetapi karena rendemennya

terlalu kecil, tidak dipilih sebagai objek karakterisasi. Hal ini disebabkan untuk

keperluan analisis diperlukan sejumlah sampel yang cukup. Fraksi F6 yang

memiliki rendemen paling tinggi tentu memiliki nilai ekonomis yang lebih

menguntungkan dibanding fraksi lainnya apabila senyawa ini akan diproduksi

dalam skala besar.

Karakterisasi dan Identifikasi Senyawa Inhibitor α-glukosidase

Pemeriksaan dengan KLT Analitik. Sebelum dilakukan karakterisasi

lebih lanjut terhadap Fraksi F6, perlu dilakukan uji KLT ulang terhadap Fraksi F6

ini dengan beberapa jenis eluen. Hal ini dimaksudkan untuk melihat apakah

senyawa yang akan dianalisis telah cukup murni atau belum. Apabila spot pada

KLT berjumlah tunggal, maka senyawa kita sudah relatif murni, namun apabila

spot yang dihasilkan lebih dari satu, maka senyawa yang akan dianalisis belum

murni sehingga perlu pemurnian lebih lanjut. Eluen yang digunakan adalah

heksan, heksan : etil asetat 1:4, etil asetat dan metanol. Hasil pengujian

menunjukkan bahwa dari semua eluen yang dicoba, hasil KLT menunjukkan

0,0

10,0

20,0

30,0

40,0

50,0

60,0

70,0

80,0

90,0

200 100 50 25 12,5

Pe

ngh

amb

atan

(%)

Konsentrasi (ppm)

F3

F6

Acb

56

adanya 1 spot saja (Gambar 14). Hal ini menunjukkan bahwa senyawa yang

terkandung dalam Fraksi F6 sudah cukup murni. Meskipun demikian, akan lebih

baik apabila dilakukan pemurnian lebih lanjut terhadap Fraksi F6 ini dan

dilakukan konfirmasi menggunakan HPLC untuk memastikan kemurnian

senyawa pada Fraksi F6 tersebut.

Gambar 14 Hasil kromatografi lapis tipis Fraksi F6 menggunakan berbagai jenis eluen (H: heksan, HEA: heksan etil asetat 1:4, EA: etil asetat dan M: metanol)

Laju migrasi senyawa pada Fraksi F6 untuk masing-masing eluen yang

digunakan pada KLT bervariasi tergantung kepolaran eluen yang digunakan

(Tabel 16). Semakin polar eluen yang digunakan semakin cepat laju migrasi

senyawa pada pelat KLT sehingga semakin tinggi nilai Rf yang dihasilkan.

Penggunaan metanol sebagai eluen memberikan nilai Rf terbesar (Rf 0.81)

dibandingkan dengan penggunaan eluen etil asetat (Rf 0.44) , heksan-etil asetat

(Rf 0.19) maupun heksan saja (Rf 0.00). Kepolaran metanol lebih besar dari etil

asetat, dan kepolaran etil asetat lebih besar dari heksan. Berdasarkan hal

tersebut dapat diketahui bahwa senyawa pada Fraksi F6 merupakan senyawa

yang polar. Hal ini karena senyawa yang polar akan lebih mudah larut dalam

pelarut polar. Markham (1988) menegaskan bahwa flavonoid merupakan

senyawa yang polar karena memiliki sejumlah gugus hidroksil atau gugus gula

(bagi glikosida) sehingga akan mudah larut dalam pelarut polar seperti metanol

tersebut.

H HE

A

E

A

M

57

Tabel16 Hasil KLT analitik Fraksi F6 dengan beberapa eluen

Eluen Jumlah spot Rf

heksan 1 0.00

heksan: etil asetat 1:4 1 0.19

etil asetat 1 0.44

metanol 1 0.81

Pengaruh Konsentrasi Substrat terhadap Aktivitas Inhibitor α-

glukosidase. Percobaan ini digunakan untuk menduga tipe penghambatan yang

dimiliki oleh senyawa Fraksi F6. Pengujian aktivitas inhibitor dilakukan dengan

menggunakan substrat p-nitrophenyl α-D-glucopyranoside dengan berbagai

konsentrasi mulai dari 20 mM, 10 mM, 5 mM, 2,5 mM dan 1.25 mM. Hasil

pengujian pengaruh substrat terhadap kemampuan inhibitor Fraksi F6 dapat

dilihat pada Tabel 17 dan Gambar 15. Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa

semakin tinggi konsentrasi substrat semakin kecil hambatan yang dihasilkan oleh

senyawa pada Fraksi F6. Hal ini mengindikasikan bahwa Fraksi F6 merupakan

inhibitor kompetitif. Tipe penghambatan yang dimiliki Fraksi F6 ini serupa dengan

tipe hambatan yang dihasilkan oleh senyawa acarbose. Sebagaimana diketahui

bahwa acarbose merupakan senyawa yang memiliki jenis hambatan kompetitif.

Berdasarkan analisis kinetika enzim menurut persamaan Lineweaver-Burke

diperoleh grafik seperti tertera pada Gambar 16.

Tabel 17 Pengaruh konsentrasi substrat terhadap kemampuan inhibitor α-

glukosidase hasil fraksinasi

Konsentrasi substrat (mM) Penghambatan (%)

Fraksi F6 Acarbose

20 55.88 30.34

10 76.90 63.71

5 79.66 81.35

2.5 87.12 88.16

1.25 89.30 87.73

58

Gambar 15 Pengaruh konsentrasi substrat terhadap aktivitas inhibitor α-

glukosidase hasil fraksinasi.

Gambar 16 Kurva Lineweaver-Burke aktivitas α-glukosidase.

Kurva Lineweaver-Burke aktivitas α-glukosidase dapat digunakan untuk

menduga tipe penghambatan enzim dari suatu senyawa inhibitor. Berdasarkan

analisis grafik di atas diperoleh perubahan nilai KM yang cukup besar dan

0

20

40

60

80

100

0 5 10 15 20 25

Inh

ibis

i (%

)

Konsentrasi substrat (mM)

Fraksi F6 100 ppm Acarbose 100 ppm

y = 11,67x + 1,166R² = 0,998

y = 10,86x + 1,007R² = 0,972

y = 0,631x + 0,577

-2

0

2

4

6

8

10

12

-0,4 -0,2 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1

1/V

1/(S)Fraksi F6 100 ppm Acarbose 100 ppm Tanpa inhibitor

59

perubahan Vmax yang kecil. Pola kinetika yang terbentuk setelah penambahan

inhibitor Fraksi F6 mengakibatkan peningkatan KM sebesar 8.92 mM dari 1.09

mM menjadi 10.01 mM dan penurunan Vmax sebesar 0.05 A/menit dari 0,11

A/menit menjadi 0.06 A/menit. Menurut Copeland (2005) jenis penghambatan

kompetitif adalah penghambatan yang terjadi dengan peningkatan nilai KM

dengan nilai Vmax yang tetap. Pada penghambatan kompetitif, inhibitor

berkompetisi dengan subtrat untuk memperebutkan sisi aktif enzim dan peristiwa

ini menyebabkan nilai KM menjadi lebih besar dari keadaan normalnya dengan

nilai Vmax relatif tetap. Secara teoritis, kurva ideal dari tipe penghambatan

kompetitif adalah terjadi perpotongan garis kurva pada titik yang sama pada

sumbu Y antara kurva reaksi enzim dengan penambahan inhibitor dan kurva

tanpa penambahan inhibitor. Berdasarkan hal tersebut, dapat diduga bahwa tipe

penghambatan Fraksi F6 adalah tipe penghambatan kompetitif. Ketidaktepatan

perpotongan kurva pada sumbu Y antara kurva tanpa inhibitor dan kurva dengan

penambahan inhibitor kemungkinan dapat disebabkan oleh beberapa hal antara

lain kemungkinan senyawa Fraksi F6 belum murni. Kemungkinan lainnya adalah

konsentrasi senyawa yang diuji belum tepat, sehingga perlu dilakukan pengujian

menggunakan berbagai konsentrasi inhibitor, seperti dilakukan oleh Kimura et al.

(2004). Konsekuensi dari tipe inhibitor kompetitif ini apabila nanti akan

diaplikasikan pada manusia adalah harus cermat di dalam memperhitungkan

dosis dengan pola makan pasien.

Beberapa senyawa lain juga telah diketahui mekanisme inhibitornya.

Diantara flavonoid yang dikenal memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase,

senyawa genistein (kelompok isoflavon) memiliki mekanisme penghambatan non

kompetitif (Lee & Lee 2001). Wu et al. (2012) juga melaporkan senyawa

swertisin yang merupakan flavonoid kelompok isoflavon juga memiliki aktivitas

penghambatan non kompetitif.

Identifikasi Inhibitor α-glukosidase dengan Uji Fitokimia. Uji fitokimia

terhadap Fraksi F6 dilakukan untuk memperkuat dugaan kelompok metabolit

utama dari senyawa kimia yang terdapat pada Fraksi F6. Hasil uji fitokimia

menunjukkan bahwa Fraksi F6 positif sebagai flavonoid. Hasil pengujian ini juga

semakin memperkuat adanya keterkaitan antara metabolit yang dihasilkan oleh

mikrob endofit dengan tanaman inangnya. Beberapa peneliti sebelumnya telah

melaporkan adanya senyawa kelompok flavonoid pada tanaman T. crispa. Hasil

60

pengujian oleh Amom et al (2009) menunjukkan bahwa ekstrak tanaman T.

crispa mengandung flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi

setara dengan antioksidan yang telah umum dikenal seperti BHT (butil hidroksi

toluen) dan vitamin C. Flavonoid yang terdeteksi pada tanaman T. crispa ini

antara lain catechin (1.58 μg/μl), luteolin (0.85 μg/μl), morin (1.44 μg/μl), dan rutin

(1.38 μg/μl). Adanya beberapa senyawa flavonoid ini diyakini secara kolektif

berfungsi sebagai antioksidan.

Patela dan Mishrab (2012) menemukan tiga senyawa dari tanaman T.

cordifolia yang memiliki kemampuan inhibitor α-glukosidase, yaitu jatrorrhizine,

palmatine dan magnoflorine. Senyawa-senyawa tersebut memiliki nilai IC50

berturut-turut sebesar 22.05; 38.42 and 7.6 µg/ml untuk jatrorrhizine, palmatine

dan magnoflorine. Hasil uji in vivo juga menunjukkan adanya penekanan yang

signifikan terhadap kenaikan kadar glukosa plasma darah oleh ketiga senyawa

tersebut pada konsentrasi 20 mg/kg berat badan. Senyawa magnoflorine

merupakan senyawa paling potensial sebagai inhibitor α-glukosidase diantara

ketiga senyawa yang ditemukan tersebut. Jika dibandingkan dengan aktivitas

senyawa yang dilaporkan oleh Patela dan Mishrab (2012) di atas maka senyawa

Fraksi F6 memiliki aktivitas yang lebih baik dibanding jatrorrhizine, palmatine

(nilai IC50 22.05 dan 38.42) tetapi lebih rendah dari pada magnoflorine (nilai IC50

7.6 µg/ml). Namun demikian untuk aktivitas in vivo dalam menurunkan kadar

gula darah pada mencit diabetes belum dapat dibandingkan, karena uji coba

senyawa inhibitor dari isolat BWA65 ini masih dalam pelaksanaan.

Disamping diketahui mengandung senyawa yang memiliki kemampuan

inhibitor α-glukosidase, tanaman T. crispa juga diketahui memiliki kandungan

senyawa bioaktif yang dapat menurunkan kadar gula darah melalui aktivitas lain.

Ruana et al (2012, in press) melaporkan adanya senyawa borapetoside dari

tanaman T. crispa yang mampu meningkatkan sensitivitas insulin sehingga

berperan sebagai anti hiperglikemia pada tikus diabetes.

Identifikasi dengan Spektrofotometer UV-Vis. Spektrum flavonoid

biasanya ditentukan dalam larutan dengan pelarut metanol atau etanol. Spektrum

khas terdiri dari atas dua puncak pada rentang 240-285 nm (pita II) dan 300-550

nm (pita I). Hasil pengujian Fraksi F6 dan Fraksi F3 menggunakan

spektrofotometer UV-Vis dapat dilihat pada Gambar 17 dan 18.

61

Gambar 17 Spektrum serapan Fraksi F6 menggunakan spektrofotometer UV-Vis.

Gambar 18 Spektrum serapan Fraksi F3 menggunakan spektrofotometer UV-Vis.

Hasil pengujian menggunakan spektrofotometer UV-Vis yang berupa

kurva yang menggambarkan nilai serapan senyawa kemudian diidentifikasi

menggunakan tabel referensi. Petunjuk mengenai rentang puncak utama yang

diperkirakan untuk setiap jenis flavonoid disajikan pada Tabel 18 dan Tabel 19.

62

Tabel 18 Rentangan serapan spektrum UV-Vis flavonoid (Markham 1988)

Pita II (nm) Pita I (nm) Jenis flavonoid

250-280 310-350 flavon 250-280 330-360 flavonol (3-OH tersubtitusi) 250-280 350-385 flavonol (3-OH bebas) 245-275 310-330 bahu

kira-kira 320 puncak isoflavon

275-295 300-330 bahu flavonon dan dihidroflavonol

230-270 340-390 khalkon 230-270 380-430 auron

270-280 465-560 antosianidin dan antosianin

Berdasarkan spektrum serapan dengan spektrofotometer UV-Vis

(Gambar 17), Fraksi F6 memiliki serapan maksimum pada panjang gelombang

423 nm dan tiga puncak pada daerah UV yaitu pada 255, 248 dan 242 nm maka

diduga Fraksi F6 ini merupakan flavonoid yang termasuk dalam kelompok auron

(Markham, 1988; Harborne, 2006). Fraksi F3 memiliki serapan maksimum pada

panjang gelombang 431 nm dan 319 nm. Berdasarkan penelusuran pada tabel

spektrum flavonoid (Tabel 18 dan 19) menurut Markham (1988) dan (Harborne

2006), nilai serapan maksimum Fraksi F3 tidak ada yang memenuhi kriteria

dalam tabel tersebut, sehingga diduga senyawa aktif pada Fraksi F3 tersebut

bukan merupakan kelompok flavonoid. Merujuk pada hasil uji fitokimia,

kemungkinan senyawa Fraksi F3 ini dapat berasal dari kelompok terpenoid. Hal

ini diperkuat adanya laporan yang menyatakan adanya senyawa kelompok

terpenoid dari tanaman T. crispa yang mempunyai aktivitas inhibitor α-

glukosidase.

Table 19 Ciri spektrum golongan flavonoid utama (Harborne 2006)

Panjang gelombang maks (nm)

Panjang gelombang tambahan (nm)

Petunjuk

475-560 ± 275 antosianin 390-430 240-270 auron

365-390 240-260 khalkon 350-390 ± 300 flavonol 250-270 330-350 Tidak ada flavon dan biflavonil 250-270 275-290 310-330 flavonon dan flavonol ± 255 255-265 310-330 isoflavon

63

Menurut Markham (1988) auron bersama dengan khalkon, flavonon,

dihidrokhalkon dan isoflavon merupakan flavonoid minor karena penyebaran

masing-masing kelas ini terbatas. Auron dan khalkon merupakan pigmen kuning

yang dapat dijumpai pada tanaman Compositae dan beberapa famili tanaman

lainnya. Salah satu contoh auron adalah aureusidin. Senyawa ini terdapat di

alam dalam bentuk glikosida.

Glikosida sendiri merupakan bentuk flavonoid yang terikat dengan gula,

sedangkan yang tidak terikat dengan gula disebut aglikon. Adanya gula yang

terikat pada flavonoid (bentuk yang umum ditemukan) cenderung menyebabkan

flavonoid lebih mudah larut dalam air dan dengan demikian campuran pelarut di

atas dengan air merupakan pelarut yang lebih baik untuk glikosida. Sebaliknya

aglikon yang kurang polar seperti isoflavon, flavonon, flavon serta flavonol yang

termetoksilasi cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan

kloroform. Aglikon flavonoid adalah polifenol dan karena itu mempunyai sifat

kimia senyawa fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga larut dalam basa

(Markham 1988).

Flavonoid mempunyai sejumlah gugus hidroksil atau suatu gula sehingga

flavonoid merupakan senyawa polar, maka umumnya flavonoid larut dalam

pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol, aseton, dimetilsulfoksida,

dimetilformamida, air dan lain-lain. Adanya gugus berupa gula pada flavonoid

diduga kuat sebagai bagian aktif yang memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase.

Seperti halnya acarbose, adanya struktur gula menyebabkan senyawa ini mampu

bersaing dengan substrat untuk menempati sisi aktif enzim. Percobaan pengaruh

konsentrasi substrat mendukung adanya dugaan ini, dimana semakin tinggi

konsentrasi sustrat, maka hambatan yang dihasilkan oleh Fraksi F6 semakin

kecil. Fraksi F6 memiliki ciri-ciri seperti yang didiskripsikan di atas sehingga

senyawa Fraksi F6 ini diduga kuat merupakan flavonoid kelompok auron.

64

Gambar 19 Spektrum FTIR senyawa Fraksi F6

Identifikasi Gugus Fungsi dengan FTIR. Spektrofotometer Fourier

Transform Infrared (FTIR) banyak digunakan untuk analisis kualitatif maupun

kuantitatif. Daerah pada spektrum IR di atas 1200 cm-1

menunjukkan pita

serapan atau puncak serapan yang disebabkan adanya getaran kimia atau

gugus fungsi dalam molekul yang dicari. Daerah di bawah 1200 cm-1

menunjukkan pita dari getaran molekul yang dikenal dengan daerah sidik jari.

Spektrum yang dihasilkan FTIR pada prinsipnya terbentuk dengan cara

melewatkan radiasi IR pada contoh dan diproses menggunakan interferometer.

Keadaan demikian secara kontinu akan menghasilkan sinyal pada detektor yang

disebut interferogram. Hasil interferogram diubah menjadi bentuk spektrum

dengan bantuan komputer berdasarkan operasi matematik Fourier Transform.

Hasil analisis Fraksi F6 menggunakan spektrofotometer FTIR seperti tertera

pada Gambar 19.

65

Tabel 20 Identifikasi gugus fungsi fraksi F6 dengan FTIR (Pavia et al. 2001)

Bilangan gelombang Fraksi F6 cm

-1 Bilangan gelombang

referensi cm-1

Tipe vibrasi

3411.04 dekat 3400-2400 O-H Ikatan H

2924.67 3000-2850 C-H alkana

2853.68 2900-2800

C-H aldehid

1731.20 1740-1720 1750-1730

C=O aldehid atau ester

1638.57 1680-1630

C=O amida

1563.45 1600-1475

1640-1550

C=C N-H

aromatik atau amina dan amida primer dan sekunder

1442.46 1465

-CH2- alkana

Daerah sidik jari 900-1400

849.09 900-690

1000-650

C-H aromatik atau alkena

773.00 900-690

1000-650

C-H aromatik atau alkena

749.62 900-690

1000-650

C-H aromatik atau alkena

Berdasarkan hasil pemeriksaan dengan spektrofotometer FTIR (Gambar

17) dan penelusuran literatur (Tabel 20) diduga senyawa Fraksi F6 ini memiliki

gugus karbonil C=O pada bilangan gelombang 1731 cm-1, terdapat ikatan O-H

pada bilangan gelombang 3411.04 cm-1, terdapat ikatan C-O pada bilangan

gelombang 1300-1000 cm-1, terdapat ikatan rangkap C=C cincin aromatik pada

bilangan gelombang 1563 cm-1. Hasil analisis ini memiliki kesesuaian dengan

struktur dasar senyawa auron (Gambar 20).

Gambar 20 Struktur dasar senyawa auron.

66

Temuan Penting dan Implikasinya

Penemuan isolat aktinomiset endofit dari tanaman T. crispa yang dapat

menghasilkan inhibitor α-glukosidase semakin menambah data atau bukti ilmiah

yang dapat memperkuat teori yang menyatakan bahwa suatu tanaman dapat

mengandung mikrob endofit yang dapat menghasilkan metabolit sekunder sama

dengan yang dihasilkan oleh tanaman inangnya. Fenomena ini tentu akan

menjadi peluang besar penelitian dalam bidang mikrobiologi untuk melakukan

eksplorasi mikrob dalam rangka pencarian senyawa bioaktif baru melalui

pendekatan empiris-ilmiah. Resep-resep pengobatan tradisional yang

memanfaatkan tanaman khas dari berbagai wilayah nusantara yang diwariskan

secara kultural oleh nenek moyang merupakan modal informasi yang sangat

berharga dalam rangka pemilihan tanaman inang sebagai sumber mikrob endofit

baru penghasil senyawa bioaktif yang bermanfaat. Penelitian-penelitian tentang

senyawa bioaktif yang berasal dari mikrob endofit khususnya dari tanaman-

tanaman obat tradisional masih sangat langka, sehingga peluang untuk

mendapatkan mikrob maupun senyawa jenis baru sangat besar. Temuan-temuan

ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

Tanaman T. crispa bebas endofit yang diperoleh dari hasil kultur jaringan

memiliki kemampuan yang lebih rendah dalam menghasilkan senyawa inhibitor

α-glukosidase jika dibandingkan dengan tanaman T. crispa yang diperoleh dari

alam. Isolat aktinomiset endofit BWA65 mampu menghasilkan aktivitas inhibitor

α-glukosidase yang lebih besar dari tanaman T. crispa yang diperoleh dari alam.

Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa mikrob endofit, dalam hal ini

aktinomiset endofit pada tanaman T. crispa tersebut memberikan kontribusi

besar terhadap produksi senyawa inhibitor α-glukosidase. Indikasi adanya peran

penting mikrob endofit dalam menghasilkan senyawa bioaktif ini merupakan

fenomena menarik untuk dikaji lebih lanjut, khususnya dalam budidaya tanaman

obat (penghasil senyawa bioaktif). Dalam budidaya tanaman khususnya untuk

keperluan produksi senyawa bioaktif, faktor genetis tanaman dan faktor

lingkungan (ekologi) sangat menentukan kualitas dan kuantitas senyawa bioaktif

yang dihasilkan. Faktor lingkungan di sini meliputi antara lain adalah kandungan

unsur hara tanah dan mikro klimat lokasi budidaya tanaman. Salah satu faktor

yang belum banyak dikaji adalah adanya peran mikrob endofit dalam

meningkatkan produksi senyawa bioaktif. Berdasarkan indikasi adanya peran

penting mikrob endofit dalam menghasilkan senyawa bioaktif, maka dalam

67

budidaya tanaman obat perhatian terhadap eksistensi dan kebugaran mikrob

endofit perlu dilakukan dalam rangka memaksimalkan peran mikrob endofit

dalam memproduksi bahan aktif. Penelitian peningkatan senyawa bioaktif

tanaman melalui pendekatan peran mikrob endofit juga masih sangat langka.

Adanya fenomena peran endofit dalam menghasilkan senyawa bioaktif

pada tanaman juga memiliki potensi besar dalam bidang kultur jaringan tanaman.

Dalam bidang kultur jaringan, permasalahan utama yang sering dijumpai adalah

adanya mikrob kontaminan yang tumbuh dalam eksplan yang ditanam. Selama

ini setiap mikrob yang tumbuh dari eksplan tanaman dianggap kontaminan yang

harus dihilangkan. Untuk keperluan propagasi tanaman, maka adanya mikrob

yang tumbuh pada eksplan mutlak harus dicegah, tetapi untuk keperluan

produksi seyawa bioaktif, adanya mikrob yang tumbuh tidak selalu harus dicegah.

Berdasarkan fenomena bahwa mikrob endofit dapat memiliki kontribusi yang

besar dalam menghasilkan senyawa bioaktif pada tanaman, maka adanya

mikrob yang selalu hadir pada eksplan dapat berasal dari endofit sehingga tidak

harus selalu dicegah, melainkan perlu dikaji peluangnya di dalam meningkatkan

produksi senyawa bioaktif dari kultur jaringan tersebut.

Isolat aktinomiset BWA65 memiliki kesamaan 98% dengan Streptomyces

diastaticus. Adanya inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh S. diastaticus

hingga saat ini belum pernah dilaporkan. Berdasarkan hal ini, kemungkinan

besar isolat BWA65 merupakan Streptomyces penghasil senyawa inhibitor α-

glukosidase baru, sehingga senyawa yang dihasilkan kemungkinan besar

merupakan senyawa inhibitor α-glukosidase jenis baru.

Hasil fraksinasi senyawa aktif inhibitor α-glukosidase yang dilakukan

dalam penelitian ini diperoleh Fraksi F6 yang memiliki aktivitas setara dengan

acarbose. Acarbose merupakan senyawa inhibitor α-glukosidase yang sudah

dikomersialkan dan digunakan secara luas untuk pengobatan diabetes. Pada

konsentrasi yang rendah (di bawah 100 μg/ml) aktivitas Fraksi F6 ini lebih tinggi

dibanding dengan acarbose. Berdasarkan hasil pemeriksaan menggunakan uji

fitokimia, spektrofotometer UV-Vis maupun FTIR mengindikasikan bahwa

senyawa aktif inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh isolat BWA65

merupakan senyawa flavonoid kelompok auron. Berdasarkan kajian literatur,

hingga saat ini juga belum ada laporan tentang senyawa kelompok auron yang

memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase. Hal ini juga membuka peluang kajian

pengembangan lebih lanjut dari senyawa aktif Fraksi F6 ini.

68

69

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Pada penelitian ini diperoleh isolat aktinomiset endofit BWA65 dari

tanaman T. crispa yang mampu menghasilkan senyawa inhibitor α-glukosidase.

Berdasarkan hasil pengujian aktivitas inhibitor α-glukosidase antara tanaman T.

crispa bebas endofit, tanaman dari alam dan isolat endofit BWA65,

mengindikasikan aktinomiset endofit tersebut memiliki kontribusi penting di dalam

menghasilkan senyawa inhibitor α-glukosidase pada tanaman T. crispa. Hasil

identifikasi berdasarkan sekuen 16S rDNA menunjukkan isolat BWA65 memiliki

kesamaan 98% dengan Streptomyces diastaticus, yang belum pernah dilaporkan

memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase. Isolat aktinomiset endofit BWA65

merupakan isolat potensial untuk dikembangkan sebagai penghasil inhibitor α-

glukosidase karena selain memiliki unsur kebaharuan organisme penghasilnya,

juga memiliki kemampuan inhibisi yang tinggi terhadap enzim α-glukosidase.

Senyawa inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan isolat ini dapat diproduksi

menggunakan medium cair dan dapat diekstrak menggunakan pelarut etil asetat.

Hasil fraksinasi komponen bioaktif menggunakan kromatografi kolom diperoleh

Fraksi aktif F6 yang memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase setara dengan

acarbose. Fraksi F6 memiliki aktivitas penghambatan sebesar 80.9% pada

konsentrasi 200 ppm atau setara dengan 96.2% dari aktivitas acarbose (aktivitas

inhibisi 84.1%). Pada pengujian nilai IC50, Fraksi F6 memiliki nilai IC50 10.9 ppm

lebih kecil dibanding nilai IC50 acarbose sebesar 36.65 ppm.

Berdasarkan hasil pemeriksaan dengan spektrofotometer FTIR dan

penelusuran literatur mengindikasikan senyawa Fraksi F6 ini memiliki gugus

fungsi: karbonil C=O, ikatan O-H, ikatan C-O, ikatan rangkap C=C dan cincin

aromatic. Pada pengukuran dengan spektrofotometer UV-Vis senyawa ini

memiliki serapan panjang gelombang maksimum 423 nm. Berdasarkan hasil

pemeriksaan menggunakan uji fitokimia, spektrofotometer UV-Vis maupun FTIR

mengindikasikan bahwa senyawa aktif inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan

oleh isolat BWA65 merupakan senyawa flavonoid kelompok auron.

SARAN

Pembuktian secara langsung melalui uji kemampuan kolonisasi isolat

BWA65 pada tanaman T. crispa bebas endofit perlu dilakukan untuk lebih

70

menegaskan bahwa isolat BWA65 benar-benar merupakan endofit pada

tanaman T. crispa.

Perlu dilakukan uji lanjut untuk menentukan struktur kimia senyawa aktif

Fraksi F6. Penentuan struktur ini berguna untuk keperluan verifikasi kebaharuan

senyawa yang ditemukan dalam penelitian ini.

Pengembangan lebih lanjut isolat BWA65 sebagai penghasil bahan aktif

untuk obat diabetes perlu dilanjutkan melalui tahapan uji in vivo dan uji klinis agar

dapat sampai ke komersialisasi produk.

71

DAFTAR PUSTAKA

Aguilar FJ, Dorantes TB, Leon AG, Carrillo LV, Saenz JL, Ramos RR. 2003.

Study of the antihyperglycemic effect of antidiabetic plants in rabbits with impaired glucose tolerance. Proc West Pharmacol Soc 46:148-152.

Akhtar MA, Wahed II, Islam MR, Shaheen SM, Islam MA, Amran MS, Ahmed M.

2007. Comparison of long-term antihyperglycemic and hypolipidemic effects between Coccinia cordifolia (Linn.) and Catharanthus roseus (Linn.) in alloxan-induced diabetic rats. J Med Med Sci 2:29-34.

Amom Z, Bahari H, Isemaail S, Ismail NA, Shah MD, Arsyad MS. 2009.

Nutritional composition, antioxidant ability and flavonoid content of Tinospora crispa stem. Adv Nat Appl Sci 3:88-94.

Anam K, Widharma RM, Kusrini D. 2009. Alpha glucosidase inhibitor of

Terminalia species. Int J Pharmacol 5:277-280.

Attele AS, Zhou YP, Xie JT, Wu JA, Zhang L, Dey L, Pugh P, Rue PA, Polonsky

KS, Yuan C. 2002. Antidiabetic effects of Panax ginseng berry extract and the identification of an effective component. Diabetes 51:1851-1859.

Azin M, Maozami N, Bogan MN. 1997. Production, purification and immobilization

of glucose isomerase from Streptomyces olivochro-mogenes PTCC 1547. World J Microbiol Biotechnol 13:597-598.

Bailey CJ, Day C. 2003. Antidiabetic drugs. Br J Cardiol 10:128-136.

Benalla W, Bellahcen S, Bnouham M. 2010. Antidiabetic medicinal plants as a

source of α-glucosidase inhibitors. Curr Diabetes Rev 6:247-54.

Beltrame FM, Pessini GL, Doro DL, Dias BP, Bazotte RB, Garcia DA. 2002.

Evaluation of the antidiabetic and antibacterial activity of Cissus sicyoides. Braz Archiv Biol Technol 45:21-25.

Bhandari MR, Anurakkum NJ, Hong G, Kawabata J. 2008. Alpha glucosidase

and alpha amilase inhibitory activities of Nepalese medicinal herb Pakhanbhed (Berginia ciliata). Food Chem 106:247-252.

Bhat M, Zinjarde SS, Bhargava SY, Kumar AR, Joshi BN. 2008. Antidiabetic

Indian plants: a good source of potent amilase inhibitor. Evid Compl Altern Med 11:1-6.

Bnouham M, Ziyyat A, Mekhfi H, Tahri A. 2006. Medicinal plants with potential

antidiabetic activity - a review of ten years of herbal medicine research (1990-2000). Int J Diabet Metabol 14:1-25.

Cannell RJP, Farmer P, Walker JM. 1988. Purification and characterization of

pentagalloylglucose, an α-glucosidase inhibitor / antibiotic from freshwater green algae Spirogyra varians. J Biochem 255:937-941.

72

Caruso MA, Colombo L, Fedeli L, Pavesi A, Quaroni S, Saracchi M, Ventrella G. 2000. Isolation of endophytic fungi and actinomycetes taxane producers. Ann Microbiol 50:3-13.

Castillo UF, Strobel GA, Ford EJ, Hess WM, Porter H, Jensen JB, Albert H,

Robison R, Condron MA, Teplow DB, Stevens D, Yaver D. 2002. Munumbicins, wide-spectrum antibiotics produced by Streptomyces NRRL 30562, endophytic on Kennedia nigriscans. Microbiology 148:2675-2685.

Chen H, Yan X, Lin W, Zheng L, Zhang W. 2004. A new method for screening α-

glucosidase inhibitors and application to marine microorganisms. Pharm Biol 42:416-421.

Chin YW, Balunas WJ, Chai HB, Kinghorn AD. 2006. Drug discovery from

natural sources. Aaps J 8:239-252.

Chougale AD, Ghadyale VA , Panaskar SN, Arvindekar AU. 2009. Alpha

glucosidase inhibition by stem extract of Tinospora cordifolia. J Enz Inhib Med Chem 24:998-1001.

Clark CM. 1998. Oral therapy in type 2 diabetes: pharmacological properties and

clinical use of currently available agents. Diabet Spectrum 11:211-221.

Coombs JT, Franco CM. 2003. Isolation and identification of actinobacteria from

surface –sterilized wheat roots. Appl Environ Microbiol 69:5603-5608.

Copeland RA. 2005. Evaluation of Enzyme Inhibitors in Drug Discovery: a Guide

for Medical Chemists and Pharmacologists. New Jersey: Wiley-

Interscience. Djomeni PD, Tedong L, Asongalem EA, Dimo T, Sokeng SC, Kamtchouing P.

2006.

Hypoglycaemic and antidiabetic effect of root extracts of Ceiba pentandra in normal and diabetic rats . Afr J Trad Compl Altern Med

3:129-136. Du ZY, Liu RR, Shao WY, Mao X, Ma L, Gu L, Huang Z, Chan ASC. 2006. Α-

glucosidase inhibition of natural curcuminoids and curcumin analogs. Eur J Med Chem 41:213-218.

Dutta R, Qin L, Inouye M. 1999. Histidine kinases: diversity of domain

organization. Mol Microbiol 34:633-640. Ebong PE, Atangwho IJ, Eyong EU, Egbung GE. 2008. The antidiabetic efficacy

of combined extracts from two continental plants: Azadirachta indica (A. Juss) (Neem) and Vernonia amygdalina (Del.) (African Bitter Leaf). American J Biochem Biotech 4:239-244.

Elya B, Basah K, Munim A, Yuliastiti. 2012. Screening of α-glucosidase inhibitory

activity from some plants of Apocynaceae, Clusiaceae, Euphorbiaceae, and Rubiaceae. J Biomed Biotechnol 12:1-6.

Ezra D, Castillo UF, Strobel GA, Hess WM, Porter H, Jensen JB, Condron MAM,

Teplow DB, Sears J, Maranta M, Hunter M, Weber B, Yaver D. 2004.

73

Coronamycins, peptide antibiotics produced by a verticillate Streptomyces Sp. (Msu-2110) endophytic on Monstera sp. Microbiology 150:785-793.

Fischer PB, Chollin M, Karlsson GB, James W, Butter TD. 1995. The α-

glucosidase inhibitor N-butyldeoxynojirimycin inhibit human immunodeficiency virus entry at the level of post CD4 binding. J Virol

69:5791-5797. Garg M, Dhar VJ, Kalia AN. 2008. Antidiabetic and antioxidant potential of

Phyllanthus fraternus in alloxan induced diabetic animals. Pharmacog Mag 4:138-143

Gholamhoseinian A, Fallah H, Sharifi F, Mirtajaddini M. 2008. The inhibitory

effect of some Iranian plants extract on the α-glucosidase. Iran J Basic Sci

11:1-9. Ghosh D, Konishi T. 2007. Anthocyanins and anthocyanin-rich extracts: role in

diabetes and eye function. Asia Pac J Clin Nutr 16:200-208. Gray AM, Flat PR. 1999. Insulin-secreting activity of the traditional antidiabetic

plant Viscum album (mistletoe). J Endocrinol 160:409-414. Gown J. 2006. Diabetes drug produced by a microbe. Di dalam: Beth Burrows,

editor. Out of Africa: Mysteries of Access and Benefit Sharing.

Washington: The Edmonds Institute. hlm 1-4. Gu Q, Luo H, Zheng W, Liu Z, Huang Y. 2006. Pseudonocardia oroxyli sp. Nov.,

a novel actinomycete isolated from surface–sterilized Oroxylum indicum root. Int J Syst Evol Microbiol 56:2193-2197.

Harborne JB. 2006. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis

Tumbuhan. Penerbit ITB Bandung.

Hemker M, Stratmann A, Goeke K, Schro¨Der W, Lenz J, Piepersberg W, Pape

H. 2001. Identification, cloning, expression, and characterization of the extracellular acarbose-modifying glycosyltransferase, AcbD, from Actinoplanes sp. strain SE50. J Bacteriol 183:4484-4492.

Hsieh PC, Huang GJ, Ho YL, Lin YH, Huang SS, Chiang YC, Tseng MC, Chang

YS. 2010. Activities of antioxidants, α-glucosidase inhibitors and aldose reductase inhibitors of the aqueous extracts of four Flemingia species in Taiwan. Bot Std 51:293-302.

Hyun CG, Kim SY, Hur JH, Seo MJ, Suh JW, Kim SO. 2005. Molecular detection

of α-glucosidase inhibitor-producing actinomycetes. J Microbiol 43:313-318.

Igarashi Y, Miura S, Fujita T, Furumai T. 2006. Cpterocidin, a cytotoxic

compound from the endophytic Streptomyces hygroscopicus. J Antibiot

59:193-195. Irawan D. 2008. Isolasi aktinomiset endofit tanaman obat yang berpotensi

sebagai antidiabetes melalui kajian aktivitas α-glukosidase [skripsi].

74

Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Jeyacandran R, Mahesh A. 2007. Enumeration of antidiabetic herbal flora of

Tamil Nadu. Resc J Med Plant 1:144-148.

Katiyar SK, Arwal R, Muhtar, H. 1996. Inhibition of tumor promotion in SENCAR

mouse skin by etanol extract of Zingiber officinale rhizome. Cancer Resc

56:1023-1030. Khalilsaraie MF, Saima N, Meti NT, Bhadekar NK, Nerkar DP. 2011.Cytological

study and antimicrobial activity of embryogenic callus induced from leaf cultures of Tinospora cordifolia (Willd.) Miers. J Med Plants Resc 5:3002-

3006. Kim JS, Kwon CS, Son KH. 2000. Inhibition of α-glucosidase and amylase by

luteolin, a flavonoid. Biosci Biotechnol Biochem 11:2458-2461. Kim JS, Ju JB, Choi CW, Kim SC. 2006. Hypoglycemic and antihyperlipidemic

effect of four Korean medicinal plants in alloxan induced diabetic rats. Am J Biochem Biotechnol 2:154-160.

Kim SD, Nho HJ. 2004. Isolation and characterization of α-glucosidase inhibitor

from fungus Ganoderma lucidum. J Microbiol 42:223-227. Kim YM, Wang MH, Rhee HI. 2003. A novel α-glucosidase inhibitor from pine

bark. Carbo Resc 339:715-717. Kimura A, Lee JH, Lee IS, Lee HS, Park KH, Chiba S, Kim D. 2004. Two potent

competitive inhibitors discriminating α-glucosidase family I from family II. Carbo resch 339:1035-1040.

Klein G, Kim J, Himmeldirk K, Cao Y, Chen X. 2007. Antidiabetes and antiobesity

activity of Lagerstroemia speciosa. Evid Compl Altern Med 4:401-407. Kumar A, Ilavarasan R, Jayachandran T, Deecaraman M, Aravindan P,

Padmanabhan N, Krishan MRV. 2008. Antidiabetic activity of Syzygium cumini and its isolated compound against streptozotocin-induced diabetic rats. J Med Plant Resc 29:246-249.

Kwon OS, Park SH, Yun BS, Pyun YR, Kim CJ. 2000. Cyclo(Dehydroala-L-Leu),

an α-glucosidase inhibitor from Penicillium sp. F70614. J Antibiot 53:954-

958. Lamda HS, Bhargava CS, Thakur M, Bhargava S. 2011. α-glucosidase and

aldose reductase inhibitory activity in vitro and antidiabetic activity in vivo of tribulus terrestris (Dunal). Int J Pharm Pharm Sci 3:270-272.

Lee DS, Lee JM, Kim SU, Chang KT, Lee SH. 2007. Ceptezole, a cephem

antibiotic is an α-glucosidase inhibitor with in vivo antidiabetic activity. Int J Molec Med 20:279-283.

75

Lee DS, Lee SH. 2001. Genistein, a soy isoflavone, is a potent α-glucosidase inhibitor. FEBS Letters 501:84-86.

Lee SS, Lin HC, Che CH. 2008. Acylated flavonol monorhamnosides, α-

glucosidase inhibitors. Phytochemistry 69:2347-2353.

Lin WL, Fu LH, Sattler I, Huang X, Grabley S. 2005. New cyclopentenone

derivatives from an endophytic Streptomyces sp. isolated from the mangrove plant. Aegiceras comiculatum. J Antibiot 58:594-598.

Mahop MP, Mayet M. 2007. En route to biopiracy: ethnobotanical research on

anti medicinal plants in the Eastern Cape Province, South Africa. Afr J Biotechnol 6:2945-2952.

Markham KR. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Bandung: Penerbit ITB.

Mbouangouere RN, Tane P, Choudary MI. 2008. Piptadenol A-C and α-

glucosidase inhibitor from Piptadenia africana. Resc J Phytochem 2:27-34.

Moon HE, Islam MN, Ahn BR, Chowdhury SS, Sohn HS, Jung HA, Choi JS. 2011.

Protein tyrosine 1B and α-glucosidase inhibitory phlorotannins from edible brown algae, Ecklonia stolonifera and Eisena bicyclis. Biosci Biotechnol Biochem 75:1472-1480.

Nakao Y, Maki T, Matsunaga S, Soest RWM, Fusetani N. 2000. Penarolide

sulfates A1 and A2, new α-glucosidase inhibitors from a marine sponge Penares sp. Tetrahedron 56: 8977-8987.

Nie W, Luo JG, Wang XB, Yin H, sun HB, Yao HQ, Kong LY. 2011. Synthesis of

new α-glucosidase inhibitors based on oleanolic acid incorporating cinnamic amides. Chem Pharm Bull 59:1051-056.

Noipha K, Ninlaaesong P. 2011. The activation of GLUT1, AMPKα and PPARγ

by Tinospora crispa in L6 myotubes. Spatula 1:245-249. Noor H, Ashcroft. 1998. Pharmacological characterization of the anti-

hyperglycaemic properties of Tinospora crispa extract. J Ethnopharmacol 62:7-13.

Pasaribu GT. 2009. Zat Ekstraktif kayu raru dan pengaruhnya terhadap penurun

kadar gula darah secara in vitro [tesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Patela MB, Mishrab SM. 2012. Magnoflorine from Tinospora cordifolia stem

inhibits α-glucosidase and is antiglycemic in rats. J Func Food 4:78-86.

Pavia DL, Lampman GM, Kriz GS. 2001. Introduction to Spectroscopy: a Guide

for Students of Organic Chemistry. USA: Thomson Learning.

Purwianingsih W, Hamdiyati Y. 2009. Metode elisitasi menggunakan ragi

Sacharomyces cerevisiae untuk meningkatkan kandungan bioaktif kuinon kalus Morinda citrifolia L. (Mengkudu). Biosainstifika 1:167-178.

76

Radji M. 2005. Peranan bioteknologi dan mikrob endofit dalam pengembangan obat herbal. Majalah Ilmu Kefarmasian 2:113-126.

Rajalakshmi M, Eliza J, Priya CE, Nirmala A, Daisy P. 2009. Antidiabetic

properties of Tinospora cordifolia stem extracts on streptozotocin-induced diabetic rats. Afr J Pharm Pharm 3:171-180.

Ruana T, Lamb SH, Chic TC, Leeb SS, Sua MJ. 2012. Borapetoside C from

Tinospora crispa improves insulin sensitivity in diabetic mice. Phytomedicine (in press)

Seco EM, Cuesta T, Fotso S, Laatsch H, Malpartida F. 2005. Two polyene

amides produced by genetically modified Streptomyces diastaticus var 108. Chem Biol 12:535-543.

Santa IG, Prajogo E, Bambang W. 1998. Studi taksonomi brotowali (Tinospora

crispa (L.) Miers ex Hook F. and Thoms. Jakarta: Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia. http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php-/Search.html [6 Juli 2012].

Sharma R, Ranjan R, Kapardar RK, Grover A. 2005. Unculturable bacterial

diversity: an untapped resource. Current Sci 89:71-77.

Simkada JR, Lee HJ, Jang SY, Cho SS, Park EJ, Sohng JK, Yoo JC. 2009. A

novel alkalo and thermostable phospholipase D from Streptomyces olivochromogenes. Biotechnol Lett 31:429-435.

Sriyapai C, Dumma R, Kongkathip N, Kritiyanunt S. 2009. Hypoglycemic effect of

Tinospora crispa dry powder in out patients with metabolic syndrome. J Healt Resc 23:125-133.

Strobel GA, Daisy B. 2003. Bioprospecting for microbial endophytes and their

natural products. Microbiol Molec Biol Rev 67:491-502.

Strobel GA. 2001. Microbial gifts from rain forests. Can J Plant Pathol 24:14-20.

Subramanian RM, Asmawi Z, Sadikun A. 2008. Effect of ethanolic extract of

Andrographis paniculata nees on a combination of fat-fed diet and low dose streptozotocin induced chronic insulin resistance in rats. Diabet Croatica 37:13-22.

Subroto A. 2006. Ramuan Herbal untuk Diabetes Mellitus. Jakarta: Penebar

Swadaya. Sugiwati S, Kardono LBS, Bintang M. 2006. Alpha glucosidase inhibitory activity

and hipoglycemic effect of Phalleria macrocarpa fruit pericarp extracts by oral administration to rats. J Appl Sci 6:2312-2316.

Sun OL, Choi GJ, Choi YH, Kim CJ, Kim JC. 2008. Isolation and characterization of endophytic actinomycetes from Chinese cabbage roots and antagonists to Plasmodiophora brassicae. J Microbiol Biotechnol 18:1741-1746.

77

Sunil C, Latha G, Mohanraj P, Kalichevan K, Agastian P. 2009. Alpha glucosidase inhibitor and antidiabetic activities of ethanolic extract of Pisonia alba leaves. Int J Integrat Biol 6:41-45.

Susheela T, Balaravi P, Theophilus J, Reddy JN, Redd PUM. 2008. Evaluation of

hypoglycaemic an antidiabetic effect of Melia dubia CAV fruits in mice. Curr Sci 94:1191-1195.

Sutini B, Tatik W, Wahyu W,Sumitro SB. 2008. Meningkatkan produksi flavan-3-

ol melalui kalus Camellia sinensis L. dengan elisator CU2+. Berk. Penel. Hayati: 14:39-44.

Suthindhiran K, Jayasri MA, Kannabiran K. 2009. Alpha glucosidase inhibitor and

α-amylase inhibitor of Micromonospora sp. VITSDK3. Int J Integrat Biol 6:115-120.

Tadera K, Minami Y, Takamatsu K, Matsuoka T. 2006. Inhibition of α-glucosidase

and α-amylase by flavonoid. J Nutr Sci Vitaminol 52:149-153.

Taechowisan T, Lu C, Shen Y, Lumyong S. 2007. Antitumor activity of 4-

arylcoumarins from endophytic Streptomyces aureofaciens CMU Ac130. J Cancer Resc Ther 3:86-91.

Taechowisan T, Lumyong S. 2003. Activity of endophytic actinomycetes from

roots of Zingiber officinale and Alpinia galanga against phytopathogenic fungi. Ann Microbiol 53:291-298.

Tajana E, Fiechter A, Zimmermann W. 1992. Purification and characterization of

two alpha-L-arabinofuranosidases from Streptomyces diastaticus. Appl Environ Microbiol 58:1447-1450.

Takahashi Y. 2004. Exploitation of new microbial resources for bioactive

compounds and discovery of new actinomycetes. Actinomycetologica

18:54-61. Tan RX, Zou WX. 2001. Endophytes: a rich source of functional metabolites. Nat

Prod Rep 18:448-459. Topliss JG, Clark AM, Ernst E, Hufford CD, Johnston GAR, Rimoldi JM,

Weimann BJ. 2002. Natural and synthetic substances related to human health. Pure Appl Chem 74:1957-1985.

[WHO] World Health Organization.1999. Definition, diagnosis and classification of

diabetes mellitus and its complification. Dept. of noncomunicable and disease surveillance. Geneva.

Wu C, Shen J, He P,Chen Y, Li L, Zhang L, Li Y, Fu, Y, Dai R, Meng W, Deng Y.

2012. The α-glucosidase inhibiting isoflavones isolated from Belamcanda chinensis leaf extract. Rec Nat Prod 6:110-120.

Wu Q, Yang X, Zou L, Fu D. 2009. Bioactivity guided isolation of alpha-

glucosidase inhibitor from whole herbs of Crossostephium chinense. Chin J Chin Mat Med. 34:2206-2211.

78

Xiancui L, Rongli N, Xiao F, Lijun H, Lixin Z. 2005. Macroalgae as a source of

alpha-glucosidase inhibitors. Chin J Oceanol Limnol 23:354-356. Xu Y, Ni J, Meng Q, Gao Y, Fan B. 2005. Preliminary study on the alpha-

glucosidase inhibitor from Glycyrrhiza uralensis. J Chin Med Mat 28:890-

891. Yosuke SU, Tokomazu, Takashi T, Toshikazu O. 1992. Novel α-glucosidase

inhibitor, pradimicin Q. US Patent 5091418. Yulinah E, Sukrasno, Fitri MA. 2001. Aktivitas antidiabetika ekstrak etanol herba

sambiloto (Andrographis paniculata Nees, Acanthaceae). J Mat Sains

6:13-20. Zhang CS, Stratmann S, Block O, Bruckner R, Podeschwa M, Altenbach HJ,

Wehmeier, UF, Piepersberg W. 2002. Biosynthesis of the C7-cyclitol moiety of acarbose in Actinoplanes Species SE50/110. J Biol Chem

277:22853-22862. Zhu YP, Yin LJ, Cheng YQ, Yamaki K, Mori Y, Su YC, Li LT. 2008. Efffect of

source of carbon and nitrogen on production of α-glucosidase inhibitor by newly isolated strain of Bacillus subtilis B2. Food Chem 109:737-742.

79

Lampiran 1 Uji aktivitas inhibitor dan penentuan nilai IC50 ekstrak

Ekstrak Kadar Absorbansi S1 S0 S1-S0 Pengham-

batan

μg/ml 1 2

(%)

Etil asetat 1000 0.389 0.361 0.375 0.040 0.335 77.77

500 0.446 0.448 0.447 0.022 0.425 71.80

250 0.528 0.533 0.531 0.012 0.519 65.59

125 0.567 0.596 0.582 0.005 0.577 61.75

62.5 0.664 0.664 0.664 0.004 0.660 56.20

Kloroform 1000 0.484 0.499 0.492 0.032 0.460 69.51

500 0.554 0.553 0.554 0.023 0.531 64.80

250 0.618 0.652 0.635 0.011 0.624 58.59

125 0.685 0.710 0.698 0.008 0.690 54.25

62.5 0.724 0.717 0.721 0.004 0.717 52.46

Butanol 1000 0.420 0.432 0.426 0.064 0.362 75.98

500 0.528 0.541 0.535 0.037 0.498 66.99

250 0.618 0.629 0.624 0.023 0.601 60.15

125 0.641 0.651 0.646 0.016 0.630 58.20

62.5 0.664 0.692 0.678 0.011 0.667 55.74

Metanol 1000 0.494 0.520 0.507 0.054 0.453 69.94

500 0.532 0.558 0.545 0.033 0.512 66.03

250 0.539 0.563 0.551 0.012 0.539 64.23

125 0.626 0.628 0.627 0.010 0.617 59.06

62.5 0.853 0.924 0.889 0.004 0.885 41.31

Etanol 1000 0.538 0.513 0.526 0.044 0.482 68.05

500 0.639 0.631 0.635 0.031 0.604 59.92

250 0.622 0.634 0.628 0.024 0.604 59.92

125 0.725 0.745 0.735 0.015 0.720 52.22

62.5 0.817 0.849 0.833 0.003 0.830 44.92

80

Contoh penentuan nilai IC50

Nilai IC50 ekstrak etil asetat:

Dari data konsentrasi ekstrak dan aktivitas inhibitor diperoleh persamaan garis

yang menunjukkan hubungan antara konsentrasi inhibitor (x) dengan aktivitas

inhibitor (y) sebagai berikut:

Y = 7.673 ln(x) + 24.25

50 = 7.673 ln(x) + 24.25

ln(x) = (50-24.25):7.673

ln(x) = 3.356

x = 28.6

y = 7,673ln(x) + 24,25R² = 0,994

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

80,00

90,00

0 200 400 600 800 1000 1200

Inh

ibis

i (%

)

Konsentrasi (μg/ml)

Etil asetat

81

Lampiran 2 Hasil uji aktivitas hasil kromatografi kolom dan penentuan nilai IC50

Fraksi Kadar Absorbansi S1 S0 S1-S0 Pengham-

batan

μg/ml 1 2 3 (%)

F1 200 0.541 0.581 0.578 0.567 0.028 0.539 59.80

100 0.603 0.616 0.608 0.609 0.025 0.584 56.42

50 0.649 0.647 0.644 0.647 0.018 0.629 53.08

25 0.712 0.764 0.755 0.744 0.015 0.729 45.62

12.5 0.776 0.748 0.74 0.755 0.005 0.750 44.05

F2 200 0.551 0.436 0.422 0.470 0.104 0.366 72.71

100 0.547 0.568 0.571 0.562 0.068 0.494 63.13

50 0.668 0.627 0.618 0.638 0.048 0.590 56.00

25 0.792 0.739 0.744 0.758 0.045 0.713 46.77

12.5 0.843 0.841 0.84 0.841 0.026 0.815 39.15

F3 200 0.325 0.194 0.203 0.241 0.026 0.215 83.98

100 0.31 0.372 0.364 0.349 0.018 0.331 75.32

50 0.521 0.547 0.475 0.514 0.016 0.498 62.81

25 0.61 0.605 0.621 0.612 0.015 0.597 55.45

12.5 0.705 0.751 0.739 0.732 0.003 0.729 45.62

F4 200 0.41 0.519 0.503 0.477 0.026 0.451 66.32

100 0.511 0.53 0.527 0.523 0.02 0.503 62.49

50 0.54 0.636 0.545 0.574 0.018 0.556 58.53

25 0.638 0.691 0.676 0.668 0.015 0.653 51.24

12.5 0.747 0.713 0.747 0.736 0.009 0.727 45.77

F5 200 0.914 1.125 0.96 1.000 0.066 0.934 30.32

100 0.925 1.16 0.983 1.023 0.021 1.002 25.25

50 0.941 1.168 0.989 1.033 0.02 1.013 24.43

25 0.945 1.171 1.033 1.050 0.018 1.032 23.01

12.5 0.997 1.208 1.128 1.111 0.011 1.100 17.91

F6 200 0.286 0.278 0.279 0.281 0.025 0.256 80.90

100 0.367 0.41 0.411 0.396 0.022 0.374 72.09

50 0.5 0.435 0.433 0.456 0.017 0.439 67.24

25 0.56 0.508 0.502 0.523 0.017 0.506 62.21

12.5 0.785 0.655 0.634 0.691 0.008 0.683 49.00

82

F7 200 0.602 0.602 0.602 0.602 0.026 0.576 57.01

100 0.756 0.716 0.734 0.735 0.021 0.714 46.69

50 0.837 0.817 0.833 0.829 0.019 0.810 39.55

25 0.802 0.85 0.85 0.834 0.017 0.817 39.03

12.5 0.805 0.845 0.852 0.834 0.007 0.827 38.28

Acb 200 0.230 0.228 0.223 0.227 0.014 0.213 84.10

100 0.321 0.328 0.326 0.325 0.011 0.314 76.57

50 0.690 0.760 0.800 0.750 0.008 0.742 44.63

25 0.795 0.800 0.799 0.798 0.005 0.793 40.82

12.5 0.889 0.884 0.882 0.885 0.004 0.881 34.25

Contoh penentuan nilai IC50 Fraksi

Nilai IC50 Fraksi F1:

Dari data konsentrasi Fraksi F1 dan aktivitas inhibitor diperoleh persamaan garis

yang menunjukkan hubungan antara konsentrasi (x) dengan aktivitas inhibitor (y)

sebagai berikut:

Y = 6.100 ln(x) + 27.92

50 = 6.100 ln(x) + 27.92

ln(x) = (50-27.92):6.100

ln(x) = 3.619

x = 43.25

y = 6,100ln(x) + 27,92R² = 0,965

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

0 50 100 150 200 250

Inh

ibis

i (%

)

konsentrasi (ppm)

Fraksi 1

83

Lampiran 3 Hasil sekuensing gen 16S rRNA isolat BWA65

84

85

Lampiran 4 Hasil analisis BLAST sekuen gen 16S rRNA isolat BWA65

86

87

Lampiran 5. Tanaman brotowali

Gambar 21 Tanaman brotowali (Koleksi Kebun Tanaman Obat ,PS Biofarmaka

IPB, Cikabayan, Bogor).

akar

daun

batang