Isolasi, Identifikasi, dan Karakterisasi Protein Inhibin b ... · PDF fileprogram Keluarga...

6
Vol. 3, No. 1, Pebruari 2010 Isolasi, Identifikasi, dan Karakterisasi Protein Inhibin β dari Hasil Kultur Sel Sertoli Rattus norvegicus Sebagai Kandidat Kontrasepsi Hormonal Berbasis Peptida Pria Isolation, Identification and Characterization of Inhibin β Protein of Rattus norvegicus Sertoli Cell Culture as Male Hormonal Contraception Candidate 1 2 1 3 Aulanni'am, Gatot Ciptadi, Chanif Mahdi dan Muslim Akmal 1 Fakultas MIPA Unibraw, Malang 2 Fakultas Peternakan Unibraw, Malang 3 Mahasiswa Program Doktor Ilmu Kedokteran Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran Unibraw, Malang Jalan M.T. Haryono, Malang Tlp. Telp. 0341 575838 Email: [email protected] Abstract The purpose of this study is to isolate, identify, and characterize the inhibin β protein of Rattus norvegicus Sertoli cell culture. In this research, culture of Sertoli cell using by DMEM medium + FCS 15%. Confirmation of inhibin β protein from Sertoli cell culture by dot blot technique used inhibin β polyclonal antibody. Identification and characterization of inhibin β protein from Sertoli cell culture by SDS PAGE. The result of this studies showed that Sertoli cell culture is the source of inhibin β protein with molecular weight of 175, 163, 153, 81, 78, 66, dan 29 kDa. Keywords : Inhibin β , male hormonal contraception Pendahuluan Sejumlah besar kasus kehamilan di dunia merupakan kehamilan yang tidak terencana (Sipilä et al., 2009) dan menyebabkan terjadinya pertumbuhan penduduk dunia secara pesat dari tahun ke tahun. Di Amerika serikat, 50% kasus kehamilan merupakan kehamilan yang tidak terencana, sedangkan 22% dari kasus tersebut berakhir dengan aborsi (Sipilä et al., 2009). Pada tahun 1960, penduduk dunia berjumlah 3 milyar dan pada tahun 2000 meningkat dengan drastis menjadi 6 milyar jiwa (Crosignani, 2002). Pada tanggal 26 Pebruari 2006 jumlah penduduk dunia telah mencapai 6,5 milyar jiwa. Diperkirakan pada akhir tahun 2050, jumlah penduduk dunia mencapai 9,5 miliar jiwa (United Nations Populaton Divisions, 2000). Pada tahun 2000, jumlah penduduk Indonesia mencapai jumlah 210.241.199 jiwa dengan peningkatan sekitar 1,9%, sedangkan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 273,65 juta (Fauzi et al., 2005). Ledakan jumlah penduduk menyebabkan terjadinya sejumlah dampak yang kurang menguntungkan, seperti kerusakan lingkungan, pemanasan global ( global warming ), wabah kelaparan, dan perkembangan penyakit (Page et al., 2008). Untuk mencegah terjadinya ”baby booming” di dunia maupun di Indonesia diperlukan upaya yang sistematis, terarah, dan terukur, yaitu dengan menggalakkan penggunaan kontrasepsi melalui program Keluarga Berencana (KB). Akan tetapi, program KB yang telah berlangsung dewasa ini ternyata belum berjalan secara optimal. Salah satu faktor penyebab kurang berhasilnya program KB adalah masih kurangnya partisipasi kaum pria dalam program tersebut. Hal ini disebabkan karena masih terbatasnya alat kontrasepsi yang tersedia pada pria dewasa ini. Untuk merangsang peran aktif pria tersebut harus dibarengi dengan tersedianya alat kontrasepsi bagi pria yang aman, efektif, praktis, reversible, dan akseptabel. Salah satu metode kontrasepsi pada pria yang sedang dikembangkan oleh World Health Organization (WHO) dewasa ini adalah metode kontrasepsi hormonal pria ( Male Hormonal Contraception = MHC). Male hormonal contraception merupakan kontrasepsi yang aman, mudah digunakan, dipercaya, dan bersifat reversible (Amory & Bremner, 2005) dan sangat efektif menekan produksi sperma (Liu et al., 2008). Selain itu, MHC dewasa ini telah menjadi suatu exclusive goal (Grimes et al., 2006). Menurut WHO (1998) pengembangan metode baru kontrasepsi yang efektif bagi pria menjadi prioritas utama organisasi kesehatan dunia tersebut. Hal ini cukup beralasan karena metode kontrasepsi seperti kondom, senggama terputus, dan vasektomi belum sepenuhnya akseptabel oleh banyak pasangan di dunia karena metodenya yang masih VETERINARIA Medika 5

Transcript of Isolasi, Identifikasi, dan Karakterisasi Protein Inhibin b ... · PDF fileprogram Keluarga...

Vol. 3, No. 1, Pebruari 2010

Isolasi, Identifikasi, dan Karakterisasi Protein Inhibin β dari Hasil Kultur Sel Sertoli Rattus norvegicus Sebagai Kandidat Kontrasepsi

Hormonal Berbasis Peptida Pria

Isolation, Identification and Characterization of Inhibin β Protein of Rattus norvegicus Sertoli Cell Culture as Male Hormonal Contraception Candidate

1 2 1 3Aulanni'am, Gatot Ciptadi, Chanif Mahdi dan Muslim Akmal

1Fakultas MIPA Unibraw, Malang2Fakultas Peternakan Unibraw, Malang

3Mahasiswa Program Doktor Ilmu Kedokteran Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran Unibraw, Malang

Jalan M.T. Haryono, MalangTlp. Telp. 0341 575838

Email: [email protected]

Abstract

The purpose of this study is to isolate, identify, and characterize the inhibin β protein of Rattus norvegicus Sertoli cell culture. In this research, culture of Sertoli cell using by DMEM medium + FCS 15%. Confirmation of inhibin β protein from Sertoli cell culture by dot blot technique used inhibin β polyclonal antibody. Identification and

characterization of inhibin β protein from Sertoli cell culture by SDS PAGE. The result of this studies showed that

Sertoli cell culture is the source of inhibin β protein with molecular weight of 175, 163, 153, 81, 78, 66, dan 29 kDa.

Keywords : Inhibin β, male hormonal contraception

Pendahuluan

Sejumlah besar kasus kehamilan di dunia merupakan kehamilan yang tidak terencana (Sipilä et al., 2009) dan menyebabkan terjadinya pertumbuhan penduduk dunia secara pesat dari tahun ke tahun. Di Amerika serikat, 50% kasus kehamilan merupakan kehamilan yang tidak terencana, sedangkan 22% dari kasus tersebut berakhir dengan aborsi (Sipilä et al., 2009).

Pada tahun 1960, penduduk dunia berjumlah 3 milyar dan pada tahun 2000 meningkat dengan drastis menjadi 6 milyar jiwa (Crosignani, 2002). Pada tanggal 26 Pebruari 2006 jumlah penduduk dunia telah mencapai 6,5 milyar jiwa. Diperkirakan pada akhir tahun 2050, jumlah penduduk dunia mencapai 9,5 miliar jiwa (United Nations Populaton Divisions, 2000). Pada tahun 2000, jumlah penduduk Indonesia mencapai jumlah 210.241.199 j iwa dengan peningkatan sekitar 1,9%, sedangkan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 273,65 juta (Fauzi et al., 2005).

Ledakan jumlah penduduk menyebabkan t e r j a d i n y a s e j u m l a h d a m p a k y a n g k u r a n g menguntungkan, seperti kerusakan lingkungan, pemanasan global (global warming), wabah kelaparan, dan perkembangan penyakit (Page et al., 2008). Untuk mencegah terjadinya ”baby booming” di dunia maupun di Indonesia diperlukan upaya yang sistematis, terarah, dan terukur, yaitu dengan

menggalakkan penggunaan kontrasepsi melalui program Keluarga Berencana (KB). Akan tetapi, program KB yang telah berlangsung dewasa ini ternyata belum berjalan secara optimal. Salah satu faktor penyebab kurang berhasilnya program KB adalah masih kurangnya partisipasi kaum pria dalam program tersebut. Hal ini disebabkan karena masih terbatasnya alat kontrasepsi yang tersedia pada pria dewasa ini. Untuk merangsang peran aktif pria tersebut harus dibarengi dengan tersedianya alat kontrasepsi bagi pria yang aman, efektif, praktis, reversible, dan akseptabel.

Salah satu metode kontrasepsi pada pria yang sedang dikembangkan oleh World Health Organization (WHO) dewasa ini adalah metode kontrasepsi hormonal pria (Male Hormonal C o n t r a c e p t i o n = M H C ) . M a l e h o r m o n a l contraception merupakan kontrasepsi yang aman, mudah digunakan, dipercaya, dan bersifat reversible (Amory & Bremner, 2005) dan sangat efektif menekan produksi sperma (Liu et al., 2008). Selain itu, MHC dewasa ini telah menjadi suatu exclusive goal (Grimes et al., 2006).

Menurut WHO (1998) pengembangan metode baru kontrasepsi yang efektif bagi pria menjadi prioritas utama organisasi kesehatan dunia tersebut. Hal ini cukup beralasan karena metode kontrasepsi seperti kondom, senggama terputus, dan vasektomi belum sepenuhnya akseptabel oleh banyak pasangan di dunia karena metodenya yang masih

VETERINARIA Medika

5

dianggap tidak mudah reversible , sedangkan pemakaian MHC diyakini dan terbukti bersifat reversible.

Salah satu molekul yang berpotensi sebagai kandidat kontrasepsi hormonal pria adalah protein inhibin β. Inhibin β merupakan hormon peptida gonadal dimerik yang secara selektif berpotensi menghambat sekresi FSH melalui mekanisme umpan balik negatif (Chada et al., 2003). Inhibin β diproduksi secara nyata oleh sel Sertoli testis (Luisi et al., 2005; Winters et al., 2006) dan merupakan bentuk utama inhibin pada pria dewasa (Mc Neilly et al., 2002).

Hasil penelitian van Dissel-Emiliani et al. (1989) memaparkan bahwa injeksi intraperitoneal cairan folikel sapi yang mengandung inhibin selama 2 hari pada mencit, mengakibatkan terjadinya p e n u r u n a n 9 1 % s p e r m a t o g o n i a A - 4 , 7 4 % spermatogonia intermediate dan 67% spermatogenia B bila dibandingkan dengan kontrol. Selain itu, dilaporkan juga bahwa konsentrasi FSH menjadi 6% lebih rendah dari kontrol. Pada Hamster, injeksi intratesticular cairan folikel sapi selama 4 hari menunjukkan terjadinya penurunan sejumlah spermatogonia A3, spermatogonia intermediate, spermatogonia B1 dan B2 mengalami penurunan 86%, 61%, 55% dan 94% bila dibandingkan dengan kontrol. Selain itu, pemberian ekstrak inhibin yang berasal dari preparasi sel Sertoli selama 4 hari menyebabkan penurunan signifikan jumlah spermatogonia A3 sebanyak 90%, spermatogonia intermediate 87%, spermatogonia B 66% dan B2 93%. Selanjutnya pemberian ekstrak inhibin asal preparasi sel Sertoli dosis tinggi selama 4 hari menyebabkan terjadinya penurunan signifikan jumlah spermatogonia intermediate sebanyak 87% dan spermatogonia B1 91% dibandingkan dengan kontrol.

Penelitian ini bertujuan melakukan isolasi, identifikasi, dan karakterisasi protein inhibin β yang berpotensi sebagai sebagai kandidat kontrasepsi hormonal berbasis peptida pria.

Materi dan Metode Penelitian

Isolasi Testis dan Kultur Sel Sertoli Rattus norvegicus

Sebanyak 15 ekor Rattus norvegicus strain Wistar umur 21 hari yang diperoleh dari tempat pengembangbiakan tikus Laboratorium invitro FKH Universitas Airlangga dikorbankan secara dislocatio cervicalis, dipreparier bagian testis, kemudian testes diangkat dan dicuci dengan medium PBS 2 kali sampai bersih dari lemak dan darah. Testes dipotong-potong kecil dan ditambahkan medium DMEM + FCS 15%. Testes + medium dimasukkan ke dalam tabung, lalu disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Pencucian ini dilakukan sebanyak 2 kali. Endapan selanjutnya ditumbuhkan dalam medium, dihomogenisasi dengan cara pipet secara berulang dengan pipet steril. Selanjutnya dimasukkan ke dalam plate dan diinkubasi dalam inkubator CO 5% dengan 2

osuhu 37 C. Hari ke 3, kultur diamati dan ditambahkan medium sebanyak 1 ml. Pertumbuhan sel sudah mulai terlihat tetapi belum seluruhnya. Hari ke 5, kultur sudah tumbuh secara konfluens dengan berbagai macam bentuk sel, lalu dilakukan sub pasase. S e l a n j u t n y a d i l a k u k a n t r i p s i n a s i d e n g a n menambahkan tripsin. Dengan menggunakan pipet dipindahkan ke tabung, disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit sebanyak 2 kali. Ditanam kembali ke dalam plate dan diinkubasi. Pada hari ke 3 setelah inkubasi, diamati pertumbuhan kultur dan ditambahkan medium sebanyak 1 ml, kemudian diinkubasi lagi ke dalam inkubator CO 5% dengan 2

osuhu 37,5 C. Pada hari ke 7, diamati pertumbuhan sel kultur dan ditambahkan medium. Sel kultur dipecah lagi ke dalam beberapa plate, lalu diinkubasi lagi. Pada hari ke 8, diamati perkembangan sel kultur dan ditambahkan medium 1 ml, kemudian diinkubasi lagi pada inkubator CO 5%. Pada hari ke 15, sel kultur 2tampak konfluens, lalu dilakukan pemanenan kultur. Selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung eppendorf

odan disimpan pada suhu 4 C.

Isolasi Fraksi Protein dari Sel Sertoli

Sel Sertoli hasil kultur dalam eppendorf dicairkan dengan memutar-mutarnya dengan tangan. Kemudian disentrifus dengan kecepatan 6000 rpm selama 10 menit. Buang supernatan, pellet diambil dan ditambahkan PBST – PMSF sebanyak 600 µl. Divorteks selama 10 menit, lalu disonikasi selama 20 menit dan selanjutnya disentrifus dengan kecapatan 10.000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang didapat ditambahkan etanol dengan perbandingan 1 : 1. Pellet digerus dalam PBST – PMSF, divorteks dan disonikasi selama 10 menit, disentrifus dengan kecepatan 6000 rpm selama 15 menit. Pellet yang didapat disimpan, sedangkan supernatan ditambahkan etanol dengan perbandingan 1 : 1, kemudian disimpan overnight

odengan suhu 4 C.

Konfirmasi isolat Inhibin β Sel Sertoli dengan Teknik dot blot

Isolat protein inhibin β dalam PBS-Na Azida 1% diteteskan pada membran nitroselulosa yang telah dibasahi dengan PBS. Membran yang berisi antigen ini kemudian di bloking dengan bloking buffer selama 1 jam, lalu dicuci dengan 0,05% PBS-Tween 20 (3 menit yang diulang 3 kali). Hasilnya kemudian diinkubasi dengan antibodi poliklonal protein inhibin B dalam PBS-Skim Milk 1% selama 2 jam.

Selanjutnya dilakukan pencucian dengan 0,05% PBS-Tween 20 (3 menit yang diulang 3 kali). Hasil yang didapatkan, inkubasi kembali dengan antibodi sekunder (Anti Rabbit IgG AP Conjugate) selama 1 jam, dan dicuci kembali dengan PBS Tween 20 0,05% selama 3 menit yang diulang 3 kali. Kemudian dilakukan inkubasi dalam substrat western blue dan dikeringkan pada suhu kamar.

Karakterisasi dan Identifikasi Protein Inhibin B dengan SDS PAGE

6

Aulanni’am dkk. Isolasi, Identifikasi dan ...

Gel hasil running direndam dalam larutan pewarna (staining) sambil digoyang selama 30 menit. Kemudian di rendam dalam larutan penghilang warna (destaining) selama 30 menit sambil digoyang sampai bening. Perlakuan di atas menggunakan penggoyang otomatis.

Berat molekul ditentukan dengan bantuan protein standar sebagai marker dengan menghitung Rf (Retardation factor) dari masing-masing pita menggunakan rumus :

Hasil dan Pembahasan

Penelitian ini adalah penelitian eksploratif karena bertujuan mengisolasi, identifikasi, dan mengkarakterisasi protein inhibin β dari hasil kultur sel Sertoli Rattus norvegicus umur 21 hari. Data yang dihasilkan dari penelitian ini direpresentasikan dalam bentuk gambar-gambar.

Isolasi Testis dan Kultur Sel Sertoli Rattus norvegicus

Hasil isolasi dan kultur sel Sertoli Rattus norvegicus strain Wistar umur 21 hari dengan menggunakan medium DMEM yang ditambah dengan Fetal Calf Serum 15% (FCS) menunjukkan adanya pertumbuhan kultur sel Sertoli secara konfluens pada hari ke 15 kultur (Gambar 1).

Sel Sertoli Rattus norvegicus umur 21 hari yang dikultur dengan menggunakan medium DMEM + FCS 15% ternyata dapat menumbuhkan kultur sel Sertoli secara konfluens pada hari ke 15 kultur.

Vol. 3, No. 1, Pebruari 2010

7

Penggunaan gel dua lapis, yaitu gel sebagai tempat sampel (stacking gel) dan gel sebagai media untuk pemisahan protein (separating gel). Gel pemisah dibuat dengan mencampurkan bahan-bahan LGB, T-Acryl, dd H O, sedangkan gel sebagai tempat 2sampel terdiri atas UGB, T Acyl, dd H O. Semua 2bahan masing-masing dicampurkan kecual i ammonium persulfate (APS) dan N,N,N',N'-tetramethylethylendiamina (TEMED). Gelembung dihilangkan selama 10 menit, APS dan TEMED ditambahkan dikocok sebentar kemudian dimasukkan dalam plat dan dibiarkan 10-30 menit sampai gel mengeras.

Gel pengumpul sampel dibuat dengan cara yang sama tanpa dihilangkan gelembungnya. Setelah gel pemisah mengeras, larutan gel pengumpul sample dituangkan di atasnya dan dipasang sisiran sampai gel mengeras an terbentuk sumuran. Kemudian sisir dilepas, plat dipasang pada alat elektroforesis, lalu dituangkan buffer pada alat tersebut.

Injeksi sampel dan running dilakukan dengan cara mencampur isolate protein inhibin β hasil kultur sel Sertoli Rattus norvegicus dengan buffer pereduksi, selanjutnya sample dipanaskan dalam penangas air pada suhu 100oC selama 2 menit. Kemudian didinginkan, lalu sampel siap dimasukkan dalam sumur-sumur gel dengan volume 10 ìl untuk tiap sumur. Untuk protein standar sebagai marker diperlakukan sama dengan sampel. Setelah itu, anoda dihubungkan dengan reservoir bawah dan katoda dihubungkan dengan reservoir bagian atas. Power supply dihubungkan dengan listrik dengan arus litrik sebesar 30 mA 600 volt selama 2-3 jam. Proses pemisahan dihentikan setelah warna biru penanda ± 0,5 cm dari batas bawah plat gel.

Rf =Jarak yang ditempuh oleh senyawa

Jarak yang ditempuh oleh permukaan pelarut

Gambar 1. Hasil kultur sel Sertoli Rattus norvegicus umur 21 hari dengan menggunakan medium DMEM + FCS 15%. Tampak pertumbuhan kultur sel Sertoli secara konfluens pada hari ke 15 kultur (tanda panah hitam).

VETERINARIA Medika

Sejumlah peneliti lain, diantaranya Depuydt et al. (1999) juga telah melakukan kultur sel Sertoli dengan menggunakan medium DMEM + collagenase + Dnase dan ditambah sejumlah bahan lain telah berhasil menumbuhkan kultur sel Sertoli secara konfluens pada hari ke 7 kultur.

Konfirmasi isolat Inhibin β Sel Sertoli dengan Metode Dot Blot

Konfirmasi isolat protein inhibin β dari hasil kultur sel Sertoli Rattus norvegicus umur 21 hari yang tumbuh secara konfluens dan dipanen pada umur 15 hari dengan menggunakan antibodi poliklonal inhibin β menggunakan metode dot blot menunjukkan adanya gradasi warna biru keunguan (Gambar 2). Hal ini berarti bahwa antibodi poliklonal inhibin β dapat

mengenali protein inhibin β dari hasil kultur sel Sertoli. Hal ini membuktikan bahwa sel Sertoli dari Rattus norvegicus umur 21 hari yang dikultur secara

a b c

Gambar 2. Konfirmasi isolat inhibin dari sel Sertoli Rattus norvegicus umur 21 hari yang dikultur secara

konfluens pada hari ke 15 dengan menggunakan antibodi poliklonal inhibin β menggunakan

metode dot blot. Reaksi positif antara antibodi poliklonal protein inhibin β dengan protein

inhibin β dari hasil kultur sel Sertoli Rattus norvegicus divisualisasikan dengan adanya noda

β

Gambar 3. Ektroforegram protein inhibin dari hasil kultur sel Sertoli Rattus norvegicus umur 21 hari yang dikultur secara konfluens pada hari ke 15 dengan metode SDS-PAGE dengan pewarnaan Commasie Blue R-25. Kolom M adalah Marker, kolom 1, 2 berwarna hitam adalah sampel isolat protein inhibin β dari hasil kultur sel Sertoli Rattus norvegicus umur 21 hari pada hari ke 15 kultur.

β

konfluens pada hari ke 15 adalah benar menghasilkan atau sebagai sumber inhibin β.

Dot blot merupakan uji spesifitas yang pada penelitian ini digunakan untuk mengkonfirmasi isolat inhibin β dari hasil kultur sel Sertoli Rattus norvegicus umur 21 hari dengan menggunakan antibodi poliklonal inhibin β. Hasil positif ditandai dengan terbentuknya warna dot biru gelap atau keunguan. Hal ini dapat diartikan bahwa isolat protein inhibin β dari hasil kultur sel Sertoli Rattus norvegicus umur 21 hari dapat dikenali oleh antibodi poliklonal inhibin β. Visualisasi warna biru gelap disebabkan oleh adanya penambahan antibodi sekunder yang berlabel alkalin phosphatase (AP) dengan substrat western blue (Gambar 2b,2c). Tidak adanya visualisasi warna dot biru gelap atau hasilnya negatif ditunjukkan pada Gambar 2a.

8

Aulanni’am dkk. Isolasi, Identifikasi dan ...

Vol. 3, No. 1, Pebruari 2010

9

Identifikasi dan Karakterisasi Protein Inhibin β dengan SDS PAGE

Isolat protein inhibin β dari hasil kultur sel Sertoli Rattus norvegicus umur 21 hari yang tumbuh secara konfluens dan dipanen pada umur 15 hari kultur terdiri atas 7 pita protein dengan berat molekul 175, 163, 153, 81, 78, 66, dan 29 kDa. Penentuan berat molekul dari pita-pita protein tersebut dilakukan melalui metode SDS-PAGE dengan pewarnaan commasie briliant blue R-250 (Gambar 2).

Hasil SDS PAGE isolat protein inhibin β dari hasil kultur sel Sertoli Rattus norvegicus umur 21 hari yang dikultur secara konfluens pada hari ke 15 diperoleh pita protein dengan berat molekul 175, 163, 153, 81, 78, 66, dan 29 kDa. Hasil penelitian ini nampaknya memperlihatkan hasil yang berbeda dengan hasil penelitian Mather & Krummen et al. (1992) yang mengidentifikasi bahwa berat molekul inhibin β yang diisolasi dari kultur sel Sertoli tikus umur 21 hari adalah 32 kDa.

Lockwood et al. (1998) menyatakan bahwa inhibin merupakan heterodimer yang mengandung jembatan disulfida á dengan berat molekul 18 kDa dan â dengan berat molekul 14 kDa. Menurut Mather et al. (1992), inhibin mempunyai berat molekul 31-34 kDa, sedangkan Nowroozi et al. (2008) menyatakan bahwa inhibin mempunyai berat molekul 32 kDa. Hasil penelitian Robertson et al. (2003) menunjukkan bahwa inhibin β sebagai prekursor mempunyai berat molekul 60-65 kDa, sedangkan bentuk matang inhibin β mempunyai BM 26-30 kDa. Pada sapi, inhibin diketahui mempunyai berat molekul 32 dan 45 kDa (Kaneko et al., 2006).

Kesimpulan

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1) sel Sertoli Rattus norvegicus umur 15 hari dapat dikultur dan tumbuh secara konfluens pada hari ke 15 dengan menggunakan medium DMEM + FCS 15%; 2) konfirmasi isolat inhibin β dari hasil kultur sel Sertoli Rattus norvegicus dengan metode dot blot menggunakan antibodi poliklonal inhibin β menunjukkan reaksi positif yang divisualisasikan dengan adanya noda biru keunguan; 3) identifikasi dan karakterisasi protein inhibin β dari hasil kultur sel Sertoli Rattus norvegicus umur 21 hari yang dikultur secara konfluens pada hari ke 15 diperoleh pita-pita protein dengan berat molekul 175, 163, 153, 81, 78, 66, dan 29 kDa.

Ucapan Terima Kasih

Penelitian ini merupakan sebagian dari hasil penelitian yang dibiayai oleh Hibah Pasca Tahun Anggaran 2009. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih atas kepercayaan dan dana yang diberikan.

Daftar Pustaka

Amory, J.K. And W.J. Bremner. 2005. Oral testosteron in oil plus dutasteride: a pharmacokinetic study in men. J Clin Endocrinol Metab, 90:2610-2617.

Chada, M., R. Prusa., J. Bronsky., K. Kotaska., K. K. Sidlova., M. Pechova and L. Lisa. 2003. Inhibin B, follicle stimulating hormone, luteinizing hormone and testosteron during childhood and puberty in males: changes in serum concentration in relation to age and stage of puberty. Physiol. Res. 52:45-51.

Crosignani, P.G. 2002. Hormonal contraception: what is new?. Human Reproduction Update, 8(4):359-371.

Depuydt, C.E., A.M. Mahmoud., W.S. Dhooge., F.A. Schoonjans and F.H. Comhaire. 1999. Hormonal regulation of inhibin B secretion by immature rat Sertoli cells in vitro: possible use as a bioassay for estrogen detection. Journal of Andrology, 20(1):54-62.

Fauzi, A., M. Lucianawaty., L. Hanifah dan N. Bernadette. (2005). Penduduk Indonesia 2025 A k a n C a p a i 2 7 3 , 6 5 J u t a J i w a . http://situs.kesrepro.info/info/agu/2005/info02.htm.

Grimes, D.A., L.M. Lopez., M .F. Gallo., V. Halpern., K. Nanda and K.F. Schulz. 2006. Steroid hormones for contraception in men. The cochrane library (issn 1464-780x).

Kaneko, H., M. Matsuzaki., J. Noguchi., K. Kikuchi., K. Ohnum., and M. Ozawa. 2006. Changes in circulating and testicular levels of inhibin A and B during postnatal development in buls. Journal of Reproduction and Development, 52(6):741-749.

Liu, P.Y., R.S. Swedloff., B.D. Anawalt., R.A. Anderson., W.J. Bremner., J. Elliesen., Yi-Qun Gu., W.M. Kersemaekers., R.I. McLachlan., M.C. Meriggiola., E. Nieschag., R. Sitruk-Ware., K. Vogelsong., Xing-Hai Wang., F.C.W. Wu., M. Zitzmann., D.J. Handelsman and C. Wang. 2008. Determinants of the rate and extent of spermatogenic suppression during hormonal male contraception: an integrated analysis. J Clin Endocrinol Metab, 93:1774-1783.

Lockwood, G.M., S. Muttukhrisna and W.L. Ledger. 1998. Inhibins and activin in human ovulation, c o n c e p t i o n , a n d p r e g n a n c y. H u m a n reproduction Update, 4(3):284-295.

Luisi, S., P. Florio., F.M. Reis and F. Petraglia. 2005. inhibins in female and male reproductive physiology: role in gametogenesis, conception, implantation and early pregnancy. Human Reproduction Update, 11(2):123-135.

VETERINARIA Medika

Mather, J.P., T.K. Woodruff and L.A. Krummen. 1992. Paracrine regulation of reproductive function by inhibin and activin. Proc Soc Ep Biol Med, 201:-15.

Mather, J.P., and L.A. Krummen. 1992. Inhibin, activin, and grouth factors: paracrine regula tors of tes t icular funct ion . In : Spermatogenesis-Fertilization-Contraception: Molecular, Cellular, and endocrine events in male Reproduction, edited by E. Nieschlag abd U-F Habenicht, pp 169-200, Springer-Verlag, New York.

McNeilly, A.S., C.J. Souja., D.T. Baird., I.A. Swanston., J. McVerry., J. Cranfield and G.A. Lincoln. 2002. Production of Inhibin α not β in Rams: Changes in Plasma Inhibin a During Testis Growth, and Expression of Inhibin /Activin Subunit mRNA and Protein in Adult Testis. J. Reproduction, 123:827-835.

Nowroozi, M.R., K. Radkah., M. Ayati. , H. Jamshidian., A. Ranjbaran and P. Jabalameli. 2008. Serum inhibin B concentration as a prognostic factor for prediction of sperm retrieval in testis biopsy of patients with azoospermia. Arch ranian Med, 11(1):54-56.

Page, S.T., J.K. Amory and W.J. Bremner. 2008. Advances in male contraception. Endocrine Revies, 29(4):465-493.

Robertson, D.M., T. Stephenson and R.I. McLachlan. 2003. Characterization of plasma inhibin forms in fertile and infertile men. Human Reproduction, 18(5):1047-1054.

Sipilä, P., J. Jalkanen., I.T. Huhtaniemi and M. Poutanen. 2009. Novel epididimal proteins as a target for the development of post-testicular male contraception. Reproduction, 137:379-389.

United Nations Population Division. 2000. World population prospects: The 2000 Revision. New York, United Nations.

Van Dissel-Emiliani, F.M., A.J. Grootenhuis., F.H. de Jong and D.G. de Rooiji. 1989. Inhibin reduces spermatogonial numbers in testes of adult mice and Chinese hamster. Endocrinology, 125: 1-4.

Winters, S.J., C. Wang., E. Abdelrahaman., V. Hadeed., M. A. Dyky and A. Brufsky. 2006. Inhibin B Levels In Healthy Young Adult Men And Prepubertal Boys: Is Obesity The Cause For The Contemporary Decline In Sperm Count Because Of Fever Sertoli Cells?. Journa

10

Aulanni’am dkk. Isolasi, Identifikasi dan ...