Jurnal Kompleks Inklusi

11
Pembentukan Kompleks Inklusi Famotidin dan β-siklodekstrin dengan metode kneading Auzal Halim 1) , Winda Rizal 2) ,dan Erizal 3) Universitas Andalas Padang Abstrak Telah dilakukan penelitian tentang pembentukan kompleks inklusi famotidin dan β-siklodekstrin dengan metode kneading dengan variasi mol 1:1, 1:2 dan 2:1. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kelarutan dan laju disolusi famotidin. Berdasarkan hasil karakterisasi pembentukan kompleks inklusi yang dilakukan dengan menggunakan Scanning Microscopy electron (SEM) dan Differential Thermal Analyzer (DTA) memperlihatkan adanya interaksi antara famotidin dan β-siklodekstrin sedangkan hasil difraksi sinar-x menunjukkan adanya penurunan intensitas puncak difraktogram yang sangat tajam dibandingkan dengan famotidin murni. Hasil disolusi pembentukan kompleks inklusi famotidin dan β-siklodekstrin menunjukkan terjadinya peningkatan laju disolusi terhadap famotidin tunggal Kata kunci: Kompleks Inklusi, famotidin, β-siklodekstrin, dan metode Kneading PENDAHULUAN Bioavaibilitas suatu sediaan oral dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya laju disolusi, kelarutan, dan laju absorpsi dalam saluran cerna. Bioavaibilitas obat yang sukar larut dapat ditingkatkan dengan memperbaiki kelarutan dan kecepatan disolusi (Loftsson T & Brewster ME, 1996). Kelarutan dan kecepatan disolusi dapat ditingkatkan melalui pengembangan kompleks inklusi padat. Proses pembentukan kompleks inklusi terutama dipengaruhi oleh sifat hidrofob senyawa obat yang berinteraksi dengan bagian dalam rongga siklodekstrin. Selain itu, interaksi juga dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran senyawa obat. Sifat fisiko kimia senyawa obat dapat berubah karena terbentuk kompleks inklusi. Kompleks yang terbentuk dapat meningkatkan kelarutan, laju disolusi, bioavabilitas, dan stabilitas obat (Bekers et al., 1991). Beberapa metode digunakan untuk membuat kompleks inklusi, seperti pengeringan beku, kopresipitasi, co- grinding, dan kneading. Metode kneading merupakan teknik pembentukan kompleks inklusi yang didasarkan pada pencampuran lebih dari satu substansi melalui pengadukan sehingga didapatkan serbuk halus (Chowdary KPR & Srinivas SV, 2006). Efektivitas metoda yang digunakan sangat

description

Auzal Halim1), Winda Rizal2),dan Erizal3)Universitas Andalas Padang

Transcript of Jurnal Kompleks Inklusi

Page 1: Jurnal Kompleks Inklusi

Pembentukan Kompleks Inklusi Famotidin dan β-siklodekstrin dengan metode kneading

Auzal Halim1), Winda Rizal2),dan Erizal3)

Universitas Andalas Padang

Abstrak

Telah dilakukan penelitian tentang pembentukan kompleks inklusi famotidin dan β-siklodekstrin dengan metode

kneading dengan variasi mol 1:1, 1:2 dan 2:1. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kelarutan dan laju

disolusi famotidin. Berdasarkan hasil karakterisasi pembentukan kompleks inklusi yang dilakukan dengan

menggunakan Scanning Microscopy electron (SEM) dan Differential Thermal Analyzer (DTA) memperlihatkan

adanya interaksi antara famotidin dan β-siklodekstrin sedangkan hasil difraksi sinar-x menunjukkan adanya

penurunan intensitas puncak difraktogram yang sangat tajam dibandingkan dengan famotidin murni. Hasil disolusi

pembentukan kompleks inklusi famotidin dan β-siklodekstrin menunjukkan terjadinya peningkatan laju disolusi

terhadap famotidin tunggal

Kata kunci: Kompleks Inklusi, famotidin, β-siklodekstrin, dan metode Kneading

PENDAHULUAN

Bioavaibilitas suatu sediaan oral dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor

diantaranya laju disolusi, kelarutan, dan laju

absorpsi dalam saluran cerna. Bioavaibilitas

obat yang sukar larut dapat ditingkatkan

dengan memperbaiki kelarutan dan

kecepatan disolusi (Loftsson T & Brewster

ME, 1996). Kelarutan dan kecepatan

disolusi dapat ditingkatkan melalui

pengembangan kompleks inklusi padat.

Proses pembentukan kompleks inklusi

terutama dipengaruhi oleh sifat hidrofob

senyawa obat yang berinteraksi dengan

bagian dalam rongga siklodekstrin. Selain

itu, interaksi juga dipengaruhi oleh bentuk

dan ukuran senyawa obat. Sifat fisiko kimia

senyawa obat dapat berubah karena

terbentuk kompleks inklusi. Kompleks yang

terbentuk dapat meningkatkan kelarutan,

laju disolusi, bioavabilitas, dan stabilitas

obat (Bekers et al., 1991).

Beberapa metode digunakan untuk

membuat kompleks inklusi, seperti

pengeringan beku, kopresipitasi, co-

grinding, dan kneading. Metode kneading

merupakan teknik pembentukan kompleks

inklusi yang didasarkan pada pencampuran

lebih dari satu substansi melalui pengadukan

sehingga didapatkan serbuk halus

(Chowdary KPR & Srinivas SV, 2006).

Efektivitas metoda yang digunakan sangat

Page 2: Jurnal Kompleks Inklusi

dipengaruhi oleh karakteristik obat dan

siklodekstrin.

Famotidin adalah antagonis reseptor-H2.

Famotidin banyak diresepkan untuk

pengobatan gastric ulcers, duodenal ulcers,

Zollinger-Ellison syndrome, dan

gastroesofageal reflux. Untuk penanganan

gastric ulcers dan duodenal ulcers dosisnya

40 mg/hari sebelum tidur selama 4-8

minggu. Famotidin tidak diabsorpsi

sempurna di seluruh saluran pencernaan.

Bioavaibilitas rendah (40-45%), waktu

paruh biologis yang singkat (2,5-4 jam) dan

juga memiliki efek samping seperti diare,

pusing, sakit kepala, mual muntah, dan juga

efek toksik lainnya jika digunakan dalam

jangka waktu panjang (Kumar et al., 2009).

Siklodekstrin (CD), dengan kemampuan

mereka untuk membentuk molekul

kompleks inklusi dengan zat obat

mempengaruhi banyak sifat kimia fisik dari

obat tanpa mempengaruhi sifat

farmakologis. Sebagai konsekuensi dari

proses inklusi, banyak sifat fisikokimia

seperti kelarutan, laju disolusi, stabilitas, dan

bioavailabilitas siklodekstrin dapat

dipengaruhi. Dengan demikian, hal ini dapat

menawarkan harapan baru bagi para

ilmuwan formulasi dalam upaya mereka

untuk mengembangkan sistem pengiriman

obat yang efektif (Liu, 2000).

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk

meneliti mengenai pembentukan kompleks

inklusi famotidin dan β-siklodekstrin dengan

metode kneading untuk mendapatkan laju

disolusi famotidin dan dapat meningkatkan

kelarutan dan ketersediaan hayati obat

famotidin sebagai senyawa model obat dan

pengembangan sifat fisiko kimia famotidin.

Metode Penelitian

Alat dan Bahan

Peralatan gelas standar laboratorium,

timbangan digital (Shimadzu-Aux 220),

spektrofotometer UV (Shimadzu UV-1700),

XRD (PAN Analythical, Netherland), SEM

(Jeol, Japan), DTA ( Analyzer Mettler

Toledo FP 80) dan alat uji disolusi (Hansen

Research).

Famotidin (Kimia Farma), β-

siklodekstrin (Signa Husada), kalium

dihidrogen fosfat (Bratachem), natrium

hidroksida (Bratachem), dan aquadest.

Pembuatan Kompleks Inklusi

Famotidin dan β-siklodekstrin

dicampur dalam mortir atau lumpang

dengan air sama banyak, kemudian

dilakukan penekanan setempat atau

kneading selama 1 jam kemudian hasil

Page 3: Jurnal Kompleks Inklusi

penggerusan di keringkan di dalam oven

dengan suhu 45˚ - 50˚ C selanjutnya

divakumkan dan diayak dengan ayakan 100

dan ditempatkan dalam desikator.

Analisis Difraksi Sinar-X

Penetapan pola difraksi sinar-X serbuk

kompleks inklusi dilakukan dengan

menggunakan difraktometer. Analisis

difraksi sinar-X serbuk sampel dilakukan

pada suhu ruang dengan kondisi pengukuran

sebagai berikut : target logam Cu, filter Kα,

voltase 40 kV, arus 40 mA, analisis

dilakukan pada rentang 2 theta 50 – 350 .

Sampel diletakkan pada sampel holder

(kaca) dan diratakan untuk mencegah

orientasi partikel selama penyiapan sampel.

Scanning Electron Miscroscopy

Sampel serbuk diletakkan pada sampel

holder aluminium dan dilapisi dengan emas

dengan ketebalan 10 nm. Sampel kemudian

diamati berbagai perbesaran alat SEM.

Voltase diatur pada 20 kV dan arus 12 mA.

Analisis Differential Thermal Gravimetric

Analysis

Analisis dilakukan menggunakan alat

DTA-TG terhadap sampel famotidin murni

F1, F2 dan F3. Suhu pemanasan dimulai dari

30 - 350 0C, dengan kecepatan pemanasan

50C per menit. Analisis ini akan

memperlihatkan pola titik lebur dari

senyawa tunggal famotidin dan kompleks

inklusi yang terbentuk.

Uji disolusi

Penentuan disolusi famotidin dan

kompleks inklusi famotidin dilakukan

dengan metode dayung dengan kecepatan 50

rpm. Labu diisi dengan medium dapar fosfat

pH 4,5 sebanyak 900 mL dengan suhu diatur

pada 37oC ± 0,5oC, setelah suhu tersebut

tercapai, masukkan sejumlah serbuk yang

telah ditimbang setara dengan 40 mg

famotidin ke dalam labu disolusi. Setelah

itu, larutan dalam labu dipipet sebanyak 5

mL pada menit ke 5, 10, 15, 30, 45, dan 60.

Serapan larutan yang telah dipipet dari

medium disolusi diukur pada panjang

gelombang maksimum. Kadar famotidin

yang terdisolusi pada setiap waktu dapat

dihitung dengan menggunakan kurva

kalibrasi.

Hasil Dan Pembahasan

Analisis difraksi sinar-X dilakukan

pada famotidin dan β-siklodekstrin dan

kompleks inklusi famotidin – β-

siklodekstrin. Hasil difraktogram famotidin

murni menunjukkan karakteristik kristalin.

Puncak-puncak kristalin famotidin terlihat

pada sudut 2Ѳ : 10o; 12 o, 20o dan 24o

Page 4: Jurnal Kompleks Inklusi

Puncak kristalin β-siklodekstrin terlihat jelas

pada 2Ѳ : 4o; 16o; 20o; 24o; dan 35o. Pada

kompleks inklusi formula 1 dengan

perbandingan molar 1:1, puncak kristalinitas

terlihat pada sudut 2Ѳ: 10o setinggi 1036.

Pada kompleks inklusi formula 2 dengan

perbandingan molar 1:2, puncak kristalinitas

terlihat pada sudut 2Ѳ: 10o setinggi 1409 ,

sedangkan pada kompleks inklusi formula 3

dengan perbandingan molar 2:1, puncak

kristalinitas yang terlihat pada sudut 2Ѳ:

10o setinggi 936. Difraktogram hasil

kompleks inklusi famotidin dan β-

siklodekstrin menunjukkan terjadinya

penurunan intensitas yang sangat tajam dari

puncak famotidin sampai mendekati profil

difraktogram β-siklodekstrin.

Hal ini menunjukkan bahwa molekul

famotidin telah masuk ke dalam struktur

rongga dari β-siklodekstrin. Sehingga yang

terlihat hanya difraktogram β-siklodekstrin.

Penurunan intensitas puncak menunjukkan

perubahan derajat kristalinitas. Pada

kompleks inklusi formula 2 dengan

perbandingan mol 1:2 menunjukkan

penurunan intensitas puncak famotidin

kurang tajam dibanding formula dan

formula 3 dengan perbandingan mol 2 : 1

menunjukkan penurunan intensitasnya yang

paling tajam dibanding formula yang lain

.Jadi dengan dilakukannya penekanan

bersama obat dengan polimer β-

siklodekstrin akan mengakibatkan ukuran

partikel menjadi lebih kecil sehingga obat

akan lebih mudah masuk ke dalam rongga β-

siklodekstrin (Colombo, G.Grassi, M.

Grassi, 2009).

Gambar 1. Difraksi Sinar-X (A) Famotidin

murni (B) β-siklodekstrin (C) Kompleks

inklusi F1 (D) Kompleks Inklusi F2 (E)

Kompleks Inklusi F3

Pada evaluasi mikroskopis

Kompleks Inklusi dilakukan dengan foto

SEM (Scanning Electron Microscope)

Famotidin, β-siklodekstrin dan Kompleks

Inklusi. Gambar famotidin ditampilkan pada

perbesaran 200 dan 2000 kali sedangkan etil

β-siklodekstrin perbesaran 100 dan 2000

kali. Hasil SEM Kompleks Inklusi dilakukan

pada perbesaran 200 dan 2000 kali untuk

masing-masing formula.

Page 5: Jurnal Kompleks Inklusi

1

3

5

Gambar 2. Hasil SEM (1) Famotidi murni

(2) β-siklodekstrin (3) Kompleks Inklusi F1

(4) Kompleks Inklusi F2 (5)

Inklusi F3

Analisis bentuk partikel dengan

menggunakan alat Scanning Electron

Microscope (SEM) dengan berbagai

perbesaran memperlihatkan karakteristik

dari famotidin, β-siklodekstrin dan

kompleks inklusi. Pada hasil SEM

perbesaran 2000 kali, famotidin terlihat

seperti silinder dan β-siklodekstrin pada

perbesaran 100 kali terlihat seper

Pada kompleks inklusi F1 dengan

perbandingan 1:1 perbesaran 2000 kali

masih terlihat sebagian kecil morfologi

famotidin murni sedangkan morfologi β

siklodekstrin murni tidak terlihat lagi

2

4

Famotidi murni

Kompleks Inklusi F1

) Kompleks

Analisis bentuk partikel dengan

Scanning Electron

(SEM) dengan berbagai

perbesaran memperlihatkan karakteristik

siklodekstrin dan

kompleks inklusi. Pada hasil SEM

perbesaran 2000 kali, famotidin terlihat

siklodekstrin pada

perbesaran 100 kali terlihat seperti batang.

Pada kompleks inklusi F1 dengan

perbandingan 1:1 perbesaran 2000 kali

masih terlihat sebagian kecil morfologi

famotidin murni sedangkan morfologi β-

siklodekstrin murni tidak terlihat lagi

melainkan berubah menjadi bentuk yang

tidak beraturan atau amor

aglomerat. Dimana terlihat permukaan yang

tidak rata tersebut diperkirakan telah terjadi

interaksi antara zat aktif dengan β

siklodekstrin. Kompleks inklusi F2 dengan

perbandingan 1:2 perbesaran 2000 kali

terlihat adanya penggabungan famotidin

β-siklodekstrin membentuk suatu agregat

dengan permukaan yang lebih ka

formula 3 dengan perbandingan molar 2:1

dengan perbesaran 2000 kali menunjukkan

bentuk yang lebih halus dimana bentuk

famotidin dan β-siklodekstrin sulit

dibedakan walaupun

morfologi dari β-siklodekstrin.

menunjukkan bahwa serbuk hasil

pembentukan kompleks inklusi

menghasilkan senyawa yang sifatnya lebih

amorf karena sifat kristalinitasnya telah

berkurang.

Analisis termal menggunakan alat

DTA dilakukan untuk melihat titik lebur dan

mengevaluasi interaksi antara famotidin dan

β-siklodekstrin dalam beberapa

melainkan berubah menjadi bentuk yang

tidak beraturan atau amorf membentuk

aglomerat. Dimana terlihat permukaan yang

tidak rata tersebut diperkirakan telah terjadi

interaksi antara zat aktif dengan β-

. Kompleks inklusi F2 dengan

perbandingan 1:2 perbesaran 2000 kali

terlihat adanya penggabungan famotidin dan

siklodekstrin membentuk suatu agregat

dengan permukaan yang lebih kasar. Pada

formula 3 dengan perbandingan molar 2:1

dengan perbesaran 2000 kali menunjukkan

bentuk yang lebih halus dimana bentuk

siklodekstrin sulit

masih terlihat

siklodekstrin. Hal ini

menunjukkan bahwa serbuk hasil

pembentukan kompleks inklusi

menghasilkan senyawa yang sifatnya lebih

amorf karena sifat kristalinitasnya telah

Analisis termal menggunakan alat

an untuk melihat titik lebur dan

mengevaluasi interaksi antara famotidin dan

siklodekstrin dalam beberapa

Page 6: Jurnal Kompleks Inklusi

perbandingan formula. Dari hasil

karakterisasi deengan menggunakan DTA,

famotidin menunjukkan adanya puncak

endotermik yang tajam pada suhu 168,500C

yang merupakan titik lebur dari famotidin .

Sedangkan β–siklodekstrin menunjukkan

transisi gelas pada suhu 86,700C. Pada

kompleks inklusi masing-masing formula

masih terlihat puncak endotermik dari

masing-masing bahan dengan intensitas

puncak yang tidak setajam puncak

endotermik dari hasil karakterisasi masing-

masing bahan.

Termogram DTA komplek inklusi

F1 (menunjukkan adanya puncak

endotermik yang melebar pada 72,860C

yang merupakan transisi gelas yang dimiliki

oleh β–siklodekstrin, tetapi masih muncul

puncak endotermik dari famotidin dengan

bergeser ke suhu yang lebih rendah yaitu

166,190C. Pada termogram komplek inklusi

F2 menunjukkan adanya puncak endotermik

yang melebar pada 70,630C yang merupakan

transisi gelas yang dimiliki oleh β–

siklodekstrin dan puncak endotermik dari

famotidin masih terlihat dengan bergeser ke

suhu yang lebih rendah yaitu 166,550C.

Sedangkan pada termogram kompleks

inklusi F3 juga menunjukkan adanya puncak

endotermik yang melebar pada 64,520C

yang merupakan transisi gelas yang dimiliki

oleh β–siklodekstrin, namun masih tetap

muncul puncak endotermik dari famotidin

dengan bergesernya ke suhu yang lebih

rendah dibandingkan dengan termogram F1

dan F2 yaitu pada suhu 166,090C.

Dari hasil termogram DTA kompleks

inklusi masing-masing formula dapat

dikatakan bahwa dengan bertambah

banyaknya β–siklodekstrin yang digunakan

maka titik lebur dari famotidin akan terjadi

pergeseran ke suhu yang lebih tinggi. Hal ini

menunjukkan telah terjadi kompleks inklusi

antara famotidin dengan β-siklodekstrin.

Sesuai dengan literatur, berkurangnya

puncak endotermik famotidin ini dapat

disebabkan karena terbentuknya kristal

amorf, dimana famotidin masuk ke dalam

rongga β–siklodekstrin (Jug, et al, 2005).

Struktur non kristalin akan memberikan

kurva titik lebur yang tidak tajam dan tidak

defenitif (Charumanee, 2004). Jika suatu

molekul guest masuk ke dalam rongga β–

siklodekstrin, maka titik lebur molekul guest

tersebut akan menghilang atau bergeser ke

suhu yang lebih rendah (Manca, et al, 2005).

Page 7: Jurnal Kompleks Inklusi

Gambar 3. Profil Disolusi (F) famotidin

murni (f1) kompleks inklusi (1:1), (f2)

kompleks inklusi (1:2), (f3) kompleks

inklusi (2:1)

Persentase disolusi pada menit ke-5

untuk famotidin murni dan kompleks inklusi

F1, F2, F3 berturut-turut adalah 78,663%,

84,879%; 88,112% dan 83,879%. Pada

menit ke-60 adalah 89,709 % dan pada

kompleks inklusi F1 adalah 94,186%, F2

adalah 96,369% dan F3 adalah 90,994%.

Dari hasil yang diperoleh, persen terdisolusi

yang paling bagus adalah kompleks inklusi

formula 2 dengan perbandingan mol 1:2.

Literatur menyatakan bahwa semakin

banyak jumlah polimer yang digunakan,

maka persentase disolusi akan semakin

meningkat (Barzegar-Jalali, et al.,2007).

Dari hasil terlihat peningkatan persen

disolusi dibandingkan dengan famotidin

tunggal.

Penetapan model kinetika

pembentukan kompleks inklusi famotidin

dan β-siklodekstrin telah dilakukan

berdasarkan persamaan orde nol, orde satu,

persamaan Higuchi, persamaan

Langenbucher dan persamaan Korsemeyer-

peppas. Dari kelima model kinetika tersebut,

koefisien korelasi dari persamaan

Langenbucherlah yang paling mendekati

satu. Harga koefisien korelasi formula 1,

formula 2 dan formula 3 secara berturut –

turut dalam medium dapar fosfat pH 4,5

adalah 0,982; 0,964 dan 0,975 (Lampiran

10, Tabel 4.10). Berdasarkan tinjauan dari

aspek kinetika tersebut maka disolusi

pembentukan kompleks inklusi mengikuti

persamaan Langenbucher dimana nilai b > 1

sehingga kurva membentuk S atau sigmoid

dan jika nilai b < 1 maka kurva akan

berbentuk parabola dengan kemiringan

(slope) awal yang tinggi dan setelah itu

konsisten terhadap eksponensial. Nilai b ini

dapat menggambarkan proses pelepasan

obat yang terjadi (Lucida, Erizal, & Rahmi,

2006)

Analisa statistik anova satu arah

antara perbandingan formula Kompleks

inklusi dan famotidin dengan persen

efisiensi disolusi yang terlampir pada

menunjukan data bahwa F hitung lebih besar

0

25

50

75

100

0 50 100

% Z

at T

erdi

solu

si

waktu (menit)

F murni

Formula 1

Formula 2

Formula 3

Page 8: Jurnal Kompleks Inklusi

dari pada F tabel. Hal ini menunjukan

adanya pengaruh yang nyata

KESIMPULAN

Dari penelitian yang dilakukan dapat

disimpulkan bahwa telah terjadi

pembentukan kompleks inklusi dengan

metoda kneading dengan variasi mol F1

(1:1), F2 (1:2) dan F3 (2:1).

1. Pembentukan kompleks inklusi

famotidin dan β-siklodekstrin

menyebabkan masuknya molekul

famotidin ke dalam molekul β-

siklodekstrin , pembentukan

kompleks inklusi dapat dilihat

dari hasil sinar X, DTA dan

meningkatnya kelarutan

famotidin pada disolusi.

2. Hasil SEM menunjukkan

terjadinya perubahan morfologi

dari masing-masing bahan dan

juga terjadinya sebagian

rekristalisasi pada waktu proses

pembentukan kompleks inklusi.

3. Hasil difraksi sinar-X

menunjukkan terbentuknya

kompleks inklusi famotidin dan

β-siklodekstrin yaitu kompleks

inklusi menunjukkan terjadinya

penurunan intensitas puncak

difraktogram yang sangat tajam

jika dibanding dengan famotidin

murni.

4. Hasil DTA menunjukkan

terbentuknya kompleks inklusi,

hal ini dapat dilihat karena

adanya interaksi antara molekul

famotidin dengan molekul β-

siklodekstrin dengan

bergesernya titik lebur famotidin

ke suhu yang lebih rendah.

5. Hasil disolusi juga menunjukkan

terjadinya peningkatan kelarutan

dan persentase terdisolusi

kompleks inklusi dibanding

dengan famotidin tunggal.

Berdasarkan hasil karakterisasi

dan uji disolusi pembentukan

kompleks inklusi yang paling

baik secara berurutan adalah

dengan F2 (1:2), F1 (1:1) dan F3

(2:1).

6. Dari hasil uji Anova satu arah

untuk persen zat terdisolusi pada

menit ke-60 memperlihatkan

hasil yang bermakna atau

berbeda nyata antara famotidin

murni dan semua formula

kompleks inklusi, dimana

signifikansi dari uji anova kecil

dari 0,05.

Page 9: Jurnal Kompleks Inklusi

DAFTAR PUSTAKA

Abdou, H. M. 1989. Dissolution, bioavaibility and bioequivalence.Pennsylvania: Mack Publishing Company.

Anonim. 2001. Introduction to fourier transform infrared spectrometry. United States of America : Thermo Nicolet Corporation.

Anonim. 2003. United states pharmacopoeia XXVI (revision).Rockville : United State Pharmacopoeia Conventing Inc.

Anonim, 2008. Cavamax Cyclodexstrin Forming ang Analyzing Drug Inclusion Complexes. International Specialty Products: USA

Anonim. 2010. Scanning electron microscopy. West Lafayette: Radiological & Environmental Management, Purdue University.

Arya, Rajeshwar Kamal Kant., Ripudam Singh., Vijay Juyal. 2010. Mucoadhesive Microspheres of Famotidine : Preparation Characterization and In Vitro Evaluation. Int. J Eng Scie and Tech Vol. 2(6), 1575-1580.

Asyarie,S., Noerono,S., Yenti, R. 2007. Pengaruh Pembentukan Kompleks Inklusi Ketoprofen dalam β-siklodekstrin terhadap Laju Disolusi Ketoprofen. (Majalah Kedokteran Indonesia,vol 57, no : 1). Bandung : Institut Teknologi Bandung.

Bhagyashree A. Chavan., Kailas K. Mali., Remeth J. Dias., Laxman D. Kate., 2011 Solid state characterization of multicomponent inclusion complex domperidone with β-cyclodextrin,

polyvinyl pyrrolidone and citric acid. Der Pharmacia Lettre, 2011: 3 (5) 281-290.

Bazegar-Jalali, M., Valizadeh, H., Adibkia, K., 2007, Enhancing Dissolution Rate of Carbamazepine via Cogrinding with crosspovidone and Hydroxypropylmethylcellulose, Iranian Journal of Pharmaceutical Research, 6(3), 159-165.

Bekers, O., Uijtendaal, E.V., Beijnen, J.H., Bult, A., and Undenberg, W.J.M.,1991, Cyclodextrin in Pharmaceutical Field, Drug Dev. Ind. Pharm, 17 (11), 1503 –1549.

Ben, E. S.. 2008. Teknologi Tablet. Padang: Universitas Andalas.

Brittain, H. G. 1999. Analytical profiles of drugs substances and excipients (Volume 26). California : Academic Press.

British Pharmacopoeia Commission. 2009. British pharmacopoeia 2009. London: The Pharmaceutical Press.

Challa, C., Ahuja, A., Ali, J., Khar, R.K., 2005, Cyclodextrins In Drug Delivery An Updated Review, AAPS Pharm. Sci. Tech., 26 January 2005, hal. 13

Charumanee, S 2004, ‘Amorphization and Dissolution Studies of Acetaminophen – β siklodekstrin Inclusion Complexes, vol. 3, no. 1, pp. 13-2.

Chowdary KPR, Buchi NN. Nimesulide and β- cyclodextrin inclusion complexes: physicochemical characterization and dissolution rate studies. Drug

Page 10: Jurnal Kompleks Inklusi

Dev Ind Pharm 2000; 26 (11): 1217-1220

Colombo, Grassi, G., Grassi, M. 2009. Drug Mechanochemical Activation, Journal of Pharmaceutical sciences, 98, 11.

Dachriyanus 2004, Analisis struktur senyawa organic secara spektroskopi, Padang, Universitas Andalas Press.

Dalimunthe, GI 2011, ‘Penetapan kadar famotidine dalam sediaan tablet secara spektrofotometer ultraviolet’, Kultura, vol.12, no.1.

Dokoumetzidis, A. & Macheras, P. 2006. A century of dissolution research : from noyes and whitney to the biopharmaceutics classification system, Int J. Pharms, 321, 1–11.

Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta : 665-666.

Frank SG., 1975, Inclusion compound, J

Pharm Sci, 64(10), 1585- 1601.

Geneidi, AS., Elshamy, AH & Awad, GAS 2004, ‘Solid dispersion of famotidine: factorially designed capsule formulation and in vivo evaluation of antiulcer activity’,J Saudi Pharm, vol. 12, no. 4, pp. 119-129.

Katzung, B.G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. (Edisi VI). Penerjemah : A. Agoes. Jakarta : EGC.

Kumar, Ravi., M.B Patil, et al. 2009. Formulation and Evaluation of Effervescent Floating Tablet of Famotidine.

Liu, Rong. 2000. Water Insoluble Drug Formulation. United States of America : CRC Press LLC.

Loftsson T, Brewster ME. 1996. Pharmaceutical applications of b-siklodekstrin I, drug solubilization and stabilization. J Pharm Sci, 85(10), 1017- 1024.

Lucida, H., Erizal, Rahmi, S. 2006. A comparative dissolution test between generic and branded name of furosemide tablets. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, 11 (2), 58-62.

Manca, A., Rice,N., Sculpher, M. J., and Briggs, A. 2005. Assessing generalisability by location in trial-based cost-effectiveness analysis: the use of multilevel models. Health Economics 14(5), 471–485.

Martin, A., Swarbrick, J., & Cammarata, A. 1990. Farmasi Fisika, Dasar- dasar Kimia Fisik dalam Ilmu Farmasetik. Jilid 1. Edisi II. Diterjemahkan oleh Yoshita. Universitas Indonesia Jakarta.

Martindale, 1982, The Extra Pharmacopeia 28th ed, London : The Pharmaceutical Press.

Neha, Preeti, C., Atin, K., Rajan, P., Kumar, M. R., Santanu, M., Pardeep, K., Munsab, A., & Shamim, A. 2012. Approaches to improve the solubility and bioavailability of poorly soluble drugs and different parameter to screen them, Int. J Pharm Scie, 1(4), 171-182.

Reimer, L. 1998. Scanning electron microscopy : physics of image

Page 11: Jurnal Kompleks Inklusi

formation and microanalysis (Edisi 2). London : Springer.

Rowe, R. C., Sheskey, P. J., and Weller, P. J., 2009, Handbook of Pharmaceutical Excipients Sixth Edition, London : Pharmaceutical Press.

Shargel, L. & Yu, A. B. C. 1988. Biofarmasetika dan farmakokinetika terapan (Edisi 2), diterjemahkan oleh Fasich dan Siti Sjamsiah. Surabaya: Airlangga University Press.

Shavi, GV., Kumar, AR., Usha YN., Armugam, K., Ranjan, OP., Ginjupally, K & Udupa, N 2010, Enhanced dissolution and biovaibility of gliclazide using solid dispersion techniques, Int. J. Drug Deliv, vol 2, pp 49-57.

Silverstein, R.M., Bassler, G.C., Morrill, T.C., (1981). Spectrometric Identification of Organic Compounds, 4th ed., New York: John Wiley & Sons, hal. 108-120, 166-170.

Sweetman, S.C. (Ed). 2009. Martindale, The Complete Drug Reference (36th Ed). London: The Pharmaceutical Press.

Szetjli, J.: Cyclodextrins ang their Inclusion Complexes, Akademiai Kiado, Budapest, 1982,24.

Wade, A. and Paul J,W. 1994. Handbook of Pharmaceutical Excipient, (2nd Ed).London: The Pharmaceutical Press.

West, A. R. 2001. Basic solid state chemistry (Edisi 2). Toronto : John Wiley & Sons.`