ANALGESIK NON OPIAT KERJA SENTRAL - UNUD
Transcript of ANALGESIK NON OPIAT KERJA SENTRAL - UNUD
ANALGESIK NON OPIAT KERJA SENTRAL
Oleh :
Ida Ayu Cindy Agririsky
dr. Putu Agus Surya Panji, Sp.An. KIC
DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
BAGIAN/SMF ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
RSUP SANGLAH DENPASAR/ FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL ...................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... iii
Analgesik Non Opiat Kerja Sentral ............................................................................. 1
1. Agonis α2-Adrenergik ......................................................................................... 2
a. Clonidine ......................................................................................................... 3
b. Dexmedetomidin............................................................................................. 5
2. Neostigmine ......................................................................................................... 6
3. Ketamin .............................................................................................................. 8
4. Midazolam ......................................................................................................... 12
5. Tramadol ........................................................................................................... 15
6. Droperidol ......................................................................................................... 16
7. Adenosin ........................................................................................................... 16
8. Conopeptide ....................................................................................................... 17
a. Ziconotide ..................................................................................................... 17
b. Conopeptide Investigasi Lain ....................................................................... 18
9. Octreotide .......................................................................................................... 18
10. Baclofen ........................................................................................................... 19
11. Kalsitonin ........................................................................................................ 20
12. Cyclooxygenase Inhibitor ................................................................................ 20
a. Ketorolac ....................................................................................................... 20
13. Gabapentin ....................................................................................................... 21
14. Magnesium Sulfat ............................................................................................ 22
KESIMPULAN ..................................................................................................... 23
REFERENSI .......................................................................................................... 24
ANALGESIK NON OPIAT KERJA SENTRAL
Analgesik opiat merupakan jenis obat-obatan yang digunakan untuk
mengobati nyeri akut dan kronis. Efek samping dari opiat seringkali membatasi
rentang dinamis obat tersebut. Ketergantungan serta penyalahgunaan obat
menyebabkan pentingnya untuk mempertimbangkan di populasi mana seharusnya
sebuah obat digunakan dan untuk indikasi kritis yang mana. Terdapat beberapa
adjuvan dari analgesik non opiat yang bekerja secara sentral, dimana efikasinya telah
terbukti secara medis. Menambahkan obat-obatan jenis non narkotik sebagai bagian
dari multimodalitas analgesia dinilai sangat menarik. Agen-agen tersebut dapat
mengurangi nyeri yang mekanisme kerjanya tidak terkait dengan reseptor opiat,
dimana obat-obatan tersebut tidak mengakibatkan depresi napas, ketergatungan fisik,
ataupun penyalahgunaan, serta tidak diregulasi di bawah Undang-Undang Zat
Terkendali.
Dalam upaya untuk mengurangi efek samping obat-obatan analgesik opiat,
dokter ahli bius dan ahli bedah beralih pada penggunaan/tehnik analgesik non opiat
sebagai terapi adjuvan dalam managemen nyeri selama periode perioperatif.
Administrasi obat-obatan neuroaksial merupakan sebuah kelompok tehnik yang
menghantarkan obat-obatan dalam tingkat ketepatan yang tinggi ke dalam medulla
spinalis, yang secara intratekal menuju cairan serebrospinal (CSF) atatupun secara
epidural menuju jaringan lemak disekitar dura, dengan cara injeksi ataupun infus.
Administrasi dari agen-agen yang bekerja sentral ini dapat mempercepat prosesnya
dalam melewati sawar darah otak, dimana hal ini nantinya akan menghasilkan
konsentrasi CSF yang jauh lebih tinggi meskipun dalam jumlah penggunaan yang
lebih minimal dalam usaha pencapaian efek equipotent.
Selain itu, penggunaan adjuvan non opiat neuraksial untuk anastesi lokal
dapat meningkatkan kualitas dari efek analgesik itu sendiri. Adjuvan non opiat
neuraksial memiliki beberapa mekanisme berbeda yang akan dipaparkan lebih lanjut
dalam paragraf berikutnya. Keuntungan potensial dari agen-agen ini yakni adanya
pengurangan dosis individu, pengurangan dari kebutuhan opiat, dan berpotensi
mengurangi efek-efek samping yang terkait dengan penggunaan opiat. Namun,
berkurangnya ekef samping berat terkait opiat jarang dilaporkan karena efek samping
opiat yang paling berat seperti depresi pernafasan jarang terjadi. Terapi adjuvan
memiliki eek sampingnya tersendiri dimana tidak menambah efek samping dari opiat.
Pemberian obat neuraksial memberi efek samping risiko cedera struktur sistem saraf
pusat, tidak hanya akibat jarum dan kateter yang digunakan namun juga efek
neurotoksik dari senyawa yang dimasukkan. Oleh karena itu, potensi neurotoksisitas
dari obat yang digunakan dalam kondisi ini memerlukan studi yang teliti.
Secara prinsip, obat apapun yang diadministrasikan intratekal kepada manusia
memerlukan tes secara histologist, fisiologis, dan perilaku pada spesies hewan
sebelum dilakukan pada percobaan klinis. Sebagian besar obat belum diteliti
sedemikian rupa terkait kontribusinya secara neuraksial. Terdapat banyak preparat
obat yang mengandung antioksidan, pengawet, dan eksipien, yang mungkin saja
dapat berkontribusi dalam neurotoksisitas. Penting untuk diketahui bahwa U.S Food
and Drug Administration (FDA) belum menerima administrasi secara neuroaksial
(epidural ataupun subaraknoid) dari obat-obatan yang tertera pada subbab buku ini
untuk digunakan di klinis secara rutin. Meskipun demikian, sebagian besar dari obat-
obatan ini telah melewati studi ekstensif termasuk terkait toksisitas obat-obatan
tersebut.
1. Agonis α2-Adrenergik
Administrasi secara epidural atau intratekal dari agonis α2-adrenergik
memberikan efek analgesik dengan cara mengaktifkan reseptor α2-adrenergik
(reseptor G protein-coupled inhibitor) pada neuron preganglionik simpatetik yang
memediasi reduksi pengeluaran norepinefrin (melalui mekanisme umpan balik
negatif). Jalur dari noradrenergik desenden yang berasal dari inti A5 dan A7 yang
terletak di pons dan otak tengah tampaknya berpengaruh dalam inhibisi mayor pada
aktivitas neuron preganglionik simpatetik. Efek secara umum adalah simpatolisis
yang menghasilkan efek analgesia, hipotensi, bradikardi, dan sedasi.
a. Clonidine
Clonidine berfungsi sebagai agonis yang parsial selektif terhadap reseptor α2.
Clonidine neuraksial telah terbukti efektif sebagai analgetik untuk kanker kronis,
nyeri non kanker, dan nyeri post operatif. Clonidine memiliki efek anti hipertensif
dan telah terbukti berpotensi untuk analgesik post operatif yang diinduksi oleh
anastesi lokal. Clonidine spinal menyebabkan prolongasi (30%) blok sensorik dan
motorik dari anastesi local. Clonidine umumnya diadministrasikan secara epidural
dalam dosis antara 75 hingga 150 g. Dosis yang digunakan untuk intratekal (spinal)
analgesia bervariasi antara 10 hingga 50 g. Untuk analgesia kaudal, clonidine
diadministrasikan dalam 1g/kg dosis.
Administrasi intratekal dari clonidine dengan dosis antara 37,5 hingga 150 g
dengan menggunakan bupivakain menghasilkan peningkatan yang bergantung pada
dosis pada blokade sensorik dan menghasilkan lebih banyak interval bebas nyeri pada
periode post operatif. Sebuah dosis intratekal dengan 150 g dicatat berhubungan
dengan blokade motorik. Dengan kombinasi gabungan anesthesia spinal atau
epidural, dosis clonidine intratekal sebanyak 15 g dapat menghasilkan peningkatan
durasi dari anestesi, analgesi, dan blokade motorik.
Clonidine epidural pada periode post operatif dapat mengurangi skor Visual
Analog Scale (VAS) dan juga dapat mengurangi konsumsi dari morfin. Penambahan
morfin secara intratekal atau epidural berhubungan dengan reduksi yang signifikan
dari denyut jantung dan tekanan darah. Clonidine epidural sebanyak 1g/mL ketika
ditambahkan dengan morfin sebanyak 0,1 mg/mL dalam 0,2% ropivakain secara
signifikan dapat mengurangi skor nyeri post operatif dari total pasien artroplasti lutut.
Pemberian opiat dan agonis α2 neuraksial menunjukkan efek sinergis.
Penambahan clonidine pada opiat untuk analgesik pasca operasi dalam infus epidural
kontinyu menurunkan kebutuhan opiat sebanyak 20 hingga 60%. Penambahan 75 µg
clonidine terhadap ropivakain epidural menyebabkan efektivitas analgesik yang lebih
banyak dan lebih panjang untuk persalinan sesar. Clonidine merupakan adjuvan yang
berguna untuk analgesi epidural persalinan. Clonidine telah terbukti menurunkan
kebutuhan anestesi lokal dan memperbaiki skor nyeri jika dikombinasikan dengan
bupivakain 0,125% dengan atau tanpa fentanyl 1-2 µg/mL. Jika digunakan pada
konsentrasi 1-2 µg/mL, clonidine tidak memiliki efek signifikan terhadap denyut
jantung janin, skor APGAR atau gas tali pusat. Clonidine juga mungkin memiliki
efek menguntungkan tambahan pada wanita dengan pre eklampsia. Namun, FDA
telah mengeluarkan "peringatan kotak hitam" terkait penggunaan clonidine neuraksial
untuk anestesi obstetri karena berkaitan dengan instabilitas hemodinamik ibu.
Peringatan tersebut menyatakan "Penggunaan Pasca operasi, Post partum, atau
Obstetrik: pertimbangkan risiko/manfaat; clonidine epidural umumnya tidak
direkomendasikan untuk tatalaksana nyeri pasca operasi, post partum atau obstetrik
karena risiko instabilitas hemodinamik, terutama hipotensi dan bradikardia." Dengan
demikian, manfaat analgesik adjuvan dan potensi efek hemodinamik yang
menguntungkan harus diperhitungkan dengan risiko pada masing-masing pasien.
Clonidine neuraksial diindikasikan untuk pengobatan nyeri pada pasien
kanker yang tidak responsif terhadap dosis opiat maksimum. Hal ini menjadi dasar
diterimanya clonidine epidural oleh FDA. Penggunaannya sebagai adjuvan telah
diterima secara luas untuk anestesi pediatri, sebagai cara untuk meningkatkan durasi
analgesik dari blokade kaudal dan pada anestesi obstetrik, untuk memberikan
analgesia dalam persalinan.
Clonidine intratekal nampaknya memiliki efek anti hiperalgesia. Karena
hiperalgesia merupakan ekspresi fisiologis dari sensitisasi sistem saraf pusat (SSP),
ini mungkin berguna untuk mencegah peningkatan risiko sensitisasi sentral dan nyeri
persisten pada pasien-pasien dengan nyeri pasca operasi yang berat.
Sebuah tinjauan sistematik baru-baru ini yang ditujukan untuk mengukur efek
menguntungkan dan efek berbahaya dari clonidine ketika digunakan sebagai adjuvan
terhadap anestesi lokal intratekal untuk pembedahan menyimpulkan bahwa clonidine
memperpanjang regrasi blokade sensoris yang bergantung pada dosis,
memperpanjang waktu untuk menambahkan analgesik saat pertama kali, dan
memperpanjang durasi blokade motorik total, dengan bukti responsivitas terhadap
dosis yang lemah. Selain itu, clonidine menurunkan resiko nyeri pasca operasi dan
meningkatkan resiko hipotensi arteri, tanpa bukti terhadap respon dosis. Akhirnya,
klonidin tidak memiliki dampak relevan terhadap waktu untuk mencapai blokade
motorik atau sensorik total, pada perluasan blokade sensorik dengan penyebaran
cephalic, ataupun terhadap resiko bradikardia.
b. Dexmedetomidin
Dexmedetomidin memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap reseptor α2
dibandingkan dengan clonidine. Selain itu, dexmedetomidin memiliki efek samping
hemodinamik dan sistemik yang lebih sedikit daripada clonidine dengan dosis yang
ekuivalen. Pemberian dexmedetomidin secara neuraksial telah terbukti menghasilkan
efek analgesik spinal yang sama efektifnya dengan clonidine. Dosis dexmedetomidin
intratekal 3µg akan ekuipoten dengan dosis clonidine 30µg. Dexmedetomidin 5µg
intratekal dan fentanyl 25µg dibandingkan dengan anestesi bupivakain untuk bedah
vagina. Dexmedetomidin secara signifikan menyebabkan blokade motorik dan
sensorik yang lebih lama.
Dexmedetomidin epidural menunjukkan sinergisme dengan anestesi lokal,
yakni dapat meningkatkan densitas blokade motorik, memperpanjang durasi blokade
motorik dan sensorik, dan meningkatkan analgesik pasca operasi. Studi-studi klinis
menunjukkan potensiasi anestesi lokal neuraksial, menurunkan kebutuhan anestesi
intraoperatif dengan mencegah kesadaran intraoperatif, dan meningkatkan analgesia
pascaoperasi jika dexmedetomidin epidural digunakan bersamaan dengan anestesi
umum. Penambahan dexmedetomidin 2µg/kg secara epidural dapat memperpanjang
durasi analgesi dan menurunkan kebutuhan analgesik tambahan pada pasien-pasien
yang menjalani pembedahan ortopedi tungkai bawah, bedah abdomen, dan seksio
sesarea yang berkaitan dengan penurunan denyut jantung dan rata-rata tekanan darah
arteri yang signifikan. Pada bedah thoraks, penggunaan dexmedetomidin epidural
dapat menurunkan kebutuhan anestesi, mencegah kesadaran selama anestesi, dan
memperbaiki oksigenasi intraoperatif dan analgesia pasca operasi. Dexmedetomidin
kaudal pada dosis 2µg/kg dengan bupivakain yang digunakan pada pasien-pasien
pediatri yang menjalani operasi hernia atau orchiopexy terbukti memiliki efek sedasi
lebih lama, analgesia yang lebih panjang, penggunaan agen anestesi yang lebih
sedikit dan efek iritabilitas yang lebih rendah. Tidak ada perbedaan hemodinamik jika
dibandingkan pada pasien yang hanya mendapat bupivakain.
Hingga saat ini tidak ada efek neurotoksisitas yang dilaporkan baik pada studi
hewan maupun manusia selama pemberian dexmedetomidin epidural atau intratekal.
Namun, terdapat beberapa bukti demielinasi oligodendrosit pada substansia alba pada
studi hewan yang menunjukkan efek berbahaya terhadap selubung mielin jika
diberikan secara epidural. Investigasi patologis lebih lanjut dibutuhkan untuk
membuktikan keamanan agonis α2 adrenergik. Meskipun demikian, efek samping
mayor dari agonis α2 adrenergik terbatas pada efek hemodinamik (misal bradikardi
dan hipotensi).
2. Neostigmine
Neostigmine bekerja dengan menghambat asetilkolinesterase dan mencegah
pemecahan asetilkolin. Penelitian pada tikus oleh Naguib dan Yaksh menunjukkan
bahwa pemberian kolinesterase inhibitor secara intratekal (neostigmine atau
edrofonium) dapat menghasilkan efek anti nosiseptif yang bergantung pada dosis
(Gambar 8-1). Efek anti nosiseptif ini tidak bergantung pada sistem reseptor α2 dan
opioid serta terutama disebabkan oleh stimulasi dari reseptor kolinergik muskarinik
(namun bukan nikotinik). Penggunaan asetilkolinesterase inhibitor secara intratekal
seperti pada neostigmine dapat menimbulkan efek analgesia. Seperti morfin,
neostigmine merupakan molekul hidrofilik, maka ketika diberikan pada ruang
epidural, obat ini membutuhkan waktu untuk berdifusi melalui durameter ke dalam
ruang subarakhnoid.
Neostigmine intratekal telah digunakan sebagai adjuvan anestesi lokal
intratekal atau opiat untuk memperpanjang analgesi regional dan meningkatkan
stabilitas hemodinamik, dengan hasil ayng bervariasi. Peningkatan dosis neostigmine
intratekal (10 hingga 100 µg) diikuti dengan lidokain 2% epidural menghasilkan
peningkatan efek analgesia yang bergantung pada dosis setelah persalinan sesar.
Penurunan kebutuhan morfin bertahan hingga 10 jam tanpa efek samping ke janin,
namun insiden nausea bervariasi pada pasien yakni dari 50 hingga 100%. Dalam studi
lain, neostigmine intratekal (10µg) saja jika dikombinasikan dengan sufentanil
intratekal dapat mengurangi ED50 sufentanil sekitar 25%.
Gambar 8-1. Kurva log respon dan dosis terkait efek intratekal dari morfin,
neostigmine, klonidin, carbachol, dan edrophonium pada ambang nosiseptif termal.
Respon ini digambarkan sebagai efek maksimal yang memungkinkan (%MPE) versus
log dosis dalam nanomol. Setiap titik dalam grafik menggambarkan rerata ± standar
eror. (Disunting dari Naguib M, Yaksh TL. Antinociceptive effects of spinal
cholinesterase inhibition and isobolographic analysis of the interaction with mu and
alpha 2 receptor systems. Anesthesiology. 1994;80[6]:1338–1348, dengan ijin).
Pemberian neostigmine epidural (100 hingga 200 µg) dapat menghindari efek
samping klinis ini dengan tetap meningkatkan efek analgesik yang dipicu oleh
anestesi lokal. Kombinasi neostigmine epidural dengan anestesi local, opiat, atau
klonidin untuk analgesia pada persalinan menunjukkan efektivitas analgesik,
mempotensiasi efek analgesik opiat dan klonidin. Neostigmine epidural tidak
mempengaruhi blokade motorik. Dosis neostigmine intratekal yang lebih tinggi dapat
menyebabkan sedasi ringan.
Sebuah studi meta analisis mengevaluasi efektivitas dan efek samping
neostigmine intratekal pada kondisi perioperasi dan peripartum. Penulis
menyimpulkan bahwa penambahan neostigmine intratekal terhadap obat-obatan
spinal lainnya dapat sedikit meningkatkan analgesia perioperatif dan peripartum jika
dibandingkan dengan plasebo. Hal ini berkaitan dengan efek samping dan kerugian
yang signifikan lebih besar dibanding efek peningkatan analgesia yang didapat. Mual
dan muntah terlihat lebih jarang pada studi-studi terkait neostigmine epidural. Hal ini
diperkirakan karena jumlah neostigmine yang lebih rendah yang mencapai CSF dan
tidak adanya distribusi sefalik. Neostigmine menstimulasi reseptor muskarinik pada
otot polos bronkus dan menyebabkan bronkospasme. Pada studi neostigmine
intratekal, kecuali pada dosis yang sangat tinggi (misalnya 750µg), tidak ada
perubahan yang terdeteksi pada saturasi oksihemoglobin dan kadar tidal akhir
karbondioksida.
Neostigmine intratekal pada dosis 1µg/kg digunakan pada bedah urologi dan
abdomen bawah pada pediatri dimana ditemukan adanya efek peningkatan analgesia.
Efek samping gastrointestinal telah membuat neostigmine tidak sering dipilih untuk
terapi neuraksial adjuvan. Tidak seperti neostigmine intratekal, neostigmin epidural
tidak berkaitan dengan peningkatan risiko mual dan muntah; namun, dosis diatas
100µg berkaitan dengan sedasi. Hal tersebut tidak menyebabkan depresi pernafasan
atau pruritus baik digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan opiat neuaraksial.
3. Ketamin
Dosis anestesi dan subanestesi dari ketamin memiliki sifat analgesik sebagai
akibat dari antagonis non-kompetitif dari reseptor N-methyl-d-aspartate (NMDA).
Dengan stimulasi nosiseptif yang berulang dan berkepanjangan, reseptor NMDA
teraktivasi, melepaskan neurotransmiter eksitatori glutamat, aspartat, dan neurokinin.
Efek analgesik primer dimediasi dengan mengantagonis reseptor NMDA yang
berlokasi pada neuron aferen sekunder pada cornu dorsalis dari medula spinalis
sehingga dapat mencegah peningkatan neurotranmisi eksitatori. Neurotransmiter-
neurotransmiter ini berkaitan dengan berbagai aktivitas termasuk sensitisasi sentral,
wind-up, dan plastisitas berbagai sistem seperti memori, penglihatan, fungsi motorik,
dan transmisi sensorik spinal.
Ketamin neuraksial harus diberikan dalam solusi yang bebas pengawet untuk
mencegah efek neurotoksik. Naguib dkk mempelajari dosis ketamin epidural 10 mg
dan 30 mg dan menemukan bahwa dosis 30 mg memberikan efek pereda nyeri
pascaoperasi yang bagus. Dosis ketamin yang rendah pada dosis 4, 6, dan 8 mg secara
epidural ditemukan tidak efektif untuk analgesia pasca operasi. Ketamin 0,5mg/kg
yang diberikan secara kaudal bersamaan dengan levobupivakain 0,175% 1 mL/kg
telah berhasil digunakan tanpa efek samping pada anak untuk bedah urologi dan
abdomen bawah. Infus epidural dari S(+)-ketamin 0,25 mg/kg/jam selama bedah
toraks memberikan analgesia pascaoperasi yang lebih baik dibanding ropivakain
epidural 0,25% (Gambar 8-2). Infus epidural dimulai sebelum insisi kulit dan juga
dijalankan 6 mL per jam selama durasi prosedur pembedahan pada studi sebelumnya.
Kombinasi ketamin epidural dengan anestesi lokal dan/atau infus opiat
menyebabkan peningkatan analgesia tanpa peningkatan efek samping yang
signifikan. Campuran bupivakain-ketamin memberikan efek analgesia yang lebih
baik dibandingkan dengan bupivakain saja (Gambar 8-3). Efek samping seperti
kelemahan motorik atau retensi urin tidak tampak pada kelompok ketamin.
Penambahan ketamin dosis rendah terhadap regimen analgesia epidural multimodal
memberikan efek analgesia pasca operasi yang lebih baik dan mengurangi
penggunaan morfin pada operasi bedah toraks, abdomen atas dan abdomen bawah.
Ketamin bekerja secara sinergis dengan opiat, dopaminergik, serotoninergik, dan
reseptor agonis α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA)
untuk menghasilkan disosiasi antara sistem limbik dan talamokortikal. AMPA
merupakan reseptor glutamat ionotropik tipe non-NMDA yang memediasi transmisi
cepat pada SSP. Ketamin juga menunjukkan efektivitas pada tatalaksana nyeri
neuropati, dan dipercaya bekerja melalui salah satu atau lebih dari mekanisme ini.
Pada dosis tinggi, ketamin mungkin memiliki efek analgesik minor tambahan dengan
memodulasi jalur inhibisi desenden melalui inhibisi atau reuptake neurotransmiter.
Gambar 8-2. Median waktu pasca operasi dari skor skala analog visual (VAS) pada
kelompok ropivakain dan ketamin (panel atas) dan hubungannya dengan konsumsi
analgesik pada dua kelompok (panel bawah). Simbol terbuka, tidak dibutuhkan
analgesik; simbol tertutup, ada penambahan analgesik (Dari Feltracco P, Barbieri S,
Rizzi S, et al. Brief report: perioperative analgesic efficacy and plasma concentrations
of S1 -ketamine in continuous epidural infusion during thoracic surgery. Anesth
Analg.2013;116[6]:1371–1375, dengan ijin)
Gambar 8-3. Kurva "survival" untuk kelompok bupivakain, bupivakain-ketamin, dan
ketamin. Proporsi pasien pada masing-masing kelompok yang tidak memerlukan
analgesia apapun sejak pemulihan dari anestesi. Campuran bupivakain-ketamin
memberikan analgesia yang lebih baik dibanding larutan bupivakain saja. Efek
samping seperti kelemahan motorik atau retensi urin tidak terlihat pada kelompok
ketamin. ( Dari Naguib M, Sharif AM, Seraj M, et al. Ketamine for caudal analgesia
in children: comparison with caudal bupivacaine. Br J Anaesth. 1991;67[5]:559–564,
dengan ijin)
Efek samping ketamin epidural yang pernah dilaporkan meliputi sedasi, nyeri
kepala dan nyeri punggung seperti terbakar yang transien selama injeksi dengan dosis
lebih dari 0,5mg/kg. Tidak ada efek samping depresi nafas, halusinasi, instabilitas
kardiovaskuler, disfungsi kandung kemih atau defisit neurologis yang pernah
dilaporkan pada pemberian dosis epidural hingga 1 mg/kg. Insiden mual, muntah dan
pruritus jika dikombinasikan dengan opiat neuraksial serupa dengan yang dilaporkan
pada pemberian opiat neuraksial saja.
Studi pada manusia terkait penggunaan ketamin intratekal terbatas karena
potensi risiko nenurotoksisitas dari pengawetnya yaitu benzalkonium klorida.
Ketamin intratekal terbukti menurunkan kebutuhan morfin pada pasien-pasien kanker
stadium akhir dan berguna untuk pasien yang toleran terhadap opiat. Pemberian
ketamin intratekal, bagaimanapun tidak memperpanjang atau memperbaiki kualitas
anestesi dari bupivakain, namun meningkatkan efek samping. Ketamin telah
diberikan secara intratekal pada 16 pasien dengan cedera tungkai bawah akibat
peperangan dengan dosis bervariasi dari 5 hingga 50 mg dalam 3 mL dekstrosa 5%.
Pada dosis ini, ketamin intratekal menyebabkan kadar sensorik yang berbeda pada
semua pasien dan efek analgesia pembedahan yang memuaskan. Efek sentral (rasa
kantuk, pusing dan nistagmus) terjadi pada sembilan pasien, namun mereka tetap
tersadar; satu pasien tidak mengalami efek sentral dan satu pasien mengalami
anestesia disosiatif. Ketamin sendiri tidak menyebabkan blokade motorik, namun
penambahan epinefrin menyebabkan blokade motorik total dan mungkin memberikan
blokade sensorik yang intensif.
Keuntungan ketamin intratekal adalah sedikitnya efek kardiovaskuler dan
depresi pernafasan. Kelemahan utama ketamin intratekal adalah potensi reaksi
psikomimetik, blokade motorik inadekuat, dan durasi kerja yang pendek. Manifestasi
klinis dari mielopati menunjukkan adanya cedera tulang belakang yang terlihat pada
pasien kanker terminal setelah pemberian ketamin bebas pengawet intratekal secara
kontinyu dengan laju 5 mg per hari selama 3 minggu.
4. Midazolam
Midazolam intratekal menghasilkan efek analgesia dengan mengaktivasi
reseptor γ-aminobutyric acid (GABA)-A dan mengurangi eksitabilitas medula
spinalis. Reseptor GABA-A merupakan reseptor dengan gerbang ligan yang berada di
seluruh SSP dan GABA merupakan neurotransmiter inhibitor utama pada SSP
meskipun glisin lebih menonjol pada medula spinalis. Ikatan GABA menyebabkan
perubahan konfigurasi reseptor, menyebabkan kanal ion terbuka yang memungkinkan
klorida berpindah turun mengikuti gradien elektrokimia ke dalam sel. Hal ini
menyebabkan hiperpolarisasi neuron dan menurunkan propagasi potensial aksi.
Reseptor bensodiazepine densitas tinggi (GABA-A) ditemukan pada lamina II
kornu dorsalis dari medula spinalis, menunjukkan kemungkinan memiliki peran
dalam modulasi nyeri. Benzodiazepine juga telah terbukti bekerja pada reseptor opiat.
Antagonis opiat δ-selektif, naltrindole, dapat menekan efek antinosiseptif dari
midazolam intratekal, hal ini menunjukkan bahwa midazolam intratekal terlibat
dalam pelepasan opiat endogen yang bekerja pada reseptor δ spinalis. Substansia
gelatinosa dari kornu dorsalis medula spinalis mengandung reseptor GABA-A
dengan densitas tinggi. Benzodiazepin cenderung memediasi efek analgesik dengan
meningkatkan inhibisi neuron nosiseptif pada daerah ini.
Midazolam yang diberikan secara epidural atau intratekal terbukti memiliki
efek analgesic (Gambar. 8-4). Penambahan midazolam (10-20 mg selama 12 jam)
terhadap infus bupivakain epidural kontinyu (100 mg) untuk nyeri pasca operasi
memberikan efek analgesia yang lebih baik dibanding bupivakain saja tanpa adanya
efek sedatif.
Gambar 8-4. Midazolam kaudal dalam dosis 50 g/kg memberikan analgesia yang
ekuivalen dengan bupivakain 0,25%, jika diberikan pasca operasi dengan volume 1
mL/kg untuk anak-anak setelah herniotomi inguinal unilateral. Kurva survival untuk
kelompok bupivakain, midazolam, dan bupivakain-midazolam. Proporsi pasien pada
masing-masing kelompok yang tidak memerlukan analgesia apapun sejak pemulihan
dari anestesia. Waktu hingga pemberian analgesik pertama (parasetamol suppositoria)
lebih panjang (P < 0,001) pada kelompok bupivakain-midazolam dibanding kedua
kelompok lainnya. Efek samping seperti kelemahan motorik, depresi pernapasan atau
sedasi berkepanjangan tidak terlihat pada pasien yang hanya mendapat midazolam
epidural kaudal saja. (Dari Naguib M, el Gammal M, Elhattab YS, et al. Midazolam
for caudal analgesia in children: comparison with caudal bupivacaine. Can J Anaesth.
1995;42[9]:758–764, dengan ijin).
Midazolam yang ditambahkan pada analgesia epidural fentanyl-ropivakain
berkaitan dengan penurunan insiden mual dan muntah pasca operasi secara signifikan
dibandingkan dengan fentanil-ropivakain saja, dan penurunan pemberian analgesia
epidural yang dikontrol pasien (PCEA) secara signifikan tanpa peningkatan efek
samping yang signifikan pada pasien-pasien yang menjalani gastrektomi subtotal dan
persalinan pasca sesar. Mekanisme pasti dimana midazolam bekerja sebagai
antiemetik belum sepenuhnya dipahami. Mekanisme yang diajukan meliputi efek
inhibisi mimesis glisin, peningkatan efek inhibisi GABA, inhibisi pelepasan dopamin,
dan augmentasi inhibisi dopamin yang dimediasi oleh adenosin pada zona pemicu
kemoreseptor. Tidak ada efek sedasi yang terlihat pada dosis midazolam epidural 1
dan 2 mg; namun sedasi dilaporkan pada dosis yang lebih tinggi.
Studi pada hewan menunjukkan sinergisme antara midazolam dan morfin
intratekal. Studi klinis selanjutnya mengevaluasi midazolam epidural dan intratekal
untuk pengobatan nyeri kronis dan pasca operasi. Midazolam intratekal juga telah
diteliti dalam kombinasinya dengan opiat untuk analgesia persalinan. Studi-studi ini
mendukung efektivitas analgesik midazolam intratekal pada dosis < 2 mg dan dalam
konsentrasi < 1 mg/mL. Midazolam intratekal lebih efektif untuk pengobatan nyeri
viseral. Penambahan midazolam intratekal juga menurunkan kebutuhan analgesik
pasca operasi. Insiden mual dan muntah pasca operasi lebih sedikit pada midazolam
intratekal dibanding yang terlihat pada fentanil intratekal. Midazolam dapat
dikombinasikan dengan obat lain seperti klonidin dan opiat untuk efek tambahan dan
telah digunakan sebagai infus kontinyu (12 mg/hari) pada pasien-pasien dengan nyeri
refraktori.
Resiko serius akibat pemberian obat intratekal adalah neurotoksisitas, dan
efek neurotoksik semacam itu terbukti pada studi hewan. Sebagian besar studi hewan
meneliti pemberian midazolam intratekal dan menunjukkan tidak adanya efek
neurotoksik, meskipun dua studi yang lebih awal sebelumnya menunjukkan tanda-
tanda neurotoksisitas. Bukti terbaru menunjukkan bahwa penambahan midazolam
dosis 1 hingga 2 mg intratekal bermanfaat untuk pengobatan nyeri kronis dan pasca
operasi. Bukti terkini mendukung penggunaan midazolam dengan dosis tidak lebih
dari 1 hingga 2 mg serta dalam konsentrasi tidak lebih dari 1 mg/mL. Pertimbangan
percobaan pada manusia dengan penggunaan midazolam perioperatif menunjukkan
tidak adanya efek neurologis yang nyata dalam kondisi seperti ini. Percobaan
eksperimental terkait midazolam intratekal pada hewan dan manusia adalah
peringatan dalam perkembangan obat. Peneliti melanjutkan dengan uji klinis pada
manusia ketika hanya ada data pada hewan yang tersedia yang menunjukkan bahwa
pemberian midazolam intratekal mungkin bersifat neurotoksik. Hanya setelah uji
coba pada manusia dilakukan, data tambahan pada hewan menunjukkan sedikit
neurotoksisitas, meningkatkan perhatian etis yang signifikan mengenai kemajuan
penelitian investigasional dari hewan ke manusia.
5. Tramadol
Tramadol merupakan analgesik yang terutama mengkombinasikan aktivitas µ-
opiat dan monoaminergik melalui inhibisi uptake neuronal dari serotonin dan
norepinefrin. Studi-studi pada hewan telah mengkonfirmasi efek analgesik dari
tramadol yang diberikan secara intratekal. Namun, data pada manusia masih terbatas.
Pemberian tramadol epidural telah menjadi subyek pada beberapa studi dan tidak
menunjukkan analgesia pascaoperasi yang efektif dengan pemberian epidural.
Efek pemberian tramadol intratekal pada pasien menunjukkan hasil yang
bertentangan. Tramadol 1-2 mg/kg juga telah diberikan secara kaudal pada anak-anak
untuk analgesia pasca operasi.
6. Droperidol
Droperidol epidural efektif untuk mengurangi pruritus serta mual dan muntah
pasca operasi. Pemberian droperidol intratekal jangka panjang terbukti menjadi
antiemesis yang sangat baik pada pasien dengan nyeri non-malignansi. Droperidol
telah ditunjukkan dapat bekerja langsung pada zona pemicu kemoreseptor di batang
otak. Meskipun tidak ada efek samping yang terlihat, penting untuk mengenali bahwa
masih sedikitnya data laboratorium mengenai keamanan droperidol neuraksial
(termasuk potensi neurotoksisitas).
7. Adenosin
Pada medula spinalis, reseptor adenosin berada pada lapisan kornu dorsalis
superfisial. Adenosin menunjukkan aktivitas antinosiseptif pada reseptor adenosin A1
berlokasi di lamina I dan II kornu dorsalis medula spinalis. Mekanisme lainnya yakni
peningkatan pelepasan norepinefrin spinalis.
Studi awal mengkonfirmasi keamanan yang relatif dari pemberian adenosin
intratekal pada relawan manusia tanpa adanya toksisitas klinis yang dilaporkan.
Adenosin intratekal tidak menghambat nyeri akut namun efektif untuk mengatasi
allodinia dan hiperalgesia. Hiperalgesia dan allodinia ekperimental dapat dikurangi
oleh adenosin intratekal yang tidak bergantung pada dosis; meskipun demikian pada
kondisi klinis, hal ini tidak mengubah kebutuhan anestesi ataupun analgesia pasca
operasi. Demikian pula, jika dikombinasikan dengan opiat, adenosin intratekal tidak
memperpanjang analgesia selama persalinan.
Adenosin nampaknya efektif untuk pengobatan nyeri neuropatik. Adenosin
intratekal tidak berkaitan dengan hipotensi, blokade motorik, ataupun sedasi. Setelah
banyak uji klinis yang melibatkan hewan, adenosin intratekal 500 hingga 2.000 µg
pada relawan manusia menunjukkan penurunan allodinia pada uji klinis fase I. Efek
samping yang terlihat hanya nyeri lumbal transien setelah diberi dosis 2.000 µg.
Peran adenosin neuraksial dalam armamentarium untuk pengobatan nyeri akut atau
kronik memerlukan delineasi lebih lanjut.
8. Conopeptides
a. Ziconotide
Zicotonide adalah 25 asam amino sintetik, peptida polibasa dengan tiga
jembatan disulfida dan merupakan suatu derivatif dari omega conotoxin yang
ditemukan pada venom conus magnus siput laut. Ziconotide bekerja sebagai
antagonis selektif dari kanal kalsium yang sensitif terhadap tegangan dalam neuron
terminal presinaps pada kornu dorsalis, sehingga menghambat transmisi saraf.
Ziconotide secara langsung menghambat pelepasan norepinefrin dan berfungsi
sebagai simpatolitik, menyebabkan penurunan tekanan rata-rata dan diastolik, yang
paling terlihat jika diberikan secara intravena dan biasanya memiliki efek yang tidak
berarti jika diberikan secara intratekal.
Karena sangat polar dan larut dalam air, ziconotide bersifat hipobarik pada
konsentrasi yang berguna secara klinis dan memiliki berat molekul yang relatif besar.
Agen ini memiliki jendela terapeutik yang sempit, dengan efek samping
neuropsikiatri yang muncul hampir pada semua pasien pada dosis yang lebih tinggi
atau jika peningkatan dosis dilakukan terlalu cepat. Laju infus awal harus dibatasi 0,1
g per jam dengan peningkatan bertahap dari waktu ke waktu; efek samping SSP
dapat terjadi. Ziconotide merupakan satu-satunya obat non opiat yang disetujui oleh
FDA untuk diberikan secara intratekal untuk tatalaksana nyeri neuropatik.
Ziconotide menghasilkan efek antinosisepsi spinal yang nyata pada model
hewan dengan nyeri akut dan persisten dan laporan tambahan melaporkan bahwa
pemberian secara intratekal dapat meringankan nyeri neuropatik yang berat. Setelah
uji coba keamanan pada model hewan, uji coba pada manusia dengan kontrol nyeri
yang buruk yang berkaitan dengan penyakit tahap lanjut menunjukkan bahwa efek
samping terjadi pada sebagian besar pasien (92,9%). Efek samping signifikan yang
dilaporkan pada kelompok ziconotide adalah rasa pusing, bingung, ataksia, gaya jalan
abnormal dan gangguan memori. Percobaan bunuh diri meningkat pada penggunaan
ziconotide jika dibandingkan dengan plasebo. Sebagian besar efek samping dapat
menghilang sendiri dengan penghentian terapi. Harga yang mahal dan efek samping
yang hampir terjadi pada semua yang mendapat ziconitide telah membatasi
penggunaan agen ini dalam praktek klinis. Beberapa pasien dengan peningkatan nyeri
kronik yang signifikan, pengurangan rasa sakit yang terus menerus dengan sedikit
efek samping atau efek samping yang dapat ditoleransi ketika mendapat infus
ziconotide intratekal, mencanangkan sistem pengantaran obat melalui intratekal.
b. Conopeptide Investigasi lain
Xen 2174
Xen 2174 merupakan suatu conopeptide yang berasal dari siput laut. Obat ini
terbukti menghambat transpor norepinefrin dan mengaktivasi jalur inhibisi
noradenergik yang menyebabkan hiperalgesia, anti allodinia dan anti nosiseptif.
CGX-1160
CGX-1160 merupakan conopeptide yang menghasilkan analgesia melalui
aktivasi reseptor neurotensin tipe 1 (NTR1). Obat ini telah ditemukan aman pada
sejumlah kecil pasien dengan nyeri neuropatik yang berhubungan dengan cedera
medulla spinalis.
Indeks terapeutik dari conopeptida terbaru ini mungkin lebih unggul
dibandingkan dengan ziconotide, namun banyak penelitian tambahan diperlukan
sebelum mereka dapat mencapai penggunaan klinis. Analgesik non-opiat terbaru
yang menjanjikan efektivitas yang signifikan dalam pengobatan nyeri neuropatik
masih sulit dipahami, namun merupakan analgesik kelas terbaru yang menjanjikan.
9. Octreotide
Octreotide merupakan oktapeptida somatostatin dari derivatif hormon
pertumbuhan manusia. Octreotide yang diberikan melalui spinal menyebabkan
analgesia. Octreotide intratekal yang diberikan pada suatu studi tanpa kontrol pada
pasien kanker selama 5 tahun dapat mengurangi nyeri tanpa adanya efek samping.
Sebuah studi prospektif double-blind yang melibatkan 20 subyek manusia
menunjukkan tidak adanya sinyal keamanan dari octrotide intratekal pada dosis 20
mg per jam. Peran agen ini dalam praktek klinisnya masih belum terdefinisi.
10. Baclofen
GABA bekerja sebagai penghambat neurotransmiter pada SSP. Baclofen
merupakan agonis dari reseptor GABA-B. Baclofen dapat menekan transmisi
neuronal pada korteks serebri, basal ganglia, thalamus, serebelum, dan medulla
spinalis. Efek analgesik dari baclofen diperantarai secara post-sinaps melalui aktivasi
reseptor GABA-B yang terikat dengan protein G pada lamina II dan III, yang
menyebabkan peningkatan konduktansi kalium dan hiperpolarisasi membran.
Baclofen juga bekerja pada pre-sinaps untuk menghambat konduktansi Ca+2, dan
dengan demikian, dapat melepaskan glutamat dan substansi P dan secara post-sinaps
dapat menghasilkan hiperpolarisasi membran dengan cara meningkatkan konduktansi
kalium melalui sistem second messenger dan protein G.
Baclofen memiliki solubilitas lemak yang rendah dan berat molekuler yang
rendah sehingga cocok dipakai untuk kerja di spinal jika diberikan melalui rute
epidural, namun studi yang bermakna hingga saat ini masih sedikit. Baclofen
intratekal menunjukkan efektivitasnya pada sindrom nyeri kronis yang berkaitan
dengan multipel sklerosis dan sindrom nyeri regional kompleks (CRPS) tipe I. Untuk
nyeri somatik, baclofen intratekal telah digunakan untuk pengobatan nyeri tulang
belakang dengan sindrom kompresi akar. Baclofen intratekal secara spesifik
digunakan untuk mengobati distonia dan spastisitas akibat berbagai kondisi seperti
cerebral palsy dan cedera saraf tulang belakang spastik akibat trauma. Ketertarikan
akhir-akhir ini juga memfokuskan pada penggunaannya sebagai analgesik.
Dosis baclofen intratekal tipikal yakni sebanyak 25 hingga 200 µg per hari
melalui pompa intratekal yang terprogram. Pemberian intratekal lebih unggul
dibanding pemberian sistemik karena berkaitan dengan efektivitas dan efek
sampingnya. Baclofen juga terbukti meringankan sindrom nyeri sentral pada pasien-
pasien dengan spastisitas meskipun belum jelas apakah ini merupakan efek primer
karena berkurangnya spastisitas atau efek analgesik langsung. Beberapa bukti
menunjukkan efektivitasnya dalam melawan nyeri nosiseptif dan neuropatik,
terutama bila digunakan dalam kombinasi dengan morfin dan/atau klonidin.
Baclofen telah diteliti pada penggunaan perioperatif dalam suatu studi acak
secara double-blind untuk artroplasti lutut total sebagai adjuvan dengan bupivakain
spinal dalam 100 mg dosis tunggal. Hasil menunjukkan penurunan penggunaan opiat
yang signifikan secara statistik pada unit perawatan pasca anestesi (PACU), skor
nyeri yang lebih rendah dalam 48 sampai 72 jam pasca operasi dan keparahan nyeri
yang lebih rendah dalam 3 bulan setelah artroplasti lutut total pada pasien-pasien
yang mendapat baclofen intratekal dibandingkan dengan pasien yang mendapat
bupivakain dan salin spinal. Efek samping baclofen yang umum dijumpai meliputi
sedasi, rasa kantuk, nyeri kepala, mual dan kelemahan. Efek samping yang lebih
serius antara lain rabdomiolisis dan kegagalan organ multipel juga pernah dilaporkan.
Seperti banyak analgesik adjuvan lainnya yang dibahas dalam bab ini, peran baclofen
intratekal pada penanganan nyeri perioperatif memerlukan studi lebih lanjut.
11. Kalsitonin
Kalsitonin merupakan hormon alami yang baru-baru ini terbukti dapat
mengurangi nyeri, terlepas dari kerjanya yang perifer pada daerah bertulang. Dosis
intratekal dan epidural yaitu 100 Unit Internasional. Terdapat sedikit literatur studi
mengenai penggunaannya sebagai analgesik. Pemberian kalsitonin intratekal
berkaitan dengan efek samping seperti mual dan muntah serta kecemasan; hal ini
terlihat pada sejumlah kecil pasien yang mendapat kalsitonin. Mual dan muntah pasca
operasi terjadi pada 30% pasien yang mendapat kalsitonin yang dicampur dengan
bupivakain.
12. Cyclooxygenase Inhibitor
a. Ketorolac
Ekspresi konstitutif dari siklooksigenase (COX)-1 dan COX-2 pada medulla
spinalis, upregulasi COX-1 dan 2, serta pelepasan dan produksi dari prostaglandin
spinal dapat terjadi setelah cedera jaringan perifer. Injeksi prostaglandin intratekal
menyebabkan hiperalgesia dan allodinia. Ketorolac merupakan penghambat COX.
Pemberian penghambat COX intratekal secara teori akan menurunkan sensitisasi
sentral dan rasa nyeri. Inhibisi COX spinal yang ditargetkan mungkin menjadi
strategi yang tepat untuk mengobati rasa nyeri. Hal ini mengarahkan banyak peneliti
untuk mempostulasikan bahwa pemberian obat anti inflamasi non steroid (NSAID)
neuraksial menghasilkan efek analgesia setelah input rangsangan eksitatori ke dalam
medulla spinalis.
Farmakokinetik ketorolac dalam SSP yang dilihat dari studi pada anjing
menunjukkan eliminasi cepat dan uptake jaringan yang tertunda; oleh karena itu infus
kontinyu ketorolac intratekal mungkin menjadi strategi yang efektif. Data studi pada
hewan menunjukkan hasil yang menjanjikan, pada studi relawan sehat tidak
menunjukkan adanya efek samping neurologis. Pemahaman mengenai relevansi
penelitian ini terhadap nyeri pada manusia dihambat oleh kurang diterimanya produk
ini untuk diinjeksikan secara intratekal. Injeksi ketorolac intratekal telah dipelajari
pada manusia dalam suatu studi keamanan obat label terbuka, dengan peningkatan
dosis. Ketorolac intratekal 0,25 hingga 2 mg dapat ditoleransi dengan baik, dengan
efek samping yang terjadi hanyalah sedikit penurunan denyut nadi pada 15 hingga 60
menit setelah injeksi. Ketorolac intratekal tidak menghilangkan nyeri kronis atau
memperpanjang anestesia atau analgesia dari bupivakain intratekal yang diberikan di
awal pembedahan.
Studi-studi ini menunjukkan bahwa prostaglandin yang diproduksi secara
spinal mungkin memiliki peran terbatas pada nyeri dan hipersensitivitas pada
manusia dibanding yang diprediksikan dalam studi hewan dan ketorolac intratekal
mungkin memiliki efek analgesik yang terbatas pada manusia namun dapat menjadi
aktif jika ada sensitisasi sentral termasuk nyeri kronis dan pasca operasi.
13. Gabapentin
Gabapentin bekerja pada kanal kalsium yang bergantung pada tegangan
(voltage-dependent calcium channel) dan menghambat pelepasan glutamat pada
kornu dorsalis medula spinalis. Gabapentin oral telah diterima sebagai pengobatan
antikonvulsi yang menunjukkan beberapa efektivitas dalam mengobati nyeri
neuropati. Mengingat fakta bahwa gabapentin tidak diserap dengan baik oleh sistem
gastrointestinal dan sedikit menembus sawar darah otak, sifat non-opiat-nya dan
tempat kerja analgesik yang diduga dalam spinal ini telah membuat studi mengenai
gabapentin intratekal menjadi menarik. Namun, suatu percobaan pemberian infus
gabapentin intratekal yang diperpanjang (22 hari) tidak menunjukkan efek analgesik
yang signifikan secara statistik atau yang berarti secara klinis. Efek samping terkait
obat serupa dengan pemberian gabapentin oral.
14. Magnesium Sulfat
Magnesium memiliki sifat analgesik, terutama berkaitan dengan regulasi
influks kalsium ke dalam sel dan sifat antagonisme reseptor NMDA pada SSP. Telah
dipublikasikan beberapa uji klinis kecil yang meneliti efektivitas analgesik dari
magnesium intravena perioperatif dengan hasil yang bertentangan. Meskipun
demikian, suatu meta analisis dari semua uji coba yang ada dari magnesium yang
diberikan secara sistemik melaporkan penurunan kebutuhan opiat pasca operasi yang
hampir sama dengan ketorolac. Studi-studi pada hewan melaporkan neurotoksisitas
histologi dengan dosis yang disesuaikan dengan berat badan serupa dengan yang ada
pada sebagian besar uji klinis pada manusia hingga saat ini, sedangkan dua laporan
kasus telah menunjukkan bahwa pasien mengalami disorientasi dan nyeri peri
umbilikal kontinyu seperti terbakar setelah pemberian injeksi magnesium neuraksial.
Sebuah model pada hewan menunjukkan bahwa pemberian magnesium
intratekal secara langsung dapat meningkatkan efek antinosiseptif dari opiat untuk
nyeri insisi akut dan menekan respon nosiseptif pada model nyeri neuropatik. Uji
klinis awal yang menyelidiki magnesium intratekal dan epidural melaporkan
peningkatan median durasi analgesia dan menurunkan konsumsi opiat sebanyak 25%
secara berturut-turut. Dosis magnesium neuraksial yang memberikan analgesia
optimal dengan kemungkinan efek samping yang paling rendah masih belum jelas.
Efektivitas analgesik dan keamanan magnesium neuraksial untuk tatalaksana
nyeri pasca operasi telah dinilai dalam suatu studi meta analisis. Magnesium
intratekal meningkatkan waktu permintaan analgesik saat pertama kali, dapat
mengurangi konsumsi morfin dalam 24 jam pasca operasi, dan sedikit mengurangi
skor nyeri pasca operasi. Jika dimasukkan ke dalam ruang epidural, magnesium juga
meningkatkan waktu permintaan analgesik yang pertama kali. Keuntungan terkait
nyeri akut yang dilaporkan yaitu tidak adanya peningkatan risiko hipotensi,
bradikardia atau sedasi. Sedikitnya komplikasi yang dilaporkan terkait magnesium
neuraksial tidak dapat diinterpretasikan bahwa pemberian ini aman. Beberapa studi
pada hewan menunjukkan adanya risiko neurologis yang relevan secara klinis.
KESIMPULAN
Administrasi obat neuraksial secara intratekal dan epidural masih menjadi
pilihan pengobatan yang penting untuk pemberian anestesia dan juga sebagai terapi
dalam nyeri akut, nyeri kronis serta nyeri kanker. Studi terkait efek dosis tambahan
diperlukan bagi semua agen untuk memperkuat pemahaman kita mengenai profil obat
yang aman ketika diadministrasikan secara neuraksial sebelum digunakan dalam
praktek klinis secara rutin.
REFERENSI
1. Walker SM, Goudas LC, Cousins MJ, et al. Combination spinal analgesic
chemotherapy: a systematic review. Anesth Analg. 2002; 95(3):674–715.
2. Coote JH. Noradrenergic projections to the spinal cord and their role in
cardiovascular control. J Auton Nerv Syst. 1985;14(3):255–262.
3. Naguib M, Yaksh TL. Antinociceptive effects of spinal cholinesterase
inhibition and isobolographic analysis of the interaction with mu and alpha 2
receptor systems. Anesthesiology. 1994;80(6): 1338–1348.
4. Dobrydnjov I, Axelsson K, Gupta A, et al. Improved analgesia with clonidine
when added to local anesthetic during combined spinal-epidural anesthesia for
hip arthroplasty: a double-blind, randomized and placebo-controlled study.
Acta Anaesthesiol Scand. 2005;49(4):538–545.
5. Huang YS, Lin LC, Huh BK, et al. Epidural clonidine for postoperative pain
after total knee arthroplasty: a dose-response study. Anesth Analg.
2007;104(5):1230–1235.
6. Eisenach JC, DuPen S, Dubois M, et al. Epidural clonidine analgesia for
intractable cancer pain. The Epidural Clonidine Study Group. Pain.
1995;61(3):391–399.
7. Kanazi GE, Aouad MT, Jabbour-Khoury SI, et al. Effect of low-dose
dexmedetomidine or clonidine on the characteristics of bupivacaine spinal
block. Acta Anaesthesiol Scand. 2006;50(2):222–227.
8. Eisenach JC, De Kock M, Klimscha W. alpha(2)-adrenergic agonists for
regional anesthesia. A clinical review of clonidine (1984–1995).
Anesthesiology. 1996;85(3):655–674.
9. De Kock M, Lavand’homme P, Waterloos H. The short-lasting analgesia and
long-term antihyperalgesic effect of intrathecal clonidine in patients undergoing
colonic surgery. Anesth Analg. 2005; 101(2):566–572, table of contents.
10. Eisenach JC, Hood DD, Curry R. Intrathecal, but not intravenous, clonidine
reduces experimental thermal or capsaicin-induced pain and hyperalgesia in
normal volunteers. Anesth Analg. 1998;87(3): 91–596.
11. Lavand’homme PM, Roelants F, Waterloos H, et al. An evaluation of the
postoperative antihyperalgesic and analgesic effects of intrathecal clonidine
administered during elective cesarean delivery. Anesth Analg.
2008;107(3):948–955.
12. Brennan TJ, Kehlet H. Preventive analgesia to reduce wound hyperalgesia and
persistent postsurgical pain: not an easy path. Anesthesiology.2005;103(4):681–
683.
13. Elia N, Culebras X, Mazza C, et al. Clonidine as an adjuvant to intrathecal local
anesthetics for surgery: systematic review of randomized trials. Reg Anesth
Pain Med. 2008;33(2):159–167.
14. Eisenach JC, Shafer SL, Bucklin BA, et al. Pharmacokinetics and
pharmacodynamics of intraspinal dexmedetomidine in sheep. Anesthesiology.
1994;80(6):1349–1359.
15. Fisher B, Zornow MH, Yaksh TL, et al. Antinociceptive properties of
intrathecal dexmedetomidine in rats. Eur J Pharmacol. 1991; 192(2):221–225.
16. Ishii H, Kohno T, Yamakura T, et al. Action of dexmedetomidine on the
substantia gelatinosa neurons of the rat spinal cord. Eur J Neurosci.
2008;27(12):3182–3190.
17. Schnaider TB, Vieira AM, Brandao AC, et al. Intraoperative analgesic effect of
epidural ketamine, clonidine or dexmedetomidine for upper abdominal surgery
[in Portuguese]. Rev Bras Anestesiol. 2005;55(5):525–531.
18. Saadawy I, Boker A, Elshahawy MA, et al. Effect of dexmedetomidine on the
characteristics of bupivacaine in a caudal block in pediatrics.Acta Anaesthesiol
Scand. 2009;53(2):251–256.
19. Al-Mustafa MM, Abu-Halaweh SA, Aloweidi AS, et al. Effect of
dexmedetomidine added to spinal bupivacaine for urological procedures. Saudi
Med J. 2009;30(3):365–370.
20. Elhakim M, Abdelhamid D, Abdelfattach H, et al. Effect of epidural
dexmedetomidine on intraoperative awareness and post-operative pain after
one-lung ventilation. Acta Anaesthesiol Scand. 2010; 54(6):703–709.
21. Hanoura S, Hassanin R, Singh R. Intraoperative conditions and quality of
postoperative analgesia after adding dexmedetomidine to epidural bupivacaine
and fentanyl in elective cesarean section using combined spinal-epidural
anesthesia. Anesth Essays Res. 2013; 7:168–172.
22. El-Hennawy AM, Abd-Elwahab AM, Abd-Elmaksoud AM, et al. Addition of
clonidine or dexmedetomidine to bupivacaine prolongs caudal analgesia in
children. Br J Anaesth. 2009;103(2):268–274.
23. Emery E. Intrathecal baclofen. Literature review of the results and
complications [in French]. Neurochirurgie. 2003;49(2–3, pt 2): 276–288.
24. Grewal A. Dexmedetomidine: new avenues. J Anaesthesiol Clin Pharmacol.
2011;27(3):297–302.
25. Naguib M, Yaksh TL. Characterization of muscarinic receptor subtypes that
mediate antinociception in the rat spinal cord. Anesth Analg. 1997;85(4):847–
853.
26. Congedo E, Sgreccia M, De Cosmo G. New drugs for epidural analgesia. Curr
Drug Targets. 2009;10(8):696–706.
27. Hood DD, Eisenach JC, Tuttle R. Phase I safety assessment of intrathecal
neostigmine methylsulfate in humans. Anesthesiology. 1995;82(2):331–343.
28. Krukowski JA, Hood DD, Eisenach JC, et al. Intrathecal neostigmine for post-
cesarean section analgesia: dose response. Anesth Analg. 1997;84(6):1269–
1275.
29. Nelson KE, D’Angelo R, Foss ML, et al. Intrathecal neostigmine and sufentanil
for early labor analgesia. Anesthesiology. 1999; 91(5):1293–1298.
30. Lauretti GR, de Oliveira R, Reis MP, et al. Study of three different doses of
epidural neostigmine coadministered with lidocaine for postoperative analgesia.
Anesthesiology. 1999;90(6): 1534–1538.
31. Omais M, Lauretti GR, Paccola CA. Epidural morphine and neostigmine for
postoperative analgesia after orthopedic surgery. Anesth Analg.
2002;95(6):1698–1701, table of contents.
32. Roelants F, Lavand’homme PM. Epidural neostigmine combined with
sufentanil provides balanced and selective analgesia in early labor.
Anesthesiology. 2004;101(2):439–444.
33. Roelants F, Lavand’homme PM, Mercier-Fuzier V. Epidural administration of
neostigmine and clonidine to induce labor analgesia: evaluation of efficacy and
local anesthetic-sparing effect. Anesthesiology.2005;102(6):1205–1210.
34. Roelants F, Rizzo M, Lavand’homme P. The effect of epidural neostigmine
combined with ropivacaine and sufentanil on neuraxial analgesia during labor.
Anesth Analg. 2003;96(4):1161–1166, table of contents.
35. Harjai M, Chandra G, Bhatia VK, et al. A comparative study of two different
doses of epidural neostigmine coadministered with lignocaine for post operative
analgesia and sedation. J Anaesthesiol Clin Pharmacol. 2010;26(4):461–464.
36. Ho KM, Ismail H, Lee KC, et al. Use of intrathecal neostigmine as an adjunct
to other spinal medications in perioperative and peripartum analgesia: a meta-
analysis. Anaesth Intensive Care. 2005;33(1):41–53.
37. Kirdemir P, Ozkocak I, Demir T, et al. Comparison of postoperative analgesic
effects of preemptively used epidural ketamine and neostigmine. J Clin Anesth.
2000;12(7):543–548.
38. Marucio RL, Luna SP, Neto FJ, et al. Postoperative analgesic effects of
epidural administration of neostigmine alone or in combination with morphine
in ovariohysterectomized dogs. Am J Vet Res. 2008; 69(7):854–860.
39. Batra YK, Rajeev S, Panda NB, et al. Intrathecal neostigmine with bupivacaine
for infants undergoing lower abdominal and urogenital procedures: dose
response. Acta Anaesthesiol Scand. 2009; 53(4):470–475.
40. Gabopoulou Z, Vadalouca A, Velmachou K, et al. Epidural calcitonin: does it
provide better postoperative analgesia? An analysis of the haemodynamic,
endocrine, and nociceptive responses of salmon calcitonin and opioids in
epidural anesthesia for hip arthroplasty surgery. Pain Pract. 2002;2(4):326–331.
41. Kathirvel S, Sadhasivam S, Saxena A, et al. Effects of intrathecal ketamine
added to bupivacaine for spinal anaesthesia. Anaesthesia. 2000;55(9):899–904.
42. Brock-Utne JG, Kallichurum S, Mankowitz E, et al. Intrathecal ketamine with
preservative - histological effects on spinal nerve roots of baboons. S Afr Med
J. 1982;61(12):440–441.
43. Borgbjerg FM, Svensson BA, Frigast C, et al. Histopathology after repeated
intrathecal injections of preservative-free ketamine in the rabbit: a light and
electron microscopic examination. Anesth Analg.1994;79(1):105–111.
44. Errando CL, Sifre C, Moliner S, et al. Subarachnoid ketamine in swine—
pathological findings after repeated doses: acute toxicity study. Reg Anesth
Pain Med. 1999;24(2):146–152.
45. Rojas AC, Alves JG, Moreira ELR, et al. The effects of subarachnoid
administration of preservative-free S(1)-ketamine on spinal cord and meninges
in dogs. Anesth Analg. 2012;114(2):450–455.
46. Naguib M, Adu-Gyamfi Y, Absood GH, et al. Epidural ketamine for
postoperative analgesia. Can Anaesth Soc J. 1986;33(1):16–21.
47. Kawana Y, Sato H, Shimada H, et al. Epidural ketamine for postoperative pain
relief after gynecologic operations: a double-blind study and comparison with
epidural morphine. Anesth Analg. 1987;66(8):735–738.
48. Locatelli BG, Frawley G, Spotti A, et al. Analgesic effectiveness of caudal
levobupivacaine and ketamine. Br J Anaesth. 2008;100(5): 701–706.
49. Yang CY, Wong CS, Chang JY, et al. Intrathecal ketamine reduces morphine
requirements in patients with terminal cancer pain. Can J Anaesth.
1996;43(4):379–383.
50. Feltracco P, Barbieri S, Rizzi S, et al. Brief report: perioperative analgesic
efficacy and plasma concentrations of S1 -ketamine in continuous epidural
infusion during thoracic surgery. Anesth Analg. 2013;116(6):1371–1375.
51. Naguib M, Sharif AM, Seraj M, et al. Ketamine for caudal analgesia in
children: comparison with caudal bupivacaine. Br J Anaesth. 1991;67(5):559–
564.
52. Subramaniam K, Subramaniam B, Steinbrook RA. Ketamine as adjuvant
analgesic to opioids: a quantitative and qualitative systematic review. Anesth
Analg. 2004;99(2):482–495, table of contents.
53. Bion JF. Intrathecal ketamine for war surgery. A preliminary study under fi ld
conditions. Anaesthesia. 1984;39(10):1023–1028.
54. Karpinski N, Dunn J, Hansen L, et al. Subpial vacuolar myelopathy after
intrathecal ketamine: report of a case. Pain. 1997;73(1): 103–105.
55. Ho KM, Ismail H. Use of intrathecal midazolam to improve perioperative
analgesia: a meta-analysis. Anaesth Intensive Care. 2008; 36(3):365–373.
56. Goodchild CS, Guo Z, Musgreave A, et al. Antinociception by intrathecal
midazolam involves endogenous neurotransmitters acting at spinal cord delta
opioid receptors. Br J Anaesth. 1996;77(6):758–763.
57. Naguib M, el Gammal M, Elhattab YS, et al. Midazolam for caudal analgesia in
children: comparison with caudal bupivacaine. Can J Anaesth. 1995;42(9):758–
764.
58. Chakraborty S, Chakrabarti J, Bhattacharya D. Intrathecal tramadol added to
bupivacaine as spinal anesthetic increases analgesic effect of the spinal
blockade after major gynecological surgeries. Indian J Pharmacol.
2008;40(4):180–182.
59. Kumar P, Rudra A, Pan AK, et al. Caudal additives in pediatrics: a comparison
among midazolam, ketamine, and neostigmine coadministered with
bupivacaine. Anesth Analg. 2005;101(1): 69–73, table of contents.
60. Nishiyama T, Matsukawa T, Hanaoka K. Continuous epidural administration of
midazolam and bupivacaine for postoperative analgesia. Acta Anaesthesiol
Scand. 1999;43(5):568–572.
61. Nishiyama T, Matsukawa T, Hanaoka K. Effects of adding midazolam on the
postoperative epidural analgesia with two different doses of bupivacaine. J Clin
Anesth. 2002;14(2):92–97.
62. Canavero S, Bonicalzi V, Clemente M. No neurotoxicity from longterm (.5
years) intrathecal infusion of midazolam in humans. J Pain Symptom Manage.
2006;32(1):1–3.
63. 63. Hodgson PS, Neal JM, Pollock JE, et al. The neurotoxicity of drugs given
intrathecally (spinal). Anesth Analg. 1999;88(4):797–809.
64. Tucker AP, Lai C, Nadeson R, et al. Intrathecal midazolam I: a cohort study
investigating safety. Anesth Analg. 2004;98(6):1512–1520, table of contents.
65. Tucker AP, Mezzatesta J, Nadeson R, et al. Intrathecal midazolam II:
combination with intrathecal fentanyl for labor pain. Anesth Analg.
2004;98(6):1521–1527, table of contents.
66. Yanez A, Peleteiro R, Camba MA. Intrathecal administration of morphine,
midazolam, and their combination in 4 patients with chronic pain [in Spanish].
Rev Esp Anestesiol Reanim. 1992;39(1):40–42.
67. Johansen MJ, Gradert TL, Satterfield WC, et al. Safety of continuous
intrathecal midazolam infusion in the sheep model. Anesth Analg.
2004;98(6):1528–1535.
68. Reid M, Herrera-Marschitz M, Hokfelt T, et al. Differential modulation of
striatal dopamine release by intranigral injection of gammaaminobutyric acid
(GABA), dynorphin A and substance P. Eur J Pharmacol. 1988;147(3):411–
420.
69. Splinter WM, MacNeill HB, Menard EA, et al. Midazolam reduces vomiting
after tonsillectomy in children. Can J Anaesth. 1995;42(3):201–203.
70. Kohno T, Wakai A, Ataka T, et al. Actions of midazolam on excitatory
transmission in dorsal horn neurons of adult rat spinal cord. Anesthesiology.
2006;104(2):338–343.
71. Yanez A, Sabbe MB, Stevens CW, et al. Interaction of midazolam and
morphine in the spinal cord of the rat. Neuropharmacology. 1990;29(4):359–
364.
72. Kim MH, Lee YM. Intrathecal midazolam increases the analgesic effects of
spinal blockade with bupivacaine in patients undergoing haemorrhoidectomy.
Br J Anaesth. 2001;86(1):77–79.
73. Boussofara M, Carles M, Raucoules-Aime M, et al. Effects of intrathecal
midazolam on postoperative analgesia when added to a bupivacaine-clonidine
mixture. Reg Anesth Pain Med. 2006; 31(6):501–505.
74. Yaksh TL, Allen JW. The use of intrathecal midazolam in humans: a case study
of process. Anesth Analg. 2004;98(6):1536–1545, table of contents.
75. Cousins MJ, Miller RD. Intrathecal midazolam: an ethical editorial dilemma.
Anesth Analg. 2004;98(6):1507–1508.
76. Yaksh TL, Allen JW. Preclinical insights into the implementation of intrathecal
midazolam: a cautionary tale. Anesth Analg. 2004; 98(6):1509–1511.
77. Raffa RB, Friderichs E, Reimann W, et al. Opioid and nonopioid components
independently contribute to the mechanism of action of tramadol, an ‘atypical’
opioid analgesic. J Pharmacol Exp Th r. 1992;260(1):275–285.
78. Baraka A, Jabbour S, Ghabash M, et al. A comparison of epidural tramadol and
epidural morphine for postoperative analgesia. Can J Anaesth. 1993;40(4):308–
313.
79. Delilkan AE, Vijayan R. Epidural tramadol for postoperative pain relief.
Anaesthesia. 1993;48(4):328–331.
80. Fu YP, Chan KH, Lee TK, et al. Epidural tramadol for postoperative pain relief.
Ma Zui Xue Za Zhi. 1991;29(3):648–652.
81. Pan AK, Mukherjee P, Rudra A. Role of epidural tramadol hydrochloride on
postoperative pain relief in caesarean section delivery. JIndian Med Assoc.
1997;95(4):105–106.
82. Grace D, Fee JP. Ineffective analgesia after extradural tramadol hydrochloride
in patients undergoing total knee replacement. Anaesthesia. 1995;50(6):555–
558.
83. Wilder-Smith CH, Wilder-Smith OH, Farschtschian M, et al. Preoperative
adjuvant epidural tramadol: the effect of different doses on postoperative
analgesia and pain processing. Acta Anaesthesiol Scand. 1998;42(3):299–305.
84. Alhashemi JA, Kaki AM. Effect of intrathecal tramadol administration on
postoperative pain after transurethral resection of prostate.Br J Anaesth.
2003;91(4):536–540.
85. Frikha N, Ellachtar M, Mebazaa MS, et al. Combined spinal-epidural analgesia
in labor—comparison of sufentanil vs tramadol. Middle East J Anesthesiol.
2007;19(1):87–96.
86. Subedi A, Biswas BK, Tripathi M, et al. Analgesic effects of intrathecal
tramadol in patients undergoing caesarean section: a randomised, double-blind
study. Int J Obstet Anesth. 2013;22(4):316–321.
87. Ozcengiz D, Gunduz M, Ozbek H, et al. Comparison of caudal morphine and
tramadol for postoperative pain control in children undergoing inguinal
herniorrhaphy. Paediatr Anaesth. 2001; 11(4):459–464.
88. Lee IH, Lee IO. The antipruritic and antiemetic effects of epidural droperidol: a
study of three methods of administration. Anesth Analg. 2007;105(1):251–255.
89. Ahmad-Sabry MH, Shareghi G. Long-term use of intrathecal droperidol as an
excellent antiemetic in nonmalignant pain—a retrospective study. Middle East J
Anesthesiol. 2012;21(6):857–862.
90. Grip G, Svensson BA, Gordh T Jr, et al. Histopathology and evaluation of
potentiation of morphine-induced antinociception by intrathecal droperidol in
the rat. Acta Anaesthesiol Scand. 1992;36(2): 145–152.
91. Poon A, Sawynok J. Antinociception by adenosine analogs and inhibitors of
adenosine metabolism in an inflammatory thermal hyperalgesia model in the
rat. Pain. 1998;74(2–3):235–245.
92. Gomes JA, Li X, Pan HL, et al. Intrathecal adenosine interacts with spinal
noradrenergic system to produce antinociception in nerveinjured rats.
Anesthesiology. 1999;91(4):1072–1079.
93. Eisenach JC, Hood DD, Curry R. Phase I safety assessment of intrathecal
injection of an American formulation of adenosine in humans. Anesthesiology.
2002;96(1):24–28.
94. Rane K, Segerdahl M, Goiny M, et al. Intrathecal adenosine administration: a
phase 1 clinical safety study in healthy volunteers, with additional evaluation of
its influence on sensory thresholds and experimental pain. Anesthesiology.
1998;89(5):1108–1115; discussion 9A.
95. Karlsten R, Gordh T Jr. An A1-selective adenosine agonist abolishes allodynia
elicited by vibration and touch after intrathecal injection. Anesth Analg.
1995;80(4):844–847.
96. Eisenach JC, Curry R, Hood DD. Dose response of intrathecal adenosine in
experimental pain and allodynia. Anesthesiology. 2002;97(4):938–942.
97. Rane K, Sollevi A, Segerdahl M. Intrathecal adenosine administration in
abdominal hysterectomy lacks analgesic effect. Acta Anaesthesiol Scand.
2000;44(7):868–872.
98. Rane K, Sollevi A, Segerdahl M. A randomised double-blind evaluation of
adenosine as adjunct to sufentanil in spinal labour analgesia. Acta Anaesthesiol
Scand. 2003;47(5):601–603.
99. Eisenach JC, Hood DD, Curry R. Preliminary efficacy assessment of intrathecal
injection of an American formulation of adenosine in humans. Anesthesiology.
2002;96(1):29–34.
100. Schug SA, Buerkle H, Moharib M, et al. New drugs for neuraxial blockade.
Curr Opin Anaesthesiol. 1999;12(5):551–557.
101. Yaksh TL, Horais KA, Tozier N, et al. Intrathecal ketorolac in dogs and rats.
Toxicol Sci. 2004;80(2):322–334.
102. McGivern JG. Ziconotide: a review of its pharmacology and use in the
treatment of pain. Neuropsychiatr Dis Treat. 2007;3(1):69–85.
103. Schmidtko A, Lotsch J, Freynhagen R, et al. Ziconotide for treatment of severe
chronic pain. Lancet. 2010;375(9725):1569–1577.
104. Wermeling DP. Ziconotide, an intrathecally administered N-type calcium
channel antagonist for the treatment of chronic pain. Pharmacotherapy.
2005;25(8):1084–1094.
105. Bowersox SS, Gadbois T, Singh T, et al. Selective N-type neuronal voltage-
sensitive calcium channel blocker, SNX-111, produces spinal antinociception in
rat models of acute, persistent and neuropathic pain. J Pharmacol Exp Th r.
1996;279(3):1243–1249.
106. Brose WG, Gutlove DP, Luther RR, et al. Use of intrathecal SNX- 111, a novel,
N-type, voltage-sensitive, calcium channel blocker, in the management of
intractable brachial plexus avulsion pain. Clin J Pain. 1997;13(3):256–259.
107. Penn RD, Paice JA. Adverse effects associated with the intrathecal
administration of ziconotide. Pain. 2000;85(1–2):291–296.
108. Atanassoff PG, Hartmannsgruber MW, Thrasher J, et al. Ziconotide, a new N-
type calcium channel blocker, administered intrathecally for acute postoperative
pain. Reg Anesth Pain Med. 2000;25(3):274–278.
109. Wermeling D, Drass M, Ellis D, et al. Pharmacokinetics and
pharmacodynamics of intrathecal ziconotide in chronic pain patients. J Clin
Pharmacol. 2003;43(6):624–636.
110. Rauck RL, Wallace MS, Leong MS, et al. A randomized, doubleblind, placebo-
controlled study of intrathecal ziconotide in adults with severe chronic pain. J
Pain Symptom Manage. 2006;31(5):393–406.
111. National Institutes of Health Clinical Center. Resiniferatoxin to to treat severe
pain associated with advanced cancer. http://clinical
trials.gov/ct2/show/study/NCT00804154. Accessed April 1, 2014.
112. Kern SE, Allen J, Wagstaff J, et al. The pharmacokinetics of the conopeptide
contulakin-G (CGX-1160) after intrathecal administration: an analysis of data
from studies in beagles. Anesth Analg. 2007;104(6):1514–1520, table of
contents.
113. Penn RD, Paice JA, Kroin JS. Intrathecal octreotide for cancer pain. Lancet.
1990;335(8691):738.
114. Penn RD, Paice JA, Kroin JS. Octreotide: a potent new non-opiate analgesic for
intrathecal infusion. Pain. 1992;49(1):13–19.
115. Paice JA, Penn RD, Kroin JS. Intrathecal octreotide for relief of intractable
nonmalignant pain: 5-year experience with two cases. Neurosurgery.
1996;38(1):203–207.
116. Deer TR, Kim CK, Bowman RG II, et al. The use of continuous intrathecal
infusion of octreotide in patients with chronic pain of noncancer origin: an
evaluation of side-effects and toxicity in a prospective double-blind fashion.
Neuromodulation. 2005; 8(3):171–175.
117. Slonimski M, Abram SE, Zuniga RE. Intrathecal baclofen in pain management.
Reg Anesth Pain Med. 2004;29(3):269–276.
118. Vatine J, Magora F, Shochina M, et al. Effect of intrathecal baclofen in low
back pain with root compression symptoms. Pain Clin. 1989; 2:207–217.
119. Hsieh JC, Penn RD. Intrathecal baclofen in the treatment of adult spasticity.
Neurosurg Focus. 2006;21(2):e5.
120. Herman RM, D’Luzansky SC, Ippolito R. Intrathecal baclofen suppresses
central pain in patients with spinal lesions. A pilot study. Clin J Pain.
1992;8(4):338–345.
121. Loubser PG, Akman NM. Effects of intrathecal baclofen on chronic spinal cord
injury pain. J Pain Symptom Manage. 1996;12(4):241–247.
122. Sanders JC, Gerstein N, Torgeson E, et al. Intrathecal baclofen for
postoperative analgesia after total knee arthroplasty. J Clin Anesth.
2009;21(7):486–492.
123. Broseta J, Garcia-March G, Sanchez-Ledesma MJ, et al. Chronic intrathecal
baclofen administration in severe spasticity. Stereotact Funct Neurosurg.
1990;54–55:147–153.
124. Ochs GA. Intrathecal baclofen. Baillieres Clin Neurol. 1993;2(1): 73–86.
125. Donner B, Tryba M, Zenz M, et al. Intrathecal and epidural administration of
non-opioid analgesics in acute and chronic pain treatment [in German].
Schmerz. 1994;8(2):71–81.
126. Rastogi V, dutta R, Kumar GP. A comparative study of premedication for
prevention of vomiting induced by intrathecal calcitonin: a double blind study.
Internet J Anaesth. 2008;16(2):3.
127. Eisenach JC, Curry R, Rauck R, et al. Role of spinal cyclooxygenase in human
postoperative and chronic pain. Anesthesiology. 2010;112(5):1225–1233.
128. Eisenach JC, Curry R, Tong C, et al. Effects of intrathecal ketorolac on human
experimental pain. Anesthesiology. 2010;112(5):1216–1224.
129. Malmberg AB, Yaksh TL. Hyperalgesia mediated by spinal glutamate or
substance P receptor blocked by spinal cyclooxygenase inhibition. Science.
1992;257(5074):1276–1279.
130. Pellerin M, Hardy F, Abergel A, et al. Chronic refractory pain in cancer
patients. Value of the spinal injection of lysine acetylsalicylate. 60 cases [in
French]. Presse Med. 1987;16(30):1465–1468.
131. Eisenach JC, Curry R, Hood DD, et al. Phase I safety assessment of intrathecal
ketorolac. Pain. 2002;99(3):599–604.
132. Morello CM, Leckband SG, Stoner CP, et al. Randomized doubleblind study
comparing the efficacy of gabapentin with amitriptyline on diabetic peripheral
neuropathy pain. Arch Intern Med. 1999;159(16):1931–1937.
133. Steinman MA, Bero LA, Chren MM, et al. Narrative review: the promotion of
gabapentin: an analysis of internal industry documents. Ann Intern Med.
2006;145(4):284–293.
134. Iseri LT, French JH. Magnesium: nature’s physiologic calcium blocker. Am
Heart J. 1984;108(1):188–193.
135. Feria M, Abad F, Sanchez A, et al. Magnesium sulphate injected
subcutaneously suppresses autotomy in peripherally deafferented rats. Pain.
1993;53(3):287–293.
136. Tramer MR, Schneider J, Marti RA, et al. Role of magnesium sulfate n
postoperative analgesia. Anesthesiology. 1996;84(2):340–347.
137. Woolf CJ, Thompson SW. The induction and maintenance of central
sensitization is dependent on N-methyl-D-aspartic acid receptor activation;
implications for the treatment of post-injury pain hypersensitivity states. Pain.
1991;44(3):293–299.
138. Jaoua H, Zghidi SM, Wissem L, et al. Effectiveness of intravenous magnesium
on postoperative pain after abdominal surgery versus placebo: double blind
randomized controlled trial [in French]. Tunis Med. 2010;88(5):317–323.
139. Tramer MR, Glynn CJ. An evaluation of a single dose of magnesium to
supplement analgesia after ambulatory surgery: randomized controlled trial.
Anesth Analg. 2007;104(6):1374–1379, table of contents.
140. Zarauza R, Saez-Fernandez AN, Iribarren MJ, et al. A comparative study with
oral nifedipine, intravenous nimodipine, and magnesium sulfate in
postoperative analgesia. Anesth Analg. 2000; 91(4):938–943.
141. De Oliveira G, Castro-Alves L, Khan J, et al. Perioperative systemic
magnesium to minimize postoperative pain: a meta-analysis of randomized
controlled trials. Anesthesiology. 2013;119(1): 178–190.
142. Saeki H, Matsumoto M, Kaneko S, et al. Is intrathecal magnesium sulfate safe
and protective against ischemic spinal cord injury in rabbits? Anesth Analg.
2004;99(6):1805–1812, table of contents.
143. Goodman EJ, Haas AJ, Kantor GS. Inadvertent administration of magnesium
sulfate through the epidural catheter: report and analysis of a drug error. Int J
Obstet Anesth. 2006;15(1):63–67.
144. Dror A, Henriksen E. Accidental epidural magnesium sulfate injection. Anesth
Analg. 1987;66(10):1020–1021.
145. Kroin JS, McCarthy RJ, Von Roenn N, et al. Magnesium sulfate potentiates
morphine antinociception at the spinal level. Anesth Analg. 2000;90(4):913–
917.
146. Xiao WH, Bennett GJ. Magnesium suppresses neuropathic pain responses in
rats via a spinal site of action. Brain Res. 1994;666(2): 168–172.
147. Buvanendran A, McCarthy RJ, Kroin JS, et al. Intrathecal magnesium prolongs
fentanyl analgesia: a prospective, randomized, controlled trial. Anesth Analg.
2002;95(3):661–666, table of contents.
148. Bilir A, Gulec S, Erkan A, et al. Epidural magnesium reduces postoperative
analgesic requirement. Br J Anaesth. 2007;98(4): 519–523.
149. Albrecht E, Kirkham KR, Liu SS, et al. The analgesic efficacy and safety of
neuraxial magnesium sulphate: a quantitative review.
Anaesthesia.2013;68(2):190–202.
150. Chanimov M, Cohen ML, Grinspun Y, et al. Neurotoxicity after spinal
anaesthesia induced by serial intrathecal injections of magnesium sulphate. An
experimental study in a rat model. Anaesthesia. 1997;52(3):223–228.
151. Simpson JI, Eide TR, Schiff GA, et al. Intrathecal magnesium sulfate protects
the spinal cord from ischemic injury during thoracic aortic cross-clamping.
Anesthesiology. 1994;81(6):1493–1499; discussion 26A–27A.