hubungan kepatuhan terapi kelasi dengan kadar feritin seum pasien beta-talasemia di RSUP Dr M Djamil...
-
Upload
silvania-maisya -
Category
Documents
-
view
72 -
download
18
description
Transcript of hubungan kepatuhan terapi kelasi dengan kadar feritin seum pasien beta-talasemia di RSUP Dr M Djamil...
HUBUNGAN KEPATUHAN TERAPI KELASI DENGAN KADAR FERITIN SERUM PASIEN β-TALASEMIA ANAK
DI RSUP DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2010-2014
Skripsi
Diajukan ke Fakultas Kedokteran Universitas Andalas sebagai Pemenuhan Salah Satu Syarat untuk Mendapatkan
Gelar Sarjana Kedokteran
Oleh:
SILVANIA MAISYA FITRI
No.BP.1210313061
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2015
1 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
ABSTRACT
RELATIONSHIP BETWEEN COMPLIANCE OF CHELATION THERAPY AND FERRITIN SERUM LEVEL IN β-THALASSEMIA CHILDREN
PATIENTS AT DR.M.DJAMIL PADANG HOSPITAL YEAR 2010-2014
By
SILVANIA MAISYA FITRI
Chronic transfusion cause iron overload in β-thalassemia patient. Therefore, chelation therapy administration will expand iron overload. Ferritin serum is the most easy way to measure iron overload. Compliance of chelation therapy is one of the factor that influence ferritin serum level in β-thalassemia patient. Aim of this research is to obtain relationship between compliance of chelation therapy and ferritin serum level in β-thalassemia children patient in DR.M Djamil Padang Hospital year 2010-2014.
The research is cross-sectional. Initial population is 53 person, and the sample taken by total sampling method, is 33 person. This research performed at Medical Record installation and Pediatric Departemen of DR.M. Djamil Padang Hospital from March - September 2015. Primary data, adherence of chelation therapy was obtained by Morisky medication adherence scale-4 (MMAS-4). Secondary data, serum ferritin levels was obtained by looking at medical records. Data processed by SPSS with univariate and bivariate analyze. Bivariate analyze by Kruskal-Wallis test.
This research obtained 63,6 % β-thalassemia children patient is mild compliance. Mean of ferritin serum level is 4102 ± 4151,3 ng/ml. β-thalassemia children patient with mild compliance shown ferritin serum level 2955 ± 1796,1 ng/ml. There is a relationship between compliance of chelation therapy and ferritin serum level in β-thalassemia children patient with p value 0,004 (p < 0,05) which, the lower the chelation therapy adherence, the higher the levels of ferritin serum. Likewise.
Key Words : β-thalassemia, compliance of chelation therapy, ferritin serum level.
2 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
ABSTRAK
HUBUNGAN KEPATUHAN TERAPI KELASI DENGAN KADAR FERITIN SERUM PASIEN β-TALASEMIA ANAK DI
RSUP DR.M.DJAMIL PADANG TAHUN 2010-2014
Oleh:
SILVANIA MAISYA FITRI
Transfusi kronik menyebabkan iron overload pada pasien β-talasemia. Oleh karena itu, dibutuhkan terapi kelasi untuk mengeluarkan kelebihan besi tersebut. Feritin serum merupakan cara yang termudah untuk mengukur kelebihan besi tubuh. Kepatuhan terapi kelasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kadar feritin serum pasien β-talasemia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kepatuhan terapi kelasi dengan kadar feritin serum pasien β-talasemia anak di RSUP DR.M.Djamil Padang tahun 2010-2014.
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional. Populasi awal adalah 53 orang, pengambilan sampel dilakukan dengan metode total sampling dan didapatkan sampel sebanyak 33 orang. Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret 2015 - September 2015 di Instalasi Rekam Medik dan Bangsal Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang. Data primer, kepatuhan terapi kelasi diperoleh dengan kuisioner Morisky medication adherence scale-4 (MMAS-4). Data sekunder, kadar feritin serum diperoleh dengan melihat data rekam medis. Data diolah dengan program SPSS berupa analisis univariat dan analisis bivariat. Analisis bivariat menggunakan uji Kruskal-Wallis.
Didapatkan 63,6 % pasien β-talasemia anak memiliki kepatuhan sedang. Rerata kadar feritin serum pasien β-talasemia anak adalah 4102 ± 4151,3 ng/ml. Pasien β-talasemia anak dengan kepatuhan sedang memiliki kadar feritin serum 2955 ± 1796,1 ng/ml. Terdapat hubungan kepatuhan terapi kelasi dengan kadar feritin serum pasien β-talasemia anak dengan p value 0,004 (p < 0,05), dimana semakin rendah kepatuhan terapi kelasi, maka semakin tinggi kadar feritin serum. Begitu juga sebaliknya.
Kata kunci: β-talasemia, kepatuhan terapi kelasi, kadar feritin serum
3 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
DAFTAR ISI
HalamanSampul Dalam………………………………………………………... iPernyataan Orisinalitas………………………………………………. iiPengesahan Skripsi…………………………………………………… iiiKata Pengantar……………………………………………………….. ivAbstract………………………………………………………………. viAbstrak……………………………………………………………….. viiDaftar Isi……………………………………………………………… viiiDaftar Tabel………………………………………………………….. xDaftar Gambar……... ……………………………………………….. xiDaftar Singkatan……………………………………………………... xiiDaftar Lampiran……………………………………………………… xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang……………………………….. 1 1.2 Rumusan Masalah……………………………. 61.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum ………………………... 61.3.2 Tujuan Khusus……………………….. 6
1.4 Manfaat Penelitian…………………………… 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fisiologis Pembentukan Hemoglobin dan Talasemia Umum……………………….. 8
2.2 β-talasemia2.2.1 Definisi………………………………... 92.2.2 Epidemiologi………………………….. 92.2.3 Klasifikasi…………………………….. 92.2.4 Patofisiologi…………………………... 102.2.5 Gejala Klinis…………………………... 102.2.6 Pemeriksaan Laboratorium…………… 122.2.7 Diagnosis……………………………... 132.2.8 Diferensial Diagnosis…………………. 142.2.9 Tata Laksana…………………………... 15
2.3 Kelebihan Besi Tubuh dan Terapi Kelasi2.3.1 Pengukuran Kelebihan Besi Tubuh…… 192.3.2 Komplikasi Terkait Kelebihan Besi Tubuh 202.3.3 Terapi Kelasi…………………………... 222.3.4 Kepatuhan Terapi Kelasi………………. 24
4 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konseptual Penelitian………………. 273.2 Hipotesis Penelitian……………………………. 27
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian………………………………... 284.2 Tempat dan Waktu Penelitian…………………. 284.3 Populasi dan Sampel…………………………... 284.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
4.4.1 Kriteria Inklusi…………………………. 284.4.2 Kriteria Eksklusi………………………... 29
4.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional4.5.1 Variabel Penelitian…………………….. 294.5.2 Definisi Operasional…………………... 29
4.6 Sumber Penelitian……………………………... 304.7 Prosedur Pengambilan Data…………………… 304.8 Teknik Pengolahan dan Analisis Data………… 31
4.8.1 Teknik Pengolahan Data………………. 314.8.2 Analisis Data…………………………… 31
BAB V HASIL PENELITIAN
BAB VI PEMBAHASAN
BABVII PENUTUP
Daftar Pustaka
Lampiran
5 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Klasifikasi Klinis β-talasemia…………………………... 9
Tabel 2.2 Komplikasi Transfusi-dependent β-talasemia………….. 19
Tabel 5.1 Karakteristik Penderita β-talasemia Anak
di RSUP Dr.M.Djamil Padang…………………………. 32
Tabel 5.2 Gambaran Kepatuhan Terapi Kelasi Penderita β-talasemia
Anak di RSUP Dr.M.Djamil Padang…………………… 33
Tabel 5.3 Gambaran Kadar Feritin Serum Penderita β-talasemia
Anak yang Mendapatkan Terapi Kelasi di RSUP Dr.M Djamil
Padang…………………………...……………………... 33
Tabel 5.4 Hubungan Kepatuhan Terapi Kelasi dengan Kadar
Feritin Serum di RSUP Dr.M.Djamil Padang…………… 34
Tabel 5.5 Nilai p Value Uji Perbandingan Ganda pada Ketiga Derajat
Kepatuhan Terhadap Kadar Feritin Serum……………. 35
6 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Skema Terapi Kelasi……………………………….. 23
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual………………………………. 27
7 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
DAFTAR SINGKATAN
DFO =Deferoxamin
DFP =Deferiprone
DFX =Deferasirox
MCV =Mean Corpuscular Volume
LCR =Locus Control Region
TIBC =Total Iron Banding Capacity
HPLC =High Performance Liquid Chromartography
HSCT =Hematopoietic Stem Cell Transplantation
HLA =Human Leukocyte Antigen
TRALI =Transfusion Related Acute Lung Injury
HCV =Hepatitis C Virus
HIV =Human Immunodeficiency Virus
HBV =Human B Virus
HTLV1 =Human T-Cell Lymphotropic Virus-1
MRI =Magnetic Resonance Imaging
SQUID =Superconducting Quantum Interference Device
8 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Tabel Master
Lampiran 2 Hasil SPSS
Lampiran 3 Kuisioner dan Informed Consent
9 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Talasemia merupakan salah satu kelompok heterogen anemia herediter
yang disebabkan oleh mutasi pada sintesis hemoglobin (Cunningham et al., 2009).
Di dunia, insiden talasemia setiap tahunnya diperkirakan mencapai 1 dari 100.000
orang (Sirachainan, 2013). Empat koma delapan persen populasi dunia membawa
varian defek rantai globin, termasuk 1,67 % populasi yang bersifat heterogen α-
talasemia dan β-talasemia, 1,92 % pembawa hemoglobin sickle, 0,95% pembawa
hemoglobin E, dan 0,29 % pembawa hemoglobin C (Rund dan Rachmilewitz,
2006). Menurut WHO, sekitar 300.000-400.000 bayi lahir tiap tahun mengalami
keadaan ini (Weatherall dan Clegg, 2001).
Talasemia terjadi di daerah Mediterania, Timur jauh, dan Amerika Utara,
tapi lebih sering terjadi di Negara-Negara Asia Tenggara (Sirachainan, 2013). Di
Indonesia, talasemia merupakan kelainan genetik yang paling banyak ditemukan
dan berkontribusi terhadap 31% penyebab anemia (Timan et al., 2002). Persentase
pembawa sifat talasemia adalah 3-5%, bahkan di beberapa daerah mencapai 10%
(Health Technology Assessment Indonesia, 2009).
Talasemia dapat dibagi berdasarkan defek gen yang mengkode rantai
globin pada hemoglobin sel darah merah, defek pada rantai α-globin disebut α-
talasemia, defek pada rantai β-globin disebut β-talasemia (Martin dan Thompson,
2013). β-talasemia dibagi dalam tiga kategori, talasemia mayor (Dependent-
10 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
transfusi), talasemia intermedia (non-dependent transfusi), dan talasemia minor
yang bersifat karier tanpa menunjukan gejala anemia (Sirachainan, 2013).
Talasemia akan mengakibatkan penghancuran sel darah merah secara
berlebihan yang memicu anemia (Palit et al., 2012). Penghancuran terjadi akibat
ketidakseimbangan sintesis rantai hemoglobin, yang akan berinteraksi dengan
membran sel darah merah memicu hemolisis dan penghancuran sel darah merah
intramedular. Anemia kronik pada pasien talasemia ini menyebabkan gagal
tumbuh dan keterlambatan pubertas akibat kelebihan besi tubuh (Martin dan
Thompson, 2013).
Untuk mencegah terjadinya gagal tumbuh dan keterlambatan pubertas
maka dilakukan transfusi darah. Transfusi darah pasien β-talasemia dapat bersifat
dependent maupun non-dependent (Bakr et al., 2014).
Setiap regimen transfusi darah mengandung 10-15 ml/kg packed red cel
yang diberikan setiap 3-4 minggu untuk menyokong pertumbuhan. Setiap mililiter
packed red cel mengandung 1,1 mg besi. Manusia hanya mampu
mengekskresikan sedikit besi melalui feses, urin, kuku dan sel yang mengalami
deskuamasi pada menstruasi. Terapi transfusi darah secara kronik memicu
terjadinya akumulasi besi secara progresif kira- kira 0,3-0,5 mg/kg per hari
(Kwiatkowski, 2008).
Gejala klinis yang timbul pada pasien yang mengalami kelebihan besi
tubuh antara lain hipogonadisme (35-55%), hipotiroidisme (9-11%),
hipoparatiroidisme (4%), diabetes (6-10%), fibrosis hati dan disfungsi
jantung (33%) (Galanello dan Origa, 2011). Abnormalitas tulang,
splenomegali, hipersplenolisme, hiperkoagobilitas, hipertensi pulmonal juga
11 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
sering terjadi (Martin dan Thompson, 2013). Penyakit jantung menjadi penyebab
utama mortalitas dan morbiditas pasien talasemia (Kremastinos, 2010).
Terapi kelasi besi mampu mengeluarkan kelebihan besi tubuh dan menjaga
kadar besi tubuh dalam batas aman sehingga mencegah komplikasi talasemia
(Poggiali et al., 2012). Penelitian klinis menunjukan pemberian terapi kelasi besi
mampu meningkatkan kelangsungan hidup pasien talasemia (Ibrahiem dan
Thabet, 2013).
Deferoxamin (DFO) merupakan salah satu terapi kelasi yang secara
signifikan meningkatkan kualitas hidup dan angka harapan hidup sampai 10 tahun
(Cianciulli, 2009). DFO diberikan secara parenteral dan infus
dengan waktu yang cukup lama dan menimbulkan nyeri sehingga
menurunkan kepatuhan pasien dalam melakukan pengobatan (Ibrahiem, 2013 dan
Poggiali, 2012).
Deferiprone (DFP) merupakan agen kelasi oral pertama yang diciptakan
dan efektif mengikat kelebihan besi dan mengeluarkannya dari dalam tubuh
sehingga dapat menggantikan peran DFO dalam mengatasi kelebihan besi tubuh
(Jamuar dan Lai, 2012). Angka kepatuhan DFP oral terbukti lebih tinggi daripada
infus DFO subkutaneus (Cianciulli, 2009). Deferasirox (DFX) merupakan
salah satu agen kelasi oral baru yang diminum hanya sekali sehari (Cianciulli,
2009). Studi menyatakan pasien lebih nyaman mengkonsumsi
DFX daripada DFO (Poggiali et al., 2012).
Terapi dapat diberikan sebagai monoterapi maupun kombinasi, yang
masing-masing memiliki efektifitas yang berbeda beda. Suatu penelitian di India
menyatakan bahwa pemberian DFX selama 6 bulan setelah 10-20 kali transfusi
12 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
dapat menurunkan kadar feritin serum sekitar 1300 ng/ml (Gomber et al., 2004).
Studi lain menunjukan, pemberian DFP pada 9 anak menunjukan penurunan kadar
feritin serum sekitar 500-1000 ng/ml (Makis et al., 2013). Selama satu tahun
pemberian DFX sebanyak 30 mg/kg/hari mampu menurunkan kadar feritin serum
sebanyak 1.200 ng/ml (Chaudhary, 2013).
Penelitian di Mesir juga menyatakan terapi kombinasi DFP dan DFO
mampu menurunkan kadar feritin serum 200-1000 ng/ml (Alymara, 2004). Uji
klinis lainnya menyatakan pemberian terapi kombinasi DFX dan DFO mampu
menurunkan kadar feritin serum sebanyak 1,110-10,700 ng/ml setelah 12 bulan
terapi (Lal, 2013). Studi lain terhadap 16 pasien talasemia juga menyatakan,
pemberian DFO saja menyebabkan peningkatan kadar feritin serum (11 pasien),
penurunan feritin serum (5 pasien), dan tidak mengalami perubahan (1 pasien),
sedangkan terhadap 19 pasien yang diberikan terapi kombinasi DFO dan DFX
menunjukan penurunan kadar feritin serum (14 pasien), dan peningkatan kadar
feritin serum (5 pasien) (Mashadi et al., 2011).
Kepatuhan terapi merupakan penentu utama keberhasilan suatu terapi.
Ketidakpatuhan terapi merupakan masalah serius yang akan menyebabkan
perburukan penyakit, dan kematian. Beberapa metode dapat digunakan sebagai
alat untuk menilai kepatuhan, yaitu metode langsung dan tidak langsung (Jimmy
dan jose, 2011).
Metode langsung dilakukan dengan pengamatan langsung terhadap pasien,
mengatur kadar obat dalam darah atau urin. Metode tidak langsung dilakukan
dengan kuisioner, laporan langsung pasien, perhitungan pil, penilaian respons
klinis pasien, pengukuran marker fisiologis (Jimmy dan jose, 2011). Morisky
13 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
medication adherence scale (MMAS) merupakan salah satu kuisioner yang
digunakan untuk menilai kepatuhan obat. Kuisioner ini sudah divalidasi untuk
hipertensi, namun juga digunakan pada berbagai macam kondisi medis. Versi
awal dari MMAS ini adalah Morisky medication adherence scale-4 (MMAS-4),
namun sekarang terdapat versi baru yaitu Morisky medication adherence scale-8
(MMAS-8) (Pedersini dan Vietri, 2014).
Penelitian di Iran terhadap 243 pasien β-talasemia mengenai kepatuhan
pasien terhadap DFO dengan kadar feritin serum menunjukan hasil yang beragam.
Pemenuhan kepatuhan terlihat pada 46 pasien (18,2%) dengan kadar feritin serum
kurang dari 2000 µg/l, kepatuhan sedang terlihat pada 78 pasien (31,3%) dengan
kadar feritin serum 2000-4000 µg/l, sedangkan yang tidak patuh terlihat pada 119
(48,8%) pasien dengan kadar feritin serum lebih dari 4000 µg/l. Pemenuhan
kepatuhan terhadap terapi DFO menjadi salah satu faktor keberhasilan terapi
kelasi yang tergambar dengan pencapaian kadar feritin serum yang diinginkan
oleh klinisi (Pedram, 2010).
Terdapat berbagai macam cara dalam mengevaluasi derajat kelebihan
besi , yaitu kadar feritin serum, konsentrasi besi hati, superconducting quantum
interference device (SQUID), magnetic resonance imaging (MRI) (Poggiali et al.,
2012). Kadar feritin serum merupakan indikator tersering yang digunakan dalam
mengukur kadar besi tubuh, dimana serum feritin dibawah 2500 ng/ml
menunjukan peningkatan kelangsungan hidup dan bebas dari penyakit jantung
(Rund dan Rachmilewtz, 2006).
14 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Dari data rekam medis Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang tahun 2010-
2014 didapatkan 150 pasien yang didiagnosa talasemia, karena di Rumah Sakit
Dr. M. Djamil Padang belum pernah dilakukan penelitian ini, maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan kepatuhan terapi kelasi
dengan kadar feritin serum pasien β-talasemia anak di RSUP Dr. M. Djamil
Padang tahun 2010-2014.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan kepatuhan terapi kelasi dengan kadar feritin
serum pasien β-talasemia anak di RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2010-2014.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan kepatuhan terapi kelasi dengan kadar feritin serum
pasien β-talasemia anak di RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2010-2014.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran kepatuhan terapi kelasi pasien β-talasemia anak di
RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2010-2014.
2. Mengetahui gambaran kadar feritin serum pasien β-talasemia anak di
RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2010-2014.
3. Mengetahui hubungan kepatuhan terapi kelasi dengan kadar feritin serum
pasien β-talasemia anak di RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2010-2014.
15 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk meningkatkan ilmu
dan pemahaman penulis mengenai β-talasemia.
1.4.2 Bagi Klinisi
Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sarana informasi bagi
petugas kesehatan mengenai hubungan kepatuhan terapi kelasi dengan kadar
feritin serum pasien β-talasemia anak.
1.4.3 Bagi Pengamat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai data dasar untuk
penelitian selanjutnya mengenai β-talasemia anak.
16 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fisiologis Pembentukan Hemoglobin dan Talasemia Umum
Sel darah manusia dewasa terdiri dari 97% hemoglobin dewasa (HbA:
α2β2), kira-kira 2,5 % HbA2 (α2δ2) dan sejumlah hemoglobin fetus (HbF : α2γ2).
Manusia memiliki enam jenis rantai globin (α, β, γ, δ, ε, ζ) yang berbeda pada
setiap tahap perkembangan (Cappellini, 2012).
Pada fase embrio awal, sintesis hemoglobin terbatas di yolk sac berupa
hemoglobin gower 1 (ζ2ε2), gower 2 (α2ε2), and portland (ζ2γ2), setelah berumur
delapan minggu gestasi, hati fetus mengambil alih sintesis hemoglobin yang
predominant HbF (α2γ2) dan sejumlah kecil (<10%) HbA. Saat berumur 18
minggu gestasi sampai lahir, sum-sum tulang belakang menjadi tempat utama
produksi hemoglobin menggantikan hati. Pada akhir gestasi produksi HbF
menjadi lebih sedikit dibandingkan HbA, dan pada tahun pertama kehidupan
produksi HbF kurang dari 2% (Cappellini, 2012).
Gugus gen rantai α-globin terletak di lengan pendek kromosom 16,
sedangkan gugus gen rantai β-globin terletak di lengan pendek kromosom 11. Gen
rantai globin memiliki beberapa regulator positif dalam proses transkripsi seperti
Locus Control Region (LCR). Mutasi pada regulator tersebut menganggu ekspresi
gen globin sehingga menyebabkan ketidakseimbangan produksi rantai globin. Jika
sintesis gen rantai α-globin terganggu maka produksi β-globin akan berlebihan
maka hal ini disebut α-talasemia, begitu juga sebaliknya (Grosso et al., 2012).
17 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
2.2 β-talasemia
2.2.1 Definisi
β-talasemia merupakan keadaan yang ditandai dengan penurunan atau
tidak adanya sintesis rantai β-globin yang menyebabkan penurunan produksi sel
darah merah dan memicu anemia (Gallanelo dan Origa, 2010).
2.2.2 Epidemiologi
Prevelansi β-talasemia dunia mendekati 3%, di beberapa negara seperti
Itali dan Mesir mencapai 15%-30%. Prevelensi tertinggi ditemukan pada
masyarakat keturunan Amerika (Ferri, 2015).
2.2.3 Klasifikasi
Tabel 2.1 Klasifikasi klinis β-talasemia
Jenis Talasemia Ciri-Ciriβ-Talasemia mayor 1.Bersifat homozigot
2.Ketidakseimbangan rantai globin αβ yang signifikan3.Anemia berat muncul pada awal awal kehidupan4.Membutuhkan transfusi darah seumur hidup5.Jika tidak diterapi menyebabkan kematian pada dekade awal kehidupan
β-Talasemia intermedia
1.Terjadi interaksi genetik yang bermacam-macam2.Gangguan produksi rantai globin yang ringan3.Anemia ringan terdiagnosis pada remaja akhir
β-Talasemia minor 1.Bersifat heterozigot2.Asimptomatik3.Hanya membutuhkan konseling genetik
(Cappellini, 2012).
β-Talasemia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan kebutuhan transfusi
darah regular yaitu; talasemia mayor, membutuhkan transfusi darah lebih dari 8-
12 kali per tahun dan talasemia intermedia, dalam keadaan normal mampu
18 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
memelihara kadar Hb adekuat, dan hanya membutuhkan transfusi darah kurang
dari 8 kali pertahun pada saat stres fisiologi (Martin dan Thompson, 2013).
2.2.4 Patofisiologi
β-talasemia terjadi akibat defek gen rantai β yang menyebabkan produksi
rantai β-hemoglobin relatif berkurang dibandingkan rantai α-hemoglobin. Rantai
α-hemoglobin akan beredar bebas dalam darah dan terakumulasi di prekusor
eritroid. Rantai α-hemoglobin yang bebas tidak bisa membentuk tetramer yang
stabil sehingga akan membentuk badan inklusi dan merusak membran sel darah
merah yang menyebabkan destruksi prekusor eritroid di sum-sum tulang belakang
(Inefektif eritropoesis). Inefektif eritropoesis memicu terjadinya ekspansi sum-
sum tulang, anemia, hemolisis, splenomegali, dan peningkatan absorbsi besi
(Cappellini, 2012).
2.2.5 Gejala Klinis
2.2.5.1 β-talasemia mayor
β-Talasemia mayor sering ditemukan pada anak berumur 6 bulan sampai
24 bulan dengan klinis anemia berat (Atmakusuma, 2009). Gagal tumbuh, pucat
yang progresif, masalah menyusui, diare, iritabilitas, hepatomegali, splenomegali
juga terjadi. Pada negara berkembang, dimana fasilitas transfusi darah yang tidak
lengkap terjadi retardasi pertumbuhan, kelemahan otot, ikterus, perubahan tulang,
deformitas tulang dan perubahan kraniofasial yang tipikal. Jika transfusi darah
secara regular dilakukan maka konsentrasi hemoglobin tetap dalam ambang 9,5 -
10,5 sehingga pertumbuhan dan perkembangan akan cenderung normal sampai
umur 10-12 tahun (Gallanello dan Origa, 2010).
19 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
2.2.5.2 β-talasemia intermedia
Gambaran klinik bevariasi dari ringan sampai berat. Anemia bervariasi
dari sedang sampai berat sehingga tidak dapat mentoleransi aktifitas berat
(Atmakusuma, 2009). Pada keadaan yang berat gejala muncul antara umur 2 – 6
tahun, walaupun mereka dapat bertahan tanpa transfusi darah rutin, gangguan
pertumbuhan dan perkembangan tetap terjadi. Pada keadaan yang sedang, gejala
pasien bersifat asimptomatik sampai dewasa muda dan terkadang dengan anemia
ringan. Hipertrofi eritroid sum-sum tulang belakang dan peningkatan eritropoesis
ekstramedular terjadi sebagai mekanisme kompensasi terhadap anemia kronik.
Akibatnya, timbul deformitas tulang dan wajah, osteoporosis dengan fraktur
patologis tulang panjang dan pembentukan masa eritropoetik yang menyerang
limfa dan nodus limfe. Ekstramedular eritropoesis juga menyebabkan masalah
neurologi seperti kompresi sum-sum tulang belakang, paraplegia dan masa
intratorakal. Pasien talasemia intermedia sering mengalami ulkus kaki dan
meningkatkan predisposisi untuk trombosis dibandingkan talasemia minor,
terutama jika dilakukan splenektomi (Gallanello dan Origa, 2010).
2.2.5.3 β-talasemia minor
β-Talasemia minor memiliki tampilan klinis normal. Hepatomegali dan
splenomegali ditemukan pada sedikit penderita (Atmakusuma, 2009).
20 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
2.2.6 Pemeriksaan Laboratorium
2.2.6.1 β-talasemia mayor
Kadar hemoglobin rendah sekitar 3 atau 4 g%. Pada apusan darah tepi
ditemukan eritrosit hipokrom, sangat poikilositosis, sel target, sel teardrop,
eliptosit, eritrosit stippled dan banyak sel eritrosit bernukleus. Fragmen eritrosit
dan mikrosferosit terjadi akibat ketidakseimbangan sintesis rantai globin. MCV
terentang antara 50 – 60 fL. Sel darah merah khas berukuran besar dan sangat
tipis, biasanya wrinkled dan folded. Hitung retikulosit berkisar antara 1% - 8%
dimana nilai ini kurang berkaitan dengan hiperplasia eritroid dan hemolisis yang
terjadi (Atmakusuma, 2009).
Elektroforesis hemoglobin menunjukan terutama HbF dengan sedikit
peningkatan HbA2. HbA tidak ada sama sekali ataupun menurun. Sum-sum tulang
menunjukan hiperplasia eritroid dengan perbanding rasio eritroid dan mioloid
kurang lebih 20:1. Besi serum sangat meningkat, tetapi total iron binding capacity
(TIBC) normal atau sedikit meningkat. Saturasi transferin 80% atau lebih. Feritin
serum biasanya meningkat (Atmakusuma, 2009).
2.2.6.2 β-talasemia intermedia
Morfologi eritrosit pada β-talasemia intermedia menyerupai talasemia
mayor. Elektroforesis hemoglobin menunjukan HbF2-100%. HbA2 sampai 7% dan
HbA0-80% bergantung pada fenotip penderita. HbF didistribusikan secara
heterogen dalam peredaran darah (Atmakusuma, 2009).
21 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
2.2.6.3 β-talasemia minor
Penderita β-talasemia minor ditemukan anemia hemolitik ringan yang
asimptomatik. Kadar hemoglobin terentang antara 10-13% dengan jumlah eritrosit
normal atau sedikit tinggi. Darah tepi menunjukan gambaran mikrositik
hipokrom, poikilositosis, sel target dan eliptositosis, termasuk kemungkinan
ditemukannya peningkatan eritrosit stippled. Sum-sum tulang menunjukan
hiperplasia eritroid ringan sampai sedang dengan eritropoisis yang sedikit tidak
efektif. Umumnya kadar HbA2 tinggi (antara 3,5-8%). Kadar HbF biasanya
terentang antara 1-5%. Pada bentuk varian lainnya jarang ditemukan HbF antara 5
– 20% (Atmakusuma, 2009).
2.2.7 Diagnosis
Pemeriksaan sel darah merah lengkap termasuk hemoglobin, indeks sel
darah merah dan hitung retikulosit berguna untuk skrining talasemia. Pasien
talasemia menunjukan mikrositosis dan hipokromia. Hitung sel darah merah
relatif meningkat. Hasil apusan darah tepi pasien talasemia bentuknya aneh,
berfragmentasi, sel darah merah yang mikrositosis, adanya badan inkulsi sel darah
merah (rantai globin) setelah pewarnanan suprafital (Martin dan Thompson,
2013).
Elektroforesis hemoglobin atau high-performance liquid chromatography
(HPLC) bisa menjadi poin diagnostik untuk talasemia dengan dominant HbF,
rendah atau tidak adanya HbA dan peningkatan HbA2. HbE bisa juga terdeteksi
pada pasien HbE β-Talasemia. Untuk pasien penyaki HbH atau bentuk lain
talasemia, HPLC bisa mendeteksi peningkatan Hb Barts saat lahir, HbH pada
22 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
akhir kehidupan. Secara umum tes berbasis-DNA penting untuk diagnosis
defenitif (Martin dan Thompson, 2013).
2.2.8 Diferensial Diagnosis
Terdapat beberapa kondisi yang memiliki kemiripan dengan β-talasemia:
2.2.8.1 Anemia sideroblastik
Anemia sideroblastik dibedakan dengan β-talasemia dengan adanya cincin
sideroblast pada sum-sum tulang belakang dan adanya peningkatan serum
konsentrasi protoporfirin eritrosit. Hampir semua anemia sideroblastik
berhubungan dengan defek sintesis heme terutama sintesa asam delta-
aminolevulinik (Gallanello dan Origa, 2010).
2.2.8.2 Anemia diseritropoitik kongenital
Anemia diseritropoitik kongenital tidak menunujukan peningkatan HbF
dan mempunyai ciri khas lainnya seperti pada apusan darah tepi terlihat prekusor
sel darah merah yang multinukleasi (Gallanello dan Origa, 2010).
2.2.8.3 Kondisi-kondisi didapat lainnya
Hal-hal yang berhubungan dengan peningkatan HbF seperti leukemia
mielomonositik kronik juvenile, anemia aplastik kongenital dan didapat
(Gallanello dan Origa, 2010).
2.2.8.4 Bentuk anemia mikrositik lainnya seperti anemia defisiensi besi,
anemia inflamasi.
23 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
2.2.9 Tata Laksana
2.2.9.1 Transfusi darah
Transfusi darah bertujuan untuk mengkoreksi anemia, menghambat
absorbsi besi di gastrointestinal. Indikasi untuk dilakukan transfusi darah adalah
anemia berat (Hb <7 g/dl selama lebih dari 2 minggu), akan tetapi pasien dengan
Hb>7g/dl yang disertai perubahan wajah, pertumbuhan terhambat, dan bukti
ekspansi tulang serta splenomegali harus dipertimbangkan lebih lanjut untuk
dilakukan transfusi darah. Penelitian menyimpulkan konsentrasi hemoglobin pre-
transfusi antara 9-10 g/dl dan post-transfusi 13-14 g/dl. Penetapan konsentrasi
hemoglobin ini mencegah kerusakan organ dan deformitas tulang, sehingga pasien
talasemia dapat melakukan aktivitas secara normal dan mendapatkan kualitas
hidup yang bagus. Frekuensi transfusi biasanya 2-4 minggu (Gallanello dan Origa,
2010).
Jumlah darah yang ditransfusikan tergantung berat badan pasien, target
peningkatan hemoglobin dan kadar hematokrit. Secara umum jumlah sel darah
merah yang ditransfusikan tidak melebihi 15-20 ml/kg/hari, dan diinfuskan
dengan kecepatan maksimum 5 ml/kg/jam untuk menghindari peningkatan cepat
volume darah. Walaupun transfusi darah dapat mengatasi anemia pada talasemia
namun, transfusi darah juga dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi
(Gallanelo dan Origa, 2010). Komplikasi tersering adalah kelebihan besi tubuh,
komplikasi lainnya dapat dilihat pada tabel 2.2.
24 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Tabel 2.2 Komplikasi Transfusi-dependent β-talasemia
Komplikasi ContohKelebihan besi tubuhInfeksi Tersering
- Virus (HIV, HCV, HBV, HTLVI, West Nile virus)
- Bakteri- Parasit
Jarang- Penyakit Greutzfeld-Jacob - Patogen kombinasi dan baru
Reaksi hemolitik Reaksi hemolitik akutReaksi hemolitik tertundaAnemia hemolitik autoimun
Reaksi non-hemolitik Reaksi alergi dan anafilaksisReaksi non-hemolitik febrilTransfusion-related acute lung injury (TRALI)Transfusion-associated graft-versus-host diseaseKelebihan sirkulasiPurpura post-transfusi
(Gallanello dan Origa, 2010).
2.2.9.2 Splenektomi
Splenektomi dapat mengatasi anemia pada talasemia transfusi non-
dependent, namun untuk β-talasemia intermedia dan mayor jarang dipakai. Hal ini
di sebabkan karena potensi infeksi dan resiko kejadian trombotik sering terjadi
pasca splenektomi. Generasi trombin meningkat dan protein C dan S menurun
yang berkontribusi pada keadaan protrombolitik. Kadar trombosit meningkat
setelah splenektomi, tapi tidak terlalu berhubungan dengan kecenderungan
pembentukan trombus. Pasien yang mengalami pneumokokus, meningokokus dan
infeksi H.Influenzae sebelum splenektomi harus mengkonsumsi penisilin seumur
hidup sebagai profilaksis (Martin dan Thompson, 2013).
25 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
2.2.9.3 Suplemen vitamin
1. Asam askorbat (Vitamin C)
Peran asam askorbat dalam metabolisme besi dan terapi kelasi masih
kontroversial dan kompleks. Defisisiensi vitamin C jaringan sering terjadi pada
hemosiderosis akibat metabolisme yang dipercepat. Pemberian vitamin C secara
signifikan bisa menambah ekskresi besi sebagai respon terhadap DFO, terutama
pasien yang mengalami defisiensi vitamin C. Asam askorbat memperlambat
kecepatan konversi feritin menjadi hemosiderin. Asam askorbat juga
meningkatkan peroksidasi di-mediasi besi pada membran lipid yang menyebabkan
kerusakan membran pada kultur sel miokardial (Orkin et al., 2009).
2. Vitamin E
Defisiensi vitamin E terlihat pada pasien talasemia yang melakukan
transfusi sel darah merah kronik. Keadaan ini menyebabkan kerusakan membran
sel darah merah sehingga memicu hemolisis. Pemberian vitamin E dapat
mengurangi hemolisis dan kerentanan membran sel darah merah (Orkin et al.,
2009).
3. Asam folat
Anemia megaloblastik akibat defisiensi asam folat sering terjadi pada β-
talasemia berat. Sebaliknya defisiensi vitamin B12 jarang pada talasemia.
Defisiensi asam folat terjadi akibat penurunan absorbsi, konsumsi yang rendah
dan kebutuhan sum-sum tulang yang sangat besar. Asam folat diberikan sebanyak
1 mg (Orkin et al., 2009).
26 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
2.2.9.4 Induksi HbF
HbF penting dalam memperbaiki gejala dari β-thalasemia intermedia. Tiga
klasifikasi medikasi umum telah diperkenalkan dalam meningkatkan kadar HbF.
1. Hidroxiurea
Walaupun berhasil dalam mengatasi penyakit sickle sel, hidroksiurea tidak
banyak diuji dalam menyembuhkan talasemia. Hidroksiurea tidak terbukti
memberikan efek positif pada morfologi dan deformitas sel darah merah pada
pasien talasemia. Namun hidroksiurea mampu memperpanjang umur sel darah
merah dan menurunkan hiperkoagulabilitas. Hidroksiurea bisa juga menurunkan
kebutuhan transfusi pada beberapa pasien talasemia berat (Martin dan
Thomposon, 2013).
2. Inhibitor DNA-metilasi
Obat-Obat demetilasi seperti 5-azacytidin, resultidin bisa meningkatkan
total hemoglobin (Martin dan Thomposon, 2013).
3. Asam lemak rantai pendek
Asam lemak rantai pendek bisa memperbaiki anemia pada non dependent
transfuse talasemia. Sodium penilbutirat bisa meningkatkan kadar total
hemoglobin (Martin dan Thomposon, 2013).
2.2.9.5 Transplantasi stem sel
Hematopoietic stem cell transplantation (HSCT) menggunakan
pencocokan HLA dengan donor terkait. Stem sel merupakan terapi konfensional
untuk talasemia. Studi awal menunjukan HSCT pada talasemia menimbulkan efek
seperti hepatomegali, fibrosis portal, terapi kelasi yang jelek. Pesaro memprediksi
27 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
prognosis transplantasi stem sel pada talasemia menggunakan beberapa kelas.
Pasien tidak memiliki gejala perburukan ( kelas 1) mempunyai presentasi bebas
talasemia 87%. Kelas 2, pasien memiliki paling sedikit satu gejala perburukan dan
memiliki 85% bebas talasemia. Kelas 3, pasien memiliki 2 atau lebih gejala
perburukan dengan 53% bebas talasemia (Martin dan Thompson, 2013).
2.3 Kelebihan Besi Tubuh dan Terapi Kelasi
2.3.1 Pengukuran Kelebihan Besi Tubuh
Kelebihan besi tubuh harus dievaluasi sebagai panduan terapi, pelaksanaan
dan monitoring terapi kelasi. Status besi tubuh dapat dinilai melalui beberapa
metode. Serum feritin merupakan metode tersering yang digunakan dalam menilai
kelebihan besi tubuh, namun pengukuran feritin serum tidak selalu dapat
diandalkan, karena nilainya dipengaruhi oleh reaksi fase akut seperti pada
penyakit inflamasi, penyakit hati, keganasan. Walaupun demikian pemeriksaan
serum feritin tetap mejadi cara termudah dan tetap diandalkan dalam
mengevaluasi kelebihan besi tubuh dan efektifitas terapi kelasi (Gallanello dan
Origa, 2010).
Pemeriksaan konsentrasi besi hati melalui biopsi hati memiliki hasil yang
lebih memuaskan dan menjadi gold standar dalam mengevaluasi kelebihan besi
tubuh, namun biopsi hati bersifat invasif sehingga sering menimbulkan bermacam
komplikasi. Teknik nuclear magnetic resonance imaging (MRI) mulai di
perkenalkan dalam menilai kelebihan besi di hati dan jantung. Magnetic
biosusceptometry (SQUID) merupakan pilihan lain dalam menilai kelebihan besi
tubuh (Gallanello dan Origa, 2010).
28 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
2.3.2 Komplikasi Terkait Kelebihan Besi Tubuh
2.3.2.1 Kelainan tulang
Kelainan tulang pada talasemia berkaitan erat dengan ekspansi eritroid,
tidak berkaitan dengan kelebihan atau kelainan metabolisme vitamin D. Usaha
untuk menjaga kadar hemoglobin normal, menyebabkan penekanan eritropoesis.
Osteoporosis sering terjadi pada pasien yang melakukan transfusi secara kronik.
Banyak peneliti mengungkapkan pasien talasemia yang sering melakukan
transfusi mengalami berbagai fraktur. Perubahan tulang akibat pertumbuhan
berlebihan sum-sum tulang belakang seperti pelebaran tulang rusuk dan adanya
masa jaringan ekstramedular hemopoitik. Vertebra terlihat seperti persegi dengan
trabekula kasar (Orkin et al., 2009). Terapi osteoporosis dengan bifosfonat dapat
meningkatkan densitas tulang dan mengurangi fraktur (Martin dan Thompson,
2013).
2.3.2.2 Endokrinopati
Endokrinopati terjadi akibat akumulasi besi pada berbagai kelenjar
endokrin. Akumulasi besi di kelenjar hipotalmus-hipofise menyebabkan retardasi
pertumbuhan akibat produksi hormon pertumbuhan yang tidak adekuat. Kelainan
kelenjar tiroid juga terjadi seperti hipotiroidisme. Kelainan kelenjar adrenal juga
terjadi dengan peningkatan kadar ACTH 3-10 x normal. Kelainan kelenjar
pankreas seperti diabetes terjadi akibat hipoproduksi enzim pankreas dan
resistensi insulin (Orkin dan Thompson, 2009).
Hipogonadotropik hipogonadisme terlihat pada 50% pasien talasemia,
yang ditandai dengan keterlambatan perkembangan organ reproduksi. Keracunan
29 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
kelebihan besi menjadi penyebab hipogonadisme dan gangguan fungsi endokrin
lainya seperti fertilitas. Walupun jarang, hipoparatiroidisme bisa berhubungan
dengan gangguan metabolisme kalsium. Oleh karena itu, ketika dilakukan
transfusi sel darah merah, pasien talasemia juga di berikan vitamin D dan kalsium
yang adekuat terutama saat perkembangan skeletal. Terapi pengganti hormon
pertumbuhan, hormon tiroid dan insulin, dapat diberikan untuk mengatasi
gangguan endokrin (Martin dan Thompson, 2013).
2.3.2.3 Komplikasi Hepar
Penyakit hepar terkait β-talasemia bisa disebabkan oleh virus hepatitis
terkait transfusi, kelebihan besi tubuh, toksisitas obat (Guideline for the clinical
care of patients with thalassemia in Canada). Hepatomegali merupakan tanda
khas pasien talasemia akibat transfusi kronik. Hepatomegali terjadi akibat
pembengkakan parenkima hepar dan sel fagosit dengan hemosiderin. Hepatitis
berulang menunjukan disfungsi hepar dan bisa memicu fibrosis yang berakhir
pada sirosis hati. Kadar bilirubin pasien talasemia yang telah menerima transfusi
biasanya tidak pernah melebihi 2 mg/dl (Orkin et al., 2009).
2.3.2.4 Hiperkoagulabilitas
Hiperkoagulabilitas terjadi akibat peningkatan aktivasi dari trombosit serta
endotel pembuluh darah. Kelebihan besi tubuh akibat transfusi berulang
menyebabkan sel darah merah rentan untuk hancur baik di intravaskuler maupun
ekstravaskular sehingga akan menambah kekentalan darah (Siracainan, 2013).
Splenektomi bisa meningkatkan resiko trombosis pada anemia hemolitik kronik.
30 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Pasien yang menjalani splenektomi akan menunjukan penurunan kadar protein C
dan S serta peningkatan generasi trombin (Martin dan Thompson, 2013).
2.3.2.5 Komplikasi Jantung
Kematian akibat gagal jantung dan aritmia sekitar 67% dari seluruh
penyebab kematian talasemia (Guideline for the clinical care of patients with
thalassemia in Canada). Kardiomiopati juga termasuk salah satu komplikasi
jantung pada β-talasemia. Kardiomiopati pada β-talasemia diklasifikasikan
menjadi 2 bentuk yaitu bentuk dilatasi dengan dilatasi ventrikel kiri dan gangguan
kontraktil, dan bentuk konstriktif dengan penurunan pengisian ventrikular,
hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan (Krematinos, 2009).
Peningkatan tekanan arteri pulmonal secara progresif meningkatkan
morbiditas dan mortalitas talasemia ( Martin dan Thompson, 2013). Keadaan
hiperkoagulabilitas, peningkatan trombosit, sel endotelial dan sel inflamasi
memicu pembentukan trombosis (Siracainan, 2013). Trombosis pada paru
memicu hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal dapat menyebabkan disfungsi
ventrikular (Orkin et al., 2009).
2.3.3 Terapi Kelasi
Tubuh manusia tidak memiliki cara yang efektif dalam memindahkan
kelebihan besi tubuh, maka diperlukan pengikat besi (kelasi), yang meningkatkan
ekskresi besi melalui urin dan feses. Terapi kelasi harus dimulai ketika feritin
serum mendekati 1000 ng/dl. Pada praktek sehari-hari kadar tersebut terlihat
setelah 2-3 tahun melakukan transfusi darah rutin ( Poggiali et al., 2012)
31 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Beberapa jenis terapi kelasi yang dapat digunakan dalam mengikat
kelebihan besi tubuh
2.3.3.1 Deferoxamin
DFO merupakan salah satu terapi kelasi yang secara signifikan
meningkatkan kualitas hidup dan angka harapan hidup sampai 10 tahun
(Cianciulli, 2009). DFO memiliki bioavaibilitas oral yang rendah
dan waktu paruh yang pendek maka DFO diberikan secara
parenteral (Ibrahiem dan Thabet, 2013). Infusi DFO dilakukan dalam 8-12
jam, selama 5-7 hari per minggu. Pemberian DFO secara parenteral dan cukup
lama menimbulkan nyeri sehingga menurunkan kepatuhan pasien dalam
melakukan pengobatan (Poggiali et al., 2012). Penyakit jantung tetap menjadi
penyebab utama kematian pada pasien yang tidak patuh dalam pengobatan DFO
(Pignatti, 2006).
2.3.3.2 Deferiprone
DFP merupakan agen kelasi oral pertama yang diciptakan dan efektif
dalam mengikat kelebihan besi dan mengeluarkannya dari dalam tubuh sehingga
dapat menggantikan peran DFO dalam mengatasi kelebihan besi tubuh (Jamuar
dan Lai, 2012). Angka kepatuhan DFP oral terbukti lebih tinggi daripada infus
DFX subkutaneus (Cianciulli, 2009). Pemberian DFP sebagai
monoterapi atau terapi kombinasi dianjurkan pada anak anak
dan dewasa dalam mengurangi kelebihan besi jantung (Celc,
2011). Terapi kombinasi DFP dan DFO dilakukan ketika terapi
DFP monoterapi tidak memuaskan atau pasien mengalami
32 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
mortalitas dan morbiditas yang tinggi (Cianciulli, 2009). Terapi
kombinasi infus subkutan DFO dan DFP oral dapat mengurangi besi miokardium
dan meningkatkan fungsi jantung (Tanner, 2008).
2.3.3.3 Deferasirox
DFX merupakan salah satu agen kelasi oral baru yang diminum hanya
sekali sehari (Cianciulli, 2009). Studi lain menyatakan pasien lebih
nyaman mengkonsumsi DFX daripada DFO (Poggiali et al., 2012).
2.3.4 Kepatuhan Terapi Kelasi
Kepatuhan terapi merupakan penentu utama keberhasilan suatu terapi.
Ketidakpatuhan terapi merupakan masalah serius yang akan menyebabkan
perburukan penyakit, dan kematian. Beberapa metode dapat digunakan sebagai
alat untuk menilai kepatuhan, yaitu metode langsung dan tidak langsung (Jimmy
dan jose, 2011).
Metode langsung dilakukan dengan pengamatan langsung terhadap pasien,
mengatur kadar obat dalam darah atau urin. Metode tidak langsung dilakukan
dengan kuisioner, laporan langsung pasien, perhitungan pil, penilaian respons
klinis pasien, pengukuran marker fisiologis (Jimmy dan jose, 2011). Morisky
medication adherence scale (MMAS) merupakan salah satu kuisioner yang
digunakan untuk menilai kepatuhan obat. Kuisioner ini sudah divalidasi untuk
hipertensi, namun juga digunakan pada berbagai macam kondisi medis. Versi
awal dari MMAS ini adalah Morisky medication adherence scale-4 (MMAS-4),
namun sekarang terdapat versi baru yaitu Morisky medication adherence scale-8
(MMAS-8) (Pedersini dan Vietri, 2014).
33 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Pemenuhan kepatuhan terapi kelasi menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi kadar feritin pasien talasemia. DFO merupakan jenis terapi kelasi
yang berkontribusi terhadap ketidakpatuhan pasien dalam terapi. Hal ini
disebabkan karena pemberiannya secara intrasubkutan sehingga menimbulkan
nyeri dan membutuhkan waktu yang lama (Poggiali et al., 2012).
Penelitian di Iran terhadap 243 pasien β-talasemia mengenai kepatuhan
pasien terhadap DFO dengan kadar feritin serum menunjukkan hasil yang
beragam. Pemenuhan kepatuhan terlihat pada 46 pasien (18,2%) dengan kadar
feritin kurang dari 2000 µg/l, kepatuhan sedang terlihat pada 78 pasien (31,3%)
dengan kadar feritin 2000-4000 µg/l, sedangkan yang tidak patuh terlihat pada
119 (48,8%) pasien dengan kadar feritin lebih dari 4000 µg/l. Hal ini menjadikan
pemenuhan kepatuhan terhadap terapi DFO menjadi salah satu faktor keberhasilan
terapi kelasi yang tergambar dengan pencapaian kadar feritin yang diinginkan
oleh klinisi (Pedram et al., 2010).
34 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
35 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Transfusi dimulai
Monitoring kelebihan besi
Di mulai terapi kelasi
Setelah 10- 20 transfusi
Kadar feritin serum 1000-2500 µg/ml
LIC 7-15 mg Fe/g
Deferoxamin 20-40 mg/kg/hari lebih kurang 8-10 jam selama 5-7 hari
Tidak efektif dan kepatuhan rendah
Deferasirox 10-30 mg/kg/hari
Monitoring kelebihan besi
Kadar feritin serum 1000-2500 µg/ml
LIC 7-15 mg Fe/g Jantung T2* 10-
20 detik
Penilaian fungsi jantung
Abnormal
Normal
Kadar feritin serum >2500 µg/ml
LIC >15 mg Fe/g
Jantung T2* <10 detik
Fungsi jantung abnormal
Terapi kelasih agresif
1.Infusi DFX >50mg/kg/hari (max 6 g/24 jam)
2.Terapi kelasih oral
3.Pertimbangan terapi kombinasi
Gambar 2.1 Skema Terapi Kelasi
(Guidelines for the Clinical Care Of Patient with Thalassemia in Canada)
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konseptual Penelitian
Variabel independen Variabel dependen
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual
3.2 Hipotesis Penelitian
Terdapat hubungan kepatuhan terapi kelasi dengan kadar feritin serum
pasien β-talasemia anak di RSUP DR.M Djamil Padang.
36 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Kepatuhan terapi kelasi
Kadar feritin serum
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional analitik untuk melihat
hubungan kepatuhan terapi kelasi dengan kadar feritin serum pasien β-talasemia
anak di RSUP Dr.M. Djamil Padang tahun 2010-2014.
4.2 Tempat dan Waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bagian Rekam Medis dan bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang. Penelitian ini dilakukan pada
bulan Maret 2014 – September 2015.
4.3 Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah semua pasien β-talasemia anak yang
mendapatkan terapi kelasi di RSUP Dr.M.Djamil Padang periode Januari 2010 -
Desember 2014. Sampel penelitian adalah sebagian dari populasi yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi.
4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
4.4.1 Kriteria Inklusi
37 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
1. Pasien β-talasemia anak yang memiliki data rekam medis lengkap (jenis
kelamin, umur, jenis β-talasemia).
2. Pasien melakukan pemeriksaan laboratorium feritin serum.
3. Pasien dirawat di Bangsal Anak RSUP DR. M.Djamil Padang.
4.4.2 Kriteria Eksklusi
1. Pasien tidak bersedia menjadi responden.
4.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
4.5.1 Variabel Penelitian
1. Variabel Dependen
Kadar feritin serum
2. Variabel Independen
Kepatuhan terapi kelasi
4.5.2 Definisi Operasional
Definisi operasional dalam penelitian ini adalah:
1. Kepatuhan terapi kelasi
Kepatuhan terapi kelasi merupakan kepatuhan responden dalam
mengkonsumsi terapi kelasi sesuai protap.
Alat Ukur : kuisioner ( Morisky Medication Adherence Sclae 4).
Cara Ukur : wawancara.
Hasil Ukur :
Kepatuhan rendah: Jika pasien mendapatkan skor wawancara 3-4
poin.
38 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Kepatuhan sedang: Jika pasien mendapatkan skor wawancara 1-2
poin.
Kepatuhan tinggi: Jika pasien mendapatkan skor wawancara 0
poin.
Skala Ukur : Ordinal.
2. Kadar feritin serum
Kadar feritin serum adalah kadar besi responden terakhir kali setelah terapi
kelasi yang tertera di rekam medik.
Alat Ukur :Mini Vidas (hasil dilihat dari rekam medik)
Cara Ukur :ELISA (hasil dilihat dari rekam medik).
Hasil Ukur :ng/ml.
Skala Ukur :Rasio.
4. 6 Sumber Penelitian
Sumber penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer
melalui wawancara dan data sekunder yang diperoleh dari Instalasi Rekam Medis
RSUP DR.M.Djamil Padang berupa rekam medik pasien β-talasemia anak Januari
2010 - Desember 2014.
4.7 Prosedur Pengambilan Data
Data dikumpulkan dari sumber penelitian. Data primer berupa kepatuhan
pasien melakukan terapi kelasi didapatkan melalui wawancara dengan responden.
Respoden diberikan informasi tujuan penelitian, bersedia mengikuti penelitian
sampai selesai secara lisan, menandatangani informed consent, dan kemudian
menjawab kuisioner yang sudah disediakan. Data sekunder yang dicatat adalah
jenis kelamin, umur, jenis β-talasemia, dan kadar feritin serum.
39 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
4.8 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
4.8.1 Teknik Pengolahan Data
Semua data yang dikumpul akan diolah dengan tahapan:
1. Pemeriksaan data (editing)
Pemeriksaan data dilakukan guna memastikan kembali kelengkapan
data yang diperlukan untuk penelitian.
2. Pengkodean data (coding)
Pengkodean data dilakukan dengan cara memberikan kode pada data
yang telah dikelompokkan untuk memudahkan penelitian
3. Pemindahan data (entry)
Data yang sudah diperiksa dan diberi kode kemudian diproses secara
komputerisasi.
4. Pentabulasian data (tabulating)
Semua data yang telah diisi akan ditabulasikan dan disajikan dalam
bentuk tabel distribusi frekuensi.
5. Pembersihan data (cleaning)
Pembersihan data dilakukan dengan mengecek kembali data yang telah
dimasukkan ke dalam komputer untuk memastikan tidak ada
kesalahan.
40 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
4.8.2 Analisis Data
Data yang di peroleh akan dikumpulkan dan diolah dengan menggunakan
program SPSS. Analisis data terbagi atas:
1. Analisis Univariat
Analisis univariat dimaksudkan untuk melihat gambaran distribusi
frekuensi tiap variabel.
2. Analisis Bivariat
Analisis ini bertujuan untuk melihat ada tidaknya hubungan antara
variabel independen dengan variabel dependen, yaitu hubungan
kepatuhan terapi kelasi dengan kadar feritin serum dengan
menggunakan uji one way anova bila sebaran data normal dan variabel
data sama. Bila sebaran data tidak normal atau varian data tidak sama
digunakan uji Kruskal-Wallis. Bila pada uji one way anova atau uji
Kruskal-Wallis diperoleh hasil yang signifikan (bermakna), harus
dilakukan analisis post-hoct untuk mengetahui kelompok mana yang
bermakna. Analisis post-hoct untuk one way anova adalah Bonferroni,
sedangkan untuk uji Kruskal-Wallis adalah Mann Whitney.
41 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
BAB V
HASIL PENELITIAN
Setelah dilakukan pengambilan data di Instalasi Rekam Medis RSUP Dr.
M. Djamil Padang, didapatkan 53 penderita β-talasemia anak yang melakukan
transfusi darah rutin di Bangsal Anak periode Januari 2010 sampai Desember
2014. Dari 53 penderita β-talasemia anak hanya 33 (62,2%) yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi serta dapat dijadikan sampel penelitian. Berikut
adalah tabel karakteristik sampel penelitian yang ditinjau dari umur, jenis
kelamin, dan jenis β-talasemia.
Tabel 5.1 Karakteristik penderita β-talasemia anak di RSUP Dr.M.Djamil Padang
Karakteristik Jumlahf %
Umur<6 tahun 8 24,26- 10 tahun 13 39,4>10 tahun 12 36,4Jenis kelaminPerempuan 17 51,5Laki-laki 16 48,5Jenis- jenis β- talasemiaβ- talasemia mayor 33 100β- talasemia intermedia 0 0
42 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Dari tabel 5.1 didapatkan bahwa penderita β-talasemia anak terbanyak
pada kelompok umur 6-10 tahun yaitu sebanyak 13 orang (39,4%). Rata-rata
umur penderita adalah 8,24 ± 3,4 tahun dengan umur terendah 2 tahun dan umur
tertinggi adalah 17 tahun. Bila ditinjau dari jenis kelamin, penderita β-talasemia
anak yang berjenis kelamin perempuan hampir sama proporsinya dengan laki-laki
yaitu 17 orang (51,5%) pada wanita dan 16 orang (48,5%) pada laki-laki.
Semua penderita β-talasemia anak pada penelitian ini merupakan β-
talasemia mayor (100%). Sedangkan penderita yang tergolong β-talasemia
intermedia tidak ditemukan.
Tabel 5.2 Gambaran kepatuhan terapi kelasi penderita β-talasemia anak
Kepatuhan terapi kelasi Jumlahf %
Kepatuhan rendah 9 27,3Kepatuhan sedang 21 63, 6Kepatuhan tinggi 3 9,1Total 33 100
Tabel 5.2 di atas menunjukan kepatuhan terapi kelasi terbanyak adalah
kepatuhan sedang 63, 6%.
Tabel 5.3 Gambaran kadar feritin penderita β-talasemia anak yang mendapatkan terapi kelasi.
Variabel Rerata±SD Max MinKadar feritin serum
(ng/ml)4102 ± 4151,3 21400 743
Dari tabel 5.3 diatas didapatkan rerata kadar feritin serum dari 33 sampel
adalah 4102 ± 4151,3 ng/ml .
43 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Untuk mengetahui hubungan antara kepatuhan terapi kelasi dengan kadar
feritin serum, dilakukan analisis statistik one way anova. Setelah dilakukan uji
normalitas didapatkan sebaran data tidak normal. Oleh karena itu, digunakan uji
alternatif yaitu uji Kruskal-Wallis.
Tabel 5.4 Hubungan kepatuhan terapi kelasi dengan kadar feritin serum
Kepatuhan terapi kelasi
f Jumlah kadar feritin serum (ng/ml) pMean ±SD Min Max
Kepatuhan rendah 9 7781,3 ± 6227,6 3000 21400 0,004Kepatuhan sedang 21 2955 ± 1796,1 743 6631,9Kepatuhan tinggi 3 1095 ±244,0 903 1370Total 3
Tabel 5.4 di atas menunjukan nilai rerata kadar feritin serum pasien β-
talasemia anak yang memiliki kepatuhan rendah adalah 7781,3 ± 6227,6 ng/ml,
kepatuhan sedang sebanyak 2955 ± 1796,1 ng/ml dan kepatuhan tinggi sebanyak
1095 ±244,0 ng/ml. Terlihat bahwa terdapat perbedaan rerata kadar feritin serum
pada ketiga tingkat kepatuhan. Perbedaan tersebut secara statistik dinilai
bermakna dengan p value 0,004 (p < 0,05). Hasil statistik ini menunjukan terdapat
hubungan kepatuhan terapi kelasi dengan kadar feritin serum sesudah terapi
kelasi.
Tabel 5.5 Nilai p Value uji perbandingan ganda ketiga derajat kepatuhan terhadap kadar feritin serum.
Kepatuhan rendah
Kepatuhan sedang
Kepatuhan tinggi
Kepatuhan rendah 0,010 0,012Kepatuhan sedang 0,010 0,049Kepatuhan tinggi 0,012 0,049
44 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Selanjutnya, setelah dilakukan uji perbandingan ganda pada ketiga derajat
kepatuhan tersebut, didapatkan perbedaan hasil yang signifikan dengan semua
nilai p value < 0,05.
BAB VI
PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Instalasi Rekam Medis
RSUP Dr. M. Djamil Padang, didapatkan 53 penderita β-talasemia anak yang
melakukan transfusi darah rutin di Bangsal Anak periode Januari 2010 sampai
Desember 2014. Dari 53 penderita β-talasemia anak hanya 33 (62,2%) yang
mendapatkan terapi kelasi dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Bila dilihat
dari umur, penderita β-talasemia anak yang mendapatkan terapi kelasi rata-rata
berumur 8,24 tahun. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Riaz, et al.,
(2011) di Pakistan yang menemukan penderita β-talasemia rata-rata berumur 10,8
tahun. Penelitian yang dilakukan Health Technology Assessment Indonesia
( 2009) di FKUI-RSCM juga menunjukan hasil yang tidak jauh berbeda yaitu 11
tahun.
Pada penelitian ini, perbandingan penderita β-talasemia anak perempuan
dan laki-laki hampir sama yaitu 1,1: 1. Hasil ini sama dengan hasil penelitian
Trachtenbery, et al., (2012) di USA yang mendapatkan perbandingan perempuan
45 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
dan laki-laki 1,1:1. Penelitian Rofail, et al., (2009) di Kanada mendapatkan
perbandingan penderita β-talasemia perempuan dan laki-laki sebanyak 1,4:1.
Semua penderita β-talasemia anak pada penelitian ini merupakan β-
talasemia mayor (100%). Sedangkan penderita yang tergolong β-talasemia
intermedia tidak ditemukan. Hal ini terjadi akibat gejala β-talasemia intermedia
tidak terlalu parah sehingga membuat pasien tidak rutin melakukan pengobatan.
6.1 Analisis Univariat
6.1.1 Gambaran Kepatuhan Terapi Kelasi Pasien β-talasemia Anak di
RSUP Dr. M. Djamil Padang
Berdasarkan kuisioner yang dimodifikasi dari The Morisky Medication
Adherence Scale 4 (MMAS-4), penderita β-talasemia anak yang memiliki
kepatuhan rendah sebanyak 27,3%, kepatuhan sedang sebanyak 63, 6% dan
kepatuhan tinggi sebanyak 9,1%. Hasil ini sedikit berbeda dengan penelitian
Pedram, et al., (2010) di Iran yaitu kepatuhan rendah 48,8%, kepatuhan sedang
31,3% dan kepatuhan tinggi 18,2%.
Kepatuhan terapi kelasi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
adalah faktor psikologikal dan sosial. Berdasarkan teori The Information,
motivation, Behavior Skills Model kepatuhan dipengaruhi oleh 1) informasi yang
akurat tentang kondisi dan terapi, 2) motivasi untuk patuh seperti percaya akan
komplikasi dari ketidakpatuhan dan hasil yang diperoleh dengan kepatuhan, serta
kepatuhan akan norma sosial yang ada, 3) keterampilan sikap yang dibutuhkan
untuk kepatuhan (Porter, 2011).
46 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Berdasarkan teori Medication Adherence Model kepatuhan terdiri atas 3
elemen yaitu 1) tindakan terarah merupakan saat pasien memutuskan untuk
melakukan terapi sesuai kebutuhan, efektifitas dan keamanan, 2) keteladanan
merupakan saat dimana individual memulai dan mempertahankan perilaku dalam
pengobatan, 3) feedback merupakan masa dimana berbagai informasi, fakta
mempengaruhi kepatuhan (Porter, 2011).
Penelitian Kidson-Gerber (2008) menyatakan ketidakpatuhan terapi kelasi
terjadi akibat terlalu sibuk (35%), terjadi reaksi lokal (26%), injeksi yang nyeri
(19%), terlalu lelah (12%), lupa (12%), alasan sosial (12%) dan ketersediaan obat
yang tidak adekuat (12%).
6.1.2 Gambaran Kadar Feritin Serum Pasien β-talasemia Anak di RSUP
Dr. M. Djamil Padang Tahun 2010-2014
Rerata kadar feritin serum yang ditemukan peneliti adalah 4102 ± 4151,3
ng/ml. Kemudian rerata kadar feritin serum pasien β-talasemia anak yang
memiliki kepatuhan rendah adalah 7781,3 ± 6227,6 ng/ml, kepatuhan sedang
sebanyak 2955 ± 1796,1 ng/ml dan kepatuhan tinggi sebanyak 1095 ±244,0
ng/ml.
Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Riaz, et al., (2011) yang
mendapatkan rerata kadar feritin serum sebanyak 4236 ng/ml. Penelitian Pedram,
et al., (2010) menunjukan kepatuhan terapi kelasi tinggi memiliki kadar feritin
kurang dari 2000 ng/ml, kepatuhan terapi kelasi sedang memiliki kadar feritin
2000-4000 ng/ml, sedangkan kepatuhan terapi kelasi rendah memiliki kadar
feritin lebih dari 4000 ng/ml.
47 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Rerata kadar feritin pada kepatuhan sedang dan rendah mengindikasikan
terjadinya kelebihan besi tubuh jauh dari kadar normal (Hemosiderosis).
Normalnya tubuh manusia memiliki kadar feritin antara 100-150 ng/ml.
Berdasarkan teori, hemosiderosis terjadi akibat transfusi kronik, dimana
setiap kantong transfusi darah mengandung 250 mg besi. Ditambah lagi, tubuh
manusia tidak memiliki mekanisme khusus untuk mengeluarkan akumulasi besi
lebih dari 1 mg per hari (Mishra dan Tiwari, 2013). Terapi kelasi membantu
ekskresi dan mencegah akumulasi besi tubuh, namun akibat kepatuhan yang
rendah hemosiderosis tetap terjadi.
Menurut Guidelines for the Clinical Care Of Patient with Thalassemia in
Canada diharapkan, setelah terapi kelasih di mulai kadar feritin berada dalam
rentang 1000-1500 ng/ml. Kadar ini terpenuhi pada kepatuhan terapi kelasi tinggi
dimana kadar feritinnya adalah1095 ng/ml.
6.2 Analisi Bivariat
6.2.1 Hubungan Kepatuhan Terapi Kelasi dengan Kadar Feritin Serum
Pasien β-talasemia Anak di RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2010-
2014.
Hasil penelitian ini memperoleh nilai p value 0,004 (p < 0,05) setelah
dilakukan uji statistik Kruskal Wallis. Hal ini menunjukan terdapatnya hubungan
kepatuhan terapi kelasi dengan kadar feritin serum pasien β-talasemia dengan
semakin rendah derajat kepatuhan pasien maka semakin tinggi kadar feritin
serum, begitu juga sebaliknya.
Setelah dilakukan uji perbandingan ganda pada ketiga derajat kepatuhan
tersebut, didapatkan perbedaan hasil yang signifikan dari rerata kadar feritin
48 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
serum pada kepatuhan rendah terhadap kepatuhan sedang dengan p value 0,010 (p
< 0,05), kepatuhan rendah terhadap kepatuhan tinggi dengan p value 0,012 (p <
0,05), dan kepatuhan sedang terhadap kepatuhan tinggi dengan p value 0,049 (p <
0,05). Hal ini menunjukan terdapat perbedaan rerata kadar feritin serum yang
bermakna pada ketiga derajat kepatuhan tersebut.
Hal ini sejalan dengan penelitian Porter dan Evangelii (2011) di Kairo
dimana kepatuhan terapi kelasi yang rendah akan menyebabkan kelebihan besi
tubuh dan kepatuhan tinggi akan mencegah kelebihan besi tubuh sehingga
meningkatkan kesehatan, kualitas hidup dan ekonomi penderita. Penelitian
Trachtenberg et al., (2012) juga menunjukan kadar feritin yang tinggi pada pasien
β-talasemia mengindikasikan kepatuhan rendah terhadap terapi kelasi.
Menurut Porter dan Evangelii (2011) terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi kepatuhan terapi kelasi diantaranya adalah faktor regimen dan
penyakit itu sendiri. Infus subkutan yang berlangsung lama, frekuensi terapi,
waktu yang dipergunakan untuk terapi, keterbatasan aktifitas selama terapi, efek
samping pengobatan, terapi kelasi seumur hidup termasuk dalam faktor ini.
Sehingga dengan adanya faktor-faktor diatas kejadian iron overload akan tetap
terjadi.
Porter dan Evangelii (2011) juga mengemukakan beberapa teknik yang
bisa digunakan untuk meningkatkan kepatuhan terapi kelasi. Salah satunya
dengan membentuk tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, perawat, psikiatri,
dan penasehat pasien. Diharapkan timbul hubungan interaktif antara pasien
dengan komponen tim ini, sehingga dapat memberikan pengaruh positif terhadap
keputusan pasien dalam pengobatan. Selain itu, penilaian rutin kepatuhan dan
49 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
pengecekan jumlah pil secara berkala merupakan teknik lain yang dapat
digunakan.
Faktor sosiodemografi seperti umur dan jenis kelamin juga mempengaruhi
kepatuhan terapi kelasi. Hampir semua pasien β-talasemia adalah anak-anak,
dimana pemberian terapi kelasi diatur oleh orang tua atau pengasuh. Dewasa
sudah memiliki sifat kebebasan dan individualisme, ketika di berikan paksaan
dalam terapi kelasi, mereka menjadi tidak patuh. Sehingga kepatuhan pada usia
anak-anak lebih baik dibandingkan dewasa (Porter dan Evangelii, 2011). Menurut
Riaz et al., (2011) perempuan lebih patuh terhadap terapi kelasi dibandingkan
laki-laki.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan diantaranya tidak
memperhatikan lama pasien menderita β-talasemia, jumlah transfusi yang
diterima serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi kadar feritin serum seperti
fase reaksi akut dan lain-lainnya.
50 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Kepatuhan terapi kelasi pada pasien β-talasemia anak terbanyak
adalah kepatuhan sedang.
2. Rerata kadar feritin serum pasien β-talasemia anak meningkat
sangat jauh dari normal.
3. Terdapat hubungan yang bermakna antara kepatuhan terapi kelasi
dengan kadar feritin serum pasien β-talasemia anak dengan
semakin rendah derajat kepatuhan pasien maka semakin tinggi
kadar feritin serum, begitu juga sebaliknya
7.2 Saran
7.2.1 Bagi klinisi
51 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
1. Disarankan kepada klinisi agar memberikan pemahaman yang
lebih dalam kepada orang tua pasien agar melaksanakan terapi
kelasi secara teratur dan memeriksa kadar feritin serum secara
berkala.
7.2.2 Bagi Peneliti Lain
1. Disarankan agar penelitian yang akan datang dilakukan dengan
menjadikan kadar feritin serum sebagai sumber data primer.
2. Menggunakan desain penelitian desain kohort dalam pemantauan
kepatuhan.
3. Disarankan agar penelitian yang akan datang dilakukan dengan
memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai kadar
feritin serum seperti kejadian reaksi fase akut.
52 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
DAFTAR PUSTAKA
.Alymara, V., Bourantas, D., Chaidos, A., Bouranta, P., Gouva, M., Vassou, A. et
al., 2004. Effectiveness and Safety of Combined Iron-Chelation Therapy with Deferoxamine and Deferiprone. The Hematology Journal. 5:475–479.
Atmakusuma, D. 2009. Thalassemia:Manifestasi Klinis, Pendekatan Diagnosis, dan Thalassemia Intermedia. Dalam Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibra, M., Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisis V. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, hal 1387-1393.
Bakr, A., Al-Tonbary, Y., Osman, G., El-Ashry, R. 2014. Renal Complications of Beta-Thalassemia Major in Children. Am J Blood Res. 4(1):1-6.
Cappellini, M. D. 2012. Goldman Cecil Medicine. Elsavier, 1060-1066.
Celc, A., Laura, M., Mariagrazia, F., Franco, B., Angela, C., Marcello, C. et al., 2011. TheManagement of Iron Chelation Therapy: Preliminary Data from a National Registry of Thalassaemic Patients. Hindawi Publishing Corporation Anemia vol 2011:1-7.
Chaudhary, P., Pullarkat, V. 2013. Deferasirox: appraisal of safety and efficacy in long-term therapy. J Blood Med. 5(4):101-10.
Cianciulli, P. 2009. Iron Chelation Therapy in Thalassemia Syndromes. Medit J Hemat Infect Dis. 1 (1).
Cunningham, M.J., Sankaran, V.G., Nathan, D.G,, Orkin, S.H. Dalam Orkin SH, Nathan DG, Ginsburg D, Look AT, Fisher DE, Lux SE. Hematology of Infancy and Childhood.7th Edition. Canada. Page 1015-1059.
Ferri, F. F. 2015. Ferri's Clinical Advisor . Elsevier, hal 1156-1157.
53 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Galanello, R., Origa, R. 2010. Beta-thalassemia. Galanello and Origa Orphanet Journal of Rare Diseases. 5(11):1-15.
Gomber, S., Saxena, R., Madan, N. 2004. Comparative Efficacy of Desferrioxamine, Deferiprone and in Combination on Iron Chelation in Thalassemic Children. Indian Pediatrics. 41:21-27.
Gomber, S., Saxena, R., Madan, N. 2004. Comparative Efficacy of Desferrioxamine, Deferiprone and in Combination on Iron Chelation in Thalassemic Children. Indian Pediatrics. 41:21-27.
Grosso, M., Sessa, R., Puzone, S., Storino, M.R., Izzo, P. 2012. Molecular Basis of Thalassemia. www.intechopen.com/ download /pdf /30556. Diunduh 2 Juli 2015,pukul 10:31 WIB.
Guidelines for the Clinical Care Of Patient with Thalassemia in Canada. 2009. Anemia Institute for Research & Education. Canada: Thalassemia Foundation of Canada
Health Technology Assessment Indonesia. 2009. Pencegahan Thalasemia. Dirjen Bina Pelayanan Medik Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Ibrahiem, O.A., Thabet, A.F. 2013. Deferasirox Versus Deferoxiamine for the Treatment of Transfusional Iron Overload in Patients with β-Thalassemia Major. Ibnosina J Med BS. 6(1):14-18.
Jamuar, S.S., Lai, A.H.M. 2012. Safety and Efficacy of Iron Chelation Therapy with Deferiprone in Patients with Transfusion-Dependent Thalassemia. Ther Adv Hematol. 3(5):299–307.
Jimmy, B., Jose, J. 2011. Patient Medication Adherence: Measures in Daily Practice. Oman Medical Journal. 26 (3):155-159.
Kidson-Gerber, G., Francis, S., Linderman, R. 2008. Management and Clinical Outcomes of Transfusion-dependent Thalassaemia Major in an Australian Tertiary Referral Clinic. MJA. 188;2.
Kremastinos, DT., Farmakis, D., Aessopos, A., Hahalis, G., Hamodraka, E., Tsiapras, D. et al., 2010. β-thalassemia Cardiomyopathy History, Present Considerations, and Future Perspectives. Circ Heart Fail. 3:451-458.
Kwiatkowski, J.L. 2008. Oral Iron Chelators. Elsavier; Pediatr Clin N Am. 55 (2008):461–482.
Lal, A., Poter, J., Sweeters, N., Nq, V., Evans, P., Neumayr, L. et al., 2013. Combined Chelation Therapy with Deferasirox and Deferoxamine in Thalassemia. Elsavier; Blood Cells Mol Dis.50(2): 99–104.
54 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Makis, A., Chaliasos, N., Alfantaki, S., Karagouni, P., Siamopoulou, A. 2013. Chelation Therapy with Oral Solution of Deferiprone in Transfusional Iron-Overloaded Children with Hemoglobinopathies. Hindawi Publishing Corporation.
Martin, A., Thompson, A.A. 2013. Thalassemias. Elsevier; Pediatr Clin N Am. 60: 1383–1391.
Mashhadi, M.A., Rezvani, A.R., Naderi, M., Moghaddam, E.M. 2011. The Best Iron Therapy in Mayor Thalassemia Patients is Combination of Desferrioxamine and Deferiprone. International Journal of Hrmatology Oncology and Stem Cell Research. 5(2):19-22.
Mishra, A.K., Tiwari, A. 2013. Iron Overload in Beta Thalassaemia Major and Intermedia Patients. MAEDICA – A Journal of Clinical Medicine. 8 (4):328-332.
Orkin, S., Nathan, D.G., Ginsburg, D., Look, A.T., Fisher, D.E.,Lux, S.E. 2009. Hematology of Infancy and Childhood ed 7. Canada: Elsavier.
Palit, S., Bhuiyan, R.H., Aklima, J., Emran, T.B., Dash, R. 2012. A Study of The Prevalence of Thalassemia and its Correlation With Liver Function Test in Different Age and Sex Group in the Chittagong District of Bangladesh. Journal of basic and clinical pharmacy. 3 (4): 352-357.
Pedersini, R., Vietri, J. 2014. Comparison Of the 4-item and 8-item Morisky Medication Adherence Scale In Patient with Type 2 Diabete. Kantar Helath.
Pedram, M., Khodamorad, Z., Bijan, Z., Reza, A., Akram, H., Fatemeh, K. et al., 2010. A Report on Chelating Therapy and Patient Compliance by Determination of Serum Ferritin Levels in 243 Thalassemia Major Patients. Iranian Journal of Pediatric Society. 2(2): 65-69.
Pignatti, C.B., Cappellini, C.B., Stefano, P.D., Vecchio, G.C., Fomi, G.L., Gamberini, M.R. et al., 2006. Cardiac Morbidity and Mortality in Deferoxamine- or Deferiprone-Treated Patients with Thalassemia Major. The American Society of Hematology.107 (9):3733-3737
Poggiali, E., Cassinerio, E., Zanaboni, L., Cappellini, M.D. 2012. An update on iron chelation therapy. Blood Transfus 2012. 10: 411-422.
Porter, B., Evangeli, M. 2011. The Challenges of Adherence and Persistence With Iron Chelation Therapy. Int J Hematol. 94:453-460.
Riaz, H., Riaz, T., Ubaid Khan, M., Aziz, S., Ullah, F., Rehaman, A, et al., 2011. Serum Ferritin Levels, Socio-demographic Factors and Desferrioxamine Therapy in Multi-transfused Thalassemia Major Patients at a Government Tertiary Care Hospital of Karachi, Pakistan. BMC Research Notes. 2011 (4):287.
55 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Rofail, D., Abetz, L., Viala, M., Gait, C., Baladi, J., Payne, K. 2009. Satisfaction and Adherence in Patients with Iron Overload Receiving Iron Chelation Therapy as Assessed by a Newly Developed Patient Instrument. International Society for Pharmacoeconomics and Outcomes Research (ISPOR). 12 (1).
Rund, D., Rachmilewitz, E. 2006. β-thalassemia. N Eng J Med 2005. 3 (53):1135-1146.
Sadiq Khan, M., Ahmed, M., Ali Khan, f., Mushtaq, N., Wasim, M. 2015. Consanguinity Ratio in β-thalassemia Major Patients in District Bannu. Department of Biotechnology, University of Science and Technology, KPK, Pakistan. 65:11.
Sirachainan, N. 2013. Thalassemia and the hypercoagulable state. Elsevier. 132: 637-641.
Tahir, H., Shahid, A., Mahmood, K.T. 2011. Complications in Thalassaemia Patients Receiving Blood Tranfusion. J Biomed Sci and Res. 3 (1):339-346.
Tanner, M.A., Galanello, R., Dessi, C., Smith, G.C., Westwood, M.A., Agus, A. et al., 2008. Combined Chelation Therapy in Thalassemia Major for the Treatment of Severe Myocardial Siderosis with Left Ventricular Dysfunction. Journal of Cardiovascular Magnetic Resonance. 10:12.
Timan, I.S., Aulia, D.,Atmakusuma, D., Sudoyo, A., Windiastuti, E., Koasasih, A.2002. Some Hematologi Problem in Indonesia. US National Library of Medicine National Institutes of Health.
Trachtenberg, F., Mednick, L., Kwiatkowski, J., Neufeld, E., Haines, D., Pakbaz, Z, et al., 2012. Beliefs About Chelation Among Thalassemia Patients. Health and Quality of Life Outcomes 2012, 10:148.
Weatherall, D.J., Clegg, J.B. 2001. Inherited haemoglobin disorders: an increasing global health problem. Bull World Health Organ. 79(8):704-12.
56 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas