Chapter II 2

76
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem dan Pemodelan 2.1.1. Definisi dan Kategori Sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa Yunani (σύστημα syst ēma ) adalah suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi. Istilah ini sering dipergunakan untuk menggambarkan suatu set entitas yang berinteraksi, di mana suatu model matematika seringkali bisa dibuat (Wikipedia, 2009a). Sistem juga merupakan kesatuan dari bagian-bagian yang saling berhubungan yang berada dalam suatu wilayah serta memiliki item-item penggerak, contoh umum misalnya seperti negara. Negara merupakan suatu kumpulan dari beberapa elemen kesatuan lain seperti provinsi yang saling berhubungan sehingga membentuk suatu negara dimana yang berperan sebagai penggeraknya yaitu rakyat yang berada dinegara tersebut (Hidaka, 2005). Kata sistem banyak sekali digunakan dalam keseharian, dalam forum diskusi maupun dokumen ilmiah. Kata ini digunakan untuk banyak hal, dan pada berbagi bidang, sehingga maknanya menjadi beragam. Dalam pengertian yang paling umum, sebuah sistem adalah sekumpulan benda yang saling memiliki hubungan (Sufian et al. 2006). Sebuah sistem umumnya memiliki karakteristik, yang yang terdiri dari : (1) struktur-yang dijabarkan oleh bagian dan komposisi; (2) perilaku- yang dijabarkan oleh input, proses ,output materi, energi ,informasi; (3) interconnectivity (saling memiliki keterkaitan)-setiap bagian dari sistem memiiki fungsi dan hubungan struktural antara satu sama lain (Forrester, 2002, Sliwa, 2006). Universitas Sumatera Utara

description

dokumen

Transcript of Chapter II 2

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Sistem dan Pemodelan

    2.1.1. Definisi dan Kategori

    Sistem berasal dari bahasa Latin (systma) dan bahasa Yunani

    ( systma ) adalah suatu kesatuan yang terdiri komponen atau

    elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi,

    materi atau energi. Istilah ini sering dipergunakan untuk menggambarkan

    suatu set entitas yang berinteraksi, di mana suatu model matematika

    seringkali bisa dibuat (Wikipedia, 2009a).

    Sistem juga merupakan kesatuan dari bagian-bagian yang saling

    berhubungan yang berada dalam suatu wilayah serta memiliki item-item

    penggerak, contoh umum misalnya seperti negara. Negara merupakan suatu

    kumpulan dari beberapa elemen kesatuan lain seperti provinsi yang saling

    berhubungan sehingga membentuk suatu negara dimana yang berperan

    sebagai penggeraknya yaitu rakyat yang berada dinegara tersebut (Hidaka,

    2005).

    Kata sistem banyak sekali digunakan dalam keseharian, dalam forum

    diskusi maupun dokumen ilmiah. Kata ini digunakan untuk banyak hal, dan

    pada berbagi bidang, sehingga maknanya menjadi beragam. Dalam

    pengertian yang paling umum, sebuah sistem adalah sekumpulan benda

    yang saling memiliki hubungan (Sufian et al. 2006).

    Sebuah sistem umumnya memiliki karakteristik, yang yang terdiri

    dari : (1) struktur-yang dijabarkan oleh bagian dan komposisi; (2) perilaku-

    yang dijabarkan oleh input, proses ,output materi, energi ,informasi; (3)

    interconnectivity (saling memiliki keterkaitan)-setiap bagian dari sistem

    memiiki fungsi dan hubungan struktural antara satu sama lain (Forrester,

    2002, Sliwa, 2006).

    Universitas Sumatera Utara

  • Dooley (2002) mendefinisikan sistem sebagai sistem gugus elemen

    yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai satu atau gugus

    tujuan. Definisi lain dari sistem ialah merupakan jaringan prosedur yang

    saling berhubungan dan terorganisasi untuk melakukan kegiatan atau untuk

    menyelesaikan sasaran dan tujuan tertentu

    Menurut sifatnya, sistem terbagi 2 yaitu : (1) sistem dinamis ; (2)

    sistem statis (Sitompul, 2002; Christina, 2004). Kategori lainnya adalah

    sistem tertutup dan sistem terbuka. Sistem tertutup hanya ada dalam asumsi

    dan kajian analisis. Berdasarkan jenis, ada sistem abstrak dan sistem fisik.

    Sistem dapat pula menjadi komponen, batasan, lingkungan, interface, input,

    proses, output, sasaran, dan tujuan (Sitompul, 2002; Christina, 2004). Batas

    sistem adalah abstraksi dari batas yang menghimpun unsur dan proses dari

    sistem sebagai bagian terpisah lingkungan total. Unsur dalam sistem

    dipengaruhi oleh lingkungan, tapi sebaliknya komponen tidak

    mempengaruhi lingkungan. Sebagai contoh dalam model tanaman, faktor

    lingkungan seperti radiasi matahari dan suhu mempengaruhi fotosintesis,

    tetapi keadaan sebaliknya tidak terjadi yaitu fotosintesis mempengaruhi

    faktor lingkungan. Ini tidak seluruhnya benar, karena tanaman dapat

    mempengaruhi iklim mikro dan mungkinfaktor iklim lain pada tingkat yang

    sangat kecil yang biasanya diabaikan dalam penerapan studi sistem

    (Sitompul 2002).

    2.1.2. Pendekatan Sistem Dinamis

    Sebuah sistem yang kompleks akan terdiri dari berbagai komponen

    dan lapisan subsistem, interkonektivitas yang nonlinier. Hal ini akan

    mempersulit proses pengenalan, pengelolaan serta prediksi yang harus

    dilakukan (Forrester 2002, Maxwell et al., 2002). Selain itu, sistem yang

    kompleks akan melibatkan orang, organisasi, masalah serta kebijakan yang

    mempengaruhi keutuhan dari suatu sistem. Karakter dan komponen sistem

    yang kompleks tersebut akan menyebabkan tingginya tingkat ketidakpastian

    dan perlu dilakukannya pendekatan sistem dinamis (Kossik et al., 2004;

    Universitas Sumatera Utara

  • Hall et al., 2004). Kesuksesan sebuah organisasi dalam memecahkan

    permasalahan yang kompleks melalui pendekatan sistem dinamis akan

    sangat bergantung pada kemampuan pelaksana dalam mengelola

    kompleksitas yang saling berhubungan tersebut. Desain yang efektif dan

    efisien tidak bisa dicapai tanpa adanya pemahaman yang komprehensif

    terhadap seluruh komponen sistem (Marashi et al., 2005).

    Permasalahan sistem yang dapat menggunakan pendekatan sistem

    biasanya mencakup: (1) tingkat kerumitan (kompleks), (2) probabilistik, (3)

    dinamis-berubah terhadap waktu ; serta (4) mengandung minimal satu

    umpan balik (Wager et al., 2002; Tasrif, 2005). Solusi metode berpikir

    sistem diawali dengan pemetaan kognitif (memikirkan interaksi antara unsur

    dalam batas-batas tertentu) dan pemetaan kausal tentang aliran informasi,

    dilanjutkan simplifikasi kompleksitas untuk desain model mental

    (Muhammadi et al., 2001). Adapun tahapan melibatkan proses : (1)

    strukturisasi masalah; (2) proses desain hubungan sebab akibat (causal loop)

    yang dinamis; (4) penetapan skenario; (5) implementasi; serta (6) evaluasi.

    Meskipun demikian tidak semua tahapan harus diimplentasikan dalam

    pendekatan sistem dinamis, karena hal tersebut sangat tergantung pada

    kesiapan para eksekutor kebijakan (Maani & Cavana, 2000 dalam Christina,

    2004).

    Hal ini disebabkan karena dengan pendekatan sistem dinamis para

    eksekutor kebijakan dapat memvisualisasikan secara efektif : (1) analisis

    situasi : (2) analisis penyebab; (3) dan alternatif pemecahan masalah. Pada

    tahapan analisis situasi, pendekatan sistem dinamis akan memberikan

    gambaran tentang kondisi masa depan. Pada tahapan analisis penyebab

    hubungan siklus dapat ditingkatkan keakuratannya karena dapat terjadi dari

    berbagai arah. Pada tahapan akhir yaitu alternatif pemecahan masalah,

    pendekatan sistem dapat menganalisis dampak dari berbagai alternatif

    pemecahan masalah yang akan ditempuh sebelum

    mengimplementasikannya ke dunia nyata (Hidaka, 2005).

    Universitas Sumatera Utara

  • Pendekatan sistem dinamis untuk menjawab berbagai permasalahan

    sebenarnya berada diantara soft modelling dan hard modelling. Karena

    disatu sisi pendekatan ini dapat saja menggunakan data kuantitatif sebagai

    pendekatan solusi tetapi disisi lain juga dapat memberikan nilai lebih

    dengan mengikut sertakan data kualitatif ke dalam sistem. Perbedaan antara

    soft modelling dan hard modelling disarikan pada Tabel 2.1.

    Tabel 2.1. Hard versus Soft Approaches Uraian Hard approach Soft approach

    Definisi Model Reprensentasi dari dunia nyata

    Menelaah secara mendalam tentang dunia nyata

    Definisi Masalah Jelas dan berdimensi Tunggal Ambigu dan multidimensi

    Pribadi dan Organisasi Tidak diikut sertakan Bagian dari Model

    Data Kuantitatif Kualitatif

    Tujuan Penyelesaian masalah dan optimasi Proses pembelajaran yang mendalam

    Hasil Rekomendasi Berlanjut dengan pembelajaran kelompok Sumber : Maani et al., 2000 dalam Christina, 2004.

    Lebih lanjut Maani et al. (2000) dalam Christina (2004) menjabarkan

    tahapan serta langkah yang harus ditempuh dalam menerpakan pendekatan

    sistem dinamis. Pendekatan sistem dinamis akan melibatkan 5 tahapan

    utama yang terdiri dari : (1) Strukturisasi permasalahan; (2) Pemodelan

    causal loop; (3) pemodelan dinamis; (4) penerapan skenario dan pemodelan;

    (5) penerapan dan pembelajaran organisasi. Meskipun demikian, tentunya

    tidak semua tahapan tersebut harus dilaksanakan., karena hal tersebut akan

    sangat bergantung kepada masalah yang akan diselesaikan serta komitmen

    dan kesiapan organisasi yang bersangkutan untuk melaksanakan intervensi

    dengan cara mengimplementasikan opsi-opsi terpilih. Uraian lengkap

    tentang tahapan dan langkah yang harus ditempuh dalam pendekatan sistem

    dinamis dapat dilihat pada Tabel 2.2. berikut.

    Universitas Sumatera Utara

  • Tabel 2.2. Metodologi Sistem Dinamis Tahapan Langkah-langkah

    1. Strukturisasi Masalah Indentifikasi masalah yang berkaitan dengan pengelolaan sistem or issues of concern to management

    2. Pemodelan Causal Loop Indentifikasi variabel utama Mempersiapkan grafik yang memperlihatkan

    gejala perlakukan terhadap waktu (mode referensi)

    Mengembangkan diagram causal loop (diagram sebab akibat)

    Analisis gejala sebab akibat terhadap waktu Identifikasi jalur sistem Indentifikasi nilai tambah sistem Mengembangkan strategi intervensi

    3. Pemodelan dinamis Mengembangkan gambaran sistem secara menyeluruh

    Menentukan jenis variabel dan mengkonstruksi diagaram stock-flow

    Mengumpulkan informasi dan data secara detail

    Mengembangka model simulasi Menentukan model seperti nilai awal, selang

    waktu simulasi, rentang waktu

    4. Merencanakan Skenario dan Pemodelan

    Merencanakan skenarion secara umum Indentifikasi faktor kunci yang

    mempengaruhi perubahan dan cata hal yang diragukan

    Bangun skenario pembelajaran dan intervensi

    Simulasi skenario dengan model Evaluasi masalah yang berkaitan dengan

    skenario dan strategi.

    5. Penerapan dan organisasi pembelajaran

    Menyiapkan laporan dan presentasi Mengkomunikasikan hasil dan pilihan

    intervensi kapada stakeholder Mengembangkan dunia kecil and lab.

    pembelajaraan berdasarkan model simulasi Gunakan lab. Pembelajaran untuk menelaan

    model mental dan memfasilitasi proses pembelajaran

    Sumber : Maani et al. (2000) dalam Christina (2004)

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.1.3. Struktur, Perilaku Sistem dan Causal Loop Diagram

    Pendekatan sistem dinamis telah memungkinkan para praktisi untuk

    meningkatkan level pemahaman terhadap sistem. Hal lain yang dapat

    diperoleh oleh praktisi melalui pendekatan ini adalah kemampuan untuk

    menginterpretasikan model mental dari suatu sistem secara visual, ringkas

    serta mengkomunikasikan model mental tersebut kepada pihak lain (CFSD,

    2003).

    Untuk dapat mencapai tahapan tersebut, setiap gejala fisik/non fisik

    yang terdapat pada sistem diserderhanakan menjadi struktur dasar, yaitu

    mekanisme kerja yang berkelanjutan dari : input, output, dan feedback yang

    berubah menurut waktu (dinamis). Perubahan tersebut akan menghasilkan

    unjuk kerja sistem yang teramati perilakunya. Mekanisme kerja berkembang

    dengan batasan tertentu serta adanya kontrol bias dari dalam : umur atau

    kerusakan atau dari luar sistem : intervensi dan hambatan lingkungan

    (Muhammadi et al., 2001).

    Hal penting dalam struktur dinamis adalah menemukan mekanisme

    solusi yaitu bagaimana strategi, aksi dan kebijakan agar sistem berfungsi

    sesuai tujuan. Struktur sistem dinamis adalah sistem tertutup. Pengaruh

    lingkungan dimungkinkan dan perubahan eksternal dianggap sebagai

    variabel eksogen. Untuk memudahkan berpikir sistem, struktur

    disederhanakan dalam causal loop diagram yang menggambarkan ciri dari

    sistem tertutup.

    Ciri sistem tertutup di tunjukkan loop feedback (Muhammadi et al.,

    2001). Hubungan kausal (causal loop) atau hubungan sebab akibat

    merupakan titik fokus dari paradigma pendekatan sistem dinamis.

    Hubungan sebab akibat tersebut sebagian besar diperoleh dari : korelasi,

    analisis regresi, cluster analysis dan berbagai analisis klasifikasi dari

    komponen sistem (Roy et al., 2000)

    Causal loop diagram adalah ekspresi hubungan kausal ke dalam

    gambar tertentu. Unsur sebab dan akibat salah satu diantaranya merujuk

    keadaan terukur kualitatif (dirasakan) atau kuantitatif (aktual). Proses (rate)

    Universitas Sumatera Utara

  • atau informasi tentang keadaan sebagai sebab yang menghasilkan keadaan

    (level) atau pengaruh pada proses sebagai akibat atau sebaiknya. Ini adalah

    aturan logis sistem dinamis dalam memetakan causal loop diagram seperti

    yang diilustrasikan pada gambar 2.1 (School, 2000; Muhammadi et al.,

    2001).

    Gambar 2.1. Causal Loop Diagram (Roy et al, 2000)

    Causal loop diagram merupakan alat bantu untuk mempermudah

    strukturisasi sistem. Strukturisasi rinci untuk simplikasi kompleksitas sesuai

    dengan maksud berpikir sistem. Simplikasi berkembang menjadi pola-pola

    struktur dinamis. Setiap sistem memiliki perbedaan pola perilaku dinamis.

    Pola-pola dapat dipakai sebagai pedoman awal dalam membangun struktur

    dinamis yang lebih rinci atau untuk analisis (Roy et al., 2000; Muhammadi

    et al., 2001). Setelah unsur sebab dan akibat telah duduk maka selanjutnya

    (yang dihubungkan dengan panah sebab akibat) dapat diketahui jenis akibat

    yang ditimbulkan oleh sebab, yaitu searah-akibat, serta dapat diketahui jenis

    akibat yang ditimbulkan oleh sebab, yaitu searah atau berlawanan arah. Jika

    hubungan itu searah maka tanda panahnya positif (+); jika berlawanan arah

    maka tanda panahnya negatif (CFSD, 2003; Borshchev et al., 2004; Ford et

    al., 2005 ).

    Proses penstrukturan selanjutnya adalah merangkai hubungan kausal

    itu menjadi sistem tertutup sehingga menghasilkan loops. Sifat positif atau

    negatif loops diketahui dengan melihat hasil seluruh proses interaksi tanda

    Universitas Sumatera Utara

  • panah dalam suatu loop; searah (disebut loop positif) atau berlawanan arah

    (disebut loop negatif). Loop positif berprilaku percepatan atau perlambatan.

    Loop negatif berperilaku menuju sasaran atas limit. Ada dua jenis sasaran,

    yaitu sasaran menuju eksplisit : lebih besar dari 0 dan sasaran menuju

    implisit : mendekati 0 (CFSD, 2003; Borshchev et al., 2004; Ford et al.,

    2005).

    Hubungan kausal yang terjadi pada suatu sistem akan dipengaruhi

    oleh peubah dan paramater (Sitompul, 2002). Peubah keadaan (state

    variables) adalah kuantitas yang menggambarkan kondisi komponen dalam

    sistem yang dapat nyata seperti berat atau abstrak seperti fase

    perkembangan dan dapat berubah dengan waktu sebagaimana sistem

    berinteraksi dengan lingkungan. Peubah keadaan bersifat masukan pada

    model sistem seperti faktor lingkungan yang mempengaruhi tingkah-laku

    sistem, dan juga dikenal sebagai peubah penggerak (driving variables). Jika

    suatu sistem tidak mempunyai masukan, itu berarti tidak dipengaruhi oleh

    lingkungan dan diacu sebagai sistem tertutup (closed sistem). Sistem

    terbuka (open system) mempunyai satu atau lebih masukan yang dapat

    berubah dengan waktu.

    Parameter adalah karakteristik dari unsur sistem atau peubah laju

    (rate variables) dari persamaan yang digunakan dalam model sistem dan

    biasanya bersifat tetap (konstan) selama masa simulasi. Parameter dapat

    dibuat sebagai masukan, sehingga kadang-kadang perbedaan antara

    masukan dan parameter tidak selalu jelas. Umumnya masukan tergantung

    langsung pada waktu, sementara parameter adalah relatif konstan tergantung

    pada keadaan sistem. Penggunaan diagram komponen dianjurkan untuk

    menghubungkan komponen, masukan, keluaran, dan batas sistem dalam

    sistem (Sitompul, 2002).

    2.1.4. Model

    Model adalah rencana, representasi, atau deskripsi yang menjelaskan

    suatu objek, sistem, atau konsep, yang seringkali berupa penyederhanaan

    Universitas Sumatera Utara

  • atau idealisasi. Bentuknya dapat berupa model fisik (maket, bentuk

    prototipe), model citra (gambar rancangan, citra komputer), atau rumusan

    matematis (Caughlin , 2000; Bazkiaei et al. 2007; Wikipedia, 2009b).

    Model beperanan penting dalam pengembangan teori karena berfungsi

    sebagai konsep dasar yang menata rangkaian aturan yang digunakan untuk

    menggambarkan sistem. Hawking (dalam Sitompul 2002) menjelaskan

    bahwa :

    a theory is just a model of the universe,......, and a set of rules that relate quantitiesi n the model to observations ... A theory is a good theory if it satisfies two requirements: It must accurately describea large class of observations on the basis of a model ....., and it must make definite predictions about the results of future observations

    Lebih lanjut Sitompul (2002) mengklasifikasikan model kedalam

    beberapa jenis yaitu :

    1. Model Matematika Model matematika adalah model yang dicirikan dengan persamaan

    matematik yang terdiri dari peubah dan parameter.

    2. Model Kontinu dan Diskret

    Model kontinu yang dicirikan oleh peubah keadaan yang berubah secara

    perlahan dalam selang waktu yang relatif pendek dan tidak terbatas pada

    bilangan bulat (integer), sedangkan model diskret adalah model dengan

    peubah yang menggambarkan keadaan sistem dengan bilangan bulat.

    Model diskret biasanya membutuhkan informasi tentang waktu yang

    dibutuhkan.

    Sebaliknya, model kontinu membutuhkan informasi mengenai proses

    seperti tingkat aliran bahan atau energi diantara komponen dan diantara

    komponen dengan lingkungan. Model diwakili oleh serangkaian

    persamaan diferensial yang diturunkan dari struktur sistem dan saling

    berhubungan diantara komponennya.

    Model sistem kontinu adalah suatu pendekatan yang berorientasi pada

    proses dalam penggambaran tingkah-laku suatu sistem. Proses dapat

    dibagi tiga bagian yaitu transport atau aliran (flow), transformasi dan

    Universitas Sumatera Utara

  • simpanan (storage atau stock). Proses ini digambarkan oleh dua klas

    peubah yang kadang-kadang disebut peubah ekstensif (extensive

    variables) dan peubah intensif (intensive variables). Peubah ekstensif

    dicirikan oleh aliran kuantitas seperti aliran massa, volume, muatan

    listrik, dan panas.

    Peubah intensif, yang merupakan ukuran dari intensitas energi atau

    potensial, mengwakili tenaga penggerak peubah ekstensif seperti

    tekanan, suhu, voltase dan kecepatan (velocity). Identifikasi peubah

    ekstensif dan intensif serta komponen sistem perlu dilakukan secara

    cermat, dan diagram sistem dapat digunakan untuk menurunkan

    persamaan atau model matematik dari sistem. Karena kesamaan peubah

    ekstensif dan intensif diantara sistem, metode yang sama dapat

    digunakan untuk membentuk model untuk masing-masing sistem, dan

    model matematik yang sama dari suatu sistem dapat digunakan pada

    sistem yang lain.

    3. Model Empiris dan Mekanistik Model empiris diperoleh biasanya dari pengalaman, seperti hasil

    pengamatan, dan digunakan untuk menggambarkan suatu atau sebagian

    tingkah-laku sistem yang dipelajari.

    Sementara, model mekanistik mencoba memberikan deskripsi sistem

    berdasarkan pemahaman akan tingkah-laku dari sistem tersebut atau

    mekanisme yang dipertimbangkan. Pada umumnya, orang yang

    mengembangkan model empiris bekerja hanya pada satu tingkat hirarki

    organisasi sistem keseluruhan, dan menurunkan persamaan yang

    menghubungkan satu komponen dengan komponen lain pada tingkat

    yang sama dalam sistem tersebut

    Sebaliknya, model mekanistik dikembangkan untuk mencoba

    menggambarkan tingkah-laku dari komponen sistem (attributes) pada

    tingkat hirarki yang berbeda seperti komponen pada tingkat i dengan

    komponen pada tingkat i-1. Kedua tingkatan tersebut dihubungkan oleh

    proses analisis dan resistensi yang diikuti dengan asumsi dan hipotesis.

    Universitas Sumatera Utara

  • Deskripsi tingkah laku pada tingkat i-1 dapat murni empiris

    (berdasarkan pengalaman) dan tidak mengandung unsur yang berada

    pada tingkat hirarki yang lebih bawah (i-2), atau sebagian empiris dan

    sebagian lagi mekanistik.

    Salah satu fakta yang harus diingat adalah bahwa model mekanistik

    jarang secara murni mekanistik dan lebih sering sebagian didasarkan

    atas model empiris. Kenyataan lain adalah bahwa model empiris dapat

    memberikan hasil yang lebih baik dari model mekanistik. Ini terjadi

    karena model empiris lebih mudah diturunkan dengan hanya sedikit

    kendala dibandingkan dengan model mekanistik.

    4. Model Statis dan Dinamis Model statis adalah model yang tidak melibatkan waktu sebagai peubah,

    sehingga perubahan sistem dengan waktu tidak diketahui. Karena

    hampir tidak ada aspek yang tidak berubah dengan waktu betapapun

    kecil tingkat perubahannya, suatu model statis hanya bersifat

    aproksimasi. Sekalipun demikian aproksimasi yang sangat baik dapat

    diperoleh. arena sistem yang dipelajari cukup mendekati keadaan

    setimbang (equilibrium), atau skala waktu dalam sistem sedemikian

    pendek dibandingkan dengan waktu dari lingkungan.

    Suatu sistem adalah dinamis apabila keadaannya berubah dengan waktu

    seperti pertumbuhan tanaman selama siklus hidupnya. Ini dapat bersifat

    kontinu apabila tabiat dan keadaannya berubah relatif perlahan, atau

    diskret apabila perubahannya terjadi cepat atau besar mis. pergantian

    penggunaan traktor.

    Suatu model adalah dinamis jika itu mensimulasi perilaku sistem yang

    dinamis. Model dinamis dicirikan oleh waktu sebagai salah satu faktor

    penentu perubahan dari sistem yang sering dinyatakan dalam persamaan

    diferensial.

    5. Model Deterministik dan Stokastik Model deterministik adalah yang menghasilkan penaksiran kuantitas

    defenitif seperti hasil tanaman yang tidak disertai dengan informasi

    Universitas Sumatera Utara

  • mengenai peluang. Ini dapat berlaku untuk kasus tertentu, tapi kurang

    memuaskan untuk kuantitas yang sangat bervariasi seperti curah hujan.

    Sebaliknya model stokastik mengandung unsur acak atau distribusi

    peluang, sehingga tidak hanya membuat penaksiran keluaran yang

    defenitif tapi juga disertai dengan deviasi (variance). Semakin besar

    ketidak-pastian akan tingkah-laku suatu sistem, semakin penting

    penerapan model stokastik.

    Proses seperti kelahiran, migrasi, kematian, dan konversi kimia

    cenderung terjadi secara acak. Tingkah-laku sistem dapat menjadi

    deterministik apabila kuantitas besar dilibatkan, artinya variasi yang

    sangat kecil tidak begitu berarti dalam taksiran yang dihasilkan model.

    Kasus epidemiologi, dinamika populasi, pengendalian populasi kadang-

    kadang didekati dengan model stokastik.

    6. Model deskriptif Model deskriptif membatasi tingkah-laku atau perilaku suatu sistem

    dalam suatu cara sederhana, dan mengandung sedikit, jika ada,

    mekanisme yang menyebabkan tingkah-laku tersebut. Pembentukan dan

    penggunaan model agak bersifat langsung dan sering terdiri dari satu

    atau lebih persamaan matematik.

    7. Model Eksplanatori Model eksplanatori terdiri dari deskripsi kuantitatif dari mekanisme dan

    proses yang menyebabkan tingkah-laku suatu sistem. Deskripsi ini

    merupakan pernyataan eksplisit (tegas) dari teori ilmiah dan hipotesis.

    Untuk menciptakan suatu model eksplanatori, suatu sistem dianalisis

    dan proses serta mekanismenya dikuantifikasi secara terpisah. Model

    dibangun dengan mengintegrasikan keseluruhan deskripsi dari sistem

    tersebut.

    Adapun tahapan yang harus dilalui dalam pengembangan model

    terdiri atas : (1) definisi masalah; (2) konseptualisasi sistem; (3) representasi

    model; (4) evaluasi model; (5) analisis kebijakan dan implementasi model

    Universitas Sumatera Utara

  • yang logis dimulai dari bentuk sederhana dengan mendefiniskan masalah

    secara hati-hati dan analisis sensivitas untuk membantu menentukan rincian

    model. Selanjutnya ditambah variabel secara gradual sehingga logis dan

    representatif. Penyempurnaan struktural dan fungsional mempertimbangkan

    feasibility dan desirability (Sushil, 1993).

    2.1.5. Validasi Model

    Validasi adalah salah satu kriteria uji yang bertujuan untuk

    mengetahui apakah suatu model dapat menirukan kondisi nyata

    (Muhammadi et al., 2001; Burns, 2002; Christina, 2004). Validasi

    (output/kinerja model) dilakukan untuk mengetahui antara hasil simulasi

    dengan gejala atau proses yang diturunkan. Model yang baik memiliki

    kesalahan atau simpangan terhadap data statistik dan informasi aktual yang

    kecil. Ada 2 jenis validasi yang dapat dilakukan terhadap model yaitu

    (Muhammadi et al., 2001; Burns, 2002):

    1. Validitas Struktur Ada dua jenis validitas struktur, yaitu validitas konstruksi (konstruksi

    model valid secara ilmiah) dan stabilitas struktur (keberlakuan atau

    robustness struktur dalam dimensi waktu). Uji validitas struktur

    bertujuan meyakinkan tingkat keserupaan struktur model mendekati

    struktur nyata. Ada dua teknik validasi konstruksi, yaitu dengan teori

    dan kritik teori. Validasi konstruksi dengan teori ditunjukkan dengan

    tingkat kesesuaian struktur model yang dirumuskan dengan aturan

    berpikir logis setiap teori keilmuan dengan objek penelitian, artinya

    setiap hubungan kausal umum atau rinci dalam model didukung

    argumentasi yang sudah diturunkan dan didukung teori dan konsep

    relevan tidak dengan sendirinya valid.

    Teori berubah dan berkembang sesuai dinamika sistem nyata pada

    waktu dan tempat tertentu. Metode berpikir sistem menganjurkan

    kreativitas dalam perumusan struktu model teoritis yang baik, model

    memakai teori relevan, mengikuti perkembangan teori bar, dan

    Universitas Sumatera Utara

  • menerapkan teori yang cocok untuk menjelaskan objek tertentu di suatu

    trempat, dipakai bersyarat untuk menjelaskan keadaan di tempat lain.

    Untuk keyakinan sejauh mana struktur model teoritis yang dirumuskan

    dapat menjelaskan struktur sistem nyata,maka harus lulus uji stabilitas

    struktur model.

    Uji ini bertujuan untuk melihat keberlakuan (robustnees) model dalam

    dimensi waktu. Hal ini dilakukan dengan menguji struktur model

    terhadap perlakuan kejutan agregasi unsur dan disagregasi menghasilkan

    kolapsnya perilaku/kinerja sistem atau tidak logis, maka berarti ada

    kesalahan/kekurangan dalam struktur model. Struktur disempurnakan

    atau diubah sama sekali mulai dari awal.

    Pekerjaan validasi struktur memerlukan kesabaran dan ketekunan karena

    melakukan pengulangan berpikir sampai diperoleh struktur model logis

    dan objektif. Model kurang logis disebabkan oleh konstruksi lemah

    secara teoritis akibat terlalu menggunakan akal sehat parsial. Model

    kurang objektif umumnya jika konstruksi lemah kontekstual, sebab

    kurang kritis dan menggantungkan pada teori yang kurang relevan.

    Setelah diperoleh struktur model yang stabil yaitu logis dan objektif,

    terhadap validasi berikutnya adalah uji validitas kinerja/output model.

    2. Validitas Kinerja/Output Model Dalam metode berpikir sistem validasi kinerja adalah pelengkap.

    Tujuannya memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja model sesuai

    denagan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat model ilmiah.

    Caranya adalah validasi kinerja model dengan data empiris untuk

    melihat sejauh mana perilaku output model sesuai dengan data empirik.

    Sebelumnya, aspek yang perlu diperhatikan yaitu konsistensi unit

    analisis, dimensi, dan data simulasi yang dihasilkan model.

    Dalam model interaksi semua variabel saling bergantung. Konsistensi

    ukuran dalam interaksi antar variabel diperoleh dengan menjembatani

    perbedaan ukuran variabel dengan variabel penghubung (rasio atau

    fungsi tabel efek). Data yang dimasukkan ke dalam model hanya data

    Universitas Sumatera Utara

  • level awal dan variabel penghubung (tabel) dan konstanta. Data simulasi

    suatu variabel menjadi masukan bagi variabel lain, kemudian

    menciptakan data simulasi untuk variabel tersebut.

    Kesalahan input data awal akan membuat kesalahan kumulatif pada

    variabel lain yang berinteraksi sehingga ketelitian data awal mutlak

    diperhatikan. Meskipun demikian metode berpikir sistem lebih

    menekankan pada persoalan apa, mengapa, dan bagaimana

    persoalannya, tidak menekankan pada beberapa angka ketelitian.

    Prosedur uji konsistensi adalah: 1) mengeluarkan output simulasi

    khususnya nilai rujukan (reference mode atau variabel uatama) lalu

    dibandingkan dengan pola perilaku data empirik. Pertama, komparasi

    visual: jika visual pola output simulasi sudah mengikuti pola data aktual

    maka diuji statistik; 2) uji statistik untuk telaah deviasi antar output

    simulasi dibandingkan data aktual. Hal ini dapat dilakukan dengan

    menggunakan menggunakan salah satu metode seperti : (1) AME

    (absolute mean error); (2) Kalman Filter (KF), dan (3) DW (Durbin

    Watson). Secara statistik batas deviasi antara output simulasi data aktual

    yang dapat diterima adalah 5% (untuk AVE, AME, dan U-Theils).

    tingkat kecocokan output simulasi dengan data aktual yang dapat

    diterima adalah 47,5-52,5 % (untuk KF-Kalman Filter) dan pola

    fluktuasi output simulasi terhadap data aktual dapat diterima bila

    dL

  • menjelaskan sensivitas parameter, variabel dan hubungan antar variabel

    dalam model. Hasil uji sensivitas dalam bentuk perubahan.

    Perilaku dan/atau kinerja model untuk menganalisis efek intervensi.

    Intervensi berdasarkan kondisi yang mungkin terjadi dalam dunia nyata,

    pilihan kebijakan yang mungkin, atau aksi yang layak. Efek aksi terhadap

    perubahan kinerja sistem diamati melalui perubahan nilai rujukan bias

    merupakan pola dan trend yang diinginkan atau tidak diinginkan. Uji

    sensitivitas dilakukan untuk menemukan alternatif kebijakan: akselerasi

    kemungkinan pencapaian hasil positif yaitu sesuai dengan tujuan riset atau

    antisipasi kemungkinan dampak negatif yaitu agar kinerja keseluruhan

    unsur sistem tidak gagal/bablas (failure/overshoot). Ada dua kategori uji

    sensivitas, yaitu intervensi fungsional dan intervensi struktural, yang

    dapat dielaborasi sebagai berikut: (Breierova et al., 1996; Muhammadi et

    al., 2001)

    1. Intervesi Fungsional adalah intervensi terhadap parameter atau

    kombinasi parameter tertentu di model dengan menggunakan fasilitas

    dalam perangkat lunak yang cocok atau mewakili perubahan keputusan,

    kejadian, dan keadaan tertentu. Fasilitas uji sensivitas parameter input

    (intervensi) penting menggunakan powersim, antara lain: sinus, setengah

    sinus, trend, ram, pulse, random, dan forecast. Penggunaan fasilitas ini

    sesuai dengan antisipasi perubahan parameter yang mungkin terjadi

    dalam dunia nyata. Selanjutnya dilakukan simulasi dan diamati hasil dan

    dampaknya pada keseluruhan kinerja unsur dalam sistem. Pola dan

    kecenderungan hasil dan dampak intervensi ini bersifat non-linier dan

    dinamis yang dinyatakan dalam presentase fungsi waktu.

    2. Intervensi Struktural adalah mempengaruhi hubungan antar unsur atau

    struktur, dilakukan dengan mengubah unsur atau hubungan yang

    membentuk dasar (archtype) model. Intervensi tidak radikal apabila

    pengujian tidak mengubah bentuk dasar (archtype) model. Intervensi

    radikal apabila penguji mengubah bentuk dasar model. Selanjutnya

    dilakukan simulasi dan diamati hasil dan dampaknya pada keseluruhan

    Universitas Sumatera Utara

  • kinerja unsur dalam sistem. Pola dan kecenderungan hasil dan dampak

    intervensi ini juga non-linier. Secara teoritis hasil dan dampak intervensi

    struktural lebih berarti dari pada fungsional.

    2.1.7. Simulasi Model

    Simulasi model dapat didefinisikan sebagai cara untuk mengetahui

    perubahan yang terjadi dimasa depan sebelum sebuah sistem tersebut

    diimplementasikan. Simulasi adalah proses eksekusi model secara

    (terpisah atau kontinu) yang berubah dari waktu ke waktu. Simulasi model

    cocok digunakan untuk menganalsisi permasalahan kompleks serta

    berkaitan dengan dinamika waktu (Borshchev et al., 2004).

    Gambar 2.2. Penggunaan Simulasi Model (Borshchev et al., 2004)

    Gambar 2.2 menjelaskan bahwa dengan simulasi model maka: (1)

    untuk mengatasi masalah The Problem didunia nyata seorang praktisi

    tidak perlu melakukan ekperimen untuk menemukan solusi yang tepat bagi

    masalah tersebut; (2) yang perlu dilakukan adalah membangun model

    dengan komponen-komponen yang dapat dideteksi perilakunya sehingga

    interaksi perilaku tiap komponen terlihat dan dianalisis; (3) Hasil eksekusi

    simulasi model dengan parameter dan peubah selanjutnya akan dioptimasi

    Universitas Sumatera Utara

  • prilakunya seiring dengan perubahan waktu; (4) simulasi model yang

    optimum dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada.

    Adapun tahapan simulasi yang harus dilakukan terdiri dari : (1)

    penyusunan konsep; (2) pembuatan model; (3) simulasi; (4) validasi hasil

    simulasi. Proses sistem akan ditirukan untuk dapat memahami perilakunya.

    Hal ini dapat dilakukan dengan dengan menentukan unsur-unsur yang saling

    berinteraksi, berhubungan, berketergantungan, dan bersatu dalam aktivitas.

    Unsur-unsur dan keterkaitannya digunakan untuk menyusun gagasan atau

    konsep yang selanjutnya dirumuskan sebagai model yang berbentuk uraian,

    gambar atau rumus. Simulasi dapat dilakukan dengan model. Dalam model

    kuantitatif simulasi dengan cara memasukan data ke dalam model.

    Perhitungan dilakukan untuk mengetahui perilaku atau gejala proses. Dalam

    model kualitatif simulasi dengan cara menelusuri atau mengadakan analisis

    hubungan kausal antar unsur dengan memasukkan data atau informasi untuk

    mengetahui prilaku gejala atau proses (Muhammadi et al., 2001).

    2.2. Sistem Pengelolaan Sampah Perkotaan

    Sumber penghasil sampah di Indonesia sebagian besar berasal dari

    perumahan (70-75%) dan (25-30%) berasal dari non perumahan (WBIO,

    2003) Secara umum komposisi sampah terdiri dari jenis organik, kertas,

    plastik, gelas, logam dan lain-lain. Sampah di Indonesia rata-rata masuk

    dalam kategori sampah basah yang dengan kandungan organik cukup tinggi

    Sampah perkotaan (SP) didefinisikan sebagai sampah yang

    dikumpulkan oleh pemerintahan kota (SF). SP terdiri dari sampah yang

    berasal dari rumah tangga, perkantoran, pasar, dan jalanan. Sedangkan

    Sistem Pengelolaan Sampah Perkotaan (SPSP) dapat didefinisikan sebagai

    suatu upaya pengelolaan yang meliputi proses pemisahan, pengumpulan,

    pemindahan pengangkutan dan pembuangan SP yang bertujuan untuk

    menjaga kesehatan masyarakat, meningkatkan keberlanjutan dan kualitas

    lingkungan, meningkatkan produktivitas ekonomi serta menambah jumlah

    angkatan kerja (Schbeler et al., 1996 ; EC, 2000 ; Dubois et al., 2004)

    Universitas Sumatera Utara

  • (70-80%) dan anorganiknya (20-30%) serta memiliki kadar air 60%, berat

    jenis rata-rata 250 kg/m3 serta nilai kalor (1.100-1.500) k.cal/kg. Sampah

    ini akan terdekomposisi menjadi bentuk padat, cair dan gas.

    Proses dekomposisi di suatu TPA (landfill) akan berlangsung sangat

    lama sedikitnya selama 30 tahun (Thobanoglous, 1993). Kandungan gas

    landfill mencapai 50% dari berat sampah dan setengah dari gas landfill

    tersebut adalah gas metan yang potensial menyebabkan efek rumah kaca.

    Dibandingkan dengan karekteristik sampah dari negara lain yang

    lebih maju (Tabel 2.3) yang pada umumnya memiliki komposisi sampah

    organik yang lebih rendah, kadar air rendah dan nilai kalor tinggi dimana

    mereka telah melakukan berbagai penelitian pemanfaatan energi sampah

    sebagai sumber energi alternatif.

    Sebagai contoh Jepang telah berhasil memanfaatkan energi sampah

    dari hasil pembakaran dengan incinerator menjadi energi listrik dan energi

    panas. Swedia juga merupakan negara yang memanfaatkan sampah sebagai

    sumber pasokan energi listrik (40 % pasokan listriknya diperoleh dari energi

    sampah).

    Tabel 2.3. Timbulan & Komposisi Sampah Berbagai Negara

    No Negara Timbulan (kg/cap) Organik

    (%) Kertas

    (%) Plastik

    (%)

    1 Thailand 0,65 46,0 20,0 21,0

    2 Vietnam 0,70 55,0

    3 Malaysia 0,76 48,0 30,0 9.8

    4 Indonesia 0,60 60,0 2,0 2,0

    5 Asia (rata2) 0,42 75,0 2,0 1,0

    6 Eropa (rata2) 0,72 25.4 28,7 4.6

    7 Japan 1,12 11.7 38,5 11,9

    8 USA 1,97 12,0 43,0 5,0

    Sumber : (Yeoh, 2006)

    Dari berbagai literatur tentang yang terkait dengan SPSP

    menjelaskan bahwa aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam suatu SPSP

    Universitas Sumatera Utara

  • (Schbeler et al., 1996 ; EPIC,2000 ; JICA, 2003 ; Stypka, 2004 ; Nie et al.,

    2004 ; Prawiradinata, 2004 ; EHC, 2005 ; EMTS, 2005) dapat disarikan

    menjadi :

    2.2.1. Aspek Lingkungan

    a. Lingkungan Lokal

    Aspek lingkungan yang perlu diperhatikan dari SPSP dapat

    dikelompokkan menjadi 2 bagian yang terdiri atas : (1) lingkungan lokal dan

    (2) lingkungan global.

    1.

    Jika SP perkotaan tidak ditata dengan suatu SPSP yang baik maka

    dapat menyebabkan gangguan seperti (JICA, 2003) :

    Gangguan kesehatan misalnya:

    Kumpulan sampah dapat menjadi tempat pembiakan lalat, dan lalat ini

    mendorong penularan infeksi

    2.

    Sampah tersebut dapat menimbulkan penyakit yang terkait dengan tikus,

    seperti pes, leptospirosis, salmonelosis, tikus endemic, demam gigitan

    tikus, dan beberapa infeksi arboviral. Pada kejadian pasca banjir di

    Jakarta tahun 2002, jumlah kasus leptospirosis tercatat meningkat akibat

    tertimbunnya sampah di beberapa wilayah di Jakarta.

    3.

    Penanganan sampah yang tidak baik dapat menyebabkan timbunan

    sampah yang dapat menjadi sumber kebakaran dan bahaya kesehatan

    yang serius bagi anak-anak yang bermain di dekatnya,

    4.

    Dapat menutup saluran air sehingga meningkatkan masalah-masalah

    kesehatan yang berkaitan dengan banjir dan tanah-tanah yang tergenang

    air.

    5.

    Sebanyak 20% sampah yang dihasilkan dibuang ke badan air secara

    sembarangan dapat menyumbang sekitar 60% - 70% pencemaran

    sungai.

    Disebabkan hampir semua TPA di Indonesia tidak ada yang tidak

    beroperasi secara Open Dumping (Wibowo dan Djajawinata, 2004),

    Universitas Sumatera Utara

  • akibatnya dapat terjadi : pencemaran tanah, air, dan udara; kesehatan

    masyarakat bahkan bencana yang dapat menimbulkan korban jiwa.

    Tabel 2.4. Perkiraan Timbulan Sampah (Gigagram) 2000-2007

    Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH, 2008) merealese

    hasil perkiraan total sampah yang dihasilkan oleh seluruh provinsi di

    Indonesia. Total timbulan sampah dari seluruh provinsi di Indonesia secara

    lengkap disajikan pada Tabel 2.4. berikut.

    Sumber (KNLH, 2008)

    b. Lingkungan Global

    No. Provinsi 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 20071 NAD 1,10 1,11 1,11 1,12 1,13 1,13 1,14 1,14 2 Sumatera Utara 3,26 3,31 3,35 3,40 3,44 3,49 3,53 3,57 3 Sumatera Barat 1,19 1,20 1,21 1,22 1,22 1,23 1,24 1,25 4 Riau 1,39 1,45 1,51 1,58 1,64 1,71 1,78 1,86 5 Jambi 0,67 0,69 0,70 0,72 0,73 0,74 0,76 0,77 6 Sumatera Selatan 1,74 1,77 1,80 1,83 1,86 1,89 1,92 1,95 7 Bengkulu 0,41 0,42 0,43 0,43 0,44 0,45 0,46 0,47 8 Lampung 1,88 1,92 1,95 1,98 2,01 2,04 2,07 2,10 9 Bangka Belitung 0,25 0,26 0,26 0,26 0,27 0,27 0,28 0,28

    10 DKI Jakarta 2,34 2,36 2,38 2,40 2,42 2,44 2,45 2,47 11 Jawa Barat 10,00 10,19 10,37 10,56 10,75 10,94 11,13 11,32 12 Jawa Tengah 8,74 8,78 8,82 8,86 8,89 8,93 8,96 8,99 13 DI Yogyakarta 0,87 0,88 0,89 0,90 0,91 0,92 0,93 0,94 14 Jawa Timur 9,73 9,78 9,82 9,87 9,91 9,95 9,99 10,04 15 Banten 2,27 2,33 2,40 2,47 2,54 2,61 2,68 2,75 16 Bali 0,88 0,90 0,91 0,92 0,93 0,95 0,96 0,97 17 NTB 1,12 1,14 1,16 1,18 1,20 1,22 1,24 1,26 18 NTT 1,07 1,09 1,10 1,12 1,14 1,16 1,17 1,19 19 Kalimantan Barat 1,12 1,15 1,17 1,19 1,21 1,23 1,25 1,27 20 Kalimantan Tengah 0,52 0,54 0,55 0,57 0,58 0,60 0,62 0,63 21 Kalimantan Selatan 0,84 0,85 0,86 0,88 0,89 0,91 0,92 0,94 22 Kalimantan Timur 0,69 0,71 0,73 0,75 0,77 0,79 0,81 0,83 23 Sulawesi Utara 0,56 0,57 0,58 0,58 0,59 0,60 0,61 0,62 24 Sulawesi Tengah 0,61 0,62 0,63 0,65 0,66 0,67 0,69 0,70 25 Sulawesi Selatan 2,25 2,28 2,31 2,33 2,36 2,38 2,41 2,44 26 Sulawesi Tenggara 0,51 0,52 0,54 0,55 0,57 0,58 0,60 0,61 27 Gorontalo 0,23 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,25 0,25 28 Maluku 0,33 0,33 0,34 0,34 0,35 0,35 0,36 0,36 29 Maluku Utara 0,23 0,23 0,24 0,24 0,25 0,25 0,25 0,26 30 Papua 0,62 0,64 0,65 0,67 0,69 0,71 0,72 0,74

    57,44 58,22 59,01 59,79 60,59 61,38 62,17 62,97 Indonesia

    Setiap produk yang dikonsumsi oleh penduduk bumi yang

    menghasilkan sampah perkotaan memberikan kontribusi terhadap GRK

    (USEPA,2002a). Berdasarkan life cycle assesment yang dilakukan oleh

    Universitas Sumatera Utara

  • USEPA diketahui bahwa setiap tahapan produksi untuk menghasilkan suatu

    produk yang dimulai dari : (1) Ekstraksi dan pemerosesan bahan mentah; (2)

    proses produksi; (3) transportasi dan distribusi; (4) konsumsi dan (5)

    pembuangan - akan berdampak terhadap GRK. Oleh sebab itu manajemen

    pengelolaan limbah yang baik akan berdampak terhadap pengurangan

    GRK.

    Aktifitas produksi yang berdampak terhadap GRK diantaranya

    (USEPA, 2002a; 2003; 2006) : (1) Konsumi bahan bakar fosil pada setiap

    tahapan proses produksi; (2) Emisi CO2 yang dihasilkan oleh proses

    produksi; (3) Gas CH4 yang diemisikan oleh TPA; (4) Penebangan pohon.

    Temuan USEPA tersebut memberikan gambaran bahwa ternyata

    sampah perkotaan turut memberikan kontribusi terhadap GRK. Ironisnya

    lagi Gas Methane (CH4) yang dihasilkan oleh sampah memiliki kekuatan

    hingga 21 kali lipat jika diekivalenkan dengan Gas CO2 (Gitonga, 2005;

    USEPA, 2003; 2003a; 2006; ). Fenomena GRK (Gupta et al., 2007) yang

    saat ini telah menjadi perhatian dunia bermula dari lahirnya Protokol Kyoto.

    Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi kerangka

    Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang dilaksanakan di

    Jepang pada tanggal 11 Desember 1997.

    Konvensi ini melahirkan sebuah persetujuan internasional mengenai

    pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini

    berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbondioksida dan lima

    gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika

    mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah

    dikaitkan dengan pemanasan global. Jika sukses diberlakukan. Protokol

    Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02C dan

    0,28C pada tahun 2050.

    KNLH (2008) juga merealease perkiraan emisi CH

    4

    pada seluruh

    provinsi di Indonesia dalam kurun waktu 2000 hingga 2007 seperti yang

    dapat dilihat pada Tabel 2.5 berikut.

    Universitas Sumatera Utara

  • Tabel 2.5. Perkiraan Emisi CH4

    (Gigagram) tahun 2000 - 2007

    Sumber : (KNLH, 2008)

    Meskipun persetujuan

    ini mulai berlaku pada 16 Februari 2005, pada

    tanggal 28 Juli 2004, negara Indonesia menerbitkan UU No 17 Tahun 2004

    Tentang Pengesahan Protokol Kyoto (RI,2004) namun hingga tahun 2009

    sudah 183 negara telah menandatangani dan meratifikasi protokol (termasuk

    Indonesia), bahkan Amerika Serikat yang bukan non-anggota Protokol juga

    telah ikut menandatangani UNFCCC (United Nation Framework

    Convention on Climate Change). Emisi CH4 dari Indonesia sendiri

    diperkirakan mencapai 410 Gg pada 2007, lebih tinggi dari tahun 2006

    yang berjumlah 405.69 Gg. Emisi CH4 yang dihasilkan dari proses

    pengomposan sampah diperkirakan mencapai 63 Gg pada tahun 2007

    (KNLH,2008).

    No. Provinsi 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 20071 NAD 7,18 7,22 7,26 7,30 7,34 7,38 7,41 7,44 2 Sumatera Utara 21,27 21,57 21,87 22,16 22,46 22,75 23,03 23,31 3 Sumatera Barat 7,76 7,82 7,88 7,93 7,99 8,04 8,09 8,14 4 Riau 9,04 9,45 9,86 10,28 10,71 11,16 11,64 12,13 5 Jambi 4,40 4,49 4,58 4,67 4,76 4,85 4,95 5,04 6 Sumatera Selatan 11,35 11,54 11,75 11,95 12,14 12,34 12,55 12,75 7 Bengkulu 2,66 2,72 2,78 2,84 2,90 2,95 3,01 3,08 8 Lampung 12,30 12,50 12,71 12,91 13,12 13,32 13,52 13,72 9 Bangka Belitung 1,64 1,67 1,70 1,72 1,75 1,77 1,80 1,83

    10 DKI Jakarta 15,28 15,40 15,52 15,65 15,78 15,89 16,00 16,10 11 Jawa Barat 65,27 66,47 67,68 68,90 70,13 71,37 72,62 73,89 12 Jawa Tengah 57,04 57,30 57,54 57,79 58,03 58,26 58,47 58,68 13 DI Yogyakarta 5,70 5,76 5,82 5,87 5,94 5,99 6,05 6,11 14 Jawa Timur 63,52 63,81 64,10 64,38 64,67 64,95 65,21 65,49 15 Banten 14,80 15,22 15,66 16,10 16,54 17,01 17,49 17,97 16 Bali 5,76 5,84 5,92 6,01 6,09 6,17 6,25 6,33 17 NTB 7,32 7,45 7,58 7,70 7,83 7,96 8,08 8,21 18 NTT 6,98 7,10 7,21 7,32 7,43 7,54 7,65 7,75 19 Kalimantan Barat 7,34 7,47 7,61 7,75 7,89 8,03 8,17 8,30 20 Kalimantan Tengah 3,39 3,49 3,59 3,70 3,80 3,91 4,01 4,12 21 Kalimantan Selatan 5,45 5,54 5,64 5,73 5,83 5,92 6,01 6,11 22 Kalimantan Timur 4,48 4,61 4,74 4,87 5,00 5,14 5,27 5,41 23 Sulawesi Utara 3,66 3,71 3,76 3,81 3,86 3,91 3,96 4,01 24 Sulawesi Tengah 3,98 4,06 4,14 4,22 4,31 4,39 4,48 4,56 25 Sulawesi Selatan 14,71 14,88 15,04 15,21 15,39 15,52 15,73 15,89 26 Sulawesi Tenggara 3,33 3,42 3,52 3,61 3,71 3,81 3,91 4,01 27 Gorontalo 1,52 1,54 1,55 1,57 1,58 1,59 1,61 1,62 28 Maluku 2,13 2,16 2,20 2,24 2,27 2,31 2,35 2,38 29 Maluku Utara 1,49 1,51 1,54 1,57 1,60 1,63 1,65 1,68 30 Papua 4,04 4,16 4,27 4,38 4,49 4,60 4,71 4,82

    374,78 379,88 385,02 390,16 395,33 400,49 405,69 410,90 Indonesia

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.2.2. Aspek Ekonomi

    1.

    Aspek ekonomi pengelolaan sampah perkotaaan sangat berkaitan erat

    dengan layanan jasa yang harus diberikan sebagai akibat dari adanya

    aktivitas ekonomi, efektivitas biaya sistem pengelolaan sampah perkotaan,

    dimensi makro-ekonomi dari penggunaan sumber daya dan konservasi serta

    pendapatan yang diperoleh dari layanan jasa yang diberikan (Schubler et al.,

    1996). Keterkaitan ini disebabkan karena :

    2.

    Jumlah timbulan sampah serta permintaan layanan pengelolaan yang

    terus meningkat serta bersinergi dengan meningkatnya ekonomi.

    3.

    Rendahnya biaya pelayanan yang diberikan akan berdampak kepada

    menurunnya kualitas lingkungan.

    Efektivitas SPSP sangat bergantung pada biaya siklus hidup fasilitas dan

    peralatan jangka panjang serta dampak ekonomi terhadap layanan yang

    diberikan. Oleh karenanya, evaluasi ekonomi merupakan masukan yang

    penting untuk perencanaan strategis dan investasi bagi SPSP.

    1.

    Lebih lanjut Schubler et al. (1996) mengelompokkan aspek ekonomi

    dari SPSP ke dalam beberapa item seperti yang dijabarkan sebagai berikut:

    Penganggaran dan sistem akuntansi biaya

    2.

    Penganggaran yang memadai, akuntansi biaya, serta evaluasi keuangan

    sangat penting bagi manajemen pengelolaan sampah perkotaan. Di

    banyak kota, ditemukan bahwa banyak pejabat yang bertanggung jawab

    tidak memiliki informasi yang akurat tentang biaya riil dari pengelolaan

    sampah yang dilaksanakan. Oleh karena itu dan analisis keuangan harus

    dilakukan untuk dapat meningkatkan akuntabilitas.

    Mobilisasi sumber daya sebagai modal investasi

    pilihan utama bagi pemerintah daerah untuk pembiayaan dalam

    mengelola sampah perkotaan biasanya bersumber dari anggaran lokal,

    pinjaman dari perantara keuangan dan / atau pinjaman atau hibah khusus

    dari pemerintah pusat. Di beberapa negara, obligasi mungkin bisa

    dimanfaatkan sebagai sumber pembiayaan. Pilihan lainnya adalah

    Universitas Sumatera Utara

  • melalui sektor swasta, yang semakin tertarik untuk mengelola sampah

    perkotaan. Di banyak negara, biasanya pemerintah pusat akan terus

    menjadi sumber dana utama untuk pengelolaan sampah perkotaan.

    3. Biaya operasional

    4.

    Ada tiga pilihan utama untuk yang bisa dilakukan untuk menutupi biaya

    operasional SPSP, diantaranya : retribusi, pajak daerah dan transfer antar

    pemerintah daerah. Langkah yang paling sering ditempuh untuk

    menutupi biaya operasi adalah melalui retribusi. Pendapatan retribusi ini

    biasanya akan masuk ke kas Pemerintah Kota dan cenderung digunakan

    kembali untuk menutupi biaya operasional (bukan ditujukan untuk

    mengelola limbah). Hal ini tentunya akan melemahkan akuntabilitas

    lembaga pengelola sampah perkotaan.

    Pengurangan biaya dan kontrol

    mekanisme terbaik untuk mengurangi biaya operasional adalah dengan

    mengadopsi pola doing more with less . Biaya operasional

    pengelolaan sampah perkotaan dapat direduksi melalui partisipasi

    masyarakat dalam pengelolaan limbah padat lokal. Biasanya hal ini

    melibatkan sektor informal, dengan cara ini biaya operasional layanan

    dapat ditekan sekaligus dapat mengurangi volume limbah yang dibuang

    ke TPA.

    Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengelolaan sampah

    perkotaan yang efisien dan efektif ditinjau dari aspek ekonomi, sebenarnya

    dapat dicapai dengan cara:

    1. meningkatkan

    2.

    pengembangan dan produktivitas ekonomi melalui

    ketetapan biaya dari jasa pengumpulan sampah yang efisien dan sesuai

    dengan kemampuan membayar para konsumen.

    mewujudkan

    3.

    proses pengelolaan yang berwawasan lingkungan dari

    produksi sampah yang dihasilkan.

    memastikan efektivitas manajemen pengelolaan melalui dengan cara

    melakukan analisis biaya dan manfaat

    Universitas Sumatera Utara

  • 4. mendorong

    aktivitas meminimalisasi sampah, konservasi materi, serta

    melakukan efisiensi ekonomi dengan cara menerapkan prinsip "siapa

    membuang dia membayar".

    Aspek teknis SPSP berkaitan erat dengan perencanaan, pelaksanaan,

    perawatan, pengumpulan, sistem transfer, pemulihan limbah, pembuangan

    akhir serta pengelolaan limbah berbahaya. Untuk mengoptimalkan

    performance SPSP maka hal yang perlu diperhatikan adalah :

    2.2.3. Aspek Teknis

    1. Secara teknis fasilitas dan peralatan harus dirancang sesuai dengan

    karakteristik operasi, kinerja, pemeliharaan sesuai dengan persyaratan

    yang telah ditentukan diharapkan persyaratan serta mengimbangkan

    biaya perawatan.

    (Schublerr et

    al., 1996)

    2. Perhatian harus diberikan kepada pencegahan pemeliharaan, perbaikan

    dan ketersediaan suku cadang.

    3. Rancangan fasilitas transfer dan peralatan harus sesuai dengan

    karakteristik lokal dan kapasitas TPA yang tersedia. Sistem

    pengumpulan harus dirancang untuk dapat mengoptimalkan partisipasi

    masyarakat.

    4. Sektor informal yang mendaur ulang sampah harus didukung dengan

    mendesain SPSP yang dapat meningkatkan produktivitas sektor tersebut.

    Keterlibatan pihak swasta untuk mengelola SP perkotaan juga harus

    dipertimbangkan.

    5. Metode pembuangan akhir di negara-negara berkembang pada

    umumnya menggunakan TPA. Untuk meminimalisasi dampak

    lingkungan maka pemilihan TPA harus dilakukan secara seksama serta

    didesain untuk dapat beroperasi dengan baik.

    6. Sumber bahan limbah berbahaya harus teridentifikasi, terdaftar agar

    dapat dikelola dengan baik.

    Universitas Sumatera Utara

  • Teknologi Pengelolaan sampah berkembang sejalan dengan

    perkembangan jenis sampah yang akan dikelola. Beberapa cara pengelolaan

    akhir sampah yang dilakukan masyarakat adalah : (Naria, 1996; PPS-IPB,

    2003)

    1. Penimbunan : Sampah yang telah dikumpulkan pada penampungan

    sementara diangkut kesuatu area tempat pembuangan sampah akhir

    (TPA), kemudian sampah tersebut ditimbun dan diratakan. Penimbunan

    sampah seperti ini menimbulkan bau busuk, tempat berkembangnya

    bibit penyakit, serta dapat mengakibatkan terganggunya kualitas air

    tanah.

    2. Pengomposan : Sampah-sampah organik diolah dengan cara

    pengomposan. Ada beberapa keuntungan dari sistem pengomposan

    antara lain : pupuk yang dihasilkan bersifat ekologis/tidak merusak

    lingkungan, masyarakat dapat membuat sendiri, serta tidak memerlukan

    peralatan dan instalasi yang mahal.

    3. Pembakaran Sampah : Pembakaran sampah dapat dilakukan pada tempat

    pembuangan sampah sementara, atau pembakaran dilakukan dengan

    insenerator. Proses insenerator ini mampu mereduksi limbah hingga

    90%, meskipun panas yang ditimbulkannya dapat digunakan sebagai

    sumber energi, namun penggunaannya dapat menimbulkan pencemaran

    udara tersendiri.

    4. Penghancuran : Sampah yang telah dikumpulkan dipotong-potong

    menjadi ukuran kecil-kecil sehingga volumenya bertambah kecil,

    penghancuran yang demikian akan membantu proses pembusukan.

    5. Pemanfaatan Ulang : Sampah-sampah yang telah dikumpulkan dipilih

    sesuai dengan bahan pembuatnya seperti kertas, kaca, plastik, besi,

    karton, aluminium dan dijual untuk dimanfaatkan kembali

    6. Dumping : Pengelolaan sampah secara dumping dengan menumpuk

    sampah pada suatu area, pengelolaan yang demikian akan menimbulkan

    penurunan estetika lingkungan. Jenis dumping yang lain dan sering

    dilakukan masyarakat dalam mengelola sampah adalah dumping in

    Universitas Sumatera Utara

  • water dimana sampah dibuang ke dalam badan air misalnya sungai, laut,

    saluran air lainnya (Naria, 1996)

    Untuk menanggulangi sampah perkotaan yang jumlah semakin hari

    semakin bertambah maka sistem pengolahan sampah yang harus dilakukan

    juga semakin kompleks. Oleh karenanya USEPA (2002a, 2003a, 2006)

    membuat suatu hirarki pengelolaan sampah berwawasan lingkungan yang

    digambarkan dalam bentuk piramida (Gambar 2.3) .

    Gambar 2.3. Piramida Pengelolaan Sampah

    Dari piramida tersebut dapat diketahui bahwa untuk mengelolah

    sampah padat dimulai dari : Pengurangan dari sumber merupakan level

    tertinggi (A) yang diikuti oleh proses pemakaian kembali dan daur ulang.

    Setelah tahapan tersebut tidak lagi memadai untuk menangani jumlah

    timbulan sampah yang ada maka proses selanjutnya yang dapat dilakukan

    adalah proses Recovery Energy, sisa dari hasil proses ini baru kemudian

    dilakukan proses penimbunan (landfilling) atau pembakaran

    Beberapa negara yang telah menggunakan teknologi pengelolaan

    sampah dengan basis energi recovery diantaranya adalah (Setyaningrum,

    2006) :

    1. Vietnam Pemanfaatan landfill gas di Vietnam masih terbatas hanya pada proses

    pengumpulannya saja tetapi belum dimanfaatkan sebagai energi listrik.

    Universitas Sumatera Utara

  • Setelah tahun 2002 Vietnam meratifikasi Kyoto Protocol, studi

    kelayakan untuk pemanfaatan gas landfill telah dilakukan untuk Khanh

    Son on Landfill (17 ha) di Da Nang City yang menampung sampah

    sebanyak 200.000 ton per tahun.

    Tujuan dilakukannya pemanfaatan gas ini adalah menstabilkan landfill

    dan mengurangi emisi gas rumah kaca yang dapat menyebabkan global

    warming. Total emisi gas rumah kaca dalam 10 tahun adalah ekivalen

    dengan 409.000 ton CO2

    2. Swedia

    (dimulai tahun 2008). Teknik gas recovery

    sistem meliputi pipa pengumpulan gas, gas scrubbers, gas engine

    generator dan fuel gas treatment facility.

    Pemanfaatan gas di Swedia baik yang berasal dari biogas (digester) atau

    dari landfill sudah dilakukan sejak lama, bahkan di setiap landfill.

    Kondisi tersebut merupakan standar landfill yang harus dilakukan oleh

    setiap operator landfill sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara-

    negara Eropa (Council Directive 1999/31/EC On The Landfill). Dengan

    komposisi organik yang relatif rendah (

  • station). Termasuk sebagian besar organik telah dipilah dan dikirim ke

    instalasi produksi kompos (ada 2 unit, kapasitas 200 dan 400 ton/hari).

    Uraian tersebut secara transparan memberikan gambaran bahwa

    dengan semakin bertambahnya jumlah timbulan sampah sebagai akibat dari

    bertambahnya jumlah penduduk, meningkatnya teknologi serta

    diimplementasikannya protokol Kyoto, peran teknologi pengelolaan sampah

    sudah harus menjadi perhatian utama bagi para pengelola SP. Terlebih lagi

    bagi Indonesia (yang turut menandatangani protol Kyoto), dimana hampir

    100% pengelolaan sampah masih dilakukan secara opendumping dan

    sanitary landfill.

    Dengan berlakunya UUPS yang disahkan pada tanggal 7 Mei 2008,

    menyebabkan seluruh pemerintah kota/kabupaten harus bertindak secara

    tepat untuk dapat mengimplementasikan proses pengelolaan sampah yang

    berwawasan lingkungan. Hal ini disebabkan karena pada Pasal 44 tentang

    Ketentuan peralihan dinyatakan : (1) Pemerintah daerah harus membuat

    perencanaan penutupan tempat pemrosesan akhir sampah yang

    menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 1 (satu) tahun

    terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini serta ; (2) Pemerintah

    daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang

    menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 5 (lima) tahun

    terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini (RI, 2008).

    Kebijakan yang relatif sama dengan aturan yang tertuang pada Pasal

    44 dari UUPS telah dimulai oleh negara Uni Eropa sejak tahun 1999. Pada

    tahun 1999 tersebut, negara Uni Eropa telah merancang aturan terhadap

    penanganan sampah yang secara spesifik terhadap lokasi TPA (Landfill

    Directive - 1999/31/EC of 26 April 1999). Arahan ini dimaksudkan untuk

    mencegah atau mengurangi efek samping dari lokasi penimbunan limbah di

    lingkungan, khususnya di permukaan air, tanah, tanah, udara dan kesehatan

    manusia.

    Universitas Sumatera Utara

  • Pada tanggal 16 Juli 2001 arahan ini harus telah

    diimplementasikankan dan diamandemenkan menjadi UU Eroupean

    Council (EC) No 1882/2003 (EC,2009).

    Dari berbagai studi yang dilakukan terkait dengan teknologi

    pengolahan SP dapat disarikan beberapa kategori teknologi pengelolaan

    yang terdiri dari (RISE-AT, 2000; Mclanaghan 2002; SPL, 2002;

    Gendebien et al., 2003; GET, 2003; Pacey et al., 2003; Dubois et al., 2004;

    Godley et al,. 2004; Grobbin, 2004; Ostrem, 2004; RBC, 2004; Chair,

    2005; Weidemeier, 2005; WES, 2005; Ylijoki et al., 2005; Cali et al., 2007;

    Clarissa, 2007; Mahar et al., 2008; GBB, 2008; Last, 2008) : (1) Biological

    yang terbagi atas 2 kategori: (a) Anaerobic Digestion dan (b) Composting;

    (2) Mechanical - Material Recover Facilities (MRF) ; (3) Thermal yang

    terbagi atas 2 katergori: (a) Advance Thermal Treatment ; (b) Inceneration

    serta (4) Hybrid-Bio Mechanical Treatment.

    Untuk dapat memberikan gambaran secara komprehensif tentang

    berbagai teknologi tersebut, maka kompilasi informasi dan spesifikasi teknis

    setiap alternatif teknologi tersebut dapat dilihat pada uraian berikut ini

    (Mclanaghan,2002; Klein, 2002; Mnnich et al, 2006; Last, 2008,

    Economopoulos,2009):

    1. Biological ANAEROBIC DIGESTION

    Anaerobik Digestion (AD), adalah teknologi yang memiliki proses seperti proses pengomposan. Untuk mengelola limbah yang dapat terurai, teknologi ini sangat bergantung pada proses alami biologis (bantuan bakteri), tetapi dengan satu pengecualian yaitu tanpa adanya oksigen. Proses ini menghasilkan biogas campuran seperti CH4 dan CO2, serta H2S, N2, NH4. Biogas ini dapat digunakan sebagai bahan bakar minyak diesel. Proses AD memerlukan kondisi yang stabil : (1) mesophilic (sekitar 35 C) atau (2) thermophilic (kelembaban suhu sekitar 55 C) dengan kelembapan di atas 60%. Cairan tersuspensi yang mengandung endapan juga dihasilkan dari proses ini, yang dapat digunakan sebagai pupuk. Pengolahan ini hanya membutuhkan waktu yang singkat (1-2 minggu) .

    KAPASITAS 5 - 100 kton per tahun

    Universitas Sumatera Utara

  • BIAYA CAPEX :

    10 Kton/thn = rata-rata: 3.85M Separate digestion (metode kering)

    20 Kton/thn =rata-rata: 5,00

    31 Kton/thn = 4.5M Co-digestion (metode basah)

    45 Kton/thn = 10,1M

    OPEX/t :

    rata-rata: 4,7/t Separate digestion (metode kering)

    rata-rata: 12/t

    4-9/t Co-digestion (metode basah)

    KEUNTUNGAN KERUGIAN proses pengomposan di TPA

    berlangsung cepat. (21 hari pencernaan, 21 hari penyimpanan untuk metode kering-3 hari untuk metode basah)

    menghasilkan sumber energi terbarukan dalam bentuk biogas yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti bahan bakar kendaraan dll.

    proses tidak memerlukan input material dan energi.

    hanya dapat memproses limbah biodegradable, sehingga dibutuhkan peralatan pemisahan;

    memerlukan lokasi tambahan untuk penggunaan biogas dan penyimpanan kompos selama dua bulan sebelum dapat diaplikasikan

    JENIS SAMPAH YANG DAPAT DIOLAH Sumber terpisah Dipisahkan

    secara Mekanik

    Sumber Sampah SP X Komersil X Industri X X Fraksi sampah biogradable terpisah Kertas/karton (beberapa) Sampah dapur Sumber terpisah Dipisahkan

    secara Mekanik

    Sampah dedaunan (beberapa) (beberapa) Tekstil X? X? Kayu X? X? Fraksi sampah non biogradable terpisah

    Metal X X Besi X X Non-Besi X X Kaca X X Plastik X X Lainnya X X

    Universitas Sumatera Utara

  • SUMBER DAYA TERBARUKAN: Nutrients (% berat)

    100% akan menghasilkan kompos (N, K dan P.)

    Sumber SP yang terpisah

    Mendekati 100%

    SP yang dipisahkan secara mekanik

    Materials (% berat) Kompos : 80-85% Kompos : 50-60% Energi (MJ/ton)

    Biogas: 2,500 to 4,000 MJ/t (tergantung pada keringnya keadaan)

    Produksi gas dapat ditinggikan jika kertas/karton turut dimasukkan ke sistem,

    MASALAH KESEHATAH MASALAH LAIN kesehatan karyawan :

    membutuhkan tindakan pencegahan di tempat bekerja;

    lalat dan hama diminimalisir;

    arus lalu lintas. kesadaran masyarakat yang kurang

    terhadap teknologi ini dan selalu mengaitkannya dengan teknologi pengomposan.

    DAMPAK POSITIP THD LINGKUNGAN

    DAMPAK NEGATIP THD-LINGKUNGAN

    AD menawarkan teknologi pengelolaan satu atap

    Hasil pengolahan SP (hampir 100%) berguna bagi nutrisi tanah, selain adanya energi listrik bersih dan panas.

    CO2

    biogenik hasil dari pembakaran biogas,menggantikan penggunaan bahan bakar fosil dan berbasis karbon

    Sisa produk akhir dari proses komposting anaerob yang dipisahkan secara mekanis masih memerlukan area sebagai TPA.

    Gambar 2.4. Material Balance : Anaerobic Digestion

    1 Ton SO Sampah

    Perkotaan (230 kg SO 770 kg kg

    ANAEROBIC DIGESTION

    Material RDF = setara 419,35 KWh

    Kompos = 170 Kg (organik)

    Energi Biogas setara = 5,04 KWh

    POST TREATMENT

    Air buangan = 205 kg

    Universitas Sumatera Utara

  • COMPOSTING Pengomposan adalah suatu teknologi pengelolaan sampah yang menggunakan proses degradasi aerobik yang dikontrol oleh senyawa organik. Proses ini dapat mengurangi jumlah limbah biodegradable di TPA. Dengan adanya proses ini, biomassa yang hilang dapat dikembalikan serta memiliki nilai ekonomi

    KAPASITAS 20-250 Kton/thn+

    Ukuran kapasitas pengelolaan efektif

  • SUMBER DAYA TERBARUKAN Nutrients ( % berat output) 1% N, 2-3% P, 3-5% K Materials ( % berat output) 60-80% Sumber terpisah (50-60 %

    Penyaringan mixed SP.) Energi (MJ/ton sampah) Tidak dapat dijadikan bahan bakar

    MASALAH KESEHATAN MASALAH LAIN bio-aerosol yang dihasillkan akan

    mempengaruhi proses pemilihan lokasi.

    kesehatan karyawan harus diperhatikan dan perlu tindakan pencegahan

    lalat dan hama harus diminimalisir diminimalisir dengan sistem di-kapal (yaitu akses terbatas), meskipun hal ini tidak menjadi masalah bagi limbah dedaunan

    Ditemukan berbagai masalah seperti: bio-aerosol, debu, bau, kebisingan dan arus lalu lintas.

    Masyarakat lokal bisa saja menunjukkan retensi atas kegiatan ini

    DAMPAK POSITIP THD LINGKUNGAN

    DAMPAK NEGATIP THD LINGKUNGAN

    kompos dapat digunakan sebagai kondisioner tanah

    penggunaan kompos mengurangi emisi gas rumah kaca dari landfill

    bio-aerosol yang dihasilkan harus harus memperhatikan tingkat sensitivitas masyarakat disekitar lokasi

    Adanya bau dan kebisingan Windrow memerlukan lahan luas

    Gambar 2.5. Material Balance: Windrow Composting

    Gambar 2.6. Material Balance: In-vessel Composting

    1 Ton SO Sampah

    Perkotaan IN VESSEL

    COMPOSTING

    Emisi CO2 (penguapan) : 250 Kg

    Kompos = 550kg

    Landfill 175 kg

    Air Buangan 100 kg (resirkulasi

    1 Ton SO Sampah

    Perkotaan WINDROW

    COMPOSTING

    Emisi CO2 (penguapan) : 250 Kg

    Kompos = 625 kg

    Landfill 175 kg

    Air Buangan

    Universitas Sumatera Utara

  • 2. Mechanical MATERIAL RECOVERY FACILITIES (MRF)

    Fasilitas Daur Ulang Dua kategori utama : Bersih proses CMRFs relatif bersih dan kering karena sumber sampah telah

    dipisahkan dari sumbernya. Kotor proses DMRFs realatif kotor karena input sampah yang bercampur

    dari segala sumber. DMRFs perlu digabungkan dengan pengolahan sekunder untuk mengolah sisa SP (seperti RDF, kompos, atau AD) .

    KAPASITAS CMRFs : 5 Kton/thn-50 Kton/thn; DMRFs : sampai 200 Kton/thn (menguntungkan dari sisi ekonomi skala jika

    digabungkan dengan fasilitas terpusat) PEMBIAYAAN

    CAPEX: dan 5M (150 Kton/thn.)

    termasuk tanah Biaya keseluruhan dapat

    ditekan jika ada bangunan yang dapat dimanfaatkan

    OPEX/t CMRF 12-18/t

    KEUNTUNGAN KERUGIAN DMRFs Penggunaan infrastruktur

    yang ada koleksi SP; CMRFs

    Recovery volume tinggi, kualitas yang lebih baik untuk dijual.

    Proses peningkatan fleksibilitas untuk memasok pasar berubah dengan pulih recyclates kering;

    DMRFs Potensi kontaminasi pada pengolahan

    dengan kapasitas yang besar. Penggunaan DMRFs tidak mendorong

    masyarakat untuk melakukan pemilahan di sumber.

    limbah sisa membutuhkan perawatan sekunder dan pengolahan (e.g. kompos)

    CMRFs akan meningkatkan biaya pengumpulan

    sampah. Nilai ekonomi dari sampah daur ulang tidak

    akan tercapai secara maksimal

    JENIS SAMPAH YANG DAPAT DIOLAH Sumber

    terpisah Penyaringan SP

    Sumber Sampah SP X Komersil X Industri X X Sumber biodegradable terpisah Kertas/karton X sampah dapur X X sampah dedaunan X X Tekstil X

    Universitas Sumatera Utara

  • Kayu X/ X Sumber non-biodegradable terpisah Metal X Besi X Non-Besi X Kaca X/ X Plastik X Lainnya X X

    SUMBER DAYA TERBARUKAN Nutrients (% berat input) CMRF

    0% DMRF

    0% Materials (% berat input) 90-95%+

    (kering)

  • 3. Thermal ADVANCED THERMAL TREATMENT (ATT)

    Pirolisis & Gasifikasi Gasifikasi dan pirolisis adalah jenis proses pengelolaan dengan menggunakan teknologi panas tingkat lanjut (ATT). Teknologi lebih diminati sebagai alternatif teknologi mas-burn incineration (MBI) yang umum dilakukan.

    PIROLISIS Ketiadaan proses endotermik dari suatu unsur oksidasi (air atau oksigen) pada bahan dasar karbon menyebabkan terjadinya proses pembusukan secara kimia. Pirolisis dikenal juga sebagai destilasi destruktif, cracking, atau termolisi, proses ini berlangsung pada suhu 400-800o

    lambat (atau karbonisasi); C. Ada tiga sistem utama pirolisis :

    konvensional, dan cepat / kilat (vakum, fluidised-bed dan gasifikasi). Pirolisis akan menghasilkan wujud gas, cair dan padat, pada proporsi tertentu yang tergantung pada jenis proses yang digunakan: faktor penentu utama yang mengendalikan suhu dan waktu bukaan pada temperatur tersebut. Lama terkena suhu rendah memaksimalkan produksi arang, sedangkan flash pirolisis (paparan singkat

  • JENIS SAMPAH YANG DAPAT DIOLAH Termo

    select SWERF Compact

    Power TOPs

    Sumber Sampah

    SP

    Komersil

    Industri

    Sumber biodegradable terpisah

    Kertas/karton

    sampah dapur

    sampah dedaunan

    Tekstil

    Kayu

    Sumber non-biodegradable terpisah

    Metal X

    Besi X

    Non-Besi X

    Kaca X

    Plastik

    Lainnya

    SUMBER DAYA TERBARUKAN Nutrients ( % berat output) 0 % Materials ( % berat output) 5-20% Energy (MJ/ton sampah) 9.000-10.000 MJ/tonne

    MASALAH KESEHATAN: MASALAH LAIN: Tidak ada risiko kesehatan signifikan yang diharapkan.

    masalah utama berkaitan dengan dampak emisi udara (terutama dioksin) terhadap kesehatan.

    DAMPAK POSITIP THD LINGKUNGAN

    DAMPAK NEGATIP THD LINGKUNGAN:

    kedua teknologi dapat membantu menggantikan bahan baku dan fosil - bahan bakar. Prolisis menyediakan bahan baku kimia, energi recovery

    gasifikasi dapat menghasilkan emisi yang lebih rendah dan efisiensi termal lebih tinggi dari limbah pembakaran langsung.

    memerlukan perawatan untuk memisahkan air dari bahan bakar cair yang dihasilkan;

    Pyrolysis

    oksigen yang digunakan dalam proses

    dan gasification syngas sendiri sekarang berisiko terhadap kesehatan

    Gasification

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 2.8. Material Balance Pyrolisis

    Gambar 2.9. Material Balance Gasification

    INCINERATION TECHNOLOGY

    Insinerasi, pembakaran masa insinerasi (MBI), energi dari limbah Proses pembakaran limbah telah dilakukan manusia sejak satu abad. Proses ini sangat bergantung pada proses eksotermik dimana kehadiran oksigen berbasis materi karbon akan membusuk, meninggalkan residu abu. Insinerasi atau energi dari limbah sering disingkat menjadi energy from waste (efw). Fluidised-bed Technology Fluidised-bed technology merupakan alternatif pendekatan bagi teknologi insinerasi dan terbukti baik untuk aplikasi pengolaah non-SP (pengelolaan lumpur) Manfaat utama dari penerapan teknik ini adalah terjadinya pengurangan emisi, penghematan biaya yang cukup besar untuk biaya perawatan gas buang seperti yang tejadi atas MBI serta tidak memerlukan pra-pengolahan limbah. Refuse Derived Fuel Refuse Derived Fuel (RDF) adalah residu dari sisa pengolahan yang biasanya berbentuk pelletized yang dihasilkan dari pengolahan BMT. Pengolahan BMT tersebut menghilangkan sampah besi, kaca, pasir, dan bahan lain yang tidak mudah terbakar. Materi ini dapat dijual sebagai RDF.

    1 Ton Sampah

    Perkotaan GASIFIKASI with RDF Plant

    Energi (oe) = ~781KWh

    Material SDU Metal = 25,7Kg Kaca = 24,8 Alumunium = 9,4 Kg Abu ke landfill = 245 kg

    Energi (ie) =~ 135 KWh

    1 Ton Sampah

    Perkotaan PYROLYSIS

    Emisi CO2 dan NOx

    Synthetic (SynGas) = 380kg

    Material Metal = 60 Kg Abu = 240 kg (materi batubata)

    Air buangan = 220 kg

    Universitas Sumatera Utara

  • KAPASITAS 26-600 Kton/thn PEMBIYAAN

    CAPEX: Capacity Kton/thn

    Capex Range (M)

    Rata-rata Capex (M)

    50 18-20 19 100 30-36 33 150 46-50 48 200 54-58 55 400 100 105 102 500 110 120 115

    KEUNTUNGAN KERUGIAN:

    state-of-the-art bagi pengolahan limbah, dan mendapat pengawasn yang ketat dari EU;

    penelitian menunjukkan bahwa meskipun proses daur ulang akan mengurangi jumlah limbah pada pengelolaan akhir di TPA, nilai kalori dari residu pada umumnya tetap tidak berubah.

    Meniadakan proses daur ulang dianggap;

    ROI (10-20 tahun) Energi yang dihasilkan

    dari tidak memenuhi syarat untuk di kelompokkan sebagai energi yang diterbarukan

    JENIS SAMPAH YANG DAPAT DIOLAH

    Sumber Sampah

    SP

    Komersil

    Industri X/

    Sumber biodegradable terpisah

    Kertas/karton

    sampah dapur

    sampah dedaunan

    Tekstil

    Kayu

    Sumber non-biodegradable terpisah

    Metal X

    Besi X

    Non-Besi X

    Kaca X

    Plastik X

    Lainnya

    Universitas Sumatera Utara

  • SUMBER DAYA TERBARUKAN Nutrients ( % berat output) 0 kg Materials ( % berat output) 225 kg materi bhn konstruksi);

    35-50 kg Ferrous; sd. 10 kg non Ferrous

    Energi (MJ/ton sampah) 8,000-9,500MJ/t (550 KWh listrik dengan 22% efesiensi panas. 18,000MJ/t RDF

    MASALAH KESEHATAN: MASALAH LAIN Emisi yang dilepaskan harus sesuai dengan

    standar kontrol yang telah ditetapkan risiko kesehatan dari sisa

    logam berat, dioksin dan furan

    diprotes oleh (Greenpeace) DAMPAK POSITIF THD LINGKUNGAN DAMPAK NEGATIF THD

    LINGKUNGAN: Energi dari proses daur ulang bahan

    sekunder dapat memaksimalkan proses pengelolaan.

    MBI harus memiliki ukuran yang besar untuk dapat menampung sisa input.

    Gambar 2.10. Material Balance: Mass Burn Incineration

    4. Hybrid

    MECHANICAL BIOLOGICAL TREATMENT (MBT) TECHNOLOGY Pabrikan : Ecodeco (Italy); Herhof-Umwelttechnik GmbH (Germany), KUM-technology dll Pengolahan limbah dengan cara Bio-mekanik (BMT) adalah nama generik untuk berbagai proses gabungan dari beberapa teknologi pengolah sampah akhir BMT umumnya terdiri dari 3 tahapan: 1) Pengeringan secara Biologi: setelah pengiriman ke pabrik lalu di tutup

    sepenuhnya, limbah dipotong-potong kemudian dikeringkan selama 12 hari Mikro-organisme mencerna sampah organik, Emisi udara terbatas pada uap air ditambah sedikit CO2 biogenik. Atap harus dipasang bio-filter guna mengendalikan bau.

    2) Pemisahan bahan: berbagai jenis peralatan yang digunakan untuk memisahkan besi dan logam non-Besi untuk daur ulang; kaca, batu dan pasir.

    1 Ton Sampah

    Perkotaan MASS BURN INCENERATION

    Energi (ie) = ~175 KWh

    Energi (oe) = ~640 KWh

    Material Metal =~ 37,5 kg

    Flyash & Filter Cake = ~52,5 Kg Boiler Ash = ~ 9 Kg

    Slag (Arang besi)= 255 Kg

    Universitas Sumatera Utara

  • KAPASITAS 36-270 Kton/thn (ada pabrik sampai dengan 400 Kton/thn);

    PEMBIAYAAN CAPEX:

    Capacity Kton/thn

    Rata-rata Capex (M)

    50 7.6-10,5 60 9,5

    85-100 11.0-16.0 120 18,85 200 20,0 220 29,5

    KEUNTUNGAN: KERUGIAN: sebagai alternatif teknologi untuk

    TPA. pembakaran sisa SP, mendatangkan

    lebih banyak fleksibilitas bagi pihak berwenang setempat;

    berpotensi sebagai bagian dari pendekatan SP terpadu,

    efisiensi pabrik biasanya 30% (dibandingkan dengan massa-bakar c.22% 10), hingga 50% + dalam siklus gabungan.

    tidak ada pasar yang siap pakai untuk menggunakan RDF

    JENIS SAMPAH YANG DAPAT DIOLAH X/ Sumber Sampah SP Komersil Industri Sumber biodegradable terpisah Kertas/karton sampah dapur sampah dedaunan Tekstil Kayu Sumber non-biodegradable terpisah Metal X Besi X Non-Besi X Kaca X Plastik X Lainnya X

    Universitas Sumatera Utara

  • MASALAH KESEHATAN MASALAH LAIN Bau lalu lintas;

    pembakaran dengan RDF dapat dilihat sebagai "Insinerasi dengan nama lain"

    DAMPAK POSITIF THD LINGKUNGAN:

    DAMPAK NEGATIF THD LINGKUNGAN

    produksi gas TPA dapat dikurangi secara signifikan (hingga 90%.) produksi lindi di TPA juga sangat berkurang

    Jika proses stabilisasi biologis dapat menghasilkan kompos, maka dapat mengakibatkan krisis kepercayaan masyarakat pertanian untuk mau menggunakan kompos tersebut

    Gambar 2.11. Material Balance MBT 2.2.4. Aspek Sosial

    1.

    Aspek sosial SPSP harus mencakup pola penanganan limbah rumah

    tangga dan sumber lainnya, pengelolaan sampah berbasis masyarakat serta

    memperhatikan kondisi sosial para pekerja yang menangani SP:

    Timbulan sampah sangat ditentukan oleh sikap masyarakat serta kondisi

    sosial-ekonomi mereka. Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap

    1 Ton Sampah

    Perkotaan AN AEROB DIGESTION

    MECHANICAL BIOLOGICAL TREATMENT

    AD - MBT

    Energi (ie) = 54 KWh

    Energi Biogas setara = 66 KWh GRK 0 001033 MTCE/KWh Material SDU Metal = 25,7Kg Plastik = 157,3 Kg Kaca = 24,8 Alumunium = 9,4 Kg Kertas = 164,7 Kg

    Penguapan = 31,1 Kg

    Kompos = 121 Kg (organik) Landfill = 314,1 kg Air buangan : 125,1 kg

    Universitas Sumatera Utara

  • sampah yang dihasilkan dapat dilakukan melalui upaya kampanye dan

    pendidikan.

    2.

    3.

    Pada daerah yang berpendapatan rendah, solusi terbaik untuk mengatasi

    masalah persampahan adalah dengan pola pengelolaan berbasis

    masyarakat. Meskipun demikian, hubungan fungsional antara kegiatan

    berbasis masyarakat harus tetap dipertahankan.

    4.

    Meskipun sistem pengelolaan sampah telah tersedia, partisipasi

    masyarakat tetap memiliki peranan yang signifikan untuk meningkatkan

    efisiensi.

    Para pekerja sampah, termasuk sektor informal yang biasanya hidup

    dengan kondisi yang tidak layak sangat mudah untuk terserang penyakit.

    Untuk itu diperlukan dukungan seperti jaminan sosial dan lain

    sebagainya.

    Kondisi sosial masyarakat dalam mengelola sampah sangat

    bergantung kepada regulasi yang diterapkan oleh pemangku kebijakan.

    Tingkat kesadaran masyarakat yang rendah terhadap permasalahan sampah

    akan menambah beban pelaksana dalam mengelola sampah.

    Ada berbagai macam cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan

    perilaku bertanggung jawab terhadap lingkungan. Gardner dan Stern (1996

    dalam Ho, 2002) menyoroti empat intervensi yang bisa untuk menigkatkan

    perilaku bertanggung jawab terhadap lingkungan yang terdiri dari :(1)

    intervensi kontrol moral dan agama; (2) intervensi pendidikan; (3) hukum

    dan (4) insentif pemerintah.

    Masalah utama

    yang harus dihadapi dalam pengelolaan SP terdapat pada tahap pemisahan

    limbah. Seharusnya limbah sampah terlebih dahulu harus dipisahkan dengan

    benar, baru selanjutnya dibuang dengan cara yang ramah lingkungan.

    Namun hingga saat ini, terutama di negara-negara berkembang hal tersebut

    sepertinya sulit ditemukan. Padahal semestinya masyarakat sebagai

    produsen limbah dapat maju kedepan untuk memecahkan masalah ini. Hal

    ini dapat dilakukan dengan memisahkan sampah berdasarkan kategorinya.

    Universitas Sumatera Utara

  • Lebih lanjut Gardner dan Stern (1996 dalam Ho, 2002) juga

    berpendapat bahwa karena ada berbagai faktor yang dapat mempengaruhi

    perilaku bertanggung jawab terhadap lingkungan, maka solusi yang baik

    adalah dengan cara menggabungkan intervensi yang berbeda secara

    bersamaan karena akan memiliki tingkat keberhasilan yang lebih baik

    daripada hanya menggunakan satu intervensi saja.

    2.2.5. Aspek Kelembagaan

    1.

    Aspek kelembagaan SPSP secara spesifik mencakup struktur

    kelembagaan dan manajemen SPSP termasuk didalamnya adanya aturan

    tentang pengelolaan sampah perkotaan. Aspek kelembagaan ini dapat

    dielaborasi lebih lanjut dengan adanya :

    2.

    Distribusi fungsi, tanggung jawab serta kewenangan antara kelembagaan

    lokal, regional dan pemerintah pusat (desentralisasi).

    3.

    Struktur organisasi dari lembaga-lembaga yang bertanggung jawab

    untuk SPSP, termasuk adanya koordinasi antara SPSP dengan sektor

    lainnya.

    4.

    Prosedur dan metode yang digunakan untuk perencanaan dan

    pengelolaan

    5.

    Kapasitas lembaga yang bertanggung jawab atas SPSP termasuk

    didalamnya kapabilatas para staf yang menjadi bagian dari SPSP.

    Keterlibatan sektor swasta, partisipasi masyarakat dan kelompok

    pengguna.

    2.2.6. Aspek Kebijakan

    1.

    Aspek kebijakan dalam SPSP adalah segala aspek yang mencakup

    perumusan tujuan , prioritas, penetapan peran, wilayah yuridis, kerangka

    hukum dan peraturan. Aspek kebijakan ini sangat berpengaruh pada

    keberlanjutan SPSP, oleh sebab itu perlu diperhatikan:

    Tujuan serta prioritas yang berkaitan dengan pengawasan lingkungan

    serta pemerataan akses pelayanan. Kedua hal tersebut harus jelas

    Universitas Sumatera Utara

  • diartikulasikan untuk dapat memobilisasi dukungan masyarakat serta

    sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan.

    2.

    3.

    Untuk menjamin keberlanjutan SPSP, diperlukan definisi yang jelas

    tentang yurisdiksi dan peran pengelola SPSP. Rencana Strategis yang

    matang akan sangat membantu untuk menempatkan pengelola SPSP

    serta pihak lain yang terkait.

    Jumlah aturan perundang-undangan yang diterbitkan tidak banyak, jelas,

    tidak bertolak belakang serta dapat dipertanggung jawabkan.

    Dalam sebuah sistem, kebijakan merupakan tahapan akhir yang

    ditempuh untuk dapat mengatasi masalah yang akan dihadapi. Gary Brewer

    dan Peter DeLeon (1983) menggambarkan tahap pengambilan keputusan

    dalam kebijakan publik sebagai berikut:

    Pilihan berbagai alternatif kebijakan yang selama ini dimunculkan dan dampak yang mungkin muncul dalam masalah yang diestimasi. Tahap ini adalah tahap yang paling bersifat politis ketika berbagai solusi potensial bagi suatu masalah tertentu harus dimenangkan dan hanya satu atau beberapa solusi yang dipilih dan dipakai. Jelasnya, pilihan-pilihan yang paling mungkin tidak akan direalisasikan dan memutuskan untuk tidak memasukan alur tindakan tertentu adalah suatu bagian dari seleksi ketika akhirnya sampai pada keputusan tentang yang paling baik.

    Penyusunan kebijakan adalah proses berkelanjutan, sebagai sebuah

    struktur yang memiliki siklus. Walt (1994) menyajikan empat tahap proses

    kebijakan: (1) Identifikasi masalah dan pengenalan isu ; (2) Formulasi

    kebijakan; (3) Implementasi kebijakan; (4) Evaluasi kebijakan.

    2.3. Sistem Pengelolaan Sampah Perkotaan Kota Medan

    Untuk menjalankan SPSP, Pemerintah Kota Medan menunjuk Dinas

    Kebersihan Kota Medan (DKKM) sebagai lembaga yang bertanggung

    jawab secara formal untuk mengelola sampah perkotaan di Kota Medan.

    Pengelolaan sampah kota Medan juga melibatkan SI yang dalam keseharian

    turut mereduksi sampah perkotaan melalui aktifitas perdagangan SDU kota

    Universitas Sumatera Utara

  • Medan. Adapun gambaran tentang kondisi SPSP kota Medan berdasarkan

    aspek pengelolaan SP yang dijabarkan sebagai berikut : (Rahman, 2004)

    2.3.1. Aspek Lingkungan

    SPSP kota Medan yang dilaksanakan oleh DKKM masih belum

    ramah lingkungan, hal ini ditandai dengan tidak adanya perlakukan terhadap

    SP yang pada TPA

    Sedangkan SP yang dapat diangkut kemudian didistribusikan ke 2

    TPA yakni : (1) TPA Namo Bintang, berlokasi di Kelurahan Namo Bintang

    ; Kecamatan Tuntungan dengan luas 17 Ha. TPA ini mampu menampung 60

    % dari total sampah yang dapat diangkut, (2) TPA Terjun, berlokasi di

    Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Labuhan dengan luas 14 Ha dan

    kapasitas penampungan sebesar 40 % dari total timbulan sampah domestik

    kota Medan.

    (Wibowo dan Djajawinata, 2004; Rahman, 2004). Selain

    tingkat kemampuan daya angkut SP yang dilaksanakan oleh DKKM masih

    berkisar 69.8 % (Rahman, 2004) dari jumlah SP yang mencapai 1265

    ton/hari. Hal ini menandakan bahwa masih ada sekitar 382 ton SP setiap

    harinya yang bertebaran diberbagai sudut kota Medan.

    Berdasarkan karakteristiknya SP kota Medan memiliki rasio

    perbandingan antara sampah organik dengan sampah anorganik sebesar 2.21

    : 1 (Zulfi, 2000). Untuk sampah anorganik yang memiliki nilai ekonomis

    dan menjadi bagian dari aktifitas SI terbagi kedalam 9 jenis seperti yang

    tertera pada Tabel 2.6 berikut.

    Tabel 2.6. Jenis Sampah Anorganik Kota Medan No Jenis Sampah Anorganik Ton/bulan 1 kertas 29.64

    2 karton 34.77

    3 besi tua 41.64

    4 plastik 32.02

    5 atom 28.39

    6 kaca 19.64

    Universitas Sumatera Utara

  • No Jenis Sampah Anorganik Ton/bulan 7 aluminium 26.65

    8 kuningan 21.39

    9 karung 20.27

    Jumlah 234.14 Sumber : (Rahman, 2004)

    Tabel 2.6 memperlihatkan bahwa SI mampu mengelola 234,14 ton

    perbulan dari SP yang berjenis anorganik, jika dibandingkan dengan jumlah

    total SP kota Medan perhari maka sampah anorganik yang dikelola ini

    masih senilai 1/50.5 kali dari jumlah total SP kota Medan.

    2.3.2. Aspek Ekonomi

    Dari sisi pembiayaan operasional SPSP, DKKM memperoleh dana

    dari Pemerintah Kota Medan (PKM). Selain itu juga PKM memberikan

    mandat kepada DKKM untuk mengumpulkan retribusi dari masyarakat kota

    Medan. Adapun teknis pengumpulan retribusi dapat dilihat pada Gambar

    2.12 berikut.

    Gambar 2.12. Aliran Dana Retribusi Sampah (Rahman, 2004)

    Dari Gambar 2.12 terlihat bahwa sebenarnya DKKM telah

    memperoleh margin keuntungan sebesar 5% yang mereka peroleh dari PKM

    sebagai imbalan atas kegiatan pemungutan biaya retribusi yang mereka

    lakukan. Meskipun demikian ternyata nilai retribusi ini masih kecil nilainya

    dibandingkan dengan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)

    DKKM setiap tahunnya seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.7.

    Universitas Sumatera Utara

  • Tabel 2.7. Target dan Realisasi pemasukan dari Sampah & Septictank Kota Medan

    No Sumber Tahun Target (Rp) Realisasi (Rp) 1. Sampah 2002

    2003 5.368.000.000,-

    12.500.000.000,- 3.780.738.742,-

    (70,43%) 11.033.664.083,-

    (88,26%) 2. Septictank 2002

    2003 132.000.000,- 198.000.000,-

    195.055.000,- (147%) 270.900.000,- (136%)

    Sumber: (DKKM, 2003)

    Tabel 2.8. APBD Dinas Kebersihan Kota Medan Tahun Anggaran 2002-2003

    No Uraian Tahun Anggaran(Rp) Realisasi (Rp)

    A.

    Belanja Rutin 1.Belanja pegawai 2.Belanja barang 3.Belanja Pemeliharaan 4.Belanja Lain-lain Belanja Pembangunan Pengadaan sarana

    2002

    8.379.712.000,- 1.374.900.000,- 5.190.575.000,- 5.555.886.000,-

    1.261.684.000,-

    8.304.265.849,- 1.006.914.390,- 4.414.567.999,- 5.392.470.000,-

    1.259.858.716,-

    Total 21.762.757.000,- 20.378.076.954,-

    B.

    Belanja Rutin 1.Belanja pegawai 2.Belanja barang 3.Belanja Pemeliharaan 4.Belanja Lain-lain Belanja Pembangunan Pengadaan sarana

    2003

    11.971.356.000,- 2.100.000.000,- 6.737.544.000,-

    11.831.900.000,-

    1.275.000.000,-

    11.880.045.561,- 1.905.331.381,- 6.438.857.301,-

    11.686.249.280,-

    1.272.200.000,-

    Total 33.915.800.000,- 33.182.683.523,- Sumber: (DKKM, 2003)

    Dari Tabel 2.7 dan 2.8 terlihat bahwa DKKM harus memberikan

    tambahan biaya sebesar lebih kurang Rp 16.4 milyar untuk tahun 2002 dan

    Rp. 21.8 milyar untuk tahun 2003. Kontradiksi dengan apa yang dialami

    DKKM, pengelolaan SP yang dilakukan oleh SI melalui kegiatan daur ulang

    Universitas Sumatera Utara

  • ternyata menghasilkan nilai ekonomi yang tidak dapat dipandang dengan

    sebelah mata. Dari aktivitas kegiatan ini, ternyata SI mampu

    mentransformasikan sampah menjadi materi yang memiliki