BAB 2 LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-2-00188-DI...
Transcript of BAB 2 LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-2-00188-DI...
8
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. Tinjauan Umum
2.1.1 Definisi Teater
Teater berasal dari bahasa Yunani kuno θέατρον (théatron, “a place for
viewing”) dan θεάοµαι (theáomai, “to see", "to watch", "to observe”). Teater
merupakan suatu bentuk kolaboratif dari seni murni yang menggunakan
penampilan seniman atau pemain secara langsung untuk menyajikan pengalaman
peristiwa nyata maupun fiksi kepada penonton pada tempat tertentu. Para
pemain dapat mengkomunikasikan pengalaman ini kepada penonton melalui
gerakan, ucapan, mimik, musik, lagu, atau tarian. Elemen-elemen desain dan tata
panggung digunakan untuk menghadirkan latar yang mendekati nyata demi
tercapainya pengalaman estetis saat menonton pertunjukan.
Menurut kamus online Merriam-Webster, kata theatre memiliki 2 definisi
utama, yakni teater sebagai sebuah bentuk ekspresi seni pertunjukan itu sendiri
(adjective; kata sifat); dan teater sebagai suatu ruang untuk mementaskan seni
pertujukan (noun; kata benda).
Berdasarkan artikel Regina Alsian dalam blog Teater 35 (2009), secara
etimologis teater adalah gedung pertunjukan atau auditorium. Dalam arti luas,
teater berarti segala bentuk tontonan yang dipertunjukan di depan orang banyak.
Dalam arti sempit, teater adalah drama, kisah hidup dan kehidupan manusia
yang diceritakan di atas pentas dengan media percakapan, gerak dan laku
9
didasarkan pada naskah yang tertulis ditunjang oleh dekorasi, musik, nyanyian,
tarian, dsb.
Dari berbagai sumber tersebut, dapat disimpulkan bahwa gedung
pertunjukan, atau dalam bahasa Inggris lebih sering disebut dengan theatre,
merupakan sebuah tempat di mana para seniman mempertunjukan karya seninya
yang memiliki unsur audio-visual, berupa gerakan yang bisa dilihat atau ditonton
dan suara yag bisa didengar, baik musik maupun vokal.
2.1.2 Sejarah Umum
Pada mulanya, pertunjukan seni yang berkembang di masyarakat biasa
dipentaskan di mana saja. Tidak ada tempat yang difungsikan secara khusus
sebagai ruang pertunjukan sebagaimana yang ada pada masa sekarang ini.
Pertunjukan yang ditambilkan pun masih berhubungan dengan adat istiadat dan
tradisi dari penduduk setempat, seperti upacara adat yang berisi tari-tarian dan
nyanyian yang dipersembahkan untuk dewa-dewi. Pertunjukan bisa
dilangsungkan di tempat terbuka seperti lahan kosong, panggung terbuka,
amphitheatre, bahkan taman. Di masa lampau, pembangunan gedung
pertunjukan terfokus pada pembuatan panggung yang dapat memberikan
pengalaman visual dan akustik terbaik untuk para penonton.
Dalam bukunya yang berjudul Construction and Design Manual, Theatres
and Concert Halls, Brigit Scmolke menjelaskan dengan detail mengenai sejarah
perkembangan arsitektur teater pada dunia barat.
A. Teater Masa Yunani Kuno
Belum diketahui secara pasti bagaimana arsitektur teater Yunani bisa
muncul di sekitar akhir abad 6SM. The Dyonisian Mysteries, yang biasa
10
dirayakan di dalam kompleks kuil, ditinjau secara umum sebagai asal
muasal drama. Teater Yunani Kuno biasa ditampilkan di luar kota pada lahan
yang miring, di mana penontonnya juga terlibat dalam prosesi. Setelah masa
itu, berkembang 2 genre pertunjukan, yakni teater dan drama. Pertunjukan
yang semula berupa perayaan, perlahan mulai dikompetisikan di dalam
komplek teater awal ini.
Gambar 2.1 Teater di Epidaurus
Sumber : tours.keytours.gr
Gambar 2.2 Teater Epidaurus, ground plan
Sumber : www.whitman.edu
Pada peiode Hellenistic, bangunan-bangunan monumental telah
didirikan, begitu juga dengan gedung teater yang baik panggung maupun
kursinya terbuat dari batu. Ukuran gedung teater pada masa itu sangatlah
besar, dapat menampung 13.000 hingga 17.000 penonton. Hal ini
dikarenakan pertunjukan teater tidak diadakan setiap hari atau dalam jangka
waktu yang dekat, hanya dilakukan beberapa hari dalam setahun, sehingga
11
menarik minat penonton yang datang dari seluruh penjuru negeri.
B. Teater Masa Romawi
Pada akhir abad 2SM, seni pertunjukan Yunani mulai mempengaruhi
bangsa Romawi dan desain panggung mereka. Bangsa Romawi membangun
gedung teater mereka di dalam kota pada lahan terbuka yang luas.
Ukurannya tidak jauh berbeda dengan teater buatan Yunani, dengan
kapasitas 17.500 penonton. Perbedaan lain dengan teater Yunani adalah
kursi dari teater bangsa Romawi dilengkapi dengan kayu penyangga.
Panggung Romawi jauh diperlebar dengan sehingga ruang auditorium dan
panggung mampu mencapai kesatuan spasial. Ketinggian panggung lebih
rendah dibandingkan dengan ketinggian panggung Yunani. Teater Romawi
memiliki skene, dinding latar dari batu yang berada di belakang panggung.
Gambar 2.3 Teater di Pompeii
Sumber : www.walkersworld.com
Teater pada masa lampau sangat mengandalkan pencahayaan alami,
berbeda dengan teater pada masa sekarang yang menggunakan pencahayaan
buatan, karena pencahayaan alami lebih cepat membuat mata lelah. Perlu
diingat bahwa aktor pada masa lampau menggunakan topeng, gerak tubuh
yang sedehana, dan menggunakan boddy padding. Hal demikian dilakukan
untuk mempermudah pandangan penonton dan penyampaian pesan dari
aktor kepada penonton yang jumlahnya bisa belasan ribu orang.
12
C. Teater Masa Abad Pertengahan
Abad pertengahan dimulai ketika kekaisaran Romawi runtuh dan gereja
menjadi penguasa Eropa pada masa itu. Gereja melarang pertunjukan
-pertunjukan yang tidak berhubungan dengan agama. Di saat yang
bersamaan kelompok-kelompok pertunjukan jalanan mulai bermunculan,
seperti penari, penyanyi, pemakan api, dan komedian.
Pada abad ke-11M, pertunjukan drama mulai masuk ke dalam gereja.
Genre yang berbeda kerap kali tampil bergantian sehingga memperkaya
pertunjukan, sehingga tidak ada keseragaman komposisi. Pada abad ke-16M,
kelompok teater profesional menampilkan karya merekan di pekarangan
sebuah penginapan dengan galeri sebagai area khusus untuk penonton.
Penampilan pertama yang memberikan dampak besar terhadap
perkembangan teater, termasuk Globe Theatre, merupakan hasil dari upaya
James Burbage selama periode Elizabethan, tahun 1576. Pada masa ini tidak
ada tirai maupun backdrop yang digunakan. Dekorasi yang digunakan hanya
sebatas properti panggung dan kostum pemain saja.
D. The Globe Theatre
Di Inggris, pengaruh kebudayaan kuno telah lama ditinggalkan. Di
Globe Theatre di London, William Shakespeare mementaskan drama-
dramanya pada panggung berbentuk cekung. Pada masa Shakespeare, teater
berlokasi di luar kota dan dengan demikian juga berada di luar lingkup para
pemimpin kota yang sudah lama berusaha untuk menegakkan larangan
pertunjukan publik.
Sekitar 3.000 penonton dari berbagai kelas sosial datang untuk
menyaksikan pertunjukan di gedung tanpa atap yang mengandalkan cahaya
13
matahari sebagai sumber penerangan. Penonton yang lebih kaya duduk di
area balkon, sedangkan yang miskin berdiri di tengah-tengah bangunan.
Panggung menjorok jauh ke tengah, sehinggah sekuruh penonton berjarak
relatif dekat dengan aktor.
Gambar 2.4 The Globe Theatre di London
Sumber : www.webbaviation.co.uk
Gambar 2.5 The Globe Theatre, England
Sumber : wikis.engrade.com
E. Opera di Italia
Tahun 1637, Republic of Venice menyelesaikan pembangunan gedung
opera pertama, memperkenalkan bentuk baru auditorium, berbentuk silindris
dan kotak berbentuk sarang lebah yang menjadi cikal bakal class-oriented
theatre. Area berdiri terdapat di lantai dasar yang disediakan untuk umum,
14
dan kotak balkon yang disediakan untuk para bangsawan.
Di Jerman, dibuat sebuah gedung khusus untuk konser pada akhir abad
yang sama. Secara bersamaan, dibangun pula gedung dengan tujuan yang
sama di Italia dan Perancis. Pertunjukan musik sudah hadir di Eropa sejak
lama, biasa diadakan di ballroom atau tempat lainnya yang bukan berfungsi
utama sebagai tempat konser.
Di akhir abad ke-18M, pembangunan gedung opera menyebar ke
seluruh penjuru Eropa. Desain auditorium Italia mencitrakan kombinasi
ideal antara kenyamanan visual dan akustik. Gaya desain ini mencapai
puncaknya pada pembangunan teater La Scala di Milan pada tahun 1778.
Pada masa itu gedung teater telah menjadi tempat pertemuan baru bagi
masyarakat, dan menjadi karakter budaya baru yang unik bagi penduduk
Eropa dan negara-negara yang terpengaruh budaya Eropa.
Gambar 2.6 Teater La Scala, Milan Gambar 2.7 Interior Teater La Scala, Milan
Sumber : www.globeimages.net Sumber : www.britannica.com
F. The Festival Theatre in Bayreuth
Di awal tahun 1872, Richard Wagner mendesain gedung teater festival
di kota Beirut yang akan dibuka pada tahun 1876. Banyak perubahan
dilakukan Wagner untuk desain gedung pertunjukan yang berdampak hingga
sekarang. Tujuannya adalah untuk memberikan pandangan yang baik kepada
setiap penonton dan menata kursi penonton pada sikap keadilan sosial,
socially equitable manner.
15
Panggung dibuat hanya menggunakan struktur kayu dan untuk
memberikan jarak pandang yang sama bagi setiap penonton. Bagian depan
panggung terdiri dari 2 lengkung proscenium yang sama besar dengan
internal taper. Hal ini menciptakan sebuah ilusi optik dengan maksud
menghilangkan kesan jarak,yang disengaja. Penonton juga dibuat duduk
dalam kelompok kecil. Secara keseluruhan, 1.645 penonton dapat
ditampung dalam auditorium ini.
Pemain orkestra yang jumlahnya sangat banyak membuat Wagner
menambah area. Orchestra pit dibuat besar dan masuk ke dalam di bawah
panggung dan dapat menampung 130 pemusik. Gagasan ini membuat
orkestra tidak terlihat karena menurutnya orkestra menjadi pengalih
perhatian penonton dari pertunjukan. Orchestra pit menjadi penghubung
antara aktor dengan penonton. Secara akustik, konstruksi seperti ini
memudahkan musik bergabung dengan latar dan langsung berkaitan dengan
panggung. Pada teater Wagner ini, gelombang suara memiliki waktu
dengung yang relatif panjang yang mampu menghasilkan kolaborasi suara
yang baik.
G. Teater di Abad ke-19
Pada abad ke-19, teater dengan konsep tradisional dan Wagnerian hadir
berdampingan. The Prinzgntntheater di Munich, mengambil inspirasi dari
teater Wagner di Beirut. Meskipun memiliki ukuran yang identik, teater ini
memiliki kapasitas kursi yang lebih sedikit, yakni 1.106 penonton. Hal ini
disebabkan ukuran kursi yang diperbesar dari 52x70cm menjadi 60x80cm.
Keuntungan akustik lainya adalah dinding pemencar berbentuk irisan yang
bukan berfungsi untuk menyebar gelombang suara, seperti yang di Beirut,
16
namun untuk memfokuskan gelombang suara.
Gambar 2.8 Interior Teater Wagner, Beirut
Sumber : continuo.wordpress.com
Gambar 2.9 Tata Letak Kursi di Teater Wagner, Beirut
Sumber : auralarchitectures.blogspot.com
Permasalahan desain yang utama bagi para asitek di zaman itu adalah
bagaimana bernegosiasi dengan sifat panggung arena dengan panggung
proscenium yang menjorok ke arah auditorium, memberikan jarak antara
aktor dengan latar dan ilusinya. Hingga memasuki abad ke-19, merupakan
hal yang umum bagi arsitek untuk mengatasi masalah akustik tanpa beralih
pada pendekatan ilmiah, tetapi murni dengan memanfaatkan pengalaman
mereka dan pemilihan bahan yang tepat.
H. Teater di Abad ke-20
Seiring dengan perkembangan teknologi, sosial, dan artistik yang terjadi
di masa tersebut, desain dari gedng teateerr mengalami tansformasi yang
17
mendalam. Latar panggung yang dicat dan menggunakan gambaran
tradisional akan ruang dan perspektif dibuang demi mewujudkan bangun 3
dimensi yang abstrak. Munculnya bioskop berkontribusi untuk pertunjukan
visual yang baru. Sebagai pembeda antara bioskop dengan teater, dramaturgi
kini membuat sang aktor sebagai pusat perhatian itu sendiri. Backdrop kini
dianggap sebagai penghambat. Lengkung proscenium kini tdak lagi
dianggap sebagai bingkai megah, namun lebih sebagai struktur sekunder
yang biasa saja. Panggung dibagi menjadi 3 zona, yakni panggung utama
dan 2 sisi panggung.
I. Teater Masa Sekarang
Gambar 2.10 International House of Music, Moscow
Sumber : www.matthewfries.com
Kegiatan pertunjukan yang bervariasi membutuhkan jenis panggung
yang berbeda pula. Jadi sudah menjadi hal biasa apabila diperlukan latihan
untuk beradaptasi dengan latar dan bentuk panggung yang tersedia. Satu
panggung diabangun untuk mengakomodasi suatu jenis pertunjukan, tidak
disarankan untuk jenis pertunjukan lainnya, berkaitan dengan spesifikasi dan
fasilitas yang disediakan. Tren terbaru menunjukan bahwa panggung dan
auditorium sebagai sebuah kesatuan. Sebuah aula besar tanpa struktur dasar
menjadi sebuah open floor plan yang bertujuan untuk menciptakan
kesetaraan posisi antara panggung dengan penonton.
18
2.1.3 Fungsi dan Tujuan
Terlepas dari fungsi serta keterkaitannya dengan aspek sosial dan budaya,
teater dapat dipahami sebagai tempat yang digunakan sebagai panggung untuk
mementaskan pertunjukan.
A. Teater Sebagai Rumah
Seperti yang diungkapkan Andrew Robert Filmer (2006) dalam
thesisnya mengenai Opera House, tempat-tempat pertunjukan sudah menjadi
tempat yang umum bagi banyak peradaban. Di mana pun manusia
mengembangkan teater sebagai produk budayanya dalam mengekspresikan
diri, mereka juga akan membangun tempat sebagai rumah untuk kegiatan itu,
atau paling tidak meluangkan ruang alami untuk tujuan tersebut.
Filmer melanjutkan, "Istilah sehari-hari seperti 'rumah' dapat
mengindikasikan dengan kuat dasar dari fungsi gedung teater, yakni hanya
sebagai bangunan atau sebatas ruangan. Namun pada perumpamaan ini, saya
ingin mempertajam fungsi dari teater; teater berfungsi sebagai wadah abadi
untuk kegiatan teater. Di dalamnya terdapat pemahaman yang lebih luas
mengenai koneksi penting antara tempat dan pertunjukannya, dibandingkan
dengan pemahaman semiotik tentang bangunan teater sebagai bingkai saja."
B. Teater Sebagai Aktor
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, gedung pertunjukan dibangun
sebagai tempat untuk melangsungkan pertunjukan. Gedung-gedung
pertunjukan itu sendiri merupakan sebuah "pertunjukan abadi" yang
disutradai oleh arsitek, yang juga berperan sebagai pengarang cerita.
Gedung pertunjukan atau teater, sebagai aktor, menjadi landmark terbaik
yang mewakili kebudayaan kota di mana teater itu berdiri melalui bentuk,
19
warna, tampilan, dan ruang, bagai menyanyikan alunan nada. (Yin, 2012:3)
2.1.4 Klasifikasi Jenis Kegiatan
A. Secara Universal
Ada banyak ragam kegiatan pertunjukan yang diproduksi untuk
ditampilkan di teater atau gedung pertunjukan. Kegiatan-kegiatan yang
beragam tersebut harus memiliki fleksibilitas yang tinggi agar dapat
ditempatkan dalam ruang yang sama. Ham (1987:13) dalam bukunya
menjelaskan kegiatan tersebut adalah:
1) Drama
Dalam pementasan drama, jumlah pemain yang menampilkan
pertunjukan adalah 2 sampai 20 orang, namun biasanya tidak lebih dari
12 orang pemain.
Gambar 2.11 Cats karya Andrew Lloyd Webber,Broadway (2012)
Sumber : www.chicagotheaterbeat.com
2) Drama (ukuran besar)
Gambar 2.12 Romeo&Juliet karya Shakespeare, Renowned Globe Theater(2013)
Sumber : www.desertsafariabudhabitour.com
20
Pada beberapa pementasan drama, seperti drama-drama karya
Shakespeare, memiliki banyak pemain dengan banyak figuran.
3) Grand opera, full-scale ballet, musicals, pantomim
Pertunjukan ini melibatkan penyanyi, penari, dan paduan suara.
Gaya pementasan dan dekorasi yang digunakan biasanya spektakuler
dan menyiratkan bentuk panggung proscenium.
Gambar 2.13 The Nutcracker karya Willam Christensen, Ballet West (2012)
Sumber: online.wsj.com
4) Chamber opera, chamber ballet, music hall and variety, cabaret,
plays with music
Para pemainnya tidak sebanyak pementasan drama, namun harus
dibuat pengaturan letak yang tepat untuk para musisi. Musisi bisa
ditempatkan satu panggung sebagai latar.
Gambar 2.14 Ophelia's Gaze karya Steve Everett (2012)
Sumber: http://vimeo.com/2643909
5) Concerts
Simfoni orkestra rata-rata menampilkan 90 orang pemain, bahkan
bisa lebih dari 120 orang. Pada konser jazz, pop , dan musik tradisional
21
biasanya menampilkan jumlah pemain sekitar 10 hingga 12 orang,
tetapi terkadang bisa mencapai 50 orang. Recital adalah pertunjukan
musik dengan skala terkecil, yakni menampilkan seorang penyanyi solo
dan seorang instrumentalist yang disertai pengiring.
Gambar 2.15 Susunan Duduk Pemain Orchestra
Sumber: www.basilicata.travel
6) Film
Gedung pertunjukan biasanya juga dilengkapi dengan proyektor
film untuk memenuhi ketentuan gedung pertunjukan. Sebuah gedung
pertunjukan yang pada awal perencanaannya didesain untuk bioskop
(cinema) memang tidak cocok dan tidak diperkenankan untuk
pertunjukan langsung, namun film tentu bisa dipertunjukan dengan
sangat baik pada gedung yang memiliki fungsi utama sebagai gedung
untuk pertunjukan langsung.
B. Secara Khusus
Pertunjukan seni dan budaya merupakan cerminan dari kebudayaan
suatu bangsa. Indonesia memiliki beragam budaya yang kaya dan patut
dibanggakan oleh warga negaranya. Meskipun berbeda latar belakang
budaya, masyarakat Indonesia tetap merasa sebagai satu bangsa.
Ada begitu banyak kesenian budaya yang dimiliki oleh Indonesia.
Kesenian yang umum dipentaskan dalam tradisi Indonesia adalah tari-tarian,
22
musik tradisional, upacara adat, dan juga pementasan wayang. Kesenian ini
pada awalnya dilakukan sebagai salah satu metode penyebaran agama atau
pengajaran adat, bukan sebagai suatu pertunjukan hiburan. Seiring
perkembangan budaya, masyarakat mulai menggunakan pertunjukan adat
sebagai suatu media hiburan. Oleh karena itu dapat kita temuai seni teater
tradisional seperti wayang orang, lenong, ludruk, dan lain-lain.
Pertunjukan yang dilakukan biasanya sudah menjadi sebuah "paket",
misalnya upacara adat yang dibuka oleh tarian yang diiringi oleh nyanyian
dan musik adat. Atau misalnya dalam pertunjukan wayang orang, ada sesi
permainan lakon wayang, diselingi oleh tarian adat, dan diiringi oleh sinden
dan gamelan.
Gambar 2.16 Wayang Orang Bharata
Sumber : wisatajuwa.wordpress.com
Kesenian-kesenian adat ini terus berkembang hingga saat ini.
Pengaruh-pengaruh budaya asing dan modernisasi turut memperkaya variasi
kesenian yang ada. Pengembangan dan pembaruan karya juga terus
dihadirkan untuk menciptakan sebuah kesenian era baru yang sesuai dengan
zamannya sehingga tidak kehilangan penggemar, tanpa melupakan nilai dan
esensi dari seni itu sendiri. Kesenian yang sering disebut dengan
tradisional-kontemporer ini menggunakan elemen-elemen klasik secara
bebeas dan kreatif, sesuai dengan rasa estetik penatanya.
23
Gambar 2.17 Tari Kontemporer
Sumber : http://tari.isi-dps.ac.id/about
Untuk pertunjukan seni peran, kisah yang dibawakan mengalami
beberapa adaptasi. Cerita disesuaikan dengn kondisi masyarakat sekarang,
dramatisasi juag ditambahkan, alur cerita tidak sepanjang dan serumit dulu.
Hal ini lebih disebabkan fungsi utama seni saat ini sebagai komoditas
hiburan dan ekspresi jiwa.
2.1.5 Klasifikasi Jenis Aktifitas
Pada pembahasan ini, segala aktivitas yang dibahas merupakan aktivitas
yang dilakukan di dalam area gedung pertunjukan.
A. Pemain
1) Persiapan pertunjukan
Sebelum pertunjukan dipentaskan, para pemain mempersiapkan diri
terlebih dahulu. Aktivitas yang dilakukan seperti latihan dapat
dilakukan beberapa saat sebelum pertunjukan dimulai langsung di atas
panggung, latihan pun hanya sebatas penentuan blocking saat pentas.
Untuk gladiresik biasanya dilakukan di ruangan lain di area gedung
pertunjukan atau bisa dilakukan di tempat lain. Kegiatan merias dan
berganti kostum juga dilakukan sebelum pentas dimulai.
2) Pentas pertunjukan
Saat pertunjukan berlangsung, para pemain bergantian masuk ke
24
area pentas (panggung) sesuai dengan bagiannya masing-masing. Para
pemain yang tidak sedang tampil dapat menunggu giliran di belakang
panggung atau menunggu di area samping panggung.
Pada pertunjukan teater, interaksi dan komuikasi harus mampu
dibangun oleh para pemain kepada penonton melalui dialog, tarian,
nyanyian, dan gerakan-gerakan serta ekspresi wajah yang berkaitan
dengan akting dan perannya dalam cerita tersebut. Selain skill dan
kemampuan sang pemain, sampai atau tidaknya pesan dari pemain
kepada penonton turut dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti jarak
penonton dengan panggung, fasilitas sound system, dan lain sebagainya.
B. Tim produksi (Crew)
Crew pertunjukan terdiri dari sutradara dan para asistennya, penulis
naskah, tim properti, tim wardrobe dan make-up, management, tim lighting,
tim sound system, dan semua orang dari pihak internal teater yang ikut serta
di dalam produksi sebuah pementasan.
1) Persiapan pertunjukan
Sebelum pertunjukan dimulai, tim produksi akan mengutamakan
pemasangan properti untuk setting panggung. Pengecekan dan
percobaan lighting dan check sound juga dilakukan agar pertunjukan
dapat berlangsung lancar dan maksimal.
2) Penanganan properti
Properti yang digunakan untuk pementasan biasanya dikerjakan di
tempat lain (workshop). Properti tersebut dibawa ke area gedung dan
dipasang untuk pertunjukan, kemudian dibongkar lagi. Kegiatan
25
bongkar-pasang serta loading barang menjadi tanggung jawab pihak
teater yang melakukan pertunjukan.
C. Penonton
1) Duduk
Pertunjukan teater biasanya berlangsung selama 2 sampai 3 jam.
Dengan waktu yang cukup panjang tersebut, kenyamanan duduk dan
ruang sirkulasi menjadi perhatian utama dalam mendesain area duduk
penonton. Tingkat kenyamanan pun harus disesuaikan agar tidak
membuat penonton tertidur saat pertunjukan.
Jarak antar baris yang lebar memang dapat meningkatkan
kenyamanan duduk dibandingkan dengan jarak baris yang sempit,
namun hal ini mempengaruhi kapasitas kursi di dalam ruang auditorium
yang berdampak pada penurunan nilai ekonomis, atau posisi baris
paling belakang yang jauh melampaui batas maksimum penglihatan.
Pada pertunjukan yang bersifat langsung, jarak kursi yang terlalu dekat
juga dapat merusak suasana dan konsentrasi penonton untuk merasakan
pengalaman teatrikal.
2) Melihat
Jarak pandangan penoton tentu memiliki batas maksimum untuk
dapat melihat penampilan pemain dengan jelas, nyaman, dan detail.
Secara teoritis, para penonton harus cukup dekat untuk melihat mimik
wajah dari para pemain.
Untuk pertunjukan teater, batas maksimum penglihatan kira-kira 20
meter dari proscenium stage ke penonton. Sedangkan untuk pertunjukan
opera atau konser, di mana mimik wajah tidak terlalu diperhatikan,
26
batas maksimum penglihatan kurang lebih 30 meter dari proscenium
stage. Proscenium stage adalah area panggung terdepan yang berada di
depan layar.
Christina E. Mediastika dalam bukunya yang berjudul Akustika
Bangunan menjelaskan bahwa kemampuan mata manusia untuk melihat
dengan jelas dan nyaman tanpa perlu memalingkan muka berada pada
sudut 20° ke arah kiri dan 20° ke arah kanan atau total 40°. Oleh karena
itu idealnya dibuat panggung yang lebarnya tidak melebihi lebar bagian
depan lantai penonton. Selanjutnya, posisi penonton untuk melihat
dengan jelas dan nyaman ke arah panggung adalah sekitar 100° ke kiri
dan 100° ke kanan dari ujung depan kiri-kanan panggung. Penonton
yang berada pada sudut lebih besar dari 100° akan mendapatkan sudut
pandang yang kurang nyaman ke arah panggung.
Kunci dimensi pada perhitungan jarak pandang bergantung pada
ketinggian mata seseorang pada posisi duduk dari atas lantai dan
ketinggian ujung atas kepala dari mata. Namun, bukan hanya dimensi
anthropometric individu yang menonton, postur dan posisi duduk
penonton juga dapat mempengaruhi penglihatan penonton. Dengan kata
lain, apabila seseorang anak-anak duduk di belakang orang dewasa
bertubuh tinggi besar, ia pasti tidak akan bisa melihat pertunjukan
karena terhalang orang dewasa tersebut, dan kasus-kasus seperti ini
tidak bisa diselesaikan secara matematis (Ham, 1987:29).
3) Mendengarkan
Aktivitas mendengarkan yang dilakukan oleh penonton sangat
berkaitan erat dengan karakter akustik ruang pada area penonton.
27
Karakteristik akustik bergantung pada perilaku pantulan suara dan
periode dengung suara. Periode dengung harus pendek bila ruangan
digunakan untuk acara seperti pidato, sehingga penonton dapat
mendengar suara dengan jernih; harus lebih panjang untuk pertunjukan
musik; dan harus lebih panjang lagi untuk nyanyian paduan suara. Ada
dua hal yang mempengaruhi periode dengung suara, yakni jumlah suara
yang diserap dan dipantulkan oleh permukaan ruang auditorium dan
volume auditorium dan panggung.
Terlepas dari sistem penataan suara, apabila ruang auditorium terisi
penuh maka suara dari pemain akan lebih sulit terdengar, namun bila
penonton sedikit maka suara pemain akan terdengar lebih keras dan
jelas. Hal ini disebabkan tubuh manusia memiliki kemampuan
menyerap gelombang suara, semakin banyak penonton maka suara akn
semakin banyak diserap dan lebih sedikit dipantulkan.
4) Menunggu pertunjukan
Sebelum pertunjukan siap dimulai, atau pada kebiasaan di
Indonesia sebelum bunyi gong pertama, para penonton dilarang
memasuki ruang pertunjukan. Penonton pun diwajibkan untuk data
paling tidak 30 menit sebelum pertunjukan dimulai.
Sambil mengunggu diperbolehkan masuk ke dalam area
pertunjukan, para penonton bisa bercengkrama, makan dan minum,
menyaksikan pertunjukan kecil di area-area lain di dalam gedung, atau
berbelanja.
D. Pengelola
1) Mengatur program dan pertunjukan
28
Menangani grup pementasan dan mengelola pertunjukan, mengatur
tata cahaya dan tata suara pertunjukan.
2) Menjalankan pemasaran
Kegiatan promosi ke pihak-pihak terkain dan ke khalayak umum
(hubungan masyarakat).
3) Menjalankan administrasi
Mengelola keuangan dan kepegawaian kantor.
4) Mengelola sarana dan prasarana
Melakukan perawatan gedung dan menyediakan peralatan yang
mendukung fasilitas gedung.
2.1.6 Klasifikasi Fasilitas
Secara garis besar fasilitas yang terdapat di dalam sebuah gedung
pertunjukan dapat dibedakan menjdi:
A. Fasilitas Utama
1) Ruang Panggung
Panggung adalah ruang yang menjadi orientasi utama dalam sebuah
ruang pertunjukan. Panggung diperuntukan bagi penampil untuk
mengekspresikan materi yang disajikan. Bentuk dan dimensi panggung
sangat bermacam-macam.
Mediastika (2005:93) mengklsifikasi panggung menurut bentuk dan
tingkat komunikasinya dengan penonton, dibedakan menjadi 4 jenis:
a) Panggung Proscenium
Merupakan panggung dengan peletakan konvensional, yaitu
penonton hanya dapat melihat pertunjukan dari arah depan saja.
29
Komunikasi antara pemain dan penonton pada panggung semacam
ini sangat minim. Komunikasi yang dimaksud adalah tatapan mata,
perasaan kedekatan antara pemain dan penonton, dan keinginan
penonton untuk secara fisik terlibat dengan materi yang disajikan,
misalnya ikut bergoyang, dsb. Panggung ini lebih cocok digunakan
untuk pertunjukan seni tari klasik atau seni musik klasik.
Gambar 2.18 Panggung Proscenium
Sumber : drama-music.wikispaces.com
Gambar 2.19 Muriel Kauffman Theatre
Sumber : www.kauffmancenter.org
b) Panggung Terbuka
Masyarakat awam seringkali salah paham dengan menganggap
bahwa semua ruang pertunjukan yang tidak beratap adalah
panggung terbuka. Panggung terbuka adalah istilah yang digunakan
untuk merujuk pengembangan dari panggung proscenium yang
memiliki sebagian area panggung menjorok ke arah penonton,
30
sehingga memungkinkan penonton bagian depan untuk
menyaksikan pemain dari arah samping, contohnya catwalk tempat
peragaan busana. Tidak ada hubungannya dengan ada atau tidaknya
atap ruangan. Komunikasi antara pemain dan penonton pada
panggung seperti ini lebih baik dan lebih terbangun.
Gambar 2.20 Panggung Terbuka
Sumber : www.pageout.net
Gambar 2.21 Catwalk oleh Spectrum Production
Sumber : www.spectrumproductions.co.uk
c) Panggung Arena
Panggung arena adalah panggung yang terletak di
tengah-tengah penonton, sehingga penonton dapat berada pada
posisi di depan, samping,, atau bahkan di belakang penampil.
Panggung seperti ini biasanya dibuat semipermanen dalam sebuah
auditorium multifungsi. Komunikasi antara penampil dan penonton
pun dapat berlangsung dengan sangat baik. Panggung arena cocok
31
sekali untuk pertunjukan musik yang santai seperti group band
dengan atraksi panggung yang lincah. Panggung area kerap kali
dibuat dapat berputar, sehingga semua penonton pada sisi yang
berbeda dapat melihat penampil dari semua sudut.
Gambar 2.22 Panggung Arena
Sumber : nurainas17.blogspot.com
Gambar 2.23 Arena Stage at the Mead Center for American Theater
Sumber : archrecord.construction.com
d) Panggung Extended
Bentuk panggung extended merupakan pengembangan dari
bentuk proscenium yang melebar ke arah samping kiri dan kanan.
Bagia pelebaran ini tidak dibatasi dinding samping, sehingga
penonton dapat menyaksikan penampil dari arah samping. Bentuk
panggung seperti ini cocok digunakan untuk sajian acara yang
terdiri dari beberapa bagian pertunjukan, misalnya penganugerahan
penghargaan, yang terdiri dari acara penganugerahannya sendiri,
32
sajian musik, dan mungkin dilengkapi pula dengan sajian komedi.
Masing-masing sajian tersebut dapat menempati sisi panggung
yang berbeda, sehingga penempatan dekorasi masing-masing
panggung tidak saling mengganggu.
Gambar 2.24 Panggung American Idol
Sumber : archuletafanscene.com
Lain halnya dengan Ham (1987:17) yang mengelompokan jenis
panggung berdasarkan tingkat pengepungan panggung oleh penonton,
sebagai berikut:
a) 360° encirclement
Gambar 2.25 360º Encirclement Stage
Sumber : Ham (1987:17)
Panggung jenis ini dikelilingi penonton dari setiap sisinya,
disebut juga sebagai center stage, island stage, arena, atau
theatre-in-the-round.
b) Transverse stage
33
Panggung ini berbentuk melintang dan jarang sekali
ditemukan.
Gambar 2.26 Transverse Stage
Sumber : Ham (1987:18)
c) 210° -220° encirclement
Panggung seperti ini banyak dijumpai pada teater Yunani kuno
dan Helenistik. Jalur masuk ke dalam area pentas dapat dibuat
berupa dinding vertikal pada bagian yang terbuka. Area pentas
utama berada pada fokus dari semua tempat duduk. Yang terpenting
dari teater Yunani asli adalah lokasinya yang di ruang terbuka.
Gambar 2.27 210º-220º Encirclement Stage
Sumber : Ham (1987:19)
d) 180° encirclement
Teater Bangsa Romawi memiliki bentuk seperti ini dan teater
pertama masa Renaissance memiliki pola seperti ini. Penekanan
fokus pertunjukan telah bergerak ke arah dinding belakang yang
sekarang telah menjadi batas area pentas. Versi terbaru dari bentuk
34
ini biasa disebut thrust stage, peninsular atau three-sided stage.
Thrust stage sekarang ini memiliki beragam tingkat kelengkungan
dan jarang yang mirip dengan teater kuno.
Gambar 2.28 180º Encirclement Stage
Sumber : Ham (1987:20)
e) 90° encirclement
Bentuknya yang seperempat lingkaran mengharuskan
pertunjukan dilihat terhadap latarnya. Panggung seperti ini
memilikin banyak sekali variasi yang mungkin digunakan, dengan
luasan latar yang lebih beesar dibandingkan dengan thrust stage.
Namun memiliki jarak pandang yang terbatas. Teknik
pertunjukannya tidak jauh berbeda dengan pertunjukan yang
mengunakan panggung proscenium.
Gambar 2.29 90º Encirclement Stage
Sumber : Ham (1987:20)
f) Zero encirclement
35
End stage, begitu biasa disebut, hanyalah sebuah panggung
terbuka yang area pentasnya menjadi satu dengan area penonton.
Batas pandangan tercipta bukan karena adanya latar, namun
memang dikarenakan keterbatasan fisik bangunan. Kondisi ini
disebabkan oleh pembatasan truktur yang ada secara sengaja. Pada
dasarnya berbentuk proscenium namun tanpa lengkungan
proscenium dan tanpa area persiapan.
Gambar 2.30 Zero Encirclement Stage
Sumber : Ham (1987:21)
g) Space stage
Panggung yag mengelilingi penonton dari semua sisinya,
disebut juga sebagai wrapped-around stage atau calliper stage.
Gambar 2.31 Space Stage
Sumber : Ham (1987:21)
Latar tidak bisa diletakan pas di belakang dinding proscenium,
karena bisa menghalangi safety curtain dan house curtain. Garis di
mana properti latar tidak boleh diletakan disebut setting line dan
biasanya berjarak 1 meter di belakang proscenium. Bagian dari
36
panggung antara setting line hingga ujung panggung disebut forestage.
Apabila panggung dimajukan lagi ke arah penonton maka bagian itu
disebut apron stage, dan dapat berfungsi sebagai panggung terbuka
dengan melakukan pentas di bagian tersebut.
Perlengkapan yang terletak di atas area panggung (over stage
equipment) digunakan sebagai pendukung dan penggantung latar,
peralatan lampu, dan barang lainnya yang berhubungan dengan
pementasan. Semua latar panggung yang berukuran besar dan lebar
dapat dengan mudah disingkirkan dari area latar dengan adanya flying.
Tanpa area terseut, pembersihan dan penyimpanan latar seperti dinding,
ceiling, cycloramas menjadi masalah teknis yang menyulitkan.
Gambar 2.32 Over Stage Equipment
Sumber : Cole (1949 :137)
2) Ruang Penonton atau Auditorium
Ham (1987:11) mengungkapkan dalam bukunya, bahwa hal
pertama yang terlintas bila membahas ruang penonton tentu kapasitas
kursi yang dimiliki ruang pertunjukan.
37
Kecil kurang dari 500 kursi
Sedang 500-900 kursi
Besar 900-1500 kursi
Sangat Besar lebih dari 1500 kursi
Ham juga menjelaskan kapasitas kursi bukanlah satu-satunya
penentu dari ukuran sebuah gedung pertunjukan. Ukuran panggung,
fasilitas produksi yang mendukung pertunjukan, dan skala pertunjukan
juga sangat banyak berpengaruh.
Sebuah kekeliruan jika menghubungkan biaya produksi sebuah
teater dengan jumlah kursi yang ada tanpa memikirkan standar ruang,
peralatan teknis, yang sesuai dengan tujuan awal dibangunnya. Untuk
alasan ekonomis semata, seluruh kapasitas penonton diharuskan
tercapai. Padahal bila hubungan anatara penonton dengan panggung
tidak terjalin baik maka penonton pun tidak lagi merasa nyaman dan
terhibur sehingga tidak lagi menonton pertunjukan. Kapasitas yang
ditentukan harus berasal dari pertimbangan batas visual dan akustik
ruang sesuai dengan jenis pertunjukan dan hubungan interaksi
panggung antara pemain dan penonton.
Cole (1949:32) berpendapat jika batas visual dan akustik
diaplikasikan pada bidang horizontal untuk auditorium panggung
proscenium, maka akan mengurangi area duduk dengan kualitas
maksimum yang kira-kira berbentuk elips. Susunan kursi berbentuk
kipas menjadi solusi untuk jumlah kursi yang lebih banyak dengan
pandangan ke panggung yang lebih terpusat dan relatif lebih sedikit
kekurangannya dibandingkan dengan susunan kursi horizontal. Pusat
dari kelengkungan auditorium terdapat pada garis tengah, dengan jarak
38
sebesar antara batas proscenium dengan dinding paling belakang
auditorium, yang terletak di belakang proscenium ke arah panggung.
Gambar 2.33 Titik Pusat Kelengkungan Auditorium
Sumber : Cole (1949:33)
Gambar 2.34 Radial Aisles
Sumber : Cole (1949:34)
Lorong yang terdapat di dalam auditorium hendaknya disesuaikan
dengan pembagian zona kenyamanan kursi. Oleh karena itu, lorong
dengan bentuk radial (radial aisles) merupakan yang terbaik, dengan
menggunakan sudut yang bertumpu pada pusat kelengkungan
auditorium. Meletakan lorong di tengah auditorium sangat tidak
dianjurkan karena akan mengurangi jumlah kursi dengan kualitas
kenyamanan terbaik. Berbeda dengan sistem continental seating yang
memiliki jarak antar baris yang lebar, auditorium dengan jarak baris
normal pada umumnya menggunakan lorong dengan jumlah kursi
paling banyak 14 buah. (Cole, 1949:34)
39
B. Fasilitas Pendukung
1) Ruang Persiapan Pementasan
a) Ruang Ganti (Dressing room)
Letak terpenting untuk ruang ganti adalah sirkulasinya harus
langsung berhubungan dengan jalur masuk ke panggung. Posisi
terbaiknya adalah berada pada level yang sama dengan panggung,
atau tidak boleh lebih dari 2 pijakan di atas atau di bawah panggung.
Para pemain seringkali keluar-masuk ruang ganti dengan
terburu-buru, sehingga lebar pintu tidak boleh kurang dari 850 mm,
dan lebar koridornya tidak boleh kurang dari 1500 mm untuk
menghindari tabrakan dengan pemain lainnya.
Ketentuan mengenai ruang ganti ditentukan dari jenis kegiatan
pertunjukan yang ditampilkan. Perlu dibedakan antara ruang ganti
yang digunakan oleh aktor dan para pemain teater lainya yang
harus berganti kostum, berdandan, dengan ruang ganti yang
digunakan oleh musisi pada pertunjukan orchestra yang hanya
tinggal mengganti pakaian biasa mereka dengan gaun malam dalam
waktu singkat.
Pembagian kapasitas ruang ganti pun bisa bermacam-macam,
mulai dari yang paling sederhana, satu ruangan besar yang
digunakan bersama-sama, terpisah antara pria dan wanita, hingga
yang rumit, ada ruang khusus untuk bintang pertunjukan (star
dressing room), ruang bersama-sama untuk pemain lainnya, ruang
untuk paduan suara, ruang untuk musisi, dan lain sebagainya.
Dengan pembagian rungan yang rumit seperti ini, dapat dilihat
40
bahwa status peran seorang pemain memperlihatkan hirarki
pengaturan ruang ganti.
Gambar 2.35 Ruang ganti untuk 1 orang dengan piano
Sumber : Ham (1987:183)
Gambar 2.36 ruang ganti untuk 1 orang, bersebelahan
Sumber : Ham (1987:183)
Gambar 2.37 Ruang ganti bersama
Sumber : Ham (1987:183)
41
Gambar 2.38 Ruang ganti untuk 4 orang
Sumber : Ham (1987:182)
Gambar 2.39 Ukuran minimum meja rias
Sumber : Ham (1987:181)
Furnitur yang berada di ruang ganti biasanya built-in dengan
kursi-kursi lepasan. Rak penyimpanan dan laci pada tiap meja rias
penting untuk menyimpan barang-barang pribadi pemain. Untuk
menyimpan pakaian dan kostum dibutuhkan lemari baju gantung
dengan kedalaman minimum 600 mm dengan lebar beragam,
tergantung dari jenis pertujukan dan kebutuhan kostum si pemain.
Kursi yang paling tepat adalah yang tanpa lengan, upholstered,
dapat berputar, bisa diatur sendiri. Meja riasnya sendiri memiliki
ukuran yang beragam, namun kedalaman meja sebaiknya tidak
lebih dari 450 mm dihitung dari permukaan cemin, sehingga aktor
42
tidak terlalu jauh dan dapat melihat dengan nyaman. Di dalam star
dressing room umum dijumpai sofa atau daybed. Setiap ruang ganti
harus dilengkapi dengan cermin panjang dengan lampu-lampu agar
pemain dapat memerikasa kembali kostumnya sebelum memasuki
area panggung.
Fungsi khusus ruang ganti adalah untuk mempersiapkan
make-up panggung yang harus dilakukan dengan bantuan
penerangan buatan dengan kualitas yang menyerupai penerangan
panggung. Ruang ganti tradisional biasanya menggunakan bohlam
tungsten yang mengelilingi cermin meja rias. Bohlam tidak boleh
lebih dari 40 watt agar tidak pusing. Lampu fluorescent sangat tidak
dianjurkan. Tiap meja rias sebaiknya memiliki saklar lampu
masing-masing, sehingga ketika selesai make-up, aktor dapat
beristirahat dan mematikan lampu meja riasnya sendiri agar tidak
pusing karena terlalu banyak cahaya. Soket sebaiknya diletakan
diantara dua meja yang bersebelahan. Tujuannya untuk penggunaan
hair drier, curler, atau bisa untuk vacuum cleaner. Bukan untuk
kepentingan konsumsi makanan seperti memanaskan air atau untuk
microwave.
Untuk fasilitas mandi dan mencuci, selayaknya dipersiapkan 1
basin untuk tiap 4 pemain, dengan kaca dan rak handuk. Untuk
shower juga memiliki perbandingan yang sama. Namun untuk
alasan ekonomis, showers bisa dikelompokan dan dibuat area
mandi bersama untuk dressing room dengan kapasitas yang besar.
Akses antara kamar mandi dengan dressing room harus mudah dan
43
dekat. Toilet untuk pemain juga memiliki perbandingan idealnya
sendiri. 1 wc untuk tiap 5 wanita, 1 wc untuk tiap 8 pria, dan 1
urinal untuk tiap 5 pria.
Seorang aktor akan menghabisakan banyak waktu di dalam
ruang ganti selama pertunjukan dan di sela-sela waktu pertunjukan.
Selain pencahayaan buatan, pencahayaan alami dan sirkulasi udara
sangat baik untuk psikologi pemain. Bukaan seperti jendela
menjadi penghubung para pemain dengan dunia luar. Tirai atau
blinds dapat dipasang untuk mencegah cahaya matahari masuk
ketika sedang merias wajah.
b) Jalur masuk ke panggung (Entrances to stage)
Perlu ditempatkan koridor sebagai penghubung antara
panggung dengan ruang ganti untuk mencegah kebocoran cahaya.
Perlu diingat juga bahwa mata manusia membutuhkan waktu untuk
beradaptasi dari ruangan yang terang benderang ke area panggung
yang redup. Pencahayaan di area backstage perlu diatur untuk
mengurangi intensitas cahaya sebelum sampai di koridor panggung.
Koridor ini juga berfungsi sebagai pengunci suara yang
menyaring dan meredam suara yang berasal dari ruang ganti. Para
pemain juga bisa berdiri di sini sambil mendengarkan pertunjukan
dan menunggu giliran tampil.
Harus ada setidaknya 2 jalur masuk ke panggung, 1 jalur pada
tiap sisinya. Kadang, jalur masuk terpisah diperluka untuk
mencegah pemain berkerumun. Pada panggung proscenium, sebuah
jalur yang menghubungkan sisi panggung yang satu dengn yang
44
lainnya menjadi hal yang penting. Sebuah koridor yang
mengelilingi belakang panggung bisa berfungsi sebagai area
persiapan dadakan atau untuk sirkulasi pemain. Koridor ini harus
bebas dari kabel-kabel atau benda-benda lainnya yang dapat
menghalangi bahkan mencelakai pemain. Area ini harus tetap redup
dan minim suara.
Gambar 2.40 Stage and wing
Sumber : theatredesigner.wordpress.com
Jalur masuk tambahan, seperti misalnya balkon Juliet harus
dipertimbangkan teknis pemasangan dan teknis mencapainya.
Jangan samapai menghambat dan membahayakan pemain, karena
semua setting dilakukan dalam gelap.
c) Ruang Latihan (Rehearshal rooms)
Setiap produksi pertunjukan pasti membutuhkan ruang untuk
melakukan latihan. Panggung seringkali digunakan untuk latihan
terkahir (gladiresik) dengan menggunakn kostum, sehingga penata
latar dan penata cahaya dapat ikut berlatih sebelum pertunjukan.
Pada teater besar dengan jadwal pertunjukan yang padat,
kadang memiliki peraturan untuk tidak menggunakan panggung
45
sebagai tempat latihan. Ruang latihan dibutuhkan untuk kondisi
seperti ini. Ruang laihan merupakan tempat yang dapat digunakan
seluruh peroduksi pertunjukan untuk mempersiapkan pertunjukan
mereka. Ukurannya harus sesuai dengan panggung pentas. Ruangan
lain yang juga digunakan untuk latihan menanyi atau pidato tidak
perlu seluas panggung asli, tempat seperti itu disebut practice
studio.
Gambar 2.41 Ruang latihan, Signature Theatre
Sumber : www.akustiks.com
Letak ruang latihan harus berdekatan dengan dressing room,
dan jika memungkan berdekatqn dengan panggung juga. Ruang
latihan sebaiknya multifungsi, sehingga bisa dijadikan ruang ganti
tambahan, dengan dilengkapi wash basin. Atau menjadi tempat
latihan tari dengan dinding cermin besar yang juga bisa ditutup bila
tidak sedang digunakan. Bisa juga dilengkapi dengan piano.
2) Entrance, hall, foyers, lobby
Pintu masuk utama seharusnya tidak berhadapan langsung
dengan foyer, sehingga kebisingan jalan raya tidak masuk ke dalam
ruangan setiap kali pintu dibuka. Perlu ditempatkan sebuah lobby
dengan pintu ganda yang dapat menutup sendiri. Pada beberapa
bengunan, area ini dapat juga dijadikan ruang tunggu atau tempat
46
box office. Foyer dibuat untuk menhantarkan para penonton ke
dalam ruang pertunjukan. Foyer harus clear, dapat diberi beberapa
dekorasi seperti poster, lukisan, atau karya seni lainnya.
Gambar 2.42 Lobby auditorium utama, Wuxi Grand Theatre
Sumber : www.bustler.net
3) Refreshment area
Para penonton tiba di gedung teater setengah jam sebelum
pertunjukan dimulai. Sebagian dari mereka tentu akan pergi ke bar atau
restoran untuk sekedar menghabiskan waktu. Selama interval,
kesempatan untuk membeli makanan dan minuman lebih besar. Kadang,
kopi dan teh disediakan di foyer bagi para penonton, makanan-makanan
kecil juga dijual di sana.
a) Bar
Refreshment area yang berada di area foyer, disediakan untuk
aktivitas yang intens. Bar yang tersedia harus cukup untuk
menampung pembeli. Lokasi bar harus berhubungan langsung
dengan sirkulasi publik yang mengrah ke ruang pertunjukan.
Waktu yang dibutuhkan untuk konsumsi harus diperhitungkan.
Semua harus disajikan sepraktis mungkin. Penyajian, penyimpanan,
dan servis menjadi perhatian utama bagi pihak front-of-house.
47
b) Restoran
Bagi gedung pertunjukan baru, sebuah restoran mampu
menjadi daya tarik tersendiri. Sebuah restoran dengan tema teatrikal
tentu menjadi keunikan yang menguntungkan bagi manajemen,
sedangkan bagi pelanggan akan sangat memudahkan dan
memberikan kenyamanan.
Namun, jika ingin menempatkan sebuah restoran di dalam
gedung pertunjukan haruslah direncanakan sejak awal. Karena
sebuh restoran memiliki turannya sendiri dan struktur-struktur
teknis yang berbeda dengan fungsi gedung pertunjukan.
4) Toilet
Toilet pada area publik biasanya digunakan dalam waktu yang
singkat selama interval. Namun biasanya jumlah penonton yang
memasuki toilet banyak. Dan ketika pertunjukan selesai biasanya para
penonton akan beramai-ramai memasuki toilet. Untuk mencegah antrian
yang panjang, maka perlu diperhitungkan jumlah toilet yang sesuai
dengan kapasitas penonton. Apabila foyer dan refreshement area
terdapat di beberapa lantai, toilet harus disebar sehingga memudahkan
penonton untuk mencapai akses menuju toilet.
Toilet wanita sebaiknya memiliki powder room untuk berdandan,
dilengkapi dengan cermin dan rak sebagai meja rias kecil. Kursi, asbak,
tissue juga sebaiknya disediakan demi kenyamanan pengunjung. Toilet
pria tidak memerlukan area berdandan, namun sebaiknya disediakan
tempat juga untuk merapikan penampilan.
5) Loket tiket
48
Gambar 2.43 Box office, Traverse Theatre Edinburg
Sumber : www.traverse.co.uk
Ticket box, istilah lain untuk loket tiket, berfungsi sebagai tempat
untuk membeli tiket on the spot. Lokasi yang paling tepat untuk loket
tikar adalah di dekat pintu masuk utama teater, di mana setiap penonton
pasti melewatinya. Keamanan area ini sangat penting karena terjadi
transaksi pembelian tiket dan terdapat antrian, sehingga memungkinkan
terjadi tindak kriminal.
C. Fasilitas Servis
1) Gudang peralatan
Gudang peralatan yang terdapat pada gedung-gedung pertunjukan
di Indonesia biasanya menyimpan properti panggung seperti kursi, meja,
lampu, karpet, dan perlengkapan lainnya yang umum digunakan untuk
pementasan. Properti seperti ini yang disimpan dalam jangka waktu
panjang dan dapat digunakn oleh siapa saja. Untuk properti khusus
seperti pohon, rumah-rumahan, atau benda-benda lainnya biasanya
dibawa sendiri oleh pihak produksi teater.
2) Ruang generator
Ruang ini berhubungan dengan listrik dan sumber energi untuk
pertunjukan.
3) Ruang pengendali
49
Ada ruang pengendali suara (sound system), ruang pengendali
lighting, ruang pengendali latar. Masing-masing ruang pengendali ini
harus memiliki akses langsung ke arah panggung. Biasanya berupa
jendela observasi.
Nicholas W. Roberts (2004:200) menyatakan perlatan elektronik
sistem audio harus ditempatkan pada rak peralatan di dalam ruang
kontrol. Rak tersebut berukuran 24"x24" (60cmx60cm) dengan tingi 7 ft
(210cm). Sangat tidak wajar jika ruang kontrol memiliki banyak sekali
rak peralatan; 1 atau 2 untuk peralatan kecil, 4 sampai 8 untuk peralatan
yang besar. Sirkulasi sebesar 3 ft (90cm) harus disediakan di depan
masing-masing rak untuk operasi, dan 3 ft (90cm) di belakangnya untuk
instalasi, pemeliharaan, dan servis. Posisi operator harus dekat dengan
ruang peralatannya dan terletak pada posisi penonton.
2.1.7 Persyaratan Umum
Pada setiap bangunan yang diperuntukan sebagai fasilitas umum, tentu ada
persyaratan umum yang harus dipenuhi, baik berupa standarisasi lokal maupun
secara internasional. Berikut ini adalah beberapa persyaratan umum dari sebuah
gedung pertunjukan disertai dengan pembahasan secara mendalam.
A. Garis pandang
1) Garis pandang vertikal
Garis pandang vertikal harus diperiksa melalui beberapa tempat di
dalam ruang pertunjukan. Beberapa faktor yang mempengaruhi garis
pandang antara panggung dengan area penonton dan sebaliknya adalah:
a) Jarak maksimum yang dapat dicapai oleh penonton dari
50
tempatnya berada ke pemain.
b) Kedalaman acting area dan ketinggian vertikal pentas sesuai
dengan tipe pertunjukan.
c) Titik terendah dan terdekat panggung yang harus dapat dilihat
oleh seluruh penonton.
d) Titik tertinggi dari acting area harus bisa dilihat oleh para
penonton yang letaknya paling jauh dari panggung. Dinding
penutup balkon, proscenium, atau border tidak boleh merusak garis
pandang tersebut.
Gambar 2.44 Metode penghitungan kemringan balkon
Sumber : Ham (1987:33)
Gambar 2.45 Kemiringan lantai auditorium harus berkelanjutan.
Sumber : Ham (1987:34)
2) Garis pandang horizontal
Garis pandang horizontal selalu menjadi hal yang kritis bagi
gedung pertunjukan dengan panggung proscenium. Dengan acting area
51
yang lebar, garis pandang justru akan semakin terbatas dan berpengaruh
pada lebar area tempat duduk yang dapat disediakan. Pandangan dari
penonton yang duduk di barisan paling samping membatasi luasan
acting area pada panggung. Adanya proscenium atau border lainnya
semakin memangkas acting area.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, solusi bagi permasalah
penonton yang duduk tepat di belakang penonton lain adalah letak kursi
selang-seling. Namun perlu diingat bahwa kepala dari penonton di baris
depannya akan mempersempit lebar panggung yang dapat dilihat.
B. Akustik ruang
Akustik diartikan sebagai sesuatu yang terkait dengan bunyi atau suara,
sebagaimana yang diungkapkan Dwi Retno Sri Ambarwati dalam jurnalnya,
bahwa akustik merupakan pengolahan tata suara pada suatu ruang untuk
menghasilkan kualitas suara yang nyaman untuk dinikmati, merupakan unsur
penunjang terhadap keberhasilan desain yang baik karena pengaruhnya
sangat luas dan dapat menimbulkan efek-efek fisik dan emosional dalam
ruang sehingga seseorang akan mampu merasakan kesan-kesan tertentu.
J. Pamudji Suptandar mengungkapkan dalam perancangan akustik ruang,
Faktor yang sangat penting yaitu masalah gaung suara agar bisa merata ke
seluruh pemirsa dalam waktu yang bersamaan meskipun posisi duduknya
saling berjauhan dari sumber suara.
Persyaratan tata akustik gedung pertunjukan yang baik dikemukakan
oleh Doelle (1990:54) yang menyebutkan bahwa untuk menghasilkan
kualitas suara yang baik, secara garis besar gedung pertunjukan harus
memenuhi syarat :
52
1) Kekerasan (Loudness) yang Cukup
Kekerasan yang kurang terutama pada gedung pertunjukan ukuran
besar disebabkan oleh energi yang hilang pada perambatan gelombang
bunyi karena jarak tempuh bunyi terlalu panjang, dan penyerapan suara
oleh penonton dan isi ruang (kursi yang empuk, karpet, tirai ).
Hilangnya energi bunyi dapat dikurangi agar tercapai
kekerasan/loudness yang cukup. Dalam hal ini Doelle (1990:54)
mengemukakan persyaratan yang perlu diperhatikan untuk mencapainya,
yaitu dengan cara memperpendek jarak penonton dengan sumber bunyi,
penaikan sumber bunyi, pemiringan lantai, sumber bunyi harus
dikelilingi lapisan pemantul suara, luas lantai harus sesuai dengan
volume gedung pertunjukan, menghindari pemantul bunyi paralel yang
saling berhadapan, dan penempatan penonton di area yang
menguntungkan.
a. Memperpendek Jarak Penonton dengan Sumber Bunyi.
Mills (1976:15) mengemukakan pendapat mengenai persyaratan
jarak penonton dengan sumber bunyi untuk mendapatkan kepuasan
dalam mendengar dan melihat pertunjukan, "Jarak tempat duduk
penonton tidak boleh lebih dari 20 meter dari panggung agar penyaji
pertunjukan dapat terlihat dan terdengar dengan jelas."
Akan tetapi untuk mendapatkan kekerasan yang cukup saja
(tanpa harus melihat penyaji dengan jelas), misalnya pada
pementasan orkestra atau konser musik, toleransi jarak penonton
dengan penyaji dapat lebih jauh hingga jarak maksimum dengan
pendengar yang terjauh adalah 40 meter, sebagaimana yang
53
dikemukakan Mills (1976:8).
b. Penaikan Sumber Bunyi
Sumber bunyi harus dinaikkan agar sebanyak mungkin dapat
dilihat oleh penonton, sehingga menjamin gelombang bunyi
langsung yang bebas (gelombang yang merambat secara langsung
tanpa pemantulan) ke setiap pendengar.
c. Pemiringan Lantai
Lantai di area penonton harus dibuat miring karena bunyi lebih
mudah diserap bila merambat melewati penonton dengan sinar
datang miring (grazing incidence). Aturan gradien kemiringan lantai
yang ditetapkan tidak boleh lebih dari 1:8 atau 30°-35° dengan
pertimbangan keamanan dan keselamatan. Kemiringan lebih dari itu
menjadikan lantai terlalu curam dan membahayakan. Bila sumber
bunyi ditinggikan dan area tempat penonton dimiringkan 30° maka
pendengar akan menerima lebih banyak bunyi langsung yang
menguntungkan kekerasan suara.
d. Sumber bunyi harus dikelilingi lapisan pemantul suara
Untuk mencegah berkurangnya energi suara, sumber bunyi
harus dikelilingi oleh permukaan-permukaan pemantul bunyi seperti
gypsum board, plywood, flexyglass dan sebagainya dalam jumlah
yang cukup banyak dan besar untuk memberikan energi bunyi pantul
tambahan pada tiap bagian daerah penonton, terutama pada
tempat-tempat duduk yang jauh .Langit-langit dan dinding samping
auditorium merupakan permukaan yang tepat untuk memantulkan
bunyi. Sehubungan dengan upaya penguatan bunyi tersebut Mills
54
(1976:28) berpendapat sebagai berikut,"Salah satu cara untuk
memperkuat bunyi dari panggung adalah dengan menyediakan
pemantul di atas bagian depan auditorium untuk memantulkan bunyi
secara langsung ke tempat duduk bagian belakang, dimana bunyi
langsung (direct sound) terdengar paling lemah."
Permukaan-permukaan pemantul bunyi (acoustical board,
plywood, gypsum board dan lain-lain) yang memadai akan
memberikan energi pantul tambahan pada tiap-tiap bagian daerah
penonton, terutama pada bagian yang jauh. Ukuran permukaan
pemantul harus cukup besar dibandingkan dengan dengan panjang
gelombang bunyi yang akan dipantulkan. Sudut-sudut permukaan
pemantul harus ditetapkan dengan hukum pemantulan bunyi dan
langit-langit serta permukaan dinding perlu dimanfaatkan dengan
baik agar diperoleh pemantulan-pemantulan bunyi singkat yang
tertunda dalam jumlah yang terbanyak. Ketepatan dalam meletakkan
langit-langit pemantul dengan pemantulan bunyi yang makin banyak
ke tempat duduk yang jauh, secara efektif menyumbang kekerasan
yang cukup. Langit-langit dan bagian depan dinding-dinding
samping auditorium merupakan permukaan yang cocok untuk
digunakan sebagai pemantul bunyi.
e. Kesesuaian luas lantai dengan volume ruang
Terkait dengan kapasitas tempat duduk, The Association of
British Theatre Technicians oleh Mills (1976:32)
mengklasifikasikan gedung pertunjukan dari yang berukuran kecil
hingga sangat besar yakni: ukuran sangat besar berkapasitas 1500
55
atau lebih tempat duduk, ukuran besar 900-1500 tempat duduk,
ukuran sedang 500 – 900 tempat duduk dan ukuran kecil kurang dari
500 tempat duduk.
Doelle (1990:58) menyebutkan bahwa nilai volume per tempat
duduk penonton yang direkomendasikan untuk gedung pertunjukan
serbaguna minimal 5.1 m³, optimal 7.1 m³ dan maksimal 8.5 m³. Dari
perbandingan tersebut dapat diperoleh standar ukuran volume yang
dipersyaratkan untuk gedung ukuran tertentu sehingga kelebihan
ataupun kekurangan kapasitas ruang dapat dihindari .
f. Menghindari pemantul bunyi paralel yang saling berhadapan
Bentuk plafond paralel secara horisontal tidak dianjurkan, kana
akan terjadi pemantulan kembali sebagian besar bunyi scara
langsung (direct sound) ke sumber bunyi, dan sebagian lagi
dipantulkan ke langit-langit dengan waktu tunda singkat yang
terbatas baru kemudian disebarkan ke arah penonton sehingga bunyi
langsung yang diterima penonton lebih sedikit sehingga kekerasan
sangat berkurang.
Disarankan bentuk permukaan pemantul bunyi yang miring
dengan permukaan yang tidak beraturan, terutama daerah plafond di
atas sumber bunyi, agar sebagian besar bunyi langsung (direct sound)
menyebar ke arah penonton dengan waktu tunda yang panjang
sehingga bunyi langsung dapat diterima sebagian besar penonton
hingga ke tempat duduk terjauh.
g. Penempatan penonton di area yang menguntungkan
Penonton harus berada di daerah yang menguntungkan, baik
56
saat menonton maupun melihat pertunjukan, yakni berada pada area
sumbu longitudinal. Area sumbu longitudinal merupakan area untuk
pendengaran dan penglihatan terbaik, sehingga harus diefektifkan
untuk tempat duduk. Harus dihindari perletakan lorong sirkulasi di
area ini.
Selain ditinjau dari kualitas mendengar dan melihat dari segi
penontonnya, juga harus dilihat dari segi kenyamanan pemainnya.
Agar pemain masih bisa leluasa dalam melakukan aksi panggungnya,
maka rentang sudut yang masih bisa ditolerir 135° dari sumber
bunyi.
2. Pemilihan Bentuk Ruang yang Tepat
Doelle (1995:95) menyebutkan bahwa bentuk ruang juga
mempengaruhi kualitas bunyi. Ada beberapa bentuk ruang pertunjukan
yang lazim digunakan , yaitu: bentuk empat persegi (rectangular shape),
bentuk kipas (fan shape), bentuk tapal kuda (horse-shoe shape) dan
bentuk hexagonal (hexagonal shape).
Bentuk Ruang Empat Persegi (rectangular shape) merupakan
bentuk tradisional yang paling umum digunakan Ruang-ruang konser
dari abad ke- 19 dan awal abad ke-20 seperti The Grosser
Musikvereinsaal, Vienna, Andrew’s Hall Glasgow, The Concertgebouw
Amsterdam, The Stadt Casino Basel dan Symphony Hall Boston,
semuanya mempunyai bentuk lantai empat persegi. Keuntungan dari
bentuk ruang ini dijelaskan Mills (1976:28),"Bentuk ruang empat persegi
panjang (rectangular shape) memiliki tingkat keseragaman suara yang
tinggi sehingga terjadi keseimbangan antara suara awal dan suara akhir.
57
Sisi lebar yang lebih kecil dapat merespon bunyi lateral /bunyi samping,
diperkuat dengan pantulan yang berulang-ulang antar dinding samping
menyebabkan bertambahnya kepenuhan nada, suatu segi akustik ruang
yang sangat diinginkan pada ruang pertunjukan." Kelemahan dari bentuk
ini adalah pada bagian sisi panjangnya, karena menjadikan jarak antara
penonton dengan panggung terlalu jauh.Solusi untuk permasalahan ini
adalah dengan mempersempit area panggung dan memperlebar sisi
depannya.
Lantai bentuk Kipas (Fan Shape) membawa penonton dekat
dengan sumber bunyi karena memungkinkan adanya konstruksi balkon.
Keuntungan lain dari bentuk ini menurut Mills (1986: 29) adalah bentuk
kipas dapat menampung penonton dalam jumlah banyak, disamping itu
juga menyediakan sudut pandang yang maksimum bagi penonton.
Akan tetapi disisi lain, banyak pula kekurangan dari bentuk ini
memiliki kekurangan yang membuat reputasi akustiknya kurang baik,
karena bentuk dinding samping yang melebar ke belakang menyebabkan
pemantulan yang terlalu cepat ke dinding belakang yang dilengkungkan
sehingga menciptakan gema dan pemusatan bunyi sehingga ruang ini
cenderung memiliki akustik yang tidak seragam, dengan kondisi area
duduk penonton bagian tengah yang kurang baik.
Ruang Bentuk Tapal Kuda (Horse-shoe shape) merupakan bentuk
yang memiliki keistimewaan karakteristik yakni adanya kotak-kotak
yang berhubungan (rings of boxes) yang satu di atas yang lain. Walaupun
tanpa lapisan permukaan penyerap bunyi pada interiornya, kotak-kotak
ini berperan secara efisien pada penyerapan bunyi dan menyediakan
58
waktu dengung yang pendek. Disamping itu bentuk dindingnya membuat
jarak penonton dengan pemain menjadi lebih dekat. (Doelle:1990).
Akan tetapi disisi lain terdapat kekurangan yaitu permukaan dinding
bagian belakang yang cekung merupakan bentuk yang tidak dianjurkan
karena akan terjadi penyerapan suara yang terlalu tinggi di bagian
belakang.
Bentuk Lantai Hexagonal (Hexagonal Shape) di di bawah ini
dapat membawa penonton sangat dekat dengan sumber bunyi, keakraban
akustik dan ketegasan, karena permukaan-permukaan yang digunakan
untuk menghasilkan pemantulan-pemantulan dengan waktu tunda
singkat dapat dipadukan dengan mudah ke dalam keseluruhan rancangan
arsitektur.
3. Distribusi Bunyi yang Merata
Energi bunyi dari sumber bunyi harus terdistribusi secara merata ke
setiap bagian ruang, baik yang dekat maupun yang jauh dari sumber
bunyi. Untuk mencapai keadaan tersebut menurut Doelle (1990:60) perlu
diusahakan pengolahan pada elemen pembentuk ruangnya, yakni unsur
langit-langit, lantai dan dinding, dengan cara membuat permukaan yang
tidak teratur, penonjolan elemen bangunan, langit-langit yang ditutup,
kotak-kotak yang menonjol, dekorasi pada permukaan dinding yang
dipahat, bukaan jendela yang dalam dll.
Pengolahan bentuk permukaan elemen pembentuk ruang terutama
dibagian dinding dan langit-langit dengan susunan yang tidak teratur dan
dalam jumlah dan ukuran yang cukup akan banyak memperbaiki kondisi
dengar, terutama pada ruang dengan waktu dengung yang cukup panjang.
59
4. Ruang harus bebas dari cacat-cacat akustik
Cacat akustik merupakan kekurangan-kekurangan yang terdapat
pada pengolahan elemen pembentuk ruang gedung pertunjukan yang
menimbulkan permasalahan akustik. Adapun cacat akustik yang biasa
terjadi pada sebuah gedung pertunjukan yang tidak di desain dengan baik
menurut Doelle (1990:64) ada delapan jenis, yakni: gema/echoes,
pemantulan yang berkepanjangan (long - delayed reflections), gaung,
pemusatan bunyi, ruang gandeng (coupled spaces), distorsi, bayangan
bunyi, dan serambi bisikan (whispering gallery).
Gema (echoes) merupakan cacat akustik yang paling berat, terjadi
bila bunyi yang dipantulkan oleh suatu permukaan tertunda cukup lama
untuk dapat diterima dan menjadi bunyi yang berbeda dari bunyi yang
merambat langsung dari sumber suara ke pendengar. Terkait dengan hal
ini Mills (1990:28) berpendapat: Reflections off large plane surfaces risk
being heard as echoes, that is discrete delayed repetitions of the direct
sound. Jadi pemantulan suara yang mengenai permukaan datar yang
lebar beresiko terdengar sebagai gema, yang ditandai dengan adanya
penundaan yang berulang-ulang dari bunyi langsung.
Pemantulan yang Berkepanjangan (Long - Delayed Reflections)
adalah cacat akustik yang sejenis dengan gema, tetapi penundaan waktu
antara penerimaan bunyi langsung dan bunyi pantul agak lebih singkat,
sedangkan gaung merupakan cacat akustik yang terdiri atas gema-gema
kecil yang berturutan dengan cepat. Peristiwa ini dapat diamati bila
terjadi ledakan singkat seperti tepukan tangan atau tembakan yang
dilakukan di antara dua permukaan dinding atau pemantul bunyi yang
60
sejajar dan rata.Waktu dengung (reverberation time) berperan penting
dalam menciptakan kualitas musik dan kemampuan untuk memahami
suara percakapan dalam ruang. Ketika permukaan ruang memiliki daya
pantul yang tinggi, bunyi akan terus memantul atau menggema secara
berlebihan sehingga mengakibatkan bunyi tidak dapat didengar dan
dimengerti dengan jelas .
Pemusatan Bunyi atau disebut juga dengan hot spots atau titik panas,
merupakan cacat akustik yang disebabkan oleh pemantulan bunyi pada
permukaan-permukaan cekung. Intensitas bunyi di titik panas sangat
tinggi dan merugikan daerah dengar karena menyebabkan distribusi
energi bunyi tidak dapat merata .
Ruang Gandeng (Coupled Spaces) merupakan cacat akustik yang
terjadi bila suatu ruang pertunjukan berhubungan langsung dengan ruang
lain seperti ruang depan dan ruang tangga, maka kedua ruang tersebut
membentuk ruang gandeng. Selama rongga udara ruang yang
bergandengan tersebut terbuka maka masuknya bunyi dengung dari
ruang lain tersebut akan terasa meski dengung di dalam ruang
pertunjukan telah diatasi dengan baik. Gejala ini akan mengganggu
penonton yang duduk dekat pintu keluar masuk yang terbuka.
Distorsi merupakan cacat akustik yang disebabkan oleh perubahan
kualitas bunyi yang tidak dikehendaki. Hal ini terjadi akibat
ketidakseimbangan atau penyerapan bunyi yang terlalu besar oleh
permukaan-permukaan dinding.
Bayangan Bunyi merupakan cacat akustik yang terjadi apabila bunyi
terhalang untuk sampai ke penonton. Gejala ini dapat diamati pada
61
tempat duduk di bawah balkon yang menonjol terlalu jauh dengan
kedalaman lebih dari dua kali tingginya.
Serambi Bisikan (Whispering Gallery) merupakan cacat akustik
yang disebabkan oleh adanya frekuensi bunyi tinggi yang mempunyai
kecenderungan untuk merangkak sepanjang permukaan-permukaan
cekung yang besar (kubah setengah bola). Suatu bunyi yang sangat
lembut seperti bisikan yang diucapkan di bawah kubah tersebut akan
terdengar pada sisi yang lain. Meskipun gejala ini kadang menyenangkan
dan tidak merusak, akan tetapi tetap saja merupakan suatu keadaan yang
tidak diinginkan bagi akustik yang baik.
5. Penggunaan Bahan Penyerap Bunyi
Pemilihan bahan penyerap bunyi yang tepat untuk melapisi elemen
pembentuk ruang gedung pertunjukan sangat dipersyaratkan untuk
menghasilkan kualitas suara yang memuaskan. Doelle (1990:33)
menjelaskan mengenai bahan-bahan penyerap bunyi yang digunakan
dalam perancangan akustik yang dipakai sebagai pengendali bunyi dalam
ruang-ruang bising dan dapat dipasang pada dinding ruang atau di
gantung sebagai penyerap ruang yakni yang berjenis bahan berpori dan
panel penyerap (panel absorber) serta karpet.
C. Tatanan tempat duduk
Gambar 2.46 Metode menghitung posisi pandangan , titik P berada di bawah
Sumber : Ham (1987:30)
62
Gambar 2. 47 Sudut maksimum kemiringan penglihatan.
Sumber : Roberts (2004:202)
Tata letak duduk penonton menjadi hal yang penting untuk dipahami.
Seperti yang tertulis pada pembahasan sebelumnya, kenyamanan saat
menonton pertunjukan dipengaruhi batas jarak pandang dan kemampuan
mendengarkan dari tiap individu penonton.
Tiap baris dibuat bertingkat sehingga tiap penonton secara teori tidak
terhalang oleh orang di depannya. Kemiringan lantai minimal 30°. Namun,
masalah terhalang kepala orang yang duduk di depan masih sering terjadi,
maka pola duduk selang-seling menjadi solusinya.
Gambar 2.48 Posisi duduk selang-seling
Sumber : Ham (1987:35)
Dengan pola duduk seperti ini, seorang penonton tidak lagi terhalang
oleh kepala orang yang duduk di depannya. Kepala orang yang duduk 2
baris di depannya yang mungkin akan menghalangi pandangan lurus ke
depannya. Namun orang tersebut duduk 2 baris di bawahnya. Baris di
depannya hanya akan sedikit mempersempit lebar pandangan sisi kiri dan
63
kanan. Melengkungkan barisan kursi juga dapat menambah fokus
pandangan ke arah pusat panggung.
Area balkon yang juga menampung penonton pada area atas harus
didesain sedemikian rupa sehingga mencegah digunakannya tembok balkon
sebagai tempat meletakan barang-barang seperti tas yang mungkin jatuh dan
menimpa orang lain di bawahnya. Bila terlalu tipis, akan membut penonton
merasa ngeri, tebal idealnya sekitar 250 mm. Railing penjaga perlu dipasang
di setiap ujung dinding balkon.
Gambar 2.49 Kursi Balkon
Sumber : Ham (1987:56)
Jarak sirkulasi pada area penonton menjadi faktor penting berikutnya.
Berdasarkan buku Theatre Planning ABTT, Ham(1987:54) menyebutkan
bahwa:
- A : jarak back-to-back tiap baris untuk kursi dengan sandaran
adalah 760 mm (minimum).
- B : jarak back-to-back tiap baris untuk kursi tanpa sandaran
adalah 610 mm (minimum).
- C : Lebar kursi dengan sandaran tangan adalah 510 mm
(minimum).
- D : Lebar kursi tanpa sandaran tangan adalah 460 mm
(minimum).
64
- E : Jarak antar baris minimum adalah 305mm.
- F : Jarak maksimum untuk kursi dari lorong adalah 3060mm.
- G : Lebar minimum lorong adalah 1070 mm.
Gambar 2.50 Auditorium Seating
Sumber : Ham (1987:55)
D. Instalasi suara dan komunikasi
Instalasi suara dan komunikasi diatur di dalam sebuah sound control
room. Leaknya bisa bersebelahan dengan lighting control room, atau bahkan
di dalam satu ruangan. Sound control room harus memiliki jendela observasi
yang langsung menghadap panggung dan orchestra pit jika ada, tanpa ada
halangan. Ada saat ketika operator (sound mixer) harus memonitor suara
secara langsung sama seperti pendengaran penonton, bukan suara dari
65
loudspeaker. Ruangan harus memadai dan kedap suara, serta akustik di
dalamnya sebisa mungkin serupa dengan yang berada di auditorium.
Segalam macam kebel sound system akan berakhir di ruang kontrol ini.
1) Microphone
Mikrofon dari cardioid, harus diletakan dengan cara digantung
sepanjang sisi luar panggung. Jumlahnya tergantung lebar panggung.
Mikrofon ini harus dilengkapi dengan shock absorbent fixings sehingga
getaran dari panggung itu sendiri tidak mempengaruhi mikrofon.
Alternative lain untuk mikrofon gantung adalah dengan menggunakan
long-range gun microphones yang menghadap langsung ke ke
panggung dari posisi front-of-house. Sebuah omni-directional
microphone adalah jenis mikrofon yang paling berguna, namun
membutuhkan penyangga dan kabel yang cukup panjng untuk
memudahkan pergerakan di atas panggung.
Apapun jenisnya, mikrofon yang digunakan harus sekecil mungkin.
Pemilihan jenisnya tergantung dari penggunaan dan posisi
ditempatkannya. Kondisi akustik ruangan juga berhubungan dengan
pemilihan mikrofon.
2) Loudspeaker
Loudspeaker untuk membantu kegiatan pidato atau produksi musik
harus diletakkan sehingga suara timbul dari arah panggung. Pada teater
proscenium, loudspeaker biasanya berada di depan proscenium. Hal ini
dikarenakan line source speakers memiliki desain yang compact dan
kualitas yang baik. Speaker jenis ini aslinya digunakan untuk membantu
kegiatan pidato. Namun untuk fleksibilitas, modifikasi dilakukan untuk
66
kegiatan musik juga.
Gambar 2. 51 Posisi Speaker pada ceiling.
Sumber : Cole (1949:173)
3) Cables
Semua kabel permanen harus terpasang tegang (tidak menjuntai)
dan terukur beratnya. Spesifikasi dan penempatan kabel mikrofon juga
penting karena gangguan dari sumber luar mungkin terjadi. Kabel layar
harus berada pada jarak minimum 150 mm dari semua kabel ac utama,
harus bersih dari saklar roda, transformer, dan dimmer. Kabel
loudspeaker biasanya lebih berat dibandingkan dengan kabel mikrofon.
Konduktornya terisolasi dan dibungkus dengan pvc atau karet tebal.
E. Tata cahaya panggung
Dalam bukunya Cole (1949:155) menyatakan tata cahaya panggung
memiliki 4 fungsi:
1) Visibility - membuat para penonton dapat melihat dengan jelas, dan
untuk sutradara agar dapat menatur perhatian dengan variasi intensitas
dan warna cahaya.
2) Naturalism - pencahayaan panggung harus dapat mengimitasi
pencahayaan alami maupun buatan pada tempat di mana adegan
67
tersebut dilakukan, sehingga dapat menciptakan ilusi yang mudah
dipercaya. Fungsi ini termasuk di dalamnya cahaya matahari dan bulan,
desa dan kota, inteior dan eksterior, pada tempat yang nyata maupun
imajinasi.
3) Design - pada oranisasi teater, tata cahaya panggun gmerupakan
bagian dari desain latar. Sang desainer bartanggungjawab untuk
mengatur pencahayaan pertunjukan.
4) Mood - banyak desainer dan sutradara bergantung pada pencahayaan
sebagai fasilitas penting untuk menciptakan suasana yang diinginkan.
Seorang sutradara pada produksi teater, atau seorang koreografer pada
pertunjukan tari memiliki peran penting dalam keseluruhan pertunjukan.
Mereka harus memikirkan efek-efek yang dibangun, baik visual maupun
aural, termasuk di dalamnya pencahayan panggung. Karena keterbatasn
daya, maka sutradara membutuhkan seorang penata cahaya (lighting
designer) untuk membantunya. Seorang penata cahaya harus bekerja sama
dengan sutradara dan penata latar sehingga dapat memahami gaya visual
yang diinginkan.
Semua skema cahaya panggung harus didasari oleh penerangan general.
Dalam pementasan drama, pencahayaan menjadi sumber dari pusat
perhatian mata penonton. Sebaik apapun posisi duduk penonton dalan
hubunganny dengan panggung, komunikasi akan hilang apabila sang aktor
tidak diterangi dengan baik.
Gambar 2.52 2 cara menyinari pemain
68
Sumber : Ham (1987:113)
Pencahayaan pada acting area dapat diperoleh dari lampu dengan bias
cahaya yang lebar. Sekali pencahayaan ditampilkan, perhatian penonton
dapat menjadi sebuah tuntutan untuk meraih efek dramatis atau dekoratif
(motivating lighting). Hasil seperti ini dapat diciptakan menggunakan
permainan warna, arah, dan intensitas.
Gambar 2.53 Teori peletakan lampu panggung
Sumber : Ham (1987:114)
Ada beberapa posisi dasar pencahayaan panggung dengan hasil
tampilan aktor dan latar yang jelas. Namun jika dimungkinkan,
mengabungkan beberapa lampu dengan sudut berbeda akan menghasilkan
komposisi yang lebih efektif. Beberapa lampu besar dari arah penonton
harus disusun sedemikian rupa sehinnga menyorot wajah aktor dengan
kemiringan 45°. Bila sudutnya lebih curam akan menimbulkan bayangan
gelap di bawah alis mata, dan apabila sudutnya lebih datar akan
69
menimbulkan bayangan yang merusak pada latar atau pada aktor lain.
Spotlight jarang diarahkan lurus ke arah aktor, biasanya diarahkan
menyilang. Lebar panggung dan ketinggian lampu akan sangat
mempengaruhi sudut kemiringan.
Semua pengaturan lighting dikerjakan di dalam lighting control room
yang juag memiliki jendela observasi yang memungkinkan bagi operator
untuk melihat langsung ke arah panggung, sayap panggung, dan dari
lantaipanggung hingga border. Ruangan sebesar 3 m × 2.4 m seharusnya
cukup, namun harus dipertimbangkan lagi peralatan seperti apa yang
disediakan. Akses normal ke ruang kontrol ini seharusnya dari luar
auditorium dan terpisah dari area publik, namun harus memiliki pintu
langsung ke arah auditorium yang diperlukan untuk kepentingan latihan.
Pintu-pintu yang ada harus kedap cahaya sehingga tidak ada cahaya yang
bocor ke dalam auditorium.
Meskipun peralatan cahaya panggung dapat berubah dari segi ukuran
dan daya listriknya, prinsip -prinsip penting yang mendasari pengelompokan
peralatan tersebut tetap standar. Ada 4 tipe dasar:
1) Spotlight - untuk penerangan di depan, penekanan khusus pada
acting area.
2) Strip light - penerangan pada border, footlight, cyclorama strip.
3) Floodlights - motivating lights, latar
4) Projector - effects, scenery, shadows.
Berikut ini adalah beberap ajenis lampu yang digunakan untuk tata
cahaya panggung.
Tabel 2. 1 Jenis-jenis Lampu Panggung
70
No. Gambar Nama
1
Spotlight, lensa fresnel
Sumber : www.archiexpo.com
2
Projector parobolic reflector
Sumber : www.ivasart.md
3
Spotlight Ellipsoidal reflector
Sumber : www.theaterlighting.net
4
Conventional PAR strip light
Sumber : www.theaterlighting.net
5
LED strip-footlight
Sumber : www.theaterlighting.net
6
Conventional MR-16 striplight
Sumber : www.theaterlighting.net
7
Floodlight
Sumber : www.wickes.co.uk
71
8
Chauvet LED Techno Strobe
Sumber : www.wickes.co.uk
9
Follow spot
Sumber : www.theaterlighting.net
Gambar 2. 54 Recomended Basic Layout of Lighting Instrument
Sumber : Cole (1949:156)
F. Pengaturan suhu ruangan dan ventilasi
Ventilasi harus dirancang untuk menghasilkan aliran udara yang baik
denga suhu tang tepat. Orang-orang akan lebih nyaman jika hembusan udara
72
bertiup ke arah wajah daripada tertiup udara dai arah belakang kepala.
Udara harus dapat menjangkau tiap sudut ruangan tanpa menyisakan
stagnant zone dan suhu udara harus tetap di setiap area ruangan. Sistem
penghawaan juga harus beroperasi dengan tingkat kebisingan yang sangat
rendah.
Jika dinding atau atap dari auditorium di-expose tanpa dilapisi oleh
bagian bangunan yang lain, maka beban pada sistem penghawaan akan lebih
besar. Atap yang buruk, misalnya, akan menyerap panas matahari dan
meradiasikannya kembali pada penonton yang berada tepat di bawahnya.
Apabila dinding auditorium juga di-expose dengan sedikit sekali
perlindungan, akan semakin membuat penonton menjadi tidak nyaman.
Pasokan udara ke dalam auditorium sebaiknya tidak kurang dari
28m3/jam tiap orang. Apabila aliran udara terlalu besar maka ada
kemungkinan tiri-tirai dan latar akan tertiup juga. Ada dua tipe sistem
ventilasi untuk ruang auditorium, yakni upward system of ventilation dan
downward system of ventilation. Upward system of ventilation hanya bisa
digunakan jika udara yang masuk memiliki suhu yang sama dengan udara
yang sudah ada di dalam ruangan. Bila selisih temperatur udara besar, akan
terjadi angin dingin. Downward system of ventilation adalah cara terbaik
untuk menghadirkan udara sejuk ke dalam auditorium tanpa menyebabkan
angin. Inlet dapat diletakan di langit-langit atau di dinding samping dan
belakang pada posisi yang tinggi.
G. Keamanan
Arsitek dan pihak manajemen gedung harus paham dan mengerti
mengenai prinsip-prinsip keamanan gedung, dan bekerja sama untuk
73
mewujudkannya. Selain permasalahan teknis konstruksi bangunan, perlu
juga dikakukan konsultasi antara pihak arsitek, manajemen gedung, dan
pemerintah daerah tempat gedung tersebut didirikan untuk membahas
mengenai standar keamanan gedung yang berlaku di lokasi tersebut.
Terlepas dari semua masalah teknis yang sudah direncakana dan sudah
dibangun, Ham (1987:42) mengungkapkan bahwa jaminan keamanan publik
yang terbaik adalah efisiensi dan integritas manajemen pengelola sehari-hari,
dan ini dapat mendukung jika yang bersangkutan memiliki keyakian dan
pemahaman tentang perngaturan keamanan.
1) Bahaya dan perlidungan
Bagi panggung pementasan kuno, bahaya terbesar berasal dari
kebakaran di atas panggung. Api akan sangat sulit dipadamkan bila
kanvas dan kayu menjadi material utama panggung. Penggunaan kanvas
tahan api membuat kanvas lebih sulit terbakar. Namun ketika sudah
terbakar, asap yang ditimbulkan menjadi pekat.
Kebakaran yang terjadi pada panggung akan sangat merusak
keseluruhan bangunan. Strategi untuk menangani kebakaran di area
panggung adalah dengan mebatasi api dengan keempat sisi dinding
panggung dan membuat cerobong asap beserta dengan penyedot
asapnya, sehingga menjauhkan api dan asap dari penonton.
2) Dinding proscenium
Dinding proscenium dibuat untuk memberikan batasan antara
panggung dengan area penonton. Dinding proscenium dilengkapi
dengan safety curtain yang akan menutup area panggug dan mencegah
keluarnya api dan asap.
74
3) Lentera panggung
Ventilasi udara otomatis atau stage lantern (lentera panggung)
merupakan perlindungan terhadap api yang paling penting yang harus
dimiliki panggung pertunjukan.
4) Ventilasi auditorium
Ventilasi pada ruang auditorium didesain untuk mengaatur aliran
udara menuju panggung setiap saat. Harus ada sistem pada lobby untuk
mencegah hantamn udara menuju jalan keluar dari arah panggung.
Bila kebakaran terjadi di atas panggung, maka stage lantern akan
terbuak secara manual, secara otomatis, atau dengan cara terakhir
dengan memecahkan kaca tipis khusus yang berada di bawah panggun
guntuk mengeluarkan panas. Safety curtain diturunkan dan drencher
dinyalakan untuk mencegahnya membengkok akibat panas. Sprinkler
otomatis di aats panggung akan membantu mengurangi besar kobaran
api sebisa mungkin.
Pada kondisi seperti ini, para pemain dan crew hanya memiliki
waktu yang sangat singkat untuk menyelamatkan diri, dan hal semacam
ini sudah harus direncanakan sejak awal, termasuk untk bagian selain
panggung seperti stage basement, the flys, dan the grid. Letak ruangan
lainnya seperti ruang ganti pribadi, gudang properti, kantor, dll, harus
terpisah dari panggung. Petugas pengelola gedung harus dapat
memandu para pengguna gedung untuk dapat menyelamatkan diri dan
tiba di tempat perlindungan yang aman, karena merekalah yng
seharusnya memahami seluruh seluk beluk gedung dan jalur-jalur
evakuasi yang ada.
75
5) Peralatan pemadaman api
Peralatan pemadaman api dan peletakannya di dalam gedung harus
dikonsultasikan kepada ahlinya, sesuai dengan regulasi yang ada.
Peralatan yang berada di dalam auditorium dan area publik dipasang
secara permanen dan memiliki gulungan selang. Panggunng
menggunakan sistem sprinkler yang juga dilengkapi dengan hydrant,
gulungan selang dan ember.
Panggung dan dressing room harus memiliki lapisan dari wool tebal
atau asbestos. Area belakang panggung harus memiliki pemadam jenis
air yang bisa dibawa oleh tangan, yang juga diletakan di koridor.
Berbagai macam jenis pemadam api diciptakan untuk tujuan yang
berbeda-beda. Pemadam dari karbon dioksida digunakan untuk
memadamkan api yang bersumber dari peralaran listrik. Pemadam
berupa foam untuk kebakaran yang bersumber dari minyak.
6) Pertanggungjawaban pengelola
Jika harus melakukan proses evakuasi, mental dan pelatihan staff
sangat penting. Mereka harus memiliki keyakinan bahwa
langkah-langkah keamanan yang tepat harus siap dilaksanakan
kapanpun. Kesadaran staff bahwa beberapa peralatan tertentu tidak
pernah dipelihara dan ada beberapa bagian yang tidak bekerja
semsetinya, sekecil apapun, akan mengakibatkan bencana.
Permasalahan yang dihadapi pengelola harus benar-benar diperhatikan.
Survei secara berkala dan inspeksi harus dilakuakn untuk meninjau apakah
sarana dan prasarana gedung dipelihara dan dalam kondisi aman.
H. Jalan Keluar
76
Dari sekian banyak pengunjung yangdatang ke sebuah gedung
pertunjukan, pasti ada sebagian yang baru pertam akali datang. Ada juga
yang belum merasa familiar dengan gedung. Bila terjadikondisi darurat yang
mengharuskan tindak evakuasi dalam waktu singkat, maka akan timbul
kepanikan yang malah akan membuat suasana semakin kacau. Oleh alasan
inilah makan jalur evakuasi perlu dibuat dan disosialisasikan kepada seluruh
pengguna gedung.
Paling sedikit terdapat 2 jalur evakuasi pada tiap lantainya. Tiap-tiap
jalur harus berdiri sendiri dan berjauhan satu sama lain. Dua jalur yang
berdekatan dan berkaitan sau sama lain bukanlah jalur alternatif. Jalur keluar
dari auditorium harus didistribusikan dengan aman dan harus terhubung
dengan sirkulasi normal pada area publik.
Gambar 2.55 Scissors escape stairs
Sumber : Ham (1987:53)
Pada kondisi darurat, seseorang pasti akan menjauhi sumber bahaya.
Bila terjadi kebakaran pada area panggung misalnya, semua orang akan
berlarian menuju baris paling belakang, meskipun safety curtain sudah
ditutup. Sangat tidak bijak bila hanya menyediakan pintu keluar di dekat
77
proscenium. Oleh karena itu pintu keluar pada area belakang auditorium
akan sangat berguna. Lagipula berjalan menaiki undakan area duduk akan
lebih aman dibandingkn dengan menuruninya. Sedangkan apabila kebakaran
terjadi di bagin belakang auditorium, di mana keadaan ini jarang sekali
terjadi, para penonton dapat keluar melalui pintu di dekat panggung.
Lebar pintu keluar berhubungan dengan fungsinya. Ham (1987:51)
menuliskan,"Rata-rata pergerakan orang di dalam gedung tater adalah 45
orang tiap menit tiap pintu dengan lebar 520-530 mm. Pada bangunan baru,
lebar pintu keluar sebaiknya tidak kurang dari 960-1070 mm."
Jumlah pintu keluar dan lebarnya harus sesuai dengan asusmsi bahwa 1
orang penonton harus dapat meninggalkan auditorium dalam waktu 2,5
menit. Seluruh pintu keluar harus bisa dnegan mudah dibuka dan mudah
dikenali. Jalur evakuasi juga perlu dilengkapi dengan penerangan darurat.
Semua pintu darurat harus dibuka dengan arah keluar. Hanya pintu
masuk utama gedung yang perlu didbuat dapat dibuka dari kedua arahnya.
Pintu putar dan pintu geser sangat tidak dianjurkn karena akan susah dibuka
dan malh membuat susah saat terjadi kondisi darurat.
Jalur evakuasi sebisa mungkin terpisah dari jalur lainnya dan menuju
langsung ke tempat yang aman. Harus dibangun menggunakan material
tahan api dan aman untuk digunakan dalam keadaan panik. Bentuk-bentuk
yang tidak wajar serta permukaan yang tidak rata harus dihindari.
2.1.8 Persyaratan Fasilitas
Perizinan dan peraturan bangunan teater pada awalnya dimaksudkan sebagai
pedoman untuk menjaga ketertiban umum. Pemberian izin seperti ini terkait
78
dengan persyaratan keamanan gedung dan fungsinya. Berdasarkan alasan inilah
mengapa prosedur untuk mendapatkan persetujian otoritas lokal untuk tempat
hiburan umum berbeda dari persyaratan untuk gedung lainnya.
Pejabat lokal yang bertugas untuk mengatur perundangan, harus memiliki
rasa kepedulian terhadap keberlangsungan seni pertunjukan. Regulasi hanya
dapat dibuat untuk menangani jenis-jenis bangunan yang dikenal, bukan untuk
mengantisipasi ide-ide baru atau bentuk kostruksi.
Di Indonesia, undang-undang tentang bangunan gedung diatur dalam
Undang-Undang RI. Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung. Di
dalam undang-undang ini dijabarkan secara rinci mengenai fungsi, persyaratan
penyelenggaraan, peran masyarakat, dan pembinaan. Pengaturan bangunan
gedung bertujuan untuk mewujudkan bangunan gedung yang fungsional dan
sesuai dengan tata bangunan gedung yang serasi dan selaras dengan
lingkungannya; mewujudkan tertib penyelenggaraan banguna gedung yang
menjamin keandalan teknis bangunan gedung dari segi keselamatan, kesehatan,
kenyamanan, dan kemudahan; serta mewujudkan kepastian hukum dalam
penyelenggaraan bangunan gedung.
Berikut ini adalah peraturan perundangan yang terkait dengan pelestarian
Gedung Kesenian Jakarta:
Pasal 38
(1) Bangunan gedung dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar
budaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan harus dilindungi dan
dilestarikan.
(2) Penetapan bangunan gedung dan lingkungannya yang dilindungi dan
dilestarikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah
79
Daerah dan/atau Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan
perundang-undangan.
(3) Pelaksanaan perbaikan, pemugaran, perlindungan, serta pemeliharaan atas
bangunan gedung dan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah nilai dan/atau karakter cagar
budaya yang dikandungnya.
(4) Perbaikan, pemugaran, dan pemanfaatan bangunan gedung dan
lingkungan cagar budaya yang dilakukan menyalahi ketentuan fungsi dan/atau
karakter cagar budaya, harus dikembalikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(5) Ketentuan mengenai perlindungan dan pelestarian sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) serta teknis pelaksanaan perbaikan, pemugaran dan
pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal ini mengamanatkan bahwa bangunan gedung dan lingkungannya yang
ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
harus dilindungi dan dilestarikan, guna mendukung upaya perlindungan dan
pelestarian bangunan dan lingkungan cagar budaya tersebut, perlu disusun
peraturan yang diharapkan dapat memberikan panduan baik bagi masyarakat pada
umumnya, para perancang bangunan dan lingkungan serta asosiasi di bidang
bangunan dan lingkungan, dan khususnya bagi Pemerintah Daerah. Setiap upaya
pelestarian (konservasi) di Indonesia harus selaras dengan maksud dan tujuan
yang tersurat dan tersirat dalam aturan perundangan tersebut.
Pengelolaan Gedung Kesenian Jakarta mengacu pada Peraturan Gubernur
80
Provinsi DKI Jakarta No. 83 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Gedung
Kesenian. Fungsi dan tugas pokok Gedung Keseina Jakarta mengacu pada
Keputusan Kepada Dinas Kebudayaan dan Permuseuman provinsi DKI Jakarta
No.210/2006 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata kerja Pengelola Gedung
Kesenian Jakarta.
2.2. Tinjauan Khusus
Untuk mendapatkan refernsi mengenai gedung-gedung pertunjukan budaya,
perlu dilakukan kegiatan survey terhadap gedung-gedung pertunjukan di Jakarta,
81
seperti Gedung Kesenian Jakarta, Teater komunitas Salihara, dan graha Bhakti
Budaya. Selain mengobservasi gedung-gedung pertunjukan, perlu juga dilakukan
pengumpulan data mengenai tempat-tempat pertunjukan pariwisata dan budaya yang
sudah ada, seperti Bali Theatre di Bali Safari and Marine Park dan juga Siam
Niramit di Thailand.
2.2.1 Gedung Kesenian Jakarta
Gedung Kesenian Jakarta berlokasi di Jalan Gedung Kesenian no.1, Jakarta
Pusat. Gedung yang dibangun pada masa kolonial Belanda ini masih digunakan
hingga hari ini dan menjadi tempat bagi para seniman dari seluruh Nusantara,
maupun internasional, mempertunjukkan hasil kreasi seninya, seperti drama,
teater, tari, film, sastra, dan lain sebagainya.
Gambar 2.56.Tampak Serong Depan GKJ Gambar 2.57 Tampak Samping GKJ
Sumber : dokumentasi penulis Sumber : dokumentasi penulis
A. Sejarah
1) Masa Inggris
Ide munculnya gedung ini berasal dari Gubernur Jendral Belanda,
Daendels. Kemudian direalisasikan oleh Gubernur Jendral Inggris, Sir
Thomas Stamford Raffles pada tahun 1814 yang merasa prihatin ketika
pertama kali menduduki Batavia pada tahun 1811 karena menyaksikan
kota ini tidak memiliki gedung kesenian.
Pada tanggal 27 Oktober 1814 gedung pertunjukan yang tidak
mengesankan dibuka dan diresmikan. Dinding gedung terbuat dari
82
gedek dan bagian atasnya ditutup dengan alang-alang, berdiri di atas
lahan kosong dekat daerah Pasar Baru. Walau bentuk teater tersebut
buruk, namun mencapai tujuannya untuk menghibur tentara Inggris
yang haus hiburan.
Dengan bangga gedung tersebut mereka beri nama "Gedung Teater
militer di Weltevreden" tapi orang Belanda mengejeknya dengan
sebutan "Bamboo Theater". Gedung inilah yang merupakan cikal bakal
lahirnya Gedung Kesenian Jakarta.
2) Masa Belanda
"Bamboo Theater" pun akhirnya berpindah tuan. Beruntung
penguasa Belanda tidak menghancurkan gedung pertunjukan tersebut.
Bangunan yang semula bermaterial bambu, atas dukungan langsung
dari Pemerintah Kolonial Belanda, akhirnya diganti menjadi gedung
kesenian yang ideal dan permanen yang dibuka secara resmi pada
tanggal 7 Desember 1821 oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Dalam perkembangan selanjutnya, bangunan ini sering dikenal
dengan nama Gedung Kesenian Pasar Baru, Gedung Komidi
(Comedelgebow) dan Schouwburg (gedung pertunjukan, dalam bahasa
Belanda). Gedung ini bergaya Yunani baru (Neo Grekse Stijl),
merupakan perkembangan dari gaya Rococo yang populer pada masa
itu.
Shcouwburg pada masa itu memang menjadi pusat perhatian seni
pertunjukan, sehingga tak mengherankan apabila Pangeran Hendrik dari
Belanda ketika berkunjung ke Batavia juga pernah mendapat suguhan
sandiwara di gedung ini. Dan pada tahun 1833 didatangkan rombongan
83
sandiwara dari Perancis, setelah itu secara bergiliran ditampilkan
rombongan kesenian setempat ditambah rombongan yang didatangkan
dari Perancis dan Belanda.
3) Masa Jepang
Masa yang paling menyedihkan dalam perjalanan gedung kesenian
ini adalah ketika masa pendudukan Jepang. Tidak hanya karena tempat
ini telah "dipaksa" harus menyesuaikan diri dengan kepentingan mereka
sebagai penguasa Asia, gedung ini untuk beberapa lama dipakai sebagi
markas tentara sehingga banyak hiasan dan perlengkapan gedung yang
rusak atau hilang. Baru setelah dibentuknya Badan Urusan Kebudayaan
(Keimin Bunka Shidosho) oleh Pemerintah Pendudukan Jepang pada
bulan April 1943, bangunan ini digunakan kembali sebagai tempat
pertunjukan dengan nama Siritsu Gekizyoo.
Menjelang kemerdekaan Indonesia, Gedung Kesenian juga
dijadikan ajang persiapan para seniman muda progresif untuk
menghadapi tugas-tugas untuk menyiapkan kemerdekaan. Ketika bala
tentara Sekutu mendarat di Jakarta setelah Perang Dunia Kedua usai,
mereka membentuk perkumpulan yang mereka beri nama "Seniman
Merdeka". Kelompok ini beranggotakan Usmar Ismail, Cornel
Simanjuntak, Soerjo Soemanto, D. Djajakususma, Soedjono S., Basuki
Resobowo, Rosihan Anwar, Sarifin, Suhaimi, dan satu-satunya gadis
yakni Malidar Malik.
Mereka berkeliing menggunakan sebuah truk yang berhasil mereka
bawa dari Pusat Kebudayaan Jepang (Keimin Bunka Shidosho). Truk
tersebut digunakan untuk mengadakan pertunjukan sandiwara keliling
84
seta memberi dorongan dan semangat rakyat agar serempak menentang
penjajah. Sedangkan gedung kesenian mereka gunakan sebagai
pangkalan tetap selama perjuangan mereka.
4) Masa Kemerdekaan
Menurut catatan sejarah, Gedung Kesenian Jakarta yang waktu itu
masih bernama Gedung Kesenian pernah digunakan untuk sidang
pertama KNIP, yakni pada tanggal 29 Agustus 1945 atau tept 12 hari
setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Peristiwa penting
ini dicatat karena merupakan peristiwa politik pertama yang
menggunakan gedung kesenian itu. KNIP sendiri waktu itu bisa
disetarakan dengan parlemen atau DPR. Peristiwa ini semakin penting
karena dihadiri oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta.
Pada tahun 1951 gedung pertunjukan ini sempat pula " melenceng"
dari fungsi sebenarnya, yakni dijadikan ruang kuliah para mahasiswa
Fakultas Ekonomi dan hukum Universitas Indonesia, pada pagi hari.
Tetapi dimalam hari tetap dijadikan tempat pentas oleh beberapa
kelompok teater dan drama.
Pada tahun 1968, gedung ini kembali berganti peran, yakni sebagai
bioskop "Diana" di bawah pimpinan Prof. Siswabessy yang kemudian
menjadi Menteri Kesehatan tahun 1968, Disinilah masyarakat bisa
menonton film-film India. Tahun 1969 dibentuk Yayasan Gedung
Kesenian di bawah Almarhum Brigjen Pringadi yang bertujuan menjaga
agar gedung tetap terawat. Setahun kemudian, yayasan tersebut berubah
menjadi bioskop "City Theater " yang khusus memutar film mandarin.
Gedung menjadi tak terawat dan kehilangan fungsinya. Sementara
85
bangunan lainnya ada yang digunakan sebagai tempat bilar dan kantor
pajak (dibagian belakang). Bahkan ada juga bangunan lama di
lingukngan ini yang dijadikan tempat tinggal.
Setelah mengalami satu periode yang terlantar dan keluhan para
seniman akan butuhnya tempat pertunjukan lain yang lebih memenuhi
syarat, selain Taman Ismail Marzuki (TIM), tiba-tiba terbersit suatu ide
dari Gubernur R. Suprapto untuk merenovasi gedung yang bersejarah
ini dan dikembalikan kepada fungsinya lewat SK Gubernur DKI Jakarta
NO. 4248/14/1984. Arsitektur dari Gedung Kesenian tidak berubah
hanya di dalam gedung direnovasi secara total dan disesuaikan dengan
perkembangan jaman.
Pada tanggal 5 September 1987 Gedung Kesenian Jakarta
diresmikan oleh Gubernur R . Suprapto yang menjabat kembali sebagai
Gubernur DKI jakarta pada periode itu dan Gedung Kesenian Jakarta
kembali sebagai teater yang mempergelarkan kesenian, serupa masa
lampau. Penyelenggaraan pertunjukan kesenian di Gedung Kesenian
Jakarta dilaksanakan oleh grup-grup yang terpilih berdasarkan inovasi
dan kreatifitas yang mewakili kesenian lokal, nasional maupun
internasional. Hal ini terus dilakukan agar Gedung Kesenian Jakarta
tetap menjadi tempat pertunjukan yang representative, eksklusif dan
bertaraf internasional disamping menjadi oase budaya bagi masyarakat
Jakarta, persinggahan dan dialog budaya para seniman dan seniwati
dalam dan luar negeri.
Dalam perjalanannya hingga saat ini , Gedung Kesenian Jakarta
telat menerima beberapa penghargaan, yakni
86
1. Tahun 2004 Penghargaan Adikaryottama Wisata
2. Tahun 2001 Penghargaan Adikaryottama Wisata
3. Tahun 1997 Penghargaan Gedung Kesenian Jakarta Termasuk 60
Bangunan Terpilih dalam tahun 1996 yang Mendukung Pelestarian
Tapak Sejarah Perkembangan Kota Jakarta Ibukota Negara Republik
Indonesia
4. Tahun 1997 Penghargaan Adikaryottama Wisata
5. Tahun 1996 Penghargaan Adikaryottama Wisata
6. Tahun 1995 Penghargaan Adikaryottama Wisata
B. Visi dan Misi
Viai Gedung Kesenian Jakarta adalah menjadi gedung seni petunjukan
kebanggaan Jakarta khususnya, dan Indonesia serta di tingkat internasional.
Untuk mendukung visi tersebut di atas Gedung Kesenian Jakarta
mempunyai misi:
1) Menyajikan pertunjukan kesenian yang memiliki kualitas yang baik
2) Menjadi sumber inspirasi bagi proses perkembangan budaya bangsa,
khususnya dlaam bidang seni pertunjukan, serta mengkatkan apresiasi
masyarakat terhadap seni budaya
3) Menjadi wadah dialog budaya para seniman/seniwati lokal,
nasional, dan mancanegara melalui karya-karya inovatif yang
diciptakan
4) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam mengimbangi
persaingan atas maraknya gedung-gedung pertunjukan dan galeri-galeri
yang ada serta berperan dalam bidang kesenian melalui pelayanan
secara baik dan profesional.
87
C. Fungsi dan Tugas Pokok
Mengacu pada Keputusan Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman
Provinsi DKI Jakarta no. 210/2006 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata
Kerja Pengelola Gedung Kesenian Jakarta, fungsi dan tugas pokok Gedung
Kesenian Jakarta adalah:
1. Turut berperan aktif dalam mengembangkan serta meningkatkan
apresiasi masyarakat terhadap kesenian, khususnya seni pertunjukan
dalam nuansa etnik, klasik, tradisi, sampai modern di bidang seni musik,
tari, teater, balet, seni kolaborasi dalam skala nasional khususnya dan
Internasional umumnya.
2. Mendukung Pemda Provinsi DKI Jakarta dalam menampilkan
program -program seni budaya berkualitas sebagai sarana pendukung
bidang pariwisita, ekonomi sekaligus menunjang perkembangan seni
budaya khususnya seni pertunjukan.
3. Meningkatkan saling pengertian internasional melalui kegiatan
pertukaran budaya.
4. Menjalin berbagai hubungan kemitraan demi pengembangan
kesenian Indonesia.
5. Melaksanakan misi Gedung Kesenian Jakarta sebagai etalase budaya
dan tempat yang bergengsi untuk menampilkan kesenian berbobot.
6. Menyediakan fasilitas yang memadai untuk pementasan karya-karya
seni upaya memberi motivasi kepada seniman dalam berkarya.
7. Menyelenggarakan pelayanan yang optimal terhadap mitra kerja
Gedung Kesenian Jakarta termasuk grup pengisi acara dan penonton
kesenian.
88
8. Menyediakan tempat untuk menjalin hubungan antar bangsa melalui
pementasan kesenian dan saling bertukar apresiasi sebagai sarana
memupuk perkembangan kesenian, persahabatan sekaligus sebagai
rangsangan peningkatan kreatifitas.
D. Struktur Organisasi
Pengelolaan Gedung Kesenian Jakarta mengacu pada Peraturan
Gubernur Provinsi DKI Jakarta No.83 Tahun 2006 tenteng Pedoman
Pengelolaan Gedung Kesenian.
Keputusan Kepala Dinas Permuseuman dan Kebudayaan provinsi DKI
Jakarta No.83 tahun 2006 tentang Stuktur Organisasi Gedung Kesenian
Jakarta.
Diagram 2.1 Struktur Organisasi GKJ
Sumber : GKJ
Pada tahun 2010, Gedung Kesenian Jakarta memiliki 5 orang PNS dan
23 orang Non-PNS. Saat ini, jumlah pegawai meningkat hingga hampir 40
orang dengan jumlah PNS 6 orang di bagian Administrasi, Keuangan, dan
Sarana Prasarana. Sisanya pegawai Non-PNS.
89
Pengelola GKJ dipimpin oleh seorang direktur dan 4 orang pembantu
direktur yang mengepalai divisinya masing-masing. Berikut ini adalah
penjelasan mengenai tugas yang dimiliki para pegawai GKJ :
1) Divisi Artistik - berhubungan dengan kegiatan pemantasan dan pihak
penampil yang akan melakukan pertunjukan
a) Subdivisi Program mengurus perogram-program yang akan
diselenggarakan di GKJ, dan berhubungn langsung dengan pihak
penampil yang akan melakukan pertunjukan.
b) Subdivisi Pergelaran mengurus jalannya pertunjukan terdiri dari
seorang stage manager, seorang lighting operator, seorang
sound operator, dan 5 orang crew panggung.
2) Divisi Pemasaran - berhubungan dengan pihak-pihak di luar GKJ,
selain grup penampil.
a) Subdivisi Promosi menangani kegiatan promosi program
-program GKJ.
b) Subdivisi Humas menjadi pihak yang berhubungan dengan
pihak luar seperti media, kedutaan besar, pusat kebudayaan asing,
dan sponsor.
3) Divisi Administrasi - mengurus bagian administrasi GKJ.
a) Subdivisi Umum mengurus kepentingan karyawan.
b) Subdivisi Keuangan mengurus keuangan manajemen GKJ.
4) Divisi Sarana Prasarana - mengurus berbagai keperluan gedung
a) Subdivisi Perlengkapan - menyediakan semua kebutuhan
operasional gedung dan kebutuhan pertunjukan.
b) Subdivisi Gedung - melkukan pemeliharaan terhadap gedung.
90
E. Kegiatan
Dalam penyelenggaraan kegiatan program, Gedung Kesenian Jakarta
mendapat bantuan/subsidi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui
Dinas Periwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta. Perolehan dana
tersebut digunakan untuk bantuan biaya operasional grup kesenian. Di luar
bantuan/subsidi tersebut Gedung KEsenian Jakarta memperoleh dana dari
kerjasama dengan grup kesenian berupa kegiatan berikut ini.
1) Penjualan Tiket
Pola kerjasama pergelaran dilakukan dengan maksud dapat
menghasilkan pendapatan yang baik dari setiap penyelenggaraan
kegiatan pertunjukan, dengan menggunakan pola kerjasama baik untuk
kedua belah pihak baik Gedung Kesenian Jakarta maupun grup
penampil yang tentunya dengan menampulkan pergelaran seni
pertunjukan yang memiliki kualitas
2) Penggunaan Gedung
Tidak sedikit pergelaran yang ditampilkan di Gedung Kesenian
Jakarta tanpa bantuan biaya operasional ataupun kerjasama bagi hasil
pernjualan tiket dengan Badan Pengelola Gedung Kesenian Jakarta.
Penampil dapat tampil di Gedung Kesenian Jakarta melalui seleksi
materi pertunjukan dan membayar kompensasi biaya penggunaan
fasilitas gedung pertunjukan.
Hasil Kompensasi biaya penggunaan fasilitas ini dialokasikan untuk
gaji pengawal , perawatan dan pengadaan peralatan ringan, perlengkapan
gedung dan kantor, pengadaan bahan promosi dan pengeluaran lain yang
91
dianggap perlu.
F. Ruang Lingkup Kegiatan
Di bawah naungan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI
Jakarta, Gedung Kesenian Jakarta menjalin hubungan baik dengan badan /
instansi pemerintah lainnya diantaranya : Kementrian Kebudayaan dan
Pariwisata Republik Indonesian, Dinas Penerangan Jalan Umum (PJU)
Provinsi DKI Jakarta, Dinas Pemadam Kebakaran Jakarta Pusat, Dinas
Pertamanan dan Pemakaman Provinsi DKI Jakarta dan lainnya.
Dalam menunjang programnya Gedung Kesenian Jakarta menjalin
hubungan baik dengan:
a. Kedutaan Besar
b. Pusat Kebudayaan Asing
c. Para Penampil diantaranya :
1) Para Seniman
2) Komunitas seni
3) Institusi Pendidikan , diantaranya :
Sekolah Balet, Sekolah,Musik,Lembaga Kesenian,Sanggar
Teater, Wayang Orang , Sekolah dan Universitas di Jakarta, Rumah
Produksi
d. Mitra Sponsor
e. Media Partner diantaranya :
1) Media Cetak (surat kabar,majalah,tabloid)
2) Media elektronik (televisi, radio)
3) Media Online (website, situs)
G. Fasilitas dan Ruang Khusus
92
1) Entrance dan Lobby
Entarnce menjadi tempat masuknya penonton. GKJ memiliki dua
pintu masuk utama pada sisi depan gedung, dan masing-masing satu
pintu masuk di setiap sisi gedung. Pada bagian depan juga terdapat
ticket box. Sedangkan Lobby berfungsi sebagai area transisi antara
auditorium dan teras gedung.
Gambar. 2.58 Teras depan GKJ Gambar. 2.59 Gong di Lobby GKJ
Sumber : dokumentasi penulis Sumber : dokumentasi penulis
Gambar. 2.60 Ticket Box GKJ
Sumber : dokumentasi penulis
2) Foyer
Foyer merupakan tempat bersantai bagi pengunjung. Di Gedung
Kesenian Jakarta, foyer terletak di sisi kiri dan kanan auditorium,
disediakan tempat duduk dan juga terdapat counter penjualan makanan
dan minuman, serta 1 set gamelan jawa.
Gambar. 2.61.Foyer kanan GKJ
93
Sumber : dokumentasi penulis
3) Auditorium
Auditorium GKJ memiliki kapasitas tempat duduk 472 kursi; 395
di bagian bawah dan 77 kursi di balkon.
Gambar. 2.62 Auditorium GKJ
Sumber : dokumentasi penulis
4) Panggung
Ukuran panggung 10.5×14.8×4.5 meter dengan kedalaman
panggung 1.17meter. Lantai panggung terbuat dari kayu.
Gambar. 2.63 Tampak Depan Panggung GKJ Gambar 2.64 Peralatan Scenery Panggung
Sumber : dokumentasi penulis Sumber : dokumentasi penulis
Gambar 2.65 Border Panggung
94
Sumber : dokumentasi penulis
4) Belakang Panggung
GKJ menyebut area di belakang panggungnya sebagai green room,
berfungsi ssebagai tempat istirahat pemain dan ruang tunggu. Ruangan
ini dipenuhi poster-poster pertunjukan dan dilengkapi dengan TV.
Gambar 2.66 Green Room GKJ
Sumber : dokumentasi penulis
5) Wing
Panggung GKJ memilii 2 buah wing, satu di kiri dan satu lagi di
kanan. Wing menjadi jalur masuknya pemain ke acting area. Wing juga
terhubung langsung dengan green room dan ruang rias.
Gambar 2.67 Wing Kiri Panggung GKJ
Sumber : dokumentasi penulis
6) Ruang Rias
Gambar 2.68 Ruang Rias Atas di GKJ 1 Gambar 2.69 Ruang Rias Atas di GKJ 2
95
Sumber : dokumentasi penulis Sumber : dokumentasi penulis
GKJ memiliki 2 buah ruang rias yang masing-masing dapat menampung
kurang lebih 80 orang pemain. DI dalam ruang rias ini disediakan meja-meja rias
dan gantungan-gantungan baju. Di dalamnya juga terdapat kamar mandi.
7) Gudang Properti
Gudang properti disediakan untuk menyimpan dan mempersiapkan
berbagai properti yang digunakan untuk pertunjukan.
Gambar 2.70 Gudang Properti GKJ
Sumber : dokumentasi penulis
8) Kantor Pengelola
Kantor digunakan oleh para karyawan GKJ untuk melakukan
berbagai aktivitas kerjanya. Awalnya kantor pengelola berada di dalam
gedung pertunjukan. Namun saat kepemimpinan direktur yg kedua,
kantor dipindahkan ke bangunan rumah yang berda di bagian belakang
area GKJ.
Gambar. 2.71 Kantor Pengelola GKJ
96
Sumber : dokumentasi penulis
H. Fasilitas Lainnya
1) Fasilitas Tata Cahaya di GKJ
Tabel 2.2 Fasilitas Tata Cahaya GKJ
BARANG JUMLAH
Plano Convex Spot (1000 watt / 220 Volt) 15
Fresnel Spot (1000 watt / 220 Volt) 15
PAR 64 (1000 watt / 220 Volt) 10
Fixed Beam Frofil 19° 6
Fixed Beam Frofil 26° 10
Fixed Beam Frofil 36° 10
CYC 1 Kw 12
Follow Spot 750 SR (1000 watt / 220 Volt) 2
Lighting Control Console (180 Pf, 20 Page, 20SM) 1
Dimmer Cabinet (130x15A, 4x25A) 1
Moving Head 1
Smoke Gun 1
Hazer 1
Strobelight 1,5 Kw 1
Sumber : GKJ
2) Fasilitas Tata Suara di GKJ
97
Tabel 2.3 Fasilitas Tata Suara GKJ
BARANG JUMLAH
Mixer Type Allen & Heath / GL2800-48 Chanel 1
Digital Processor For Speaker TOA Type DP-0206 2
Multi Channel Power Amplifier 2x250watt TOA DA-250 F 2
Multi Channel Power Amplifier 2x250watt TOA DA-550 F 3
CD Recorder TASCAM CD-RW 900SL 1
CD Player DENON 2
Tape Recorder TASCAM 202 mkV 1
Headphone AKG / K240 Studio 1
Speaker System W/Box FOH 4
Power Conditioner Furman PS-Pro E II 1
Stage Monitor Speaker System TOA SR-M3L 2
Stage Monitor Speaker System TOA SR-M3R 2
FGM Speaker (Delay) TOA Z-240 G 4
2 Way Monitor Speaker System (R.Kontrol) TOA Z-240G 2
2 Way Monitor Speaker System (R.Lighting) TOA Z-240G 1
2 Way Monitor Speaker System (Foyerl) TOA Z-240G 2
MIC Dynamic 16
Hanging MIC 6
Wireless Clip-on 6
Stand Mic Tinggi 15
Stand Mic Pendek 15
Wireless Handhall 4
Sumber : GKJ
98
I. Elemen Interior
1) Lantai
Untuk ruang auditorium lantai dibuat menanjak dan ditutupi semua
oleh karpet berwarna merah yang berfungsi sebagai penyerap suara.
Untuk area lainnya menggunakan keramik.
Gambar. 2.72 Ramp menuju toilet Gambar 2.73 Lorong pada barisan kursi
Sumber : Dokumentasi Penulis Sumber : Dokumentasi Penulis
2) Dinding
Ruang auditorium dibuat dapat memantulkan suara dan menyerap
suara secara terarah dan teratur menggunakan dinding bata dan diselingi
dengan dinding berbahan penyerap suara dan juga kayu. Terdapat
ornamen ukiran dengan gaya rococo yang dicat warna emas. Sedangkan
untuk ruangan lainnya menggunakan dinding bata yang dicat putih.
Gambar 2.74 Detail dinding auditorium Gambar. 2.75 Greenroom
Sumber : Dokumentasi Penulis Sumber : Dokumentasi Penulis
3) Ceiling
Pada ruang auditorium, ceiling berbentuk kubah dengan
99
penambahan material pendukung akustik di atas kursi bagian belakang.
Kubah dicat putih sama seperti dinding dengan ornamen ukiran classic.
Untuk ruang foyer, ketinggian ceiling cukup tinggi sekitar 5 meter,
dan ceiling juga dihiasi dengan profil-profil khas bangunan classic.
Untuk ruangn lainnya ceiling dibuat rata dan dicat putih.
Gambar. 2.76 Detail ceiling auditorium Gambar 2.77 Detail ornamen ukiran
Sumber : Dokumentasi Penulis Sumber : Dokumentasi Penulis
Gambar. 2.78 Detail ceiling backstage
Sumber : Dokumentasi Penulis
4) Pencahayaan
Penerangan yang digunakan berbeda untuk setiap pengelompokan
ruang. Pada ruang auditorium pencahayaan berasal dari downlight yang
dipasang pada sisi samping area duduk, sumber cahaya lain bisa berasal
dari lampu panggung. Ruangan harus segelap mungkin ketika
pertunjukan berlangsung. Area panggung memiliki sistem pencahayaan
sendiri yang diatur oleh operator dari control room.
Untuk foyer, pencahayaan saat siang hari mengandalkan cahaya
matahari langsung yang masuk melalui jendela-jendela besar di sisi
100
bangunan, sedangkan pada malam hari lampu-lampu antik seperti
chandelier dan lampu dinding yang sudah ada sejak awal gedung ini
berdiri menjadi sumber cahaya yang cantik. Sedangkan untuk area di
belakang panggung, pencahayaan menggunakan lampu TL
(fluorescent).
Gambar 2.79 Pencahayaan pada foyer Gambar 2.80.Pencahayaan Panggung
Sumber : Dokumentasi Penulis Sumber : Dokumentasi Penulis
5) Penghawaan
Sistem penghawaan yang digunakan adalah AC central yang
disalurkan ke setiap ruangan di dalam gedung. Namun, ceilingnya yang
tinggi uga dapat sangat membantu menciptakan hawa yang sejuk ketika
AC sedang tidak digunakan.
6) Akustik
Akustik pada auditorium dirancang sedemikian rupa sehingga dapat
mendukung kegiatan pertunjukan. Lantai dibuat menanjak dan dilapisi
dengan karpet tebal, dinding dan ceiling juga diberi lapisan akustik.
Pintu-pintu juga didesain untuk mencegah kebocoran suara. Sedangkan
untuk area lainnya, seperti area di belakang panggung, sistem akustik
tidak dirancang maksimal akibat keterbatasan dana renovasi. Akibanya
orang yang berada di green room dan wing harus menjaga ketenangan
101
dengan berbisik saat biacara atau tidak bicara sama sekali.
Gambar 2.81Auditorium GKJ
Sumber : Dokumentasi Penulis
7) Keamanan
Untuk menjaga sistem keamanan, sejak tahun 2011 Gedung
Kesenian Jakarta telah dilengkapi dengan CCTV pada setiap sudut
ruangan. Dan untuk menangani masalah darurat, setiap sisi auditorium
dilengkapi beberapa pintu yang akan dibuka untuk jalur evakuasi.
J. Permasalahan
Terdapat berabagai permasalahan yang ditemukan pada Gedung
Kesenian Jakarta, antar lain:
1) Kurangnya kepedulian pengunjung terhadap peraturan dasar, seperti
tidak membawa makanan dan minuman ke dalam auditorium, dan
pengunjung yang tidak berpakaian formal.
2) Beberapa bagian gedung belum mendapatkan pemeliharaan yang
baik, seperti kerusakan pada dinding penutup balkon yang belum
diperbaiki.
3) Akses antara Control room untuk lighting dan sound system terpisah
cukup jauh dan peralatan yang ada sudah tua sekali, pihak operator
mendambakan ruangan yang lebih nyaman dan berdekatan.
102
4) Ruang ganti yang disediakan sudah cukup besar namun peralatan
yang ada di dalamnya kurang terjaga dengan baik.
5) Kapasitas kursi yang tidak banyak menyebabkan penonton
pertunjukan menjadi terbatas.
2.2.2 Komunitas Salihara
Gambar 2.82 Teater Salihara
Sumber : anekafestival.blogspot.com
Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8
Agustus 2008, dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia.
Berlokasi di atas sebidang tanah seluas sekitar 3.800 m2 di Jalan Salihara 16,
Pasar Minggu, Jakarta Selatan, kompleks Komunitas Salihara terdiri atas tiga unit
bangunan utama: Teater Salihara, Galeri Salihara, dan ruang perkantoran. Saat ini,
Teater blackbox Salihara adalah satu-satunya yang ada di Indonesia. Pada saat ini
kompleks Komunitas Salihara sedang diperluas dengan tambahan fasilitas untuk
studio latihan, wisma seni dan amfiteater.
Komunitas Salihara dibentuk oleh sejumlah sastrawan, seniman, jurnalis, dan
peminat seni. Sejak berdiri, Komunitas Salihara telah menampilkan berbagai
macam acara seni dan pemikiran; sebagian datang dari mancanegara, dan berkelas
dunia pula.
Pernah didapuk sebagai “The Best Art Space” (2010) oleh majalah Time Out
Jakartadan sebagai satu dari “10 Tempat Terunik di Jakarta” (2010) versi Metro
103
TV, arsitektur Komunitas Salihara juga dinobatkan sebagai “Karya arsitektur yang
menerapkan aspek ramah lingkungan” oleh Green Design Award 2009.
Saat ini Komunitas Salihara banyak dikunjungi oleh masyarakat yang ingin
menikmati program-program kesenian dan pemikiran, klasik dan mutakhir, dan
bermutu tinggi. Di samping itu, Komunitas Salihara menjadi tempat berkumpul
bagi berbagai kelompok minat—misalnya sastrawan, pembuat film, koreografer,
arsitek muda, peminat filsafat, penerjemah, pencinta buku, dan lain-lain.
Komunitas Salihara dapat juga disebut pusat kebudayaan alternatif: ia tidak
dimiliki oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, ataupun kedutaan asing.
A. Sejarah
Komunitas Salihara berdiri pada 2008, tetapi sejarahnya telah dimulai
sejak 1994.Sekitar setahun setelah majalah Tempo diberedel pemerintah Orde
Baru pada 1994, sebagian pengasuh majalah tersebut, bersama sejumlah
wartawan, sastrawan, intelektual dan seniman mendirikan Komunitas Utan
Kayu. Berbentuk sebuah kantong budaya di Jalan Utan Kayu 68H, Jakarta
Timur, Komunitas Utan Kayu terdiri atas Institut Studi Arus Informasi (ISAI),
Galeri Lontar, Teater Utan Kayu (TUK), Kantor Berita Radio 68H, dan
Jaringan Islam Liberal.
Tiga di antaranya yang bergerak di lapangan kesenian—Galeri Lontar,
Teater Utan Kayu, dan Jurnal Kebudayaan Kalam (jurnal ini terbit sejak awal
1994, dengan dukungan penuh majalah Tempo)—secara terus-menerus
berupaya menumbuhkan dan menyebarkan kekayaan artistik dan intelektual,
baik melalui pertunjukan kesenian, pameran seni rupa, ceramah dan diskusi
tentang beragam topik, maupun lewat tulisan yang diterbitkan Kalam.
Galeri Lontar memamerkan karya para seniman dalam dan luar negeri
104
berupa gambar, lukisan, karya grafis, foto, patung, atau instalasi—terutama
berdasarkan kualitas dan semangat inovatifnya. Galeri ini telah
memperkenalkan para seniman yang kini menempati posisi terdepan dalam
khazanah seni rupa Indonesia.
Teater Utan Kayu secara berkala menyelenggarakan pementasan lakon,
musik, tari, pemutaran film, serta ceramah dan diskusi tentang kebudayaan,
seni, dan filsafat. Teater ini memberi ruang seluas-luasnya bagi seniman dari
khazanah tradisi maupun seniman mutakhir yang ingin bereksperimen dan
menawarkan kebaruan. Komunitas Utan Kayu pun sudah biasa mengelola
kegiatan berskala internasional, di antaranya Jakarta International Puppetry
Festival (2006), Slingshort Film Festival (2006), dan International Literary
Biennale yang berlangsung tiap dua tahun sejak 2001.
Setelah berusia sekitar satu dekade, sayap kesenian Komunitas Utan
Kayu bertekad meneruskan dan mengembangkan apa yang telah dicapai.
Demi menampung perluasan aktivitas itu, para pendiri dan pengelolanya
lantas mengambil prakarsa membangun kompleks Komunitas Salihara.
Dari segi rancang bangun, kompleks Komunitas Salihara dapat
dipandang sebagai sebuah percobaan arsitektur yang unik. Ia karya tiga
arsitek dengan kecenderungan masing-masing—gedung teater dirancang oleh
Adi Purnomo, gedung galeri oleh Marco Kusumawijaya, dan gedung
perkantoran oleh Isandra Matin Ahmad. Ketiganya kemudian duduk bersama
untuk memadukan rancangan ke dalam visi yang sama: membangun rumah
baru bagi kesenian dan pemikiran yang ramah lingkungan dan hemat energi.
Gambar 2.83 Tampak Luar Kompleks Komunitas Salihara
105
Sumber : rezaprimawanhudrita.wordpress.com
Berdiri sejak 2008, Komunitas Salihara tumbuh bersama khalayak yang
makin cerdas, terbuka, dan demokratis. Para pengelolanya percaya bahwa
kepiawaian di bidang seni adalah investasi yang tak ternilai bagi
pertumbuhan masyarakat Indonesia sejak hari ini. Khalayak adalah bagian
sangat penting dalam menyuburkan kepiawaian tersebut.
B. Visi dan Misi
Visi Komunitas Salihara adalah memelihara kebebasan berpikir dan
berekspresi, menghormati perbedaan dan keragaman, serta menumbuhkan
dan menyebarkan kekayaan artistik dan intelektual. Kami perlu menegaskan
visi ini, karena di Indonesia saat ini, yang sudah menjalankan demokrasi
elektoral dalam dua dasawarsa terakhir, kebebasan berpikir dan berekspresi
masih sering terancam dari atas (dari aparat Negara) maupun dari samping
(dari sektor masyarakat sendiri, khususnya sejumlah kelompok yang
mengatasnamakan agama dan suku).
C. Fungsi dan Tugas Pokok
Dalam pemrograman, Komunitas Salihara memprioritaskan
kesenian-kesenian baru. Kebaruan ini adalah, bagi kami, bukan hanya
106
menandakan masyarakat pendukung kesenian yang dinamis, tapi juga sikap
kreatif terhadap berbagai warisan kesenian Indonesia dan dunia. Komunitas
Salihara mengajak penonton untuk mendukung kebaruan ini. Namun
diperlukan proses yang agak panjang untuk mencapai situasi ideal ini.
Karena itu, Komunitas Salihara masih menampilkan kesenian yang bersifat
“biasa”, yang kami anggap bisa menjadi jembatan bagi penonton umum
untuk menuju kesenian baru yang kami maksud. Dengan demikian, kami
berharap, pada tahun-tahun mendatang, Komunitas Salihara dapat
mementaskan lebih banyak lagi kesenian baru dan memperluas lingkaran
penonton yang berwawasan baru pula.
Dalam menjalankan program-programnya, Komunitas Salihara dibantu
oleh berbagai lembaga, terutama lembaga-lembaga swasta maupun
perorangan. Di samping itu Komunitas Salihara selalu berusaha bekerjasama
dengan sejumlah lembaga asing—misalnya pusat-pusat kebudayaan asing
yang ada di Jakarta—untuk mendatangkan sejumlah kelompok ke Indonesia.
Mitra Penyelenggara adalah lembaga-lembaga non-pemerintah dan
non-profit yang bersama Komunitas Salihara menyelenggarakan program
seni dan pemikiran di Komunitas Salihara. Lembaga yang pernah menjadi
mitra penyelenggara Komunitas Salihara adalah:
• Goethe Institut Jakarta
• Centre Culturel Francais Jakarta
• The Japan Foundation
• Erasmus Huis
• Istituto Italiano
• Austrian Embassy
107
• Winternatchten
• Australian Government Institute
• North-Territory Writers’ Centre
• Switzerland Embassy
• Writer’s Journey
• Opera Jelajah Anak Indonesia
D. Kegiatan
Dalam satu tahun, Komunitas Salihara menampilkan sekitar 100 mata
acara pentas tari dan teater, konser musik, pembacaan dan diskusi sastra,
pameran seni rupa, pemutaran film, dan bengkel kerja tari, sastra, dan musik.
Di samping itu, Komunitas Salihara juga menyelenggarakan diskusi dan
ceramah, untuk menggiatkan perbincangan publik yang saat ini belum
banyak ruangnya; baik tentang isu yang sedang hangat, maupun pemikiran
tokoh dari bidang humaniora tertentu. Relatif dirancang secara jangka
panjang, seluruh program disusun oleh Dewan Kurator yang beranggotakan
sastrawan dan seniman terkemuka Indonesia.
Beberapa program khusus sebagai berikut:
1. FESTIVAL SALIHARA
2. BIENAL SASTRA SALIHARA
3. FORUM SENIMAN PEREMPUAN SALIHARA
4. FORUM TEATER SALIHARA
5. SALIHARA JAZZ BUZZ
6. DISKUSI BULANAN SALIHARA
7. SERI KULIAH UMUM SALIHARA
E. Fasilitas dan Ruang Khusus
108
Sebagai wadah untuk kreasi seni dengan berbagai kegiatan yang
dilakukan, komunitas salihara mempunyai fasilitas-fasilitas yang dapat
mengakomodasi semua kegiatan seni yang akan dilakukan. Fasilitas-fasilitas
tersebut antara lain:
1. Teater Salihara
Teater Salihara dapat menampung hingga 252 penonton. Inilah
gedung teater black box pertama di Indonesia. Berdinding kedap suara,
teater ini dilengkapi ruang rias berikut segala peralatan tata panggung,
tata suara, dan tata cahaya modern.
Gambar 2.84 Kursi Penonton Teater Salihara 1 Gambar 2.85 Dinding Teater Salihara
Sumber: http://www.flickr.com/ Sumber: http://www.flickr.com/
Teater salihara tidak mempunyai penggung untuk pementasan. Hal
ini ditujukan agar para pemain dapat disatukan kembali dengan penonton.
Selain itu ada beberapa hal yang unik pada black box atau teater salihara
ini. Diawali dengan kursi penonton yang dapat dibongkar pasang sesuai
dengan kebutuhan. Setting untuk kursi penonton ini dapat diubah
menjadi berbagai layout seperti menjadi dua sisi yang berhadapan,
dimajukan atau dimundurkan. Setting yang dilakukan untuk perubahan
layout kursi penonton ini dilakukan selama kurang lebih 16 jam.
2. Galeri Salihara
109
Berbeda dengan bangunan galeri pada umumnya, Galeri Salihara
berbentuk silinder dengan lingkar sedikit oval. Interior dengan dinding
melingkar tanpa sudut memberi ruang pandang lebih luas. Sebuah
ruang serbaguna dan kedai dengan pemandangan terbuka terletak di
bawah bangunan ini. Lantai nya menggunakan barcement dengan
dinding finishing cat berwarna putih.
Gambar 2.86 Galeri Salihara 1 Gambar 2.87 Galeri Salihara 2
Sumber : Dokumentasi Penulis Sumber : Dokumentasi Penulis
3. Serambi Salihara
Gambar 2.88 Serambi Salihara
Sumber : tommytoxcum.blogspot.com
Ruangan ini, yang terletak tepat di bawah Galeri Salihara, dapat
digunakan untuk acara diskusi, kuliah umum, atau pemutaran film,
dengan daya tampung sekitar 70 orang. Serambi Salihara juga
berfungsi sebagai ruang tunggu yang menyediakan bahan bacaan (buku,
majalah, dan katalog pameran) yang hanya bisa dibaca di tempat.
110
Serambi salihara ini menggunakan barcement sebagai lantai nya yang
di-coating glossy. Finishing untuk dinding adalah cat berwarna putih.
Finishing yang untuk ceiling juga cat berwarna putih.
4. Teater Atap
Inilah ruang terbuka yang merupakan atap bangunan Teater
Salihara. Atap ini juga berfungsi sebagai penyerap air hujan dengan
lantai tanah berumput yang membuat ruangan Teater Salihara di
bawahnya tetap sejuk. Sebagai ruang teater tebuka, Teater Atap telah
dicoba untuk pergelaran wayang kulit, konser musik, pembacaan sastra,
pemutaran film, dan pembukaan pameran seni rupa. Teater Atap
jugadilengkapi dengan fasilitas bar mini yang menyediakan makanan
dan minuman bagi penonton yang sedang menikmati pertunjukan di
sana.
Gambar 2.89 Teater Atap 1 Gambar 2.90 Teater Atap 2
Sumber : http://www.flickr.com/ Sumber : Dokumentasi Penulis
5. Kedai Kopitiam Oey-Salihara
Sambil menunggu pertunjukan dimulai atau untuk menikmati
suasana Komunitas Salihara, pengunjung dapat mencoba menu spesial
dari Kedai Kopi Tiam Oey yang terkenal. Kedai Kopitiam
Oey-Salihara pun menyediakan fasilitas internet nirkabel (WiFi)
gratis.
111
Gambar 2.91 Kedai Kopitiam Oey-Salihara
Sumber : Dokumentasi Penulis
6. Gerai Salihara
Gerai mungil ini mulai dikelola sejak April 2011
menggabungkan berbagai cindera mata (merchandise) karya seniman
yang pernah berpameran di Galeri, tampil di teater atau bekerja sama
dengan Salihara; mendekatkan pengujung dengan para seniman atau
kelompok seni yang karya-karyanya diminati.
Gambar 2.92 Gerai Salihara Gambar 2.93 Gerai Salihara 2
Sumber : Dokumentasi Penulis Sumber : toysrevil.blogspot.com
7. Perkantoran
Kompleks Komunitas Salihara juga memiliki area perkantoran di
dalamnya. Area tersebut juga didesain selaras dengan konsep
arsitekturnya.
Gambar 2.94 Kantor di Kompleks Salihara
112
Sumber : buildingindonesia.biz
F. Elemen Interior
1) Lantai
Sebagian besar lantai bangunan di Kompleks Komunitas Salihara
ini menggunakan material barcement. Finishing ini terkesan
sederhana dan menyatu dengan denga konsep eco building.
Gambar 2.95 Lantai Teater Salihara
Sumber : www.flickr.com
2) Dinding
Gambar 2.96 Susunan Bata pada Dinding Teater Salihara
Sumber: buildingindonesia.biz
Kompleks Komunitas Salihara menggunakan dinding bata
113
sebagai material dinding, terutama pada teater blackbox. Batu bata
dususun sdengan kemiringan 5° untuk sistem akustiknya.
3) Ceiling
Pada ceiling teater tidak menggunakan trap-trap atau susunan
ceiling sebagai suatu pertimbangan untuk akustiknya. Hal ini cukup
menarik untuk dipertimbangkan. Pada teater prosenium ketika
penonton hampir dipastikan selalu duduk ditempat yang sama, plafon
menjadi bagian yang dipertimbangkan untuk pemantulan dan
sebagainya. Untuk lantai menggunakan barcement karena bangunan
ini konsep utamanya adalah eco buiding yang ramah lingkungan.
4) Pencahayaan
Menurut perancang bangunan ini, lighting yang fleksibel dan
sedikit rongga jalur ternyata dianggap cukup. Untuk ruang teater,
pencahayaan mengandalkan pencahayaan buatan, sedangkan untuk
ruangan-ruangan lainnya pencahayaan alami menjadi andalan di siang
hari.
5) Penghawaan
Gambar 2.97 Lobby Salihara
Sumber : karbojournal.org
Dengan bukaan ruang yang besar, udara bisa keluar masuk
dengan bebas ke dalam ruangan-ruangan di kompleks ini. Desain
114
semi-outdoor juga sangat membantu penggunaan AC. Beberapa
ruangan tetap tertutup dan mengandalkan AC untuk alasan privasi,
seperti kantor dan juga ruang teater yang harus menampung banyak
sekali penonton.
6) Akustik
Keunikan teater ini adalah sistem akustik yang terdapat pada
desainnya tidak menggunakan material peredam suara seperti pada
teater kebanyakan. Sistem akustik dengan mengandalkan pantulan
suara pada dinding bata dengan susunan tertentu seperti ini dinilai
cukup oleh para arsiteknya.
7) Keamanan
Kompleks Komunitas Salihara dilengkapi dengan CCTV untuk
membantu menjaga keamanan. Penjaga kemanan juga disediakan
untuk meningkatkan keamanan di area tersebut.
Untuk bencana alam dan kebakaran, ruang-ruang di dalam
komplek ini telah dilengkapi juga dengan alat pemadam kebakaran
dan jalur-jalur evakuasi.
G. Permasalahan
Terdapat berbagai permasalahan yang ditemukan pada Kompleks
Komunitas Salihara, antar lain:
1) Kapasitas kursi yang tidak banyak menyebabkan penonton
pertunjukan menjadi terbatas.
2) Lahan parkir yang terbatas menjadi salah satu permasalahan ketika
diadakan pertunjukan yang relatif besar dan diminati pengunjung. Saat
ini Kompleks Komunitas Salihara hanya dapat menampung 30-60
115
mobil.
3) Pengunjungnya sebagian besar adalah anggota komunitas dan para
pecinta seni sastra dan seni pertunjukan. Belum banyak masyarakat
awam yang datang dan tertarik bergabung dengan Komunitas Salihara.
2.2.3 Graha Bhakti Budaya
Gambar 2.98 Tampak Depan Graha Bhakti Budaya
Sumber : Dokumentasi Penulis
Graha Bhakti Budaya berlokasi di Jalan Cikini Raya no. 37 Jakarta Pusat.
Letaknya di dalam kompleks Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki,
menjadikannya salah satu gedung pertunjukan yang ramai digunakan oleh
masyarakat ibukota. Acara-acara seni dan budaya dipertunjukkan secara rutin di
pusat kesenian ini, termasuk pementasan drama, tari, wayang, musik, pembacaan
puisi, pameran lukisan dan pertunjukan film. Berbagai jenis kesenian tradisional
dan kontemporer, baik yang merupakan tradisi asli Indonesia maupun dari luar
negeri juga dapat ditemukan di tempat ini.
Selain Graha Bhakti Budaya, Pusat kesenian Jakarta (PKJ) juga memiliki
beberapa gedung atau area lain yang juga dapat digunakan sebagai tempat
pertunjukan atau pameran seni, seperti Teater Halaman, Teater Kecil, Galeri
Cipta II, dan Galeri Cipta III.
116
A. Sejarah
TIM berlokasi di Jl. Cikini Raya 73, Jakarta Pusat. Diresmikan
pembukaannya oleh Gubernur Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta
Jenderal Marinir Ali Sadikin pada tanggal 10 November 1968. Ismail
Marzuki (1914 - 1957) adalah seorang komponis pejuang kelahiran Betawi
(Jakarta) yang telah menciptakan lebih dari 200 lagu diantaranya merupakan
lagu - lagu perjuangan bangsa yang hingga kini masih sering
diperdengarkan. Lagu tersebut antara lain Halo Halo Bandung, Berkibarlah
Benderaku, Nyiur Melambai, dan Sepasang Mata Bola. Atas jasanya itu,
komponis Betawi ini diabadikan namanya untuk penamaan Pusat Kesenian
Jakarta yang terkenal dengan sebutan Taman Ismail Marzuki (TIM).
TIM dibangun di atas areal tanah seluas 9 hektar. Dulu tempat ini
dikenal sebagai ruang rekreasi umum Taman Raden Saleh (TRS).
Pengunjung TRS selain dapat menikmati kesejukan paru - paru kota dan
menonton sejumlah hewan, juga bisa menonton balap anjing yang kini
berubah menjadi kantor dan ruang kuliah mahasiswa fakultas perfilman dan
televisi IKJ. Ada juga lapangan bermain sepatu roda berlantai semen.
Fasilitas lainnya adalah 2 gedung bioskop, Garden Hall dan Podium
melengkapi suasana hiburan malam bagi warga yang suka nonton film.
Namun, sejak 37 tahun yang lalu. Suasana seperti itu sudah tidak dapat
ditemukan khususnya setelah Bang Ali mengubah tempat ini menjadi Pusat
Kesenian Jakarta TIM.
Kejelian Bang Ali dalam mengatur tatanan kota Jakarta menjadi bagian
penting dalam sejarah pembangunan kota metropolitan sebagai ibukota
negara. Termasuk salah satunya adalah upaya menyatykan para seniman
117
Jakarta dalam satu wadah dengan didirikannya TIM. Mengingat para
seniman waktu itu terpecah belah karena kekuatan politik.
RUANG EKSPRESI
TIM sejak berdiri tahun 1968 lalu hingga kini telah menjadi ruang
ekspresi seniman yang menyajikan karya - karya inovatif. Pertunjukan
eksperimen, suatu dunia atau karya seni yang sarat dengan dunia ide.
Membuka pintu seluas - luasnya bagi ruang berpikir dan berkreasi menuju
seni yang berkualitas. Untuk beberapa waktu lamanya harapan muncul suatu
karya dalam dunia penciptaan, menjadi kenyataan. Panggung TIM menjadi
marak dengan karya - karya eksperimen yang sarat ide. Ini ditandai dengan
sejumlah kreator seni yang sempat membuka peta baru di atas pentas.
Diantaranya Rendra, pimpinan Bengkel Teater Yogya dari kampung
Ketanggungan Wetan Yogyakarta. Awalnya karya Rendra, berupa drama Be
Pop atau drama mini kata SSSTTT ditanyangkan di layar kaca TVRI.
Menyusul pentas drama klasik Yunani Oedipus Rex, Menunggu Godot,
Hamlet dan karya pentas mini kata lainnya.
Koreografer kondang, Sardono W. Kusumo, melalui pentas tari Samgita
Pancasona menyuguhkan konsep gerak yang memiliki skala tak terbatas.
Balerina terkemuka, Farida Oetojo mewarnai TIM dengan karya balletnya
yang berani. Slamet Abdul Sjukur, yang lama bermukin di Perancis
menggedor publik dengan konser piano sumbat yang membuat penonton
terpana. Sutradara teater Arifin C. Noer, Teguh Karya, Suryana Anirun
(Bandung) , mempesona publik. Koreografer senior, Bagong Kusudiarjo,
Huriah Adam, pelukis Affandi, Trisno Sumardjo, Hendra Gunawan, Agus
Djaya, Oesman Effendi, S. Sudjojono, Rusli, Rustamadji, Mustika mengisi
118
TIM dengan karya - karya mereka yang artistik.
B. Visi dan Misi
Visi kami adalah ingin mendorong para seniman untuk mengembangkan
kreativitas dan penciptaaan karya seni; menyalurkan berbagai karya seni
bermutu kepada masyarakat serta memelihara, mengembangkan dan
membangun kesenian di Jakarta. DKJ menjadi payung yang mengayomi,
memelihara dan menjembatani masyarakat seni dengan masyarakat umum,
agar Jakarta menjadi kota seni terdepan. Selain itu mengakomodasi
terciptanya iklim inspiratif bagi para seniman agar dapat mempersembahkan
kreativitas kesenian yang bermutu.
C. Struktur Organisasi
Graha Bhakti Budaya dikelola oleh Pusat Kesenian Jakarta yang juga
berkantor di lokasi yang sama.
Gambar 2. 99 Struktur Organisasi PKJ-TIM
Sumber : www.tamanismailmarzuki.com
D. Fasilitas dan Ruang Khusus
1) Entrance
119
Pintu masuk utama Graha Bhakti budaya terletak di bagian depan
gedung. Gedung ini memang hanya memiliki satu sisi yang terbuka
untuk publik. Pintu utama berupa pintu kaca yang secara langsung
memperlihatkan lobby dari gedung pertunjukan ini.Pada area ini juga
terdapat ticket box yang terdiri dari 4 loket.
Gambar 2.100 Pintu Utama GBB Gambar 2. 101 Ticket Box GBB
Sumber : leosecondtimes.blogspot.com Sumber : Dokumentasi Penulis
2) Lobby
GBB memiliki 3 buah lobby yang terdapat di setiap lantai. Lobbby
tersebut kosong, dapat digunakan sebagai area pameran atau
refreshment area bagi para pengunjung. Lantainya menggunakan
marmer dan dinding dicat warna gading serta ceiling dicat putih biasa.
Gambar 2. 102 Lobby lantai 1GBB
Sumber : Dokumentasi Penulis
3) Koridor
GBB memiliki koridor samping sebagai penghubung antara lobby
dengan wing panggung. Pada koridor samping ini terdapat pintu
120
samping dari auditorium. Koridor ini juga menjadi penghubung ke area
perkantoran GBB.
Gambar 2.103 Koridor kiri, lantai 1GBB
Sumber : Dokumentasi Penulis
4) Auditorium
Gambar 2. 104 Auditorium GBB Gambar 2.105 Barisan kursi di GBB
Sumber : tamanismailmarzuki.com Sumber : Dokumentasi Penulis
Auditorium GBB berkapasitas 850 kursi, baris A hingga P di lantai bawah
dan baris O hingga W pada bagian balkon. Pintu masuk utama ke dalam
auditorium adalah melalui lobby lantai 2, dan melalui lobby lantai 3 untuk masuk
ke area balkon. Auditorium berbentuk melebar dengan lantai yang menurun
hingga ke panggung.
5) Panggung
Panggung yang dimiliki GBB cukup besar, yakni berukuran
15x10x6 meter, dengan bentuk extended. Lantai panggung terbuat dari
kayu.
Gambar 2.106 Panggung GBB
121
Sumber : Dokumentasi Penulis
6) Dressing room
GBB memiliki 1 buah ruang ganti yang berukuran cukup luas di
belakang panggung. Ruang ganti ini dilengkapi dengan cermin besar di
sepeanjang dinding nya dan juga memiliki kamar mandi di dalamnya.
Ruang ganti ini dapat menampung hingga 100 orang.
7) Backstage dan wing
Area belakang panggung yang dimiliki GBB sangat luas dan
memiliki pintu samping untuk keluar-masuk properti pertunjukan.
Selain itu, lantai dan dindingnya berwarna hitam, hal ini dimaksudkan
agar ketika pertunjukan dilangsungkan, area ini jadi tidak terlihat dan
tidak mengganggu pertunjukan.
Gambar 2.107 Wing dari panggung GBB
Sumber : Dokumentasi Penulis
E. Elemen Interior
1) Pencahayaan
Pencahayaan alami dapt diandalkan ketika siang hari untuk ruangan
122
yang berhubungan langsung ke area luar gedung seperti pada area lobby.
Namun untuk ruangan lainnya, penerangan buatan sangat dibutuhkan,
karena gedung ini tidak memiliki banyak jendela.
2) Penghawaan
Graha Bhakti Budaya sangat mengandalkan AC untuk penghawaan
pada setiap ruangnya. Ketika AC dimatikan, seperti pada saat gedung
tidak digunakan, ruangan akan terasa sangat panas dan pengap.
3) Akustik
Ruang auditoriun GBB menggunakan lantai karpet dan dinding
yang juga dilapisi dengan material akustik untuk menunjang kegiatan
pertunjukan. Ruang ini juga menggunakan beberapa perlatan sound
system.
4) Keamanan
GBB belum dilengkapi dengan CCTV, sehingga keamanannya
belum maksimal. Untuk bencana alam dan kebakaran, ruang-ruang di
dalam komplek PKJ ini telah dilengkapi dengan alat pemadam
kebakaran dan jalur-jalur evakuasi. Semua pengunjung akan diarahkan
langsung ke lapangan parkir yang terletak tepat di depan GBB.
F. Permasalahan
Terdapat berabagai permasalahan yang ditemukan pada Graha Bhakti
Budaya, antar lain:
1) Kurangnya kepedulian pengunjung terhadap peraturan dasar, seperti
tidak membawa makanan dan minuman ke dalam auditorium, dan
pengunjung yang tidak berpakaian formal.
2) Kondisi gedung sudah cukup tua dan terkesan lama dan lusuh.
123
Dibutuhkan suatu pembaharuan sehingga dapat meningkatkan
kenyamanan dan kepuasan pengunjung terhadap gedung tsb.
3) Ruang ganti yang ada berukuran cukup besar, namun kondisinya juga
kurang terawat.
4) Graha Bhakti Budaya tidak dilengkapi dengan fasilitas pendukung,
hanya auditorium saja. Lobby juga dibiarkan kosong, tidak ada
treatment khusus pada interiornya.
2.2.4 Bali Theatre
Gambar 2..108 Logo Bali Theatre
Sumber : twitter.com
Bali Theatre adalah kompleks teater indoor berkapasitas 1200 penonton,
yang dibangun dengn standar internasional yang memiliki tata cahaya panggung,
state-of-art dan sound system, tempat duduk yang mewah, lounge yang luas, dan
fasilitas modern lainnya. Terletak di jantung Bali Safari and Marine Park di
sepanjang jalan raya pantai yang baru dikembangkan, Jalan Ida Bagus Mantra,
Bali Selatan.
A. Pertunjukan
Teater ini mempersembahkan suatu bentuk pertunjukan seni baru yang
mengkombinasikan tari tradisional dan kontemporer, boneka modern dan
parade hewan hidup. Semua ini diiringi dengan 3 pengaruh musik yang
berbeda. Musik ditulis secara khusus dan dibawakan oleh orkestra Barat
yanf disertai dengan ensamble pentatonik gamelan Bali secara langsung dan
simbal Cina.
124
Sebuah konsep yang segar tanpa menambah atau mengurangi esensi
warisan budaya Bali. Kolaborasi besar dari 180 pemainnya mencerminkan
setiap aspek sejarah pulau itu dari masa lalu. Bali Agung, demikian judul
pertunjukannya, menceritakan kembali kisah epik Bali dengan adegan surga
pulau itu, suasana kerajaan dan hutan ajaib yang adalah latar untuk adegan
romantis dan heroik.
Gambar 2. 109 Bali Agung 1 Gambar 2. 110 Bali Agung 2
Sumber : www.balitheatre.com Sumber : www.balitheatre.com
Gambar 2. 111 Bali Agung 3 Gambar 2. 112 Bali Agung 4
Sumber : www.balitheatre.com Sumber : www.elexmedia.co.id
Semua ini ditampilkan setiap hari, Selasa hingga Minggu pukul 2.30
sampai dengan pukul 3.30 sore di teater modern, yang merupakan pertama
di Bali terutama untuk melayani penonton internasional. Fitur khusus
termasuk parade sepuluh gajah hidup (memang dahulu raja-raja Bali
berkeliling pulau menggunakan gajah), kolam sungai nyata dengan nakhoda
perahu dan kapal tradisional di atasnya, wayang dan dalang yang
menceritakan kembali sejarah kerajaan dan beberapa hewan eksotis
125
termasuk harimau, rusa, dan berbagai jenis burung hidup yang
meningkatkan nilai pertunjukan.
B. Cerita
Dalam masa jabatannya pendek dan penuh gejolak antara 1179 - 1181M,
Raja Sri Jaya Pangus dari dinasti Warmadewa memerintah dalam apa yang
mungkin menjadi masa bersejarah dan yang paling menggembirakan dari
kerajaan Bali. Dia menentang hukum adat dengan mengambil orang asing,
Kang Ching Wie dari dinasti Kang Cina, menjadi permaisurinya. Teguran
dari imam besar tidak menghentikan raja dan kekuatan cinta sejatinya.
Gambar 2.113 Karakter Utama dalam Bali Agung
Sumber : www.balitheatre.com
Sang Raja memindahkan istananya ke lokasi baru yang dikenal sebagai
Balingkang, dari kata-kata "Bali" dan "Kang" (dinasti). Di sana, dalam
waktu yang relatif singkat, ia segera memperoleh pengikut yang kuat,
menjadi salah satu dari raja-raja Bali yang paling dihormati. Sayangnya,
tanpa restu dari imam besar, pasangan itu memiliki anak.
Frustrasi, raja berangkat ziarah ke kuil terdekat dari Gunung Batur. Di
sana ia bertemu dengan dewi danau, Dewi Danu, dan asmara yang segera
timbul di antara mereka. Pasangan ini dikaruniai bayi laki-laki. Inilah kisah
cinta dan perkelahian sengit yang ternyata pada akhirnya ia bersama dengan
126
permaisurinya dikutuk menjadi patung batu.
Namun keilahian pasangan kerajaan ini masih sangat dihormati oleh
orang-orang Bali hari ini, di mana stupa mereka dibawa berkeliling selama
perayaan Galungan dan Kuningan.
C. Fasilitas
Gambar 2. 114 Lobby Bali Theatre Gambar 2. 115 Lounge Bar Bali Theatre
Sumber : www.balitheatre.com Sumber : www.balitheatre.com
Gambar 2. 116 Auditorium Bali Theatre 1
Sumber : www.facebook.com/BaliTheatre
Gambar 2.117 Auditorium Bali Theatre 1
Sumber : www.facebook.com/BaliTheatre
2.2.5 Siam Niramit
127
Gambar 2. 118 Logo Siam Niramit
Sumber : www.tica.or.th
Siam Niramit merupakan pertunjukan seni dan kebudayaan Thailand kelas
dunia. Pertunjukan spektakuler ini menjadi tontonan wajib bagi para wisatawan
internasional. Siam Niramit memiliki dua tempat pertunjukan, satu di Bangkok
dan satu lagi di Phuket.
A. Pertunjukan
Pertunjukan dilakukan setiap hari pada pukul 8 malam selama 80 menit
tanpa istirahat. Pertunjukan dilakukan di atas panggung raksasa yang
terdaftar Guinness World Records ini menampilkan lebih dari 100 orang
pemain, kostum mewah, dan desain set yang menakjubkan. Efek khusus dan
teknologi tercanggih digunakan untuk menghasilkan pengalaman
menyaksikan pertunjukan yang sangat realistis dan inspiratif.
Gambar 2. 119 Siam Niramit Show
Sumber : www.charmingasiatours.com
B. Cerita
Ada 3 judul cerita dalam pertunjukan di Siam Niramit. Cerita pertama
berjudul Journey Back into History, mengisahkan tentang Negeri Siam
dengan peradaban pada masa lampau telah menjadi rumah bagi beberapa
128
budaya berbeda. Perkembangan budaya yang terjadi dan pengaruh-pengaruh
budaya lain seperti Cina dan Eropa semua diceritakan dengan sangat indah
di sini.
Gambar 2. 120 Siam Niramit Act 1 Gambar 2.121 Siam Niramit Act 2
Sumber : www.siamniramit.com Sumber : www.siamniramit.com
Gambar 2. 122 Siam Niramit Act 3
Sumber : www.siamniramit.com
Yang kedua adalah Journey Back into Imagination. Meskipun beragam
budaya dan mata pencaharian, semua rakyat Thailand terikat oleh suatu
kepercayaan umum dalam prinsip agama dari Hukum Karma. Perbuatan
baik atau perbuatan buruk di dunia ini akan menghasilkan kebaikan atau
penderitaan dalam kehidupan berikutnya.
Yang ketiga adalah Journey Through Joyous Festivals. Pada cerita ini
kita semua diajak untuk melihat kepercayaan Thai Buddhist secara lebih
dekat. Kepercayaan yang sudah menjadi budaya ini memiliki banyak sekali
perayaan dan festival keagamaan yang dilakukan setiap tahunnya dengan
penuh warna dan kebahagiaan.
C. Atraksi dan Fasilitas
129
Selain pertunjukan teatrikal, Siam Niramit juga memiliki atraksi-atraksi
lainnya yang juga tak kalah menarik. Atraksi-atraksi ini bisa dinikmati
sebelum pertunjukan dimulai, yakni pada saat lokasi dibuka untuk umum
pada pukul 17.30.
Atraksi dan fasilitas lainnya adalah:
- Village of the 4 regions
- Musik dan tarian tradisional serta atraksi outdoor
- Menunggangi dan memberi makan gajah
- Pijat tradisional Thai
- Toko suvenir
- Restaurant
Siam Niramit juga memiliki fasilitas antar jemput gratis dari Thailand
Cultural Center MRT yang datang setiap 15 menit. Mushola juga tersedia di
tempat wisata ini.
2.2.6 Kuisioner
Untuk melihat seberapa besar antusiasme masyarakat terhadap pertunjukan
seni dan budaya, penulis membuat sebuah kuisioner online yang disebar kepada
masyarakat secara acak melalui situs jejaring sosial. Dalam 7 hari, dari ratusan
orang yang diminta untuk mengisi kuisioner ini, didapat 61 responden.
Tabel 2.4 Hasil survei kuisioner
HASIL SURVEY KUISIONER
KATEGORI PILIHAN JML RESPONDEN PERSENTASE
jenis kelamin pria 24 39
wanita 37 61
usia
15-19 7 11
20-25 45 74
26-35 2 3
36-40 0 0
130
41-50 0 0
di atas 50 7 11
pekerjaan
pelajar/mahasiswa 40 67
seniman/budayawan 1 2
pelaku bisnis 6 10
profesional 6 10
lain-lain 8 11
suka seni pertunjukan
ya 54 89
tidak 5 8
tidak tahu 2 3
suka pertunjukan tradisional
ya 28 46
tidak 33 54
tidak tahu 0 0
pertunjukan apa yg diminati
musik 44 48
tari 16 18
teater 31 34
jika jakarta punya gedung pertunjukan budaya
ya 36 59
untuk turis 17 28
tidak 1 2
tidak tahu 7 11
Pada pertanyaan esai, jika pergi ke negara lain, sebagian besar responden akan
menonton pertunjukan budaya khas negara tersebut. Semua berpendapat bahwa
kebudayaan lain sangat menarik dan jika menonton pertunjukan tersebut akan sangat
memperkaya wawasan. Hanya ada 1 responden yang berpendapat bahwa pertunjukan
di luar negri sangat menarik, tidak seperti di Indonesia. Tempatnya bagus dan
terpelihara, pertunjukannya juga berkelas.
2.2.7 Kesimpulan Hasil Survey dan Observasi
Tabel 2.5 Kesimpulan Hasil Survey Lokasi
SUBJEK GKJ SALIHARA GBB
Kapasitas
Desain
Akustik
Panggung
Fasilitas lain
131
Pemeliharaan
Akses ke lokasi
Ekslusivitas
sangat baik; cukup baik; kurang baik
Dari ketiga gedung pertunjukan di Jakarta yang sudah disurvey, ketiganya
memiliki keunggulan masing-masing. Namun dapat kita lihat bahwa Gedung
Kesenian Jakarta merupakan yang terbaik. Kapasitasnya cukup besar meskipun
masuk dalam kategori gedung pertunjukan kecil, karena kurang dari 500 kursi.
Gedung cukup terpelihara, meskipun ada beberapa bagian yang masih perlu
direnovasi, namun gedung dengan usia ratusan tahun ini masih terbilang relative
baik.
Teater Salihara sebetulnya juga baik secara desain dan usianya yang baru
dibangun. Namun kursi teaternya yang tidak permanen dan tidak memiliki
panggung kurang cocok untuk dijadikan sebagai panutan untuk gedung
pertunjukan budaya yang sesuai dengan judul penulisan ini.
Sedangkan Graha Bhakti Budaya memang berkapasitas besar, namun kurang
terpelihara. Gedungnya juga tidak memiliki fasilitas penunjang lainnya selain
auditorium. Tidak memberikan kesan apapun terhadap pengunjung.
Untuk kegiatan pertunjukan, Bali Theatre dan Siam Niramit dapat menjadi
contoh yang baik. Cerita, musik, dan tarian yang ditampilkan mampu mewakili
kebudayaan daerahnya. Pertunjukan juga dikemas dengan fantastis, sangat
menarik minat wisatawan. Dari keduanya dapat diambil kesimpulan bahwa
pertunjukan yang ditampilkan harus dapat dipahami oleh semua orang, dari
semua belahan bumi. Meskipun menggunakan bahasa daerah atau bahasa
132
Indonesia, gerak tubuh, ekspresi pemain, tata suara, tata cahaya, dan semua
perlengkapan yang digunakan harus dimaksimalkan untuk menunjang
pementasan. Selain itu, untuk pertunjukan berskala internasional, interior gedung
pertunjukan harus menunjang pertunjukan yang ada. Jangan sampai pertunjukan
yang bagus jadi kurang peminatnya lantaran tempatnya kurang menunjang.
Antusiasme masyarakat terhadap pertunjukan budaya memang belum besar
untuk saat ini, namun jika disediakan fasilitas yang baik dan dikemas lebih
menarik maka peminatnya akan terus bertambah. Berdasarkan hasil survei yang
telah dilakuakan, dapat dianalisa bahwa sebenarnya masyarakat tertarik dengan
hal-hal yang baru dan belum pernah dilihat. Pertunjukan tradisional juga dapat
menyaingi kualitas pertunjukan budaya di luar negeri apabila ditangani dengan
baik.