HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

103
1 TESIS HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN INTERFERON GAMA (IFN-γ) SERUM PADA PEKERJA INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU I GEDE YASA ASMARA NIM: 0914048205 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

Transcript of HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Page 1: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

1

TESIS

HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN INTERFERON GAMA (IFN-γ) SERUM PADA PEKERJA INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU

I GEDE YASA ASMARA NIM: 0914048205

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2014

Page 2: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN INTERFERON GAMA (IFN-γ) SERUM PADA PEKERJA INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

I GEDE YASA ASMARA NIM: 0914048205

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2014

Page 3: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 4 PEBRUARI 2014

Mengetahui

Pembimbing I,

Prof. Dr. dr. Ida Bagus Ngurah Rai, SpP (K) NIP 195311201980121001

Pembimbing II,

dr. I Made Bagiada, SpPD-KP NIP 195601251986011001

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof. Dr.dr.Wimpie Pangkahila, Sp.And. FAACS NIP 194612131971071001

Direktur

Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS (K) NIP 195902151985102001

Page 4: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal 4 Pebruari 2014

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No.: 0200/UN14.4/HK/2014, Tanggal 27 Januari 2014

Ketua : Prof. DR. dr. Ida Bagus Ngurah Rai, SpP (K)

Anggota :

1. dr. I Made Bagiada, SpPD-KP

2. Prof. DR. dr. N. Adiputra, M.OH

3. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, PhD

4. DR. dr. Ida Sri Iswari, SpMK, M.Kes

Page 5: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke

hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

karunia-Nya, tesis ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini ijinkanlah penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada Prof. DR. dr. Ida Bagus Ngurah Rai, SpP (K),

pembimbing utama yang telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan

saran dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya pula

penulis sampaikan kepada dr. I Made Bagiada, SpPD-KP, pembimbing II yang

dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran

kepada penulis.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana

Prof. DR. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang

diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan

Program Magister di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga ditujukan

kepada Direktur Program Pascasarjana yang dijabat Prof. DR. dr. A.A. Raka

Sudewi, Sp.S (K) serta Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Prof. DR. dr.

Wimpie Pangkahila, Sp.And. FAACS atas kesempatan yang diberikan kepada

penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana

Universitas Udayana. Tidak lupa penulis pula penulis mengucapkan terima kasih

pada Prof. DR. dr. Putu Astawa, M.Kes, SpOT (K) Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti

pendidikan Program Magister. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Ida Bagus Suta, SpP; dr. Dewa

Made Artika, SpP; dr. Putu Andrika, SpPD-KIC; dr. Gde Ketut Sajinadiyasa,

SpPD; dr. IGNB Artana, SpPD, staf Divisi Paru, Bagian/SMF Ilmu Penyakit

Dalam FK Unud/RSUP Sanglah atas masukan, bimbingan, dorongan, dan

bantuannya dalam penyusunan tesis ini. Ungkapan terima kasih penulis

sampaikan pula kepada para penguji tesis, yaitu Prof. DR. dr. N. Adiputra, M.OH;

Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, PhD; DR. dr. Ida Sri Iswari, SpMK, M.Kes,

Page 6: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini

dapat terwujud seperti ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada CV.

Mertanadi, baik kepada Ibu Direktur beserta seluruh jajaran dan karyawannya

yang telah memberikan ijin sekaligus kesempatan untuk melakukan penelitian di

perusahaan tersebut.

Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih

yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru yang telah

membimbing penulis, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Juga

penulis ucapkan terima kasih kepada Ayah dan Ibu yang telah mengasuh dan

membesarkan penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada istri dr. Ni

Made Ayu Suria Mariati, SpAn, putri pertama Putu Delinda Asmara dan putri

kedua Kadek Delvina Asmara atas segala dukungan moril dan materiil kepada

penulis sehingga berhasil menyelesaikan tesis ini dengan baik. Seluruh Keluarga

Besar Residen Interna juga disampaikan ucapan terima kasih atas kerjasama yang

baik selama ini.

Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu

melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan

dan penyelesaian tesis ini.

Denpasar, Januari 2014

Penulis

Page 7: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

ABSTRAK

HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN INTERFERON GAMA (IFN-γ) SERUM PADA PEKERJA

INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU

Debu merupakan salah satu sumber gangguan kesehatan akibat lingkungan kerja. Pajanan debu kayu telah lama dikaitkan dengan berbagai gangguan paru seperti rinitis alergika, bronkitis kronis, asma kerja, penurunan fungsi paru dan penyakit fibrosis paru. Suatu meta-analisis menunjukkan bahwa pajanan debu kayu memiliki risiko 1,9 kali untuk terjadinya fibrosis paru. Pajanan debu kayu ditandai dengan kelebihan sitokin profibrotik dan penurunan kadar IFN-γ diduga oleh karena debu kayu yang merupakan benda asing dalam tubuh akan mengaktivasi makrofag dan selanjutnya mengganggu keseimbangan antara aktivasi sitokin Th1 dan Th2. Sitokin Th2 akan dirangsang sedangkan sitokin Th1 yaitu IFN-γ akan dihambat.

Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali yang dilakukan dari bulan Mei sampai Oktober 2013 untuk mengetahui hubungan antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum. Pajanan debu kayu dihitung dengan mengukur kadar debu terhirup menggunakan Personal Dust Sampler. Kadar IFN-γ serum diukur dengan teknik ELISA. Untuk mengetahui korelasi antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum digunakan uji korelasi Pearson. Untuk mengetahui perbedaan kadar pajanan debu kayu dan kadar IFN-γ serum pada pekerja yang bekerja di bagian yang berbeda digunakan uji one-way Anova. Nilai p < 0,05 dikatakan signifikan.

Didapatkan 60 pekerja sebagai sampel yang terbagi sama rata dalam 4 bagian yaitu penggergajian, perakitan, pengamplasan dan administrasi. Rerata usia pekerja 40,6 tahun, masa kerja 15,7 tahun dan IMT 21,8 kg/m2. Sepertiga jumlah pekerja merokok dengan rerata 11,9 packyear dan 66,7% selalu menggunakan alat pelindung diri. Secara umum, rerata pajanan debu kayu di perusahaan X adalah 81,7 mg/m3/tahun dan rerata kadar IFN-γ serum pekerja 6,7 pg/ml. Didapatkan korelasi negatif yang signifikan antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum (r = -0,324; p= 0,011). Terdapat perbedaan rerata pajanan debu kayu yang bermakna antara tiap-tiap bagian dan perbedaan IFN-γ serum yang bermakna antara bagian administrasi dengan tiga bagian lainnya (p < 0,05).

Penelitian ini menunjukkan bahwa jelas terdapat hubungan negatif di antara pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali yaitu, semakin tinggi pajanan debu kayu maka semakin rendah IFN-γ serum. Kata kunci: pajanan debu kayu, interferon gama serum

Page 8: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

ABSTRACT

NEGATIVE RELATIONSHIP BETWEEN WOOD DUST EXPOSURE AND SERUM INTERFERON GAMMA (IFN-γ) IN WORKERS OF

WOOD PROCESSING INDUSTRY

Dust as one of health problem sources due to working environment.

Exposure to wood dust has long been associated with a variety of pulmonary disorders such as allergic rhinitis, chronic bronchitis, occupational asthma, decreased lung function and pulmonary fibrosis. A meta-analysis showed that exposure to wood dust had 1,9 times risk for the occurrence of pulmonary fibrosis. Exposure to wood dust is characterized by excess of profibrotic cytokines and decreased levels of IFN-γ serum. Wood dust which is recognised as a foreign object by the body could activates macrophages and further disrupt the balance between Th1 and Th2 cytokine activation. Th2 cytokines are stimulated whereas Th1 cytokine IFN-γ are inhibited.

This research was a cross-sectional study in workers of wood processing industry Company X, Badung, Bali carried out from May to October 2013 in order to determine the relationship between wood dust exposure and IFN-γ serum. Wood dust exposure is calculated by measuring the levels of respirable dust using Personal Dust Sampler. Interferon-γ serum levels were measured by ELISA. The correlation between wood dust exposure and IFN-γ serum was analysed using Pearson correlation test. In order to determine the difference in the levels of wood dust exposure and IFN-γ serum levels in workers who work in different sections, one-way ANOVA test was used. p value < 0,05 was considered significant.

There were 60 workers recruited as sample which were subdivided in equal number into 4 sections namely sawing, assembly, sanding and administration. The mean age was 40,6 years, mean job tenure of 15,7 years and mean BMI of 21,8 kg/m2. One third of the workers smoke around 11,9 packyear cigarettes and 66,7% reported always use masker. In general, the mean level of wood dust exposure in Company X was 81,7 mg/m3/year and the mean level of IFN-γ serum was 6,7 pg/ml. There was a significant negative correlation between wood dust exposure and IFN-γ serum (r = -0,324, p = 0,011). There were significant differences in wood dust exposure between each section and IFN-γ serum between the administration and other sections (p < 0,05).

This study clearly showed that there is a negative relationship in workers of wood processing industry Company X, Badung, Bali i.e. the higher the wood dust exposure, the lower the level of IFN-γ serum. Keywords: wood dust exposure, serum interferon gamma

Page 9: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

RINGKASAN

HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN INTERFERON GAMA (IFN-γ) SERUM PADA PEKERJA

INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU

Debu merupakan salah satu sumber gangguan kesehatan akibat lingkungan kerja. Interaksi faktor agen, inang, dan lingkungan mempengaruhi timbulnya gangguan paru akibat debu kayu. Faktor agen (debu kayu) meliputi ukuran partikel, bentuk dan konsentrasi. Faktor inang (pekerja) meliputi umur, jenis kelamin, status gizi, mekanisme pertahanan paru dan status imunologis serta kebiasaan merokok. Faktor lingkungan yaitu jenis pabrik, lamanya pajanan, penggunaan alat pelindung diri (APD) dan lain sebagainya. Pajanan debu kayu telah lama dikaitkan dengan berbagai gangguan paru seperti rinitis alergika, bronkitis kronis, asma kerja, penurunan fungsi paru dan penyakit fibrosis paru. Suatu meta-analisis menunjukkan bahwa pajanan debu kayu memiliki risiko 1,9 kali untuk terjadinya fibrosis paru. Studi pada binatang menunjukkan bahwa pajanan debu kayu berulang terhadap paru menimbulkan proses inflamasi yang diikuti dengan aktivasi sitokin proinflamasi dan kemokin. Interferon gama (IFN-γ) adalah sitokin endogen yang memiliki multifungsi baik sebagai anti-fibrotik, anti-infektif, anti-proliperatif atau imunomodulator. Kadar IFN-γ secara teori dipengaruhi oleh umur, status gizi, kebiasaan merokok, penyakit tuberkulosis, diabetes, dan keganasan. Pajanan debu kayu ditandai dengan kelebihan sitokin pro-fibrotik dan penurunan kadar IFN-γ diduga oleh karena debu kayu yang merupakan benda asing oleh tubuh akan mengaktivasi makrofag dan selanjutnya mengganggu keseimbangan antara aktivasi sitokin Th1 dan Th2. Sitokin Th2 akan dirangsang sedangkan sitokin Th1 yaitu IFN-γ akan dihambat.

Perusahaan X merupakan industri pengolahan kayu terbesar di Bali yang terletak di Desa Lukluk, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Perusahaan X didirikan dalam rangka mendukung penyerapan tenaga kerja informal dengan total 150 karyawan yang terbagi menjadi 30 staf dan 120 pekerja. Perusahaan X mengolah kayu yang masih kasar menjadi mebel siap pakai dan furniture yang sudah jadi. Kayu yang digunakan sebagai bahan produksi di Perusahaan X adalah Merbau dan Bangkirai yang merupakan jenis kayu keras (hardwoods). Sebagian besar pekerja terpajan dengan debu kayu karena tidak semua pekerja menggunakan masker.

Penelitian ini merupakan studi observasional dengan metode potong lintang analitik pada pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali yang dilakukan dari bulan Mei sampai Oktober 2013 untuk mengetahui hubungan antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum. Sekitar 60 pekerja digunakan sebagai sampel dengan teknik cluster purposif random sampling, untuk selanjutnya masuk dalam salah satu dari 4 bagian yaitu penggergajian, perakitan, pengamplasan dan administrasi. Kriteria inklusi meliputi umur 18-60 tahun, telah bekerja di satu bagian minimal 10 tahun dan setuju mengikuti penelitian dengan menandatangani inform concent. Kriteria eksklusi meliputi pekerja dengan

Page 10: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

riwayat penyakit tuberkulosis, kencing manis atau keganasan dan riwayat penyakit ini didapatkan secara subjektif hanya dengan melakukan wawancara terhadap pekerja dan pekerja yang bekerja di bagian VI (pengecatan dan finishing). Pajanan debu kayu dihitung dengan mengukur kadar debu terhirup menggunakan Personal Dust Sampler. Dosis pajanan merupakan perkalian antara kadar debu terhirup dan lama bekerja/lama pajanan. Kadar IFN-γ serum diukur dengan teknik ELISA. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif. Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Untuk mengetahui korelasi antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum digunakan uji korelasi Pearson. Untuk mengetahui perbedaan kadar pajanan debu kayu dan kadar IFN-γ serum pada pekerja yang bekerja di bagian yang berbeda digunakan uji one-way Anova. Nilai p < 0,05 dikatakan signifikan.

Didapatkan 60 pekerja sebagai sampel yang terbagi sama rata dalam 4 bagian yaitu penggergajian, perakitan, pengamplasan dan administrasi. Hasilnya menunjukkan sebagian besar subjek penelitian berjenis kelamin laki-laki (53,3%) dan bekerja pada bagian perakitan. Pekerja perempuan sebagian besar bekerja di bagian pengamplasan. Rerata usia pekerja 40,6 tahun, masa kerja 15,7 tahun dan IMT 21,8 kg/m2. Sepertiga jumlah pekerja merokok dengan rerata 11,9 packyear dan proporsi yang hampir berimbang pada tiap bagian kecuali tidak ada pekerja pada bagian pengamplasan yang merokok. Untuk status gizi, terlihat bahwa 60% subjek penelitian dengan status gizi normal, 31,7% pekerja dengan berat badan berlebih dan 8,3% dengan status gizi kurang. Mengenai penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), 66,7% pekerja selalu menggunakan APD bila sedang bekerja, 11,7% pekerja sering, 16,7% pekerja jarang, dan 5% pekerja tidak pernah menggunakan APD.

Secara umum, rerata pajanan debu kayu di Perusahaan X 81,7 mg/m3/tahun dan rerata kadar IFN-γ serum pekerja 6,7 pg/ml. Uji normalitas semua data menunjukkan sebaran yang normal, kecuali data penggunaan APD dan IFN-γ serum. Transformasi data kemudian dilakukan terhadap dua data tersebut dan didapatkan sebaran data IFN-γ serum yang normal. Terdapat korelasi negatif yang signifikan antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum (r = -0,324; p= 0,011). Terdapat perbedaan rerata pajanan debu kayu yang bermakna antara tiap-tiap bagian (p < 0,05) dan perbedaan IFN-γ serum yang bermakna antara bagian administrasi dengan tiga bagian lainnya (p < 0,05). Penelitian ini menunjukkan bahwa jelas terdapat hubungan negatif di antara pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali yaitu, semakin tinggi pajanan debu kayu maka semakin rendah IFN-γ serum.

Page 11: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

DAFTAR ISI

Halaman

PRASYARAT GELAR……………………………………………………ii

LEMBAR PERSETUJUAN………………………………….……………iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI….……………………………………iv

UCAPAN TERIMA KASIH………………………………………………v

ABSTRAK…………………………………………………….…………...vii

ABSTRACT……………………………………………………………......viii

RINGKASAN……………………………………………………………...ix

DAFTAR ISI………………………………………………………………xi

DAFTAR TABEL………………………………………………………… xiv

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………… xv

DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA…………………………………xvi

DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….xix

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………….... 1

1.1 Latar Belakang ………………………………………………….. 1

1.2 Rumusan Masalah……………………………………………….. 5

1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………... 6

1.4 Manfaat Penelitian………………………………………………. 6

1.4.1 Manfaat Akademik…………………………………………. 6

1.4.2 Manfaat Klinik Praktis……………………………………… 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA……………………………………………... 7

Page 12: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

2.1 Debu Kayu dan Industri Pengolahan Kayu……………………… 7

2.1.1 Debu Kayu………………………………………………….. 7

2.1.2 Cara Pengukuran Debu……………………………………… 9

2.1.3 Nilai Ambang Batas Debu di Udara………………………… 10

2.1.4 Jenis Kayu dan Industri Pengolahan Kayu...………………... 11

2.2 Mekanisme Pajanan Debu Kayu dan Efeknya terhadap Paru…… 15

2.3 Interferon Gama…………………………………………………. 20

2.3.1 Peran Interferon Gama dalam Fungsi Paru…………………. 20

2.3.2 Efek Pajanan Debu Kayu terhadap Kadar Interferon Gama.. 24

2.3.3 Peran Interferon Gama dalam Fibrosis Paru……………….. 26

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS

PENELITIAN……………………………………………………. 29

3.1 Kerangka Berpikir………………………………………………... 29

3.2 Konsep Penelitian..……………………………………………... 30

3.3 Hipotesis Penelitian……………………………………………… 31

BAB IV METODE PENELITIAN……………………………………….. 32

4.1 Rancangan Penelitian……………………………………………. 32

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian……………………………………. 32

4.3 Subjek dan Sampel………………………………………………. 32

4.3.1 Populasi…………………………………………………….. 32

4.3.2 Kriteria Subjek……………………………………………… 32

Page 13: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

4.3.3 Besaran Sampel…………………………………………….. 33

4.4 Variabel………………………………………………………….. 33

4.4.1 Identifikasi Variabel………………………………………… 33

4.4.2 Klasifikasi Variabel………………………………………… 33

4.4.3 Definisi Operasional Variabel……………………………… 34

4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian…………………………………. 36

4.6 Prosedur Penelitian………………………………………………. 36

4.7 Analisis Data…………………………………………………….. 39

BAB V HASIL PENELITIAN…………………………………………..... 42

BAB VI PEMBAHASAN…………………………...…………………..... 56

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN…………………………………..... 71

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 72

LAMPIRAN……………...………………………………………………… 78

Page 14: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 5.1 Karakteristik subjek penelitian……………………………..…… 43

Tabel 5.2 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin dan bagian...........44

Tabel 5.3 Distribusi frekuensi berdasarkan status gizi dan bagian................ 45

Tabel 5.4 Distribusi frekuensi berdasarkan merokok dan bagian.................. 45

Tabel 5.5 Distribusi frekuensi berdasarkan penggunaan APD dan bagian.... 46

Tabel 5.6 Kadar debu terhirup di Perusahaan X berdasarkan bagian............ 47

Tabel 5.7 Koefisien korelasi antara pajanan debu kayu dengan IFN-γ

serum..............................................................................................48

Tabel 5.8 Koefisien korelasi antara umur dengan IFN-γ serum.................... 49

Tabel 5.9 Koefisien korelasi antara status nutrisi dengan IFN-γ serum........ 50

Tabel 5.10 Koefisien korelasi antara kebiasaan merokok dengan IFN-γ

serum........................................................................................... 51

Tabel 5.11 Koefisien korelasi antara penggunaan APD dengan IFN-γ

serum............................................................................................52

Tabel 5.12 Hasil analisis one-way Anova Pajanan debu kayu di

Perusahaan X...............................................................................53

Tabel 5.13 Hasil analisis Post-hoc LSD Pajanan debu kayu di

Perusahaan X...............................................................................53

Tabel 5.14 Hasil analisis one-way Anova IFN-γ serum di Perusahaan X....54

Tabel 5.15 Hasil analisis Post-hoc LSD IFN-γ serum di Perusahaan X.......55

Tabel 6.1 Perbedaan karakteristik kayu keras dan kayu lunak......................60

Page 15: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Jalur masuknya debu kayu sampai ke dalam paru…………… 20

Gambar 2.2 Mekanisme kerja IFN-γ di dalam sel...........................................23

Gambar 2.3 Keseimbangan Th1 dan Th2 dalam patogenesis terjadinya

fibrosis paru.................................................................................26

Gambar 3.1 Kerangka Berpikir Penelitian…………………………………. 30

Gambar 3.2 Konsep Penelitian………….…………………………………. 30

Gambar 4.1 Alur Penelitian………………………..………………………. 39

Gambar 5.1 Diagram korelasi antara pajanan debu kayu dengan IFN-γ

serum .………………………………………………………. 48

Gambar 5.2 Diagram korelasi antara umur dengan IFN-γ serum .………… 49

Gambar 5.3 Diagram korelasi antara status nutrisi dengan IFN-γ serum .… 50

Gambar 5.4 Diagram korelasi antara kebiasaan merokok dengan IFN-γ

serum … ………………………………………………………51

Gambar 5.5 Diagram korelasi antara penggunaan APD dengan IFN-γ

serum .………………………………………………………... 52

Gambar 6.1 Mekanisme asap rokok menimbulkan penyakit pada saluran

nafas…………………………………………………………. 66

Page 16: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA

α tingkat kemaknaan

µm mikrometer

APC Antigen Presenting Cell

APD Alat Pelindung Diri

ATS American Thoracic Society

CD Cluster of Differentiation

ELISA Enzim Linked Immunosorbent Assay

FEV1 Force Expiratory Volume in 1 second

HVAS High Volume Air Sampler

Hg Merkuri

IARC The International Agency for Research on Cancer

IFN-α Interferon alfa

IFN-β Interferon beta

IFN-e Interferon eta

IFN-δ Interferon delta

IFN-γ Interferon gamma

IFN-γ1b Interferon Gamma 1 beta

IFN-k Interferon kappa

IFN-o Interferon omega

IFN-t Interferon teta

IL Interleukin

Page 17: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

IMT Indeks Massa Tubuh

IRF-1 IFN-γ regulatory factor-1

IU International Unit

kDa kilo Dalton

LVAS Low Volume Air Sampler

mg miligram

ml mililiter

mm milimeter

m3 meter kubik

My88 Myeloid differentiation factor 88

NAB Nilai Ambang Batas

NADPH Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate

NK Natural Killer

NOS Nitrit Oksida Sintetase

Pb Timbal

PDGF Platelet Derived Growth Factor

PDS Personal Dust Sampler

PM10 Particulate Matter dengan diameter <10 mikron

PM2,5 Particulate Matter dengan diameter < 2,5 mikron

RNI Reactive Nitrogen Intermediate

SGPT Serum Glutamic Piruvic Transaminase

SiO2 Silikon Dioksida

SiO3 Silikon Trioksida

Page 18: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

SPM Suspended Particulate Matter

SPSS Statistical Packages for Social Sciences

TGF-β Tumor Growth Factor beta

Th1 T helper 1

Th2 T helper 2

TNF-α Tumor Necrosis Factor alfa

TSP Total Suspended Particulate

WHO World Health Organisation

Page 19: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Persetujuan setelah penjelasan……………………………….. 78

Lampiran 2 Formulir persetujuan tertulis………………….………………. 80

Lampiran 3 Prosedur pemeriksaan Interferon gama serum………………... 81

Lampiran 4 Formulir pengumpulan data…………………………………... 84

Lampiran 5 Data sheet SPSS……………..……………………………….. 85

Lampiran 6 Output analisis data SPSS...…………………………………... 87

Lampiran 7 Surat Keterangan Laik Etik (ethical clearance)..…………….. 104

Lampiran 8 Surat Ijin Penelitian……….…………………………………. 105

Page 20: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Debu merupakan salah satu sumber gangguan kesehatan akibat lingkungan

kerja yang tidak dapat diabaikan. Tempat kerja yang prosesnya mengeluarkan

debu, dapat menyebabkan pengurangan kenyamanan kerja, gangguan penglihatan,

gangguan fungsi faal paru bahkan kelainan patologis yang ireversibel.

Kayu merupakan sumber daya alam yang sangat penting yang bersumber

dari hutan. Sepertiga wilayah daratan di dunia terdiri dari hutan tanaman industri.

Industri pengolahan kayu merupakan salah satu jenis industri yang menghasilkan

debu kayu dalam jumlah besar yang berpotensi menimbulkan berbagai gangguan

kesehatan khususnya kelainan fungsi paru baik yang bersifat sementara maupun

permanen (Kauppinen dkk., 2006).

Debu adalah partikel padat yang dapat dihasilkan oleh manusia dan alam

melalui proses pemecahan suatu bahan seperti grinding (penggerendaan), blasting

(penghancuran), drilling (pengeboran), dan puverizing (peledakan). Partikel debu

melayang adalah suatu kumpulan senyawa dalam bentuk padatan yang tersebar di

udara dengan diameter sangat kecil 1-500 mikron sedangkan debu yang

membahayakan kesehatan umumnya berdiameter 0,1-10 mikron (Syahriany,

2002; Kauppinen dkk., 2006).

Debu kayu dapat dihasilkan melalui proses mekanik seperti penggergajian,

penyerutan dan penghalusan (pengamplasan). Debu kayu di udara dapat terhirup

dan mengendap dalam organ pernapasan tergantung dari diameter dan bentuk

Page 21: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

partikel melalui mekanisme antara lain sedimentasi, impaksi, inersial dan difusi.

Departemen Tenaga Kerja telah menetapkan bahwa untuk debu kayu, nilai

ambang batas di udara lingkungan kerja adalah 1 mg/m3. Nilai ambang batas

menunjukkan kadar suatu zat yang menimbulkan reaksi fisiologis manusia (ATS,

1996; Khumaidah, 2009).

Badung merupakan salah satu kabupaten di Bali yang memiliki sentra

industri pengolahan kayu dan penghasil mebel. Banyak tenaga kerja yang terserap

dari industri ini baik dalam industri formal dan informal. Mereka merupakan

kelompok risiko tinggi terkena gangguan fungsi paru. Perusahaan X merupakan

industri pengolahan kayu terbesar di Bali yang terletak di Desa Lukluk,

Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Perusahaan X didirikan dalam rangka

mendukung penyerapan tenaga kerja informal dengan total 150 karyawan yang

terbagi menjadi 30 staf dan 120 pekerja. Bahan baku yang diperlukan sebagian

besar berasal dari jenis kayu keras seperti kayu merbau dan bangkirai. Perusahaan

X mengolah kayu yang masih kasar menjadi mebel siap pakai dan furniture yang

sudah jadi. Sebagian besar pekerja terpajan dengan debu kayu karena tidak semua

pekerja menggunakan masker. Walaupun perusahaan mewajibkan semua pekerja

untuk memakai masker yang dibuat perusahaan sendiri (terbuat dari kain katun),

tidak semua pekerja mau menggunakannya dengan alasan sulit bernafas dan

alasan lain. Melihat dampak yang ditimbulkan dari pajanan debu kayu cukup

besar maka perlu suatu penanganan yang tepat akan hal ini.

Interaksi faktor agen, inang dan lingkungan mempengaruhi timbulnya

gangguan paru akibat debu kayu. Faktor agen (debu kayu) meliputi ukuran

partikel, bentuk dan konsentrasi. Faktor inang (pekerja) meliputi umur, jenis

kelamin, status gizi, mekanisme pertahanan paru dan status imunologis serta

Page 22: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

kebiasaan merokok. Faktor lingkungan yaitu jenis pabrik, lamanya pajanan,

penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dan lain sebagainya (Yulaekah, 2007).

Pajanan debu kayu telah lama dikaitkan dengan berbagai gangguan paru

seperti rinitis alergika, bronkitis kronis, asma kerja, penurunan fungsi paru dan

penyakit fibrosis paru (Baran & Teul, 2007; Jacobsen dkk., 2010a). The

International Agency for Research on Cancer (IARC) mengklasifikasikan debu

kayu sebagai karsinogen kelas I pada manusia (WHO, 1995). Respon inflamasi

dan imunologi yang terjadi akibat pajanan debu kayu belum begitu jelas. Suatu

meta-analisis menunjukkan bahwa pajanan debu kayu memiliki risiko 1,9 kali

untuk terjadinya fibrosis paru (Baumgartner dkk., 2000; Taskar & Coultas, 2006).

Studi binatang menunjukkan bahwa pajanan debu kayu berulang terhadap paru

menimbulkan proses inflamasi yang diikuti dengan aktivasi sitokin proinflamasi

dan kemokin (Maatta dkk., 2006).

Penelitian yang dilakukan terhadap pekerja industri permebelan kayu di

Kabupaten Jepara menunjukkan bahwa prevalensi gangguan fungsi paru sebesar

43,2% dari seluruh populasi pekerja perusahaan tersebut. Terdapat perbedaan

prevalensi gangguan fungsi paru antara karyawan yang bekerja pada lingkungan

yang kadar debu yang rendah dan kadar debu yang tinggi (Khumaidah, 2009).

Penelitian lain menunjukkan bahwa pekerja yang terpapar debu kayu

secara kontinyu terjadi penurunan kemampuan kerja pada usia 15-25 tahun,

keluhan batuk produktif dan penurunan Force Expiratory Volume 1 second

(FEV 1) pada usia 25-35 tahun, terjadi sesak dan hipoksemia pada usia 45-55

tahun, dan akhirnya gagal jantung kanan, kegagalan pernapasan dan kematian

pada usia 55-65 tahun (Meo, 2006; Triatmo dkk., 2006).

Page 23: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Respon imun terhadap debu kayu meliputi pengenalan (recognition),

pengerahan (recruitment), penghancuran (removal) dan perbaikan (repair).

Partikel debu yang masuk ke dalam paru awalnya akan diinternalisasi oleh sel

dendritik (makrofag, neutrofil, limfosit dan sel natural killer (NK). Proses

recognition ini akan meningkatkan molekul adhesi lokal dan merangsang proses

recruitment sel radang lain. Sel dendritik juga akan mempresentasikan antigen

debu kayu tersebut kepada sel T sehingga sel T menjadi aktif. Tahap selanjutnya

adalah removal dan repair yang ditandai dengan aktivasi sel T menjadi sel T

spesifik yaitu Th1 dan Th2. Produk utama sitokin Th1 adalah interferon gama

(IFN-γ) yang akan meningkatkan imunitas seluler, menghancurkan antigen,

menurunkan proliferasi fibroblast, angiogenesis dan ekspresi Tumor Growth

Factor beta (TGF-β). Produk sitokin Th2 seperti IL-4 dan IL-13 akan merangsang

imunitas humoral, merangsang produksi antibodi, merangsang fibroblast,

pembentukan kolagen dan fibrosis. Pajanan debu kayu menyebabkan aktivitas

sitokin Th1 menurun tetapi sitokin Th2 meningkat (Hubbard, 2001; Sharma dkk.,

2003).

Interferon gama adalah sitokin endogen yang memiliki multifungsi baik

sebagai anti-fibrotik, anti-infektif, anti-proliperatif atau imunomodulator. Kadar

IFN-γ di dalam serum dapat diperiksa dengan metode Enzym Linked

Immunosorbent Assay (ELISA) dengan kadar normal 0,145-168 pg/ml, rata-rata

10,4 pg/ml dan standar deviasi ± 40 pg/ml. Kadar IFN-γ secara teori dipengaruhi

oleh umur, status gizi, kebiasaan merokok, penyakit tuberkulosis, diabetes dan

keganasan (Gardner & Murasco, 2002; Modestou dkk., 2010; Zaidi & Merlino,

Page 24: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

2011). Saat ini masih sedikit hasil penelitian mengenai hubungan antara pajanan

debu kayu dengan IFN-γ. Pajanan debu kayu ditandai dengan kelebihan sitokin

profibrotik dan penurunan kadar IFN-γ (Raghu dkk., 2004). Debu kayu yang

merupakan benda asing oleh tubuh akan mengaktivasi makrofag dan selanjutnya

mengganggu keseimbangan antara aktivasi sitokin Th1 dan Th2. Sitokin Th2 akan

dirangsang sedangkan sitokin Th1 yaitu IFN-γ akan dihambat (Elias dkk., 1990;

Lesur dkk., 1994; Maatta dkk., 2006). IFN-γ dikatakan mampu menurunkan

produksi kolagen tipe 1 dan 3 yang banyak terdapat di dalam paru (Elias dkk.,

1990; Narayanan dkk.,1992). Hal tersebut di atas yang mendasari pengembangan

IFN-γ sebagai salah satu terapi penyakit fibrosis paru. IFN-γ mampu menghambat

proliferasi fibroblas, sintesis kolagen dan deposisi serta ekspresi sitokin

profibrotik. Suatu metaanalisis menunjukkan bahwa terapi IFN-γ1b dapat

menurunkan angka kematian pada penyakit fibsosis paru (Davis dkk., 2000; Chen

dkk., 2001; Bajwa dkk., 2005; Chung, 2006).

Pada penelitian ini dilakukan studi potong lintang pada pekerja industri

pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali untuk mengetahui hubungan antara

pajanan debu kayu dan IFN-γ serum. Bila benar terdapat hubungan antara

tingginya pajanan debu kayu dengan rendahnya kadar IFN-γ serum maka usaha

pencegahan dampak buruk debu kayu terhadap paru pekerja industri pengolahan

kayu menjadi sangat penting.

1.2 Rumusan masalah

Apakah terdapat hubungan negatif antara pajanan debu kayu dan IFN-γ

serum pada pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali?

Page 25: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

1.3 Tujuan penelitian

Untuk mengetahui adanya hubungan negatif antara pajanan debu kayu dan

IFN-γ serum pada pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali.

1.4 Manfaat penelitian

1.4.1 Manfaat akademik

Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang hasilnya dapat dipakai

sebagai data dasar dan juga dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan kita

mengenai pengaruh pajanan debu kayu terhadap IFN-γ serum pada pekerja

industri pengolahan kayu.

1.4.2 Manfaat klinik praktis

a. Memberikan informasi dan menambah pengetahuan serta masukan tentang

efek pajanan debu kayu terhadap IFN-γ serum kepada pengusaha dan

pekerja Perusahaan X, Badung, Bali.

b. Pengendalian dini pencemaran udara di lingkungan kerja industri

pengolahan kayu untuk mencegah dampak kesehatan yang merugikan

kalangan pekerja.

c. Memberikan manfaat bagi program kesehatan sebagai dasar untuk

penelitian lebih lanjut pada industri pengolahan kayu di tempat lain.

Page 26: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Debu Kayu dan Industri Pengolahan Kayu

Industri pengolahan kayu merupakan industri yang pertumbuhannya

sangat pesat di Indonesia. Industri tersebut mampu menyerap tenaga kerja dan

menghasilkan devisa negara. Di lain pihak, industri tersebut berpotensi

menimbulkan kontaminasi udara di tempat kerja berupa debu kayu. Partikel

adalah pencemar udara yang dapat berada bersama-sama dengan bahan atau

bentuk pencemar lainnya. Sumber pencemaran partikel dapat berasal dari

peristiwa alami dan dapat juga berasal dari aktivitas manusia. Sumber pencemaran

partikel akibat aktivitas manusia sebagian besar berasal dari pembakaran batubara,

proses industri, kebakaran hutan dan gas buangan alat transportasi (Huff, 2001;

Triatmo dkk., 2006).

2.1.1 Debu Kayu

Debu ialah partikel-partikel kecil yang dihasilkan oleh proses alami atau

mekanis. Debu adalah zat padat berukuran 0,1-10 mikron yang dapat dihasilkan

oleh manusia atau alam dan merupakan hasil dari proses pemecahan suatu bahan.

Sifat debu meliputi pengendapan, permukaan basah, penggumpalan, listrik statis

dan sifat optis. Partikel debu dapat dibagi atas 3 jenis, yaitu debu organik (debu

kapas, debu daun-daunan, debu kayu), debu mineral (merupakan senyawa

kompleks: SiO2, SiO3, dan arang batu) dan debu metal (debu yang mengandung

unsur logam: Pb, Hg, Cd, Arsen, dll). Partikel debu dipengaruhi oleh daya tarik

Page 27: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

bumi sehingga cenderung untuk mengendap di permukaan bumi (Depkes RI,

1996; Wardhana, 2001).

Ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit pada saluran

pernapasan. Dari hasil penelitian ukuran tersebut dapat mencapai target organ

sebagai berikut (Depkes RI, 1996):

1. 5-10 mikron, akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian atas.

2. 3-5 mikron, akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian tengah.

3. 1-3 mikron, sampai di permukaan alveoli.

4. 0,5-1 mikron, hinggap di permukaan alveoli/selaput lendir sehingga

dapat menyebabkan fibrosis pada paru-paru.

5. 0,1-0,5 mikron, melayang di permukaan alveoli.

Berdasarkan lamanya partikel tersuspensi di udara dan rentang ukurannya,

partikel dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu dust fall (setteable particulate)

yang berbentuk lebih besar dari 10 µm dan Suspended Particulate Matter (SPM)

yang ukurannya lebih kecil dari 10 µm. Kategori lain adalah partikel padat Total

Suspended Particulate (TSP) dengan diameter maksimum sekitar 45 mikron,

Particulate Matter-10 (PM10) dengan diameter kurang dari 10 mikron dan PM2,5

dengan diameter kurang dari 2,5 mikron. Partikel-partikel tersebut diyakini oleh

para pakar lingkungan dan kesehatan masyarakat sebagai pemicu timbulnya

infeksi saluran pernapasan, karena partikel padat PM10 dan PM2,5 dapat

mengendap pada saluran pernapasan daerah bronki dan alveoli, sedang TSP tidak

dapat terhirup ke dalam paru, tetapi hanya sampai pada bagian saluran pernapasan

atas (Wardhana, 2001).

Page 28: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

2.1.2 Cara Pengukuran Debu

Kuantitas pajanan terhadap debu kayu didefinisikan menjadi beberapa

istilah yaitu kadar debu total (total dust), kadar debu yang terhirup (respirable

dust) dan kadar debu dosis kumulatif. Total dust dihitung dengan dengan

menggunakan pengumpul debu pasif. Debu total ini kurang berpengaruh terhadap

kesehatan karena ukuran debunya tidak spesifik. Respirable dust adalah partikel

debu dengan diameter aerodinamik rata-rata 4 mikron (0-10 mikron) yang

ditangkap oleh filter nylon cyclone diameter 10 mm dengan kecepatan 1,7

liter/menit. Sedangkan kadar debu dosis kumulatif adalah perkalian antara

respirable dust dengan lama pajanan. Ada 3 cara pengukuran kadar debu di udara

yang semuanya mempunyai metode yang sama. Metode yang digunakan

gravimetri yaitu dengan melewatkan udara dalam volume tertentu melalui serat

glass/glass fiber/kertas saring (Lange, 2008).

a. High Volume Air Sampler (HVAS)

Cara ini dikembangkan sejak tahun 1948 menggunakan filter

berbentuk segi empat seukuran kertas A4 yang mempunyai porositas 0,3-

0,45 µm. Prosedur kerja alat ini adalah udara ambien dihisap dengan

pompa hisap berkecepatan 1000-1500 lpm. Partikel debu dengan diameter

0,1 sampai 100 mikron akan masuk bersamaan aliran udara dan

terkumpul pada permukaan saringan serat gelas. Metode ini dapat

digunakan untuk mengambil contoh udara selama 24 jam. Pengukuran

metoda ini untuk penentuan sebagai Total Suspended Particulate (TSP).

Page 29: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

b. Low Volume Air Sampler (LVAS)

Cara ini menggunakan filter berbentuk lingkaran (bulat) dengan

porositas 0,3-0,45 µm. Prosedur kerja alat ini adalah udara ambien

dihisap dengan pompa hisap berkecepatan 10-30 lpm untuk penangkapan

Suspensi Particulate Matter (SPM). Dengan mengetahui berat kertas

saring sebelum dan sesudah pengukuran maka berat debu dapat dihitung.

c. Personal Dust Sampler (PDS)

Personal Dust Sampler adalah suatu alat yang biasa digunakan

untuk menentukan banyaknya Respirable Dust di udara atau debu yang

dapat lolos melalui filter bulu hidung manusia selama bernafas.

Metodenya adalah gravimetri atau melewatkan udara melalui kertas

saring dengan cara mengatur flow rate. Untuk rate 2 liter/menit dapat

menangkap partikel debu yang ukurannya lebih kecil dari 10 mikron.

Alat ini biasanya digunakan pada lingkungan kerja dan dipasangkan pada

pinggang tenaga kerja. Alatnya berukuran kecil.

2.1.3 Nilai Ambang Batas (NAB) Debu Kayu di Udara

Nilai Ambang Batas adalah parameter yang banyak digunakan untuk

mengukur keadaan udara di dalam lingkungan kerja. Nilai Ambang batas adalah

konsentrasi dari zat, uap dan gas dalam udara yang dapat dihirup dalam 8 jam

sehari atau 40 jam seminggu yang hampir semua tenaga kerja dapat terpajan

berulang kali sehari-hari dalam melakukan pekerjaan tanpa gangguan kesehatan

yang berarti. Nilai Ambang Batas hanya merupakan alat atau pedoman yang

mengikat untuk diperhatikan dari segi kesehatan dan keselamatan kerja. Namun

Page 30: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

bila NAB sudah diterapkan, bukan berarti para pekerja tersebut terbebas dari

semua resiko yang mungkin timbul di lingkungan kerja. Nilai ambang batas

kualitas udara di lingkungan kerja khususnya kadar debu kayu keras pada industri

pengolahan kayu berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No.

01/MENNAKER/1997 adalah 1 mg/m3 (Menteri Tenaga Kerja, 1997).

Partikel debu selain memiliki dampak terhadap kesehatan juga dapat

menyebabkan gangguan sebagai berikut:

a. Gangguan aestetik dan fisik seperti terganggunya pemandangan dan

pelunturan warna bangunan dan pengotoran

b. Merusak kehidupan tumbuhan yang terjadi akibat adanya penutupan pori pori

tumbuhan sehingga mengganggu jalannya fotosintesis

c. Merubah iklim global regional maupun internasional

d. Menganggu perhubungan/penerbangan yang akhirnya menganggu kegiatan

sosial ekonomi di masyarakat

2.1.4 Jenis Kayu dan Industri Pengolahan Kayu

Terdapat begitu banyak jenis kayu yang diolah menjadi bahan industri

maupun bahan bakar. Walaupun tiap jenis kayu tersebut memiliki karakteristik

tertentu, kayu dibagi menjadi dua kelompok besar secara botani yaitu

gymnosperms atau kayu lunak (softwoods) dan angiosperms atau kayu keras

(hardwoods). Perbedaan utama kedua jenis kayu tersebut adalah struktur benih

dan anatomi batangnya. Namun bagian batang dari ke dua jenis kayu tersebut

memiliki pembagian yang sama yaitu bagian pinggir dan bagian tengah. Bagian

pinggir banyak terdapat sel-sel yang aktif mensintesis dan menyimpan bahan

metabolik sekunder. Sedangkan bagian tengah terdiri dari sel yang kurang aktif

Page 31: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

secara metabolik dan bertugas hanya sebagai tempat menyimpan ekstrak kayu

dalam jangka waktu yang panjang. Bagian tengah ini yang bertanggung jawab

terhadap daya tahan dan stabilitas kayu, menentukan kualitas kayu serta lebih

dihargai secara ekonomi. Sekitar dua pertiga kayu di dunia yang digunakan

sebagai bahan industri adalah jenis kayu lunak (Lange, 2008). Kayu merbau dan

bangkirai yang paling sering digunakan oleh Perusahaan X termasuk ke dalam

jenis kayu keras (hardwoods).

Merbau dan Bangkirai adalah nama sejenis pohon penghasil kayu keras

berkualitas tinggi. Kayu ini memiliki tekstur kayu yang kasar dan merata, dengan

arah serat yang kebanyakan lurus. Kayu yang telah diolah memiliki permukaan

yang licin dan mengkilap indah. Kayu ini memiliki penyusutan yang sangat

rendah, sehingga tidak mudah menimbulkan cacat apabila dikeringkan, memiliki

daya tahan terhadap jamur pelapuk kayu, rayap kayu kering dan penggerek laut

sehingga acap digunakan pula dalam pekerjaan konstruksi perairan. Kayu keras

jenis ini terutama dimanfaatkan dalam konstruksi berat seperti balok-balok, tiang

dan bantalan, di bangunan rumah maupun jembatan. Oleh karena kekuatan,

keawetan dan penampilannya yang menarik, sekarang kayu merbau dan bangkirai

juga dimanfaatkan secara luas untuk pembuatan kusen, pintu dan jendela, lantai

parket (parquet flooring), papan-papan dan panel, mebel, badan truk, ukiran dan

lain-lain.

Secara umum jenis kayu keras lebih berpotensi menimbulkan kelainan

ireversibel pada paru berupa fibrosis paru dibandingkan dengan kayu lunak.

Beberapa jenis kayu dapat menimbulkan reaksi inflamasi yang kemudian

berakibat pada pembentukan jaringan fibrosis. Mekanisme inflamasi yang

diinduksi oleh debu kayu ini coba dipelajari dengan media kultur sel. Kayu beech,

Page 32: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

oak, birch, teak, pine dan spruce mampu menginduksi reaksi inflamasi yang

berakibat cedera sel dan fibrosis. Kayu pine dan birch juga mampu menginduksi

pembentukan ROS oleh sel makrofag, yang selanjutnya berujung pada kematian

sel dan fibrosis. Berbeda dengan pine dan birch, kayu beech tidak menginduksi

peningkatan produksi ROS (Maatta dkk., 2006).

Secara umum industri pengolahan kayu mengolah kayu gelondongan

menjadi kayu bahan bangunan sampai mebel siap jadi. Terdapat beberapa bagian

pada setiap industri pengolahan kayu yang berimplikasi pada kadar debu kayu

yang berbeda yang dihasilkan oleh masing-masing bagian. Ada 6 bagian utama di

dalam produksi kayu di Perusahaan X, Badung yaitu:

1. Bagian I yaitu penggergajian kayu

Bahan baku kayu tersedia dalam bentuk kayu gelondong, sehingga masih

perlu mengalami penggergajian agar ukurannya menjadi lebih kecil seperti balok

dan papan. Pada umumnya, pembuatan balok dan papan dikerjakan dengan

menggunakan gergaji secara mekanis.

2. Bagian II yaitu pengelompokan dan penyimpanan bahan baku

Pada bagian ini dilakukan penyiapan bahan baku pertama, menyiapkan

papan dan balok kayu yang sudah digergaji dan dipotong menurut ukuran

komponen untuk diproses menjadi mebel.

3. Bagian III yaitu perakitan dan pembentukan

Komponen mebel yang sudah jadi, dipasang dan dihubungkan satu sama

lain sama lain hingga membentuk mebel sesuai pesanan. Pemasangan ini

dilakukan dengan menggunakan peralatan manual maupun mekanik serta lem

untuk merekatkan hubungan antar komponen.

Page 33: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

4. Bagian IV yang terdiri atas:

a. Bagian Log Yard, yaitu bagian penerimaan, penyimpanan dan

pendistribusian bahan baku mebel yang sudah dirakit tapi belum di

finishing.

b. Bagian Kill Dry, yaitu bagian pengeringan mebel dari kadar air kurang

lebih dari 60% menjadi kadar air < 14%.

5. Bagian V yaitu pengamplasan, yang terdiri dari:

a. Bagian pengamplasan kasar, yaitu bagian yang memperhalus mebel

dengan amplas yang kasar. Proses ini menghasilkan debu yang kasar.

b. Bagian pengamplasan halus, yaitu bagian yang melakukan penghalusan

mebel yang sudah dihaluskan dengan amplas kasar yang kemudian

dihaluskan dengan amplas halus. Bagian ini juga menghasilkan debu

halus.

6. Bagian VI yaitu Furniture Component

Pada bagian ini dilakukan proses pengecatan dan finishing dari komponen

furniture yang telah jadi.

Secara umum bagian II dan IV tidak menghasilkan kadar debu yang

berbahaya karena tidak menghasilkan limbah debu. Sedangkan bagian I, III, V

dan VI menghasilkan limbah berupa debu yang berasal dari proses penggergajian,

pemotongan, pengamplasan kasar dan halus, pengecatan dan finishing.

Page 34: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

2.2 Mekanisme Pajanan Debu Kayu dan Efeknya terhadap Paru

Paru merupakan salah satu organ sistem respirasi yang berfungsi sebagai

tempat penampungan udara, sekaligus merupakan tempat berlangsungnya

pengikatan oksigen oleh hemoglobin. Interaksi udara dengan paru berlangsung

setiap saat, oleh karena itu kualitas yang terinhalasi sangat berpengaruh terhadap

faal paru. Udara dalam keadaan tercemar, partikel polutan terinhalasi dan

sebagian akan masuk ke dalam paru. Selanjutnya, sebagian partikel akan

mengendap di alveoli. Adanya pengendapan partikel dalam alveoli, ada

kemungkinan fungsi paru akan mengalami penurunan. Adanya debu di alveolus

akan menyebabkan terjadinya statis partikel debu dan dapat menyebabkan

kerusakan dinding alveolus, selanjutnya merupakan salah satu faktor predisposisi

gangguan fungsi paru baik reversibel maupun ireversibel (Antarudin, 2000).

Partikel debu dapat masuk ke dalam tubuh melalui berbagai rute yaitu

Inhalasi adalah jalan yang paling signifikan dimana substansi yang berbahaya

masuk dalam tubuh melalui pernapasan dan dapat menyebabkan penyakit baik

akut maupun kronis. Absorpsi adalah pajanan debu masuk ke dalam tubuh melalui

absorpsi kulit di mana dapat menyebabkan perubahan ringan maupun kerusakan

serius pada kulit. Ingesti adalah jalan masuk yang melalui saluran pencernaan.

Faktor yang dapat berpengaruh pada inhasi bahan pencemar ke dalam paru

adalah faktor komponen fisik, faktor komponen kimiawi dan faktor penderita itu

sendiri. Aspek komponen fisik yang pertama adalah keadaan dari bahan yang

diinhalasi (gas, debu, uap). Ukuran dan bentuk akan berpengaruh dalam proses

penimbunan di paru, demikian pula kelarutan dan nilai higroskopinya. Komponen

kimia yang berpengaruh antara lain kecenderungan untuk bereaksi dengan

Page 35: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

jaringan di sekitar dan tingkat keasamannya (dapat merusak silia dan sistem

enzim). Faktor manusia sangat perlu diperhatikan terutama yang berkaitan dengan

sistem pertahanan paru, baik secara anatomis maupun fisiologis, lamanya pajanan

dan kerentanan individu (Kauppinen dkk., 2006).

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pengendapan

partikel debu di paru antara lain jenis debu, ukuran partikel debu, konsentrasi

partikel dan lama pajanan, pertahanan tubuh (Yunus, 2000).

a. Jenis debu.

Jenis debu terkait daya larut sifat kimianya. Adanya perbedaan daya larut dan

sifat kimiawi ini, maka kemampuan mengendapnya juga akan berbeda pula.

Demikian juga tingkat kerusakan yang ditimbulkannya juga akan berbeda

pula. Terdapat dua partikel debu menjadi dua yaitu debu organik dan

anorganik.

b. Ukuran Partikel

Tidak semua partikel dalam udara yang terinhalasi akan mencapai paru.

Partikel yang berukuran besar pada umumnya telah tersaring di hidung.

Partikel dengan diameter 0,5-6μm yang disebut partikel terhisap yang dapat

mencapai alveoli, mengendap disana dan menyebabkan terjadinya

pneumokoniosis.

c. Konsentrasi pertikel debu dan lama pajanan

Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin lama

pajanan berlangsung, jumlah partikel yang mengendap di paru juga semakin

banyak. Setiap inhalasi 500 partikel per millimeter kubik udara, maka setiap

alveoli paling sedikit menerima 1 partikel dan apabila konsentrasi mencapai

Page 36: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

1000 partikel per millimeter kubik, maka 10% dari jumlah tersebut akan

tertimbun di paru. Konsentrasi yang melebihi 5000 partikel per millimeter

kubik sering dihubungkan dengan terjadinya pneumokoniosis.

Pneumokoniosis akibat debu akan timbul setelah penderita mengalami kontak

lama dengan debu. Jarang ditemui kelainan bila pajanan kurang dari 10 tahun.

Dengan demikian lama pajanan mempunyai pengaruh besar terhadap kejadian

gangguan fungsi paru.

d. Pertahanan tubuh terhadap paparan partikel debu yang terinhalasi

Beberapa orang yang mengalami pajanan debu yang sama baik jenis maupun

ukuran partikel, konsentrasi maupun lamanya pajanan berlangsung, tidak

selalu menunjukkan akibat yang sama. Sebagian ada yang mengalami

gangguan paru berat, namun ada yang ringan bahkan mungkin ada yang tidak

mengalami gangguan sama sekali. Hal ini diperkirakan berhubungan dengan

perbedaan kemampuan sistem pertahanan tubuh terhadap pajanan partikel

debu terinhalasi. Sistem pertahanan paru dan saluran nafas melalui beberapa

cara yaitu:

a. Secara mekanik yaitu pertahanan yang dilakukan dengan menyaring

partikel yang ikut terinhalasi bersama udara dan masuk saluran pernafasan.

Penyaringan berlangsung di hidung, nasofaring dan saluran nafas bagian

bawah yaitu bronkus dan bronkiolus. Di hidung penyaringan dilakukan

oleh bulu-bulu silia yang terdapat di lubang hidung, sedangkan di bronkus

dilakukan reseptor yang terdapat pada otot polos dapat berkonstraksi

apabila ada iritasi. Apabila rangsangan yang terjadi berlebihan, maka

tubuh akan memberikan reaksi berupa bersin atau batuk yang dapat

Page 37: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

mengeluarkan benda asing termasuk partikel debu dari saluran nafas

bagian atas maupun bronkus.

b. Secara kimia yaitu cairan dan silia dalam saluran nafas secara fisik dapat

memindahkan partikel yang melekat di saluran nafas, dengan gerakan silia

yang mucociliary escalator ke laring. Cairan tersebut bersifat detoksikasi

dan bakterisid. Pada paru bagian perifer terjadi ekskresi cairan secara terus

menerus dan perlahan-lahan dari bronkus ke alveoli melalui limfatik.

Selanjutnya makrofag alveolar menfagosit partikel yang ada di permukaan

alveoli.

c. Secara imunitas yaitu melalui proses biokimiawi yaitu humoral dan

seluler. Ketiga sistem tersebut saling berkait dan berkoordinasi dengan

baik sehingga partikel yang terinhalasi disaring berdasarkan pengendapan

kemudian terjadi mekanisme perpindahan partikel.

Mekanisme pengendapan partikel debu di paru berlangsung dengan cara

(Yulaekah, 2007):

a. Gravitation yaitu sedimentasi partikel yang masuk saluran napas karena gaya

gravitasi.

b. Impaction yaitu terbentur dan jatuhnya partikel di percabangan bronkus dan

brokiolus.

c. Brown difusion yaitu mengendapnya partikel dengan diameter lebih besar dari

dua micron yang disebabkan oleh terjadinya gerakan keliling (gerakan Brown)

dari partikel oleh energi kinetik.

d. Elektrostatic yaitu pengendapan akibat mukus, yang merupakan konduktor

yang baik secara elektrostatik.

Page 38: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

e. Interception yaitu pengendapan yang berhubungan dengan sifat fisik partikel

berupa ukuran panjang/besar partikel hal ini penting untuk mengetahui di mana

terjadi pengendapan.

Begitu masuk ke dalam saluran nafas, partikel debu kayu awalnya akan

dibawa oleh sistem tranport mukosilier hidung ke bagian posterior kemudian ke

nasofaring. Kecepatan rata-rata transport ini 5 mm/menit sehingga total waktu

yang dibutuhkan sekitar 20 menit. Partikel debu kayu yang berada di bagian

anterior hidung relatif mudah dikeluarkan dengan mekanisme bersin, usap atau

tiup. Partikel yang sangat kecil (<0,1 mikron) dan larut akan mudah diabsorpsi,

dimetabolisme oleh epitel saluran nafas atau ditranslokasi ke dalam pembuluh

darah.

Pada daerah trakeobronkial, debu kayu akan dikeluarkan oleh mekanisme

mukosilier ke arah faring lalu ditelan ke saluran cerna. Kecepatan pengeluaran ini

semakin ke distal semakin lambat. Kecepatan transport rata-rata di trakea 4,3-5,7

mm/menit sedangkan di brokus 0,2-1,3 mm/menit. Selanjutnya, partikel debu

yang masuk ke dalam alveoli akan difagositosis oleh makrofag baru maksimal 24

jam setelah terdeposisi. Makrofag yang telah dipenuhi partikel debu akan

bermigrasi ke bagian distal lapisan mukus untuk dikeluarkan oleh sistem

mukosilier atau bertranslokasi ke dalam saluran limfe dan darah untuk

bersirkulasi. Bila jumlah partikel debu kayu begitu banyak terdeposisi, maka

makrofag mengalami overload, terjadi akumulasi partikel debu kayu pada bagian

interstisial dan tercetuslah proses inflamasi (Lange, 2008). Pembentukan dan

destruksi makrofag yang terus-menerus berperan penting pada pembentukan

jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan tersebut. Fibrosis

terjadi pada parenkim paru, yaitu pada dinding alveoli dan jaringan ikat

Page 39: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

interstisial. Akibat fibrosis paru akan terjadi penurunan elastisitas jaringan paru

(pengerasan jaringan paru) dan menimbulkan gangguan pengembangan paru. Bila

pengerasan alveoli mencapai 10% akan terjadi penurunan elastisitas paru

menyebabkan kapasitas vital paru akan menurun dan dapat mengakibatkan

berkurangnya suplai oksigen ke dalam jaringan otak, jantung dan bagian-bagian

tubuh lainnya (Michaels, 1967; Jacobsen dkk., 2010b).

Gambar 2.1. Jalur masuknya debu kayu sampai ke dalam paru (Lange, 2008)

2.3. Interferon Gama

2.3.1 Peran Interferon Gama dalam Fungsi Paru

Respon imun terhadap patogen atau benda asing yang masuk ke dalam

paru dibagi menjadi imunitas alamiah dan imunitas didapat. Imunitas alamiah

tidak spesifik dan bereaksi cepat terhadap benda asing yang meliputi fagositosis

makrofag alveoler dan stimulasi produksi sitokin proinflamasi. Sitokin dan

kemokin yang dihasilkan menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan

Page 40: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

permeabilitas pembuluh darah, peningkatan aliran darah, panas, pembengkakan

jaringan, ekspresi dari molekul adhesi dan perekrutan neutrofil pada tempat yang

mengalami inflamasi. Benda asing yang tidak mampu diatasi oleh imunitas

alamiah akan mencetuskan timbulnya imunitas didapat. Sel dendritik, neutrofil

dan makrofag yang mampu memfagositois benda asing dan kemudian

mempresentasikan antigennya kepada sel T yang bersirkulasi disebut dengan

Antigen Presenting Cells (APC). Proses ini yang pertama kali muncul pada proses

terbentuknya imunitas didapat. Presentasi antigen oleh APC akan mengaktivasi

sel T menjadi sel T efektor selanjutnya juga sel B menjadi sel plasma yang

menghasilkan antibodi. Imunitas didapat jauh lebih spesifik, memiliki memori dan

lebih kuat. Sel T efektor ada dalam dua bentuk yaitu sel T CD4 dan sel T CD8, di

mana sel T CD4 dikelompokan lagi menjadi sel Th1 dan sel Th2. Aktivitas sel T

efektor diperantari oleh sitokin yang diproduksinya. Sitokin adalah protein dengan

berat molekul kecil 8-40 kDa yang meregulasi respon penjamu terhadap infeksi,

inflamasi, trauma dan benda asing. Sitokin yang utama dalam respon imun antara

lain IL-1, IL-6 dan TNF-α yang dihasilkan makrofag, IFN-γ yang dihasilkan Th1

dan TGF-β yang dihasilkan Th2. Sel Th1 memproduksi sitokin IFN-γ, membantu

makrofag dalam menghancurkan benda asing sedangkan sel Th2 memproduksi

IL-4, IL-5 dan TGF-β yang membantu sel plasma dalam memproduksi antibodi.

Dalam hal pembentukan jaringan fibrosis pada paru, IFN-γ memiliki peran

sentral. Jaringan fibrosis diakibatkan oleh aktivitas proliferasi fibroblast dan

pembentukan kolagen serta matriks jaringan ikat. Sitokin Th1 IFN-γ bersifat

menghambat pembentukan kolagen sedangkan sitokin Th2 bersifat merangsang

pembentukan kolagen dan jaringan fibrosis (Maatta dkk., 2006).

Page 41: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Pada tahun 1957, Isaacs dan Lindenmann menemukan suatu zat yang

dapat melindungi suatu sel dari infeksi virus yang kemudian mereka namakan

Interferon (IFN). IFN merupakan suatu protein yang disekresikan oleh sel akibat

dari berbagai macam stimuli. IFN adalah sitokin pertama yang ditemukan dan

diteliti lebih dalam sehingga kita bisa mengetahui fungsi, jalur produksi, struktur

dan evolusi dari sitokin kelas II lainnya. Pada umumnya terdapat dua jenis IFN

yaitu tipe I dan tipe II serta sitokin mirip IFN. IFN tipe I terdiri dari tujuh kelas

yaitu IFN-α, IFN-β, IFN-e, IFN-k, IFN-o, IFN-d dan IFN-t. Sedangkan IFN tipe II

hanya terdiri dari satu kelas yaitu IFN-γ. IFN-α, IFN-β, IFN-e, IFN-k, IFN-o, IL-

28A, IL-28B dan IL-29 ditemukan pada manusia sedangkan IFN-d, IFN-t dan

limitin tidak (Petska dkk., 2004; Schroder dkk., 2004; Platanias, 2005).

Interferon gama adalah sitokin pro-inflamasi yang disekresikan oleh sel

Th1 CD-4 yang berfungsi meningkatkan aktivitas makrofag dalam mengeradikasi

antigen/benda asing. IFN-γ bekerja dengan mengaktifkan dan memperkuat efek

RNI dan NOS-2 (Boehm dkk., 1997). Beberapa studi genetik menunjukkan bahwa

adanya defek genetik gen penyandi IFN-γ atau reseptornya berakibat

meningkatnya kerentanan individu tersebut terhadap infeksi bakteri. Suatu studi

yang menggunakan terapi antibodi monoklonal anti-interferon gama pada

sekelompok mencit menunjukkan hasil infeksi TB berat pada kelompok mencit

tersebut (Reljic, 2007).

Ada beberapa mekanisme bagaimana IFN-γ dapat meningkatkan fungsi

makrofag. Pertama, IFN-γ dapat berikatan dengan Myeloid differentiation factor

88 (MyD88) kemudian mengaktivasi IFN-γ regulatory factor-1 (IRF-1) yang

selanjutnya meningkatkan pinositosis, fagositosis dan penghancuran partikel

Page 42: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

benda asing. Kedua, IRF-1 mampu meningkatkan ekspresi iNOS dan enzim

NADPH yang diperlukan dalam fagositosis oksidasi. Ketiga, IRF-1 bisa

mengaktivasi TNF-α via faktor nukleus kappa beta. Sinergi antara sitokin TNF-α

dan IFN-γ sangat diperlukan dalam aktivasi makrofag. Terakhir, IFN-γ mampu

menginduksi ekspresi dari IL-12 oleh makrofag dan monosit sehingga

menimbulkan umpan balik positif ke arah respon Th1. Dalam kenyataannya

mekanisme IFN-γ dalam meningkatkan aktivitas makrofag memerlukan

kombinasi beberapa mekanisme di atas secara simultan (Reljic, 2007)

Gambar 2.2. Mekanisme kerja IFN-γ di dalam sel (Medestou, 2010)

Page 43: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

2.3.2 Efek Pajanan Debu Kayu terhadap Kadar Interferon Gama

Pajanan debu kayu secara terus menerus menyebabkan cedera epitel

alveoli yang kontinyu, aktivasi fibroblast dengan penumpukan matriks protein

yang berlebihan, serta terbentuknya jaringan parut dan fibrosis (Brody dkk.,

1993). Patogenesis dari fibrosis paru belum diketahui secara pasti, tetapi faktor

lingkungan seperti debu kayu telah dibuktikan pengaruhnya terhadap timbulnya

fibrosis paru pada suatu studi meta-analisis dengan risiko relatif 1,9 kali (Taskar

& Coultas, 2006). Inhalasi debu kayu dalam jangka waktu tertentu dan berulang-

ulang akan menyebabkan cedera sel epitel alveoli. Cedera sel ini akan

mengaktivasi reaksi inflamasi, respon abnormal perbaikan jaringan yang rusak

dan remodeling jaringan interstisial alveoli. Respon inflamasi alamiah meliputi

aktivasi sitokin pro-inflamasi dan aktivasi sel limfosit T. Aktivasi limfosit T akan

berakibat diferensiasi ke arah Th1 dengan produksi sitokin IFN-γ dan ke arah Th2

dengan produksi sitokin TGF-β (King dkk., 2000; Sharma dkk., 2003).

Pada prinsipnya terdapat ketidakseimbangan antara sitokin Th1 interferon

gama dan sitokin Th2 pada patogenesis terjadinya fibrosis paru. Fibrosis paru

diakibatkan oleh produksi kolagen oleh sel fibroblas yang teraktivasi. Proses

fibrosis ini dirangsang oleh sitokin Th2 akan tetapi ditekan oleh sitokin IFN-γ.

Respon imunologi yang terjadi pada fibrosis paru lebih cenderung kepada sitokin

Th2 seperti IL-4 dan IL-13, eosinofil dan sel mast. Studi pada tikus menunjukkan

fibrosis paru terjadi bila sitokin Th1 menurun (Meyer, 2003; Taskar & Coultas,

2006). Pajanan debu kayu akan menyebabkan penurunan kadar IFN-γ sehingga

mempermudah terjadinya fibrosis paru. Peran inflamasi dominan pada fase awal

Page 44: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

fibrosis dan dikatakan kurang begitu penting dalam terjadinya fibrosis paru.

Ketika terjadi cedera epitel, mikrovaskuler akan rusak sehingga komposisi plasma

seperti fibronektin dan komponen koagulasi lain akan berusaha untuk

menyediakan matriks ekstraseluler demi keberlangsungan perbaikan jaringan.

Tetapi adanya ketidakseimbangan antara proses koagulasi dan fibrinolisis akan

menghambat reepitelisasi luka dan perbaikan arsitektur paru. Hal ini dibuktikan

dengan studi binatang yang menunjukkan adanya gangguan fibrinolisis pada

gangguan penyembuhan cedera (Fernandez, 2006; Barnes, 2008).

Berdasarkan atas pentingnya peran fibroblas atau miofibroblas dalam

deposisi matriks yang berlebihan, gangguan arsitektur paru dan gangguan

pertukaran gas, maka diperlukan agen seperti IFN-γ yang dapat memodulasi

fungsi fibroblas dan menghambat deposisi matriks tersebut. Sehingga

progresivitas penyakit fibrosis paru nantinya dapat dihambat. IFN-γ adalah

interferon tipe 2 dan sitokin Th1 yang memiliki efek menghambat produksi

growth factor profibrotic, ekspresi gen kolagen. Sitokin ini memegang peranan

yang penting juga dalam pembentukan granuloma dan telah disetujui untuk terapi

osteopetrosis dan penyakit granuloma kronik (Zhou dkk., 1999; Fruchter, 2004;

Nathan dkk., 2004)

Page 45: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Gambar 2.3. Keseimbangan Th1 dan Th2 dalam patogenesis terjadinya fibrosis paru (Wynn, 2004)

2.3.3 Peran Interferon Gama dalam Fibrosis Paru

Saat ini banyak perhatian ditujukan pada penggunaan IFN-γ sebagai terapi

penyakit fibrosis paru. Dasar pemikirannya adalah properti IFN-γ dalam

menghambat proliferasi fibroblast, sintesis dan deposisi kolagen serta ekspresi

dari sitokin pro-fibrotik. Secara histologis penyakit fibrosis paru ditandai oleh

spektrum dari paru yang normal sampai honey-combing tahap lanjut. Gambaran

ini sesuai dengan hipotesis proses cedera berulang yang berakhir dengan fibrosis.

Proliferasi fibroblas yang terjadi diakibatkan oleh ketidakseimbangan antara

sitokin Th1 dan Th2 (Nathan dkk., 2004). IFN-γ adalah sitokin utama yang

diproduksi oleh sel T dan sel NK yang memiliki efek antiviral, anti proliferasi,

imunomodulasi dan antifibrotik. Selama bertahun-tahun IFN-γ telah lama dikenal

sebagai sitokin proinflamasi, kadang dikaitkan dengan patogenesis inflamasi dan

Page 46: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

autoimun. Tetapi saat ini telah banyak bukti yang mendukung efek anti-inflamasi

IFN-γ melalui rangsangannya terhadap Interleukin 1 receptor antagonist (IL-1Ra)

atau IL-18 binding protein (IL-18BP). IFN-γ berefek langsung terhadap sintesis

kolagen, menghambat kolagenase dan menghambat TGF-β. IFN-γ juga memiliki

peran perbaikan jaringan dan remodeling. Terjadinya fibrosis paru tidak selalu

melalui inflamasi, sehingga terapi dengan anti inflamasi seringkali tidak

memberikan respon yang baik (Borg & Isenberg, 2007; Bouros & Tzouvelekis,

2009).

Terapi dengan IFN-γ ditoleransi dengan baik. Efek samping yang mungkin

muncul antara lain flu-like syndrome, mialgia, demam, penurunan berat badan,

peningkatan SGPT dan nyeri di tempat suntikan (Dauber dkk., 2004; O’Connor,

2004). Studi uji klinik terandomisasi yang melibatkan 18 pasien dengan fibrosis

paru menunjukkan adanya perbaikan parameter fisiologis yang lebih baik pada

pasien yang mendapatkan IFN-γ1b dan prednisolon dibandingkan dengan

prednisolon dan plasebo. Studi lain dengan jumlah sampel yang lebih besar

ternyata gagal menunjukkan efek yang lebih baik dari terapi IFN-γ1b. Justru,

terdapat efek yang berpotensi merugikan. Memang masih terdapat kontroversi

mengenai efektivitas penggunaan IFN-γ sebagai terapi fibrosis paru. Suatu meta-

analisis membuktikan bahwa terapi fibrosis paru dengan IFN-γ1b menurunkan

angka kematian (Bajwa dkk., 2005). Penyakit fibrosis paru merupakan penyakit

paru interstitial yang memiliki angka kematian yang tinggi. Separuh jumlah

pasien akan meninggal dalam 4-5 tahun dan hanya sekitar 20% yang bertahan

setelah 10 tahun. Terapi fibrosis paru selama ini dengan kortikosteroid dan

imunosupresan tidak banyak membawa perubahan dalam hal progresivitas

Page 47: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

penyakit. IFN-γ memiliki efek yang modulasi respon inflamasi dan anti fibrotik.

Efek hambatan IFN-γ bersifat tergantung dosis dan tidak hanya pada sintesis

kolagen tetapi juga sitokin fibrogenik TGF-β (Cayon dkk., 2010).

Untuk dapat aktif, IFN-γ harus mencapai sel target, berikatan dengan

reseptor spesifik dan mengaktivasi jalur sinyal transduksi untuk menimbulkan

respon seluler. IFN-γ merupakan protein yang sangat pleiotrofik sehingga dosis,

cara, jalur dan waktu pemberiannya harus didesain dengan cermat untuk

menghindari efek samping bahkan toksisitas (Reljic, 2007). Sejumlah studi pada

binatang jelas menunjukkan efek positif dari pemberian IFN-γ pada fibrosis paru.

Mekanisme fibrosis paru yang diinduksi oleh partikel debu disebabkan oleh

interaksi makrofag dengan fibroblas. Studi binatang menunjukkan bahwa

makrofag memproduksi platelet-derived growth factor (PDGF) yang merangsang

proliferasi dan kemotaksis fibroblast. IFN-γ yang dihasilkan oleh sel T

menghambat PDGF ini (Brody dkk., 1993; Segel dkk., 2003).

Efek debu kayu yang lama dan berulang berpotensi menimbulkan

kerusakan paru yang reversibel maupun ireversibel seperti fibrosis paru. Peran

IFN-γ sebagai terapi dengan meningkatkan kadarnya didalam serum mungkin

dapat menurunkan proses inflamasi dan fibrosis yang diperantarai oleh sitokin

Th2. Sehingga efek buruk dari debu kayu dapat dicegah (Nathan dkk., 2004).

Page 48: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN

HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Proses perbaikan cedera yang normal akan mengembalikan histologi dan

fungsi jaringan kembali normal. Akan tetapi, pajanan debu kayu pada individu

yang suseptibel akan berpotensi menimbulkan keadaan abnormal seperti

gangguan obstruksi dan fibrosis paru. Pajanan debu kayu dalam jangka waktu

tertentu dan berulang-ulang akan menyebabkan cedera sel epitel alveoli.

Cedera sel epitel alveoli akan mengaktivasi reaksi inflamasi sehingga

mengakibatkan limfosit T yang tidak aktif menjadi limfosit T aktif dan

berdiferensiasi. Proses aktivasi dan diferensiasi limfosit T bisa ke arah Th1 (IFN-

γ) dan ke arah Th2. Aktivitas Th1 mampu menekan aktivitas Th2 begitu juga

sebaliknya.

Pajanan debu kayu berakibat pada ketidakseimbangan antara respon

inflamasi Th1 dan Th2 dimana produksi sitokin Th1 (IFN-γ) akan menurun dan

aktivitas sitokin Th2 akan meningkat. Prinsip ketidakseimbangan antara sitokin

Th1 IFN-γ dan sitokin Th2 ini pula yang mendasari patogenesis terjadinya fibrosis

paru. Pajanan debu kayu memiliki hubungan negatif dengan kadar IFN-γ serum

sehingga mempermudah terjadinya fibrosis paru seperti yang terlihat pada

Gambar 3.1.

Page 49: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Gambar 3.1. Kerangka berpikir penelitian

3.2 Konsep Penelitian

Gambar 3.2. Konsep penelitian

Page 50: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

3.3 Hipotesis Penelitian

Terdapat hubungan negatif antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum

pada pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali.

Page 51: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan studi observasional dengan rancangan potong

lintang analitik.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Perusahaan X, Badung, Bali pada bulan Mei -

Oktober 2013.

4.3 Subjek dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi target penelitian adalah semua pekerja industri pengolahan kayu.

Populasi terjangkau penelitian adalah semua pekerja industri pengolahan kayu

Perusahaan X, Badung, Bali selama periode penelitian dilakukan.

4.3.2 Kriteria Subjek

Subjek tersebut harus memenuhi kriteria pemilihan sebagai berikut:

4.3.2.1 Kriteria inklusi:

a. Pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali.

b. Usia 18-60 tahun.

c. Telah bekerja di Perusahaan X, Badung, Bali selama minimal 10 tahun.

d. Setuju mengikuti penelitian setelah menandatangani informed consent.

4.3.2.2 Kriteria eksklusi:

a. Pekerja dengan riwayat penyakit tuberkulosis, kencing manis atau

keganasan. Riwayat penyakit ini didapatkan secara subjektif hanya

Page 52: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

dengan melakukan wawancara terhadap pekerja Perusahaan X, Badung,

Bali.

b. Pekerja yang bekerja di bagian VI (pengecatan dan finishing) saat

dilakukan pengambilan sampel

4.3.3 Besaran Sampel

Perkiraan jumlah sampel yang digunakan dengan menggunakan rumus

untuk koefisien korelasi berikut (Sopiyudin, 2010):

Rumus 3)1/()1(ln5.0

2

rr

ZZn (1)

n = jumlah sampel minimal

Zα = kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5% (1.64)

Zβ = kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 10% (1,28)

r = korelasi minimal yang dianggap bermakna (0,4)

Dengan demikian didapatkan besar sampel adalah :

n = 50,51 ~ 51

n = 51 + (10% x 51) = 56,1 ~ 60

Dengan demikian besar sampel adalah 60 orang. Teknik pengambilan sampel

yang digunakan pada penelitian ini adalah cluster purposif random sampling.

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Identifikasi Variabel

Variabel penelitian yang diukur adalah pajanan debu kayu dan IFN-γ

serum.

4.4.2 Klasifikasi Variabel

1. Variabel bebas : pajanan debu kayu

Page 53: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

2. Variabel tergantung : IFN-γ serum

3. Variabel perancu : umur, status gizi, kebiasaan merokok dan

penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)

4.4.3 Definisi Operasional Variabel

Adapun definisi operasional penelitian adalah sebagai berikut:

1. Pajanan debu kayu adalah dosis kumulatif debu kayu yang dihirup oleh

pekerja Perusahaan X, Badung yang merupakan hasil perkalian antara

kadar debu terhirup (respirable dust) rata-rata dan masa kerja masing-

masing pekerja. Kadar debu terhirup diukur dengan alat Personal Dust

Sampler merk SKC Model 224-PCXR-8 yang diletakan setinggi hidung

pekerja di 5 titik di sekitar lingkungan pekerja Perusahaan X, Badung.

Satuannya mg/m3. Sedangkan masa kerja ditentukan dengan wawancara

dan melihat data pekerja bersangkutan yang tersimpan dalam arsip

Perusahaan X dan dihitung dengan mengalikan 285 hari kerja dalam

setahun dan berapa tahun pekerja tersebut telah bekerja pada satu bagian.

Satuan dosis kumulatif pajanan debu kayu adalah mg/m3/th (Bohadana

dkk., 2000; Yulaekah, 2007).

2. Interferon-γ serum adalah sitokin utama dari Th1 yang kadarnya di dalam

serum/darah pekerja Perusahaan X, Badung, Bali dapat diukur

menggunakan metode ELISA dengan hIFN-γ ELISA high sensitivity. IFN-

γ memiliki nilai normal 0,145-168 pg/ml, rata-rata 10,4 pg/ml dan standar

deviasi ± 40 pg/ml. Kadar IFN-γ dikatakan rendah bila nilainya di bawah

rerata normal. Satuannya adalah pg/ml (Bender MedSystems).

3. Perusahaan X adalah sebuah perusahaan dengan 150 karyawan yang

bergerak dalam bidang industri pengolahan kayu (mengolah kayu

Page 54: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

gelondongan menjadi kayu bahan bangunan dan mebel jadi), yang terletak

di Desa Lukluk, Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung, Bali.

4. Usia adalah usia pekerja Perusahaan X, Badung pada saat sampel

penelitian diambil. Umur pekerja ditentukan dengan wawancara dan

melihat bukti identitas pekerja yang masih berlaku. Satuannya adalah

tahun.

5. Status gizi adalah keadaan status nutrisi pekerja Perusahaan X, Badung

yang ditentukan berdasarkan indeks massa tubuhnya. Indeks massa tubuh

(IMT) adalah hasil perhitungan berat badan dalam kg dibagi kuadrat dari

tinggi badan dalam meter. Satuannya adalah kg/m2. Status gizi

dikelompokkan menjadi 3 yaitu normal bila IMT 18,5-22,9 kg/m2, kurang

(malnutrisi) bila IMT < 18,5 kg/m2, berat badan berlebih bila IMT > 23

kg/m2 (WHO, 2004).

6. Kebiasaan merokok adalah aktivitas yang dilakukan pekerja Perusahaan X,

Badung dalam menghirup asap rokok dengan menggunakan pipa atau

rokok. Aktivitas merokok dalam penelitian ini tidak membedakan bahan

pembungkus rokok, bahan baku, isi rokok, proses pembuatan rokok dan

penggunaan filter dalam rokok. Kebiasaan merokok dinyatakan dalam

packyears yaitu jumlah bungkus rokok yang dihisap dalam satu hari (1

bungkus = 20 batang) dikalikan lamanya merokok dalam tahun (Haris

dkk., 2012)

7. Penggunaan APD adalah kebiasaan pekerja Perusahaan X, Badung dalam

menggunakan masker penutup hidung dan mulut sebagai pelindung diri

dari debu kayu sewaktu yang bersangkutan bekerja dalam satu tahun

terakhir. Masker yang dimaksud adalah masker yang dibuat oleh

perusahaan X sendiri dan terbuat dari kain. Penggunaan APD akan

dikelompokkan menjadi empat derajat secara semikuantitatif yaitu tidak

Page 55: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

pernah, jarang, sering dan selalu. Pengelompokan dilakukan dengan dasar

wawancara. Tidak pernah bila pekerja mengaku tidak pernah

menggunakan masker selama bekerja. Jarang bila pekerja menggunakan

masker terus menerus selama bekerja < 3 hari kerja seminggu. Sering bila

pekerja menggunakan masker terus menerus > 3 hari kerja seminggu.

Selalu bila pekerja selalu menggunakan masker selama bekerja setiap hari.

4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian

Bahan dan Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Kuesioner khusus untuk mengetahui identitas, karakteristik pekerja, dan

pemeriksaan fisik secara objektif.

2. Pengukuran kadar debu terhirup dengan alat Personal Dust Sampler merk

SKC Model 224-PCXR-8

3. Timbangan berat badan

4. Alat ukur sentimeter untuk mengukur tinggi badan

5. Set human IFN-γ ELISA untuk mengukur kadar IFNγ serum

Bahan yang digunakan adalah darah penderita sebanyak 5cc untuk

pemeriksaan IFN-γ serum. Pemeriksaan IFN-γ serum dilakukan di Laboratorium

Prodia Denpasar.

4.6 Prosedur Penelitian

1. Permohonan ethical clearance approval kepada Komisi Etik Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana/RS Sanglah Denpasar.

2. Permohohan ijin kepada UPT. Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja,

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Bali yang ditembuskan

kepada Direktur Perusahaan X, Badung sebagai tempat dilaksanakannya

penelitian.

Page 56: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

3. Permohonan peminjaman alat Personal Dust Sampler kepada UPT. Balai

Hiperkes dan Keselamatan Kerja, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Provinsi Bali.

4. Semua pekerja di Perusahaan X, Badung, Bali yang memenuhi kritera

inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi dimasukkan sebagai subjek

penelitian.

5. Pemilihan sampel dilakukan dengan teknik Cluster Purposif Random

Sampling. Awalnya, populasi terjangkau dibagi menjadi 4 kelompok

(penggergajian, perakitan, pengamplasan, dan administrasi), selanjutnya

pemilihan sampel dilakukan secara random dan jumlahnya sama rata 15

orang di masing-masing bagian.

6. Sampel tersebut diberikan penjelasan lengkap mengenai prosedur dan

tujuan penelitian ini dan diminta kesediaannya untuk bekerja sama dengan

menandatangani informed consent.

7. Sampel kemudian menjalani wawancara dan mengisi kuesioner yang telah

disiapkan tentang karakteristik responden dan data objektif yang berkaitan

dengan penelitian serta pemeriksaan fisik.

8. Pengukuran kadar debu terhirup di Perusahaan X, Badung dengan

menggunakan alat Personal Dust Sampler merk SKC Model 224-PCXR-8.

Pengambilan sampel debu dilakukan di lima titik sekitar lingkungan

pekerja di masing-masing bagian. Pengukuran debu dilakukan selama jam

kerja (1 jam terus menerus) dan diletakan setinggi hidung rata-rata pekerja.

Cara pengukuran dengan Personal Dust Sampler:

a. Alat dikalibrasi dengan kecepatan hisapan 1 – 1,9 l/menit.

b. Pasang filter pada filter holder dengan bagian kasar diletakkan di

sebelah depan/atas.

c. Alat pekerja diletakkan/pasang dengan posisi setinggi hidung.

Page 57: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

d. Pengambilan sampel dilakukan sesuai waktu yang diinginkan.

e. Setelah selesai melakukan sampling, filter diambil menggunakan

pinset dan dimasukkan ke dalam filter

Analisis:

a. Filter hasil pengukuran dimasukkan, baik sampel uji maupun blangko

ke dalam desikator selama 24 jam.

b. Filter ditimbang menggunakan timbangan analitik sampai diperoleh

bobot tetap.

c. Hasil penimbangan filter dihitung dengan rumus sebagai berikut:

(B-A) + (B’-A’) Kadar debu (mg/m3) = -------------------------------------- (2) (m3) volume udara sampling

A = berat filter uji sebelum sampling

B = berat filter uji sesudah sampling

A’ = berat filter blangko sebelum sampling

B’ = berat filter blangko sesudah sampling

Volume udara sampel (m3): Laju alir udara X waktu sampling

9. Pengambilan sampel darah dan pengukuran kadar IFN-γ serum pekerja di

bagian I, III, V dan administrasi dilakukan oleh peneliti bekerjasama dengan

Tim Prodia Denpasar sesuai dengan teknik dan prosedur yang biasa dilakukan.

10. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan metode statistik yang sesuai.

Page 58: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Gambar 4.1 Alur penelitian

4.7 Analisis Data

Langkah langkah pengolahan data terhadap data yang telah terkumpul

adalah sebagai berikut:

4.7.1 Editing

Tahapan ini meneliti kembali kelengkapan pengisian, kejelasan tulisan

jawaban, kesesuaian, keajegan dan keseragaman satu sama lainnya.

4.7.2 Koding

Pada langkah ini peneliti mengklasifikasikan jawaban menurut macamnya

dengan cara memberikan tanda pada masing-masing jawaban dengan kode

tertentu.

Semua pekerja di Perusahaan X, Badung

Kriteria Inklusi

Analisis Data

Hasil penelitian

Kriteria Eksklusi

Wawancara, mengisi kuesioner dan pemeriksaan fisik

Pengukuran kadar IFN gamma serum pekerja di bagian I, III, V dan administrasi

Pengukuran debu terhirup di bagian I, III, V dan administrasi

Page 59: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

4.7.3 Entry

Dengan memberikan skor pada pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut

variabel bebas dan terikat.

4.7.4 Tabulasi

Melakukan pengelompokan data sesuai dengan tujuan penelitian yang

kemudian dimasukkan ke dalam tabel. Setiap pernyataan diberikan nilai yang

hasilnya dijumlahkan dan diberikan kategori sesuai dengan jumlah pernyataan

dalam kuesioner.

Selanjutnya analisis data dilakukan sesuai dengan tujuan dan skala

variabel yang diteliti. Analisis statistik dengan menggunakan komputer program

SPSS meliputi:

a. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif penelitian ini meliputi penyajian hasil secara

deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi, mean, standar

deviasi, nilai maksimum dan nilai minimum.

b. Uji Normalitas Data

Uji normalitas data dilakukan terhadap semua data dengan skala

interval dan rasio dengan uji statistik Kolmogorov-Smirnov. Bila hasil yang

didapatkan tidak signifikan, nilai p > 0,05, maka data dikatakan berdistribusi

normal.

c. Analisis Bivariat

Tujuan analisis bivariat dalam penelitian ini adalah mengetahui adanya

hubungan negatif antara pajanan debu kayu dan kadar IFN-γ serum pada

pekerja Perusahaan X, Badung, Bali. Untuk mencari kemaknaan variabel

Page 60: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

bebas dan terikat dilakukan analisis korelasi Pearson (bila x dan y normal)

atau Spearman (bila x dan y tidak normal) dengan tingkat kemaknaan α <0,05

yang menyatakan ada hubungan dan α ≥ 0,05 yang menyatakan tidak ada

hubungan.

Untuk mengetahui adanya perbedaan rerata pajanan debu kayu dan

rerata kadar IFN-γ serum antar kelompok (lebih dari dua kelompok), maka

dilakukan uji one-way Anova dengan tingkat kemaknaan α <0,05 yang

menyatakan ada perbedaan dan α ≥ 0,05 yang menyatakan tidak ada

perbedaan.

d. Analisis Multivariat

Untuk mengendalikan variabel perancu (umur, status gizi, kebiasaan

merokok dan penggunaan APD) terhadap hubungan pajanan debu kayu

dengan IFN-γ serum pekerja Perusahaan X, Badung, dilakukan dengan cara

analisis korelasi berganda.

Page 61: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

BAB V

HASIL PENELITIAN

Variabel yang diperiksa pada penelitian ini adalah pajanan debu kayu,

IFN-γ serum, usia, status nutrisi, kebiasaan merokok dan penggunaan Alat

Pelindung Diri (APD). Sebelum melakukan analisis data maka dilakukan uji

Kolmogorov - Smirnov (KS) untuk mengetahui distribusi data, apakah data

mempunyai distribusi normal atau tidak normal. Variabel penelitian yang

berdistribusi normal akan disajikan dalam bentuk nilai rata - rata {mean ±

simpang baku (SB)}, dan bila variabel tidak berdistribusi normal maka akan

disajikan dalam nilai median, nilai minimal dan nilai maksimal. Variabel

penelitian yang mempunyai distribusi normal akan dilakukan uji statistik

parametrik dan data yang tidak mempunyai distribusi normal akan dilakukan uji

statistik non parametrik.

5.1 Karakteristik subjek penelitian

Penelitian ini mengikutsertakan 60 subjek penelitian, yang terdiri dari 32

orang laki-laki (53,3%) dan 28 orang perempuan (46,7%). Subjek penelitian

mempunyai rentang usia 30-56 tahun, lama bekerja 10-28 tahun, berat badan 43-

83 kg, tinggi badan 1,48-1,83 meter, status nutrisi (IMT 17,1-28,8 kg/m2), pajanan

debu kayu 34,5-190,1 mg/m3/tahun dan kadar IFN-γ serum 3,93-21,05 pg/ml.

Dari total 60 pekerja yang digunakan sebagai subjek penelitian, didapatkan bahwa

30% pekerja memiliki kebiasaan merokok, rerata lama merokok 19,3 tahun dan

rerata jumlah rokok 11,9 packyear.

Page 62: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Sebelum dilakukan uji statistik untuk mengetahui hubungan antara pajanan

debu kayu dan IFN-γ serum, maka dilakukan uji normalitas dengan tes

Kolmogorov - Smirnov (KS). Dari uji normalitas didapatkan sebaran data umur,

status nutrisi, kebiasaan merokok dan pajanan debu kayu berdistribusi normal

namun sebaran data penggunaan APD dan kadar IFN-γ serum tidak berdistribusi

normal. Setelah dilakukan transformasi data terhadap penggunaan APD dan kadar

IFN-γ serum terlihat bahwa data penggunaan APD tetap tidak normal sedangkan

sebaran data IFN-γ serum kemudian berdistribusi normal (Tabel 5.1.).

Tabel 5.1. Karakteristik subjek penelitian (n=60)

Variabel Rerata± SD Uji K-S

Usia (tahun) 40,6±5,92 p = 0,51

Masa kerja (tahun) 15,7±4,46 p = 0,05

Berat badan (kg) 60,0±9,38 p = 0,56

Tinggi badan (m) 1,66±0,08 p = 0,93

Indeks massa tubuh (kg/m2) 21,8±2,48 p = 0,62

Lama merokok (tahun) 19,3±6,56 p = 0,96

Jumlah rokok (packyear) 11,9±5,52 p = 0,86

Pajanan debu kayu (mg/m3/th) 81,7±38,72 p = 0,10

Interferon gama serum (pg/ml) 6,7±2,45 p = 0,05*

Keterangan : *distribusi data normal setelah dilakukan transformasi data

Sampel dikelompokan berdasarkan bagian tempatnya bekerja yaitu

penggergajian, perakitan, pengamplasan dan administrasi. Pemilihan sampel

Page 63: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

dalam penelitian ini adalah cluster purposif random sampling sehingga

didapatkan masing-masing 15 sampel pada tiap bagian.

Tabel 5.2. Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin dan bagian tempat bekerja

Bagian Jenis Kelamin, n (%)

Total (n) Laki Perempuan

Penggergajian 8 (25,0) 7 (25,0) 15

Perakitan 14 (43,8) 1 (3,6) 15

Pengamplasan 2 (6,2) 13 (46,4) 15

Administrasi 8 (25,0) 7 (25,0) 15

Total 32 (100) 28 (100) 60

Tabel 5.2. di atas menunjukkan bahwa hampir semua pekerja dengan jenis

kelamin laki-laki berada pada bagian perakitan sedangkan sebagian besar pekerja

di bagian pengamplasan berjenis kelamin perempuan. Proporsi pekerja

berdasarkan jenis kelamin yang relatif berimbang terlihat pada bagian

penggergajian dan administrasi.

Pada Tabel 5.3. di bawah terlihat bahwa 60% pekerja dengan status gizi

normal dan gambaran dominasi itu terdapat pada semua bagian. Urutan kedua

terbanyak adalah pekerja dengan berat badan berlebih (31,7%). Hanya ada 5

pekerja dengan status gizi kurang yaitu 3 orang pada bagian perakitan dan 2 orang

pada bagian administrasi.

Page 64: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Tabel 5.3. Distribusi frekuensi berdasarkan status gizi dan bagian tempat bekerja

Bagian Status Gizi, n (%)

Total (n) Kurang Normal BB lebih

Penggergajian 0 (0,0) 10 (27,8) 5 (26,3) 15

Perakitan 3 (60,0) 8 (22,2) 4 (21,1) 15

Pengamplasan 0 (0,0) 8 (22,2) 7 (36,8) 15

Administrasi 2 (40,0) 10 (27,8) 3 (15,8) 15

Total 5 (100) 36 (100) 19 (100) 60

Tabel 5.4. Distribusi frekuensi berdasarkan kebiasaan merokok dan bagian tempat bekerja

Bagian Merokok, n (%)

Total (n) Ya Tidak

Penggergajian 7 (38,9) 8 (19,0) 15

Perakitan 6 (33,3) 9 (21,4) 15

Pengamplasan 0 (0,0) 15 (35,8) 15

Administrasi 5 (27,8) 10 (23,8) 15

Total 18 (100) 42 (100) 60

Pada Tabel 5.4. di atas terlihat bahwa secara keseluruhan terdapat 30%

pekerja merokok. Proporsi pekerja perokok hampir sama pada bagian

penggergajian, perakitan dan administrasi. Tidak ada pekerja yang merokok pada

bagian pengamplasan.

Page 65: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Tabel 5.5. di bawah menunjukkan bahwa 66,7% pekerja selalu

menggunakan APD pada waktu bekerja. Gambaran ini terlihat pada bagian

penggergajian, perakitan dan pengamplasan. Tingkat penggunaan APD terendah

terdapat pada bagian administrasi dan pada bagian ini juga terdapat 3 pekerja yang

tidak pernah menggunakan APD.

Tabel 5.5. Distribusi frekuensi berdasarkan penggunaan APD dan bagian tempat bekerja

Bagian

Penggunaan APD (n)

Total (n) Tidak

pernah Jarang Sering Selalu

Penggergajian 0 4 1 10 15

Perakitan 0 1 1 13 15

Pengamplasan 0 2 2 11 15

Administrasi 3 3 3 6 15

Total 3 10 7 40 60

Ringkasnya didapatkan bahwa sebagian besar subjek penelitian berjenis

kelamin laki-laki (53,3%) dan bekerja pada bagian perakitan. Untuk status gizi,

terlihat bahwa 60% subjek penelitian dengan status gizi normal, 31,7% pekerja

dengan berat badan berlebih dan 8,3% dengan status gizi kurang. Sepertiga dari

total jumlah pekerja memiliki kebiasaan merokok, dengan proporsi yang hampir

berimbang pada tiap bagian kecuali tidak ada pekerja pada bagian pengamplasan

yang merokok. Mengenai penggunaan APD, 66,7% pekerja selalu menggunakan

Page 66: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

APD bila sedang bekerja, 11,7% pekerja sering, 16,7% pekerja jarang, dan 5%

pekerja tidak pernah menggunakan APD.

Tabel 5.6. Kadar debu terhirup di Perusahaan X berdasarkan bagian tempat bekerja

Bagian Rerata (mg/m3) SD (mg/m3)

Penggergajian 0,013 0,0081

Perakitan 0,021 0,0064

Pengamplasan 0,029 0,0323

Administrasi 0,011 0,0036

Total 0,019 0,0173

Tabel 5.6. di atas menunjukkan bahwa rerata kadar debu terhirup di

Perusahaan X sebesar 0,019 mg/m3. Kadar debu terhirup tertinggi terdapat pada

bagian pengamplasan dan terendah pada bagian administrasi. Untuk mendapatkan

data pajanan debu kayu maka kadar debu terhirup harus dikalikan lama hari kerja

dalam setahun dan berapa tahun pekerja tersebut telah bekerja.

5.2 Korelasi antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum

Oleh karena uji normalitas pajanan debu kayu dan IFN-γ serum ditemukan

distribusi data yang normal, maka dilakukan uji korelasi dengan tes Pearson. Pada

penelitian ini didapat nilai koefisien korelasi antara pajanan debu kayu dengan

kadar IFN-γ serum adalah (r) = -0,324; p = 0,011.

Page 67: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Tabel 5.7. Koefisien korelasi antara pajanan debu kayu dengan IFN-γ serum

Correlations Pajanan debu kayu IFN-γ serum

Pajanan debu kayu Pearson Correlation 1 -,324* Sig. (2-tailed) ,011 N 60 60 IFN-γ serum Pearson Correlation -,324* 1 Sig. (2-tailed) ,011 N 60 60

*.Correlation is significant at the 0,05 level (2-tailed)

Pajanan Debu Kayu200.00150.00100.0050.000.00

Inter

feron

gam

a ser

um (p

g/ml)

20.00

15.00

10.00

5.00

LinearObserved

Gambar 5.1. Diagram korelasi antara pajanan debu kayu dengan IFN-γ serum

5.3 Korelasi antara umur dan IFN-γ serum

Oleh karena uji normalitas umur dan IFN-γ serum ditemukan distribusi

data yang normal, maka dilakukan uji korelasi dengan tes Pearson. Pada penelitian

ini didapat nilai koefisien korelasi antara umur dengan kadar IFN-γ serum adalah

(r) = -0,096; p = 0,468.

( r ) = -0,324; p = 0,011

Page 68: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Tabel 5.8. Koefisien korelasi antara umur dengan IFN-γ serum

Correlations Umur IFN-γ serum

Umur Pearson Correlation 1 -,096* Sig. (2-tailed) ,468 N 60 60 IFN-γ serum Pearson Correlation -,096* 1 Sig. (2-tailed) ,468 N 60 60

*.Correlation is significant at the 0,05 level (2-tailed)

Umur (tahun)60555045403530

Inte

rfero

n ga

ma

seru

m (p

g/m

l)

20.00

15.00

10.00

5.00

LinearObserved

Gambar 5.2. Diagram korelasi antara umur dengan IFN-γ serum

5.4 Korelasi antara status nutrisi dengan IFN-γ serum

Oleh karena uji normalitas status nutrisi (IMT) dan IFN-γ serum ditemukan

distribusi data yang normal, maka dilakukan uji korelasi dengan tes Pearson. Pada

penelitian ini didapat nilai koefisien korelasi antara status nutrisi dengan kadar

IFN-γ serum adalah (r) = -0,031; p = 0,814.

( r ) = -0,096; p = 0,468

Page 69: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Tabel 5.9. Koefisien korelasi antara status nutrisi dengan IFN-γ serum

Correlations Status nutrisi IFN-γ serum

Status nutrisi Pearson Correlation 1 -,031* Sig. (2-tailed) ,814 N 60 60 IFN-γ serum Pearson Correlation -,031* 1 Sig. (2-tailed) ,814 N 60 60

*.Correlation is significant at the 0,05 level (2-tailed)

IMT (Kg/m2)30.0027.5025.0022.5020.0017.50

Inte

rfero

n ga

ma

seru

m (p

g/m

l)

20.00

15.00

10.00

5.00

LinearObserved

Gambar 5.3. Diagram korelasi antara status nutrisi dengan IFN-γ serum

5.5 Korelasi antara kebiasaan merokok dengan IFN-γ serum

Oleh karena uji normalitas kebiasaan merokok dan IFN-γ serum

ditemukan distribusi data yang normal, maka dilakukan uji korelasi dengan tes

Pearson. Pada penelitian ini didapat nilai koefisien korelasi antara kebiasaan

merokok dengan kadar IFN-γ serum adalah (r) = -0,263; p = 0,291.

( r ) = -0,031; p = 0,814

Page 70: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Tabel 5.10. Koefisien korelasi antara kebiasaan merokok dengan IFN-γ serum

Correlations Merokok IFN-γ serum

Merokok Pearson Correlation 1 -,263* Sig. (2-tailed) ,291 N 60 60 IFN-γ serum Pearson Correlation -,263* 1 Sig. (2-tailed) ,291 N 60 60

*.Correlation is significant at the 0,05 level (2-tailed)

Merokok (packyear)25.0020.0015.0010.005.00

Inte

rfero

n ga

ma

seru

m (p

g/m

l)

20.00

15.00

10.00

5.00

LinearObserved

Gambar 5.4. Diagram korelasi antara kebiasaan merokok dengan IFN-γ serum

5.6 Korelasi antara penggunaan APD dengan IFN-γ serum

Oleh karena penggunaan APD merupakan data ordinal dan IFN-γ serum

adalah data numerik, maka analisis uji korelasi yang tepat adalah dengan tes

Spearman. Pada penelitian ini didapat nilai koefisien korelasi antara penggunaan

APD dengan kadar IFN-γ serum adalah (r) = -0,091; p = 0,487.

( r ) = -0,263; p = 0,291

Page 71: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Tabel 5.11. Koefisien korelasi antara penggunaaan APD dengan IFN-γ serum

Correlations

APD IFN-γ serum

Spearman’s rho APD Correlation Coef. 1.000 - .091** Sig. . 0,487 N 60 60 IFN-γ serum Correlation Coef. -.091** 1.000 Sig 0,487 . N 60 60 ** correlation is significant at the 0,01 level.

Penggunaan APD43.532.521.51

Inte

rfero

n ga

ma

seru

m (p

g/m

l)

20.00

15.00

10.00

5.00

LinearObserved

Gambar 5.5. Diagram korelasi antara penggunaan APD dengan IFN-γ serum

5.7 Analisis one-way Anova pajanan debu kayu pada keempat bagian di

Perusahaan X

Untuk mengetahui adanya perbedaan pajanan debu kayu antara pekerja pada

masing-masing bagian di Perusahaan X, maka dilakukan analisis one-way Anova.

Bagian tersebut meliputi penggergajian, perakitan, pengamplasan, dan

( r ) = -0,091; p = 0,487

Page 72: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

administrasi. Syarat dilakukannya analisis one-way Anova adalah distribusi data

pada tiap bagian harus normal dan varians data juga harus sama.

Tabel 5.12. Hasil analisis one-way Anova Pajanan debu kayu di Perusahaan X

Bagian n Rerata±SD (mg/m3/th) p

Penggergajian 15 54,83±15,92 <0,001

Perakitan 15 83,79±22,16

Pengamplasan 15 132,24±32,76

Administrasi 15 55,80±55,80

Total 60 81,87±38,72

Tabel 5.13. Hasil analisis Post-hoc LSD Pajanan debu kayu di Perusahaan X

Bagian vs Bagian Perbedaan rerata

IK95% p

Minimum Maksimum Penggergajian Perakitan -28,956 -45,6624 -12,2496 0,001 Pengamplasan -77,406 -94,1124 -60,6996 <0,001 Administrasi -0,969 -17,6754 15,7374 0,908 Perakitan Penggergajian 28.956 12,2496 45,6624 0,001 Pengamplasan -48,450 -65,1564 -31,7436 <0,001 Administrasi 27,987 11,2806 44,6934 0,001 Pengamplasan Penggergajian 77,406 60,6996 94,1124 <0,001 Perakitan 48,450 31,7436 65,1564 <0,001 Administrasi 76,437 59,7306 93,1434 <0,001 Administrasi Penggergajian 0,969 -15,7374 17,6754 0,908 Perakitan -27,987 -44,6934 -11,2806 0,001 Pengamplasan -76,437 -93,1434 -59,7306 <0,001

Pada uji normalitas, data pada semua bagian berdistribusi normal. Pada uji

varians, diperoleh nilai p = 0,057. Karena p > 0,05 maka dapat diambil

kesimpulan bahwa varians data adalah sama. Dari analisis one-way Anova,

Page 73: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

diperoleh nilai p < 0,001 yang artinya paling tidak terdapat perbedaan pajanan

debu kayu yang bermakna antara minimal dua bagian tempat bekerja. Pada Tabel

5.12. di atas terlihat bahwa pajanan tertinggi terdapat pada bagian pengamplasan,

diikuti dengan bagian perakitan, administrasi dan penggergajian. Setelah

dilakukan analisis uji one-way Anova yang dilanjutkan dengan post-hoc LSD

(Tabel 5.13.), didapatkan perbedaan pajanan debu kayu yang bermakna antar

bagian bila p < 0,05.

5.8 Analisis one-way Anova IFN-γ serum pada keempat bagian di

Perusahaan X

Untuk mengetahui adanya perbedaan kadar IFN-γ serum antara pekerja pada

masing-masing bagian di Perusahaan X, maka dilakukan analisis one-way Anova.

Bagian tersebut meliputi penggergajian, perakitan, pengamplasan dan

administrasi. Syarat dilakukannya analisis one-way Anova adalah distribusi data

pada tiap bagian harus normal dan varians data juga harus sama. Awalnya

distribusi data IFN-γ serum pada masing-masing bagian tidak normal, kemudian

sebaran data berdistribusi normal setelah dilakukan transformasi data.

Tabel 5.14. Hasil analisis one-way Anova IFN-γ serum di Perusahaan X

Bagian n Rerata±SD (pg/ml) p

Penggergajian 15 6,25±1,64 0,001

Perakitan 15 6,20±1,44

Pengamplasan 15 5,72±0,56

Administrasi 15 8,69±3,80

Total 60 6,72±2,45

Page 74: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Tabel 5.15. Hasil analisis Post-hoc LSD IFN-γ serum di Perusahaan X

Bagian vs Bagian Perbedaan rerata

IK95% p

Minimum Maksimum Penggergajian Perakitan 0,00142 -0,0756 0,0784 0,971 Pengamplasan 0,02852 -0,0485 0,1055 0,461 Administrasi -0,12832 -0,2053 -0,0513 0,002 Perakitan Penggergajian -0,00142 -0,0784 0,0756 0,971 Pengamplasan 0,02710 -0,0499 0,1041 0,484 Administrasi -0,12974 -0,2068 -0,0527 0,001 Pengamplasan Penggergajian -0,02852 -0,1055 0,0485 0,461 Perakitan -0,02710 -0,1041 0,0499 0,484 Administrasi -0,15684 -0,2339 -0,0798 0,000 Administrasi Penggergajian 0,12832 0,0513 0,2053 0,002 Perakitan 0,12974 0,0527 0,2068 0,001 Pengamplasan 0,15694 0,0798 0,2339 0,000

Pada uji varians, diperoleh nilai p = 0,088. Karena p > 0,05 maka dapat

diambil kesimpulan bahwa varians data adalah sama. Dari analisis one-way

Anova, diperoleh nilai p < 0,001 yang artinya paling tidak terdapat perbedaan

IFN-γ serum yang bermakna antara minimal dua bagian tempat bekerja. Pada

Tabel 5.14. di atas terlihat bahwa IFN-γ serum tertinggi terdapat pada bagian

administrasi, diikuti dengan bagian penggergajian, perakitan dan pengamplasan.

Setelah dilakukan analisis uji one-way Anova yang dilanjutkan dengan post-hoc

LSD (Tabel 5.15.), didapatkan perbedaan IFN-γ serum yang bermakna antara

bagian administrasi dengan tiga bagian lainnya (p < 0,05). Sedangkan tidak

didapatkan perbedaan bermakna kadar IFN-γ serum antara bagian penggergajian,

perakitan dan pengamplasan.

Page 75: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Karakteristik subjek penelitian

Industri pengolahan kayu perusahaan X memiliki lebih dari seratus pekerja

yang terbagi dalam 7 bagian utama yaitu penggergajian, penyimpanan, perakitan,

pengeringan, pengamplasan, finishing dan administrasi. Penelitian ini dilakukan

hanya pada tiga bagian utama yang memang terpajan oleh debu kayu yaitu bagian

penggergajian, perakitan dan pengamplasan serta bagian administrasi yang relatif

tidak terpajan debu kayu. Penelitian ini mengikutsertakan 60 subjek penelitian.

Sebagian besar pekerja berjenis kelamin laki-laki (53,3%) dan bekerja pada

bagian perakitan. Bagian pengamplasan didominasi oleh pekerja wanita

sedangkan bagian penggergajian dan administasi memiliki proporsi jenis kelamin

yang relatif seimbang. Subjek penelitian mempunyai rentang usia 30-56 tahun dan

lama bekerja 10-28 tahun. Khumaidah (2009) melaporkan bahwa pekerja

pengolahan kayu biasanya berumur 20-40 tahun dimana 75% di antaranya

berumur 30-40 tahun. Sebanyak 86,4% dilaporkan sudah bekerja selama 5-10

tahun. Triatmo dkk. (2006) melaporkan 54,5% pekerja mebel di Jepara berumur

11-20 tahun dan rerata masa kerja 10,8 tahun. Syahriany (2002) menyatakan

bahwa terdapat bahaya kadar debu yang melewati NAB (> 3 mg/m3) terhadap

gangguan paru bagi pekerja industri pembuatan tablet yang bekerja selama 8

jam/hari atau 40 jam/minggu. Setiap inhalasi 500 partikel/ml, minimal 1 partikel

debu diterima oleh alveoli.

Status gizi secara umum mempengaruhi tingkat imunitas seseorang baik

seluler maupun humoral. Penelitian ini menunjukkan bahwa 60% subjek

penelitian dengan status gizi normal, 31,7% pekerja dengan berat badan berlebih

dan 8,3% dengan status gizi kurang. Hal ini sejalan dengan penelitian Khumaidah

Page 76: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

(2009) yang melaporkan bahwa 81,8% pekerja di bagian amplas industri

pengolahan kayu di Jepara memiliki status gizi baik. Sedangkan penelitian lain

melaporkan rerata IMT pekerja industri mebel di Jepara yaitu 23,2 kg/m2 dan

60% pekerja memiliki status gizi baik (Triatmo dkk., 2006)

Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi baik jalan

nafas maupun parenkim paru. Perubahan jalan nafas besar berupa hipertrofi dan

hiperplasia kelenjar mukus. Perubahan struktur jalan nafas kecil bervariasi dari

inflamasi ringan sampai penyempitan dan obstruksi jalan nafas karena proses

inflamasi, hiperplasi sel goblet dan penumpukan sekret intraluminer (Antarudin,

2000). Penelitian ini menunjukkan bahwa 30% pekerja merokok dan sebagian

besar berjenis kelamin laki-laki. Proporsi ini lebih tinggi dari penelitian

Khumaidah (2009) yang menunjukkan bahwa hanya 11,4% pekerja merokok,

sedangkan Triatmo dkk. (2006) melaporkan 80% pekerja tidak merokok.

Antarudin (2000) melaporkan tidak dijumpai satupun pekerja perempuan yang

merokok mungkin karena di area penelitiannya, Aceh, masih tabu melihat

perempuan yang merokok. Walaupun asap rokok merupakan penyebab penyakit

saluran nafas kronis terbanyak, bronkitis kronis dan emfisema juga dijumpai pada

5-6% usia lanjut yang tidak pernah merokok di Amerika serikat. Hal ini karena

timbulnya penyakit saluran nafas kronik selain disebabkan oleh rokok, juga oleh

polusi udara, terpapar lingkungan berasap dan faktor genetik (Antarudin, 2000).

Work Safe Western Australia (2000) menyatakan pengendalian debu

dengan memakai APD seperti masker, baju kerja dan sarung tangan sangat

penting untuk meningkatkan produktivitas kerja dan sekaligus melindungi pekerja

terpajan dengan debu. Lembaga pemerintah seperti Badan POM, Departemen

Kesehatan dan Departemen Tenaga Kerja harus secara aktif dan benar-benar

melakukan pemantauan terhadap lingkungan kerja, pengusaha dan para pekerja.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan kesehatan rutin dan

Page 77: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

pencatatan keadaan lingkungan kerja serta membuat laporan hasil evaluasi yang

benar kepada perusahaan sehingga perusahaan mengetahui kekurangannya dan

dapat memperbaikinya. Selain itu penyuluhan tentang kesehatan serta pendidikan

dan latihan juga baik diberikan pada pengusaha dan para karyawan. Hal ini

penting untuk menghindarkan penyakit akibat kerja, menambah wawasan dan

pengetahuan terutama di bidang kesehatan serta meningkatkan keterampilan

dalam melakukan pekerjaan sehari-hari (Syahriany, 2002). Penelitian ini

mendapatkan bahwa tingkat penggunaan APD pada pekerja industri pengolahan

kayu baik yaitu 66,7% pekerja selalu menggunakan APD bila sedang bekerja,

11,7% pekerja sering, 16,7% pekerja jarang, dan 5% pekerja tidak pernah

menggunakan APD. Hal ini bersesuaian dengan penelitian lain dimana 86,4%

pekerja pengamplasan dan 76,4% pekerja mebel menggunakan APD sewaktu

bekerja (Triatmo dkk., 2006; Khumaidah, 2009).

6.2 Pajanan debu kayu

Nilai ambang batas (NAB) adalah standar faktor-faktor lingkungan kerja

yang dianjurkan ditempat kerja agar tenaga kerja masih dapat menerimanya tanpa

mengakibatkan penyakit gangguan kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari untuk

waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Kegunaan NAB ini

sebagai rekomendasi pada praktek higiene perusahaan dalam melakukan

penatalaksanaan lingkungan kerja sebagai upaya untuk mencegah dampaknya

terhadap kesehatan. Untuk debu kayu keras telah ditetapkan oleh Menteri Tenaga

Kerja (1997) dalam surat edaran menteri tenaga kerja tentang NAB debu kayu di

udara lingkungan kerja adalah sebesar 1 mg/m3.

Pada penelitian ini dilakukan pengukuran kadar debu kayu pada keempat

bagian di Perusahaan X. Pengukuran kadar debu terhirup dilakukan dengan alat

Personal Dust Sampler merk SKC Model 224-PCXR-8 yang diletakan setinggi

Page 78: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

hidung pekerja di 5 titik pada tiap bagian. Nilai rerata kadar debu terhirup di

Perusahaan X adalah 0,019 mg/m3 masih lebih rendah dari NAB debu kayu di

udara lingkungan kerja yang dipersyaratkan peraturan pemerintah. Selanjutnya

dilakukan analisis one-way Anova dan diperoleh nilai p < 0,001 yang artinya

paling tidak terdapat perbedaan pajanan debu kayu yang bermakna antara minimal

dua bagian tempat bekerja. Pada Tabel 5.12. terlihat bahwa pajanan tertinggi

terdapat pada bagian pengamplasan, diikuti dengan bagian perakitan, administrasi

dan penggergajian. Setelah dilakukan analisis uji one-way Anova yang

dilanjutkan dengan post-hoc LSD (Tabel 5.13.), didapatkan perbedaan pajanan

debu kayu yang bermakna antar bagian (p < 0,05). Bagian pengamplasan memang

paling banyak menghasilkan debu dengan ukuran kecil dan dapat masuk ke

saluran nafas bawah, sedangkan bagian administrasi yang bekerja dalam kantor

relatif tidak terpajan dengan lingkungan debu kayu (Yulaekah, 2007). Penelitian

pada pekerja mebel di Jepara menunjukkan kadar debu terhirup juga lebih rendah

dari NAB dengan hasil sebagai berikut, di bagian sending I (13,845 µg/m3),

sending II (11,972 µg/m3), bagian mill II (12,640 µg/m3), dan bagian final

finishing (11,316 µg/m3) (Triatmo dkk., 2006).

Kadar debu terhirup di Perusahaan X masih lebih rendah dari NAB

mungkin disebabkan oleh kegiatan pengamplasan yang menghasilkan debu

dengan ukuran lebih kecil terletak tidak pada setiap bagian produksi (Triatmo

dkk., 2006). Berdasarkan observasi peneliti, beberapa bagian seperti

penggergajian dan perakitan tidak ditutupi oleh dinding yang mengelilingi bagian

produksi sehingga memungkinkan perubahan arah angin yang membawa debu

yang berterbangan sehingga tidak tertangkap oleh alat Personal Dust Sampler.

Adanya pengaruh cara debu itu dihasilkan, kelembaban udara, kecepatan angin

dan faktor-faktor fisika lain yang tidak diperhitungkan pada penelitian ini

Page 79: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

mungkin dapat mempengaruhi rendahnya kadar pajanan debu kayu (Lange, 2008).

Hal ini merupakan kelemahan penelitian dan dapat digunakan sebagai bahan

untuk penelitian yang akan datang.

Kayu yang biasa digunakan oleh Perusahaan X dalam produksinya adalah

kayu Merbau dan Bangkirai. Kedua kayu ini termasuk ke dalam jenis kayu keras

(hardwoods). Kayu ini memiliki tekstur kayu yang kasar dan merata, dengan arah

serat yang kebanyakan lurus. Kayu yang telah diolah memiliki permukaan yang

licin dan mengkilap indah. Kayu ini memiliki penyusutan yang sangat rendah,

sehingga tidak mudah menimbulkan cacat apabila dikeringkan, memiliki daya

tahan terhadap jamur pelapuk kayu, rayap kayu kering dan penggerek laut

sehingga sering digunakan dalam pekerjaan konstruksi perairan. Kayu keras jenis

ini terutama dimanfaatkan dalam konstruksi berat seperti balok-balok, tiang dan

bantalan, bangunan rumah maupun jembatan.

Tabel 6.1. Perbedaan karakteristik kayu keras dan kayu lunak (Lange, 2008)

Karakteristik Kayu Keras Kayu Lunak

Fiber Panjang (1,4-4,4mm) Pendek (0,2-2,4mm)

Tipe sel 1 jenis (trakeid) bervariasi

Selulose ~40-50% ~40-50%

Polipose ~15-30% ~25-35%

Lignin ~25-35% ~20-30%

Komponen ekstrak ~10% 1-10%

Non-polar Tinggi Rendah

Polar Rendah Tinggi

Page 80: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Kayu keras dan kayu lunak memiliki perbedaan karakterisitik bahan yang

terkandung di dalamnya seperti yang terlihat pada Tabel 6.1. Semua komponen

bahan tersebut mampu menimbulkan reaksi di dalam tubuh. Secara umum jenis

kayu keras lebih berpotensi menimbulkan kelainan ireversibel pada paru berupa

fibrosis paru dibandingkan dengan kayu lunak. Beberapa jenis kayu dapat

menimbulkan reaksi inflamasi yang kemudian berakibat pada pembentukan

jaringan fibrosis. Mekanisme inflamasi yang diinduksi oleh debu kayu ini coba

dipelajari pada media kultur sel. Kayu beech, oak, birch, teak, pine dan spruce

mampu menginduksi reaksi inflamasi yang berakibat cedera sel dan fibrosis. Kayu

pine dan birch juga mampu menginduksi pembentukan ROS oleh sel makrofag,

yang selanjutnya berujung pada kematian sel dan fibrosis. Berbeda dengan pine

dan birch, kayu beech tidak menginduksi peningkatan produksi ROS (Maatta

dkk., 2006).

6.3 Interferon gama serum

IFN merupakan suatu protein yang disekresikan oleh sel akibat dari

berbagai macam stimuli (Petska dkk., 2004; Schroder dkk., 2004; Platanias,

2005). Interferon gama adalah sitokin pro-inflamasi yang disekresikan oleh sel

Th1 CD-4 yang berefek langsung terhadap sintesis kolagen, menghambat

kolagenase dan menghambat TGF-β. IFN-γ juga memiliki peran perbaikan

jaringan dan remodeling (Borg & Isenberg, 2007; Bouros & Tzouvelekis, 2009).

Ketika terjadi cedera epitel, mikrovaskuler akan rusak sehingga komposisi plasma

seperti fibronektin dan komponen koagulasi lain akan berusaha untuk

menyediakan matriks ekstraseluler demi keberlangsungan perbaikan jaringan

(Fernandez, 2006; Barnes, 2008). Dalam hal pembentukan jaringan fibrosis pada

Page 81: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

paru, IFN-γ memiliki peran sentral. Jaringan fibrosis diakibatkan oleh aktivitas

proliferasi fibroblast dan pembentukan kolagen serta matriks jaringan ikat. Sitokin

Th1 IFN-γ bersifat menghambat pembentukan kolagen sedangkan sitokin Th2

bersifat merangsang pembentukan kolagen dan jaringan fibrosis (Maatta dkk.,

2006). Efek debu kayu yang lama dan berulang berpotensi menimbulkan

kerusakan paru yang reversibel maupun ireversibel seperti fibrosis paru. Pajanan

debu kayu akan menyebabkan ketidakseimbangan Th1 dan Th2, penurunan IFN-γ

dan peningkatan Th2 sehingga mempermudah terjadinya fibrosis paru. Peran IFN-

γ sebagai terapi dengan meningkatkan kadarnya di dalam serum mungkin dapat

menurunkan proses inflamasi dan fibrosis yang diperantarai oleh sitokin Th2.

Sehingga efek buruk dari debu kayu dapat dicegah (Nathan dkk., 2004).

Interferon-γ serum dapat diukur kadarnya dengan menggunakan metode

ELISA dengan hIFN-γ ELISA high sensitivity. IFN-γ memiliki nilai normal

0,145-168 pg/ml, rerata 10,4 pg/ml dan standar deviasi ± 40 pg/ml. Kadar IFN-γ

dikatakan rendah bila nilainya di bawah rerata normal. Pada penelitian ini, rerata

IFN-γ serum pekerja di Perusahaan X adalah 6,7±2,45 pg/ml. Analisis one-way

Anova memperoleh nilai p < 0,001 yang artinya paling tidak terdapat perbedaan

IFN-γ serum yang bermakna antara minimal dua bagian tempat bekerja. Pada

Tabel 5.14. terlihat bahwa IFN-γ serum tertinggi terdapat pada bagian

administrasi, diikuti dengan bagian penggergajian, perakitan dan pengamplasan.

Setelah dilakukan analisis uji one-way Anova yang dilanjutkan dengan post-hoc

LSD (Tabel 5.15.), didapatkan perbedaan IFN-γ serum yang bermakna antara

bagian administrasi dengan tiga bagian lainnya (p < 0,05) dan tidak didapatkan

perbedaan bermakna kadar IFN-γ serum antara bagian penggergajian, perakitan

dan pengamplasan (p > 0,05).

Kadar IFN-γ secara teori dipengaruhi oleh beberapa kondisi seperti umur,

status gizi, kebiasaan merokok, penyakit tuberkulosis, diabetes, dan keganasan

Page 82: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

(Gardner & Murasco, 2002; Modestou dkk., 2010; Zaidi & Merlino, 2011). Umur

tua berkaitan dengan respon produksi IFN-γ yang menurun, terutama responnya

terhadap antigen virus seperti influenza (Gardner & Murasco, 2002). Suatu studi

menunjukkan bahwa kadar IFN-γ dipengaruhi oleh status gizi. Studi tersebut

menyebutkan terjadi peningkatan kadar IFN-γ serum pada populasi anak-anak

yang obes (Facifico dkk., 2006). Kebiasaan merokok memudahkan seseorang

untuk menderita infeksi virus pada saluran nafas. Hal ini disebabkan karena

kemampuan antivirus IFN-γ dihambat oleh komponen asap rokok (Modestou

dkk., 2010).

Peran sentral dari sitokin IFN-γ di dalam patogenesis infeksi tuberkulosis

dibuktikan dengan beberapa studi yang menunjukkan bahwa tikus dengan gen

IFN-γ yang sengaja dihilangkan, manusia dengan kelainan genetik defisiensi

sitokin tipe 1 (IL-12, IL-23 dan IFN-γ) dan individu yang memiliki autoantibodi

terhadap IFN-γ sangat rentan terhadap infeksi mikobakteria termasuk

Mikobakterium tuberkulosis (van Crevel dkk., 2002; North & Jung, 2004; Lin

dkk., 2008). Diabetes merupakan faktor risiko terjadinya penyakit fibrosis paru,

sedangkan kadar IFN-γ pada kondisi ini rendah (Enomoto dkk., 2003). Kondisi

imunodefisiensi pada penderita kanker juga dipengaruhi oleh adanya peran IFN-γ

sebagai antiproliperatif dan proapoptosis. Kondisi keganasan biasanya ditandai

oleh peningkatan aktivitas proinflamasi sitokin IFN-γ (Brandacher dkk., 2006).

6.4 Korelasi antara pajanan debu kayu dan Interferon gama serum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas

pajanan debu kayu dan variabel tergantung IFN-γ serum. Hubungan variabel

perancu seperti umur, status gizi, kebiasaan merokok dan penggunaan APD

dengan variabel tergantung juga ikut dianalisis korelasinya. Hasilnya, variabel

Page 83: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

mana yang paling berhubungan dengan IFN-γ serum pekerja pada industri

pengolahan kayu dapat diketahui.

Penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara

umur dengan IFN-γ serum. Nilai koefisien korelasi antara umur dengan kadar

IFN-γ serum adalah (r) = -0,096; p = 0,468. Hal ini bertentangan dengan

penelitian Syahriany (2002) yaitu semakin bertambahnya umur seseorang,

kemampuan fungsi paru seperti volume ekspirasi paksa 1 menit (VEP1) berada

dalam besaran sistomatik yakni 1-1,5 liter dan kualitas paru dapat memburuk

dengan cepat.

Status gizi pada penelitian ini menggunakan IMT sebagai variabel numerik

sehingga dapat dikorelasikan dengan kadar IFN-γ serum. Nilai koefisien korelasi

antara status nutrisi dengan kadar IFN-γ serum adalah (r) = -0,031; p = 0,814.

Artinya, tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara status gizi dan IFN-γ

serum. Secara tidak langsung hal ini sejalan dengan penelitian Triatmo dkk.

(2006) bahwa pekerja dengan gizi baik maupun kurang baik pada saat penelitian

di PT AJP mempunyai risiko sama untuk terjadinya gangguan fungsi paru.

Asap rokok dapat menimbulkan kelainan atau penyakit pada berbagai

organ tubuh. Penelitian ini mendapatkan 30% pekerja dengan kebiasaaan merokok

dengan rerata lama merokok 19,3 tahun dan jumlah rokok 11,9 packyear. Pada uji

korelasi dengan uji Pearson untuk menilai hubungan antara merokok dengan IFN-

γ serum didapatkan nilai koefisien korelasi antara kebiasaan merokok dengan

kadar IFN-γ serum adalah (r) = -0,263; p = 0,291 yang artinya tidak didapatkan

hubungan bermakna. Antarudin (2000) melaporkan dalam suatu penelitian pada

pekerja kilang padi bahwa faal paru pekerja yang merokok lebih buruk daripada

pekerja yang tidak merokok. Jumlah rokok dalam penelitian tersebut dibedakan

menjadi tidak merokok, merokok < 20, 20-40 dan merokok > 40 packyear.

Kesimpulannya adalah makin banyak terpajan rokok maka makin berat derajat

Page 84: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

obstruksinya. Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Damayanti dkk. (2007) pada

penelitian pekerja semen yaitu tidak didapatkannya hubungan yang signifikan

antara kebiasaan merokok dan kelainan klinis serta faal fungsi paru. Aviandari

dkk. (2009) juga melakukan penelitian hubungan antara kebiasaan merokok dan

gangguan fungsi paru pada pekerja dermaga di Jakarta. Hasil yang didapatkan

adalah terdapat 60% pekerja perokok yang dikelompokan menjadi perokok

ringan, sedang dan berat. Faktor merokok tidak mempunyai hubungan yang

bermakna dengan gangguan fungsi paru.

Mekanisme asap rokok menimbulkan penyakit pada saluran pernafasan

dapat dilihat pada Gambar 6.1. Iritasi saluran napas oleh asap rokok dan bahan

toksik lain akan menimbulkan reaksi inflamasi saluran napas sehingga terjadi

deposit sel radang neutrofil maupun makrofag di tempat tersebut. Neutrofil akan

mengeluarkan elastase yang berlebihan mengakibatkan metaplasia sel epitel

sekretori dan hipertrofi kelenjar mukus. Elastase netrofil menghambat mucociliary

clearance. Asap rokok mampu menganggu pembersihan silier dan menyebabkan

retensi mukus dan toksin (Haris dkk., 2012). Walaupun tidak didapatkan

hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dan IFN-γ serum pada

pekerja di Perusahaan X, tidak berarti pekerja diperkenankan merokok karena

banyak efek buruk asap rokok yang secara teori memudahkan terjadinya

gangguan paru pekerja.

Page 85: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Gambar 6.1. Mekanisme asap rokok menimbulkan penyakit pada saluran nafas (Haris dkk., 2012)

Pemakaian masker oleh pekerja industri yang udaranya banyak

mengandung debu merupakan upaya untuk mengurangi masuknya partikel debu

ke dalam saluran pernafasan. Penggunaan masker dapat melindungi pekerja dari

kemungkinan terjadinya gangguan pernafasan akibat terpajan udara dengan kadar

debu yang tinggi. Kebiasaan menggunakan masker yang baik merupakan cara

aman bagi pekerja yang berada di lingkungan kerja berdebu untuk melindungi

kesehatan (Khumaidah, 2009). Penelitian ini menunjukkan nilai koefisien korelasi

antara penggunaan APD dengan kadar IFN-γ serum adalah (r) = -0,091; p =

0,487, artinya bahwa tidak terdapat hubungan antara penggunaan APD dengan

IFN-γ serum. Damayanti dkk. (2007) melaporkan hasil serupa dimana tidak

didapatkan hubungan kebiasaan menggunakan masker dengan gambaran klinis

dan kelainan foto toraks akibat pajanan debu semen. Masker yang digunakan oleh

Page 86: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

pekerja tidak terstandar karena terbuat dari bahan kain dan diproduksi oleh

perusahaan sendiri. Kemampuan masker ini tentu belum diketahui dalam

menurunkan pajanan debu kayu. Hal ini yang mungkin menyebabkan tidak

didapatkannya hubungan antara penggunaan APD dan IFN-γ serum.

Penelitian ini menunjukkan hubungan yang bermakna antara pajanan debu

kayu dan IFN-γ serum. Nilai koefisien korelasi antara pajanan debu kayu dengan

kadar IFN-γ serum adalah (r) = -0,324; p = 0,011. Variabel pajanan debu kayu

sangat berkaitan dengan konsentrasi debu yang terhisap dan lamanya pajanan

yang tentunya terkait erat dengan lama bekerja. Hal ini sesuai dengan penelitian

Triatmo dkk. (2006) yang dilakukan pada pekerja mebel yang menunjukkan ada

hubungan antara pajanan debu dengan gangguan fungsi paru dengan hasil p =

0,001 dan odd ratio 13,72. Artinya, pekerja yang terpajan debu dengan kadar

diatas NAB memiliki risiko untuk menimbulkan gangguan fungsi paru sebesar

13,7 kali lebih besar dibandingkan dengan pekerja yang terpajan debu dengan

kadar dibawah NAB.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aditama (1993) pada bagian

Pulmonologi Universitas Indonesia tentang situasi beberapa penyakit paru di

masyarakat menyatakan bahwa pada pekerja yang berada di lingkungan dengan

konsentrasi debu yang tinggi dalam waktu yang lama (> 10 tahun) memiliki risiko

lebih tinggi terkena penyakit obstruktif menahun. Masa kerja mempunyai

kecendrungan sebagai faktor risiko terjadinya obstruksi saluran pernafasan pada

pekerja industri yang berdebu sejak mulai mempunyai masa kerja 5 tahun. Masa

kerja menentukan lama pajanan seseorang terhadap faktor risiko yaitu debu kayu.

Semakin lama masa kerja seseorang kemungkinan besar orang tersebut

mempunyai risiko yang besar terkena penyakit paru (Khumaidah, 2009). Hasil

penelitian ini berbeda dengan penelitian Maatta dkk. (2006) yang menunjukkan

bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna ekspresi mRNA sitokin Th1 (IFN-γ dan

Page 87: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

IL-12) atau sitokin Th2 (IL-4, IL-5 dan IL-13) setelah dilakukan pajanan debu

kayu.

Gangguan fungsi paru yang disebabkan oleh adanya deposit debu dalam

jaringan paru disebut pneumokoniosis. Pneumokoniosis adalah akumulasi debu

dalam jaringan paru dan reaksi jaringan paru terhadap adanya akumulasi debu

tersebut. Bila pengerasan alveoli telah mencapai 10% akan terjadi penurunan

elastisitas paru yang menyebabkan kapasitas vital paru akan menurun dan dapat

mengakibatkan berkurangnya suplai oksigen ke dalam jaringan otak, jantung dan

bagian-bagian tubuh lainnya (Khumaidah, 2009).

Gangguan fungsi paru merupakan akibat yang paling ditakutkan dari

masalah penyakit akibat kerja di lingkungan kerja yang berdebu. Akibat debu

yang masuk dalam jaringan alveoli sangat tergantung dari solubilitas dan

reaktivitasnya. Tingginya reaktivitas suatu substansi yang dapat mencapai alveoli

dapat menyebabkan reaksi inflamasi yang akut dan edema paru. Pada reaksi

subakut dan kronis ditandai dengan pembentukan granuloma dan fibrosis

interstisial. Hampir semua debu yang mencapai alveoli akan diikat oleh makrofag,

dikeluarkan bersama sputum atau ditelan dan mencapai interstisial. Mekanisme

clearance alveoli sangat efisien dan efektif dalam mengeliminasi debu (Lange,

2008).

Debu yang masuk saluran nafas menyebabkan timbulnya reaksi

mekanisme pertahanan non-spesifik berupa batuk, bersin, gangguan transport

mukosilier dan fagositosis oleh makrofag. Otot polos di sekitar jalan nafas dapat

terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Keadaan ini biasanya terjadi bila

kadar debu melebihi nilai ambang batas. Partikel debu yang masuk ke dalam

alveoli akan fokus dan berkumpul di bagian awal saluran limfe paru. Debu ini

akan difagositosis oleh makrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap makrofag

seperti silika bebas merangsang terbentuknya makrofag baru. Makrofag baru

Page 88: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

menfagositosis silika bebas tadi sehingga terjadi autolisis, dan keadaan ini terjadi

berulang-ulang. Pembentukan dan destruksi makrofag yang terus menerus penting

pada pembentukan jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan

ikat tersebut. Fibrosis ini terjadi pada parenkim paru yaitu pada dinding alveoli

dan jaringan interstiil. Akibat fibrosis paru akan menjadi kaku dan menimbulkan

gangguan pengembangan paru yaitu kelainan fungsi paru yang restriktif

(Khumaidah, 2009).

Untuk menghindarkan terjadinya gangguan fungsi paru, maka dalam

perusahaan perlu menerapkan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3)

yang meliputi ventilasi penyedotan, ventilasi umum, APD, pemeriksaan kesehatan

pra-karya, pemeriksaan kesehatan berkala dan pendidikan kesehatan. Penggunaan

ventilasi dan alat pengumpul debu yang tidak memadai, pemeriksaan yang tidak

teratur, dan pengaturan ventilasi yang kurang baik merupakan penyebab

timbulnya gangguan paru pekerja (Syahriany, 2002).

Alat pengumpul debu yang sudah lama dan pengawasan yang kurang baik

menyebabkan debu tidak terserap dengan baik. Debu yang timbul pada proses

produksi adalah debu halus yang dapat mengendap karena adanya gaya gravitasi

bumi dan menggumpal sehingga dapat menempel satu sama lainnya. Debu yang

berterbangan harus dilakukan penyedotan dengan dust collector. Dengan alat ini

udara disaring terlebih dahulu sebelum dialirkan kembali ke dalam ruangan yang

sama dengan menggunakan saringan yang berefektivitas tinggi. Selanjutnya debu

dialirkan melalui pipa cerobong exhaust fan yang dilengkapi dengan saringan

debu sehingga udara yang dibuang ke lingkungan sekitar pabrik diharapkan sudah

bersih dari debu (Syahriany, 2002). Berdasarkan observasi peneliti di lingkungan

sekitar industri pengolahan kayu Perusahaan X, nampak bahwa proses pengolahan

limbah debu tidak efektif karena dust collector hanya ada satu dan letaknya di

tengah perusahaan, tidak di setiap bagian produksi. Selain itu, penggunaan masker

Page 89: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

yang tidak standar memungkinkan debu terhirup dapat menembus masuk ke

dalam saluran nafas sehingga menimbulkan kelainan di paru. Hal ini tentunya

menyebabkan pajanan debu kayu menjadi lebih tinggi terhadap pekerja setiap

harinya. Hal yang terpenting adalah manajemen K3 yang harus dilaksanakan oleh

pihak pemerintah dan perusahaan secara berkesinambungan untuk mencegah

timbulnya penyakit akibat kerja.

Beberapa kelemahan yang ada pada penelitian ini antara lain tidak

dilakukan pengambilan data pendidikan subjek penelitian dan kemungkinan

adanya reporting bias dari subjek penelitian. Penelitian ini menunjukkan tidak

adanya hubungan antara penggunaan APD dan kadar IFN-γ serum. Seperti kita

ketahui, penggunaan APD dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan subjek

penelitian. Tingkat pendidikan yang rendah berkaitan dengan penggunaan APD

yang rendah pula (Antarudin, 2000). Data pendidikan menjadi penting untuk

dicari dan dianalisis hubungannya dengan penggunaan APD pada penelitian ini.

Beberapa keadaan dan penyakit dapat mempengaruhi kadar IFN-γ serum

pekerja seperti yang telah tercantum pada kriteria eksklusi. Semua keadaan atau

penyakit tersebut hanya disingkirkan menggunakan anamnesis sehingga ada

kemungkinan subjek penelitian tidak memberikan keterangan yang sebenarnya.

Begitu juga dengan data penggunaan APD yang didasarkan pada pengakuan

pekerja. Hal ini disebut dengan reporting bias, sesuatu yang relatif sulit dikontrol

oleh peneliti dan menjadi salah satu kelemahan penelitian.

Page 90: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7. 1 Simpulan

Dari data hasil penelitian ini maka dapat diambil simpulan yaitu terdapat

hubungan negatif yang bermakna antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum

pekerja di Industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali.

7.2 Saran

Penelitian ini membuktikan bahwa telah terjadi gangguan dalam tubuh

berupa penurunan kadar IFN-γ serum yang berkaitan dengan peningkatan pajanan

debu kayu. Oleh karena itu, usaha pencegahan untuk menurunkan pajanan debu

kayu terhadap pekerja seperti modifikasi aspek ergonomi, penggunaan APD yang

terstandar dan program berhenti merokok tetap penting untuk dilakukan.

Page 91: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T.Y. 1993. Situasi beberapa penyakit paru di masyarakat. CDK; 84: 28-30. American Thoracic Society. 1996. Respiratory Protection Guidelines. Am J Respir Crit Care Med; 154: 1153-1165. Antarudin. 2000. “Pengaruh debu padi pada faal paru pekerja kilang padi yang merokok dan tidak merokok” (tesis). Medan: Universitas Sumatra Utara. Aviandari, G., Budiningsih, S., Ikhsan, M. 2009. Prevalensi gangguan obstruksi paru dan faktor-faktor yang berhubungan pada pekerja dermaga dan Silo gandum di PT X Jakarta. J Respir Indones; 29(2): 1-12. Bajwa, E.K., Ayas, N.T., Schulzer, M., Mak, E., Ryu, J.H., Malhotra, A. 2005. Interferon-γ1b therapy in Idiopathic pulmonary fibrosis: a metaanalysis. Chest; 128: 203-206. Baran, S., Teul, I. 2007. Wood dust: an occupational hazard which increases the risk of respiratory disease. J Physiol Pharmacol; 58: 43-50. Barnes, P.J. 2008. A blood test for lung fibrosis? PLoS Med; 5: 528-529. Baumgartner, K.B., Samet, J.M., Coultas, D.B., Stidley, C.A., Hunt, W.C., Colby, T.V. 2000. Occupational and environmental risk factors for idiopathic pulmonary fibrosis: a multicenter case-control study. Am J Epidemiol; 152: 307-315. Bender MedSystems. Human IFN-γ serum ELISA product information and manual. Viena. Boehm, U., Klamp, T., Groot, M., Howard, J.C. 1997. Celullar responses to Interferon gamma. Annu Rev Immunol; 15: 749-795. Bohadana, A.B., Massin, N., Wild, P., Toamain, J.P., Engel, S., Goutet, P. 2000. Symptoms, airway responsiveness, and exposure to dust in beech and oak wood workers. Occup Environ Med; 57(4): 268-273. Borg, F.A.Y., Isenberg, D.A. 2007. Syndromes and complications of interferon therapy. Curr Opin Rheumatol; 19: 61–66. Bouros, D, Tzouvelekis, A. 2009. Interferon-gamma for the treatment of idiopathic pulmonary fibrosis. Pneumon; 22: 16-17.

Page 92: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Brandacher, G.,Winkler, C.,Schroeeksnadel, K., Margreiter, R., Fuchs, D. 2006. Antitumoral activity of Interferon-γ involved in impaired immune function in cancer patients. Curr Drug Met; 7: 599-612. Brody, A.R., Bonner, J.C., Badgett, A. 1993. Recombinant interferon gamma reduces PDGF-induced lung fibroblast growth but stimulates PDGF production by alveolar macrophages in vitro. Chest; 103: 1216-1217. Cayon, I., Gonzales, L., Garcia, I., Rosas, C., Gassiot, C.,Garcia, E. 2010. Gamma Interferon and prednisone decreasing-dose therapy in patients with Idiopathic Pulmonary Fibrosis. Biotecnologia Aplicada; 27: 29-35. Chen, E.S., Greenlee, B.M., Wills-Karp, M., Moller, D.R. 2001. Attenuation of lung inflammation and fibrosis in Interferon gamma deficient mice after intratracheal bleomycin. Am J Respir Cell Mol Biol; 24: 545-555. Chung, K.F. 2006. Cytokines as Targets in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Current Drug Targets; 7: 675-681. Damayanti, T., Yunus, F., Ikhsan, M., Sutjahyo, K. 2007. Hubungan penggunaan masker dengan gambaran klinis, faal paru dan foto toraks pekerja terpajan debu semen. Maj Kedokt Indon; 57(9): 289-299. Dauber, J.H., Gibson, K.F., Kaminski, N. 2004. Interferon gamma-1b in idiopathic pulmonary fibrosis. Am J Respir Crit Care Med; 170: 107-108. Davis, G.S., Pfeiffer, L.M., Hemenway, D.R. 2000. Interferon gamma production by spesific lung lymphocyte phenotypes in silicosis in mice. Am J Respir Cell Mol Biol; 22: 491-501. Depkes RI. 1996. Parameter pencemaran udara dan dampaknya terhadap kesehatan. Sub proyek analisis dampak kesehatan lingkungan, Proyek kesehatan lingkungan Bantuan UNDP INS/91/019, Jakarta. Elias, J.A., Freundlich, B., Kern, J.A., Rosenbloom, J. 1990. Cytokine networks in the regulation of inflammation and fibrosis in the lung. Chest; 97: 1439-1445. Enomoto, T., Usuki, J., Azuma, A., Nakagawa, T., Kudoh, S. 2003. Diabetes mellitus may increase risk for idiopathic pulmonary fibrosis. Chest; 123: 2007-2011. Fernandez, O.A. 2006. Serum markers in idiopathic pulmonary fibrosis, implications for prognosis. Arch Bronconeumol; 42: 377-379. Fruchter, O. 2004. Interferon Gamma-1b for Pulmonary Fibrosis. N Engl J Med; 350: 1794-1797.

Page 93: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Gardner, E.M., Murasko, D.M. 2002. Age-related changes in type 1 and type 2 cytokine production in humans. Biogerontology; 3: 271-289. Haris, A., Ikhsan, M., Rogayah, R. 2012. Asap rokok sebagai bahan pencemar dalam ruangan. CDK; 39(1): 17-24. Hubbard, R. 2001. Occupational dust exposure and the aetiology of cryptogenic fibrosing alveolitis. Eur Respir J; 18: 119s-121s. Huff, J. 2001. Sawmill chemicals and carcinogenesis. Environ Health Perspect; 109: 209-212. Jacobsen, G., Schaumburg, I., Sigsgaard, T., Schlunssen, V. 2010a. Non-malignant repiratory diseases and occupational to wood dust. Part I. Fresh wood and mixed wood industry. Ann Agric Environ Med; 17: 15-28. Jacobsen, G., Schaumburg, I., Sigsgaard, T., Schlunssen, V. 2010b. Non-malignant repiratory diseases and occupational to wood dust. Part II. Dry wood industry. Ann Agric Environ Med; 17: 29-44. Kauppinen, T., Vincent, R., Liukkonen, T., Grzebyk, M., Kauppinen, A., Welling, I. 2006. Occupational exposure to inhalable wood dust in the member states of the European union. Ann Occup Hyg; 50: 549-561. Khumaidah. 2009. “Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru pada pekerja mebel PT Kota Jati Furnindo Desa Suwawal Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara” (tesis). Semarang: Universitas Diponegoro. King, T.E., Costabel, U., Cordier, J.F., DoPico, G.A., Du Bois, R.M., Lynch, D. 2000. Idiopathic Pulmonary Fibrosis: Diagnosis and Treatment. ATS Guidelines. Am J Respir Crit Care Med; 161: 646-664. Lange, J.B. 2008. “Effects of wood dust: inflammation, genotoxicity and cancer” (dissertation). Copenhagen: University of Copenhagen. Lesur, O.J., Mancini, N.M., Humbert, J.C., Chabot, F., Polu, J. 1994. Interleukin-6, Interferon-gamma and phospholipid levels in the alveolar lining fluid of human lungs. Chest; 106: 407-413. Lin, M.Y., Ottenhoff, T.H.M. 2008. Host-pathogen interactions in latent mycobacterium tuberculosis infection: identification of new targets for tuberculosis intervention. Endocrine, Met & Immune Dis-Drug Targets; 8: 15-29. Maatta, J., Lehto, M., Leino, M., Tillander, S., Haapakoski, R., Majuri, M. 2006. Mechanisms of Particle-Induced Pulmonary Inflammation in a Mouse Model: Exposure to Wood Dust. Toxicol Sci; 93: 96-104.

Page 94: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Menteri Tenaga Kerja. 1997. Surat edaran No: SE 01/MEN/1997 tentang nilai ambang batas faktor kimia di udara lingkungan kerja. Jakarta. Meo, S.A. 2006. Lung function in Pakistani wood workers. Int J Environ Health Research; 16: 193-203. Meyer, K.C. 2003. Interferon gamma-1b therapy for idiopathic pulmonary fibrosis: is the cart before the horse? Mayo Clin Proc; 78: 1073-1075. Michaels, L. 1967. Lung changes in woodworkers. Canad Med Ass J; 96: 1150-1155. Modestou, A.M., Manzel, L.J., El-Mahdy, S., Look, D.C. 2010. Inhibition of IFN-γ-dependent antiviral airway epithelial defense by cigarette smoke. Respiratory Research; 11: 64-82. Narayanan, A.S., Whithey, J., Souza, A., Raghu, G. 1992. Effect of interferon gamma on colagen syntesis by normal and fibrotic human lung fibroblasts. Chest; 101: 1326-1331. National Health and Medical Research Council. 1997. Passive smoking and adult respiratory disease: the health effects of passive smoking. viewed 7 January 2014. Availabe from: URL: http://www.health.gov.au/nhmrc/advice/nhmrc/chap4/ index.htm. Nathan, S.D., Barnett, S.D., Moran, B., Helman, D.L., Nicholson, K., Ahmad, S. 2004. Interferon gamma-1b as Therapy for Idiopathic Pulmonary Fibrosis. Respiration; 71: 77-82. North, R.J., Jung, Y. 2004. Immunity to tuberculosis. Annu Rev Immunol; 22:

599-623.

O’Connor, T.M. 2004. Interferon gamma toxicity in Idiopathic pulmonary fibrosis. Am J Respir Crit Care Med; 169: 428. Pacifico, L., Di-Renzo, L., Anania, C., Osborn, J.F., Ippoliti, F., Schiavo, E. 2006. Increased T-helper interferon-γ secreting cells in obese children. Eur J Endocrin; 154: 691-697. Pestka, S., Krause, C.D., Walter, M.R. 2004. Interferons, interferon-like cytokines, and their receptors. Immunol Rev; 202: 8-32. Platanias, L.C. 2005. Mechanism of type I and type II interferon signalling. Nat Rev Immunol; 5: 375-386.

Page 95: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Raghu, G., Brown, K.K., Bradford, W.Z., Starko, K., Noble, P.W., Schwartz, D.A. 2004. A placebo controlled trial of interferon gamma-1b in patients with idiopathic pulmonary fibrosis. N Engl J Med; 350: 125-133. Reljic, R. 2007. IFNγ-therapy of tuberculosis and related infections. J Interferon & Cytokine Research; 27: 353-363. Schroder, K., Hertzog, P.J., Ravasi, T., Hume, D.A. 2004. Interferon gamma: an overview of signals, mechanisms and functions. J Leukoc Biol; 75: 163-189. Segel, M.J., Izbicki, G., Cohen, P.Y., Or, R., Christensen, T.G., Wallach-Dayan, S.B. 2003. Role of interferon gamma in the evolution of murine bleomycin lung fibrosis. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol; 285: L1255-L1262. Sharma, R., Guleria, R., Pande, J.N. 2003. Idiopathic Pulmonary Fibrosis Newer Concept and Management Strategies. Indian J Chest Dis Allied Sci; 45: 31-49. Sopiyudin, M. 2010. Besar sampel dan cara pengambilan sampel dalam penelitian kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Salemba Medika. p.76. Syahriany, Y. 2002. “Hubungan kadar debu dan karakteristik pekerja dengan gangguan paru pekerja pada unit produksi tablet industri farmasi X” (tesis). Medan: Universitas Sumatra Utara. Taskar, V.S., Coultas, D.B. 2006. Is idiopathic pulmonary fibrosis an environmental disease? Proc Am Thorac Soc; 3: 293-298. Triatmo, W., Adi, M.S., Hanani, Y. 2006. Paparan debu kayu dan gangguan fungsi paru pada pekerja mebel. J Kesehat Lingkung Indones; 5: 69-75. Van-Crevel, R., Ottenhoff T.H.M., van-Der-Meer, J.W.M. 2002. Innate immunity to mycobacterium tuberculosis. Clin Microbiol Rev; 15(2): 294-309. Wardhana, A.W. 2001. Dampak pencemaran lingkungan. Yogyakarta: ANDI. WHO. 1995. IARC Monographs on the Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans: Wood dust and Formaldehyde. WHO. 2004. Appropiate body-mass index for Asian populations and its implications for policy and intervention strategies. Lancet; 363: 157-163. Work Safe Western Australia. 2000. Controlling wood dust hazards at work. viewed 7 January 2014. Available from: URL: http://www.commerce.wa.gov.au/ worksafe/Content/Safety_Topics/Hazardous_substances/Dust_and_fibres.html

Page 96: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Wynn, T.A. 2004. Fibrotic disease and the Th1/Th2 paradigm. Nat Rev Immunol; 4: 583-594. Yulaekah, S. 2007. “Paparan debu terhirup dan gangguan fungsi paru pada pekerja industri batu kapur” (tesis). Semarang: Univeristas Diponegoro. Yunus, F. 2000. Dampak debu industri pada pekerja. CDK; 128: 5-34. Zaidi, M.R., Merlino, G. 2011. The two faces of interferon gamma in cancer. Clin Cancer Res; 17: 6118-6124. Zhou, L.R., Zhou, J.H., Yang, J.C. 1999. Effects of cytokines induced by mineral dust on lung fibroblasts in vitro. J Occup Health; 41: 144-148.

Page 97: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Lampiran 1.

PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN

Kami mengharapkan partisipasi Bapak/Ibu/Saudara/i dalam penelitian

ilmiah yang dilaksanakan oleh dr. I Gede Yasa Asmara, dokter residen Penyakit

Dalam FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar

Secara keseluruhan sebanyak 60 pasien, termasuk anda, akan berperan

serta. Bacalah informasi ini sebelum Bapak/Ibu/Saudara/i memutuskan apakah

anda akan turut berpartisipasi atau tidak. Janganlah ragu-ragu untuk bertanya bila

ada hal-hal yang belum dimengerti.

Penelitian ilmiah ini dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan antara

pajanan debu kayu dan Interferon gama serum pada pekerja industri pengolahan

kayu di perusahaan tempat Bapak/Ibu/Saudara/i bekerja.

Bila Bapak/Ibu/Saudara/i ikut serta dalam penelitian ini, maka

Bapak/Ibu/Saudara/i akan menjalani wawancara, pemeriksaan fisik singkat, serta

pemeriksaan laboratorium dengan pengambilan sekitar 1 sendok teh darah dan

prosedur ini akan menimbulkan sedikit rasa sakit pada tempat pengambilan.

Keikutsertaan Bapak/Ibu/Saudara/i dalam penelitian ini adalah sukarela.

Hal ini tidak mempengaruhi hubungan dengan dokter, di mana Bapak/

Ibu/Saudara/i akan mendapatkan pelayanan yang sama baiknya.

Data-data yang dikumpulkan dalam penelitian ini akan disimpan di

komputer tanpa nama Bapak/Ibu/Saudara/i. Hanya dokter yang mengetahui data-

Page 98: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

data yang berhubungan dengan Bapak/Ibu/Saudara/i. Hasil penelitian mungkin

akan dipublikasikan di majalah kesehatan tanpa ada identitas Bapak/

Ibu/Saudara/i. Peneliti dan/atau petugas yang ditunjuk dari lembaga pemerintahan

dan/atau karyawan perusahaan tanpa melanggar kerahasiaannya akan menjaga

riwayat kesehatan Bapak/Ibu/Saudara/i.

Penelitian ini hanya dapat dilaksanakan dengan seijin Bapak/Ibu/Saudara/i

dan bahwa dengan menandatangani informasi pasien ini, Bapak/Ibu/Saudara/i

telah mengerti dan memberi ijin tersebut. Selama penelitian berlangsung, saudara

tidak dikenakan biaya dan bila terjadi efek samping pada lokasi suntikan tempat

pengambilan bahan penelitian, hal tersebut menjadi tanggung jawab peneliti.

Apabila timbul pertanyaan mengenai penelitian, harap menghubungi dr. I Gede

Yasa Asmara dengan no telp 08123992275.

Page 99: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Lampiran 2.

FORMULIR PERSETUJUAN TERTULIS

Saya, (nama, huruf cetak) ........................................................................................

Telah membaca keterangan terlampir, dan telah berdiskusi mengenai penelitian ini

dengan dr. (nama, huruf cetak) ...................................................... dan mengerti

hal-hal yang menyangkut penelitian ini.

PEKERJA Saya bersedia untuk ikut serta dalam penelitian

............................. ....................................

tanggal tandatangan

PENELITI Saya telah menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian

ini kepada pasien dengan nama tersebut di atas.

......................... ....................................

tanggal tandatangan

Page 100: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Lampiran 3.

PROSEDUR PEMERIKSAAN INTERFERON GAMA SERUM

A. Metode:

hIFN-γ Immunoassay

B. Prinsip:

hIFN-γ Immunoassay adalah metode pemeriksaan IFN-γ serum dengan

prinsip competitive binding, menggunakan reagen yang dilapisi dengan

antibodi monoklonal terhadap sisi antigenik dari molekul IFN-γ. IFN-γ dari

serum pasien akan berkompetisi dengan konjugat IFN-γ yang ditambahkan,

untuk terikat pada antibodi monoklonal. Setelah inkubasi, konjugat IFN-γ

yang tidak terikat akan dilakukan pencucian, dilanjutkan dengan inkubasi

kedua dengan streptavidin-HRP dan pencucian kedua. Penambahan larutan

substrat akan menghasilkan warna baru yang akan berhenti setelah proses

inkubasi singkat. Intensitas warna yang terbentuk berhubungan secara

proporsional dengan konsentrasi IFN-γ pada pasien. Kurva standar kemudian

dibuat berdasarkan tujuh dilusi IFN-γ standar dan kadar IFN-γ sampel

kemudian dapat ditentukan.

C. Reagen:

1. Microtiter wells yang dilapisi dengan antibodi anti-IFN-γ monoklonal

2. Biotin-conjugate antibodi anti-IFN-γ monoklonal

3. Streptavidin-HRP

4. IFN-γ standar liofilisat

5. Washing dan Assay buffer konsentrasi 20x

6. Reagen amplifikasi, larutan substrat dan stop solution

Page 101: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

D. Prosedur Kerja:

1. Semua reagen dan spesimen harus dibiarkan hingga mencapai temperatur

ruangan sebelum digunakan. Semua reagen harus dicampur tanpa

membentuk busa.

2. Dengan dimulainya pemeriksaan ini, semua langkah-langkah harus

dilengkapi tanpa terputus.

3. Gunakan tabung sekali pakai untuk tiap standar, kontrol dan sampel untuk

mencegah kontaminasi silang.

4. Tambahkan 100µL sample diluent pada tiap standard wells dan 50µL

sample diluent pada sample wells.

5. Tambahkan 50µL biotin conjugate pada semua wells.

6. Inkubasi selama 2 jam pada suhu kamar (18-25°C) atau pada wadah yang

berputar 100 rpm, lalu kosongkan dan cuci wells.

7. Tambahkan 100µL Streptavidin-HRP pada semua wells

8. Inkubasi selama 1 jam pada suhu kamar (18-25°C) atau pada wadah yang

berputar 100 rpm, lalu kosongkan dan cuci wells.

9. Tambahkan 100µL larutan amplifikasi 1 pada semua wells

10. Inkubasi selama 15 menit pada suhu kamar (18-25°C) atau pada wadah

yang berputar 100 rpm, lalu kosongkan dan cuci wells.

11. Tambahkan 100µL larutan amplifikasi 2 pada semua wells

12. Inkubasi selama 30 menit pada suhu kamar (18-25°C) atau pada wadah

yang berputar 100 rpm, lalu kosongkan dan cuci wells.

13. Tambahkan 100µL larutan larutan substrat TMB pada semua wells

14. Inkubasi selama 10 menit pada suhu kamar (18-25°C) atau pada wadah

yang berputar 100 rpm, lalu kosongkan dan cuci wells.

15. Tambahkan 100 uL larutan untuk menghentikan reaksi enzimatik yang

terjadi.

Page 102: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

16. Tentukan daya serap dari tiap wells dengan alat pembaca (microtiter plate

reader).

E. Perhitungan Hasil :

Hitung daya serap rata-rata dari standar, kontrol dan sampel dari pasien.

Gunakan kertas grafik semi-logaritma untuk membentuk kurva standar

menggunakan daya serap rata-rata terhadap konsentrasi masing-masing, daya

serap pada sumbu vertikal (Y) dan konsentrasi pada sumbu horizontal (X).

Daya serap rata-rata untuk tiap sampel akan menentukan konsentrasi pada

kurva standar. Untuk menentukan konsentrasi IFN-γ sampel, cari rata-rata

daya serap pada sumbu Y, tarik garis horizontal ke arah kurva standar dan

cari perpotongannya. Selanjutnya tarik garis vertikal dari perpotongan ke

sumbu X dan baca berapa kadar IFN-γ sampel.

Page 103: HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN ...

Lampiran 4.

FORMULIR PENGUMPULAN DATA

Jawablah pertanyaan dibawah ini atau coretlah yang tidak perlu

No Sampel :

Nama :

Jenis kelamin : L / P

Usia : tahun

Bagian :

Tinggi badan : cm

Berat Badan : kg

IMT : kg/m2

Lama bekerja: tahun

Merokok : Ya / Tidak

Jml Rokok : packyears

Penggunaan APD: Tidak pernah / Jarang / Sering / Selalu

Nilai IFN-γ : pg/ml