DM TP 1.docx

29
1. Definisi dan Klasifikasi Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang dapat disebabkan berbagai macam etiologi, disertai dengan adanya hiperglikemia kronis akibat gangguan sekresi insulin atau gangguan kerja dari insulin, atau keduanya. Sedangkan Diabetes Mellitus tipe 1 lebih diakibatkan oleh karena berkurangnya sekresi insulin akibat kerusakan sel β-pankreas yang didasari proses autoimun. Istilah diabetes mellitus berasal dari bahasa Yunani yaitu diabetes yang berarti “sypon” menunjukan pembentukan urine yang berlebihan, dan mellitus berasal dari kata “meli” yang berarti madu (dr. heriyannis homenta, 2012). Diabetes mellitus tipe 1 adalah hipergllikemia yang disebabkan oleh kekurangan absolute insulin. Insulin diperlukan untuk mengangkut glukosa dari aliran darah ke sel untuk menyuplai energy pada tubuh (Corwin;Elizabeth, 2009). Berikut ini tabel yang menjelaskan perbedaan dari Diabetes mellitus Tipe 1 dan tipe 2 : 2. Epidemiologi

Transcript of DM TP 1.docx

1. Definisi dan Klasifikasi

Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang dapat disebabkan

berbagai macam etiologi, disertai dengan adanya hiperglikemia kronis akibat

gangguan sekresi insulin atau gangguan kerja dari insulin, atau keduanya.

Sedangkan Diabetes Mellitus tipe 1 lebih diakibatkan oleh karena berkurangnya

sekresi insulin akibat kerusakan sel β-pankreas yang didasari proses autoimun.

Istilah diabetes mellitus berasal dari bahasa Yunani yaitu diabetes yang berarti

“sypon” menunjukan pembentukan urine yang berlebihan, dan mellitus berasal

dari kata “meli” yang berarti madu (dr. heriyannis homenta, 2012).

Diabetes mellitus tipe 1 adalah hipergllikemia yang disebabkan oleh

kekurangan absolute insulin. Insulin diperlukan untuk mengangkut glukosa dari

aliran darah ke sel untuk menyuplai energy pada tubuh (Corwin;Elizabeth, 2009).

Berikut ini tabel yang menjelaskan perbedaan dari Diabetes mellitus Tipe 1 dan

tipe 2 :

2. Epidemiologi

Prevalensi Diabetes pada 2010 adalah 285 juta dan diperkirakan 438 juta

orang pada 2030. The International Diabetes Federation mengatakan pada tahun

2010, 5 negara dengan jumlah penderita Diabetes terbanyak adalah India,

China, US, Russia dan Brazil.

Di UK, 15 % dari penderita Diabetes memiliki Diabetes tipe 1, dengan

jumlah penderita Diabetes sebanyak 2,6 juta pada tahun 2009 (Diabetes UK:

2010).

Insidens lebih tinggi pada ras kaukasia. Tertinggi di Finlandia 43/100.000,

terendah di Jepang 2/ 100.000 untuk usia kurang dari 5 tahun. Puncak

insidens Usia 5 – 6 tahun 11 tahun. Penderita baru >50% >20 tahun

(Schteingart, 2006).

Survei di Amerika Serikat menunjukkan bahwa prevalensi diabetes pada

anak umur sekolah adalah sekitar 1,9 dalam 1000. Namun frekuensinya sangat

berkorelasi dengan meningkatnya usia, data yang menunjukkan kisaran 1 dalam

1.430 pada anak usia 5 tahun sampai 1 dalam 360 pada anak usia 16 tahun.

Data pada prevalensi dan insiden dalam hubungannya dengan latar belakang ras

atau etnik menunjukkan kisaran hampir 30 kasus baru setiap tahunnya pada

100.000 populasi di Finlandia sampai 0,8 dalam 100.000 populasi di Jepang.

Pada negro Amerika kejadian diabetes mellitus tergantung insulin yang

ditemukan pada kulit putih Amerika, meskipun kejadian ini dapat sampai dua

pertiga. Insiden tahunan di Amerika Serikat adalah sekitar 12-15 kasus baru per

100.000 populasi masa anak. Laki-laki dan wanita hampir secara sama terkena,

tidak ada korelasi yang nyata terhadap status sosioekonomi. Puncaknya terjadi

pada dua kelompok usia, pada usia 5-7 tahun dan pada masa pubertas. Puncak

pertama sesuai dengan waktu meningkatnya pemajanan terhadap agen infeksi

yang terjadi berasamaan dengan tahun ajaran sekolah. Yang kedua sesuai

dengan pertumbuhan cepat pubertas yang diinduksi oleh steroid gonad dan

sekresi hormon pertumbuhan pubertas yang meningkat, yang mengantagosis

kerja insulin dan karena stres emosi yang menyertai pubertas (kliegman, 2000).

Di Indonesia penyandang diabetes mellitus (DM) tipe I sangat jarang.

Demikian pula di negara tropis lain. Hal ini rupanya ada hubungan dengannya

dengan letak geografis Indonesia yang terletak di daerah khatulistiwa. Dari angka

prevalensi berbagai negara tampak bahwa makin jauh letaknya suatu negara

dari khatulistiwa makin tinggi prevalensinya DM tipe-nya. Ini bisa dilihat pada

prevalensi DM tipe I di Eropa. Di bagian utara Eropa,misalnya di negara-negara

Skandinavia prevalensi tipe 1-nya merupakan yang tertinggi di dunia, sedangkan

di daerah bagian selatan Eropa misalnya di Malta sangat jarang. Di samping itu

juga tampak bahwa insidens DM tipe 1 di Eropa Utara meningkat dalam 2-3

dekade terakhir. Ini menunjukkan bahwa barangkali pada DM tipe 1 faktor

lingkungannya juga berperan di samping yang sudah diketahui yaitu faktor

genetik. Adanya kekurangan asam asptartat pada posisi 57 dari rantai HLA-DQ-

beta menyebabkan orang itu mejadi rentan (suspectable) terhadap timbulnya DM

tipe 1. Tetapi kenyataan lain menunjukkan bahwa faktor lingkungan sangat

berperan. Ini tampak pada angka prevalensi DM tipe 1 di dua negara dimana

secara etnik tidak berbeda tetapi prevalensi DM tipe 1 di Estonia hanya 1/3 dari

Finlandia.

Dengan ditemukannya dua faktor tadi yaitu faktor genetic (non-Asp 57)

dan faktor lingkungan maka di masa mendatang, upaya pencegahan timbulnya

DM tipe 1 bukanlah suatu hal yang mustahil.

Di Indonesia prevalensi DM tipe 1 secara pasti belum diketahui, tetapi

diakui memang sangat jarang. Ini mungkin disebabkan oleh karena Indonesia

terletak di khatulistiwa atau barangkali faktor genetiknya memang tidak

menyokong, tetapi mungkin juga karena diagnosis DM tipe 1 yang terlambat

hingga pasien sudah meninggal akibat komplikasi sebelum didiagnosis.

Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) tahun 2007, dari 24417 responden berusia >15 tahun, 10,2%

mengalami Toleransi Glukosa Terganggu (kadar glukosa 140-200 mg/dl setelah

puasa selama 14 jam dan diberi glukosa oral 75 gram). Sebanyak 1,5%

mengalami Diabetes Melitus yang terdiagnosis dan 4,2% mengalami Diabetes

Melitus yang tidak terdiagnosis. Baik DM maupun TGT lebih banyak ditemukan

pada wanita dibandingkan pria, dan lebih sering pada golongan dengan tingkat

pendidikan dan status sosial rendah (Suyono, Soegondo dan Purnamasari,

2009).

3. Etiologi dan Faktor Resiko

Riwayat Keluarga

Seorang anak yang salah satu dari orang tuanya atau saudaranya yang

menderita DM tipe 1 mempunyai 2-6% resiko untuk menderita penyakit yang

sama (resikonya lebih tinggi jika kedua-dua orang tuanya atau saudara kembar

identik yang menderita DM tipe 1). Walaupun riwayat keluarga adalah penting,

tetapi 80% orang yang menderita DM tipe 1 tidak mempunyai ahli keluarga yang

menderita penyakit yang sama (National Diabetes Information Clearinghouse,

2008). Faktor riwayat keluarga juga sebagai faktor genetic. Berdasarkan

beberapa studi berbagai gen yang dapat memicu timbulnya DM tipe 1 adalah

lokus HLA pada kromosom 6p21 yaitu sekitar 50% penderita DM tipe 1 memiliki

HLA-DR3 atau HLA-DR4 halotype. Beberapa gen non-HLA yang dapat memicu

timbulnya DM tipe 1 adalah insulin dengan variable number of tandem repeat

(VNTRs) pada region prometer. Polimorfisme dari CTLA4 dan PTPN 22

mengganggu fungsi aktivitasnya sebagai inhibitor respon sel T dapat memicu

proses autoimun pada DM tipe 1.

Penyakit Autoimun

Diantara sekian banyak sel pancreas, hanya sel β pancreas yang

dihancurkan oleh system imun. Karena sel β pancreas peka terhadap efek toksik

dari beberapa sitokin seperti Tumor Necrosis Factor (TNF α), Interferon gama,

dan interleukin 1 (IL-1). Mekanisme dari proses kematian sel β pancreas

dipengaruhi oleh pembentukan metabolit nitric oxide (NO), apoptosis, dan

sitoksisitas dari sel T CD8 +.

Berhentinya Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Yang Dini

Riset menunjukkan ASI sekurang-kurangnya 3 bulan mengurangkan

resiko DM tipe 1 dan terdapat juga riset lain yang menunjukkan pemberian susu

sapi pada usia sebelum 1 tahun akan meningkatkan resiko DM tipe 1 (National

Diabetes Information Clearinghouse, 2008). Hipotesis Susu Sapi

Pernyataan diatas didukung dengan adanya teori yang menjelaskan

bahwa eksposur terhadap susu sapi dalam susu formula pada 6 bulan pertama

pada bayi dapat menyebabkan kekacauan pada sistem kekebalan tubuh dan

meningkatkan risiko untuk mengembangkan diabetes mellitus tipe 1 di kemudian

hari. Dimana protein susu sapi hampir identik dengan protein pada permukaan

sel beta pankreas yang memproduksi insulin, sehingga mereka yang rentan dan

peka terhadap susu sapi maka akan direspon oleh leukosit, dan selanjutnya

akan menyerang sel sendiri yang menyebabkan kerusakan sel beta pankreas

sehingga terjadi dibetes mellitus tipe 1. Peningkatan pemberian ASI di 1980 tidak

menyebabkan penurunan terjadinya diabetes tipe 1, tetapi terjadi peningkatan

dua kali lipat diabetes mellitus tipe 1. Namun, kejadian diabetes tipe 1 lebih

rendah pada bayi yang diberi ASI selama 3 bulan (Ekoe, Zimmet, & Williams,

2001).

Ras

Di Amerika Serikat, Caucasians mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk

menderita penyakit DM tipe 1. Secara global, negara Finlandia mempunyai

insidensi yang tertinggi untuk DM tipe 1 (National Diabetes Information

Clearinghouse, 2008).

Riwayat Infeksi Virus

Virus yang sering terkait dengan DM tipe 1 adalah coxsackie B, enterovirus,

adenovirus , rubella, cytomegalovirus dan Epstein-Barr virus (National Diabetes

Information Clearinghouse, 2008).

4. Manifestasi Klinis

Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan berkemih

yang berlebihan, mual, muntah, lelah dan nyeri perut (terutama pada anak-anak).

Pernafasan menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki

keasaman darah. Bau nafas penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa

pengobatan, ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma, kadang

dalam waktu hanya beberapa jam. Bahkan setelah mulai menjalani terapi insulin,

penderita diabetes tipe 1 bisa mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan

satu kali penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakaan

atau penyakit yang serius (Soegondo, 2008).

1. Polidipsi,

Proses filtrasi pada ginjal normal merupakan proses difusi yaitu

filtrasi zat dari tekanan yang rendah ke tekanan yang tinggi. Pada

penderita DM, glukosa dalam darah yang tinggi menyebabkan kepekatan

glukosa dalam pembuluh darah sehingga proses filtrasi ginjal berubah

menjadi osmosis (filtrasi zat dari tekanan tinggi ke tekanan rendah).

Akibatnya, air yang ada di pembuluh darah terambil oleh ginjal sehingga

pembuluh darah menjadi kekurangan air yang menyebabkan penderita

menjadi cepat haus (Polidipsi).

2. poliuria,

Pada penderita DM, akibat insulin yang tidak mampu mengubah

glukosa menjadi glikogen, kadar glukosa dalam darah menjadi tinggi.

Keadaan ini dapat menyebabkan hiperfiltrasi pada ginjal sehingga

kecepatan filtrasi ginjal juga meningkat. Akibatnya, glukosa dan Natrium

yang diserap ginjal menjadi berlebihan sehingga urine yang dihasilkan

banyak dan membuat penderita sering kencing.

3. polifagia,

Glukosa jika masuk ke dalam tubuh akan diubah menjadi glikogen

dengan bantuan insulin dan disimpan dalam hati sebagai cadangan

energi. Pada penderita diabetes, glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel

target dan berubah menjadi glikogen untuk disimpan di dalam hati

sebagai cadangan energi karena, insulin yang dihasilkan pancreas tidak

dapat bekerja atau insulin dapat bekerja tetapi bekerjanya lambat. Oleh

karena itu, tidak ada intake glukosa yang masuk sehingga penderita DM

merasa cepat lapar dan lemas (Polifagi).

4. berat badan turun

pada Diabetes tipe 1, Insulin tidak dapat bekerja untuk mengubah

glukosa menjadi glikogen yang akan menjadi energi. Sehingga tubuh

menggunakan lemak/energi yang disimpan di otot untuk menjadi sumber

energi pengganti. Lama kelamaan cadangan lemak akan berkurang

sehingga penderita DM biasanya mengalami penurunan berat badan

yang drastis.

5. Fatigue

Berhubungan dengan berkurangnya energi karena kurangnya

insulin yang mengubah glukosa menjadi glikogen yang akan menjadi

sumber energi

6. Hiperglikemia (≥ 200 mg/dl),

7. ketonemia,

8. glukosuria

Anak dengan DM tipe 1 cepat sekali menjurus ke dalam ketoasidosis

diabetic yang disertai atau tanpa koma dengan prognosis yang kurang baik bila

tidak diterapi dengan baik. Oleh karena itu, pada dugaan DM tipe 1, penderita

harus segera dirawat inap.

5. Patofisiologi (Terlampir)

6. Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosis klinis DM umumnya akan disebutkan apabila ada keluhan khas

DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak

dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan lain yang mungkin disampaikan

penderita antara lain badan terasa lemah, sering kesemutan, gatal-gatal, mata

kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulvae pada wanita. Apabila ada

keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl

sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa

darah puasa > 126 mg/dl juga dapat digunakan sebagai patokan diagnosis DM.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2.6 berikut ini.

Tabel 2.6 Kriteria penegakan diagnosis

Glukosa Plasma Glukosa Plasma

Puasa 2 jam setelah makan

Normal <100 mg/dL <140 mg/dL

Pra-diabetes 100 – 125 mg/dL -

IFG atau IGT - 140 – 199 mg/dL

Diabetes >126 mg/dL >200 mg/dL

Untuk kelompok tanpa keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa

darah abnormal tinggi hiperglikemia) satu kali saja tidak cukup kuat untuk

menegakkan diagnosis DM. Diperlukan konfirmasi atau pemastian lebih lanjut

dengan mendapatkan paling tidak satu kali lagi kadar gula darah sewaktu yang

abnormal tinggi (>200 mg/dL) pada hari lain, kadar glukosa darah puasa yang

abnormal tinggi (>126 mg/dL), atau dari hasil uji toleransi glukosa oral didapatkan

kadar glukosa darah paska pembebanan >200 mg/dL.

Pemeriksaan HbA1C

Pemeriksaan HbA1C adalah pemeriksaan yang dilakukan pada pasien DM untuk

mengetahui kepatuhan pasien dalam meminum obat yang sudah dianjurkan oleh

dokter. Kadar HbA1C dalam darah bisa bertahan sampai 120 hari atau 3 bulan,

yaitu masa dimana eritrosit mengalami kematian. Pmeriksaan ini termasuk

pemeriksaan yang penting untuk mendiagnosa adanya DM pada pasien. Normal

HbA1C dalam darah adalah < 6mg/dl jika terdapat >6mg/dl maka diindikasikan

adanya diabetes.

Additional Test

Because diabetes affects so many bodysystems, additional tests recommended

to gather baseline data include a lipid profile, serum creatinine and urine

microalbumin levels to monitor kidney function, urinalysis, and electrocardiogram.

Marker imunologis

ICA (Islet Cell auto-antibody), IAA (Insulin auto-antibody), Anti GAD (Glutamic

decarboxylase auto-antibody) (Linda&Paula, 2003)

7. Penatalaksanaan

Hal pertama yang harus dipahami oleh semua pihak adalah bahwa DM

tipe-1 tidak dapat disembuhkan, tetapi kualitas hidup penderita dapat

dipertahankan seoptimal mungkin dengan kontrol metabolic yang baik. Yang

dimaksud kontrol metabolik yang baik adalah mengusahakan kadar glukosa

darah berada dalam batas normal atau mendekati nilai normal, tanpa

menyebabkan hipoglikemia. Walaupun masih dianggap ada kelemahan,

parameter HbA1c merupakan parameter kontrol metabolik standar pada DM.

Nilai HbA1c < 7% berarti kontrol metabolik baik; HbA1c < 8% cukup dan HbA1c

>.

Target yang ingin dicapai melalui penatalaksanaan DM-1

Untuk mencapai sasaran dan tujuan tersebut, komponen pengelolaan

DM tipe-1 meliputi pemberian insulin, pengaturan makan, olahraga, dan

edukasi, yang didukung oleh pemantauan mandiri home monitoring).

Keseluruhan komponen berjalan secara terintegrasi untuk mendapatkan kontrol

metabolik yang baik. Dari faktor penderita juga terdapat beberapa kendala

pencapaian kontrol metabolik yang baik.

Menurut PERKENI terdapat dua macam penatalaksanaan DM, yaitu :

1. Terapi tanpa obat (nonfarmakologis)

a. Pengaturan diet, diet yang baik merupakan kunci keberhasilan terapi

diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi

seimbang terkait dengan karbohidrat, protein, dan lemak. Jumlah kalori

disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut, dan

kegiatan fisik yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan

mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan telah

dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon

sel-sel beta terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian

dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar

HbA1c sebanyak 0,6% dan setiap kilogram penurunan berat badan

dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup. Hal

tersebut sesuai dengan hasil penelitian di luar negeri bahwa diet tinggi

karbohidrat bentuk kompleks (bukan disakarida atau monoakarida) dan

dalam dosis terbagi dapat meningkatkan atau memperbaiki pembakaran

glukosa di jaringan perifer dan memperbaiki kepekaan sel beta di

pankreas.

b. Olahraga, berolah raga secara teratur akan menurunkan dan menjaga

kadar gula darah tetap normal. Olahraga yang disarankan adalah yang

bersifat Continuous, Rhymical, Interval, Progressive, Endurance Training

dan disesuaikan dengan kemampuan serta kondisi penderita. Beberapa

olahraga yang disarankan antara lain jalan, lari, bersepeda dan berenang,

dengan latihan ringan teratur setiap hari, dapat memperbaiki metabolisme

glukosa, asam lemak, ketone bodies, dan merangsang sintesis glikogen.

2. Terapi farmakologis

Insulin

Insulin merupakan elemen utama kelangsungan hidup penderita DM

tipe-1. Terapi insulin pertama kali digunakan pada tahun 1922, berupa insulin

regular, diberikan sebelum makan dan ditambah sekali pada malam hari.

Namun saat ini telah dikembangkan beberapa jenis insulin yang

memungkinkan pemberian insulin dalam berbagai macam regimen.

Kerja Insulin:

Awitan, puncak kerja, dan lama kerja insulin merupakan faktor yang menentukan

dalam pengelolaan penderita DM. Respons klinis terhadap insulin tergantung

pada beberapa faktor :

• Umur individu

• Tebal jaringan lemak

• Status pubertas

• Dosis insulin

• Tempat injeksi

Latihan (exercise)

•Kepekatan, jenis, dan campuran insulin

•Suhu ruangan dan suhu tubuh

Jenis sediaan insulin dan rofil kerjanya:

1. Insulin Kerja Cepat (rapid acting)

Insulin mempunyai kecenderungan membentuk agregat dalam bentuk dimer dan

heksamer yang akan memperlambat absorpsi dan lama awitan kerjanya. Insulin

Lispro, Aspart, dan Glulisine tidak membentuk agregat dimer maupun heksamer,

sehingga dapat dipergunakan sebagai insulin kerja cepat. Ketiganya merupakan

analog insulin kerja pendek (insulin reguler) yang dibuat secara biosintetik. Pada

insulin Lispro, urutan asam amino 28 (prolin) dan 29 (lisin) dari rantai B insulin

dilakukan penukaran menjadi 28 untuk lisin dan 29 untuk prolin. Sedangkan pada

insulin Aspart, asam amino prolin di posisi ke-28 rantai B insulin diganti dengan

asam aspartat. Insulin Glulisine merupakan insulin kerja cepat terbaru dengan

modifi kasi urutan asam amino ke-3 (lisin) dan ke-29 (glutamat) dari rantai B

insulin secara simultan. Insulin monomer ini berupa larutan yang jernih,

mempunyai awitan kerja yang cepat (5-15 menit), puncak kerja 30-90 menit, dan

lama kerja berkisar 3-5 jam. Potensi dan efek hipoglikemi sama dengan insulin

reguler.

Pada beberapa keadaan berikut, insulin kerja cepat sangat efektif digunakan:

• Pada saat snack sore: akan menurunkan kadar glukosa darah yang

biasa terjadi saat sebelum makan malam pada pengguna regimen 2 kali

sehari yang dikombinasi dengan insulin kerja menengah.

• Setelah makan, untuk menurunkan kadar glukosa darah post prandial

pada anak pra-pubertas dengan kebiasaan makan yang sulit

diramalkan (bayi, balita, dan anak prasekolah).

• Pada penggunaan CSII (continuous subcutaneous insulin infusion) atau

pompa insulin.

• Hiperglikemia dan ketosis saat sakit.

2. Insulin Kerja Pendek (short acting)

Insulin jenis ini tersedia dalam bentuk larutan jernih, dikenal sebagai

insulin ’reguler’. Biasanya digunakan untuk mengatasi keadaan akut seperti

ketoasidosis, penderita baru, dan tindakan bedah. Kadang-kadang juga

digunakan sebagai pengobatan bolus (15-20 menit) sebelum makan, atau

kombinasi dengan insulin kerja menengah pada regimen 2 kali sehari.

Penderita Dm tipe-1 yang berusia balita sebaiknya menggunakan insulin jenis ini

untuk menghindari efek hipoglikemia akibat pola hidup dan pola makan yang

seringkali tidak teratur. Fleksibilitas penatalaksanaan pada usia balita menuntut

pemakaian insulin kerja pendek atau digabung dengan insulin kerja menengah.

3. Insulin Kerja Menengah (intermediate acting)

Insulin jenis ini tersedia dalam bentuk suspensi sehingga terlihat keruh.

Mengingat lama kerjanya maka lebih sesuai bila digunakan dalam regimen dua

kali sehari dan sebelum tidur pada regimen basal-bolus. Sebelum digunakan,

insulin harus dibuat merata konsentrasinya; jangan dengan mengocok (dapat

menyebabkan degradasi protein), tetapi dengan cara menggulung-gulung di

antara kedua telapak tangan. Insulin jenis ini lebih sering digunakan untuk

penderita yang telah memiliki pola hidup yang lebih teratur. Keteraturan ini

sangat penting terutama untuk menghindari terjadinya episode hipoglikemia.

Sebagian besar diabetisi anak menggunakan insulin jenis ini. DM tipe-1 usia bayi

(0-2 tahun) mempunyai pola hidup (makan, minum, dan tidur) yang masih teratur

sehingga lebih mudah mencapai kontrol metabolik yang baik. Apabila orangtua

segan untuk menggunakan regimen insulin dengan insulin kerja menengah

secara multipel (2 kali sehari), penggunaan satu kali sehari masih dimungkinkan

pada golongan usia ini dengan terlebih dahulu memperhatikan efek insulin

terhadap kontrol metaboliknya.

Dua sediaan insulin kerja menengah yang saat ini tersedia adalah:

• Isophane atau insulin NPH (Neutral Protamine Hagedorn).

• Insulin Crystalline zinc-acetate (insulin lente).

Insulin Isophane paling sering digunakan pada anak, terutama karena

memungkinkan untuk digabung dengan insulin reguler dalam satu syringe tanpa

adanya interaksi (insulin reguler bila dicampur dengan insulin lente dalam satu

syringe, akan terjadi reaksi sehingga mengurangi efek kerja insulin jangka

pendek).

4. Insulin Kerja Panjang (long acting)

Insulin kerja panjang tradisional (UltralenteTM) mempunyai masa kerja

lebih dari 24 jam, sehingga dapat digunakan dalam regimen basalbolus. Profi l

kejanya pada diabetisi anak sangat bervariasi, dengan efek akumulasi dosis;

oleh karena itu penggunaan analog insulin basal mempunyai keunggulan

dibandingkan ultralente.

5. Insulin kerja campuran

Saat ini di Indonesia terdapat beberapa sediaan insulin campuran yang

mempunyai pola kerja bifasik; terdiri dari kombinasi insulin kerja cepat dan

menengah, atau kerja pendek dan menengah yang sudah dikemas oleh pabrik.

Sediaan yang ada adalah kombinasi 30/70 artinya terdiri dari 30% insulin kerja

cepat atau pendek, dan 70% insulin kerja menengah. Insulin campuran

memberikan kemudahan bagi penderita.Pemakaian sediaan ini dianjurkan bagi

penderita yang telah mempunyai kontrol metabolik yang baik. Penggunaan

sediaan ini banyak bermanfaat pada kasus-kasus sebagai berikut:

• Penderita muda dengan pendidikan orang tua yang rendah.

• Penderita dengan masalah psikososial individu maupun pada keluarganya.

• Para remaja yang tidak senang dengan perhitungan dosis insulin campuran

yang rumit.

• Penderita yang menggunakan insulin dengan rasio yang stabil.

Pilihan tempat injeksi insulin

Insulin harus disuntikan ke jaringan bawah kulit diantara lapisan lemak

dan otot-otot yang terletak dibawahnya. Insulin yang disuntikan ke jaringan

tersebut (sering disebut jaringan subkutis) diserap ke dalam pembuluh darah

secara teratur. Jaringan subkutis terdapat di semua bagian tubuh, tetapi bagian-

bagian berikut ini sangat baik untuk tempat penyuntikan insulin karena terletak

jauh dari sendi-sendi, sistem urat syaraf dan pembuluh darah besar:

• Bagian luar lengan atas

• Bagian samping dan depan paha

• Punggung

• Di atas pinggang bagian belakang

• Di perut, kecuali daerah sekitar pusar dan pinggang

Gambar 2.7 : cara menginjeksikan insulin yang benar

ROTASI INSULIN

Gambar 2.7 : Gambar tingkat kecepatan absorbsi injeksi insulin

ROTASI INJEKSI INSULIN

8. Komplikasi

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan

komplikasi akut dan kronis. Berikut ini akan diuraikan beberapa komplikasi yang

sering terjadi dan harus diwaspadai.

1. Hipoglikemia

Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis penderita merasa

pusing, lemas, gemetar, pandangan berkunang-kunang, pitam (pandangan

menjadi gelap), keluar keringat dingin, detak jantung meningkat, sampai hilang

kesadaran. Apabila tidak segera ditolong dapat terjadi kerusakan otak dan

akhirnya kematian. Pada hipoglikemia, kadar glukosa plasma penderita kurang

dari 50 mg/dl, walaupun ada orang-orang tertentu yang sudah menunjukkan

gejala hipoglikemia pada kadar glukosa plasma di atas 50 mg/dl. Kadar glukosa

darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan

energy sehingga tidak dapat berfungsi bahkan dapat rusak. Hipoglikemia lebih

sering terjadi pada penderita diabetes tipe 1, yang dapat dialami 1 – 2 kali

perminggu. Dari hasil survei yang pernah dilakukan di Inggeris diperkirakan 2 –

4% kematian pada penderita diabetes tipe 1 disebabkan oleh serangan

hipoglikemia. Pada penderita diabetes tipe 2, serangan hipoglikemia lebih jarang

terjadi, meskipun penderita tersebut mendapat terapi insulin. Serangan

hipoglikemia pada penderita diabetes umumnya terjadi apabila penderita:

Lupa atau sengaja meninggalkan makan (pagi, siang atau malam).

Makan terlalu sedikit, lebih sedikit dari yang disarankan oleh dokter atau

ahli gizi.

Berolah raga terlalu berat.

Mengkonsumsi obat antidiabetes dalam dosis lebih besar dari pada

seharusnya.

Minum alcohol.

Stress

Mengkonsumsi obat-obatan lain yang dapat meningkatkan

risikohipoglikemia.

Disamping penyebab di atas pada penderita DM perlu diperhatikan

apabilapenderita mengalami hipoglikemik, kemungkinan penyebabnya adalah:

a) Dosis insulin yang berlebihan

b) Saat pemberian yang tidak tepat

c) Penggunaan glukosa yang berlebihan misalnya olahraga anaerobic berlebihan

d) Faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan kepekaan individu terhadap

insulin, misalnya gangguan fungsi adrenal atau hipofisis

2. hiperglikemia

Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah melonjak secara

tiba-tiba. Keadaan ini dapat disebabkan antara lain oleh stress, infeksi, dan

konsumsi obat-obatan tertentu. Hiperglikemia ditandai dengan poliuria, polidipsia,

polifagia, kelelahan yang parah (fatigue), dan pandangan kabur. Apabila

diketahui dengan cepat, hiperglikemia dapat dicegah tidak menjadiparah.

Hipergikemia dapat memperburuk gangguan-gangguan kesehatan seperti

gastroparesis, disfungsi ereksi, dan infeksi jamur pada vagina. Hiperglikemia

yang berlangsung lama dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang

berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik (Diabetic Ketoacidosis = DKA) dan

(HHS), yang keduanya dapat berakibat fatal dan membawa kematian.

Hiperglikemia dapat dicegah dengan kontrol kadar gula darah yang ketat.

Komplikasi Makrovaskular

2 jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada

penderita diabetes adalah penyakit jantung koroner (coronary heart disease =

CAD), penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh darah

perifer(peripheral vascular disease = PVD). Walaupun komplikasi makrovaskular

dapat juga terjadi pada DM tipe 1, namun yang lebih sering merasakan

komplikasi makrovaskular ini adalah penderita DM tipe 2 yang umumnya

menderita hipertensi, dislipidemia dan atau kegemukan. Kombinasi dari penyakit-

penyakit komplikasi makrovaskular dikenal dengan berbagai nama, antara lain

Syndrome X, Cardiac Dysmetabolic Syndrome, Hyperinsulinemic Syndrome,

atau Insulin Resistance Syndrome. Karena penyakit-penyakit jantung sangat

besar risikonya pada penderita diabetes, maka pencegahan komplikasi terhadap

jantung harus dilakukan sangat penting dilakukan, termasuk pengendalian

tekanan darah, kadar kolesterol dan lipid darah. Penderita diabetes sebaiknya

selalu menjagatekanan darahnya tidak lebih dari 130/80 mm Hg. Untuk itu

penderita harus dengan sadar mengatur gaya hidupnya, termasuk

mengupayakan berat badan ideal, diet dengan gizi seimbang, berolah raga

secara teratur, tidak merokok, mengurangi stress dan lain sebagainya.

Komplikasi Mikrovaskular

Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita diabetes tipe 1.

Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk

HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi makin lemah dan rapuh

dan terjadi penyumbatan pada pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal inilah yang

mendorong timbulnya komplikasi-komplikasi mikrovaskuler, antara lain retinopati,

nefropati, dan neuropati. Disamping karena kondisi hiperglikemia, ketiga

komplikasi ini juga dipengaruhi oleh factor genetik. Oleh sebab itu dapat terjadi

dua orang yang memiliki kondisi hiperglikemia yang sama, berbeda risiko

komplikasi mikrovaskularnya. Namundemikian prediktor terkuat untuk

perkembangan komplikasi mikrovaskular tetaplama (durasi) dan tingkat

keparahan diabetes. Satu-satunya cara yang signifikan untuk mencegah atau

memperlambatjalan perkembangan komplikasi mikrovaskular adalah dengan

pengendalian kadar gula darah yang ketat. Pengendalian intensif dengan

menggunakan suntikan insulin multi-dosis atau dengan pompa insulin yang

disertai denganmonitoring kadar gula darah mandiri dapat menurunkan risiko

timbulnya komplikasi mikrovaskular sampai 60%.

DAFTAR PUSTAKA

1. Linda S. Williams & Paula D. Hopper. 2003. Understanding Medical

Surgical Nursing. Ed 2nd.

2. Kliegman, Robert M. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Vol. 3. Ed. 15.

Jakarta: EGC, 2000.

3. Purnamasari, D., 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. In:

Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing

Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, 1880-1883.

4. Schteingart, D.E., 2006. Pankreas: Metabolisme Glukosa dan Diabetes

Melitus. In: Hartanto, H., Susi, N., Wulansari, P., Mahanani, D.A.,

Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Sylvia A. Price &

Lorraine M. Wilson Edisi 6 Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC, 1259-1274.

5. Soegondo, S., Purnamasari, D., 2009. Sindrom Metabolik. In: Sudoyo,

A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing Pusat

Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, 1865-1872.

6. Suyono, S., 2009. Diabetes Melitus di Indonesia. In: Sudoyo, A.W.,

Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing Pusat

Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, 1873-1879. dr. heriyannis homenta.

2012. diabetes mellitus tipe I. program pasca sarjana ilmu biomedik

FKUB.

7. Corwin, Elizabeth. 2009. Patofisiologi: buku saku. Jakarta : EGC

8. Mortensen HB, et al. Multinational study in children and adolescents with

newly diagnosed type 1 diabetes: association of age, ketoacidosis, HLA

status, and autoantibodies on residual beta-cell function and glycemic

control 12 months after diagnosis. Pediatric Diabetes 2010: 11: 218–226.

9. Thomas RC, et al. Autoimmunity and the Pathogenesis of type 1

Diabetes. McGill University Medical School, Montreal, Canada; 2010;

47(2): 51–71

10. Irland NB. The story of type 1 diabetes. Nursing for women’s health,

volume 14, 2010; 327-338

11. Al Homsi MF, Lukic ML. An Update on the pathogenesis of Diabetes

Mellitus. Faculty of Medicine and Health Sciences, UAE University, Al Ain,

United Arab Emirates; 2000

12. Netty EP. Diabetes Mellitus Tipe I dan Penerapan Terapi Insulin Flexibel

pada Anak dan Remaja. Diajukan pada Forum Komunikasi Ilmiah (FKI)

Lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo

Surabaya. February 13, 2002.

13. Stang J, Story M (eds) Guidelines for Adolescent Nutrition Services

(2005) http://www.epi.umn.edu/let/pubs/adol_book.shtm

14. National Diabetes Education Program. Overview of diabetes in children

and adolescents. New York: U.S. Department of Health and Human

Services National Diabetes Education Program; 2006.

15. Depkes RI (2008). Laporan hasil riset kesehatan dasar tahun 2007.

Jakarta: badab litbangkes

16. Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit

Diabetes Mellitus. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik.

Jakarta.

17. Price, SA dan LM Wilson. 1995. Patofisiologi: Konsep, Klinis, Proses-

proses Penyakit. Edisi 4. EGC. Jakarta.

18. J Piette. Effectiveness of Self-management Education. Dalam: Gan D,

Allgot B, King H, Lefebvre P, Mbanya JC, Silink M, penyunting. Diabetes

Atlas. Edisi ke-2. Belgium: International Diabetes Federation; 2003:h.207-

15)