BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Definisi Diabetes...
Transcript of BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Definisi Diabetes...
9
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Definisi Diabetes Melitus
Diabetes melitus adalah sindrom klinis yang biasanya ditandai dengan
hiperglikemia akibat dari defisiensi insulin yang absolut maupun relatif.
Kurangnya hormon insulin yang dikeluarkan dari sel β pankreas di dalam
tubuh maka akan mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan
juga lemak, karena kadar glukosa dalam darah sangat erat diatur oleh
insulin sebagai regulator utama perantara metabolisme sehingga hal ini
menyebabkan gangguan yang signifikan (Animesh, 2006).
Diabetes melitus adalah suatu keadaan hiperglikemik kronik yang
disertai dengan berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal.
Ketika hormon mengalami gangguan akibat kelainan - kelainan tersebut
maka akan menyebabkan berbagai komplikasi pada mata, ginjal, pembuluh
darah dan juga saraf (Mansjoer, 2001).
American Diabetes Association ADA (2010), menyebutkan diabetes
melitus adalah kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang disebabkan karena adanya kelainan sekresi insulin,
kerja insulin, maupun kedua - duanya. Hiperglikemia di difinisikan sebagai
kadar glukosa puasa yang cenderung lebih tinggi dari 110 mg/dL. Kadar
glukosa serum puasa normal adalah 70 sampai 110 mg/dL.
10
2.2 Epidemiologi Diabetes Melitus
Diabetes melitus telah di tetapkan oleh WHO sebagai penyakit global
saat ini. Pada setiap negara terjadi peningkatan jumlah penderita diabetes
melitus. Berdasarkan data dari WHO (2006), diprediksikan terdapat 171 juta
jiwa di dunia yang menderita penyakit diabetes pada tahun 2000, dan pada
tahun 2030, di perkirakan jumlah penderita diabetes melitus akan
bertambah menjadi 366 juta penderita.
Diabetes melitus tertinggi di dunia Pada tahun 2000, ditempati oleh
negara India, Cina, Amerika, Indonesia, Jepang, Pakistan, Rusia, Brazil,
Italia, dan Bangladesh. Ini merupakan sepuluh besar negara dengan
prevalensi diabetes melitus tertinggi di dunia. Pada tahun 2030 India, Cina,
dan Amerika diprediksikan akan tetap menduduki posisi tiga teratas negara
dengan diabetes melitus tertinggi, dan Indonesia diprediksikan akan tetap
berada dalam sepuluh besar dan menempati urutan ke 4 terbesar dalam
jumlah penderita diabetes mellitus di dunia (Wild, dkk., 2004; PERSI, 2008).
Pada tahun 2000 masyarakat Indonesia yang menderita penyakit
diabetes melitus adalah sebanyak 8,4 juta jiwa, dan diprediksikan akan
semakin meningkat di tahun 2030 menjadi sekitar 21,3 juta jiwa. Data ini
menunjukkan bahwa angka kejadian diabetes melitus tidak hanya tinggi
presentase di negara maju tetapi juga terjadi di negara - negara
berkembang, seperti di Indonesia. Data RISKESDAS tahun 2007,
menunjukkan bahwa secara nasional, prevalensi diabetes melitus
berdasarkan pada hasil diagnosa dari tenaga kesehatan serta adanya
11
gejala adalah sebesar 1,1%. Sedangkan prevalensi diabetes melitus
berdasarkan hasil pengukuran gula darah pada penduduk yang berusia >15
tahun di daerah perkotaan adalah sebesar 5,7% (Departemen kesehatan,
2008).
2.3 Klasifikasi Diabetes Melitus
2.3.1 Diabetes Melitus Tipe I
Diabetes tipe 1 adalah tipe yang berkaitan dengan kerusakan
dan gangguan dari fungsi pankreas dalam menghasilkan
insulin. Tipe ini hanya sekitar 5 - 10 % dari keseluruhan kasus
diabetes melitus. Jika tanpa insulin sel tubuh tidak dapat
menyerap glukosa yang diperlukan tubuh sebagai sumber
energi untuk dapat menjalankan fungsinya. Diabetes melitus
tipe 1 juga sering terjadi dan menyerang orang di bawah usia 30
tahun sehingga sering dijuluki sebagai diabetes anak-anak
karena kebanyakan penderitanya adalah anak-anak serta
remaja. Pada diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat
menghasilkan insulin yang cukup akibat dari kelainan sistem
imun tubuh yang menghancurkan sel penghasil insulin atau juga
karena infeksi virus sehingga hormon insulin dalam tubuh
berkurang dan menyebabkan timbunan gula pada aliran darah.
Akibat dari kekurangan insulin ini glukosa tidak dapat dipakai
sebagai energi karena tetap berada di dalam aliran darah.
12
Ada beberapa kemungkinan yang menjadi penyebab
pankreas tidak bisa menghasilkan insulin yang cukup pada
penderita diabetes tipe 1 karena faktor genetik atau faktor
keturunan. Beberapa penelitian yang telah membuktikan bahwa
orang dengan riwayat keluarga yang menderita penyakit
diabetes melitus tipe ini lebih berisiko dari pada orang yang
tidak memiliki riwayat diabetes melitus. Hal ini menandakan
bahwa faktor genetik (keturunan) berperan sangat penting. Jika
kedua orang tua atau salah satu yang menderita diabetes
melitus, maka anak akan berisiko terkena diabetes melitus juga.
Tubuh yang kehilangan kemampuan untuk membentuk
insulin juga dapat menyebabkan diabetes melitus tipe I karena
sistem kekebalan tubuh menghancurkan sel yang memproduksi
hormon insulin dan juga virus atau zat kimia yang menyebabkan
kerusakan pada kelompok - kelompok sel dalam pankreas
tempat insulin dibuat. Semakin banyak sel yang rusak, maka
semakin besar seseorang akan menderita diabetes melitus
(Brunner, 2001).
13
2.3.2 Diabetes Melitus Tipe II
Diabetes melitus tipe II berbeda dengan diabetes melitus
tipe 1. Diabetes melitus tipe II, yang menjadi penyebabnya
adalah produksi hormon insulin yang dihasilkan tidak cukup.
Kebanyakan dari hormon insulin yang diproduksi atau
dihasilakan, dihisap oleh sel lemak akibat dari gaya hidup dan
pola makan penderita yang tidak baik yang pada akhirnya
pankreas tidak dapat membuat insulin yang cukup untuk
mengatasi kekurangannya sehingga kadar gula dalam darah
akan naik (Brunner, 2001).
Diabetes melitus tipe II merupakan penyakit yang
berhubungan dengan pola makan. Pola makan merupakan
gambaran mengenai komposisi makanan yang dimakan setiap
hari oleh seseorang. Dengan gaya hidup masyarakat di
perkotaan dengan pola yang tinggi lemak, garam, dan gula
secara berlebihan akan mengakibatkan berbagai penyakit
termasuk diabetes melitus (Suyono, 2007).
Sekitar 90% sampai dengan 95% orang menderita diabetes
melitus tipe II sehingga menjadikan diabetes melitus tipe II
sebagai jenis diabetes melitus yang hampir sebagian besar
diderita oleh masyarakat. Diabetes ini sering diderita oleh orang
dewasa yang berusia di atas 30 tahun dan cenderung semakin
parah secara bertahap. Kurangnya latihan fisik atau olahraga
14
juga merupakan salah satu faktor terjadinya diabetes melitus
tipe II. Jika seseorang dalam hidupnya kurang melakukan
latihan fisik maka cadangan glikogen ataupun lemak akan tetap
tersimpan di dalam tubuh, inilah yang memicu terjadinya
berbagai macam penyakit degeneratif salah satu contohnya
diabetes melitus tipe II (Yunir, Soebardi, Suharko 2008).
2.4 Etiologi
2.4.1 Diabetes Melitus Tipe I
Diabetes tipe I di tandai dengan penghancuran sel-sel beta
pankreas, kombinasi faktor genetik, imonologi dan (misalnya
infeksi virus) di perkirakan turut menimbulkan destruksi sel beta.
2.4.1.1 Faktor-Faktor Genetik
Penderita diabetes melitus tipe I tidak mewarisi
diabetes tipe I itu sendiri tetapi mewarisi suatu
kecenderungan genetik ke arah terjadinya diabetes
tipe I. Kecendrungan genetik ini di temukan pada
individu yang memiliki tipe antigen Human Leucocyte
Antigen (HLA) tertentu. HLA adalah suatu kumpulan
gen yang bertanggung jawab atas antigen
transplantasi dan proses imun lainnya. Sebanyak
95% pasein berkulit putih dengan diabetes tipe I
memperlihatkan tipe HLA yang spesifik (DR3 atau
15
DR4). Risiko terjadinya diabetes melitus tipe I
meningkat tiga sampai lima kali lipat pada setiap
individu yang memiliki salah satu dari kedua tipe HLA
ini. Risiko tersebut akan meningkat sepuluh sampai
dua puluh kali lipat pada individu yang memiliki tipe
HLA DR3 dan DR4 (jika dibandingkan dengan
populasi umum) (Brunner, 2001).
2.4.1.2 Faktor – Faktor Imunologi
Pada diabetes tipe I terdapat suatu respon
autoimun. Ini merupakan respon yang abnormal
dimana antibody mengarah pada jaringan tubuh yang
normal dengan cara bereaksi terhadap jaringan
tersebut yang dianggap sebagai jaringan asing.
Sebuah riset dilakukan untuk mengevaluasi efek
preparat imunosupresif terhadap perkembangan
penyakit pada pasien diabetes tipe I yang baru
terdiagnosis atau pasien dengan antibodi yang
terdeteksi tetapi tidak memperlihatkan gejala klinis
diabetes (Brunner, 2001).
2.4.1.3 Faktor – Faktor Lingkungan
Banyak penyelidikan yang dilakukan terhadap
kemungkinan faktor - faktor eksternal yang dapat
memicu destruksi sel beta. Contoh hasil penyelidikan
16
yang menyebutkan bahwa racun atau virus dapat
memicu terjadinya proses autoimun yang dapat
menimbulkan destruksi pada sel beta. Interaksi antara
faktor - faktor genetik, imunologi dan lingkungan
dalam etiologi diabetes tipe I merupakan pokok
perhatian untuk dilakukan riset lebih lanjut. Meskipun
kejadian yang menimbulkan destruksi sel beta tidak
dapat dimengerti sepenuhnya, namun pernyataan
bahwa kerentanan genetik merupakan faktor dasar
yang melandasi terjadinya diabetes tipe I adalah hal
yang secara umum dapat diterima (Brunner, 2001).
2.4.2 Diabetes Melitus Tipe II
Diabetes Melitus tipe II adalah tipe diabetes melitus yang
sering terjadi dibanding dengan diabetes tipe I. Diabetes ini
biasanya menyerang usia - usia dewasa tetapi tidak menutup
kemungkina bahwa usia muda atau remaja juga banyak
terdiagnosa diabetes melitus tipe II. Diabetes melitus tipe II
terjadi diakibatkan karena insulin yang dihasilkan oleh pankreas
tidak cukup sehingga menyebabkan kadar gula di dalam darah
menjadi tidak normal. Diabetes tipe 2 menjadi semakin umum
oleh karena faktor risikonya yaitu obesitas dan kurangannya
berolahraga. Diabetes melitus tipe II terjadi karena adanya
17
resistensi insulin yaitu kurangnya insulin relatif yang didominasi
oleh adanya gangguan sekresi insulin dengan resistensi insulin
(ADA, 2012).
Insiden diabetes melitus tipe II meningkat di seluruh dunia.
Diabetes melitus tipe II terjadi lebih dikarenakan kecenderungan
perilaku hidup, faktor lingkungan dan juga genetik. Meskipun
risiko diabetes melitus tipe II dikarenakan faktor gentetik namun
belum di dintifikasi sepenuhnya bahwa penyebab utamanya
adalah faktor genetik. Diabetes tipe II memiliki faktor risiko yang
besar dan mengarah lebih kepada gaya hidup atau lifestyle
penderita yang tidak baik misalnya kurangnya aktivitas fisik yang
jarang dilakukan, asupan gizi yang tidak seimbang, stres, diet
dan mengkonsumsi minuman yang mengandung pemanis juga
mempengaruhi dan meningkatkan risiko munculnya penyakit
diabetes tipe 2 sehingga akan lebih muda terkena diabetes
melitus tipe ini (Brunner, 2001).
2.5 Fungsi Gula Dalam Tubuh
Gula darah mengacu pada kadar atau banyaknya kandungan gula
dalam sirkulasi darah dalam tubuh. Gula dalam darah biasanya disebut
sebagai glukosa, yakni bentuk gula yang paling sederhana. Selain
glukosa, terdapat gula yang disebut sebagai glikogen. Glikogen
merupakan gula dalam bentuk yang lebih kompleks dan biasa
18
ditemukan di dalam hati dan juga otot, yang fungsinya adalah sebagai
cadangan makanan. Sumber utama gula darah manusia berasal dari
makanan. Pada makanan gula merupakan proses pencernaan dari
karbohidrat yang banyak ditemukan pada nasi, roti, kentang, dan umbi-
umbian. Sumber gula lainnya ialah berasal dari dalam tubuh dan dalam
kondisi puasa lama, gula dihasilkan oleh hati (Brunner, 2001).
Fungsi utama dari gula dalam tubuh adalah untuk menghasilkan
energi. Diibaratkan tubuh ini adalah mobil, maka gula darah adalah
bensinnya. Gula yang berasal dari makanan yang dimakan akan masuk
ke dalam aliran darah. Kemudian gula - gula tersebut akan masuk ke
dalam otot dan gula akan diubah menjadi energi. Energi ini yang
menjamin kelangsungan hidup sel - sel, menghasilkan panas tubuh,
menghasilkan gerakan tubuh, dan sebagainya.
2.5.1 Kadar Gula yang rendah
Darah yang kadar gulanya menurun sampai 50 mg
glukosa dalam 100 cc tergolong hipoglikemia. Ada dua jenis
gejala yang timbul secara terpisah atau bersamaan. Pertama
gejala yang berkaitan dengan saraf akibat dari kekurangan
glukosa dalam otak untuk mempertahankan aktifitas -
aktifitas sel otak yang normal. Kedua gejala yang timbul
akibat tubuh mengimbangi kadar gula dalam darah dengan
menghasilkan hormon epinephrine secara darurat. Ini akan
membuat penderita menjadi berkeringat, muka pucat,
19
gemetar, kedinginan, lapar, lemah, dan jantung berdebar
(Brunner, 2001).
2.5.2 Kadar Gula yang tinggi
Kadar gula darah dikatakan terlalu tinggi jika melebihi
angka 200 mg/dL. Dalam dunia medis kadar gula darah yang
terlalu tinggi biasa disebut dengan istiah hiperglikemia.
Kondisi ini terjadi ketika tubuh tidak memiliki cukup insulin.
Hormon insulin merupakan hormon yang dilepas oleh
pankreas. Insulin tersebut berfungsi untuk menyebarkan gula
dalam darah ke seluruh sel tubuh untuk dapat diproses
menjadi energi. Kondisi ini biasanya dialami oleh penderita
diabetes yang tidak bisa menjalani gaya hidup sehat dengan
baik, misalnya terlalu banyak mengkonsumsi makan, kurang
berolahraga, dan atau lupa mengonsumsi obat diabetes atau
insulin. Kondisi lain yang menyebabkan hiperglikemia pada
penderita diabetes adalah stres, mengkonsumsi obat -
obatan steroid, sedang menjalani operasi, sedang terinfeksi
penyakit tertentu.
Hiperglikemia dapat menyerang siapa saja, terutama jika
menderita sakit berat. Tanda-tanda seseorang yang memiliki
kadar gula darah tinggi adalah badan terasa lelah, bobot
tubuh berkurang, sering buang air kecil dan sering
merasakan haus. Jika kadar gula darah melebihi 350 mg/dL,
20
gejala yang mungkin akan dirasakan adalah tingkat
kesadaran menurun, adanya perasaan muda gelisah,
penglihatan tidak jelas, dan merasa pusing. Selain itu
perubahan pada kondisi kulit seperti memerah, kulit kering,
dan terasa panas. Selain menderita hal-hal tersebut, kadar
gula darah terlalu tinggi terutama yang tidak pernah
mendapat pengobatan, dapat menyebabkan bahaya serius
seperti ketoasidosis diabetikum atau sindrom diabetes
hyperosmolar (Brunner, 2001).
2.6 Perawatan Luka
Perawatan luka menurut Habbs dan Perrin (1985), merupakan
layanan kesehatan yang dilakukan di rumah pasien (Lerman & Eric,
1993), sehingga perawatan luka dalam keperawatan merupakan
layanan keperawatan di rumah pasien yang telah melalui sejarah yang
panjang. Perawatan luka juga merupakan pelayanan kesehatan yang
berkesinambungan dan komprehensif yang diberikan kepada seorang
individu, keluarga, di tempat tinggal mereka yang bertujuan untuk
meningkatkan, mempertahankan, dan memulihkan kesehatan mereka,
atau memaksimalkan kemandirian dan meminimalkan kecacatan akibat
dari penyakit yang mereka derita. Layanan kesehatan diberikan sesuai
dengan kebutuhan pasien atau keluarga yang sudah direncanakan,
21
dikoordinir, oleh pemberi pelayanan melalui staf yang sudah diatur
berdasarkan perjanjian bersama (Depkes RI, 2006).
2.7 Luka
Luka merupakan kerusakan dari integritas kulit yang dapat terjadi
ketika kulit terpapar pada suhu atau pH, zat kimia, gesekan, trauma
tekanan dan juga radiasi. Penyembuhan luka berarti suatu respon tubuh
terhadap berbagai cedera dengan proses pemulihan yang kompleks dan
dinamis yang dapat menghasilkan pemulihan anatomi dan fungsi secara
terus menerus (Black, 2006). Penyembuhan luka yang terkait dengan
regenerasi sel sampai kepada fungsi organ tubuh kembali pulih,
ditunjukkan dengan tanda-tanda atau respon yang berurutan dimana sel
secara bersama-sama berinteraksi, melakukan tugas dan berfungsi
secara normal. Idealnya luka yang sudah sembuh dan kembali normal
secara struktur anatomi, fungsi dan penampilan.
2.8 Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka didefinisikan sebagai suatu proses yang
kompleks dan dinamis yang menghasilkan perbaikan terhadap struktur
anatomis dan fungsi jaringan (Hess, 2002). Batasan waktu penyembuhan
luka di tentukan oleh tipe luka dan lingkungan ekstrinsik dan intrinsik.
22
2.8.1 Fase penyembuhan luka
Penyembuhan luka adalah sesuatu yang kompleks dengan
melibatkan banyak sel. Proses penyembuhan luka terdiri dari
beberapa fase yaitu koagulasi, inflamasi, proliferasi,
remodeling.
2.8.1.1 Fase Koagulasi dan Inflamasi
Fase Inflamasi secara klinis di tandai dengan
tanda - tanda utama yaitu rubor, tumor, kalor, dolor
dan functio laesa. Proses peradangan atau inflamasi
terjadi segera setelah injuri, dan secara spontan
proses koagulasi pembentukan asam arachidonic,
growth factor bekerja bersamaan dalam proses
inflamasi. Saat terjadi injuri pada vaskuler, kalsium
intraseluler di keluarkan dan mengaktivasi faktor dan
proses koagulasi ekstrinsik. Bersamaan dengan itu
terjadi reflex vasokonstriksi, ini terjadi untuk
membantu hemostasis yang bekerja untuk menjaga
hasil akhir dari koagulasi berupa plug fibrin. Fibrin
merupakan matrik luka di mana platelet beregregasi
untuk menghentikan perdarahan. Pada fase inflamasi
di mulai beberapa menit setelah luka dan
berlangsung selama 3-4 hari. Segera setelah injuri
pembuluh darah dan limfatik rusak. lima sampai
23
sepuluh menit pertama terjadi vasokonstriksi
selanjutnya diikuti oleh vasodilatasi (Black, 2008).
2.8.1.2 Fase Proliferasi
Fase ini dimulai 2-3 hari setelah luka dan ditandai
dengan pergerakan fibroblast ke area luka. Fibroblast
berimigrasi melalui fibrin yang terbentuk pada fase
inflamasi. Pada minggu pertama setelah injuri
fibroblast dipengaruhi makrofag untuk membentuk
dan mensintesis glikosamin dan proteoglikan, matrik
ekstaseluler jaringan granulasi dan kolagen.
Fibroblast menjadi dominan, pada fase ini terus
meningkat pada hari ke 7-14 setelah luka. Kemudian
setelah mensekresikan molekul kolagen, fibroblast
berperan dan pertugas untuk meletakan serat – serat
dalam matrik, terutama serat kolagen. Serat ini akan
membentuk jejaring yang saling berkaitan.
Peningkatan kolagen pada luka berarti meningkatnya
kekuatan ikatan jaringan pada luka selama
pembentukan fibroblast keratinosit dan sel endotelial
juga terbentuk. Keratinosis dan endotelial juga
menghasilkan faktor pertumbuhannya sendiri untuk
melakukan proliferasi (Torre, 2006).
24
2.8.1.3 Fase Remodeling
Fase Remodeling berarti kolagen secara acak
tersimpan pada jaringan granulasi. Remodeling
kolagen menjadi jaringan yang lebih terstruktur,
berlangsung pada fase maturasi luka, untuk
meningkatkan kekuatan regangan luka. Selama
pembentukan skar kolagen tipe III pada jaringan
granulasi di ganti dengan kolagen tipe I sampai
terbentuk kulit normal. selama fase ini sintesis
kolagen seimbang dengan kolagenesis, ini
menciptakan kekuatan maksimal 80 % dari jaringan
aslinya yang berakhir sampai dengan 2 tahun setelah
luka. Luka akan tertutup oleh migrasi epitel yang
bergerak dari tepi luka. Sel epitel akan menyebrangi
luka sampai terbentuk sel epitel lain dan kemudian
akan di inhibisi untuk menghentikan pergerakan sel
epitel (Torre, 2006).
2.8.2 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
Luka terjadi karena adanya beberapa faktor yang
menyebabkan ganguan pada mekanisme penyembuhan
luka. Ada beberapa faktor yang diadaptasi dari (Hess 2002)
yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka, antara lain :
25
2.8.2.1 Tekanan
Luka atau daerah sekitar luka yang mendapat
tekanan secara terus menerus akan menghambat
aliran kapiler sehingga suplai darah ke area luka
terganggu.
2.8.2.2 Lingkungan
Lingkungan yang kering dapat menyebabkan
dehidrasi sel pada area luka dan dapat terjadi
kematian sel. Hal ini menyembabkan terbentuknya
krustae pada area luka yang dapat menghambat
pertumbuhan jaringan.
2.8.2.3 Infeksi
Infeksi lokal maupun sistemik dapat menghalangi
proses penyembuhan luka. Tanda - tanda seperti
adanya drainase, eksudat, indurasi. Demam adalah
indikasi dilakukannya kultur pada luka. Selulitis pada
jaringan lunak akan memperpanjang fase inflamasi
dengan menyebabkan protease jaringan dengan
mendegragasi jaringan granulasi baru dan faktor
pertumbuhan jaringan dengan menunda deposisi
kolagen.
26
2.8.2.4 Pemilihan Balutan
Pemilihan balutan yang tepat akan
berpengaruh pada kesembuhan luka yang
lebih baik. Jika pemilihan balutan salah maka
akan memperburuk kondisi luka tersebut.
Tujuan pemilihan balutan yaitu, untuk
membuang jaringan mati, melindungi luka dari
trauma, mengontrol kejadian infeksi,
mempercepat proses penyembuhan luka dan
kontrol bau (Bryant, 2000).
2.8.2.5 Wound Bad Preparation
Persiapan dasar luka menjadi penting dalam
proses penyembuhan luka, karena dengan kita
memahami kondisi luka maka akan sangat
memudahkan kita untuk melakukan suatu tindakan
pada luka tersebut. Persiapan dasar luka pada
perawatan luka yaitu dengan mencuci luka. Mencuci
luka akan meningkatkan, memperbaiki dan
mempercepat proses penyembuhan luka. selain itu
juga penting untuk membuang jaringan nekrotik pada
luka dan pemilihan thopycal terapi yang tepat (Bryant,
2000).
27
2.8.2.6 Memahami Warna Pada Luka
Dua jenis nekrosis yang terdapat pada luka yaitu
Slough dan Escar. Slough jaringan nekrosis basah,
mudah lepas dan berwarna kuning, sedangkan Escar
adalah jaringan nekrosis yang mengalami granulasi,
tipis, menempel pada luka dan berwarna cokelat
sampai hitam. Berdasarkan warna pada luka, maka
dapat ditentukan perawatan yang tepat dan benar.
2.9 Klasifikasi Grade Luka Diabetes
Ada beberapa referensi yang yang dapat digunakan dalam
pengklasifikasian luka diabetes melitus. Berikut ini adalah klasifikasi
diabetes melitus menurut University of texas diabetic food
classification (2000) dalam (Hess, 2002).
9.1 Tabel Klasifikasi Grade Diabetes Melitus
Stage Grade 0 Grade I Grade II Grade III
A Sebelum atau
sesudah terjadi
ulseratif pada kaki
yang beresiko
Luka
superfisial
tidak mengenai
tendon kapsula
Luka
mengenai
tendon atau
kapsula pada
Luka
mengenai
tulang
28
terjadi luka atau tulang sendi
B Terdapat infeksi Terdapat
infeksi
Terdapat
infeksi
Terdapat
infeksi
C Terdapat iskemia Terdapat
iskemia
Terdapat
iskemia
Terdapat
iskemia
D Terdapat infeksi
dan iskemia
Terdapat
infeksi dan
iskemia
Terdapat
infeksi dan
iskemia
Terdapat
infeksi dan
iskemia
2.10 Perawatan Luka Diabetes Melitus
2.10.1 Perawatan Dengan Metode Konvensional
Fenomena yang masih terjadi di Indonesia sampai saat ini
yaitu sebagian besar perawat masih percaya bahwa penyembuhan
luka yang baik adalah dengan membuat lingkungan atau daerah
sekitar luka tetap kering atau menggunakan cara konvensional
untuk merawat luka (Junaidi, 2007). Luka yang dirawat dengan
metode konvensional akan lebih lama dalam proses penyembuhan
dan akan memakan waktu dalam penanganan luka karena kurang
adanya pengkajian terhadap riwayat penyakit pasien oleh perawat
ataupun dokter. Selain beberapa hal yang telah disebutkan di
atas, perhatian terhadap perawatan luka juga masih sangat
kurang karena perawat di Indonesia masih menggunakan
29
perawatan luka konvensional untuk memberikan perawatan
kepada pasien ulkus diabetikum padahal saat ini sudah mulai
berkembang perawatan luka yang lebih canggih.
Sebagian besar rumah sakit di Indonesia masih menerapkan
prinsip perawatan luka konvensional, metode modern dressing
masih sangat jarang di lakukan. Di Indonesia dari total 1012 rumah
sakit hanya 25 rumah sakit atau 2.4 % yang menerapkan metode
modern dressing (Ismail, 2008). Perawatan konvensional dan
modern memiliki perbedaan dan ciri khas masing-masing baik
dalam praktik maupun teori serta kelebihan dan kekurangannya.
Menurut Singh, dkk., (2011), sebanyak 60 % dari kelompok
modern dressing dalam merawat luka menunjukkan bersih dari
organisme secara penuh dalam dua minggu, dan sekitar 90 %
dalam 4 minggu meskipun ada beberapa luka yang tidak
menunjukkan bersih dari organisme di akhir minggu keempat. Di
sisi lain, hanya 42 % dari luka di kelompok konvensional
ditemukan steril setelah dua minggu perawatan. Setelah empat
minggu pengobatan konvensional sekitar (20 %) luka masih
ditemukan sekumpulan organisme patogen.
30
Ada beberapa material yang sering digunakan dalam
perawatan konvensional yang dilakukan di rumah sakit, yaitu :
2.10.1.1 Kasa
Kasa berperan sebagai bahan penyerap
produksi eksudasi ulkus, mempertahankan
suhu, kelembapan, mencegah masuknya
bakteri dan sebagai penutup luka.
2.10.1.2 NaCl
NaCl digunakan untuk membersihkan luka
karena sifatnya yang isotonis dan tidak iritan
dapat membantu dalam proses penyembuhan
luka.
2.10.1.3 Hidrogen Peroksida
Digunakan sebagai penghancur jaringan
nekrotik dan bersifat iritan terhadap jaringan
granulas, bahan ini sekarang sudah banyak di
tinggalkan dan hampir tidak digunakan lagi.
2.10.1.4 Set Steril
Set steril digunakan selama proses
perawatan mulai dari bengkok, kom, spuit,
pinset anatomi, pinset cirugi, klem, gunting
nekrotomi, dan sarung tangan steril.
31
2.10.1.5 Under Pad
Under pad digunakan sebagai alas
dibawah luka selama prose perawaatan
berlangsung untuk tetap menjaga kebersihan
dalam perawatan luka.
2.10.1.6 Verban dan Sofratule
Verban digunakan sebagai viksasi kasa
penutup luka atau bisa juga digunakan plester
jika ukuran luka tidak terlalu luas dan sofratule
digunakan sebagai antibiotik topikal dan
berfungsi memperkecil adanya kontak antara
luka dengan kasa sehingga mempermudah
pengangkatan kasa pada saat perawatan.
Ada beberapa manajemen luka konvensional yang biasa
dilakukan di rumah sakit diantaranya :
2.10.1.7 Manajemen luka sebelumnya tidak mengenal
adanya lingkungan luka yang lembab.
2.10.1.8 Manajemen perawatan luka yang lama hanya
membersihkan luka mengunakan cairan normal
salin atau ditambahkan dengan Iodin Povidine,
Hidrogen Peroksida. Antiseptik – antiseptik seperti
itu dapat mengganggu proses penyembuhan dari
luka, dan tidak hanya membunuh kuman tapi
32
membunuh leukosit yg bertugas membunuh kuman
patogen dan kemudian di tutup dengan kasa kering.
2.10.1.9 Ketika akan merawat luka di hari berikutnya,
kasa tersebut akan menempel pada luka dan
menyebabkan rasa sakit, disamping itu sel-sel yang
baru tumbuh pada luka menjadi rusak.
2.10.1.10 Luka dalam kondisi kering dapat
memperlambat proses penyembuhan dan akan
menimbulkan bekas pada luka.
2.10.2 Perawatan dengan Metode Modern
Perkembangan perawatan luka berkembang sangat pesat dan
cepat dalam dunia kesehatan. Metode perawatan luka yang saat
ini tengah berkembang adalah perawatan luka dengan
menggunakan prinsip moisture balance. Dalam beberapa literature
disebutkan bahwa dengan menggunakan prinsip ini akan lebih
efektif untuk proses penyembuhan luka bila dibandingkan dengan
menggunakan metode konvensional. Perkembangan pengetahuan
tentang cara-cara penyembuhan luka modern menjadi suatu trand
tersendiri dalam dunia kesehatan yang berdampak pada
kebutuhan peningkatan kualitas pengetahuan dan ketrampilan
tenaga kesehatan khususnya bagi perawat yang berkecimpung di
bidang ini (Bryant, 2000).
33
Perawatan luka dengan menggunakan prinsip lembab dikenal
sebagai metode modern dressing dan memakai alat ganti balut
yang lebih modern. Prinsip moisture balance belum begitu familiar
bagi perawat di Indonesia. Perawatan luka menggunakan teknik
modern dressing telah berkembang di Indonesia terutama rumah
sakit besar di kota - kota besar seperti Bandung, Yogyakarta,
Surabaya, dan Jakarta sedangkan untuk rumah sakit - rumah sakit
setingkat Kabupaten, perawatan luka menggunakan teknik modern
masih belum terlalu berkembang dengan baik bahkan belum ada
sama sekali. Perawatan luka dengan menggunakan prinsip
moisture balance atau prinsip lembab dikenal sebagai metode
modern dressing yang memakai bahan-bahan pembalut yang lebih
modern dan topical therapy yang mempunyai karakteristik dan
keunggulan masing-masing sesuai dengan kondisi luka pasien.
(Sotani, 2009).
Bersamaan dengan itu biaya pelayanan dalam dunia
kesehatan saat ini terbilang cukup tinggi namun semua itu tidak
sesuai dengan apa yang diberikan dan tingkat kesembuhannya
cukup lama. Hal yang menjadi penghambat saat ini yaitu faktor
demografi sehingga pelayanan kesehatan keseluruh penjuru
negeri tidak tersampaikan dengan baik. Banyak masyarakat yang
tidak dapat menikmati fasilitas kesehatan hanya karena
penyebaran tenaga kesehatan yang tidak merata. Kalau pun ada,
34
pengetahuan yang dimilikinya tidak cukup tentang perawatan luka,
terlebih lagi dengan luka yang memiliki dimensi yang cukup luas
dan memiliki banyak eksudat. Kurangannya pengetahuan perawat
tentang perawatan luka yang besar dan memiliki banyak eksudat
menyebabkan luka yang tidak kunjung sembuh, dan menyebabkan
klien harus berulang kali mengontrol luka dalam jarak yang cukup
jauh untuk mengganti balutan dengan dibekali antibiotik. Oleh
karena itu metode modern dressing diharpakan dapat membantu
tenaga kesehatan agar mengerti dan memiliki pemahaman yang
cukup untuk melakukan tindakan pengobatan luka dengan metode
modern dressing agar tenaga kesehatan yang ada di Indonesia
dapat disebar secara merata untuk membantu penyembuhan luka
klien (Gitaraja, 2015).
Menanggapi hal demikian, para perawat perlu untuk memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang adekuat terkait dengan
proses perawatan luka, dimulai dari pengkajian yang
komprehensif, perencanaan intervensi, implementasi tindakan, dan
evaluasi, serta dokumentasi. Isu lain yang harus benar - benar
dipahami oleh perawat adalah berkaitan dengan cost
effectiveness. Manajemen untuk perawatan luka modern sangat
mengedepankan isu tersebut. Hal ini didukung dengan semakin
banyaknya inovasi-inovasi terbaru dalam perkembangan produk-
produk yang dapat dipakai untuk merawat luka. Dalam hal ini,
35
perawat sangat perlu untuk benar-benar memahami dan
mempelajari produk-produk tersebut dengan baik sebagai bagian
dari suatu proses dalam mengambil keputusan yang sesuai
dengan kebutuhan pasien. Pada umumnya, pemilihan produk yang
tepat harus berdasarkan pertimbangan biaya (cost), keamanan
(safety) dan kenyamanan (comfort). Secara umum, perawatan luka
yang saat ini berkembang lebih ditekankan pada intervensi yang
melihat sisi klien dari berbagai dimensi, yaitu dimensi psikis, fisik,
psikis, sosial, dan ekonomi.
Banyak contoh yang dapat dikemukakan contohnya pada
kasus klien dengan diabetes melitus banyak dari mereka yang
beranggapan bahwa luka harus diamputasi. Namun, tindakan
amputasi tersebut ternyata bisa digagalkan jika luka tersebut
dirawat dengan saksama dengan metode yang benar dan tentunya
dilakukan oleh perawat yang berkompeten dalam bidang tersebut.
Kesembuhan luka pada tingkat tertentu seperti kasus luka akibat
diabetes tergantung pada kedisiplinan penderita dalam perawatan.
Ketika luka di rawat dengan benar dan tepat serta menggunakan
metode yang lebih baik maka luka tersebut akan menjadi lebih
baik. hal yang harus kita lakukan yaitu memperkenalkan kepada
masyarakat bahwa ada program perawatan di rumah atau home
care yang sekarang telah berkembang pesat di Indonesia agar
36
masyarakat mengerti tentang cara perawatan luka yang tepat dan
benar itu penting.
Ada beberapa manajemen luka dengan menggunakan metode
modern dressing yang biasanya dilakukan di pusat perawatan luka
modern antara lain :
2.10.2.1 Moist wound healing (perawatan luka
lembab) diawali pada tahun 1962 oleh Prof.
Winter.
2.10.2.2 Moist wound healing adalah metode
yang dapat mempertahankan lingkungan
luka tetap lembab untuk memfasilitasi
proses penyembuhan luka.
2.10.2.3 Lingkungan luka yang lembab dapat
diciptakan dengan occlusive dressing
(perawatan luka tertutup).