4. ANALISA DATA 4.1. Gambaran Umum Sasaran Penelitian 4.1 ... · Trenggalek terbagi menjadi 14...
Transcript of 4. ANALISA DATA 4.1. Gambaran Umum Sasaran Penelitian 4.1 ... · Trenggalek terbagi menjadi 14...
35
Universitas Kristen Petra
4. ANALISA DATA
4.1. Gambaran Umum Sasaran Penelitian
4.1.1. Keadaan Umum Kabupaten Trenggalek
Gambar 4.1. Alun-Alun Pusat Kabupaten Trenggalek
Kabupaten Trenggalek merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Jawa
Timur yang terletak di bagian selatan dari wilayah Propinsi Jawa Timur.
Kabupaten ini terletak pada koordinat 111ο 24’ hingga 112
ο 11’ bujur timur dan
70ο 63’ hingga 80
ο 34’ lintang selatan. Luas wilayahnya adalah 1.261,40 Km².
Kabupaten Trenggalek sebagian besar terdiri dari tanah pegunungan
dengan luas meliputi 2/3 bagian luas wilayah. Sedangkan sisa-nya (1/3 bagian)
merupakan tanah dataran rendah. Ketinggian tanahnya diantara 0 hingga 690
meter diatas permukaan laut. Dengan luas wilayah 126.140 Ha, Kabupaten
Trenggalek terbagi menjadi 14 Kecamatan dan 157 desa. Hanya sekitar 4
Kecamatan yang mayoritas desanya dataran, yaitu: Kecamatan Trenggalek,
Kecamatan Pogalan, Kecamatan Tugu dan Kecamatan Durenan. Sedangkan 10
Kecamatan lainnya mayoritas desanya Pegunungan. Menurut luas wilayahnya, 4
Kecamatan yang luas wilayahnya kurang dari 50 Km². Kecamatan tersebut adalah
Kecamatan Gandusari, Durenan, Suruh, dan Pogalan. Sedangkan 3 Kecamatan
36
Universitas Kristen Petra
yang luasnya antara 50 Km² – 100 Km² adalah Kecamatan Trenggalek, Tugu, dan
Karangan. Untuk 7 Kecamatan lainnya mempunyai luas diatas 100 Km².
4.1.2. Data Sumber Daya Kesehatan di Kabupaten Trenggalek
4.1.2.1. Data Sumber Daya Kesehatan
Kabupaten Trenggalek terus meningkatkan sumber daya kesehatan agar
memadai untuk menangani kesehatan warganya. Data sumber daya kesehatan
yang dimiliki oleh Kabupaten Trenggalek sejak tahun 2003-2009 adalah sebagai
berikut :
Tabel 4.1. Data Sumber Daya Kesehatan Kabupaten Trenggalek 2003-2009
Jenis sarana
Tahun
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jumlah RS Pemerintah 1 1 1 1 1 1 1
Jumlah RS Swasta 2 2 2 2 2 3 3
Jumlah RS Ponek 1 1 1 1 1 1 1
Jumlah Puskesmas Total 24 22 22 22 22 22 22
Jumlah Puskesmas
Perawatan
14 14 14 14 14 14 14
Jumlah Puskesmas Poned 8 8 8 8 8 8 8
Jumlah Pustu 59 64 64 64 64 64 64
Jumlah Polindes 110 111 103 103 103 103 108
Jumlah Posyandu 828 828 834 834 839 839 839
Jumlah Ambulance 6 6 6 6 6 6 6
Jumlah Pusling 24 24 22 22 22 22 22
Jumlah UTD/PMI 1 1 1 1 1 1 1
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek
37
Universitas Kristen Petra
4.1.2.2. Data Tenaga Kesehatan
Selain jumlah sumber daya kesehatan, pemerintah Kabupaten
Trenggalek juga berusaha meningkatkan jumlah tenaga kesehatanya. Berikut
adalah data tenaga kesehatan di kabupaten Trenggalek mulai tahun 2003-2009.
Tabel 4.2. Data Tenaga Kesehatan Kabupaten Trenggalek 2003-2009
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek
Jenis tenaga
Tahun
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Rasio dokter
spesialis Obgyn
1:332.549 1:335.519 1:338651 1: 341164 1:343.802 1:346.342 1:348.945
Rasio dokter
spesialis anak
1:665.098 1:671.038 1:677.303 1:682328 1:687.605 1:692.684 1: 697.969
Jumlah dokter
spesialis yang lain
3 4 5 5 7 7 6
Rasio dokter umum 1:13.573 1:12.661 1:12779 1:11564 1:9645 1:9786 1:9678
Rasio Bidan total 1:3.519 1:3.550 1:2.906 1: 2436 1:2925 1:2947 1:2538
Jumlah Bidan total 189 189 233 229 235 235 259
Jumlah BDD 110 111 103 104 103 103 108
Jumlah BDD TPC 20 0 0 0 0 0 0
Jumlah Dukun bayi
terlatih
434 386 382 382 353 353 353
38
Universitas Kristen Petra
4.1.3. Angka Kesehatan Kabupaten Trenggalek
Angka kesehatan di desa Trenggalek diproyeksikan kedalam angka
kelahiran hidup, kematian bayi, dan kematian ibu. Berikut adalah
perbandingannya mulai tahun 2003-2009.
Tabel 4.3. Angka Kesehatan Masyarakat Kabupaten Trenggalek
INDIKATOR
TAHUN
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 s.d
Juni
Jumlah Kelahiran
Hidup 9373 9202 8961 8926 8694 9346 4829
Jumlah Kematian Ibu 17 9 9 12 5 12 7
Jumlah kematian bayi 110 68 53 54 78 77 43
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek
39
Universitas Kristen Petra
4.1.4. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek
Gambar 4.2. Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek
Nama Instansi : Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek
Kepala : Dr.Ubaidillah, M.Kes.
Alamat : Jalan Dr. Sutomo No. 04, Trenggalek
Telp./Fax. : (0355) 791270 / (0355) 795025
Email : [email protected]
40
Universitas Kristen Petra
Visi dan Misi Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek
Gambar 4.3. Bagan Nilai, Misi dan Visi Dinas Kesehatan Kabupaten
Trenggalek
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek
Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek memiliki visi dan misi yang
didasarkan pada nilai-nilai yang mereka anut untuk mencapai Indonesia Sehat.
Berikut adalah penjabaran visi dan misinya.
Visi :
1. Lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya keadaan sehat.
2. Perilaku masyarakat yang proaktif untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan serta mencegah terjadinya penyakit.
41
Universitas Kristen Petra
3. Pelayanan kesehatan yang berhasil guna dan berdaya guna tersebar merata
di seluruh wilayah.
4. Masyarakat memiliki kemampuan menjangkau pelayanan kesehatan
bermutu.
5. Membangun Organisasi Kesehatan yang mampu memberikan pelayanan
prima dan didukung oleh sumber daya manusia yang profesional.
Misi :
1. Membina dan mengendalikan penyelenggaraan pelayanan kesehatan serta
melaksanakan pelayanan kesehatan khusus yang bermutu, aman merata dan
terjangkau.
2. Menggerakan pembangunan berwawasan kesehatan dan memfasilitasi
terciptanya lingkungan yang sehat.
3. Mendorong terciptanya gerakan hidup bersih dan sehat.
4. Membangun Sistem Kesehatan Wilayah dalam upaya memelihara
kesinambungan Pembangunan dan Pelayanan Kesehatan.
5. Membangun Organisasi Kesehatan yang mampu memberikan pelayanan
prima dan didukung oleh sumber daya manusia yang profesional.
42
Universitas Kristen Petra
4.1.5. Profil Puskesmas Rejowinangun Trenggalek
Gambar 4.4. Puskesmas Rejowinangun Trenggalek
Nama Instansi : Puskesmas Rejowinangun Trenggalek
Kepala : Tatiek Juliani, SKM.
Alamat : Jalan Kanjeng Jimat, Trenggalek
Telepon : (0355) 797182
Visi :
Profesional dalam pelayanan kesehatan paripurna pada tahun 2010
Misi :
Memberikan pelayanan tingkat pertama yang bermutu
Peningkatan kerja sama lintas Program dan lintas sektoral
Peningkatan sumberdaya untuk menunjang mutu pelayanan kesehatan
Motto :
“ Kami siap melayani dengan ramah dan sabar”
Puskesmas ini dipilih sebagai tempat penelitian karena puskesmas ini
membawahi tiga desa yang memiliki kriteria yang sesuai dengan kriteria tempat
penelitian yang dibutuhkan oleh penulis. Di desa-desa yang dibawahi oleh
43
Universitas Kristen Petra
puskesmas lain di Kabupaten Trenggalek, kebanyakan hanya mengalami
penurunan atau stagnasi saja. Namun di desa yang ada dibawah Puskesmas
Rejowinangun ini terdapat desa yang mengalami baik kenaikan, penurunan,
maupun stagnasi. Maka dari itu peneliti mendapatkan referensi dari Dinas
Kesehatan untuk melakukan penelitian di puskesmas ini beserta tiga desa
dibawahnya yang mengalami kenaikan, penurunan, dan stagnasi, yaitu desa
Sumberdadi, desa Dawuhan dan desa Surondakan.
Gambar 4.5. Peta Wilayah Puskesmas Rejowinangun
Desa yang dinaungi : Sukosari, Dawuhan, Sumberdadi, Parakan, Ngares,
Surondakan, Rejowinangun.
44
Universitas Kristen Petra
4.2. Temuan Data
4.2.1. Profil Informan
Wawancara dilakukan dengan tiga belas nara sumber. Terdiri dari 8
orang narasumber utama yaitu Kepala Puskesmas Rejowinangun, Staff Puskesmas
Rejowinangun, 3 orang Bidan dari desa Dawuhan, Sumber Dadi dan Surondakan,
dan 3 orang kader dari dari desa Dawuhan, Sumber Dadi dan Surondakan.
Sedangkan sisanya adalah narasumber pendukung yang digunakan untuk
triangulasi data, yaitu 2 orang staff Dinas Kesehatan dan 3 orang penduduk desa
dari desa Dawuhan, Sumber Dadi dan Surondakan. Berikut narasumber-
narasumbernya :
1. Nama : Tatiek Juliani
Usia : 45 tahun
Pekerjaan : Kepala Puskesmas Rejowinangun, Trenggalek
Status : Menikah
Pendidikan : S1
Ibu Tatiek bekerja sebagai Kepala Puskesmas Rejowinangun sejak tahun
2008. Puskesmas Rejowinangun yang ditangani olehnya membawahi 7 desa yaitu
Dawuhan, Sukosari, Parakan, Rejowinangun, Surondakan, Ngares dan
Sumberdadi. Ibu Tatiek termasuk salah satu kepala puskesmas yang tidak
mengikuti rangkaian program Desa Siaga sedari awal, karena dia baru menjadi
kepala puskesmas Rejowinangun pada tahun 2008. Meskipun demikian, Ibu
Tatiek mengejar ketertinggalannya tersebut dengan cara membaca modul
mengenai Desa Siaga yang diberikan oleh Dinas Kesehatan, berkoordinasi dengan
bidan maupun kader desa, dan bertanya pada staff Dinas Kesehatan mengenai hal-
hal yang kurang jelas. Sehingga ketika implementasi program Desa Siaga
dilaksanakan, Ibu Tatiek sudah merasa cukup siap untuk menjalankan program ini
dengan baik.
Selama ini, Ibu Tatiek menjadi salah satu penggerak kegiatan Desa Siaga
di desa-desa yang berada dibawahnya. Dia sering kali ikut terjun bersama para
bidan untuk membicarakan masalah kesehatan yang ada di masyarakat. Dia juga
sering memberi motivasi kepada masyarakat untuk mejalankan berbagai program
45
Universitas Kristen Petra
kesehatan yang dicanangkan oleh pemerintah, termasuk di dalamnya program
Desa Siaga. Ada berbagai cara pendekatan yang dilakukannya supaya masyarakat
desa dibawah naungan puskesmas Rejowinagun mau ikut aktif dalam program-
program kesehatan, seperti ikut berkunjung saat ada kegiatan Posyandu,
mengikuti rapat desa, dan mengobrol dengan para kader desa.
Selain menjadi penggerak, Ibu Tatiek juga bertugas untuk mengamati
perkembangan Desa Siaga di ketujuh desa tersebut. Jika ada desa yang sekiranya
perkembangannya kurang baik, maka sudah menjadi tugasnya untuk mencari tahu
permasalahan apa yang terjadi dan mencoba mengatasi masalah tersebut. Dalam
melaksanakan program desa siaga ini, dia dibantu oleh satu orang staff puskesmas
dan para bidan. Bu Tatiek dan para bidan yang tersebar di seluruh desa sering
mengadakan pertemuan baik formal maupun informal. Pertemuan itu diadakan di
desa masing-masing bidan, dimana Ibu Tatiek yang pergi kesana atau para bidan
yang datang ke Puskesmas Rejowinangun.
46
Universitas Kristen Petra
2. Nama : Insih Budi Utami
Usia : 42 tahun
Pekerjaan : Staff Administrasi Puskesmas Rejowinangun, Trenggalek
Status : Menikah
Pendidikan : S1
Ibu Insih adalah staff administrasi di puskesmas Rejowinangun yang
membantu Ibu Tatiek dalam menjalankan program Desa Siaga. Ibu Insih sudah
bekerja di puskesmas Rejowinangun sejak tahun 2006, maka dari itu dia juga
banyak membantu Ibu Tatiek dalam mengenal desa-desa dibawah naungan
puskesmas Rejowinangun. Dalam program Desa Siaga, Ibu Insih berperan penuh
dalam pelaksanaan Surveilans Berbasis Masyarakat (SBM). Ibu Insih bertugas
untuk membagikan form survei kepada kader di masing-masing desa dan
kemudian meminta hasil laporannya setiap bulan. Jika ada kader yang tidak
mengerti mengenai pengisian form survei, maka Ibu Insih akan menjelaskan cara
pengisian form tersebut. Hasil laporan ini kemudian direkap dalam buku tahunan
mengenai hasil survei dan dibuat dalam bentuk grafik dan laporan yang nantinya
akan diserahkan ke Dinas Kesehatan setiap tiga bulan sekali. Selain itu hasil dari
suvei tersebut juga akan digunakan sebagai dasar Musyawarah Masyarakat Desa
yang seharusnya dilaksanakan tiga bulan sekali.
Jika terjadi kasus luar biasa, seperti kematian, wabah penyakit atau ada
yang terkena penyakit menular yang berbahaya maka Ibu Insih bersedia menerima
laporan diluar tanggal pengumpulan form survei, baik melalui sms maupun
telepon. Ibu Insih bakan sering turun langsung ke lapangan untuk melihat
langsung kondisi yang terjadi jika memang ada laporan kasus luar biasa di suatu
desa.
47
Universitas Kristen Petra
3. Nama : Deni Prastyawati
Usia : 36 tahun
Pekerjaan : Bidan Desa Dawuhan, Trenggalek
Status : Menikah
Pendidikan : S1
Ibu Deni adalah seorang bidan baru di desa Dawuhan. Dia mulai bekerja
di desa Dawuhan sejak bulan Juli 2009. Sebelumnya, Ibu Deni bekerja sebagai
bidan desa di desa Ngares. Lalu karena turun surat pindah tugas dari dinas
kesehatan, maka Ibu Deni berpindah tempat kerja di Dawuhan. Sebelum ibu Deni,
bidan yang bertugas di Desa Dawuhan adalah Nuri Hikmah. Bu Nuri juga
dipindah tugaskan pada bulan Juli 2009 ke desa Sukosari karena bidan di desa
tersebut pindah ke luar kota, namun sehari-hari Ibu Nuri masih membuka praktek
di desa Dawuhan karena rumahnya ada disana. Hal ini menyebabkan hubungan
antara Ibu Deni dan Ibu Nuri kurang baik, karena sesama bidan ada persaingan
dalam memperebutkan pasien. Namun Ibu Deni menanggapi hal ini dengan
pikiran positif. Dia merasa persaingan itu sah-sah saja asalkan tidak ada
persaingan tidak sehat.
Meskipun sempat ada masalah dengan bidan terdahulu, namun Ibu Deni
merasa tidak ada masalah dengan warga. Warga menyambut kedatangannya
dengan baik bahkan memberikan dukungan. Warga banyak yang bersedia
membagikan pengetahuan maupun pengalaman kepada Ibu Deni. Hal ini
membuat Ibu Deni lebih mudah untuk menjalankan program Desa Siaga di
Dawuhan. Sebagian besar masyarakat mudah diajak berkomunikasi dan bersedia
jika diajak melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan.
48
Universitas Kristen Petra
4. Nama : Puji Wahyulin
Usia : 42 tahun
Pekerjaan : Bidan Desa Sumberdadi, Trenggalek
Status : Menikah
Pendidikan : S1
Ibu Puji sudah cukup lama menjadi bidan di desa Dawuhan, yaitu sejak
tahun 2005. Dia mengikuti pelatihan program Desa Siaga dari awal dan sampai
sekarang terlibat aktif dalam melakukan program Desa Siaga di desa Sumberdadi.
Selama ini Ibu Puji termasuk bidan yang paling aktif dalam menjalankan program
Desa Siaga diantara ketujuh desa lain, sehingga desa Sumberdadi dapat menjadi
desa yang perkembangan Desa Siaganya paling nampak. Ibu Puji sangat ingin
aktif dalam menjalankan program-program kesehatan karena Ibu Puji merasa
peduli dengan warga di desanya. Dia merasa kesehatan mereka juga merupakan
bagian dari tanggung jawab hidupnya. Apalagi Ibu Puji juga sudah lama menjadi
bidan di desa tersebut dan sudah banyak membantu kelahiran anak-anak dan
terlibat dalam proses tumbuh kembangnya anak-anak di desa itu. Dia merasa
bahwa anak-anak itu seperti anaknya sendiri.
Selain itu Ibu Puji juga sudah sangat dekat dengan warga desa
Sumberdadi. Dia adalah bagian dari desa itu sendiri, karena berdomisili dan
membuka praktek di desa tersebut. Kedekatan ini yang menyebabkan Ibu Puji
mudah mengajak warga untuk ikut aktif dalam program-program kesehatan.
Masyarakat selalu percaya pada apa yang dia sarankan dan bersedia bekerja sama
jika diminta. Maka dari itu Ibu Puji juga berusaha untuk selalu aktif dalam
melaksanakan program Desa Siaga.
49
Universitas Kristen Petra
5. Nama : Widayati Seto
Usia : 55 tahun
Pekerjaan : Bidan Desa Surondakan, Trenggalek
Status : Menikah
Pendidikan : S1
Ibu Widayati adalah salah seorang bidan senior di Kabupaten Trenggalek.
Dia sudah menjadi bidan sejak muda dan mulai bekerja di desa Surondakan sejak
tahun 2000. Ibu Widayati termasuk bidan yang cukup konservatif dalam
menjalankan tugasnya sebagai bidan. Dia lebih menyukai untuk membantu
kelahiran dan melakukan praktek kesehatan di rumahnya. Dia kurang dapat
mengikuti gerakan-gerakan maupun program-program yang dicanangkan oleh
dinas kesehatan Kabupaten Trenggalek. Meskipun demikian jika ada program-
program yang dibuat oleh pemerintah, Ibu Widayati tetap bersedia untuk
menjalankan sesuai dengan kemampuan yang ia miliki.
Saat ini dia telah memasuki usia pensiun dan akhir tahun 2010 ini dia
sudah pensiun dari jabatannya sebagai bidan. Maka dari itu sering kali Ibu
Widayati merasa bahwa program-program pemerintah yang berkelanjutan dalam
jangka waktu yang panjang seharusnya sudah tidak dibebankan lagi kepadanya
karena dia sudah tidak akan dapat meneruskan program tersebut. Akan lebih baik
jika program-program itu baru mulai digalakkan jika sudah ada pengganti dirinya
nanti. Namun selama belum ada pengganti, Ibu Widayati akan tetap menjalankan
tugasnya sebagai bidan desa dengan sebaik-baiknya.
50
Universitas Kristen Petra
6. Nama : Endah Ayu Wiguna
Usia : 35 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga (Kader Desa Siaga desa Dawuhan)
Status : Menikah
Pendidikan : SMA
Ibu Endah adalah kader Desa Siaga dari desa Dawuhan. Dia selama ini
yang bertugas untuk membantu bidan dan puskesmas untuk menginformasikan
hal-hal yang terkait dengan program Desa Siaga. Dia menjadi penyambung lidah
baik bagi warga desa Dawuhan maupun bagi puskesmas dan bidan. Dia yang
berperan aktif untuk memberitahu kepada puskesmas jika ada kasus-kasus
kesehatan yang terjadi di desanya, baik melalui form SBM, maupun melalui
pemberitahuan langsung ke puskesmas dan bidan. Demikian pula sebaliknya jika
ada informasi dari puskesmas atau bidan menyangkut kesehatan, Ibu Endah akan
menyampaikannya kepada masyarakat desa tempatnya tinggal. Meskipun kadang-
kadang ada warga desa yang cukup sulit untuk diajak bersosialisasi dan tertutup.
Selama ini Ibu Endah bersedia menjadi kader Desa Siaga karena ingin
berguna bagi masyarakat sekitarnya. Dia ingin agar masyarakat desanya
kesehatannya membaik. Selain itu dengan menjadi kader maka dia juga
memperoleh banyak pengetahuan mengenai kesehatan yang berguna bagi dirinya
dan keluarganya.
51
Universitas Kristen Petra
7. Nama : Purwani
Usia : 33 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga (Kader Desa Siaga desa Sumberdadi)
Status : Menikah
Pendidikan : SMK
Ibu Purwani adalah kader Desa Siaga untuk desa Sumberdadi. Dia telah
tinggal di desa tersebut sejak lahir sampai saat ini. Jadi di desa inilah dia
bertumbuh besar dan akhirnya berkeluarga. Maka dari itu baginya penduduk desa
Sumberdadi sudah seperti keluarganya sendiri. Dia mengenal sebagian besar
warga dan terlibat aktif dalam berbagai kegiatan ibu-ibu di desanya, seperti arisan,
pengajian, posyandu dan lain-lain. Karena hal ini juga, ketika ada tawaran dari
bidan desa untuk menjadi kader Desa Siaga dia bersedia. Dia merasa senang dapat
membantu desanya sendiri. Apalagi dia juga cukup dekat dengan Ibu Puji selaku
bidan desa, yang juga terlibat aktif dalam program ini.
Ibu Purwani menyadari bahwa kesehatan adalah hal yang penting, maka
dari itu dia berusaha untuk selalu siap sedia jika ada permasalahan kesehatan yang
terjadi di desanya. Dia juga bersedia belajar mengenai kesehatan, seperti belajar
mengenai gejala-gejala penyakit yang umum terjadi. Baginya dapat membantu
desanya adalah sebuah kebanggaan dan kepuasan pribadi. Apalagi pekerjaannya
sebagai ibu rumah tangga juga tidak terlalu menyita perhatiannya. Anak-anaknya
dapat dititipkan ke ibu kandungnya yang juga tinggal di desa tersebut jika
memang dia harus melakukan kegiatan diluar rumah. Selain itu anak-anaknya juga
tidak rewel dan merepotkan sehingga dia tidak merasa terbebani saat harus
meninggalkan rumah dan terlibat aktif dalam program-program kemasyarakatan.
52
Universitas Kristen Petra
8. Nama : Sri Wahyuni
Usia : 42 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga (Kader Desa Siaga desa Surondakan)
Status : Menikah
Pendidikan : SMA
Ibu Sri Wahyuni adalah kader desa siaga dari desa Surondakan. Ibu Sri
pertama kali menjadi kader dari Desa Siaga karena diajak oleh Ketua kegiatan
Posyandu di desa Surondakan. Saat itu dia ditawari menjadi kader karena kader
sebelumnya pindah ke luar kota. Selain itu pekerjaannya sebagai ibu rumah
tangga tidak terlalu menyibukkan dirinya, apalagi anaknya juga sudah cukup besar
dan bisa mengurus diri sendiri.
Ibu Sri tertarik dengan tawaran ini karena dia senang bersosialisasi
dengan warga sekitar. Dia menyukai kegiatan yang terjun langsung dan menolong
masyarakat. Dia merasa memiliki kesadaran untuk membantu warga desanya
hidup sehat. Disamping itu, dia juga sesekali mendapat uang jasa karena menjadi
kader. Hal ini menambah motivasi dirinya. Namun sekalipun tidak ada uang jasa
ini, dia akan tetap menjalankan tugasnya sebagai kader sesuai dengan
kemampuannya.
53
Universitas Kristen Petra
9. Nama : Heri
Usia : 40 tahun
Pekerjaan : Staff Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Dinas
Kesehatan
Status : Menikah
Pendidikan : S1
Bapak Heri adalah staff Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek yang
bertugas langsung menangani program Desa Siaga. Dia berada dibawah bagian
promosi kesehatan dan pemberdayaan, dan lebih banyak memegang bagian
pemberdayaan. Sejak awal dicanangkannya program Desa Siaga, Bapak heri yang
berperan dalam kampanye program ini. Kampanye yang ditanganinya adalah
bagian pelatihan. Jadi dia harus mengatur APBN untuk program Desa Siaga di
Trenggalek. Dia juga bertugas mengkoordinasi pengadaan modul dan diklat Desa
Siaga dan membagikannya kepada Kepala Puskesmas, Bidan dan Kader Desa
Siaga. Selain itu dia juga yang mengurus penyelenggaraan kelas-kelas pelatihan
Desa Siaga di Trenggalek, mulai dari pembicara, tempat dan undangannya.
Saat ini, dalam implementasi program Desa Siaga, dia bertugas untuk
mengatur pembagian dana untuk program Desa Siaga. Dia bertugas membagikan
dana ke masing-masing puskesmas yang nantinya akan disalurkan ke masing-
masing bidan. Selain itu dia juga bertugas untuk mengelola laporan mengenai
hasil Musyawarah Masyarakat Desa program Desa Siaga, yang di dalamnya
terdapat laporan penggunaan keuangan program di Trenggalek. Laporan ini nanti
akan menjadi salah satu dasar Laporan Pertanggung Jawaban Program Desa Siaga
dari Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek ke Dinas Kesehatan Jatim, yang
akan disampaikan ke Departemen Kesehatan Indonesia.
54
Universitas Kristen Petra
10. Nama : Nurul
Usia : 34 tahun
Pekerjaan : Staff Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Dinas
Kesehatan
Status : Menikah
Pendidikan : S1
Sama seperti Bapak Heri, Ibu Nurul juga berperan aktif dalam kampanye
program Desa Siaga. Ibu Nurul yang juga staff promosi kesehatan dan
pemberdayaan lebih mengelola promosi dari program Desa Siaga. Dia bertugas
untuk menyediakan leaflet, poster, dan spanduk untuk mempromosikan program
ini kepada masyarakat luas. Leaftlet, poster dan spanduk tersebut disebarkan
melalui puskesmas dan posyandu mulai tahun 2006 sampai 2009 secara bertahap
oleh Ibu Nurul. Selain itu, Ibu Nurul juga membuat ad-lips radio untuk diputar di
berbagai radio yang ada di Trenggalek.
Saat ini, setelah kampanye program tersebut selesai dilaksanakan, maka
Ibu Nurul membantu Bapak heri dalam mengelola keuangan dan laporan program
Desa Siaga. Ibu Nurul lebih berperan dalam menangani laporan hasil dari
Surveilans Berbasis Masyarakat yang dikirimkan dari masing-masing puskesmas.
Ibu Nurul akan merekap hasil laporan dari seluruh puskesmas di Kabupaten
Trenggalek yang akan menjadi menjadi salah satu dasar Laporan Pertanggung
Jawaban Program Desa Siaga dari Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek ke
Dinas Kesehatan Jatim, yang akan disampaikan ke Departemen Kesehatan
Indonesia juga.
55
Universitas Kristen Petra
11. Nama : Sunarti
Usia : 31 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
Pendidikan : SMA
Ibu Sunarti adalah ibu rumah tangga yang tinggal di desa Dawuhan. Ibu
Sunarti tinggal di desa Dawuhan sejak menikah dengan suaminya sepuluh tahun
yang lalu. Saat ini Ibu Sunarti memiliki dua orang anak yang masih duduk di
bangku SD kelas satu dan masih balita. Sehari-harinya kegiatan Ibu Sunarti adalah
mengurusi anak-anaknya dan mertuanya yang juga tinggal serumah dengannya.
Ibu Sunarti mengaku tahu mengenai program Desa Siaga namun tidak
terlalu banyak. Dia tahu adanya program ini dari kader desa Dawuhan, Ibu Endah
bahwa mulai sekarang akan ada kegiatan Desa Siaga yang bertujuan untuk
menyadarkan masyarakat tentang pola hidup sehat. Dia juga tahu jika ada maslah
yang sekiranya penting mengenai kesehatan dan dia tidak dapat menangani sendiri
maka harus memberitahukan kepada kader atau bidan desa. Selain itu juga akan
ada himbauan-himbauan dari puskesmas atau bidan yang akan diberitahukan
kepada masyarakat jika diperlukan.
56
Universitas Kristen Petra
12. Nama : Lamini Wasito
Usia : 38 tahun
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
Status : Menikah
Pendidikan : S1
Ibu Lamini adalah warga dari desa Sumberdadi yang bekerja di Dinas
Sekretariat Daerah Kabupaten Trenggalek di bagian administrasi. Saat ini Ibu
Lasmini tinggal dengan suami dan ketiga anaknya yang berusia 14 tahun, 12 tahun,
dan 7 tahun. Dia sudah tinggal di desa Sumberdadi selama sepuluh tahun. Dia
juga cukup dekat dengan warga sekitar lainnya.
Ibu Lamini sudah mengetahui program Desa Siaga. Dia pertama kali
mengetahui adanya program ini ketika membawa anaknya ke Posyandu untuk
diimunisasi. Saat itu, kader Desa Siaga desa Sumberdadi, Ibu Purwanti yang
memberitahu tentang adanya program ini. Dia diberi tahu bahwa ini adalah
program pemerintah untuk mengajak warga hidup sehat, maka dari itu Ibu
Purwanti mengajaknya turut berpartisipasi dengan cara memberitahukan pada Ibu
Purwanti atau Ibu Puji, bidan desa, jika ada keluarganya yang sakit atau ada
sesuatu pola hidup tidak sehat yang terjadi di lingkungan sekitarnya seperti
adanya daerah dengan genangan air, rumah yang belum memiliki jamban, dan
lain-lain. Selain itu juga jika ada pemberitahuan atau himbauan tentang kesehatan
warga, maka dia juga diberitahu.
57
Universitas Kristen Petra
13. Nama : Ismiatun
Usia : 30 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
Pendidikan : SMA
Ibu Purwanti adalah warga desa Surondakan yang sudah tinggal di desa
tersebut selama enam tahun. Hari-harinya disibukkan dengan merawat anak
semata wayangnya yang masih berusia 5 tahun. Dia memilih untuk tidak bekerja
karena merasa anaknya masih terlalu kecil untuk ditinggal pergi kerja, apalagi
tidak ada yang bisa dititipi karena keluarga besarnya berada di Jombang,
sedangkan keluarga suaminya berada di Pacitan. Selain itu urusan rumah
tangganya juga dirasa sudah cukup banyak dan melelahkan, maka dari itu dia
tidak mau bekerja dahulu sampai anaknya sudah cukup besar untuk ditinggal
sendiri.
Ibu Purwanti mengetahui implementasi program desa Siaga dari Ketua
RT nya. Sesungguhnya dia tidak tahu bahwa program tersebut bernama Desa
Siaga, yang dia tahu hanya implementasinya, seperti kegiatan kerja bakti dan
harus melapor jika ada yang terkena penyakit atau ada pola hidup tidak sehat. Dia
mengaku dihimbau demikian oleh Ketua RT nya dan sebagai warga yang baik dia
hanya mengikuti himbauan tersebut.
58
Universitas Kristen Petra
4.2.2. Hasil Wawancara
4.2.2.1. Surveilans Berbasis Masyarakat (SBM)
Gambar 4.6. Desa Surondakan, Dawuhan dan Sumberdadi tempat pelaksanaan
SBM
Implemetasi program Desa Siaga diawali dengan Surveilans Berbasis
Masyarakat. Disini Tim Evaluasi Desa (Tedes) adalah tim yang dibentuk oleh
desa tersebut untuk menjadi penanggungjawab dalam mencari tahu permasalahan-
permasalahan yang terjadi di suatu desa. Tedes ini terdiri dari Kepala Desa selaku
Pelindung; Kepala Urusan Kesejahteraan Masyarakat Desa selaku Penanggung
jawab; bidan desa selaku Ketua; bagas/kader selaku Sekretaris; anggota Tim
Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) selaku
Bendahara; anggota Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dan seluruh
ketua RT sebagai Seksi Penggerak Massa, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama,
Tokoh Remaja, dan warga yang bersedia membantu sebagai Seksi Surveilans.
Tim ini dibentuk selain untuk memacu kemandirian masyarakat dalam mengenali
masalah kesehatan di desanya, juga karena pemerintah sendiri tidak akan mampu
mengetahui semua permasalahan yang terjadi di masyarakat. Hal ini dijelaskan
59
Universitas Kristen Petra
oleh Ibu Tatiek Juliani selaku Kepala Puskesmas Rejowinangun. Berikut
pernyataannya.
“Dari pihak pemerintah memang menginginkan agar warga
masyarakat aktif, sensitif dan tanggap dalam melihat
permasalahan di desanya. Jadi jika ada tetangganya yang sakit,
jangan dianggap sepele atau tidak dipedulikan. Bisa jadi itu
penyakit menular yang akan menulari warga lain. Contohnya
TBC, kelihatannya cuma batuk-batuk, tapi sangat menular dan
jika tidak ditangani dengan tepat bisa jadi wabah. Selain itu,
pemerintah sendiri sadar, kalau tidak bekerjasama dengan
masyarakat, maka perbaikan kesehatan tidak akan bisa berjalan.
Walaupun disediakan puskesmas dan rumah sakit banyak-
banyak juga percuma jika masyarakatnya sendiri tidak mau
hidup sehat. Malah harus dimulai dari menyadarkan
masyarakat dulu baru yang lain-lain.” (Tatiek Juliani,
wawancara terstruktur, 12 Juli 2010).
Rancangan pelaksanaan SBM yang dicanangkan oleh pemerintah
dimulai dengan pembagian form SBM kepada Tedes. Form tersebut berupa
kuesioner tertutup dan terbuka yang terdiri dari tiga sub bab yang perlu diisi yaitu
penyakit yang ditemukan terjadi di suatu wilayah, gejala penyakit yang terjadi
namun belum diketahui penyakitnya, dan faktor resiko penyakit yaitu kejadian-
kejadian yang terjadi yang dapat mengganggu kesehatan. Didalam kuesioner
tersebut sudah ada pilihan jawaban yang bisa dipilih, namun jika pilihannya tidak
ada yang sesuai maka dapat diisikan di tempat kosong yang sudah disediakan.
Setelah mendapatkan form, Tedes berkoordinasi untuk membagi wilayah
pengamatan dan melakukan survei. Setiap bulannya, form ini harus diisi dan
diberikan ke Puskesmas, baik ada laporan penyakit, gejala, dan resiko penyakit
ataupun tidak. Jika ada laporan penyakit atau gejala, maka penyurvei harus
menuliskan juga nama dan alamat dari penderita. Jika tidak ada laporan, maka
form tersebut dikembalikan dengan catatan tidak ada permasalahan.
60
Universitas Kristen Petra
Namun pada kenyataannya, terjadi masalah dalam pelaksanaan SBM.
Tedes yang dibentuk tidak memaksimalkan fungsinya dengan baik, sehingga
hanya beberapa orang penyurvei saja yang kadang-kadang aktif. Biasanya yang
cukup aktif adalah kader desa dan ibu-ibu yang aktif di Posyandu. Tapi yang
lainnya sudah tidak terlalu aktif dalam proses SBM. Hal ini disebabkan kesibukan
pribadi dari masing-masing anggota Tedes. Anggota Tedes memang sehari-
harinya memiliki berbagai pekerjaan dan tugas masing-masing. Karena itu,
mereka sendiri merasa kesulitan untuk mampu bekerja secara penuh dalam
melaksanakan SBM. Hal ini dimaklumi oleh pihak puskesmas karena yang
menjadi anggota Tedes adalah perangkat desa yang mempunyai tanggung jawab
utama juga. Berikut adalah penjelasan dari Ibu Tatiek.
“Sesungguhnya rancangan dari pemerintah agar perangkat
desa terlibat itu ada benarnya. Karena ya merekalah yang
mengerti kondisi warga desanya. Mereka orang-orang yang
disegani dan pasti didengar omongannya. Jadi jika masyarakat
diminta untuk memberi keterangan pasti bersedia karena
merasa sungkan lah istilahnya. Tapi pada kenyataannya beban
dari para perangkat desa juga tidak sedikit. Mereka harus
memikirkan banyak hal selain masalah kesehatan. Makanya
kadang-kadang pikirannya terpecah-pecah. Jadi saya juga
tidak bisa nyalahkan kalau untuk SBM mereka tidak bisa aktif.
Ya yang diharapkan jadi kader dan bidannya. Mereka yang
kami motivasi terus untuk aktif dan mengajak masyarakat untuk
ikut aktif. Karena kan mereka yang terjun langsung ke
kehidupan masyarakat sehari-hari. Kalau kami dari puskesmas
kan masih agak jauh ya jaraknya dengan warga masing-masing
desa. Jadi kalau untuk survei ke masing-masing desa sendiri
takutnya kurang akurat. Banyak yang tidak bisa dijangkau
nanti. Dan masyarakat juga jadi tidak bisa terlibat aktif. Kalau
kader yang aktif kan, sama saja dengan masyarakat sendiri
61
Universitas Kristen Petra
yang aktif karena kader itu juga warga masyarakat.” (Tatiek
Juliani, wawancara terstruktur, 12 Juli 2010)
Karena yang bisa aktif hanya beberapa orang saja, maka laporan SBM
seringkali menjadi tersendat. Biasanya yang sering dihubungi puskesmas untuk
masalah SBM adalah para kader. Para kader dianggap lebih siap sedia dan tidak
terlalu sibuk karena sebagian besar ibu rumah tangga. Namun pada pelaksanaan
SBSM, form yang seharusnya dilaporkan setiap bulan seringkali tidak
dikumpulkan. Form itu kadang-kadang dikumpulkan dulu dan baru diserahkan
setelah beberapa bulan. Seringkali juga form tersebut tidak diberikan karena
mereka merasa tidak ada masalah di desa mereka, sehingga tidak perlu
mengembalikan form tersebut ke Puskesmas. Hal ini menyebabkan rekap laporan
SBM tiga bulanan menjadi sering salah karena ada yang terluput untuk
dimasukkan ke dalam rekap laporan. Penyebab terjadinya hal tersebut adalah
masalah biaya dan adanya keberatan dari masing-masing pribadi untuk
melaksanakan tugas ini. Para kader membutuhkan biaya tambahan untuk datang
ke puskesmas dan memberikan form tersebut. Sedangkan biaya ini tidak dapat
ditanggung oleh pemerintah. Selain itu dari beberapa kader juga jadi merasa
keberatan karena SBM ini dirasa tidak terlalu signifikan dan kurang jelas
pemanfaatannya. Ada kader yang masih tidak mengerti manfaat dari survei
tersebut. Berikut adalah penjelasan dari Ibu Sri Wahyuni kader desa Surondakan.
“Iya, kalau untuk survei itu agak susah. Tedes yang lain
biasanya sibuk. Jadi saya yang biasanya dimintai tolong buat
koordinir penyurvei yang lain. Kan harusnya ada juga yang jadi
penyurvei to mbak. Penyurvei yang lain ini yang biasanya juga
lapor ke saya kalau ada masalah. Tapi sering juga warganya
lapor sendiri. Saya juga yang dimintai tolong laporan ke
puskesmas tiap bulan. Nah ini yang agak repot juga mbak.
Kalau setiap bulan ke Puskesmas padahal ndak ada laporan,
kan sayang juga uangnya. Apalagi hasil SBM nya juga kurang
62
Universitas Kristen Petra
jelas digunakan untuk apa. Kalau cuma dikumpulkan ke
puskesmas saja kan nidak apa-apa dirapel atau ya kalau ndak
lapor ya berarti ndak ada masalah.” (Sri Wahyuni, wawancara
terstruktur, 19 Juli 2010)
Untuk mengatasi hal ini, Ibu Insih selaku penanggung jawab SBM di
puskesmas Rejowinangun memberikan alternatif selain form. Untuk laporan, Ibu
Insih bersedia menerima dalam bentuk sms atau telepon. Jika para penyurvei tidak
ada yang melapor, maka Ibu Insih akan menelepon atau mengirim sms kepada
kader untuk menanyakan kondisi desanya. Namun kadang-kadang juga masih ada
kader yang tidak membalas usaha ini. Hal ini dijelaskan oleh Ibu Insih Budi Utami
yang bertugas mengelola SBM. Berikut penjelasannya.
“Ya ada mbak. Yang sering ya ngembalikan form SBMnya telat.
Kader itu biasanya merasa ndak perlu lapor kalau ndak ada
masalah di desanya. Padahal harusnya tetep dilaporkan
sekalipun tidak ada masalah. Seringkali juga laporannya
dirapel, tiap beberapa bulan. Kami sendiri ndak bisa maksa,
karena mereka kan tidak dibayai. Padahal untuk datang ke
puskesmas memberikan form kan butuh ongkos. Jadi kalau tidak
kebetulan ada urusan ya mereka tidak kesini. Saya juga ngerti
masalah ini. Makanya saya ditelepon atau di sms saja juga ndak
apa-apa. Tapi kadang juga susah, mereka kan juga ndak dikasih
uang pulsa. Kadang saya yang nelpon atau sms. Tapi sering
juga ndak dibalas atau kadang telepon saya ndak diangkat.
Ndak tahu kenapa kok begitu. Mungkin sungkan kalau ndak ada
laporan. Pokoknya mereka mau lapor saja kami sudah sangat
berterima kasih. Tapi kalau mereka ndak mau ya ndak apa-apa.
Kami ndak mau maksa.” (Insih Budi utami, wawancara
terstruktur, 13 Juli 2010).
63
Universitas Kristen Petra
Permasalahan lain yang sering terjadi adalah kesalahan pengertian
penyurvei soal penyakit yang diderita oleh salah seorang warga. Kebanyakan
penyurvei adalah orang awam sehingga mereka seringkali tidak bisa membedakan
gejala penyakit dan salah melaporkan. Maka dari itu jika ada laporan kasus aneh,
maka pihak puskesmas biasanya harus turun lapangan untuk mengecek ulang
apakah benar atau tidak laporan tersebut. Jika sudah benar, maka laporan akan
langsung direkap. Namun jika masih salah maka Ibu Insih sendiri yang akan
mengganti form laporan tersebut baru dimasukkan ke dalam rekap bulanan. Hal ini
dilakukan agar laporan SBM tidak kacau dan menyebabkan salah informasi untuk
dinas kesehatan. Berikut penjelasan dari Ibu Insih.
“Yang sering juga itu ngisi form SBM nya salah. Biasanya kalau
gejala penyakitnya ndak lazim atau sulit dibedakan dengan
penyakit-penyakit lain, orang jadi salah nagkep. Biasanya kalau
begini ini saya turun lapangan untuk cross check. Tapi kalau
laporannya sudah jelas seperti diare, ya saya tidak akan cek lagi
ke lapangan, karena tanda-tandanya kan mudah dilihat. Asal
BAB cair dan sering kan sudah dapat dipastikan diare. Dulu
pernah ada laporan pneumonia di form SBM. Saya merasa
curiga karena kebanyakan penyurvei kan bukan orang medis ya
mbak. Takutnya ndak bisa membedakan tanda-tanda dengan
jelas. Apalagi penyakit pneumonia itu kan ndak umum. Makanya
saya pergi ke rumah orang yang dilaporkan sakit itu. Setelah
saya lihat ternyata kena chikungunya, waktu itu memang sedang
musim mbak. Memang gejalanya mirip antara dua penyakit itu.
Jadi ya kalau ndak bener-bener ngerti tentang penyakit-penyakit
ya pasti sulit membedakan. Tapi ya ndak apa-apa. Biar salah-
salah yang penting lapor saja kami sudah berterima kasih kok.”
(Insih Budi Utami, wawancara terstruktur, 13 Juli 2010)
64
Universitas Kristen Petra
Selain masalah dengan para pelaku survei, masalah lain dalam SBM juga
muncul ketika penyurvei mencari tahu dari masyarakat. Ada beberapa orang yang
cukup tertutup dan tidak banyak berinteraksi dengan orang desa. Hal ini
menyebabkan jika ada yang sakit di rumah tersebut, tidak ada warga yang tahu,
sehingga kabarnya juga tidak sampai ke para penyurvei. Biasanya orang-orang
yang bersikap seperti itu justru datang dari warga kelas menengah keatas. Selain
jarang berinteraksi, mereka umumnya sudah mengerti mengenai masalah
kesehatan, jadi jika sakit sudah langsung pergi ke rumah sakit atau puskesmas.
Hal ini dijelaskan oleh Ibu Deni, bidan desa Dawuhan.
“Kalau untuk SBM itu yang sulit karena ada beberapa orang
yang tertutup. Sesungguhnya bukan mereka tidak mau berbaur
dengan masyarakat, tapi karena dari golongan orang yang
sudah menengah keatas ya, maka mereka juga jarang
berinteraksi dengan masyarakat. Mungkin sibuk dengan
pekerjaan masing-masing ya. Nah kalau sakit juga biasanya
diurusi sendiri. Mereka biasanya langsung ke dokter, rumah
sakit, atau puskesmas sendiri. Tidak omong-omong ke orang-
orang. Jadi kalau sakit ya tidak ketahuan. Kalau warga yang
lain sih biasanya tidak ada masalah. Kalau sakit ya mau lapor
dan minta tolong.” (Deni Prastyawati, wawancara terstruktur,
14 Juli 2010)
65
Universitas Kristen Petra
Gambar 4.7. Grafik hasil rekap SBM di Puskesmas Rejowinangun
Salah satu hal yang juga masih kurang adalah pengelolaan hasil SBM.
Selama ini hasil SBM memang masih menjadi arsip dari puskesmas dan Dinas
Kesehatan saja. Masyarakat luas belum dapat mengetahui hasil dari SBM tiap
bulannya maupun rekap SBM. Padahal di ruangan Ibu Insih terdapat hasil rekap
SBM yang sudah dibentuk grafik. Grafik tersebut merupakan hasil rekap
gabungan dari tujuh desa yang dibawah puskesmas Rejowinangun, dimana dalam
grafik tersebut terdapat data-data peningkatan atau penurunan kesehatan ditandai
dengan banyaknya jumlah orang yang terkena penyakit, jumlah orang yang
sembuh dan jumlah orang meninggal.
Ibu Insih mengaku hasil SBM ini sulit disebarluaskan karena bentuknya
masih manual. Dia membentuk rekap tersebut menjadi grafik dan menambahkan
garis dan titik di setiap bulannya sampai satu tahun. Jadi grafik hasil SBM ini
baru akan jadi secara untuh pada akhir tahun. Jika ingin diperbanyak, satu-
satunya cara adalah dengan difotokopi. Tapi hasilnya akan kurang jelas dan setiap
66
Universitas Kristen Petra
bulan harus difotokopi lagi atau harus ada yang mau menggambar titik dan garis.
Hal ini tentunya akan menambah kesulitan dalam penangan SBM dan
dikhawatirkan anggota Tedes akan semakin malas melaksanakan SBM. Maka
dari itu hasil rekap SBM ini baru dapat ditaruh di ruangan Ibu Insih saja. Berikut
penjelasan dari Ibu Insih.
“Ini hasil SBM nya saya bentuk grafik seperti ini, supaya
mudah dibaca. Jadi langsung kelihatan perkembangannya
tiap-tiap bulan. Saya biasa masukkan secara manual soalnya
ribet kalau dimasukkan dalam komputer. Jadi nanti tiap-tiap
bulan saya tambahkan isinya.
Hasil ini tidak sampai disebarkan ke desa-desa. Maklum
hasilnya masih manual. Kalau mau disebarkan kan harus bisa
diperbanyak. Nah kalau diperbanyak masa mau difotokopi.
Nanti kan hasilnya tidak bagus. Ini juga belum jadi lho mbak,
rencana saya ini baru jadi utuh akhir tahun, jadi nanti bisa
dilihat perkembangannya selama setahun. Nah kalau tiap
bulan atau beberapa bulan ditaruh di desa-desa kan harus ada
yang nambahin isinya. Siapa yang mau? Nanti kalau minta
tolong Tedes atau kadernya lagi malah mereka merasa ribet
dan keberatan. Nanti takutnya malah malas mengerjakan SBM.”
(Insih Budi Utami, wawancara terstruktur, 13 Juli 2010).
67
Universitas Kristen Petra
Gambar 4.8. Papan Pengumuman Ponkesdes Sumberdadi
Ibu Puji, bidan desa Sumberdadi sesungguhnya juga ingin jika hasil
SBM bisa dilihat oleh masyarakat sehingga masyarakat bisa tahu kondisi
kesehatan di desanya. Diharapkan dengan ditunjukkannya hasil SBM tersebut
masyarakat akan lebih terpacu untuk meningkatkan kondisi desanya, atau
minimal mereka bisa lebih peduli untuk menjaga kesehatannya sendiri. Namun
sayangnya desa-desa di Trenggalek masih belum mempunyai sarana display yang
memadai untuk memajang hasil SBM ini. Sehingga seandainya pun ada hasil
yang dapat ditampilkan juga masih belum ada tempat untuk memajangnya.
Berikut penjelasan dari Ibu Puji.
“Wah kalau hasil SBM dipajang di desa-desa sih bagus ya.
Karena masyarakat juga bisa lebih sadar kalau lihat di
desanya ada penyakit. Kalaupun hasilnya bagus kan warganya
juga senang. Tapi kalaupun ada hasilnya saya juga bingung
mau dipajang dimana. Di desa-desa sini belum ada tempat
yang layak untuk memajang. Papan yang ada di ponkesdes
masih ditaruh di dalam rumah, kalau ditaruh di depan nanti
68
Universitas Kristen Petra
kehujanan dan rusak. Belum lagi kalau ada angin,
pengumuman di dalamnya nanti lepas dan tertiup terus hilang.
Mungkin harus dipikirkan dulu tempat memajangnya ya.”
(Puji Wahyulin, wawancara terstruktur, 15 Juli 2010).
Ketika di-cross check ke warga mengenai pelaksanaan SBM, warga
hanya tahu bahwa mereka harus melapor jika ada yang sakit. Selebihnya mereka
tidak tahu menahu mengenai bagaimana hal tersebut akan ditangani lebih lanjut.
Selama ini warga sesungguhnya juga jarang yang sampai melapor sendiri. Namun
jika ada yang sakit seringkali beritanya sudah tersebar dari mulut ke mulut
sehingga terdengar sampai ke telinga kader desa Siaga. Ada beberapa yang
didatangi oleh kader, namun juga ada yang hanya berdasarkan pada
pemberitahuan orang lain. Berikut adalah penjelasan dari Ibu Ismiatun, Lamini,
dan Sunarti.
“Iya rumah saya kebetulan dekat dengan Ibu Endah, jadi saya
sering kok ngobrol-ngobrol dengan beliau. Biasanya sore-sore
begitu juga sudah kumpul, ndulang anak sambil cerita-cerita.
Kalau ada yang sakit ya saya cerita juga, lha wong saya juga
tahu kalau dia itu kader desa. Kan enak juga kalau kadernya
dekat begini jadi istilahnya saya nglapor sambil cerita-cerita.
Kalau warga yang lain saya juga tahu ada yang datang
nglapor, tapi yang dilaporkan belum tentu keluarganya kok.
Bisa tetangganya atau warga kampungnya yang dengar-
dengar sedang sakit. Jarang kalau keluarga sendiri yang lapor.
Mungkin karena sudah repot mengurusi yang sakit tadi ya.
Jadinya tidak bisa lapor.
Setahu saya hasil laporan itu akan dipakai untuk data
masyarakat. Selebihnya saya kurang tahu. ” (Sunarti,
wawancara terstruktur, 12 Agustus 2010).
69
Universitas Kristen Petra
“Saya tahu kalau ada survei penyakit itu. Saya sudah
dijelaskan oleh Ibu Purwani, kalau ada yang sakit tolong lapor.
Atau kalau lihat ada yang aneh-aneh, yang kurang sehat tapi
saya tidak mampu mengatasi sendiri juga saya disuruh lapor.
Misalnya ada bak mandi yang tak terurus dan banyak jentik
nyamuknya, itu juga saya harus lapor supaya warga tidak kena
penyakit dari nyamuk. Selama ini saya ya lapor kalau ada
anggota keluarga yang sakit. Tapi seringnya saya tidak lapor
saja Ibu Purwani sudah dengar sendiri kok. Biasanya
tetangga-tetangga kan tahu kalau ada yang sakit, nanti pasti
ada yang kasih tahu Ibu Purwani juga.
Laporannya setahu saya digunakan sama puskesmas untuk
mendata masyarakat. Jadi biar ketahuan kalau ada yang sakit
dan bisa ditangani. Kalau dijadikan survei saya malah tidak
tahu menahu. Yang saya tahu hanya sebaiknya lapor jika ada
masalah kesehatan.” (Lamini Wasito, wawancara terstruktur,
10 Agustus 2010).
“Iya saya pernah dibertahu sama Pak RT soal program
pemerintah ini. Kalau ada apa-apa bisa laporan sama Pak RT
atau sama bidan atau kader desa. Nah saya ini tidak terlalu
kenal kalau sama kadernya. Rumahnya agak jauh, jadi kalau
ada yang sakit ya saya kadang lapor kadang nggak. Lha kalau
sakitnya cuma flu apa panas begitu kan lapor ya tidak enak.
Kecuali kalau demam tinggi samapi beberapa hari begitu saya
baru lapor. Kadang-kadang juga saya tidak laporan, Ibu
kadernya sudah datang nengok.
Saya rasa disuruh lapor ya supaya ketahuan kalau ada yang
sakit. Jadi kalau ada penyakit menular atau apa bisa ketahuan.
Nanti bisa diambil tindakan. Begitu saja.” (Ismiatun,
wawancara terstruktur, 6 Agustus 2010.)
70
Universitas Kristen Petra
Salah satu masalah yang juga ditemui peneliti dalam proses SBM adalah
adanya persepsi dari para kader bahwa SBM telah berjalan dengan lancar dan
tidak ada masalah. Mereka merasa demikian karena tidak mengerti mengenai
metode survei yang benar. Mereka merasa asalkan sudah ada warga yang bersedia
melaporkan jika sakit saja sudah cukup. Padahal hasil SBM yang seperti ini
kurang akurat karena tidak dapat menjangkau masyarakat secara keseluruhan.
Hanya masyarakat yang dekat dengan bidan atau kader yang dapat melaporkan.
Jika masyarakat tidak terlalu mengenal bidan atau kadernya, maka masyarakat
akan cenderung tidak bersedia melapor sehingga hasil SBM menjadi kurang
akurat. Berikut adalah pernyataan mengenai hal ini.
“Selama ini masih lancar sih mbak. Biasanya orang-orang juga
mau laporan ke saya. Saya kan juga masih sering kumpul-
kumpul sama ibu-ibu di sekitar desa sini. Ya pengajian sama
arisan juga mbak. Jadi disitu kan cerita-cerita. Biasanya dari
sini banyak ketahuannya mbak. Kalau ada yang tetangganya
sakit atau denger ada yang sakit itu biasanya ngomong. Jadi
saya ya tahu mbak.“ (Endah Ayu Wiguna, wawancara
terstruktur, 19 Juli 2010).
“Kalau SBM itu disini lancar-lancar saja mbak. Masyarakatnya
terbuka kok. Jadi kalau ada apa-apa ya mau saja datang ke saya.
Laporan ke saya atau ke kadernya. Saya sama kadernya juga
baik kok. Dulu saya juga yang ngajak Bu Purwani itu jadi
kader.” (Puji Wahyulin, wawancara terstruktur, 15 Juli 2010).
“Dulu itu pernah ada mbak. Anak meninggal. Keadaannya
mengenaskan itu mbak. Bapaknya itu lho tatonya sak awak
penuh kok mbak. Biasanya mabuk-mabukan. Anaknya itu
kuruuus gitu mbak. Kayak kurang gizi gitu lho. Lha ini anaknya
itu diare, tapi ibunya ndak bisa mbawa ke rumah sakit, diobati
71
Universitas Kristen Petra
sendiri. Sudah beberapa hari ndak sembuh-sembuh baru
ngomong, jadi saya baru telepon Bu Insih lapor. Nah waktu
orang dari puskesmas datang meninjau kok ternyata kondisinya
sudah parah to mbak. Anaknya sudah lemes. Mau ditolong yo
sudah telat mbak. Akhirnya meninggal di rumah sakit.
Nyoba itu lapor dari pertama sakit mungkin ya ketolong mbak.
Nah kalau sudah begitu bisa ngomong apa mbak. Saya juga
ngenes, Cuma ya sudah ndak bisa berbuat apa-apa. Makanya
saya ini bilang terus sama orang-orang, ayo lapor. Jangan
diem-dieman terus kejadian.” (Endah Ayu Wiguna, wawancara
terstruktur, 19 Juli 2010).
72
Universitas Kristen Petra
4.2.2.2. Musyawarah Masyarakat Desa
Gambar 4.9. Musyawarah Masyarakat Desa Surondakan
Setelah dilakukan proses SBM, maka tahap selanjutnya dari
implementasi program Desa Siaga yang dirancang pemerintah adalah
Musyawarah Masyarakat Desa (MMD). Disini hasil dari SBM akan dibahas dan
dipikirkan bersama pemecahannya. Misalnya di satu desa terdapat banyak orang
yang terkena penyakit demam berdarah dan ditemukan banyak bak-bak kosong
yang tidak terurus, maka masyarakat akan memutuskan melalui MMD langkah
apa yang mau diambil. Apakah mau menghancurkan bak-bak tersebut atau hanya
menutupnya saja sehingga tidak ditumbuhi oleh jentik-jentik nyamuk. Hal ini
dijelaskan oleh Bapak Heri, Staff Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek.
“Setelah SBM dilanjutkan dengan MMD. MMD itu proses
Musyawarah masyarakat desa, dimana perwakilan dari warga
desa berkumpul dan membicarakan permasalahan yang terjadi
di desanya. Setelah itu dilakukan pengambilan keputusan
untuk melaksanakan suatu tindakan demi menyelesaikan
masalah tersebut.” (Heri, wawancara terstruktur, 12 April
2010)
73
Universitas Kristen Petra
Keterangan :
Meja pembicara Sound system
Meja Peserta Papan Tulis
Podium Kursi
Gambar 4.10. Susunan Ruangan Tempat MMD
MMD ini dilaksanakan di balai desa masing-masing desa dengan
mengundang Kepala Puskesmas dan Kepala Desa sebagai pembicara. Bidan dan
kader desa menjadi panitia pelaksana MMD yang mengundang tokoh masyarakat,
tokoh agama, dukun desa, dan perwakilan dari masing-masing RT. Proses MMD
yang dirancang oleh pemerintah diawalai dengan penjabaran masalah hasil SBM
oleh kepala puskesmas dan bidan. Kemudian hasil tersebut diklasifikasikan
menurut urgensinya, mana yang sangat gawat, gawat, dan biasa-biasa saja. Urutan
A
B
C
D
E
74
Universitas Kristen Petra
urgensi tersebut dilihat dari banyaknya jumlah korban atau penderita, kecepatan
penyebarannya, dan kemampuan masyarakat dalam menanganinya. Setelah
diklasifikasikan, maka masyarakat diminta memikirkan tindakan yang akan
diambil untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Apakah ada masalah yang
akan ditangani dulu baru setelah itu yang satunya, atau ingin menyelesaikan
langsung dua masalah dalam waktu yang bersamaan. Tindakan tersebut yang
nantinya akan direalisasikan oleh masyarakat, maka dari itu hasil keputusannya
harus realistis dan dapat dilaksanakan secara swadaya oleh masyarakat. Misalnya
jika banyak kasus demam berdarah dan chikungunya yang disebabkan oleh
nyamuk, maka masyarakat dapat memutuskan untuk melakukan kerja bakti yang
tanggal dan jamnya sudah ditentukan juga dalam MMD sehingga hasil ini dapat
disampaikan langsung ke masyarakat. MMD ini idealnya dilaksanakan minimal
tiga bulan satu kali, dengan waktu pelaksanaan 2-3 jam setiap kalinya.
Namun pada kenyataannya, rancangan pemerintah tersebut mengalami
masalah dalam pelaksanaannya. Masalah yang pertama terjadi adalah peserta
merasa kesulitan untuk menjalankan MMD sesuai dengan rancangan pemerintah.
Ketika diminta untuk melaksanakan klasifikasi masalah, peserta banyak yang
bingung sehingga tidak dapat ditemukan kesepakatan mengenai klasisfikasi
masalah. Hal ini menyebabkan proses MMD berjalan di tempat dalam jangka
waktu yang cukup lama. Lalu karena tidak ditemukan kesepakatan dalam hal
klasifikasi, maka brainstorming untuk menentukan tindakan yang akan diambil
akhirnya menjadi terburu-buru. Karena peserta MMD juga memiliki kegiatan lain
maka mereka akan mulai resah jika MMD berlangsung terlalu lama. Oleh karena
itu biasanya mereka akan mengambil keputusan sekenanya saja karena sudah
kehabisan waktu. Hal ini dijelaskan oleh Ibu Tatiek, kepala Puskesmas
Rejowinangun sebagai berikut.
“Proses MMD seperti yang dirancangkan pemerintah itu
terlalu sulit untuk masyarakat. Mereka masih belum mampu
membedakan mana yang penting, mana yang urgen atau pun
tidak urgen. Hal ini menyebabkan proses MMD nyendat disitu
75
Universitas Kristen Petra
terus. Tidak jalan-jalan. Bahkan sudah saya arahkan juga
tetap mbulet saja disitu. Akhirnya biasanya kalau jamnya
sudah agak dekat saya ingatkan untuk langsung ambil
tindakan saja. Saya arahkan lagi untuk langsung saja
mengambil tindakan sesuai yang masyarakat mampu saja.
Akhirnya biasanya langsung diputuskan mau ngapain saja.
Sudah tidak pakai klasifikasi, yang penting ada keputusannya.”
(Tatiek Juliani, wawancara terstruktur, 12 Juli 2010).
Masalah lain yang terjadi adalah hasil dari SBM tidak dibahas dalam
MMD. Ini memang tidak terjadi di semua desa, namun ada cukup banyak bidan
desa yang tidak menghubungi Ibu Insih untuk meminta hasil SBM saat MMD.
Padahal bidan desa selaku ketua panitia adalah orang yang harus menyiapkan
agenda awal yang akan dibahas dalam MMD. Baru kemudian akan ada tambahan
dari para peserta. Hal ini terjadi karena bidan desa biasanya sudah merasa
mengerti permasalahan yang ada di desanya sehingga merasa tidak perlu lagi
melihat hasil SBM padahal kadang-kadang ada hasil SBM yang akhirnya tidak
diagendakan untuk dibahas. Untuk mengatasi hal ini, Ibu Insih meminta kepada
kader desa untuk tetap membawa hasil SBM ke dalam MMD, karena yang aktif
memberikan laporan SBM adalah kader. Jadi walaupun tidak diagendakan oleh
bidan, kader tetap dapat membahasnya dalam MMD. Berikut penjelasan dari Ibu
Insih.
“Bidan-bidan sering ndak nggubris hasil SBM pas mau MMD.
Saya saja kadang ndak diberitahu kalau ada MMD, jadi saya
juga ndak ngasih hasil laporan SBM untuk MMD. Padahal kan
dasarnya MMD itu harusnya SBM, tapi biasanya bidan sudah
merasa tahu apa yang harus dibahas jadi tidak merasa perlu
meminta hasil MMD. Memang tidak semua bidan begitu, ada
yang tetap ke saya untuk minta hasil SBM desanya. Tapi
sekalipun bidannya tidak minta, saya selalu mengingatkan
76
Universitas Kristen Petra
kadernya setiap kali menyerahkan laporan SBM untuk
meminta hasilnya kalau mau MMD. Sehingga kalau MMD itu,
ada dasar yang jelas dan diskusinya terarah. Jadi seringnya
malah kadernya yang kasih tau saya kalau mau ada MMD.
Kalaupun mereka tidak bisa ambil hasil rekapnya saya smskan
hasilnya ke mereka supaya dibahas.” (Insih Budi Utami,
wawancara terstruktur, 13 Juli 2010)
Selain itu yang menjadi masalah besar lainnya adalah MMD yang
seharusnya dilaksanakan setiap tiga bulan sekali tidak dilaksanakan sebagaimana
mestinya. MMD di Kabupaten Trenggalek rata-rata baru dilaksanakan satu kali
dalam tahun 2010 ini dan belum ada rencana untuk melaksanakan MMD lagi
sampai akhir tahun. Hal ini disebabkan oleh kendala biaya yang dialami oleh
masing-masing desa. Setiap tahunnya dinas kesehatan memberikan sejumlah dana
untuk pelaksanaan program Desa Siaga yang akan dikelola oleh bidan. Biaya ini
habis hanya untuk melaksanakan satu kali MMD. Hal ini terjadi karena ketika
melakukan MMD, panitia harus memberikan honorarium pembicara, ongkos
panitia, konsumsi peserta, dan tunjangan transportasi untuk peserta. Hal ini
menyebabkan biaya untuk MMD yang seharusnya bisa dibagi sampai tiga kali
jadi membengkak hanya dalam satu kali MMD. Bidan desa merasa jika warga
tidak diberi tunjangan transportasi maka masyarakat akan berpikiran buruk dan
tak bersedia datang atau menjalankan program-program pemerintah lagi.
Demikian pula dengan penyediaan konsumsi. Berikut penjelasan dari Ibu
Widayati, bidan desa Surondakan.
“Selama ini MMD nya juga baru dilaksanakan satu kali.
Setahu saya di desa-desa lain juga begitu. Karena kalau
melaksanakan tiga bulan sekali dananya ndak ada. Dana yang
dikasih dinas, cuma cukup untuk satu kali saja. Saya kan harus
memberikan honor untuk pak kades dan ibu kepala puskesmas.
Selain itu ada ongkos untuk panitia, untuk mengganti biaya
transport dan menyediakan perlengkapan yang dibutuhkan
77
Universitas Kristen Petra
seperti alat tulis, form absensi, dan lain-lain. Selain itu untuk
konsumsi juga butuh biaya. Saya juga memberikan tunjangan
transport buat yang diundang. Kan mereka sudah capek-capek
datang kesini, masa saya tidak kasih apa-apa. Nanti takutnya
kalau diundang lagi jadi malas datang. Kalau ada acara-acara
lagi juga tidak mau ikut. Kan malah tambah repot.” (Widayati,
wawancara terstruktur, 16 Juli 2010).
Selain permasalahan yang dikemukakan oleh para informan, dalam
pelaksanaan MMD pun terjadi banyak permasalahan berdasarkan hasil observasi
penulis. Permasalahan tersebut adalah sebagai berikut. Permasalahan pertama
adalah bentuk ruangan yang didesain seperti ruang kelas dimana pembicara ada di
depan dan para pendengar duduk berhadapan dengan pembicara. Hal ini
menyebabkan pembicaraan didominasi oleh pembicara di depan dan para peserta
kurang aktif. Kebanyakan peserta hanya mendegarkan kabar, informasi, maupun
permasalahan yang diungkapkan oleh pembicara yang duduk di depan. Rasa tidak
enak hati sangat terasa dalam kondisi ini, karena peserta merasa bahwa yang
duduk di depan adalah orang yang memiliki pangkat, sehingga mereka tidak
banyak melontarkan pendapat dan cenderung mengikuti arus yang ada. Contohnya
MMD di desa Surondakan, pembicara menyampaikan agenda permasalahan yang
akan dibahas. Ketika agenda tersebut dikembalikan ke peserta, apakah ada yang
ingin menambahkan atau tidak, atau ada yang tidak sepakat atau tidak, peserta
terdiam. Setelah ditanya kembali baru mereka menjawab bahwa mereka setuju
dengan hal tersebut. Hal ini juga nampak ketika proses penyampaian pendapat
dimulai. Warga desa umumnya tidak menyampaikan pendapat mereka, dan lebih
membiarkan para tokoh masyarakat yang memberi usul, kemudian mereka tinggal
meng-iya-kan usulan tersebut. Misalnya di desa Dawuhan, ketika ditanya apakah
ada ide untuk menyelesaikan masalah demam berdarah di desa tersebut, yang
mengeluarkan ide adalah dari tokoh masyarakat. Dan ketika dikembalikan ke
warga, warga juga hanya meng-iya-kan ide ini lagi.
78
Universitas Kristen Petra
Karena pembicaraan didominasi oleh beberapa orang, terutama
pembicara dan tokoh desa, maka peserta yang lain akhirnya tidak banyak
berkonsentrasi pada proses MMD sendiri. Banyak yang mengantuk saat
musyawarah berlangsung dan menguap berkali-kali. Ada yang melamun dan
pandangannya kosong saat pembicara menyampaikan informasi. Ada juga yang
sibuk menggunakan handphone yang dibawanya. Bahkan ada beberapa peserta
yang duduk di belakang malah mengobrol sendiri dengan teman di sebelahnya.
Hal ini menyebabkan mereka tidak mengetahui jalannya proses musyawarah dan
banyak kehilangan informasi, sehingga ketika dimintai pendapat mereka
cendeurng menjawab iya supaya proses MMD segera berakhir. Selain itu kondisi
ruang musyawarah yang berbentuk seperti kelas juga membuat peserta yang
duduk di belakang tidak dapat mendengarkan dengan baik jalannya MMD. Jarak
antara pembicara dengan mereka cukup jauh sedangkan sound system yang
tersedia tidak cukup memadai. Selain itu karena berbentuk seperti kelas, interaksi
antara pembicra dengan peserta juga kurang. Peserta banyak yang tidak dapat
melihat pembicara maupun jika ada yang menyampaikan pendapat tapi tidak
bersedia maju ke depan, maka mereka hanya dapat melihat punggung dari orang
tersebut.
Masalah kedua yang juga terjadi dalam proses MMD adalah masalah
fasilitas yang tersedia. Fasilitas yang disediakan masih kurang menunjang dan
fasilitas yang ada masih belum dimaksimalkan. Fasilitas yang pertama adalah
gedung balai desa. Gedung balai desa seringkali dilalui oleh kendaraan bermotor.
Setiap kali kendaraan bermotor itu lewat, maka bunyinya akan menggema dalam
ruangan dan menyebabkan polusi suara yang sangat mengganggu. Bahkan jika
bunyi kendaraan tersebut cukup kencang, seperti jika knalpotnya dimodifikasi
atau sudah jelek kondisinya, maka suara orang yang sedang berbicara didalam
ruangan tidak terdengar sama sekali sampai kendaraan tersebut berlalu. Hal ini
sangat mengganggu konsentrasi pembicara maupun pendengar. Cukup sering
bunyi kendaraan tersebut lama hilangnya sehingga ketika suaranya sudah
terdengar lagi, banyak bagian yang hilang dari apa yang disampaikan. Namun
79
Universitas Kristen Petra
karena kendaraan bermotor terus menerus lewat, pembicara juga tidak mungkin
berhenti berbicara setiap kali ada kendaraan yang lewat.
Selain bunyi kendaraan bermotor, bunyi dan bau dari rumah warga
sekitar balai desa juga cukup mengganggu jalannya MMD. Karena balai desa
letaknya berdekatan dengan rumah-rumah warga, maka jika ada warga yang
memelihara hewan, sedang membetulkan rumah, atau sedang memasak bunyi dan
baunya masuk ke dalam balai. Hal ini memang tidak semengganggu bunyi dari
kendaraan bermotor, tapi juga cukup mengalihkan perhatian. Seperti yang terjadi
di desa Sumberdadi, ada warga yang memasak sambal terasi dan baunya masuk
sampai ke balai desa, hal ini menyebabkan konsentrasi dari peserta cukup
terganggu dimana ada beberapa peserta yang menoleh untuk mencari sumber bau
tersebut. Demikian pula dengan bunyi kicauan burung dan bunyi batu yang
sedang dipukul yang menambah bising suasana di sekitar tempat pelaksanaan,
sehingga para peserta menjadi lebih sulit untuk berkonsentrasi.
Selain masalah pada gedung, masalah juga terjadi pada sound system.
Sound system yang tersedia di balai desa sudah cukup tua sehingga kualitas
suaranya tidak bagus. Sering terdengar bunyi gemerisik dan letupan-letupan
keluar dari speaker sound system tersebut. Selain speaker nya, mic yang ada pun
juga kondisinya sudah cukup jelek. Seringkali suara pembicara tidak masuk dalam
mic sehingga terdengar putus-putus dan tidak enak untuk didengarkan. Hal ini
menyebabkan para peserta, terutama yang duduk di belakang tidak bisa
mendengar apa yang sedang dikatakan oleh pembicara di depan dengan jelas.
Tetapi jika tidak menggunakan sound system tersebut, suara dari pembiacara juga
tidak dapat terdengar dengan baik karena banyaknya bunyi-bunyian yang
mengganggu di sekitar balai desa. Mic yang bermasalah ini juga menyebabkan
pembicara seringkali harus menghentikan pembicaraannya di tengah-tengah,
karena mic nya harus dibetulkan dulu baru dapat dipergunakan kembali. Kadang-
kadang setelah mic nya betul, pembicaraan langsung melompat ke hal lain karena
pembicara sudah lupa sampai dimana dia berbicara. Selain itu karena mic yang
tersedia di balai desa hanya satu, diskusi menjadi tidak interaktif dimana
pembicara dan peserta harus bergantian menyodorkan mic sebelum dapat bertanya
80
Universitas Kristen Petra
jawab secara langsung. Hal ini menghambat jalannya MMD dan juga memakan
waktu MMD.
Masalah lain yang juga kasat mata adalah penyediaan meja untuk peserta.
Dalam ruang balai desa, hanya tersedia tiga buah meja untuk peserta dimana
masing-masing meja hanya dapat digunakan oleh dua orang. Jadi dari sekitar 20
orang yang diundang hanya 6 orang yang mendapatkan meja untuk menulis.
Padahal dalam MMD ini peserta sering kali harus mencatat hal-hal yang penting
seperti informasi-informasi dari puskesmas atau dinas kesehatan yang agak sulit
diingat. Akhirnya hanya beberapa orang yang mendapat meja saja yang dapat
mencatat dengan baik, sedangkan sisanya kadang mencatat kadang tidak karena
tidak nyaman jika harus menulis tanpa meja. Bahkan ada beberapa orang yang
sama sekali tidak mencatat karena sudah malas. Padahal meja yang disediakan
untuk pembicara cukup luas dan kadang masih ada meja sisa di pinggir ruangan
yang tidak terpakai. Jika ruangan ditata dengan lebih baik tentunya proses MMD
akan lebih efektif.
Masalah ketiga yang muncul adalah masalah cara penyampaian
informasi dan penggunaan istilah serta bahasa. Terkadang komunikator dalam
menyampaikan pesan seringkali tidak memperhatikan apakah pesan tersebut dapat
ditangkap dengan baik oleh peserta. Pesan tersebut seperti misalnya ketika
membacakan jumlah penderita penyakit dan rasio perbandingannya dengan
wilayah lain, pembicara langsung menyebutkan saja angka-angka tersebut tanpa
visualisai yang bisa mendukung pesertanya agar mengerti. Misalnya di desa
Dawuhan, dibacakan jumlah penderita demam berdarah di seluruh Kabupaten
Trenggalek sampai bulan April 2010. Jumlahnya adalah 14.368 penderita.
Kemudian dibandingkan juga dengan penderita chikungunya 3.213 penderita.
Angka-angka tersebut dibacakan begitu saja dengan cukup cepat tanpa ada
pengulangan maupun visualisasi. Pesan ini akhirnya menjadi pesan sambil lalu
saja bagi peserta MMD, yang tidak dapat dimengerti lebih lanjut. Padahal dalam
ruangan tersebut ada seorang sekretaris yang bertugas menulis notulensi hasil
MMD dan juga tersedia papan tulis dalam balai desa. Namun angka-angka
81
Universitas Kristen Petra
tersebut juga tidak dituliskan sehingga peserta tidak bisa mengerti dengan lebih
jelas.
Sama halnya dengan pencatatan proses berlangsungnya MMD. Karena
sering ada gangguan dari luar, pembicara sering lupa sudah sampai mana
pembicaraan yang dilakukan. Peserta juga sering kehilangan jalannya diskusi dan
akhirnya tidak mengerti dengan benar apa yang sedang dibicarakan pada saat
tersebut. Padahal jalannya proses MMD ini dapat dituliskan di papan tulis
sehingga dapat terlihat jelas alurnya sudah sampai dimana dan akan dilanjutkan
dengan membicarakan apa, sehingga proses MMD akan lebih terarah dan tidak
melompat-lompat. Namun sayang media yang tersedia juga kurang digunakan
dengan baik. Padahal jika digunakan maka akan membantu MMD agar dapat
lebih efektif.
Dalam hal penggunaan istilah dan bahasa, kadang pembicara
menggunakan istilah-istilah kesehatan, bahasa kedokteran, maupun singkatan-
singkatan yang tidak umum dipakai oleh masyarakat. Banyak istilah seperti ULV,
DHF, UCI, swing fog dan lain-lain digunakan oleh pembicara tanpa memikirkan
apakah para peserta mengerti atau tidak tentang apa yang dikatakannya. Akhirnya
para peserta juga menganggap informasi ini sambil lalu, padahal seringkali
informasi ini penting dan berguna juga.
4.2.3. Penyebaran Informasi ke Masyarakat
Setelah proses MMD dilakukan, maka langkah yang terakhir adalah
penyebaran informasi kepada masyarakat luas mengenai hasil MMD dan tindakan
yang akan dilaksanakan bersama oleh masyarakat. Misalnya hasil MMD desa
Sumberdadi memutuskan untuk mengajak masyarakat melaksanakan kerja bakti
pembersihan selokan desa pada minggu ketiga setiap bulannya, maka tugas dari
peserta MMD untuk menyebarkannya kepada masyarakat disekitarnya serta
memastikan hasil tersebut dijalankan. Jika tidak dapat berjalan, maka para peserta
harus melaporkan kepada kader desa agar dapat dicari tahu penyebabnya dan
diambil langkah selanjutnya untuk mengatasi permasalahan yang ada.
82
Universitas Kristen Petra
Hasil MMD ini disebarkan ke masyarakat luas dengan cara penyebaran
dari mulut ke mulut. Dalam satu RT, warga saling memberitahu mengenai hasil
MMD. Namun hasil MMD yang disebarkan hanya informasi seputar himbauan
atau ajakan melakukan suatu aksi saja. Informasi lain mengenai kondisi kesehatan
warga atau alasan mengapa tindakan tersebut perlu diambil tidak terlalu
diperhatikan oleh masyarakat. Maka dari itu umumnya jika hasil dari MMD tidak
menyulitkan dan tidak membebani, masyarakat bersedia untuk ikut melaksanakan
hasil MMD tersebut. Misalnya jika hasil MMD hanya mengajak masyarakat untuk
kerja bakti, maka masyarakat tidak akan keberatan untuk melaksanakan. Karena
mereka juga akan mendapatkan manfaat dari hal ini dan juga merupakan wujud
solidaritas sebagai warga di tempat tersebut. Hal ini dijelaskan oleh Lamini
Wasito, warga desa Sumberdadi.
“Iya saya dulu pernah diberitahu pak RT bahwa akan ada kerja
bakti setiap satu bulan sekali mulai sekarang untuk membersihkan
selokan dan daerah-daerah yang tergenang air agar tidak
dijadikan sarang nyamuk. Saya kalau diajak melakukan kerja
bakti ya tidak apa-apa, lha wong saya juga tidak rugi apa-apa
malah tambah sehat. Lagipula kalau saya menolak kan juga tidak
mungkin, masa diajak kerja bakti sama warga sekitar tidak mau.
Nanti saya dicap jelek.” (Lamini Wasito, wawancara terstruktur,
10 Agustus 2010).
Namun sayangnya karena warga tidak terlalu mengerti proses Desa
Siaga dari mulai SBM sampai dengan MMD dan informasi yang disebarkan ke
warga hanyalah informasi mengenai tindakan yang harus dijalankan oleh warga
terkait program Desa Siaga, hal ini menyebabkan ketika hasil MMD tidak mudah
dijalankan, warga banyak yang menolak atau mengabaikan hasil dari MMD
tersebut. Warga tidak mendapatkan cukup informasi yang mampu memotivasi
mereka untuk melaksanakan hasil keputusan tersebut. Misalnya di desa Dawuhan.
Saat ini keputusan MMD adalah untuk membuat jamban di masing-masing rumah
83
Universitas Kristen Petra
dan menghentikan Buang Air Besar (BAB) di sungai. Warga masyarakat enggan
untuk melaksanakan hasil keputusan ini karena berbagai alasan. Ada yang merasa
tidak punya lahan untuk membangun jamban, ada yang tidak bisa meninggalkan
kebiasaan lama BAB di sungai, ada yang malas, ada juga yang merasa bahwa
tanpa jamban pun tidak apa-apa maka dari itu tidak perlu membuat jamban.
Ibu Deni bidan desa Dawuhan menjelaskan bahwa warga desanya yang
tidak bersedia membangun jamban sesungguhnya alasan utamanya adalah karena
tidak mengerti kenapa harus membangun jamban. Memang membangun jamban
itu cukup merepotkan karena harus menyediakan dana dan lahan. Apalagi mereka
sudah terbiasa BAB di sungai dan tidak merasa ada masalah dengan hal tersebut.
Ibu Deni mengaku kesulitan untuk meyakinkan warga, karena memang informasi
disampaikan dari mulut ke mulut sehingga yang sampai di telinga warga hanya
sepenggal saja. Hal inilah yang membuat warga akhirnya tidak ada keinginan
untuk berusaha membuat jamban yang layak bagi mereka. Berikut penjelasan dari
Ibu Deni.
“Masyarakat desa Dawuhan ini kalau dibilang ndak mampu bikin
jamban ya tidak. Mereka benernya mampu kok. Tapi memang
harus mengeluarkan uang lebih. Kan lebih ribet juga karena harus
ngurusi jambannya. Mereka benernya ngerti lho mbak manfaat
jamban. Tapi mereka ndak merasa itu benar-benar perlu. Jadi
dianggapnya himbauan ini kalau dilaksanakan baik, kalau ndak ya
ndak apa-apa. Padahal kan harusnya tidak begitu. Hasil MMD
kan hasil persetujuan dari perwakilan warga yang diambil karena
ada kasus tertentu. Lha kalau masyarakatnya responsnya seperti
ini ya masih sulit agar hasil MMD bisa berjalan.” (Deni
Prastyawati, wawancara terstruktur, 14 Juli 2010).
Penyebaran hasil MMD di masyarakat memang paling banyak dilakukan
dari mulut ke mulut. Namun untuk meningkatkan penyebaran, beberapa bidan
yang cukup aktif juga mengingatkan sebgaian warga kembali pada momen-
84
Universitas Kristen Petra
momen khusus oleh. Seperti di desa Sumberdadi, Ibu Puji selaku bidan desa
mengingatkan warga sekaligus memotivasi warga agar melaksanakan kegiatan
MMD saat kunjungan ke Posyandu. Masyarakat dijelaskan kembali, diingatkan
dan diyakinkan untuk tetap melaksanakan hasil MMD. Diharapkan dengan
diingatkannya lagi sebagian warga masyarakat untuk menjalankan hasil MMD,
maka info ini juga dapat menyebar lagi ke masyrakat luas. Berikut penjelasannya.
“Biasanya pas kegiatan posyandu, saya kan sering kumpul dengan
ibu-ibu. Biasanya saya ajak ngobrol tentang pelaksanaan hasil
MMD. Saya tanyakan apakah sudah dilaksanakan di wilayahnya,
bagaimana hasilnya, apa kesulitannya, dan bagaimana respons
dari tetangga-tetangga. Kalau mereka memberikan informasi
bahwa ada warga yang kurang senang dengan hasil tersebut, saya
motivasi mereka untuk meyakinkan tetangganya tersebut. Saya
jelaskan lagi ke mereka apa pentingnya membersihkan selokan
setiap bulan dan saya minta mereka untuk mengingatkan warga
sekitarnya juga bahwa kegiatan itu dilakukan untuk kebaikan
bersama dan atas dasar keputusan bersama.” (Puji Wahyulin,
wawancara terstruktur, 15 Juli 2010).
85
Universitas Kristen Petra
4.3. Analisa dan Interpretasi Data
4.3.1. Proses Komunikasi Program Desa Siaga di Kabupaten Trenggale
Keterangan : Hambatan Komunikasi
Gambar 4.11. Model Proses Komunikasi Program Desa Siaga
Efek Komunikasi
86
Universitas Kristen Petra
Menurut Devito (1997), elemen proses komunikasi terdiri dari
lingkungan komunikasi, sumber-penerima, enkoding-dekoding, pesan dan
saluran, umpan balik dan umpan maju, gangguan, serta efek komunikasi.
Dalam implementasi program desa siaga, beberapa elemen yang telah
dikemukakan oleh Devito tersebut muncul, seperti lingkungan, sumber-penerima,
enkoding-dekoding, pesan dan saluran, umpan balik, dan efek komunikasi.
Umpan maju tidak terlalu nampak dalam proses ini. Yang cukup berbeda dari
penelitian ini ditemukan bukan hanya sekedar gangguan yang menjadi salah satu
elemen dari proses komunikasi, namun adanya hambatan komunikasi yang
mempengaruhi seluruh elemen komunikasi. Hambatan komunikasi ini terdapat
dalam sumber-penerima, enkoding-dekoding, pesan, media dan saluran, serta
umpan balik. Karena keberadaan hambatan ini, maka efek komunikasi yang
diharapkan menjadi melenceng atau dapat dikatakan membuat ketidak sesuaian
antara apa yang diinginkan dengan apa yang terjadi.
Secara umum proses komunikasi program Desa Siaga bersifat sirkuler,
dimana awal dan akhir dari proses komunikasi ini sulit untuk ditentukan. Proses
komunikasi diawali dari sumber yang meng-enkoding sebuah pesan, kemudian
melontarkan pesan tersebut melalui media atau saluran tertentu yang kemudian
diterima oleh penerima yang men-dekoding pesan tersebut. Setelah menerima
pesan tersebut, penerima bisa memberikan feedback kepada sumber, namun bisa
juga dia menjadi sumber baru bagi sumber awal. Proses komunikasi tersebut
berlangsung dalam suatu lingkungan yang mempengaruhi komunikasi tersebut
dan dikaburkan oleh hambatan komunikasi yang terdapat dalam setiap elemen
dalam proses komunikasi tersebut. Disini, sumber-penerima memiliki hubungan
sirkuler, dimana mereka bisa berganti peran tanpa benar-benar disadari baik oleh
sumber maupun penerima. Demikian pula dengan pesan-feedback, tanpa disadari
sebuah pesan dapat merupakan feedback dari pesan lain yang sebelumnya ada,
maupun sebaliknya sebuah feedback bisa jadi menjadi sebuah pesan baru tanpa
benar-benar disadari oleh sumber-penerima. Berikut adalah penjelasan masing-
masing komponen dari proses komunikasi diatas.
87
Universitas Kristen Petra
4.3.1.1. Lingkungan Komunikasi
Menurut Devito (1997) lingkungan (konteks) komunikasi setidak-
tidaknya memiliki tiga dimensi : fisik, sosial-psikologis, dan temporal. Ruang atau
tempat dimana komunikasi berlangsung disebut konteks atau lingkungan fisik –
artinya, lingkungan nyata atau berwujud. Dimensi sosial-psikologis meliputi,
misalnya tata hubungan status diantara mereka yang terlibat, peran dan permainan
yang dijalankan orang, serta aturan budaya masyarakat dimana mereka
berkomunikasi. Dimensi temporal (atau waktu) mencakup waktu dalam sehari
maupun waktu dalam hitungan sejarah dimana komunikasi berlangsung.
Dalam implementasi program desa siaga, yang dimaksud dengan
lingkungan komunikasi adalah tempat, suasana, budaya, hubungan maupun waktu
dimana komunikasi berlangsung. Lingkungan komunikasi ini mau tidak mau
mempengaruhi proses komunikasi itu sendiri. Disini lingkungan yang paling
mempengaruhi komunikasi adalah dari segi hubungan dan budaya. Budaya Jawa
yang kental di masyarakat Trenggalek menyebabkan pola komunikasinya
cenderung penuh dengan rasa tidak enak hati (sungkan / ewuh pekewuh). Budaya
Jawa juga membuat masyarakat Trenggalek tidak menyukai konflik terbuka,
bahkan jika sekalipun konflik ini dibutuhkan untuk menegaskan suatu peraturan
atau tanggungjawab. Maka dari itu pola komunikasi masyarakat Trenggalek
cenderung memendam persoalan dan menjaga harmonisasi. Selain itu superioritas
juga masih dijunjung dalam berkomunikasi. Warga yang memiliki kedudukan
lebih tinggi umumnya lebih didengarkan dan lebih banyak berbicara daripada
warga yang secara status sosial biasa-biasa saja. Hal ini nampak dalam
pengambilan keputusan yang terjadi dalam proses MMD. Suara dari orang yang
memiliki kedudukan lebih didengarkan dan kecenderungan untuk menolak cukup
kecil.
Selain itu hubungan juga sangat mempengaruhi proses komunikasi,
dimana ketika hubungan antara sumber dan penerima semakin dekat, maka
komunikasi berjalan dengan lebih lancar. Hal ini terlihat dari hubungan bidan ,
kader dengan masyarakat. Semakin dekat dan baik hubungan itu, maka
masyarakat juga cenderung lebih mudah diajak berkomunikasi. Karena
88
Universitas Kristen Petra
masyarakat mudah diajak berkomunikasi maka masyarakat juga menjadi lebih
aktif jika diajak melakukan suatu program. Demikian pula dengan bidan dan
kader juga menjadi lebih aktif karena merasa dekat dengan masyarakat.
Hal –hal lain seperti waktu, tempat dan suasana juga memberikan
pengaruh terhadap proses komunikasi, namun pengaruh yang diberikan tidak
sesignifikan hubungan dan budaya. Pengaruh dari waktu, tempat dan suasana
tersebut akan menunjang atau memperparah suatu proses komunikasi yang sudah
dipengaruhi oleh budaya dan hubungan tersebut. Sebagai contoh, hubungan antara
bidan dan masyarakat di desa Surondakan yang kurang dekat ditambah lagi
dengan ketiadaan waktu untuk berkomunikasi dan tempat serta suasana
komunikasi yang tidak memadai membuat efek komunikasi yang diharapkan
menjadi semakin jauh dari tujuan semula. Namun sebaliknya, meskipun tempat
dan suasana yang ada di desa Sumberdadi juga sama tidak mendukungnya, namun
karena adanya hubungan yang dekat dan baik serta ketersediaan waktu untuk
berkomunikasi maka proses komunikasi dapat berlangsung dengan lebih lancar
dan efek yang diharapkan pun dapat lebih tercapai.
4.3.1.2.Sumber (Enkoding)-Penerima (Dekoding)
Menurut Devito (2007) sumber-penerima adalah satu kesatuan yang tak
terpisahakan untuk menegaskan bahwa setiap orang yang terlibat dalam
komunikasi adalah sumber sekaligus penerima. Ketika seseorang mengirimkan
pesan, maka orang tersebut juga akan menerima pesan dari dirinya sendiri dan
pesan dari orang lain –secara visual melalui pendengaran, atau bahkan melalui
rabaan dan penciuman (isyarat non-verbal). Demikian pula sebaliknya ketika
seseorang sedang menerima pesan, dia juga dapat mengirimkan pesan-pesan non-
verbal kepada orang lain.
Dalam proses komunikasi Desa Siaga, sumber adalah orang yang meng-
enkoding pemikiran, ide, perasaan atau pendapatnya ke dalam sebuah pesan.
Sedangkan penerima adalah orang yang menerima pesan dari sumber tersebut dan
mendekodingnya ke dalam pikiran dan perasaannya. Maka dari itu, dalam
penelitian ini sumber-penerima dan enkoding-dekoding dimasukkan dalam satu
89
Universitas Kristen Petra
kesatuan elemen, dimana elemen-elemen tersebut tidak dapat dipisahkan begitu
saja.
Disini juga terlihat jelas suatu bentuk sirkuler dimana siapa yang
sesungguhnya melontarkan pesan awal atau dapat dikatakan sebagai sumber tidak
dapat diidentifikasikan dengan pasti. Karena didalam proses ini, bisa jadi sumber
tersebut sesungguhnya merupakan penerima pesan yang kemudian berperan lagi
sebagai sumber pesan bagi orang lain, atau bahkan sumber pesan bagi sumber
pertamanya. Hal ini terjadi mulai dari proses SBM dimana masyarakat dan oknum
kesehatan secara bergantian menjadi sumber dan penerima pesan. Dalam proses
ini Dinas Kesehatan melalui puskesmas memberikan form SBM kepada
masyarakat, dimana form tersebut merupakan pesan bagi masyarakat bahwa ada
penyakit, gejala dan faktor resiko yang harus mereka awasi. Kemudian ketika
form itu diisi oleh masyarakat dan diberikan kepada pihak puskesmas, maka
masyarakat lah yang saat itu berperan sebagai sumber pesan bagi dinas kesehatan.
Dalam proses ini, masyarakat terlihat juga sebagai penerima pesan yang
memberikan feedback, namun nyatanya feedback tersebut sesungguhnya
merupakan pesan dari masyarakat kepada pemerintah untuk menunjukkan kondisi
kesehatan di daerahnya. Jika ada pesan mengenai kasus luar biasa, maka ini
menjadi pesan bagi pemerintah untuk melaksanakan suatu aksi darurat, dimana
disini petugas kesehatanlah yang jadi memberi feedback terhadap feedback dari
masyarakat tadi.
Selain dalam proses SBM, dalam proses MMD juga berlaku hal yang
sama. Di proses MMD yang mengawali pembicaraan adalah pembicara di depan.
Namun pembicara tersebut mengawali ucapannya dengan agenda dari hasil SBM
atau pengamatan masyarakat. Selain itu, sekalipun yang banyak berbicara adalah
pembicara, namun peserta juga memberikan masukan-masukan keputusan yang
akhirnya disetujui oleh pembicara. Contohnya ketika kepala puskesmas
melontarkan pesan mengenai hal apa yang akan dilakukan di desa tersebut, maka
akan ada peserta yang memberikan feedback. Feedback dari peserta ini yang
nantinya akan menjadi pesan bagi peserta lainnya mapun pembicara yang ada di
depan.
90
Universitas Kristen Petra
Dalam penyebaran informasi kemasyarakat, proses ini terjadi secara
berkesinambungan dari satu warga ke warga yang lain.Warga yang pertama
menerima pesan dari warga lain , akhirnya menjadi sumber bagi warga yang lain
lagi. Selain itu, bisa jadi juga warga yang menerima pesan tersebut memberikan
feedback, dimana feedback tersebut menjadi pesan bagi pihak puskesmas yang
awalnya menyebarkan informasi ini. Contohnya di desa Dawuhan, hasil MMD
menyatakan masyarakat harus membuat jamban. Hasil ini kemudian disebar
luaskan kepada masyarakat. Lalu masyarakat memberikan feedback dengan
menolak membuat jamban. Feedback ini akhirnya menjadi sebuah pesan bagi
pihak puskesmas bahwa warga masih banyak yang tidak mengerti mengenai
pentingnya membangun jamban.
4.3.1.3. Pesan-Feedback
Menurut Devito (1997) pesan memiliki banyak bentuk. Kita
mengirimkan dan menerima pesan ini melalui salah satu atau kombinasi tertentu
dari panca indra kita. Bentuknya dapat berupa verbal maupun non-verbal.
Sedangkan umpan balik adalah informasi yang dikirimkan balik ke sumbernya.
Umpan balik ini dapat berasal dari diri sendiri maupun orang lain.
Dalam penelitian ini pesan adalah suatu buah pikiran dan perasaan yang
disampaikan menggunakan kode-kode tertentu melalui suatu media atau saluran.
Sedangkan feedback adalah umpan balik yang dikeluarkan oleh seorang penerima
setelah menerima dan mencerna pesan yang diberikan oleh sumber. Sama halnya
dengan tidak dapat dipastikannya sumber dan penerima, karena baik sumber
maupun penerima dapat saling bertukar peran seiring berjalannya proses
komunikasi, pesan dan feedback juga mengalami hal yang sama. Pesan yang
dikeluarkan sumber bisa jadi sesungguhnya merupakan feedback dari pesan yang
diberikan oleh sumber lain. Demikian pula dengan feedback, ketika seorang
penerima memberikan feedback, bisa jadi feedback ini malah menjadi sebuah
pesan baru bagi sumber awal tadi. Maka dari itu apakah suatu pesan yang
disampaikan itu adalah feedback yang menjadi pesan atau pesan yang menjadi
91
Universitas Kristen Petra
feedback, hal itu sulit untuk diketahui. Sama seperti yang terjadi pada pertukaran
peran pada sumber-penerima.
Disini pertukaran fungsi peran dan feedback juga terlihat dalam SBM,
MMD, maupun penyebaran informasi kemasyarakat. Dalam proses SBM,
question list dalam form SBM dapat dikatakan pesan dari dinas kesehatan kepada
masyarakat, kemudian hasil isian dari masyarakat merupakan feedback bagi dinas
kesehatan. Namun pada kenyataannya, question list tersebut diolah oleh dinas
kesehatan berdasarkan kondisi dan laporan masyarakat sebelumnya, sehingga bisa
muncul form tersebut. Demikian pula isian dari masyarakat tersebut dapat menjadi
pesan bagi dinas kesehatan dalam membuat question list baru nantinya.
Dalam proses MMD jelas terlihat pertukaran pesan dan feedback saat
proses diskusi berlangsung. Pesan awal yang dikemukakan oleh pembicara
merupakan hasil dari SBM masyarakat. Setelah itu feedback yang diberikan
masyarakat untuk menanggapi maslah awal yang dikemukakan tadi, dapat
menjadi topik selanjutnya yang dibicarakan atau dengan kata lain menjadi pesan
baru dalam MMD tersebut.
Sedangkan dalam penyebaran informasi di masyarakat, pertukaran pesan-
feedback ini juga terjadi tanpa disadari. Misalnya dalam kasus pembuatan jamban
di desa Dawuhan, pesannya adalah untuk membuat jamban. Feedbacknya adalah
masyarakat masih belum mau membuat jamban dengan berbagai alasan. Feedback
ini akhirnya malah menjadi sebuah pesan baru yang diberikan oleh masyarakat
kepada dinas kesehatan, dimana dinas kesehatan jadi mengusut masalah ini
sebagai feedbacknya.
4.3.1.4. Media/Saluran
Menurut Devito (1997) saluran komunikasi adalah media yang dilalui
pesan. Jarang sekali komunikasi berlangsung melalui hanya satu saluran; bisa dua,
tiga sampai empat saluran berbeda secara simultan.
Dalam hal ini, media dan saluran merupakan alat yang digunakan oleh
sumber untuk menyampaikan pesan sehingga dapat sampai ke penerima, maupun
yang digunakan penerima untuk mengirimkan feedback kembali ke sumber.
92
Universitas Kristen Petra
Dalam penelitian ini, media dan saluran yang dipakai antara lain, form, SMS,
telepon, suara, dan surat.
Media form dan telepon muncul pada saat proses SBM dimana
sesungguhnya media primer yang digunakan adalah form. Namun pada
kenyataannya media sms dan telepon dirasa lebih praktis karena kecepatan dan
kemudahannya dalam menyampaikan pesan. Namun media form juga tidak
ditinggalkan karena digunakan sebagai bukti otentik hsail SBM. Sedangkan media
suara muncul di semua proses, baik itu SBM, MMD, maupun penyebaran
informasi ke masyarakat. Media ini merupakan media utama yang digunakan
dalam penyampaian pesan karena masih terbatasnya saluran lain yang dapat
digunakan di desa-desa di Kabupaten Trenggalek. Sedangkan media surat
ditemukan dalam proses MMD dan sebagian kecil dalam proses penyebaran
informasi ke masyarakat. Dalam proses MMD pun fungsi media ini tidak terlalu
signifikan, hanya sebagai undangan untuk menghadiri MMD. Sedangkan dalam
penyebaran informasi ke masyarakat seharusnya media ini bisa menjadi emdia
penunjang yang cukup efektif dalam menjelaskan hasil MMD dan himbauan yang
harus dilaksanakan oleh masyarakat. Namun sayangnya media surat masih jarang
digunakan dalam penyebaran hasil MMD.
4.3.1.5. Hambatan Komunikasi
Menurut Effendy (2009), hambatan komunikasi adalah gangguan tak
terencana yang terjadi dalam proses komunikasi sebagi akibat diterimanya pesan
lain oleh komunikan yang berbeda dengan pesan yang disampaikan oleh
komunikator kepadanya.
Dalam proses komunikasi program Desa Siaga, ditemukan bahwa
hambatan komunikasi terjadi di setiap elemen proses komunikasi yang
menyebabkan proses komunikasi tersebut menjadi kabur atau tidak jelas. Ketidak
jelasan dalam proses komunikasi ini akhirnya berujung pada kegagalan
komunikasi yang menyebabkan efek yang diharapkan terjadi tidak dapat
93
Universitas Kristen Petra
terlaksana. Pembahasan mengenai hambatan komunikasi ini akan dijelaskan lebih
lanjut pada sub bab berikutnya.
4.3.1.6. Efek Komunikasi
Setelah berlangsungnya proses komunikasi, maka akan ada sebuah efek
yang terjadi dari komunikasi tersebut. Menurut Devito (1997) komunikasi selalu
mempunyai efek atau dampak atas salah satu atau lebih orang yang terlibat dalam
tindak komunikasi. Efek ini dapat berupa efek kognitif yaitu memperoleh
pengetahuan, afektif yaitu memperoleh sikap baru atau mengubah sikap, dan
psikomotorik yaitu memperoleh cara-cara atau gerakan baru.
Dalam penelitian ini efek didefinisikan sebagai dampak yang terjadi pada
seseorang atau sekelompok orang setelah terlibat dalam proses komunikasi. Efek
ini dapat berupa efek kognitif, dimana seseorang menjadi tahu tentang sesuatu,
efek afektif dimana seseorang dapat menjadi suka atau tidak suka terhadap sesuatu,
maupun efek konatif dimana seseorang dapat melakukan tindakan tertentu. Disini
efek yang diharapkan terjadi pada masyarakat Kabupaten Trenggalek
sesungguhnya bertahap mulai dari kognitif, yaitu mengetahui adanya masalah
kesehatan dan cara mengatasi atau mencegahnya. Kemudian dilanjutkan dengan
efek afektif dimana masyarakat mulai menyukai atau membiasakan diri dengan
pola hidup sehat. Setelah itu diakhiri dengan efek konatif dimana masyarakat
akhirnya menjalankan pola hidup sehat sebagai suatu kebiasaan rutin yang tidak
dipaksakan lagi.
Dalam proses komunikasi Desa Siaga, ada cukup banyak hambatan yang
menyebabkan efek yang diharapkan tidak dapat terjadi dengan baik dan bahkan
ada beberapa efek yang bertentangan dengan tujuan awal pelaksanaan komunikasi
dalam program Desa Siaga. Jika hambatan-hambatan dalam proses ini belum
dapat diminimalisir, maka efek yang diharapkan dari komunikasi Desa Siaga akan
sulit untuk terwujud.
94
Universitas Kristen Petra
4.3.2. Konteks Komunikasi Dalam Implementasi Desa Siaga
Program Desa Siaga merupakan sebuah program yang dicanangkan oleh
Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek, yang diserahkan kepada Puskesmas yang
membawahi beberapa desa untuk dilaksanakan oleh masyarakat di masing-masing
desa dengan arahan dari bidan desa masing-masing. Maka dari itu, individu-
individu yang terlibat dalam program Desa Siaga melakukan pola komunikasi
yang terdapat dalam komunikasi organisasi, secara spesifik komunikasi organisasi
dalam organisasi kesehatan. Meskipun demikian, dalam komunikasi organisasi ini
juga terjadi baik komunikasi interpersonal maupun komunikasi kelompok.
Menurut Thompson (2003) ada tiga konsep pola komunikasi dalam
komunikasi organisasi yang terjadi dalam organisasi kesehatan. Ketiga konsep
tersebut adalah pandangan sektoral komunitas, mitos rasional, dan proses
Isomorphic. Konsep yang nampak dalam proses komunikasi di implemetasi
program Desa Siaga adalah konsep pandangan sektoral komunitas. Dalam konsep
ini, pengambilan keputusan dan penyampaian informasi bersifat hierarkis dari atas
ke bawah, dengan tingkat kewenangan pengambilan keputusan yang berbeda-beda.
Hal ini nampak dalam proses komunikasi program Desa Siaga dimana ada hal-hal
yang hanya dapat diputuskan dan disampaikan secara resmi oleh Dinas Kesehatan
selaku pemegang posisi tertinggi dalam organisasi ini. Hal-hal tersebut antara lain
keputusan pemberian dana serta jumlahnya, pemilihan perangkat kesehatan seperti
bidan dan kepala puskesmas, dan pengambilan keputusan atas status suatu desa.
Setelah itu, keputusan dan penyampaian informasi mulai dapat diambil di tingkat
puskesmas, dimana keputusan-keputusan dan informasi seperti cara melaporkan
hasil SBM, cara membuat laporan hasil SBM dan MMD, dan keputusan
peninjauan lapangan dapat dilakukan oleh puskesmas sendiri tanpa harus melalui
Dinas Kesehatan. Kemudian di tingkatan masyarakat desa dapat mengambil
keputusan-keputusan dan langsung menyebarkan informasi yang bersifat praktis
seperti kapan MMD akan dilaksanakan, alokasi dana Desa Siaga yang dimiliki
desa, serta kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh warga desa.
Dalam proses komunikasi organisasi tersebut juga terdapat komunikasi
kelompok yang nampak jelas dalam proses Musyawarah Masyarakat Desa
95
Universitas Kristen Petra
(MMD). Selain itu juga terdapat berbagai rangkaian komunikasi interpersonal
yang terjadi dalam setiap lapisan komunikasi organisasi tersebut.
4.3.3. Hambatan Komunikasi dalam Implementasi Program Desa Siaga
Menurut Effendy (2009), hambatan komunikasi adalah gangguan tak
terencana yang terjadi dalam proses komunikasi sebagi akibat diterimanya pesan
lain oleh komunikan yang berbeda dengan pesan yang disampaikan oleh
komunikator kepadanya.
Dalam proses komunikasi yang terjadi di dalam implementasi program
Desa Siaga terdapat banyak sekali hambatan, dimana hambatan-hambatan tersebut
terdapat dalam seluruh elemen yang ada dalam proses komunikasi. Terjadinya
hambatan komunikasi dalam proses komunikasi memang adalah suatu hal yang
tidak diinginkan oleh siapapun dan tidak dapat dihindari pula oleh siapapun.
Memang terdapat beberapa hambatan yang tidak dapat atau sangat sulit untuk
diatasi, namun ada juga beberapa hambatan yang dapat diatasi dengan sedikit
usaha lebih dari para pelaku proses komunikasi. Jika hambatan tersebut dapat
dihilangkan atau diminimalisir akan sangat membantu jalannya program Desa
Siaga di Trenggalek, sehingga akan bermuara pada kesejahteraan masyarakat.
Berikut adalah hambatan yang terjadi dari masing-masing elemen.
4.3.3.1. Hambatan Komunikasi pada Lingkungan Komunikasi
Hambatan dalam lingkungan komunikasi ini dibagi kedalam tiga
dimensi, yaitu fisik, sosio-psikologis, dan temporal. Dimensi fisik adalah dimensi
yang nyata dan dapat terlihat secara kasat mata seperti tempat atau ruangan yang
digunakan. Dimensi hubungan adalah perwujudan dari hubungan para pelaku
dalam proses komunikasi, misalnya kedudukan atau status sosial antara para
pelaku, budaya yang dianut oleh masyarakat, dan kedekatan antara pelaku.
Sedangkan dimensi yang terakhir, dimensi temporal adalah waktu yang
dipergunakan dan mempengaruhi proses komunikasi.
96
Universitas Kristen Petra
- Hambatan Fisik
Menurut Fajar (2009) hambatan fisik akan menghambat efektifitas
komunikasi, contohnya adalah gangguan kesehatan dan terputusnya
jaringan listrik yang menunjang media komunikasi.
Hambatan fisik dalam proses SBM adalah jarak. Karena jarak
dalam satu desa cukup luas, maka diperlukan usaha yang cukup keras
untuk dapat mengetahui apakah ada warga yang terkena penyakit. Jika
jarak antara rumah kader dengan penderita cukup jauh, maka informasi itu
akan lama sampai atau kadang terlewatkan. Demikian pula karena jarak
yang cukup jauh antara beberapa desa dengan puskesmas, kader juga tidak
dapat memberikan hasil SBM ke puskesmas.
Dalam proses MMD, hambatan fisik jauh lebih terlihat dan sangat
mengganggu jalannya MMD. Hambatan fisik yang pertama adalah kondisi
gedung yang digunakan untuk MMD. Kondisi balai desa yang selalu
bising karena dilewati kendaraan bermotor, terdapat hewan peliharaan
tetangga, maupun ada aktiftas warga sekitar lainnya membuat proses
MMD terganggu. Peserta maupun pembicara tidak dapat saling
mendengarkan dengan jelas sehingga banyak sekali pesan yang tidak
tertangkap. Hambatan kedua adalah penyusunan ruangan yang
menyebabkan peserta tidak dapat mendengarkan dengan jelas apa yang
sedang didiskusikan maupun tidak dapat berkonsentrasi pada jalannya
proses MMD. Masalah ketiga adalah buruknya kualitas fasilitas yang
tersedia dalam MMD. Sound system yang ada sudah cukup tua dan
kualitas suaranya buruk, sehingga tidak dapat digunakan untuk
menyampaikan pesan dengan jelas.
Sedangkan dalam proses penyebaran informasi ke masyarakat,
hambatan fisik yang terjadi sama dengan SBM yaitu jarak. Karena jarak
ini menyebabkan penyebaran informasi hanya dapat dilakukan dari mulut
ke mulut sehingga tidak semua pesan dapat tersampaikan atau banyak
pesan yang sudah terdistorsi.
97
Universitas Kristen Petra
- Hambatan Temporal atau Waktu
Menurut Ivy dan Beebe (2009) seseorang membutuhkan waktu
yang tepat untuk berkomunikasi. Jika suasana hatinya sedang buruk, dia
baru saja mengalami masalah atau sedang menghadapi hal sulit, dia akan
cenderung sulit menerima informasi.
Hambatan temporal yang terjadi dalam proses komunikasi Desa
Siaga tidak hanya waktu yang tidak tepat, namun juga ketidak tersediaan
atau kurangnya waktu, kurangnya frekuensi pelaksanaan proses
komunikasi, serta keterlambatan. Dalam SBM, hambatan temporal terjadi
pada keterlambatan pengumpulan form SBM. Keterlambatan ini
menyebabkan hasil rekap SBM seringkali salah dan harus dicek ulang.
Selain keterlambatan, hal yang terjadi juga adalah kurangnya waktu dari
Tedes yang seharusnya menangani SBM dikarenakan kesibukan masing-
masing pribadi. Hal ini menyebabkan proses survei menjadi tidak efektif
karena sistem yang digunakan adalah menunggu laporan datang, bukan
mencari tahu ada atau tidaknya orang yang terkena penyakit atau masalah
kesehatan.
Hambatan yang muncul pada proses MMD yaitu keterbatasan
waktu. Hal ini menyebabkan masyarakat mulai resah dan tidak
berkonsentrasi ketika waktu untuk MMD sudah hampir habis, atau MMD
berlangsung dalam waktu yang agak panjang. Karena waktu yang terbatas
pula, hasil MMD seringkali diambil secara langsung tanpa didalami lebih
lanjut. Selain keterbatasan waktu, frekuensi pelaksanaan MMD juga
merupakan sebuah hambatan. Seharusnya untuk memperoleh hasil yang
baik, MMD harus diulang setiap minimal tiga bulan sekali. Namun
nyatanya proses MMD baru dilaksanakan satu kali dalam satu tahun. Hal
ini menyebabkan ada banyak hal yang tidak dapat dibahas oleh masyarakat
dan tindakan yang dilakukan oleh masyarakat juga menjadi tidak
berkesinambungan.
Dalam proses penyebaran ke masyarakat, hambatan yang
ditemukan antara lain kurangnya waktu untuk memotivasi atau
98
Universitas Kristen Petra
memberikan penjelasan mengenai hasil MMD dan kurangnya waktu yang
dirasa tepat untuk membicarakan masalah tersebut. Seringkali bidan dan
kader kurang memiliki waktu untuk berinteraksi dengan masyarakat
sehingga penyebaran informasi lebih banyak dibiarkan berlangsung dari
mulut ke mulut oleh warga. Padahal informasi yang mnyebar seperti ini
cenderung rawan terhadap distorsi informasi dan akhirnya efek yang
diharapkan tidak tercapai. Demikian pula, para bidan dan kader juga
kesulitan menemukan waktu yang tepat untuk membicarakan masalah-
masalah Desa Siaga dengan warga. Mereka umumnya menanti datangnya
waktu yang kebetulan tepat untuk membicarakan hal-hal mengenai Desa
Siaga, padahal sesungguhnya waktu ini harus diciptakan atau dicari bukan
ditunggu.
- Hambatan Budaya
Menurut Rini dan Yuliana (2002) pada kenyataannya, hambatan
komunikasi yang paling sulit diatasi adalah perbedaan budaya. Perbedaan
ini bukan hanya jika kita berasal dari dua negara dengan dua kebudayaan
berbeda, namun bisa juga jika usia, edukasi, status sosial, posisi ekonomi,
agama, atau pengalaman hidup kita berbeda.
Dalam penelitian ini, hambatan budaya juga sangat kental terasa
dan sangat mempengaruhi jalannya proses komunikasi. Hambatan budaya
yang terjadi disini secara umum adalah hambatan budaya yang berkonteks
tinggi dan secara khusus hambatan dalam budaya Jawa. Berikut adalah
penjelasannya.
- Hambatan Budaya Berkonteks Tinggi
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hofstede (2005), Indonesia
secara umum dikelompokkan dalam masyarakat yang memiliki budaya
berkonteks tinggi. Secara spesifik penelitian ini dilakukan di Pulan Jawa,
sehingga masyarakat Jawa juga merupakan masyarakat yang memiliki
konteks tinggi dalam kehidupan sehari-harinya.
99
Universitas Kristen Petra
Menurut Bovee dan Thill (2000), konteks budaya adalah pola
rangsangan fisik dan pengertian secara implisit yang memberikan makna
bagi dua orang dari negara yang sama. Negara yang masyarakatnya
menganut budaya dengan konteks tinggi memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
- Masyarakat tidak terlalu mementingkan komunikasi verbal, tapi lebih
kepada aksi non verbal dan latar lingkungan untuk memberikan makna
pada suatu komunikasi.
- Budaya berkonteks tinggi tidak terlalu mementingkan perjanjian tertulis,
namun lebih menekankan pada kepercayaan personal daripada kontrak.
- Masyarakat dengan konteks tinggi cenderung menggunakan kalimat
yang memiliki makna konotatif atau tidak langsung pada sasaran.
Mereka mengharapkan lawan bicaranya dapat menebak apa yang ingin
mereka sampaikan tanpa mereka harus mengatakan langsung hal itu
secara gamblang.
- Peraturan sehari-hari tidak terlalu ditegakkan dalam masyarakat dengan
budaya berkonteks tinggi.
- Masyarakat tidak memiliki peraturan yang jelas mengenai bagaimana
harus bersikap terhadap orang lain. Seseorang harus mempelajari sendiri
bagaimana mengenali petunjuk-petunjuk situasional dan bagaimana
meresponsnya sesuai apa yang diharapkan.
Dalam proses komunikasi Desa Siaga, terjadi hambatan budaya
berkonteks tinggi sebagai berikut :
- Masyarakat Trenggalek tidak terlalu mementingkan perjanjian tertulis
dan lebih menekankan pada kepercayaan personal. Hal ini nampak pada
hasil laporan SBM yang dapat disampaikan melalui SMS dan telepon
sedangkan form SBM sediri seringkali tidak digunakan dengan benar.
Metode penelitian yang digunakan untuk menyurvei pun tidak terlalu
diperhatikan keotentikannya, sehingga ketika ada seseorang yang
melapor, maka laporan itu dipercaya begitu saja. Sesekali saja jika ada
laporan yang aneh baru penanggung jawab SBM turun ke lapangan
100
Universitas Kristen Petra
untuk memeriksa. Hal ini dapat menyebabkan kesalahn informasi yang
berakibat pada kacaunya hasil SBM.
- Masyarakat Trenggalek cenderung menunggu agar warga lainnya
mengerti sendiri tanpa mau menyampaikan secara langsung maksudnya
karena hal ini akan membuat hubungan yang buruk antara kedua belah
pihak. Misalnya dalam proses SBM, pihak puskesmas tidak mau
menyampaikan keberatan pada Tedes yang tidak menjalankan SBM,
mereka hanya berharap Tedes akhirnya menyadari sendiri tanggung
jawabnya tanpa mereka harus menyatakan hal tersebut secara gamblang.
- Peraturan tidak terlalu ditegakkan. Hal ini nampak dari adanya
penolakan hasil MMD tanpa adanya kejelasan bagaimana cara untuk
mengatasinya padahal menurut perjanjian hasil tersebut harus ditaati dan
dilaksanakan. Namun juga tidak ada cara yang dapat digunakan untuk
menegakkan hal ini karena dikhawatirkan akan merusak hubungan.
- Hambatan Budaya Jawa
Mulder (1996) dalam bukunya Inside Indonesian Society
menjabarkan karakteristik budaya masyarakat Jawa. Berikut adalah
karateristiknya.
Ketentraman vs Ketidak tentraman
Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang mementingkan
ketentraman dan kesatuan. Yang dimaksud dengan kesatuan dan
ketentraman disini adalah suasana damai, ketenangan yang
berkepanjangan, dan kehidupan yang bermoral, yang jauh dari konflik
terbuka atau kepentingan individu.
Masyarakat Jawa menganggap bijak segala usaha untuk menjaga
kesatuan dan kelangsungan hubungan, walalupun sesungguhnya ada
gesekan-gesekan yang tidak mungkin dihindari. Hal ini akhirnya
membentuk sebuah situasi dimana terjadi guncangan dibawah
permukaan yang terlihat tenang.
101
Universitas Kristen Petra
Pemikiran ilmiah vs Pemikiran Moralis
Dalam masyarakat Jawa, pikirannya masih banyak dipengaruhi
oleh hal-hal mitologis, individu masih didominasi oleh kelompok, dan
masyarakat didominasi oleh peraturan yang berlaku. Maka dari itu,
masyarakat cenderung tunduk pada superioritas atau kedudukan yang
lebih tinggi. Masyarakat cenderung tidak dapat mengekspresikan
pemikiran mereka secara ilmiah karena masih terikat dengan pemikiran
moralis, dimana hal-hal yang dianggap oleh masyarakat luas benar
adalah benar. Selain itu apa yang dikatakan oleh orang yeng lebih
superior juga dianggap benar adanya.
Etika
Menjadi satu dalam konsep persatuan berarti tatanan yang baik,
hubungan yang mulus, ketiadaan gangguan, yang berarti harmoni dan
kesama-rataan, sebuah situasi statis yang tenang dan menyenangkan.
Sebuah komunitas masyarakat yang mengalami hal ini akan dianggap
berhasil. Namun situasi sebaliknya dimana perpecahan, yaitu konflik dan
persaingan, oposisi dan ketidak teraturan adalah kegagalan, hal yang
buruk, dan tidak diberkahi.
Maka dari itu, masyarakat tidak dapat berbicara secara gamblang
karena akan dianggap kasar yang dapat memicu konflik yang akhirnya
berujung pada perpecahan. Maka dari itu banyak ketidak setujuan yang
dipendam dan diabaikan daripada terjadi konflik dalam suatu hubungan
yang baik.
Hambatan budaya Jawa sangat kental terjadi dalam implementasi
program Desa Siaga di Trenggalek. Masyarakat Trenggalek masih
menganut budaya Jawa yang kental, sehingga mereka tidak menyukai
konfrontasi secara langsung dan sangat mementingkan pangkat,
kedudukan, dan status sosial. Selain itu dalam budaya tersebut juga
menekankan pada keharmonisan, dimana rasa tidak enak hati menjadi
sangat besar dan sebisa mungkin tidak saling menekan satu sama lain. Hal
102
Universitas Kristen Petra
ini dapat terlihat dalam setiap proses mulai dari SBM sampai penyebaran
ke masyarakat. Pihak puskesmas tidak pernah mau mengkonfrontasi Tedes
yang tidak memberikan hasil SBM kepada mereka. Hal ini dikarenakan
rasa tidak enak hati terhadap anggota Tedes yang sebagian besar
merupakan perangkat desa. Dalam proses MMD juga terlihat yang
mendominasi pembicaraan adalah dari golongan orang-orang yang
memiliki kedudukan atau tokoh yang dihormati oleh masyarakat.
Demikian pula pada saat penyebaran informasi ke masyarakat, ketika
masyarakat tidak bersedia menjalankan hasil MMD yang telah disepakati
bersama, pihak puskesmas juga tidak mau mengkonfrontasi warga demi
menjaga keharmonisan.
4.3.3.2. Hambatan Komunikasi pada Sumber-Penerima
Menurut Fajar (2009) hambatan dari pengirim pesan, misalnya pesan
yang akan disampaikan belum jelas bagi dirinya. Hal ini dipengaruhi oleh
perasaan atau situasi emosional sehingga mempengaruhi motivasi, yaitu
mendorong seseorang untuk bertindak sesuai dengan keinginan, kebutuhan, atau
kepentingan. Sedangkan hambatan dari penerima pesan, misalnya kurangnya
perhatian, sikap prasangka tanggapan yang keliru dan tidak mencari informasi
lebih lanjut.
Hambatan komunikasi pada sumber-penerima sangat banyak mewarnai
proses komunikasi dalam implementasi Desa Siaga. Hambatan ini juga
menyebabkan banyak efek yang tidak diharapkan terjadi dalam proses
implementasi Desa Siaga. Berikut adalah penjelasannya.
- Hambatan Kompetensi Sumber-Penerima
Kompetensi antara sumber-penerima dapat menjadi hambatan yang
sangat menganggu dalam proses komunikasi. Hal ini terlihat berkali-kali
baik dalam SBM, MMD, maupun penyebaran ke masyarakat. Dalam
proses SBM kompetensi dinas kesehatan lebih tinggi dari masyarakat,
sehingga question list form SBM yang diberikan ke masyarakat tidak
103
Universitas Kristen Petra
dapat ditangkap sepenuhnya oleh masyarakat. Dalam form tersebut
terdapat nama-nama penyakit yang dapat dipilih oleh masyarakat, padahal
masyarakat kebanyakan tidak mengerti soal penyakit sehingga sering
terjadi kesalahan dalam pengisian form SBM. Selain itu, kompetensi
masyarakat mengenai riset juga kurang, sehingga mereka masih tidak
menyadari apa pentingnya dilaksanakan SBM.
Dalam proses MMD, perbedaan kompetensi juga menjadi masalah.
Pembicara SBM seringkali menggunakan istilah-istilah kesehatan yang
tidak dimengerti oleh masyarakat sehingga masyarakat menganggap itu
adalah informasi sambil lalu. Demikian pula kompetensi pembicara dalam
mengarahkan peserta agar tidak bosan dan dapat berkonsetrasi pada proses
SBM juga kurang. Sehingga SBM berjalan berbelit-belit dan hasilnya
tidak cukup memuaskan.
Dalam penyebaran ke masyarakat juga kompetensi dari masyarakat
masih kurang. Karena penyampaian dilakukan dari mulut ke mulut,
sedangkan kompetensi masyarakat mengenai dunia kesehatan masih
minim, maka distorsi informasi banyak terjadi. Masyarakat akhirnya tidak
mengerti mengapa suatu keputusan diambil dan apa manfaatnya bagi
mereka sehingga mereka tidak mau melaksanakan hasil keputusan yang
mereka anggap sulit.
- Hambatan Persepsi Sumber-Penerima
Menurut Rini dan Yuliana (2002) meskipun dua orang mengalami
satu kejadian yang sama, gambaran mental mereka mengenai kejadian itu
tidak akan sama. Hal ini terjadi karena setiap orang memiliki persepsi
yang unik. Sebagai sumber, kita memilih detil yang kelihatan penting
untuk diri kita. Sedangkan sebagai penerima, kita mencoba menyesuaikan
detil-detil itu ke pola yang sudah kita miliki. Jika detil-detil itu tidak cukup
sesuai, kita akan cenderung untuk menolak suatu informasi daripada
mengubah pola yang sudah ada dalam diri kita.
104
Universitas Kristen Petra
Hal ini pun terjadi pada proses komunikasi Desa Siaga. Baik pihak
Dinas Kesehatan maupun masyarakat sudah memiliki persepsi sendiri
mengenai pihak yang lainnya. Persepsi ini terbentuk dari budaya yang
dianut masyarakat Trenggalek, dan fatalnya ada beberapa persepsi yang
menjadi prasangka sehingga mempengaruhi proses komunikasi. Dalam
proses SBM, ada persepsi dari pihak puskesmas bahwa anggota Tedes
banyak yang sibuk dan jika tidak bisa melaksanakan SBM maka hal
tersebut tidak dapat dipaksakan. Maka dari itu para kader yang dianggap
lebih memiliki banyak waktu luang yang dimintai tolong untuk aktif dalam
SBM. Selain itu jika kader tidak memberikan laporan atau telat
memberikannya, pihak puskesmas juga tidak enak hati untuk menegur
karena ada persepsi bahwa kader tidak diberi apa-apa ketika melakukan
SBM, sehingga timbul prasangka bahwa para kader akan marah jika
ditagih form SBM nya dan malah tidak bersedia lagi melakukan SBM.
Dalam proses MMD ini, persepsi dan prasangka menjadi salah satu
hal yang sangat menghambat. Karena ada persepsi bahwa yang lebih baik
berbicara adalah orang yang dengan pangkat lebih tinggi, maka proses
MMD didominasi oleh orang-orang tertentu yang kedudukan atau
statusnya lebih tinggi. Sedangkan peserta lainnya lebih memilih diam dan
mengikuti arus saja tanpa banyak mengeluarkan pendapat. Selain itu
karena ada persepsi bahwa jika diundang oleh oknum pemerintahan, pasti
akan ada tunjangan dan konsumsi bagi peserta, maka motivasi peserta jadi
agak bergeser. Hal ini menyebabkan prasangka dan ketakutan tersendiri
bagi pihak penyelenggara MMD. Jika tidak menyediakan konsumsi dan
memberikan tunjangan untuk transportasi maka takut warga tidak mau lagi
datang jika diundang di acara-acara lainnya. Padahal uang yang
seharusnya dimanfaatkan sampai tiga kali MMD hanya cukup untuk
melaksanakan satu kali MMD saja.
105
Universitas Kristen Petra
4.3.3.3. Hambatan Komunikasi pada Pesan – Feedback
Menurut Fajar (2009) Hambatan dalam memberikan umpan balik yaitu
umpan balik yang diberikan tidak menggambarkan apa adanya akan tetapi
memberikan interpretatif, tidak tepat waktu, tidak jelas dan sebagainya. Berikut
adalah hambatan dalam pesan dan umpan balik dalam proses komunikasi Desa
Siaga.
- Distorsi Pesan
Hambatan yang terjadi pada pesan dan feedback yaitu distorsi.
Disini pesan dari sumber tidak dapat diterima oleh penerima secara utuh.
Penerima hanya menerima sebagian pesan saja sehingga mereka tidak
mengerti apa isi dan maksud pesan yang sesungguhnya. Akhirnya karena
pesan tidak dapat ditangkap seutuhnya, feedback yang diberikan juga
menjadi salah dan belum lagi feedback tersebut juga terdistorsi lagi. Proses
distorsi ini sudah terjadi sejak SBM sampai ke penyebaran informasi ke
masyarakat. Dalam proses SBM, hasil SBM seringkali terlewat untuk
dicatat karena pengumpulan form yang terlambat. Akhirnya hasil SBM
dari masyarakat menjadi terdistorsi. Kemudian berlanjut pada proses
MMD, dimana selain karena hasil SBM sering tidak digunakan sehingga
agenda awal saja sudah terdistorsi, waktu berlangsungnya MMD juga
banyak hambatan fisik sehingga pesan dan feedback yang dilontarkan
terdistorsi lagi.
Dalam penyebaran di masyarakat proses distorsi lebih banyak lagi
terjadi. Karena pesan dan feedback menyebar dari mulut ke mulut, maka
pesan tersebut sudah tidak utuh lagi dan banyak modifikasi sesuai dengan
keinginan penyampai pesan. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat
yang akhirnya tidak menangkap pesan tersebut dan memberikan feedback
yang salah.
106
Universitas Kristen Petra
- Hambatan Semantik
Selain distorsi, hambatan lain yang terjadi pada pesan dan feednack
adalah hambatan semantik atau hambatan pada penggunaan simbol pada
pesan. Menurut Fajar (2009) hambatan semantik antara lain kata-kata yang
digunakan dalam komunikasi kadang berbelit-belit, mempunyai arti yang
berbeda antara komunikan dan komunikator, dan bahasa yang digunakan
berbeda. Hambatan pada penggunaan simbol pesan antara lain terjadi
karena bahasa yang dipergunakan tidak jelas sehingga mempunyai arti
lebih dari satu, simbol yang digunakan antara si pengirim dan si penerima
tidak sama atau bahasa yang dipergunakan terlalu sulit.
Simbol yang dimaksud adalah bahasa yang digunakan oleh
sumber-penerima. Dalam proses komunikasi Desa Siaga terutama SBM
dan MMD, sering digunakan istilah atau bahasa kesehatan. Padahal istilah-
istilah seperti ini sulit dimengerti oleh masyarakat awam. Namun untuk
menemukan padanan kata dari istilah kesehatan juga cukup sulit, maka
dari itu oknum dinas kesehatan juga kesulitan untuk tidak menggunakan
istilah-istilah tersebut sama sekali. Hal ini menyebabkan miskomunikasi
saat melakukan proses SBM maupun MMD.
4.3.3.4. Hambatan Komunikasi pada Media dan Saluran
Menurut Fajar (2009) hambatan media adalah hambatan yang terjadi
dalam penggunaan media komunikasi. Hambatan pada media dan saluran
komunikasi juga terjadi dalam proses komunikasi Desa Siaga. Hambatan ini
adalah pemilihan media dan saluran yang salah atau kurang efektif dan tidak
adanya saluran dan media yang tepat untuk menyampaikan pesan. Pemiilihan
media dan saluran yang salah terjadi mulai dari proses SBM. Disini media form
yang digunakan oleh dinas kesehatan kurang efektif karena form tersebut harus
dikirimkan ke puskesmas, padahal kader merasa kesulitan untuk mengantar form
tersebut. Hal ini menyebabkan pesan jadi tidak sampai karena terhambat di
medianya. Hal ini sedikit banyak bisa diatasi dengan media SMS atau telepon.
107
Universitas Kristen Petra
Namun karena tidak adanya dana penunjang untuk pulsa, maka hal ini juga agak
sulit dilaksanakan.
Dalam proses MMD juga terjadi kesalahan dalam penggunaan media.
Media yang dipakai hanya media auditori atau pendengaran saja, dimana semua
informasi diberikan secara lisan. Padahal ada informas-informasi yang cukup sulit
untuk ditangkap hanya dengan media auditori, misalnya penyebutan angka dan
istilah kedokteran. Hal ini akan jauh lebih baik jika ada media visual untuk
membantu jalannya penyampaian informasi. Di balai desa sesungguhnya ada
papan tulis yang bisa digunakan, namun papan ini belum digunakan pada saat
MMD.
Dalam penyebaran di masyarakat media yang digunakan pun hanya
media lisan, penyebaran dari mulut ke mulut. Padahal melalui cara ini informasi
banyak yang terdistorsi, sehingga masyarakat tidak mendapatkan suatu pesan
secara utuh. Namun media penunjang seperti papan pengumuman masih belum
memadai. Padahal media ini dapat digunakan untuk menunjang penyebaran
informasi ke masyarakat luas, sehingga masyarakat bisa mendapatkan pesan
secara lebih lengkap. Jadi informasi dari mulut ke mulut hanya digunakan untuk
pemberitahuan, namun untuk penjelasan dapat dilihat di media papan.
4.3.3.6. Hambatan Pada Pelaksanaan Hasil MMD
Dalam melaksanakan hasil MMD, dapat disimpulkan bahwa keputusan
yang bersifat kolektif seperti bersih-bersih desa akan lebih mudah untuk diterima
oleh masyarakat daripada keputusan yang sifatnya personal seperti membuat
jamban di rumah masing-masing. Hal ini terjadi karena pada keputusan yang
bersifat kolektif dorongan dari masyarakat sekitar, kebudayaan Jawa yang juga
bersifat kolektif, dan rasa gotong royong dalam masyarakat Kabupaten
Trenggalek masih besar. Untuk hal-hal kolektif, jika ada satu orang yang tidak
bersedia melaksanakan padahal yang lainnya bersedia maka akan ada cibiran dari
masyarakat sekitar. Maka dari itu ketidak setujuan dari satu atau dua orang
umumnya akan hanya berakhir pada selentingan dan tidak berlanjut. Maka dari itu
108
Universitas Kristen Petra
untuk keputusan-keputusan kolektif, tidak perlu terlalu dikhawatirkan akan
terjadinya hambatan yang berarti.
Namun hal yang sebaliknya terjadi jika hasil keputusan bersifat personal.
Masyarakat yang tidak setuju umumnya lebih berani menyatakan ketidak
setujuannya karena merasa itu tidak akan mengganggu orang lain. Akhirnya
gelombang ketidak setujuan muncul secara kolektif meskipun berasal dari masing-
masing personal. Karena melihat adanya gelombang ketidaksetujuan ini maka
personal yang merasa tidak setuju tersebut semakin merasa dikukuhkan. Hal inilah
yang menyebabkan hambatan dalam pelaksanaan hasil MMD.
109
Universitas Kristen Petra
4.3.3.6 Model Hambatan Komunikasi
Gambar 4.12. Model Hambatan Komunikasi dalam Implementasi Desa Siaga
110
Universitas Kristen Petra
Model hambatan komunikasi diatas menjelaskan bahwa setiap proses
dalam implementasi Desa Siaga mengalami hambatan komunikasi yang
menyebabkan kegagalan dalam mencapai efek komunikasi yang diinginkan.
Berikut adalah penjelasan per prosesnya.
- Hambatan dalam Surveilans Berbasis Masyarakat
Dalam proses Surveilans Berbasis Masyarakat atau yang lebih
sering disebut dengan SBM ada beberapa hambatan komunikasi yang
terjadi. Berikut adalah hambatan-hambatannya.
Adanya persepsi bahwa SBM sudah berjalan lancar
Dalam proses SBM, peneliti menemukan bahwa
kebanyakan kader dan bidan yang menjalankan survei merasa tidak
ada masalah yang terlalu berarti dalam SBM. Jikalau pun ada,
mereka menganggap permasalahan tersebut datang dari sifat
beberapa orang tertentu yang memang tertutup. Sisanya, jika
masyarakat sudah mau melaporkan jika ada yang sakit maka SBM
sudah dapat dikatakan berhasil. Padahal yang terjadi tidaklah
demikian. SBM sampai saat ini tidak berjalan dengan lancar. Ada
berbagai masalah yang menghambat SBM untuk dapat berjalan
dengan baik.
Namun karena adanya persepsi bahwa proses SBM telah
berjalan dengan lancar maka akhirnya metode survei ini terus
menerus dijalankan tanpa adanya perubahan ke metode yang lebih
efektif. Selain itu hal lain yang berbahaya adalah hasil SBM ini
dianggap akurat sehingga bisa jadi berujung pada pengambilan
keputusan atau tindakan penanganan yang salah atau sia-sia di
berbagai desa.
Metode survei yang kurang tepat.
Metode survei yang digunakan dalam proses SBM adalah
menunggu laporan dari masyarakat jika ada yang sakit. Jadi
111
Universitas Kristen Petra
partisipasi aktif dari masyarakat sangat menentukan jalannya SBM
ini. Metode yang hanya menunggu laporan dari masyarakat ini
memiliki poin kelemahan yang cukup besar yaitu kedekatan dan
kepercayaan masyarakat terhadap penyurvei. Di desa seperti
Sumberdadi dimana bidan dan kadernya aktif dan sudah mengenal
masyarakat dengan dekat, metode ini dapat berjalan dengan lebih
baik walalupun tidak menjamin juga tidak ada kejadian yang
terlewatkan. Namun pada desa yang hubungan antara bidan-kader
dengan masyarakat kurang dekat seperti di Dawuhan dan
Surondakan, maka kemungkinan adanya laporan yang tidak
tersampaikan sangat besar.
Selain masalah kedekatan, masalah lain yang muncul
adalah keakuratan dari hasil survei. Karena survei hanya
berdasarkan laporan saja, maka ada kemungkinan bahwa hasil
laporan tersebut salah atau kurang tepat. Apalagi kebanyakan kader
dan bidan tidak memeriksa lagi laporan tersebut jika tidak
terdengar aneh. Misalnya saja bisa saja terjadi seorang anak yang
BAB cair karena memakan makanan yang cair pada hari yang
sebelumnya namun sesungguhnya tidak menderita diare,
dilaporkan terkena diare. Hal inilah yang tidak dapat diketahui
dengan metode survei seperti ini. Hal ini tentunya sangat
berbahaya karena SBM ini seharusnya dijadikan dasar untuk
mengambil tindakan yang perlu dilakukan oleh masyarakat untuk
menjaga kesehatan.
Tidak disampaikannya hasil SBM kepada masyarakat luas.
Masalah lain yang terjadi adalah hambatan komunikasi
dimana hasil SBM tidak disampaikan ke masyarakat. Hal ini terjadi
karena adanya persepsi dari pengelola hasil SBM bahwa tidak akan
ada yang bersedia mengurus penyebaran hasil SBM ini ke
masyarakat. Selain itu juga tidak ada media yang tepat dan
112
Universitas Kristen Petra
memadai untuk menyebarkan hasil SBM ini ke masing-masing
desa.
Dengan tidak disebarkannya SBM ini ke masyarakat, maka
masyarakat lama kelamaan tidak dapat merasakan manfaat dari
melakukan SBM. SBM bisa jadi dianggap penting hanya jika ada
kejadian luar biasa. Dikhawatirkan lama kelamaan keaktifan
masyarakat dalam melaksanakan SBM akan terus menurun. Selain
itu masyarakat yang tidak mengetahui hasil dari SBM dan tiba-tiba
mengikuti MMD akan cenderung banyak diam. Mereka tidak
benar-benar memahami proses SBM sehingga tidak dapat
memberikan masukan dalam MMD. Demikian juga berikutnya
ketika masyarakat luas tiba-tiba diberi himbauan tindakan dari
hasil MMD, mereka juga akan memberikan penolakan karena
masyarakat tidak merasakan pentingnya himbauan tersebut.
Kompetensi penyurvei dalam melaksanakan SBM kurang.
Kompetensi yang dimiliki oleh masing-masing penyurvei
cukup beragam, namun rata-rata kader yang menjalankan proses
survei ini adalah ibu rumah tangga yang tidak memiliki latar
belakang pendidikan kesehatan. Mereka memperoleh ilmu-ilmu
dasar kesehatan dari penyuluhan, sharing dengan orang-orang dari
dunia kesehatan, maupun belajar secara otodidak. Maka dari itu
kompetensi mereka dalam melakukan survei masih kurang.
Apalagi metode survei yang meminta masyarakat awam
untuk melaporkan jika mereka mengalami kejadian yang
berhubungan dengan kesehatan. Jika hal-hal tersebut kasat mata,
seperti mereka melihat bak terlantar yang bisa menjadi tempat
tumbuh jentik nyamuk, maka hal tersebut dapat dengan mudah
mereka pahami dan laporkan. Namun jika sudah mengenai sakit
penyakit dengan gejala-gejala tertentu, mereka kemungkinan besar
akan salah melaporkan.
113
Universitas Kristen Petra
Terlambatnya laporan SBM.
Keterlambatan pengumpulan form SBM cukup
mempengaruhi keseluruhan SBM itu sendiri. Keterlambatan
pengumpulan form SBM ini akan mempengaruhi keakuratan hasil
rekap laporan SBM karena sering terjadi pengelola hasil SBM
terlewat memasukkan hasil SBM yang terlambat tersebut.
Keterlambatan pengumpulan form ini sesungguhnya adalah
akibat dari adanya persepsi dari kader Desa Siaga bahwa laporan
SBM tidaklah terlalu penting jika tidak ada kasus luar biasa.
Padahal belum tentu gejala penyakit yang dianggap biasa-biasa
saja tidak akan menimbulkan wabah atau bahaya di kemudian hari.
Hal inilah yang akan menimbulkan bahaya di masa mendatang.
Tidak aktifnya Tedes (Tim Evaluasi Desa) sebagai Penyurvei.
Keaktifan Tedes yang seharusnya menjadi tim survei
merupakan salah satu kunci dari SBM yang efektif. Luas desa serta
jumlah penduduk yang tidak sedikit menyebabkan proses survei
tidak mungkin dilakukan hanya oleh satu atau dua orang. Namun
karena tim ini tidak aktif, maka survei kebanyakan hanya
dilakukan oleh kader dan bidan dengan meminta bantuan
masyarakat untuk melapor.
Ketidak aktifan Tedes ini dikarenakan beberapa hal, yaitu
kesibukan mereka dalam bidang pekerjaan utamanya, tidak adanya
sanksi atas kelalaian tim Tedes, dan adanya rasa tidak enak hati
untuk menegur Tedes yang merupakan pejabat struktural di desa
tersebut. Hambatn-hambatn ini yang menyebabkan Tedes tidak
efektif bekerja, disamping Tedes sendiri juga tidak merasakan
pentingnya pelaksanaan SBM.
Karena tidak aktifnya Tedes ini, maka hasil SBM juga
sudah dipastikan tidak akurat dan tidak dapat menjangkau
masyarakat secara keseluruhan. Maka dari itu, akan terjadi
114
Universitas Kristen Petra
kekeliruan hasil SBM yang dapat menyebabkan kesalahan persepsi
yang berujung pada kesalahan pengambilan keputusan.
Adanya masyarakat yang tidak melapor jika sakit.
Ada beberapa orang yang tidak mau melapor pada kader
maupun bidan jika terkena penyakit. Hal ini disebabkan oleh
beberapa hal. Yang pertama ketidak tahuan masyarakat mengenai
penyakit yang berbahaya atau tidak, sehingga ketika ada sanak
keluarganya yang mengalami sakit yang dianggapnya tidak parah
maka mereka tidak melaporkan. Kemudian yang kedua adalah
kurangnya kedekatan dengan kader maupun bidan yang
melaksanakan SBM. Jika masyarakat tidak terlalu mengenal bidan
maupun kader maka masyarakat cenderung enggan melapor jika
terkena penyakit.
Karena masyarakat tidak mau melapor, tentu saja proses
SBM pasti gagal. Proses SBM sampai saat ini masih mengandalkan
laporan dari masyarakat untuk mendapatkan data. Jika masyarakat
tidak mau melapor maka data yang didapat dari masyarakat pun
akan sangat kurang dan tidak dapat mencakup keseluruhan warga.
- Hambatan dalam Musyawarah Masyarakat Desa
Sama seperti proses SBM, proses Musyawarah Masyarakat Desa
atau MMD juga mengalami banyak hambatan dalam prosesnya. MMD ini
adalah salah satu proses penting untuk menentukan tindakan apa yang
diambil oleh masyarakat untuk mengatasi permasalahan kesehatan yang
ada di desanya. Maka dari itu keberhasilan dari proses ini juga sangat
penting dalam Desa Siaga. Berikut adalah hambatan-hambatan yang
terjadi, yang seharusnya diminimalisir.
115
Universitas Kristen Petra
Kurangnya frekuensi pelaksanaan MMD.
Frekuensi MMD normal adalah minimal tiga kali dalam
satu tahun atau jika dirata-rata adalah tiga bulan satu kali.
Frekuensi waktu ini ditentukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten
Trenggalek agar masyarakat dapat melakukan tindakan secara
sustainable untuk menjaga kesehatan di desanya, karena masalah
kesehatan bukanlah masalah yang dapat diselesaikan hanya dengan
satu kali tindakan lepas.
Selama ini, rata-rata desa di Trenggalek hanya
melaksanakan MMD satu kali dalam satu tahun. Hal ini
menyebabkan frekuensi pertemuan masyarakat untuk
membicarakan masalah kesehatan menjadi kurang. Akhirnya,
masyarakat desa juga hanya mengambil tindakan kesehatan secara
bersama-sama satu kali. Bahkan parahnya ada masyarakat yang
menolak hasil keputusan tersebut. Namun karena tidak ada
pembahasan lebih lanjut, maka penolakan ini juga tidak dapat
dibicarakan kembali.
Kurang aktifnya masyarakat umum dalam proses MMD karena
hambatan budaya dan kurangnya kompetensi.
Hambatan komunikasi yang sangat nampak selama proses
MMD adalah hambatan budaya dan kurangnya kompetensi.
Masyarakat awam yang mengikuti MMD umumnya jarang mau
mengemukakan pendapat dan hanya menjadi orang-orang yang
menyetujui pendapat dari pejabat struktural atau tokoh masyarakat.
Masyarakat Trenggalek masih terkendala budaya Jawa yang kental,
dimana dalam budaya ini konfrontasi secara terbuka kepada orang-
orang yang lebih tinggi jabatan atau status sosialnya dianggap tidak
pantas atau tidak sopan. Maka dari itu, masyarakat lebih memilih
diam dan setuju kepada pernyataan beberapa orang yang dominan
dan hanya berbisik-bisik jika tidak setuju tanpa pernah
116
Universitas Kristen Petra
mengungkapkannya. Hal ini akhirnya menyebabkan fenomena
dimana masyarakat melakukan gerkan gerilya dibawah, terutama
jika hasil MMD nya bersifat personal seperti pembuatan jamban.
Masyarakat tidak bersedia untuk menjalankan hasil MMD pada
saat pelaksanaan tanpa pernah membicarakan keberatan mereka ke
forum MMD sehingga keberatan-keberatan ini tidak pernah
dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan MMD.
Selain karena adanya hambatan dalam hal budaya,
hambatan lain yang menyebabkan masyarakat tidak banyak
berpartisipasi dalam MMD adalah kurangnya kompetensi dari
masyarakat dalam hal kesehatan. Pembicara dalam MMD
seringkali menggunakan istilah-istilah kesehatan yang tidak dapat
ditangkap dengan baik oleh peserta. Hal ini menyebabkan
masyarakat terkadang tidak mengerti arah pembicaraan sampai
tiba-tiba sudah diambil sebuah keputusan dan mereka hanya meng-
iya-kan keputusan tersebut. Hal ini juga masalah karena pada
penyebarannya nanti, jika para peserta juga tidak dapat
menjelaskan mengapa keputusan tersebut diambil. Hal ini akan
menimbulkan hambatn lain nantinya pada saat penyebaran
informasi.
Sarana dan prasana yang kurang mendukung.
Salah satu hambatan yang paling kasat mata dalam proses
MMD adalah hambatan fisik dimana sarana dan prasarana yang
ada untuk pelaksanaan MMD masih kurang memadai. Yang paling
parah adalah kondisi gedung tempat pertemuan yang tidak kedap
suara. Hal ini menyebabkan berulangkali suara dari pembicara
maupun peserta yang berbicara tidak terdengar karena adanya
bunyi kendaraan bermotor yng sangat keras. Selain itu bunyi
hewan peliharaan dan pembetulan rumah juga cukup menganggu
117
Universitas Kristen Petra
konsentrasi. Belum lagi gedung tersebut juga terbuka sehingga bau
dari sekitar juga dapat masuk dan mengganggu konsentrasi.
Selain masalah gedung, sarana yang ada juga kurang baik.
Pengeras suara yang ada kondisinya tidak terlalu baik, papan tulis
yang tersedia juga tidak dipergunakan dengan baik. Tidak ada juga
media visual lain yang dapat menunjang jalannya MMD. Hal ini
menyebabkan proses MMD menjadi terganggu.
Adanya persepsi yang menimbulkan motivasi yang melenceng
dalam pelaksanaan MMD
Di dalam masyarakat Trenggalek terdapat persepsi bahwa
jika mengadakan suatu kegiatan yang mengundang orang lain,
seyogyanya memberikan sesuatu sebagai balasan, seperti konsumsi.
Jika yang mengadakan kegiatan tersebut adalah pemerintah,
harapan dari masyarakat umumnya lebih besar lagi dimana mereka
berharap akan mendapatkan berbagai tunjangan dari kegiatan
tersebut. Maka dari itu, pihak penyelenggara kegiatan MMD
akhirnya memenuhi harapan tersebut karena tidak dapat
mengecewakan masyarakat yang sudah berharap. Selain karena ada
rasa tidak enak hati (sungkan / ewuh pekewuh) dari masyarakat
mengenai hal ini, mereka juga khawatir masyarakat tidak akan
bersedia jika diajak mengikuti kegiatan lain karena kecewa
harapannya tidak terpenuhi.
Hal tersebut akhirnya memberikan dampak terhadap proses
MMD sendiri. Ada banyak orang yang datang dengan motivasi
yang salah sehingga bersikap asal-asalan ketika mengikuti MMD.
Selain itu dana yang tersedia untuk MMD selama satu tahun
akhirnya habis hanya dalam satu kali MMD karena hal ini,
sehingga menyebabkan penyelenggara tidak dapat lagi
mengadakan MMD. Hal yang paling buruk dari ini adalah
masyarakat menjadi tidak menyadari bahwa program ini dibuat
118
Universitas Kristen Petra
untuk kebaikan mereka sendiri, sehingga efek yang diharapkan
dalam program Desa Siaga ini menjadi tidak tercapai.
- Hambatan dalam Penyampaian Informasi ke Masyarakat
Hambatan komunikasi tetap menyertai proses implementasi Desa
Siaga bahkan sampai kepada penyebaran ke masyarakat. Maslah-masalah
yang terjadi dalam penyebaran informasi ke masyarakat ini tak pelak
adalah akibat juga dari hambatan-hambatan sebelumnya. Namun ada juga
yang merupakan hambatan khas yang terjadi dalam proses ini, walaupun
tidak terpengaruh oleh hambatan-hambatan lain sebelumnya. Berikut
adalah penjelasan dari hambatan-hambatan tersebut.
Kurangnya media yang efektif untuk menyebarkan informasi
Dalam penyebaran informasi ke masyarakat, media utama
yang selama ini digunakan adalah penyampaian dari mulut ke
mulut atau dari satu orang ke orang lain. Penyampaian informasi
jenis ini memiliki keuntungan dapat menyebar dengan cepat dan
tidak membutuhkan biaya dalam prosesnya, dimana cara ini masih
dapat digunakan di Trenggalek yang masyarakatnya masih
memiliki frekuensi hubungan dan pertemuan antar tetangga yang
tinggi. Namun masalah besar dalam media ini adalah terjadinya
distorsi informasi sementara informasi disampaikan dari satu orang
ke orang yang lain. Akhirnya lama kelamaan informasi yang
diberikan hanya tinggal sepotong informasi inti tanpa adanya
penjelasan yang lebih dalam yang akhirnya menimbulkan masalah
dalam masyarakat sendiri. Masyarakat akhirnya tidak memahami
permasalahan yang sebenarnya sehingga harus diambil tindakan
tersebut, maka dari itu akan ada kecenderungan untuk menolak jika
mereka merasa terbebani dengan hal ini.
Terkadang di sebagian desa-desa tertentu ada alat bantu
penyampaian pesan melalui surat edaran. Cara ini cukup membantu
119
Universitas Kristen Petra
untuk mengurangi distorsi informasi tadi. Namun sayangnya tidak
semua desa memberlakukan hal ini karena kegiatan ini
membutuhkan dana lebih dan kewenangan untuk mengedarkan
surat. Jika yang berwenang untuk mengeluarkan surat edaran tidak
bersedia melaksanakan hal ini, maka surat edaran ini juga tidak
dapat disampaikan.
Masyarakat tidak memahami informasi yang mereka terima
Masalah lanjutan dari distorsi informasi tersebut adalah
masyarakat tidak memahami informasi yang mereka dapatkan.
Masyarakat awam di Trenggalek umumnya tidak terlalu mengerti
masalah-masalah kesehatan sehingga ketika memperoleh
penjelasan mengenai tindakan kesehatan maka mereka tidak jarang
tidak mengerti. Hal ini akhirnya memperparah lagi proses distorsi
informasi yang sudah terjadi. Penerima pesan yang tidak mengerti
menyampaikan pesan kepada orang lain yang juga belum tentu bisa
mengerti pesan tersebut. Belum lagi pesan tersebut juga terdistorsi
dari satu orang ke orang lain. Maka dari itu masalah ini cukup
gawat seandainya himbauan tindakan yang diberikan bukanlah
sebuah tindakan yang mudah dan diperlukan usaha lebih untuk
melakukannya. Kecenderungan masyarakat untuk menolak
menjadi tinggi karena kurangnya persuasi dalam penyampaian
informasi tersebut.