BAB I PENDAHULUAN -...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Peta topografi adalah peta yang memperlihatkan unsur - unsur alam (asli) dan
unsur - unsur buatan manusia di atas permukaan bumi. Unsur unsur tersebut, di
representasikan pada posisi sebenarnya. Peta topografi disebut juga sebagai peta
umum (bersifat umum). Karena dalam peta topografi menyajikan semua unsur yang
ada pada permukaan bumi, tentu saja dengan dengan memperhitungkan skala yang
sangat terbatas. (Prihandito, 1999).
Dalam pembuatan peta topografi terdapat 2 macam metode yaitu terestris dan
ekstra terestris. Metode terestris adalah metode pengukuran langsung sementara
metode ekstra terestis adalah metode pengukuran menggunakan metode fotogrametri
yang menghasilkan foto udara ataupun citra. Pemetaan topografi dengan metode
tesetris menghasilkan peta yang memiliki kualitas posisi yang tinggi. Penggunaan
metode ini untuk pemetaan pada area sangat luas menjadi kurang efektif, dan
membutuhkan waktu yang sangat lama. Untuk area sangat luas metode seperi
fotogrametri merupakan solusi yang sangat sesuai.
Teknologi fotogrametri dilihat dari sisi biaya juga sangat mahal. Hal ini
dikarenakan biaya yang besar harus dikeluarkan untuk urusan dan biaya perizinan dan
biaya pesawat (platform penerbangan) dan juga biaya untuk security officer yang
biasanya memerlukan orang militer dan security clearance. Perkembangan teknologi
pesawat remote control (RC) menjadi alternatif solusi teknologi fotogrametri dengan
biaya yang rendah / murah. Penggunaan pesawat RC ini selanjutnya berkembang
menjadi sangat populer untuk pemotretan udara dengan pesawat tanpa awak yang
biasa dikenal dengan istilah Unmanned Aerial Vehicle (UAV). Teknologi UAV untuk
kegiatan pemetaan menggunakan kamera non metrik sebagai sensor yang digunakan,
sehingga penggunaan teknologi UAV tergolong dalam foto udara format kecil
(FUFK). Beberda dengan foto udara format besar (FUFB) yang menggunakan kamera
metrik sebagai sensor, kamera non metrik tidak disesain untuk keperluan pemetaan
2
sehingga perlu dilakukan uji terhadap kualitas geometri yang dihasilkan. Salah satu
metode yang dilakukan adalah melakukan perbandingan dengan data terestris, karena
data terestris dianggap memiliki ketelitian lebih tinggi.
Metode Global Navigation Satelite System (GNSS) termasuk dalam metode
terestris yang berfungsi sebagai Ground Control Point (GCP) dan Independent
Control Point (ICP). GCP digunakan untuk melakukan koreksi geometrik pada
tahapan rektifikasi foto udara sementara ICP digunakan untuk membandingkan hasil
pemetaan metode fotogrametri dengan hasil pengukuran GNSS. Dengan perbandingan
tersebut dapat diketahui kualitas pemetaan menggunakan wahana UAV terhadap
horizontal maupun vertikal pada area luas yang memiliki tingkat kompleksitas yang
tinggi. mengikuti strandarisasi yang berlaku. Standarisasi yang digunakan merupakan
Peraturan Kepala BIG No 15 tahun 2014.
I.2. Identifikasi Masalah
Kualitas pemetaan topografi dengan wahana UAV dan kamera non metrik
dipengaruhi kualitas posisi horizontal dan kualitas posisi vertikal. Untuk mengetahui
kualitas hasil pemetaan tersebut, perlu dilakukan analisis ketelitian secara horizontal
maupun vertikal, sesuai standarisasi yang berlaku, dalam hal ini mengacu pada
peraturan Peraturan Kepala BIG No 15 tahun 2014.
I.3. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian yang muncul dari rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kualitas posisi horizontal pemetaan menggunakan wahana UAV
yang dihasilkan dibandingkan dengan data pengukuran GNSS pada titik
Independent Control Point (ICP)?
2. Bagaimana kualitas posisi vertikal pemetaan menggunakan wahana UAV yang
dihasilkan dibandingkan dengan data pengukuran GNSS pada titik Independent
Control Point (ICP)?
3. Masuk kelas kualitas yang manakah, pemetaan menggunakan wahana UAV
yang dihasilkan tersebut mengikuti standarisasi pemetaan menurut Peraturan
Kepala BIG No 15 tahun 2014?
3
I.4. Tujuan Penelitian
1. Diketahuinya kualitas posisi horizontal pemetaan menggunakan wahana UAV
yang dihasilkan dibandingkan dengan data pengukuran GNSS pada titik
Independent Control Point (ICP).
2. Diketahuinya kualitas posisi vertikal pemetaan menggunakan wahana UAV yang
dihasilkan dibandingkan dengan data pengukuran GNSS pada titik Independent
Control Point (ICP).
3. Diketahui ketelitian kelas kualitas pemetaan menggunakan wahana UAV yang
dihasilkan mengikuti standarisasi pemetaan menurut Peraturan Kepala BIG No
15 tahun 2014.
I.5. Manfaat Penelitian
Setelah diketahui kualitas posisi secara horizontal maupun vertikal dan
tergolong pada skala dan kelas tertentu, maka kegiatan pemetaan menggunakan UAV
dapat diaplikasikan pada pekerjaan – pekerjaan sejenis pada skala tersebut.
I.6. Cakupan Penelitian
Kegiatan penelitan yang dilakukan dengan batasan - batasan antara lain:
1. Platform yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skywalker fixwing
sebagaimana dalam lampiran A.
2. Kamera Sony DSC-QX10 yang memiliki 18,2 MP dengan panjang fokus
f=4,45-44,5 mm sebagaimana dalam lampiran A.
3. GNSS yang digunakan adalah GNSS JAVAD Triumph-1.
4. Hasil pengukuran fotogrametri yang diolah menggunakan metode Structure
from Motion (SfM) pada software Agisoft Photoscan.
5. Kegiatan Quality Control hanya dilakukan pada tahapan input GCP dan
sewaktu analisis ketelitian ICP.
6. Ground Control Point (GCP) dan Independent Control Point (ICP) yang
diukur dengan metode statik selama 60 menit dengan interval 5 detik.
7. Objek penelitian berupa permukaan tanah di daerah Segoroyoso, Bantul
dengan area yang luas (3.330 ha) dengan kondisi terrain yang berbukit.
4
8. Jumlah GCP yang digunakan sejumlah 7 titik dan jumlah ICP yang digunakan
sejumlah 7 titik.
9. Analisis perbandingan secara statistik dengan pengujian hipotesis dengan t
student test.
10. Analisis ketelitian yang dilakukan mengacu pada Peraturan Kepala BIG No 15
Tahun 2014.
I.7. Tinjauan Pustaka
Penelitian terkait metode fotogrametri yang digunakan untuk keperluan
pemetaan topografi dilakukan oleh Usyal, 2015. Penelitian yang dilakukan
menggunakan area yang kecil (5 ha) sebagai objek penelitian dengan data berupa 200
foto udara, hasil akhir penelitian berupa Digital Elevation Model (DEM) yang dibentuk
menggunakan 27 GCP dengan pengukuran GNSS metode Real Time Kinematik (RTK).
Dari DEM yang dihasilkan dilakukan pengujian menggunakan 30 titik cek yang
menghasilkan ketelitian vertikal keseluruhan 6,62 cm dari ketinggian 60 m. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa data yang berasal dari metode UAV fotogrametri
memiliki ketelitian yang sangat mirip dengan data GNSS RTK. Jadi sangat mungkin
untuk menggunakan UAV metode fotogrametri seperti pembuatan peta, survei, dan
beberapa aplikasi teknik lainnya.
Penelitian yang serupa juga dilakukan oleh Hidayat, 2015. Pada penelitian
tersebut membandingkan ketelitian titik koordinat ortomosaik dari foto udara
menggunakan wahana tanpa awak dengan titik koordinat hasil pengukuran gnss.
Penelitian tersebut dilakukan dides Giritarta, Banjarnegara. Dari penelitian tersebut,
nilai pergeseran titik antara titik obyek dalam foto dengan titik jaring kontrol
horizontal pada sumbu X bergeser sejauh 0,025m dan koordinat sumbu Y bergeser
sejauh 0,033m, dengan nilai simpangan baku sebesar 0,0784m.
Berdasarkan pada kegiatan pembuatan peta desa yang dilakukan Darpono, 2017
di Kelurahan Tunjungsekar Kecamatan Lowokwaru Kotamadya Malang dengan luas
area 243 hektar dihasilkan peta orthofoto yang dibuat dengan UAV untuk rencana
penyusunan peta desa dengan skala foto 1:46.500 yang dapat menghasilkan peta
dengan skala 1:9.300 atau 1:10.000. diperoleh hasil RMSEr 0,50 m dan nilai
5
ketelitian (Circular Error) CE90 yaitu nilai ketelitian tersebut dengan tingkat
kepercayaan 90% adalah 0,760 meter.
Pada penelitian ini, prosedur yang digunakan adalah menganalisis pengaruh area
yang luas terhadap pengaruh ketelitian yang dihasilkan dari pemetaan menggunakan
wahana UAV dengan membandingkan Independent Control Point sehingga
menghasilkan ketelitian horizontal dan vertikal pemetaan menggunakan wahana UAV.
I.8. Landasan Teori
I.8.1. Fotogrametri
Fotogrametri merupakan ilmu dan seni pengukuran dan rekonstruksi objek fisik
dan lingkungannya melalui proses pencatatan, pengukuran, dan interpretasi bayangan
fotografis tanpa harus ada kontak langsung dengan objek tersebut pengertian
fotogrametri menurut Habib, 2007. Dalam hal ini berarti fotogrametri dapat menjadi
metode pengumpulan data spasial tanpa melakukan kontak langsung terhadap obyek
yaitu permukaan bumi.
Objek dari fotogrametri adalah permukaan bumi, oleh karena wahana yang
digunakan dalam fotogrametri adalah wahana terbang atau pesawat. Wahana tersebut
dapat juga berupa balon udara ataupun pesawat tanpa awak / Unmanned Aerial
Vehicle. Di era modern ini pesawat tanpa awak menjadi semakin diminati karena biaya
yang murah tanpa mengabaikan ketelitian yang baik.
Menurut (Wolf, 1993) dalam geometri foto vertikal pada saat pemotretan, sudut
sumbu kamera akan mempengaruhi ukuran geometri gambar objek dalam foto. Sumbu
kamera mempengaruhi nilai kesalahan geometri pada foto. Geometri foto dalam
keadaan vertikal sempurna dapat dilihat pada gambar I.1.
6
Gambar .1 Geometri Foto Vertikal (Wolf, 1993)
Gambar I.1 menampilkan geometri foto vertikal. Pada gambar tersebut objek
ABCD pada permukaan bumi diproyeksikan pada sensor kamera a’b’c’d’. Pusat dari
foto (o’) sama dengan pusat dari objek (P) yang ada di permukaan bumi. Dalam hal
ini dapat dikatakan bahwa sumbu kamera vertikal sempurna terhadap permukaan
bumi. Dari gambar tersebut didapatkanlah konsep mengenai skala foto, yang
dinyatakan pada persamaan I.1 :
S =1
𝐻/𝑓=
𝑓
𝐻………………………………………………..….…………………(I.1)
S = Skala
f = Panjang fokus kamera udara
H = Tinggi terbang
Dari setiap foto udara hasil akuisisi data akan dibentuk pertampalan (overlap)
yang merupakan suatu area didalam foto yang terbentuk oleh 2 atau lebih foto udara.
Pekerjaan fotogrametri mensyaratkan adanya pertampalan pada foto udara yang
berdampingan. Pertampalan tersebut mencakup pertampalan dalam satu jalur terbang
(endlap) maupun pertampalan antar jalur terbang (sidelap). Syarat ini harus dipenuhi
untuk menjamin terjadinya pandangan stereoskopis yang digunakan pada pengolahan
foto udara. Kemudian konsep pandangan stereoskopis pada akhirnya dapat
membentuk model 3 dimensi dari permukaan tanah.
I.8.1.1. Orientasi Dalam. Orientasi dalam mengacu pada perspektif geometri dari
kamera. Orientasi dalam memiliki tiga macam komponen yang sering disebut sebagai
unsur orientasi dalam. Ketiga unsur orientasi dalam tersebut adalah (Wong, 1980):
7
1. Panjang fokus terkalibrasi, dinotasikan sebagai (f).
Panjang fokus adalah jarak yang dibentuk antara titik pusat lensa dengan bidang
proyeksi kamera secara tegak lurus. Sementara panjang fokus terkalibrasi
didefinisikan sebagai panjang fokus yang menghasilkan distribusi distorsi radial rata
– rata secara menyeluruh.
2. Posisi titik utama (Principal Point) foto, dinotasikan sebagai (xp dan yp) .
Titik utama adalah titik hasil proyeksi secara tegak lurus dari titik pusat proyeksi
(projection center) pada bidang foto. Posisi titik utama dinyatakan dalam xp dan yp.
3. Karakteristik geometri distorsi lensa.
Distorsi lensa diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu distorsi radial dan
distorsi tangensial. Distorsi radial (δr) menyebabkan sinar datang yang masuk melalui
lensa kamera mengalami deviasi setelah melewati titik pusat proyeksi lensa. Hal ini
terjadi karena komposisi lensa yang tidak sempurna. Akibatnya terjadi pergeseran
bayangan secara radial terhadap titik utama. Distorsi tangensial (δx dan δy)
menyebabkan pergeseran geometrik dari foto dikarenakan terjadi pergeseran vertikal
atau rotasi pada elemen lensa dari susunannya yang sempurna. Distorsi tangensial
mempunyai komponen radial dan tangensial.
I.8.1.2. Pembuatan Foto Stereo.
Foto stereo dibentuk dari dua atau lebih foto tegak yang memiliki obyek yang
sama. Objek diidentifikasikan dengan koordinat foto pada masing masing foto udara
yang kemudian dibawa pada koordinat tanah X, Y dan Z seperti dapat dilihat pada
Gambar I.2. Pada gambar I.2 menyajikan sepasang foto tegak yang bertampalan dan
dipotret dari ketinggian terbang sama besar diatas bidang rujukan.
8
Gambar I.2 Geometri Foto Vertikal (Wolf, 1993)
Gambar I.2 menunjukan suatu objek A tampak masing – masing pada a dan a’
di foto kiri dan foto kanan. Kedudukan planimetrik diatas tanah titik A diatas tanah
dinyatakan dengan koordinat medan XA dan YA. Ketinggian diatas bidang rujukan
dinyatakan sebagai hA. Sistem sumbu medan X Y berasal dari titik utama datum P pada
foto kiri : Sumbu X terletak pada bidang vertikal yang sama dengan sumbu jalur
fotografik x dan x’; dan sumbu Y melaluli titik utama datum pada foto kiri serta tegak
lurus terhadap sumbu X. Menurut definisi menurut (Wolf,1993) tiap pasangan foto
mempunyai sitem koordinat medan yang unik.
I.8.1.2. Orientasi Luar.
Parameter orientasi luar adalah nilai dari posisi dan orientasi kamera untuk setiap
foto. Posisi dari kamera dinyatakan dalam X, Y, Z sementara orientasi dari kamera
dinyatakan dalam (ω, φ, κ). Nilai X, Y, Z berada pada sistem koordinat tanah. Nilai ω
adalah besar perputaran kamera terhadap sumbu X, nilai φ merupakan besar
perputaran kamera terhadap sumbu Y, dan nilai κ merupakan besar perputaran kamera
pada sumbu Z. Nilai ω, φ, κ dinyatakan dalam satuan derajat, radian ataupun gradian.
Parameter orientasi luar adalah produk akhir dari proses triangulasi udara melalui
metode Bundle Adjustment.
I.8.1.3. Triangulasi Udara. Triangulasi udara merupakan suatu kegiatan dalam
proses fotogrametri berupa perapatan titik kontrol tanah (TKT) diseluruh jalur terbang.
Dalam penelitian ini dikarenakan area pemetaan yang luas, maka diperlukan banyak
TKT dimana hal ini dapat mengakibatkan pekerjaan menjadi tidak ekonomis karena
9
harus membangun banyak TKT. Permasalahan ini dapat diselesaikan dengan prinsip
triangulasi udara yaitu dengan membuat titik ikat atau Tie Point di foto. Tie Point
diekstrak dari foto udara dalam sistem koordinat foto yang kemudian dibawa kedalam
sistem koordinat tanah. Hasil dari proses Triangulasi Udara adalah nilai koordinat
tanah dari setiap titik Tie Points serta nilai parameter orientasi luar.
Keuntungan menggunakan Triangulasi Udara adalah (Wolf, 1993):
a. mengurangi resiko pekerjaan akibat cuaca yang buruk karena sebagian besar
pekerjaan dilakukan tidak di lapangan,
b. masalah perizinan dapat dikurangi,
c. dapat dilakukan pembuatan titik padamedan yang sulit,
d. ketelitian titik kontrol hasil pengukuran di medan yang diperlukan dalam proses
triangulasi udara dibenarkan selama proses berlangsung, sehingga kesalahan
pada titik kontrol setelah kompilasi dapat dihilangkan.
I.8.1.4. Foto Udara Format Kecil. Metode fotogrametri menggunakan pesawat
tanpa awak tergolong dalam Foto Udara Format Kecil atau Small Format Aerial
Photogrametry (SFAP) yang merupakan metode low-cost photogrametry yang mudah
dan dapat dilakukan oleh siapapun karena biaya yang murah.
Menurut Hofstee, 1984 pada dasarnya foto udara format kecil sangat tepat
diterapkan pada lokasi yang relatif kecil, yang tidak memerlukan pemetaan yang
presisi tetapi informasi tematik sangat diperlukan, karena dapat menggantikan foto
udara format besar jika tidak terdapat waktu dan uang yang cukup.Kamera yang
digunakan dalam foto udara format kecil bukan merupakan kamera metrik melainkan
kamera fotografi profesional atau kamera amatir yang berkualitas baik. Karena itu
kamera seperti ini tidak diharapkan memiliki kalibrasi.
I.8.2. Wahana Udara Tanpa Awak
Wahana Udara Tanpa Awak (WUTA) atau dikenal juga dengan Unmanned
Aerial Vehicle / UAV adalah istilah yang digunakan untuk merepresentasikan benda
terbang dengan suplai daya sendiri yang dapat digunakan berulang kali tanpa
dioperasikan oleh manusia secara langsung di dalamnya. Pada dasarnya UAV adalah
pesawat yang ukurannya sama atau lebih kecil dibandingkan dengan pesawat-pesawat
10
yang berawak. Sehingga analisis yang dilakukan pada pesawat berawak dapat
diterapkan pada UAV. (Nurdien, 2012)
Dalam pemetaan fotogrametri UAV termasuk dalam jenis fotogrametri sistem
non standard yaitu sistem pemetaan fotogrametri yang menggunakan wahana pesawat
kecil tanpa awak, dengan kamera non metrik serta disebut juga Foto Udara Format
Kecil (FUFK) karena tidak menggunakan kamera metrik dan pemrosesan data dengan
metode Structure From Motion yang otomatis. (Habib, 2007)
UAV menurut (Setyasaputra, 2014) memiliki beberapa tipe yaitu :
1. Tipe fixed wing yaitu WUTA dengan efisiensi dan kecepatan yang baik, namun
kurang dalam hal manuver terbang.
2. Tipe rotary wing yaitu WUTA dengan evisiensi rendah tetapi manuver terbang
bagus.
3. Tipe glider yaitu WUTA yang tidak memerlukan tenaga dan menggunakan
daya angkat sebagai penggerak.
Sedangkan yang digunakan dalam penelitian ini bertipe fixed wing.
I.8.3. Lensa dan Kamera
Lensa adalah alat optik yang memiliki nilai simetri axial (kelengkungan yang
hampir datar) yang sempurna atau mendekati sempurna, dan dapat meneruskan atau
memantulkan cahaya, mengkonversi dan diversi gelombang. Dalam pemetaan
fotogrametri dikenal 2 jenis kamera yaitu kamera metrik dan kamera non metrik.
Kamera metrik merupakan kamera yang dirancang khusus untuk keperluan
fotogrametri. Kamera metrik yang umum digunakan memiliki format 23mm x 23mm,
dibuat stabil dan dikalibrasi secara menyeluruh sebelum digunakan. Nilai nilai
kalibrasi seperti panjang fokus, distorsi radial lensa serta koordinat titik utama foto
diketahui dan dapat digunakan dalam periode lama. Kamera non metrik merupakan
kamera yang dirancang untuk keperluan foto profesional maupun amatir, sehingga
lebih diperhatikan kualitas foto daripada kualitas geometrinya.
Jenis format kamera dipengaruhi nilai fokus lensa (jarak pusat lensa menuju
bidang fokus), untuk pemotretan udara nilai fokus adalah fixed (tidak dapat berubah)
berbeda dengan kamera fotografi yang digunakan yang dapat diubah tergantung jarak
objek. Selain itu sudut liputan (field of view) yang merupakan sudut kerucut berkas-
11
berkas sinar yang datang dari daratan melewati lensa, semakin lebar sudut liputan
maka fokus lensa akan berkurang. Sudut sempit cocok digunakan untuk daerah
bergunung karena pergeseran relief dipusat lensa/nadir (principal point) relatif
minimum, sedangkan kamera bersudut lebar cocok untuk daerah datar karena
keuntungan ekstra coverage dari sudut yang lebar (Wolf, 1993).
I.8.3.1. Kalibrasi Kamera Otomatis.
Prosedur kalibrasi kamera bertujuan untuk membuat kamera dapat
menggambarkan jalur sinar cahaya yang benar. Parameter yang digunakan untuk
karakterisasi ini disebut parameter orientasi dalam. Parameter utamanya adalah focal
length lensa dan lokasi titik simetri utama. Banyak pendekatan untuk kalibrasi kamera.
Dengan semakin populernya bidang Computer Vision sebagai bidang penelitian,
metode metode tersebut semakin meningkat.
Kalibrasi kamera dengan metode self-calibration menggunakan prinsip bundle
adjustment dengan model collinear, sehingga dapat membentuk model persamaan
sebagai berikut:
𝑥 − 𝑥𝑝 = −𝑓(𝑚11(𝑋−𝑋𝑐)+𝑚12(𝑌−𝑌𝑐)+𝑚13(𝑍−𝑍𝑐)
(𝑚31(𝑋−𝑋𝑐)+𝑚32(𝑌−𝑌𝑐)+𝑚33(𝑍−𝑍𝑐) .........................................................(I.2)
𝑦 − 𝑦𝑝 = −𝑓(𝑚21(𝑋−𝑋𝑐)+𝑚22(𝑌−𝑌𝑐)+𝑚23(𝑍−𝑍𝑐)
(𝑚31(𝑋−𝑋𝑐)+𝑚32(𝑌− 𝑌𝑐)+𝑚33(𝑍−𝑍𝑐).........................................................(I.3)
Keterangan :
x,y : Koordinat objek pada sistem koordinat foto
𝑥𝑝, 𝑦𝑝 : Koordinat principal point i pada sistem koordinat foto
f : focal length
M : Matriks rotasi
Matriks rotasi didefinisikan sebagai [
𝑚11 𝑚12 𝑚13
𝑚21 𝑚22 𝑚23
𝑚31 𝑚32 𝑚33
],
Dengan komponen masing masing adalah sebagai berikut :
𝑀 = 𝑀κ𝑀 φ𝑀ω............................................................................(I.4)
𝑚11 = cos φ ∗ cos κ
𝑚12 = sin ω ∗ sin φ ∗ cos κ + cos ω ∗ sin κ
𝑚13 = − cos ω ∗ sin φ ∗ cos κ + sin ω ∗ sin κ
𝑚21 = − cos φ ∗ sin κ
𝑚22 = − sin ω ∗ sin φ ∗ sin κ + cos ω ∗ cos κ
12
𝑚23 = cos ω ∗ sin φ ∗ cos κ + sin ω ∗ cos κ
𝑚31 = sin φ
𝑚32 = − sin ω ∗ cos φ
𝑚33 = cos ω ∗ cos φ
dengan adanya komponen distorsi kamera maka persamaan diatas perlu dilakukan
penambahan komponen distorsi (𝛿) sebagai berikut :
Komponen distorsi radial 𝛿𝑥1 = 𝑥𝛿𝑟
𝑟 .................................................(I.4)
𝛿𝑦1 = 𝑦𝛿𝑟
𝑟 .................................................(I.5)
Distorsi radial dapat di representasikan sebagai persamaan polinomial sebagai
berikut :
𝛿𝑟 = 𝐾1𝑟3 + 𝐾2𝑟5 + 𝐾3𝑟7 + ⋯ ..............................................................(I.6)
Dimana K’s adalah koefisien distorsi radial, dan 𝛿𝑟 dalam satuan mikrometer.
𝑟2 = (𝑥 − 𝑥𝑝)2 + (𝑦 − 𝑦𝑝)2...................................................................(I.7)
Dengan r, x, xp, y dan yp dalam satuan milimeter.
Komponen distorsi decentering 𝛿𝑥2 = P1 (r2 + 2x2) + 2P2xy .......................(I.8)
𝛿𝑦2 = 2P1xy + P2 (r2 + 2y2) .......................(I.9)
Komponen distorsi ketiga, khusus untuk kamera digital yang memperhitungkan
distorsi skala ukuran piksel pada arah x dan y juga digabungkan.
𝛿𝑥3= B1x + B2y.........................................(I.10)
Dengan melakukan substitusi menggunakan persamaan distorsi (I.4), (I.5), (I.8),
(I.9), (I.10), maka didapatkan persamaan akhir sebagai berikut :
𝑥 − 𝑥𝑝 = −𝑓(𝑚11(𝑋−𝑋𝑐)+𝑚12(𝑌−𝑌𝑐)+𝑚13(𝑍−𝑍𝑐)
(𝑚31(𝑋−𝑋𝑐)+𝑚32(𝑌−𝑌𝑐)+𝑚33(𝑍−𝑍𝑐) + 𝛿𝑥1 + 𝛿𝑥2 + 𝛿𝑥3......................(I.11)
𝑦 − 𝑦𝑝 = −𝑓(𝑚21(𝑋−𝑋𝑐)+𝑚22(𝑌−𝑌𝑐)+𝑚23(𝑍−𝑍𝑐)
(𝑚31(𝑋−𝑋𝑐)+𝑚32(𝑌− 𝑌𝑐)+𝑚33(𝑍−𝑍𝑐) + 𝛿𝑦1 + 𝛿𝑦2..................................(I.12)
I.8.4. Bundle Block Adjustment
Bundle Adjustment adalah metode perataan yang digunakan dalam kegiatan
Triangulasi Udara. Saat ini hampir semua perangkat lunak fotogrametri menerapkan
Bundle Adjustment dalam pemrosesan datanya. Bundle Adjustment memberikan hasil
yang lebih akurat namun membutuhkan proses hitungan yang rumit. Proses Bundle
Adjustment menghasilkan dua macam data:
13
1. parameter orientasi luar (ω, φ, κ, X0, Y0, Z0) untuk masing – masing foto,
2. koordinat tanah untuk setiap titik Tie Point.
Bundle Adjustment menggunakan persamaan kolinier yang digunakan untuk
menyatakan hubungan antara obyek di foto dengan obyek di tanah. Prinsip persamaan
kolinier berdasar pada kondisi kesegarisan (kolinieritas) antara titik obyek di tanah dan
di foto. Persamaan ini menyatakan titik obyek di tanah, pusat proyeksi, dan titik obyek
di foto berada dalam satu garis lurus. Kondisi segaris ini banyak digunakan untuk
menyelesaikan persoalan fotogrametri.
Hubungan proyeksi antara titik di sistem koordinat foto dengan titik di sistem
koordinat tanah dapat digambarkan seperti gambar dibawah :
Gambar I.3 Hubungan antara obyek di foto dengan di tanah
Gambar I.3. menunjukan sistem koordinat X, Y, Z merupakan sistem koordinat
tanah. XL, YL, ZL menunjukkan koordinat proyeksi pusat kamera. XA, YA, ZA
menunjukkan koordinat titik A. Sistem koordinat x’, y’, z’ merupakan sistem
koordinat foto yang sudah mengalami rotasi sebesar ω, φ, κ dari sistem koordinat foto
aslinya pada saat pemotretan (x, y, z).
Dengan metode bundle-block adjustment kesalahan yang terjadi pada saat
pengukuran baik dari proses pengikatan menggunakan tie point dan juga GCP
didistribusikan secara merata keseluruh stereo foto sehingga tingkat kesalahannya
dapat diminalisir. Metode bundle-block adjustment dapat menghitung seluruh
parameter dalam satu solusi tunggal (Aber, 2010). Prinsip triangulasi udara dengan
bundle-block adjustment dapat dilihat pada Gambar I.4.
14
Gambar I.4 Prinsip Bundle Block Adjustment (Aber, 2010)
Berdasarkan Gambar I.4, penyatuan foto berdasarkan posisi tie point atau titik
ikat pada masing masing foto. Penentuan titik ikat dapat dilakukan secara manual
maupun otomatis. Foto stereo yang terbentuk kemudian diikatkan pada koordinat GCP
yang terlihat di foto sehingga koordinat foto pada tie point kemudian dibawa menjadi
koordinat tanah. Nilai kesalahan pada triangulasi udara pada koordinat X dan Y kecil
sedangkan untuk nilai Z lebih besar. Namun, secara umum penggunaan metode
bundle-block adjustment menghasilkan nilai kesalahan yang minimum.
I.8.5. Structure From Motion
Structure from motion (SfM) adalah suatu metode memproyeksikan koordinat
foto yang mengalami rotasi dan proyeksi sehingga menjadi koordinat tanah yang
kemudian direpresentasikan menjadi bentuk 3 dimensi sehingga menjadi sebuah
model permukaan digital berdasarkan susunan foto yang telah mengalami ekstraksi
keypoint. Hasil akhir dari stucture from motion merupakan koordinat 3D absolut yang
disebut point cloud yang merupakan titik yang memiliki koordinat yang berfungsi
untuk merepresentasikan bentuk permukaan bumi.
Point cloud didapatkan mengikuti metode direct georeferencing menggunakan
perkiraan posisi kamera yang diketahui koordinatnya melalui Ground Control Point
(GCP). Point cloud inilah yang selanjutnya digunakan untuk membentuk Digital
Surface Model (Turner, 2012). Cara kerja SfM menurut (Westoby, 2012) meliputi
langkah-langkah seperti berikut:
15
1. Akuisisi foto
Proses SfM membentuk titik 3D objek dari banyaknya foto, sehingga akuisisi
foto terhadap objek harus dari banyak sudut pengambilan. Banyaknya foto
terhadap objek akan mempengaruhi resolusi spasial yang dihasilkan.
2. Ekstraksi Keypoint
Keypoint diekstraksi secara otomatis berdasarkan keunikan dari nilai pixel
objek. Banyaknya keypoint didasarkan pada tekstur dan resolusi gambar.
Semakin baik tekstur dan semakin tinggi resolusi akan menghasilkan banyak
keypoint.
3. Rekonstruksi 3D
Rekonstruksi 3D diperoleh dari proses bundle adjustment dari keypoint yang
telah digabung. Hasil dari proses bundle adjustment menghasilkan sparse point
cloud. Penggabungan keypoint dilakukan dengan algoritma approximate
nearest neighbor. Algoritma approximate nearest neighbor menggabungkan
keypoint berdasarkan jarak antara minimal dua keypoint berdekatan.
4. Post-Processing
Post-processing yang dilakukan yaitu trasnformasi koordinat menggunakan
data dari pengukuran GCP agar diperoleh koordinat absolut point 3D pada
permukaan bumi.
I.8.6. Digital Elevation Model (DEM)
Digital Elevation Model menurut (Petrie, 1990) merupakan representasi statistik
permukaan tanah yang kontinyudari titik-titik yang diketahui koordinat X, Y, dan Z
nya pada suatu sistem koordinat. Dalam segi bentuk DEM bisa dibentuk sebagai
format raster maupun format vektor. Untuk memperoleh data DEM dapat dilakukan
pengukuran langsung yang menghasilkan data vektor maupun penginderaan jauh yang
menghasilkan data raster. DEM dalam penerapannya dapat menjadi representasi
permukaan tanah untuk kemudian dilaksanakan analisa lebih lanjut. Berdasarkan jenis,
DEM dibagi menjadi 2 jenis yaitu Digital Surface Model dan Digital Terrain Model.
Digital Surface Model atau disebut juga model permukaan digital adalah bentuk
representasi 3D dari objek di permukaan tanah (termasuk bangunan dan pohon di atas
16
tanah). Model permukaan digital didapatkan dari ektraksi informasi tinggi dari data
raster maupun dari data pengukuran langsung.
Digital Terrain Model atau disebut juga model terain digital adalah bentuk
representasi titik-titik tinggi di atas permukaan tanah (tanpa mengandung bangunan
dan pohon yang menutupi tanah). Model terain digital didapatkan dengan melakukan
proses klasifikasi terain pada model permukaan digital atau digital surface model
(DSM). Menurut (Passini, 2015) ada beberapa metode dalam proses filtering DEM,
yaitu :
1. Splines Approximation
2. Shift Invariant Filters
3. Linear Prediction
4. Morphological Filter
Proses filter yang paling sering digunakan yaitu Morphological Filter.
Morphological filter dengan metode Slope-Based Filter. Slope-Based Filter
didasarkan pada parameter kemerengan permukaan bumi dan radius area dari objek
yang akan dibuang dari objek yang dianggap sebagai permukaan bumi (Gambar I.5).
Kedua parameter digunakan dalam mendefenisikan DSM. Hasil filter dari proses ini
cukup baik.
Gambar I.5 Prinsip Slope-Based Filter
Kekurangan dari proses ini yaitu nilai kedua parameter tidak dapat digunakan
pada semua area permukaan. Permukaan yang berbeda seperti lereng dan bukit
memiliki kemiringan yang berbeda dan luasan objek yang dibuang berbeda. Perbedaan
17
permukaan mengakibatkan tidak adanya nilai unik untuk kedua parameter dalam
proses filter area yang berbeda (Wichmann, 2012).
I.8.7. Uji Ketelitian Horizontal dan Vertikal hasil Pemetaan Topogarfi
Dalam usaha mengetahui hasil analisis pemetaan menggunakan wahana UAV
pada area luas tergolong dalam skala peta tertentu dan pada kelas tertentu, maka
digunakan acuan ketelitian peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) yang dikeluarkan melalui
Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) No 15 Tahun 2014 tentang
ketelitian peta RBI, sebagaimana diuraikan pada tabel I.1.
Table I.1 Kelas Ketelitian Peta Rupa Bumi oleh BIG
Nilai Ketelitian disetiap kelas mengikuti Tabel I.2, mengacu pada ketelitian
horizontal dan vertikal maka dapat ditentukan kelas ketelitian peta rupa bumi.
Table I.2 Ketentuan ketelitian Geometri Berdasarkan Kelas
Nilai ketelitian pada tabel I.2 adalah nilai Circural Error (CE) 90 untuk
ketelitian horizontal dan Linear Error (LE) 90 untuk ketelitian vertikal. Berdasarkan
USNMAS (United States National Map Accuracy Standards) nilai CE90 dan LE90
Horizontal
(CE90
dalam m)
Vertikal
(LE90
dalam m)
Horizontal
(CE90
dalam m)
Vertikal
(LE90
dalam m)
Horizontal
(CE90
dalam m)
Vertikal
(LE90
dalam m)
1 1;1.000.000 400 200 200 300 300 500 500
2 1;500.000 200 100 100 150 150 250 250
3 1;250.000 100 50 50 75 75 125 125
4 1;100.000 40 20 20 30 30 50 50
5 1;50.000 20 20 20 15 15 25 25
6 1;25.000 10 5 5 7.5 7.5 12.5 12.5
7 1;10.000 4 2 2 3 3 5 5
8 1;5.000 2 1 1 1.5 1.5 2.5 2.5
9 1;2.500 1 0.5 0.5 0.75 0.75 1.25 1.25
10 1;1.000 0.4 0.2 0.2 0.3 0.3 0.5 0.5
No Skala
Interval
Kontur
(m)
Ketelitian Peta Rupa Bumi
Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3
0.3 mm x bilangan skala
1.5 x ketelitian kelas 1
kelas 2 Kelas 3
0.5 mm x bilangan skala
2.5 x ketelitian kelas 1
Ketelitian
Horizontal
Vertikal
Kelas 1
0.2 mm x bilangan skala
0.5 x interval skala
18
dapat diperoleh mengikuti persamaan I.13 dan I.14 dengan mengacu kepada standar
sebagai berikut:
CE90 = 1,5175 x RMSEr…………………………………………(I.13)
LE90 = 1,6499 x RMSEz…………………………………………(I.14)
Keterangan :
RMSEr : Root Mean Square Error pada posisi x dan y (horizontal)
RMSEz : Root Mean Square Error pada posisi z (vertikal)
Uji ketelitian posisi dilakukan hingga mendapatkan tingkat kepercayaan 90%
CE dan LE. Jika hendak dilakukan uji ketelitan posisi maka suatu objek harus
memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Dapat diidentifikasi dengan jelas di lapangan dan di peta yang akan diuji.
2. Merupakan objek yang relatif tetap tidak berubah bentuk dalam jangka waktu
yang singkat.
3. Memiliki sebaran yang merata di seluruh area yang akan diuji.
Pengujian ketelitian posisi mengacu pada perbedaan koordinat (X,Y,Z) antara
ICP pada ortomosaik dan DTM dengan ICP hasil ukuran GNSS. Pada pemetaan dua
dimensi yang perlu diperhitungkan adalah selisih koordinat (X,Y) ICP pada
ortomosaik dan ICP hasil ukuran GNSS. Analisis kualitas posisi menggunakan root
mean square error (RMSE). RMSE digunakan untuk menggambarkan kualitas posisi
meliputi kesalahan random dan sistematik. Nilai RMSE diperoleh melalui persamaan
I.15, persamaan I.16 dan persamaan I.17.
nDRMSE horizontalh /2 ……………………………………………………(I.15)
222
yx DDD ………………………………...............………………….(I.16)
n
ZzRMSE cekdata
vertikalh
2)( ………………………………………….....(I.17)
Keterangan :
n = Jumlah total pengecekan pada peta
D = Selisih antara koordinat yang diukur dilapangan dengan koordinat di peta
x = Nilai koordinat pada sumbu X
19
y = Nilai koordinat pada sumbu Y
z = Nilai koordinat pada sumbu Z
Nilai CE90 dan LE90 kemudian dihitung dengan persamaan I.13 dan I.14 kemudian
nilai CE90 dan LE90 akan disesuaikan dengan kelas peta pada skala yang dipilih.
1.8.8.Uji Hipotesis
Uji statistik yang digunakan untuk menguji suatu hipotesis dua sampel adalah
uji-t sepihak (one tail test) dengan tingkat kepercayaan 95% atau memiliki taraf
signifikansi (α) 5%. Uji hipotesis digunakan untuk menguji rata – rata sampel terhadap
nilai dianggap benar. Dalam hal ini digunakan selisih nilai koordinat ICP ortomosaik
dan nilai koordinat ICP DTM dengan nilai koordinat ICP hasil ukuran GNSS
distribusi t digunakan untuk membangun tes ini. Hipotesis nol untuk tes ini dapat
mengambil dua bentuk: satu dan dua tes ekor. Dalam uji satu ekor perhatiannya adalah
apakah mean sampel secara statistik lebih besar atau kurang dari mean populasi.
(Ghilani, 2010).
Dalam penelitian ini digunakan hipotesis :
Ho : 𝑡 ≤ 𝑡𝛼/2
Ha : 𝑡 > 𝑡𝛼/2
Dengan dilakukan uji t menggunakan persamaan I.16 :
𝑡 =𝑦 ̅− 𝜇
𝑆 / √𝑛 ..................................................................................................(I.18)
Keterangan :
𝑦 ̅ = Rata – rata selisih ICP GNSS dan ICP Ortomosaik atau DTM
𝜇 = Nilai selisih ICP GNSS dan ICP Ortomosaik atau DTM seharusnya yaitu
0 atau dapat dikatakan tidak memiliki perbedaan
S = Nilai simpangan baku rata – rata
n = jumlah sampel yaitu 7
Sehingga Ho akan diterima jika nilai rata rata (�̅�) berada pada 𝑡 ≤ 𝑡𝛼/2 , dan jika Ho
tidak berada pada kondisi tersebut maka dinyatakan Ho ditolak dan Ha diterima.
20
I.9. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah pemanfaatan metode fotogrametri
dengan wahana UAV pada area yang luas akan menurunkan kualitas posisinya, baik
pada koordinat X dan Y maupun Z. Secara statistik akan diketahui kualitas geometri
ICP hasil pengukuran metode fotogrametri dengan wahana UAV untuk keperluan
pemetaan menggunakan wahana UAV pada area yang luas akan bisa dikatakan berbeda
secara signifikan dibandingkan dengan ICP hasil pengukuran survei GNSS pemetaan
menggunakan wahana UAV pada area yang luas dapat masuk pada ketelitian skala
1:10.000 kelas 2.